perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ANALISIS KETERSEDIAAN PANGAN POKOK DAN POLA KONSUMSI
RUMAH TANGGA PETANI DI KECAMATAN BULU
KABUPATEN SUKOHARJO
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat
Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis
Oleh :
DINA NUR IRONI
H 0307043
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan
penyertaan-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan
judul “Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola Konsumsi Rumah
Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo” sebagai salah satu
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh
karena itu, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Ir. Agustono, M.Si. selaku Ketua Jurusan/Program Studi Sosial
Ekonomi Pertanian/Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Ibu Dr. Ir. Sri Marwanti, MS selaku Pembimbing Utama yang dengan penuh
kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan bagi Penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Umi Barokah, S.P., M.P. selaku Pembimbing Pendamping yang telah
memberikan bimbingan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harisudin, M.Si. selaku Penguji yang telah memberikan
banyak masukan untuk memperbaiki skripsi ini.
6. Ibu Erlyna Wida Riptanti, S.P., M.P. selaku Pembimbing Akademik yang
telah membimbing serta memberikan arahan dan perhatian selama Penulis
menempuh proses belajar di Fakultas Pertanian UNS.
7. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten
Sukoharjo beserta staf yang telah membantu dalam perijinan penelitian .
8. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Sokoharjo beserta staf yang telah
membantu menyediakan data yang Penulis butuhkan.
9. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo beserta staf yang telah
membantu dalam menyediakan data dan informasi yang Penulis butuhkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo yang telah membantu
menyediakan data yang Penulis butuhkan.
11. Camat Bulu beserta staf yang telah membantu dan mengijinkan Penulis untuk
melaksanakan penelitian di wilayah Kecamatan Bulu.
12. Kepala Desa Tiyaran beserta seluruh perangkat desa yang telah mendukung
Penulis. Terima kasih khususnya kepada Bapak Sunarno dan Ibu Hariningsih
yang telah memberikan banyak bantuan dan arahan selama proses penelitian.
13. Pak Samsyuri dan Mbak Ira yang telah membantu kelancaran surat-menyurat
dan birokrasi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UNS.
Terima kasih untuk bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada Penulis.
14. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak dan Ibu yang senantiasa memberiku
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
15. Adikku tersayang, Putri Dwi Larasati yang senantiasa memberiku perhatian,
menghadirkan keceriaan, dan menjadi saudari yang terbaik bagiku.
16. Ibu Pendeta Retno Ratih Suryaning Handayani, M.Th. yang senantiasa
mendoakan dan mendukung Penulis. Terima kasih telah menjadi pemimpin
rohani yang sangat baik bagi saya.
17. Saudara-saudariku Komisi Remaja GKJ Manahan 2006-2008 dan 2008-2010 :
Aria, Mbak Anik, Mbak Tiva, Mas Antok, Mbak Debora, Warih, Siska, Yosi,
Bary, Arum, Ratih, Redyan, dan Vivin yang selalu ada dalam suka dan duka.
Terima kasih untuk setiap dukungan doa, pengertian, perhatian, dan
persahabatan yang indah selama ini. Kalian adalah sahabat-sahabatku yang
menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran.
18. Mbak Sinta, Mbak Diana, Mbak Prita, Mas Bonus, dan Priskila yang telah
memberikan dukungan, semangat, dan sukacita secara khusus. Terima kasih
untuk setiap waktu yang telah diberikan selama ini.
19. Keluarga Jetak, Pakdhe Santo, Budhe, Mbak Tiwik, dan Mas Danang. Terima
kasih untuk dukungan yang selalu diberikan kepada Penulis.
20. Eccy Kasih, yang telah bersedia menjadi partner doaku selama
mempersiapkan ujian skripsi. Terima kasih untuk motivasi dan penguatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang diberikan kepada Penulis, sehingga Penulis terus bersemangat untuk
memberikan yang terbaik dalam penyusunan skripsi ini.
21. John Yeremia Gurning, terima kasih atas bantuan dan kesediaannya
meluangkan waktu untuk membantu Penulis mempersiapkan syarat-syarat
yudisium sarjana.
22. Sahabatku, Reny, Dino, Devi, dan Yusrina yang telah bersama-sama berjuang
serta memberikan dukungan dan semangat sejak awal kuliah hingga saat ini.
Terima kasih atas bantuan, kerjasama, serta pengertiannya.
23. Hibitu : Ten Sist, Echa, Aliya, Venti, Sukma, Peppy, Kiky, Ferinika, Marlina,
Riska, Clara, Sendi, Yeni, Ida, Sara, Raras, Lani, Linda, Yuni, Dhea, Salwa,
Mumun, Lala, Ratna, Nita, Nita Yudita, Senkip, Novitri, Wahyu, Helmi, Tyo,
Diki, Rochmad, Adam, Prima, Yoseph, Bella, Joko, Maman, serta seluruh
teman-teman di Fakultas Pertanian. Terima kasih atas kebersamaannya dan
kenangan yang indah di kampus ini.
24. Keluarga besar PMK Fakultas Pertanian UNS. Terima kasih atas doa dan
kesempatan yang diberikan bagi Penulis untuk melayani Tuhan.
25. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, namun telah
memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi para
pembaca.
Surakarta, April 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xi
RINGKASAN ........................................................................................... xii
SUMMARY .............................................................................................. xiii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ....................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6
II. LANDASAN TEORI ......................................................................... 8 A. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 8 B. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 9
1. Pangan ...................................................................................... 9 2. Ketersediaan Pangan ................................................................ 10 3. Pola Konsumsi Pangan ............................................................ 12 4. Kuantitas Konsumsi Pangan .................................................... 14 5. Ketahanan Pangan .................................................................... 15
C. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah ........................................ 18 D. Asumsi-Asumsi .............................................................................. 20 E. Pembatasan Masalah ...................................................................... 21 F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ............................. 21
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 24 A. Metode Dasar Penelitian ................................................................ 24 B. Metode Penentuan Lokasi .............................................................. 24 C. Metode Pengambilan Sampel ........................................................ 25 D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ............................................. 26 E. Metode Analisis Data ..................................................................... 27
1. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani ................ 27 2. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani ................................ 28 3. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani ............................... 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Korelasi Antara Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) dengan Keta- hanan Pangan Rumah Tangga .................................................. 31
IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ............................... 33 A. Keadaan Alam ................................................................................ 33
1. Letak dan Batas Wilayah ......................................................... 33 2. Keadaan Iklim .......................................................................... 33 3. Tata Guna Lahan ...................................................................... 34
B. Keadaan Penduduk ......................................................................... 35 1. Perkembangan Penduduk ......................................................... 35 2. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin ............. 35
C. Keadaan Perekonomian.................................................................. 37 1. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................. 37 2. Sarana Perekonomian ............................................................... 40
D. Keadaan Pertanian.......................................................................... 40 E. Keadaan Ketahanan Pangan Wilayah ............................................ 41
1. Ketersediaan Pangan ................................................................ 41 2. Konsumsi Energi dan Protein .................................................. 44 3. Pola Pangan Harapan (PPH) .................................................... 45
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 47 A. Karakteristik Rumah Tangga Responden ...................................... 47 B. Ketersediaan pangan pokok Rumah Tangga .................................. 49 C. Konsumsi pangan Rumah Tangga ................................................. 57
1. Pola Konsumsi Pangan ............................................................ 57 2. Kuantitas Konsumsi Pangan .................................................... 71
D. Ketahanan Pangan Rumah Tangga ................................................ 75
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 80 A. Kesimpulan .................................................................................... 80 B. Saran .............................................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 82
LAMPIRAN .............................................................................................. 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005 - 2009......................................................................
2
Tabel 2. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan dan Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009...............................................
3
Tabel 3. Luas Sawah Tadah Hujan dan Proporsinya Terhadap Luas Total Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009.........
3
Tabel 4. Luas Tanah Sawah Berdasar Jenis Irigasi di Kecamatan Bulu Dirinci Menurut Desa Tahun 2009..............................................
25
Tabel 5. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin Menurut WKNPG Tahun 2004....................................................
30
Tabel 6. Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Bulu Tahun 2009.......... 34
Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009................................................................
35
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Bulu Tahun 2009..............................................................................................
36
Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Bulu Tahun 2009..................................................................................
37
Tabel 10. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009.............................................
38
Tabel 11. Pendapatan Per Kapita Penduduk Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009....................................................................................
38
Tabel 12. Pengeluaran Untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2003-2007....................
39
Tabel 13. Sarana Perekonomian di Kecamatan Bulu Tahun 2009............... 40
Tabel 14. Luas Panen dan Total Produksi Tanaman Pangan di Kecamatan Bulu Tahun 2009..........................................................................
41
Tabel 15. Produksi, Ketersediaan, dan Kebutuhan Pangan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009.................................................................
42
Tabel 16. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 (Berdasar Hasil Survei)........
44
Tabel 17. Pola Pangan Harapan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009........... 45
Tabel 18. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo..................................................................
47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 19. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo........................
50
Tabel 20. Sebaran Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo................
55
Tabel 21. Distribusi Jenis Bahan Pangan dan Frekuensi Makan Petani Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo................
58
Tabel 22. Angka Kecukupan Gizi, Konsumsi Gizi, dan Tingkat Kecukupan Gizi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo...................................................................
72
Tabel 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.......................................
74
Tabel 24. Sebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Ketahanan Pangan Energi dan Protein Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo..........................................................
76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah.................................... 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Identitas Responden.......................................................... 85
Lampiran 2. Jumlah Input Pangan Pokok (Beras) ................................. 86
Lampiran 3. Jumlah Output Pangan Pokok (Beras)............................... 87
Lampiran 4. Jumlah Input, Output, dan Ketersediaan Pangan Pokok Rata-Rata Per Orang Per Hari............................................
88
Lampiran 5. Jenis dan Frekuensi Makan................................................. 89
Lampiran 6. AKG, Konsumsi Gizi, dan TKG Rumah Tangga Petani.... 92
Lampiran 7. AKG, Konsumsi Gizi, dan Ketahan Pangan Rumah Tangga Petani......................................................................
93
Lampiran 8. Hasil Analisis Korelasi TKG Dengan Ketahanan Pangan.. 94
Lampiran 9. Kuesioner............................................................................ 95
Lampiran 10. Peta Kecamatan Bulu ......................................................... 100
Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian............................................................ 101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
RINGKASAN
Dina Nur Ironi, 2011. “Analisis Ketersediaan Pangan Pokok dan Pola
Konsumsi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sokoharjo”. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sri Marwanti, MS dan Umi Barokah, S.P., M.P. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketersediaan pangan pokok (beras), mengetahui pola konsumsi rumah tangga, dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
Metode dasar penelitian ini adalah deskriptif analitis dan pelaksanaannya menggunakan teknik survei. Penelitian dilakukan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo. Penentuan sampel desa dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan luas lahan sawah tadah hujan yang terbesar. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Analisis data yang digunakan yaitu analisis ketersediaan pangan pokok, konsumsi pangan rumah tangga, ketahanan pangan rumah tangga, serta korelasi antara tingkat konsumsi gizi dan ketahanan pangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan pangan pokok pada rumah tangga petani sebesar 1.257,13 kkal/kap/hari dan termasuk dalam kategori rendah. Beras dalam rumah tangga petani berperan sebagai pangan pokok tunggal. Konsumsi umbi-umbian sebagai pangan sumber energi di samping pangan pokok masih rendah. Pangan sumber protein nabati lebih banyak dikonsumsi daripada pangan sumber protein hewani. Makanan sumber vitamin dan mineral seperti sayur-sayuran lebih sering dikonsumsi daripada buah-buahan. Rumah tangga mengkonsumsi makanan jadi sesuai selera dan kondisi. Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08 % dan tergolong kurang. Rata-rata Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga yaitu 95,36 % dan tergolong sedang. Sejumlah 60 % rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan 53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Korelasi antara TKE dengan ketahanan pangan energi adalah 0,581 pada tingkat kepercayaan 99 %, sedangkan korelasi antara TKP dengan ketahanan pangan protein adalah 0,917 pada tingkat kepercayaan 99 %. Kata kunci : ketersediaan pangan pokok, pola konsumsi, rumah tangga petani,
ketahanan pangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SUMMARY
Dina Nur Ironi, 2011. “Analysis of Staple Food Availability and Consumption Pattern of Farmer’s Household in Sub District Bulu Sukoharjo Regency”. Under the guidance of Dr. Ir. Sri Marwanti, MS and Umi Barokah, S.P., M.P. Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University Surakarta.
The aims of this study are to know the level of staple food availability, know the consumption pattern, and the level of food security in farmer’s household in Sub District Bulu Sukoharjo Regency.
The basic method of this study is descriptive analytical, use the survey technique in implementation. The study is conducted in Sub District Bulu Sukoharjo Regency. Sample village is choosen purposively because this village has the largests possess rainfed in Sub District Bulu. This research use primary and secondary data. Data analysis are the analysis of staple food availability, household food consumption pattern, household food security, and the correlation between the consumption level of nutrition and food security. The results showed that the average of staple food availability in farmer’s household is 1257,13 kcal/capita/day and classified in low category. Rice acts as a single staple food. Consumption of tubers as a food source of energy is thin Foods that is contents plant protein are more consumed than foods that is contents animal protein. Food sources of vitamins and minerals like vegetables are more frequently consumed than fruits. Households consume processed food according to taste and condition. Average of Energy Consumption Level in farmer’s household is 70,08 % and classified as less. While the average of Protein Consumption Level is 95,36 % and classified as moderate. Some of 60 % households classified as food insecure of energy and 53,33 % households classified as food secure of protein. Correlation between Energy Consumption Level and food security of energy is 0,581 (significant at 99 % confidence level), while correlation between Protein Consumption Level and food security of protein is 0,917 (significant at 99 % confidence level). Keywords: staple food availability, consumption patterns, farmer’s household,
food security
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan hidupnya. Pembangunan ketahanan pangan bertujuan
untuk mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rumah tangga, dalam
jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta
terjangkau oleh setiap individu. Istilah ketahanan pangan (food security)
menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan merupakan
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, merata dan
terjangkau. Sebaliknya, kerawanan pangan (food insecurity) diartikan sebagai
keadaan dimana terjadi keterbatasan atau ketidaktentuan persediaan dan
kesanggupan untuk mendapatkan makanan bergizi secara cukup dan aman
(BPOM RI, 1996).
Peningkatan ketahanan pangan merupakan prioritas utama dalam
pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia.
Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral
dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan
kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Penentu ketahanan pangan pada
tingkat nasional, regional, dan lokal dilihat dari tingkat produksi, permintaan,
persediaan dan perdagangan pangan. Sementara itu, penentu utama di tingkat
rumah tangga adalah akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, ketersediaan
pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan
tersebut (Sawit dan Ariani, 1997).
Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) sangat
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan
pada daerah tersebut. Sedangkan pada tingkat mikro (tingkat rumah tangga)
lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya
beli dan pemberian. Menurut Sajogyo dkk. (1996), faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan pangan di suatu wilayah diantaranya adalah
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
persaingan dalam hal lahan (tanah), sumberdaya manusia dan teknologi, impor
dan bantuan pangan, pola keberagaman pangan yang tersedia serta fluktuasi
dalam hal musim dan kondisi alam yang tak terduga. Dalam jalur mata rantai
pangan dan gizi, ketersediaan pangan menempati jalur pertama kemudian ke
jalur kemampuan rumah tangga menjangkau pangan yang tersedia itu, lalu ke
jalur kemauan orang untuk memperoleh pangan yang tersedia tersebut, pola
distribusi pangan dalam keluarga dan berakhir pada status gizi perorangan.
Dengan demikian, ketersediaan pangan menjadi salah satu penentu konsumsi
pangan penduduk.
Ancaman terhadap stabilitas suatu negara dapat terjadi apabila
ketersediaan pangan bagi rakyatnya tidak tercukupi. Oleh karena itu,
ketersediaan pangan khususnya beras sebagai makanan pokok sebagian besar
masyarakat Indonesia menjadi sangat sensitif guna mendukung tercapainya
tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ketersediaan
pangan pokok di tingkat rumah tangga petani padi salah satunya ditentukan
oleh produksi usahatani.
Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu kabupaten produsen padi
di Jawa Tengah. Perkembangan produksi padi di Kabupaten Sukoharjo dapat
dilihat dapada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Padi di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2005-2009
Tahun Produksi (Ton GKG) Produktivitas (Ku/Ha) 2005 299.206 64,43 2006 322.426 65,24 2007 322.426 69,88 2008 337.244 69,90 2009 357.525 70,87
Sumber : Sukoharjo Dalam Angka, 2010
Berdasarkan Tabel 1, produksi dan produktivitas padi di Kabupaten
Sukoharjo selama lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Meskipun
program peningkatan produksi pangan di tingkat kabupaten menunjukkan
keberhasilan, tetapi hal ini belum menjamin tersedianya pangan pokok di
tingkat rumah tangga dalam jumlah yang cukup dan aman. Produksi padi ini
terkait dengan masalah ketersediaan beras sebagai makanan pokok. Salah satu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya produksi adalah ketersediaan air.
Luas lahan sawah menurut jenis pengairan di Kabupaten Sukoharjo dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairan dan Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009
No. Kecamatan Irigasi Teknis (Ha)
Irigasi ½ Teknis (Ha)
Irigasi Sederhana
(Ha)
Tadah Hujan (Ha)
Jumlah (Ha)
1. Weru 1.018 20 511 376 1.989 2. Bulu 581 125 0 411 1.117 3. Tawangsari 1.484 0 147 25 1.656 4. Sukoharjo 2.363 0 0 0 2.363 5. Nguter 1.325 15 698 651 2.689 6. Bendosari 1.234 667 0 668 2.569 7. Polokarto 1.127 796 350 303 2.576 8. Mojolaban 2.234 0 0 0 2.234 9. Grogol 413 279 315 0 1.007
10. Baki 1.276 0 0 0 1.276 11. Gatak 1.266 0 0 0 1.266 12. Kartasura 515 0 0 0 515
Jumlah 14.900 1.902 2.021 2.434 21.257
Sumber : Sukoharjo Dalam Angka, 2010
Berdasar Tabel 2, ada enam kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang
memiliki lahan sawah dengan jenis pengairan tadah hujan, yaitu Kecamatan
Weru, Bulu, Tawangsari, Nguter, Bendosari dan Polokarto. Sawah tadah
hujan adalah sawah yang sumber air utamanya berasal dari air hujan. Dalam
satu tahun, sawah tadah hujan hanya mampu ditanami selama dua musim
tanam saja, sedangkan sawah dengan pengairan teknis bisa ditanami hingga
tiga musim tanam. Jenis pengairan ini akan mempengaruhi tinggi rendahnya
produksi padi. Adapun proporsi luas sawah tadah hujan terhadap luas sawah
total di masing-masing kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Luas Sawah Tadah Hujan dan Proporsinya Terhadap Luas Total Lahan Sawah di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009
No. Kecamatan Luas Total Lahan Sawah
(Ha)
Sawah Tadah Hujan Luas (Ha)
Proporsi dari luas total lahan sawah (%)
1. Weru 1.989 376 18,90 2. Bulu 1.117 411 36,79 3. Tawangsari 1.656 25 1,51 4. Nguter 2.689 651 24,21 5. Bendosari 2.569 668 26,00 6. Polokarto 2.576 303 11,76
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Berdasar Tabel 3, dapat diketahui bahwa proporsi lahan sawah tadah
hujan terhadap luas total lahan sawah di Kecamatan Bulu paling tinggi
dibandingkan dengan lima kecamatan lain di Kabupaten Sukoharjo yang juga
memiliki lahan sawah tadah hujan. Sawah tadah hujan memiliki
ketergantungan yang tinggi pada alam, sehingga pada musim kemarau tidak
dapat ditanami. Akibatnya, produksi padi menjadi rendah rendah karena
pemenuhan kebutuhan air bergantung pada curah hujan. Apabila pergantian
musim tidak menentu, maka produksi juga akan terganggu. Rendahnya
produksi akan berdampak pada ketersediaan pangan pokok dan pendapatan
petani. Apabila produksi rendah, maka pendapatan petani menjadi rendah
sehingga daya beli rumah tangga akan menurun.
Besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang
dikonsumsi suatu rumah tangga. Jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga
menentukan pola konsumsi pangan rumah tangga tersebut. Pola konsumsi
pangan sendiri juga sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonomi rumah
tangga yang lain seperti harga pangan, selera dan kebiasaan makan. Pola
konsumsi pangan rumah tangga didekati dengan jenis dan frekuensi makan
yang dapat mencerminkan kebiasaan makan dalam rumah tangga tersebut.
Jenis pangan yang dikonsumsi dalam rumah tangga akan berpengaruh pada
tingkat konsumsi gizinya. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998), konsumsi
pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan kemampuan rumah
tangga untuk membeli dan memperoleh pangan.
Secara kuantitas, konsumsi energi di Kabupaten Sukoharjo telah
mencapai angka 2026,4 kkal/kap/hari pada tahun 2009. Angka ini telah
memenuhi syarat kecukupan energi yang ditetapkan oleh Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII (WKNPG) Tahun 2004, yaitu sebesar 2000
kkal/kap/hari. Sedangkan secara kualitas, penganekaragaman konsumsi di
Kabupaten Sukoharjo masih perlu ditingkatkan. Kualitas konsumsi pangan
dapat dilihat dari skor Pola Pangan Harapan (PPH) Kabupaten Sukoharjo yang
baru mencapai 80,1 pada tahun 2009 (Badan Ketahanan Pangan Sukoharjo,
2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diadakan penelitian mengenai
ketersediaan pangan pokok (beras) dan pola konsumsi rumah tangga petani
sawah tadah hujan di Kecamatan Bulu, Kabupaten Sukoharjo.
B. Rumusan Masalah
Ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga
mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi
seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami
kehilangan kedua akses tersebut. Pemantaban ketahanan pangan masih
menghadapi berbagai tantangan dengan masih banyaknya proporsi penduduk
yang mengalami kerawanan pangan, bencana alam, rendahnya tingkat
pengetahuan gizi, serta masih tingginya angka kepetanian penduduk.
Ketahanan pangan dibedakan dalam empat tingkatan, yaitu
(1) ketahanan pangan nasional, (2) regional atau lokal, (3) ketahanan pangan
rumah tangga atau keluarga, serta (4) ketahanan pangan individu. Meskipun
secara nasional mempunyai ketahanan pangan yang baik, namun hal tersebut
tidak menjamin ketahanan pangan tingkat regional, bahkan rumah tangga atau
individu. Hal ini terjadi karena rumah tangga memiliki ketersediaan dan akses
pangan yang berbeda-beda.
Upaya mewujudkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga bukan
persoalan yang sederhana. Sulitnya menanggulangi sumber-sumber distorsi
akses terhadap pangan mengakibatkan kasus-kasus rawan pangan dalam
bentuk kekurangan energi dan protein (KEP) senantiasa terjadi dan bahkan
menjadi salah satu masalah utama peningkatan kualitas sumberdaya manusia
dari aspek gizi (Soekirman dalam Marwati, 2001). Pengalaman masa lalu
membuktikan, ketersediaan pangan yang tinggi di pasar tidak menjamin
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sehingga terjadi fenomena hunger
paradox. Hal ini terjadi ketika daya beli menurun, sehingga banyak rumah
tangga tidak mampu membeli pangan dan mengalami kelaparan. Pada kondisi
demikian, ketersediaan pangan yang berlimpah menjadi tidak banyak berarti.
Keterbatasan pemenuhan kebutuhan pangan dalam rumah tangga antara
lain disebabkan karena keterbatasan fisik dan ekonomi, bencana alam serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
berbagai faktor sosial masyarakat. Besarnya proporsi lahan sawah dengan
jenis pengairan tadah hujan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo akan
mempengaruhi produksi padi dan pendapatan petani, yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada pola konsumsi, tingkat konsumsi, dan ketahanan pangan
rumah tangga petani. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah ketersediaan bahan pangan pokok (beras) pada rumah
tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo?
2. Bagaimana pola konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo?
3. Bagaimana ketahanan pangan tingkat rumah tangga petani di Kecamatan
Bulu Kabupaten Sukoharjo?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui tingkat ketersediaan bahan pangan pokok (beras) pada rumah
tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo.
2. Mengetahui pola konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu
Kabupaten Sukoharjo.
3. Mengetahui ketahanan pangan tingkat rumah tangga petani di Kecamatan
Bulu Kabupaten Sukoharjo.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan terutama yang
berkaitan dengan topik penelitian serta merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bagi pemerintah daerah Kabupaten Sukoharjo, penelitian ini berguna
sebagai sumbangan pemikiran dan sumber informasi dalam pengambilan
kebijakan khususnya dalam hal ketahanan pangan di Kecamatan Bulu,
Kabupaten Sukoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
3. Bagi pembaca, penelitian ini berguna sebagai wacana dalam menambah
pengetahuan mengenai ketahanan pangan, khususnya mengenai tingkat
ketersediaan pangan pokok dan pola konsumsi di tingkat rumah tangga.
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi untuk pengembangan penelitian
selanjutnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
II. LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Yuliasih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis
Ketersediaan Pangan Pokok dan Konsumsi Pangan Keluarga Miskin dan
Tidak Miskin di Kabupaten Karanganyar menjelaskan bahwa ketersediaan
pangan pokok keluarga miskin dan tidak miskin di Kabupaten Karanganyar
tergolong rendah. Ketersediaan pangan pokok keluarga miskin sebesar
878,849 kkal/kap/hari (244,125 gram/kap/hari) sedangkan ketersediaan
pangan pokok keluarga tidak miskin sebesar 1.054,491 kkal/kap/hari (289,296
gram/kap/hari). Kuntitas konsumsi pangan yang dilihat dari Tingkat
Kecukupan Energi (TKE) menunjukkan bahwa keluarga miskin termasuk
dalam kategori sedang sedangkan keluarga tidak miskin termasuk kategori
baik. Secara keseluruhan, keluarga tidak miskin lebih berpotensi tahan pangan
dibandingkan dengan keluarga miskin.
Purwantini dan Ariani (2008) dalam penelitiannya yang berjudul
Pola Konsumsi Pangan Pada Rumah Tangga Petani Padi menyatakan bahwa
pada umumnya pada rumah tangga petani padi, beras merupakan pangan
pokok yang dikonsumsi dalam jumlah yang tinggi. Pola pangan pokok berupa
beras ini sulit untuk diubah walaupun rumah tangga menghadapi musim
paceklik. Petani tidak akan mengganti beras sebagai sumber pangan pokok
meskipun harga beras meningkat. Analisis data menunjukkan bahwa
sumbangan energi terbesar berasal dari kelompok padi-padian, yaitu berkisar
44 - 69 %. Sebagai produsen padi, sebagian besar rumah tangga petani
mengkonsumsi beras dari hasil usahatani sendiri. Selain hasil sendiri, rumah
tangga memperoleh beras dari pembelian, baik melalui raskin atau di pasar.
Hanya sebagian kecil saja yang memperoleh beras dari pemberian.
Berdasarkan penelitian terdahulu, Peneliti mengetahui bahwa rumah
tangga petani memperoleh pangan pokok berupa beras dari hasil usahatani
sendiri, pembelian dan pemberian. Analisis mengenai ketersediaan pangan
pokok ini penting untuk dilakukan karena beras yang termasuk dalam
8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
kelompok padi-padian merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk
Indonesia dan memberikan sumbangan energi terbesar bagi rumah tangga
petani. Di samping itu, ketersediaan beras juga dapat dipakai sebagai salah
satu indikator ketahanan pangan rumah tangga.
Selanjutnya, Peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai pola
konsumsi rumah tangga petani yang mengusahakan sawah dengan sistem
pengairan tadah hujan dan memiliki pola tanam padi-palawija. Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ketersediaan pangan pokok petani
padi-palawija lebih rendah dibandingkan petani padi-padi. Hal ini akan
berpengaruh pada pola konsumsi pangan rumah tangga, yang pada akhirnya
akan menentukan tingkat ketahanan pangan rumah tangga terkait dengan
kecukupan gizinya.
B. Tinjauan Pustaka
1. Pangan
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi
sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan
diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,
terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap
warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu (Saliem
dkk, 2001). Sedangkan pengertian pangan menurut Undang-Undang No. 7
Tahun 1996 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan makanan,
bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan
pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman.
Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi
sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan
diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup,
terdistribusi dengan harga terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap
warga untuk menopang aktivitasnya sehari-hari sepanjang waktu. Pangan
sebagai bagian dari hak azasi manusia (HAM) mengandung arti bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya.
Pemenuhan kebutuhan pangan dalam konteks ketahanan pangan
merupakan pilar bagi pembentukan sumberdaya manusia berkualitas yang
diperlukan untuk meningkatkan daya saing bangsa Indonesia di tataran
global (Ariani dan Purwantini, 2005).
2. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan dari hasil produksi
dalam negeri dan atau sumber lain. Indikator ini masih bersifat makro,
karena bisa saja pangan tersedia, tapi tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan
konsumsi, namun dinilai belum cukup. Untuk itu diperlukan pemahaman
kinerja konsumsi pangan menurut wilayah (kota-desa) dan pendapatan
(tinggi-sedang-rendah). Indikator yang dapat digunakan adalah tingkat
partisipasi dan tingkat konsumsi pangan, keduanya menunjukkan tingkat
aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan (DKP, 2007). Walaupun
pangan tersedia pada suatu wilayah, jika tidak dapat diakses masyarakat
maka kinerjanya rendah. Aksesibilitas tersebut menggambarkan aspek
pemarataan dan keterjangkauan. Karena menurut PP No.68/2002,
pemerataan mengandung makna adanya distribusi pangan ke seluruh
wilayah sampai tingkat rumah tangga sedangkan keterjangkauan adalah
keadaan di mana rumah tangga secara berkelanjutan mampu mengakses
pangan sesuai dengan kebutuhan untuk hidup yang sehat dan produktif.
Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim,
akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan,
pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial.
Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi
kekurangan pangan. Dalam aspek ketersediaan yang tidak kalah pentingnya
adalah masalah cadangan pangan. Dalam masalah cadangan pangan yang
perlu diperhatikan adalah pengembangan cadangan pangan untuk
mengantisipasi kondisi darurat, mengatasi berfluktuasinya produksi yang
melimpah pada suatu waktu dan kekurangan pada waktu yang lain,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
cadangan pangan dalam arti buffer stock juga menghindari fluktuasi harga
yang merugikan, disamping itu pengembangan cadangan pangan hidup
melalui pengembangan pekarangan patut juga dikembangkan
(DKP, 2007).
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak
menjamin adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah
tangga/individu. Penentu ketahanan pangan di tingkat nasional, regional
dan lokal dapat dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan
perdagangan pangan. Sementara itu, penentu utama di tingkat rumah
tnagga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan
pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan
tersebut (Saliem dkk., 2001)
Karena merupakan kebutuhan dasar manusia, maka pangan haruslah
pada setiap waktu dan tempat tersedia dalam kuantitas yang cukup dan
dapat diakses (harganya terjangkau). Secara normatif sumber utama
pasokan pangan harus dapat diproduksi sendiri. Kendala yang dihadapi
dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita terutama
adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (i) laju
perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (ii) konversi lahan
pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, (iii) degradasi sumberdaya
air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia
lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam pertumbuhan
produktivitas yang diduga kuat merupakan akibat dari: (i) over intensifikasi
pertanian yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip pertanian
berkelanjutan (intensitas tanam tinggi, monokultur, dosis pupuk anorganik
berlebih, sangat kurang/tanpa menggunakan pupuk organik), (ii) sulitnya
inovasi dan adopsi teknologi dalam pengembangan komoditas pangan
berdaya hasil tinggi akibat dari sangat terbatasnya anggaran dan
infrastruktur pendukung (Sumaryanto, 2009).
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam
pengukuran untuk mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Penentuan jangka waktu ketersediaan pangan pokok di pedesaan, biasanya
dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan
musim tanam berikutnya. Perbedaan jenis makanan pokok yang
dikomsumsi antara dua daerah juga membawa implikasi pada penggunaan
ukuran yang berbeda. Ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada
jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya
hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber
mata pencaharian pokok (Simangunsong, 2010).
3. Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pola
konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis dan
frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan
merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu
(Aritonang, 2004).
Jumlah macam makanan, jenis, serta banyaknya bahan makanan
dalam pola pangan di suatu negara atau daerah tertentu biasanya
berkembang dari pangan setempat atau pangan dari pangan yang telah
ditanam di wilayah tersebut dalam jangka waktu yang panjang. Di samping
itu, kelangkaan pangan dan kebiasaan bekerja keluarga akan berpengaruh
pula terhadap pola pangan. Pangan pokok yang digunakan dalam suatu
negara biasanya juga menjadi pangan pokok di sebagian besar wilayah
negara tersebut (Suhardjo, 2003).
Secara umum menurut Aritonang (2004), faktor-faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi dan harga serta
faktor sosio budaya dan religi seperti yang dijelaskan berikut ini.
a. Faktor ekonomi dan harga
Keadaan ekonomi keluarga relatif mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan
miskin. Hal ini disebabkan karena penduduk golongan miskin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Perubahan pendapatan ecara langsung dapat
mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya
pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan
keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang
untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
Sebaliknya, penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan
dalam hal kualitas dan kuantitas pangan yang dibeli.
b. Faktor sosio budaya dan religi
Kebudayaan suatu bangsa mempunyai kekuatan yang
berpengaruh terhadap penilaian bahan makanan yang digunakan untuk
dikonsumsi. Aspek sosio budaya pangan adalah fungsi pangan dalam
masyarakat yang berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan,
agama, adat kebiasaan, dan pendidikan masyarakat tersebut.
Kebudayaan akan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan
yang menyangkut pemilihan jenis pangan, persiapan, serta
penyajiannya.
Kebiasaan makan seseorang atau keluarga merupakan hasil proses
belajar yang berlangsung selama hidupnya. Setiap keluarga atau
masyarakat mempunyai aturan-aturan, rasa suka atau tidak suka,
kepercayaan terhadap jenis makanan yang tersedia, sehingga membatasi
pilihannya terhadap jenis-jenis makanan. Kebiasaan makan juga akan
mempengaruhi pilihan pangan. Apabila kebiasaan ini berlangsung dalam
kurun waktu yang cukup lama, maka akan dapat menggambarkan suatu
pola konsumsi pangan individu, keluarga, atau masyarakat (Pilgrim dalam
Marwati, 2001).
Kebiasaan makan merupakan suatu pola perilaku konsumsi pangan
yang diperoleh karena terjadi berulang-ulang. Menurut Almatsier (2004),
kebiasaan makan suatu masyarakat salah satunya tergantung dari
ketersediaan pangan di daerah tersebut yang pada umumnya berasal dari
usaha tani. Selain faktor ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan mereka.
Faktor sosial yang mempengaruhi antara lain: 1) keadaan penduduk suatu
masyarakat (jumlah, umur, distribusi jenis kelamin dan geografis); 2)
keadaan keluarga (besar keluarga, hubungan, jarak kelahiran); 3)
pendidikan (tingkat pendidikan ibu/ayah). Faktor ekonomi yang
mempengaruhi antara lain: 1) pekerjaan (pekerjaan utama, pekerjaan
tambahan); 2) Pendapatan keluarga; 3) Pengeluaran; 4) Harga pangan yang
tegantung pada pasar dan variasi musim.
4. Kuantitas Konsumsi Pangan
Penilaian asupan gizi dapat dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Secara kuantitif didasarkan pada jumlah setiap zat gizi yang
dikonsumsi dibanding dengan kecukupan gizi yang berlaku sedangkan
kualitas asupan dinilai secara kolektif dari semua zat gizi yang dibutuhkan
agar tersedia secara proporsional. Pada orang sehat penilaian asupan gizi
disesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG) (Hardinsyah dan Victor
Tambunan, 2004) .
Penilaian pangan dari sisi kuantitas melihat volume pangan yang
dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung dalam bahan pangan.
Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan
sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang
dikenal sebagai Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang direkomendasikan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Untuk menilai kuantitas konsumsi
pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP). Beberapa kajian menunjukkan
bahwa bila konsumsi energi dan protein terpenuhi sesuai dengan norma
atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka zat-zat
lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan (Anonim, 2008).
AKG adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi
semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh,
aktivitas tubuh dan kondisi fisiologis khusus untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Ketetapan tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
di Indonesia, saat ini menjadi acuan untuk menetapkan standar pemenuhan
kebutuhan gizi penduduk Indonesia menurut jenis kelamin, umur dan
kondisi fisiologis. Secara ilmiah penetapan kebutuhan gizi dibedakan
menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan dan iklim. Pemanfaatan Angka
Kecukupan gizi adalah untuk menilai kemampuan pemenuhan kebutuhan
dasar atas pangan penduduk. Selanjutnya dapat dijadikan acuan untuk
menduga adanya kondisi rawan pangan penduduk jika parameter
pencapaian asupan gizi dibawah standar normal populasi (BPOM, 2009).
Menurut Supariasa dkk. (2002), jumlah dan komposisi gizi yang
diperoleh seseorang atau kelompok orang dari konsumsi pangannya dapat
dihitung atau dinilai dari jumlah pangan yang dikonsumsi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Secara umum,
penilaian jumlah zat gizi yang dikonsumsi dihitung sebagai berikut :
Dimana,
KGij : kandungan zat giizi tertentu (i) dari pangan j atau makanan yang
dikonsumsi sesuai dengan satuannya
BPj : berat makanan atau pangan j yang dikonsumsi (gram)
Bddj : bagian yang dapat dimakan (dalam % atau gram dari 100 gram
pangan atau makanan j)
Gij : zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j
5. Ketahanan Pangan
Undang-undang No. 7 tahun 1996 mendefinisikan ketahanan
pangan (food security) sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan
berhubungan dengan empat aspek yaitu: 1) ketersediaan (makanan yang
cukup dan siap sedia digunakan); 2) akses (semua anggota dalam rumah
tangga tersebut memiliki sumber yang cukup dalam rangka memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
makanan yang sesuai); 3) utilisasi (kemampuan tubuh manusia untuk
mencerna dan melakukan metabolisme terhadap makanan yang dikonsumsi
dan fungsi sosial makanan dalam menjaga keluarga dan masyarakat); dan
4) keberlanjutan (ketersediaan makanan untuk jangka waktu yang lama).
Keempat aspek tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya
(Usfar dalam Mangkoeto, 2009).
Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat
lebih dipahami sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup,
diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang
berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang
bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari
kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan
yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan
mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau
(Anonim, 2008)
UU ini sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) tahun 1992, yakni akses setiap rumah tangga atau individu
untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup
yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan
pangan disebut sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk
dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang
sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau
budaya setempat (Pambudy, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Secara hirarki, ketahanan pangan dapat pada tingkat global,
regional, nasional, lokal (daerah), rumah tangga dan individu. Tingkat
ketahanan pangan yang lebih tinggi merupakan syarat yang diperlukan
(necessary condition) bagi tingkat ketahanan pangan yang lebih rendah,
tetapi bukan syarat yang mencukupi (sufficient condition). Artinya,
tercapainya ketahanan pangan di tingkat wilayah tidak menjamin
tercapainya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya fakta bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah
(provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah
tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan (Rachman dalam
Ilham dan Sinaga, 2008).
Menurut Suhardjo dalam Ilham dan Sinaga (2008), ketahanan
pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1)
tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi
pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi
pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan
utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan
sosial, seperti migrasi, menjual/menggadaikan asset, (7) keadaan konsumsi
pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan serta (8)
status gizi. Makin besar angka ketersediaan pangan untuk dikonsumsi,
makin tersedia pangan di tingkat nasional. Aksesibilitas pangan dapat
diproksi dari tingkat konsumsi rumah penduduk yang ada dari data
Susenas. Makin tinggi konsumsi penduduk makin tinggi pula akses
penduduk tersebut terhadap pangan.
Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan kemampuan
rumahtangga tersebut untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya (Van
Braun et al dalam Mangkoeto, 2009). Hal ini menyiratkan akses fisik dan
ekonomi terhadap pangan yang cukup dalam kuantitas dan kualitas gizi,
aman dan dapat diterima oleh budaya setempat untuk memeuhi kebutuhan
tiap anggota keluarga. Akses rumahtangga terhadap pangan merupakan
strategi-strategi untuk mendapatkan makanan dari berbagai sumber.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Makanan bagi suatu rumah tangga dapat berasal dari beberapa sumber
antara lain: dengan memproduksi sendiri, membeli, atau berasal dari
pemberian.
Ketahanan pangan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang
tidak dapat ditunda-tunda karena setiap individu berhak memperoleh
pangan yang cukup, baik dalam jumlah dan mutu untuk hidup sehat dan
produktif. Ketahanan pangan mensyaratkan ketersediaan pangan yang
cukup bagi seluruh masyarakat dan kemampuan memperoleh pangan
sehari-hari. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum
menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sebab kelancaran
distribusi sampai ke pemukiman dan daya jangjau fisik dan ekonomi rumah
tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang penting (Lamba, 2006).
C. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
oleh karenanya merupakan bagian dari hak azasi individu yang wajib
dipenuhi. Ketahanan pangan dipandang sebagai hal yang sangat penting dalam
rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia
berkualitas, mandiri dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
diwujudkan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi dan
beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
Pada umumnya, banyak orang berpendapat bahwa ketahanan pangan di
suatu wilayah adalah representasi dari ketahanan pangan tingkat individu dan
rumah tangga. Padahal, rumah tangga dengan berbagai karakteristik dan faktor
sosial ekonomi yang mempengaruhinya memiliki akses yang berbeda-beda
untuk memenuhi kecukupan pangan. Oleh karena itu, di tengah kondisi
ketersediaan pangan yang tinggi, ternyata masih banyak dijumpai orang yang
mengalami defisit energi dan protein, maupun rumah tangga yang berada
dalam kondisi rawan pangan.
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan
suatu wilayah. Ketersediaan pangan pokok mengisyaratkan adanya rata-rata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
pasokan pangan pokok yang cukup tersedia setiap saat. Bahan pangan pokok
yang paling utama mendapat perhatian dari pemerintah adalah beras karena
dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Beras hingga kini masih merupakan salah satu komoditi pangan pokok
bagi masyarakat Indonesia dan merupakan komoditi strategis bagi
pembangunan nasional. Yuliasih (2007) menyatakan bahwa ketersediaan
pangan pokok (beras) merupakan sejumlah beras yang tersedia dan siap
dikonsumsi oleh keluarga sebagai pangan pokok keluarga. Salah satu syarat
terwujudnya ketahanan pangan keluarga adalah ketersediaan pangan yang
cukup bagi setiap anggota keluarga, dimana ketersediaan pangan dapat
diperoleh dari produksi usahatani dan pembelian baik dengan harga normal
maupun harga raskin, yang dikurangi dengan pangan yang dijual, digunakan
untuk benih, zakat fitrah, serta pangan yang diberikan kepada pihak lain.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII pada tahun 2004
merumuskan bahwa Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang
Indonesia pada tingkat konsumsi sebesar 2.000 kkal/kap/hari dan Angka
Kecukupan Protein (AKP) sebesar 52 gram/kap/hari. Sedangkan ketersediaan
pangan pokok rumah tangga menurut Adi dkk. dalam Yuliasih (2007) dapat
dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
a. Rendah : KP < 1400 kkal/kap/hari
b. Sedang : 1400 kkal/kap/hari ≤ KP ≤ 1600 kkal/kap/hari
c. Tinggi : KP > 1600 kkal/kap/hari
Konsumsi pangan merupakan gambaran dari aspek ketersediaan dan
kemampuan keluarga untuk membeli dan memperoleh pangan, sehingga
konsumsi pangan dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menilai ketahanan
pangan. Konsumsi pangan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu kualitas dan
kuantitas. Secara kualitas, konsumsi pangan dilihat dari ukuran penilaian mutu
konsumsi pangan. Sedangkan secara kuantitas, konsumsi pangan lebih
ditujukan kepada banyaknya zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan
standar kecukupan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Dengan melihat aspek konsumsi pangan, maka dapat diukur ketahanan
pangan pada tingkat rumah tangga. Sumarwan dan Sukandar (1998)
merumuskan ketahanan pangan rumah tangga/keluarga dengan melihat kepada
terpenuhinya kebutuhan energi dan protein.
Berdasarkan teori di atas, maka dapat digambarkan kerangka berpikir
pendekatan masalah sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Berpikir Pendekatan Masalah
D. Asumsi-Asumsi
Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Konsumen bersifar rasional, artinya konsumen dalam hal ini adalah
petani, menjadikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya dan
memaksimalkan kepuasannya dan anggota keluarganya.
2. Distribusi pangan dianggap berjalan normal, tidak ada hambatan dalam
penyaluran pangan.
3. Jenis dan kualitas beras dianggap sama.
4. Tidak ada padi/beras yang tercecer dan hilang saat pendistribusian.
Rumah tangga petani
Ketersediaan pangan
Konsumsi pangan rumah tangga
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
1. Produksi usahatani padi dari sawah tadah hujan
2. Pembelian harga normal
3. Pembelian harga raskin
(1,2,3) dikurangi : a. Dijual b. Zakat fitrah c. Diberikan pihak lain
Kuantitas - TKE - TKP
Pola konsumsi pangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
E. Pembatasan Masalah
1. Ketersediaan pangan pokok dibatasi pada komoditas beras.
2. Pengukuran ketersediaan pangan pokok dibatasi pada ketersediaan
beras di rumah tangga petani dalam jangka waktu satu tahun.
3. Input pangan pokok dihitung berdasarkan data produksi pada musim
tanam terakhir, yaitu musim tanam I (Okotober 2009 - Januari 2010)
dan musim tanam II (Februari 2010 - Mei 2010).
4. Konsumsi yang dihitung terbatas pada makanan yang dikonsumsi oleh
petani dan anggota keluarganya yang tinggal dalam satu rumah.
5. Penilaian konsumsi pangan dibatasi pada konsumsi energi dan protein.
F. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan
dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
makanan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan pengolahan dan atau pembuatan makanan dan
minuman (UU No. 7 Tahun 1996).
2. Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering
dikonsumsi atau dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud sebagai pangan pokok adalah
beras.
3. Ketersediaan pangan pokok yaitu tersedianya beras dalam jumlah yang
cukup aman untuk semua orang dalam suatu rumah tangga, baik yang
berasal dari produksi sendiri atau sumber lain untuk menghadapi
keadaan darurat, yang dinyatakan dalam gram/kap/hari beras dan
dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari.
4. Konsumsi pangan adalah pemanfaatan pangan untuk memenuhi
kecukupan gizi dalam upaya untuk menjaga kesehatan dan
meningkatkan produktivitas (DKP, 2007).
5. Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang biasa dimakan
mencakup jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi/dimakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
seseorang atau sekelompok penduduk dalam frekuensi dan jangka
waktu tertentu (Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010).
Dalam penelitian ini, pola konsumsi pangan dinilai dengan jenis dan
frekuensi pangan.
6. Konsumsi energi adalah sejumlah energi pangan, yang dinyatakan
dalam kilokalori (kkal) yang dikonsumsi per orang per hari. Dalam
perhitungan, nilai asupan energi dikonversi berdasarkan Daftar
Konsumsi Bahan Makanan (DKBM) (WKNPG, 2004).
7. Konsumsi protein adalah sejumlah protein pangan, yang dinyatakan
dalam gram yang dikonsumsi per orang per hari. Dalam perhitungan,
nilai asupan protein dikonversi berdasarkan Daftar Konsumsi Bahan
Makanan (DKBM) (WKNPG, 2004).
8. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) adalah perbandingan antara jumlah
konsumsi energi dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang
dianjurkan, yang dinyatakan dalam %.
9. Tingkat Konsumsi Protein (TKP) adalah perbandingan antara jumlah
konsumsi protein dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang
dianjurkan, yang dinyatakan dalam %.
10. Norma kecukupan gizi adalah sejumlah zat gizi atau energi pangan
yang diperlukan oleh seseorang atau rata-rata kelompok orang untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam penelitian ini, berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) menurut umur dan jenis kelamin yang
dianjurkan dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004.
11. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) adalah daftar yang
menyajikan komposisi bahan makanan untuk menghitung besarnya zat
gizi dari bahan makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga dengan
cara mengkonversikan kebutuhan kalori dan protein yang diperlukan.
12. Rumah tangga petani adalah rumah tangga yang salah satu anggotanya
melakukan kegiatan bertani, berkebun, beternak, atau berusaha dalam
jasa pertanian dengan tujuan untuk menjual seluruh atau sebagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
produk pertanian mereka atau memperoleh pendapatan (Kartika dalam
Mangkoeto, 2009).
13. Responden adalah seseorang yang mengambil keputusan dalam rumah
tangga petani.
14. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam
jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau (UU No. 7 Tahun 1996).
Dalam penelitian ini, ketahanan pangan tingkat rumah tangga dilihat
dari ketersediaan pangan pokok dan konsumsi pangan, khususnya
kuantitas pangan yang dinilai dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE)
dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
III. METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis menurut Surakhmad (1994)
adalah suatu metode yang memusatkan perhatian pada pemecahan masalah
yang ada pada masa sekarang. Penelitian deskriptif bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau sekelompok orang
tertentu, atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala
atau lebih.
Metode deskriptif menurut Surakhmad (1994) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Memusatkan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, pada
masalah-masalah yang aktual.
b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian
dianalisa (karena itu metode ini sering disebut metode analitik).
Adapun teknik pelaksanaan penelitian yang digunakan adalah dengan
cara survey, yaitu pengumpulan data dari sejumlah unit atau individu dari
suatu populasi dalam jangka waktu yang bersamaan dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data (Singarimbun dan Effendi, 1995).
B. Metode Penentuan Lokasi
Penentuan daerah penelitian dipilih secara sengaja (purposive), yaitu
dengan mempertimbangkan alasan yang diketahui berdasar tujuan penelitian.
Penelitian dilakukan di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo, dengan
populasi sasaran adalah rumah tangga petani pemilik penggarap yang
mengerjakan sawah dengan sistem pengairan tadah hujan. Adapun pemilihan
sampel desa dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa desa
tersebut memiliki tanah sawah tadah hujan dengan luas yang terbesar. Adapun
perincian luas tanah sawah berdasarkan jenis pengairan di masing-masing
desa di Kecamatan Bulu dapat dilihat pada Tabel 4.
24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Tabel 4. Luas Tanah Sawah Berdasar Jenis Irigasi di Kecamatan Bulu Dirinci Menurut Desa Tahun 2009
No. Desa Irigasi teknis
Irigasi ½ teknis
Irigasi sederhana
Tadah hujan
Jumlah
1. Sanggang 2 3 0 5 10 2. Kamal 0 0 0 20 20 3. Gentan 5 24 0 51 80 4. Kedungsono 0 0 0 78 78 5. Tiyaran 0 34 0 95 129 6. Bulu 25 32 0 90 147 7. Kunden 70 20 0 56 146 8. Puron 70 6 0 14 90 9. Malangan 104 0 0 0 104 10. Lengking 82 0 0 0 82 11. Ngasinan 128 0 0 2 130 12. Karangasem 95 6 0 0 101
Jumlah 581 125 0 411 1.117
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka, 2009/2010
Berdasar Tabel 4, Desa Tiyaran dipilih sebagai lokasi penelitian karena
luas sawah tanah hujan yang ada di wilayah tersebut paling luas dibandingkan
dengan desa yang lain, yaitu 95 hektar.
C. Metode Pengambilan Sampel
Data yang dianalisis menurut Singarimbun dan Effendi (1995), jumlah
sampelnya harus normal, karena distribusi nilai-nilai yang diperoleh harus
mengikuti sebaran normal. Jumlah sampel minimal adalah 30 sampel dari
seluruh populasi petani. Oleh karena itu, dalam penelitian ini,
sampel/responden yang diamati adalah 30 petani pemilik penggarap yang
melakukan usahatani padi dengan sistem pengairan tadah hujan.
Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Systematic Sampling. Pengambilan sampel secara sistematis
(systemtic sampling) adalah suatu metode pengambilan sampel dimana hanya
unsur pertama saja dari sampel yang dipilih secara acak, sedangkan unsur-
unsur selanjutnya dipilih secara sistematis menurut suatu pola tertentu yang
disebut interval. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menyusun
populasi dalam suatu daftar dan memberi nomor urut pada setiap satuan
populasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Pada penelitian ini, jumlah populasi petani pemilik penggarap sawah
tadah hujan di lokasi penelitian adalah 201 orang dan besar sampel yang akan
diambil adalah 30 orang. Interval adalah hasil bagi antara jumlah populasi dan
jumlah sampel sehingga didapatkan nilai 6. Sampel pertama dipilih secara
acak dengan cara mengundi responden yang memiliki nomor urut 1 sampai 6.
Sampel berikutnya ditentukan dengan menambahkan nilai 6 pada nomor urut
sampel pertama. Demikian seterusnya hingga didapatkan sampel ke-30.
D. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data penelitian yang berasal dari sumber data
yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan
dilakukan dengan teknik survei menggunakan kuesioner. Kuesioner
merupakan instrumen pengumpulan data dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Data
primer meliputi data mengenai produksi padi, jumlah input dan output
beras, jenis dan frekuensi makan, serta jenis dan banyaknya makanan
yang dikonsumsi 24 jam yang lalu.
b. Data Sekunder
Data sekuder merupakan data yang telah tersedia dalam
berbagai bentuk. Biasanya sumber data ini lebih banyak sebagai data
statistik atau data yang sudah dioleh sedemikian rupa sehingga siap
digunakan. Data dalam bentuk statistik biasanya tersedia pada kantor-
kantor pemerintahan, perusahaan swasta, atau badan lain yang
berhubungan dengan penggunaan data (Daniel, 2002).
Data sekunder dalam penelitian ini meliputi data mengenai
kondisi umum Kecamatan Bulu yang terdiri dari keadaan alam,
keadaan penduduk, keadaan perekonomian, keadaan pertanian, dan
kondisi ketahanan pangan wilayah. Data sekunder diperoleh dari Dinas
Pertanian Kabupaten Sukoharjo, Badan Ketahanan Pangan Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Sukoharjo, Badan Pusan Statistik (BPS) Kabupaten Sukoharjo, serta
Kecamatan Bulu.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data primer melalui tanya
jawab langsung kepada responden (petani) dengan bantuan daftar
pertanyaan dan catatan sebagai alat bantu.
b. Observasi
Teknik ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung objek
penelitian yang berupa kondisi wilayah dan responden.
c. Pencatatan
Teknik pengumpulan data dengan cara mencatat data, baik data dari
responden maupun data yang ada pada instansi pemerintah atau lembaga
yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian.
d. Recall
Menurut Supariasa (2002), recall merupakan teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam memperoleh data konsumsi pangan
individu. Prinsip dari metode recall adalah mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu.
E. Metode Analisis Data
1. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Petani
Ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani diukur dengan
cara menginventarisasi pangan pokok (beras) yang tersedia di keluarga,
baik yang diperoleh dari produksi sendiri, pembelian dengan harga pasar
(harga normal), dan pembelian dengan harga raskin dalam satuan gram,
kemudian dikonversikan ke dalam satuan energi, yaitu kkal/kapita/hari.
Secara matematis, besarnya ketersediaan pangan pokok rumah tangga
petani dihitung dengan rumus :
S =
Keterangan :
S : ketersediaan pangan pokok rumah tangga petani (gram/kap/hari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
beras dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)
I1 : input pangan pokok dari produksi usahatani (gram/kap/hari beras
dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)
I2 : input pangan pokok dari pembelian harga normal di pasar
(gram/kap/hari beras dan dikonversi ke dalam satuan
kkal/kap/hari)
I3 : input pangan pokok dari pembelian harga raskin (gram/kap/hari
beras dan dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)
O1 : output pangan pokok yang dijual (gram/kap/hari beras dan
dikonversi ke dalam satuan kkal/kap/hari)
O2 : output pangan pokok yang digunakan sebagai zakat fitrah
(gram/kap/hari beras dan dikonversi ke dalam satuan
kkal/kap/hari)
O3 : output pangan pokok yang diberikan pada orang lain
(gram/kap/hari beras dan dikonversi ke dalam satuan
kkal/kap/hari)
Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam
pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah
yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Menurut Adi
dkk. dalam Yuliasih (2007), ketersediaan pangan pokok rumah tangga
dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :
a. Rendah : KP < 1400 kkal/kap/hari
b. Sedang : 1400 kkal/kap/hari ≤ KP ≤ 1600 kkal/kap/hari
c. Tinggi : KP > 1600 kkal/kap/hari
2. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Petani
Penilaian konsumsi pangan rumah tangga dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu kualitas dan kuantitas konsumsi pangan. Dalam penelitian ini,
penilaian konsumsi pangan akan dilihat dari aspek kuantitas pangan untuk
menentukan ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kuantitas konsumsi
pangan dapat diukur dari zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan,
Data konsumsi pangan dapat diperoleh menggunakan recall method selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
1 x 24 jam (Supariasa, 2002). Dalam metode ini, responden diminta
menceritakan semua pangan yang dimakan dan diminum selama 24 jam
yang lalu. Jumlah konsumsi pangan dinyatakan dengan URT (Ukuran
Rumah Tangga) seperti sendok, gelas, potong, dan sebagainya. URT akan
dikonversi ke dalam satuan gram sesuai dengan ukuran yang berlaku di
daerah penelitian.
Secara umum, penilaian jumlah zat gizi yang dikonsumsi dihitung
sebagai berikut :
Keterangan :
KGij : kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan j atau makanan yang
dikonsumsi sesuai dengan satuannya
BPj : berat makanan atau pangan j yang dikonsumsi (gram)
Bddj : bagian yang dapat dimakan (%)
Gij : zat gizi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j
Sesuai dengan rumus di atas, maka untuk mengukur jumlah
konsumsi energi dapat digunakan rumus sebagai berikut :
Dimana Gej adalah energi yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j.
Sedangkan konsumsi protein dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
Dimana Gpj adalah protein yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j
Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang
dikonsumsi dan kandungan zat gizi yang dikandung dalam bahan makanan.
Kedua hal ini digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan rumah
tangga tersebut sudah cukup memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup
sehat (AKG). Untuk mengukur jumlah konsumsi pangan secara kuantitatif,
digunakan parameter Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Konsumsi Protein (TKP). Data tingkat energi dan protein diperoleh melalui
food recall 1 x 24 jam.
Dimana,
TKE : Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga (%)
TKP : Tingkat Konsumsi Protein Rumah Tangga (%)
∑ konsumsi energi : jumlah konsumsi energi rumah tangga (kkal)
∑ konsumsi protein : jumlah konsumsi protein rumah tangga (gram)
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan sesuai Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII Tahun 2004, seperti yang
disajikan dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Daftar Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) Berdasar Umur dan Jenis Kelamin Menurut WKNPG Tahun 2004
No. Kelompok Umur Energi (kkal) Protein (gram) 1. Anak
0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun
550 650
1000 1550 1800
10 16 25 39 45
2. Laki-laki 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun 65+ tahun
2050 2400 2600 2550 2350 2250 2050
50 60 65 60 60 60 60
3. Wanita 10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 18 tahun 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun 65+ tahun
2050 2350 2200 1900 1800 1750 1600
50 57 55 50 50 50 45
4. Hamil (+an) Trisemester 1 Trisemester 2 Trisemester 3
+180 +300 +300
+17 +17 +17
5. Menyusui (+an) 6 bulan pertama 6 bulan kedua
+500 +550
+17 +17
Sumber : WKNPG VIII, 2004
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Tingkat konsumsi energi dan protein diklasifikasikan berdasar nilai
ragam kecukupan gizi yang dievaluasi secara bertingkat berdasarkan acuan
Depkes (1990) dalam Supariasa (2002), yaitu :
a. Baik : TKG ≥ 100 % AKG
b. Sedang : TKG 80 – 99 % AKG
c. Kurang : TKG 70 – 80 % AKG
d. Defisit : TKG < 70% AKG
3. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani
Ketahanan pangan rumah tangga didasarkan pada terpenuhinya
kebutuhan energi dan protein, sehingga total konsumsi juga menentukan
ketahanan pangan rumah tangga. Dalam perkembangannya, ketahanan
pangan energi rumah tangga menurut Sukandar dalam Purwanti (2008)
dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Tidak tahan pangan : Konsumsi energi < 75% kecukupan energi
b. Tahan pangan : Konsumsi energi 75-100% kecukupan energi
c. Sangat tahan pangan : konsumsi energi > 100% kecukupan energi
Demikian pula dengan tingkat ketahanan pangan protein rumah
tangga menurut Sukandar dalam Purwanti (2008) dikelompokkan menjadi:
a. Tidak tahan pangan : Konsumsi protein < 75% kecukupan protein
b. Tahan pangan : Konsumsi protein 75-100% kecukupan protein
c. Sangat tahan pangan : konsumsi protein > 100% kecukupan protein
4. Korelasi Antara Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) dengan Ketahanan Pangan
Rumah Tangga
Dalam ilmu statistik, korelasi adalah hubungan antara dua variabel
atau lebih. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui keeratan
hubungan antarvariabel dan bukan untuk mengetahui hubungan sebab-
akibat. Dalam penelitian ini, variabel-variabel yang akan diselidiki
keeratan hubungannya adalah variabel tingkat konsumsi gizi dengan
ketahanan pangan rumah tangga. Data dari kedua variabel ini merupakan
data dengan skala ordinal. Skala ordinal adalah skala yang digunakan untuk
membedakan suatu ukuran dengan memberi atribut lebih besar atau lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
kecil tetapi tidak dapat mencari selisih atau perbedaan antar skala. Sifat
skala ini adalah mengklasifikasi dan mengurutkan. Oleh karena itu, analisis
korelasi yang sesuai untuk tipe data ordinal adalah korelasi rank Kendall.
Keeratan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya
disebut dengan koefisien korelasi yang dilambangkan dengan r. Koefisien
korelasi r merupakan taksiran dari populasi dengan kondisi sampel normal
(acak). Nilai r diketahui dengan program olah data statistik SPSS 16.0.
Tingkat keeratan hubungan r memiliki nilai -1 hingga 1. Jika r mendekati
1, maka dapat dikatakan bahwa variabel-variabel memiliki hubungan yang
erat. Tanda positif (+) dan negatif (-) menunjukkan sifat hubungan, dimana
tanda (+) menunjukkan hubungan positif sedangkan tanda (-) menunjukkan
hubungan yang negatif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Keadaan Alam
1. Letak dan Batas Wilayah
Kecamatan Bulu merupakan salah satu kecamatan yang termasuk
dalam wilayah Kabupaten Sukoharjo. Kecamatan Bulu terletak pada
ketinggian 118 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan luas wilayah
43,86 km2 atau 4.386 hektar. Bentang wilayah dari barat ke timur ± 8 km
dan bentang wilayah dari utara ke selatan ± 9 km. Jarak Kecamatan Bulu
ke ibukota Kabupaten Sukoharjo ± 15 km.
Batas-batas wilayah Kecamatan Bulu adalah sebagai berikut :
Sebelah utara : Kecamatan Nguter
Sebelah timur : Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri
Sebelah selatan : Kecamatan Manyaran Kabupaten Wonogiri
Sebelah barat : Kecamatan Tawangsari
Secara administrasi, Kecamatan Bulu terbagi menjadi 12 desa yang
terdiri dari 43 dusun, 104 RW (Rukun Warga), dan 246 RT (Rukun
Tetangga). Luas wilayah Kecamatan Bulu pada tahun 2009 tercatat 4.386
hektar atau 9,40 % dari luas total Kabupaten Sukoharjo (46.666 hektar).
Desa yang terluas adalah Desa Sanggang yaitu 574 hektar atau 13,09 %,
sedangkan yang terkecil luasnya adalah Desa Lengking sebesar 213 hektar
atau 4, 86 %) dari luas total Kecamatan Bulu.
2. Keadaan Iklim
Temperatur rata-rata di Kecamatan Bulu pada tahun 2009 adalah
260 C dengan rata-rata curah hujan dalam satu tahun adalah 136 mm. Hari
hujan terbanyak jatuh pada bulan Januari dengan jumlah hari hujan
sebanyak 20 hari. Curah hujan terbanyak sebesar 391 mm jatuh pada bulan
Januari. Sementara itu, rata-rata curah hujan di Kecamatan Bulu sebesar
4,53 mm per hari hujan.
33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
3. Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan di Kecamatan Bulu dibagi menjadi dua yaitu
lahan sawah dan lahan kering. Luas yang ada terdiri dari 1.117 hektar atau
25,47 % lahan sawah dan 3.269 hektar atau 75,53 % lahan kering. Lahan
sawah terdiri dari irigasi teknis, irigasi ½ teknis, irigasi sederhana, dan
tadah hujan. Sedangkan lahan kering terdiri atas tanah tegal, pekarangan,
hutan negara, dan lainnya. Luas penggunaan lahan di Kecamatan Bulu
secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Luas Penggunaan Lahan di Kecamatan Bulu Tahun 2009
No. Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) 1. Lahan sawah
a. Irigasi teknis b. Irigasi ½ teknis c. Irigasi sederhana d. Tadah hujan
581 125
0 411
13,25 2,85 0,00 9,37
Total lahan sawah 1.117 25,47 2. Lahan kering
a. Tanah tegal b. Pekarangan c. Hutan negara d. Lainnya
687
1.439 378 765
15,66 32,81 8,62
17,44 Total lahan kering 3.269 75,53
Jumlah 4.386 100,00
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka Tahun 2009/2010
Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa di Kecamatan Bulu, luas lahan
sawah lebih kecil daripada luas lahan kering. Luas lahan kering adalah
3.269 hektar atau 75,53 %. Sebagian besar lahan kering ini digunakan
untuk pekarangan, yaitu sebesar 1.439 hektar atau 32,81 %, sedangkan
untuk tegalan hanya 687 hektar atau 15,66 %. Lahan sawah di Kecamatan
Bulu terdiri dari sawah irigasi teknis, irigasi ½ teknis, dan tadah hujan.
Jenis lahan sawah yang paling luas adalah sawah irigasi teknis,
yaitu seluas 581 hektar atau 13,25 %. Sedangkan luas sawah tadah hujan
yaitu 411 hektar atau 9,37 %. Jenis sawah tadah hujan banyak diusahakan
oleh petani di Kecamatan Bulu karena sumberdaya air yang terbatas.
Lokasi Kecamatan Bulu jauh dari sumber air sehingga terjadi kesulitan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dalam pembangunan saluran irigasi. Pada akhirnya, petani banyak
menggantungkan usahatani padi pada curahan air hujan saja.
B. Keadaan Penduduk
1. Perkembangan Penduduk
Penduduk merupakan faktor yang potensial untuk pembangunan
ekonomi secara keseluruhan. Penduduk merupakan sumberdaya untuk
menjalankan proses produksi dan distribusi barang dan jasa. Jumlah
penduduk yang besar diharapkan dapat mendudukung pembangunan
ekonomi dan pembangunan pertanian khususnya. Jumlah penduduk
Kecamatan Bulu selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009
Tahun Jumlah penduduk (jiwa) Pertumbuhan penduduk (%) 2005 51.596 - 2006 51.633 0,07 2007 51.584 -0,09 2008 51.600 0,03 2009 51.661 0,12
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka
Jumlah penduduk di Kecamatan Bulu pada tahun 2006 mengalami
peningkatan sebesar 37 jiwa atau sebesar 0,07 % dari tahun sebelumnya
yaitu tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2007, jumlah penduduk juga
mengalami penurunan sebesar 49 jiwa atau sebesar 0,09 % dari tahun 2006.
Peningkatan jumlah penduduk dalam periode tahun 2008-2009 tidak
begitu signifikan. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan
karena jumlah penduduk yang lahir lebih besar daripada jumlah penduduk
yang mati.
2. Jumlah Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk menurut umur adalah penggolongan
penduduk berdasarkan umur sehingga dapat diketahui jumlah penduduk
yang produktif dan yang non produktif. Menurut Badan Pusat Statistik
Kabupaten Sukoharjo, golongan umur nonproduktif adalah golongan umur
antara 0-14 tahun dan golongan umur lebih dari atau sama dengan 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
tahun. Sedangkan golongan umur produktif adalah golongan umur 15-64
tahun.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Kecamatan Bulu Tahun 2009
Kelompok umur Jumlah Persentase (%) 0-14
15-64 ≥ 65
10.287 34.707 6.667
19,91 67,18 12,91
Jumlah 51.661 100,00
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka Tahun 2009/2010
Komposisi penduduk menurut umur bagi suatu daerah dapat
digunakan untuk mengetahui besarnya penduduk yang produktif dan angka
beban tanggungan/ABT (dependency ratio). Berdasar Tabel 8 dapat
diketahui bahwa jumlah penduduk Kecamatan Bulu yang terbesar menurut
umur adalah penduduk dengan usia produktif yaitu usia antara 15-64 tahun
sebesar 34.707 jiwa atau 67,18 %. Angka beban tanggungan di Kecamatan
Bulu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
ABT = 100% x th)64(15Penduduk
) th 65(Penduduk th)14(0Penduduk -
³+-
= 10.287 + 6.667 x 100% 34.707 = 48,85 %
Angka beban tanggungan Kecamatan Bulu sebesar 48,85 %.
Artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif (antara 15-64 tahun) di
Kecamatan Bulu harus menanggung 49 orang penduduk berusia
nonproduktif (usia 0-14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) di wilayah
tersebut.
Komposisi penduduk menurut jenis kelamin digunakan untuk
mengetahui jumlah penduduk suatu daerah dan besarnya sex ratio di suatu
daerah. Sex ratio adalah suatu angka yang menunjukkan perbandingan
jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di suatu daerah. Komposisi
penduduk menurut umur dan jenis kelamin di Kecamatan Bulu dapat
dilihat pada Tabel 9.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Tabel 9. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Bulu Tahun 2009
Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Laki-laki 25.385 49,14 Perempuan 26.276 50,86 Jumlah 51.661 100,00
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka Tahun 2009/2010
Kecamatan Bulu memiliki lebih banyak penduduk berjenis kelamin
perempuan daripada laki-laki. Dengan melihat komposisi penduduk
menurut jenis kelamin di atas maka dapat diketahui jumlah penduduk serta
besarnya sex ratio di suatu daerah, yaitu angka yang menunjukkan
perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Sex ratio
penduduk Kecamatan Bulu adalah sebesar 96,61 %. Artinya, pada setiap
100 orang penduduk perempuan di Kecamatan Bulu terdapat 97 orang
penduduk laki-laki.
C. Keadaan Perekonomian
1. Pertumbuhan Ekonomi
Sampai saat ini PDRB masih dipercaya sebagai alat untuk
mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi regional suatu wilayah. PDRB
menunjukkan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai pada suatu tahun
tertentu. Dengan melihat perubahan nilai PDRB Kecamatan Bulu dari
tahun ke tahun atas harga konstan, maka dapat diketahui tingkat
pertumbuhan ekonominya. Kondisi perekonomian yang membaik
ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif yang dapat dilihat
dari nilai Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang semakin
meningkat. Pertumbuhan ekonomi Kecamatan Bulu mengalami
peningkatan selama 5 tahun terakhir yang dapat dilihat dari Tabel 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tabel 10. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009
Tahun PDRB (jutaan Rupiah)
Laju pertumbuhan ekonomi (%)
2005 127.847,92 - 2006 129.003,84 0,90 2007 131.700,71 2,09 2008 135.063,57 2,55 2009 135.438,58 0,28
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka
Berdasar Tabel 10 diketahui bahwa selama lima tahun mulai dari
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, nilai PDRB ADHK di Kecamatan
Bulu terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja
seluruh sektor perekonomian di Kecamatan Bulu mengalami peningkatan.
Laju pertumbuhan ekonomi diukur dari besarnya nilai PDRB ADHK dari
tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi yang terbesar terjadi pada tahun
2008 dengan laju pertumbuhan sebesar 2,55%.
Pendapatan per kapita dihitung untuk mengetahui pendapatan rata-
rata penduduk pada suatu tahun. Suatu daerah dikatakan mengalami
peningkatan kemakmuran apabila pendapatan per kapita terus bertambah.
Pendapatan per kapita adalah hasil bagi Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas dasar harga konstan (ADHK) dengan jumlah penduduk pada
pertengahan tahun. Pendapatan per kapita penduduk Kecamatan Bulu dapat
dilihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11. Pendapatan Per Kapita Penduduk Kecamatan Bulu Tahun 2005-2009
Tahun Pendapatan per kapita (Rp) 2005 2.479.354,73 2006 2.502.159,62 2007 2.549.128,21 2008 2.616.344,83 2009 2.625.389,29
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka
Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa pendapatan per kapita
penduduk Kecamatan Bulu terus mengalami peningkatan. Kenaikan harga
barang dan jasa serta naiknya output dari berbagai barang dan jasa dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
beberapa sektor ekonomi telah meningkatkan pendapatan per kapita.
Kenaikan pendapatan per kapita selama lima tahun terakhir ini juga sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi yang juga semakin meningkat selama tahun
2005 hingga tahun 2008 seperti yang disajikan pada Tabel 10. Hasil dari
pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan secara merata kepada
masyarakat dalam bentuk pendapatan per kapita yang terus meningkat
seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.
Pendapatan per kapita Kecamatan Bulu pada tahun 2009 sebesar
Rp 2.625.389, 29 ini masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan
per kapita wilayah secara keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo yaitu
sebesar Rp 5.222.682, 42. Hal ini berarti kesejahteraan penduduk di
Kecamatan Bulu lebih rendah daripada kesejahteraan penduduk wilayah
lain di Kabupaten Sukoharjo. Tingkat kesejahteraan penduduk akan
berdampak pada tingkat konsumsi gizinya.
Apabila dilihat dengan pendekatan konsumsi, tingkat kesejahteraan
penduduk dapat diketahui dengan pengeluaran untuk konsumsi pangan dan
non pangan, seperti yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Pengeluaran Untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan Penduduk Kabupaten Sukoharjo Tahun 2003-2007
Tahun Rata-rata pengeluran per kapita per bulan
(Rp)
Pengeluaram Pangan
(%) Non Pangan
(%) 2003 196.728 59,21 40,79 2004 207.475 53,70 46,30 2005 219.985 53,96 46,04 2006 255.649 54,94 45,06 2007 260.446 59,99 40,01
Sumber : BPS Kabupaten Sukoharjo
Rata-rata pengeluaran penduduk per kapita dapat dijadikan sebagai
cermin tingkat pendapatan per kapitanya. Berdasarkan Tabel 12 diketahui
bahwa kesejahteraan penduduk Kabupaten Sukoharjo secara umum masih
rendah. Hal ini terbukti dengan lebih tingginya proporsi pengeluaran untuk
pangan daripada pengeluaran non pangan. Adanya peningkatan pendapatan
juga meningkatkan pengeluaran. Akan tetapi, peningkatan pengeluaran ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini menunjukkan
bahwa meskipun pendapatan per kapita terus meningkat, tetapi proporsi
yang diterima oleh masyarakat belum bisa meningkatkan kesejahteraan di
tingkat rumah tangga.
2. Sarana Perekonomian
Kondisi perekonomian suatu wilayah merupakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan di wilayah tersebut. Perkembangan
perekonomian dapat dilihat dari ketersediaan sarana perekonomian yang
memadai. Sarana perekonomian tersebut dapat berupa lembaga-lembaga
perekonomian, baik yang disediakan pemerintah atau pihak swasta serta
dari swadaya masyarakat setempat. Untuk mengetahui lembaga
perekonomian di Kecamatan Bulu pada tahun 2009 dapat dilihat pada
Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Sarana Perekonomian di Kecamatan Bulu Tahun 2009
No. Jenis Sarana dan Fasilitas Jumlah 1. Pasar umum 4 2. Toko kelontong 235 3. Kedai makanan 71
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka Tahun 2009/2010
Berdasar Tabel 13 dapat diketahui bahwa di Kecamatan Bulu
tersedia pasar umum, toko kelontong, dan kedai makanan. Hanya terdapat
4 pasar umum di Kecamatan Bulu karena Kecamatan Bulu letaknya jauh
dari pusat kota Sukoharjo, yaitu 18 sejauh km. Akan tetapi, toko kelontong
banyak terdapat di Kecamatan Bulu. Dengan tersedianya toko kelontong
akan memudahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari,
seperti sayur mayur, makanan ringan, dan kebutuhan nonpangan. Selain
itu, tersedia pula kedai makanan sejumlah 71 buah. Dengan adanya kedai
makanan ini, akan memudahkan masyarakat Kecamatan Bulu untuk
membeli makanan jadi.
D. Keadaan Pertanian
Kecamatan Bulu memiliki lahan pertanian berupa lahan sawah, tegal,
pekarangan, dan hutan negara sehingga bisa dikatakan daerah tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
merupakan daerah yang masih mengandalkan sektor pertanian yang didukung
pula dengan penduduknya yang bekerja pada sektor pertanian pada tahun 2009
menempati jumlah tertinggi, dengan proporsi 25,35 %. Luas panen dan jumlah
produksi tanaman pangan di Kecamatan Bulu dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Luas Panen dan Total Produksi Tanaman Pangan di Kecamatan Bulu Tahun 2009
No. Komoditi Luas Panen (Ha) Produksi (ton) 1. Padi sawah 2.525 16.814,00 2. Jagung 475 3.321,00 3. Kacang tanah 1.316 2.145,08 4. Kedelai 136 309,00 5. Ubi kayu 612 10.180,00 6. Ubi jalar 0 0,00 7. Kacang hijau 79 103,00
Sumber : Kecamatan Bulu Dalam Angka Tahun 2009/2010
Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa produksi tanaman pangan
yang paling tinggi di Kecamatan Bulu pada tahun 2009 adalah padi sawah,
yaitu sebesar 16.814 ton. Tingginya produksi padi ini karena 25,47% lahan di
Kecamatan Bulu dimanfaatkan sebagai lahan sawah. Kemudian diikuti dengan
produksi ubi kayu sebesar 10.180 ton dan jagung sebesar 3.321 ton. Produksi
ubi kayu cukup tinggi karena penduduk Kecamatan Bulu memiliki lahan
pekarangan dan tegal yang luas. Penduduk memanfaatkan lahan pekarangan
dan tegalnya untuk ditanami ubi kayu karena tanaman ini tidak perlu
perawatan khusus dan hasilnya dapat dinikmati untuk konsumsi rumah tangga
sendiri serta dijual. Selain itu, penduduk juga memiliki kebiasaan menanam
ubi kayu di pematang sawah. Hal ini juga merupakan faktor pendukung
tingginya produksi ubi kayu di Kecamatan Bulu.
E. Keadaan Ketahanan Pangan Wilayah
1. Ketersediaan Pangan
Pangan dengan kandungan gizi yang cukup merupakan salah satu
kebutuhan dasar yang sangat terpenting untuk diprogramkan secara
berkelanjutan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Faktor
ketersediaan pangan merupakan salah satu aspek penting untuk melihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
seberapa besar daya tahan masyarakat akan berbagai ancaman yang
dihadapi.
Tabel 15. Produksi, Ketersediaan, dan Kebutuhan Pangan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009
No. Komoditi Produksi (ton)
Ketersediaan (ton)
Kebutuhan (ton)
Surplus/ minus (ton)
1. Padi 357.524,00 207.308,00 78.008,00 +129.300,00 2. Jagung 29.471,00 25.640,00 13.868,00 +11.772,00 3. Ubi kayu 52.979,00 45.032,00 47.290,00 -2.258,00 4. Kacang tanah 9.399,00 7.939,00 2.822,00 +5.117,00 5. Kedelai 5.988,00 5.619,00 8.904,00 -3.285,00 6. Kacang hijau 118,00 102,00 924,00 -822,00 7. Daging 7.147,00 7.147,00 3.605,00 +6.842,00 8. Telur 8.523,66 8.524,00 2.539,00 +5.985,00 9. Susu (liter) 779.759,00 779.759,00 2.259.289,00 -1.459.530,00
10. Ikan 1.789,00 1.789,00 9.148,00 -7.359,00 11. Gula 2.268,96 2.268,96 6.419,00 -4.150,04
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo, 2010
Berdasar Tabel 15 dapat diketahui bahwa sebagian pangan telah
mampu terpenuhi kebutuhannya, yang terlihat dari adanya surplus pangan
pada beberapa komoditas pangan. Pangan yang telah mampu memenuhi
kebutuhan penduduk Kabupaten Sukoharjo adalah padi, jagung, kacang
tanah, daging, dan telur. Sedangkan pangan yang belum memenuhi
kebutuhannya adalah ubi kayu, kedelai, kacang hijau, susu, ikan, serta
gula. Padi sebagai pangan pokok sekaligus indikator ketersediaan pangan
wilayah mampu mencapai surplus sebesar 129.300 ton dengan
ketersediaan pangan 207.308 ton dan kebutuhan sebesar 78.008 ton. Padi
ditanam di seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Sukoharjo sehingga
total produksinya tinggi serta dapat digunakan untuk mencukupi
kebutuhan penduduk dan bahkan terjadi surplus.
Jagung ditanam di 11 kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dengan
sentra produksi adalah Kecamatan Polokarto. Produksi jagung di
Kecamatan Polokarto pada tahun 2009 mencapai 5.463 ton pipilan kering.
Komoditas kacang tanah ditanam di 9 kecamatan di Kabupaten Sukoharjo
dengan luas panen 9.047 hektar. Kedua komoditas tanaman bahan pangan
ini mengalami surplus persediaan pada tahun 2009. Adanya surplus jagung
dan kacang tanah ini menggambarkan potensi wilayah Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Sukoharjo dalam upaya diversifikasi pangan selain beras yang berbasis
pada sumber daya pangan lokal.
Komoditas kacang hijau mengalami defisit persediaan karena
kacang hijau hanya ditanam di Kecamatan Bulu dan Tawangsari dengan
total produksi 118 ton pada tahun 2009. Kebutuhan kedelai lebih tinggi
daripada produksi dan ketersediaannya sehingga terjadi defisit. Hal yang
serupa terjadi pada komoditas kedelai. Kedelai ditanam di 7 kecamatan di
Kabupaten Sukoharjo. Produksi belum mampu mengimbangi kebutuhan
penduduk, sehingga terjadi defisit.
Beberapa jenis pangan sumber protein hewani seperti daging dan
telur mengalami surplus. Produksi daging terdiri dari daging sapi,
kambing, domba, babi, ayam ras, ayam buras, dan itik. Peternakan sapi
pedaging yang terbesar ada di Kecamatan Polokarto, sedangkan sapi perah
di Kecamatan Mojolaban. Sedangkan ternak kambing, domba, ayam ras,
ayam buras, dan itik tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten
Sukoharjo, sehingga produksi dagingnya tinggi.
Komoditas gula mengalami defisit sebesar 4.150,04 ton. Hal ini
terjadi karena produksi jauh lebih rendah daripada kebutuhan. Sebenarnya,
tebu diusahakan di seluruh kecamatan di Kabupaten Sukoharjo dengan
luas areal sebesar 1.006,42 hektar. Akan tetapi, produksinya masih rendah
karena teknologi dan kelembagaan yang terbatas. Hasil produksi tebu ini
dibeli oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX yang bekerjasama
dengan petani tebu untuk selanjutnya diolah di pabrik gula yang berlokasi
di Kabupaten Karanganyar. Petani akan menerima fee berupa gula pasir
dari PTPN IX dalam jumlah yang tidak menentu, tergantung pada
besarnya produksi tebu dan rendemennya. Karena produksi masih rendah,
maka fee yang diterima juga rendah, sehingga ketersediaan gula di
Kabupaten Sukoharjo belum bisa memenuhi kebutuhan.
Berdasarkan gambaran ketersediaan pangan tersebut, Kabupaten
Sukoharjo masih kurang dalam pemenuhan kebutuhan protein penduduk,
baik protein nabati yang bersal dari kacang-kacangan maupun protein
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
hewani dari ikan dan susu. Oleh karena itu diharapkan adanya kebijakan
mengenai pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya pangan sumber
protein. Ketersediaan pangan tersebut akan mempengaruhi konsumsi
masyarakat, baik kuantitas maupun kualitas yang nantinya akan
berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
2. Konsumsi Energi dan Protein
Konsumsi energi dan protein di Kabupaten Sukoharjo secara lebih
jelas dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 (Berdasar Hasil Survei)
No. Kecamatan Konsumsi energi
(kkal/kap/hari)
Konsumsi protein
(gr/kap/hari)
TKE (%)
TKP (%)
1. Tawangsari 903,1 18,4 44,4 34,9 2. Bendosari 990,4 23,1 48,2 43,3 3. Weru 1.013,5 38,5 49,6 72,1 4. Kartasura 1.341,5 52,3 66,1 99,1 5. Polokarto 1.819,0 79,5 89,9 151,0 6. Baki 1.556,4 67,2 77,8 128,9 7. Sukoharjo 1.606,3 64,1 77,8 119,5 8. Mojolaban 1.519,2 50,4 76,7 98,0 9. Grogol 1.719,4 67,3 85,6 129,1 Kabupaten Sukoharjo 1.385,4 51,2 68,4 97,2
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo, 2010
Konsumsi energi di masing-masing kecamatan di Kabupaten
Sukoharjo berdasar hasil survei belum mampu memenuhi Angka
Kecukupan Energi (AKE). Hal ini mengakibatkan nilai konsumsi energi
secara keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo juga belum mencapai AKE
yang dianjurkan, yaitu sebesar 2000 kkal/kap/hari. Demikian halnya untuk
konsumsi protein, secara keseluruhan di Kabupaten Sukoharjo belum
mampu memenuhi Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan,
yaiitu 52 gram/kap/hari. Namun ada beberapa kecamatan yang telah
mencapai AKP yang dianjurkan, yaitu Kecamatan Kartasura, Polokarto,
Baki, Sukoharjo, dan Grogol; sedangkan konsumsi protein dari 4
kecamatan yang lain masih berada di bawah AKP yang dianjurkan.
Tingginya konsumsi protein di Kabupaten Sukoharjo merupakan
hal yang menarik untuk dikaji karena jika dilihat dari ketersediaan pangan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Kabupaten Sukoharjo belum mampu memenuhi beberapa kebutuhan
pangan sumber protein nabati dan hewani seperti kedelai, kacang hijau,
ikan, dan susu. Hal yang sebaliknya terjadi pada konsumsi energi, dimana
ketersediaan pangan sumber energi seperti beras dan jagung berlimpah
(surplus), tetapi konsumsi energi belum mencapai AKE yang dianjurkan.
Masalah-masalah distribusi dan mekanisme pasar yang berpengaruh
terhadap harga, daya beli rumah tangga yang berkaitan dengan pendapatan
rumah tangga, kondisi sosial budaya misalnya pola konsumsi, serta tingkat
pengetahuan tentang pangan dan gizi sangat berpengaruh kepada
konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tanggga.
3. Pola Pangan Harapan (PPH)
Pola pangan harapan merupakan susunan beragam pangan yang
didasarkan pada sumber energi, baik secara absolut maupun relatif
terhadap total energi tingkat konsumsi. Skor PPH Kabupaten Sukoharjo
belum mencapai skor maksimal. Hal ini dapat dimaklumi karena sulit
mencapai skor PPH yang ideal karena belum berkembangnya diversifikasi
pangan dan masih dominannya pangan pokok berbasis beras. Skor PPH
Kabupaten Sukoharjo dengan perinciannya dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Pola Pangan Harapan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 No Kelompok pangan Kalori AKE (%) Skor maksimal Skor PPH
aktual 1. Padi-padian 492,7 24,3 25,0 12,2 2. Umbi-umbian 73,5 3,6 2,5 1,8 3. Pangan hewani 290,6 14,3 24,0 24,0 4. Minyak dan lemak 25,4 1,3 5,0 0,6 5. Buah/biji berminyak 7,4 0,4 1,0 0,2 6. Kacang-kacangan 266,2 13,1 10,0 10,0 7. Gula 54,1 2,7 2,5 1,3 8. Sayur dan buah 168,8 8,3 30,0 30,0 9. Lain-lain 6,8 0,3 0,0 0,0 Jumlah 1385,4 68,4 100,0 80,1
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Sukoharjo, 2010
Berdasar Tabel 17, dapat diketahui bahwa diversifikasi pangan
yang dikonsumsi di Kabupaten Sukoharjo belum mencapai skor maksimal.
Masih terjadi kesenjangan antara skor maksimal dan skor PPH untuk
beberapa kelompok pangan seperti padi-padian, umbi-umbian, minyak dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
lemak, buah/biji berminyak, dan gula. Hal ini menunjukkan konsumsi
yang masih kurang pada kelompok pangan tersebut, sehingga diperlukan
upaya peningkatan konsumsi kelompok pangan tersebut melalui
penyediaan pangan yang cukup. Sedangkan konsumsi pangan hewani,
kacang-kacangan, sayur dan buah sudah mencapai skor maksimal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Rumah Tangga Responden
Karakteristik rumah tangga petani sampel merupakan gambaran secara
umum tentang keadaan dan latar belakang rumah tangga petani sampel yang
berkaitan sekaligus berpengaruh terhadap kegiatannya dalam usahatani padi.
Petani sampel merupakan petani pemilik penggarap yang mengerjakan sawah
dengan sistem pengairan tadah hujan. Karakteristik yang dikaji merupakan
data-data identitas responden dan anggota keluarganya, yang meliputi umur,
pendidikan, jumlah anggota keluarga, luas kepemilikan lahan sawah, serta
pendapatan rumah tangga yang berasal dari usahatani dan luar usahatani.
Karakteristik rumah tangga petani sampel yang mengusahakan sawah dengan
sistem pengairan tadah hujan di Kecamatan Bulu dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Karakteristik Rumah Tangga Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
No. Uraian Keterangan 1. Umur (th)
a. Suami b. Istri
53 43
2. Pendidikan a. Suami
- Tidak tamat SD - SD - SMP - SMA
b. Istri - Tidak tamat SD - SD - SMP - SMA - S1
9 11 7 3
7 16 3 2 1
3. Jumlah anggota keluarga (orang) a. Laki-laki b. Perempuan
1 1
4. Luas kepemilikan lahan sawah (ha) 0,37 5. Pendapatan rumah tangga (Rp/th)
a. Usahatani (Rp/th) b. Luar usahatani (Rp/th)
5.482.081,33 5.440.833,33
Sumber : Diadopsi dari Lampiran 1
Berdasarkan Tabel 18 dapat kita lihat bahwa rata-rata umur suami
adalah 53 tahun dan rata-rata umur istri 43 tahun. Umur suami dan istri petani
ini berada pada rentang usia produktif, sehingga memungkinkan mereka untuk
47
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
bekerja dan mengerjakan usahataninya secara maksimal serta berusaha
meningkatkan pendapatannya dalam rangka mencukupi kebutuhan rumah
tangga. Usia juga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi dan kecukupan
pangannya.
Tingkat pendidikan kepala keluarga yang paling banyak adalah tamat
SD. Demikian halnya dengan istri, dimana 16 orang tamat SD. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan suami dan istri masih rendah. Tingkat
pendidikan akan berpengaruh pada pola pikir responden. Pendidikan formal
yang telah ditempuh akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
mengelola usahataninya dan mencukupi kebutuhan rumah tangga baik pangan
maupun nonpangan.
Berdasarkan sebaran data yang paling banyak muncul (modus),
diketahui bahwa jumlah anggota keluarga responden terdiri dari 1 laki-laki dan
1 perempuan. Besarnya jumlah anggota keluarga berpengaruh pada distribusi
pangan dalam rumah tangga. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga
petani, maka total konsumsi pangan juga akan semakin tinggi. Akan tetapi,
konsumsi per orang dari rumah tangga petani yang memiliki banyak anggota
cenderung lebih sedikit karena jumlah pangan terbatas dan harus
didistribusikan untuk seluruh anggota rumah tangga. Padahal setiap anggota
memiliki karakteristik umur, jenis kelamin, dan kebutuhan energi yang
berbeda-beda. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat konsumsi energinya.
Rata-rata luas kepemilikan lahan sawah petani adalah 0,37 hektar.
Lahan sawah ini berupa sawah tadah hujan yang dikerjakan sendiri oleh petani.
Sawah tadah hujan ini dapat ditanami dua kali dalam satu tahun dan merupakan
sumber pendapatan bagi petani. Luas sawah akan berpengaruh pada produksi
dan pendapatan petani. Rata-rata pendapatan petani yang berasal dari usahatani
adalah Rp 5.482.081,33 per tahun, sedangkan rata-rata pendapatan yang berasal
dari luar usahatani adalah Rp 5.440.833,33 per tahun. Pada penelitian ini,
responden adalah petani pemilik penggarap sehingga pendapatan usahatani
adalah pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi selama dua kali musim
tanam. Pada musim tanam II, tanaman padi diserang hama keong, sehingga
pendapatan yang berasal dari usahatani menurun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Pada musim kemarau, petani tidak menanami lahan sawahnya (bero)
karena tidak tersedia cukup air sehingga sumber pendapatan diperoleh dari luar
usahatani. Jenis pekerjaan di luar usahatani yang dikerjakan petani pada masa
bero adalah buruh bangunan dan berdagang jamu di luar kota. Di samping itu,
terdapat pula sumber pendapatan lain yang berasal dari warung serba ada,
merantau, dan pemberian dari anak. Petani mengambil keputusan untuk bekerja
di luar usahatani karena mereka tidak dapat mencukupi kebutuhannya hanya
dengan mengandalkan pendapatan dari usahatani saja. Oleh karena itu, mereka
terus berupaya meningkatkan pendapatannya.
Pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu kualitas
dan kuantitas konsumsi pangan. Rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi
cenderung mengutamakan kualitas daripada kuantitas makanan. Sebaliknya,
apabila pendapatan rumah tangga rendah, maka pemenuhan konsumsi pangan
lebih mengutamakan kuantitas pangan yang cukup dan mengenyangkan, tanpa
memperhatikan zat gizi yang terkandung di dalamnya.
B. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan,
yang mengacu pada pangan yang tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Ketersediaan pangan yang
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ketersediaan pangan pokok berupa
beras. Beras dipilih sebagai indikator ketersediaan dan karena sampai saat ini,
beras/nasi masih menjadi makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar
masyarakat Indonesia pada umumnya dan penduduk Kecamatan Bulu
khususnya. Selain memiliki kandungan energi yang cukup besar, beras
merupakan sumber protein yang baik, sehingga beras juga merupakan makanan
sumber protein bagi rumah tangga. Dengan demikian, beras dianggap cukup
peka dalam menggambarkan ketersediaan pangan suatu wilayah.
Ketersediaan pangan pokok rumah tangga merupakan sejumlah beras
yang tersedia dan siap dikonsumsi oleh keluarga sebagai makanan pokok. Salah
satu syarat terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga adalah tersedianya
pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga. Ketersediaan pangan pokok dalam rumah tangga dihitung denggan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
menambahkan semua input (sumber) beras yang berasal dari produksi
usahatani selama dua musim tanam, pembelian beras dengan harga normal, dan
dari pembelian raskin (bagi penerima raskin), kemudian hasilnya dikurangi
dengan pengeluaran (output) seperti penjualan hasil usahatani selama dua
musim tanam, zakat fitrah (bagi yang beragama Islam), dan diberikan pada
pihak lain (anak, saudara, dan hajatan tetangga). Besarnya proporsi input
pangan pokok dari berbagai sumber dan output untuk berbagai keperluan petani
dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo Keterangan Beras Energi
Gr/kap/hari Kw/RT/th Kkal/kap/hari % INPUT
1. Produksi Usahatani a. MT I b. MT II
940,20 781,67
13,73 11,41
3.384,71 2.814,05
53,41 44,40
2. Pembelian (harga normal) 34,40 0,50 123,83 1,95 3. Pembelian (harga raskin) 4,17 0,06 15,00 0,24
Jumlah input 1.760,44 25,70 6.337,59 100,00 OUTPUT
1. Penjualan a. MT I b. MT II
714,17 654,82
10,43
9,56
2.571,03 2.357,34
50,61 46,40
2. Zakat fitrah 5,21 0,08 18,75 0,37 3. Diberikan pada pihak lain 37,04 0,54 133,34 2,62
Jumlah output 1.411,24 20,61 5.080,46 100,00 Ketersediaan 349,20 5,09 1.257,13
Sumber : Diadopsi dan diolah dari Lampiran 2-3
Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa sumber (input) pangan pokok
berasal dari produksi usahatani, pembelian dengan harga normal, dan
pembelian dengan harga raskin. Besarnya input pangan pokok yang berasal dari
produksi padi pada musim tanam I sebesar 940,20 gram/kap/hari dan
menyumbang energi sebesar 3.384,71 kkal/kap/hari atau 53,41 % dari total
input pangan pokok. Sedangkan dari musim tanam II, jumlah beras yang
dihasilkan lebih kecil dari musim tanam I, yaitu 781,67 gram/kap/hari dan
menyumbang energi sebesar 2.814,05 kkal/kap/hari atau 44,40 % dari total
input pangan pokok. Hasil panen pada musim tanam II lebih rendah karena
terjadi serangan hama berupa keong saat musim tanam II ini, sehingga sebagian
sawah rusak dan tidak dapat menghasilkan padi. Dengan rata-rata anggota
rumah tangga sebanyak 4 orang, maka produksi usahatani yang dihasilkan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
musim tanam I dan II masing-masing setara dengan 13,73 kw/rumah
tangga/tahun dan 11,41 kw/rumah tangga/tahun.
Input pangan pokok yang berasal dari produksi usahatani selama musim
tanam I dan II ini merupakan sumber beras terbesar yang diperoleh rumah
tangga petani, yaitu sebesar 97,81 % dari total input pangan pokok. Meskipun
kondisi lahan yang diusahakan petani berupa sawah tadah hujan, tetapi hasil
produksinya masih mendominasi proporsi input pangan pokok dalam rumah
tangga petani. Lahan sawah tadah hujan adalah sawah yang menggantungkan
pengairannya pada curahan air hujan saja. Dalam penelitian ini, seluruh
responden mengerjakan sawah tadah hujan, dimana dalam satu tahun hanya
bisa diusahakan selama dua musim tanam saja.
Apabila kebutuhan air tercukupi serta tidak terserang hama dan
penyakit, rata-rata produksi padi sawah tadah hujan di Desa Tiyaran sebagai
sampel lokasi penelitian dapat mencapai 4,28 ton GKG/ha. Angka ini masih
lebih rendah apabila dibandingkan dengan produktivitas padi secara
keseluruhan di Kecamatan Bulu, yaitu sebesar 6,66 ton GKG/ha. Hal ini
disebabkan karena Desa Tiyaran hanya memiliki sawah dengan jenis irigasi ½
teknis dan tadah hujan. Meskipun Desa Tiyaran berbatasan langsung dengan
Kabupaten Wonogiri dan dekat dengan saluran irigasi induk Colo Barat yang
berasal dari Waduk Gajah Mungkur, tetapi tidak dapat dibangun saluran irigasi
teknis di wilayah ini. Alasannya adalah karena letak Desa Tiyaran lebih tinggi
dibandingkan dengan saluran irigasi. Akibatnya, 95 hektar sawah di Desa
Tiyaran hanya dapat mengandalkan pengairan dari air hujan saja, sedangkan 34
hektar sawah menggunakan irigasi ½ teknis dengan sistem pompa diesel.
Pemerintah telah berupaya untuk membantu petani sawah tadah hujan
di wilayah Kecamatan Bulu ini dengan membangun sumur irigasi di lahan
sawah dan memberikan 4 unit pompa diesel. Petani membayar biaya
operasional sebesar Rp 400.000,00 per musim tanam apabila menggunakan
pompa diesel ini. Tetapi tidak semua lahan dapat diairi dari sumur karena
sumur tidak dibangun di semua lahan petani. Di beberapa petak lahan,
meskipun sumur sudah digali, tetapi tidak mengeluarkan mata air. Oleh karena
itu, petani tetap menggantungkan pengairan sawahnya dari air hujan. Selama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
musim kemarau, sawah tidak ditanami atau bero. Alasannya adalah karena
meskipun ditanami palawija, keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan
biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Petani lebih memilih untuk bekerja di
sektor lain seperti berdagang dan menjadi buruh bangunan atau merantau ke
kota selama musim bero.
Sumber lain dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok adalah dengan
pembelian. Input pangan pokok yang berasal dari pembelian yaitu sebesar
34,40 gram/kap/hari dan menyumbang energi sebesar 123,83 kkal/kap/hari atau
1,95 % dari total input pangan pokok. Dengan rata-rata anggota rumah tangga
sebanyak 4 orang, maka dalam satu tahun, input pangan pokok yang diperoleh
dari pembelian setara dengan 0,50 kw/rumah tangga/tahun.
Frekuensi pembelian beras yang dilakukan oleh rumah tangga petani
tidak menentu. Persediaan beras dari musim tanam I pada umumnya dapat
digunakan untuk konsumsi hingga panen pada musim tanam II, sehingga tidak
perlu melakukan pembelian beras. Akan tetapi, jeda waktu antara musim tanam
II dengan musim tanam berikutnya cukup panjang yaitu selama musim
kemarau atau sekitar 6 hingga 7 bulan, sehingga petani tidak memperoleh beras
dari produksi usahatani karena sawah tidak ditanami (bero). Pada jeda waktu
ini, biasanya rumah tangga melakukan pembelian beras untuk mencukupi
kebutuhan konsumsi. Pembelian tidak dilakukan secara kontinyu, tetapi
berdasarkan kebutuhan masing-masing rumah tangga.
Rumah tangga petani sebenarnya menghindari pembelian beras karena
mereka adalah produsen beras, sehingga selalu berusaha untuk mencukupi
kebutuhan beras dengan hasil produksi sendiri dan meminimalisasi pembelian
beras. Berdasarkan hal ini, petani seharusnya menyimpan lebih banyak beras
dari musim tanam II untuk persediaan selama sawah tidak ditanami dan tidak
menghasilkan beras. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase hasil panen dalam bentuk beras yang tidak dijual atau dibawa pulang
sebagai persediaan dari musim tanam I sebesar 22,04 %. Angka ini lebih tinggi
dari persentase hasil panen yang menjadi persediaan di rumah dari musim
tanam II, yaitu 16,23 %. Petani tidak menyimpan lebih banyak beras dari
musim tanam II untuk persediaan karena pada musim tanam II, harga jual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
gabah kering giling (GKG) meningkat sehingga petani terdorong untuk menjual
hasil panennya dan memperoleh pendapatan berupa uang.
Selain kedua sumber di atas, pangan pokok juga diperoleh dari
pembelian beras miskin (raskin) dengan harga khusus sesuai yang telah
ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 1.600,00 per kilogram. Pada penelitian ini,
rumah tangga sampel yang menerima raskin sebanyak 3 rumah tangga atau 10
% saja. Oleh karena itu, pembelian raskin di Kecamatan Bulu memberikan
kontribusi yang sangat kecil bagi ketersediaan pangan pokok rumah tangga
petani.
Input pangan pokok yang diperoleh dari pembelian berupa beras miskin
(raskin) sebesar 4,17 gram/kap/hari dan menyumbang energi sebesar 15
kkal/kap/hari atau 0,24 % dari total input pangan pokok. Dengan rata-rata
anggota rumah tangga sebanyak 4 orang, maka dalam satu tahun, input pangan
pokok yang diperoleh dari pembelian raskin setara dengan 0,06 kw/rumah
tangga/tahun. Sistem pembagian raskin di Kecamatan Bulu ini dilakukan secara
bergiliran dengan jumlah yang diterima tiap rumah tangga miskin adalah 15 kg.
Kendala dalam pembagian raskin ini adalah seringkali raskin terlambat
didistribusikan dampai ke tingkat desa-desa, sehingga akan menghambat pula
proses pembagiannya sampai ke rumah tangga.
Pangan pokok yang diperoleh oleh rumah tangga petani tidak hanya
dimanfaatkan untuk konsumsi saja, tetapi juga untuk dijual, zakat fitrah, dan
diberikan kepada pihak lain. Persentase terbesar dari berbagai alokasi tersebut
adalah dijual karena hasil penjualan digunakan sebagai sumber pendapatan
untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga dan untuk membiayai usahatani
pada musim tanam selanjutnya.
Output pangan pokok dari usahatani pada musim tanam I yang dijual
sebesar 714,17 gram/kap/hari yang setara dengan energi sebesar 2.571,03
kkal/kap/hari atau 50,61 % dari total output beras. Sedangkan pada musim
tanam II, jumlah pangan pokok yang dijual adalah 654,82 gram/kap/hari yang
setara dengan energi sebesar 2.357,34 kkal/kap/hari atau 46,40 % dari total
output beras. Dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang, maka
jumlah pangan pokok yang dijual pada musim taman I dan II masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
setara dengan 10,43 kw/rumah tangga/tahun dan 9,56 kw/rumah tangga/tahun.
Output pangan pokok dari produksi usahatani selama musim tanam I dan II ini
merupakan output beras terbesar yang dikeluarkan rumah tangga petani, yaitu
sebesar 97,01 % dari total output pangan pokok.
Petani menjual hasil usahataninya dalam bentuk gabah kering giling
(GKG). Petani di Kecamatan Bulu memiliki kebiasaan untuk panen sendiri,
kemudian melakukan pengelolaan pasca panen berupa pengeringan gabah
hingga siap digiling menjadi beras dengan cara dijemur di bawah sinar
matahari langsung. Adapun nilai konversi GKG ke beras adalah 62,74 %.
Artinya, dari setiap 100 kuintal GKG dapat diperoleh 62,74 kuintal beras.
Selain dijual, rumah tangga petani juga menggunakan beras untuk zakat
fitrah dan diberikan kepada pihak lain. Pangan pokok yang digunakan untuk
zakat fitrah sebesar 2,5 kg/kap/tahun Anggota rumah tangga yang memberikan
zakat fitrah adalah orang tua dan anak-anak yang masih tinggal dalam satu
rumah serta belum berpenghasilan sendiri. Besarnya pangan pokok yang
digunakan untuk zakat fitrah adalah 5,21 gram/kap/hari yang setara dengan
energi sebesar 18,75 kkal/kap/hari atau 0,37 % dari total output pangan pokok.
Persentase pangan pokok untuk zakat fitrah hanya sedikit karena dikeluarkan
dalam jumlah yang kecil dan hanya satu kali dalam satu tahun.
Output pangan pokok juga diberikan pada pihak lain, yaitu anak,
saudara, dan hajatan tetangga. Besarnya pangan pokok yang diberikan pada
pihak lain adalah 37,04 gram/kap/hari yang setara dengan energi sebesar
133,34 kkal/kap/hari atau 2,62 % dari total output pangan pokok. Beberapa
rumah tangga yang memiliki anak yang tinggal di kota lain seringkali
menyisihkan sebagian beras dari hasil panen untuk diberikan pada anaknya.
Meskipun jumlahnya hanya sedikit, tetapi petani yang berperan sebagai orang
tua ingin membagikan hasil panen kepada anaknya sebagai bentuk perhatian
dan kasih sayang yang tidak bisa diwujudkan dalam bentuk uang.
Di samping itu, pangan pokok juga diberikan pada saudara atau
tetangga yang sedang memiliki hajatan. Meskipun kebiasaan
memberikan/menyumbangkan beras saat hajatan sudah mulai ditinggalkan,
tetapi ada beberapa rumah tangga responden yang masih menggunakan sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
ini. Hal ini dilakukan terutama apabila orang yang mengadakan hajatan adalah
saudara atau tetangga dekat. Jumlah beras yang diberikan kepada saudara atau
tetangga besarnya berbeda-beda, tergantung persediaan beras yang dimiliki dan
tingkat kedekatan hubungan antara responden dengan pihak yang akan diberi
beras. Kisaran beras yang diberikan pada setiap hajatan sekitar 10 kg hingga 25
kg.
Rata-rata ketersediaan beras pada rumah tangga petani di Kecamatan
Bulu adalah 349,20 gram/kap/hari atau setara dengan energi sebesar 1.257,13
kkal/kap/hari. Ketersediaan pangan pokok ini masih tergolong rendah, karena
nilainya kurang dari 1400 kkal/kap/hari. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor seperti faktor ekonomi, sifat lahan budidaya padi, dan kebiasaan dalam
menyimpan beras dalam rumah tangga. Ketersediaan pangan pokok rumah
tangga akan bervariasi sesuai dengan besar input dan output pangan pokok dari
masing-masing rumah tangga. Sebaran ketersediaan beras pada rumah tangga
petani sampel secara rinci disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
No. Kategori ketersediaan pangan pokok Jumlah % 1. Tinggi 2 6,67 2. Sedang 6 20,00 3. Rendah 22 73,33
Jumlah 30 100,00
Sumber : Diolah dari Lampiran 4
Kategori ketersediaan pangan pokok dibagi dalam tiga kelas, yaitu
rendah (ketersediaan pangan pokok < 1400 kkal/kap/hari), sedang (ketersediaan
pangan pokok berada pada kisaran 1400-1600 kkal/kap/hari), dan tinggi
(ketersediaan pangan pokok > 1600 kkal/kap/hari). Berdasarkan Tabel 20
diketahui bahwa sebanyak 73,33 % rumah tangga responden memiliki
ketersediaan pangan pokok yang rendah dan hanya 6,67 % rumah tangga saja
yang ketersediaan pangan pokoknya tinggi.
Ketersediaan pangan pokok pada rumah tangga petani ini salah satunya
dipengaruhi oleh hasil produksi usahatani. Rumah tangga responden
merupakan rumah tangga pertanian yang tidak memperoleh pendapatan secara
kontinyu dari usahatani yang dijalaninya. Hal ini disebabkan sektor pertanian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
terutama usahatani padi bergantung pada beberapa faktor yang tidak dapat
dikendalikan oleh petani, seperti musim, pengairan, hama dan penyakit, serta
harga. Apalagi lahan pertanian yang diusahakan oleh petani di Kecamatan Bulu
adalah lahan sawah tadah hujan. Hal ini semakin meningkatkan ketergantungan
petani kepada alam. Sawah tadah hujan di Kecamatan Bulu sepenuhnya
mengandalkan air hujan sebagai sumber pengairannya. Apabila intensitas hujan
menurun, maka padi akan kekurangan air dan akan berdampak pada turunnya
produksi padi, yang selanjutnya mempengaruhi ketersediaan pangan pokok
dalam rumah tangga petani. Sebaliknya, apabila air tersedia terlalu banyak,
maka sawah menjadi tergenang dan akan berdampak pada berkembangnya
hama yang akan menyerang tanaman. Serangan hama juga akan menurunkan
produksi.
Beberapa faktor sosial ekonomi tertentu, seperti lahan pertanian yang
sempit, kemiskinan, dan pendapatan yang rendah juga menyebabkan
ketersediaan pangan rendah. Ketiga hal ini merupakan permasalahan yang
saling berkaitan dan masih dihadapi oleh rumah tangga petani khususnya di
Kecamatan Bulu. Lahan pertanian yang sempit disebabkan kerena jumlah
rumah tangga pertanian semakin banyak, sementara lahan pertanian jumlahnya
tetap. Luas sempitnya lahan pertanian berdampak pada produksi dan
pendapatan petani. Apabila lahan pertanian sempit, maka produksi usahatani
menjadi rendah dan berakibat pada rendahnya pendapatan petani.
Sebagian besar kebutuhan pangan masyarakat yang tinggal di pedesaan
dipenuhi dari produksi setempat. Gangguan terhadap kelancaran produksi dapat
berpotensi memicu kekurangan pangan. Apabila kekurangan pangan pokok
secara makro dapat dipenuhi dengan impor/transfer dari daerah lain, belum
tentu masyarakat di tingkat rumah tangga mampu menjangkaunya karena
kegagalan produksi berdampak pada penurunan pendapatan yang juga akan
menurunkan daya beli.
Ketersediaan pangan pokok yang rendah akan berpengaruh terhadap
tingkat konsumsi gizi rumah tangga. Berdasar survei konsumsi pangan
Kabupaten Sukoharjo tahun 2009, beras (padi-padian) merupakan penyumbang
energi terbesar dalam konsumsi pangan rumah tangga, yaitu sebesar 493,7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
kkal/kap/hari dari total kalori semua kelompok bahan pangan sebesar 1.385,4
kkal/kap/hari. Oleh karena itu, ketersediaan beras rumah tangga dalam jumlah
yang cukup sangat penting agar kebutuhan kalori setiap anggota rumah tangga
dapat tercukupi.
C. Konsumsi Pangan Rumah Tangga
1. Pola Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan petani di Kecamatan Bulu dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti faktor ekonomi dan harga, kebiasaan, serta sosial
budaya setempat. Pola konsumsi pangan meliputi jenis dan frekuensi
makan. Jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh responden terdiri dari
bahan pangan pokok, umbi-umbian, sumber protein hewani, sumber
protein nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, minyak, makanan jadi, dan
lain-lain. Frekuensi makan dibedakan menjadi 6, yaitu >1 kali per hari, 1
kali per hari, 4-6 kali per minggu (sering), 1-3 kali per minggu (cukup
sering), 1 kali per bulan (jarang), dan tidak pernah mengkonsumsi sama
sekali. Distribusi jenis dan frekuensi makan responden dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Tabel 21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Tabel 21. Distribusi Jenis Bahan Pangan dan Frekuensi Makan Petani Responden di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
No. Bahan pangan >1x/hr 1x/hr 4-6x/mg (sering)
1-3x/mg (cukup sering)
1x/bln (jarang)
Tdk pernah Total
Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % 1. Bahan pangan pokok
a. Beras b. Jagung c. Roti
30
100
1
3,3
9
30,0
6 11
20,0 36,7
24 9
80,0 30,0
30 30 30
100 100 100
2. Umbi-umbian a. Ubi kayu b. Ubi jalar c. Kentang
1 1
3,3 3,3
10 1 6
33,3
3,3 20,0
17 21 24
56,7 70,0 80,0
2 7
6,7
23,3
30 30 30
100 100 100
3. Sumber protein hewani a. Ayam b. Dging sapi c. Telur ayam d. Lele e. Bandeng f. Teri g. Ikan asin
12
4
40,0
13,3
12 1
18 2
6 8
40,0
3,3 60,0
6,7
30,0 26,7
17 6
18 13 14 14
56,7 20,0
60,0 43,3 46,7 46,7
1
23
10 17 4 4
3,3
76,7
3,3 56,7 13,3 13,3
30 30 30 30 30 30 30
100 100 100 100 100 100 100
4. Sumber protein nabati a. Kacang tanah b. Kacang hijau c. Kedelai d. Tahu e. Tempe
29 30
96,7 100,0
1
3,3
7
23,3
14 1
46,7
3,3
9
29 30
30,0 96,7
100,0
30 30 30 30 30
100 100 100 100 100
5. Sayur-sayuran a. Bayam b. Kangkung c. Daun singkong d. Daun pepaya e. Tomat f. Kacang panjang g. Buncis h. Wortel i. Cabai
3
1 16
10,0
3,3 53,3
22 15 8
1 2 4
29 12
73,3 50,0 26,7
3,3 6,7
13,3 96,7 40,0
5
12 17
21 21 17
2
16,7 40,0 56,7
70,0 70,0 56,7
6,7
3 5
17 8 6 9
10,0 16,6 56,7 26,7 20,0 30,0
13
1
43,3
3,3
30 30 30 30 30 30 30 30 30
100 100 100 100 100 100 100 100 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
No. Bahan pangan >1x/hr 1x/hr 4-6x/mg (sering)
1-3x/mg (cukup sering)
1x/bln (jarang)
Tdk pernah Total
Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % 6. Buah-buahan
a. Pisang b. Pepaya c. Jeruk d. Mangga
4 2 1 1
13,3
6,7 3,3 3,3
8 4 2 2
26,7 13,3
6,7 6,7
17 13 14 3
56,7 43,3 46,7 10,0
1
11 13 24
3,3
36,7 43,3 80,0
30 30 30 30
100 100 100 100
7. Minyak a. Minyak goreng b. Margarin c. Kelapa
16
53,3
14
46,7
4
13,3
19
63,3
11 7
36,7 23,3
19
63,3
30 30 30
100 100 100
8. Lain-lain a. Susu b. Teh c. Kopi d. Mi instan e. Gula pasir f. Garam g. Bumbu dapur
11
21 30 30
36,7
70,0 100,0 100,0
17 2
9
56,7 6,7
30,0
2 2 3 7
6,7 6,6
10,0 23,3
1
4
18
3,3
13,3 60,0
1
11 4
3,3
36,7 13,3
26
10 1
86,7
33,3
3,3
30 30 30 30 30 30 30
100 100 100 100 100 100 100
9. Makanan jadi a. Bakso b. Mi ayam c. Gado-gado d. Mi thoprak e. Soto f. Tahu kupat
11
36,7
3 2 1 8
10,0 6,7 3,3
26,7
22 23 14 6 6 4
73,3 76,7 46,7 20,0 20,0 13,3
8 4
14 23 5
26
26,7 13,3 46,7 76,7 16,7 86,7
30 30 30 30 30 30
100 100 100 100 100 100
Sumber : Diadopsi dan diolah dari Lampiran 5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Bahan pangan pokok yang selalu dikonsumsi adalah beras, dengan
frekuensi makan >1 kali per hari. Hal ini menunjukkan bahwa beras
masih menjadi pangan pokok petani, meskipun ketersediaannya rendah.
Petani akan selalu mengusahakan agar seluruh anggota keluarganya bisa
makan nasi 3 kali per hari. Jagung dikonsumsi oleh 20% dengan frekuensi
1 kali per bulan. Sedangkan roti yang merupakan pangan olahan dari
tepung terigu dikonsumsi oleh 36,7% dengan frekuensi 1 kali per bulan.
Adapun responden yang tidak pernah mengkonsumsi jagung dan roti
masing-masing sebanyak 24 orang dan 9 orang.
Semua rumah tangga responden memiliki pola konsumsi pangan
pokok tunggal yaitu beras. Artinya, beras dikonsumsi juga oleh seluruh
anggota rumah tangga tersebut sebagai makanan pokok sehari-hari.
Masyarakat telah meninggalkan pola pangan lokal seperti jagung, umbi-
umbian, dan beralih ke pola pangan pokok nasional yaitu beras. Beras
merupakan pangan pokok yang menjadi makanan sumber energi utama
bagi penduduk. Kandungan energi dalam 100 kg beras adalah 360 kkal
dan protein sebesar 8,4 gram.
Ketersediaan pangan pokok dalam jumlah yang cukup dan aman
menjadi hal yang penting karena pola konsumsi pangan pokok rumah
tangga petani adalah beras. Meskipun ketersediaan pangan pokok rata-
rata di Kecamatan Bulu termasuk dalam kategori rendah, tetapi penduduk
tetap mengupayakan agar dapat mengkonsumsi nasi sebagai pangan
pokok. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pembelian. Hal ini
membuktikan bahwa beras menjadi pangan pokok tunggal bagi penduduk
Kecamatan Bulu.
Bahan pangan lain yang termasuk dalam pangan pokok seperti
jagung dan roti hanya dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau
selingan. Sedangkan beras/ nasi dikonsumsi tiga kali per hari. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun ketersediaan pangan pokok rendah, petani
selalu berupaya agar dapat makan tiga kali sehari, karena nasi merupakan
sumber energi utama yang sangat diperlukan tubuh dan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
memberikan rasa kenyang. Petani dan anggota keluarganya merasa belum
kenyang dan belum puas bila belum makan nasi.
Pola pangan pokok berupa beras ini sulit diubah walaupun rumah
tangga menghadapi paceklik seperti saat musim tanam yang kedua di
Kecamatan Bulu, dimana sebagian besar petani gagal panen karena
tanaman padi diserang hama keong. Akan tetapi rumah tangga petani
tetap mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Petani juga tidak
mengganti beras sebagai pangan pokok meskipun harga beras terus
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan harga beras berdampak
kecil pada penurunan konsumsi beras.
Pelaksanaan penganekaragaman konsumsi menuju konsumsi
pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman merupakan salah satu
upaya yang dilakukan dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Penganekaragaman konsumsi pangan akan memberikan manfaat yang
besar, apabila mampu menggali dan mengembangkan potensi sumber-
sumber pangan lokal. Selain itu, pola konsumsi pangan yang bergizi
seimbang juga mensyaratkan perlunya diversifikasi pangan dalam menu
sehari-hari. Salah satu potensi sumber pangan lokal yang dapat
dikembangkan di Kecamatan Bulu adalah kelompok umbi-umbian.
Umbi-umbian merupakan makanan sumber energi di samping
makanan pokok. Umbi-umbian sebenarnya dapat digunakan sebagai
substitusi beras. Akan tetapi pangan ini miskin protein, sehingga jika
digunakan sebagai pangan pokok, maka diperlukan makanan tambahan
yang mengandung cukup protein. Ubi kayu merupakan jenis umbi-
umbian yang lebih sering dikonsumsi oleh responden dibandingkan
dengan ubi jalar dan kentang. Petani memanfaatkan pekarangan rumah,
pematang sawah, atau tanah pinggiran sawah untuk ditanami ubi kayu
karena tanaman ini mudah tumbuh dan tidak memerlukan perawatan
khusus. Hasil panen ubi kayu ini digunakan untuk konsumsi sendiri
sebagai makanan selingan. Petani gemar menanam ubi kayu karena
tanaman ini tidak perlu perawatan khusus dan hasilnya dapat digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
sebagai makanan tambahan dalam rumah tangga petani. Ubi kayu
biasanya dikonsumsi dalam bentuk singkong goreng. Sedangkan ubi jalar
jarang ditanam oleh petani karena umbinya tidak bisa membesar. Hal ini
disebabkan oleh kondisi tanah yang tidak cocok ditanami ubi jalar.
Akan tetapi pangan berupa umbi-umbian relatif jarang
dikonsumsi. Berdasar Tabel 21, diketahui bahwa sebanyak 70 %
responden hanya mengkonsumsi ubi kayu 1 kali per bulan dan bahkan
sebanyak 23,3 % tidak pernah mengkonsumsinya. Ubi jalar hanya
dikonsumsi oleh 56,7% responden sebanyak 1 kali per bulan. Sedangkan
kentang dikonsumsi oleh 80 % responden sebanyak 1 kali per bulan.
Umbi-umbian sebenarnya dapat dikonsumsi sebagai makanan
sumber energi di samping pangan pokok. Akan tetapi, petani kurang
tertarik untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat karena
belum berkembangnya diversifikasi pangan. Umbi-umbian hanya diolah
sekadarnya saja sehingga cita rasanya tidak bervariasi dan kurang
menarik untuk dikonsumsi. Mengingat rendahnya ketersediaan beras di
tingkat rumah tangga petani, maka perlu diupayakan peningkatan
konsumsi umbi-umbian sehingga dapat digunakan sebagai pangan
pengganti beras jika suatu saat beras tidak mencukupi bagi konsumsi
rumah tangga.
Hal ini didukung dengan tingginya produksi ubi kayu di
Kecamatan Bulu pada tahun 2009, dimana produksi ubi kayu mencapai
10.180 ton. Pemanfaatan ubi kayu sebagai pangan sumber energi di
samping beras akan meningkatkan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang
masih tergolong kurang. Pengetahuan mengenai diversifikasi pengolahan
pangan lokal tentunya diperlukan agar umbi-umbian khususnya ubi kayu
dapat diolah menjadi pangan yang lebih bervariasi sehingga minat
mengkonsumsi ubi kayu meningkat. Dengan demikian, ubi kayu dapat
dimanfaatkan sebagai pangan sumber energi selain beras.
Makanan sumber protein hewani yang dikonsumsi petani berupa
ayam, daging sapi, telur ayam, lele, bandeng, teri, dan ikan asin. Sebaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
konsumsi ayam terbanyak adalah 1 kali per bulan yang dilakukan oleh 17
responden (56,7%). Daging sapi jarang dikonsumsi oleh petani. Sebanyak
23 responden (76,7%) tidak pernah mengkosumsinya. Hal ini disebabkan
mahalnya harga daging sapi, sehingga responden enggan membelinya.
Berdasar data ketersediaan pangan di tingkat Kabupaten
Sukoharjo, kebutuhan daging lebih kecil dibandingkan produksi dan
ketersediaannya sehingga terjadi surplus. Mekanisme pasar dan distribusi
pangan antarlokasi serta antarwaktu dengan mengandalkan stok/
persediaan akan berpengaruh pada keseimbangan antara ketersediaan dan
konsumsi, serta pada harga yang terjadi di pasar. Faktor harga akan
mempengaruhi daya beli rumah tangga terhadap pangan. Dengan
demikian, meskipun komoditas daging tersedia di pasar, tetapi karena
harga terlalu tinggi dan tidak terjangkau daya beli rumah tangga petani,
maka rumah tangga tidak dapat mengakses pangan tersebut. Kondisi
inilah yang terjadi pada rumah tangga petani di Kecamatan Bulu.
Telur ayam dikonsumsi oleh 18 responden (60%) sebanyak 1-3
kali per minggu. Telur ayam merupakan pangan sumber protein hewani
yang sering dikonsumsi dalam rumah tangga petani karena harganya yang
terjangkau dan praktis dalam pengolahnnya. Ikan asin cukup sering
dikonsumsi karena merupakan jenis lauk pauk yang murah, nglawuhi, dan
mudah pengolahannya. Ikan awetan lain yang dikonsumsi adalah teri,
dengan 14 responden (46,7%) mengkonsumsi 1 kali per bulan.
Pangan sumber protein hewani merupakan pangan yang kaya akan
protein, sehingga pangan ini merupakan pangan pembangun tubuh yang
sangat baik. Pangan sumber protein hewani yang paling sering
dikonsumsi oleh rumah tangga petani adalah telur ayam dan ikan asin.
Telur ayam digemari karena praktis dan mudah dalam pengolahannya.
Selain itu, harganya juga lebih murah dibandingkan pangan sumber
protein hewani lain seperti ayam, daging sapi, dan ikan segar. Harga 1 kg
telur ayam adalah Rp 12.500,00. Harga ini paling murah dibandingkan
dengan harga 1 kg ayam (Rp 20.000,00), 1 kg daging sapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
(Rp 62.000,00), dan 1 kg ikan segar misalnya lele (Rp 17.000,00)
Sedangkan ikan asin digemari karena harganya murah dan merupakan
lauk pauk yang enak. Jenis ikan asin yang dikonumsi di Kecamatan Bulu
adalah ikan tongkol dengan harga Rp 10.000 per kg.
Makanan sumber protein nabati yang dikonsumsi petani berupa
kacang tanah, kacang hijau, tahu, dan tempe. Kacang tanah dikonsumsi
oleh 46,7% responden sebanyak 1 kali per bulan. Rumah tangga
mendapatkan kacang tanah dari pembelian di pasar berupa kacang tanah
rebus yang masih ada kulit luarnya. Kacang hijau hanya dikonsumsi oleh
1 responden (3,3%) sebanyak 1 kali per bulan.
Kacang tanah merupakan pangan sumber protein nabati yang lebih
sering dikonsumsi oleh responden dibandingkan dengan kacang hijau dan
kedelai. Kacang-kacangan merupakan sumber protein yang saling
melengkapi dengan padi-padian, seperti beras dan tepung terigu. Kacang-
kacangan memberikan sekitar 135 kkal per 100 gram bagian yang dapat
dimakan. Jika kita mengkonsumsi kacang-kacangan sebanyak 100 gram
(1 ons), maka jumlah itu akan mencukupi sekitar 20 % kebutuhan protein
dan 20 % kebutuhan serat per hari. Menurut ketentuan pelabelan
internasional, jika suatu bahan/produk pangan dapat menyumbangkan
lebih dari 20 % dari kebutuhan suatu zat gizi per hari, maka dapat
dinyatakan sebagai bahan atau produk pangan yang kaya akan zat gizi.
Konsumsi kacang-kacangan dalam bentuk segar relatif masih
rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 96,7 % responden
tidak pernah mengkonsumsi kacang hijau dan bahkan seluruh responden
tidak pernah mengkonsumsi kedelai segar dalam satu bulan. Pola
konsumsi ini dipengaruhi oleh faktor selera. Sehingga meskipun kacang-
kacangan tersedia, tetapi penduduk tidak sering mengkonsumsinya.
Kedelai tidak dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi dalam bentuk
makanan olahannya yaitu tahu dan tempe. Tingkat konsumsi tahu dan
tempe tergolong tinggi. Tahu dikonsumsi oleh 29 responden (96,7%) >1
kali per hari dan 1 responden (3,3%) mengkonsumsinya 1 kali per hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sedangkan tempe dikonsumsi oleh seluruh responden sebanyak >1 kali
per hari. Hal ini disebabkan karena tahu dan tempe merupakan ‘makanan
rakyat’ yang harganya terjangkau dan mudah didapat oleh rumah tangga
petani. Akan tetapi meskipun harganya murah, tempe merupakan salah
satu pangan yang kaya protein. Kandungan protein pada 100 gram tempe
yaitu 20,8 gram, lebih tinggi dari protein hewani dalam 100 gram daging
sapi (19,6 gram) dan 100 gram telur ayam ras (12,4 gram).
Berdasarkan hasil wawancara dengan reponden, diketahui bahwa
seluruh responden menyukai tempe dan tahu sebagai lauk pauk utama
yang tidak dapat ditinggalkan. Di samping itu, sudah menjadi kebiasaan
rumah tangga di Kecamatan Bulu untuk selalu menghidangkan tempe
goreng dan tahu goreng setiap kali makan. Hal ini didukung pula dengan
alasan bahwa tempe dan tahu adalah makanan sumber protein yang
harganya cukup murah. Pendapatan petani yang relatif rendah membuat
mereka memiliki keterbatasan pilihan dalam membeli makanan sumber
protein yang mahal. Oleh karena itu, konsumsi tempe dan tahu sudah
menjadi kebiasaan rumah tangga petani di kecamatan Bulu.
Berdasarkan hasil penelitian, konsumsi pangan sumber protein
yang berasal dari lauk pauk nabati seperti tempe dan tahu lebih banyak
daripada lauk pauk hewani seperti daging dan telur. Hal ini terjadi karena
faktor ekonomi. Harga pangan sumber protein hewani reletif lebih mahal
daripada protein nabati. Pendapatan rumah tangga yang terbatas membuat
mereka harus bijaksana mengelola pengeluarannya, sehingga mereka
tidak memboroskan uangnya untuk membeli pangan yang mahal. Daging
sapi bahkan tidak pernah dikonsumsi oleh rumah tangga karena harganya
mahal, yaitu Rp 60.000,00 per kg. Beberapa rumah tangga dalam
penelitian ini mengkonsumsi daging sapi karena penelitian dilaksanakan
setelah hari raya Idul Adha, sehingga mereka masih menyimpan sebagian
daging yang diperoleh saat penyembelihan. Daging tersebut dimasak
dalam bentuk dendeng atau empal sehingga tahan lama dan dapat
dimakan selama beberapa hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Sayur dan buah merupakan makanan sumber vitamin dan mineral.
Meskipun vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro yang dibutuhkan
dalam jumlah kecil, tetapi harus terpenuhi agar tubuh tidak mengalami
gangguan. Beragam sayur-sayuran seperti bayam, kangkung, daun
singkong, daun pepaya, tomat, kacang panjang, buncis, wortel, dan cabai
dikonsumsi oleh rumah tangga petani secara bergiliran. Pemilihan jenis
sayur berdasar pada selera dan ketersediaan bahan mentah di pasar atau
warung terdekat.
Sayur yang paling sering dikonsumsi adalah bayam, wortel, dan
cabai. 73,3% responden mengkonsumsi bayam sebanyak 4-6 kali per
minggu. Bayam adalah jenis sayuran yang digemari karena kesegaran
rasanya, murah harganya, dan dapat digunakan untuk berbagai macam
masakan misalnya sayur bayam, sayur bobor, dan gudangan. Wortel
dikonsumsi sebanyak 4-6 kali per minggu oleh 96,7% responden.
Sedangkan cabai dikonsumsi setiap hari oleh 53,3% responden. Cabai
biasanya dikonsumsi dalam bentuk sambal, seperti sambal bawang,
sambal terasi, atau sambal tomat. Sambal merupakan makanan
pendamping lauk pauk yang digemari oleh responden.
Sayur-sayuran yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani berasal
dari pekarangan sendiri dan membeli. Pembelian sayur segar dilakukan di
warung yang berada di sekitar rumah petani. Rata-rata rumah tangga
petani mengkonsumsi jenis sayur yang sama, seperti bayam, kangkung,
daun singkong, daun pepaya, kacang panjang, wortel, dan cabai. Bayam
adalah jenis sayur yang paling sering dikonsumsi karena harganya murah
dan disukai sebagian besar petani dan anggota keluarganya. Cabai
dikonsumsi setiap hari oleh mayoritas rumah tangga petani sebagai bahan
pembuat sambal. Ada pula sayur yang diperoleh dari pekarangan rumah
sendiri, yaitu daun singkong karena singkong/ubi kayu banyak ditanam di
lahan pekarangan dan di pematang sawah sehingga tidak perlu membeli.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Buah-buahan yang dikonsumsi berupa pisang, pepaya, jeruk, dan
mangga. Pisang dikonsumsi oleh 56,7% responden sebanyak 1 kali per
bulan, pepaya dikonsumsi oleh 43,3% responden sebanyak 1 kali per bulan,
dan jeruk dikonsumsi oleh 46,7% responden sebanyak 1 kali per bulan.
Mangga sebenarnya jarang dikonsumsi oleh petani. Namun penelitian
dilaksanakan bersamaan dengan musim buah mangga, sehingga responden
yang memiliki pohon mangga yang berbuah bisa mengkonsumsi mangga
dari pohon miliknya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan 1 responden
(3,3%) sering mengkonsumsi mangga dan 2 responden (6,7%) cukup
sering mengkonsumsinya.
Konsumsi buah-buahan juga masih kecil dilihat dari frekuensi
makannya. Jenis buah yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga petani
adalah pisang, dengan frekuensi makan 4-6 kali per minggu. Hal ini
disebabkan pisang ditanam di lahan pekarangan petani sendiri. Pisang
relatif mudah untuk ditanam dan juga tidak memerlukan perawatan khusus.
Petani membiarkan pisang tumbuh dan terus bertunas secara alami karena
mereka juga memanfaatkan daun pisang untuk berbagai keperluan, seperti
memasak atau digunakan saat hajatan. Buah pisang yang dihasilkan
dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri. Biasanya petani mengkonsumsi
pisang dalam bentuk segar. Sedangkan buah jeruk jarang dikonsumsi
karena harganya mahal.
Pengetahuan petani yang masih rendah membuat mereka kurang
mengerti manfaat mengkonsumsi buah-buahan. Oleh karena itu, mereka
enggan mengeluarkan uangnya secara khusus untuk membeli buah-buahan.
Buah-buahan yang dikonsumsi hanyalah buah-buahan yang ditanam sendiri
seperti pisang, pepaya, dan mangga. Apabila tanaman sedang tidak
berbuah, maka petani dan anggota keluarganya tidak mengkonsumsi buah
dan tidak melakukan pembelian buah untuk mencukupi kebutuhan tubuh
akan vitamin. Selain faktor daya beli, faktor kebiasaan juga menjadi salah
satu penyebab rendahnya konsumsi buah-buahan. Petani menganggap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
bahwa konsumsi buah-buahan tidak diperlukan apabila sudah
mengkonsumsi sayur-sayuran yang cukup.
Sumber lemak diperoleh dari minyak goreng dan buah/biji
berminyak misalnya kelapa. Minyak goreng digunakan >1 kali per hari
oleh 53,3% responden. Rumah tangga petani biasanya memasak 2 kali per
hari, yaitu pada pagi hari untuk menyiapakan sarapan dan makan siang,
serta menjelang sore hari untuk menyiapkan makan malam. Akan tetapi,
terdapat 46,7 % rumah tangga responden yang menggunakan minyak
goreng 1 kali per hari. Mereka memasak satu kali di pagi hari untuk
konsumsi pagi, siang, dan malam. Salah satu jenis buah/biji berminyak
adalah kelapa. Sejumlah 63,3% responden mengkonsumsi 1-3 kali per
minggu. Responden menggunakan kelapa untuk memasak sayur. Akan
tetapi, sayur bersantan ini tidak begitu digemari karena kurang segar.
Jenis minuman yang dikonsumsi >1 kali per hari adalah teh.
Sedangkan kopi tergolong jarang dikonsumsi. Hanya 36,7% responden
minum kopi 1 kali per bulan. Kopi tidak digemari karena beberapa
responden mengetahui bahwa minum terlalu banyak kopi tidak baik bagi
kesehatan. Kopi jarang diminum karena beberapa anggota rumah tangga
merasakan efek samping dari konsumsi kopi seperti jantung berdebar-debar
dan sulit tidur, sehingga petani yang berusia lanjut lebih memilih untuk
minum teh daripada kopi.
Susu hanya dikonsumsi oleh anak-anak dalam rumah tangga saja,
sedangkan orang dewasa tidak pernah minum susu. Alasannya adalah
karena anak-anak masih membutuhkan susu untuk pertumbuhan,
sedangkan orang dewasa sudah tidak membutuhkannya. Dalam penelitian
ini, susu dikonsumsi oleh balita yang terdapat dalam 10 % rumah tangga
sampel. Susu merupakan salah satu sumber zat gizi yang paling lengkap,
dan diperlukan oleh semua kelompok umur, terutama balita dan anak-anak.
Minuman ini mengandung banyak zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh
tubuh, yaitu protein, lemak, vitamin, dan mineral seperti kalsium yang
mempengaruhi pertumbuhan tulang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Gula pasir dikonsumsi setiap hari oleh responden, dengan 70 %
responden menggunkakan >1 kali per hari dan 30 % responden sebanyak 1
kali per hari. Gula pasir digunakan untuk pemanis minuman seperti teh atau
kopi dan kadang-kadang digunakan pula untuk memasak. Gula pasir
digunakan oleh rumah tangga sebagai bahan pelengkap. Misalnya, gula
pasir dikonsumsi sebagai pemanis teh dan kopi, serta digunakan sebagai
bahan tambahan saat memasak sayur. Gula pasir merupakan sumber
karbohidrat yang baik, tetapi sama sekali tidak mengandung protein.
Jenis makanan lain yang cukup sering dikonsumsi adalah mi instan.
Sejumlah 60% responden mengkonsumsinya 1-3 kali per minggu. Saat ini,
konsumsi produk olahan terigu seperti mi instan cenderung meningkat.
Perkembangan yang menarik berdasar analisis data Susenas oleh Bapenas
adalah kecenderungan berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok
masyarakat berpendapatan rendah, terutama di pedesaan, yang mengarah
kepada beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mi kering,
me basah, dan mi instan. Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum
adalah komoditas impor dan belum diproduksi di Indonesia, sehingga arah
perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan ketergantungan pangan
pada impor.
Mi instan juga cukup sering dikonsumsi karena mudah didapat,
mudah diolah, dan enak rasanya sehingga banyak orang menyukainya.
Dengan perkembangan yang serba cepat dan praktis turut pula menjadi
alasan mengapa banyak orang memilihnya. Mi yang terbuat dari terigu
mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan protein,
vitamin, dan mineralnya hanya sedikit. Namun, sifat karbohidrat dalam mi
berbeda dengan sifat yang terkandung di dalam nasi. Sebagian karbohidrat
dalam nasi merupakan karbohidrat kompleks yang memberi efek rasa
kenyang lebih lama. Sedangkan karbohidrat dalam mi instan sifatnya lebih
sederhana sehingga mudah diserap. Akibatnya, mi instan memberi efek
lapar yang lebih cepat dibanding nasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Garam digunakan oleh seluruh responden dengan frekuensi >1 kali
per hari untuk keperluan memasak. Garam selalu digunakan saat memasak,
sedangkan bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, merica,
ketumbar, terasi, ebi, dan MSG digunakan setiap hari sesuai jenis masakan
yang akan dibuat.
Rumah tangga petani juga mengkonsumsi makanan jadi seperti
bakso, mi ayam, gado-gado, mi thoprak, soto, dan tahu kupat. Frekuensi
makannya tidak menentu karena konsumsi makanan jadi ini dipengaruhi
oleh selera dan daya beli. Misalnya, terdapat rumah tangga yang cukup
sering mengkonsumsi soto karena hanya terdiri dari dua anggota keluarga
yang sudah berusia tua sehingga tidak memasak sendiri di rumah. Hal ini
didukung pula dengan adanya warung soto di dekat rumah responden,
sehingga mempermudah mereka untuk membeli makanan tersebut.
Makanan jadi diperoleh dengan cara pembelian. Makanan jadi yang
sering dibeli oleh responden adalah soto. Sebanyak 36,7 % responden
membeli soto dengan frekuensi 4-6 kali per minggu. Hal ini terjadi karena
terdapat warung soto ayam yang letaknya dekat dengan rumah responden.
Tersedianya warung soto di dekat rumah memudahkan responden untuk
mendapatkan makanan jadi ketika rumah tangga tersebut tidak memasak
sendiri. Secara umum, responden mengkonsumsi makanan jadi lain seperti
bakso, mi ayam, gado-gado, mi thoprak, dan tahu kupat dengan frekuensi 1
kali per bulan. Makanan jadi yang dibeli merupakan makanan dengan harga
yang terjangkau dan sesuai dengan pendapatan masing-masing rumah
tangga. Frekuensi makan juga tidak terlalu sering karena membeli makanan
jadi lebih mahal dibandingkan dengan memasak sendiri.
Pola konsumsi pangan penduduk berubah dari waktu ke waktu dan
berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya. Pola konsumsi pangan
ini dipengaruhi oleh faktor selera, pendapatan, dan kondisi sosial budaya
yang dimiliki masyarakat. Pola konsumsi menentukan jenis-jenis barang
tertentu yang harus disediakaan dan bagaimana distribusinya, sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
harga tidak berfluktuasi dengan tajam dan mengganggu keseimbangan
konsumsi pangan.
2. Kuantitas Konsumsi Pangan
Persyaratan kecukupan untuk mencapai keberlanjutan konsumsi
pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Aksesibilitas ini tercermin dari jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi
oleh rumah tangga. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil
dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan
dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga.
Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga
merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap
pangan.
Pemantapan ketahanan pangan yang dilakukan melalui subsistem
konsumsi berupaya agar masyarakat mengkonsumsi pangan dengan
beragam, bergizi, dan berimbang. Tingkat daya beli masyarakat sangat
berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas pangan. Kuantitas pangan
yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dilihat dari zat gizi yang
dikandung dalam pangan yang dinilai dengan menggunakan tingkat
kecukupan gizi yang terdiri dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan
Tingkat Konsumsi Protein (TKP). Tingkat Kecukupan Gizi (TKG)
merupakan indikator apakah rumah tangga tersebut sudah cukup
mengkonsumsi zat gizi sesuai anjuran untuk dapat hidup sehat.
Konsumsi gizi rumah tangga diketahui dengan menghitung
konsumsi rumah tangga 24 jam yang lalu dengan pedoman Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Selanjutnya, konsumsi gizi ini
dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk mengetahui
nilai Tingkat konsumsi Gizi (TKG). Besarnya AKG berbeda-beda untuk
setiap individu karena AKG ditentukan berdasarkan umur dan jenis
kelamin. Rata-rata angka kecukupan gizi, baik energi dan protein rumah
tangga petani diperoleh dengan menjumlahkan AKG setiap anggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
keluarga menurut golongan umur dan jenis kelamin, kemudian dibagi
dengan jumlah total anggota keluarga.
Berikut ini merupakan rata-rata konsumsi energi dan protein rumah
tangga petani dan tingkat konsumsi gizinya.
Tabel 22. Angka Kecukupan Gizi, Konsumsi Gizi, dan Tingkat Kecukupan Gizi Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
Keterangan Energi (kkal) Protein (gram) Rumah Tangga
Per kapita per hari
Rumah Tangga
Per kapita per hari
Konsumsi 5.202,60 1.458,67 185,82 52,10 AKG dianjurkan 7.423,89 2.081,46 194,56 54,55 TKG (%) 70,08 70,08 95,51 95,51
Sumber : Diadopsi dan diolah dari Lampiran 6
Tabel 22 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi yang
berasal dari seluruh pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah
tangga responden adalah 1.458,67 kkal/hari. Berdasarkan Angka
Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan, maka didapatkan angka
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) sebesar 70,08 %. Rata-rata nilai TKE ini
termasuk dalam kategori kurang. Kurangnya konsumsi energi tersebut
salah satunya disebabkan oleh faktor ketersediaan pangan pokok yang
masih rendah. Beras merupakan pangan pokok penyumbang energi terbesar
dalam konsumsi rumah tangga. Jika ketersediaan pangan pokok masih
kurang, maka akan berakibat pada rendahnya tingkat konsumsi energi.
Akan tetapi, ketersediaan pangan pokok yang masih rendah bukan
satu-satunya penyebab rendahnya TKE. Penyebab lain adalah karena tidak
adanya pangan sumber energi lain yang dikonsumsi oleh rumah tangga di
samping beras. Berdasar analisis pola konsumsi, jagung yang merupakan
jenis pangan pokok selain beras, jarang dan bahkan tidak pernah
dikonsumsi oleh rumah tangga petani. Di samping itu, umbi-umbian
seperti ubi kayu dan ubi jalar hanya dikonsumsi sesekali saja sebagai
makanan selingan. Padahal umbi-umbian mempunyai kandungan
karbohidrat yang tinggi sebagai sumber tenaga/energi untuk meningkatkan
nilai TKE. Energi yang terkandung dalam 100 gram ubi kayu adalah 154
kkal dan pada 100 gram ubi jalar kuning adalah 119 kkal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Rata-rata konsumsi protein yang berasal dari seluruh pangan yang
dikonsumsi untuk setiap anggota rumah tangga responden adalah 52,10
gram/hari. Apabila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Protein (AKP)
yang dianjurkan, maka diperoleh Tingkat Konsumsi Protein (TKP) sebesar
95,51 %. Rata-rata nilai TKP ini termasuk kategori sedang. Konsumsi
protein diperoleh dari konsumsi protein nabati dan hewani.
Seperti halnya konsumsi energi, apabila dilihat dari nilai TKP-nya,
konsumsi protein rumah tangga petani juga belum mencapai angka
kecukupan. Faktor daya beli merupakan alasan utama kurangnya konsumsi
protein dalam rumah tangga. Keterbatasan pendapatan rumah tangga
membuat mereka enggan membeli pangan sumber protein hewani yang
mahal seperti daging sapi atau ikan segar. Berdasar pola konsumsi pangan,
jenis protein hewani yang sering dikonsumsi oleh rumah tangga petani
adalah telur dan ikan asin yang harganya relatif terjangkau.
Selain protein hewani, protein nabati juga dikonsumsi melalui
beberapa jenis pangan kacang-kacangan seperti kacang tanah, kacang hijau,
tahu, dan tempe. Nilai TKP yang tergolong sedang ini disebabkan karena
rumah tangga mengkonsumsi tahu dan tempe dengan frekuensi >1 kali per
hari. Setiap kali makan, lauk pauk berupa tahu dan tempe selalu menjadi
hidangan. Tahu dan tempe merupakan pangan yang murah dan mudah
diakses oleh rumah tangga petani karena selalu tersedia di warung terdekat.
Baik Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein di
Kecamatan Bulu belum mencapai angka kecukupan yang dianjurkan.
Namun demikian, konsumsi protein sudah tinggi dan hampir mencapai
AKP yang dianjurkan, yaitu sebesar 54,55 gram/kap/hari. Lebih tingginya
nilai TKP dibandingkan TKE disebabkan karena kecenderungan penduduk
mengkonsumsi pangan sumber protein nabati seperti tahu dan tempe setiap
hari dalam jumlah yang cukup. Tahu dan tempe merupakan makanan yang
murah dan mudah untuk didapatkan, sehingga penduduk
mengkonsumsinya setiap hari. Sebaran kategori tingkat konsumsi energi
dan protein responden dapat dilihat pada Tabel 23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Tabel 23. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
No. Kategori Energi Protein Jumlah % Jumlah %
1. Baik 0 0,00 12 40,00 2. Sedang 6 20,00 13 43,33 3. Kurang 14 46,67 5 16,67 4. Defisit 10 33,33 0 0,00
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Sumber : Diolah dari Lampiran 6
Tingkat konsumsi energi dan protein terbagi dalam empat kategori,
yaitu baik (≥ 100 % AKG), sedang (80 - 99 % AKG), kurang (70 - 80 %
AKG), dan defisit (< 70 % AKG). Berdasar Tabel 23, diketahui bahwa
persentase yang paling tinggi adalah kategori tingkat konsumsi energi
kurang. Yang menarik adalah sama sekali tidak ada rumah tangga yang
termasuk dalam kategori baik dalam mengkonsumsi energi. Hal ini terkait
dengan pola konsumsi beras sebagai pangan pokok tunggal dan belum
adanya pola konsumsi sumber energi lain seperti umbi-umbian. Apabila
konsumsi beras sebagai sumber energi utama kurang, maka akan berakibat
pada rendahnya tingkat konsumsi energi.
Sejumlah 46,67 % rumah tangga termasuk dalam kategori tingkat
konsumsi energi kurang. Artinya, tingkat konsumsi energi masih perlu
ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan nilai TKG pada Tabel 22, dimana
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga sebesar 70,08 %. TKE ini
belum mampu memenuhi kebutuhan energi sesuai angka kecukupan yang
dianjurkan, yaitu 2.081,46 kkal/kap/hari. Mayoritas rumah tangga berstatus
TKE kurang karena konsumsi energi masih rendah. Beras adalah satu-
satunya pangan pokok sekaligus sumber energi utama yang dikonsumsi
rumah tangga petani. Akan tetapi, jumlah yang dikonsumsi masih kurang
dan belum mencapai angka kecukupan energi.
Untuk konsumsi protein, persentase yang paling tinggi adalah
kategori tingkat konsumsi protein sedang. Hal ini sejalan dengan nilai TKG
pada Tabel 22, dimana Tingkat Konsumsi Protein (TKP) rumah tangga
sebesar 95,51 %. Nilai TKP ini sudah tinggi dan hampir mencapai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
kebutuhan protein sesuai angka kecukupan yang dianjurkan. Hal ini
didukung pula dengan hasil penelitian bahwa sebanyak 43,33 % rumah
tangga petani termasuk kategori sedang dalam mengkonsumsi protein dan
tidak ada rumah tangga yang defisit protein.
Artinya, semua rumah tangga petani sudah berupaya untuk
mencukupi konsumsi proteinnya. Protein merupakan zat gizi makro yang
penting dalam proses pertumbuhan dan pembangunan tubuh, sehingga
kebutuhannya harus dicukupi melalui konsumsi, baik protein nabati
maupun hewani. Protein juga merupakan sumber energi kedua bagi tubuh
setelah karbohidrat. Apabila karbohidrat yang akan dibongkar menjadi
energi sudah habis, maka tubuh akan membongkar protein sebagai sumber
energi. Dalam penelitian ini, TKE masih rendah tetapi TKP sedang. Pada
kondisi yang demikian, protein yang terkandung di dalam makanan tidak
dapat digunakan sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Protein akan diubah menjadi energi untuk mencukupi
kekurangan energi yang berasal dari karbohidrat. Apabila hal ini terus
terjadi, maka status gizi masyarakat akan menjadi buruk dan pada akhirnya
berdampak pada kualitas sumberdaya manusia.
D. Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Ketahanan pangan dapat dilihat dari empat aspek, yaitu ketersediaan
pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk,
distribusi pangan yang lancar dan merata, konsumsi pangan setiap individu
yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang berdampak pada status gizi
masyarakat. Dalam penelitian ini, ketahanan pangan dilihat dari konsumsi
pangan rumah tangga, terutama konsumsi energi dan protein. Konsumsi
pangan merupakan gambararan dari aspek ketersediaan pangan dan
kemampuan rumah tangga tersebut untuk membeli dan memperoleh pangan,
sehingga konsumsi pangan merupakan variabel yang mudah digunakan
sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga.
Ketahanan pangan energi dan protein didasarkan pada tingkat
konsumsi energi dan protein, yaitu perbandingan antara konsumsi energi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
protein dengan angkan kecukupan energi dan protein rumah tangga.
Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan tiga tingkatan ketahanan
pangan, yaitu tahan pangan apabila rumah tangga mengkonsumsi 75 %
kecukupan energi dan protein, cukup tahan pangan apabila konsumsi energi
dan protein berada di antara 75 % hingga 100 %, serta sangat tahan pangan
apabila konsumsi energi dan protein lebih dari 100 % atau lebih dari angka
kecukupan energi dan protein yang dianjurkan.
Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani di Kecamatan
Bulu dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Sebaran Rumah Tangga Menurut Tingkat Ketahanan Pangan Energi dan Protein Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
Tingkat ketahanan pangan Energi Protein Jumlah % Jumlah %
Sangat tahan pangan 0 0,00 12 40,00 Tahan pangan 12 40,00 16 53,33 Tidak tahan pangan 18 60,00 2 6,66
Jumlah 30 100,00 30 100,00
Sumber : Diolah dari Lampiran 7
Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan faktor yang
berpengaruh pada ketahanan pangan energi dan protein. Tabel 24
menunjukkan bahwa dilihat dari tingkat konsumsi energinya, persentase
rumah tangga yang tidak tahan pangan paling tinggi. Sejumlah 60 % rumah
tangga yang tidak tahan pangan khususnya energi ini menunjukkan bahwa
konsumsi pangan yang mengandung energi masih kurang dan perlu
ditingkatkan. Hal ini berkaitan dengan paling banyaknya proporsi rumah
tangga dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) yang masih berstatus kurang,
yaitu 46,67%.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada rumah tangga
yang sangat tahan pangan energi. Rumah tangga dikatakan sangat tahan
pangan apabila konsumsi energi > 100% kecukupan energi (dalam penelitian
ini 2.081,46 kkal/kap/hari). Jika tidak ada rumah tangga yang sangat tahan
pangan, berarti belum ada rumah tangga yang konsumsi energinya sama
dengan angka kecukupan yang seharusnya dikonsumsi oleh masing-masing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
individu dalam rumah tangga tersebut. Energi merupakan zat gizi makro yang
sangat penting bagi tubuh. Apabila kurang mengkonsumsi makanan yang
mengandung sumber energi, maka tubuh tidak dapat beraktivitas dengan baik
dan produktivitasnya akan menurun.
Analisis lebih lanjut untuk mengetahui keeratan hubungan antara
Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dengan ketahanan pangan energi di tingkat
rumah tangga menggunakan program SPSS 16.0 menghasilkan nilai koefisien
korelasi (r) 0,581 pada tingkat kepercayaan 99 %. Nilai koefisien korelasi
yang positif menunjukkan bahwa hubungan TKE dan ketahanan pangan
energi rumah tangga bersifat searah. Apabila konsumsi energi dalam rumah
tangga meningkat, maka TKE akan meningkat pula dan diikuti dengan tingkat
ketahanan pangan energi rumah tangga yang semakin baik. Sebaliknya,
apabila suatu rumah tangga kurang mengkonsumsi energi, maka akan
mengakibatkan rumah tangga tersebut menjadi tidak tahan energi.
Ketidaktahanan energi dalam rumah tangga menyebabkan gizi buruk dan
turunnya produktivitas anggota keluarga.
Faktor ketersediaan pangan merupakan salah satu faktor penyebab
rendahnya ketahanan energi rumah tangga. Ketersediaan pangan pokok rumah
tangga responden termasuk dalam kategori rendah, padahal beras merupakan
pangan sumber energi utama yang dikonsumsi oleh petani dan keluarganya.
Ketersediaan pangan pokok yang rendah mengakibatkan konsumsi energi
yang rendah, sehingga rumah tangga tersebut tidak tahan energi. Berdasarkan
hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa ketersediaan pangan pokok
berdampak pada status ketahanan pangan rumah tangga.
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga juga dapat dilihat dari
konsumsi protein. Dalam penelitian ini, sebaran rumah tangga yang tahan
protein paling banyak. Sejumlah 53,33 % rumah tangga termasuk tahan
pangan protein. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan yang
mengandung protein sudah cukup. Proporsi rumah tangga yang berstatus
sangat tahan pangan khususnya protein juga relatif tinggi, yaitu sebesar 40 %.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Kondisi ini berkebalikan dengan tingkat ketahanan pangan energi,
dimana 60 % rumah tangga berstatus tidak tahan pangan. Hal ini disebabkan
oleh tingginya tingkat konsumsi makanan sumber protein dalam rumah
tangga, seperti tahu, tempe, dan telur. Tahu dan tempe dikonsumsi setiap hari,
sedangkan telur dikonsumsi oleh 60 % responden dengan frekuensi 1-3 kali
per minggu. Makanan ini mengandung protein dalam jumlah yang tinggi dan
hanya mengandung sedikit energi. Di samping itu, kandungan protein yang
berasal dari beras juga cukup tinggi, sehingga apabila ditambah dengan
konsumsi lauk pauk sumber protein yang lain, maka jumlah protein yang
dikonsumsi semakin bertambah sehingga rumah tangga tersebut menjadi tahan
protein.
Koefisien korelasi (r) antara Tingkat Konsumsi Protein (TKP) dengan
ketahanan pangan protein adalah 0,917 pada tingkat kepercayaan 99 %. Nilai
koefisien korelasi positif, berarti hubungan TKP dan ketahanan pangan
protein rumah tangga searah. Apabila kebutuhan konsumsi protein masing-
masing anggota keluarga tercukupi, maka rumah tangga tersebut menjadi
tahan pangan protein.
Tingkat konsumsi energi dan protein akan berpengaruh pada ketahanan
pangan rumah tangga karena salah satu faktor yang menentukan ketahanan
pangan adalah konsumsi energi dan protein. Peningkatan konsumsi energi dan
protein akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Demikian pula
sebaliknya, apabila suatu rumah tangga memiliki TKE dan TKP yang rendah
maka rumah tangga tersebut berpotensi menjadi rawan pangan.
Secara keseluruhan, tingkat ketahanan pangan protein rumah tangga
petani lebih baik dibandingkan dengan ketahanan pangan energinya. Hal ini
dibuktikan dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebaran rumah
tangga petani dengan kategori tahan protein lebih banyak daripada rumah
tangga tahan energi. Hal tersebut membuktikan bahwa ada sebagian rumah
tangga yang yang tahan protein, tetapi tidak tahan energi.
Ketahanan pangan merupakan salah satu indikator kesejahteraan
rumah tangga. Semakin tinggi kesejahteraan rumah tangga, kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
pangannya akan semakin terpenuhi, tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga
kualitas. Rumah tangga petani pada umumnya adalah rumah tangga yang
tingkat kesejahteraannya masih rendah, sehingga pemilihan pangan terbatas
pada jenis pangan yang murah dan tersedia di sekitar mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa masalah-masalah
utama dalam konsumsi energi dan protein adalah tidak tercukupinya standar
kecukupan minimum baik energi maupun protein pada rumah tangga petani.
Ketergantungan yang tinggi pada beras sebagai sumber energi merupakan
penyebab besarnya proporsi rumah tangga yang tidak tahan energi. Masih
rendahnya konsumsi pangan hewani yang sangat penting peranannya dalam
upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia juga merupakan penyebab
belum tercapainya Angka Kecukupan Protein.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat diambil yaitu :
1. Rata-rata ketersediaan pangan pokok (beras) rumah tangga petani di
Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo adalah 1.257,13 kkal/kap/hari dan
termasuk dalam kategori rendah.
2. Konsumsi pangan rumah tangga petani di Kecamatan Bulu Kabupaten
Sukoharjo dilihat dari :
a. Pola konsumsi pangan
1) Pangan pokok tunggal rumah tangga adalah beras.
2) Umbi-umbian jarang dikonsumsi oleh responden dan keluarganya.
3) Pangan sumber protein nabati lebih banyak dikonsumsi daripada
pangan sumber protein hewani.
4) Makanan sumber vitamin dan mineral seperti sayur-sayuran lebih
sering dikonsumsi daripada buah-buahan.
5) Rumah tangga mengkonsumsi makanan jadi sesuai selera dan
kondisi ekonomi rumah tangga.
b. Kuantitas konsumsi pangan
Rata-rata Tingkat Konsumsi Energi (TKE) rumah tangga petani di
Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo yaitu 70,08 % dan tergolong
tergolong kurang. Sedangkan rata-rata Tingkat Konsumsi Protein
(TKP) rumah tangga yaitu 95,51 % dan tergolong sedang.
Berdasarkan sebaran kategori TKE, sejumlah 46,67 % rumah tangga
termasuk kategori kurang. Sedangkan berdasarkan sebaran kategori
TKP, 43,33 % rumah tangga termasuk kategori sedang.
3. Sejumlah 60 % rumah tangga termasuk tidak tahan pangan energi dan
53,33 % termasuk rumah tangga tahan pangan protein. Hal ini
menunjukkan bahwa lebih banyak rumah tangga yang tahan pangan protein
daripada rumah tangga tahan pangan energi.
80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
B. Saran
1. Untuk mengatasi ketersediaan pangan pokok yang masih rendah, maka
hendaknya dikembangkan penganekaragaman pangan berbasis potensi
lokal seperti umbi-umbian dengan mengubahnya menjadi makanan olahan,
mengingat komoditas lokal seperti ubi kayu di Kecamatan Bulu Kabupaten
Sukoharjo cukup berpotensi sebagai pangan sumber energi di samping
beras.
2. Meningkatkan partisipasi aktif petani dalam kelembagaan lumbung padi
yang ada di Kecamatan Bulu.
3. Kunci permasalahan dari rendahnya ketersediaan pangan, belum
tercapainya TKE dan TKP yang ideal, dan banyaknya rumah tangga yang
tidak tahan pangan tersebut terletak pada rendahnya pendapatan rumah
tangga. Oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan
pada peningkatan pendapatan rumah tangga dengan cara menjaga
kelancaran distribudi insentif (benih, pupuk, modal) kepada petani.
4. Mengadakan penyuluhan mengenai masalah gizi untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang gizi dan mencegah terjadinya rawan
pangan.