SARI PUSTAKA
DIAGNOSTIK NONINVASIF PADA
PENYAKIT ARTERI PERIFER
Oleh : dr. TEUKU BOB HAYKAL NIK : 198507202012121001
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT HAJI ADAM MALIK
2018
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Penyakit arteri perifer merupakan stenosis, oklusi, atau dilatasi aneurisma
aorta dan cabang-cabang pembuluh darah non-koroner serta non-intrakranial lain
yang bersifat progresif. Evaluasi pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer
dimulai dari riwayat gejala dan pemeriksaan fisik.Gejala klinis penyakit arteri
perifer yang paling utama yaitu klaudikasio intermiten dan nyeri saat
istirahat.Pemeriksaan noninvasif vaskular dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis PAD pada pasien dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas,
menilai keparahan dan lokasi sumbatan, mengetahui progresifitas penyakit dan
respon terhadap pengobatan, dan pemantauansetelah tindakan revaskularisasi.
Saat ini pemerikasaan noninvasif dengan teknik pencitraan telah menawarkan
alternatif yang sangat baik, sedangkan pemeriksaan invasif angiografi dilakukan
khusus pada pasien yang akan dilakukan tindakan intervensi.Kemampuan seorang
klinisi dalam menegakkan diagnosis dan memilih modalitas pemeriksaan yang
tepat dan cepat penting dalam menentukan langkah selanjutnya.
Kata kunci: Diagnostik non invasive, Penyakit arteri perifer, ABI
Universitas Sumatera Utara
DIAGNOSTIK NONINVASIF PADA PENYAKIT ARTERI PERIFER
PENDAHULUAN
Penyakit arteri perifer secara umum didefinisikan sebagai obstruksi parsial
ataupun total pada satu atau lebih arteri perifer akibat aterosklerosis. Penyakit ini
merupakan suatu manifestasi aterosklerosis sistemik yang sering bersamaan
dengan penyakit arteri koroner dan karotid.Hal ini menyebabkan pasien dengan
penyakit arteri perifer berada pada risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular,
termasuk infark miokard, stroke iskemik, dan kematian. Penyakit arteri perifer ini
biasanya ditandai dengan keluhan nyeri pada kaki ketika berjalan beberapa meter.1
Penyakit arteri perifer aterosklerotik merupakan stenosis, oklusi, atau
dilatasi aneurisma aorta dan cabang-cabang pembuluh darah non-koroner serta
non-intrakranial lain yang bersifat progresif.2 Penyakit arteri perifer ini juga
merupakan manifestasi aterosklerosis yang paling sering terlambat diketahui.3
Gangguan dan penurunan aliran darah arteri menyebabkan gejala yang disebut
klaudikasio, nyeri pada tungkai dan kaki, kehilangan jaringan, ulkus atau luka
yang tidak sembuh, infeksi, gangrene, dan kehilangan fungsi anggota gerak.
Banyak pasien dengan penyakit arteri perifer mengalami depresi, penurunan
kualitas hidup, dan risiko kejadian kardiovaskular yang lebih tinggi.2 Angka
kejadian non-fatal kardiovaskular dalam 5 tahun, termasuk infark miokard dan
stroke, pada pasien-pasien dengan penyakit arteri perifer simptomatik yaitu sekitar
20%, dan angka mortalitas dalam 5 tahun sekitar 15% – 30%.4
Suatu studi epidemiologi memperkirakan sekitar 7,1 juta orang di Amerika
menderita penyakit arteri perifer. Dari 7.458 partisipan usia 40 tahun ke atas dari
tahun 1999 hingga 2004, National Health and Nutrition Examination Survey
(NHANES) mendapati prevalensi penyakit arteri perifer sebesar 5,9%.5
Disamping cukup banyak dijumpai serta populasi pasien yang dapat diprediksi,
masih banyak dokter jantung yang tidak melakukan evaluasi klinis mengenai
penyakit arteri perifer ini.
Universitas Sumatera Utara
The Walking and Leg Circulation Study menemukan bahwa 48,3% pasien-
pasien dengan ABI di bawah 0,9 ternyata tidak memiliki gejala / asimptomatik
atau memiliki gejala yang tidak khas.2 Karena bersifat asimptomatik ini, banyak
yang menganjurkan untuk dilakukan skrining penyakit arteri perifer. The Trans-
Atlantic Inter-Society Consensus Document (TASC) II mengenai penanganan
penyakit arteri perifer, menganjurkan agar dilakukannya skrining penyakit arteri
perifer pada pasien-pasien yang memiliki keluhan nyeri tungkai dan kaki saat
aktivitas, usia 50 – 69 tahun dengan faktor risiko kardiovaskular, semua pasien
usia 70 tahun atau lebih, atau pasien dengan Farmingham Risk Score 10% –
20%.2
Tes diagnostik noninvasif untuk mendiagnosa penyakit arteri perifer telah
banyak dikembangkan. Walaupun angiografi merupakan baku emasuntuk
mendiagnosa penyakit vaskular, namun telah jarang dilakukan. Hal ini disebabkan
oleh karena prosedur diagnostik noninvasif dengan teknik pencitraan telah
mengalami peningkatan resolusinya, seperti duplex ultrasonography, computed
tomographic angiography (CTA) dan magnetic resonance angiography (MRA).
Pemeriksaan noninvasif vaskular dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
PAD pada pasien dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, menilai
keparahan dan lokasi sumbatan, mengetahui progresifitas penyakit dan respon
terhadap pengobatan, dan pemantauansetelah tindakan revaskularisasi. Saat ini
pemerikasaan noninvasif dengan teknik pencitraan telah menawarkan alternatif
yang sangat baik, sedangkan pemeriksaan invasif angiografi dilakukan khusus
pada pasien yang akan dilakukan tindakan intervensi.6 Tujuan dari penulisan
referat ini adalah untuk memaparkan peranan berbagai tes diagnostik noninvasif
pada penyakit arteri perifer terutama pada ekstremitas bawah.
EVALUASI DIAGNOSTIK
1. KLINIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Evaluasi pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer dimulai dari riwayat
gejala dan pemeriksaan fisik.Gejala klinis penyakit arteri perifer yang paling
utama yaitu klaudikasio intermiten dan nyeri saat istirahat.Klaudikasio intermiten
Universitas Sumatera Utara
merujuk pada keluhan nyeri atau sakit, kelemahan, serta perasaan tidak nyaman
lainnya yang terjadi pada otot saat beraktivitas, berjalan, dan hilang dengan
istirahat.Lokasi gejala biasanya berhubungan dengan lokasi stenosis
proksimal.Klaudikasio pada bagian pinggul, bokong, atau paha biasanya terjadi
pada pasien-pasien dengan obstruksi di aorta dan arteri iliaca. Klaudikasio pada
tungkai bawah biasanya akibat dari stenosis arteri femoral ataupun popliteal,
kondisi ini paling sering dijumpai karena otot gastrocnemius paling banyak
mengkonsumsi oksigen saat berjalan dibanding otot-otot lainya. Klaudikasio pada
daerah kaki dan pergelangan kaki terjadi pada pasien dengan kelainan di arteri
tibialis dan peroneal.Gejala dapat hilang beberapa menit setelah penghentian
aktivitas.Gejala nyeri harus disertai dengan faktor pemberat klaudikasio seperti
berjalan jauh, atau dengan kecepatan lebih dari biasanya, serta berjalan mendaki.
Selain klaudikasio, gejala lain dapat dijumpai keterbatasan kapasitas fungsional.
Pasien-pasien dengan penyakit arteri perifer biasanya berjalan lebih lambat dan
ketahanannya juga rendah.7Beberapa penyebab lain juga dapat memiliki keluhan
yang sama dengan penyakit arteri perifer, dari tabel 1 dapat kita lihat beberapa
diagnosis banding dari keluhan yang sama. Serta beberapa hal yang dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh darah dapat kita lihat pada tabel 2.
Dari pemeriksaan fisik yang teliti juga dapat diperoleh tanda-tanda adanya
penyakit arteri perifer, seperti pulsasi arteri pada ekstremitas. Tidak terabanya
pulsasi arteri pada ekstremitas bagian manapun dapat mengindikasikan adanya
lesi pada level proksimal dari cabang arteri utama daerah tersebut.8Misalnya,
apabila tidak teraba pulsasi di arteri femoralis, dapat dicurigai adanya stenosis
atau oklusi di arteri iliaca pada sisi yang sama. Pada kondisi iskemik tungkai akut,
kita dapat melihat 5 tanda utama yang biasanya disingkat dengan “5P”, yaitu nyeri
(pain), tidak teraba pulsasi arteri distal (pulselessness), perubahan warna dan suhu
(pallor), gangguan sensorik atau terasa kebas (paresthesia), dan tungkai menjadi
lemah (paralysis).7,9,10
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Diagnosis banding klaudikasio intermiten10
Tabel 2.Penyebab oklusi lesi arteri pada ekstremitas bawah yang dapat menyebabkan klaudikasio.10
2. ANKLE-BRACHIAL INDEX (ABI)
ABI merupakan salah satu pemeriksaan yang menilai tekanan di arteri
dengan menghitung rasio atau membandingkan tekanan darah sistolik pada
Universitas Sumatera Utara
pergelangan kaki dengan tekanan sistolik arteri brakialis.Pemeriksaan ini
tergolong pemeriksaan yang cepat dan paling murah, dan dianjurkan untuk
skrining pasien yang sesuai dengan kriteria TASC II.Pada individu dengan
sirkulasi arteri yagn normal, tekanan darah pada pergelangan kaki sama atau lebih
tinggi 10 – 15 mmHg dari tekanan arteri brakialis, dikarenakan resistensi perifer
yang lebih tinggi pada kaki.6
Pemeriksaan ABI dilakukan dengan meletakkan manset
sphygmomanometer dengan jarak 10 – 12 cm di atas pergelangan kaki dan
instrumen Doppler (5 – 10 MHz) untuk mengukur tekanan arteri tibialis anterior
dan posterior di kedua kaki.9,10 Sebelum dilakukan pemeriksaan, sebaiknya pasien
diistirahatkan selama 5 – 10 menit dalam kondisi berbaring di dalam ruangan
yang nyaman. Manset tidak boleh diletakkan di bagian distal graft atau luka
ulserasi (jika ada) karena dapat meningkatkan risiko trombosis. Kemudian probe
Doppler diletakkan di arteri yang akan diukur disekitar pulsasi dengan
membentuk sudut kemiringan 45° – 60° terhadap permukaan kulit. Manset
dikembangkan hingga kurang lebih 20 mmHg di atas batas tekanan dimana aliran
tampak menghilang, kemudian manset dikempiskan perlahan-lahan untuk
mendeteksi tekanan dimana tampak aliran kembali. Hal ini dilakukan dikedua
kaki dan juga dalam mengukur tekanan arteri brakialis.6
Nilai ABI diperoleh melalui pembagian antara tekanan darah sistolik
tertinggi antara arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis pada tiap ekstremitas
dengan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan.6,7 Menurut Guidelines
on the diagnosis and treatment of peripheral artery diseases dari European
Society of Cardiology (ESC), pada orang normal biasanya nilai ABI > 1,0.
Sedangkan nilai ABI yang rendah (< 0,90) merupakan tanda adanya aterosklerosis
atau penyakit arteri ekstremitas bawah dengan perkiraan sensitifitas dan
spesifisitas 79% dan 96%.9 Dan menurut pedoman dari American Heart
Association (AHA) pada tahun 2011, ABI dikatakan normal dengan nilai 1.0 –
1.4, borderline 0.91 – 0.99, dan abnormal jika < 0.90.11 Nilai ABI < 0.90 yang
disertai dengan gejala klaudikasio atau tanda-tanda iskemia yang lain memiliki
sensitivitas 95% dan spesifisitas 100% untuk diagnosa PAD.2 Nilai ABI juga
Universitas Sumatera Utara
berkorelasi dengan derajat keparahan penyakit arteri perifer, dengan nilai ABI <
0,50 memiliki risiko amputasi yang tinggi. Penurunan ABI > 0,15 menandakan
perburukan perfusi ke ekstremitas, begitu juga dengan peningkatan nilai tersebut
menandakan adanya perbaikan setelah revaskularisasi. Peningkatan ABI > 0,10
dan 0,15 pada tungkai yang telah direvaskularisasi berhubungan dengan
berkurangnya stenosis sebesar > 50% dengan sensitifitas 79% & 67% dan
spesifisitas 92% & 100% berturut-turut.6,10
Gambar 1. Cara pengukuran ankle brachial index (ABI).9
Gambar 2. Cara perhitungan ankle brachial index (ABI).10
Universitas Sumatera Utara
Dari TASC II merekomendasikan pemeriksaan ABI dilakukan untuk
mendeteksi penyakit arteri perifer pada individu-individu sebagai berikut :10
• Pasien-pasien yang memiliki keluhan pada kaki saat beraktivitas.
• Pasien-pasien yang berusia 50 – 69 tahun dan yang memiliki faktor risiko
kardiovaskular (terutama diabetes dan merokok).
• Semua pasien yang berusia ≥ 70 tahun dengan atau tanpa faktor risiko
kardiovaskular.
• Semua pasien dengan skor risiko Framingham 10% – 20%.
3. TOE-BRACHIAL INDEX (TBI)
Pada beberapa kasus dapat dijumpai nilai ABI > 1.40, hal ini menandakan
adanya kalsifikasi atau kekakuan arteri. Kondisi ini dapat dijumpai pada pasien-
pasien diabetes, penyakit ginjal stadium lanjut, dan pada pasien-pasien lanjut usia.
Pada pasien seperti ini, dapat dijumpai nilai ABI yang meningkat sehingga salah
diartikan sebagai nilai normal. Selain itu didapati 60% – 80% pasien dengan ABI
yang tinggi ternyata menderita penyakit arteri perifer.6 Oleh karena itu alangkah
baiknya jika kita lakukan pemeriksaan alternatif lain seperti mengukur tekanan
sistolik pada jari kaki dan analisis Doppler untuk memastikan penyakit arteri
perifer ada atau tidak.9,10
Gambar 3.Pengukuran toe-brachial index dengan menggunakan manset ukuran kecil dan Doppler. (dari :www.thepodiatrycentre.com.au)
Universitas Sumatera Utara
TBI dilakukan bila nilai ABI 1.3 atau lebih. Untuk mengukur TBI tekanan
sistolik diukur pada jari kaki yang terbesar menggunakan manset kecil dan
Doppler, sama seperti pengukuran ABI. Tekanan darah pada jari kaki lebih rendah
dari brachial, sehingga nilai TBI < 0.70 digunakan untuk menegakkan diagnosa
penyakit arteri perifer.9,12,13 Akan terapi sumber yang ada saat ini masih belum
cukup untuk menyimpulkan nilai batas spesifik sebagai diagnosis penyakit arteri
perifer. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan dalam skala yang lebih besar
dlam pemeriksaan TBI ini.13
Tabel 3. Pedoman ABI dan TBI14
4. SEGEMENTAL LIMB PRESSURE
ABI maupun TBI dapat mengidentifikasi pasien dengan penyakit arteri
perifer yang signifikan, namun tidak dapat menentukan segmen mana yang
terlibat. Lokasi stenosis dapat lebih diketahui dengan mengukur tekanan sistolik
pada tiap segmen tungkai. Pengukuran tekanan sistolik di sepanjang segmen
masing-masing ekstremitas merupakan salah satu cara yang mudah dan
bermanfaat untuk pemeriksaan noninvasif pada pasien-pasien dengan sangkaan
penyakit arteri perifer.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien berbaring. Kaki sedikit
diangkat dengan menggunakan bantalan agar posisi pergelangan kaki samadengan
Universitas Sumatera Utara
jantung dan mengurangi efek dari tekanan hidrostatik. Tekanan darah lengan
diukur bilateral untuk menyingkirkan adanya penyakit arteri subklavia.
Pemeriksaan ini menggunakan manset dengan ukuran yang tepat (tabel 4) dan
diletakkan di paha bagian atas, paha bagian bawah, betis (di bawah lutut),dandi
atas pergelangan kaki, dan terkadang juga diletakkan di atas metatarsal pada
kaki.Untuk pemeriksaan pada ekstremitas superior, manset diletakkan di bagian
atas lengan atas di daerah otot biseps, di bawah siku pada lengan bawah, dan di
pergelangan tangan (gambar 4).15
Pengukuran tekanan sistolik dimulai dari pergelangan kaki. Tekanan
sistolik diukur dengan cara mengembangkan manset hingga tekanan suprasistolik
kemudian manset dikempeskan sambil menentukan di tekanan berapa dijumpai
aliran darah. Aliran darah dinilai dengan menggunakan Doppler ultrasound flow
probe yang diletakkan di arteri daerah distal. Posisi probe yang paling mudah
untuk dilakukan pemeriksaan yaitu di arteri tibialis posterior ataupun di arteri
dorsalis pedis. Untuk ekstremitas superior, probe dapat diposisikan di arteri
brakialis atau di arteri radialis dan ulnaris.7,12Apabila tidak terdengar sinyal dari
Doppler pada pergelangan kaki, manset pada pergelangan kaki dapat dibuka dan
dilanjutkan dengan pengukuran pada daerah betis dan paha.
Tabel 4. Rekomendasi AHA ukuran manset untuk ekstremitas bawah pada dewasa.15
Tekanan darah sistolik normal pada paha adalah 30 – 50 mmHg lebih
tinggi dari tekanan sistolik lengan. Dan variasi normal tekanan diantara segmen
tungkai tidak lebih dari 20 – 30 mmHg. Perbedaan lebih dari 30 mmHg
menandakan sumbatan arteri yang signifikan diantara segmen yang diukur. Selain
Universitas Sumatera Utara
mengukur perbedaan tekanan antar segmen pada tungkai yang sama,
membandingkan tekanan diantara tungkai juga bermanfaat. Tekanan pada tungkai
kiri dan kanan besarnya sama pada tiap-tiap segmen. Perbedaan tekanan lebih dari
20 mmHg menandakan adanya gangguan hemodinamik yang signifikan.15
Gambar 4.Pengukuran tekanan segmental pada pasien dengan klaudikasio intermiten tungkai kiri. Dijumpai adanya gradien tekanan antara paha bagian atas dan bawah, paha bagian bawah dengan betis, betis dengan pergelangan kaki. Kondisi ini menggambarkan adanya stenosis multisegmen yang mengenai arteri femoro-popliteal dan tibialis. ABI tungkai kiri didapati tidak normal yaitu 0,56. Pengukuran tekanan segmental dan nilai ABI di tungkai kanan normal.7
Tekanan sistolik biasanya lebih tinggi di pembuluh darah distal dibanding
di aorta dan pembuluh darah proksimal karena amplifikasi dan refleksi dari
gelombang tekanan darah.Stenosis dapat menyebabkan hilangnya energi tekanan
karena gangguan aliran pada daerah tersebut.Sekitar 90% aorta mengalami
penyempitan terlebih dahulu sebelum menyebabkan gradien tekanan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
pada pembuluh darah yang lebih kecil, sekitar 70% – 90% pembuluh darah yang
mengalami penyempitan akan menghasilkan gradien tekanan yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan sistolik pada pembuluh darah distal dari stenosis
tersebut. Perbedaan tekanan darah 20 mmHg atau lebih antara manset yang satu
dengan manset yang lebih distal dapat mengindikasikan adanya stenosis arteri
pada ekstremitas bawah, sedangkan pada ekstremitas atas dapat digunakan
perbedaan nilai 10 mmHg.7
5. PULSE VOLUME RECORDINGS (PVR)
PVR menggambarkan perubahan volume yang terjadi secara grafik pada
arteri tungkai pada tiap pulsasi. Instrument plethysmography digunakan untuk
merekam perubahan volume atau aliran darah pada ekstremitas dan
menampilkannya dalam bentuk grafik. Grafik yang direkam ini berasal dari
perubahan dimensi / volume bagian-bagian tubuh (tungkai, jari) selama siklus
jantung. Alat ini memiliki transduser yang diletakkan di sepanjang ekstremitas
untuk merekam volume pulsasi pada tiap segmen.Metode ini menggunakan
manset yang sama dalam pengukuran segmental limb pressure yang diletakkan di
sekitar tungkai dan dihubungkan dengan alat plethysmograph. Tekanan pada
manset ditingkatkan seperti pada pemeriksaan segmental juga. Pletyhsmograph
kemudian akan merekam grafik perubahan volume darah pada tungkai selama tiga
atau empat siklus.7,15
Gambar 5. Morfolagi grafik PVR normal (kiri) dan pada penyakit arteri perifer (kanan)2
Universitas Sumatera Utara
Perubahan volume pada segmen tungkai di bawah manset dinyatakan
sebagai tekanan pulsatil, yang dideteksi oleh transduser dan ditampilkan dalam
grafik tekanan pulsasi. PVR yang normal sama dengan bentuk gelombang arteri,
yaitu terdiri dari komponen menanjak yang cepat dan tajam hingga sampai ke
puncak selama sistolik, dicrotic notch, dan turunan cekung secara bertahap hingga
mencapai baseline. Bentuk gelombang pulsasi daerah distal dari stenosis akan
mengalami perubahan, yaitu hilangnya gambaran dicrotic notch, gambaran
gelombang yang lebih landai dan lambat, puncak pulsasi akan tampak lebih
tumpul, dan grafik gelombang yang menurun juga lebih cembung dan lambat.
Amplitudo menjadi lebih rendah sejalan dengan keparahan penyakit, dan
gelombang pulsasi dapat tidak terekam sama sekali pada keadaan iskemik tungkai
yang kritis. Beberapa variasi bentuk PVR yang menggambarkan keparahan
penyakit dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6.16 Selain menampilkan grafik
perubahan volume tungkai, alat ini juga dapat digunakan untuk mengukur tekanan
sistolik tungkai pada pemeriksaan tekanan segmental.7,15
Berdasarkan amplitudo dan kontur gelombangnya, PVR diklasifikasikan
menjadi 5 kategori seperti yang terlihat pada tabel dibawah.7,15
Tabel 5. Klasifikasi PVR dikombinasikan dengan data tekanan untuk menunjukkan derajat penyakit vaskular.17
Universitas Sumatera Utara
Gambar 6. Pulsasi volume plethysmography: Bentuk pulse volume recording dengan derajat keparahan penyakit pembuluh darah.16
6. DUPLEX ULTRASOUND IMAGING
Teknik pemeriksaan Doppler menggambarkan efek Doppler yang
didefinisikan sebagai gelombang suara frekuensi tinggi dengan frekuensi yang
berbeda saat bertemu dengan struktur yang bergerak di dalam pembuluh darah.
Gelombang yang mengarah ke transduser berwarna merah dan yang menjauhi
berwarna biru.
Sistem Doppler continuous-wave dan pulsed-wave mentransmisi dan
menerima sinyal ultrasound frekuensi tinggi. Perubahan frekuensi Doppler
Universitas Sumatera Utara
disebabkan karena pergerakan sel-sel darah merah yang bervariasi dengan
kecepatan aliran darah. Biasanya frekuensi Doppler sekitar 1 hingga 20 kHz dan
frekuensi ini masih dalam batas frekuensi pendengaran manusia, sehingga
pemeriksa dapat mendengar aliran darah melalui alat tersebut.7
Probe Doppler diletakkan sekitar 60 derajat dari arteri femoral, femoralis
superfisial, popliteal, dorsalis pedis, dan tibialis posterior. Bentuk normal
gelombang Doppler memiliki tiga komponen, yaitu komponen aliran yang cepat
selama sistolik, aliran balik transien selama awal diastolik, dan komponen
anterograde lambat selama akhir diastolik (gambar 7). Gelombang bifasik dinilai
tidak normal jika jelas tampak perubahan dari gelombang trifasik. Sedangkan
gelombang monofasik selalu menggambarkan kelainan.2Bentuk gelombang
Doppler akan mengalami kelainan jika diletakkan di bagian distal dari pembuluh
darah yang mengalami stenosis, dengan karakteristik kelainan gelombang Doppler
yaitu aliran sistolik yang melambat, hilangnya aliran balik pada awal diastolik,
dan puncak frekuensi yang lebih rendah.7
Gambar 7.Ilustrasi gelombang trifasik Doppler.2
Sebagaimana berkembangnya aterosklerosis, recoil otot dan elastisitas
dinding pembuluh darah menghilang, menyebabkan hilangnya aliran saat akhir
diastolik, sehingga terbentuk gelombang bifasik. Sedangkan hilangnya resistensi
Universitas Sumatera Utara
vaskular pada penyakit arteri perifer yang berat menyebabkan aliran balik pun
hilang dan membentuk gelombang monofasik.2 Kelainan bentuk gelombang
mengindikasikan tingkat lesi yang ada (gambar 8).
Gambar 8. Tabel grafik yang menunjukkan pedoman dalam interpretasi ABI, TBI, delombang Doppler, dan gelombang PVR pada penyakit arteri perifer.2
Pemeriksaan duplex (dengan atau tanpa warna aliran) mengkombinasi
gambaran B-mode dengan analisis gelombang spectral Doppler. Tidak seperti
tekanan segmental atau gelombang CW Doppler, melalui duplex scanning kita
dapat melihat gambaran langsung dari segmen arteri. Lokasi dan keparahan
penyakit dapat didokumentasikan dengan akurat. Pemeriksaan ini juga dapat
mebedakan antara tipe-tipe penyakit seperti stenosis, oklusi, atau trombosis.
Dengan menggunakan velocity criteria, dapat ditentukan derajat stenosisnya.
Warna aliran dapat membantu mengidentifikasi perubahan velocity akibat stenosis
arteri. Duplex scanning ini dapat memberikan informasi fisiologis dan anatomis
yang tidak diperoleh dari pemeriksaan atau tes fisiologis lain.8
Derajat stenosis ditentukan oleh kombinasi analisa morfologi gelombang
dan peak systolic volocity (PSV)7. Ada lima kategori keparahan stenosis :9,12
1. Normal : tidak terdapat stenosis
2. Stenosis 1% s/d 19% : gangguan aliran menghasilkan perubahan
morfologi gelombang namun belum mengakibatkan perubahan PSV
3. Stenosis 20% s/d 49% : PSV meningkat 30% - 100% dari segmen normal
Universitas Sumatera Utara
4. Stenosis 50% s/d 100% : PSV meningkat > 100% (atau dua kali) dari
segmen proksimal yang normal atau PSV > 200 cm/dtk dengan
dijumpainya aliran turbulen.
5. Oklusi total : tidak dijumpainya aliran pada arteri.
Sensitivitas duplex ultrasound dalam mendeteksi adanya stenosis dan
sumbatan total dilaporkan sebesar 92% dan 95%, dengan spesifisitas 97% dan
99% berturut-turut. Pencitraan duplex juga bermanfaat dalam mengidentifikasi
lokasi sumbatan dengan tepat.9
Untuk menghindari vasokonstriksi pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada
ruang hangat (75°F – 77°F). Pasien diinformasikan untuk tidak merokok (> 1 jam)
ataupun makan (puasa > 4 jam). Pemeriksaan pada pagi hari lebih disukai untuk
menghindarkan adanya gas lambung yang dapat mengganggu pencitraan pada
aorta infrarenal atau arteri iliaca.18
Gambar 9. Ultrasonogram duplex dari bifurkasio arteri femoralis communis. Gambar atas menunjukkan gambaran normal dari arteri dimana intima tidak menebal dan lumen tampak baik. Gambar bawah merupakan rekaman dari pulse Doppler velocity dari arteri femoralis superfisial. Gelombang trifasik tampak dijumpai, lapisannya tampak tipis, dan peak systolic velocity dalam nilai normal.7
Universitas Sumatera Utara
7. MAGNETIC RESONANCE ANGIOGRAPHY
Saat ini contrast angiography (CA) masih merupakan baku emas untuk
pencitraan pada PAD. Keterbatasan dari prosedur ini adalah sifatnya yang invasif,
mahal, dan tidak sepenuhnya aman. Komplikasi memang jarang terjadi namun
termasuk nefrotoksik karena kontras, trauma pembuluh darah dengan perdarahan,
trombosis, reaksi alergi, dan embolisasi. Oleh karena resiko tersebut,
dikembangkanlah suatu teknik yang lebih aman dan noninvasif seperti MRA.9
MRA memiliki banyak keunggulan dibandingan CA. Selain lebih murah,
teknik ini bersifat noninvasif sehingga lebih aman bagi pasien. Kontak dengan
radioaktif dan zat kontras yang digunakan tidak memiliki efek nefrotoksik.
Godalinium, zat kontras yang paling sering dipakai tidak memiliki efek
nefrotoksik dibanding iodinated contrast pada pemeriksaan CT scan. Hal ini
penting terutama pada pasien PAD dengan diabetes melitus dan insufisiensi
ginjal.12
MRA menggunakan medan magnet untuk membuat sinyal anatomik yang
berbeda pada jaringan lunak untuk memperoleh informasi mengenai morfologi
sistem arteri dan menilai fungsi aliran darah. Beberapa teknik mungkin diperlukan
untuk mendapatkan informasi anatomis dan fungsional untuk penatalaksanaan
yang tepat. Teknik yang sering digunakan dalam Two-dimensional (2-D) time of
flight (TOF) dan three-dimensional (3-D) contrast enhanced MRA (3-D CE-
MRA).19
Pada pasien yang diketahui memiliki penyakit sumbatan pada arteri
berdasarkan pemeriksaan fisik dan noninvasif, MRA dilakukan unutuk konfirmasi
diagnosis, menentukan lokasi penyakit, menentukan panjang segmen stenosis atau
mengidentifikasi sumbatan total. Dibandingkan dengan duplex ultrasound, MRA
lebih akurat dalam perencanaan revasularisasi arteri perifer. MRA memiliki
sensitifitas 90% dan spesifisitas 97% dalam mendeteksi adanya stenosis yang
signifikan pada pembuluh darah arteri ekstremitas bawah dibandingkan CA.
Panduan ACC/AHA menyatakan bahwa MRA dapat bermanfaat dalam
menentukan lokasi dan keparahan stenosis dan dapat membantu menentukan
keputusan antara tindakan revaskularisasi secara endovaskular atau bedah.9,19
Universitas Sumatera Utara
Gambar 10.MRA menunjukkan stenosis fokal pada arteri iliaka kiri (panah) (kiri); Gambaran Angiogram pada pasien yang sama (kanan).19
Namun tidak semua pasien dapat menjadi kandidat untuk pemeriksaan
MRA. Terdapat beberapa kontraindikasi absolut untuk pemeriksaan ini.
Diantaranya adalah pasien dengan gagal ginjal berat (GFR<30 mL/min per 1.73
m2), kehamilan trimester I, pasien denganpermanent pacemakers dan implantable
defibrillators karena dapat mengalami gangguan fungsi. Sepuluh persen pasein
dengan klaustrofobia tidak dapat menyelesaikan pemeriksaan. Kerjasama yang
baik dari pasien sangat penting. Karena pergerakan fisik saat melakukan
pemeriksaan dapat berpengaruh terhadap kualitas gambar yang dihasilkan. Pasien
dengan penyakit paru berat mungkin tidak dapat berbaring selama pemeriksaan.
Oleh karena itu sangat penting untuk memilih pasien yang kooperatif dan mampu
untuk mengikuti instruksi.12,19
8. COMPUTED TOMOGRAPHY ANGIOGRAPHY
Computed Tomographic Angiography (CTA) merupakan suatu teknik
pencitraan vaskular dengan mengguankan sinar-X. Untuk menghasilkan gambar
dengan resolusi tinggi dengan cepat saat ini digunakan multidetector scanner(16-
atau 64-slice). Untuk pencitraan aorta abdominal dan seluruh pembuluh darah
ekstremitas bawah, diperlukan waktu 45 detik. Zat kontras disuntikkan melalui
vena extremitas atas sebanyak 1,5 sampai 3,0 ml/detik selama pemeriksaan
dengan total 100 ml sampai 150 ml. CTA memiliki sensitifitas sebesar lebih dari
Universitas Sumatera Utara
90% untuk mendeteksi adanya stenosis >50% pada pembuluh darah ekstremitas
bawah.12
CTA memiliki beberapa keunggulan dibandingkan contrast angiography,
termasuk visualisasi anatomi pembuluh darah dari berbagai arah, visualisasi
jaringan lunak dan organ disekitar pembuluh darah yang lebih baik, tidak invasif
sehingga lebih aman dan tidak terlalu mahal. Dibandingkan dengan MRA, CTA
dapat menggambarkan kalsifikasi pembuluh darah dan implan metalik, seperti
sten, lebih baik. Kekurangan CTA dibanding MRA adalah terpapar dengan radiasi
dan zat kontras yang berpotensi nefrotoksik. CTA tidak dapat dilakukan pada
pasien dengan azotemia atau individu yang beresiko tinggi mengalami contrast-
induced acute tubular necrosis.12
Gambar 11. CTA menunujukkan adanya stenosis fokal pada arteri femorlis superfisial kiri.
9. TES UJI LATIH (STRESS TEST)
Pengukuran ABI setelah latihan dapat mendeteksi seseorang dengan
penyakit arteri perifer yang memiliki nilai ABI normal atau borderline saat
istirahat tetapi dengan kecurigaan dari gejala klinis.9Pasien dengan klaudikasio
tetapi memiliki nilai ABI yang normal biasanya dapat dijumpai pada beberapa
kondisi, seperti pada pasien dengan stenosis iliaca saja, penurunan tekanan akibat
melewati daerah yang mengalami stenosisbisa saja tidak dijumpai saat istirahat.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga dengan uji latih diharapkan terjadi peningkatan kecepatan aliran dan
menyebabkan gangguan hemodinamik yang signifikan. Dalam hal ini, uji latih
akan menyebabkan penurunan ABI yang terdeteksi segera saat periode pemulihan
sehingga dapatlah ditegakkan diagnosa penyakit arteri perifer.10
Prosedur pemeriksaan ini memerlukan pengukuran nilai ABI saat istirahat
terlebih dahulu. Cara pemeriksaan ini yaitu pasien diminta untuk berjalan
(biasanya dengan menggunakan alat treadmill dengan kecepatan 3,2 km/jam pada
kemiringan 10% – 20%) sampai muncul nyeri klaudikasio atau dalam waktu
maksimum 5 menit, kemudian segera dilakukan pengukuran ABI seperti saat
istirahat. Penurunan nilai ABI sebanyak 15% – 20% dapat kita tegakkan diagnosis
penyakit arteri perifer.9,10 Individu normal dapat menyelesaikan latihan selama 5
menit tanpa mengalami klaudikasio dengan atau sedikit penurunan tekanan
sistolik pergelangan kaki. Sedikit penurunan tekanan (kurang dari 20 mmHg) bisa
saja terjadi, namun akan kembali normal dalam 2 – 3 menit. Bila penurunan
tekanan terlalu besar dan kembali normal dalam 2 – 5 menit, menandakan adanya
sumbatan pada satu tempat (single level occlusion). Namun bila tetap turun dan
tidak kembali normal dalam 12 menit diduga terjadi sumbatan pada beberapa
tempat (multilevel occlusion).12 Apabila alat treadmill tidak tersedia, dapat kita
lakukan dengan menyuruh pasien untuk naik turun tangga atau berjalan.9,10
Tabel 6. Indikasi dilakukan stress testing pada ekstremitas bawah.16
Pasien yang menghentikan latihan dalam menit pertama oleh karena
keluhan pada kaki biasanya memiliki penyakit yang berat. Bila berhenti dalam 3 –
5 menit, menandakan penyakit ringan atau sedang. Penurunan tekanan pada
pergelangan kaki lebih dari 20 mmHg (atau penurunan signifikan amplitudo
gelombang PVR) pada akhir latihan menandakan penyakit arteri perifer.
Perubahan morfologi gelombang PVR selama latihan juga dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya penyakit arteri perifer.12
Universitas Sumatera Utara
Pada beberapa pasien yang tidak dapat dilakukan treadmill test seperti,
stenosis aorta, hipertensi yang tidak terkontrol, atau pasien-pasien dengan
komorbid keterbatasan aktivitas lain, termasuk gagal jantung tahap akhir atau
penyakit paru obstruktif kronik, maka dapat dilakukan pemeriksaan active pedal
plantar flexion. Pilihan lain yaitu dengan cara mengembangkan manset hingga
tekanan di atas tekanan sistolik selama 3 – 5 menit, hal ini mengharapkan prinsip
hyperemia reaktif. Penurunan tekanan di pergelangan kaki pada 30 detik setelah
manset dikempiskan setara dengan berjalan selama 1 menit serta klaudikasio yang
terjadi apabila pasien melakukan treadmill.10Akan tetapi hal ini jarang dilakukan
karena banyak pasien yang merasa tidak nyaman dengan waktu manset
dikembangkan.
Kontraindikasi dilakukannya pemeriksaan ini yaitu nyeri saat istirahat,
adanya nonkompresibel pembuluh darah pada pemeriksaan istirahat, thrombosis
vena dalam akut, sesak saat istirahat atau minimal aktivitas, angina, atau
diasabilitas yang menyebabkan pasien tidak bisa melakukan treadmill test.16
KESIMPULAN
Penyakit pembuluh darah khususnya PAD merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas. Pasien yang tidak memiliki gejala khas dan
asimtomatik sering tidak terdeteksi. Penegakan diagnosis penyakit ini dapat
dilakukan dengan berbagai modalitas, dimana pemeriksaan noninvasif lebih
dipilih dari invasif karena dianggap lebih aman dan memiliki risiko yang lebih
rendah. Pemeriksaan noninvasif terdiri dari yang paling sederhana seperti ABI,
segmental limb pressure, duplex ultrasound sampai pemeriksaan dengan teknologi
tinggi seperti MRA dan CTA. Pemeriksaan invasif saat ini hanya dilakukan pada
pasien yang direncanakan tindakan intervensi. Kemampuan seorang klinisi dalam
menegakkan diagnosis dan memilih modalitas pemeriksaan yang tepat dan cepat
penting dalam menentukan langkah selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Criqui MH. The epidemiology of peripheral artery disease. In: Creager MA., Beckman JA., and Loscalzo J. Vascular Medicine: A companion to Braunwald’s heart disease, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 211-222.
2. Sibley RC., Reis SP., MacFarlane JJ., Reddick MA., Kalva SP., and Sutphin PD. Noninvasive physiologic vascular studies: A guide to diagnosing peripheral arterial disease. RSNA. 2016; 37(1): 1-12.
3. Beckman JA., and Creager MA. Peripheral artery disease: Clinical evaluation. In: Creager MA., Beckman JA., and Loscalzo J. Vascular Medicine: A companion to Braunwald’s heart disease, 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 231-241.
4. Lau JF, Weinberg MD, Olin JW. Peripheral artery disease. I. Clinical evaluation and noninvasive diagnosis. Nat Rev Cardiol. 2011; 8(7): 405–418.
5. Pande RL., Peristein TS., Beckman JA., et al. Secondary prevention and mortality in peripheral artery disease: National Health and Nutrition Examination Study, 1999 to 2004. Circulation. 2011; 124: 17-23.
6. Aboyans V., Criqui MH., Abraham P., et al. Measurement and Interpretation of the Ankle-Brachial Index: A Scientific Statement From the American Heart Association. Circulation. 2012; 126(24): 2890-2909.
7. Creager MA. and Libby P. Peripheral artery diseases. In: Mann DL., Zipes DP., Libby P., Bonow RO., and Braunwald E. Braunwald’s heart disease: A textbook of cardiovascular medicine, 10th ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2015; 1312-1335.
8. Labropoulos N. and Tassiopoulos AK. Noninvasive diagnostic evaluation of peripheral arterial disease. In: Caralis DG. and Bakris GL. Clinical hypertension and avascular diseases: Lower extremity arterial disease. Totowa: Humana press Inc. 2005; 23-38.
9. Tendera M., Aboyans V., Bartelink ML., Baumgartner I., Clement D., Collet JP., et al. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral artery diseases. Eur Hear J. 2011; 32: 2851-2906.
10. Norgren L., Hiatt WR., Dormandy JA., Nehler MR., Harris KA., and Fowkes FGR. Inter-society consensus for the management of peripheral artery disease (TASC II). Journal of vascular surgery. 2007; 45(1): S5A-S67A.
11. Gerhard-Herman MD., Gornik HL., Barrett C., Barshes NR., Corriere MA., Drachman DE., et al. 2016 AHA/ACC Guideline on the management of patients with lower extremity peripheral artery disease: Executive summary: A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Circulation. 2016; 1-64.
12. Begelman SM., and Jaff MR. Noninvasive diagnostic strategies for peripheral arterial disease. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006; 73(4): S22-S29.
13. Hoyer C., Sandermann J., and Petersen LJ. The toe-brachial index in the diagnosis of peripheral artery disease. J Vasc Surgery. 2013; 58: 231-238.
14. Wennberg PW. Approach to the patientwith peripheral arterial disease. Circulation. 2013; 128: 2241-2250.
Universitas Sumatera Utara
15. Kupinski AM. Segmental pressure measurement and plethysmography. Journal of Vascular Technology 2002;26(1), 32-38.
16. Gerhard-Herman M., Gardin JM., Jaff M., Mohler E., Roman M., and Naqvi TZ. Guidelines for noninvasive vascular laboratory testing: A report from the American Society of Echocardiography and the society of vascular medicine and biology. Jouranl of the American Society of Echocardiography. 2006; 19(8): 955-972.
17. Benitez E., and Sumpio BE. Pulse volume recording for peripheral vascular disease diagnosis in diabetes patients. Journal of Vascular Diagnostics. 2015; 3: 33-39.
18. Amstrong AA, Bandyk DF. Duplex scanning for lower extremity arterial disease. Dalam : AbuRahma AF, Bergan JJ, penyunting. Noninvasive vascular diagnosis. Edisi ke-2. London : Spinger-Verlag London Limited, 2007, Bab ke-21, h.253-261.
19. Carr AC, Turnipseed WD, Grist TM. The role of magnetic resonance angiography in peripheral vascular disease. Dalam :Mansour MA, Labropoulos N, penyunting. Vascular diagnosis.edisi pertama. Philadelphia : Elsevier Inc, 2005; Bab ke-27II. h.299-306.
Universitas Sumatera Utara