Download - Digital_20334294 T32592 Seno Setyo Pujonggo
iv
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
ii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
iii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan telah selesainya tesis ini, perkenankanlah Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Alloh SWT yang telah memberikan kehidupan yang luar biasa ini dan
Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan bagaimana caranya untuk
hidup dan menjalaninya dengan selamat, dunia dan akhirat.
2. Orangtua Penulis; Bapak Setiyono, Ibu Rossy Ardhiani M. dan Mamah
Titien atas cinta, doa, semangat dan kesabarannya yang tiada terbalas
sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi ini.
3. Atasan Penulis, Bapak Drs. Rindang Napitupulu, selaku Sesditjenim yang
selalu memberikan semangat dan dukungan sehingga Penulis dapat
menuntaskan studi.
4. Hariyadi Wirawan, Ph.D. selaku Pembimbing Tesis dan Ketua Program
Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI yang
dengan penuh kesabaran dan kebaikan hati telah memberikan bimbingan,
masukan, semangat serta yang utama adalah pendidikan yang berharga
kepada Penulis dalam menjalani keseluruhan rangkaian proses pengerjaan
tesis ini. Terimakasih banyak Pak. Akan selalu teringat “kerendahan hati”
Bapak.
5. Utaryo Santiko, S.Sos., M.Si. selaku Penguji Ahli Tesis yang telah
memberikan masukan-masukan berharga untuk menjadikan tesis ini
menjadi lebih baik.
6. Makmur Keliat, Ph.D selaku Ketua Sidang yang telah banyak memberikan
bimbingan dan bantuan kepada Penulis selama Penulis menjalani studi.
7. Asra Virgianita, S.Sos, MA. selaku Sekretaris Sidang dan Sekretaris
Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Hubungan International FISIP
UI yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan kepada Penulis
selama Penulis menjalani studi.
8. Seluruh jajaran Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Hubungan
Internasional FISIP UI.
9. Rekan-rekan kuliah se-angkatan Penulis: Rangga, Devi, Ari, Jessie, Adit,
Ula, Ita, Ipin, Reza, Kristina, serta rekan-rekan lain yang tidak mungkin
penulis sebutkan satu persatu di dalam kesempatan ini.
10. Sahabat Penulis: Aziz, Aang, Adi, Bobby, Uzan, Pman, Angga, Aam,
Nurdin, Dewi dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Terimakasih sahabat.
11. Rekan-rekan kerja di Direktorat Jenderal Imigrasi: Rekan-rekan KLN &
Sesditjenim atas segala bentuk dukungan dan doa.
12. Keluarga, teman-teman, serta rekan-rekan lain yang tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu di dalam kesempatan ini.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
PROGRAM PASCASARJANA
Seno Setyo Pujonggo. 0806482264
SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO) SEBAGAI BENTUK
BALANCING RUSIA-CHINA TERHADAP ANCAMAN AMERIKA SERIKAT
DI ASIA TENGAH (1991-2008)
(xiv + 99 halaman + 9 tabel + 3 diagram + 2 gambar + 1 grafik + daftar pustaka (4
dokumen + 9 buku + 25 jurnal ilmiah + 3 tesis + 13 sumber internet)
ABSTRAK
Penelitian dalam tesis ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan Rusia dan China memilih strategi Balancing dengan
membentuk SCO terhadap ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia
Tengah.
Metode penelitian dalam penelitian ini mengambil bentuk penelitian
eksplanatif karena bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan faktor-
faktor ancaman yang menyebabkan Rusia dan China membentuk SCO di Asia
Tengah.Berdasarkan teknik pengumpulan data, penelitian ini merupakan studi
dokumen atau literatur. Kerangka pemikiran yang digunakan dalam tesis ini
adalah teori milik Stephen M. Walt, yaitu Balance of Threat guna menganalisis
level ancaman yang diberikan Amerika Serikat di Asia Tengah. Level ancaman
tersebut terdiri dari Aggregate power, Proximate Power, Offensife Power dan
Offensive Intention.
Temuan di dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan Rusia dan China melakukan strategi Balancing terhadap ancaman
Amerika Serikat di Asia Tengah adalah makin dekatnya kemampuan menyerang
dari NATO karena perluasan keanggotaan NATO yang mengarah ke Eropa Timur
dan berbatasan langsung dengan Rusia (Proximate Power). Dengan bertambahnya
keanggotaan NATO dan makin dekatnya jarak menyerang NATO ke Rusia
menyebabkan Rusia terancam akan pengaruhnya di Asia Tengah secara politik
dan militer. Dalam sektor ekonomi, keinginan AS untuk membangun jalur pipa
energy yang langsung menuju ke Eropa tanpa melewati Rusia sangat merugikan
Rusia. Yang terakhir, dukungan AS yang diberikan kepada Georgia pada perang
tahun 2008 menandakan bahwa AS memberikan sinyal mempunyai kemampuan
menyerang yang baik jika perang tersebut harus mengarah pada Rusia.
vii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
UNIVERSITY OF INDONESIA
FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE
DEPARTMENT OF INTERNATIONAL RELATION
GRADUATE PROGRAM
Seno Setyo Pujonggo. 0806482264
SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO) AS RUSIA-CHINA’S
STRATEGY TO BALANCE UNITED STATES’ THREAT AT CENTRAL
ASIA (1991-2008)
(xiv + 99 pages + 9 tables + 3 diagrams + 2 images + 1 grafic + bibliography (4
documens + 9 books + 25 scienific journals + 3 theses + 13 internet sources)
ABSTRACT
This reserach is an attempt to identify factors that drove Rusia and China
made Balance Strategy by made SCO to US’s threat at Central Asia.
To answer that question, I will use Balance of Threat Teory by Stephen M.
Walt that mention four Level of Threat that a nation can pose to others, which is
Agrregate Power, Proximate Power, Offensive Power and Offensive Attention.
In conclusion, I find out that there are threat to Rusia and China’s security
and politics in Central Asia that come from NATO-enlargement to the East of
Europe, which is closest to the Russia’ borderline (Proximate Power), and in
economic sector, US need to build a new pipeline without crossing Russia’s
territory is a threat to Russia. The last is offesive capabilities that US shows at
Georgia’s war in 2008.
viii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii
Kata Pengantar .............................................................................................. v
Ucapan Terimakasih ..................................................................................... vi
Lembar Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah ............................................ vii
Lembar Pengesahan Tesis ............................................................................ viii
Abstrak ........................................................................................................... ix
Abstract .......................................................................................................... xi
Daftar Isi ........................................................................................................ xii
Daftar Tabel ................................................................................................... xiii
Daftar Diagram ............................................................................................. xiv
Daftar Gambar .............................................................................................. xiii
Daftar Grafik ................................................................................................. xiv
Bab I Pendahuluan ........................................................................................ 1
I.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
I.2 Rumusan Permasalahn ............................................................................ 8
I.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
I.4 Signifikansi Penelitian ............................................................................ 9
I.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 10
I.6 Kerangka Konsep .................................................................................... 13
I.6.1 Power ............................................................................................... 13
I.6.2 Balance of Threat Theory ............................................................... 14
I.7 Model Analisa ......................................................................................... 24
I.8 Hipotesis ................................................................................................. 24
I.9 Metode Penelitian ................................................................................... 25
I.10 Sistematika Penulisan ............................................................................. 26
Bab II Kepentingan Rusia dan China di Asia Tengah dan Pembentukan
Shanghai Cooperation Organization (SCO) sebagai pilihan
Balancing Terhadap Ancaman dari AS di Asia Tengah
II.1 Asia Tengah .............................................................................................. 27
II.1.1 Stabilitas Internal Asia Tengah ...................................................... 27
II.1.1.1 Kazakhztan ........................................................................ 28
II.1.1.2 Tajikistan ........................................................................... 29
II.1.1.3 Turkmenistan ..................................................................... 30
II.1.1.4 Uzbekistan ......................................................................... 31
II.1.1.5 Kyrgistan ........................................................................... 31
II.1.2 Militan dan Ekstrimis Asia Tengah ................................................ 32
II.1.3 Potensi Energi Asia Tengah ........................................................... 35
II.2 Kepentingan Rusia dan Dinamika Rusia di Asia Tengah ........................ 37
II.2.1 Pilihan Rusia Terhadap Perluasan NATO ...................................... 50
II.3 Kepentingan China dan Dinamika China di Asia Tengah ....................... 55
II.3.1 Faktor Militan Di Xinjiang ............................................................. 56
II.3.2 Politik Global China ....................................................................... 59
ix
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
II.3.3 Pilihan China Terhadap Perluasan NATO ..................................... 61
II.4 SCO, Rusia dan China ............................................................................. 63
Bab III Ancaman AS Di Asia Tengah
III.1 Kebijakan AS Dan Dinamika AS di Asia Tengah .................................. 67
III.1.1 Kepentingan Ekonomi AS ........................................................... 88
Bab IV Kesimpulan ....................................................................................... 92
Daftar Pustaka
Lampiran
x
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perkiraanrecovereable Oil Dan Gas Resources In The Caspian
Region ........................................................................................ 37
Tabel II.2 Persebaran Basis Militer Rusia .................................................... 45
Tabel II.3 Perbandingan Perlengkapan Militer Negara-Negara Baltik Dan
Negara-Negara Yang Berbatasan Dengan Rusia ....................... 45
Tabel II.4 Perbandingan Cadangan Persenjataan Rusia-NATO ................... 46
Tabel II.5 Perbandingan Pembiayaan Militer Rusia-NATO Dalam Milyar
Dolar AS .................................................................................... 46
Tabel II.6 Organisasi Kerjasama Regional Di Kawasan Post-Soviet States .. 54
Tabel III.1 Persebaran Basis Militer NATO Dan AS Di Eropa ..................... 75
Tabel III.2 Kekuatan Militer NATO Tahun 1999-2009 ................................. 76
Tabel III.3 Organisasi Regional Di Wilayah Post-Soviet States ..................... 89
xi
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
DAFTAR DIAGRAM
Diagram II.1 Persediaan Gas Alam Negara-Negara Tahun 2007 .................. 42
Diagram II.2 Perbandingan Persediaan Gas Alam 10 Negara ....................... 43
Diagram III.1 Anggaran Dan Belanja Pertahanan Militer Negara-Negara ...... 68
xii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Peta Asia Tengah ....................................................................... 37
Gambat II.2 Jalur Pipa Minyak Rusia di Asia Tengah ................................... 43
xiii
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
iv
DAFTAR GRAFIK
Grafik II.1 Pertumbuhan Ekonomi Rusia dan Harga Minyak Dunia Tahun
1997-2003 ..................................................................................... 41
xiv
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Berakhirnya Perang Dingin antara Blok Uni Soviet dan Blok Amerika
Serikat (AS) memunculkan isu-isu baru dalam hubungan internasional seperti
masalah hak asasi manusia, degradasi lingkungan hidup, masalah kemiskinan dan
terorisme internasional yang kemudian mendapatkan perhatian luas masyarakat
dunia serta sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam situasi keamanan
internasional pasca terjadinya 11 September 2001 (9/11). Seluruhnya merupakan
isu-isu kontemporer yang semasa Perang Dingin cenderung tidak menjadi fokus
utama dikarenakan perhatian dunia pada saat itu terfokus pada isu-isu seputar
politik, militer dan persaingan ideologi (isu-isu high politics).1
Pecahnya Uni Soviet memunculkan delapan negara baru di simpang
strategis penting yaitu terletak di utara Timur Tengah dan wilayah Teluk Parsi,
sebelah barat China, dan selatan Rusia. Tiga negara–Georgia, Armenia dan
Azerbaijan–terletak di pinggiran Eropa. Wilayah ini disebut sebagai Trans-
Kaukakus. Lima negara lain yaitu Kazakstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turkmenistan
dan Uzbekhistan, terletak di stepa dan padang yang amat luas dari Laut Kaspia
sampai pegunungan Altai dan Pamir. Sub-kawasan inilah yang disebut sebagai
“Asia Tengah”
4 (empat) negara Asia Tengah yaitu Uzbekistan, Turkmenistan, Tajikistan
dan Kyrgyzstan seluas 1,3 juta persegi. Sedangkan Kazakhstan sendiri seluas 2.7
juta kilometer persegi, hampir seluas India namun dengan populasi 17 juta orang.
Dalam perspektif Rusia, wilayah Asia Tengah adalah keempat negara tersebut
diatas tanpa menghadirkan Kazakhstan karena masyarakatnya secara fisik lebih
dekat dengan masyarakat Turki. Namun dalam banyak penelitian, Kazakhstan
1 Utaryo Santiko, “Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-2007): Studi Kasus
mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam mendorong Pembentukan Shanghai Cooperation
Organization”, Tesis, FISIP UI, 2008, hlm. 1.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
2
Universitas Indonesia
dimasukkan kedalam wilayah Asia Tengah karena selalu terhubung dengan apa
yang terjadi pada keempat negara Asia Tengah lainnya.2
Banyak skenario buruk muncul sesaat setelah Uni Soviet terpecah. Salah
satu kepala penasehat Presiden Boris Yeltsin mengingatkan pada masa kelam Uni
Soviet tahun 1991 bahwa Kazakhstan akan terpecah menjadi ribuan Yugoslavia.
Diakibatkan oleh mulai dari kerusuhan terus menerus dan perang sipil hingga
kekerasan dari revolusi Islam dan pembunuhan massal.3
Setelah merdeka dan lepas dari Uni Soviet, negara-negara Asia Tengah ini
berada dalam ketidakjelasan. Kemerdekaannya sangat rapuh dan menghadapi
masalah sosio-ekonomi yang membutuhkan bantuan luar. Tantangan politik bagi
pemerintah pun harus mendapat banyak perhatian. Mereka butuh kerjasama untuk
keuntungan bersama, namun permusuhan dan sengketa antara negara-negara
tersebut belum juga dapat dituntaskan dan dalam beberapa kasus menjadi sangat
buruk. Rasa frustasi dan tekanan muncul ditengah negara-negara tersebut.
Kepastian politik semakin samar bagi peralihan para elit penguasa dari
partai komunis yang sebelumnya, yang telah menjadi sistem yang melekat dalam
negara. Lawan politik dari kaum militan atau yang banyak disebut sebagai
“fundamentalis” Islam di Asia Tengah makin marak sehingga menimbulkan
kebutuhan bagi negara-negara di kawasan untuk saling mengikat diri dalam
sebuah kerjasama dengan negara lain.
Tak lama setelah negara Post-Soviet States ini menyatakan
kemerdekaannya pada kisaran tahun 1992-1993 banyak negara lain yang berusaha
untuk menjalin kerjasama, termasuk Rusia dan Inggris yang telah lama berkuasa
atas daerah ini, pun tak mau kalah. Awalnya, Inggris gagal untuk membuka
perwakilannya di kawasan ini kecuali di Alma Ata. Baru sejak akhir tahun 1993,
Inggris mengumumkan akan membuka kedutaannya di Tashkent dan Baku.
Hampir sama dengan Inggris, Rusia yang mempunyai pengaruh terbatas atau tidak
sebesar dulu di kawasan ini.4
2 Anthony Hyman, “Moving Out Of Moscows’s Orbit: The Outlook For Central Asia”,
International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1994), Vol.69, No.2 (April 1993),
hlm. 289. 3 Ibid.
4 Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Negara Barat lainnya pun mencoba untuk mengambil keuntungan ini
dengan alasan dari faktor ruang lingkup politik, prospek bisnis dan kehormatan.
AS membuka kedutaannya di semua negara-negara Asia Tengah yang diikuti
Jerman, Perancis dan Italia. Tak ketinggalan beberapa perusahaan besar dari Barat
seperti Mercedes Benz dan Newmont Mining Corporation of United States
dengan dana 100 juta dollar US untuk pertambangan emas di Murantau,
Uzbekistan, yang sering dianggap mempunyai simpanan tambang emas terbesar di
dunia. Gas alam dan minyak juga sangat menarik dana dari asing untuk masuk.
Dari wilayah Far East juga tak mau ketinggalan. China, wilayah Xinjiang
khususnya, telah menunjukkan ketertarikannya yang besar untuk membuka
batasannya dalam perdagangan, begitu juga dengan kerjasama bersama.
Perusahaan dari Jepang dan Taiwan sangat tertarik dengan bidang penambangan.
Korea Selatan lebih khusus lagi telah menjalin kerjasama di wilayah Asia Tengah
secara besar. Hal ini disebabkan oleh inisiasi pengusaha dari komunitas etnis
Korea yang mengalami perpindahan manusia pada zaman Stalin dan ditempatkan
di Kazakhstan dan Uzbekistan.
Pada tahun 1997, dalam deklarasi bersama untuk menjadikan dunia yang
multipolar dan formasi baru dalam international order, Presiden Rusia Boris
Yeltsin dan China Jiang Zemin menyatakan komitmen mereka untuk membuat
sebuah kerjasama, dengan tujuan melakukan interaksi strategis di abad 21.
Pernyataan ini tidak saja menjadi tantangan bagi negara lain pada umumnya dan
hegemoni AS pada khususnya namun juga sebagai pernyataan akan dimulainya
sebuah hubungan berkualitas yang pernah dimiliki Moskow dan Beijing setelah
berakhirnya Perang Dingin.5
Sementara itu, kebijakan ekspansi AS ke Post-Soviet States area, dari
wilayah periphery menjadi central kawasan kepentingan strategis AS, pada
perkembangannya juga didukung oleh berbagai perkembangan dalam situasi
internasional, mulai dari Uni Soviet runtuh hingga pasca tragedi 9/11 pada
5 Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, Royal Institute of
International Affairs, London, 2008, hlm. 8.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
4
Universitas Indonesia
khususnya.6 Dimana AS kemudian lebih memiliki “legitimasi” untuk masuk ke
wilayah tersebut dengan mengatasnamakan kampanye global war on terrorism.
Hal tersebut terlihat dari sempat dibangunnya beberapa pangkalan militer AS di
wilayah Asia Tengah seperti Kyrgistan dan Uzbekistan pada saat
dilangsungkannya invasi militer AS ke Afghanistan pada tahun 2001.
Dengan keadaan tersebut, Rusia sebagai negara “pewaris” kejayaan Uni
Soviet tentu saja tidak tinggal diam dengan ancaman keberadaan AS tersebut.
Dalam bidang kebijakan luar negeri, Presiden Rusia, Vladimir Putin, meneruskan
langkah pendahulunya, Boris Yeltsin, untuk terus mendekati RRC sebagai mitra
strategis Rusia. Putin, bersama-sama dengan Jiang Zemin (Presiden RRC saat itu),
memprakarsai pembentukan Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada
Juni 2001.
Selain Rusia dan RRC, SCO juga berangotakan negara-negara dari
kawasan Asia Tengah, yaitu Republik Kyrgiztan, Republik Uzbekistan, Republik
Tajikistan, dan Republik Kazakhsan. Sebagai proyeksi jangka panjang, SCO
tengah menjajaki kemungkinan bagi bergabungnya India, Pakistan, Mongolia, dan
juga Iran ke dalam organisasi ini.7
“Rusia dan China adalah saudara selama-lamanya” begitulah klaim yang
menggambarkan hubungan Sino-Soviet sekitar tahun 1950-an. Walaupun tiga
dekade kemudian berada dalam ketidakpastian dan banyak pertanyaan muncul
terhadap klaim awal tersebut, namun, tahun 1990-an kedua negara tidak hanya
sukses dalam memperbaiki hubungan mereka tetapi juga membentuk kerjasama
strategis di era-21 ini.8
Pembentukan SCO yang diprakarsai oleh Rusia dan RRC kerap disebut
sebagai momentum lahirnya sebuah poros kekuatan regional baru di dalam
konstalasi politik dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Bergabungnya dua
negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, yang juga dikenal sebagai dua
kekuatan nuklir dunia, ini kedalam satu wadah kemitraan strategis tentu adalah
6 Annette Bohr, “Regionalism in Central Asia: New Geopolitics, Old Regional Order”,
International Affairs Vol. 80, No. 3, hal.1 dalam Regionalism and the Changing International
Order in Central Eurasia (May, 2004), hlm. 485-502 7 Utaryo Santiko, op. cit., hlm. 4.
8 Elizabeth Wishnick, “Russia and China: Brother Again?”, Asian Survey, Vol. 41, No. 5 (Sep.-
Oct., 2001), hlm. 798.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
5
Universitas Indonesia
merupakan hal yang menarik. Terlebih mengingat bahwa hubungan diantara
keduanya dalam era Uni Soviet sempat berada dalam kondisi tidak harmonis.
Sengketa berkenaan dengan masalah perbatasan, pertentangan dikarenakan
interpretasi atas ideologi komunisme, serta persaingan perebutan hegemoni
dikawasan Asia Pasifik menjadi isu-isu sentral yang sebelumnya kerap menjadi
hambatan bagi terciptanya kerjasama strategis di antara kedua negara.
Pembentukan SCO dikatakan memiliki arti strategis bagi kedua kedua
negara dikarenakan proses pembentukannya yang memang telah diinisiasikan oleh
keduanya semenjak pertengahan tahun 1990-an. Pada tahun 1996, telah dibentuk
forum kerjasama Shanghai Five yang adalah merupakan cibal bakal pembentukan
SCO. Pada tanggal 26 April 1996, bertempat di Shanghai, RRC, Forum “4+1”
yang beranggotakan Rusia dan tiga negara Asia Tengah (Kazakhstan, Tajikistan,
dan Kyrgizstan) ditambah RRC menandatangani “Perjanjian untuk meningkatkan
saling kepercayaan dalam bidang militer di wilayah perbatasan” (The Agreement
On Deepening Military Trust In Border Regions) yang menjadi titik awal
kerjasama strategis diantara negara-negara tersebut.9
Perjanjian tersebut dikatakan sebagai penanda bagi dimulainya era baru
dalam hubungan antara Rusia, negara-negara bekas Uni Soviet (Post-Soviet
States) dengan RRC yang secara historis kerap mengalami permasalah dan konflik
berkenaan dengan masalah perbatasan yang juga dipengaruhi oleh dampak dari
sejarah dan ingatan masa lalu yang kelam.
Lebih dari dua dekade terakhir, pemimpin Rusia dan China selalu berusaha
untuk membangun sebuah hubungan yang lebih baik dari sebelumnya dengan
berbagai cara dengan berusaha “meninggalkan” masa lalu yang kurang baik yang
telah mengakar dalam kehidupan kedua negara. Diantaranya adalah pada abad ke-
13 Mongol menginvasi Rusia dan berada dalam kekuasaan Mongol selama 300
tahun; Ekspansi Kekaisaran Tsar pada abad ke-19; Perjanjian yang tidak adil pada
masa Dinasti Qing yang harus menyerahkan 1,5 juta kilometer persegi wilayah
China; Kekecewaan yang sangat mendalam dalam “unbreakable friendship” pada
tahun 1950-an; Sengketa perbatasan pada tahun 1969; dan perbedaaan
pengalaman yang sangat mencolok dalam me-modernisasi Post-Soviet Russia dan
9 Utaryo Santiko, op. cit., hlm.8.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Post-Mao China. Pengalaman dimasa lalu tersebutlah yang menimbulkan
permusuhan, iri dan ketidakpercayaan di satu sisi, sedangkan mengakomodasi,
memperhitungkan, dan pragmatisme disisi yang lain yang selalu mewarnai
hubungan diantara kedua negara.10
Pendekatan hubungan dengan China dinilai sebagai catatan keberhasilan
kebijakan luar negeri Rusia paling sukses setelah Uni Soviet runtuh. Selama
kepemimpinan Boris Yeltsin, dimana status dan pengaruh Rusia di dunia
internasional mengalami penurunan di semua sektor, kerjasama strategis atau
strategic partnership dengan China meruntuhkan kondisi tersebut.11
Kondisi ini
disempurnakan lagi pada era Vladimir Putin hingga akhir dekade 90-an dengan
pernyataan bahwa hubungan mereka makin mesra, khususnya setelah
penandatanganan Treaty of Good-Neighbourliness, Friendship and Cooperation
pada bulan Juli 2001.
Hal ini disebabkan oleh bahwa kedua negara mempunyai kesamaan yang
strategis. Pertama, keduanya mempunyai pandangan yang sama persis terkait
keinginan untuk menciptakan struktur international order yang sama pasca
Perang Dingin. Tentunya hal ini sangat mencengangkan mengingat keduanya
mempunyai hak veto dalam pembuat kebijakan global di PBB dan pengutamaan
akan “kedaulatan negara” atau national sovereignty dimana bertolak belakang
dengan konsep Barat yang mengusung “humanitarian intervention” dan “limited
sovereignty”. Mereka menginginkan dunia yang multipolar dimana beberapa
negara besar seperti US, Rusia, Eropa Barat, China, India, Jepang ikut andil dalam
pembuatan keputusan, dimana hal ini melawan keadaaan sekarang yang hanya
didominasi oleh kekuatan AS, sendirian.
Rusia dan China juga berbagi banyak kepentingan keamanan dan persepsi
ancaman yang sama. Mulai dari konsep geopolitik seperti spheres of influence dan
balance of power dalam melihat agenda keamanan internasional pasca peristiwa
9/11. Mereka mengambil posisi yang sama dalam perang melawan teror, sikap
terhadap non-proliferation of weapons of mass destruction (WMD) dan
manajemen konflik internasional yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya dalam
10
Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, loc. cit., hlm. 8. 11
Bobo Lo, Vladimir Putin and the Evolution of Russian Foreign Policy, London and Oxford:
Royal Institute of International affairs/Blackwell, 2003, hlm. 26.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
7
Universitas Indonesia
kasus Irak. Mereka saling men-support dalam masalah keamanan. China telah
mempublikasikan akan berada dibelakang Putin dalam penanganan konflik
Chechnya, sementara Rusia juga mendukung China dalam menekan separatis
Xinjiang dan Tibet; dan mengakui kebijakan Satu China (One China Policy)
terhadap permasalahan Taiwan. Keduanya juga dalam posisi yang sama dalam
melakukan pengamanan dan stabilisasi di Semenanjung Korea.
Hasil yang didapat bahkan lebih mengesankan lagi dalam agenda bilateral.
Tercatat dalam sejarahnya, diantara mereka dianggap tidak terjadi ketidaksetujuan
yang serius, misalnya dalam menyikapi permasalahan sebelumnya tentang batas
bersama sepanjang 4.300 km dan migrasi ilegal China ke Russian Far East
(RFE).12
Kedua negara juga mencapai pengertian bersama terhadap peran masing-
masing di Asia Tengah. Dengan China yang mengajukan Rusia dalam posisi
memimpin dan menyamakan persepsi ancaman dalam hal Renewed Great Game
di kawasan.13
Di Asia Tengah, Rusia menyatu secara aktif dalam pembangunan kembali
sphere of influence-nya setelah Uni Soviet runtuh. Rusia melihat dirinya sebagai
hegemon di kawasan, yang tidak akan bisa digantikan. Walaupun mendukung
koalisi AS melawan teroris internasional dan menyetujui kehadiran militer AS di
Asia Tengah pasca peristiwa 9/11, tetap saja Rusia merasa ketidaknyamanan yang
akut dengan keterlibatan outside powers ini di kawasan dan akan melakukan
segala cara untuk menghadapinya.
Dalam berhubungan dengan AS, Rusia menggunakan istilah “Strategic
Patience” yang berarti menunggu AS kehilangan kepentingannya di kawasan.
Bukan alasan yang tidak-beralasan mengingat pengalaman sejarah AS, dimana
kebijakan juga dibuat berdasarkan pada dukungan public dalam negerinya, dan
mungkin akan berubah jika dukungan publik dalam negerinya terhadap kasus Irak
pasca peristiwa 9/11 berubah.
Dilain pihak, kedekatan jarak geografi China pada Asia Tengah dan juga
pertimbangan keamanan dan kepentingan ekonominya tidak dapat diperlakukan
sama dengan AS yang akan mudah untuk “pergi” dari kawasan. Walaupun China
12
Bobo lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New Geopolitics”, loc. cit., hlm. 12. 13
Robert Legvold, Great Power Stakes In Central Asia, Cambrige, MA and London: American
Academy of Arts and Sciences/MIT Press, 2003, hlm. 34.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
8
Universitas Indonesia
menerima untuk menjadi posisi kedua setelah Rusia di kawasan Asia Tengah dan
juga terhadap hubungan Rusia-China dalam bidang keamanan khususnya dalam
menyikapi radikalisme Islam, belum dapat dipastikan bahwa kesamaan
kepentingan ini akan tetap langgeng dalam tataran praktisnya.
I.2 Rumusan Permasalahan
Bergabungnya Rusia dan RRC di dalam satu wadah kemitraan strategis
tentu akan membawa warna baru dalam tatanan politik dunia. Dengan melupakan
sejarah masa lalu dan persoalan yang hingga kini masih mengganjal, Rusia dan
China terus meningkatkan kerjasama strategisnya khususnya di wilayah dan
dengan negara-negara Asia Tengah. Terutama apabila kita dihadapkan kepada
situasi pasca Perang Dingin yang diwarnai oleh dominasi AS dengan berbagai
aksi unilateralnya dan berbagai isu lain yang terkait dengan kepentingan nasional
negara-negara besar di kawasan. Dengan demikian, menjadi menarik untuk diteliti
terkait mengapa Rusia dan China mengambil pilihan Balancing dengan
membentuk SCO di kawasan Asia Tengah?
Penelitian dilakukan dalam periode 1991 hingga 2008. Hal ini dikarenakan
tahun 1991 adalah masa runtuhnya Uni Soviet, dimana Rusia memulai untuk
merumuskan kebijakan luar negeri dan kebijakan keamanannya yang baru, serta
merdekanya negara-negara baru Post-Soviet States di kawasan Asia Tengah dan
dimulainya interaksi antar Post-Soviet States, dengan juga dengan negara-negara
lain diluar kawasan. Sedangkan tahun 2008 dipilih kerena terjadi perubahan
lingkungan internasional terutama ditandai dengan peristiwa 9/11 dan masa
periode Presiden Rusia, Vladimir Putin, berakhir pada tahun 2008.
I.3 Tujuan Penelitian
1. Menginvestigasi faktor-faktor yang melatarbelakangi mengapa Rusia
dan China melakukan Balancing dengan membentuk SCO dalam menghadapi
ancaman AS di Asia Tengah.
2. Menganalisis dinamika hubungan Rusia dengan China ataupun dengan
aktor Negara lain seperti AS di wilayah Asia Tengah.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
9
Universitas Indonesia
I.4 Signifikansi Penelitian
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk lebih
memahami pilihan Balancing atau Bandwagoning dalam Hubungan Internasional
dengan menggunakan teori Balance of Threat. Melalui usaha tersebut, penelitian
ini diharapkan turut menunjukkan dinamika perkembangan kajian keamanan
dalam tradisi realisme. Penelitian menegaskan kembali pemahaman interaksi
negara berdasarkan pemikiran yang memandang kerjasama, tidak hanya
kompetisi, merupakan bagian dari usaha negara dalam self-help system. Penelitian
ini juga mengoperasionalisasikan bagaimana konsep atau dan teori dalam tradisi
realisme menjawab mengapa negara memilih strategi keamanan tertentu
dibanding varian strategi yang lainnya. Dengan menegaskan hal-hal diatas, tentu
saja penelitian ini diharapkan dapat memperkaya perkembangan serta dinamika
khasanah teoritik dalam kajian keamanan serta tradisi realisme yang terus
berkembang dalam ilmu hubungan internasional.
2. Selain signifikansi secara teoritik, penelitian juga diharapkan
memberikan kontribusi terhadap gambaran dinamika interaksi great power Abad
XXI, ketika Rusia yang masih dianggap sebagai great power pesaing AS menjalin
kerjasama keamanan dengan China yang kini semakin diakui sebagai salah satu
negara the emerging power, dengan perkembangan dan pertumbuhannya yang
fantastis. Dengan memaparkan dan menjelaskan pilihan Rusia dan China,
penelitian diharapkan dapat menegaskan pemahaman mengenai Rusia sebagai
great power sehingga menjadi signifikan bagi penelitian-penelitian lanjutan
mengenai dinamika kebijakan Rusia di masa depan. Juga China sebagai the
emerging power dan bagaimana China mewujudkan persepsinya terhadap dunia
global. Juga tak ketinggalan bagaimana kedua negara ini mempersepsikan sebuah
ancaman dari negara lain dan bagaimana mereka menentukan pilihan strategi
keamanan dalam merespon ancaman tersebut.
I.5 Tinjauan Pustaka
Bagian Tinjauan Pustaka pada penelitian ini, pertama, menggunakan
tulisan Bruce Russett and Allan C. Stam yang berjudul “Courting Disaster: An
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
10
Universitas Indonesia
Expanded NATO vs. Russia and China”14
. Tulisan ini menganalisis tentang
perluasan NATO terhadap negara-negara Post-Soviet States dan dampak yang
ditimbulkan bagi Rusia serta hubungan Rusia dengan negara-negara Post-Soviet
States tersebut dan juga terhadap AS dan China di kawasan.
Russett dan Stam menganalisis pilihan-pilihan yang dimiliki Rusia ketika
NATO memperluas keanggotaannya dan mengancam keamanan negaranya:
pertama, Rusia melakukan kebijakan Bandwagoning seperti yang Presiden
Mikhail Gorbachev lakukan yang membuat berakhirnya Perang Dingin; kedua,
Rusia bersembunyi atau terisolasi didalam lingkaran isolasi persenjataan berat,
sangat bergantung pada senjata nuklirnya dan sangat berpersepsi bahwa terkurung
oleh musuh potensial yang berasal dari Barat, Islamic, dan Asian; ketiga, jika
NATO tidak memasukkan Rusia kedalamnya, maka Rusia akan melihat ke Timur
untuk mencari teman dalam rangka melakukan balancing terhadap ancaman
Barat, yaitu melakukan pendekatan Russo-Sino yang mengarah ke bentuk aliansi
militer.
Selanjutnya, mereka juga menganalisis potensi yang dimiliki NATO bila
Rusia atau China bergabung kedalamnya. Rusia, bagi NATO, bila bergabung
hanya sedikit memberikan pengaruh kepada power NATO. Hal ini dilihat dari
jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemampuan persenjataan dan nuklir
Rusia bila digabungkan dengan jumlah NATO tersebut yang ada. Ia juga
memberikan detil kelemahan Rusia bagi NATO bila masuk kedalamnya.
Lain halnya dengan China, bila bergabung dengan NATO, dengan
besarnya jumlah penduduk, pesatnya pertumbuhan ekonomi per tahunnya dan
kemampuan teknologi persenjataan dan juga nuklir akan memberikan pengaruh
yang berarti bagi eksistensi NATO dalam sistem internasional dan juga terhadap
Rusia.
Di lain hal, berseberangan dengan NATO yang sedang tumbuh
menghadapkan Cina dengan 3 (tiga) pilihan sama dengan yang dihadapi Rusia.
Cina akan mencoba untuk melakukan balancing dengan “menggandeng” Rusia
terhadap NATO sekaligus terhadap India dan Jepang. Hal ini disebabkan oleh
14
Bruce Russett dan Allan C. Stam, “Courting Disaster: An Expanded NATO vs. Russia and
China”, Political Science Quaterly, Vol. 113, No.3 (Autum, 1998), hlm. 361-382.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
11
Universitas Indonesia
karena India sudah lama menjadi lawan Cina dan Jepang tampaknya lebih sulit
lagi bila diajak bergabung dengan China mengingat sudah menyatu secara
ekonomi dan institusi dengan Barat.
Pemerintah AS memperkirakan pengembangan militer Cina akan melewati
Jepang lebih dari satu dekade lagi dan dalam sebuah wawancara dengan Chen
Jian, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, menegaskan naiknya intensitas
ketegangan antara Jepang dengan Cina diantaranya dengan menghentikan bantuan
terhadap Cina sepanjang tahun 1995 karena Jepang menentang program uji coba
nuklir Cina. Sedangkan dilain pihak, Rusia, tanpa Cina pun akan melakukan
balancing terhadap negara lain yang lebih kuat.
Sumber bacaan kedua yang menjadi subjek analisis/tinjauan pustaka di
dalam tesis ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Utaryo Santiko dengan judul
Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-2007) : Studi Kasus
mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam mendorong Pembentukan
Shanghai Cooperation Organization.
Penelitiannya bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasikan
faktor-faktor yang menyebabkan kebijakan Rusia untuk membentuk SCO. Teori
yang digunakan dalam tesis ini terdiri atas beberapa teori, yaitu teori perumusan
kebijakan luar negeri, teori kepentingan nasional dan teori kerjasama
internasional. Teori perumusan kebijakan luar negeri Kalevi J. Holsti digunakan
untuk menterjemahkan faktor-faktor domestik dan eksternal yang menyebabkan
kebijakan luar negeri Rusia untuk membentuk SCO.
Dalam tesisnya, Santiko memaparkan peranan Rusia didalam proses
pembentukan SCO dan menjelaskan bagaimana SCO itu berkembang dari
sebelum dan selama mekanisme kerjasama Shanghai Five yang menjadi awal
terbentuknya SCO hingga SCO itu berkembang mengikuti situasi internasional
pada saat itu.
Temuan dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor domestik yang
terdiri dari ancaman atas kepentingan nasional Rusia dalam sektor politik-
keamanan yang berasal dari gerakan kelompok separatis etno-religius di wilayah
Chechnya dan Dagestan. Gerakan separatis-ekstrimis tersebut merupakan bentuk
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
12
Universitas Indonesia
aktivitas pada level nongovernmental aspects yang mempengaruhi pilihan dan
pelaksanaan Kebijakan Luar Negeri Rusia.
Ditambah lagi, permasalahan ini memliki kesamaan karakter dengan
permasalahan yang dihadapi oleh China berkenaan dengan ancaman dari gerakan
East Turkestan Independence Movement diwilayah Xinjiang. Gearakan-gerakan
serupa juga marak bermunculan di negara-negara Asia Tengah. Dengan
pembentukan SCO, Rusia bertujuan untuk mendapatkan “dukungan eksternal”
didalam upayanya untuk menyelesaikan permasalahan di Chechnya dan Dagestan.
Variabel kedua adalah permasalahan akses terhadap sumber-sumber energi
Rusia dimana geografis dan topografis yang kaya dengan sumber energi, terutama
minyak dan gas alam. Dagestan dan Chechnya adalah merupakan dua wilayah
yang dilewati oleh saluran pipa startegis yang mengalirkan minyak mentah dari
pantai-pantai di laut Kaspia hingga Laut Hitam. Tidak kondusifnya kondisi
keamanan di kedua wilayah tersebut berpotensi mengganggu akses maupun
distribusi sumber-sumber energi yang memiliki arti penting bagi perekonomian
Rusia.
Variabel ketiga yaitu atribut nasional yang termanisfeskan di dalam
kekayaan sejarah dan ambisi global Rusia serta karakter pemimpin nasional. Figur
Presiden Putin yang menggantikan Boris Yeltsin pada 1999 adalah merupakan
variabel individual seorang pengambil kebijakan (decision-maker) didalam proses
perumusan Kebijakan Luar Negeri Rusia dimana ia memiliki ambisi untuk
mengembalikan kejayaan bangsa Rusia di mata dunia internasional.
Faktor eksternal yang menyebabkan Kebijakan Luar Negeri Rusia untuk
membentuk SCO adalah kepentingan Rusia di kawasan Asia Tengah dan peranan
dan kepentingan aktor-aktor eksternal di kawasan post-Soviet States.
Tindakan Rusia untuk membangun kemitraan strategis dengan China
dalam mendorong pembentukan SCO adalah mewujudkan cita-cita pembentukan
dunia yang multipolar dimana kondisi konstalasi politik dunia pasca Perang
Dingin pada saat itu yang hanya menempatkan AS sebagai satu-satunya kekuatan
besar di dunia. Kemudian, ketiadaan struktur keamanan di kawasan post-Soviet
States, dimana memiliki arti penting bagi Rusia, baik secara ekonomi maupun
militer menghadirkan permasalahan tersendiri bagi Rusia. Apalagi kerjasama
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Commonwealth of Independent States (CIS) yang semula diharapkan dapat
mengisi kekosongan tersebut tidak dapat melakukannya.
Selanjutnya, Pasca Perang Dingin terjadi peningkatan eskalasi aktivitas
dari AS, NATO dan Uni Eropa di kawasan Post-Soviet States yang
mengakibatkan Rusia harus merumuskan sebuah solusi untuk mempertahankan
status quo peran dan posisi politik-nya yang telah terbangun sekian dekade.
Bersama China, Rusia membentuk mekanisme kerjasama intra-kawasan guna
menjaga keseimbangan tersebut dikawasan.
I.6 Kerangka Konsep
I.6.1 Power
Dalam hubungan internasional, konsep power merupakan salah satu
konsep fundamental yang dapat menjelaskan perilaku dan interaksi negera-negara
dalam hubungan internasional. Esensi dari power adalah kemampuan untuk
mengubah perilaku atau mendominasi. Pemahaman dari Realis Tradisional yaitu
mengukur power dari kemampuan militer suatu negara, dimana kemampuan
militer negara akan memberi negara tersebut kemampuan untuk menyerang
negara lain. Dengan kata lain, power yang dimiliki dalam militer dipakai untuk
memastikan keamanan negara tersebut.15
Thomas Hobbes menyatakan dalam politik internasional, negara berjuang
demi kekuasaan, struggle for power, a war of all against all.16
Morgenthau
memberikan definisi power sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan
atau mengontrol pikiran dan tindakan orang lain.17
Inti konsep tersebut adalah
pengaruh. Dapat dikatakan pula, semakin besar power maka semakin besar
pengaruh. Dalam konsep power terdapat dua poin yaitu, power sebagai konsep
relasional yaitu, power akan berfungsi bila suatu negara berhubungan dengan
negara lain.
Kedua, power sebagai konsep relatif yaitu mengenai kalkulasi kekuatan
sendiri dan kalkulasi kekuatan negara lain. Jika dua poin tersebut digambarkan
15
Jill Steans & Lloyd Pettiford, International Relations : Perspectives and Themes, (England,
Pearson Education Limited, 2001), hlm 29-30. 16
Charles W Kegley Jr. & Eugene R. Wittkopf, World Politics : Trend and Transformation, (New
York, St. Martin Press, 1997), hlm 23. 17
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
14
Universitas Indonesia
maka bila negara A memiliki kekuatan lebih dibanding negara B maka negara A
memiliki pengaruh dominan terhadap negara B dalam hubungan keduanya.
Sejalan dengan dengan pendapat Morgenthau, Robert Dahl melihat kehadiran
power ketika negara dapat mengontrol atau mempengaruhi negara lain. “A has
power over B to the extent that [A] can get B to do something that B would not
otherwise do”.18
John J. Mearsheimer menyatakan bahwa “power lies at the heart of
international politics”.19
Ia berpendapat bahwa power berdasarkan pada
kapabilitas material tertentu yang negara tunjukkan. Misalnya dalam balance of
power, kekuatan yang ditunjukkan adalah sesuatu yang berbentuk aset yang
dikontrol oleh masing-masing great power, seperti senjata nuklir. Ia membagi
power menjadi dua jenis, yaitu latent power dan military power. Latent power
merujuk kepada kekuatan sosio-ekonomi yang akhirnya membentuk military
power seperti kesejahteraan negara dan jumlah populasi.
Great power membutuhkan uang, teknologi, tenaga, dan para personil
untuk membangun kekuatan militer dan terjun dalam perang. Latent power lebih
kepada material yang dibutuhkan untuk membangun military power, sedangkan
military power dilihat berdasarkan ukuran dan kekuatan personil tentara negara
yang didukung oleh peralatan militernya baik untuk kekuatan darat, laut, maupun
udara. Sehingga latent power dan military power saling berhubungan satu sama
lain. Dalam politik internasional, efektif atau tidaknya kekuatan suatu negara
bergantung pada fungsi militer dan bagaimana kekuatan militer mereka dapat
dibandingkan dengan kekuatan militer musuh-musuhnya.
I.6.2 Balance of Threat Theory
Dalam artikelnya , Stephen M. Walt mencoba untuk memahami
bagaimana Negara memilih dengan siapa dia berteman. Pilihan negara untuk
melakukan aliansi biasanya menimbulkan pertanyaan pada tujuan yang mendasari
dari keputusan tersebut, apakah Balancing atau Bandwagoning, yang biasanya
18
John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politic, (New York : W.W.Norton &
Company Ltd, 2001), hlm. 57. 19
Ibid., hlm. 55.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
15
Universitas Indonesia
hanya bergantung pada pertimbangan power. Balancing adalah bersatu dengan
pihak yang lemah, sedangkan Bandwagoning berarti memilih yang kuat.
Menurutnya, pandangan tersebut terlalu sempit karena menghiraukan
faktor lain seperti mengidentifikasi potensi ancaman (threat) dan sekutu yang
paling menjanjikan, walaupun tidak menampikkan bahwa power merupakan
faktor penting, namun bukanlah satu satunya. Menurutnya, daripada bersekutu
dengan hanya mempertimbangkan power, lebih akurat bila suatu negara bersekutu
dengan atau melawan terhadap power yang mengancam-nya (threatening).20
Ketika memutuskan untuk menjalin sebuah aliansi atau memilih sekutu,
Negara mungkin melakukan Balancing yang artinya beroposisi dengan sumber
ancaman, ataukah melakukan Bandwagoning yang berarti bergabung dengan
sumber ancaman tersebut.
1. Balancing Behavior. Perihal Negara akan melakukan atau bergabung
dalam sebuah aliansi dalam rangka menghindari dominasi Negara yang lebih kuat
telah menjadi bagian utama dari Teori Balance of Power. Berdasarkan hipotesis
ini, Negara bergabung dengan sebuah aliansi untuk melindungi dirinya dari
Negara atau koalisi lain yang berpotensi menjadi ancaman. Negara akan memilih
Balancing dengan dua alasan: Pertama, Negara akan menanggung resiko bila
gagal untuk mengantisipasi hegemoni luar yang berpotensi menjadi ancaman
sebelum mereka menjadi terlalu kuat. Strategi yang paling aman adalah untuk
bergabung dengan mereka yang tidak dapat dengan mudah mendominasi sekutu-
sekutu mereka satu sama lain dalam rangka menghindari didominasi oleh mereka
yang mampu. Kedua, bergabung dengan sisi yang lebih rentan atau lemah dapat
meningkatkan pengaruh anggota baru untuk bergabung, karena Negara yang
lemah memiliki kebutuhan bantuan lebih besar dari yang lebih kuat. Bergabung
dengan pihak yang lebih kuat, sebaliknya, mengurangi pengaruh yang sudah ada
dari sebuah Negara (yang sudah lemah pengaruhnya) sebagai anggota baru dan itu
rentan terhadap keinginan Negara lain untuk bergabung. Sehingga, bergabung
dengan pihak yang lemah dengan demikian menjadi pilihan yang lebih disukai
oleh Negara.
20
Stephen M. Walt, “Alliance Formation and the Balance of World Power”, International
Security, Vol. 9 No. 4 (Spring, 1985), hlm. 4-12.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
16
Universitas Indonesia
2. Bandwagoning Behavior. Terdapat dua motif Negara melakukan
Bandwagoning: Pertama, bandwagoning dapat diadopsi sebagai sebuah bentuk
“peredaan”. Dengan bergabung dengan negara atau koalisi yang mengancam,
Negara yang melakukan Bandwagoning berharap untuk menghindari serangan
pada dirinya sendiri dengan mengalihkan pada tempat atau Negara atau koalisi
lain. Kedua, negara dapat bergabung dengan Negara atau koalisi yang dominan
akan menang dalam sebuah perang, dalam rangka untuk berbagi hasil rampasan
kemenangan. Secara umum, kedua motif ini mempunyai dua perbedaan yang
melatar-belakanginya. Motif yang pertama, Bandwagoning dipilih dengan alasan
bertahan, artinya mempertahankan kemandirian dalam situasi menghadapi potensi
ancaman. Sedangkan motif yang kedua, Bandwagoning dipilih dengan alasan
menyerang, artinya dalam rangka mendapatkan wilayah kekuasaan.
Sumber Ancaman21
Balancing dan Bandwagoning biasanya hanya terukur oleh power dan
mengabaikan kapan untuk mengidentifikasi potensi ancaman dan aliansi yang
potensial. Untuk itu perlu mengetahui level ancaman yang dapat diberikan oleh
Negara:
1. Aggregate Power. Atau total sumber daya terbesar dari sebuah Negara.
Contoh: populasi penduduk, kapabilitas militer dan industri, kemajuan teknologi,
dll. Semakin lebih besar kemampuan sumber daya sebuah Negara maka Negara
tersebut semakin mengancam Negara lain. Jika power dapat mengancam Negara
lain, maka power juga bisa berlaku sebagai hadiah. Negara dengan power yang
besar mempunyai kapasitas, baik untuk menghukum lawan ataupun untuk
memberikan hadiah pada teman. Dengan sendirinya, aggregate power yang
dimiliki negara lain dapat dijadikan motif pilihan, baik pilihan Balancing ataukah
Bandwagoning.
2. Proximate Power. Negara juga mempunyai kecenderungan untuk
melakukan aliansi sebagai respon sebuah ancaman berdasarkan sebuah kedekatan
jarak. Karena kemampuan sebuah Negara untuk menggunakan power-nya
bergantung pada kedekatan jarak. Negara yang berdekatan tentu memiliki
21
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
17
Universitas Indonesia
ancaman satu sama lain yang lebih besar dibandingkan dengan Negara lain yang
berjauhan. Sama dengan aggregate power, proximate power juga dapat
menimbulkan respon pilihan baik balancing ataupun bandwagoning. Jika sebuah
kedekatan menimbulkan respon balancing, maka bentuk jaring aliansi-nya akan
menyerupai sebuah checkerboards. Istilah umumnya adalah “tetangga-nya
tetangga adalah teman” dan kecenderungan untuk mengepung musuh ditengah
sudah umum digunakan. Sebaliknya, jika kedekatan wilayah mengakibatkan
bandwagoning, maka fenomena yang terjadi adalah hal ini dikarenakan telah
terciptanya sebuah lingkup atau lingkungan penyebaran pengaruh atau sphere of
influence. Negara kecil yang berbatasan dengan Negara dengan power yang lebih
besar mungkin lebih rentan sehingga mereka lebih memilih Bandwagoning
daripada Balancing, apalagi jika Negara tetangga mereka yang lebih kuat tersebut
telah menunjukkan kemampuannya untuk memaksa Negara kecil tersebut untuk
patuh terhadapnya (dalam kondisi kalah dalam perang).
3. Offensive Power. Negara dengan kemampuan menyerang yang lebih besar
sepertinya akan lebih memancing sebuah aliansi bagi negara-negara lain daripada
Negara yang mempunyai kapabilitas militer yang lemah atau bahkan dari yang
hanya mempunyai kapabilitas bertahan saja. Sekali lagi, efek dari faktor ini
beragam. Di satu sisi, ancaman tersebut dapat membuat Negara lain melakukan
balancing dengan beraliansi dengan Negara lainnya. Disisi lain, ketika kekuatan
menyerang memungkinkan kemenangan dapat diraih dengan cepat, maka Negara
lemah akan melihat sedikit harapan untuk bertahan dan akhirnya cepat bergabung
dengan negara berpotensi menang tersebut untuk meraih bagian kemenangan.
Balancing menjadi pilihan yang sulit dilakukan mengingat sangat susah
mendapatkan bantuan dengan cepat dari Negara teman aliansi. Ini menjadi alasan
lain dari terbentuknya “sphere of influence”, Negara yang berbatasan dengan
Negara yang mempunyai kapabilitas menyerang lebih besar dan jauh dari teman
aliansi yang potensial mungkin akan terpaksa memilih untuk melakukan
Bandwagoning karena Balancing diangap sebagai sesuatu yang tidak mungkin.
4. Offensive Intentions. Akhirnya, Negara yang terlihat agresif akan lebih
memprofokasi Negara lain untuk melakukan balancing melawannya.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
18
Universitas Indonesia
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor ancaman tersebut diatas,
maka diharapkan mendapatkan gambaran yang utuh ketika sebuah Negara
memilih untuk melakukan sebuah aliansi. Tidak ada yang dapat mengatakan
faktor mana yang lebih dominan, melainkan semua faktor memainkan peranannya
masing-masing.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Gambaran yang menjelaskan teori tersebut adalah sebagai berikut:
BALANCE OF THREAT THEORY
f
a
c
t
o
r
s
AGREGATE POWER
PROXIMATE POWER
OFFENSIVE POWER
OFFENSIVE INTENTION
o
u
t
c
o
m
e
BALANCING
BANDWAGONING
Or
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Selain itu, Walt juga menjelaskan implikasi yang berbeda dari dua pilihan
tersebut di dalam politik internasional.22
1. Jika dunia Balancing mempunyai kecenderungan yang dominan akan
terjadi, maka Negara yang mengancam akan memprovokasi Negara lain
untuk melakukan Balancing terhadapnya. Kredibilitas sebuah Negara
teman aliansi menjadi tidak penting dalam dunia Balancing karena Negara
yang berpengaruh tidak berharap Negara teman aliansinya yang lemah
untuk segera membantunya menghadapi Negara yang mengancam. Dalam
dunia Balancing, kebijakan Negara yang mengekang dan mengayomi
menjadi kebijakan yang terbaik. Hal ini dikarenakan oleh Negara yang
mempunyai power yang kuat dianggap mampu “menawarkan” lebih
banyak kepada teman aliansinya yang lemah namun disisi lain dia juga
harus mampu mengatur teman-teman aliansinya yang lemah agar tidak
menjadi agresif terhadap dirinya.
2. Sebaliknya, dunia Bandwagoning akan mengakibatkan dunia ini penuh
dengan persaingan. Jika Negara lain cenderung untuk beraliansi dengan
dirinya yang power-nya lebih kuat dan yang paling mengancam, maka
tercapailah apa yang diinginkan Negara yang menunjukkan power yang
kuat dan paling mengancam tersebut. Persaingan internasional akan
semakin tinggi karena mengalami kekalahan sekali saja dapat memberikan
sinyal akan menjadi kekalahan bagi aliansinya di satu sisi dan
mengakibatkan kemenangan bagi aliansi lawan disisi lain. Jika para
pengambil kebijakan berkeyakinan bahwa dunia Bandwagoning adalah
yang sedang terjadi diluar sana, maka ia akan menaikkan penggunaan
kekuatan (use of force) guna menyelesaikan sengketa internasional.
Karena mereka takut lawan akan mendapatkan kemenangan dengan
menunjukkan power mereka dan mereka akan berasumsi lawan tidak akan
melakukan Balancing melawannya.
Pada akhirnya, salah mengartikan kondisi internasional yang sedang
terjadi mengakibatkan salah membuat keputusan apakah itu Balancing atau
22
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
21
Universitas Indonesia
Bandwagoning akan menjadi bahaya bagi para pembuat keputusan. Jika
Bandwagoning diterapkan di dunia Balancing, maka respon moderat dan santai
dalam melihat ancaman dari luar akan mendorong sekutu mereka menjadi cacat
dan meninggalkan mereka terisolasi dalam koalisi besar yang lemah. Sebaliknya,
menerapkan Balancing (menunjukkan power yang dimiliki dan sifat mengancam
yang sering) di dunia Bandwagoning, akan mengakibatkan Negara atau koalisi
lain akan melawan lebih besar lagi.
Walaupun banyak pembuat kebijakan mengajukan pilihan Bandwagoning
namun pada faktanya yang terjadi adalah Balancing. Hal ini dikarenakan bahwa
sebuah persekutuan yang memberikan kebebasan Negara yang bersekutu untuk
melakukan tindakan secara bebas menjadi lebih disukai untuk dilakukan dibawah
subordinasi Negara yang berpotensi hegemon atau mendominasi. Dasarnya adalah
bahwa niat atau intensi dapat berubah dan persepsi tidak dapat diandalkan.
Sehingga lebih aman untuk melakukan Balancing melawan ancaman daripada
berharap pada Negara kuat untuk menolong.
Banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa banyak hegemoni yang
berpotensi seharusnya dapat menarik banyak dan makin banyak lagi pendukung,
malah mendapatkan sebaliknya, yaitu semakin banyak pula yang melawan
mereka. Namun bukan berarti Bandwagoning tidak pernah terjadi, setidaknya ada
dua factor. Pertama, Negara dengan power lemah cenderung akan Bandwagoning
karena mereka sangat rentan terhadap tekanan dan mereka tidak akan menambah
kekuatan tambahan apapun terhadap teman aliansinya ketika mereka melakukan
Balancing. Karena mereka hanya bisa melakukan sedikit dari hasil aliansi
tersebut, sehingga mereka lebih baik bergabung dengan pihak yang berpotensi
akan menang (yang mengancam). Kemungkinan lain adalah mungkin Negara
lemah akan melakukan Balancing menghadapi Negara lemah lain, namun akan
lebih mungkin melakukan Bandwagoning bila berhadapan dengan power besar.
Kedua, Negara lemah akan melakukan Bandwagoning ketika teman aliansi tidak
ada. Bahkan Negara lemah akan cenderung melakukan Balancing ketika mereka
percaya akan mendapatkan dukungan dari teman aliansinya. Ketika ini tidak ada,
maka berharap mendapatkan akomodasi dari Negara yang mengancam menjadi
pilihan yang paling mungkin. Secara bersamaan, kedua factor ini membantu
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
22
Universitas Indonesia
menjelaskan mengapa terkadang Negara dengan power besar mampu menciptakan
sphere of influence. Walaupun Negara tetangga akan melakukan Balancing, tetapi
Negara lemah dan kecil yang terdekat akan melakukan Bandwagoning. Karena
mereka akan menjadi korban pertama penyerangan dimana teman aliansi mereka
jauh jaraknya atau mereka kurang cukup kuat untuk berdiri sendiri atau
melakukan Balancing dengan kuat, maka mengakomodasi Negara tetangga yang
kuat akan menjadi pilihan yang paling masuk akal.
Terkait dengan pilihan Balancing atau Bandwagoning, Walt menjelaskan
dua hal yang mendorong terbentuknya aliansi23
, yaitu:
1. Peran Kesamaan Ideologi
Banyak yang mengira bahwa kesamaan ideologi menjadi hal utama dalam
terjalinnya sebuah aliansi. Namun, hal ini tidak sepenuhya benar. Pertama, Negara
akan cenderung untuk bergabung dengan Negara lain yang mempunyai ideology
Negara yang sama ketika keadaan negaranya sudah merasa aman (secure). Ketika
menghadapi ancaman besar, Negara akan berpikir melakukan aliansi dengan siapa
saja yang mungkin untuk didapatkan guna menghadapi ancaman tersebut.
Sederhananya, pertimbangan keamanan akan menjadi prioritas utama daripada
pertimbangan kesamaan ideologi dalam memilih sebuah aliansi dan aliansi yang
berdasarkan basic-ideologi tidak akan bertahan ketika kepentingan pragmatis juga
ikut bermain.
2. Peran Bantuan (Assistance) Ekonomi dan Militer dalam Formasi
Aliansi
Dalam hipotesis yang berlaku umum, ketentuan bantuan ekonomi dan
militer akan menciptakan aliansi yang efektif, baik dengan menunjukkan
kecenderungan arah kebijakan sebagai rasa terimakasih atas bantuan tersebut atau
karena Negara penerima akan menjadi tergantung pada Negara donor.
Sederhananya, semakin banyak bantuan yang diberikan maka semakin erat aliansi
yang tercipta.
Untuk menyimpulkan bahwa bantuan tersebut adalah hal yang utama
dalam menciptakan aliansi atau sebagai alat yang kuat dalam menciptakan sebuah
pengaruh adalah tidak benar. Perlu diperhatikan bahwa petikan “bantuan
23
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
23
Universitas Indonesia
menciptakan aliansi” mengesampingkan bahwa bantuan ekonomi atau militer
adalah ditawarkan dan diterima hanya jika kedua pihak mempunyai keinginan
tersebut yang sama. Sehingga hubungan dari sebuah bantuan yang besar adalah
hasil atau akibat dari sebuah aliansi, bukan sebuah sebab. Ini terjadi karena
dengan beberapa alasan. Pertama, hingga ketika Negara penyuplai menjadi satu-
satunya Negara yang memberikan bantuan ekonomi atau militer, sebuah aliansi
tidak akan terwujud karena Negara penerima dapat dengan mudah mendapat
bantuan tersebut dari mana saja. Kedua, karena Negara penerima posisinya lebih
lemah dari Negara pemberi, maka ia akan menawar untuk mendapatkan bantuan
yang lebih banyak. Disaat yang sama, Negara pemberi akan rentan untuk menolak
memberikan lebih banyak dengan kekhawatiran akan kehilangan kemungkinan
aliansi oleh Negara penerima jika permohonannya tidak dikabulkan. Ketiga,
semakin penting keberadaan Negara penerima bagi Negara pemberi, maka
bantuan yang diterima akan semakin banyak. Permasalahannya adalah jika Negara
penerima sedemikian pentingnya bagi Negara pemberi, maka Negara pemberi
akan semakin sulit untuk menekan terlalu keras jika suatu saat diperlukan.
Keempat, ketentuan dari bantuan tersebut akan menjadi kekalahan bagi Negara
pemberi, karena bantuan tersebut akan memperkuat posisi Negara penerima dan
akan mengurangi keharusan Negara penerima untuk mematuhi kemauan Negara
pemberi.
Sesuai pemaparan teori diatas, seperti yang dilakukan Walt dalam
analisisnya, variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sumber ancaman
yang ada, yaitu aggregate power, proximate power, offensive power dan offensive
intentions. Dan lebih memperhatikan pada proximate power sebagai penentu
pilihan yang diambil Rusia dan China dalam memilih balancing ketika
menghadapi ancaman dari AS di kawasan Asia Tengah.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
24
Universitas Indonesia
I.7 Model Analisa
I.8 Hipotesis
Berdasarkan teori Balance of Threat, maka hipotesis yang dapat diajukan
adalah:
1. Pilihan Balancing Rusia dengan China dengan membentuk SCO di Asia
Tengah dipengaruhi oleh ancaman Aggregate Power, Proximate Power,
Offensive Power dan Offensive Intention dari AS.
2. Ancaman Proximate Power lebih dominan mempengaruhi pilihan
Balancing Rusia dan China di Asia Tengah.
I.9 Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pilihan strategi keamanan
Rusia dan China dengan membentuk SCO dengan menganalisis sumber ancaman
bagi Rusia dan China dengan menggunakan teori Balance of Threat sebagai alat
analisis.
Strategi Balance : membentuk SCO di Asia
Tengah
Balance of Threat Theory:
Amerika Serikat
- Aggregate Power - Proximate Power - Offensive Power - Offensive Intention
Rusia China
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Analisis sumber ancaman yang dialami Rusia dan China dari AS akan
menjadi sebuah bentuk penelitian yang dilakukan untuk melihat pola hubungan
antarvariabel yaitu variabel dependen dan independen atau interaksi sebab-akibat
antar variabel yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian analisis
yang bersifat eksplanatif. Penelitian ini menganalisis dan menjelaskan hubungan
kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis.24
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif
terhadap data-data yang berupa data kualitatif maupun kuantitatif. Informasi yang
diperoleh dituangkan dalam bahasa yang dapat menjelaskan hubungan antara data
satu dengan data lainnya sehingga dapat diperoleh kebenaran atas informasi
tersebut.
Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan pendekatan studi
kepustakaan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari berbagai bahan
seperti buku teks, jurnal, surat kabar, dokumen, internet, dan bahan-bahan lainnya.
Data sekunder merupakan data yang telah diperoleh dan diolah oleh penulis
pertamanya. Penulis menggunakan dokumen tertulis yang dihasilkan dari tindakan
aktor lain yang berkaitan dengan permasalahan, pernyataan-pernyataan, dan
tulisan-tulisan politik publik atau perseorangan yang berkaitan dengan perumusan
kebijakan luar negeri serta publikasi dari lembaga-lembaga yang bertugas
mencatat aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah luar negeri
I. 10 Sistematika Penulisan
Bab I : berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan permasalahan, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka konsep, model analisa, hipotesis, metode penelitian
serta sistematika penulisan.
Bab II : bab ini memberikan gambaran tentang kondisi umum Asia
Tengah setelah Uni Soviet runtuh, kepentingan Rusia dan China di Asia
Tengah dan bagaimana mereka mempersepsikan sebuah ancaman bagi
24
Masri Singarimbun, Metode dalam Proses Penelitian. Dalam Masri Singarimbun dan Sofian
Effendi, ed. Metode Penelitian Survei Edisi Revisi. (Jakarta, LP3ES, 1989), hlm 5.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
26
Universitas Indonesia
keamanannya dan juga terbentuknya SCO sebagai strategi Balancing
Rusia dan China dalam menghadapi ancaman dari AS.
Bab III : bab ini berisi tentang analisis ancaman yang diberikan AS kepada
Rusia dan China, baik dengan kerjasama bilateral militer AS dengan
negara-negara Asia Tengah maupun kerjasama regional yang terjalin
dengan baik pula. Ditambah lagi rencana perluasan NATO ke wilayah
Eropa Timur yang mana berbatasan langsung dengan Rusia.
Bab IV : penutup yang berisi kesimpulan.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
27
Universitas Indonesia
BAB II
KEPENTINGAN RUSIA DAN CHINA DI ASIA TENGAH DAN
PEMBENTUKAN SHANGHAI COOPERATION ORGANIZATION (SCO)
SEBAGAI PILIHAN BALANCING TERHADAP ANCAMAN DARI
AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH
II.1. ASIA TENGAH
II.1.1. Stabilitas Internal Asia Tengah
Pecahnya Uni Soviet memunculkan delapan negara baru di simpang
strategis penting yaitu terletak di utara Timur Tengah dan wilayah Teluk Parsi,
sebelah barat China, dan selatan Rusia. Tiga negara–Georgia, Armenia dan
Azerbaijan–terletak di pinggiran Eropa. Wilayah ini disebut sebagai Trans-
Kaukakus. Lima negara lain yaitu Kazakstan, Kyrgistan, Tajikistan, Turmenistan
dan Uzbekhistan- yang menjadi kajian dalam tulisan ini, terletak di stepa dan
padang yang amat luas dari Laut Kaspia sampai pegunungan Altai dan Pamir.
Sub-kawasan inilah yang disebut sebagai “Asia Tengah”
Gambar II.1
Peta Asia Tengah
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Sebenarnya, 4 (empat) negara Asia Tengah adalah Uzbekistan,
Turkmenistan, Tajikistan dan Kyrgyzstan seluas 1,3 juta persegi. Sedangkan
Kazakhstan sendiri seluas 2.7 juta kilometer persegi, hampir seluas India namun
dengan populasi 17 juta orang. Dalam standar Rusia, wilayah Asia Tengah adalah
keempat negara tersebut diatas tanpa menghadirkan Kazakhstan karena
masyarakatnya secara fisik lebih dekat dengan masyarakat Turki. Namun dalam
tesis ini, Kazakhstan akan dimasukkan kedalam termonilogi Asia Tengah karena
terhubungnya tiap ulasan dengan keempat negara lainnya.1
Negara-negara Asia Tengah berada dalam ketidakjelasan.
Kemerdekaannya sangat rapuh dan menghadapi masalah sosio-ekonomi yang
membutuhkan bantuan luar. Tantangan politik bagi pemerintah pun harus
mendapat banyak perhatian. Mereka butuh kerjasama untuk keuntungan bersama,
namun permusuhan dan sengketa antara negara-negara tersebut belum juga dapat
dituntaskan dan dalam beberapa kasus menjadi sangat buruk. Rasa frustasi dan
tekanan muncul ditengah negara-negara tersebut.
Kepastian politik semakin samar bagi peralihan para elit penguasa dari
partai komunis yang sebelumnya, yang telah menjadi sistem yang melekat dalam
negara. Lawan politik dari kaum militan atau yang banyak disebut sebagai
“fundamentalis” Islam di Asia Tengah makin marak menimbulkan kebutuhan bagi
negara-negara di kawasan untuk saling mengikat diri dalam sebuah kerjasama.
Negara-negara di Asia Tengah merupakan negara dengan sistem autokrasi.
Kazakstan dan Uzbekistan pernah dipimpin oleh presiden - presiden yang berasal
dari partai komunis. Demikian pula dengan Turkmenistan sampai dengan Presiden
Saparmurat Niyazov yang meninggal pada akhir tahun 2006.
II.1.1.1 Kazakhstan
Adalah negara yang disebut sebagai pemimpin dari negara – negara Asia
Tengah. Secara ekonomi, Kazakstan mempunyai pendapatan perkapita (GDP)
terbesar dibanding negara-negara Asia Tengah lainnya. Bahkan Presiden
Nursultan Nazarbayev pernah mengumumkan pada bulan November 2006 bahwa
1 Anthony Hyman, loc. cit., hlm. 1.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
29
Universitas Indonesia
Kazakstan berencana untuk menjadikan negara ini sebagai salah satu dari 50
negara kompetitif secara ekonomi.2
Kondisi ekonomi di Kazakstan tidak diikuti oleh kemajuan di bidang
politiknya. Kekuasaan terbesar masih terkonsentrasi di tangan Presiden
Nazarbayev dimana politisi–politisi yang berseberangan dengan pemerintahannya
masih mendapatkan tekanan–tekanan. Nursultan Nazarbayev terpilih lewat pemilu
presiden yang relative bersih.3 Sayangnya sejumlah kasus menunjukkan pemilu
menjadi awal keresahan sosial di negara – negara sekitar, seperti Georgia,
Ukraina, juga Kyrgistan.
Apalagi peristiwa ini dipandang para elite sebagai proses yang didanai
oleh Barat dan merupakan plot mendukung rejim yang pro-Barat. Sementara itu
pemilu juga dilihat sebagai kegagalan demokrasi yang diatur. Menjelang pemilu,
media yang dikontrol negara mendorong agenda presiden hingga terpilih, selain
itu kandidat dari pihak oposisi dan juga media non-pemerintah mengalami
sejumlah tekanan. Kasus di Georgia, Ukraina, juga Kirgistan menunjukkan bahwa
begitu demokrasi yang diatur mulai gagal, rakyat mendapat energi untuk bergerak.
Dan energi baru itu menjadi bencana bagi elit yang sedang berkuasa.
II.1.1.2 Tajikistan
Memiliki prakondisi dengan kegoncangan politik dalam negerinya.
Ekonominya mengalami penurunan yang berlanjut, yang akibatnya ribuan warga
keluar negeri untuk mencari kerja. Sementara Presiden Imomali Rakhmonov
memperkuat kekuasaannya dengan mempersempit pemilu presiden. Perang
Saudara tahun 1992 – 1997 telah menunjukkan bahwa kekayaan minyak
Tajikistan bukan jaminan bahwa ekonomi tidak akan hancur juga ketiadaan
kekejaman dan penderitaan.
Perang Saudara juga memberi pelajaran bahwa tidak semua konfrontasi
politik akan berakhir secara damai. Saat ini Tajikistan juga merupakan negara
perlintasan produk opium dan heroin yang berasal dari Afghanistan menuju
2 Minister of Industry’s statement, “The Development Of The Economic Relations Between
Kyrgyzstan”, AKI-Press, June 23, 2006, di akses dari http://www.akipress.org/news/29316, Maret
14, 2010. 3 “Kyrgistan: A Faltering State”, ICG, Asia Report, No.109, 16 Desember 2005.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
30
Universitas Indonesia
Eropa. Bahkan dana hasil penjualan obat terlarang tersebut digunakan menjadi
pusat kekuatan informal yang berupaya menformalisasikan pengaruh mereka.4
II.1.1.3 Turkmenistan
Memiliki sistem politik yang dikonsentrasikan di bawah Presiden
Saparmurat Niyazov. Ia seorang presiden seumur hidup yang pribadinya
dikultuskan dan ditampilkan di semua wilayah publik. Dibawah
kepemimpinannya, Turkmenistan dikenal sebagai negara di Asia Tengah yang
paling represif dan terisolasi.5 Dengan sistem seperti ini, kudeta atau pertarungan
bagi suksesi akan menjadi masalah besar pada saat pemimpin meninggal.
Perbedaan pendapat tidak dapat ditoleransi di negara ini. Adanya batasan akses
untuk mendapatkan informasi, dan negara ini dikenal sebagai salah satu negara
dengan catatan hak asasi manusia terparah di dunia.
Masyarakat juga dibatasi untuk mendapatkan pendidikan, lulusan luar
negeri pun tidak diakui dan ideologi yang dipakai Nizayov mendominasi
kurikulum yang digunakan. Namun untuk kepentingan Presiden Nizayov sendiri
seperti untuk masalah kesehatan, ia menggunakan fasilitas bantuan kesehatan dari
luar negeri. Sementara bagi masyarakat biasa, hal tersebut tidak diperbolehkan.
Pada tahun 2005, terjadi kejadian politik besar di Turkmenistan. Sejumlah pejabat
yang dianggap terlibat dalam korupsi di bidang industri minyak dan gas
disingkirkan. Peristiwa itu sendiri dipandang sebagai makin khawatirnya Presiden
Nizayov menghadapi kemungkinan ancaman yang didukung oleh dana yang kuat
dari luar.
Ancaman itu datang dari kalangan eselon tinggi di kekuasannya. Presiden
Nizayov meninggal dunia pada bulan Desember 2006 akibat gagal jantung dan
kekuasannya digantikan oleh penggantinya Gurbangully Berdimuhammedov yang
memenangkan pemilu pada bulan Februari 2007.
4 V. Dubovitsky. “The Tajik-Chinese Relations: The Period Of Woriness Over, The Era Of
Cooperation Begins”, January 30, 2007. Diakses pada
http://enews.ferghana.ru/article.php?id=1810. Februari 06, 2010. 5 “Turkmenistan after Niyazov”, Crisis Group Asia Briefing, No.55, 12 Februari 2007. Diakses
pada http://www.transkaukasusisue/turkmenistan/5649/html.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
31
Universitas Indonesia
II.1.1.4 Uzbekistan
Disebut sebagai negara yang tidak akan mengalami perubahan rejim yang
disebabkan gagalnya demokrasi yang diatur. Hal itu disebabkan pemilu presiden
dan parlemen tidak memiliki pengaruh yang dapat dirasakan publik. Rejim
Presiden Islam Karimov dikatakan sebagai salah satu rejim yang paling represif
diantara negara – negara Asia Tengah.6 Kebijakan ekonominya telah membuat
kemarahan dari masyarakatnya. Diperkirakan yang mungkin terjadi adalah
perubahan lewat kekerasan sebagaimana yang ditunjukkan dalam kekerasan di
Andijon pada tanggal 12 – 13 Mei 2005.
Kekerasan itu sebelumnya diawali dengan rasa tidak puas akan keadaan
ekonomi dan tidak berjalannya sistem hukum. Serangan Andijon bersenjata
diarahkan ke fasilitas pemerintah, penjara dan pos polisi. Sebagai tanggapan atas
serangan itu, pemerintah dan pihak keamanan melakukan tindakan tegas yang
secara internasional dianggap berlebihan.
Sejak saat itu pemerintah berusaha untuk merubah keadaan hanya semata–
mata untuk menenangkan pihak Barat yang banyak mengkritik kebijakannya dan
melunakkan sanksi yang diberikan, terutama sanksi yang diberikan oleh Uni
Eropa. Namun sesungguhnya perbedaan - perbedaan yang ada juga masih
mendapatkan tekanan. Pembunuhan menghantui gambaran politik di negara ini
yang terlihat dari ketakutan dan keputusan yang diperlihatkan oleh masyarakat.
II.1.1.5 Kyrgistan
Destabilitasi politik terjadi sejak awal 2005. Hal itu dipicu masalah
unfairness dalam pemilu parlemen Februari dan Maret 2005. Rezim menghadapai
ancaman perubahan pada pemerintahan atau Revolusi Warna.7 Ancaman terhadap
kepemimpinan Presiden Kurmanbek Bakiev dan Perdana Menteri Feliks Kulov
dimulai dengan terbunuhnya tiga anggota parlemen. Dalam perkembangannya,
demonstrasi menuntut pemerintah untuk mundur makin marak dengan
terbunuhnya Tynychbek Akmatbaev. Ia adalah saudara dari tokoh kriminal
6 Ibid.
7 Perdana Menteri Bakiev menggantikan Presiden Askar Akayev. Peristiwa tersebut disebut
sebagai Revolusi Tulip. Istilah ini meniru Revolusi Oranye di Ukraina dan Revolusi Merah Jambu
di Georgia yang waktunya tidak jauh berbeda.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
32
Universitas Indonesia
terkenal Rypek Atmabaev. Ryspek kemudian menjadi figur public vocal.
Kyrgistan mengahadapi kekerasan politik, kerusuhan di penjara, perselisihan hak
tanah, dan juga adanya ketidakpastian sosial. Berbagai peristiwa itu menunjukkan
bagaimana dunia kriminal bawah tanah bisa memainkan pengaruh pada politik
tingkat tinggi dalam kondisi negara dalam keadaan tak berdaya. Apalagi
pemerintah semakin sulit mengkontrol petugas keamanan, suatu hal yang
meningkatkan prospek kekacauan dan kriminalitas.8
II.1.2 Militan dan Ekstrimis Asia Tengah
Keberadaan kelompok Islam di Asia Tengah merupakan karakter yang
paling menonjol dari berbagai masalah di Asia Tengah. Yang dianggap sebagai
pusat pergerakan Islam di Asia Tengah terletak di Lembah Fergana, yang
merupakan pertemuan dari tiga bekas Republik Uni Soviet yaitu Uzbekistan,
Kirgistan, dan Tajikistan. Di wilayah seluas 22 ribu km persegi itu tinggal sekitar
7 juta orang yang menjadikannya wilayah terpadat di Asia Tengah. Selama
bertahun – tahun, pemerintahan di Asia Tengah menganggap lembah itu sebagai
sarang ekstrimis Islam yang menginginkan negara Islam di kawasan. Lembah itu
dianggap sebagai benteng terakhir kepercayaan Wahhabi.9
Wilayah yang sebagiannya didiami oleh etnis Uzbek itu terbagi secara
tidak jelas antara ketiga negara, sehingga ada kantong – kantong yang dikelilingi
wilayah negara-negara lain. Secara garis besar, Uzbekistan menguasai lembah
yang kecil dan Kirgistan menguasai wilayah lembah bagian atas. Setelah Soviet
bubar pada tahun 1990, ekonomi wilayah ini hancur dan menjadi tempat
berkumpulnya militan Islam transnasional yang dikontrol dan didanai dari luar.10
Di lembah Fergana ada dua kelompok utama yakni Gerakan Islam
Uzbekistan (GIU)11
dan Hizb – ul – Tahrir (HT) atau Partai Pembebasan Islam.12
8 Lebih lanjut baca di: “Kyrgistan : A Faltering State”, ICG, Asia Report, No. 109, 16 Desember
2005. 9 “The Goverment of the Xinjiang Uygur Autonomous Region” website, Januari 2006,
http://www.xinjiang.gov.cn/1$002$013/352.jsp?articleid=2006-1-3-0003 diakses pada Maret 12
2010. 10
Pada tahun 2000-an terjadi pengingkatan secara illegal orang-orang asing yang tidak memiliki
kewarganegaraan. Dikabarkan mereka datang dari Afghanistan dan Pakistan. Ramtani Maitras,
Remarking Central Asia, Asia Times. Diakses dari
http://www.asiatimes.com/asiatimes/Central_asia?GE27ago01.html pada 27 Mei 2009. 11
Berkonsentrasi di Asia Tengah dengan fokus di Lembah Fergana.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
33
Universitas Indonesia
Ada bukti – bukti yang menunjukkan bahwa mereka bekerja sama. Kerjasama itu
dalam bentuk perekrutan: rekrutmen GIU berasal dari HT. Mereka memiliki
tujuan yang sama, yakni mengubah rejim di Uzbekistan, Kyrgistan, Tajikistan dan
Kazakstan.
Gelombang pertama perkembangan Islam politik di Asia Tengah muncul
pertama di Tajikistan pada 1992 yang berupaya mendirikan negara Islam. Mereka
pada awalnya merupakan kekuatan pribumi, berkonsentrasi di propinsi bagian
selatan. Kemudian muncullah apa yang disebut sebagai gelombang kedua, ketika
kekuatan pribumi Tajikistan bergabung dengan pihak luar.
Mereka mengkaitkan diri dengan kelompok di Afghanistan bahkan pada
1996 beroperasi di Afghanistan dan sejumlah pemimpinnya pindah ke kota–kota
di Pakistan. Perang saudara yang muncul di Tajikistan itu melibatkan ideologi
yang tumpang tindih antara demokrasi yang sekuler, nasionalis reformis dan
Islam. Proses perdamaian di Tajik di bawah pengawasan PBB (1994 – 1996)
melibatkan Rusia, AS, Iran, Pakistan dan OSCE Eropa dan OKI.
Keterlibatan negara besar dalam pertarungan di Tajikistan sangat rumit.
Amerika memandang bahwa perang saudara di Tajik (1992 – 1996) merupakan
pertarungan yang melibatkan kelompok di kawasan yang direkayasa Rusia untuk
membenarkan kehadiran militer di Asia Tengah. Sampai dengan pemboman
Kedubes AS, Kenya dan Tanzania pada Agustus 1998, AS mendorong negara
Asia Tengah untuk membangun kerjasama dengan pemerintah Taliban di Kabul.
Naiknya Taliban, yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabul pada
1996, mendorong Rusia dan Iran untuk bekerjasama dan berupaya menyelesaikan
masalah Tajik. Kedua negara mendorong dilibatkannya kaum oposan dalam
pemerintahan di Dunshanbe. Proses yang bersamaan juga terjadi antara China dan
Rusia yang menghasilkan “Inisiatif Shanghai” setelah adanya tanda – tanda
hubungan antara militan Uyghur dan Taliban pada tahun 1996.
Setelah terjadi penyelesaian di Tajik, militan Uzbek yang tergabung dalam
kelompok Tajik memisahkan diri. Mereka secara terbuka menyatakan bergabung
dengan Taliban. Antara 1996 dan 2001, GIU beroperasi dari wilayah yang
dikuasai Taliban dan meluaskan aktivitasnya di Asia Tengah khususnya
12
HT merupakan gerakan Islam Internasional. Bermarkas di London, dengan cabang di
Birmingham, Liverpool dan Bradford.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
34
Universitas Indonesia
Uzbekistan dan Kirgistan. Rusia sekali lagi memimpin upaya menghadapi
ancaman militan, sedangkan SCO sedang dalam proses pendirian.
Kepemipinan Moscow dalam menghadapi gerakan Islam itu menimbulkan
reaksi AS. AS menuduh bahwa Rusia mengeksploitasi “ancaman” Islam militan
yang menurut Amerika Serikat sebenarnya tidak ada. Namun sikap Amerika
Serikat berubah setelah terjadi serangan 11 september 2011. AS lalu membangun
sejumlah pangkalan di Asia Tengah dan mendorong front bersama untuk
mengahadapi “teror Islam”. Kesalahan terbesar dari GIU dan Taliban adalah
mereka bekerjasama dengan Al Qaeda. Dalam intervensi militer Amerika Serikat
ke Afghanistan pada Oktober 2001, GIU disingkirkan dan yang selamat banyak
yang lari ke pedalaman Pakistan dan juga kabarnya ditahan di Guantanamo.13
Kekosongan yang ditinggalkan GIU memunculkan gelombang Islam
politis yang ketiga. Munculnya HT. Berbeda dengan gelombang sebelumnya. HT
mengklaim sebagai gerakan pan Islam yang bertujuan untuk membangun
“Kekhalifahan” yang berdasarkan syariat Islam di Asia Tengah. Mereka
berpandangan bahwa Kirgistan merupakan titik terlemah di kawasan. Mayoritas
anggota HT adalah etnik Uzbek yang tinggal di sekitar Lembah Ferghana.14
HT sendiri tidak jelas dan misterius, sebagaimana Taliban. Media AS
sering mewawancarai juru bicara HT yang berkantor di London tetapi tidak ada
yang tahu dimana kepemimpinannya berkedudukan. Diduga HT didanai dari
“lembaga dermawan Arab”. Struktur HT menggunakan sistem sel yang berbentuk
piramid hierarkis yang masing – masing terdiri dari lima orang anggota dengan
seorang pemimpin. Interaksi antar sel terjadi secara tidak langsung.
Kekacauan ekonomi dan sosial di Asia tengah menjadi ladang subur bagi
rekrutmen HT yang kebanyakan para pemuda pengangguran. HT popular di
pedalaman dan para anggota tidak diharuskan menguasai secara mendalam
prinsip-prinsip Islam. Yang paling penting adalah mengakui tujuan syariat dari
partai.
Diduga HT memilki 20 ribu kader yang berasal dari pejabat keamanan
negara Asia Tengah bahkan menyebut angka 60 ribu orang yang merupakan
anggota inti. Pakar Asia Tengah dari AS menyebut HT sebagai kelompok Islam
13
Ibid. 14
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
35
Universitas Indonesia
radikal yang paling populer. Negara Asia Tengah dan Rusia menyebut HT sebagai
organisasi teroris.
Bagaimanapun, sikap keras kelompok-kelompok diatas sedikit banyak
dipengaruhi oleh keberadaan rejim di Asia Tengah. Para pemimpinnya berkuasa
cukup lama, rata-rata satu dekade. Kelima negara mengalami periode yang tidak
pasti dalam proses demokrasi dan reformasi pasar yang mengakibatkan adanya
kemungkinan bagi kegoncangan politik yang mendorong perubahan rejim yang
tidak terencana.
II.1.3 Potensi Energi Asia Tengah
Saat ini Kazakstan diestimasi memiliki 30 sampai 40 milyar barel minyak
mentah. Jumlah ini sama dengan setengah dari minyak yang dimilki Rusia dan
sepadan dengan 11 % dari jumlah minyak yang dimiliki oleh Saudi Arabia.
Kirgistan merupakan negara urutan ke-11 di dunia dibawah Nigeria dan AS untuk
kepemilikan sumber eksplorasi minyaknya. Kirgistan juga dikenal dengan
produksi NGL seperti etanol, propane dan butane.15
Hampir semua produksi
minyaknya berasal dari bagian barat negara itu yang dekat dengan laut Kaspia
kecuali tambang Karachaganak di wilayah tenggara yang berdekatan dengan
Rusia.
Sejak tahun 1995 sudah dilakukan penelitian, investasi luar negeri dan
adanya pengolahan dengan teknologi baru Kazakstan telah menghasilkan tiga kali
lipat minyak mentah. Kazakstan juga berencana pada tahun 2020 dapat
memproduksi sekitar 1.74 MMbbl yang dihasilkan dari empat penambangan yang
besar.
Disamping minyak mentah, Kazakstan juga mempunyai ketersediaan gas
yang ada. Meskipun ekspor gas yang dilakukan masih relatif kecil dibanding
minyak, namun kepemilikan gas alam di Kazakstan diestimasi berada dalam
urutan ke sebelas di dunia, bersama dengan Turkmenistan dan Indonesia.
Hasil ekspor terbesar dari Turkmenistan adalah gas alam. Meskipun
begitu, Turkmenistan juga memproduksi minyak dan mempunyai ketersediaan
15
“Central Asia : Between Hope and Disilussion”, BNP Paribas Conjuncture, 20 April 2006
Diakses dari www.akipress.org .
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
36
Universitas Indonesia
sekitar 600 juta barel minyak mentah.16
Letak cadangan minyak Turkmenistan
sebagaian ada di lepas pantai. Namun menurut laporan USEIA, US Energy
Information Administration, sejak tahun 2004 cadangan minyak Turkmenistan
telah mengalami penurunan Letak cadangan minyak yang penting ada disebelah
Timur tetapi yang paling penting lagi ada di wilayah Cheleken Penninsula di
daerah barat provinsi Balkan. Perusahaan minyak negara, Turkmenft,
memfokuskan sebagaian besar produksinya di daerah Garashsyzlyk, dimana
terdapat lebih dari 40 ladang produksi minyak dan gas disana.17
Ladang minyak di daerah Kyapaz di Kaspia pada awalnya timbul
perselisihan dengan Azarbaijan. Namun, setelah adanya kesepakatan antara
Turkmenistan-Azarbaijan, perselisihan tersebut dapat diatasi. Saat ini
Turkmenistan telah membuka kawasan ini untuk eksplorasi. Saat ini investasi luar
negeri telah masuk ke negara ini meskipun jumlahnya masih relatif kecil.
Turkmenistan saat ini baru memproduksi dua per tiga dari minyaknya. Berbeda
dengan minyak, gas merupakan produk utama yang dihasiljkan oleh
Turkmenistan. Sebagian besar gas yang diproduksi berasal dari Amu Darya Basin
termasuk Daulatabed yang merupakan salah satu yang terbesar didunia.18
Tabel II.1
Perkiraan Recovereable Oil and Gas Resources in the Caspian Region
Proven Posible Total Proven Posible Total
16
Crisis Group Report, Atyrau, 8 Oktober 2006. Diakses dari www.crisisgroup.org . 17
The USEIA report, diakses dari http://useia/report/2006/980efg/html . 18
“Turkmenistan Leader Orders More Money for Oil, Gas Prospecting amid Doubts Over
Reserves”, Associated Press, 7 Agustus 2006.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
37
Universitas Indonesia
Oil
Billion bbl
Oil Gas in
triliun gas
cubic m
Gas
Azerbaijan 3.6 27.0 31 0.3 1.0 1.3
Kazakstan 10.0 85.0 95.0 1.5 2.5 4.0
Turkmenistan 1.5 32.0 33.5 4.4 4.5 8.9
Uzbekistan 0.2 1.0 1.2 2.1 1.0 3.1
Rusia 0.2 5.0 5.0 Na Na Na
Iran Na 12.0 12.0 0 0.3 0.3
Total 15.6 163 178 8.3 9.3 17.6
Sumber : Cohen Ariel, “US Interest in Central Asia”, diakses dari
http://www.idea.tr.com/secmeler/abd/us_interest_in_central_asia.htm pada 3
Januari 2010.
II. 2 Kepentingan Rusia dan Dinamika Rusia di Asia Tengah
Setelah runtuhnya Uni Soviet, Rusia seperti dipaksa untuk menjawab
pertanyaan paling fundamental mengenai identitas negaranya dan hubungannya
dengan negara-negara barat dalam sistem dunia pasca Perang Dingin berakhir.
Setelah disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, Rusia mengalami proses transisi
baik di dalam negeri maupun mengenai prioritas politik luar negerinya. Rusia
yang tidak lagi memproyeksikan politik luar negerinya dalam skala global kecuali
di bidang perlucutan senjata, mulai mengembangkan hubungan kemitraan dengan
AS dan Eropa Barat, mengalami deideologisasi, dan pendekatan pragmatisme.
Dengan kebijakan luar negeri seperti ini, Rusia mulai melakukan
peninjauan hubungannya dengan berbagai negara. Saat ini Rusia sebagai bagian
dari pewaris adidaya Uni Soviet di masa lalu saat perang dingin, merupakan
kekuatan militer tandingan AS yang amat diperhitungkan reputasinya.19
Kebangkitan Rusia pada akhir tahun 1990-an, Presiden Rusia, Vladimir
Putin, mengejar kebijakan luar negeri Rusia yang mengedepankan peran penting
Rusia di dunia. Dalam dokumen resmi kebijakan politik luar negeri Rusia,
19
Devi Oftasari, “Dukungan AS Terhadap Georgia Dalam Konflik Rusia-Georgia”, Tesis, FISIP
UI, Juni 2011, hlm. 41.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
38
Universitas Indonesia
terutama dalam Foreign Policy Concept dan The National Security Concept,
menggambarkan bahwa kebijakan luar negeri Rusia akan terus fokus pada
menciptakan dan mempertahankan sistem internasional dimana negara-negara
besar tetap menjadi pemimpin dalam tatanan global, bebas mengejar kepentingan
nasional yang ingin dicapai, menghargai negara-negara dalam koridor spere of
influence, dan mempertahankan balance of power diantara negara-negara besar
yang ada.20
Pernyataan Putin mengenai kebijakan luar negeri Rusia tersebut tertuang
dalam dokumen resmi yang dimana didalamnya tertuang prioritas utama
kebijakan luar negeri Rusia pada era Putin, yang berbunyi :
“Promoting the interest of Russian Federation
as a great power and one of the most influential
centers in the modern world [by] ensuring the
country’s security preserving and strengthening
its sovereignty and territorial integrity and its
strong authoritative position in the world
community [in order to promote] the growth of
its political, economic, intellectual, and spiritual
potential.21
”
“ ...shaping a stable, just, and democratic world
order.... [based] on equitable relations of
partership among states”.22
Penyataan Putin tersebut diartikan sebagai kedaulatan negara, great power,
dan kemitraan diantara negara-negara. Sebenarnya inti dari Foreign Policy
Concept Rusia tersebut adalah geopolitik, yaitu dimana negara-negara di dunia
mengejar kekuasaan dan kepentingan nasionalnya, yang berarti balance of power.
Pemerintahan pada era Putin terlihat lebih mengedepankan pada konsep great
20
Ibid. 21
Jeffrey Mankoff, op. cit., hlm. 12. 22
Ibid., hlm. 13.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
39
Universitas Indonesia
power, dimana Putin mengharapkan Rusia menjadi negara kuat yang dapat
memimpin dunia terutama didalam dunia yang multipolar. Hal ini terlihat dalam
pernyataan Putin mengenai dunia multipolar dimana dalam sistem internasional
yang multipolar negara-negara besar menjadi aktor-aktor utama dalam tatanan
global yang hubungannya dengan negara-negara lain berdasarkan kalkulasi
kepentingan nasional negaranya.
“We must clearly recognize that the critical
responsibility. . . for securing global stability wil be
borne by the leading world powers [vedushchie
mirovye derzhavy] – powers possesing nuclear
weapons [and] powerful levers of military-political
influence”23
Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat menjadi hal yang paling
banyak disorot dalam kebijakan luar negeri Rusia. Interaksi Rusia dengan negara-
negara di seluruh belahan dunia, termasuk negara-negara pecahan Uni Soviet
disekitar batas-batas negaranya, berdasarkan hubungan negara-negara tersebut
dengan komunitas Barat terutama dengan ”negara pemimpin” di komunitas Barat
tersebut yaitu AS. Kenangan masa lalu saat Perang Dingin antara Rusia dengan
AS masih mewarnai hubungan kedua negara tersebut. Walaupun bayangan Perang
Dingin masih ada, pada saat ini Rusia tidak lagi menjadi bentuk ancaman seperti
pada saat Perang Dingin.
Ketika serangan teroris terjadi di AS pada 11 September 2001, Rusia
mengeluarkan pernyataan bahwa negaranya berperang melawan teroris, sejalan
dengan kebijakan luar negeri AS yang memerangi terorisme. Walaupun Rusia
bersama-sama dengan AS melawan terorisme, bukan berarti Rusia selalu memiliki
arah kebijakan luar negeri yang sama dengan AS. Ambisi Rusia dalam tatanan
global masih sangat terlihat yaitu untuk menjadi negara besar didunia. Hal ini
tertuang laporal Trilateral Comission yang berisikan :
23
Ibid., hlm. 16.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
40
Universitas Indonesia
”Russia is essentially and independent rather than
aggresive and expansionist. Russia will use pressure of
many kinds on less powerful neighboring states and use
leverage with the major powers where it has it . . . but it
does not seek confrontation with them . . . The ambition
of the present leadership, supported by the majority of
the electorate, is to re-establish Russia as a strong,
independent, and unfettered actor on the global stage”.24
Rusia saat ini menjadi negara pengekspor minyak dan gas alam yang
paling utama. Pertumbuhan ekonomi Rusia pada beberapa dekade terakhir
digerakan oleh ekspor energi yang meningkatkan produksi minyak Rusia dan
harga minyak dunia selama beberapa periode. Secara internal, Rusia memenuhi
kebutuhan dalam negerinya dari minyak alam. Bagi Rusia, energi adalah jantung
dari perekonomian Rusia. Energi adalah aset penting bagi Rusia, yang
menunjukkan kekuatan Rusia. Pertumbuhan ekonomi Rusia perlahan namun pasti
berasal dari energinya. Energi Rusia dapat berjalan seimbang dengan harga
minyak dunia. Lihat grafik II.1
Grafik II.1
Pertumbuhan Ekonomi Rusia dan Harga Minyak Dunia
Tahun 1997-2003
24
Ibid., hlm. 23.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
41
Universitas Indonesia
Sumber : Fiona Hill, Energy Empire: Oil, Gas and Russia’s
Revival, The Foreign Policy Centre, September 2004, hlm 31.
Rusia memiliki persediaan gas alam terbesar di dunia, yaitu sebesar 1,680
triliun meter kubik. Persediaan gas alam Rusia tersebut sebesar seperempat total
persediaan gas alam di dunia. Kebanyakan sumber persediaan gas alam tersebut
terletak di Siberia, dengan Yamburg, Urengoy, dan Medvezhnye sendiri terhitung
sekitar 45% dari total persediaan Rusia. Lebih dari separuh sumber persediaan gas
alam Rusia terletak di Siberia. Beberapa sumber gas alam juga terletak di Rusia
bagian utara.
Pada tahun 2007 Rusia termasuk dalam negara dengan persediaan gas
alam terbesar. Lihat Diagram II.1 Diagram perbandingan jumlah persediaan gas
alam Rusia dengan negara lain dapat dilihat dalam diagram II.2.
Diagram II.1
Persediaan Gas Alam Negara-Negara Tahun 2007
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
42
Universitas Indonesia
Sumber : Global Fire Power. Proven Oil Reserves. Diunduh dalam
http://www.globalfirepower.com/proven-oil-reserves-by-country.asp
Diagram II.2
Perbandingan Persediaan Gas Alam 10 Negara
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Sumber : U.S Energy Information Adminstration. Country Brief Analysis : Russia.
Diunduh dari http://www.eia.doe.gov/cabs/Russia/Background.html
Gambar II.2
Jalur Pipa Minyak Rusia di Asia Tengah
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
44
Universitas Indonesia
Sumber : U.S. Energy Information Administration.
Country Brief Analysis:Russia. Diunduh dari
http://www.eia.doe.gov/cabs/Russia/Background.html
Para pembuat kebijakan Rusia menyadari bahwa saat ini semua negara
berusaha untuk memperluas pengaruhnya baik dengan menggunakan hard power
maupun soft power.25
Bagi Rusia kekuatan militer merupakan cara yang dapat
digunakan dalam kebijakan luar negerinya, dan perang dapat digunakan sebagai
perpanjangan tangan dari kebijakan luar negerinya, serta pencegahan terhadap
perang sangat sulit dilakukan.26
Bagi para pembuat kebijakan Rusia tersebut,
negara-negara terfokus pada kemampuan militernya masing-masing dibandingkan
25
Dmitri Trenin. “Russia’s Threat Perception an Strategic Posture”. Strategic Studies. November
2007. Hlm. 35. 26
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
45
Universitas Indonesia
dengan pendekatan politik diantara sesama negara. Dengan kata lain, negara-
negara dengan kekuatan militer yang besar dapat menjadi ancaman bagi Rusia.
Tabel II.2
Persebaran Basis Militer Rusia
Sumber : International Institute for Strategic Studies (IISS), “Annual Assessment of
Global Military Capabilities and Defense Economics”, (London, Military Balance 2009)
Tabel II.3
Perbandingan perlengkapan militer negara-negara Baltik dan negara-negara
yang berbatasan dengan Rusia
Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari
http://first.sipri.org
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
46
Universitas Indonesia
Tabel II.4
Perbandingan cadangan persenjataan Rusia-NATO
Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari
http://first.sipri.org
Tabel II.5
Perbandingan pembiayaan militer Rusia-NATO, dalam miliyar dolar AS
Sumber : SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute). Diakses dari
http://first.sipri.org
Rencana perluasan NATO ke Timur memberikan ketakutan tersendiri bagi
Rusia. Perluasan NATO tersebut dikhawatirkan akan merusak perimbangan
strategis AS dan Rusia di Eropa Timur, karena pengaruh AS di kawasan tersebut
akan semakin besar. Rusia terlihat melancarkan usaha pembendungan terhadap
rencana ekspansi dan perluasan pengaruh negara-negara Barat di Eropa Timur.
Hal ini tak terlepas dari fokus utama kebijakan luar negeri Rusia yang masih
terkait dengan kebijakan luar negeri AS dan kebijakan keamanan.27
Para pemikir
strategis Rusia melihat AS sebagai “dangerous nation”.
Dari perspektif politik, Rusia percaya bahwa setelah Perang Dingin
berakhir AS masih memandang Rusia sebagai lawan, seperti AS melihat China,
Iran dan Korea Utara. Bagi Rusia, AS tidak menginginkan Rusia menjadi negara
yang kuat, dan AS melihat Rusia sebagai pesaing yang kompetitif dimana AS
sangat menolak kebangkitan Rusia. Sehingga, perilaku dan kebijakan AS,
27
Ibid. Hlm. 36.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
47
Universitas Indonesia
terutama di area vital kepentingan Rusia seperti Eurasia, menjadi suatu ancaman
bagi Rusia dan kepentingan-kepentingan Rusia.
Dalam White Paper pada Oktober 2000, Departemen Pertahanan Rusia
mengeluarkan Doktrin Ivanov yang berisi bahwa setelah Perang Dingin usai bagi
Rusia, namun NATO tetap sebagai organisasi militer yang dapat mempengaruhi
Rusia dalam mengeluarkan doktrin militer maupun kebijakan-kebijakan nuklir.28
“Russia . . . expects NATO member states to put
a complete end to direct and indirect elements of
its anti- Russian policy, both from military
planning and from the political declarations of
NATO member states. . . . Should NATO remain
a military alliance with its current offensive
military doctrine, a fundamental reassessment of
Russia’s military planning and arms
procurement is needed, including a change in
Russia’s nuclear strategy.”
Dari segi geostrategis, Rusia melihat kehadiran militer AS di batas-batas
negara Rusia sebagai suatu bentuk ancaman.29
Sejak tahun 2000 AS telah
membangun basis pertahanannya di Romania, Bulgaria, dan Asia Tengah. Selain
itu AS juga melatih dan melengkapi persenjatan personel-personel militer
Ukraina. Selama beberapa waktu ini, pemerintah AS berupaya mencapai
kesepakatan dengan pemerintah Polandia dan Ceko untuk membangun sistem
pertahanan misil di kedua negara tersebut.
Sebagai bagian dari sistem pertahanan misilnya, AS berencana
menempatkan 10 penangkal rudal di Polandia serta radar pembimbing di Ceko.
Rencana dengan anggaran dana sebesar 1,6 Miliar USD ini telah diratifikasi tahun
2007 oleh pemerintah George W. Bush, mantan Presiden AS. Rencananya proyek
ini akan dioperasikan tahun 2013. AS mengatakan bahwa sistem tersebut akan
28
Stephen J. Blank. “The NATO-Russia Partnership : A Marriage of Convenience or A Troubled
Relationship?”, Strategic Studies, November 2006., hlm. 7. 29
Dmitri Trenin, Loc.Cit.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
48
Universitas Indonesia
melindungi AS dan negara-negara sekutu di Eropa dari serangan sistem kerja
rudal yang diluncurkan oleh Iran dan Korea Utara.
Akan tetapi rencana ini ditentang oleh Rusia karena dianggap mengancam
keamanan Rusia. Menurut Rusia rencana penempatan sistem anti-rudal AS di
Polandia dan Ceko ini adalah langkah strategis NATO untuk melakukan perluasan
NATO ke arah timur yang tentunya akan mengancam Rusia. Selain itu menurut
Rusia rencana ini juga akan memperkuat NATO dalam mengawasi penempatan
dan pengerahan tentara Rusia, yang akan meningkatkan kemampuan NATO untuk
menyerang Rusia. Reaksi Rusia tersebut menyiratkan ketakutan akan
bertambahnya kekuatan AS di Eropa Timur dengan merangkul negara-negara
pecahan Uni Soviet.
Padahal sejak awal rencana penempatan sistem antirudal AS tersebut
sudah dikatakan bahwa alasan pemerintah Bush terkait rencana ini kembali pada
kemampuan rudal Iran dan ancaman terhadap kepentingan Amerika di Timur
Tengah, bukan Rusia. Namun pernyataan tersebut ditentang keras oleh Rusia.
Rusia meresponnya dengan mengatakan bahwa sangat tidak mungkin jika misil-
misil dari Iran atau Korea Utara dapat melintasi Eropa dan mencapai AS.
Selain masalah pergerakan NATO ke arah timur dan penempatan basis
pertahanan AS di Eropa Timur, masalah politik energi juga menjadi suatu
kekhawatiran bagi Rusia. Keberadaan kawasan Kaukasus sangat vital bagi
kepentingan energi Rusia. Pipa-pipa gas dan minyak banyak yang melintasi
kawasan Kaukasus sampai ke Rusia.
Sehingga stabilitas keamanan di wilayah Kaukasus ini menjadi penting
untuk menjaga kelancaran dan keberlangsungan proyek-proyek pengangkutan dan
pendistribusian minyak dan gas ke pasar-pasar Barat. Georgia, Azerbaijan, dan
Ukraina memiliki jalur strategis gas dari Rusia ke Eropa sehingga hal ini
membenarkan politik luar negeri Rusia yang terus ingin Georgia, Azerbaijan, dan
Ukraina berada dalam pengaruh Rusia.
Selain itu saat ini Laut Kaspia merupakan laut yang diakui dan ditemukan
memiliki kandungan sumber daya gas alam dan minyak yang sangat besar. Laut
Kaspia menjadi tempat incaran baru bagi negara-negara Barat. Sejak lama AS
mengincar kekayaan migas di sekitar Laut Kaspia, yang relatif baru sedikit
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
49
Universitas Indonesia
dimanfaatkan ketika wilayah itu menjadi bagian dari Uni Soviet. Tidak
mengherankan AS berjuang mati-matian untuk merangkul negara-negara bekas
Soviet di sekitar Laut Kaspia, yang belum sepenuhnya lepas dari komunisme.
Pada pertengahan 1990-an, pemerintahan AS di bawah Presiden Clinton
mendapatkan dua proyek jaringan pipa utama untuk mengekspor migas Kaspia,
dengan tidak melalui wilayah Iran, Rusia, dan China.
Proyek pertama adalah rencana mengekspor gas Turkmenistan melalui
Afganistan dan Pakistan ke Samudra Hindia. Akan tetapi, proyek ini akhirnya
gagal karena keamanan di Afganistan dan Pakistan yang hingga kini sangat tidak
mendukung. Proyek kedua adalah rencana membangun jaringan pipa melingkar
ke barat melalui negara-negara pro-AS di Kaukasus, yaitu Georgia dan
Azerbaijan. Jaringan itu akan digabung dengan jaringan pipa bawah laut yang
menghubungkan Kazakhstan dan Turkmenistan di sisi timur Kaspia, yang
menyambung dengan jaringan pipa Baku (Azerbaijan)-Tbilisi (Georgia)-Ceyhan
(Turki) atau BTC. Jaringan pipa ini menjadi jalan utama untuk mengirimkan
sebagian besar ekspor energi Kaspia ke kawasan Mediterania, dan diproyeksikan
akan menjadi pukulan besar terhadap dominasi rute energi Rusia dari Kaspia ke
Barat.
Ancaman-ancaman yang juga dihadapi oleh Rusia adalah masalah-
masalah yang sebagian besar terkait dengan penganiayaan terhadap minoritas,
revolusi-revolusi dan tuntutan kemerdekaan di negara-negara pecahan Soviet dan
negara-negara di Balkan. Contohnya adalah geopolitik Rusia di pecahan
Yugoslavia yang terkait dengan isu etnis minoritas yaitu seperti muslim, Serbia,
Slavia, Albaneese dan Macedonia. Yugoslavia dikenal sebagai wilayah yang
meiliki banyak perbedaan kultur dan agama yang menyebabkan ketidakstabilan
politik, isu kemanusiaan, dan pengungsi sampai sekarang.
Dalam beberapa kasus AS sering kali terlibat dalam tuntutan kemerdekaan
di beberapa negara-negara pecahan Soviet.30
Selain itu, deklarasi perang melawan
terorisme oleh AS menjadi momentum yang digunakan AS untuk memasuki
media dibawah pengaruh Rusia seperti Kirgiztan, Uzbekistan, dan Georgia. Dapat
30
R. Craig Nation, “U.S. Interests in The New Eurasia”, Strategic Studies, November 2007, hlm.
1.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
50
Universitas Indonesia
dikatakan daerah tersebut memiliki banyak peluang bagi kekuatan eksternal
seperti NATO dan AS untuk masuk ke dalam wilayah Eropa Timur.
Selain itu Rusia juga sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang ada dalam
kebijakan luar negeri AS yang mengusung demokrasi dan penghormatan terhadap
HAM. Rusia menganggap bahwa nilai-nilai AS tersebut hanya merupakan
kamuflase untuk mencapai kepentingan nasional AS. Dalam Russian Federal
Assembly pada 10 Mei 2006, secara sarkatis Perdana Menteri Putin mengatakan
bahwa HAM dan demokrasi berdiri diatas suatu kepentingan tertentu.31
“We see, after all, what is going on in the world.
The wolf knows who to eat, as the saying goes. It
knows who to eat and is not about to listen to
anyone, it seems. How quickly all the pathos of
the need to fight for human rights and
democracy is laid aside the moment the need to
realize one’s own interests comes to the fore. In
the name of one’s own interests everything is
possible, it turns out, and there are no limits.”
Keinginan Rusia untuk tetap mendominasi negara-negara pecahan Uni
Soviet di Kaukasus telah terlihat sejak tahun 1999 dimana Rusia mencoba untuk
memberi sanksi terhadap semua negara-negara Baltik, hal ini berkaitan erat
dengan program perluasan NATO yang mulai memperluas cakupan
keanggotaannya ke wilayah Kaukasus tersebut. Kepentingan Rusia untuk terus
mencari ladang minyak baru di Kaukasus sangat besar, mengingat posisi Rusia
sebagai pemasok gas terbesar bagi UE dan penyalur minyak terbesar kedua
setelah Arab Saudi.
II. 2. 1 Pilihan Strategi Rusia terhadap Perluasan NATO
31
Stephen J. Blank, op. cit., hlm. 20.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
51
Universitas Indonesia
Keamanan Rusia pasca berakhirnya Perang Dingin sulit untuk
diperkirakan. Baginya, AS dan NATO masih merupakan musuh walau Perang
Dingin dan NATO telah berubah orientasinya. Perluasan NATO ke wilayah Eropa
membuat Rusia ketakutan, apalagi Estonia, Latvia dan Lithuania berbatasan
langsung dengan Rusia. Mengingat ketiga negara tersebut merupakan negara
pecahan Uni Soviet, membuat Rusia menempatkan keamanan militer di setiap
perbatasan tersebut.
Dimulai dari pembangunan bassis-basis militer di wilayah Eropa Barat dan
Eropa Timur seperti Bulgaria, Rumania dan Polandia oleh NATO, masyarakat
Rusia pun melihatnya sebagai pemindahan garis depan sistem pertahanan NATO
ke dekat wilayah Rusia dan menimbulkan kemarahan. Sepanjang tahun 1990,
militer Rusia menyadari bahwa kemampuan angkatan bersenjata haruslah
ditingkatkan sebab Rusia dihadapkan pada konflik bersenjata secara domestik dan
regional.
Jika dilihat dari perspektif geografi, perluasan NATO tanpa menghadirkan
Rusia didalamnya akan melahirkan keadaan dilemma keamanan (security
dilemma) bagi kedua pihak, yaitu Timur dan Barat. Rusia dihadapkan pada pilihan
untuk melakukan aliansi dengan pihak yang lebih kuat atau kemungkinan lain
yang memungkinkan adalah melakukan Bandwagoning. Sebuah Negara mungkin
akan melakukan kerjasama dengan mereka yang mengancamnya. Inilah yang
dilakukan Mikhail Gorbachev dan mengakhiri Perang Dingin. Hingga Boris
Yeltsin dan pemimpin Rusia demokratis lainnya juga turut mengikuti jejaknya.
Lalu apakah pada saat itu Rusia akan berintegrasi dengan NATO? Itulah yang
menjadi pertanyaan besar dari para pembuat kebijakan Rusia pada saat itu.
Pada saat itu Rusia dihadapkan pada pilihan kedua yaitu “bersembunyi”
atau mundur kedalam terisolasinya kemajuan persenjataan Barat, sangat
menggantungkan pada senjata nuklirnya sendiri dan terjebak dalam persepsi akan
terkepung oleh musuh yang potensial, seperti Barat, Dunia Islam dan Asian.
Jika NATO tidak akan mengajak Rusia masuk, pilihan ketiga bagi Rusia
adalah pilihan yang sangat menarik. Yaitu melihat ke Timur untuk melakukan
Balancing terhadap ancaman dari Barat. Perluasan NATO tanpa Rusia akan
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
52
Universitas Indonesia
membawa pada pendekatan Russo-Sino (Rusia-Cina) dan bahkan sekutu militer
secara resmi.
Walaupun mereka mempunyai berbagai permasalahan dalam menjalin
hubungan di masa lalu dan kemungkinan akan timbulnya permasalahan jika
mereka membuka hubungan kembali, untuk melindungi kepentingan mereka
Negara akan mencari sekutu siapapun dan dimanapun mereka bisa, dan harus. Hal
ini disebabkan karena Pemimpin Rusia tidak suka menghadapi dua musuh dari
arah yang berbeda.32
Bagi Rusia, pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat dan 1,2 milyar
penduduk akan dapat menyeimbangkan NATO. Bagi China, Rusia dengan 150
juta penduduk, sumber daya alam yang melimpah dan juga GNP yang 1/3 darinya
akan menjadi sekutu yang baik. Teknologi militer Rusia yang hampir sama
dengan Barat saat ini melambangkan kemajuan ekonomi dan merupakan pilihan
sekutu yang meyakinkan dalam pembangunan militer kedepan. Dapat dilihat
bahwa kapabilitas Rusia jauh melampaui Cina. Dari angkatan laut hingga
komunikasi, dari roket hingga angkatan udara, hingga senjata nuklir, Rusia
menawarkan banyak hal bagi Cina. Kemudahan akses terhadap teknologi Rusia
akan meningkatkan modernisasi militer Cina dengan pengurangan biaya. Dan juga
mengurangi tambahan biaya untuk melanjutkan kontrak industry militer Rusia
(Rusia’s military-industrial-complex).33
Kekhawatiran akan peningkatan kerjasama militer tersebut akhirnya
terbukti dengan perdagangan persenjataan dan usaha-usaha diplomatic. Cina
setuju untuk membeli 72 pesawat tempur advanced SU-27 dari Rusia dan
membangun basis produksinya di Shenyang untuk memproduksi lebih. Perjanjian
yang sama terjadi pada SU-30 dan juga Moskow mengumumkan penjualan baru
dua kapal laut tempur beroket.34
Dalam kediplomatikan, Rusia menjadi dekat dengan Beijing pada
Desember 1996 dimana Presiden Yeltsin dan Menteri Luar Negeri Cina Li
mengumumkan penarikan pasukan tempur dalam jumlah besar di perbatasan
32
Frank Ching, “Sino-Russian Pact a Good Sign”, Far Eastern Economic Review, 23 May 1996,
hlm. 40. 33
Bruce Russett dan Allan C. Stam, op. cit., hlm. 364. 34
Nigel Holloway,”Brother in Arms: The U.S. Worries about Sino-Russian Military Cooperation,”
Far Eastern Economic Review, 13 March 1997, hlm. 20-21.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
53
Universitas Indonesia
mereka, melakukan perjanjian perdagangan dan kesepakatan persenjataan lainnya.
Pada pertemuan April 1997 di Moskow antara Yeltsin dan Presiden Cina Jiang
Zemin, menghasilkan deklarasi yang memajukan dunia multipolar ketika selama
ini didominasi tindakan unipolar satu kekuatan tertentu.35
Ditambah Menteri
Pertahanan Rusia, Igor Rodionov, yang menyatakan bahwa hal ini “makin
menguatkan juga hubungan ke lingkup militer”36
. Kerjasama Rusia-China akan
menciptakan kekuatan Eurasian dan aliansi antidemokratik. Aliansi ini akan
bekerja diluar struktur hukum internasional dan norma hak-hak asasi manusia
yang diusung demokrasi Barat selama dua ratus tahun terakhir.
35
Bruce Russett dan Allan C. Stam, op. cit. 36
Beijing Review 39, “Joint Statement by the People’s Republic of China and the Russian
Federation”, 13 Mei 1996, hlm. 6-8.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
54
Universitas Indonesia
Walaupun pada akhirnya banyak kerjasama yang dilakukan dalam skala
regional, namun Rusia nampaknya menaruh perhatian lebih pada SCO.
Tabel II.6
Organisasi Kerjasama Regional di Kawasan Post-Soviet States
Sumber : S.G. Luzyanin dan K.S. Gadjiev, Glasnost Vol.4 No.2 Oktober 2008-
Maret 2009, hlm. 21-22.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
55
Universitas Indonesia
II. 3 Kepentingan China dan Dinamika China di Asia Tengah
Baik bagi AS dan Rusia, berakhirnya Perang Dingin tidak menghentikan
mereka akan ketakutan satu sama lain. Namun, apapun yang mengancam Cina
tentunya secara fundamental tidak akan sama dengan konflik ideology lama antara
NATO dan Pakta Warsawa. Tidak hanya ideology konflik, keadaan kondisi
domestic dan pandangannya terhadap dunia luar yang mereka punya, namun juga
keberlanjutan persaingan keduanya tentang perannya di tatanan dunia ini.
Doktrin Lenin, yang menjadi dasar dari system yang dimiliki Soviet,
berdasarkan pada ideology dunia yang revolusioner yang dimotori oleh hasil dari
persaingan kelas diantara kaum proletar. Komunis akan menang diakhir cerita
karena Lenin dan pengikutnya berargumen bahwa Negara Soviet mempunyai
system ekonomi yang paling baik. Lain halnya, dasar ideology dari system yang
dimiliki Cina yang tidak mempunyai ambisi seperti yang dimiliki Rusia. Tujuan
ideology Mao Zedong adalah terpusat pada wilayah revolusi lokal, tidak dimotori
oleh revolusi social secara internasional yang dapat menyambar bagaikan kobaran
api yang ditiup angin besar.
Sekarang, para pemimpin Cina meninggalkan ekonomi Marxist dan
mencoba untuk memodernisasi ekonomi dengan kapitalisme dan pasar bebas.
Bagi Cina, tidak ada yang namanya melawan Barat dengan menjadi rejim
ekspansionis, tetapi lebih kepada melawan penguasa kuat dengan menggunakan
model Asian Authoritarianism. Model ini secara ideology menantang liberalism
barat dan mempunyai cara mengorganisasi yang menarik antara ekonomi dan
politik namun tidak secara fundamental melawan dan menonjolkan eksklusifitas
ideology seperti yang dipunyai Marxisme atau Leninisme.37
Melihat bagaimana Negara meraih sukses di dunia internasional, Rusia
menginginkan sukses sebagai Negara komunis dan tidak seperti Cina yang
ideology-komunis-Mao-nya telah hilang dari inti negaranya. Saat ini, Cina telah
sukses dengan meraih banyak uang dan meningkatkan pengaruhnya di dunia luar.
Tentu saja, kita tidak boleh menghilangkan factor antagonism dari hegemoni
ideology demokratik dan meluasnya ideology authoritarian. Demokrasi
cenderung memiliki hubungan yang damai jika berdampingan dengan Negara
37
Samuel Hantington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York:
Simon and Schuster, 1996).
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
56
Universitas Indonesia
demokrasi lainnya dan yang bukan autokratis. Dan demokrasi ala Barat harus
melanjutkan hubungannya dengan Cina dalam hak-hak asasi manusia dan
demokrasi.
II. 3. 1 Faktor Militan di Xinjiang
Faktor lain adalah situasi di Propinsi Xinjiang yang didominasi oleh
keturunan Turki Muslim di China adalah salah satu faktor penting dibalik
peningkatan hubungan China dan negara-negara Asia Tengah yang letaknya
berbatasan dengan China. China mempunyai penduduk muslim sebesar 35 juta
jiwa yang didominasi oleh keturunan Turki dan menjadi urutan keempat populasi
orang Turki terbanyak di dunia setelah Turki 53,6 juta jiwa, Iran 35 juta jiwa dan
Uzbekistan 23 juta jiwa.
Hubungan masyarakat minoritas Xinjiang dengan negara-negara Asia
Tengah sangat kuat meskipun terdapat batasan wilayah diantara mereka. Pada saat
terjadi kemerdekaan di negara-negara Asia Tengah pada tahun 1991 akibat
runtuhnya Soviet maka timbul semangat kebangkitan untuk merdeka juga
dikalangan kaum minoritas China, suku Uyghur Xinjiang. Mereka ingin
membentuk negara sendiri yang dinamakan Republik Turkmenistan Timur.38
Islam dipandang China sebagai faktor utama dibalik gerakan separatisme
yang muncul di Xinjiang. Perbedaan pandangan antara pemerintah China dan
penduduk muslim China terjadi hampir diseluruh aspek kehidupan. Pergerakan
muslim di Asia Tengah yang berusaha mengambil kekuasaan di negara Asia
Tengah menjadi pemicu kebangkitan akan gerakan masyarakat muslim China di
Xinjiang untuk ikut serta dalam perjuangan melepaskan diri dari wilayah China.
Di Asia Tengah sendiri, terjadi perbedaan persepsi namun pemerintahan disana
berusaha untuk memerangi fundamentalisme agama dan berusaha untuk
memenangkan pertempuran dengan meminta bantuan daari komunitas dunia dan
negara-negara sekular seperti China, AS dan juga Uni Eropa.
Kaum Uyghur sendiri menganggap bahwa mereka seharusnya
mendapatkan kebebasan politik seperti yang didapatkan saudara-saudara mereka
di Asia Tengah, yaitu kemerdekaan. Pandangan ini diberikan oleh masyarakat
38
Fitria Purnihastuti, “Strategi Keamanan dan Energi Cina di Asia Tengah (2000-2006)”, Tesis,
FISIP UI, 2008.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
57
Universitas Indonesia
kebanyakan di Asia Tengah namun bukan pemerintahannya sendiri, setidaknya
secara resmi. Jumlah suku Uyghur di Kazakhstan dan Kirgistan yang berjumlah
300.000 orang menciptakan gangguan mobilisasi politik di kawasan China dan
Asia Tengah.39
Sangat jelas bahwa gerakan separatisme di Xinjiang mendapatkan
dukungan dan senjata militer dari saudara seetnik dan seagama mereka di Asia
Tengah sejak tahun 1991. Adanya dukungan atas gerakan separatisme tersebut
merupakan agenda China dalam menciptakan hubungan dengan negara-negara
tetangga di sebelah barat China tersebut. Kekhawatiran China terhadap dukungan
Asia Tengah terhadap gerakan separatisme di Xinjiang diutarakan setelah adanya
bukti yang jelas saat sekitar 50 suku Uyghur dilatih di Afghanistan dan kemudian
masuk ke China melalui beberapa negara di Asia Tengah. Peristiwa ini
menciptakan ketegangan dari semua negara di sekelilingnya.
Situasi semakin rumit setelah intervensi AS di Afghanistan dan
kehadirannya di Asia Tengah. Di satu sisi China berusaha untuk memperkecil
gerakan-gerakan militan muslim dan dukungan kaum Uyghur di Afghanistan dan
Asia Tengah dengan segala cara. Tetapi di lain pihak, tindakan ini akan dapat
mengecewakan muslim di China dan di kawasan karena dianggap tidak
mendukung penegakkan Hak Asasi Manusia yang dijunjung tinggi oleh AS. Lebih
parahnya lagi, pasukan AS dapat memaksa untuk masuk di kawasan ini untuk
beberapa tahun kedepan jika keadaan dan situasi disana tidak stabil dan akan
diperlakukan sesuai kehendak AS.
Bagi China, kehadiran AS di kawasan ini memberikan ancaman akan
akibat dari perang Korea dan Vietnam dan lebih mengancam China lagi pada
jangka panjang dibanding ancaman gerakan separatisme itu sendiri sehingga
China berusaha untuk meminimalisasi kehadiran AS di kawasan ini.
Setelah terjadinya peristiwa 9/11/2001 di New York, AS, persepsi China
tentang lingkungan secara fundamental mengalami perubahan. Hal ini disebabkan
prinsip perang terhadap teroris AS masuk kedalah wilayah Asia Tengah. Hal ini
menyebakan China harus menghadapi konfrontasi kekuatan AS di wilayah
perbatasan bagian barat China. Bagi China, kehadiran militer AS di Asia Tengah
39
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
58
Universitas Indonesia
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya menciptakan wacana akan adanya
skenario terburuk bagi China. Berpijak pada ketegangan hubungan politik dan
militer AS – China di kawasan Asia Timur, memunculkan usaha China akan
melakukan segala cara untuk mengatasi situasi seperti ini.40
Sejak saat itu, China
berusaha memikirkan kembali kebijakan-kebijakannya dan meningkatkan
posisinya dalam wacana militer dengan cara strategi membujuk dengan
mengkombinasikan instrumen kekuatan militer, ekonomi dan politik untuk
membawa transformasi fundamental hubungan kekuatan di China juga di Asia.
Disamping meningkatkan kekuatan militernya untuk menghadapi masalah
Taiwan dan keikutsertaan militer AS, China juga tidak mengabaikan Asia Tengah
sebagai tempat potensial dari operasi militernya. Menurut laporan tahunan
Departemen Pertahanan AS tentang kekuatan militer China, transformasi pada
tubuh PLA terlihat pada doktrin tentang perang modern, reformasi institusi militer
dan sistem personil, meningkatkan latihan dan pelatihan standar dan akuisisi
sistem persenjataan dari negara lain, khususnya Rusia. Beberapa aspek dari
pembangunan militer China menjadi perhatian analis AS termasuk langkah, ruang
lingkup dari modernisasi strategi penyerangan.
Menurut analis AS, ekspansi militer China telah menuju pada
pengimbangan militer regional / regional militer balance. Perkembangan
modernisasi strategi senjata nulkir, kemampuan akses darat dan laut dan jumlah
senjata penyerangan yang dimiliki China juga dapat menimbulkan ancaman pada
operasi militer AS di kawasan.41
Kombinasi yang dilakukan China secara politik dan lewat modernisasi
militernya terlihat sebagai usaha China untuk mengatasi usaha AS untuk
membatasi ruang geraknya di Asia.42
Kehadiran militer AS di beberapa negara
Asia Tengah semakin terlihat. AS berusaha untuk melakukan strategic
partnership dengan India, Singapura dan Filipina. AS berusaha untuk
menunjukkan kemampuan menyerangnya di jantung Asia dari jarak jauh dan
40
Gennady Chufrin, “the Changing Security Model in Post Soviet”, Central Asia Connections,
Vol. II No.1, March 2003, hlm.4. 41
US Department od Defense, “Military power of the People’s Republic of China”, Annual Report
to Congress, 2006, hlm. 1. 42
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
59
Universitas Indonesia
berusaha untuk melihat ke barat begitu juga ke timur dalam mengembangkan
rencana-rencana strategisnya.
Sebagai usaha untuk memenuhi agenda strategi ini, doktrin strategi dan
konsep operasional China telah mengalami transformasi secara sistematis dan
mengalami reformasi pada kapabilitas dan permintaan untuk menjaga kredibilitas
militer China. Operasi militer China adalah alasan yang melatarbelakangi
pemikiran pemimpin-pemimpin China untuk mengadakan transformasi di dalam
tubuh militernya. Angkatan bersenjata China People Liberation Army (PLA)
melakukan serangkaian tugas di Xinjiang dan Asia Tengah. PLA telah mengalami
transformasi dimana tidak hanya menemui tantangan yang ada di kawasan
tersebut tetapi juga melihat pada pemikiran strategisnya dengan melihat
perubahan politik dunia yang dikenal dengan Revolution Military Affair (RMA).
II. 3. 2 Politik Global China
Dengan terjadinya perubahan-perubahan di lingkungan internasional sejak
berakhirnya Perang Dingin, China kembali melakukan re-evaluasi terhadap
kebijakan keamanannya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan
politik internasional setelah runtuhnya Uni Soviet yang meninggalkan AS sebagai
satu-satunya kekuatan dunia baik secara ekonomi, politik maupun militer. Pada
peringkat global, China beranggapan bahwa berakhirnya konfrontasi antara dua
super power dunia, maka perang global tidak mungkin terjadi selama ini.43
Namun secara keseluruhan China menilai arah perkembangan saat ini
masih meragukan terbentuknya sebuah tata dunia baru yang lebih adil, setidaknya
tercermin dalam identifikasi China mengenai tiga karakteristik utama politik
global saat ini. Pertama, China menilai, struktur bipolar memang sudah runtuh,
namun struktur baru masih belum menampakkan bentuk yang jelas. Disamping
itu, dunia internasional penuh dengan kontradiksi-kontradiksi baru seperti dunia
harus menghadapi pecahnya konflik etnis, konflik teritorial dan konflik agama.
Kedua, saat ini AS dipersepsikan sebagai “super power” tunggal. China khawatir,
AS sedang berupaya menciptakan suatu tata dunia baru yang didasarkan pada
nilai, kebudayaan dan ideologi AS. China menganggap AS dan negara barat lain
43
Fitria Purnihastuti, loc. cit.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
60
Universitas Indonesia
sedang menjalankan kebijakan politik kekuatan. Sehingga, China merasa bahwa
AS akan mencegah kekuatan regional manapun untuk menjadi ancaman bagi
kepentngan-kepentingannya.44
Meskipun begitu, China juga melihat AS sedang
menghadapi masalah dalam negerinya karena merosotnya kekuatan ekonominya.
Karena itu, China melihat adanya perkembangan yang tidak terelakkan
kearah multipolarisasi tata dunia global. Dengan demikian China percaya bahwa
sebuah dunia yang multipolar sedang terbentuk. Ketiga, China memperkirakan
bahwa kompetisi ekonomi akan semakin meningkat dan kompetisi diantara
bangsa-bangsa untuk meningkatkan kekuatan nasional komprehensif yang lebih
besar merupakan hal yang tidak bisa terelakkan lagi. China beranggapan bahwa
posisi sebuah bangsa dalam sistem internasional tergantung kepada kekuatan
nasionalnya. Karena itu, jika China ingin meningkatkan posisi internasional, maka
China harus bersaing ketat dalam meningkatkan “kekuatan nasional
komprehensifnya”.45
Sejak kekuasaan Jian Zemin digantikan oleh Hu Jintao – Wen Jiabao,
mereka menekankan pada kepemimpinan bersama atau collective leadership,
dengan melaporkan hasil pertemuan-pertemuan yang dilakukan, menekankan
pada komitmen akan kesejahteraan masyarakatnya dan menekankan pada
kemampuan pemerintahannya. Sementara dalam hubungan dengan negara lain
juga memperlihatkan keinginan yang baik untuk bekerjasama secara internasional
saat dibutuhkan.46
Dalam banyak hal, Hu mengikuti ajaran Den Xioping dengan
menekankan pada kerendahan hati / low profile dalam hubungannya dengan
negara lain. Dibawah kepemimpinannya, China juga menampakkan diri sebagai
kekuatan utama atau yang disebut sebagai “policy reassurance” / kebijakan yang
menentramkan hati.47
Dalam pidatonya di Universitas Harvard, Wen Jiabao menggambarkan
bahwa bangkitnya China dengan cara damai “peaceful rise” yang didedikasikan
untuk perdamaian dan tujuan pembangunan dan perdamaian. Hal inipun yang
kembali ditekankan oleh Wakil Presiden Zeng Qingshong pada pidatonya di PBB,
44
Beijing Review Vol.35, “China in the Future”, 26 Oktober – 1 November 1992, hlm. 26. 45
Ibid. 46
H. Lymana Miller, “How’s Hu Doing?”, Hoover Digest, 2004, No.1, Winter Issue. 47
Diakses dari http://www.pipa.org/onlinereport/china/china_Mar05_rpt.pdf .
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
61
Universitas Indonesia
ia mengatakan China ingin membangun masyarakat yang harmonis secara
domestik dan juga memberikan ide membangun dunia yang harmoni.
Presiden Hu pada pidatonya di majelis Umum PBB September 2005
mengajak semua pemimpin dunia untuk mendukung upaya menyelesaikan segala
perselisihan dan konflik internasional secara damai dan memperkuat kerjasama.
Kembali ia pun menegaskan komitmen China pada perdamaian, pembangunan
dan kerjasama serta dalam pembangunan yang lebih mementingkan pada
perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia.48
Karena China menekankan pada hubungan baik dengan negara-negara
lain, China menekankan pada kekuatan diplomasi. Hal ini terlihat dengan langkah
China dalam kebijakannya di Asia Tengah yang menekankan pada hubungan baik
dengan negara terdekat/tetangga atau yang dikenal dengan good neighborhood
diplomacy (zhoubian waijiao). China mempunyai dua strategi diplomasinya yaitu
pertama, diplomasi untuk menjaga perdamaian dan lingkungan internasional yang
stabil untuk mendukung kelanjutan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan
politiknya, dan kedua, diplomasi yang difokuskan pada keamanan energi / energy
diplomacy.
II. 3. 3 Pilihan Strategi China Terhadap Perluasan NATO
Dalam menghadapi perluasan NATO, Cina menghadapi tiga pilihan dasar
seperti yang dimiliki Rusia. Cina dapat saja mencoba untuk Balancing. Dan
kemungkinan yang paling memungkinkan adalah bergabung dengan Rusia.
Pilihan lainnya adalah melakukan Balancing dengan India dan Jepang. Bentuk
aliansi Cina-India akan ditolak keduanya karena secara strategi geopolitik
tradisional, mengajak Cina tanpa peningkatan perindustrial dan teknologi adalah
mustahil. Begitu juga dengan Jepang, dimana sangat sulit untuk dibayangkan
beraliansi dengan Cina karena mempunyai perekonomian dan institusional yang
sangat terintegrasi dengan AS. Bila Jepang mempunyai pilihan dengan siapa dia
beraliansi, tentunya dengan melihat pertumbuhan ekonomi dan militer Cina yang
48
Robert Suettinger, “The Rise and Descent of Peaceful Rise”, China Leadership Monitor, 2004,
No.12.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
62
Universitas Indonesia
makin pesat dapat mendorongnya melakukan hubungan yang sangat dekat dengan
NATO.49
Beberapa usaha Cina untuk melakukan perluasan secara kawasan melawan
Negara tetangga yang lemah, tampaknya tergantung dari apakah Rusia bergabung
dengan NATO atau tidak. Ancaman dari wilayah Kepulauan Pasifik, termasuk
Taiwan adalah hal yang paling diperhatikan. Karena hal inilah, melakukan
deterrence berdasarkan keseimbangan kemampuan militer yang stabil, ditambah
dengan perjanjian yang erat dengan Barat dan menghargai kesatuan wilayah Cina
adalah lawan yang sepadan. Anggota awal NATO tidak akan keberatan dengan
hal ini dan mereka mengharapkan kemampuan atau kedekatan secara fisik guna
peningkatan pengaruhnya di urusan Pacific Rim.
Namun Rusia bagi NATO akan menjadi sangat bernilai, memberikan
kedekatan geografisnya, angkatan laut dan basis militer di Timur Jauh (Far East)
dan berpotensial mempunyai kapabilitas militer yang sangat disegani. Masuknya
Rusia kedalam NATO akan menjadi aliansi global yang sangat menjanjikan.
Kedua samudera utara akan mempunyai basis Negara NATO, dengan Eropa yang
stabil sebagai kuncinya. Artikel 5 dan 6 dari perjanjian NATO tidak memasukkan
Asia dari wilayahnya, dimana ketika serangan bersenjata yang ditujukan kepada
Negara NATO manapun berarti ditujukan kepada semua anggota. Dan jika hal ini
diamandemen, tentunya akan menjadi hal yang provokatif bagi Cina. Hal ini dapat
dipahami, bahwa hal yang sama juga dapat terjadi dimanapun diluar
keorganisasian NATO, seperti misalnya keorganisasian dalam kerangka operasi
Combined Joint Task Force.
Respon berikutnya yang dapat dipilih Beijing adalah bersembunyi atau
membentuk kebijakan isolasionis. Kebijakan Luar Negeri Cina berdasarkan pada
politik bersenjata, jika bukan ekonomi, isolasionis akan menyusahkan AS dan
NATO, dan tampaknya reaksi yang kemungkinan besar diberikan Cina akan
seperti ini.
II. 4 SCO, Rusia dan China
49
Bruce Russett dan Allan C. Stam, loc. cit.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
63
Universitas Indonesia
Sub-bab ini akan memaparkan proses pembentukan Shanghai Cooperation
Organization (SCO). Pembentukan Shanghai Five, yang akhirnya berkembang
dan ber-institusi menjadi sebuah kerjasama mulitilateral, SCO, merupakan proses
yang besar dan penting dalam hubungan internasional. Bagi negara-negara
anggota seperti China, Rusia dan Asia Tengah, pembentukan mekanisme
multilateral untuk keamanan regional dan kerjasama ekonomi adalah kali pertama
dalam sejarah mereka.
China membangun hubungan komunikasi dengan Asia Tengah sejak
rencana Jalur Sutra 2000 tahun lalu, namun mempunyai hubungan langsung
dengan kawasan tersebut hanya setelah kawasan tersebut menjadi bagian dari
Kerajaan Rusia dan berlanjut menjadi Uni Soviet. Sebagai bagian dari pecahan
Uni Soviet, Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan dan Tajikistan telah menyatu dalam
sebuah kelompok negosiasi, usaha pencarian jalan keluar dari permasalahan
perbatasan dengan China sejak 1991 hingga 1995.
Pembicaraan mengenai masalah perbatasan ini menggambarkan
kehendaka Rusia dan tiga negara Asia Tengah untuk mencegah segala power
China, yang politik dan ekonominya semakin kuat, untuk mengambil keuntungan
dari keadaan setelah runtuhnya Uni Soviet untuk menekan dan meng-klaim batas
wilayah di Asia Tengah dan Russian Far East menjadi seperti zaman Kerajaan
Rusia dan era Soviet.50
Pada saat itu, Tajikistan masih berurusan dengan China terkait sengketa
perbatasan, tetapi Rusia, kazakhstan dan Kyrgyzstan telah berhasil mencapai
kesepakatan dengan China sehingga akhirnya pada 26 April 1996, kepala negara
dari kelima negara-negara ini mengadakan pertemuan di Shanghai guna
menuntaskan masalah sengketa perbatasan mereka dengan China dan beralih pada
kepentingan bersama dan masalah yang lain.
Para pemimpin dari negara-negara Shanghai Five ini bertemu untuk
mengeksplorasi kebutuhan akan penciptaan suatu mekanisme yang mengusung
saling kepercayaan dan keamanan dalam nuasa militer dan mencapai kesepakatan
untuk dapat melakukan latihan militer dalam jarak 100 km antara perbatasan
China dan keempat negara lainnya. Kesepakatan selanjutnya, ditandatangani
50
Chien-peng Chung, “the Shanghai Cooperation Organization: China’s Changing Influence in
Central Asia,” The China Quarterly No.180 (Des,2004) hlm. 989-1009.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
64
Universitas Indonesia
tahun 1997 dalam Second Summit di Moskow, yang berisi pembatasan
penempatan militer maksimal sebanyak 130.400 personel dalam 100 km
perbatasan China dengan negara-negara lainnya.51
Selanjutnya, dalam Almaty Declaration di pertemuan ketiga Shanghai Five
yang betempat di ibukota Kazakhstan pada Juli tahun 1998 ini, para negara-negara
angota menyatakan untuk melawan ancaman keamanan transnasional seperti
separatisme yang bernuansa etnis, fundamentalis agama, terorisme internasional,
penyelundupan senjata, penjualan obat-obat terlarang dan kejahatan lintas batas
lainnya. Deklarasi ini yang menjadi dasar dari keberadaan SCO, dimana terkenal
dengan sebutan perlawanan terhadap “three evils” yaitu separatisme,
fundamentalisme, dan terorisme.52
Dalam konteks Asia Tengah, tentunya hal ini
sangat tepat dan berarti karena faktor militan muslim dan sentimen etnis yang
tinggi. Kemudian, tahun 1998 adalah tahun rejim fundamental Taliban telah
menguasai seluruh Afghanistan. Dalam agenda Fourth Summit bulan Agustus
1999 yang bertempat di ibukota Kyrgyzstan, Bishek, disepakati usulan
Kysgyzstan untuk membangun pusat yang mengkoordinasikan tindakan terhadap
anti-teroris yang akan diambil oleh negara-negara anggota.
Pertemuan kelima bertempat di ibukota Tajikistan, Dushanbe pada bulan
Juli 2000 dan memasukkan Uzbekistan sebagai observer dalam Shanghai Five.
Dalam pertemuan ini juga, Presiden Jiang Zemin mengusulkan perubahan pada
Shanghai Five dengan membentuk pertemuan tim perumus yang bertujuan
membuat peraturan dan mekanisme institusi untuk kerjasama multilateral. Hingga
akhirnya pada 15 Juni 2000 terbentuklah SCO dengan masuknya Uzbekistan
didalamnya.
SCO sebagai salah satu kelompok kerjasama negara-negara yang terbaru
dan salah satu organisasi yang berkaitan dengan Asia Tengah menyelenggarakan
pertemuan rutinnya yang ke tiga pada 28 Mei 2003 di Moskow. Dalam pertemuan
tersebut, diangkatlah seorang sekretaris jenderal yang pertama, Zhang Deguang,
yang sebelumnya adalah seorang dari perwakilan China di Rusia. Selain itu,
mereka juga membangun pertemuan terakhir mereka yang menyepakati charter
tentang struktur, tujuan dan tugas dari organisasi ini, dan juga pembentukan
51
Ibid. 52
Utaryo Santiko, loc. cit.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
65
Universitas Indonesia
sekretaiat tetap di Beijing untuk mengkordinasikan aktifitas dari organisasi ini
pada tanggal 7 Juni 2002.
Adanya China di dalam SCO memberikan pengaruh tersendiri. Dengan
jumlah penduduk sekitar 1.5 milyar manusia dan 60% dari dataran Eurasian
lengkap dengan perekonomiannya yang meningkat sementara Asia Tengah hanya
mempunyai populasi sekitar 50 juta orang. Uzbekistan, negara Asia Tengah yang
paling berseberangan dengan pengaruh Rusia, bergabung pada saat diresmikannya
SCO. Rusia yang juga telah bersepakat dengan AS untuk mengurangi kepala hulu
ledak nuklir, akhirnya mengajak China dan menunjukkan ekspresi perlawanan
kepada AS yang keluar dari Anti-Ballistic Missiles (ABM) Treaty tahun 1972.
Selain itu, China juga berusaha mengarahkan negara-negara anggota untuk
melawan keterlibatan asing dalam menyelesaikan isu Taiwan atau penempatan
pasukan US dalam sistem Theatre Missile Defence (TMD) di sebelah barat Pasifik
yang melindungi Taiwan.
Pada saat ini, SCO juga mendiskusikan bahwa China, diwaktu yang akan
datang, dapat mengirimkan pasukan bersenjatanya ke Asia Tengah untuk
melawan ancaman teroris disana, jika diminta oleh kepemerintahan regional. Jika
hal ini terjadi, maka akan menjadi perubahan yang paling signifikan dalam
kebijakan luar negeri China yang tidak akan menempatkan pasukan atau mencari
pangkalan militer di negara lain.
Secara signifikan, formasi SCO juga menggambarkan bahwa untuk
pertama kalinya China menjadi anggota dari kelompok organisasi formal yang
tidak berorientasi ekonomi. China juga yang termasuk aktif dan menciptakan atau
membentuk arah kebijakan SCO. Tiga hari setelah peristiwa 9/11, yaitu pada
tanggal 14 September 2001, dalam pertemuan para perdana menteri di Almatay,
perwakilan dari China, Zhu Rongji-lah yang mendesak agar segera dibuat charter
dan pembuatan pusat anti-terorisme di Bishek. Namun, Kazakhstan menilai
bahwa organisasi regional ini harus lebih menitikberatkan pada kerjasama
ekonomi saja. Rusia juga berargumen bahwa CIS juga sudah mempunyai badan
anti terorisme, namun argumen China yang menang.
Beberapa kegiatan institusi yang diambil dalam St. Petersburg Summit
dapat dikategorikan sebagai usaha Beijing untuk memajukan “gigi” SCO didepan
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
66
Universitas Indonesia
aksi AS yang cepat di kawasan dalam hal mengintervensi Afghanistan. Charter-
nya sendiri berisi tentang penjagaan terhadap power politic, unilateralisme dan
usaha SCO untuk memposisikan dirinya sebagai organisasi yang mempunyai
badan permanen dan didukung penuh oleh China sebagai reaksi terhadap
keberadaan AS di Asia Tengah dan keinginan China untuk tidak membiarkan
dominansi AS di kawasan dan dunia. China juga berharap, dengan menyokong
penuh SCO akan mewujudkan cita-cita menciptakan dunia yang multipolar
dengan menggandeng Rusia.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
67
Universitas Indonesia
BAB III
ANCAMAN AMERIKA SERIKAT DI ASIA TENGAH
III. 1 Kebijakan Luar Negeri AS dan Dinamika AS di Asia Tengah.
Pada akhir dekade abad ke-20 dan akhir Perang Dingin, hubungan antar
negara dalam sistem internasional menunjukkan bentuk hubungan yang beragam,
baik kerjasama, kompetisi, maupun konflik. Periode setelah berakhirnya Perang
Dingin telah menciptakan geopolitik baru dan menimbulkan beberapa jenis
persaingan dan konflik baik internal maupun eksternal. Namun selain kompetisi
dan konflik, kerjasama antar negara-negara pun banyak terbentuk. Tidak hanya
kerjasama dalam satu kawasan tetapi juga antar kawasan. Walaupun banyak
terjadi kerjasama antar negara, pencapaian kepentingan nasional masing-masing
negara tetap diutamakan.1
Pola kerjasama yang dilakukan saat ini lebih banyak kepada kerjasama
antara negara-negara kecil dengan negara-negara besar. Misalnya kerjasama
negara-negara berkembang dengan negara-negara maju. Karena dengan
melakukan kerjasama dengan negara-negara maju diharapkan dapat meningkatkan
kekuatan negara-negara berkembang tersebut baik melalui kerjasama ekonomi,
pertahanan, dan sebagainya. AS adalah negara yang paling banyak menjalin
kerjasama dengan negara-negara lain.
Saat ini dunia mengakui posisi AS sebagai pemimpin dunia. AS saat ini
masih memimpin dalam hal ekonomi, moneter, teknologi, dan budaya di seluruh
lapisan dunia. Dalam hal militer, AS masih unggul dari negara-negara lain, baik
dari segi kuantitas maupun kualitas peralatan dan personil militer. Selain itu biaya
yang dikerluarkan untuk kebutuhan militer negaranya jauh lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara lain.2
1 Defi Oftasari, loc. cit., hlm. 82.
2 Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
68
Universitas Indonesia
Diagram III.1
Anggaran dan Belanja Pertahanan Militer Negara-Negara
Sumber : Global Fire Power. Defense Spending Budget. Diunduh dari
http://www.globalfirepower.com/defense-spending-budget.asp
Dengan kekuatan AS yang besar tersebut, AS sering kali menjalin
kerjasama dengan negara-negara lain, misalnya dengan negara-negara CIS atau
Post Soviet Country. Di kawasan Kaukasus sendiri kepentingan AS di kawasan ini
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
69
Universitas Indonesia
semakin terlihat dengan adanya kedekatan AS dengan beberapa negara-negara
Kaukasus. Kemerdekaan beberapa negara-negara di kawasan tersebut yang pro-
Barat semakin penting bagi keberadaan AS di Kaukasus. Peristiwa 11 September
2001 memberikan pengalaman yang berharga bagi AS.
Reaksi dan respon dari negara-negara kawasan Asia Tengah dan Kaukasus
terhadap tindakan teroris tersebut menunjukkan dukungan mereka terhadap AS.
Negara-negara seperti Azerbaijan, Georgia, dan Uzbekistan merupakan negara-
negara yang paling pertama memberikan bantuan dan dukungan terhadap AS
dalam peristiwa 11 September 2001. Di sisi lain, negara-negara yang dekat
dengan Rusia, seperti Armenia dan Tajikistan, tidak dapat memberikan keputusan
sendiri, melainkan menunggu reaksi dari Rusia.
Walaupun begitu, sangat sulit untuk memprediksi kepentingan AS di
Kawasan Asia Tengah dan bagaimana implikasinya dengan kebijakan yang ia
ambil. Seperti misalnya, terhadap sumber daya energy. Sangat jelas AS ingin
mengamankan jalur terhadap sumber daya ini. Bagaimana kepentingan ini
terefleksikan kedalam sebuah kebijakan adalah hal yang lain lagi. Apakah
kepentingan untuk mengamankan jalur sumber daya ini tercermin kedalam sebuah
kerjasama ataukah sebuah kompetisi terhadap Rusia dan China? Pilihan AS tidak
hanya bergantung pada apa yang dilakukan oleh Negara-negara tadi, namun juga
bergantung pada cara AS mempersepsikan kebijakan-kebijakan mereka.
Bagi AS, Asia Tengah hanyalah wilayah yang termajinalkan atau
“periphery of periphery” dalam perumusan kebijakan luar negerinya. Hingga
akhirnya kejadian 11 September 2011, membuat AS mengubahnya menjadi
wilayah sentral atau utama dari perumusan kebijakan luar negerinya.3
Terdapat tiga fase perubahan dalam kebijakan luar negeri AS terhadap
Asia Tengah. Pertama, tahun 1991-1994, AS menjalin hubungan dengan Negara
yang baru merdeka segera setelah Negara-negara tersebut memerdekakan dirinya.
Kebijakan AS terhadap kawasan tersebut fokus untuk menguatkan kemerdekaan
Negara tersebut dan mentransfer nilai-nilai demokrasi, Hak Asasi Manusia
(HAM) dan liberalisasi ekonomi. Sebagai tambahan, Pemerintahan Clinton
3 S. Neil Macfarlane, “Regionalism and the Changing International Order in Central Eurasia”,
International Affairs, Vol. 80, No. 3 (May, 2004), (Royal Institute of International Affairs 1944-),
hlm. 447-461.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
70
Universitas Indonesia
mempunyai kepentingan yang abadi dalam pencegahan terhadap tidak
terkontrolnya proliferasi senjata pemusnah massal.
Namun, terdapat kepentingan lain bagi AS di Kawasan Asia Tengah, yaitu
kepentingan militer. Dimana pada saat itu, Rusia mencoba untuk tetap
menggenggam pengaruhnya di Kawasan Asia Tengah dengan membentuk
Commonwealth of Independent States (CIS) dan membentuk struktur keamanan
bersama negara-negara Commonwealth dibawah Tashkent Treaty tahun 1992.
Tetapi pada saat itu, perhatian para pembuat kebijakan AS masih kecil mengingat
keadaan Rusia pada saat itu masih terlalu lemah untuk membangkitkan kembali
power negaranya.
Perspektif AS berubah pada pertengahan tahun 1992 ketika Washington
menjadi sibuk mencari sumber daya energy alternative diluar kawasan Timur
Tengah. Dalam tahun paruh kedua pemerintahan Clinton pada saat itu,
Washington sudah melirik Laut Kaspia sebagai cadangan sumber energy yang
besar bagi kepentingan AS dan menjadikan rute ekspor sebagai isu ekonomi
sekuriti bagi AS. Hal selanjutnya yang disadari AS adalah bahwa menjalin sebuah
kerjasama kawasan tentang ekspor energy adalah hal yang paling memungkinkan
mengingat jalur ekspor dari kawasan itu harus melewati minimal 2 negara
kawasan.
Sebenarnya kawasan Asia Tengah menyimpan berbagai macam
permasalahan diantara Negara-negara kawasan. Seperti misalnya Kazakhstan
yang mempertimbangkan dampak dari setiap pilihan yang dia ambil dalam
menjalin hubungan dengan AS dan Rusia. Contoh lain adalah hubungan
Turkmenistan dengan Azerbaijan yang sedang mengalami sengketa terhadap
kepemilikan energy lepas pantai, potensi kompetisi untuk pasar gas dan dalam
konteks ini tentang kemandirian rute ekspor untuk sumberdaya Turkmenistan.
Dengan kesadaran permasalahan tersebutlah, Pemerintah AS percaya
bahwa ketergantungan kepada ekspor minyak dan gas regional dan keamanan
investasi energy AS di kawasan tersebut bergantung pada isu stabilitas kawasan
secara luas dan keefektifitasan pembangunan militer Negara, mempromosikan
Kerjasama untuk Kedamaian (Partnership for Peace / PfP) melalui NATO
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
71
Universitas Indonesia
dengan lebih aktif dan menuangkan spirit tersebut kedalam program bantuan
militer, khususnya terhadap Kazakhstan dan Kyrgyzstan.4
Elemen penting dari proses ini adalah formasi “US encouragement of the
Central Asian Battalion” di bulan Desember 1995. Unit ini adalah gabungan
prajurit Kazakh, Kyrgyz dan Uzbek yang dibentuk dibawah pengawasan NATO
dan dengan bantuan US CENTCOM yang bertugas dibidang manajemen konflik
dan penjaga perdamaian (peacekeeping). Pasukan ini telah beroperasi dengan
partisipasi NATO dan US sejak 1997.
Lagi, AS tetap memegang peranan mengendalikan struktur kerjasama
regional tersebut. Walaupun, dasar dari Central Asian Battalion adalah trilateral
dan regional (kawasan), namun terlihat dengan jelas bahwa semua diciptakan
untuk partisipasi kerangka kerja NATO’s PfP. Pemerintah AS tidak menentang
namun tidak juga dengan lantang mendukung hal tersebut.
Satu hal yang menonjol dari respon multilateral terhadap konflik regional
di Central Asia adalah terlibatnya CIS dalam perang sipil Tajikistan. Kepentingan
energy dan agenda keamanan di Asia Tengah jelas menghilangkan maksud dari
agenda AS sebelumnya yaitu demokratisasi dan kepemerintahan yang baik (Good
Governance). Melaksanakan kebijakan tersebut tampaknya lebih rumit dari
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang lebih konkrit.
Usaha kepemerintahan AS untuk memenuhi kepentingan jalur pipa dan
kerjasama militer menimbulkan kebingungan terhadap power di kawasan.
Pembuat kebijakan AS menekankan keinginannya untuk melibatkan Rusia dalam
pembangunan di sector energy kawasan. Namun, pernyataan dan tindakannya
juga memperlihatkan bahwa AS mengasingkan Rusia dalam jalur ekspor dengan
membuat rute barat daya. Misalnya pembangunan pipa Trans-Caspian dan BTC.
Pemikiran rasional yang dapat menjelaskan hal tersebut telah jelas
dinyatakan oleh Ombudsman AS untuk Energy dan Kerjasama Perdagangan
dengan Negara-negara yang Baru Merdeka adalah
“Melanjutkan ketergantungan terhadap jalur pipa Rusia
akan sangat membahayakan karena ini akan membiarkan
4 S. Neil Macfarlane, op. cit.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
72
Universitas Indonesia
Moskow secara sepihak menaikkan tariff dan
menghambat ekspor Caspian atau melakukan ancaman-
ancaman ini untuk memenangkan perihal politik dan
ekonomi dari Negara tetangganya.”
Selanjutnya, tindakan-tindakan dari aktifitas PfP di sector keamanan
berujung pada usaha untuk menolak orientasi eksternal dalam kerjasama
keamanan kawasan selain yang berkiblat ke Barat dan memasukkan Negara-
negaranya dalam struktur NATO yang terbentuk tahun 1994 dan semua Negara-
negara Asia Tengah, kecuali Tajikistan, untuk masuk didalamnya.
Disisi lain dari perspektif AS, kerjasama keamanan di Asia Tengah ketika
waktu itu adalah sebuah bentuk respon untuk menyingkirkan keberadaan Rusia di
wilayah tersebut. Ketidak-ikutsertaan Rusia dalam keputusan perluasan NATO
tahun 1994-1995 dilahirkan oleh penguatan strategis pengaruh Rusia dalam
melakukan sphere of influence. Percepatan aksi PfP dan spirit PfP tercermin
dalam beberapa usaha untuk menyeimbangkan penguatan Rusia kembali dan
usahanya membentuk kerjasama keamanan Russocentric dibawah pengawasan
CIS.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) adalah organisasi politik yang
pada awalnya dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan keamanan seluruh
anggota dibawah prinsip-prinsip Piagam PBB dari agresi Uni Soviet pada masa
Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin tidak mengakibatkan aliansi militer ini
bubar, tetapi mengakibatkan perubahan struktur, organisasi, kemampuan dan
tujuan strategis yaitu dalam hal kemampuan militer. Selain itu, NATO juga
memperluas keanggotaannya ke wilayah Eropa Timur (Polandia, Hongaria,
Republik Ceko). Keberhasilan ekspansi NATO ke wilayah Eropa Timur
menambah jumlah negara anggota NATO diwilayah ini.
Bersamaan dengan adanya ekspansi NATO, aliansi ini juga berusaha
untuk mendukung transformasi di negara-negara bekas pengaruh Uni Soviet di
Eropa Tengah dan Timur seperti Hungaria, Polandia dan Cekoslovakia yang
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
73
Universitas Indonesia
menjadi pelopor negara Eropa Timur yang mengajukan aplikasi sebagai anggota
NATO.5
Pada tahun 2004, Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania, Romania, Slovakia
dan Slovenia bergabung menjadi anggota NATO. Hingga saat ini, negara anggota
NATO bertambah menjadi 28 negara dengan masuknya Albania dan Kroasia pada
tahun 2009. Negara yang tergabung kerjasama militer dan terikat dalam NATO
membuat anggotanya disyaratkan untuk meningkatkan pembiayaan militernya.
Ekspansi NATO ini dimaksudkan sebagai cara untuk menyebarkan nilai
demokrasi dan ,menangkal kemungkinan agresi Rusia dimasa yang akan datang.
Pada tahun 2003, Perang Irak memaksa dan membagi anggota NATO
menjadi dua bagian. Perancis dan Jerman menolak dengan tegas adanya perang.
Turki juga menolak adanya serangan AS di Irak. Disaat yang sama, NATO
menjadikan Rumania sebagai salah satu negara anggotanya dan berencana akan
makin meluas lagi kewilayah Timur dan mendekati perbatasan Rusia. Ketakutan
akan potensi kekuatan besar yang dimiliki oleh NATO ini memperkuat sikap
nasionalisme dan politik anti-Barat di Rusia. Dan untuk mengantisipasi hal ini,
NATO membentuk kategori atas organisasi kerjasama untuk perdamaian yang
diikuti oleh hampir seluruh negara di Eropa Timur dan negara bekas Uni Soviet
termasuk Rusia didalamnya.
Namun disisi lain, adanya serangan NATO terhadap Serbia menambah
ketakutan NATO terhadap ancaman ekspansi NATO ke Timur Eropa. Selain itu,
NATO juga menjalin kerjasama dengan Georgia dan Ukraina dimana
menimbulkan perang melawan Rusia pada tahun 2008.6 NATO mulai
menggunakan militernya untuk mengatasi masalah kolektif politik kepentingan,
termasuk stabilitas regional. Sejak perang Dunia II, khususnya selama Perang
Dingin, keamanan Eropa sangat bergantung pada perlindungan AS melalui NATO
dengan membelanjakan 300 milyar dolar AS atau sekitar 40-45 % dari anggaran
5 Nurani Chandrawati, “Penggabungan Eropa Tengah dan Timur kedalam Uni Eropa : Analisis
Dampak Bagi Indonesia” Jurnal Luar Negeri (Eropa Tengah dan Timur Bagi Indonesia) BPPK
Kemlu, 2004. 6 Devi Oftasari, ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
74
Universitas Indonesia
Militer Dunia. Sedangkan Uni Eropa (UE) total menghabiskan 170 milyar dolar
AS.7
Selama Perang Dingin, AS menempatkan sekitar 300.000 pasukan
militernya di Eropa yang dilengkapi dengan pesawat penyerang, tank dan
peralatan lainnya. Setelah Perang Dingin berakhir, kekuatan personil kemudian
dipangkas sekitar 100.000 personil dan tetap eksis hingga sekarang. Hal ini
dikarenakan negara-negara anggotanya percaya bahwa dengan adanya NATO
akan menjamin adanya stabilitas.
Struktur komando NATO berevolusi selama Perang Dingin dan akibatnya,
16 negara anggota diperkirakan memiliki kekuatan sekitar 5.252.800 militer aktif,
termasuk sebanyak 435.000 pasukan AS dikerahkan dibawah struktur komando.
Pada tahun 2000, pasukan NATO aktif berkisar pada jumlah 3.448.590 ke
3.986.045 pada tahun 2001. Terjadi peningkatan sekitar 16 %. Saat ini, 28
anggota NATO mempertahankan kekuatan 3.793.785 militer aktif termasuk
137.836 pasukan dikerahkan oleh AS.8
Sejak tahun 2006, NATO menempatkan pasukannya di Afghanistan
dengan nama International Security Assisstance Forces (ISAF) sebanyak 50.000
pasukan. Anggaran militer NATO dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan
dan terbesar diantara pengalokasian kepada lainnya. Lebih dari setengah dana
pengeluaran NATO digunakan untuk membayar biaya operasional dan
pemeliharaan staf militer internasional. NATO menghabiskan dana sekitar 220
milyar dolar AS untuk biaya kekuatan militer. Anggaran ini mencakup biaya
administrasi yang berhubungan dengan kegiatan militer organisasi terserbut
seperti armada operasi dan badan pemeliharaan.
Dalam segi persenjataan NATO memiliki 11.505 tank, 22.790 kendaraan
lapis baja, 1.327 helikopter penyerang, 3.802 pesawat tempur, 211 kapal induk,
7 A. Agus Sriyono, Trans-Atlantik Di Simpang Jalan : Percikan Pemikiran Diplomat Muda, PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm.175. 8 W. Bruce Weinrod and Charles L. Barry, “NATO Command Structure Considerations For the
Future” Center for Technology and National Security Policy, National Defense University, 2010.
Diunduh dari
http://www.ndu.edu/CTNSP/docUploaded/DTP%2075%20NATO%20Command%20Structure.pd
f.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
75
Universitas Indonesia
133 kapal selam.9 Dalam persenjataan nuklir, AS memiliki 12.000 hulu ledak
nuklir, Perancis 350 hulu ledak nuklir dan Inggris 185 hulu ledak nuklir.
Selain itu, NATO juga memiliki sejumlah basis militer di wilayah Eropa
dan negara yang berbatasan dengan wilayah Rusia yang digambarkan dalam tabel
berikut:
Tabel III.1
Persebaran Basis Militer NATO dan US di Eropa
Bosnia and Herzegovina Basis eagle di tuzla (EU/US), kamp
McGovern (pasukan PBB). Bosnia dan
Herzegovina (selatan dan timur), pabrik
logam banja luka,
Bulgaria Area pelatihan di Novo Selo, basis
militer di Novo Selo, pangkalan udara
dekat Plovdiv
Czech Republic-Poland Basis pertahanan misil
Romania Basis militer di Mihail Kogalniceanu,
Constanza Badabag, Cincu dan tempat
latihan di Smardan
Serbia, Kosovo Camp Bondsteel, basis militer di
Urosevac
Turkey Pangkalan udara Incirlik di Adana
Guam (USA) Basis Camp Andersen
Kyrgyzstan (NATO dan AS) Basis NATO-AS di Manas/Ganci
Sumber: SIPRI Policy Paper No.18. Diakses dari http://first.sipri.org
9 Terdapat dalam artikel “Perjanjian CFE” yang diakses melalui http://first.sipri.org.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
76
Universitas Indonesia
Tabel III.2
Kekuatan Militer NATO tahun 1999 – 2009
Sumber : Institute for Strategic Studies (IISS)
Hal yang sama dengan kebijakan AS adalah terhadap GUAM (Georgia,
Ukraina, Azerbaijan, Moldova), sebuah kelompok kawasan tidak resmi yang
dibentuk pada pertengahan tahun 1990-an di bekas Republik Soviet, yang tidak
menyenangi kerjasama dalam kerangka CIS dan berharap untuk membentuk
kerangka kerjasama yang sama untuk melakukan Balancing terhadap Rusia.
GUAM (sekarang GUUAM, dengan penambahan Uzbekistan didalamnya) adalah
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
77
Universitas Indonesia
satu-satunya struktur kerjasama kawasan di bekas wilayah Rusia yang didukung
oleh AS.
Jika perspektif AS pada keterlibatan Rusia di kawasan tersebut adalah
ambivalen dalam pertengahan dan akhir 1990-an, lain halnya dengan keterlibatan
Iran di kawasan tersebut yang jelas bermusuhan. Kepentingan Iran yang sangat
terlibat (positif dan negatif) dalam Asia Tengah dan dalam pengembangan energi
Kaspia. Iran berhak mendapatkan porsi dari rute ekspor yang dikembangkan di
laut Kaspia dan memberikan sebuah jalan di wilayah selatan yang jelas menjadi
alternatif untuk energi ekspor.
Namun AS telah menyatakan bahwa Iran termasuk dalam kelompok
teroris internasional dan telah menerapkan sanksi ekonomi terhadap Iran di tahun
I996 (termasuk juga Libia pada waktu itu). Perusahaan-perusahaan besar AS
dilarang melakukan investasi atau terlibat di wilayah Iran dan Amerika Serikat
sangat kecewa dengan negara-negara Asia Tengah karena telah menjajaki kerja
sama energi dengan negara itu. AS berusaha mencegah perkembangan ekspor
lewat rute selatan yang melalui Iran.
Sebaliknya, perspektif AS pada keterlibatan Cina di Asia Tengah
kurang memiliki dorongan strategis yang jelas. Adanya usaha jalur pipa Cina
hanya menarik sedikit perhatian bagi kepentingan AS. Hal ini disebabkan oleh
keraguan AS mengenai kelangsungan hidup komersial Cina.
AS menyambut pembentukan Shanghai Lima (sekarang Organisasi
Kerjasama Shanghai atau SCO) dengan ketidakpedulian. Sejauh bertujuan untuk
tujuan aslinya yaitu menyatakan menyelesaikan masalah perbatasan yang sejak
lama telah menjadi kendala, selama itu pula AS menganggapnya baik-baik saja.
Tampaknya hanya ada sedikit kekhawatiran AS bahwa ini akan
berkembang menjadi lembaga multilateral yang lebih substansial, setidaknya
karena sedikitnya keyakinan pada kekuatan-politik yang malah akan berpotensi
kompetitif bagi kepentingan Rusia dan China itu sendiri karena mereka
menetapkan batasan cukup ketat pada pengembangan inisiatif ini.
Bergantinya kepemimpinan Pemerintah AS yaitu Presiden Bush pada
Januari 2001 dan penyebaran kewajiban kembali di kawasan Asia Tengah
memunculkan perhatian para actor kawasan dan pelaksanaan pembangunan
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
78
Universitas Indonesia
energy didalamnya, bahwa AS akan mengurangi keterlibatannya di kawasan
tersebut. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terjadi akibat peristiwa penyerangan
WTC pada September 2011 yang melahirkan kebijakan Perang terhadap Teror
(War on Teror).
Dalam fase ketiga dari kebijakan AS di Asia Tengah terjawablah dengan
jelas apa yang menjadi perdebatan tentang letak Kawasan Asia Tengah di dalam
Kebijakan Luar Negeri AS. Target utama AS dalam menghadapi Al Qaeda adalah
Afganistan. Untuk mendukung Aliansi Utara menghadapi Taliban memasuki
Afganistan dari utara, AS harus meningkatkan hubungan strategisnya dengan
Negara-negara Asia Tengah. Secara umum, keberadaan fasilitas militer di
Uzbekistan menjadi pusat perintah dan poin awal untuk pasukan khusus dan
operasi pencarian dan penyelamatan, angkatan udara dan pastinya untuk pasukan
“Predator” (predator drones).10
Dengan dukungan terhadap kebijakan War on Teror oleh Presiden Rusia,
Vladimir Putin, kebijakan utama untuk meningkatkan peran keamanan Amerika di
Asia Tengah, AS bergerak cepat untuk mengamankan fasilitas akses militer di
Kyrgyzstan (Manas) dan Uzbekistan (Khanabad) dan untuk menempatkan
pasukan disana dalam jumlah yang terbatas. Pada awal tahun 2003, jumlah
pasukannya diperkirakan sebanyak 3000 personel militer AS di Kyrgyzstan dan
1000 personel militer di Uzbekistan.
Bagaimanapun, Asia Tengah tidak hanya dilihat sebagai tempat singgah
operasi militer di Negara tetangganya tetapi lebih dari itu. Asia Tengah dianggap
dapat menjadi tempat penyebaran terorisme. Kekhawatiran ini disebabkan oleh
dekatnya hubungan Al-Qaeda dengan the Islamic Movement of Uzbekistan (IMU),
yang awalnya berasal dari Afganistan dan Tajikistan masuk kedalam Kyrgyzstan
pada tahun 1999 dan 2000. Mendalamnya keterlibatan strategi AS di Asia Tengah
dibarengi oleh meningkatnya kebutuhan pendampingan keamanan di kawasan
tersebut. Besarnya bantuan yang diberikan adalah sekitar 580 milyar US$ dalam
angaran tahun 2002. Besaran ini meningkat dua kali lipat dari anggaran tahun
2001.
10
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
79
Universitas Indonesia
Kerjasama yang dilakukan oleh AS tidak terlepas dari kepentingan
nasional AS yaitu pertahanan negara, mempromosikan nilai-nilai demokratis AS,
menciptakan tatanan dunia yang baru, dan memperbesar kesejahteraan ekonomi
negaranya.11
Kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh AS ini tersirat dalam
National Security Strategy tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut :
“In keeping with our heritage and principles, we do not
use our strength to press for unilateral advantage. We
seek instead to create a balance of power that favors
human freedom: conditions in which all nations and all
societies can choose for themselves the rewards and
challenges of political and economic liberty. In a world
that is safe people will be able to make their own lives
better. We will defend the peace by fighting terrorists and
tyrants. We will preserve the peace by building good
relations among the great powers. We will extend the
peace by encouraging free and open societies on every
continent.”12
Selain kepentingan nasional AS tersebut, kondisi internasional yang saat
ini sangat dinamis ikut mempengaruhi kebijakan luar negeri AS. Kebijakan
pertahanan negara sangat dikedepankan mengingat kondisi internasional yang
dapat membahayakan AS, yaitu seperti terorisme, idealisme radikal, dan
sebagainya. Perang melawan terorisme secara terang-terangan dikumandangkan
oleh AS dan sekutu-sekutunya.
Negara-negara Barat, terutama AS, memiliki kepentingan juga dalam hal
menyebarkan prinsip kebebasan dan demokrasi. Mempromosikan stabilitas
regional, demokrasi, good governance, merupakan dasar dari kebijakan luar
negeri AS. Ancaman terorisme transnasional, perdagangan illegal, dan sebagainya
merupakan bentuk ancaman yang menjadi perhatian AS saat ini. Sejak tragedi 11
11
Thomas D. Kraemer, “Addicted To Oil : Strategic Implications of American Oil Policy”,
Strategic Studies, May 2006, hlm 9-10. 12
Ibid., hlm 9.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
80
Universitas Indonesia
September 2001, kebijakan luar negeri AS meluas kepada perlawanan terhadap
teroris. AS secara gencar menyuarakan perang terhadap teroris dan mencari
aliansi. Selain perang melawan teror, AS juga mempromosikan nilai-nilai
kebebasan dan demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS
Donald Rumsfeld sebagai berikut:
“to win the war on terror, we must also win the
war of ideas.”13
Gagasan AS untuk mempromosikan kebebasan dan nilai-nilai demokrasi
tercantum dalam National Security Strategy yang berbunyi sebagai berikut :
“Freedom is the non-negotiable demand of
human dignity; the birthright of every person—
in every civilization. Throughout history,
freedom has been threatened by war and terror;
it has been challenged by the clashing wills of
powerful states and the evil designs of tyrants;
and it has been tested by widespread poverty and
disease. Today, humanity holds in its hands the
opportunity to further freedom’s triumph over
all these foes. The United States welcomes our
responsibility to lead in this great mission”.14
“The great struggles of the 20th century between
liberty and totalitarianism ended with a decisive
victory for the forces of freedom—and a single
sustainable model for national success: freedom,
democracy, and free enterprise”.15
13
Ibid. 14
Ibid. 15
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
81
Universitas Indonesia
Dalam The National Security AS secara eksplisit disebutkan bahwa tipe
pemerintahan yang menjadi dasar jalannya pemerintahan suatu negara
mencerminkan nilai-nilai demokratis AS :
“The great struggles of the 20th century between
liberty and totalitarianism ended with a decisive
victory for the forces of freedom—and a single
sustainable model for national success: freedom,
democracy, and free enterprise.”16
Hal ini dapat dilihat pada saat Rose Revolution terjadi, Georgia
mengatakan bahwa memiliki elemen yang dijunjungnya yaitu demokrasi. Prinsip
demokrasi tersebut diusung Georgia tidak hanya di negaranya namun juga bagi
Eurasia. Presiden Saakhsvilli menyuarakan demokrasi sebagai salah satu elemen
negaranya. Saakashvilli menyebut Georgia sebagai “beacon of democracy” pasca
periode runtuhnya Uni Soviet. Sejak saat itu, demokrasi menjadi elemen yang
dalam pembangunan politik yang mengalami stagnasi di Eurasia. Ukraina, Asia
Tengah, dan kawasan Kaukasus berharap bahwa demokrasi dapat membawa
kawasan tersebut pada masa depan yang lebih baik.
Perkembangan ini sangat menguntungkan AS yang mengusung kebebasan
dan demokrasi dalam kebijakan luar negerinya. Presiden AS pada saat itu,
Presiden George W. Bush, sedang giatnya mempromosikan demokrasi lebih jauh
ke kawasan Timur Tengah. Kebijakan luar negeri AS saat itu adalah
mengedepankan elemen demokrasi. Pada bulan Mei 2005 Presiden Bush
berkunjung ke Tbilisi Georgia. Dimana kunjungan tersebut merupakan pertama
kalinya presiden AS berkunjung ke Asia Tengah atau kawasan Kaukasus.
Kunjungan tersebut menandakan bentuk apresiasi AS terhadap Georgia yang
menjadikan demokrasi sebagai elemen penting dalam kebijakan luar negerinya.
Dalam hal ini, Georgia secara simbolis merupakan gambaran dari keberadaan AS
di kawasan tersebut. Georgia dipandang AS sebagai negara yang dapat
mencerminkan betapa pentingnya pembentukan demokrasi dalam suatu negara.
16
Ibid.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
82
Universitas Indonesia
Demokrasi yang ada di Georgia merupakan bentuk kepentingan AS di kawasan
Kaukasus.
Georgia memiliki arti penting bagi AS yaitu Georgia membantu AS dalam
menjunjung prinsip-prinsip yang diusung oleh AS yaitu keadulatan negara,
demokrasi, dan keamanan. Sehingga Georgia menjadi titik utama sphere of
influence AS di Kaukasia, yang membentuk mata rantai politik luar negeri AS di
Eurasia dan meneruskannya ke wilayah Asia Tengah.17
Dua karakteristik dari keterlibatan AS di Asia Tengah adalah saling
bertentangan. Satu, dia menekankan pada hubungan bilateral, misalnya pada
khususnya pada Uzbekistan. Walaupun Pemerintahan AS menunjukkan bahwa
kerjasama kawasan adalah penting, khususnya di bidang transportasi, daya listrik
dan transmisi, juga pengaturan air, namun pada nyatanya pemerintah AS hanya
sedikit memberikan bantuan untuk meningkatkan hubungannya menjadi
kerjasama kawasan. Menurut Robert Legvold, tidak ada posisi formal yang jelas
yang menyatakan bahwa Rusia mendukung institusi kawasan yang menyangkut
wilayah Asia Tengah, sama halnya dengan perhatian pemerintah AS dalam
memberikan perhatian atau dukungan atau inisiatif kerjasama di kawasan
tersebut.18
Hal ini disebabkan tidak hanya bahwa AS kurang memiliki kepentingan
yang besar dalam hal kerjasama kawasan, namun karena AS merasa kurang
mendapatkan hal yang positif dalam kerjasama ini. Komitmen bilateral,
cenderung mengurangi insentif yang sudah ada terhadap kerjasama kawasan.
Sebagai gambaran, ketidakjelasan dalam lingkungan kerjasama keamanan yang
ditambah dengan kesulitan keamanan yang dihadapi semua Negara kawasan
tersebut, tampaknya akan mengarah pada keamanan regional.
Bagaimanapun juga, kepastian AS dalam memberikan garansi keamanan
kepada Uzbekistan menjadi berkurang atau hilang sama sekali ketika masuk
kedalam struktur keamanan regional. Padahal, pada Maret 2002, pada Strategic
Partnership and Cooperation Framework Agreement antara AS dan Uzbekistan
menekankan bahwa AS akan terlibat dengan serius terhadap ancaman luar yang
mengganggu keamanan dan kesatuan wilayah Uzbekistan.
17
Devi Oftasari, loc. cit. 18
Legvold, “Great Power Stakes in Central Asia”, loc. cit., hlm. 29–30.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
83
Universitas Indonesia
Padahal, peningkatan bantuan militer AS kepada Uzbekistan dapat
menggangu keharmonisan hubungan Negara-negara di wilayah Asia Tengah. Hal
ini dapat menyebabkan actor lain di kawasan mencari dukungan alternatif lain dari
luar dan melemahkan komitmen mereka terhadap Kekawasanan Asia Tengah.
Selain itu, actor lain di kawasan akan mencari kompensasi lain untuk mengatasi
kerawanan baru terhadap Negara mereka dengan mengurangi kedekatan hubungan
dengan AS. Dan hal ini akan berpengaruh pada Kewilayahan Asia Tengah.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
84
Universitas Indonesia
Tabel III.3
Organisasi Regional di Wilayah Post-Soviet States
Sumber : S.G. Luzyanin dan K.S. Gadjiev, Glasnost, Vol.4 No.2 Oktober 2008-Maret
2009, hlm. 21-22.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
85
Universitas Indonesia
Satu hal yang menjadi pengecualian terhadap focus kebijakan hubungan
bilateral AS adalah GUUAM. Badan ini telah menjadi tidak aktif pada awal tahun
di decade ini. Uzbekistan, satu-satunya anggota Negara Asia Tengah, telah
menghentikan komitmen keanggotaannya pada tahun 2002.
Setelah penyerangan teroris terhadap New York dan Washington pada
tahun 2001, AS bermaksud untuk merevitalisasi organisasi ini, menekan
Uzbekistan untuk memikirkan ulang partisipasinya dan menyediakan bantuan
ekonomi untuk organisasi ini. Di bulan Mei 2002, pemerintah AS menganggarkan
46 milyar dolar AS untuk proyek bersama meningkatkan perdagangan dan
membuat prosedurnya dan juga untuk memberantas kejahatan dan perdagangan
narkotik.
Secara keseluruhan, terutama Tajikistan, bantuan keamanan adalah
kategori yang paling besar. Uzbekistan sendiri mendapatkan lebih dari dua kali
bantuan dan termasuk kedalam Negara kedua penerima bantuan keamanan dari
AS. Tajikistan menerima bantuan keamanan sebesar 79 milyar dolar AS pada
tahun 2002. Alokasi terbesar kedua adalah sector bantuan kemanusiaan sebesar 52
milyar dolar AS. Dalam pertemuan Yalta pada July 2003, kelompok ini
meluncurkan tiga proyek, yaitu latihan unit anti-teror, pembangunnan pusat
informasi yang memfokuskan pada terorisme dan narkotik dan juga gedung
parlemen.
Karakteristik kuat kedua yang menggambarkan keterlibatan pemerintahan
AS di kawasan tersebut adalah besar dan berat-nya bantuan yang diberikan terkait
keamanan, khususnya yang menyangkut pengawasan batas wilayah, non-
proliferasi dan anti narkotik dan anti teroris dan juga makin luasnya bantuan yang
diberikan dalam bidang ini. Bantuan dalam bidang ekonomi, social dan kesehatan,
dan masalah masyarakat sipil mendapatkan porsi yang lebih kecil di kawasan ini
secara keseluruhan.
Hal ini disebabkan oleh tujuan utama pemerintah AS masuk ke wilayah itu
adalah untuk memberikan bantuan keamanan khususnya untuk Uzbekistan,
walaupun hal ini mempunyai kadar berbeda antara satu Negara dengan Negara
lain, tergantung Negara penerimanya.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
86
Universitas Indonesia
Dalam hitungan yang luas dari kepentingan dan nilai dari kebijakan AS di
kawasan, dapat terlihat bahwa terjadi perluasan bahkan perubahan terhadap
agenda kebijakan normative pemerintahan AS. Pada awalnya, pemerintah AS
terus mengkritik masalah pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) kepada
Uzbekistan lalu kemudian berubah ke isu yang lebih serius dan strategis-teknis.
Kepemerintahan Bush tidak memasukkan Uzbekistan sebagai Negara yang perlu
diperhatikan dalam hal pelanggaran hak-hak asasi manusia. Insiden teroris di
Uzbekistan pada bulan Maret 2004 malah memperkuat kecenderungan AS
mengutamakan kerjasama strategis dalam perubahan internal Negara tersebut.
Di Negara lainnya, Azerbaijan misalnya, pemerintah AS beralih
perhatiannya dari ancaman serius di Baku menjadi memastikan pemilihan
presiden pada Oktober 2003 berjalan bebas dan adil. Bahkan Wakil Menteri
Dalam Negeri AS memberikan ucapan selamat lewat telepon kepada Ilham Aliev
karena kemenangannya.
Selang sebulan setelah pemilihan, pejabat senior pemerintahan, termasuk
Colin Powell dan Donald Rumsfeld, mengunjungi Azerbaijan dalam rangka
dukungan AS kepada pemerintahan. Akhirnya bantuan militer meningkat. Dan
dengan persetujuan AS, World Bank dan the European Bank for Reconstruction
and Development setuju untuk memberikan pinjaman sebesar 200 milyar dolar AS
masing-masing sebagai bagian dari bantuan keuangan pembangunan jalur pipa
Baku - Ceyhan.
Seperti biasanya, pemerintahan AS tidak pernah serius berusaha untuk
mempromosikan tujuan dasarnya yaitu penegakkan HAM ketika hal ini
mengancam kestabilitasan hubungan antar kedua Negara yang AS anggap
“berarti” bagi AS. Dan sejatinya, pemerintahan AS hanya focus terhadap
kerjasama bilateral daripada mensukseskan pembangunan struktur kawasan, baik
dari bidang militer maupun ekonomi. Terlihat dari digalakkannya program-
program World Trade Organization (WTO) daripada mensukseskan kerjasama
ekonomi kawasan dan perdagangan kawasan. Bahkan memasukkan Kyrgyzstan
sebagai satu-satunya Negara di Asia Tengah untuk bergabung dalam keanggotaan
WTO.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
87
Universitas Indonesia
Ketika AS mengumumkan bahwa AS perlu untuk mengerahkan militernya
melawan pemerintahan Taliban di Afghanistan, sebenarnya negara-negara SCO di
Asia Tengah sedang mengalami permasalahan terhadap permasalahan dengan isu
agama selama bertahun-tahun sehingga dengan segera men-support AS.
Uzbekistan dan Kyrgyzstan mempersilahkan 3000 pasukan dan peralatan untuk
ditempatkan di pangkalan Khanabad dan Manas dekat Bishek yang merupakan
hasil dari diskusi dengan General Tommy Franks, kepala US Central Command
yang bertanggungjawab atas wilayah Afghanistan.
Sementara, kedatangan US Secretary of State, Donald Rumsfeld,
bermaksud untuk membujuk Kazakhstan dan Tajikistan mengizinkan wilayah
udaranya dilewati atau digunakan pesawat tempur mereka. Hasilnya, dalam bulan
April 2002, pemerintahan Kazakh mengizinkan militer AS menggunakan tiga
badara udaranya di Almaty, Chimkent dan Jambyl.
MoU yang ditandatangani antara Kyrgyztan dan AS pada 15 Februari
2002 dapat dilihat sebagai penerimaan kehadiran militer AS di negara tersebut.
Kemudian, deklarasi bersama antara US-Uzbekistan tanggal 12 Maret 2002 dalam
Strategic Partnership and Cooperation Framework, dalam bagiannya, menyatakan
bahwa akan menjadi perhatian AS yang dalam terhadap ancaman luar yang
mengarah pada keamanan dan kesatuan wilayah Uzbekistan. Terhadap akses ke
Khanabad dan fasilitas logistik di pihak Uzbek yang berbatasan dengan
Afghanistan, AS menyediakan bantuan sebesar 160 juta dolar AS kepada
Uzbekistan dengan rincian sebesar 43 juta dolar AS di bantuan militer di 2002.
Washington juga menyediakan Tajikistan sebesar 125 juta dolar AS tahun 2002.
Sementara pemerintahan Inggris memberikan bantuan sebesar 20 juta dolar AS
kepada Kyrgyzstan di tahun yang sama.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
88
Universitas Indonesia
III. 1. 1. Kepentingan Ekonomi AS
AS merupakan negara adidaya yang memiliki sistem perekonomian yang
cukup stabil. Walaupun beberapa kali mengalami pasang surut dalam
perekonomiannya, namun tidak terlalu berpengaruh banyak dalam
perekonomiannya. Dalam hal minyak dan gas, pada tahun 2009 AS menempati
posisi paling puncak sebagai negara yang mengkonsumsi minyak paling besar di
dunia. Dengan kebutuhan minyak yang sangat besar tersebut, AS merasa
memerlukan negara-negara yang memiliki pasokan minyak yang sangat besar
untuk memenuhi kebutuhan minyak negaranya. Sehingga negara-negara dengan
persediaan sumber daya alam minyak dan gas, serta negara-negara yang menjadi
negara transit dalam pendistribusian minyak dan gas menjadi sangat penting
keberadaannya bagi AS.
Pada tahun 2006 mantan Presiden AS George W. Bush pernah
menyatakan bahwa AS bergantung pada minyak. Dalam pernyataannya tersebut
George W. Bush menambahkan bahwa kebutuhan minyak AS yang sangat banyak
sangat bergantung pada kawasan Timur Tengah. Kemudian lebih lanjut George
W. Bush menyatakan akan mengganti 75% kebutuhan minyak yang didatangkan
dari Timur Tengah dengan negara-negara penghasil minyak lainnya.
“America is addicted to oil, which is often
imported from unstable parts of the world. It
was time for the United States to move beyond a
petroleum-based economy and make our
dependence on Middle Eastern oil a thing of the
past. It’s time to replace more than 75 percent of
our oil imports from the Middle East by 2025”.19
Namun sebenarnya kebijakan negara AS akan minyak telah dinyatakan
sebelumnya oleh mantan Presiden AS Richard Nixon pada tahun 1973 mengenai
keinginan Rusia untuk mengedepankan kebutuhan akan energi yang sangat besar.
Politik internasional yang terjadi pada saat itu adalah adanya embargo minyak
19
Ibid., hlm 9.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
89
Universitas Indonesia
oleh negara-negara Arab sehingga menyebabkan keterbatasan sumber daya
minyak yang dapat diimpor oleh AS dan harga minyak yang melambung tinggi.
Sehingga muncul gagasan untuk menggantungkan sumber daya minyak ke
kawasan lain yang terbilang cukup aman.
Sebenarnya AS telah sangat berhati-hati terhadap kebutuhannya akan
minyak, terutama setelah terjadinya kenaikan harga minyak yang sangat drastis
pada tahun 1973-1973 dan 1978-1980. AS sempat menyatakan untuk mengurangi
ketergantungannya akan minyak dari luar negeri. Namun yang terjadi adalah AS
justru semakin meningkatkan ketergantungan minyaknya dari luar negeri. Bahkan
tidak hanya ke negara-negara Arab saja, namun ke negara-negara yang memiliki
sumber energi minyak yang banyak.20
AS memperluas cakupan kebijakan
negaranya kepada negara-negara pecahan Uni Soviet sejak runtuhnya Uni Soviet
tahun 1991. Hancurnya Uni Soviet tahun 1991 tersebut langsung disikapi
sejumlah investor AS dengan berburu ke negara-negara pecahan Uni Soviet,
khususnya industri migas di cekungan Kaspia.
Sejak saat itu investor AS menginvestasikan uangnya kepada negara-
negara tersebut, terutama pada industri minyak dan gas Teluk Kaspia. Pada awal
tahun 1990-an perusahaan energi Barat mengembangkan beberapa proyek seperti
ladang minyak Tengiz di Kazahstan, ladang minyak Azeri-Chirag-Guneshli
(ACG) di Azerbaijan, dan ladang gas alam Dauletabad di Turkmenistan. Sejak
saat itu, negara-negara pecahan Uni Soviet yang bekerjasama dengan perusahaan-
perusahaan AS setuju untuk membangun rute jalur pipa minyak dan gas dengan
memotong beberapa negara-negara yang dianggap AS dapat menghambat
kepentingan negaranya, seperti Rusia dan Iran.
Jalur pipa tersebut tidak hanya memotong pendapatan kedua negara
tersebut dari biaya transit, namun juga dapat mengurangi hambatan yang mungkin
terjadi akibat ketegangan politik yang ada. Selain itu, pemotongan jalur pipa
minyak dan gas tersebut memberikan peluang kepada AS untuk membangun
aliansi yang pro-AS. Sudah sejak lama jalur pipa di Eropa Timur didominasi oleh
Rusia, terutama rute jalur pipa minyak dari Teluk Kaspia menuju negara-negara
Barat.
20
S. Neil MacFarlane, “The United States and Regionalism in Central Asia”, International Affairs
(Royal Institue of International Affairs 1944), Vol. 80, No.3, hlm. 449.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Perusahaan-perusahaan dan konsultan AS mendesak negara-negara bekas
Uni Soviet menyetujui rute jaringan pipa migas yang menghindari negeri-negeri
yang dianggap AS sebagai musuh, yaitu Rusia dan Iran. Usaha AS untuk
memenuhi kepentingan ekonominya terkait dengan jalur pipa minyak dan gas
adalah melalui negara-negara kecil yang pro-AS di kawasan Kaukasus yaitu
Georgia dan Azerbaijan. AS menjalin kerjasama dengan kedua negara tersebut,
bersama dengan Kazahkstan dan Turkmenistan, membangun jalur pipa minyak
dan gas dibawah laut yang dapat menghubungkan Kazahkstan dan Turkmenistan
di bagian timur pesisir Teluk Kaspia, dan Azerbaijan di bagian baratnya. Jalur
pipa minyak dan gas Baku (Azerbaijan)- Tbilisi (Georgia)- Ceyhan (Turki) ini
akan menjadi jalur ekspor energi yang sangat besar menuju Mediterania. Jalur
pipa minyak ini akan sangat menguntungkan bagi AS, dan akan mengurangi
dominasi Rusia dalam hal rute energi dari Kaspia menuju Barat.21
Jalur pipa minyak dan gas ini menghabiskan dana sampai dengan 4 miliar
USD dengan saham sebesar 30% dimiliki oleh British Petroleum Inggris. Jalur ini
terpusat di Georgia, tidak membawa minyak Kaspia melalui Iran, Afghanistan dan
Pakistan, atau Rusia. Jalur pipa minyak dan gas Baku- Tbilisi - Ceyhan (BTC) ini
diresmikan pada masa pemerintahan Presiden AS Bill Clinton, dimana bersama
Azerbaijan, Georgia, dan Turki, menyatakan bahwa jalur pipa tersebut merupakan
pencapaian yang sangat penting pada akhir abad ke-20.
Pembukaan jalur pipa minyak dan gas ini, selain untuk kepentingan
ekonomi AS, juga merupakan bagian rencana geostrategis besar AS untuk
mendapatkan pengaruh di negara-negara bekas wilayah Uni Soviet, sejak adikuasa
ini bubar pada tahun 1991. Strategi AS punya tiga tujuan utama yaitu, pertama,
memastikan pintu masuk dunia Barat pada cadangan energi di wilayah Kaspia dan
Asia Tengah. Kedua, mengurangi pengaruh Rusia di wilayah bekas Uni Soviet
Selatan, serta ketiga meningkatkan demokrasi di negara-negara kawasan, yaitu
dari Georgia di ujung Barat sampai Kirgizia yang berbatasan dengan Cina.
Wilayah ini sampai disebut pipastan, karena begitu besarnya cadangan energi
yang ada.
21
Lawrence Saez, “US Policy and Energy Security in South Asia : Economic Prospects and
Strategic Implications”, Asian Survey, Vol. 47, No. 4 (July/August 2007), hlm. 660.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
91
Universitas Indonesia
Pentingnya keberadaan minyak Laut Kaspia juga semakin meningkat.
Kawasan Kaspia terbilang sangat strategis sebagai pemasok minyak, mengingat
kondisi kawasan tersebut yang stabil dan tidak penuh konflik. Tidak seperti
pemasok minyak lainnya yang cenderung rawan konflik dengan kondisi politik
negara yang tidak stabil seperti di Iran, Arab Saudi, dan Venezuela. Selama
beberapa dekade terakhir, kawasan Kaukasus dipandang sebagai suatu
kesempatan yang bagus untuk menciptakan tempat transit yang menghubungkan
Eropa ke Asia Tengah, China, dan India melalui Laut Hitam, Georgia, Azerbaijan,
dan Laut Kaspia.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
92
Universitas Indonesia
BAB IV
KESIMPULAN
Setelah lepas dan merdeka dari Uni Soviet, negara-negara Post-Soviet
States dihadapkan pada permasalahan internal dan juga antar negara di kawasan
yang membutuhkan negara lain untuk mengatasinya. Banyak negara pun mencoba
untuk memasuki kawasan Asia Tengah sebagai kebijakan luar negeri strategisnya.
Namun respon yang diberikan tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh faktor
historis internal negara-negara tersebut dengan Rusia yang membuatnya harus
memikirkan kembali dampak atau respon yang diberikan oleh Rusia.
Bagi negara-negara di Asia Tengah, AS dianggap sebagai ancaman dan
mereka memilih untuk melakukan Bandwagoning secara bilateral daripada
melakukan Balancing secara multilateral-kawasan. Masalah pelanggaran
kemanusiaan, baik dari bidang politik dan ekonomi yang kerap terjadi membuat
mereka harus melakukan hal tersebut karena para pemangku kebijakan negara-
negara tersebut mengetahui bahwa pemerintahan AS akan menjadi lebih
kooperatif dan tidak terlalu menekan mereka tentang isu pelanggaran HAM dan
masalah kemanusiaan jika mereka memfasilitasi apa yang AS inginkan dari
mereka, yaitu akses sumber daya energi. Khususnya jalur pipa energi untuk
menghindari dominansi jalur energi dari Rusia yang selama ini digunakan.
Hal ini dikarenakan dahulu, sebelum pecahnya Uni Soviet, Laut kaspia
sepenuhnya dikontrol oleh Kremlin, namun setelah merdeka wilayah ini
mengalami perubahan pergolakan secara geopolitik. Sekarang negara-negara baru
Post Soviet States ini yang mengontrol deposit mineral dan energi dalam jumlah
yang besar dan mengundang ketertarikan para investor asing dari negara-negara
besar. Disamping itu, proyek pipanisasi minyak dan gas bumi di Asia Tengah
adalah proyek yang menguntungkan karena wilayah Asia Tengah adalah wilayah
landlock, khususnya bagi Azerbaijan dan Kazakhstan sebagai penghasil energi
utama sehingga kedua negara ini pasti membutuhkan negara lain guna
mengekspor kemampuan energinya.
Sementara, rute pipanisasi yang eksis adalah yang melalui wilayah Rusia.
Hal inilah yang membuat Rusia tidak ingin kehilangan pengaruhnya di wilayah
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
93
Universitas Indonesia
Asia Tengah. Jaringan pipa ini juga yang menjadi alasan dari kerjasama Rusia
dengan China dalam rangka membangun jaringan pipa dari Kazakstan menuju
China dengan nilai proyek sebesar US$ 10 milyar. Untuk itulah peran Rusia di
Asia Tengah tidak dapat dielakkan lagi oleh China. Sehingga melalui kerjasama
strategis kedua negara ini China berusaha menggunakan pengaruh Rusia di Asia
Tengah guna melancarkan kebutuhannya akan keamanan dan penyaluran energi
dari Rusia-Asia Tengah menuju China.
Pada awalnya, kebijakan pemerintah Clinton dalam orientasi ketimuran
berfokus pada pembangunan dan impor energi dari kawasan. Agenda lainnya
adalah mempromosikan keanggotaan NATO dan keterikatan program PfP nya
dengan negara-negara Asia Tengah, namun seiring dengan berkembangnya situasi
dunia internasional, khususnya pasca tragedi 9/11, AS mempunyai agenda lain
yaitu pemberantasan teroris internasional. Namun dalam perjalanannya, mulai
terlihat bahwa sebenarnya AS memilki agenda jangka panjang yang
membahayakan kepentingan Rusia dan Asia Tengah.
Persepsi ancaman yang sama pun diberikan China terhadap keberadaan
AS di Asia Tengah dalam agenda pemberantasan teroris internasional di
Afghanistan dan Irak. Penempatan pasukan militer AS di Asia Tengah
dipersepsikan China sebagai bentuk penangkalan terhadap lingkungan strategis
China dan sebagai bagian dari hegemoni global AS. Bagi China, Asia Tengah
dianggap sebagai sentral dari kekuatan geopolitik karena menghubungkan antara
dunia Timur dan Barat. Ditambah lagi, China harus memikirkan alternatif lain
dari ketergangtungannya dari sektor energi Timur Tengah dan juga hidrokarbon.
Dalam cakupan yang lebih luas, perdagangan Cina dengan kawasan
tersebut meningkat dari sekitar 500 juta dolar AS pada tahun 1992 menjadi 1.2
miliar di tahun 1999 dan akan terus meningkat. Tantangan dari permasalahan
pemisahan diri suku Uighur menambah kepentingan Cina di kawasan. Hal
tersebut tercermin dari buku putih pertahanan Cina yang memasukkan hal tersebut
kedalam ancaman terhadap keamanan nasional. Tapi, tumbuhnya kehadiran
strategi AS di kawasan membuat China lebih memperdalam lagi strategi
keamanan Cina di kawasan secara bersamaan.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
94
Universitas Indonesia
Dalam perspektif AS, dengan adanya ancaman terhadap keseimbangan
keamanan hubungan negara-negara di kawasan Asia Pasifik yaitu dengan China
sebagai salah satu negara pengekspor teknologi rudal di kawasan tersebut,
membuat AS melakukan penyeimbangan militer di Asia Pasifik. Diantaranya
dengan program Pertahanan Rudal Nasional (National Misille Defense) dan
rencana pergelaran Pertahanan Rudal Mandala di Asia Timur.
Hal inipun direspon balik China dengan melakukan pendekatan yang
intense kepada Rusia hingga pada tahun 1997, sebagai bagian dari komitmen yang
telah terjadi pada tahun 1996 lewat Shanghai Five, Presiden Jiang Zemin dan
Presiden Yeltsin sepakat untuk mempromosikan kebijakan internasional yang
berbasis pada multipolarisasi, menghormati perjanjian ABM tahun 1979 antara
AS dan bekas Uni Soviet dan menentang kebijakan AS dan NATO yang bertajuk
humanitarian intervention seperti yang terjadi di Kosovo dengan gaya
unilateralisme-nya.
Para pemimpin Rusia dan China khawatir akan implikasi yang
ditimbulkan dari intervensi urusan dalam negeri di negara-negara multi etnis ini
dimana Rusia dan China termasuk didalamnya, yang tengah menghadapi gerakan
separatisme dan tuntutan untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar di
Xinjiang dan Tibet serta penolakan kuat dari Taiwan untuk reunifikasi dengan
China kembali.
Ditambah, bagi China sendiri merasa penting untuk membatasi tindakan
AS terhadap sanksi yang diterapkan bagi China dalam hal masalah HAM. Adanya
akibat buruk dari pembunuhan yang berskala besar yang terjadi dilapangan
Tianemen pada tahun 1989 telah membawa dampak semakin menguatnya
supremasi AS dalam menekan China yang berkaitan dengan masalah HAM.
Faktor lainnya adalah aliansi keamanan AS-Jepang yang secara sengaja
melibatkan Taiwan yang menjadi keberatan bagi China. Dilain pihak, Rusia
mengkritik aliansi tersebut karena mengecualikan Rusia dalam masalah di
wilayah Rusia Timur Jauh dan beberapa pulau lain yang disengketakan antara
Rusia dengan Jepang.
Sementara itu, kerjasama strategis Rusia dan China terus meningkat.
Dalam kerjasama ekonomi, kemitraan ini menawarkan alternatif teknologi,
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
95
Universitas Indonesia
pendanaan dan pasar bagi bahan baku, barang dan jasa bagi satu sama lainnya.
Guna mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, China
membutuhkan pasokan bahan baku seperti minyak, besi, baja alumunium, sulfur
dan berbagai bahan mineral.
Dan sebagian dari kebutuhannya itu dipasok oleh Rusia yang kaya akan
kebutuhan tersebut. Nilai perdagangan China-Rusia adalah US$ 3.3 milyar pada
tahun 1999 senilai 1.8 % dari nilai perdagangan luar negeri China dan 5.7 dari
nilai perdagangan luar negeri Rusia. Potensi perdagangan dan investasi kedua
negara sangat besar. Kedua negara juga menjalin kerjasama dalam bidang civilan
high tech, termasuk dalam bidang perminyakan.
Khusus mengenai penjualan senjata dan transfer teknologi, China adalah
pasar penting bagi senjata Rusia. Dalam beberapa tahun terakhir, empat puluh
persen dari ekspor senjata Rusia dikonsumsi oleh China dengan nilai sekitar US$
1 milyar per tahun. Sementara data lain menunjukkan bahwa nilai ekspor senjata
Rusia yang dikonsumsi China sebesar US$ 2 milyar per tahun. Dilaporkan bahwa
kedua negara pada tahun 1999 telah menandatangani paket penjualan militer dan
antara tahun 2000 dan 2004 bernilai US$ 20 milyar. Dalam kerjasama tersebut,
Rusia melakukan transfer pengetahuan tentang desain hulu ledak dan teknologi
sistem pemandu AS.
Transfer teknologi demikian merupakan kunci keberhasilan bagi
upgrading potensi militernya. China dan Rusia telah memiliki mekanisme bagi
transfer teknologi dan intelegence sharing. Rusia bahkan mengijinkan China
menggunakan sistem GPS Rusia yang dikenal dengan GLNASS. Demikian pula
real time satelite imagery dipasok Rusia ke China. Pada dasarnya, kerjasama di
bidang persenjataan dan transfer teknologi China dan Rusia adalah simbiosis.
Melalui kerjasama ini, China mendapatkan kemampuan untuk menandingi AL
dan kekuatan udara AS, juga dapat mempertahankan kelangsungan industri
pertahanannya melalui dana hasil penjualan senjata China dan juga dapat
memodernisasi angkatan bersenjatanya.
Pada 15 Juni 2001, Presiden Jiang Zemin dan Presiden Vladimir Putin
beserta negara Asia Tengah lainnya membentuk SCO sebagai peningkatan
hubungan yang telah terjalin lewat Shanghai Five.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
96
Universitas Indonesia
Dilatarbelakangi atas dasar faktor geopolitik, ekonomi dan militer yang
sangat komplek dan melibatkan pertimbangan yang serius diantara kedua negara,
peningkatan hubungan Sino-Rusia ini merupakan sinyal pada dunia Barat, AS
khususnya, untuk mempertimbangkan kembali langkah-langkah unilateralnya di
Asia Tengah.
Eksistensi Rusia dan China dalam SCO pada dasarnya dipandang sebagai
simbol kebesaran SCO sebagai organisasi regional, sehingga begaimanapun kedua
negara itu merupakan penentu dalam merealisasikan misinya. Untuk itu tidak
mengherankan bila srtategi multipolar SCO banyak diwarnai oleh kedua negara
besar ini. Dalam berbagai media massa internasioanl nampak China dan Rusia
sering menyebut hegemoni AS dan kekuatan politik AS sebagai wujud
pembentukan tata baru internasional dibawah kendali PBB. Dalam
perkembangannya China dan Rusia telah memulai mengadakan kerjasama latihan
militer besar-besaran yang dimulai pada tahun 1999.
Realitas ini membuktikan bahwa baik China maupun Rusia senantiasa
berusaha membangun kekuatan besar dan berusaha meyakinkan kepada anggota
SCO lainnya di Asia Tengah bahwa dalam melihat masalah keamanan regional
harus dilakukan melalui aliansi diantara mereka. Hal ini digambarkan Rusia
kepada kelompok regionalnya bahwa saat ini ada indikasi ancaman NATO
terhadap perluasannya yang mengarah ke Timur. Sehingga harus dihadapi secara
hati-hati, begitupula munculnya aktifitas kelompok radikal di Chechnya yang
melingkupi aliansi Moskow dan Asia Tengah sehingga penting untuk saling
mengimbangi dan memberikan jaminan keamanan terhadap kedaulatan masing-
masing negara.
Disamping itu, China telah menjelaskan bahwa adanya dominasi AS
setelah berakhirnya Perang Dingin dan keberhasilannya dalam Perang Teluk serta
dukungannya terhadap keamanan Taiwan dapat menjadi ancaman yang serius di
kawasan sehingga diharapkan negara-negara anggota SCO senantiasa membangun
kekuatan ekonomi melalui berbagai kerjasama perdagangan dalam upaya
menghadapi kekuatan ekonomi Barat dan Jepang yang kini berkembang dengan
pesatnya dan seringkali juga diskriminatif serta tidak seimbang.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
97
Universitas Indonesia
Secara konkrit, pada bulan Agustus 2005, Rusia dan China juga
menyelenggarakan latihan bersama untuk pertama kalinya selama lebih dari 40
tahun ini. Meskipun dikatakan bahwa latihan ini merupakan latihan anti terorisme,
namun didalamnya juga ternasuk kombinasi senjata pertahanan melawan kekuatan
angkatan musuh konvensional yang besar. Banyak yang meragukan akan latihan
ini diperuntukkan bagi hanya perlawanan terhadap teroris karena latihan ini
dianggap juga sebagai usaha perlawanan untuk campur tangan AS diwilayah
teritorial mereka.
Peran SCO ini juga terlihat dari apa yang dilakukan Uzbekistan terhadap
kehadiran pasukan AS di negaranya. Uzbekistan pada tanggal 31 Juli 2005
akhirnya membatalkan perjanjian yang telah dibuat dengan AS mengenai
pangkalan militer AS di negaranya. Uzbekistan meminta AS untuk menutup
pangkalan militernya dan hal itu terealisasikan pada tanggal 21 November 2005
dimana tantara AS meninggalkan dan keluar dari Uzbekistan.
Contoh lainnya adalah banyaknya analis yang mengatakan bahwa Presiden
Uzbekistan, Islam Karimov adalah orang yang mengatur terjadinya demonstrasi
anti AS yang menyatakan penolakan mereka akan kehadiran AS untuk
menyelidiki Peristiwa Andijon tahun 2005. Anggota SCO lainnya juga
menunjukkan dukungan yang besar akan langkah yang dilakukan oleh Karimov
dalam menangani Peristiwa Andijon tersebut dimana China serta Rusia juga
mendukung akan penurunan hubungan yang terjadi antara Uzbekistan-AS.
Selain penjualan senjata, latihan militer bersama China – Rusia juga
diselenggarakan pada tanggal 18-25 Agustus 2006 di Valdiostok meliputi
military-political consultations, latihan yang dilaksanakan didaerah teritorial
China yaitu di wilayah Shandong dan Laut Kuning. Pada tanggal 20-23 Agustus,
latihan militer untuk aspek komando dan koordinasi dalam peperangan. Tahap
yang terakhir, pada 24-25 Agustus, latihan difokuskan pada penyelenggaraan
blokade militer, penyerangan ampibi, latihan penerbangan pesawat tempur dan
operasi penyerangan yang ditunjukkan untuk memasuki daerah lawan.
Sejumlah 70 kapal laut dan kapal selam digunakan dalam latihan ini
beserta 10.000 personil militer. Anggota militer Rusia berjumlah 1.800 personil
dan sisanya merupakan personil militer China. Kekuatan Laut ini terdiri dari 10
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
98
Universitas Indonesia
kapal dengan armada yang tempatkan di Pasifik, termasuk 100 orang infantri laut.
Sementara itu kekuatan Udara berjumlah lebih dari 20 pesawat buatan Rusia
dimana dua diantaranya yaitu Tu-95MS BEAR adalah pesawat pembom strategis,
4 buah pesawat Tu-22M3 BACKFIRE yang merupakan pesawat pembom jarak
jauh, pesawat pembom Su-24M2 FENCER, pesawat penyerang Su-27SM
Flanker, pesawat transportasi II-76 CANDID, satu pesawat pengontrol dan
penjaga A-50 MAINSTAY dan pesawat pengisi bahan bakar di udara, II-78
MIDAS beserta 100 personilnya termasuk juga peralatan penyerangan udara yaitu
12 BMD dan BTRD. China berpartisipasi dalam latihan ini dengan membawa
sekitar 8000 personil yang meliputi insinyur, pesawat anti-altileri dan unit
komunikasi, pesawat tempur, senjata khusus dan tank-tank batalion, infanteri
mekanik dan altileri serta 60 kapal laut dan kapal selam.
Sebelumnya baik pasukan udara Rusia dan China telah melakukan latihan
bersama. Begitu terlihat bahwa China sangat ingin belajar dari tentara-tentara
udara Rusia. Operasi kedua negara sejauh ini memperlihatkan hubungan yang
baik dan berjalan dengan baik karena kedua negara ini menggunakan peralatan
yang sama. Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Ivanov menyatakan bahwa pesawat
pembom strategis Rusia dapat digunakan untuk melawan teroris seperti juga
dalam hal mencegah serangan di manapun di dunia ini.
Walaupun kehadiran pasukan AS di kawasan ketika ingin menginvasi Irak
telah mendapat persetujuan Presiden Putin, kelanjutan penempatan kekuatan AS
di kawasan tampaknya mengarah pada stategi jangka panjang AS daripada untuk
keperluan militer sesaat. Dan hal ini tentu saja memalukan dan secara strategi
mengancam Rusia dan juga China
Strategi kerjasama regional SCO selain menjalankan konsep saling
mendukung (mutual support) diantara mereka dalam menciptakan keamanan
kooperatif regional, terdapat konsep dan strategi mendasar yang menjadi agenda
bagi tujuan utama organisasi tersebut. Dalam Deklarasi Shanghai, secara eksplisit
telah ditegaskan berbagai penekanan tentang betapa pentingnya pembentukan
sebuah dunia multipolar sebagai jalan menuju pembangunan bersama dikawasan.
Strategi multipolar sesungguhnya merupakan kode blok diplomatik yang
digunakan oleh Rusia dan China serta empat negara anggota SCO untuk
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
99
Universitas Indonesia
menghadang pengaruh AS di dunia. Negara-negara anggota SCO berpendapat
bahwa pengaruh AS harus diimbangi secara rasional sehingga tidak meluas dan
tidak merintangi kepentingan bersama regional dari kekuatan yang cenderung
merugikan dan menimbulkan disparitas bagi negara-negara berkembang.
Negara-negara SCO juga berpendapat bahwa “hegemoni dan politik”
kekuatan telah muncul kembali dalam bentuk dan wajah baru yang disebut
sebagai “neo-intervensionisme” sehingga harus dihadapi secara bersama sesuai
konvergensi dan kapabilitas masing-masing. Kondisi ini mendorong menguatnya
kesamaan persepsi tentang perlunya menciptakan dunia multipolar ketimbang
hanya didominasi oleh Barat khususnya blok AS dan sekutunya dengan
mengabaikan mekanisme dewan keamanan PBB.
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, tampak jelas bahwa
pembentukan organisasi SCO merupakan bagian dari kemitraan strategis Rusia
dengan China dalam upaya melakukan balancing terhadap ancaman yang
diberikan AS di kawasan Asia Tengah, khususnya faktor proximate power dimana
AS melakukan sphere of influence, baik secara bilateral maupun lewat program
NATO ke negara-negara bekas Uni Soviet seperti di kawasan Eropa Barat yang
menandakan bergesernya garis pertahanan NATO dari Eropa Barat ke Eropa
Timur, dan berbagai bentuk kerjasama dengan negara-negara di Asia Tengah yang
tentunya mengancam Rusia dan China baik dari lingkup geopolitik, ekonomi dan
juga keamanan; Aggregate power dan Offensive Power juga ditunjukkan dengan
peningkatan kekuatan persenjataa dan personil militer siap perang dan anggaran
militer NATO bersamaan dengan bertambahnya jumlah negara anggota NATO;
dan juga offensive intention yang diberikan AS dengan kerjasama militer dan
kemitraan strategis yang dijalin dengan negara-negara bekas Uni Soviet tersebut,
seperti menjamin dengan penuh keamanan terhadap ancaman keamanan
Tajikistan dan membantu Georgia dalam perang tahun 2008.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
100
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
I. DOKUMEN
“Charter of Shanghai Cooperation Organization”. http://www.sectsco.org
“Declaration on the Fifth Anniversary of the SCO”.
http://www.sectsco.org
“The Shanghai Convention on Combating Terorism, Separatism and
Extremism”. http://www.sectsco.org
“Treaty on Long Term Good-Neigborliness, Friendship & Cooperation
Between the Member States of the SCO”. http://www.sectsco.org
II. BUKU
Bobo Lo, Vladimir Putin and the Evolution of Russian Foreign Policy,
London and Oxford: Royal Institute of International
affairs/Blackwell, 2003
Hantington, Samuel, The Clash of Civilizations and the Remaking of
World Order, (New York: Simon and Schuster, 1996)
International Institute for Strategic Studies (IISS), Annual Assessment of
Global Military Capabilities and Defense Economics, (London,
Military Balance 2009)
Kegley Jr, Charles W., & Wittkopf, Eugene R., World Politics : Trend and
Transformation, (New York, St. Martin Press, 1997)
Legvold, Robert, Great Power Stakes In Central Asia, Cambrige, MA and
London: American Academy of Arts and Sciences/MIT Press, 2003
Mearsheimer, John J., The Tragedy of Great Power Politic, (New York :
W.W.Norton & Company Ltd, 2001)
Singarimbun, Masri, Metode dalam Proses Penelitian. Dalam Masri
Singarimbun dan Sofian Effendi, ed. Metode Penelitian Survei
Edisi Revisi. (Jakarta, LP3ES, 1989)
Sriyono, A. Agus, Trans-Atlantik Di Simpang Jalan : Percikan Pemikiran
Diplomat Muda, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004
Steans, Jill., & Pettiford, Lloyd, International Relations : Perspectives and
Themes, (England, Pearson Education Limited, 2001)
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
101
Universitas Indonesia
III. JURNAL ILMIAH
“Kyrgistan: A Faltering State”, ICG, Asia Report, No.109, 16 Desember
2005
“Turkmenistan Leader Orders More Money for Oil, Gas Prospecting amid
Doubts Over Reserves”, Associated Press, 7 Agustus 2006
Beijing Review 39, “Joint Statement by the People’s Republic of China
and the Russian Federation”, 13 Mei 1996
Beijing Review Vol.35, “China in the Future”, 26 Oktober – 1 November
1992
Blank, Stephen J., “The NATO-Russia Partnership : A Marriage of
Convenience or A Troubled Relationship?”, Strategic Studies,
November 2006
Bobo Lo, “Axis of Convenience: Moscow, Beijing and the New
Geopolitics”, Royal Institute of International Affairs, London, 2008
Bohr, Annette, “Regionalism in Central Asia: New Geopolitics, Old
Regional Order”, International Affairs Vol. 80, No. 3, hlm.1 dalam
Regionalism and the Changing International Order in Central
Eurasia (May, 2004)
Chandrawati, Nurani, “Penggabungan Eropa Tengah dan Timur kedalam
Uni Eropa : Analisis Dampak Bagi Indonesia” Jurnal Luar Negeri
(Eropa Tengah dan Timur Bagi Indonesia) BPPK Kemlu, 2004
Chien-peng Chung, “the Shanghai Cooperation Organization: China’s
Changing Influence in Central Asia,” The China Quarterly No.180
(Des,2004)
Chufrin, Gennady, “the Changing Security Model in Post Soviet”, Central
Asia Connections, Vol. II No.1, March 2003
D. Kraemer, Thomas. “Addicted To Oil : Strategic Implications of
American Oil Policy”, Strategic Studies, May 2006
Frank Ching, “Sino-Russian Pact a Good Sign”, Far Eastern Economic
Review, 23 May 1996
Holloway, Nigel,”Brother in Arms: The U.S. Worries about Sino-Russian
Military Cooperation,” Far Eastern Economic Review, 13 March
1997
Hyman, Anthony, “Moving Out Of Moscows’s Orbit: The Outlook For
Central Asia”, International Affairs (Royal Institute of International
Affairs 1994), Vol.69, No.2 (April 1993)
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
102
Universitas Indonesia
Macfarlane, S. Neil, “Regionalism and the Changing International Order
in Central Eurasia”, International Affairs, Vol. 80, No. 3 (May,
2004), (Royal Institute of International Affairs 1944-)
MacFarlane, S. Neil, “The United States and Regionalism in Central
Asia”, International Affairs (Royal Institue of International Affairs
1944), Vol. 80, No.3
Miller, H. Lymana, “How’s Hu Doing?”, Hoover Digest, 2004, No.1,
Winter Issue
Nation, R. Craig, “U.S. Interests in The New Eurasia”, Strategic Studies,
November 2007
Russett, Bruce, dan Stam, Allan C., “Courting Disaster: An Expanded
NATO vs. Russia and China”, Political Science Quaterly, Vol. 113,
No.3 (Autum, 1998)
Saez, Lawrence. “US Policy and Energy Security in South Asia :
Economic Prospects and Strategic Implications”, Asian Survey,
Vol. 47, No. 4 (July/August 2007)
Suettinger, Robert, “The Rise and Descent of Peaceful Rise”, China
Leadership Monitor, 2004, No.12
Trenin, Dmitri, “Russia’s Threat Perception an Strategic Posture”.
Strategic Studies. November 2007
US Department of Defense, “Military power of the People’s Republic of
China”, Annual Report to Congress, 2006
Walt, Stephen N., “Alliance Formation and the Balance of World Power”,
International Security, Vol. 9 No. 4 (Spring, 1985)
Wishnick, Elizabeth, “Russia and China: Brother Again?”, Asian Survey,
Vol. 41, No. 5 (Sep.-Oct., 2001)
IV. TESIS
Oftasari, Devi, “Dukungan AS Terhadap Georgia Dalam Konflik Rusia-
Georgia”, Tesis, FISIP UI, Juni 2011
Purnihastuti, Fitria, “Strategi Keamanan dan Energi Cina di Asia Tengah
(2000-2006)”, Tesis, FISIP UI, 2008
Santiko, Utaryo, “Kebijakan Luar Negeri Republik Federasi Rusia (2001-
2007): Studi Kasus mengenai Kebijakan Luar Negeri Rusia dalam
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
103
Universitas Indonesia
mendorong Pembentukan Shanghai Cooperation Organization”,
Tesis, FISIP UI, 2008
V. SUMBER INTERNET
“Central Asia : Between Hope and Disilussion”, BNP paribas
Conjuncture, 20 April 2006. Diakses dari www.akipress.org
“Perjanjian CFE” yang diakses melalui http://first.sipri.org
“The Goverment of the Xinjiang Uygur Autonomous Region” website,
Januari 2006,
http://www.xinjiang.gov.cn/1$002$013/352.jsp?articleid=2006-1-
3-0003 diakses pada Maret 12 2010
“Turkmenistan after Niyazov”, Crisis Group Asia Briefing, No.55, 12
Februari 2007. Diakses pada
http://www.transkaukasusisue/turkmenistan/5649/html
Ariel, Cohen, “US Interest in Central Asia”, diakses dari
http://www.idea.tr.com/secmeler/abd/us_interest_in_central_asia.ht
m pada 3 Januari 2010
Crisis Group Report, Atyrau, 8 Oktober 2006. Diakses dari
www.crisisgroup.org
Dubovitsky, V., “The Tajik-Chinese Relations: The Period Of Woriness
Over, The Era Of Cooperation Begins”, January 30, 2007. Diakses
pada http://enews.ferghana.ru/article.php?id=1810. Februari 06,
2010
http://www.pipa.org/onlinereport/china/china_Mar05_rpt.pdf
Maitras, Ramtani, “Remarking Central Asia”, Asia Times. Diakses dari
http://www.asiatimes.com/asiatimes/Central_asia?GE27ago01.html
pada 27 Mei 2009
Minister of Industry’s statement, “The Development Of The Economic
Relations Between Kyrgyzstan”, AKI-Press, June 23, 2006, di
akses dari http://www.akipress.org/news/29316, Maret 14 2010
SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute)
http://first.sipri.org
The USEIA report, diakses dari http://useia/report/2006/980efg/html
Weinrod, W. Bruce and Barry, Charles L., “NATO Command Structure
Considerations For the Future” Center for Technology and National
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Security Policy, National Defense university, 2010. Diunduh dari
http://www.ndu.edu/CTNSP/docUploaded/DTP%2075%20NATO
%20Command%20Structure.pdf
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
105
Universitas Indonesia
Bishkek Declaration of the Heads of the Member States of the Shanghai Cooperation
Organisation
2007-8-16
The heads of the member states of the Shanghai Cooperation Organisation (hereinafter
referred to as the SCO or the Organisation) – the Republic of Kazakhstan, the People’s
Republic of China, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan
and the Republic of Uzbekistan, guided by united or similar approaches to the key problems
of modernity, during a meeting of the Council of Heads of SCO Member States on 16 August
2007 in Bishkek state as follows:
The fast evolving process of globalisation adds to the interdependence of states, as a result
their security and development become interconnected. Modern challenges and threats can be
effectively counteracted through concerted efforts of the international community on the basis
of agreed principles and in the framework of multilateral mechanisms. Unilateral action
cannot resolve the existing problems.
An effective global security system can only be built under the auspices of the UN and in
strict accordance with its Charter.
Cooperation in counteracting new challenges and threats must be conducted in a consistent
manner, without resorting to double standards, in strict observance of norms of the
international law.
The international security agenda must not exclude such tasks as ensuring the stability of
world economy, reduction of poverty, evening up the social and economic development level,
maintaining the economic, environmental, energy, informational security, as well as
protection of the population and territories of the member states of the Organisation against
natural and technological disasters.
The SCO member states advocate creation of a security structure on the basis of generally
accepted norms of the international law that will:
- reflect the balance of interests of all subjects of international relations;
- guarantee the right of every state to choose independently its way of development based
on its unique historical experience and national features, to protect its state integrity and
national dignity, to participate equally in international affairs;
- ensure the settlement of international and regional conflicts and crises through political
and diplomatic means in strict accordance with principles and norms of the international law
and with consideration of legitimate interests of all parties concerned;
- preserve the diversity of cultures and civilisations, encourage implementation of initiatives
aimed at deepening of dialogue among civilisations and religions.
The SCO member states are determined to interact closely on tackling the issues of the UN
reform. The reform of the pan global organisation, first and foremost its Security Council,
must gain as much wider consensus of its members. Successful cooperation in this field is a
key to genuine realisation of the aspiration of all the SCO member states towards
comprehensive strengthening of the authority of the UN and reaffirming the central position
of the Security Council in the field of protecting international peace and security.
The SCO member states consistently stand up for strengthening strategic stability, non-
proliferation of weapons of mass destruction, and consider it an important and urgent step to
draft an international legal document on preventing the deployment of weapons in outer space,
use of force or the threat of using force against space objects.
The heads of state note the significance of approval of the Central Asia Nuclear-Weapon-
Free Zone Treaty (Semipalatinsk, 8 September 2006) and welcome the adoption of the
respective resolution at the 61st session of the UN General Assembly, which highly values the
contribution of Central Asian states to the cause of consolidating the regime of nuclear non-
proliferation, advancing cooperation on peaceful use of nuclear energy, as well as
strengthening the international and regional peace and security.
The heads of state support the efforts of the participating states of the Central Asia Nuclear-
Weapon-Free Zone Treaty on concluding a Protocol on Security Guarantees with the nuclear-
weapon states, which would ensure genuine existence of a nuclear free zone in the region.
Being aware of the stimulating effect the rapid development and massive use of information
technology is having on the social progress of humanity, the SCO member states express
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
106
Universitas Indonesia
concern over the threat of using it for purposes inconsistent with the tasks of protecting
international stability and security.
The SCO member states stand ready to develop cooperation and step up joint efforts on
strengthening international information security in all aspects.
The heads of state believe that stability and security in Central Asia can be provided first
and foremost by the forces of the region’s states on the basis of international organisations
already established in the region.
The member states stress the need for collective efforts on counteracting new challenges
and threats. They highly rate the activity of the SCO Regional Antiterrorist Structure and
believe that it possesses a significant potential for further enhancement of interaction in the
fight against terrorism, separatism and extremism.
Expressing concern over the threat of narcotics coming from Afghanistan and its negative
effect on Central Asia, the heads of state call for consistent strengthening of anti-narcotics
cooperation in the framework of the Organisation, combining international efforts on the
creation of anti-narcotics belts around Afghanistan. The SCO member states stand ready to
participate in the efforts to normalise the political situation in Afghanistan, to develop
economic cooperation with the country. The activity of the SCO – Afghanistan Contact Group
will intensify.
The heads of the SCO member states note the important role of energy sector as a basis for
steady economic growth and security, and attach special significance to strengthening
interaction in this direction. Reliable and mutually beneficial partnership in various fields of
energy sector will help strengthen the security and stability across the SCO region and the
wider world alike. Comparison of energy strategies in the SCO framework is a pressing task.
Considering the current resources, demand, capabilities and the potential, the SCO member
states will continue to promote dialogue on energy issues and practical cooperation among
energy-producing, transit and consumer states.
The SCO member states reaffirm their commitment to provide mutual practical assistance
in implementation of the national economic development programmes.
The SCO member states reiterate that the Organisation is open for interaction with all interested
partners based on the international law and generally accepted norms of international relations
with the aim of finding mutually acceptable solutions for the pressing problems of modernity.
2007
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
107
Universitas Indonesia
Charter of the Shanghai Cooperation Organization
2009-5-7
The People's Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the
Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the Republic of Uzbekistan being the founding
states of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter SCO or the Organization),
Based on historically established ties between their peoples;
Striving for further enhancement of comprehensive cooperation;
Desiring to jointly contribute to the strengthening of peace and ensuring of security and
stability in the region in the environment of developing political multipolarity and economic and
information globalization;
Being convinced that the establishment of SCO will facilitate more efficient common use of
opening possibilities and counteracting new challenges and threats;
Considering that interaction within SCO will promote the realization of a huge potential of
goodneighborliness, unity and cooperation between States and their peoples;
Proceeding from the spirit of mutual trust, mutual advantage, equality, mutual consultations,
respect for cultural variety and aspiration for joint development that was clearly established at the
meeting of heads of six States in 2001 in Shanghai;
Noting that the compliance with the principles set out in the Agreement between the People's
Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and
the Republic of Tajikistan on Strengthening Confidence in the Military Field in the Border Area of
26 April, 1996, and in the Agreement between the People's Republic of China, the Republic of
Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and the Republic of Tajikistan on
Mutual Reductions of Armed Forces in the Border Area of 24 April , 1997, as well as in the
documents signed at summits of heads of the People's Republic of China, the Republic of
Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the
Republic of Uzbekistan in the period from 1998 to 2001, has made an important contribution to
the maintenance of peace, security and stability in the region and in the world;
Reaffirming our adherence to the goals and principles of the Charter of the United Nations,
other commonly acknowledged principles and rules of international law related to the maintenance
of international peace, security and the development of goodneighborly and friendly relations, as
well as the cooperation between States;
Guided by the provisions of the Declaration on the Creation of the Shanghai Cooperation
Organization of 15 June, 2001,
Have agreed as follows:
Article 1
Goals and Tasks The main goals and tasks of SCO are:
to strengthen mutual trust, friendship and goodneighborliness between the member States;
to consolidate multidisciplinary cooperation in the maintenance and strengthening of peace,
security and stability in the region and promotion of a new democratic, fair and rational political
and economic international order;
to jointly counteract terrorism, separatism and extremism in all their manifestations, to fight
against illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity of a transnational
character, and also illegal migration;
to encourage the efficient regional cooperation in such spheres as politics, trade and
economy, defense, law enforcement, environment protection, culture, science and technology,
education, energy, transport, credit and finance, and also other spheres of common interest;
to facilitate comprehensive and balanced economic growth, social and cultural development
in the region through joint action on the basis of equal partnership for the purpose of a steady
increase of living standards and improvement of living conditions of the peoples of the member
States;
to coordinate approaches to integration into the global economy;
to promote human rights and fundamental freedoms in accordance with the international
obligations of the member States and their national legislation;
to maintain and develop relations with other States and international organizations;
to cooperate in the prevention of international conflicts and in their peaceful settlement;
to jointly search for solutions to the problems that would arise in the 21st century.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Article 2
Principles The member States of SCO shall adhere to the following principles:
mutual respect of sovereignty, independence, territorial integrity of States and inviolability of
State borders, non-aggression, non-interference in internal affairs, non-use of force or threat of its
use in international relations, seeking no unilateral military superiority in adjacent areas;
equality of all member States, search of common positions on the basis of mutual
understanding and respect for opinions of each of them;
gradual implementation of joint activities in the spheres of mutual interest;
peaceful settlement of disputes between the member States;
SCO being not directed against other States and international organizations;
prevention of any illegitimate acts directed against the SCO interests;
implementation of obligations arising out of the present Charter and other documents
adopted within the framework of SCO, in good faith.
Article 3
Areas of Cooperation The main areas of cooperation within SCO shall be the following:
maintenance of peace and enhancing security and confidence in the region;
search of common positions on foreign policy issues of mutual interest, including issues
arising within international organizations and international fora;
development and implementation of measures aimed at jointly counteracting terrorism,
separatism and extremism, illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity
of a transnational character, and also illegal migration;
coordination of efforts in the field of disarmament and arms control;
support for, and promotion of regional economic cooperation in various forms, fostering
favorable environment for trade and investments with a view to gradually achieving free flow of
goods, capitals, services and technologies;
effective use of available transportation and communication infrastructure, improvement of
transit capabilities of member States and development of energy systems;
sound environmental management, including water resources management in the region, and
implementation of particular joint environmental programs and projects;
mutual assistance in preventing natural and man-made disasters and elimination of their
implications;
exchange of legal information in the interests of development of cooperation within SCO;
development of interaction in such spheres as science and technology, education, health care,
culture, sports and tourism.
The SCO member States may expand the spheres of cooperation by mutual agreement.
Article 4
Bodies 1. For the implementation of goals and objectives of the present Charter the following
bodies shall operate within the Organization:
The Council of Heads of State;
The Council of Heads of Government (Prime Ministers);
The Council of Ministers of Foreign Affairs;
Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies;
The Council of National Coordinators;
The Regional Counter-terrorist Structure;
Secretariat.
2. The functions and working procedures for the SCO bodies, other than the Regional
Counter-terrorist Structure, shall be governed by appropriate provisions adopted by the Council of
Heads of State.
3. The Council of Heads of State may decide to establish other SCO bodies. New bodies
shall be established by the adoption of additional protocols to the present Charter which enter into
force in the procedure, set forth in Article 21 of this Charter.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
109
Universitas Indonesia
Article 5
The Council of Heads of State The Council of Heads of State shall be the supreme SCO body. It shall determine priorities
and define major areas of activities of the Organization, decide upon the fundamental issues of its
internal arrangement and functioning and its interaction with other States and international
organizations, as well as consider the most topical international issues.
The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council of Heads
of State shall be chaired by the head of State organizing this regular meeting. The venue of a
regular meeting of the Council shall generally be determined in the Russian alphabetic order of
names of the SCO member States.
Article 6
The Council of Heads of Government (Prime Ministers) The Council of Heads of Government (Prime Ministers) shall approve the budget of the
Organization, consider and decide upon major issues related to particular, especially economic,
spheres of interaction within the Organization.
The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council shall be
chaired by the head of Government (Prime Minister) of the State on whose territory the meeting
takes place.
The venue of a regular meeting of the Council shall be determined by prior agreement among
heads of Government (Prime Ministers) of the member States.
Article 7
The Council of Ministers of Foreign Affairs The Council of Ministers of Foreign Affairs shall consider issues related to day-to-day
activities of the Organization, preparation of meetings of the Council of Heads of State and
holding of consultations on international problems within the Organization. The Council may, as
appropriate, make statements on behalf of SCO.
The Council shall generally meet one month prior to a meeting of the Council of Heads of
State. Extraordinary meetings of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall be convened on
the initiative of at least two member States and upon consent of ministers of foreign affairs of all
other member States. The venue of a regular or extraordinary meeting of the Council shall be
determined by mutual agreement.
The Council shall be chaired by the minister of foreign affairs of the member State on whose
territory the regular meeting of the Council of Heads of State takes place, during the period
starting from the date of the last ordinary meeting of the Council of Heads of State to the date of
the next ordinary meeting of the Council of Heads of State.
The Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall represent the Organization
in its external contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council.
Article 8
Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies According to decisions of the Council of Heads of State and the Council of Heads of
Government (Prime Ministers) heads of branch ministries and/or agencies of the member States
shall hold, on a regular basis, meetings for consideration of particular issues of interaction in
respective fields within SCO.
A meeting shall be chaired by the head of a respective ministry and/or agency of the State
organizing the meeting. The venue and date of a meeting shall be agreed upon in advance.
For the preparation and holding meetings the member States may, upon prior agreement,
establish permanent or ad hoc working groups of experts which carry out their activities in
accordance with the regulations adopted by the meetings of heads of ministries and/or agencies.
These groups shall consist of representatives of ministries and/or agencies of the member States.
Article 9
The Council of National Coordinators The Council of National Coordinators shall be a SCO body that coordinates and directs day-
to-day activities of the Organization. It shall make the necessary preparation for the meetings of
the Council of Heads of State, the Council of Heads of Government (Prime Ministers) and the
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
110
Universitas Indonesia
Council of Ministers of Foreign Affairs. National coordinators shall be appointed by each member
State in accordance with its internal rules and procedures.
The Council shall hold its meetings at least three times a year. A meeting of the Council shall
be chaired by the national coordinator of the member State on whose territory the regular meeting
of the Council of Heads of State takes place, from the date of the last ordinary meeting of the
Council of Heads of State to the date of the next ordinary meeting of the Council of Heads of
State.
The Chairman of the Council of National Coordinators may on the instruction of the
Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs represent the Organization in its external
contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council of National Coordinators.
Article 10
Regional Counter-Terrorist Structure The Regional Counter-terrorist Structure established by the member States of the Shanghai
Convention to combat terrorism, separatism and extremism of 15 June, 2001, located in Bishkek,
the Kyrgyz Republic, shall be a standing SCO body.
Its main objectives and functions, principles of its constitution and financing, as well as its
rules of procedure shall be governed by a separate international treaty concluded by the member
States, and other necessary instruments adopted by them.
Article 11
Secretariat Secretariat shall be a standing SCO administrative body. It shall provide organizational and
technical support to the activities carried out in the framework of SCO and prepare proposals on
the annual budget of the Organization.
The Secretariat shall be headed by the Executive Secretary to be appointed by the Council of
Heads of State on nomination by the Council of Ministers of Foreign Affairs.
The Executive Secretary shall be appointed from among the nationals of member States on a
rotational basis in the Russian alphabetic order of the member States' names for a period of three
years without a right to be reappointed for another period.
The Executive Secretary deputies shall be appointed by the Council of Ministers of Foreign
Affairs on nomination by the Council of National Coordinators. They cannot be representatives of
the State from which the Executive Secretary has been appointed.
The Secretariat officials shall be recruited from among nationals of the member States on a
quota basis.
The Executive Secretary, his deputies and other Secretariat officials in fulfilling their official
duties should not request or receive instructions from any member State and/or government,
organization or physical persons. They should refrain from any actions that might affect their
status as international officials reporting to SCO only.
The member States shall undertake to respect the international character of the duties of the
Executive Secretary, his deputies and Secretariat staff and not to exert any influence upon them as
they perform their official functions.
The SCO Secretariat shall be located at Beijing (the People's Republic of China).
Article 12
Financing SCO shall have its own budget drawn up and executed in accordance with a special
agreement between member States. This agreement shall also determine the amount of
contributions paid annually by member States to the budget of the Organization on the basis of a
cost-sharing principle.
Budgetary resources shall be used to finance standing SCO bodies in accordance with the
above agreement. The member States shall cover themselves the expenses related to the
participation of their representatives and experts in the activities of the Organization.
Article 13
Membership The SCO membership shall be open for other States in the region that undertake to respect
the objectives and principles of this Charter and to comply with the provisions of other
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
111
Universitas Indonesia
international treaties and instruments adopted in the framework of SCO.
The admission of new members to SCO shall be decided upon by the Council of Heads of
State on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs in
response to an official request from the State concerned addressed to the acting Chairman of the
Council of Ministers of Foreign Affairs.
SCO membership of a member State violating the provisions of this Charter and/or
systematically failing to meet its obligations under international treaties and instruments,
concluded in the framework of SCO, may be suspended by a decision of the Council of Heads of
State adopted on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs.
If this State goes on violating its obligations, the Council of Heads of State may take a decision to
expel it from SCO as of the date fixed by the Council itself.
Any member State shall be entitled to withdraw from SCO by transmitting to the Depositary
an official notification of its withdrawal from this Charter no later than twelve months before the
date of withdrawal. The obligations arising from participation in this Charter and other instruments
adopted within the framework of SCO shall be binding for the corresponding States until they are
completely fulfilled.
Article 14
Relationship with Other States and International Organizations SCO may interact and maintain dialogue, in particular in certain areas of cooperation, with
other States and international organizations.
SCO may grant to the State or international organization concerned the status of a dialogue
partner or observer. The rules and procedures for granting such a status shall be established by a
special agreement of member States.
This Charter shall not affect the rights and obligations of the member States under other
international treaties in which they participate.
Article 15
Legal Capacity As a subject of international law, SCO shall have international legal capacity. It shall have
such a legal capacity in the territory of each member State, which is required to achieve its goals
and objectives.
SCO shall enjoy the rights of a legal person and may in particular:
- conclude treaties;
- acquire movable and immovable property and dispose of it;
- appear in court as litigant;
- open accounts and have monetary transactions made.
Article 16
Decisions-Taking Procedure The SCO bodies shall take decisions by agreement without vote and their decisions shall be
considered adopted if no member State has raised objections during the vote (consensus), except
for the decisions on suspension of membership or expulsion from the Organization that shall be
taken by "consensus minus one vote of the member State concerned".
Any member State may expose its opinion on particular aspects and/or concrete issues of the
decisions taken which shall not be an obstacle to taking the decision as a whole. This opinion shall
be placed on record.
Should one or several member States be not interested in implementing particular
cooperation projects of interest to other member States, non‑participation of the abovesaid
member States in these projects shall not prevent the implementation of such cooperation projects
by the member States concerned and, at the same time, shall not prevent the said member States
from joining such projects at a later stage.
Article 17
Implementation of Decisions The decisions taken by the SCO bodies shall be implemented by the member States in
accordance with the procedures set out in their national legislation.
Control of the compliance with obligations of the member States to implement this Charter,
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
112
Universitas Indonesia
other agreements and decisions adopted within SCO shall be exercised by the SCO bodies within
their competence.
Article 18
Permanent Representatives In accordance with their domestic rules and procedures, the member States shall appoint their
permanent representatives to the SCO Secretariat, which will be members of the diplomatic staff
of the embassies of the member States in Beijing.
Article 19
Privileges and Immunities SCO and its officials shall enjoy in the territories of all member States the privileges and
immunities which are necessary for fulfilling functions and achieving goals of the Organization.
The volume of privileges and immunities of SCO and its officials shall be determined by a
separate international treaty.
Article 20
Languages The official and working languages of SCO shall be Russian and Chinese.
Article 21
Duration and Entry into Force This Charter shall be of indefinite duration.
This Charter shall be subject to ratification by signatory States and shall enter into force on
the thirtieth day following the date of the deposit of the fourth instrument of ratification.
For a State which signed this Charter and ratified it thereafter it shall enter into force on the
date of the deposit of its instrument of ratification with the Depositary.
Upon its entering into force this Charter shall be open for accession by any State.
For each acceding State this Charter shall enter into force on the thirtieth day following the
date of receiving by the Depositary of appropriate instruments of accession.
Article 22
Settlement of Disputes In case of disputes or controversies arising out of interpretation or application of this Charter
member States shall settle them through consultations and negotiations.
Article 23
Amendments and Additions By mutual agreement of member States this Charter can be amended and supplemented.
Decisions by the Council of Heads of State concerning amendments and additions shall be
formalized by separate protocols which shall be its integral part and enter into force in accordance
with the procedure provided for by Article 21 of this Charter.
Article 24
Reservations No reservations can be made to this Charter which contradict the principles, goals and
objectives of the Organization and could prevent any SCO body from performing its functions.
If at least two thirds of member States have objections the reservations must be considered as
contradicting the principles, goals and objectives of the Organization or preventing any body from
performing its functions and being null and void.
Article 25
Depositary The People's Republic of China shall be the Depositary of this Charter.
Article 26
Registration Pursuant to Article 102 of the Charter of the United Nations, this Charter is subject to
registration with the Secretariat of the United Nations.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
113
Universitas Indonesia
Done at Saint-Petersburg the seventh day of June 2002 in a single original in the Chinese and
Russian languages, both texts being equally authoritative.
The original copy of this Charter shall be deposited with the Depositary who will circulate its
certified copies to all signatory States.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
114
Universitas Indonesia
Charter of the Shanghai Cooperation Organization
2009-5-7
The People's Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the
Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the Republic of Uzbekistan being the founding
states of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter SCO or the Organization),
Based on historically established ties between their peoples;
Striving for further enhancement of comprehensive cooperation;
Desiring to jointly contribute to the strengthening of peace and ensuring of security and
stability in the region in the environment of developing political multipolarity and economic and
information globalization;
Being convinced that the establishment of SCO will facilitate more efficient common use of
opening possibilities and counteracting new challenges and threats;
Considering that interaction within SCO will promote the realization of a huge potential of
goodneighborliness, unity and cooperation between States and their peoples;
Proceeding from the spirit of mutual trust, mutual advantage, equality, mutual consultations,
respect for cultural variety and aspiration for joint development that was clearly established at the
meeting of heads of six States in 2001 in Shanghai;
Noting that the compliance with the principles set out in the Agreement between the People's
Republic of China, the Republic of Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and
the Republic of Tajikistan on Strengthening Confidence in the Military Field in the Border Area of
26 April, 1996, and in the Agreement between the People's Republic of China, the Republic of
Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation and the Republic of Tajikistan on
Mutual Reductions of Armed Forces in the Border Area of 24 April , 1997, as well as in the
documents signed at summits of heads of the People's Republic of China, the Republic of
Kazakhstan, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan and the
Republic of Uzbekistan in the period from 1998 to 2001, has made an important contribution to
the maintenance of peace, security and stability in the region and in the world;
Reaffirming our adherence to the goals and principles of the Charter of the United Nations,
other commonly acknowledged principles and rules of international law related to the maintenance
of international peace, security and the development of goodneighborly and friendly relations, as
well as the cooperation between States;
Guided by the provisions of the Declaration on the Creation of the Shanghai Cooperation
Organization of 15 June, 2001,
Have agreed as follows:
Article 1
Goals and Tasks The main goals and tasks of SCO are:
to strengthen mutual trust, friendship and goodneighborliness between the member States;
to consolidate multidisciplinary cooperation in the maintenance and strengthening of peace,
security and stability in the region and promotion of a new democratic, fair and rational political
and economic international order;
to jointly counteract terrorism, separatism and extremism in all their manifestations, to fight
against illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity of a transnational
character, and also illegal migration;
to encourage the efficient regional cooperation in such spheres as politics, trade and
economy, defense, law enforcement, environment protection, culture, science and technology,
education, energy, transport, credit and finance, and also other spheres of common interest;
to facilitate comprehensive and balanced economic growth, social and cultural development
in the region through joint action on the basis of equal partnership for the purpose of a steady
increase of living standards and improvement of living conditions of the peoples of the member
States;
to coordinate approaches to integration into the global economy;
to promote human rights and fundamental freedoms in accordance with the international
obligations of the member States and their national legislation;
to maintain and develop relations with other States and international organizations;
to cooperate in the prevention of international conflicts and in their peaceful settlement;
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
115
Universitas Indonesia
to jointly search for solutions to the problems that would arise in the 21st century.
Article 2
Principles The member States of SCO shall adhere to the following principles:
mutual respect of sovereignty, independence, territorial integrity of States and inviolability of
State borders, non-aggression, non-interference in internal affairs, non-use of force or threat of its
use in international relations, seeking no unilateral military superiority in adjacent areas;
equality of all member States, search of common positions on the basis of mutual
understanding and respect for opinions of each of them;
gradual implementation of joint activities in the spheres of mutual interest;
peaceful settlement of disputes between the member States;
SCO being not directed against other States and international organizations;
prevention of any illegitimate acts directed against the SCO interests;
implementation of obligations arising out of the present Charter and other documents
adopted within the framework of SCO, in good faith.
Article 3
Areas of Cooperation The main areas of cooperation within SCO shall be the following:
maintenance of peace and enhancing security and confidence in the region;
search of common positions on foreign policy issues of mutual interest, including issues
arising within international organizations and international fora;
development and implementation of measures aimed at jointly counteracting terrorism,
separatism and extremism, illicit narcotics and arms trafficking and other types of criminal activity
of a transnational character, and also illegal migration;
coordination of efforts in the field of disarmament and arms control;
support for, and promotion of regional economic cooperation in various forms, fostering
favorable environment for trade and investments with a view to gradually achieving free flow of
goods, capitals, services and technologies;
effective use of available transportation and communication infrastructure, improvement of
transit capabilities of member States and development of energy systems;
sound environmental management, including water resources management in the region, and
implementation of particular joint environmental programs and projects;
mutual assistance in preventing natural and man-made disasters and elimination of their
implications;
exchange of legal information in the interests of development of cooperation within SCO;
development of interaction in such spheres as science and technology, education, health care,
culture, sports and tourism.
The SCO member States may expand the spheres of cooperation by mutual agreement.
Article 4
Bodies 1. For the implementation of goals and objectives of the present Charter the following
bodies shall operate within the Organization:
The Council of Heads of State;
The Council of Heads of Government (Prime Ministers);
The Council of Ministers of Foreign Affairs;
Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies;
The Council of National Coordinators;
The Regional Counter-terrorist Structure;
Secretariat.
2. The functions and working procedures for the SCO bodies, other than the Regional
Counter-terrorist Structure, shall be governed by appropriate provisions adopted by the Council of
Heads of State.
3. The Council of Heads of State may decide to establish other SCO bodies. New bodies
shall be established by the adoption of additional protocols to the present Charter which enter into
force in the procedure, set forth in Article 21 of this Charter.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Article 5
The Council of Heads of State The Council of Heads of State shall be the supreme SCO body. It shall determine priorities
and define major areas of activities of the Organization, decide upon the fundamental issues of its
internal arrangement and functioning and its interaction with other States and international
organizations, as well as consider the most topical international issues.
The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council of Heads
of State shall be chaired by the head of State organizing this regular meeting. The venue of a
regular meeting of the Council shall generally be determined in the Russian alphabetic order of
names of the SCO member States.
Article 6
The Council of Heads of Government (Prime Ministers) The Council of Heads of Government (Prime Ministers) shall approve the budget of the
Organization, consider and decide upon major issues related to particular, especially economic,
spheres of interaction within the Organization.
The Council shall hold its regular meetings once a year. A meeting of the Council shall be
chaired by the head of Government (Prime Minister) of the State on whose territory the meeting
takes place.
The venue of a regular meeting of the Council shall be determined by prior agreement among
heads of Government (Prime Ministers) of the member States.
Article 7
The Council of Ministers of Foreign Affairs The Council of Ministers of Foreign Affairs shall consider issues related to day-to-day
activities of the Organization, preparation of meetings of the Council of Heads of State and
holding of consultations on international problems within the Organization. The Council may, as
appropriate, make statements on behalf of SCO.
The Council shall generally meet one month prior to a meeting of the Council of Heads of
State. Extraordinary meetings of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall be convened on
the initiative of at least two member States and upon consent of ministers of foreign affairs of all
other member States. The venue of a regular or extraordinary meeting of the Council shall be
determined by mutual agreement.
The Council shall be chaired by the minister of foreign affairs of the member State on whose
territory the regular meeting of the Council of Heads of State takes place, during the period
starting from the date of the last ordinary meeting of the Council of Heads of State to the date of
the next ordinary meeting of the Council of Heads of State.
The Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs shall represent the Organization
in its external contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council.
Article 8
Meetings of Heads of Ministries and/or Agencies According to decisions of the Council of Heads of State and the Council of Heads of
Government (Prime Ministers) heads of branch ministries and/or agencies of the member States
shall hold, on a regular basis, meetings for consideration of particular issues of interaction in
respective fields within SCO.
A meeting shall be chaired by the head of a respective ministry and/or agency of the State
organizing the meeting. The venue and date of a meeting shall be agreed upon in advance.
For the preparation and holding meetings the member States may, upon prior agreement,
establish permanent or ad hoc working groups of experts which carry out their activities in
accordance with the regulations adopted by the meetings of heads of ministries and/or agencies.
These groups shall consist of representatives of ministries and/or agencies of the member States.
Article 9
The Council of National Coordinators The Council of National Coordinators shall be a SCO body that coordinates and directs day-
to-day activities of the Organization. It shall make the necessary preparation for the meetings of
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
117
Universitas Indonesia
the Council of Heads of State, the Council of Heads of Government (Prime Ministers) and the
Council of Ministers of Foreign Affairs. National coordinators shall be appointed by each member
State in accordance with its internal rules and procedures.
The Council shall hold its meetings at least three times a year. A meeting of the Council shall
be chaired by the national coordinator of the member State on whose territory the regular meeting
of the Council of Heads of State takes place, from the date of the last ordinary meeting of the
Council of Heads of State to the date of the next ordinary meeting of the Council of Heads of
State.
The Chairman of the Council of National Coordinators may on the instruction of the
Chairman of the Council of Ministers of Foreign Affairs represent the Organization in its external
contacts, in accordance with the Rules of Procedure of the Council of National Coordinators.
Article 10
Regional Counter-Terrorist Structure The Regional Counter-terrorist Structure established by the member States of the Shanghai
Convention to combat terrorism, separatism and extremism of 15 June, 2001, located in Bishkek,
the Kyrgyz Republic, shall be a standing SCO body.
Its main objectives and functions, principles of its constitution and financing, as well as its
rules of procedure shall be governed by a separate international treaty concluded by the member
States, and other necessary instruments adopted by them.
Article 11
Secretariat Secretariat shall be a standing SCO administrative body. It shall provide organizational and
technical support to the activities carried out in the framework of SCO and prepare proposals on
the annual budget of the Organization.
The Secretariat shall be headed by the Executive Secretary to be appointed by the Council of
Heads of State on nomination by the Council of Ministers of Foreign Affairs.
The Executive Secretary shall be appointed from among the nationals of member States on a
rotational basis in the Russian alphabetic order of the member States' names for a period of three
years without a right to be reappointed for another period.
The Executive Secretary deputies shall be appointed by the Council of Ministers of Foreign
Affairs on nomination by the Council of National Coordinators. They cannot be representatives of
the State from which the Executive Secretary has been appointed.
The Secretariat officials shall be recruited from among nationals of the member States on a
quota basis.
The Executive Secretary, his deputies and other Secretariat officials in fulfilling their official
duties should not request or receive instructions from any member State and/or government,
organization or physical persons. They should refrain from any actions that might affect their
status as international officials reporting to SCO only.
The member States shall undertake to respect the international character of the duties of the
Executive Secretary, his deputies and Secretariat staff and not to exert any influence upon them as
they perform their official functions.
The SCO Secretariat shall be located at Beijing (the People's Republic of China).
Article 12
Financing SCO shall have its own budget drawn up and executed in accordance with a special
agreement between member States. This agreement shall also determine the amount of
contributions paid annually by member States to the budget of the Organization on the basis of a
cost-sharing principle.
Budgetary resources shall be used to finance standing SCO bodies in accordance with the
above agreement. The member States shall cover themselves the expenses related to the
participation of their representatives and experts in the activities of the Organization.
Article 13
Membership The SCO membership shall be open for other States in the region that undertake to respect
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
118
Universitas Indonesia
the objectives and principles of this Charter and to comply with the provisions of other
international treaties and instruments adopted in the framework of SCO.
The admission of new members to SCO shall be decided upon by the Council of Heads of
State on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs in
response to an official request from the State concerned addressed to the acting Chairman of the
Council of Ministers of Foreign Affairs.
SCO membership of a member State violating the provisions of this Charter and/or
systematically failing to meet its obligations under international treaties and instruments,
concluded in the framework of SCO, may be suspended by a decision of the Council of Heads of
State adopted on the basis of a representation made by the Council of Ministers of Foreign Affairs.
If this State goes on violating its obligations, the Council of Heads of State may take a decision to
expel it from SCO as of the date fixed by the Council itself.
Any member State shall be entitled to withdraw from SCO by transmitting to the Depositary
an official notification of its withdrawal from this Charter no later than twelve months before the
date of withdrawal. The obligations arising from participation in this Charter and other instruments
adopted within the framework of SCO shall be binding for the corresponding States until they are
completely fulfilled.
Article 14
Relationship with Other States and International Organizations SCO may interact and maintain dialogue, in particular in certain areas of cooperation, with
other States and international organizations.
SCO may grant to the State or international organization concerned the status of a dialogue
partner or observer. The rules and procedures for granting such a status shall be established by a
special agreement of member States.
This Charter shall not affect the rights and obligations of the member States under other
international treaties in which they participate.
Article 15
Legal Capacity As a subject of international law, SCO shall have international legal capacity. It shall have
such a legal capacity in the territory of each member State, which is required to achieve its goals
and objectives.
SCO shall enjoy the rights of a legal person and may in particular:
- conclude treaties;
- acquire movable and immovable property and dispose of it;
- appear in court as litigant;
- open accounts and have monetary transactions made.
Article 16
Decisions-Taking Procedure The SCO bodies shall take decisions by agreement without vote and their decisions shall be
considered adopted if no member State has raised objections during the vote (consensus), except
for the decisions on suspension of membership or expulsion from the Organization that shall be
taken by "consensus minus one vote of the member State concerned".
Any member State may expose its opinion on particular aspects and/or concrete issues of the
decisions taken which shall not be an obstacle to taking the decision as a whole. This opinion shall
be placed on record.
Should one or several member States be not interested in implementing particular
cooperation projects of interest to other member States, non‑participation of the abovesaid
member States in these projects shall not prevent the implementation of such cooperation projects
by the member States concerned and, at the same time, shall not prevent the said member States
from joining such projects at a later stage.
Article 17
Implementation of Decisions The decisions taken by the SCO bodies shall be implemented by the member States in
accordance with the procedures set out in their national legislation.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
119
Universitas Indonesia
Control of the compliance with obligations of the member States to implement this Charter,
other agreements and decisions adopted within SCO shall be exercised by the SCO bodies within
their competence.
Article 18
Permanent Representatives In accordance with their domestic rules and procedures, the member States shall appoint their
permanent representatives to the SCO Secretariat, which will be members of the diplomatic staff
of the embassies of the member States in Beijing.
Article 19
Privileges and Immunities SCO and its officials shall enjoy in the territories of all member States the privileges and
immunities which are necessary for fulfilling functions and achieving goals of the Organization.
The volume of privileges and immunities of SCO and its officials shall be determined by a
separate international treaty.
Article 20
Languages The official and working languages of SCO shall be Russian and Chinese.
Article 21
Duration and Entry into Force This Charter shall be of indefinite duration.
This Charter shall be subject to ratification by signatory States and shall enter into force on
the thirtieth day following the date of the deposit of the fourth instrument of ratification.
For a State which signed this Charter and ratified it thereafter it shall enter into force on the
date of the deposit of its instrument of ratification with the Depositary.
Upon its entering into force this Charter shall be open for accession by any State.
For each acceding State this Charter shall enter into force on the thirtieth day following the
date of receiving by the Depositary of appropriate instruments of accession.
Article 22
Settlement of Disputes In case of disputes or controversies arising out of interpretation or application of this Charter
member States shall settle them through consultations and negotiations.
Article 23
Amendments and Additions By mutual agreement of member States this Charter can be amended and supplemented.
Decisions by the Council of Heads of State concerning amendments and additions shall be
formalized by separate protocols which shall be its integral part and enter into force in accordance
with the procedure provided for by Article 21 of this Charter.
Article 24
Reservations No reservations can be made to this Charter which contradict the principles, goals and
objectives of the Organization and could prevent any SCO body from performing its functions.
If at least two thirds of member States have objections the reservations must be considered as
contradicting the principles, goals and objectives of the Organization or preventing any body from
performing its functions and being null and void.
Article 25
Depositary The People's Republic of China shall be the Depositary of this Charter.
Article 26
Registration Pursuant to Article 102 of the Charter of the United Nations, this Charter is subject to
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
120
Universitas Indonesia
registration with the Secretariat of the United Nations.
Done at Saint-Petersburg the seventh day of June 2002 in a single original in the Chinese and
Russian languages, both texts being equally authoritative.
The original copy of this Charter shall be deposited with the Depositary who will circulate its
certified copies to all signatory States.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
121
Universitas Indonesia
The Executive Committee of the Regional
Counter-Terrorism Structure
The Executive Committee of the Regional Counter-Terrorism Structure (RCTS) of the Shanghai
Cooperation Organisation (SCO) is the permanent body of the SCO RCTS based in Tashkent, the
capital of Uzbekistan. Its main tasks and duties are as follows:
1. Maintaining working relations with competent institutions of the member states and
international organisations tackling issues of fighting terrorism, separatism and extremism;
2. Assistance in interaction among the member states in preparation and staging of
counterterrorism exercises at the request of concerned member states, preparation and conduct of
search operations and other activities in the field of fighting terrorism, separatism and extremism;
3. Joint drafting of international legal documents concerning the fight against terrorism, separatism
and extremism;
4. Gathering and analysis of information coming to the RCTS from the member states, formation
and filling of RCTS data bank;
5. Joint formation of a system of effective response to global challenges and threats;
6. Preparation and holding of scientific conferences and workshops, assistance in sharing
experience in the field of fighting terrorism, separatism and extremism.
Director is the chief administrative officer of the RCTS Executive Committee. The nominee, a
citizen of an SCO member state, is appointed by the Council of Heads of State upon the
recommendation of the RCTS Council for a period of three years.
The Regional Counter-Terrorism Structure operates in accordance with the SCO Charter, the
Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism and Extremism, the Agreement among
the SCO member states on the Regional Anti-Terrorism Structure, as well as documents and
decisions adopted in the SCO framework.
Myrzakan U.Subanov was appointed Director of the SCO RCTS Executive Committee on 1
January 2007.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
122
Universitas Indonesia
The Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism and Extremism
2009-5-7
The Republic of Kazakhstan, the Peoples' Republic of China, the Kyrgyz Republic, the
Russian Federation, the Republic of Tadjikistan, and the Republic of Uzbekistan (hereinafter
referred to as "the Parties"),
guided by the purposes and principles of the Charter of the United Nations concerning
primarily the maintenance of international peace and security and the promotion of friendly
relations and cooperation among States;
aware of the fact that terrorism, separatism and extremism constitute a threat to international
peace and security, the promotion of friendly relations among States as well as to the enjoyment of
fundamental human rights and freedoms;
recognizing that these phenomena seriously threaten territorial integrity and security of the
Parties as well as their political, economic and social stability;
guided by the principles of the Almaty Joint Statement of 3 July 1998, the Bishkek
Declaration of 25 August 1999, the Dushanbe Declaration of 5 July 2000 and the Declaration on
the Establishment of the Shanghai Cooperation Organization of 15 June 2001;
firmly believing that terrorism, separatism and extremism, as defined in this Convention,
regardless their motives, cannot be justified under any circumstances, and that the perpetrators of
such acts should be prosecuted under the law;
believing that joint efforts by the Parties within the framework of this Convention are an
effective form of combating terrorism, separatism and extremism,
have agreed as follows:
Article 1 1. For the purposes of this Convention, the terms used in it shall have the following
meaning:
1) "terrorism" means:
a) any act recognized as an offence in one of the treaties listed in the
Annex to this Convention (hereinafter referred to as "the Annex") and as
defined in this Treaty;
b) any other act intended to cause death or serious bodily injury to a
civilian, or any other person not taking an active part in the hostilities in a
situation of armed conflict or to cause major damage to any material
facility, as well as to organize, plan, aid and abet such act, when the
purpose of such act, by its nature or context, is to intimidate a population,
violate public security or to compel public authorities or an international
organization to do or to abstain from doing any act, and prosecuted in
accordance with the national laws of the Parties;
2) "separatism" means any act intended to violate territorial integrity of
a State including by annexation of any part of its territory or to disintegrate
a State, committed in a violent manner, as well as planning and preparing,
and abetting such act, and subject to criminal prosecuting in accordance
with the national laws of the Parties;
3) "Extremism" is an act aimed at seizing or keeping power through the
use of violence or changing violently the constitutional regime of a State,
as well as a violent encroachment upon public security, including
organization, for the above purposes, of illegal armed formations and
participation in them, criminally prosecuted in conformity with the national
laws of the Parties.
2. This Article shall not affect any international treaty or any national law of the Parties,
provides or may provide for a broader application of the terms used in this Article.
Article 2 1. The Parties, in accordance with this Convention and other international obligations and
with due regard for their national legislations, shall cooperate in the area of prevention,
identification and suppression of acts referred to in Article 1 (1) of this Convention.
2. In their mutual relations, the Parties shall consider acts referred to in Article 1 (1) of
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
123
Universitas Indonesia
this Convention as extraditable offences.
3. In the course of implementation of this Convention with regard to issues concerning
extradition and legal assistance in criminal cases, the Parties shall cooperate in conformity with
international treaties to which they are parties and national laws of the Parties.
Article 3 The Parties shall take such measures as can prove necessary, including, as appropriate, in
the field of their domestic legislation, in order to ensure that in no circumstances acts referred to in
Article 1 (1) of this Convention should be subject to acquittal based upon exclusively political,
philosophical, ideological, racial, ethnic, religious or any other similar considerations and that they
should entail punishment proportionate to their gravity.
Article 4 1. Within 60 days after the Depositary has been notified about the completion of internal
procedures necessary for the entry into force of this Convention, a Party shall provide to the
Depositary, through diplomatic channels, in writing a list of its central competent authorities
responsible for the implementation of this Convention, and the Depositary shall transmit the above
list to other Parties.
2. Central competent authorities of the Parties in charge of issues relating to
implementation of the provisions of this Convention shall directly communicate and interact with
each other.
3. In case of any amendments to the list of central competent authorities of a Party, that Party
shall send an appropriate notification to the Depositary who shall inform the other Parties
accordingly.
Article 5 Upon mutual consent, the Parties can hold consultations, exchange views and coordinate
their positions on issues of combating acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, including
within international organizations and at international fora.
Article 6 In accordance with this Convention, the central competent authorities of the Parties shall
cooperate and assist each other through:
1) exchange of information;
2) execution of requests concerning operational search actions;
3) development and implementation of agreed measures to prevent,
identify and suppress acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, as
well as mutual information on the results of their implementation;
4) implementation of measures to prevent, identify and suppress, in
their territories, acts referred to in Article 1 (1) of this Convention, that are
aimed against other Parties;
5) implementation of measures to prevent, identify and suppress
financing, supplies of weapons and ammunition or any other forms of
assistance to any person and/or organization for the purpose of committing
acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;
6) implementation of measures to prevent, identify, suppress, prohibit
or put an end to the activities aimed at training individuals for the purpose
of committing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;
7) exchange of regulatory legal acts and information concerning
practical implementation thereof;
8) exchange of experience in the field of prevention, identification or
suppression of acts referred to in Article 1 (1) of this Convention;
9) various forms of training, retraining or upgrading of their experts;
10) conclusion, upon mutual consent of the Parties, of agreements on
other forms of cooperation, including, as appropriate, practical assistance
in suppressing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention and
mitigating consequences thereof. Such agreements shall be formalized in
appropriate protocols that shall form an integral part of this Convention.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
124
Universitas Indonesia
Article 7 The central competent authorities of the Parties shall exchange information of mutual
interest, inter alia, on:
1) planned and committed acts referred to in Article 1 (1) of this
Convention, as well as identified and suppressed attempts to commit them;
2) preparations to commit acts referred to in Article 1 (1) of this
Convention, aimed against heads of state or other statesmen, personnel of
diplomatic missions, consular services and international organizations, as
well as other persons under international protection and participants in
governmental visits, international and governmental political, sports and
other events;
3) organizations, groups and individuals preparing and/or
committing acts referred to in Article 1 (1) of this Convention or otherwise
participating in those acts, including their purposes, objectives, ties and
other information;
4) illicit manufacturing, procurement, storage, transfer,
movement, sales or use of strong toxic, and poisonous substances,
explosives, radioactive materials, weapons, explosive devices, firearms,
ammunition, nuclear, chemical, biological or other types of weapons of
mass destruction, as well as materials and equipment which can be used
for their production, for the purpose of committing acts referred to in
Article 1 (1) of this Convention;
5) identified or suspected sources of financing of acts indicated
in Article 1 (1) of this Convention;
6) forms, methods and means of committing acts indicated in
Article 1 (1) of this Convention.
Article 8 1. Cooperation among central competent authorities of the Parties within the framework
of this Convention shall be carried out in a bilateral or multilateral format on the basis of a request
for assistance as well as by way of providing information upon the initiative of the central
competent authority of a Party.
2. Requests or information shall be forwarded in writing. In case of urgency, the requests
or information can be transmitted orally but within 72 hours thereafter they should be confirmed in
writing and with the use of technical means of text transmission, as necessary.
If there are any doubts about the authenticity of a request or information or the contents
thereof additional confirmation or clarification of the above documents can be requested.
3. A request should contain the following:
a) the name of the requesting and requested central
competent authorities;
b) purposes of and grounds for the request;
c) description of the contents of the assistance required;
d) any other information which could be useful for a timely
and appropriate execution of the request;
e) degree of confidentiality, as necessary.
4. Requests or information transmitted in writing shall be signed by the head of the
requesting central competent authority or his or her deputies or shall be certified by the official
seal of that central competent authority.
5. Requests and documents transmitted therein, as well as information shall be provided
by the central competent authority in one of the working languages mentioned in Article 15 of this
Convention.
Article 9 1. The requested central competent authority shall take all necessary measures to ensure a
prompt and most complete execution of the request and, within the shortest possible time, shall
provide information on the results of its consideration.
2. The requesting central competent authority shall be notified, without delay, about the
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
125
Universitas Indonesia
circumstances that prevent or significantly hamper the execution of a request.
3. If the execution of a request is outside the competence of the requested central
competent authority that authority shall transmit the request to another central competent authority
of its State, which has the competence to execute it and shall without delay notify the requesting
central competent authority accordingly.
4. The requested central competent authority can request additional information which it
considers necessary for the execution of the request.
5. Requests shall be executed on the basis of the legislation of the requested Party. Upon
request by the requesting central competent authority, the legislation of the requesting Party may
be applied if this does not contradict fundamental legal principles or international obligations of
the requested Party.
6. Execution of a request can be postponed or denied completely or in part in case the
requested central competent authority considers that its execution could prejudice the sovereignty,
security, public order or other substantial interests of its State or that it contradicts the legislation
or international obligations of the requested Party.
7. Execution of a request can be denied if the act in connection with which the request
was made does not constitute an offence under the legislation of the requested Party.
8. If, in accordance with paragraph 6 or 7 of this Article, the execution of a request is
denied in full or in part or if it is postponed, the requesting central competent authority shall be
notified accordingly in writing.
Article 10 The Parties will conclude a separate agreement and will adopt other necessary documents in
order to establish and provide for functioning of a Parties' Regional Counter-terrorist Structure
with the headquarters in Bishkek, the purpose of which would be to effectively combat the acts
referred to in Article 1 (1) of this Convention.
Article 11 1. For the purposes of implementation of this Convention, central competent authorities
of the Parties may establish emergency lines of communication and hold regular and extraordinary
meetings.
2. For the purposes of implementation of the provisions of this Convention, the Parties
may, as necessary, provide technical and material assistance to each other.
3. Materials, special means, facilities and technical equipment received by a Party on the
basis of this Convention from another Party shall not be subject to transfer without a prior written
consent of the providing Party.
4. Information about methods of conducting operational search activities, specifications
of special forces and means and supporting materials used by central competent authorities of the
Parties in order to provide assistance within the framework of this Convention, shall not be subject
to disclosure.
Article 12 The central competent authorities of the Parties may conclude specific agreements among
them governing modalities for the implementation of this Convention.
Article 13 1. Each Party shall assure the confidential nature of the information and documents
received if they are sensitive or if the providing Party considers their disclosure undesirable. The
degree of sensitiveness of such information and documents shall be determined by the providing
Party.
2. Without a written consent of the providing Party, the information or response to the
request received pursuant to this Convention, may not be used for purposes other than those for
which they were requested or provided.
3. The information and documents received by a Party pursuant to this Convention from
another Party shall not be transmitted without a prior written consent of the providing Party.
Article 14
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
126
Universitas Indonesia
Each Party shall bear independently the costs of the implementation of this Convention,
unless otherwise agreed.
Article 15 The working languages to be used by the central competent authorities of the Parties in their
cooperation within the framework of this Convention shall be Chinese and Russian.
Article 16
This Convention shall not limit the right of the Parties to conclude other international treaties
on matters that constitute the subject of this Convention and do not contradict its purposes and
object, nor shall it affect the rights and obligations of the Parties under other international treaties
to which they are Parties.
Article 17
Any disputes, concerning interpretation or application of this Convention shall be settled
through consultation and negotiation between the interested Parties.
Article 18
1. This Convention shall be deposited with the People’s Republic of China. Official
copies of this Convention shall be sent by the Depositary to other Parties in the course of 15 days
after its signing.
2. This Convention shall enter into force on the thirtieth day following the receipt by the
Depositary the last notification in writing from the Republic of Kazakhstan, the People’s Republic
of China, the Kyrgyz Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan, or the Republic
of Uzbekistan informing it of the completion of national procedures necessary for this Convention
to enter into force.
Article 19
1. Following the entry into force of this Convention other States may, subject to the
consent of all the Parties, accede to it.
This Convention shall enter into force for each acceding State on the thirtieth day following
the receipt by the Depositary of a notification in writing informing it of the completion of national
procedures necessary for this Convention to enter into force. On this date, the acceding State shall
become Party to this Convention.
Article 20 1. Amendments and additions may, subject to the consent of all Parties, be made to the
text of this Convention, which shall be effected by Protocols being an integral part of this
Convention.
2. Any Party may withdraw from this Convention by notifying in writing the Depositary
of the decision 12 months prior to the date of anticipated withdrawal. The Depositary shall inform
the other Parties of this intention within a 30‑day period following the receipt of the notification of
withdrawal.
Article 21 1. When forwarding to the Depositary its notification of the completion of internal
procedures necessary for this Convention to enter into force, a Party which does not participate in
one of the treaties enumerated in the Annex may declare that this Convention shall be applied to
the Party with that
treaty regarded as not included in the Annex. Such declaration shall cease to be effective after
notifying the Depositary of the entry of that treaty into force for the Party.
2. When one of the treaties listed in the Annex ceases to be effective for a Party, the latter
shall make a declaration as provided for in paragraph 1 of this Article.
3. The Annex may be supplemented by treaties that meet the following conditions:
1) they are open for signature to all States;
2) they entered into force; and
3) they were ratified, accepted, approved or acceded to by at least
three Parties to this Convention.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
127
Universitas Indonesia
4. After the entry into force of this Convention, any Party may propose an amendment to
the Annex. The proposal for amending the Annex shall be forwarded to the Depositary in written
form. The Depositary shall notify all the proposals that meet the requirements of paragraph 3 of
this Article to the other Parties and seek their views on whether the proposed amendment should
be adopted.
5. The proposed amendment shall be considered adopted and shall come into force for all
the Parties 180 days after the Depositary has circulated the proposed amendment, except when
one-third of the Parties to this Convention inform in writing the Depositary of their objections to
it.
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
128
Universitas Indonesia
Treaty on Long-Term Good-Neighborliness, Friendship and Cooperation Between the
Member States of the Shanghai Cooperation Organization
2007-8-16
Member States of the Shanghai Cooperation Organization (hereinafter referred to as "the SCO", or
"Organization"): the Republic of Kazakhstan, the People's Republic of China, the Kyrgyz
Republic, the Russian Federation, the Republic of Tajikistan, the Republic of Uzbekistan,
hereinafter referred to as "the Contracting Parties";
Bound by historical ties of good-neighborliness, friendship and cooperation;
Guided by the goals and principles of the Charter of the United Nations, universally recognized
principles and norms of international law, as well as by the Charter of the Shanghai Cooperation
Organization of 7 June 2002;
Convinced that strengthening and deepening relations of good-neighborliness, friendship and
cooperation between the Member States of the Organization corresponds to the fundamental
interests of their peoples and contributes to peace and development in the SCO space and in the
whole world;
Recognizing that globalization processes increase interdependence of States, as a result of which
their security and prosperity are becoming inextricably intertwined;
Believing that contemporary challenges and threats to security have a global nature and can only
be effectively met through joint efforts and adherence to the agreed principles and interaction
mechanisms;
Mindful of the need to respect cultural and civilizational variety of the contemporary world;
Reaffirming their readiness to expand mutually beneficial cooperation between them and with all
interested States and international organizations to promote a just and rational world order creating
favorable conditions for a sustainable development of the Organization's Member States;
Reaffirming further that this Treaty shall not be directed against any States or organizations, and
that the Contracting Parties shall follow the principle of openness to the other countries of the
world;
Seeking to make the SCO space a region of peace, cooperation, prosperity and harmony;
Guided by the intention to contribute to more democratic international relations and to the
establishment of a new architecture of global security on the basis of equality, mutual respect,
mutual trust and benefit, as well as abrogation of a bloc-based and ideological division;
Determined to strengthen friendly relations between the Organization's Member States so that
friendship between their peoples is handed down from generation to generation;
Have agreed as follows:
Article 1
The Contracting Parties shall develop long-term relations of good-neighborliness, friendship and
cooperation in the areas of mutual interest for the Contracting Parties in accordance with
universally recognized principles and norms of international law.
Article 2
The Contracting Parties shall settle differences between them peacefully, using, as a guidance, the
Charter of the United Nations and universally recognized principles and norms of international
law, as well as the Charter of the Shanghai Cooperation Organization of 7 June 2002.
Article 3
The Contracting Parties shall respect each other's right to choose ways of political, economic,
social and cultural development, taking into account the historical background and national
peculiarities of each State.
Article 4
The Contracting Parties, respecting principles of state sovereignty and territorial integrity, shall
take measures to prevent on their territories any activity incompatible with these principles.
The Contracting Parties shall not participate in alliances or organizations directed against other
Contracting Parties and shall not support any actions hostile to other Contracting Parties.
Article 5
The Contracting Parties shall respect the principle of inviolability of borders and make active
efforts to build confidence in border regions in the military sphere, determined to make the borders
with each other borders of eternal peace and friendship.
Article 6
In case of a situation threatening its security, a Contracting Party may hold consultations within
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
129
Universitas Indonesia
the Organization with other Contracting Parties to provide an adequate response to the situation
that emerged.
Article 7
The Contracting Parties shall make efforts within the framework of the SCO to maintain and
strengthen international peace and security, and shall promote coordination and cooperation in
such areas as safeguarding and strengthening the role of the United Nations, maintaining global
and regional stability, advancing international arms control process, preventing the proliferation of
weapons of mass destruction and their delivery means; they shall also hold regular consultations
on those issues.
Article 8
The Contracting Parties, in accordance with their national legislations and on the basis of
observing generally recognized principles and norms of international law, international treaties, to
which they are parties, shall actively develop cooperation to counteract terrorism, separatism and
extremism; illegal trafficking in drugs, psychotropic substances and their precursors and arms;
other forms of transnational criminal activity; as well as illegal migration.
The Contracting Parties, in accordance with their national legislations and on the basis of
international treaties, to which they are parties, shall build up their interaction in searching,
apprehending, extraditing and transferring persons suspected of, charged with or sentenced for
committing crimes related to terrorist, separatist, extremist activities or other crimes.
The Contracting Parties shall develop cooperation in the field of state border security and customs
control, regulation of labor migration, and provision of financial and information security.
Article 9
The Contracting Parties shall promote contacts and cooperation between law enforcement and
judicial authorities of the Contracting Parties.
Article 10
The Contracting Parties shall develop various forms of cooperation between their Defense
Ministries.
Article 11
The Contracting Parties shall develop cooperation in such fields as promoting the implementation
of human rights and fundamental freedoms in accordance with their international obligations and
national legislations.
The Contracting Parties in accordance with their international obligations as well as national
legislations, shall guarantee in their territories the observance of legitimate rights and interests of
citizens of the other Contracting Parties residing in their territories, and shall facilitate the
provision of necessary mutual legal assistance.
Article 12
The Contracting Parties shall recognize and protect each other's legitimate rights and interests
relative to the property possessed by a Contracting Party in the territory of another Contracting
Party.
Article 13
The Contracting Parties shall strengthen economic cooperation on the basis of equality and mutual
benefit and shall create favorable conditions for developing trade, encouraging investments and
exchanging technologies within the framework of the SCO.
The Contracting Parties shall facilitate economic activities including the provision of legal
conditions for activities, in their territories, of natural and legal persons of other Contracting
Parties, who are engaged in a legal economic activity, as well as the protection in their territory of
legitimate rights and interests of such natural and legal persons.
Article 14
The Contracting Parties shall develop cooperation in international financial institutions, economic
organizations and fora, of which they are members, and shall facilitate membership of other
Contracting Parties in those organizations in accordance with the statutory provisions of such
institutions, organizations and fora.
Article 15
The Contracting Parties shall develop cooperation in the sphere of industry, agriculture, finance,
energy, transport, science and technology, innovation, information, telecommunications, air space,
and other spheres of mutual interest to them and shall encourage various forms of regional
projects.
Article 16
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013
130
Universitas Indonesia
The Contracting Parties shall take all possible measures to promote cooperation in the legal
sphere; hold regular exchanges of information on the legislation under development, adopted or in
force; and cooperate in the development of international legal instruments.
The Contracting Parties shall encourage contacts and cooperation between their legislative
authorities and their representatives.
Article 17
The Contracting Parties shall develop cooperation in providing environmental protection,
ecological security and sound environmental management and shall take necessary measures to
develop and implement special programs and projects in these fields.
Article 18 The Contracting Parties shall render mutual support and assistance in preventing natural and
technogenic emergencies and mitigating consequences thereof.
Article 19
The Contracting Parties shall develop mutual exchanges and cooperation in the fields of culture,
art, education, science, technologies, health, tourism, sport and other social and humanitarian
spheres.
The Contracting Parties shall mutually promote and support direct links between cultural,
educational, scientific and research institutions; joint scientific and research programs and
projects; as well as cooperation in training, exchange of students, scientists and specialists.
The Contracting Parties shall actively contribute to creating favorable conditions for studying the
languages and cultures of other Contracting Parties.
Article 20
This Treaty shall not affect the rights and obligations of the Contracting Parties under other
international treaties to which they are parties.
Article 21
To implement this Treaty, the Contracting Parties may conclude international agreements in
specific fields of mutual interest.
Article 22
Disputes related to the interpretation or implementation of the provisions of this Treaty shall be
settled through consultations and negotiations between the Contracting Parties.
Article 23
This Treaty shall be subject to ratification by the Contracting Parties -Signatories to it.
This Treaty shall be indefinite and shall enter into force from the date of deposit of the last
instrument of ratification to the Depositary.
This Treaty shall remain in force for any Contracting Party while it is a Member State of the
Organization. Participation of a Contracting Party in this Treaty shall cease automatically from the
date of the termination of its membership in the SCO.
Upon entry into force of this Treaty, it shall be open for accession by any State that has become a
member of the Organization. For the accessing State this Treaty shall enter into force on the
thirtieth day from the date of deposit of the relevant instrument of accession to the Depositary.
Article 24
This Treaty may be amended and supplemented by separate protocols as agreed upon by all the
Contracting Parties.
Article 25
The original copy of this Treaty shall be deposited with the Depositary.
The Secretariat of the Shanghai Cooperation Organization shall be the Depositary of this Treaty
and shall transmit to the Contracting Parties certified copies thereof within fifteen days from the
date of its signature.
Article 26
This Treaty shall be subject to registration with the United Nations Secretariat in accordance with
Article 102 of the UN Charter.
Done in the city of Bishkek on 16 August 2007 in one copy in the Russian and Chinese languages,
both texts being equally authentic.
2008
Shanghai cooperation..., Seno Setyo Pujonggo, Pascasarjana UI, 2013