PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC
TERHADAP KADAR NEUTROFIL
PADA PASIEN PASCAINSISI
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi MagisterKedokteran Keluarga
MinatUtama: IlmuBiomedik
Oleh
Haris Riyadi
S501002005
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC
TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI
TESIS
Oleh :
Haris Riyadi
S501002005
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Komisi
Pembimbing Nama
Tanda
Tangan Tanggal
Pembimbing I:
Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K)
NIP. 19441226 197310 1 001
……… ….2014
PembimbingII :
Eko Setijanto, dr.,M.Si.Med,Sp.An,KIC
NIP. 19710322 201001 1002
……… ….2014
Telah dinyatakan memenuhi syarat
Pada tanggal ........................2014
Ketua Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga
Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM
NIP. 19621022 199503 1001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC
TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI
TESIS
Oleh :
Haris Riyadi
S501002005
Telah diuji
Dewan
penguji Nama
Tanda
Tangan Tanggal
Ketua Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM
NIP. 19621022 199503 1001 ……… ….2014
Anggota
Dr. dr. Sri Sulistyowati, SpOG (K)
NIP. 19620822 198912 2 001
……… ….2014
Anggota
Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K)
NIP. 19441226 197310 1 001
……… ….2014
Anggota
Eko Setijanto, dr.,M.Si.Med,Sp.An,KIC
NIP. 19710322 201001 1002
……… ….2014
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal ........................2014
Direktur PPS UNS
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS
NIP. 1961717 198601 1 001
Ketua Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga
Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM
NIP. 19621022 199503 1001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS
1. Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :Tesis yang berjudul
“PERBEDAAN PENGARUH DEXAMETHASON DAN KETOROLAC
TERHADAP KADAR NEUTROFIL PADA PASIEN PASCAINCISI”, ini
adalah karya penelitian saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat
karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan
dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini,
maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang–
undangan(Permendiknas No. 17, tahun 2010).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah
lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs
UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang–kurangnya satu
semester (enam bulan sejak pengesahan Tesis), saya tidak melakukan
publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Program Studi
Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah
yang diterbitkan Program Studi Kedokteran Keluarga UNS. Apabila saya
melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia
mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.
Surakarta, September 2014
Haris Riyadi
S501002005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan
rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
judul :
”Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap Kadar
Neutrofil Pada Pasien Pascaincisi”.
Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu
persyaratan untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof.Dr.Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan
di Universitas Sebelas Maret ini.
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan
kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran
Keluarga.
5. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpA(K) selaku pembimbing metodologis
yang dengan kesabarannya membimbing dan meneliti tesis ini sehingga
menjadi lebih baik.
6. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada
program Magister Kedokteran Keluarga.
7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Prodi Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti program Magister di Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
8. Marthunus judin, dr, SpAn. selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi
Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan kesempatan dan
dukungan untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
9. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku SPS Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih telah memberikan
kesempatan dan dukungan untuk mengikuti program Magister di Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
10. Purwoko dr, SpAn KAKV selaku Sekretaris Bagian Ilmu Anestesi dan
Terapi Intensif FKUNS/RSDM yang telah memberikan kesempatan untuk
mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas Sebelas
Maret.
11. Eko Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC selaku pembimbing substansi yang
telah memberikan bimbingan dalam pembuatan usulan tesis ini.
12. Kedua Orang tua, M.Salam dan Siti Aminah, Istri saya Noni Aliasih S.IP,
anak-anak saya syifa dan hanun yang telah memberikan semangat dan
dukungannya selama ini.
13. Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu dan mendukung.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan usulan tesis ini yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk
itu kritik dan saran dari pembaca, penulis harapkan sehingga lebih sempurna.
Surakarta, September 2014
Haris Riyadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xiii
ABSTRAK .............................................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 3
D. Manfaat penelitian .................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 4
A. Kajian Teori............................................................................ 4
1. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri .................................... 4
2. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi .......................................... 7
3. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri ......................... 8
4. Asam Arakidonat ............................................................. 13
5. Sintesis Eikosanoid .......................................................... 14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
6. Dexamethason ................................................................. 19
a. Struktur Kimia ........................................................... 20
b. Mekanisme Kerja....................................................... 20
c. Farmakokinetik............................................................ 21
d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian .......................... 21
e. Efek Samping ............................................................ 22
7. Ketorolac........................................................................ . 23
a. Struktur Kimia............................................................. 23
b. Mekanisme kerja.......................................................... 24
c. Farmakokinetik............................................................ 24
d. Sediaan, dosis dan cara pemberian.............................. 25
e. Efek Samping.............................................................. 26
8. Neutrofil .......................................................................... 26
9. Hubungan dexamethason dengan ketorolac terhadap kadar
neutrofil………………………………………………….. 29
B. Kerangka Teori ....................................................................... 33
C. Kerangka Konsep ................................................................... 34
D. Hipotesis ................................................................................. 35
BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................... 36
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................ 36
B. Rancangan Penelitian ......................................................... 36
C. Sampel dan teknik pengambilan sampel ............................ 37
1. Sampel ......................................................................... 37
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
2. Besar Sampel ............................................................... 37
D. Variabel Penelitian ............................................................. 38
1. Variabel bebas ……………………………………….. 38
2. Variable terikat ………………………………………. 38
E. Definisi Operasional .......................................................... 38
F. Perijinan Penelitian ............................................................ 39
G. Alur Penelitian ................................................................... 40
H. Jalannya Penelitian ............................................................ 40
I. Alat dan Bahan ................................................................... 42
J. Pengolahan Data ................................................................ 42
K. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian ....................... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 44
A. Hasil Penelitian .................................................................. 44
B. Analisis Hasil Penelitian .................................................... 46
1. Analisis Demografi Responden ……………………… 47
2. Analisi Perbedaan Jumlah Neutrofil ………………… 47
a. Uji Keseimbangan Awal ( sebelum insisi ) …….. 47
b. Uji Hipotesis ( sesudah insisi ) ………………….. 47
C. Pembahasan ....................................................................... 52
BAB V PENUTUP .................................................................................. 57
A. Kesimpulan ………………………………………………. 57
B. Saran ……………………………………………………... 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 58
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Uji Normalitas Data Demografi Responden ………………... 44
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Jumlah Neutrofil………………...…….. 45
Tabel 4.3 Gambaran Jenis Kelamin Responden Berdasarkan Kelompok
Penelitian………………...………………...……………….....
46
Tabel 4.4 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Usia (n=30) 47
Tabel 4.5 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Berat Badan
(n=30) .......................................................................................
48
Tabel 4.6 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason
dan kelompok ketorolac sebelum insisi (n=30) ........................
49
Tabel 4.7 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason
dan kelompok ketorolac sesudah insisi (n=30) .........................
51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Gambar 2.2.
Jaras nyeri…………………………………………………
Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat….........
11
12
Gambar 2.3. Imunofisiologi nyeri inflamasi........................……………. 13
Gambar 2.4. Biosintesis prostanoid...................…………….………...... 17
Gambar 2.5.
Gambar 2.6.
Gambar 2.7.
Gambar 2.8.
Biosintesis leukotrien...........................................................
Rumus molekul dexamethason............……………………
Rumus molekul ketorolac....................................................
Kerangka teori.....................................................................
19
20
24
33
Gambar 2.9.
Gambar 3.1
Kerangka konsep..............................……………………...
Alur penelitian.....................................................................
34
40
Gambar 4.1 Diagram batang rata-rata jumlah neutrofil sebelum insisi…. 50
Gambar 4.2 Diagram batang rata-rata jumlah neutrofil sebelum insisi…. 52
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Persetujuan Uji klinik (Informed consent)
Lampiran 2. Formulir dan Check List Penelitian
Lampiran 3. Ethical Clearance RSUD Dr. Moewardi Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Haris Riyadi, S501002005, 2014. Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan
Ketorolac Terhadap kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaincisi. TESIS.
Pembimbing I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpPA(K). Pembimbing II: Eko
Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca
Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Latar Belakang : Leukotrien yang dikeluarkan pada proses inflamasi memicu
datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast sehingga proses
inflamasi yang terjadi bertambah hebat. Dexamethason antiinflamasi steroid
meningkatkan respon Polimorfonuklear pada hambatan kemampuan neutrofil
untuk melepaskan metabolit oksidatif aktif dan hambat fosfolifase A2. Ketorolac
antiinflamasi non steroid menghambat sintesis prostaglandin pada jalur
siklooksigenase dan tidak mempengaruhi leukotrien. Penelitian ini menganalisis
perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan ketorolac dalam mengurangi
reaksi inflamasi yang berlebihan sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau
terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya proses inflamasi sehingga dapat
mengurangi nyeri pasca operasi.
Tujuan penelitian : Menganalisis apakah ada perbedaan dari pemberian
dexamethasone dan ketorolac efektif dalam mengendalikan kadar neutrofil yang
terjadi pada pascaincisi.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian uji klinik dengan desain Randomized
Controlled Trial Double Blind pada pasien yang menjalani operasi elektif sebagai
subyek dengan membandingkan jumlah neutrofil kelompok dexamethason dan
kelompok ketorolac pasca incisi operasi. Data yang didapatkan diuji dengan
independent t-test.
Hasil : Penelitian menggunakan subjek 30 orang; 15 orang premedikasi
dexamethason dan 15 orang dengan ketorolac. Pada uji keseimbangan sebelum
incisi didapatkan hasil tidak ada perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antar
kedua kelompok sehingga subjek layak untuk uji selanjutnya. Uji hipotesis setelah
incisi didapatkan perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antara kelompok
dexamethason dan ketorolac dengan nilai p=0.000. Jumlah neutrofil pada
kelompok dexamethason minimal adalah 61.90% dan maksimal adalah 84.70%,
dengan rata-rata 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok ketorolac
jumlah neutrofilminimal adalah 82.90% dan maksimal adalah 91.90%, dengan
rata-rata 87.247 (85.659-88.834)%.
Kesimpulan : Ada perbedaan yang signifikan antara jumlah neutrofil pada
kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi. Pemberian
dexamethason lebih dapat sebagai anti-inflamasi dibandingkan dengan pemberian
ketorolac, dengan rata-rata jumlah neutrofil pasca operasi pada kelompok
dexamethason sebesar 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok
ketorolac jumlah neutrofilsebesar 87.247 (85.659-88.834)%.
Kata Kunci : dexamethason, ketorolac, neutrofil, inflamasi, inflamasi pasca
operasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Haris Riyadi, S501002005. 2014. Differences Of The Influence Between
Dexamethasone And Ketorolac To Neutrophyl Serum Quantity In The Post
Incision. THESIS. Supervisor I: Prof. Dr. Harsono Salimo, dr, SpPA(K)
Supervisor II : Eko Setijanto, dr, MSI.Med, SpAn, KIC. Anesthesiology and
Intensive Care Faculty of Medicine, Program Study of Occupation Medicine,
Post-graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT
Background : Leukotrien which is produced during inflammation process
triggers the appearances of leucocytes cells like neutrofil, basophil and mast cell
in result the inflammation process becomes greater. Steroid anti inflammation
such as dexamethasone increases Polimornuklear response on stimulation, cell
membrane changes in the binding of calcium, the obstacles of neutrophyl ability
to release active oxidative metabolites and disturbs phospholipase A2. Non
steroidal anti inflammation ketorolac stops prostaglandin synthesis on the
cyclooxygen pathway and doesn’t affect leukotrien. This research is intended to
analyze differences of the influence in dexamethasone and ketorolac in decreasing
inflammation reaction, therefore, it can be used as alternative or adjuvant therapy
in preventing the occurrence of inflammation process so that it will decrease post
surgery pain.
Research objective : analyze efficacy of dexamethasone compared to ketorolac in
controlling amount of neutrophyles after surgery
Methode : This study is a clinical trial with Randomized Controlled Trial Double
Blind design in patients with elective surgery as a subject by comparing the
amount of neutrophyl in dexamethasone cluster and ketorolac cluster after
incision in surgery. The data input is tested with independent t-test.
Result : In this research 30 people were obtained as samples, with 15 people used
dexamethasone premedication and the other 15 people used ketorolac. In the
initial balance test which was before the incision there was no significant
differences in the amount of neutrophyles between two clusters so subjects were
eligible for the next test. Hypothetical test after the incision resulted in the
significant differences of the neutrophyles amount between dexamethasone and
ketorolac clusters with the value of p=0.000. the amount of neutropyles in the
dexamethasone clusters was at least 61.90% and at the maximum of84.70%, with
average of 76.973 (73.770-80.177)%, meanwhile in the ketorolac cluster at the
minimum of 82.90% and the maximum of 91.90%, with average 87.247 (85.659-
88.834)%.
Conclusion : There was significant differences between the amount of
neutrophyles in the dexamethasone cluster and ketorolac cluster after incisio.
Dexamethasone has more anti-inflammation compares with ketorolac, with
average of neutrophyles amount after incision in the dexamethasone cluster as
much as 76.973 (73.770-80.177)%, meanwhile in the ketorolac cluster the
amount of neutrophyleswas 87.247 (85.659-88.834)%.
Key words : dexamethasone, ketorolac, neutrophyles, inflammation, post surgery
inflammation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Inflamasi atau radang adalah respon dari suatu organisme terhadap
patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang
terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar,
luka operasi atau terinfeksi (Baratawidjaja, 2006). Inflamasi distimulasi oleh
faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin)
yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam
sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi
(Baratawidjaja, 2006, Kumar et al. (2005).
Terjadinya inflamasi setelah insisi pembedahan diawali dengan
adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu
datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast yang
melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast,
sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald,
2012). Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah
diketahui menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al.,
2013
Dexamethason sebagai kortikosteroid berefek antiinflamasi yaitu efek
pada lipokortin yaitu meningkatkan respon PMN pada rangsangan, perubahan
membran sel pada pengikatan kalsium, hambatan kemampuan neutrofil untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
melepaskan metabolit oksidatif aktif dan menghambat fosfolifase A2 (Aryana
dan Biran, 2006). Dexamethason bekerja dengan cara menghambat enzim
fosfolifase A2 sehingga metabolisme fosfolipid yang menghasilkan senyawa
asam arakhidonat yang bersumber dari jaringan atau sel yang rusak tidak
terjadi dan pada akhirnya prostaglandin dan leukotrien serta mediator inflamasi
lain tidak terbentuk, sehingga proses inflamasi akibat luka operasi dapat
berkurang atau dapat diminimalisasi(Smyth & Fitzgerald, 2012). Sebagai
konsekuensi dari tidak terbentuknya prostaglandin, leukotrien, dan mediator
inflamasi, maka migrasi neutrofil pun terhambat.
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik.
Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas
antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi cukup kuat. Ketorolac menghambat
sintesis prostaglandin pada jalur siklooksigenase yaitu dengan cara hambatan
pada enzim siklooksigenase. Hambatan pada enzim ini menyebabkan asam
arakhidonat hanya dimetabolisme melalui jalur lipoksigenase (Smyth &
Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003). Leukotrien masih diproduksi dan migrasi
neutrofil oleh LTB4 tetap terjadi, sehingga proses inflamasi pada jalur ini terus
berlangsung.
Penelitian ini bertujuan menganalisis perbedaan pengaruh pemberian
dexamethason dan ketorolac dalam mengurangi reaksi inflamasi yang
berlebihan dengan melihat perbandingan jumlah neutrofil dalam darah pasca
insisi, sehingga bisa digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam
pencegahan terjadinya proses inflamasi untuk mengurangi nyeri pasca operasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
B. RUMUSAN MASALAH
Adakah perbedaan dexamethason dengan ketorolac terhadap kadar
neutrofil pada pasien pascaincisi ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Menganalisis apakah ada perbedaan dari pemberian dexamethason dan
ketorolac efektif dalam mengendalikan kadar neutrofil yang terjadi pada
pascaincisi.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan untuk mendukung teori dalam upaya
menerangkan tentang perbedaan pengaruh pemberian dexamethason dan
ketorolac pada reaksi inflamasi pasca insisi operasi
2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk
menjelaskan bahwa hambatan produksi neutrofil dengan menggunakan
dexamethason atau ketorolac yang dapat dilihat dari penurunan jumlah
neutrophil bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca
operasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri
Nyeri merupakan salah satu tanda adanya proses inflamasi. Inflamasi
adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis
dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan
yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi.
Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia
(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem
kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi
(Murphy at al, 2007)
Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah
membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di
masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju
sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang
spesifik (Marsaban et al, 2009).
Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap
infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi
infeksi untuk meningkatkan performa makrofage menyediakan rintangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk
jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at
al, 2007).
Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam
dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh
darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah,
disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat
menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah
terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan
endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah
dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi
ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai
ekstravasasi (Murphy at al, 2007).
Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda
sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor
atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan
menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al,
2001, Murphy at al, 2007).
Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi
yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari
pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Penanganan nyeri itu
sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya nyeri
tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis
setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang
mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006)
Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri,
yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor
(reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua
adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang
diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan
sistem syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola
distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam),
gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting
lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan.
Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan
jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi
(inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf
yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah
suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab
kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca
bedah bisa disebabkan oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan
sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri
akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut.
Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif),
sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri
kronik (Lalenoh, 2009)
2. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi
Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi
tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia
(misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik
perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar
pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon
terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri
mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion
sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem
intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang
otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik
dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan
verbal (Marsaban et al, 2009)
Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan
informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke
korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik
pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke
akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input
sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan
input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
(aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian,
visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (tabel 1.1)
(Marsaban et al, 2009)
3. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri
Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau
iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung
melalui ligant-gated ion channel atau dapat pula melalui reseptor
metabotropik yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat
mengaktifkan dan atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara
khusus dengan memperhatikan hubungan linier antara intensitas
rangsangan, aktivitas pada nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter
spinal dan aktivitas neuron yang memproyeksi medula spinalis ke otak
(Marsaban et al, 2009).
Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak
hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga
berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus
diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap
perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al,
2009)
Tahap proses terjadinya nyeri diawali dengan transduksi. Kerusakan
jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen berupa
bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, dan prostaglandin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi
nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa phospholipid
yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen
nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG)
endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan
PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri
tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2).
Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah
kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P,
PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi
senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas
vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam
ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon
inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan
jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan
LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar
dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga
terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi
normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus
menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula
sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi
proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan
makrofage dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme
asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak
langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk
melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4
(LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi,
sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin IL1β, IL6,
TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer
melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan
eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya
prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung
mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia.
Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid
(AINS). Setelah terjadinya transduksi yang dipicu oleh adanya mediator
inflamasi maka akan dilanjutkan dengan proses transmisi, modulasi dan
persepsi (Gambar 2.1) (Setiabudi, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Gambar.2.1. jaras nyeri ( sumber Gottschalk A et al. Am Fam physician
2001 and kehlet H et al anesth analg 1993 )
Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi
yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien
dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakhidonat
(Gambar 2.2). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar
pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses
inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga
akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Gambar 2.2 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat
(Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)
Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang
berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan
kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, neutrofil, makrofage dan
limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen
sebagai mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam
patogenesis dan berubahnya karakter proses nosisepsi pada nyeri neuropatik
perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas
benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar
2.3 menjelaskan, pasca cedera sel mast dan makrofage diaktifkan, beberapa
blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak
langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thackeret al., 2007).
Gambar 2.3 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007).
Dalam responnya terhadap cedera,sel-sel imun setempat teraktivasi,
dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cedera. Disamping
sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi
nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta
interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun
,sel glia dan sel syaraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang
mengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri
(Ren& Dubner, 2010).
4. Asam Arakhidonat
Asam arakhidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling
penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
mengandung empat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk
menghasilkan asam 5,8,11,14-eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20: 4-
6). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai
panjang tak jenuh ganda, banyak ditemukan pada hewan dan juga
ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar
sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus
dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih
lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.2). Setidaknya ada tiga
fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran:
PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium.
Selain itu, arakhidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan
lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012)
Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakhidonat dioksigenasi melalui
empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX),
epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis
eikosanoid yang disintesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel.
(Smyth & Fitgerald, 2012)
5. Sintesis Eikosanoid
Eikosanoid merupakan senyawa yang disintesis dari arakhidonat dan
beberapa asam lemak tak jenuh ganda C20 (eikosanoat) yang umumnya
terdapat dalam bentuk teresterifikasi dalam membrane sel (fosfolipid).
Eikosanoid yang terdiri atas prostaglandin, tromboksan, leukotrien, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
lipoksin merupakan salah satu pengatur fungsi sel paling kuat di alam dan
dihasilkan oleh hampir setiap sel tubuh. Zat-zat ini aktif secara fisiologis
ataupun farmakologis (Murray et.al, 2006)
a. Jalur siklooksigenase
Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakhidonat menjadi
endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan
secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya rangsangan dari luar.
Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya
sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk
gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress,
faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan
prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotektif epitel lambung,
sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi
dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang
melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain
ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel
merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid
yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang
normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan
pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional
dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006)
Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi
nonsteroid menimbulkan efek terapinya. Indometasin dan sulindac
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen
kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib,
diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2
dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan
menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari)
menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan
COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012).
Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang secara
keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase
dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua
hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir,
misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai
samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2.
Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel
vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi
trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Gambar 2.4 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan
prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)
Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan
vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya
telah dikembangkan untuk indikasi kardiovaskular meskipun
penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan
(Smyth & Fitgerald, 2012).
b. Jalur lipoksigenase
Metabolisme asam arakhidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase
(LOX) menghasilkan produk asam hidroperoksieikosatetraenoat
(HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.5). Arakhidonat yang
dimetabolisme melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
disertai dengan protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian
menghasilkan epoksida leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat
antara ini dapat berubah menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau
berkonjugasi dengan glutation untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4)
yang mengalami degradasi bertahap pada gugus glutation oleh peptidase
untuk membentuk LTD4 dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai
leukotrien sisteinil atau peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4
dan LTD4 merangsang sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald,
2012).
LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten
menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi
plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai
komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A)
yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga
yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi
bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan
atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012,
Crawley et al, 1995).
LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas
miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi
miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Gambar 2.5 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara
keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil
transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth &
Fitgerald, 2012)
6. Dexamethason
Dexamethasone merupakan golongan adrenokortikosteroid sintetik
long acting yang terutama mempunyai efek glukokortikotiroid dan
mempunyai aktifitas anti inflamasi, antialergi, hormonal dan efek metabolik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
a. Struktur Kimia
Dexamethason memiliki nama bangun yaitu 9-Fluoro-11β,17,21-
trihidroksi-16α-metilpregna-1,4-diena-3,20-dion. Formula molekul dari
dexamethason adalah C22H29FO5dan memiliki berat molekul 392,47
g/mol (Pubchem, 2013; Ganiswara, 2000).
Gambar 2.6. Rumus molekul dexamethason (Sumber : Pubchem, 2013,
Ganiswara, 2000).
b. Mekanisme Kerja
Dexamethason sebagai antiinflamasi glukokortikoid bekerja
dengan hambatan aktivitas dari enzim fosfolipase A2 sehingga senyawa
arakhidonat tidak terbentuk sehingga jalur setelahnya tidak terjadi yaitu
metabolisme arakhidonat melaui jalau COX yang menghasilkan
prostaglandin, tromboksan A2 dan prostasiklin, dan jalur LOX yang
menghasilkan leukotrien. Pada banyak penelitian dan kondisi klinis,
dexamethason tercatat mampu mencegah atau mengurangi proses
inflamasi dan mengurangi pelepasan histamin, protease sel mast,
myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin.
Dexamethason dapat mendepresi sistem imun (immunosupresan) yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
hambatan proliferasi dari sel leukosit teutama limfosit sehingga antibodi
(imunoglobulin) tidak diproduksi (Mansjoer, 2003, Ganiswara, 2000)
Dexamethason dapat menghambat perkembangan reseptor Fc
epsilon receptor I (FcεRI) yaitu reseptor IgE pada sel mast sehingga
berkontribusi dalam hambatan proses degranulasi sel mast (Kurniawan,
2013)
c. Farmakokinetik
Menurut Widodo (1993), ikatan protein plasma dexamethason
yaitu 70% (pada dosis yang lebih tinggi lebih kecil), terikat pada
transcortin (afinitas tinggi, kapasitas kecil) dan pada albumin (afinitas
rendah, kapasitas besar). Informasi tentang kecepatan dan tingkat
absorpsi obat jarang mempunyai kepentingan klinis.
Proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan
ekskresi) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi
mengikuti kinetika tahap pertama, artinya kecepatan proses-proses
tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi
jumlah obat yang diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu
makin lama makin sedikit, sebanding dengan jumlah obat yang masih
belum mengalami proses tersebut (Pubchem, 2013, Setiawati, 2005).
d. Sediaan, Dosis, dan Cara Pemberian
Sediaan dexamethason tablet untuk pengunaan oral yaitu 0,5 mg,
dan 0,75, 1, 1.5, 2, 4 and 6 mg USP, Dexamethasone Oral Solution, 0.5
mg per 5 mL dan Dexamethasone Oral Solution (Concentrate), 1 mg per
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
mL untuk penggunaan peroral. Penggunaan parenteral injeksi ampul 1 mL
larutan 0,5% atau 5 mg/mL. Ada juga sedian injeksi ampul 0,4% atau 4
mg/mL Dosis peroral bisa diberikan dengan dosis awal 0,5 – 9 mg per
hari tergantung kebutuhan dan indikasi. Pada pasien anak, dosis awal
dexamethason sangat tergantung pada spesifikasi penyakit yang diderita.
Dosis awal antara 0,02 sampa 0,3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiga
atau empat (0.6 - 9 mg/m2bsa/hari) (Pubchem, 2013)
e. Efek Samping
Efek samping berikut adalah tipikal untuk semua kortikosteroid
sistemik; gangguan pada cairan dan elektrolit,retensi sodium, retensi
cairan, gagal jantung kongestif, kehilangan kalium pada pasien yang
rentan, hipokalemia alkalosis, hipertensi.Jaringan otot ; steroid miopati,
lemah otot, osteoporosis, nekrosis aseptik, keretakan tulang belakang,
keretakan pathologi.Saluran pencernaan; ulserasi peptik dengan
kemungkinan perforasi dan perdarahan, pankreatitis, ulserasi esofagitis,
perforasi pada perut, perdarahan gastrik, kembung perut. Peningkatan
Alanin Transaminase (ALT, SGPT), Aspartat Transaminase (AST,
SGOT), dan Alkaline Phosphatase telah diteliti pada pengobatan dengan
kortikosteroid. Dermatologi : mengganggu penyembuhan luka, menipiskan
kulit yang rentan, petekie, ekimosis, eritema pada wajah, banyak
keringat.Metabolisme : Keseimbangan nitrogen yang negatif sehubungan
dengan katabolisme protein. Urtikaria dan reaksi alergi lainnya, reaksi
anafilaktik dan reaksi hipersensitif. dilaporkan pernah terjadi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pemberian oral maupun parenteral.Neurologi : Peningkatan tekanan
intrakranial, perubahan fisik, pseudotumor cerebri, dan epilepsi.Endokrin :
Menstruasi yang tidak teratur, terjadinya keadaan “cushingoid“, supresi
pada pituitary-adrenal axis, penurunan toleransi karbohidrat, timbulnya
gejala diabetes mellitus laten, peningkatan kebutuhan insulin atau
hypoglikemia oral, menyebabkan diabetes, menghambat pertumbuhan
anak, tidak adanya respon adrenokortikoid sekunder dan pituitary,
khususnya pada saat stress atau trauma, dan sakit karena operasi.Mata :
Katarak posterior subkapsular, peningkatan tekanan intrakranial, glaukoma
dan eksophtalmus (Pubchem, 2013).
7. Ketorolac
Ketorolac tromethamine adalah obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) yang sudah digunakan sejak 1990 dan merupakan OAINS
parenteral yang diindikasikan untuk nyeri pascaoperasi (Marino dan Sutin,
2007 cit. Setyono, 2009).
a. Stuktur kimia
Ketorolac memiliki nama bangun (±)-5-benzoyl-2,3 - dihydro -
1H - pyrrolizine-1-carboxylic acid, 2-amino-2-(hydroxymethyl)-1,3-
propanediol. Rumus kiminya adalah C15H13NO3 dan dengan berat
molekul sebesar255.27 g/mol.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Gambar 2.7 Rumus molekul ketorolac(Sumber : Pubchem, 2013)
b. Mekanisme kerja
Asam arakhidonat dari kerusakan sel atau jaringan akan
dimetabolisme salah satunya melewati jalur siklooksigenase yang
menghasilkan produk inflamasi: prostaglandin, tromboksan A2 dan
prostasiklin yang memiliki peran dalam proses inflamasi pasca trauma.
Ketorolac bekerja dengan cara mempengaruhi enzim siklooksigenase
yaitu terjadinya hambatan enzim siklooksigenase sehingga produk
endoperoksid tidak terbentuk. Pemberian ketorolac atau OAINS secara
tunggal tanpa pemberian obat yang mempengaruhi metabolisme asam
arakhidonat pada jalur lioksigenase akan memicu lebih banyak lagi
metabolisme asam arakhidonat pada jalur ini, sehinga akan lebih banyak
leukotrien dihasilkan (Smyth & Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003,
Ganiswara, 2000).
c. Farmakokinetik
Ketorolac tromethamine diserap dengan cepat dan lengkap
setelah pemberian intramuskular dengan konsentrasi puncak rata-rata
dalam plasma sebesar 2,2 mcg/ml setelah 50 menit pemberian dosis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
tunggal 30 mg. Waktu paruh terminal plasma 5,3 jam pada dewasa
muda dan 7 jam pada orang lanjut usia (usia rata-rata 72 tahun).
d. Sediaan, Dosis dan Cara Pemberian
Ketorolac tromethamine tersedia dalam bentuk tablet dan injeksi.
Pemberian injeksi lebih dianjurkan. Pemberian Ketorolac tromethamine
hanya diberikan apabila ada indikasi sebagai kelanjutan dari terapi
Ketorolac tromethamine dengan injeksi. Terapi Ketorolac tromethamine
baik secara injeksi ataupun tablet hanya diberikan selama 5 hari untuk
mencegah ulcerasi peptic dan nyeri abdomen. Efek analgesic Ketorolac
tromethamine selama 4-6 jam setelah injeksi.
Untuk injeksi intramuscular pasien dengan umur <65 tahun
diberikan dosis 60 mg Ketorolac tromethamine/dosis. Pasien dengan
umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat
badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 30 mg/dosis. Untuk injeksi
intravena : pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg
ketorolac tromethamine/dosis. Pasien dengan umur >65 tahun dan
mempunyai riwayat gagal ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg,
diberikan dosis 15 mg/dosis. Pemberian ketorolac tromethamine baik
secara injeksi maupun oral maksimal : pasien dengan umur <65 tahun
diberikan dosis 120 mg/hari. Bila diberikan dengan injeksi intravena,
maka diberikan setiap 6 jam sekali. Pasien dengan umur >65
tahun maksimal 60 mg/hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
e. Efek Samping
Selain mempunyai efek yang menguntungkan, Ketorolac
tromethamine juga mempunyai efek samping. Efek pada
gastrointestinal: Ketorolac tromethamine dapat menyebabkan ulcerasi
peptic, perdarahan dan perlubangan lambung. Sehingga Ketorolac
tromethamine dilarang untuk pasien yang sedang atau mempunyai
riwayat perdarahan lambung dan ulcerasi peptic. Efek pada ginjal:
Ketorolac tromethamine menyebabkan gangguan atau kegagalan
depresi volume pada ginjal, sehingga dilarang diberikan pada pasien
dengan riwayat gagal ginjal. Ketorolac tromethamine menghambat
fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan hemostasis yang
mengakibatkan risiko perdarahan dan gangguan hemostasis. Dalam
pemberian Ketorolac tromethamine bisa terjadi reaksi hypersensitivitas
dari spasme bronkus hingga shock anafilaktik, sehingga dalam
pemberian Ketorolac tromethamine harus diberikan dosis awal yang
rendah
8. Neutrofil
Neutrofil (leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah granulosit
dalam sirkulasi yang berperan dalam inflamasi akut, bermigrasi ke
jaringan sebagai respon terhadap invasi mikroba. Dalam kerjanya neutrofil
juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
menangkap, memakan (fagositosis), membunuh, dan mencerna (Stites
et.al, 1997)
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis,
tetapi sel utama yang berperan dalam pertahanan non-spesifik adalah sel
mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau
granulosit (neutrofil, eosinofil, basofil) (Stites et.al, 1997; Baratawidjaja,
2006).
Sistem imun non spesifik (alamiah/natural/innate) merupakan
pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi berbagai serangan
mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung,
sedangkan sistem imun spesifik ( didapat / adaptive / acquired )
membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum
dapat memberikan responsnya. Disebut sistem imun non spesifik karena
tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh
kita dan siap berfungsi sejak lahir (Baratawidjaja, 2006).
Fagosit polimorfonuklear atau polimorf atau granulosit dibentuk
dalam sumsum tulang dengan kecepatan 8 juta/menit dan hidup selama 2-3
hari. Neutrofil merupakan 70% dari jumlah leukosit dalam sirkulasi .
Biasanya hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum
bermigrasi. Neutrofil dan juga granulosit lainnya ditemukan juga diluar
pembuluh darah oleh karena dapat menembus dinding pembuluh darah.
Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Jumlah polimorf yang menurun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
sering disertai dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi
(Baratawidjaja, 2006).
Neutrofil dengan proses kemotaksis berfungsi sebagai fagosit dan
bakterisid yang mengontrol kontaminasi lokal dan mencegah infeksi.
Neutrofil melepaskan protease yaitu elastase dan kolagenase yang
berfungsi untuk memperbaiki kerusakan sel, merubah extracellular matrix
dan membersihkan luka dari sel yang rusak. Luka yang bersih, bebas
infeksi akan memperbaiki penyembuhan luka (Baratawidjaja, 2006; Salo,
1992).
Di jaringan sasaran, neutrofil aktif mematikan dan menghancurkan
mikroba. Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya dalam
24 – 48 jam. Bila tidak terjadi infeksi, neutrofil berumur pendek dan
jumlahnya menurun dengan cepat setelah hari ke-3 (Morisaki et.al,
1997).
Neutrofil akan bereaksi terhadap inflamasi dengan berakumulasi
mendekati sel endotel dinding venula. Proses ini disebut marginasi.
Akumulasi dan penempelan neutrofil pada permukaan endotel terjadi
karena adanya molekul adhesi yang dilepaskan endotel akibat pengaruh
IL-1 yang diproduksi neutrofil. Molekul adhesi tersebut antara lain P-
selektin, intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Selanjutnya
neutrofil bergulir pada permukaan endotel akibat daya dorong aliran
plasma. Penempelan neutrofil pada endotel makin kuat dan bergerak aktif
secara diapedesis, kemudian berhenti dan mengeluarkan pseudopodia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
mengerutkan diri menyusup melewati celah antara membran basalis sel
endotel dan bermigrasi meninggalkan kapiler menuju jaringan interstitial
yang rusak (Morisaki et.al, 1997).
Akhir dari proses ini akan terjadi apoptosis, yaitu suatu proses yang
merupakan regulasi dari bunuh diri sel. Selanjutnya neutrofil yang
melakukan apoptosis akan terisolasi dari daerah infeksi. Berbeda dengan
kematian sel secara degeneratif atau nekrosis, apoptosis mempunyai
karakteristik seperti sel yang menyusut, mengendap, kondensasi kromatin,
dan kondensasi intranukleosomal DNA. Apoptosis akan melimitasi risiko
kerusakan jaringan dengan melepaskan oksigen reaktif dan meningkatkan
perbaikan terhadap respon infeksi (Udelsman, 2002).
Pada mekanisme biologis neutrofil, leukotrien dan mediator
inflamasi memiliki peran yang cukup penting. Leukotrien merupakan agen
yang sangat penting dalam respon inflamasi. Beberapa seperti LTB4
memiliki efek kemotaktik dalam migrasi neutrophil, dan dapat membantu
sel yang dibutuhkan ke jaringan. Leukotrien juga memiliki efek yang kuat
dalam bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (Dahlen
et.al, 1981).
9. Hubungan dexamethason dan ketorolac terhadap kadar neutrofil
Dexamethason merupakan kortikosteroid yang mampu menghambat
sintesis eikosanoid, kemungkinan dengan merangsang sintesis beberapa
protein penghambat yang secara kolektif disebut aneksin atau lipokortin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Zat-zat ini menghambat aktivitas fosfolipase A2, kemungkinan dengan
menggangu pengikatan fosfolipid dan dengan demikian mencegah
pelepasan asam arakhidonat. NSAID tidak menghambat aktivasi
lipoksigenase bahkan dengan mencegah konversi asam arakhidonat
melalui jalur COX, ini bisa menyebabkan lebih banyak substrat yang
dimetabolisme melalui jalur lipoksigenase yang menyebabkan
meningkatnya pembentukan leukotrien peradangan (Mansjoer, 2003;
Sayed et al, 1989)
Pada penelitian Ghupta et al. (2006) dan Murphy et al. (2011)
pemberian dexamethason dosis rendah (5 mg intravena) preoperasi dapat
mencegah terjadinya postoperative neusea vometing (PONV) dan
mengurangi nyeri post operasi pada pasien yang dilakukan operasi
laparoscopic cholecystectomy. Pada penelitian lain pemberian
dexamethason dosis tunggal preoperatif dengan dosis antara 1,25- 20 mg
secara statistik dapat memberikan keuntungan dan dengan signifikan
memberikan efek analgesik post operasi, namun peningkatan kadar gula
darah terjadi pada 24 jam pertama post operasi (Waldron et al., 2012).
Pemberian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dapat menurunkan
sensitisasi kemotaktik neutrofil dan penyerapan jaringan berikutnya. Selain
itu, kortikosteroid dapat menghambat aktivasi sitokin (Loef et. al, 2004).
Pada penelitian Mohtafizur et.al (2014) menerangkan bahwa senyawa
bioaktif sphingolipid sphingosine 1-phosphate (S1P) yang menginduksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kemoatraktan neutrofil direpresi oleh steroid deksametason. Sehingga
pemberian steroid dapat menekan kadar neutrofil serum.
Akan tetapi, pada penelitian Huber et.al (1992) mengenai efek
dexametason pre-operasi terhadap reaksi inflamasi setelah operasi jantung
pada anak didapatkan bahwa tidak ada perbedaan respon inflamasi post-
operasi antara subjek yang diberi deksametason dengan yang diberi
plasebo. Penelitian ini menggunakan deksametason 1 mg/kg dan antibiotik
profilaksis cefuroxim.
Ketorolac selain digunakan sebagai antiinflamasi juga memiliki
efek analgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti morfin pada
keadaan pasca operasi sedang sampai berat (Marino dan Sutin, 2007 cit.
Setyono, 2009). Ketorolac bekerja dengan cara mempengaruhi enzim
siklooksigenase yaitu terjadinya hambatan enzim siklooksigenase sehingga
produk endoperoksidasi tidak terbentuk. Pemberian ketorolac atau OAINS
secara tunggal tanpa pemberian obat yang mempengaruhi metabolisme
asam arakhidonat pada jalur lipooksigenase akan memicu lebih banyak
lagi metabolisme asam arakhidonat pada jalur ini, sehinga akan lebih
banyak leukotrien dihasilkan (Smyth & Fitgerald, 2012, Mansjoer, 2003,
Ganiswara, 2000). Peningkatan leukotrien tersebut akan berdampak pada
peningkatan migrasi netrofil.
Hal tersebut didukung oleh penelitian Yeon Hong (2005) yang
melakukan penelitian mengenai efek pemberian ketorolak preoperatif
terhadap respon sel darah putih dan nyeri pada 25 pasien dengan operasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
laparoskopi endometriosis yang diberi ketorolak 0.5mg/kg sebelum
induksi anestesi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa ketorolak
intravena pre-operasi mempengaruhi leukosit dengan peningkatan
neutrofil, serta penurunan monosit dan eosinofil post operasi.
Walaupun tidak dapat menekan jumlah neutrofil, ketorolac dapat
menghambat adhesi neutrofil, degranulasi dan pelepasan anion
superoksida (Hyers et. al, 1992)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan dexamethason dan
ketorolac terhadap neutrofil sebagai agen antiinflamasi serta analgetik
terdapat pada mekanisme kerja kedua obat tersebut. Dexamethason
memblok aktivasi fosfolipase A2 yang mengganggu pelepasan fosfolipid
sebagai prekursor asam arakhidonat sehingga sekresi mediator-mediator
inflamasi baik dari jalur sikloosigenase maupun jalur lipoksigenase dapat
dihambat. Sedangkan ketorolac bekerja menghambat enzim
siklooksigenase saja, mediator inflamasi pada jalur siklooksigenase dapat
dihambat, akan tetapi ketorolac tidak menghambat pada jalur
lipooksigenase sehingga kadar neutrofil akan tetap tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
B. KERANGKA TEORI
Gambar 2.8 Kerangka teori
Enzim fosfolipase A2
Enzim Lipoksigenase Enzim Siklooksigenase
Keterangan:
: tidak diperiksa
: yang diperiksa
Trauma pembedahan
Asam Arakidonat
Hidroperoksida Endoperoksida
si
PG, Tromboksan
A2, Prostasiklin
TNF α , IL-1β, IL-6,
Histamin, PGE2, NGF
Kerusakan pada membran
sel
Fosfolipid
Leukotrien
Migrasi Netrofil,
makropage, sel
mast
Inflamasi /
Nyeri akut
pasca bedah
Dexamethason
Menghambat enzim
fosfolipase
Ketorolac
menghambat enzim
siklooksogenase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
C. KERANGKA KONSEP
Gambar 2.9 Kerangka konsep
Enzim Siklooksigenase
Trauma Pembedahan
Asam Arakidonat
Hidroperoksida Endoperoksidasi
PG, Tromboksan A2,
Prostasiklin
Kerusakan pada membran sel
Fosfolipid
Enzim fosfolipase A2
Leukotrien
Enzim Lipoksigenase
jumlah neutrofil
tetap
Ketorolac
menghambat enzim
siklooksogenase
Dexamethason
menghambat enzim
fosfolipase A2
Peningkatan jumlah
neutrofil
Keterangan:
: berhubungan
: deksametason
: ketorolak
Anestesi
Migrasi Netrofil,
makropage, sel mast
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Setelah teranestesi dilakukan insisi pembedahan (trauma pada sel).
Membran fosfolipid sel dengan bantuan enzim fosfolipase membentuk asam
arakhidonat pada jalur lipoksigenase yang kemudian membentuk leukotrien.
Kemudian diberikan dexamethason yang menghambat aktivasi enzim
fosfolipase A2 sehingga asam arakhidonat tidak terbentuk dan diharapkan
kadar leukotrien akan turun. Sehingga migrasi neutrofil akan terhambat.
Sedangkan pemberian ketorolac menghambat jalur siklooksigenase tanpa
mempengaruhi jalur lipoksigenase, sehingga kadar leukotrien tidak turun pada
pemberian ketorolac,terjadi migrasi neutrofil, sehingga jumlah neutrofil pun
meningkat mengakibatkan nyeri dan inflamasi pasca operasi meningkat.
D. HIPOTESIS
Ada perbedaan jumlah neutrofil dalam darah pascaincisi pada pasien
yang diberikan dexamethason dibandingkan dengan pasien yang diberikan
ketorolac.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi Surakarta,
dimulai pada bulan mei sampai juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Instalasi
Bedah Sentral ini oleh karena tiap harinya tindakan pembedahan yang
dilakukan dengan anestesi umum cukup banyak.
B. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized
Controlled Trial Double Blind yang pada pasien yang menjalanai operasi
elektif sebagai subyek penelitian dengan tujuan mencari perbedaan pengaruh
pemberian dexamethason dan ketorolac terhadap jumlah neutrofil pasca
operasi. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua yaitu kelompok
dexamethason (K1), dan ketorolac (K2), penjelasannya sebagai berikut :
K1 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan
dexamethason injeksi sebelum tindakan operasi
K2 : Kelompok pasien yang menjalani operasi elektif yang diberikan
ketorolac injeksi sebelum tindakan operasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
C. SAMPEL DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL
1. Sampel
Populasi yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien
yang menjalani pembedahan elektif dengan status fisik ASA I dan II di
Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr.Moewardi dalam kurun waktu Mei sampai
dengan Juli 2014.
Kriteria inklusi :
a. Pasien dengan operasi elektif.
b. Umur 18 - 60 tahun.
c. Status fisik ASA I dan II
d. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam batas normal.
e. Pasien bersedia diikutsertakan dalam penelitian
Kriteria eksklusi :
a. Pasien menolak diikutsertakan dalam penelitian
b. Pasien mendapatkan terapi kortikosteroid lain
c. Pasien dengan pengobatan dengan NSAID
d. Pasien yang mengkonsumsi antihistamin
e. Pasien alergi terhadap dexamethason atau ketorolac
2. Besar Sampel
Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas yaitu pemberian
dexamethason dan ketorolac dan satu variabel terikat yaitu kadar neutrofil
serum, maka besar sampel minimal dapat menggunakan pedoman ”rule of
thumb”. Dengan ”rule of thumb” maka besar sampel yang diperlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
adalah 30 pasien, jadi masing-masing kelompok adalah 15 pasien (Murti,
2010).
D. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel Bebas
Pemberian obat antiinflamasi (dexamethason atau ketorolac)
2. Variabel Terikat
Jumlah Neutrofil
E. DEFINISI OPERASIONAL
1. Pemberian obat antiinflamasi adalah memasukkan obat antiinflamasi
kepada subjek yang berupa:
a. Dexamethason adalah pemberian injeksi dexamethason dosis 0,2
mg/kgBB dua jam sebelum incisi.
Alat ukur : -
Skala pengukuran : -
b. Pemberian ketorolac adalah pemberian ketorolac injeksi intravena 30
mg dua jam sebelum insisi
Alat ukur : -
Skala pengukuran : -
2. Jumlah neutrofil merupakan jumlah neutrofil absolut dari sampel darah
tepi yang dihitung dengan alat advia dengan system Flow Cytometry,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
diperiksa dua kali sebelum pemberian dexamethason atau ketorolac dan
satu jam setelah insisi di labolatorium klinik RSUD Moewardi Surakarta.
Alat ukur : Advia
Skala data : rasio
Satuan : %
Cara pengukuran : system flow cytometry
F. PERIJINAN PENELITIAN
Ethical clearance
Mendapatkan ijin melakukan penelitian setelah pengkajian oleh Panitia
Kelaikan Etik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta-Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan prinsip tidak melanggar etika
praktek kedokteran dan tidak bertentangan dengan etika penelitian pada
manusia.
Ijin Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan atas persetujuan pasien atau keluarga terhadap
informed consent yang diajukan peneliti, setelah sebelumnya mendapat
penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
G. ALUR PENELITIAN
Gambar 3.1 Alur Penelitian
T1 : Jumlah neutrofil 2 jam sebelum insisi (base line).
T2 : Jumlah Neutrofil1 - 2 jam setelah insisi.
H. JALANNYA PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr.
Moewardi Surakarta setelah mendapatkan persetujuan komite etik. Tata cara
dilakukan sebagai berikut :
Kriteria inklusi
Pasien rencana pembedahan
Sampel
Anestesi
Analisis data
Kriteria Eksklusi
Randomisasi
Kelompok Ketorolac
(K2)
Kelompok Dexamethason
(K1)
K2
Dexamethason 0,2
mg/kgBB IV
Ketorolac 30 mg IV
Data dasar (T1)
Data kedua (T2)
Irisan pembedahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
a. Pasien ASA I dan II yang tiba di kamar operasi yang dijadwalkan untuk
dilakukan operasi dilakukan monitoring standar.
b. Dilakukan identifikasi identitas (nama, jenis kelamin, umur), berat badan,
status fisik (ASA), dan monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, suhu).
c. Dilakukan randomisasi untuk menentukan pasien dimasukkan dalam
kelompok dexamethason (K1) atau kelompok ketorolac (K2).
d. Diambil sampel ke I (T1) darah vena sebanyak 3 mL dan dimasukkan ke
dalam tabung Vacutainer, dikocok perlahan.
e. Dilakukan tindakan anestesi
f. Dilakukan tindakan pembedahan
g. Setelah kurang lebih 1 - 2 jam irisan pembedahan diambil sampel
kedua(T2) darah vena sebanyak 3 mL dan dimasukkan ke dalam tabung
Vacutainer, dikocok perlahan.
h. Kedua sampel darah kemudian dibawa ke laboratorium klinik RSUD
Moewardi Surakarta untuk diolah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
I. ALAT DAN BAHAN
Alat dan bahan yang digunakan :
a. Monitor vital sign otomatis.
b. Spuit 3 mL
c. Dexamethason injeksi ampul 5 mg/mL.
d. Ketorolac injeksi ampul 3 % ( 30 mg/mL)
e. Tabung Vacutainer tutup warna ungu.
f. Alat hitung Advia
J. PENGOLAHAN DATA
Data yang didapatkan dilakukan analisis dengan program SPSS
Statistic 17.0 . Data demografi dan hasil penelitian dinilai apakah distribusinya
normal atau tidak dilakukan Uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel 30.
Untuk menilai perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok dilakukan
dengan menggunakan uji Chi-Square Test. Untuk menguji data dasar umur dan
berat badan dilakukan dengan Independent Samples t Test apabila distribusi
data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-Whitney
U test. Sedangkan untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna antara
jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dibandingkan dengan
kelompok ketorolac dilakukan dengan Independent Samples t Test bila
distribusi data normal. Bila distribusi data tidak normal maka digunakan Mann-
Whitney U test. dan dianggap memiliki kemaknaan statistik apabila nilai p yang
diperoleh adalah p < 0,05.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
K. JADWAL KEGIATAN DAN ORGANISASI PENELITIAN
Bulan Mei – Juli 2014
KEGIATAN WAKTU
Mei Juni Juli
Perijinan
Pelaksanaan penelitian
Pengolahan data
Penyusunan laporan
penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSUD Dr. Moewardi
Surakarta, dimulai pada bulan Mei sampai Juli 2014. Pasien yang memenuhi
syarat dilakukan randomisasi kemudian dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac. Kedua kelompok kemudian
diukur jumlah kadar neutrofil serum sebelum dan sesudah operasi. Kemudian
data dianalisa dengan program SPSS Statistic 17.0. Untuk mengetahui data
demografi dan hasil penelitian dinilai terlebih dahulu apakah distribusinya
normal atau tidak, dengan dilakukan Uji Shapiro-Wilk.
Tabel 4.1 Uji Normalitas Data Demografi Responden
Variabel Kelompok Statistic Df p-value Ket
Usia Dexamethason 0.910 15 0.138 Normal
Ketorolac 0.885 15 0.057 Normal
Berat Badan Dexamethason 0.954 15 0.590 Normal
Ketorolac 0.930 15 0.227 Normal
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa dari variabel usia maupun berat
badan dari kelompok Dexamethason dan kelompok Ketorolac mendapatkan
nilai p-value >0,05, yang artinya dari semua variabel tidak ada perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
antara sebaran distribusi data dengan garis normal, atau dapat dikatakan
distribusi data usia dan berat badan berdistirbusi normal. Karena distribusi
datanya normal sehingga untuk mengetahui perbedaan usia dan berat badan
mengunakan uji independen sample t-test.
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Jumlah Neutrofil
Neutrofil Kelompok Statistic Df p-value Ket
Sebelum Dexamethason 0.939 15 0.364 Normal
Ketorolac 0.939 15 0.375 Normal
Sesudah Dexamethason 0.889 15 0.065 Normal
Ketorolac 0.959 15 0.670 Normal
Berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa sebelum insisi maupun
sesudah insisi dari kelompok Dexamethason dan kelompok Ketorolac
mendapatkan nilai p-value >0,05, yang artinya dari semua variabel tidak
ada perbedaan antara sebaran distribusi data dengan garis normal, atau
dapat dikatakan distribusi data neutrofil berdistirbusi normal. Karena
distribusi datanya normal sehingga untuk mengetahui perbedaan jumlah
neutrofil pada kelompok Dexamethason dengan kelompok Ketorolac
mengunakan uji independen sample t-test.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
B. Analisis Hasil Penelitian
1. Analisis Demografi Responden
Data demografi pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia,
dan Berat Badan.
a. Jenis Kelamin
Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka
diketahui distribusi data jenis kelamin dalam tabulasi silang sebagai
berikut:
Tabel 4.3 Gambaran Jenis Kelamin Responden Berdasarkan
Kelompok Penelitian
Jenis Kelamin
Kelompok
Total p-value
Dexamethason Ketorolac
Perempuan 7 (23.3%) 4 (13.3%) 11 (36.7%) 0.256
Laki-laki 8 (26.7%) 11 (36.7%) 19 (63.3%)
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa jumlah responden
dengan jenis kelamin perempuan ada 11 pasien (36,7%), dengan 7
pasien (23,3%) pada kelompok dexamethason, dan 4 pasien (13,3%)
pada kelompok ketorolac. Untuk responden dengan jenis kelamin laki-
laki ada 19 orang (63,3%) dengan 8 pasien (26,7%) pada kelompok
dexamethason, dan 11 pasien (36,7%) pada kelompok ketorolac.
Diketahui bahwa nilai p-value 0.256 (p-value > 0,05), jadi tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
perbedaan jenis kelamin antara kelompok dexamethason dengan
kelompok ketorolac.
b. Usia
Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka
diketahui deskripsi data usia responden sebagai berikut:
Tabel 4.4 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Usia (n=30)
Variabel Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value
Usia Dexamethason 18 59 42.467 34.897 ─ 50.036 0.867
(Tahun) Ketorolac 18 60 43.333 35.304 ─ 51.363
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui usia responden pada kelompok
dexamethason minimal adalah 18 tahun dan maksimal adalah 59 tahun,
dengan rata-rata 42.467 (34.897-50.036) tahun, sedangkan pada
kelompok Ketorolac usia minimal adalah 18 tahun dan maksimal
adalah 60 tahun, dengan rata-rata 43.333 (35.304-51.363) tahun.
variabel usia mendapat nilai p-value = 0,867 (p-value > 0,05) yang
artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara usia responden pada
kelompok dexamethason dan kelompok Ketorolac.
c. Berat Badan
Berdasarkan data yang didapat dari hasil penelitian maka
diketahui deskripsi data berat badan responden sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Tabel 4.5 Gambaran Data Demografi Pasien Berdasarkan Berat Badan (n=30)
Variabel Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value
Berat
Badan (Kg)
Dexamethason 40 70 54.133 49.011 ─ 59.256 0.166
Ketorolac 41 86 60.133 52.683 ─ 67.583
Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa Berat badan responden
pada kelompok dexamethason minimal adalah 40 kg dan maksimal
adalah 70 kg, dengan rata-rata 54.133 (49.011-59.256) kg, sedangkan
pada kelompok ketorolac berat badan minimal adalah 41 kg dan
maksimal adalah 86 kg, dengan rata-rata 60.133 (52.683-67.583) kg.
variabel berat badan mendapat nilai p-value = 0,166 (p-value > 0,05)
yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara berat badan
responden pada kelompok dexamethason dan kelompok Ketorolac.
2. Analisis Perbedaan Jumlah Neutrofil
a. Uji Keseimbangan Awal (sebelum insisi)
Uji ini dilakukan dengan mengambil nilai jumlah neutrofil 2 jam
sebelum insisi (base line) pada kelompok dexamethason dan kelompok
ketorolac. Hal ini digunakan untuk mengetahui bahwa tidak ada
perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antara kelompok
dexamethason dan kelompok ketorolac.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Tabel 4.6 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason dan
kelompok ketorolac sebelum insisi (n=30)
Neutrofil Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value
Sebelum Dexamethason 47.60 70.20 60.293 57.279 ─ 63.308 0.487
(%) Ketorolac 51.20 74.10 61.987 57.801 ─ 66.173
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui jumlah neutrofil pada kelompok
dexamethason minimal adalah 47.60% dan maksimal adalah 70.20%,
dengan rata-rata 60.293 (57.279-63.308)%, sedangkan pada kelompok
ketorolac jumlah neutrofil minimal adalah 51.20% dan maksimal
adalah 74.10%, dengan rata-rata 61.987 (57.801-66.173)%. Perbedaan
jumlah neutrofil sebelum insisi mendapat nilai p-value = 0,487 (p-
value > 0,05) yang artinya tidak ada perbedaan yang nyata antara
jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok
ketorolac sebelum insisi, sehingga sampel pasien pada kelompok
dexamethason dan kelompok ketorolac baik digunakan untuk diuji
pada tahap selanjutnya. Berikut ini gambaran rata-rata jumlah neutrofil
sebelum insisi dalam diagram batang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Gambar 4.1 Diagram Batang Rata-Rata Jumlah Neutrofil Sebelum Insisi
b. Uji Hipotesis (sesudah insisi)
Uji ini digunakan untuk mengetahui perbedaan nilai kadar
neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac.
dimana kelompok dexamethason mendapatkan Dexamethason dosis
0,2 mg/kbBB 2 jam sebelum dilakukan insisi. Sedangkan kelompok
ketorolac mendapatkan Ketorolac dosis 30 mg intravena 2 jam
sebelum dilakukan insisi. Uji ini dilakukan dengan mengambil nilai
jumlah neutrofil 1 – 2 jam setelah insisi pada kelompok dexamethason
dan kelompok ketorolac. Hasil uji beda dengan mengunakan
independent sampel t test sebagai berikut.
40.000
45.000
50.000
55.000
60.000
65.000
70.000
Dexamethason Ketorolac
60.293 61.987
Jum
lah
Ne
utr
ofi
l ( %
)
Dexamethason
Ketorolac
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Tabel 4.7 Perbedaan jumlah neutrofil antara kelompok dexamethason dan
kelompok ketorolac sesudah insisi (n=30)
Neutrofil Kelompok Min Max Mean 95%CI p-value
Sesudah Dexamethason 61.90 84.70 76.973 73.770 ─ 80.177 0.000
(%) Ketorolac 82.90 91.90 87.247 85.659 ─ 88.834
Berdasarkan tabel 4.7 diketahui jumlah neutrofil pada kelompok
dexamethason minimal adalah 61.90% dan maksimal adalah 84.70%,
dengan rata-rata 76.973 (73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok
ketorolac jumlah neutrofil minimal adalah 82.90% dan maksimal adalah
91.90%, dengan rata-rata 87.247 (85.659-88.834)%. Perbedaan jumlah
neutrofil sesudah insisi mendapat nilai p-value = 0,000 (p-value <0,05)
yang artinya ada perbedaan yang nyata antara jumlah neutrofil pada
kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi. Berikut
ini gambaran rata-rata jumlah neutrofil sesudah insisi dalam diagram
batang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Gambar 4.2 Diagram Batang Rata-Rata Jumlah Neutrofil Sesudah Insisi
C. Pembahasan
Neutrofil (leukosit polimorfonuklear / PMN) merupakan granulosit
dalam sirkulasi yang berperan dalam inflamasi akut, bermigrasi ke jaringan
sebagai respon terhadap invasi mikroba. Dalam kerjanya neutrofil juga
berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran
kuman terjadi dalam beberapa tingkat, yaitu kemotaksis, menangkap,
memakan (fagositosis), membunuh, dan mencerna (Stites et.al, 1997)
Terjadinya inflamasi setelah insisi pembedahan diawali dengan adanya
produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu
datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil, basofil dan sel mast yang
melepaskan mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast,
sehingga proses inflamasi yang terjadi bertambah hebat. Beberapa mediator
70.000
72.000
74.000
76.000
78.000
80.000
82.000
84.000
86.000
88.000
Dexamethason Ketorolac
76.973
87.247
Jum
lah
Ne
utr
ofi
l ( %
)
Dexamethason
Ketorolac
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui menghasilkan
nosisepsi selama periode pasca operasi.
Menurut Smyth & Fitzgerald, (2012) Dexamethason sebagai anti
inflamasi dari golongan kortikosteroid bekerja dengan cara hambatan pada
enzim fosfolifase A2 sehingga metabolisme fosfolipid yang menghasilkan
senyawa asam arakhidonat yang bersumber dari jaringan atau sel yang rusak
tidak terjadi dan pada akhirnya prostaglandin dan leukotrien serta mediator
inflamasi lain tidak terbentuk, sehingga proses inflamasi akibat luka operasi
dapat berkurang atau dapat diminimalisasi. Dikarenakan leukotrien tidak
terbentuk maka datangnya sel-sel lekosit seperti neutrofil juga tidak terbentuk.
Pemberian ketorolac atau OAINS secara tunggal tanpa pemberian obat
yang mempengaruhi metabolisme asam arakhidonat pada jalur lipoksigenase
akan memicu lebih banyak lagi metabolisme asam arakhidonat pada jalur ini,
sehinga akan lebih banyak leukotrien dihasilkan (Smyth & Fitgerald, 2012,
Mansjoer, 2003, Ganiswara, 2000).
Penelitian ini merupakan penelitian Randomized Controlled Trial
Double Blind yang membandingkan efek antiinflamasi antara dexamethason
dengan ketorolac terhadap kadar neutrofil pasien yang akan dilakukan insisi,
dimana subjek yang memenuhi kriteria diambil secara acak dan dibagi
menjadi 2 kelompok, yakni kelompok dexamethason dan ketorolac kemudian
diukur kadar netrofil serum sebelum dan sesudah operasi. Data kemudian
diolah menggunakan program SPSS Statistic 17.0. Untuk mengetahui sebaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
data dilakukan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah subjek kurang
dari 50.
Dalam uji normalitas data didapatkan sebaran data demografi
responden dan jumlah neutrofil memiliki sebaran data normal. Sehingga untuk
analisa perbedaan pada kedua kelompok dapat menggunakan uji independen
sample t-test. Dipilih uji ini karena uji ini digunakan untuk mengetahui
signifikansi perbedaan antar kelompok yang tidak saling berpasangan.
Analisa demografi responden pada jenis kelamin, usia, dan berat badan
tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok dexamethason dan ketorolac,
sehingga data ini layak untuk digunakan. Analisa perbedaan jumlah neutrofil
antar kedua kelompok pada saat sebelum insisi didapatkan hasil bahwa tidak
ada perbedaan jumlah neutrofil yang signifikan antara kelompok
dexamethason dan ketorolac sehingga sampel pasien pada kelompok
dexamethason dan kelompok ketorolac baik digunakan untuk diuji pada tahap
selanjutnya. Sedangkan untuk uji hipotesisnya membandingkan kadar
neutrofil kedua kelompok perlakuan setelah incisi didapatkan nilai p-value =
0,000 (p-value <0,05) yang artinya ada perbedaan yang signifikan antara
jumlah neutrofil pada kelompok dexamethason dan kelompok ketorolac
sesudah insisi. Dengan hasil neutrofil pada kelompok dexamethason minimal
adalah 61.90% dan maksimal adalah 84.70%, dengan rata-rata 76.973
(73.770-80.177)%, sedangkan pada kelompok ketorolac jumlah neutrofil
minimal adalah 82.90% dan maksimal adalah 91.90%, dengan rata-rata 87.247
(85.659-88.834)%.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Dari analisis data yang telah dilakukan, hipotesis penelitian ini dapat
diterima dengan didapatkan perbedaan jumlah neutrofil dalam darah pasca
operasi pada pasien yang diberikan dexamethasone dibandingkan dengan
pasien yang diberikan ketorolac. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian
Smyth & Fitzgerald, (2012) yang mengatakan bahwa dexamethason
menghambat inflamasi pada enzim fosfolipase, sehingga inflamasi baik
melalui jalur lipoksigenase dan siklooksigenase terhambat. Migrasi neutrofil
pada jalur lipoksigenase pun terhambat. Hal ini dapat dilihat pada angka
neutrofil kelompok dexamethason pada penelitian ini. Sebaliknya, ketorolac
sebagai OAINS yang hanya menghambat pada jalur siklooksigenase saja tidak
mempengaruhi atau sedikit mempengaruhi migrasi neutrofil. Sehingga angka
neutrofil pada kelompok ketorolac cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok dexamethason. . Hasil serupa didapatkan dari penelitian Liu
et.al (2014) yang menyatakan bahwa dexamethason mensupresi pengeluaran
neutrofil melalui mekanisme ROCK1-independent.
Sedangkan pada pemberian ketorolac terdapat peningkatan jumlah
neutrofil pre operasi dibandingkan dengan post operasi. Peningkatan neutrofil
ini terjadi akibat stres pembedahan dan proses inflamasi. Ketorolac tidak dapat
menekan jumlah neutrofil akibat pembedahan tersebut, seperti pada penelitian
Yeon Hong (2005) yang melakukan penelitian mengenai efek pemberian
ketorolac preoperatif terhadap respon sel darah putih dan nyeri pada 25 pasien
dengan operasi laparoskopi endometriosis yang diberi ketorolac 0.5 mg/kg
sebelum induksi anestesi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
ketorolac intravena pre-operasi mempengaruhi leukosit dengan peningkatan
neutrofil, serta penurunan monosit dan eosinofil post operasi. Pada penelitian
Forget et.al (2013) menerangkan bahwa pemberian ketorolac intraoperatif juga
memberikan hasil yang baik pada kanker payudara, paru, dan ginjal dengan
memperbaiki survival rate dan memperbaiki rasio neutrofil:limfosit (Forget et.
al, 2013), tapi tidak spesifik menekan jumlah neutrofil. Sehingga penelitian ini
memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai efek pemberian
ketorolac pre operasi.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan dexamethason dan ketorolac
sebagai agen antiinflamasi terdapat pada mekanisme kerja kedua obat tersebut.
Dexamethason memblok aktivasi fosfolipase A2 yang mengganggu pelepasan
fosfolipid sebagai prekursor asam arakhidonat sehingga sekresi mediator-
mediator inflamasi baik dari jalur sikloosigenase maupun jalur lipooksigenase
dapat dihambat. Sedangkan ketorolac bekerja menghambat enzim
siklooksigenase saja, mediator inflamasi pada jalur siklooksigenase dapat
dihambat, akan tetapi ketorolac tidak menghambat pada jalur lipoksigenase
sehingga kadar neutrofil akan tetap tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara jumlah neutrofil pada kelompok
dexamethason dan kelompok ketorolac sesudah insisi dengan nilai p-value
=0,000.
B. Saran
Penelitian ini dapat di jadikan untuk mendukung teori dalam upaya
menerangkan bahwa hambatan produksi neutrofil dengan menggunakan
dexamethason atau ketorolac yang dapat dilihat dari penurunan jumlah
neutrofil bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi pasca operasi.
Dexamethasone tampak lebih efektif dalam mencegah inflamasi pasca operasi
dan dapat digunakan sebagai premedikasi pasien yang akan dilakukan insisi
operasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
David LN dan Michael MC. 2008. Lehninger's Principles of Biochemistry, Fifth
Edition. W.H. Freeman and Co. P: 359
Forget P, Machiels JP, Coulie PG, Berliere M, Poncelet AJ, Tombal B, Stainer A,
Legrand C, Canon JL, Kremer Y, De Kock M. 2013. Neutrophile:
lymphocyte ratio and intraoperative use of ketorolac or diclofenac are
prognostic factors in different cohorts of patiens undergoing breast,
lung, and kidney cancer surgery.Ann surg oncol.2013 Dec;20 Suppl
3:S650-60
Kumaraswamy MV dan Satish S. 2008. Antioxidant and Anti-Lipoxygenase
Activity of Thespesia lampasDalz & Gibs. Department of Studies in
Microbiology, Herbal Drug Technology Laboratory University of
Mysore, Mysore. Advances in Biological Research 2 (3-4): 56-59..
Lalenoh HJ dan Lalenoh DC. 2009. Pregabalin dan Gabapentin sebagai Analgesia
Preemptif. Majalah Anesthesia & Critical Care. Vol. 27:3.
Liu D, Xiong R, Chen X, Li P, Ning Y, Peng Y, Zhao Y, Yang N, Zhou Y. The
glucocorticoid dexamethasone inhibits U937 cell adhesion and neutrophil
release via RhoA/ROCK1-dependent and independent pathways. Cellular
Physiology and Biochemistry : International Journal of Experimental
Cellular Physiology, Biochemistry, and Pharmacology [2014,
33(6):1654-1662]
Loef BG, Henning RH, Epema AH, Rietman GW, van Ooeveren W, Navis GJ,
Ebels T. 2004. Effect of Dexamethasone on Perioperative Renal Function
Impairment during Cardiac Surgery with Cardiopulmonary Bypass.
British Journal of Anaesthesia 93 (6): 793–8
Marsaban AHM, Bagianto H, Ma’as EM, 2009. Mekanisme dan Fisiologi Nyeri.
In: Panduan Tatalaksana Nyeri Perioperatif. Jakarta: Departemen
Anestesiologi FKUI. pp: 1-24.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Paint Management. In: Clinical
Anesthesiology. McGraw-Hill Companies, Inc. pp: 359-412.
Murti B. 2010. Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kualitatif dan
kuantitatif di bidang kesehatan. Edisi ke-2 Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Murphy Glenn S., Szokol Joseph W, Greenberg Steven B, Avram Michael J,
Vender Jeffery S, Nisman Margarita and Vaughn Jessica, 2011.
Preoperative Dexamethasone Enhances Quality of Recovery after
Laparoscopic Cholecystectomy: Effect on In-hospital and Postdischarge
Recovery Outcomes. Anesthesiology Perioperative MedicineVolume 114 -
Issue 4 - pp 882-890
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2006. Biokimia Kedokteran
Harper edisi 27. Jakarta: EGC
Pubchem. 2013. Methylprednisolone – Compound Summary.
http://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/summary/summary.cgi?cid=6741
Setiabudi A. 2005. Perbandingan Ekspresi Sel T CD4+ di Jaringan Sekitar Luka
dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Incisi.
Tesis S2, Universitas Diponegoro, Semarang.
Setyono Kristika Catur. 2009. Pengaruh ketorolac intravena dan deksketoprofen
intravena sebagai analgesia pascabedah terhadap waktu perdarahan.
Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Pp: 1-5.
Smyth EM dan Fitzgerald GA. 2012. Golongan Eikosanoid: Prostaglandin,
Tromboksan, Leukotrien dan Senyawa Sejenis In:Katzung Farmakologi
dasar dan klinik. Jakarta: EGC. Hal. 298-313
Thacker, MA, Clark AK, Marchand F, McMahon SB. 2007. Pathophysiology of
Peripheral Neuropathic Pain: Immune Cells And Molecules. Anesth
Analg. 105:838–847
Tshori S dan Razin E. 2010. Mast Cell Degranulation and Calcium Entry-the Fyn-
Calcium Store Connection. Journal of Leukocyte Biology. 88: 837-838
Waldron NH, Jones C A, Gan T J, Allen TK, Hab AS. 2012. Impact of
perioperative dexamethasone on postoperative analgesia and side-effects:
systematic review and meta-analysis. British Journal of Anaesthesia,
10.1093 Pp: 1-10
Yasuda M, Kido K, Ohtani N, Masaki E. 2013. Mast Cell Stabilization Promotes
Antinociceptive Effect, in A Mouse Model of Postoperative Pain.
Journal of Pain Research. 3: 6, 161-6.
Yeon Hong, Jeong. 2005. The Effect of Preoperative Ketorolac on WBC
Response and Pain in Laparoscopic Surgery for Endometriosis. Yonsei
Medical Jouenal vol. 46: 6, pp. 812-817
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Lampiran 1
SURAT PERSETUJUAN UJI KLINIK
(Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : …………………………………………………………
Umur : ……………………………………………………………
Alamat : ……………………………………………………………
Pekerjaan : ……………………………………………………………
No. Rekam Medik : ……………………………………………………………
Setelah mendapat keterangan secukupnya dan menyadari manfaat serta
resiko penelitian yang berjudul “Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan
Ketorolac Terhadap Kadar Neutrofil Pada Pasien Pascaoperasi”.
Saya dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam uji klinik diatas
dan akan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam penelitian. Persetujuan ini saya
buat dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan dari pihak manapun.
Surakarta,……………………2014
Peneliti
Haris Riyadi
Peserta
......................................
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Lampiran 2
Formulir dan Check List Penelitian
Perbedaan Pengaruh Dexamethason Dan Ketorolac Terhadap Kadar
Neutrofil Pada Pasien Pascaoperasi
No sampel :…………………..
Tanggal :…………………..
No RM :…………………..
Nama :…………………..L/P
Umur :…………………...
Berat badan :…………………...
Status Fisik : ASA I/II
Pemeriksaan T1
Sebelum induksi
T2
Sesudah induksi
Sampel darah
(beri tanda √)
Pelaksana
(………………………)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Lampiran 3
Lembar Ethical Clearance
LEUKOTRIEN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user