Nomor: RISALAH DPD/KOMITE I/V/2018
DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
-----------
RISALAH
RAPAT DENGAR PENDAPAT UMUM KOMITE I
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
MASA SIDANG V TAHUN SIDANG 2017-2018
I. KETERANGAN
1. Hari : Senin
2. Tanggal : 28 Mei 2018
3. Waktu : 10.35 WIB - 12.20 WIB
4. Tempat : R.Sidang 2A
5. Pimpinan Rapat : 1. Drs. Ahmad Muqowam (Ketua Komite I)
2. Drs. H. A. Hudarni Rani, S.H. (Wakil Ketua)
3. Benny Rhamdani (Wakil Ketua)
4. H. Fachrul Razi, M.I.P
6. Sekretaris Rapat :
7. Acara : RDPU dalam Rangka Penyusunan pandangan dan pendapat
DPD RI Terhadap RUU tentang Masyarakat Adat.
8. Hadir : Orang
9. Tidak hadir : Orang
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
1
II. JALANNYA RAPAT:
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Jam 10, jadi Pak Waka, Pak Benny, para tim ahli RUU, tim ahli Komite I, para staf
yang terhormat. Jadi pertama-tama mari kita bersyukur, karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
… (tidak jelas, red.) dan waktu dari undangan sudah menunjukkan lewat setengah jam lebih,
kita masih menunggu-nunggu, tapi kondisi terakhir yang terkini ini memang, tak bisa
dihindari ini pak. Jadi pada saat bersama para anggota DPD ini, semuanya dipanggil KPU,
untuk menyelesaikan masalah pendaftaran, ini, ini kita masih nunggu ada 2 orang. Tapi
dengan memanjatkan puja dan puji syukur itu, kita tahu tadi rencana kita ini adalah untuk,
berbicara dengan narasumber ini sebagai tim ahli RUU tentang masyarakat adat ini, jadi kita
ucapkan terima kasih atas kehadirannya. Tapi situasi ini saya tak bisa ngomong apa lagi ya,
cuma kita bagaimana memanfaatkan ini, dengan baik.
Nah, kita minta semua saran tentunya, sebelum dIbuka karena acara ini sebenarnya
pada gilirannya kita ingin mendengarkan pandangan dari tim ahli RUU, nanti akan disikapi
oleh tim ahli Komite I, nanti akan dirubuskan, karena ini dalam rangka pandangan kita …
(tidak jelas, red.) undang-undang itu untuk pembahasan di tingkat DPR. Jadi konsisi sekarang
ini sudah berada di tangan DPR sekarang kan, kita berkewajiban untuk mensukseskannya
termasuk menyelesaikan undang-undang kita MD3 itu kita wajib memberikan pandangan.
Nah saya minta pendapat ini, karena satupun anggota kita belum ada yang hadir, termasuk
ketua kita juga masih di kampung katanya, jadi satupun anggota belum bisa hadir, tapi tidak
hadir ini memang situasi pak, saya tahu benar ini, karena saya pun terpaksa diundang …
(tidak jelas, red.) karena enggak enak, jadi hari ini diundang.
Nah ini kami minta Pak Yanto gimana kira-kira pandangannya? Apa kita lanjutkan,
nanti kita bicarakan surat resmi, kemudian ditangkap oleh KPK. Ini, ini gimana kita siapkan
untuk pembahasan ditingkat DPR-nya ini. Walaupun nanti kita, jangan sampai waktu kita
dari Yogya ilang gitu ya, gitu. Sementara kita skors dulu setengah jam lagi atau gimana ini?
Setengah jam lagi ya? Oke kita skors ya setengah jam lagi.
KETOK 2X
RAPAT DISKORS 30 MENIT
RAPAT DIBUKA PUKUL 10.35 WIB
SKORS DICABUT
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
2
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. om swastiastu. Yang saya hormati
Pak Waka I, para Tim Ahli RUU, Tim Ahli dari Komite I, yang saya hormati Pak
Muhammad Idris dari Kaltimra, Kaltimra, … (tidak jelas, red.) itu diwakili itu. Jadi pertama-
tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kita kehadirat Allah Subhanahu Wata'ala
Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya yang dapat pada hadir pada suasana di tempat ini,
dalam rangka kita sebenarnya Rapat Dengar Pendapat Umum Komite I DPD RI pada hari ini.
Yang kita tahu situasinya memang, mohon maaf ini para tim ahli mungkin agak, … (tidak
jelas, red.) agak sedikit menyempitkan karena berkaitan dengan acara KPU, tapi
bagaimanapun … (tidak jelas, red.) ini sudah datang pak yang dari Yogya, dari ini sudah
datang, maka, dan acara ini tidak mengambil keputusan, jadi hanya bahan-bahan, yang akan
kita perbaiki terus untuk mencapai tingkat undang-undang yang benar-benar bermanfaat
berkualitas. Jadi atas izin Bapak, Ibu sekalian dengan mengucapkan
Bismillahirrahmanirrahim Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan agenda
Pandangan Terhadap RUU tentang Masyarakat Hukum Adat kita buka, dan terbuka untuk
umum.
Bapak, Ibu sekalian, jadi kita sudah paham betul dan mengetahui bahwa DPD RI telah
menerima surat dari Ketua DPR RI Nomor LG/03105/DPR/RI/II/2018 tanggal 12 februari
yang lalu perihal penyampaian RUU tentang Masyarakat Hukum Adat (tidak jelas 07:05)
yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan ditembuskan kepada Ketua DPD RI,
kemudian Presiden juga menugaskan Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri
Desa PDTT, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Hukum dan HAM untuk
bersama-sama maupun (tidak jelas 07:27) mewakili Presiden, dalam membahas RUU tentang
Masyarakat Hukum Adat tersebut. Dan berdasarkan informasi Bapak, Ibu sekalian,
perkembangannya bahwa pembahasan RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ini, DPR RI
telah membentuk Pansus juga, tentang Masyarakat Hukum Adat pada tanggal 26 april yang
baru lalu, seminggu yang lalu, dengan jumlah anggota sebanyak 30 orang yang diikuti
seluruh fraksi DPR RI. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memenuhi amanat konstitusi
pada Pasal 170 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). DPD harus memberikan pandangan terhadap RUU yang
berasal dari DPR dan daftar inventaris masalah materi sebagai bahan dalam pembahasan
lebih lanjut. Jadi ini, hal-hal seperti inilah yang perlu kita lakukan dan kita sungguh-sungguh
berharap secara ininya, lebih banyak kita harapkan dari para ahli ini menyampaikan, nanti
dirumuskan oleh tim ahli.
Iya selamat datang Ibu Dewi, mohon izin saya lanjutkan ya.
Jadi Bapak Ibu sekalian Komite I sebagai alat kelengkapan yang ditugaskan Pimpinan
DPD RI mengambil inisiatif untuk menyusun pandangan terhadap RUU tentang Masyarakat
Hukum Adat, jadi yang akan kita susun ini adalah bukan pandangan Komite I, tapi
pandangan DPD RI ya, karena kita diberi mandat itu, jadi pandangan itu memang kita
harapkan kita susun lebih teliti lagi, Pak Denis, sekadar kembali Komite I telah
menyelesaikan RUU tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, inisiatif ini disahkan pada
Sidang Paripurna ke-12 Masa Sidang IV tahun 2017-2018 tanggal 23 april dan berdasarkan
Surat Keputusan DPD RI tentang RUU tentang Hak Masyarakat Adat. RUU ini telah
disampaikan ke Pimpinan DPR RI, yang tadi sudah disampaikan diproses. Untuk
mempersingkat waktu, kita sepakat saja ya, jadi baru hadir 4 orang pak, dari 33 orang. Tapi
ini memang luar biasa, karena memang sekali lagi saya minta pengertian/pemahaman,
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
3
memang situasi suasananya. (tidak jelas 09.41) rapat ini RUU Jawa Barat tentang KPU, kalau
… (tidak jelas, red.) KPU juga susah juga kita, kalau cara-cara, cara-cara membuktikan
dukungan itu juga, karena bikin ini ya, bikin sesuatu yang mengganjal, tapi kita surutlah yang
penting lolos itu. Jadi ini pak, mudah-mudahan, ini kita dapat memanfaatkan waktunya
dengan baik ya, jadi ini permohonan maaf karena suasana seperti ini, tapi kita harapkan nanti
akan keluarlah … (tidak jelas, red.) itu. Untuk itu kami persilakan Tim Ahli RUU, tim ahli ini
ada dua, Tim Ahli Komite, ada Tim Ahli RUU ya, yang ini berkaitan dengan RUU-nya ya. …
(tidak jelas, red.) juga, ya, ya Pak Khalis dari Gorontalo juga, kalau bisa unsur-unsur. Kami
persilakan Pak Johanes.
PEMBICARA: REVOLIYANDO (TIM AHLI)
Saya mulai. Terima kasih Pak Ketua.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Pertama kami ucapkan terima kasih atas undangan dari, Komite I pada kami untuk
menyampaikan pandangan kami terkait dengan Rancangan Undang-Undang Masyarakat
Hukum adat versi DPR RI 2018. Saya akan memulai beberapa catatan awal, yang kemudian
mungkin akan dilanjutkan oleh beberapa teman yang lain, yang mencakup tanggapan yang
lebih detail. Jadi, kita tahu bahwa pengakuan hak masyarakat adat, masyarakat hukum adat
ataupun masyarakat tradisional, itu sudah tercantum di dalam konstitusi kita, baik di dalam
versi Pasal 18 sebelum amandemen, maupun kemudian dituangkat ke dalam Pasal 18b Ayat
(2), dan juga Pasal 28i Ayat (3), yang secara nyata-nyata telah mengakui keberadaan, apa
yang disebut sebagai masyarakat hukum adat dan juga masyarakat tradisional. Meskipun
demikian, sebagaimana kita tahu kalau kita lihat perkembangan, yang terjadi di dalam
beberapa tahun belakangan ini. Tolong slide-nya berikut.
Ada beberapa hal yang mengganjal mengapa amanat konstitusi itu, belum juga
diterapkan secara optimal, walaupun memang Pasal-Pasal itu mengamanatkan adanya
undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan amanat konstitusi tentang pengakuan hak
masyarakat adat itu. Ada 3 hal yang kami catat, bahwa yang:
1. Amanat konstitusi sebagaimana saya sebutkan tadi, mengalami apa yang kami sebut
sebagai 3 kali interupsi, yang berakibat pada pengakuan yang bersyarakat. Jadi kalau
kita baca undang-undangnya itu, ada pengakuan tetapi kemudian melalui Undang-
Undang Pokok Agraria dan juga kemudian Undang-Undang Kehutanan, pengakuan
itu menjadi bersyarat, yang pada perkembangan selanjutnya bermuara pada
munculnya berbagai macam definisi dan syarat-syarat yang tidak sejalan satu sama
lainnya. Setidaknya ada 19 undang-undang sekarang yang mengatur tentang
masyarakat hukum adat atau masyarakat adat itu dan kita bisa menemukan definisi
yang berbeda satu sama lain dan juga syarat-syarat keberadaannya juga berbeda satu
sama lain. Intrupsi kedua kemudian juga memunculkan satu logika hukum baru, atau
logika hukum yang di dalam penerapan amanat konstitusi itu yaitu, logika hukum
pengakuan subjek mendahului pengakuan hak, jadi kalau hak masyarakat adat yang
bermacam-macam itu, baru akan diakui kalau subjeknya diakui. Nah ini menimbulkan
problem-problem tersendiri. Intrupsi yang dilakukan oleh 2 undang-undang itu
kemudian juga dikukuhkan masalahnya oleh Putusan MK 35 yang terakhir tahun 2012
yang mengukuhkan kedua hal itu.
2. Nah masalah yang kedua, walaupun demikian kita juga melihat bahwa sudah begitu
banyak peraturan perundangan, tadi saya sebut ada kurang lebih 19 undang-undang
yang mengatur tentang pengakuan hak masyarakat adat itu, tetapi pelaksanaannya
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
4
seperti nanti akan kita lihat di dalam misalnya pengakuan terhadap hutan adat itu,
relatif sangat terbatas. Hal ini terjadi karena peraturan perundangan itu selalu melihat
masyarakat hukum adat itu sebagai satu entitas politis, yang kemudian bermuara
kepada mekanisme pengakuan yang rumit, padahal banyak diantara hak-hak yang
melekat pada masyarakat itu, sebenarnya adalah hak-hak yang bersifat perdata saja,
sehingga ada fenomena misalnya, pengakuan tanah adat atau hutan adat itu jauh lebih
susah, lebih sulit ketimbang mendapat HGU, jadi kalau kita punya perusahaan untuk
mendapat izin perkebunan begitu, kita tidak perlu perusahaannya itu dibikinkan
Perda, datang saja ke notaris, setor modal terdaftar, kemudian surat izin keluar dan
HGU. Itu berbeda kalau memohonkan tanah adat atau hutan adat, sesuai peraturan
perundangan yang lalu, itu baru diakui kalau masyarakat adatnya bikin Perda, nah kita
tahu Perda harganya lumayan. Padahal, tanah adat tadi atau hutan adat tadi boleh jadi
hanya dimiliki oleh satuan-satuan sosial yang sifatnya terbatas, kekerabatan tadi,
apakah itu kaum, suku di Nagari, atau bius di Sumatera Utara, atau mata rumah di
Maluku dan seterusnya. Jadi situasi seperti itu kemudian membuat pengakuan hak
masyarakat adat seperti digambarkan oleh slide ini sangat rendah.
3. Nah yang ke 3, masalah ke-3 kami mencatat bahwa, meskipun demikian ada 19 tadi
saya sebutkan, masih tetap saja ada beberapa hak masyarakat adat yang belum diauki
pelaksanaannya, penyelenggaraahnya, bahkan ada hak masyarakat adat misalnya
seperti, kepercayaan ajaran leluhur atau itu, yang walaupun sudah diakui juga masih
belum mendapatkan mekanisme pengaturan yang, yang pas. Nah, oleh sebab itu
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 18b Ayat 2, maka memang undang-undang
yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu, memang
suatu kebutuhan, amanat dari undang-undang, tinggal lagi undang-undang seperti apa
yang harus dihasilkan. Lanjut saja, ini sudah saya simpul tadi, nah jadi sederhananya
kalau diringkas bahwa walaupun sudah banyak peraturan perundang yang ada selama
ini, tapi belum bisa membuat pengakuan hak masyarakat adat itu secara lebih
oprasional, baik terhadap berbagai hak-hak yang mereka miliki, apakah itu hak
politik, hak tanah, hak atas ajaran leluhur dan seterusnya.
Nah, kalau kita lihat kepada RUU Masyarakat Adat versi DPR sendiri, setidaknya
kami mencatat ada 5 masalah yang dihadapi.
1. Yang pertama adalah draft RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR ini belum
mengakomodasi hasil amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang, kecuali
melahirkan Pasal 18b Ayat (2), juga melahirkan Pasal 28i Ayat (3). Nah, ini
tergambarkan kepada judul dari RUU yang, disebut sebagai masyarakat hukum adat,
ini jelas merujuk kepada Pasal 18b Ayat (2). Nah padahal konstitusi juga mengatur
tentang pengakuan hak-hak masyarakat tradisional, sebagaimana yang diatur pada
Pasal 28i Ayat (3). Jadi undang-undang ini masih hanya mengacu kepada Pasal 18b
Ayat (2), belum melihat Pasal 28i Ayat (1), yang sejatinya secara substansi juga
berkaitan dengan masyarakat adat.
2. Yang kedua adalah sebagaimana kecenderungan logika hukum yang ada sementara
ini, RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR juga terperangkap pada logika hukum
pengakuan subjek harus mendahului pengakuan objek hak, jadi di sini ada sebuah
asumsi bahwa kalau subjeknya sudah diakui, maka seluruh haknya akan terakui. Nah,
padahal kita tahu di Indonesia sekarang, tidak banyak lagi sebenarnya susunan
masyarakat hukum adat, atau masyarakat adat yang bersifat otonom. Artinya dengan
satu pengakuan subjek tertentu, maka pengaturan hak-hak yang lain itu akan berjalan
dengan sendirinya. Umumnya unit-unit sosial yang mempunyai kewenangan publik,
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
5
itu sudah memudar sehingga sebenarnya sekarang ini, persoalan hak masyarakat adat
ini lebih atau dalam situasi yang fragmented gitu, jadi yang dibutuhkan sekarang
adalah bagaimana pengakuan terhadap, misalnya penguasaan tanah berdasarkan adat,
soal religi, soal bahasa dan soal yang lain. Nah, dalam situasi yang seperti itu, maka
logika pengakuan subjek harus mendahului pengakuan objek hak itu, tidak memadai,
atau menjadi terlalu berat ya, menjadi seperti saya katakan tadi, bahwa banyak hak
masyarakat adat itu bersifat perdata, padahalkan subjeknya itu tadi bersifat yang diatur
selama ini mengasumsikan susunan masyarakat adat itu sebagai entitas politik.
3. Yang ketiga adalah RUU Masyarakat Hukum Adat ini, kami nilai juga terjebak pada
pemahaman bahwa masyarakat adat yang statis, jadi kalau kita lihat nanti di Pasal
atau Bab 3 misalnya, itu ada klausul yang menyatakan mengurus evaluasi. Jadi karena
pengertiannya masyarakat adat itu statis, masyarakat adat itu ada, kalau ada kriteria 1,
2, 3, 4, 5 dan di dalam perkembangannya kalau 1, 2, 3, 4, 5 itu berubah, bahkan
masyarakat adat itu hilang, dibubarkan dan lebih unik lagi tanah masyarakat adat itu
menjadi tanah negara. Nah, padahal perubahan kebudayaan, perubahan suatu susunan
masyarakat adat itu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Jadi seperti
saya katakan tadi, boleh jadi susunan masyarakat adat yang bersifat politiknya bubar,
tetapi unsur-unsur haknya tetap hidup, gitu. Jadi mungkin seperti orang kampung saya
sekarang di Sumatra Barat, sudah Islam semua misalnya, kemudian tapi adatnya tetap
ada. Nah, jadi ada logika yang statis ini yang tentu saja itu akan membahayakan,
situasi masyarakat adat pada umumnya, padahal sebenarnya perubahan tadi itu
merupakan keniscayaan, oleh sebab itu kalaupun suatu masyarakat adat sudah
berubah, di mana tanah-tanah komunal tidak lagi menjadi tanah komunal, sudah
menjadi tanah-tanah individual seharusnya itu di, di terima sebagai realitas sosial ya.
Tidak berarti kemudian karena masyarakat komunalnya sudah bubar, maka tanah itu
menjadi tanah negara. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri sudah memberikan
jalan, bahwa tanah-tanah yang tidak komunal lagi bisa menjadi tanah-tanah bersifat
individual. Nah, jadi RUU versi masyarakat adat ini, kami lihat sangat romantis begitu
ya, seolah-olah masyarakat adat itu tidak bisa berubah, padahal realitasnya berubah.
4. Yang keempat, oleh sebab, oleh karena logika berpikir dasarnya adalah seperti itu,
maka RUU ini berkutat pada masalah penetapan persyaratan dan mekanisme
pengetahuan. Pengakuan yang bermuara pada sistem kelembagaan yang super
subsentralistik, dan akhirnya membutuhkan biaya penyelenggaraan yang mahal, kalau
kita baca maka keberadaan masyarakat hukum adat itu diproses mulai dari tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, provinsi kemudian sampai pusat dan ditetapkan dengan
SK menteri, jadi kita bisa bayangkan betapa rumitnya menjadi masyarakat adat di
Indonesia ini dengan mekanisme seperti ini, padahal konstitusi kita sudah secara
nyata-nyata sebenarnya mengakui keberadaan masyarakat adat itu. Nah, ini yang
menurut kami, masalah yang paling mendasar yang dihadapi oleh RUU masyarakat
hukum adat versi DPR ini yang perlu kita cermati gitu.
Lima masalah tadi sebenarnya, bisa diatasi dengan cara berpikir yang berbeda. Lanjut.
Nah, untuk mengatasi masalah ini sebagaimana juga yang sudah kami sampaikan di dalam
menyusun RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat versi DPD, maka mengatasi 5 persoalan
tadi itu ada 4 arah pengaturan ke depan. Yang pertama adalah undang-undang yang
dimaksudkan untuk mengakui dan melindunga hak-hak masyarakat adat ke depan, perlu
mengadopsi terma baru, tadi saya katakan bahwa di Pasal 18b Ayat (2) kita bertemu dengan
terminologi kesatuan masyarakat hukum adat, atau disebut masyarakat hukum adat tetapi di
Pasal 28i Ayat (3) itu disebut sebagai masyarakat tradisional maka, berdasarkan beberapa
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
6
pertimbangan bahwa, baik kesatuan masyarakat hukum adat, maupun masyarakat adat,
maupun masyarakat tradisional di dalam konstitusi kita itu berdasarkan teknis penulisan
konstitusinya itu sebenarnya bersifat, atau dimaksudkan sebagai nama teknis. Nah, oleh sebab
itu di dalam pengaturan ke depan, untuk mencakup kedua terma yang bermakna teknis tadi,
itu bisa dinaungi dengan sebuah nomenklatur baru yang kami tawarkan yaitu, masyarakat
adat, jadi satu, terma masyarakat adat ini bisa menaungi 2 nama fungsi yang ada di konstitusi
dan disamping itu juga terma masyarakat hukum adat ini, juga mendapat aspirasi dari gerakan
masyarakat adat di negeri ini saat ini.
Jadi yang pertama kemudian adalah, ke depan kita perlu menyusun rencana undang-
undang yang terkait dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, jadi tidak
perlu lagi menggunakan terminologi masyarakat hukum adat. Yang kedua berangkat dari
kerumitan hubungan antara subjek dan objek hak, maka kami menyarankan perubahan
pandangan, yang semula berfokus kepada pengakuan subjek yaitu, menetapkan masyarakat
adat itu sendiri, menjadi berfokus kepada pengakuan objek, pengakuan objek hak-hak dari
masyarakat adat yang bersangkutan. Dengan sistem ini tentunya pengakuan subjek menyertai
karakter objek yang akan diakui, jadi artinya sebenarnya kalau kita mengakui objek
sebenarnya kita juga sekaligus telah terkandung di dalamnya sebuah pengakuan tentang
subjek itu sendiri. Yang ketiga mekanisme pengakuan dan perlindungan ke depan, hak
masyarakat adat yang bersifat publik dan ada yang bersifat privat. Nah, oleh sebab itu di
dalam pengaturan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat yang akan diakui itu,
bisa saja membutuhkan pengakuan-pengakuan subjek secara khusus dan objek yang berbeda-
beda. Nah, dengan pendekatan yang seperti ini maka, pada dasarnya kami tidak melihat
adanya sebuah kebutuhan kelembagaan yang khusus untuk mengatur pengakuan hak
masyarakat adat, tidak seperti yang ada di dalam RUU Masyarakat Hukum Adat versi DPR,
dimana mulai dari tingkat kabupaten, ada yang disebut panitia ya, panitia masyarakat adat di
kabupaten, ada panitia masyarakat adat di provinsi. Nah, ini yang akan menimbulkan proses-
proses kelembagaan yang rumit dan tentu saja juga akan membutuhkan biaya yang besar, dan
sebagaimana kita tahu dari media massa, justru hal ini menimbulkan keberatan dari pihak
Kementerian Dalam Negeri karena akan membebani anggaran negara. Nah, menurut kami
kalau RUU yang akan disusun itu ke depan lebih berfokus kepada pengakuan objek, maka
tidak diperlukan kelembagaan khusus itu, maka keberatan yang didasarkan kepada akan
munculnya beban anggaran negara yang membesar itu tidak atau menjadi tidak relevan.
Nah, itulah arah yang kami usulkan ke depan kelembagaan-kelembagaan seperti apa
yang dibutuhkan. Lanjut, ini lanjut saya, jadi ada beberapa masyarakat adat, nah dengan
catatan-catatan yang sudah saya sampaikan di atas maka, implikasi terhadap RUU
masyarakat adat versi DPR tahun 2018 adalah sebagai berikut.
1. Judul RUU harus dirubah menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan
Hak Masyarakat Adat. Jadi undang-undang yang kita butuhkan menurut pandangan
kami adalah Undang-Undang tentang Perlindungan Hak Masyarakat Adat, jadi bukan
soal penetapan, pengakuan karena pengakuan terhadap masyarakat adat itu sudah
terjadi secara dekralatif melalui konstitusi.
2. Bab I Ketentuan Umum, dengan demikian tentu perlu disesuaikan beberapa istilah
yang ada di bab itu. Bab II tentang Pengakuan menurut kami harus dihapus karena
tidak relevan karena kita tidak lagi berorientasi kepada pengakuan subjek dan Bab II
ini kami usulkan diganti atau ditambahkan Bab tentang Ruang Lingkup. Bab III
Evaluasi dihapus karena seperti saya katakan tadi, perubahan dari masyarakat adat
adalah keniscayaan, jadi tidak perlu dilakukan evaluasi terhadap penetapan yang
dilakukan itu.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
7
Bab IV Lembaga Adat, kami usul dihapus karena akan terakomodasi dengan
sendirinya dalam urusan perlindungan hak masyarakat adat, jadi kelembagaan adat
tentunya adalah salah satu hal yang akan dilindungi di dalam RUU tentang
Perlindungan Hak Masyarakat Adat itu. Bab V Hak dan Kewajiban, perlu disesuaikan
dengan pengaturan yang jelas. Bab yang mengatur tentang jenis-jenis hak yang diakui
dan bab yang mengatur proses pemajuan hak masyarakat adat. Jadi kalau kita cermati
RUU versi DPR ini, maka pengakuan hak masyarakat adatnya itu masih dekralatif,
tidak jelas mau diapakan pengakuannya itu. Jadi hanya dikatakan negara mengakui
ini, mengakui itu, tetapi bagaimana pengakuan itu diadministrasikan itu tidak jelas.
Nah, oleh sebab itu kami mengusulkan Bab V Hak dan Kewajiban itu perlu secara
tegas mengatur, pertama tentang jenis-jenis hak yang akan diakui, apa saja itu
disebutkan; dan kemudian bab yang mengatur proses pemajuan hak masyarakat adat.
Bab VI Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, dengan sendirinya disesuaikan
dengan pendekatan pemajuan hak yang meliputi pelestarian hak masyarakat adat,
pemberdayaan masyarakat adat, pengembangan hak masyarakat adat, dan
pemanfaatan hak masyarakat adat. Jadi tidak hanya pemberdayaan masyarakat adat,
tapi kita mengusulkan bab tentang pemajuan hak masyarakat adat. Bab VII Sistem
Informasi, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan tentunya. Bab VIII Tugas dan
Wewenang, tetap dengan penyesuaian yang dibutuhkan. Bab X Penyelesaian
Sengketa, tetap dengan penyesuaian. Bab XI Pendanaan, tetap dengan penyesuaian.
Bab XII Partisipasi Masyarakat, tetap dengan penyesuaian. Bab XIII Larangan, hapus
atau tetap dengan penyesuaian, ini masih di dalam perlu didiskusikan lebih lanjut.
Kalau di dalam versi DPD kita tidak menganut larangan, tapi lebih kepada
penganjuran peran dari pemerintah. Bab XIV Ketentuan Pidana, hapus atau tetap
dengan penyesuaian. Bab XV Ketentuan Peralihan, tetap dengan penyesuaian, dan
Bab XVI Ketentuan Penutup, tetap dengan penyesuaian.
Demikianlah Pak Ketua, beberapa pandangan dasar kami tentang keberadaan
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat versi DPR RI 2018 dan beberapa saran
yang diusulkan di dalam revisi. Kalau itu bisa dilakukan revisi terhadap draf itu, yang kami
usulkan berdasarkan kajian-kajian yang sudah kami lakukan dan juga rancangan RUU
Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang telah kami susun untuk DPD RI. Demikian dari
saya, mungkin nanti ada tambahan yang lebih detail dari beberapa teman tentang isu-isu
terkait. Demikian, Pak.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih Pak … (tidak jelas, red), ini sudah cukup lengkap gitu ya. Nanti para tim
ahli nanti dibikin itu ya. Ada yang mau menambahkan? Silakan, Bu, Pak, silakan aturlah
mana dulu aja.
PEMBICARA: IDHAM ARSYAD (TIM AHLI)
Terima kasih, Pak Pimpinan.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Sejatinya kalau kita memperhatikan RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang
disusun oleh DPD, itu sebenarnya kerangka berpikirnya adalah karena menemukan masalah-
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
8
masalah yang ada di dalam RUU versi DPR yang tadi telah dikemukakan secara jelas oleh
Pak Yando. Nah, saya dalam kesempatan ini memberikan beberapa catatan yang mungkin
nanti bisa diselaraskan dengan teman-teman tenaga ahli pada saat menyusun DIM.
1. Dari segi judul kita bisa maknai bahwa RUU versi DPR ini sesungguhnya
berkeinginan untuk mengatur segala hal terkait dengan masyarakat adat, dari judulnya
karena terlalu umum. Jadi dengan begitu, tentu ada banyak pertanyaan-pertanyaan
yang dikemukakan, misalnya bagaimana posisi ... (tidak jelas, red.) DPR ini terkait
dengan undang-undang sektoral yang sebelumnya sudah mengatur mengenai
masyarakat adat, apakah akan menggantikan atau seperti apa atau sebenarnya kita
membutuhkan suatu rancangan undang-undang atau pengaturan yang lebih
implementatif sebagai pengejawantahan dari mandat konstitusi yang saya kira itu, itu
yang ingin hendak diajukan oleh RUU yang disusun DPD.
2. Saya melihat bahwa kalau kita merujuk ke RUU Perlindungan yang disusun oleh
DPD, saya kira dasar menimbanya memang harus memasukan Pasal 33 Ayat (3) dan
Ayat (5). Mengapa itu penting? Karena, itu berkaitan tentang satu hak mendasar yang
harus diselaraskan dengan RUU DPR ini, yaitu mengenai pengaturan mengenai tanah
dan kekayaan alam, karena itu bagian hal penting di dalam masyarakat adat.
3. Seperti yang telah dikemukakan oleh Pak Yando tadi bahwa konstruksi hukum yang
dibangun mengenai pengakuan masyarakat adat yang diatur di dalam mulai dari Pasal
4 sampai 18, saya kira itu lebih ke arah pembentukan kelembagaan. Jadi ide dasarnya
itu soal diperlukannya Panitia Masyarakat Adat. Terkait dengan hal itu, maka saya
kira ada banyak catatan kritis yang mungkin masih kita bisa ajukan. Seperti yang telah
dikemukakan Pak Yando tadi, tentu dalam implementasinya ini akan menghambat dan
memperlambat proses pengakuan karena harus berbagai macam tingkatan pos
kelembagaan yang harus dibentuk, harus ada panitia kabupaten, mencari orangnya,
dan berbagai hal. Yang kedua tentu sudah tadi dijelaskan karena model kelembagaan
seperti itu maka pasti sangat birokratis dan panjang dan memerlukan biaya. Nah ini
sering mendapat kritikan dari pihak luar terkait dengan RUU yang dibangun oleh
DPR. Dan saya kira paling urgent juga, bahwa nanti pasti di lapangan pada saat
implementasi bisa jadi panitia ini akan ... (tidak jelas, red.) dengan masyarakat adat
karena mungkin dalam benturan kepentingan dan sebagainya. Jadi saya ada banyak
soal-soal yang kita akan hadapi ketika mengenai pengaturan masyarakat adat
dikonstruksikan seperti yang ada di dalam RUU DPR ini.
4. Yang keempat, seperti telah dijelaskan oleh Pak Yando, saya kira memang paling
bermasalah adalah karena adanya Bab III mengatur tentang evaluasi, yang secara
prinsip saya kira bertentangan dengan semangat konstitusi kita untuk pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat karena perlu dievaluasi setiap tahun.
5. Terus yang kelima, Bab IV tentang Perlindungan dan Bab V tentang Hak dan
Kewajiban, seperti yang telah dijelaskan oleh pemateri sebelumnya memang
nampaknya hanya bersifat dekralatif padahal kita sesungguhnya memerlukan suatu
pengaturan yang sudah implementatif, bagaimana pengaturan itu diatur, siapa
lembaga yang berwenang untuk mengakui dan bagaimana proses administrasinya.
Nah, saya kira catatan kelima ini telah dikonstruksikan oleh teman-teman di dalam
hak masyarakat adat di dalam RUU yang kita susun.
6. Nah yang terakhir, saya kira bab mengenai soal pemberdayaan saya kira perlu
diselaraskan dengan bab yang mengenai pemajuan hak masyarakat adat yang disusun
oleh DPD karena intinya kan sebenarnya bagaimana memberi suatu perhatian
terhadap masyarakat adat supaya bisa lebih berdaya, bisa lebih maju sehingga selaras
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
9
dengan atau sejajar dengan entitas-entitas masyarakat lain dalam konteks
menggunakan hak-hak.
Saya kira begitu, Pak Ketua, tambahan saya, dari RUU yang ada di tangan kita.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih, Pak... (tidak jelas, red.). Lanjut, iya.
PEMBICARA: Dr. KUNTHI (TIM AHLI)
Iya terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam sejahtera bagi kita semua.
Sebenarnya tadi apa yang dibicarakan oleh dua teman terdahulu itu sudah cukup
lengkap, hanya saya mau menggarisbawahi saja ada beberapa hal.
1. Adalah terkait dengan nomenklatur. Nomenklatur yang dipilih dalam rancangan
undang-undang ini adalah masyarakat hukum adat, tetapi kalau kita lihat di dalam
naskah akademik itu, ada muncul kata-kata masyarakat tradisional, jadi masyarakat
adat dan masyarakat tradisional. Maka, ini menjadi sangat penting ketika kita lihat
ternyata di dalam undang-undang tidak ada satu pun kata masyarakat tradisional. Jadi
apakah yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat itu sama dengan masyarakat
tradisional atau dibedakan? Nah ini yang tidak konsisten di antara naskah akademik
dengan rancangan undang-undang. Jadi itu catatan penting yang menurut saya
menjadi perhatian walaupun tadi dikatakan bahwa sebenarnya dari hasil yang
dilakukan dengan kajian di DPD, bahwa sebenarnya masyarakat hukum adat dan
masyarakat tradisional itu diganti dengan kata masyarakat adat. Jadi menurut saya itu,
yang ada di dalam rancangan undang-undang ini.
2. Soal ada kata-kata pengakuan dan perlindungan, tadi sudah dikatakan bahwa
pengakuan yang sedemikian pasal banyak sekali dengan proses yang panjang tadi
sudah dikatakan, dan ini menjadi sangat sulit ketika dia mau bicara perlindungan itu
hanya terjadi kalau sudah ada penetapan. Nah ini prosesnya tentu panjang, padahal
kebutuhan sekarang kalau dilihat dari kebutuhan yang urgensi itu adalah bagaimana
perlindungan masyarakat adat itu. Jadi kalau dengan proses yang dilakukan di dalam
draf yang ada, tentu akan memakan waktu dan biaya yang cukup panjang.
3. Yang selanjutnya, saya ingin menyampaikan soal asas ya. Ada beberapa asas yang
sebenarnya juga sangat penting untuk diletakkan di sana, yaitu soal rekognisi.
Mengapa rekognisi? Karena sebenarnya kalau dilihat dari draf yang ada di DPD itu,
bahwa pengakuan itu menjadi suatu asas yang sangat penting, tetapi tentu saja dia
adalah bagian dari perlindungan. Jadi di dalam perlindungan itu termasuk dari
pengakuan, jadi kalau kita melindungi berarti kita sudah mengakui. Jadi yang tadi
dikatakan bahwa pengakuan itu sudah secara dekralatif sebenarnya di dalam Undang-
Undang Dasar.
Ada beberapa hal yang saya mau sampaikan terkait dengan hak-hak masyarakat adat,
kalau dilihat dari hak-hak masyarakat adat yang secara detail itu hanya menyangkut wilayah
adat, sumber daya alam, pembangunan spiritual, dan kebudayaan lingkungan hidup. Yang
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
10
menjadi pertanyaan adalah tentu saja bagaimana dengan hak-hak yang lain? Tadi Pak Yando
sudah katakan bahwa ada peraturan lain, kemudian ada juga peraturan yang ... (tidak jelas,
red.) yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat. Nah ini bagaimana? Apakah dia tidak
turut diatur? Jadi kalau kita lihat bahwa pemikiran dari draf ini lebih pada bagaimana tentang
hak masyarakat, terutama terkait dengan wilayah dan sebagainya. Nah menurut saya bahwa
sangat penting hak-hak lain yang diatur, misalnya saja kita bisa lihat bahwa sampai saat ini
hak dari masyarakat terhadap perkawinan adat dan warisan, adat itu sama sekali belum diatur.
Jadi kita tidak punya pengaturan tentang itu, sekalipun ada Undang-Undang Perkawinan,
tetapi Undang-Undang Perkawinan tidak menyebutkan tentang masyarakat adat kalau dia
tidak beragama, yang 6 agama itu, jadi plus agama leluhur. Nah jadi menurut saya, bahwa
penting juga ada pengakuan terhadap hal-hal lain. Yang kedua, yang juga tidak diatur itu
adalah soal hak kekayaan intelektual tradisional yang di sini memang ada terkait dengan
pengetahuan tradisional, tetapi di dalam kenyataannya kita perlu memperhatikan hak
kekayaan intelektual tradisional yang semakin hari semakin meresahkan bagi masyarakat
adat. Lalu, kita juga bisa lihat bahwa memang ada hak-hak termasuk bagaimana dengan hak
pencarian, kesehatan, dan yang juga penting adalah dia terbebas dari segala tindakan dan
diskriminasi yang menjadi objek kekerasan. Jadi kalau kita lihat bahwa ada hak yang
mengatur secara umum, tetapi secara khusus sebenarnya hal tersebut masih terjadi bagi
masyarakat adat.
Nah, memang terkait dengan ada dicantumkan di sana soal kebudayaan, tapi penting
di dalam penjelasan tentang apa saja yang dimaksud dengan kebudayaan karena, kita juga
sudah punya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, jadi apa yang dimaksud dengan
kebudayaan di sini tentu perlu diperjelas lebih lanjut. Ada satu hal yang penting yang saya
temukan di sini adalah terkait dengan kompensasi, jadi ada satu di huruf Pasal 23 huruf d itu
bahwa ada kompensasi. Nah, ini menjadi menarik bahwa kalau memang ada kompensasi
bagaimana sebenarnya pengaturan tentang kompensasi karena kalau dilihat dari pasal yang
dianut itu lebih pada, ketika ada berkaitan dengan sumber daya alam. Jadi penting bagaimana
pengaturan tentang kompensasi itu kalau kita lihat dari draf... (tidak jelas, red.) sebenarnya
juga ada restitusi dan rehabilitasi, tapi ini perlu mendapat penjelasan karena jangan sampai
nanti di sini tercantum, tetapi pengaturan lebih lanjutnya tidak ada dan bagaimana
kesanggupan dari negara terhadap kompensasi itu. Iya saya pikir hal yang lain hampir sama
sudah disampaikan oleh teman-teman.
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Yang terakhir, Pak ... (tidak jelas, red.).
PEMBICARA: Dr. WIDODO (TIM AHLI)
Terima kasih, Pak Ketua.
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua.
Bapak dan Ibu sekalian yang kami hormati, melengkapi apa yang sudah disampaikan
oleh rekan-rekan tim ahli sebelumnya, terutama saya mengingatkan kembali bahwa seperti
yang disampaikan oleh surat DPR kepada DPD RI, berdasarkan Undang-Undang MD3 dan
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
11
tata tertib yang sekarang ada, paling tidak ada 3 hal yang menjadi kewenangan atau tanggung
jawab dari DPD untuk memberikan beberapa hal. Yang pertama tadi sudah disampaikan oleh
Pak Ketua terkait mengenai pandangan. Jadi sebenarnya ada 3 dokumen yang dimintakan
terkait mengenai hal itu:
1. Pandangan DPD seperti apa
2. Daftar inventarisasi masalah dan
3. Terkait mengenai pandangan mini akhir dari Dewan Perwakilan Daerah.
Dalam praktiknya, terkadang 3 dokumen ini dilengkapi menjadi satu kesatuan, tetapi
kemudian sebenarnya secara prosedural bisa disusun dalam 3 bagian yang terpisah.
Pandangan DPD itu berkaitan dengan terkait mengenai politik perundang-undangannya,
seperti apa DPD menanggapi terhadap RUU yang ada dan ini penting untuk kita susunkan
supaya paling tidak ada 2 hal yang mendapatkan catatan penting.
Yang pertama, tentu DPD ketika memberikan tanggapan hal tersebut harus
mendasarkan kepada aspek formilnya, Bapak, Ibu sekalian. Aspek formil dalam arti berarti
harus mendasarkan kepada program legislasi nasionalnya. Nah berdasarkan aspek program
legislasi nasional prioritas tahun 2018 di angka 24, tercatat bahwa judul RUU yang disusun
itu seharusnya di dalam long list-nya itu adalah masyarakat adat, tetapi di 2018 adalah
perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat. Ini perlu mendapat penekanan dari DPD
karena aspek syarat formil inilah yang menjadi dasar argumentasi kita ketika membangun
reasoning atau argumentasi hukumnya kepada DPR RI dalam menyusun tanggapan atau
pandangan tersebut. Jadi pendekatan yang disusun dalam politik perundang-undangan kita
adalah berdasarkan hak, sementara yang disusun berdasarkan subjeknya. Nah, tentu ini yang
menjadi alasan yang pertama sehingga kita dalam menyusun pandangan dan tanggapan
tersebut yang kemudian nanti diturunkan dalam dokumen-dokumen daftar inventarisasi
masalah dalam pasal perpasal atau ayat perayat akan lebih mudah untuk bisa diterima dan
dipahami.
Kemudian yang kedua, ketika kita sudah memahami bahwa di dalam aspek formilnya
adalah berdasarkan pendekatan hak tersebut, maka dari segi materilnya pun juga harus
menguraikan materi-materi, baik dari judul maupun batang tubuh yang ada di dalam
rancangan undang-undangnya harus terkait mengenai objeknya atau haknya, bukan malah
pendekatan kepada subjeknya, ini yang mendapat penekanan kedua dari aspek materilnya dan
tadi sudah disampaikan oleh rekan-rekan tim ahli sebelumnya, hal-hal apa saja yang
kemudian menjadi anatasi dalam catatan dari materi muatan rancangan tersebut.
Dan yang ketiga, memang saya perhatikan juga di draf rancangan yang ada,
pendekatannya dari mulai judul maupun kepada subtansi penutup kepada pendekatan 18b,
yaitu masyarakat hukum adat yang lebih menekankan karena ketika posisi 18b ini berada
dalam aspek pemerintahan daerah. Karena itu, wajar kalau kemudian kita lihat di Pasal 1
RUU-nya yang diusulkan oleh pengusul DPR RI, dalam hal ini menterinya adalah Menteri
Dalam Negeri. Nah ini sehingga pendekatan paradigmanya 18b ini berarti kan otonomi
daerah, sementara subtansi yang berkaitan dengan 18b ini masih ada 1 lagi, yaitu kaitannya
dalam pendekatan hak asasi manusia, yaitu 28i. Sehingga kalau kita mau konsisten dari mulai
aspek formil kemudian materil, maka 18b harus juga dikaitkan dengan 28i yang tadi juga
sudah diuraikan dan sudah menjadi materi muatan dalam RUU yang diusulkan oleh DPD.
Sehingga itu yang menjadi konstruksi cara berpikir DPD, nanti ketika memberikan
pandangan maupun daftar inventarisasi terhadap rancangan undang-undang yang diajukan
oleh DPR RI.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
12
Yang ketiga mungkin perlu juga mendapat, saya sarankan juga ada terkait berkaitan
dengan sinergitas dari Rancangan Undang-Undang yang ada karena RUU itu berasal dari
DPR maka sesuai dengan undang MD3 maka DPD akan membuat, selain pandangan adalah
daftar inventarisasi masalah. Dalam menyusun inventarisasi masalah ini tadi beberapa
catatan-catatan formil, maupun materil yang sudah di sampai tadi baik itu menyangkut
substansi judul, maupun substansi materi muatan hendaknya juga kita berikan dalam
pandangan DPD terkait dengan usulan untuk penyusunan rekontruksi kembali pak Ketua,
atau penyusunan ulang dari pihak DPD maupun DPR atau dengan pihak Pemerintah sehingga
RUU yang sesuai dengan secara formil maupun materiil dan sesuai dengan semangat aspirasi
yang ada bisa disempurnakan begitu, ini juga harus menjadi catatan di dalam pandangan
kelembagaan DPD.
Yang terakhir adalah perlunya komunikasi dan koordinasi politik antar kelembagaan
antara lembaga DPD, DPR dan mungkin Presiden nanti dalam menyusunan Rancangan
Undang-Undang dalam ini. Itu yang mungkin beberapa pokok-pokok catatan mungkin saya
sempurnakan, tambahkan dari rekan-rekan sekalian karena ini yang menjadi politik
perundang-undangan tanggapan dari DPD terhadap RUU yang ada. Adapun ketentuan-
ketentuan timnya itu nanti kan tentu akan mengikuti dari lembaran politik pandangan DPD
ini sehingga DIM yang akan di susun itu akan lebih mudah di pahami sebagai materi
pelengkap terhadap apa yang menjadi kebijakan hukum. Apalagi tadi sudah disampaikan oleh
Pak Ketua bahwa ini bukan, walaupun cuma membantu menyusun Komite I tetapi pada
prinsipnya nanti akan, untuk atas nama lembaga DPD sehingga sebagai kelembagaan negara
dia akan mempunyai dokumen politik kebijakannya seperti apa, yang tadi sudah di
sampaikan di prolognya kemudian di turunkan dalam nota catatan daftar inventarisasi
masalah dalam masing-masing pasal dan ayat sehingga akan lebih mudah ketika dalam proses
pembahasan di Pansus Rancangan Undang-Undang tentang masyarakat, hak masyarakat adat
ini sendiri. Ini mungkin yang saya tambahkan dari rekan-rekan sekalian supaya nanti ketika
kita menyusun atau membahas Rancangan Undang-Undang ini ada alur yang bisa di pahami
sebagai sebuah listening atau sebuah argumentasi pun bahwa proses tanggapan yang diajukan
oleh DPD itu lebih rasional karena berdasarkan dari Prolegnas sampai dengan materi muatan
yang ada dalam konstitusi.
Terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Jadi empat-empatnya sudah sampaikan tentang ini masalah yang sedang kita bahas,
tapi ujungnya memang bagaimana upaya kita mendapatkan suatu Undang-Undang yang
memenuhi asas yang baik, yang bermanfaat yaitu social engineering-nya memenuhi. Jadi ini
barangkali bagi kawan-kawan anggota yang mau menyampaikan masalah kecuali DKI tidak
ada, DKI mewakili. Silakan kalau ada yang mau menyampaikan. Ini sudah hadir delapan,
lengkap ya, ini tim-tim sudah lengkap semua. Pak Lahabato, Pak Yanes, Ibu Juni sudah hadir,
dan tambah Pak baru datang dari DKI itu, mewakili. Ada yang mau disampaikan.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
13
PEMBICARA:
Baik terima kasih Pimpinan.
Teman-teman Tim Ahli yang saya hormati.
Ini karena masuk reses jadi lagi konsentrasi untuk pemilihan Ketua Pak jadi banyak
teman-teman saya ketemu di luar, tapi konsulidasi kayaknya mohon di maklumi banyak yang
terlambat, tetapi saya kira Undang-Undang ini juga penting menjadi tanggung jawab kita.
Saya hanya mendengar dua teman menyampaikan yang (kurang jelas red.) belum mendengar,
tapi yang pertama usul konkrit bahwa mengenai judul dari Ibu Dr. Kuntiah menyampaikan
dengan jelas bahwa sudah melindungi itu sama dengan sudah mengakui. Jadi judul kita harus
tegas hapus dan kita perbaiki bahwa itu RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat itu saja,
atau ada tambah-tambah lagi kalau saya kira paling singkat demikian.
Yang kedua saya kira juga tadi mendengar bahwa ada soal-soal hak intelektual
masyarakat tradisional, masyarakat adat sebenarnya ini sudah ada RUU yang juga dikerjakan
dalam semutan ini dengan waktu yang sama dengan Komite III tentang perlindungan hak
intelektual itu tentu sudah menyangkut seluruhnya apakah kita perlu mengadopsi yang ada di
kamar sebelah itu, atau kita pertegas lagi juga ini bahwa, itu yang sering terlupakan juga dan
menjadi sengketa kasus kita lihat saja kalau soal tarian, soal baju adat, tenunan dan
seluruhnya itu menjadi persoalan dan ini penting bagi saya itu perlu digaris bawahi.
Yang ketiga, yang terakhir barangkali soal pelaksanaannya nanti di daerah itu perlu di
pertegas juga apakah RUU ini nanti implementasinya sampai ke tingkat daerah itu tadi
disarankan mau di bawah Mendagri, bagaimana implementasinya nanti di daerah karena
kasus-kasus seperti adat dan hak ulayat ini memang yang sering terjadi di daerah. Bagaimana
solusi atau saran kita kepada DPR nanti ini lebih tegas yang rana, atau nuansanya lebih
berpihak kepada perwakilan kita sebagai perwakilan daerah itu yang mungkin perlu di
tegaskan atau mungkin ada tanggapan dari teman-teman lainnya.
Terima kasih sementara itu Pak Pimpinan.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
... (kurang jelas red.) dari NTT. Ada yang lain, sampaikan, Pak Idris.
PEMBICARA : Drs. H. MUHAMMAD IDRIS S. (KALTIM)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pimpinan yang kami hormati. Para narasumber yang kami hormati, pula teman-teman
Komite I DPD RI yang berbahagia.
Saya ada beberapa, ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Secara umum tadi sudah
banyak kejelasan dan penjelasan yang disampaikan oleh para narasumber. Pertama mengenai
judul Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat sementara
yang muncul sekarang ini adalah masalah Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum
Adat. Perlu kami sampaikan di forum ini bahwa sudah pernah dilaksanakan apa namanya uji
sahih di tiga wilayah timur, tengah, dengan barat dan yang di bawah saat itu adalah
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat baik di Maluku,
di Kalimantan Timur, maupun di Jambi jadi kalimat ini sudah banyak tersebar di seluruh
nusantara ini. Tanpa mengurangi makna yang disampaikan tadi oleh para narasumber juga ini
nama pernah juga kita bahasa atau kita mendapatkan reprensi dari apa, di luar negeri di
Finlandia. Di Finlandia juga Pak itu memakai, ada pengakuan dan perlindungan Masyarakat
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
14
Sami. Sekalipun keinginan Masyarakat Sami itu jauh dari apa yang diharapkan, diakui tapi di
lindungi kurang apalagi diberi haknya. Jangan-jangan di Indonesia ini telah disahkan juga
masyarakat hukum adat ini juga mengalami nasib yang seperti itu, mudah-mudahan tidak.
Saya sampaikan Pak Pimpinan dan hadirin sekalian bahwa khusus di Kalimantan Timur itu
ada lima Pak, kemarin kami sudah datangi empat yakni Kesultanan Kutai itu Kesultanan yang
tertua di seluruh Indonesia. Ini juga identik sekali dengan hukum adat yang ada di sana.
Kemudian ada Kesultanan Gurun Tabur juga seperti itu, ada Kesultanan Tanah Pasir
Nasional, kemudian ada Kesultanan Bulungan. Kenapa saya datang ini tidak lain untuk
mendapatkan informasi bahwa telah dilaksanakan uji sahih di Indonesia ini tentang Rancang
Undang-Undang Masyarakat Adat selain itu juga Pak, perlu saya sampaikan bahwa baik dari
Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota ini sangat hati-hati sekali. Tadi di
sampaikan bahwa kenapa harus hati-hati, karena ada keterkaitan dengan Menteri Tata Ruang
dan Pertanahan berkenaan dengan hak ulayatnya. Nah ini kerajaan dan kesultanan ini
mengakui sekian luasnya, tapi tidak punya pengakuan secara nasional, atau tidak di sertifikasi
ini haknya. Saya malah serahkan dialog ini agak sedikit panjang, saya adakan dialog.
Bagaimana kalau Bapak mengakui sekian ribu hektar tapi Bapak tidak punya sertifikat. Mana
pilih Bapak di kasih 10 hektar barangkali misalnya, tapi dikasih sertifikat jelas ini silakan
mau ditanami, apakah barangkali ada maknanya ini pada umumnya kepingin seperti itu, ada
kalaupun dikurangi haknya tapi ada pengakuan negara ini jadi tidak berada, membentuk
negara di atas negara jadi hukum di atas hukum jadi bagaimana pun juga ada hukum nasional
kita ini seperti yang dibuktikan selama ini kalau kepemilikan itu harus ada sertifikatnya
demikian juga dengan hukum-hukum hutan ya ini Menteri Kehutanan dan lingkungan hidup
ini jangan jangan nanti di berebut kekuasaan ujung-ujungnya di korbankan lagi-lagi
masyarakat yang.. ya masyarakat adat itu. Itu yang kedua yang ketiga saya perlu ditegaskan
pada Bapak Bapak Ibu semua kalaupun ini dipaksakan saya di luar dari itu, agama itu pak ini
yang kedua kalinya singgung, agama itu yang jelas siapa nabinya? Kitab apa kitabnya?
Ajarannya seperti apa? Sementara yang kita inginkan ini adalah pengakuan ini ada
kecenderungan terhadap kebudayaan jadi saya lebih condong seperti yang ditawarkan
pertemuan semula bahwa itu ada kemungkinan apa kita gunakan keimanan atau kah kita
gunakan kepercayaan ya kepercayaan leluhur atau keimanan leluhur asal jangan memakai ke
agama, agama leluhur karena susah dipertanggungjawabkan Pak kalau memakai agama
leluhur, ya ini ini kalaupun dipaksakan harus agama leluhur Pak karena ini saya sudah
ngomong dulu ini tapi masih muncul juga di sini jadi DPD RI saya ya kebetulan Pak, maaf
maaf kata kalau ini muncul lagi di sini ya saya tidak akan merekomendasikan dan saya akan
terlepas dari apa yang kita bicarakan dalam masalah-masalah hukum adat ini karena ini
menyangkut masalah agama iya, nantinya akan dijadikan pedomani oleh masyarakat se
Indonesia ini kita terkait ada di dalamnya jadi saya lagi condong seperti yang diusulkan dulu
ya kita memakai kepercayaan atau memakai spiritual, silakan spiritual itu memang ya
tergantung dari spiritualnya tapi jangan memakai agama sekalipun dulu dibahas bahwa
agama itu adalah bukan bahasa dikatakan bukan bahasa ehhh apa.. Alquran ya tapi tidak bisa
juga dipisahkan karena agama itu yang identik kalau kami Islam, ya agama itu ya agama
Islam yang muncul dengan berbahasa Arab tidak bisa dipisahkan Pak, saya kira demikian
kurang lebihnya mohon di maaf karena ini di bulan suci Ramadan kita tidak bermaksud untuk
buat hati kita ini tidak tidak senang yang penting kita justru kita bersenang-senang dia bulan
suci Ramadan ini, supaya apa yang kita bahas ini akan memberi makna secara lahir dan batin
ke depan demi negara kesatuan Republik Indonesia tercinta kurang lebihnya mohon di maaf.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
15
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Terima kasih, Pak Kiai, tapi saya pikir yang terakhir itu memang perlu dipegang dulu.
Pernah kita bahas soal agama itu sangat sensitif itu, jadi tidak masuk keyakinan apa
kepercayaan spritual penghormatan terhadap kepercayaan leluhur kita, tapi tidak sampai
menyinggung soal agama itu.
Ada yang lain silakan? jadi kalau tidak ada, saya pikir ini lah ya jadi apa-apa saya
sampaikan nanti dirangkum tapi hal-hal yang seperti disampaikan oleh Bapak Bapak tadi itu
sebenarnya sudah mencakup semua, cuma pengayaannya agar tercapai undang-undang nih
bukan nambah masalah gitu, tapi benar-benar memenuhi asas social engineering rekayasa
sosial untuk bagaimana ujungnya tuh ada mensejahterakan masyarakat itu, itu ujungnya di
situ, bukan kita misalnya mau bikin suatu undang-undang tau tau merepotkan justru rakyat
jadi serba susah ya, jadi apa yang disampaikan pak Abraham semuanya tuh tolong
diperhatikan semua ya, jadi pandangan daftar inventaris masalah DIM itu kemudian
pandangan akhir kita nanti disusul betul-betul supaya memang dari undang-undang yang
diketok itu, memenuhi apa yang kita kita Arahkan supaya bener-bener social engineering
rekayasa sosial azasnya terpenuhi, jadi tidak merepokan seperti misalnya soal pengakuan
atau penga kuan perlindungan sebenarnya kalau perlindungan itu sudah ngaku betul tuh
sudah tidak bisa panjang-panjang cerita perlindungan, perlindungan saja, perlindungan
masyarakat adat, gak usah di sebut hukum lagi, jadi seperti itu, tapi perlu kajian-kajian jadi
saya pikir, memang seperti ini tidak main-main ya, jadi hal-hal yang kita sampaikan kepada
pihak 73.43
Sebelah itu bagaimana kita mampu meyakinkan para pihak, jadi cara me nyampaiya
cara ininya tuh bener-bener membuat orang terpukau itu dengan kata-kata supaya orang itu
menangkap dan memahami itu ya, apa yang disampaikan Pak Kaltim tadi Pak Kyai kita
bahas jangan sampai timbul lagi, kadang-kadang waktu pencetakan. Ada yang lain? Pak mau
menyampaikan, silahkan? Tidak ada? Jadi kalau ndak ada lagi saya pikir, ada tambahan Pak?
Cukup? Cukup? Nah Pak silakan.
PEMBICARA: BENNY RAMDHANI (WAKIL KETUA KOMITE I DPD RI)
… (Tidak menggunakan mic, red.) Naskah akademiknya DPR ya, penetapan ini badan
atau lembaga apa nanti? yang mengurus penetapan itu prosesnya bagaimana? Syarat-syarat
apa yang harus dipenuhi, kemudian berapa lama, ya kan? Padahal perintah konstitusi itu
sudah sangat saklek, untuk memberikan pengakuan. Nah kita punya pandangan apa nih
terhadap masalah ini, kalau penetapan misalnya badan atau konstitusi apa? Nanti akan
dibentuk, prosesnya bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi juga berapa lama? Dalam
pandangan kita ya pandangan DPD, silakan Pak?
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Ya silakan.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
16
PEMBICARA: NARA SUMBER
Ya terima kasih. Saya mungkin meresponnya dengan apa yang sudah kita sepakati di
dalam proses penyusunan RUU versi DPD ya pak ya, jadi dengan proses yang sudah kita
lewati maka, judul yang kita sepakati pada saat itu adalah perlindungan hak masyarakat adat,
nah mengapa tidak perlu lagi pengakuan, karena ada persoalannya, pertama Pengakuan itu ini
hasil diskusi kami juga dengan tim ahli di PUU bahwa pengakuan itu sudah clear di di
konstitusinya nah ketika itu harus diatur lagi maka kita akan terperangkap dengan soal-soal
yang selama ini kriteria mekanisme dan lain sebagainya gitu, nah dengan pertimbangan
bahwa..apa namanya..dan juga merujuk kepada prolegnasnya sebenarnya yang dIbutuhkan
kemudian adalah bagaimana perlindungan hak masyarakat adat itu sendiri jadi tidak lagi
berurusan dengan persoalan pengakuan keberadaan subjek atau masyarakat hukum adat
karena kalau ketika kita kaitkan hak masyarakat adat itu maka kita akan berhadapan dengan
subject subject masyarakat hukum adat yang beragam, ya jadi misalnya dari contoh tanah,
seperti Bapak katakan tadi pertanyaannya kan adalah apakah Kesultanan itu adalah subjek
atas tanah adat? Baik secara akademik maupun juga secara politik dan kemudian itu
dituangkan ke dalam RUU kita Kesultanan bukanlah susunan masyarakat hukum adat, jadi
Kesultanan tidak termasuk susunan masyarakat adat. Oleh sebab itu tanah kesultanan bukan
tanah adat itu tanah negara itu, negara kerajaan itu maksudnya, negara kesultanan itu jadi itu
berbeda itu kesepakatan yang sudah diambil jadi perlindungan nah terkait dengan pertanyaan
Bapak terakhir masyarakat adat atau masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional?
Konstitusi kita menyebut 2, masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional, 2
istilah ini sebenarnya serupa tapi tak sama pak, jadi masyarakat tradisional dengan
masyarakat hukum adat itu menunjukkan apa namanya sifat-sifat kehidupan sosial yang sama
berbedanya adalah kita bicara masyarakat hukum adat kita bicara tentang satu kesatuan ada
kepengurusan politik yang yang satu, contoh yang paling gampang begini, kalau kita bicara
kita bicara diskusikan masyarakat Minangkabau atau masyarakat Batak atau orang Banjar itu
bisa kita katakan sebagai masyarakat tradisional tapi apakah Banjar masyarakat Minangkabau
atau Batak apakah dia masyarakat hukum adat? Tidak? Masyarakat hukum adatnya di mana?
Kalau di Minangkabau, masyarakat hukum adatnya itu ada yang disebut nagari atau kaum
atau suku, itu bedanya. Di Batak juga begitu, apakah Batak Toba sebuah masyarakat hukum
adat? Apakah masyarakat Toba, Batak Toba bukan masyarakat tradisional ya, tapi apakah dia
masyarakat hukum adat? Tidak? Masyarakat adatnya di mana? Masyarakat hukum adat nya
di mana? Di Toba? Bisa bius bisa huta bisa marga, nah jadi subjek masyarakat hukum ini
beragam. Oleh sebab itu, pengakuan subjek itu menjadi problematik dan tidak diperlukan,
nah mangkanya kami menawarkan undang-undang yaitu lebih baik pengakuan haknya,
haknya apa? Hak politik? Ok, hak politik di mana? Hak politik sudah selesai dengan Pasal
apa namanya? Diatur sebagai Desa Adat didalam Undang-Undang Desa.
Itulah cara mengakui hak masyarakat adat dalam politik. Itu kemungkinan
pertamanya itu, ada kemungkinan ke dua melalui Pasal 18B Ayat 1 Daerah Istimewa menjadi
Daerah Istimewa Aceh atau Papua dan seterusnya tetapi atau yang kedua adalah menjadi
Desa Adat. Jadi, nagari itu desa, jadi, nagari, jadi, Desa Adat atau kenegerian di Maluku bisa
jadi Desa Adat atau bius atau hutan di Batak, Toba bisa jadi desa. Nah, jadi, setiap, setiap hak
itu subyek beda-beda.
Nah, tanah bagaimana tanah? Di Sumatera Barat, di Minangkabau bisa nagari subyek
tanahnya tapi bisa juga kaum dan seterusnya, ya. Jadi, jawaban sederhananya begitu pak,
bahwa masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional itu sama tapi bedanya masyarakat
hukm adat itu ada satu, satu pengurusan politik lokalnya sedangkan masyarakat tradisional
hanya kriteria yang lebih global.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
17
Nah, mengapa tidak masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional yang
menjadi judul undang-undang kita. Nah, menurut ilmu perundang-undangannya yang disebut
dengan Masyarakat hukum adat atau masyarakat tradisional didalam konkstitusi kita itu
ditulis dengan hurup kecil semuanya. Itu mengisyaratkan dia itu nama fungsi bukan
nomenklatur.
Nah, didalam penyususan ini kemudian dengan argumentasi, yang, yang saya
sampaikan tadi maka nomenklatur masyarakat adat dihidupkan sebagai untuk menaungi
fungsi masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional.
Jadi, waktu itu kita diskusinya seperti Bank Central. Bank Central itu nama fungsi
tapi kemudian ada yang namanya Bank Indonesia sebagai nomenklatur. Jadi, itu kira-kira
dananya gitu. Nah, oleh sebab itu undang-undang kita sebagaimana kita sepakati didalam
pleno tentang ini adalah judulnya Rencana Undang-Undang Perlindungan Hak Masyarakat
Adat.
Yang kedua, tentang kelembagaan ini yang membedakan sekali persi DPD dengan
persi DPR. Karena kita berorentasi kepada pengakuan hak maka pengakuan hak itu sudah
dilakukan oleh kementrian tekhnis tanah yang akan berhubugan dengan BPN. Soal
kepercayaan tadi berhubungan dengan kemendagri intelektual, kekayaan intelektual dengan
Kemenhum (HAM).
Susah sekali hak-hak itu berhubungan dengan kementerian tehknis, nah, tapi dalam
undang-undang kita persi DPD. Kita mengusulkan, memerintahkan presiden menunjuk salah
satu menteri koordinasinya bertanggung jawab keapada pelaksanaan undang-undang.
Jadi, tidak ada kelembagaan baru praktis tidak ada kelembagaan baru, nah . oleh
sebab itu juga RUU perlindungan hak masyarakat adat persi DPD juga tidak membutuhkan
atau tidak memiliki implikasi anggaran yang besar disbanding dengan persi DPR ini. Karena
aka nada panitia mulai dari pusat sampai kebawah.
Keputusan-keputuan tentang pengakuan haknya itupun terdistrIbusi, kalau tanah itu
akan diverifikasi oleh BPN kalau intelektual kekayaan intelektual oleh Kemenhumham, jadi,
tergantung kepada hak-haknya itu. Jadi tidak terpusat sepertinya versi DPR yangs emua
terpusat kepada tanda tangannya seorang menteri dengan proses dari bawah dulu. Itu yang
kedua menurut saya implikasi yang berbeda menurut saya persi DPR dengan persi DPD.
Ya, soal agama sudah selesai pleno yang lalu pak yang disepakati adalah spritualitas,
ya, jadi, itu yang dipersentasi saya itu salah ketik. Jadi, didraft sudah tidak ada agama leluhur
lagi. Maaf, mohon maaf.
Ya, mungin itu pak tanggapan tiga hal yang menurut saya pertanyaan yang sekaligus
saya mengingatkan Bapak-Bapak Ibu dan Ibu semua bahwa hal-hal yang ditanya itu sudah
kita sepakati didalam format RUU persi DPD.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Iya, tugas kita yang disampaikan kami, kita memang kita tugas kita mengaman supaya
memang prodak yang dihasil ini benar-benar sesuai arah itu. masuk misalnya masalah apakah
agama atau tradisional atau apakah pengakuan atau perlindungan. Itu semuanya diteliti
supaya bahasanya singkat tapi mengandung makna yang dalam gitu, ya. tapi ini kemudian
nantinya apa yang disampaikan oleh Bapak-Bapak ini dan Ibu, ya ditambah dari para senator
ini, jadi, nantinya pandangan-pandangan ini terkumpul semua. Kemudian nanti data
inventarisas masalahnya itu dari tim ahli, ya.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
18
Kemudian nanti waktu pendapat akhirnya itu yang perlu hati-hati juga supaya
arahannya kemudian kalau memang terjadi penyimpangan orang tahu bahwa arah kita kesini.
Ini jangan sampai kita ikut disalah jugakan sebagaimana kita berkeinginan bahwa undang-
undang ini benar-benar tadi memenuhi asas sosial … (kurang jelas, red.) sekali. Jadi, ini ada
hal-hal lain yang ingin disampaikan? cukup, cukup, ya. karena bulan Ramadhan panjang-
panjang juga susah, ya… (tidak jelas, red.)
PEMBICARA :
Saya ingin, sebenarnya tadi ada dicatatan saya berkaitan dengan BAB III yaitu naskah
akademik, ya terkait dengan naskah akademik. Terkait dengan naskah akademik juga karena
usulan-usulan yang disampaikan oleh DPR itu juga ada beberapa aturan yang sebenarnya
harus ditambah. Ditambah lagi kalau usulannya dengan paradigma DPD maka beberapa
peraturan harus masuk didalam apa? BAB III itu, itu saja tambahannya. Dan beberapa catatan
sebenarnya sudah ada dinaskah akademik yang dikeluarkan oleh DPD. Jadi, nanti tinggal
diusulkan saja.
Terima kasih.
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Jadi, saya pikir tim ahli Komite, ya, oke yang mengangkat itu, merancang semua tapi
disampaikan para ahli RUU ini. Dia cukup jelas, padat kemudian menyentuh karena tujuan
kita pada ujungnya itu, ya, undang-undang itu terbit berdasarkan mitra kita yang kita
sepakati, itu, ya.
Jadi, hal-hal mudah-mudahan tapi kadang-kadang kita salah tulis, ya, yaitu harus kita
perhatikan juga, jadi, soal agama itu sudah diputuskan tapi ternyata masuk lagi. Saya pikir ini
tidak ada lagi pak !
PEMBICARA :
Kapan dibahas dengan DPR pak?
PIMPINAN RAPAT: Drs. H. A. HUDARNI RANI, S.H. (WAKIL KETUA KOMITE I
DPD RI)
Dibahas ke DPR sudah masuk ketingkat Pansus pak, sudah masuk Pansus. Nanti
mereka akan membahas nanti mereka akan memanggil kita, mengundang kita makanya itu
kira harus siap-siap waktu diundang kita harus siap dulu. Semuanya kita siapin semua
skenarionya bagaimanapun supaya tujuan kita undang-undang ini benar-benar dapat
memenuhi tujuannya seperti itu, ya.
Ada lagi lagi hadirin Pak Abraham kita siapkan itu, ya. kalau tidak ada lagi kita akan
tutup pertemuan ini, ya, alhamdulillah bulan puasa ini. Pak Yando mau pulang ke Jogja, ya?
ya silakan aja pulang, ya.
Pak Labato nanti aja, ya, pulangnya ke Maluku itu, ya, Bu Yuni sehat-sehat. Ini kalau
tidak ada saya mohon izin untuk menutup pertemuan ini.
RDPU KOMITE I DPD RI MS I TS 2017-2018
SENIN, 28 MEI 2018
19
Dengan terima kasih atas semuanya dan mohon, endak ini sama senior-senior saya
minta ijin. Jadi, kemudian kita sudah bahas semua. Saya minta dirangkum semua itu semua
dicatat itu, ya kemudian itu akan jadi bahan.
Tahap akhir kita akan memberi suatu pandangan akhir itu kalau bisa semuanya diberi
masukkan supaya ada keliru-keliru ketik misalnya, ya, seperti keliru ketik itu dapat kita
cegah.
Demikianlah Bapak/Ibu sekalian dan atas kita semua makanya acara ini kita tutup
sampai disini.
Terima kasih.
KETOK 1X
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
RAPAT DITUTUP PUKUL 12.20 WIB