DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA
PUBLIKASI ILMIAH
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Peternakan
Oleh :
DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2015
DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA
PUBLIKASI ILMIAH
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana
program studi peternakan
Oleh :
DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM 2015
DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA
SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA
Dedet Septian Raha Anugrah Fakultas Peternakan Universitas Mataram
Jl. Majapahit Mataram – Lombok (NTB) Tlp/Fax : (0370) 640592 Email: [email protected]
ABSTRAK
Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyerang ternak ruminansia termasuk sapi Bali. Salah satu cara pencegahannya adalah melakukan deteksi dini pada ternak yang terinfeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan saliva sebagai bahan uji biologis berbasis ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Feses, darah dan saliva dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali. Feses digunakan sebagai bahan uji pemeriksaan telur cacing sedangkan saliva dan serum digunakan untuk uji ELISA. Hasil uji sedimentasi menunjukkan bahwa 8,3% (1 dari 12) ternak terinfeksi Fasciolosis dengan jumlah telur per gram tinja (EPG). Uji ELISA menggunakan serum dan saliva dengan plate “In House” konsentrasi antigen ES 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel sebanyak 100 dan 500 kali. Hasil menunjukkan bahwa uji ELISA menggunakan serum adalah 100% terinfeksi Fasciolosis sedangkan uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi berkisar antara 16-58% dari berbagai tingkat konsentrasi antigen dan pengenceran. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan deteksi Fasciolosis dapat dideteksi menggunakan saliva dengan metode ELISA meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan serum
Kata kunci : Sapi Bali, Fasciolosis, Saliva, ELISA DETECTION OF FASCIOLOSIS IN BALI CATTLE USING SALIVA AS A
BIOLOGICAL TEST BASED ON ELISA
ABSTRACT
Fasciolosis is a disease caused by Fasciola hepatica and Fasciola gigantica and commonly attacks ruminants including Bali cattle. One way to prevent the disease is to perform early detection of infected cattle. The aimed of this study was to detect Fasciolosis on Bali cattle using saliva as a biological test based on the ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Faeces, blood and saliva were collected from 12 Bali cattle. Faeces was used for egg examination test, while saliva and serum were used for ELISA test. Sedimentation test results showed that 8.3% (1 of 12) of cattle was Fasciolosis with one egg in faeces. ELISA tests using serum and saliva ES antigen concentration of 5 and 50 ug/ml and sample of dilution 100 and 500 times. It showed that samples (100%) were positive in the ELISA serum test while ELISA test using saliva showed varying
results ranging between 16-58% from the various levels of antigen concentration and dilution. Based on the results of this study it can be concluded that Fasciolosis could be detected using saliva though it less sensitive. Keywords:Bali Cattle, Fasciolosis, Saliva, ELISA
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan bangsa sapi yang digunakan sebagai salah satu
alternatif untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Sulistyowati (2002)
menegaskan bahwa sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang dapat
memanfaatkan pakan berkualitas rendah dengan kemampuan beradaptasi dengan
suhu yang ekstrim serta mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi.
Dari sekian banyak hambatan dalam peningkatan produktivitas sapi Bali
yaitu adanya penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti cacing hati atau
Fasciolosis. Fasciolosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh
cacing trematoda yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang biasa
menyerang ternak ruminansia (Boray, 2007). Di Indonesia prevalensi Fasciolosis
mencapai 90% sehingga menyebabkan kerugian yang cukup signifikan seperti
penurunan produksi, pengafkiran hati daging, susu, wool, bahkan kematian
(Mitchell, 2007).
Pencegahan yang biasa dilakukan dalam pengendalian Fasciolosis adalah
melakukan deteksi sedini mungkin pada ternak yang teinfeksi. Pada umumnya
deteksi yang dilakukan secara konvensional dengan pemeriksaan telur cacing
dalam feses menggunakan metode sedimentasi. Namun dilaporkan oleh Boray
(2007) bahwa metode tersebut tidak sensitif karena tidak dapat menemukan telur
cacing sampai cacing dewasa untuk bertelur. Dengan demikian diperlukan metode
lain yang lebih sensitif misalnya ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay)
yang telah dikembangkan untuk mendiagnosis infestasi F. Hepatica pada sapi dan
domba (Farrel et al., 1981)
ELISA merupakan metode yang digunakan untuk menguji keberadaan
antibodi dan antigen dalam sampel penderita (Burgess, 1988). Penggunaan serum
untuk metode ELISA masih memliki beberapa kekurangan seperti menyakiti
ternak, membutuhkan proses yang lama untuk menjadi serum dan sebagainya
sehingga diperlukan bahan alternatif penganti serum untuk diagnosa noninvasif
seperti saliva.
Pada masa sekarang ini penggunaan saliva sebagai bahan deteksi telah
banyak dilakukan yang dikarenakan saliva mengandung mineral, elektrolit, buffer,
enzim dan inhibitor enzim, faktor pertumbuhan dan sitokinin, imunoglobulin,
mucin, dan glikoprotein lainnya (Lawrence, 2002). Lawrence (2002) juga
menambahkan bahwa saliva telah dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan
diagnosis dini suatu penyakit yang noninvasif.
Berdasarkan penjelasan di atas penelitian ini dilakukan untuk
memanfaatkan saliva sebagai bahan uji biologis dalam upaya mendeteksi
Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan metode ELISA.
MATERI DAN METODE
Peneltian ini menggunakan saliva, feses dan darah yang dikoleksi dari 12
ekor sapi Bali dari Kelompok Ternak Ngiring Datu Kecamatan Gangga
Kabupaten Lombok Utara. Seadngkan Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di
Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan dan
Laboratorium Imunobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram.
Koleksi sampel
Saliva dikoleksi langsung di dalam mulut ternak dengan menggunakan
pipet disposeable. Pipet dimasukkan/diletakkan dibawah lidah sapi dan pipet
ditekan agar saliva dapat terserap kemudian dimasukkan kedalam tabung falcon.
Tabung falcon yang sudah terisi saliva dimasukkan ke dalam cool box setelah
diberi kode dan cara yang sama juga dilakukan untuk sapi lainnya. Saliva yang
sudah dikoleksi disentrifugasi menggunakan centrifuge ultra kemudian disimpan
pada suhu -20 oC sampai saatnya digunakan.
Darah dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali dengan menggunakan spuit/
tabung venoject dengan menusukkan spuit ke vena jugularis di leher sapi. Setelah
darah dikoleksi, darah kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang sudah
berisi kode dan disimpan di dalam cool box. Darah dibawa ke laboratorium untuk
mendapatkan serum yaitu dengan cara sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm
selam 3 menit. Setelah diserifugasi serum dikoleksi dan dipindahkan kedalam
tabung eppendorf dengan mikropipet untuk disimpan dibawah suhu - 20 0C
sampai serum siap digunakan.
Feses dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali langsung dari dalam rektum sapi
dengan menggunakan sarung tangan. Tangan dimasukkan kedalam rektum sapi
sampai mendapatkan fesesnya atau istilah lain feses di rogoh langsung kedalam
rektum. Setalah feses dikoleksi, kemudian ditambahkan formalin sebanyak 2 ml
disimpan di dalam penyimpanan sementara yang telah diberi kode sampel, setelah
itu feses dibawa ke laboratotrium untuk disimpan di frezer sampai feses
digunakan untuk uji sedimentasi.
Uji Sedimentasi
Feses ditimbang sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam botol sampel 50
ml dan ditambahkan air. Agar feses hancur campuran diaduk dengan batang
pengaduk, kemudian larutan disaring dengan saringan 200 µm dan masukkan
dalam tabung kerucut dan tambahkan air secukupnya hingga penuh, suspensi
didiamkan selama 5 menit kemudian cairan bagian atas dibuang dan menyisakan
filtrat kurang lebih 10 ml. Air ditambahkan pada filtrat dalam tabung kerucut
hingga penuh dan didiamkan selama 5 menit kemudian buang lagi cairan bagian
atas dan sisakan 5 ml. Filtrat dituangkan kedalam cawan petri dan tambahkan
setetes methylen blue kedalam sisa pengendapan. Filtrat yang telah diaduk-aduk
diambil dengan pipet Pasteur dan memasukkan kedalam counting chamber
“universal withlock” , diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100
kali telur Fasciola berwarna kuning emas.
UJI ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Uji ELISA dilakukan dengan mengikuti prosedur Sriasih et al. (2005).
Sebelum memulai prosedur terlebih dahulu membuat denah untuk memudahkan
pekerjaan. Plate ELISA (96 sumuran) dilapisi (coating) dengan 50 µl
(konsentrasi 5 dan 50 µg/ ml) cairan ES dan di inkubasikan selama semalaman
pada suhu 40C. Setelah inkubasi, cairan ES dibuang dan lubang-lubang sumuran
dicuci 5 kali menggunakan PBS yang mengandung 0,05% Tween 20 sebanyak
200 µl. Pada tiap-tiap lubang kemudian ditambahkan blocking buffer (skim milk
5% dalam PBST) sebanyak 200 µl dan di inkubasikan selama 60 menit pada suhu
kamar. Ulangi proses pencucian yang sudah dilakukan sebelumnya, kemudian
ditambahkan 100 µl serum yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) dan
saliva yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) kemudian inkubasi pada suhu
37 0C selama 1 jam. Setelah dicuci, 100 µl rabbit anti-bovine IgG horse-radish
peroxidase conjugate di tambahkan ke dalam lubang sumuran kemudian
diinkubasikan selama 1 jam. Setelah inkubasi, buang cairan dalam sumuran,
kemudian tambahkan 100 µl substrat (ABTS dalam 100 ml bufer sitrat) dan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 0C. Terakhir ditambahkan 100 µl stop
solution pada masing-masing dan selanjutnya dilakukan pengukuran nilai Optical
Density (OD) dengan panjang gelombang 450 nm dengan menggunakan mesin
ELISA reader.
Analisis Data
Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualitatif dengan melihat perubahan warna plate.Secara kuantitatif data diolah dan
dianalisis menggunakan statistik sederhana (Mean ± 3SD) Jika nilai OD sampel
lebih besar dari pada cut off value maka sampel dinyatakan positif Fasciolosis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu upaya untuk memerangi Fasciolosis adalah dengan
melakukan pencegahan. Pencegahan yang biasa dilakukan adalah dengan
mendeteksi keberadaan cacing dalam tubuh ternak melalui pemeriksaan telur
cacing dalam feses ataupun deteksi antigen dan antibodi yang terbentuk setelah
infeksi.
Sebanyak 12 sampel feses telah dikoleksi dan diuji dengan metode
sedimentasi (Taylor, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 8,3% (1 dari 12)
ternak adalah positif Fasciolosis berdasarkan penemuan telur cacing (Gambar 1)
di dalam feses.
Gambar 1. Telur cacing F.gigantica
Gambar 1 menunjukkan penemuan telur cacing yang telah berhasil
ditemukan pada feses sapi sebanyak 1 butir. Menurut Lyndal-Murphy (1990)
jumlah tersebut setara dengan 100 telur di dalam tubuh berdasarkan perhitungan
2n x 50 dimana n adalah jumlah telur yang ditemui. Akan tetapi menurut Dixon
(1964) jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh empedu tidak dapat
ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.
Pemeriksaan telur cacing memiliki beberapa kelemahan seperti metode
ini hanya dapat digunakan pada ternak yang sudah kronis dan terdapat cacing
dewasa di dalam saluran empedunya (Suhardono et al. 1991). Metode ini tidak
dapat mendeteksi infeksi masa prepaten (8-10 minggu setelah infeksi)
(Estuningsih et al. 2004) dan kurang sensitif dikarenakan telur yang diproduksi
sedikit tidak beraturan dapat mempengaruhi hasil deteksi (Boray, 2007).
Dengan demikian dibutuhkan metode yang lebih sensitif untuk
mendeteksi Fasciolosis misalnya dengan mendeteksi antibodi dan antigen yang
bersirkulasi dalam cairan tubuh ternak yang terinfeksi misalnya dengan metode
ELISA. Antigen yang digunakan untuk melapisi plate adalah plate yang dibuat
sendiri “In House” yang dilapisi dengan cairan ES (Eksretori/sekretori) dengan
konsentrasi 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel serum, saliva, kontrol negatif
dan kontrol positif adalah 100 dan 500 kali.
Cairan ES merupakan antigen yang digunakan untuk melapisi plate
ELISA karena cairan ES dapat memicu tanggap kebal inang definitif (McKeand et
al., 1995), Penggunaan antigen ES memiliki respon yang jauh lebih baik
dibandingkan antigen somatik (Sethadavit, 2009 ; Kooshan et al. 2010). Hasil
penelitian dinilai secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil peneltian dinilai secara secara kualitatif dan kuantitatif. Secara
kualtitatif plate ELISA dilihat dari perubahan warna (Gambar 2) ketika
ditambahkan substrat dan stop solution.
a b Gambar 2. a. Setelah Penambahan Substrat b. Setelah penambahan Stop
solution Hasil pengamatan pada plate menunjukkan perubahan warna yang
signifikan ketika penambahan subtrat (Gambar 2.a) dan stop solution (Gambar
2.b). Awad et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi setelah
penambahan substrat akan menginduksi perubahan warna dari substratnya dan
kemudian diukur oleh ELISA reader. Kresno (2001) menambahkan prinsip dasar
reaksi ELISA adalah mengikat antibodi atau antigen yang akan dideteksi oleh
antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim, enzim tersebut akan
menghidrolisis substrat. Hidrolisis substrat ini akan menimbulkan perubahan
warna dalam waktu tertentu dan dihentikan dengan menambahkan asam atau basa
kuat untuk menghentikan reaksinya.
Sedangkan penilaian secara Kuantitatif berdasarkan nilai Optical Density
(OD) pada sampel uji, kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil Pemeriksaan
ELISA (OD450nm) dengan uji serum berbagai konsentrasi dan pengenceran
disajikan pada Gambar 3. Nilai cut off value mempunyai nilai yang berbeda-beda
pada masing-masing konsentrasi dan pengenceran yang dihitung dari rerata
negatif minus blank ditambah dengan tiga kali standar deviasi.
1 2
3 4
Gambar 3. Hasil pengukuran nilai OD serum. 1. ES 5 µg/ml + serum 100 x, 2. ES 5 µg/ml + serum 500 x, 3. ES 50 µg/ml + serum 100 x, 4. ES 50 µg/ml + serum 500 x
= Sampel Serum = Kontrol Positif = cut off value Hasil pengukuran nilai OD berdasarkan uji ELISA menggunakaan
antigen ES pada sampel serum menunjukkan 100% sampel positif karena nilai
yang ditampakkan pada Gambar 3 berada di atas nilai batas ambang (cut off
value) yang ditunjukkan dengan garis panjang horizontal
Hasil uji serologis menggunakan ELISA pada penelitian ini
menunujukkan semua serum ternak positif terinfeksi dengan prevalensi adalah
100%. Hal menarik ditunjukkan oleh serum nomor 9 pada plate konsentrasi 5
µg/ml pengenceran 100 kali dengan nilai absorbansi dibawah batas ambang.
Rendahnya nilai OD pada serum 9 ini dapat disebabkan “human error” peneliti
dalam memasukkan serum ke plate dan besar kemungkinan sampel yang
diimasukkan adalah saliva dikarenakan nilai ODnya sama seperti sampel saliva.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Estuningsih et
al. (2004) menunjukkan bahwa diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan uji
serologis menggunakan ELISA memiliki sensitivitas 91%. Hasil ini menunjukkan
bahwa cairan ES yang digunakan melapisi plate ELISA dapat digunakan untuk
mendeteksi Fasciolosis dan mempunyai sensitivitas 100%. Penelitian ini sejalan
-0.50
0.51
1.52
2.5
-2 3 8 13
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
00.5
11.5
22.5
3
-2 3 8 13
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
00.5
11.5
2
-2 3 8 13Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
0
0.5
11.5
2
-2 3 8 13Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malawati (2013) bahwa sensitivitas
ELISA menggunakan cairan ES adalah 100 %.
Akurasi metode ELISA serum memungkinkan dapat diikuti oleh metode
ELISA menggunakan cairan tubuh lainnya seperti saliva. Pada penelitian ini telah
dikoleksi saliva untuk deteksi Fasciolosis dengan metode ELISA dengan prosedur
yang sama seperti ELISA serum. Hasil pengukuran nilai OD saliva disajikan pada
Gambar 4 dibawah ini:
1 2
3 4
Gambar 4. Hasil pengukuran nilai OD saliva. 1. ES 5 µg/ml + saliva 100 x, 2. ES 5 µg/ml + saliva 500 x, 3. ES 50 µg/ml + saliva 100 x, 4. ES 50 µg/ml + saliva 500 x
= Sampel saliva = cut off value Hasil penelitian menunjukkan nilai absorbansi saliva bervariasi pada tiap
pengencer dan konsentrasi antigen dengan melihat dari grafik bahwa nilai OD
semakin tinggi pada tiap level konsentrasi. Konsentrasi antigen ES 5 µg/ml
pengenceran 100 kali ternak positif terinfeksi sebanyak 7 ternak (Kode 2, 3, 5, 6,
8, 11 dan 12) sedangkan pada pengenceran 500 kali ternak yang positif ternak
yang positif terjangkit berdasarkan batas ambang yaitu 5 ternak (kode 2, 5, 6, 9
dan 12) dinyatakan positif.
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
-3 2 7 12
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel-0.02
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
-3 2 7 12
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
-3 2 7 12
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel -0.04-0.02
00.020.040.060.080.1
0.120.14
-3 2 7 12
Rer
ata
OD
-B
lank
Kode Sampel
Sedangkan pada konsentrasi antigen 50 µg/ml dengan pengenceran 100
kali terdapat 2 ternak (kode 2 dan 8) terindikasi terjangkit Fasciolosis. Akan tetapi
hal menarik ditunjukkan oleh pembacaan hasil pada pengenceran 500 kali tidak
ada ternak yang positif terinfeksi dikarenakan nilai OD dibawah batas ambang.
Hal ini mengindikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi antigen dan pengenceran
saliva, tidak dapat terbaca oleh ELISA reader.
Melihat OD pada saliva yang bervariasi, hasil pembacaan oleh ELISA
reader yang paling banyak diatas batas ambang adalah saliva dengan pengenceran
100 kali. Hal ini mengindikasi bahwa dengan pengenceran yang lebih tinggi,
antibodi pada saliva tidak dapat berinteraksi dengan antigen ES, seperti yang
dilaporkan oleh Handerson, (2013) jika saliva yang diencerkan pada kisaran 10-1 –
10-3 menyatakan hanya pada pengenceran 1:10 yang dapat mendeteksi CWD
(Chronic Wasting Disease).
Selain pengaruh pengenceran, tingkat konsentrasi antigen dalam melapisi
plate juga mempengaruhi, karena pada konsentrasi 5 µg/ml saliva masih dapat
mendeteksi Fasciolosis sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi, OD saliva
lebih rendah dari pada cutt off value walaupun ada 2 ternak positif terinfeksi
dengan pengenceran 100 kali. Pengaruh konsentrasi antigen untuk melapisi plate
ELISA mempunyai dampak terhadap hasil pengukuran OD seperti yang
dilaporkan oleh Stewart et al. (1990) yang menyatakan bahwa konsentrasi yang
paling baik berada pada kisaran 1-10 µg/ml.
Hasil penelitian lain menggunakan saliva sebagai bahan uji untuk
mendeteksi penyakit telah banyak. Menurut Brantzaeg (2007) menyatakan
terdapat dua jenis antibodi yang ada dalam saliva yaitu immunoglobulin A dan G
(IgA dan IgG). Kandungan IgG dalam saliva dapat mendeteksi antigen yang
disebabkan oleh infeksi parasit cacing Taenia solium dan tidak hanya itu saliva
juga dapat mendeteksi intracerebral pada pasien cysticercosis (Acosta, 1990).
Hasil penelitian tentang uji saliva untuk deteksi Fasciolosis ini
memberikan informasi baru yang cukup membantu karena saliva masih dapat
mendeteksi keberadaan F. gigantica pada masa prepaten walaupun kurang sensitif
dibandingkan dengan uji serologis. Walaupun demikian masih perlu peningkatan
dalam pengembangan metode deteksi menggunakan saliva.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua ternak
sampel adalah 100% positif Fasciolosis pada uji ELISA”In House”. Sedangkan
uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu 16 -58%
ternak yang dinyatakan positif. Hasil ini mengindikasi bahwa uji biologis
menggunkan saliva dapat digunakan untuk deteksi Fasciolosis walaupun kurang
sensitif seperti uji serologis.
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, E. 1990. “Antibodies to the metacestode of Taenia solium in the saliva from patients with neurocysticercosis,” Journal of Clinical Laboratory Analysis, vol. 4, no. 2, pp. 90–94.
Boray JC. 2007. Liver fluke disease in sheep and cattle. Prime Fact 446: 1–10. Brandtzaeg, P. 2007. “Do salivary antibodies reliably reflect both mucosal and
systemic immunity?” Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1098, pp. 288–311.
Burgess, Graham W. 1988. Elisa Technology In Diagnosis and Research. James Cook University of North Queensland.
Dixon, K.F. 1964. The relative suitability of sheep and cattle as host for liver fluke Fasciola hepatica. J. Helmint. 38:203-212.
Estuningsih SE, Widjajanti S, Adiwinata G. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi. JITV. 9:55-60.
Farrell, C.J., D.T. Shen and R.B. Webcott. 1981. An enzyme-linked immunosorbent assay for diagnosis of Fasciola hepatica infection in cattle. Am. J. Vet. Res. 42: 237-240.
Kooshan, M., G.R. Hashemi and A. Naghibi. 2010. Use of somatic and secretory-Excretory antigen of Fasciolosis hepatica in diagnosis of sheep by ELISA. american-eurasian J. Agric. & Environ, Sci. 7 (2): 170-175
Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Lawrence HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of disease and monitoring of general health. J Can Dent Assoc, 2002; 68(3): 170-4.
Malawati, I. 2013. Sensitivitas dan Spesifisitas ELISA menggunakan komponen cairan eksretory dan sekretorycacing Fasciola gigantica untuk deteksi Fasciolosis pada sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Mataram. Mataram
Mitchell GBB. 2007. Liver Fluke. Edisi ke-4. London: Blackwell. Murphy, E. G., Regulatory Aspects of Sunscreen in United Stated in N. J. Lowe
and N. A. Shaath (Eds.), 1990, Sunscreens Development, Evaluation, and Regulatory Aspects, Marcel Dekker Inc., New York.
Sriasih, M., E. Yulianti, Khalid. 2005. Penggunaan Hasil Ekskresi/Sekresi Fasciola gigantica sebagai antigen untuk deteksi Fasciolosis pada sapi. Laporan Penelitian. Hibah UPT MIPA-UNRAM.
Suhardono. 1997 . Epidemiology and control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java. Ph.D Thesis . James Cook University of North Queensland, Australia.
Sulityowati A. 2002. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/16/ekor/2656300.html (27 januari 2015).
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007.Veterinary Parasitology. Ed ke-3. UK: Blackwell Publishing.