27. Obat-obat Adrenergik
Muhammad Irsan Saleh NEURON ADRENERGIK DAN KATEKOLAMIN
Serat-serat pascaganglionik sistem saraf simpatis terutama adalah adrenergik, di mana pada ujung sarafnya membebaskan transmiter noradrenalin (= norepinefrin, NE) dan mungkin juga adrenalin (epinefrin, Epi). Sebagian kecil dari serat saraf pascaganglionik yang ke kelenjer keringat dan pembuluh darah adalah kolinergik yang membebaskan ACh pada akhir sarafnya. Konsep dari serat saraf adrenergik adalah bahwa impul-impul saraf menyebabkan depolarisasi dan peningkatan permiabilitas terhadap kalsium yang masuk ke dalam sel dan meyebabkan pembebasan NE dan sedikit epinefrin dari terminal saraf. NE, Epi dan dopamin secara kimia termasuk golongan senyawa katekolamin (katekol adalah gugusan 3,4-dihidroksibenzen). Senyawa-senyawa ini didistribusi-kan ke semua jaringan dalam sel yang disebut sel-sel kromafin. Besarnya pernsentase berbagai katekolamin di dalam sel kromafin tergantung pada lokasi dan speciesnya. Dalam usus dopamin terutama ditemukan dalam sel-sel non-saraf. Dalam medula adrenal ditemukan sedikit sekali dopamin, tetapi banyak sekali adrenalin. Pada organ-organ lain yang mungkin juga ada hubungannya dengan serat saraf, terdapat dopamin sebanyak 50% dari jumlah total katekolamin dan selebihnya adalah NE dan Epi. Dalam otak dopamin terdapat terutama dalam nukleus kaudatus dan mungkin berfungsi sebagai transmiter ditempat ini. Pada penderita Parkinsonisme, dalam neulkleus kaudatusnya terdapat kadar dopamin yang rendah sekali.
Katekolamin adalah amin simpatomimetik yang berisi gugusan 3,4-dihydroxybenzene (termasuk epinefrin, norepinefrin, isoproterenol dan dopamin), dibentuk dari asam amino fenilalanin seperti terlihat dalam Tabel 1.8.
Umumnya katekolamin ditemukan dalam partikel-partikel subselular yang disebut "granul kromafin" atau "gudang granul", diperkirakan terdapat sebanyak 20-40% yang bebas dalam sitoplasma. Granul mempunyai ATP yang banyak, yang dalam kombinasi dengan katekolamin terdapat dalam rasio 1:4. Juga mengandung suatu protein khusus yang larut ("chromogranin") dan enzim dopamin-beta-oksidase.
Katekolamin disimpan dalam partikel subseluler yang disebut "storage granule" dan berfungsi: (1) mengambil dopamin dari sitoplasma, (2) mengoksidasinya menjadi NE, (3) mengikat dan menyimpan NE untuk mencegah difusi ke luar sel dan destruksi oleh enzim-enzim, dan (4) membebaskan NE setelah rangsangan fisiologik.
Tabel 1.8. Proses pembentukan katekolamin.---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Substrat Reaksi enzim Inhibitor----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------FENILALANIN Fenilalanin hidroksilase
TIROSIN
Tirosin hidroksilase α metil tirosin 3 iodotirosin DOPA
Dopa dekarboksilase metildopa DOPAMIN Dopamin β hidroksilase disulfiram guanoklor NORADRENALIN Feniletanolamin-N-metil
transferase ADRENALIN----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Medula adrenal. Disamping epineferin, medula adrenal juga mengandung NE dan disekresi ke dalam sirkulasi. Pada manusia NE dalam medulla adrenal kira-kira 20% dari seluruh katekolamin di dalamnya, dan persentasenya lebih tinggi lagi pada bayi baru lahir dan tumor medula adrenal. NE dan E mempengaruhi sejumlah fisiologis target organ , termasuk otot polos pembuluh darah, jantung, hepar, jaringan lemak, dan otot polos uterus. Fungsi utama dari NE adalah untuk mempertahankan tonus simpatis yang normal dan pengaturan sirkulasi darah.
Pembebasan katekolamin. Potensial aksi yang sampai di terminal akson akan membebaskan katekolamin. Tiap-tiap sel saraf akan membebaskan hanya 1 katekolamin. Katekolamin disimpan dalam vesikel-vesikel dan dibebaskan oleh proses eksositosis.
Terminasi kerja dan metabolisme katekolamin. Terminasi efek katekolamin adalah dengan beberapa cara. Kebanyakan di ataranya dikembalikan ke granular pool (re-uptake) dan sebagian didegradasi secara enzimatik. Faktor-faktor lain termasuk redistribusi dan reflek-reflek kompensasi. "Re-uptake aktif" sangat penting dalam terminasi kerja katekolamin (kecuali untuk katekolamin yang dibebasakan oleh medula adrenal).
Degradasi metabolik katekolamin ialah dengan cara o-metilasi yang dikatalisasi oleh Catechol-O-methyltransferase (COMT - suatu enzim mitokondria) merupakan cara utama yang paling penting, disertai dengan proses lain seperti oksidatif-deaminasi oleh monoamin oksidase (MAO - suatu enzim sitoplamik) atau dengan konjugasi. Kedua enzim ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di dalam hepar dan ginjal. Metabolit katekolamin yang utama adalah normetanefrin, metanefrin dan asam 4-hidroksi-3-metoksimandelat (asam fanililmandelat atau FMA).
RESEPTOR ADRENERGIK
Setelah pembebasan dari terminal saraf, katekolamin bekerja pada reseptor-reseptor adrenergik dari sel efektor. Ahlquist pada tahun 1948 membagi reseptor adrenergik menjadi resptor alfa dan beta (α dan β) berdasarkan responnya terhadap beberapa agonis dan antagonis selektif untuk masing-masing reseptor.
Efek yang ditimbulkan melalui resptor α pada otot polos umumnya adalah stimulasi seperti pada otot vaskuler di kulit dan mukosa; dan pada reseptor beta adalah inhibisi seperti terlihat pada otot polos usus, bronkus dan pembuluh darah otot rangka (Tabel 1.6). Terdapat pengecualian, yaitu: (1) Pada otot polos usus yang mempunyai reseptor alfa dan beta, dan aktivasi kedua reseptor tersebut menimbulkan efek inhibisi. Hal ini terlihat dalam efek epinefrin pada usus yang bekerja pada resptor alfa dan reseptor beta menimbulkan relaksasi usus. Untuk dapat menghambat efeknya secara total diperlukan penghambatan reseptor alfa dan beta. (2) Pada jantung, yang mempunyai reseptor beta yang aktivasinya menimbulkan perangsangan denyut jantung dan kontraksi otot jantung.
Reseptor beta dibedakan lagi atas reseptor beta-1 dan beta-2 berdasarkan selektivitas agonis dan antagonis reseptor beta pada berbagai organ. Reseptor beta pada jantung disebut beta-1; dan pada otot polos bronkus, pembuluh darah otot rangka, usus, uterus, dan kelenjar-kelenjar disebut beta-2 (Tabel 1.6).
Reseptor alfa juga dibedakan atas α-1 dan alfa-2. Alfa-1 terdapat pada sel efektor otot polos dan kelenjar. Alfa-2 terdapat pada ujung saraf adrenergik dan kolinergik. Aktivasi α-2 menghambat pembebasan NE dari ujung saraf adrenergik dan ACh dari ujung saraf kolinergik. Alfa-2 juga terdapat pada sel efektor di otak, uterus, kelenjar parotis dan otot polos pembuluh darah tertentu. Efek obat adrenergik dapat diperkirakan sebelumnya bila diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat tersebut.
OBAT-OBAT ADRENERGIK
Obat-obat adrenergik ialah obat-obat yang mempunyai efek sama dengan efek yang dihasilkan oleh perangsangan sistem saraf simpatis.
Penggolongan
Agonis adrenergik (agonis adrenoseptor) harus dikelompokkan menurut 2 cara pendekatan:1. Penggolngan berdasarkan spektrum efeknya, yaitu (1) agonis α, (2) agonis β, (3)
campuran α dan β (4) dopamin. 2. Penggolongan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
(1) Agonis yang bekerja langsung, yaitu obat secara langsung mengaktifasi adrenoseptor. Termasuk dalam golongan ini ialah: katekolamin ( dopamin, epinefrin, norepinefrin, isoproterenol, dan dobutamin), albuterol, klonidin, metaproterenol, metoksamin, renilefrin, ritodrin, terbutalin.(2) Agonis kerja tak langsung , yaitu yang menyebabkan pembebasan katekolamin endogen (meningkatkan pembebasan norepinefrin dari vesikel)(3) Agonis campuran (kombinasi kerja langsung dan tidak langsung), termasuk golongan ini ialah: efedrin dan metaraminol.
Kedua cara penggolongan ini mempunyai arti penting dalam klinis.
Mekanisme kerja molekular
Mekanisme kerja agonis α belum selutuhnya dimengerti. Diduga bawa pada reseptor α 2 mereka agaknya menghambat pembentukan cAMP oleh adenilat siklase. Pengaktifan reseptor α 1 dapat lansung menyebabkan peningkatan influks kalsium ke dalam sel otot polos. Sebaliknya mekanisme akktivasi reseptor β telah dipelajari secara ekstensif, dan komponen sistem reseptor-efektor telah dapat diisolasi dan dibentuk kembali pada suatu membran buatan. Efekutama (pada reseptor β 1 dan β 2) adalah aktivasi adenilsiklase. Hasilnya berupa peningkatan konversi ATP menjadi cAMP. Cyclic AMP merupakan second messanger untuk berbagai interaksi reseptor hormon.
1. DOPAMIN
Sifat-Sifat Fisiologis Dan Farmakologis
Dopamin disintesa pada ganglion simpatis, substansia nigra otak tengah dan bagian tengah hipotalamus dan retina. Tidak dapat melewati sawar darah-otak. Efeknya di SSP terjadi karena adanya produksi lokal. Prekursor-DOPA dapat melewati sawar darah-otak, dan karena itu berguna untuk pengobatan Parkinson (secara biokimia dikarakteristikkan dengan hilangnya sel-sel dopaminergik). Terdapat 2 macam dopamin, yaitu : (1) reseptor D1, efek-efeknya diperantarai oleh adenilat siklase; reseptor D2, kerjanya tidak tergantung pada adenilat siklase.Efek-efek dopamin sebagai agonis β-1 adalah: menghambat pelepasan prolaktin, stimulasi SSP, memodifikasi tonus otot, merangang chemoreceptor trigger zone (CTZ) di medula oblongata yang menimbulkan
enek dan muntah, pada jantung mempunyai efek inotropik positif dan kronotropik (β1) pada dosis sedang
sampai tinggi, pada pembuluh arteri ginjal (mempunyai reseptor-reseptor dopamin) memberikan
efek: (1) vasodilatasi dan peningkatan GFR pada dosis rendah, (2) vasokonstriksi dan penurunan GFR pada dosis tinggi.
INDIKASI KLINIK
Dopamin secara klinik dapat digunakan untuk: (1) Mengatasi shok, (2) pengobatan oliguri sekunder disebabkan menurunnya aliran darah ginjal, (3) efek dopaminergik untuk meningkatkan aliran darah ke ginjal tanpa menaikkan tekanan darah sistemik yang diperoleh dengan pemberian dopamin dosis rendah (1-4 mcg/kg/menit) per infus; (4) dosis kisaran beta (4-12 mcg/kg/menit per infus) meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan kontraksi otot jantung, kronotropik, tetapi menyebabkan vasodilatasi ringan; (5) dosis kisaran alfa (>12 mcg/kg/menit per infus) meningkatkan tekanan darah sistemik, kontraksi otot jantung, kronotropik, yang pada dosis tinggi dapat menurunkan aliran darah ginjal karena efek vasokonstriksi. Toksisitas pada pemberian per infus : (1) dengan dosis tinggi terjadi penurunan perfusi ke ginjal, (2) ekstravasasi dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis lokal, (3) takikardi, angina, aritmia dan hipertensi.
2. EPINEFRIN
Epinefrin disintesa oleh medula adrenal dan batang otak. Tidak dapat menembus sawar darah-otak.
FARMAKODINAMIK
Epinefrin umumnya menimbulkan efek mirip prangsangan sistem saraf simpatis. Efeknya jelas terutama terhadap jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain. Jantung: Epinefrin memperkuat kotraksi dan mempercepat relaksasi, sehingga waktu sistolik dan diastolik menjadi pendek. Epinefrin mengaktivasi reseptor beta-1 di jantung menimbulkan efek inotropik dan kronotropik positif. Obat ini merangsang nodus SA dan sel otomatik lainnya dan mempercepat depolarisasi fase-4 (depolarisasi lambat pada waktu diatole) sehingga mempercepat fing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan fokus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus Perangsangan nodus SA menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel-sel yang mempunyai firng rate lebih cepat; mempercepat konduksi, mengurangi blokade AV, dan memperpendek periode refrakter nodus AV. Dengan demikian curah jantung, kerja jantung dan pemakaian oksigen bertambah tidak seusai dengan kerja jantung, sehingga efisiensi jantung berkurang. Dosis epinefrin yang berlebihan akan menyebabkan tekanan darah jadi tinggi sekali, disertai kontraksi prematur pada ventrikel, taki kardi ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
Vaskuler. Perangsangan reseptor α-1 menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh darah kulit, mukosa, dan ginjal. Dosis rendah menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah otot rangka karena aktivasi reseptor β-2 yang lebih dominan karena afinitasnya lebih besar terhadap reseptor β-2. Dosis tinggi menyebabkan vasokonstriksi (α lebih domonan) dan dapat menimbulkan peninggian tekanan darah yang jelas (sistolik > diastolik). Bila sebelum pemberian epinefrin diberikan penghambat reseptor-α (misalnya dibenamin) maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinephrine reversal.
Arteri koroner. Epinefrin meningkatkan aliran darah ke koroner, tetapi karena kompresi jantung akibat kerja jantung bertambah dan karena efek pada reseptor alfa-1 yang dominan maka aliran ke koroner dapat berkurang. Akibat peningkatan kontraksi jantung menimbukan hipoksia relatif yang akan membebaskan metabolit vasodilator yang merupakan faktor penentu yang lebih dominan maka hasil akhir adalah peningkatan aliran koroner. Efek epinefrin yang menambah aliran darah ke koroner ini tidak bermanfaat karena ditiadakan oleh kerja efek peningkatan kerja jantung.
Mata: midriasis (reseptor alfa) menurunkan tekanan intra okuler, dapat digunakan untuk "open-angle glaukoma".
Saluran cerna : Perangsangan reseptor alfa-2 (terdapat pada membran di terminal saraf kolinergik dan aktivasi reseptor alfa-2 menyebabkan hambatan pembebasan ACh) dan beta-2 (terdapat pada membran sel otot polos) pada otot polos saluran cerna menimbulkan relaksasi, penurunan tonus dan motilitas usus dan lambung.
Respirasi : Epi memberikan efek sentral dan efek perifir: (1) Efek perifir perangsangan reseptor Beta-2 di paru-paru menimbulkan relaksasi otot polos bronkus (bronkodilatasi). (2) Efek sentral merangsang pernafasan sehingga frekwensi pernafasan
meningkat. Pemberian epinefrin secara IV dapat menim-bulkan apnue selintas sebelum timbul perangsangan. Efek apnue ini mungkin disebabkan oleh penghambatan pusat pernafasan melalui efek langsung atau melalui reflek baroreseptor. Perangsangan α-1 pada pembuluh darah paru menyebabkan vasokon striksi yang menimbulkan kekeringan mukosa saluran nafas.
Uterus : Pada uterus manusia terdapat reseptor alfa dn β-2. Responya terhadap epinefrin tergantung pada dosis yang diberikan dan fase kehamilan. Pada kehamilan bulan terakhir dan pada waktu partus epinefrin menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui resptor β-2. Efek ini tidak begitu jelas. Pemberian β-2 agonis seperti ritodrin atau terbutalin ternyata efektif untuk menunda kelahiran prematur.
Kandung kemih: Reseptor beta-2 menyebabkan relaksasi dan reseptor alfa menyebabkan kontraksi otot trigon dan spingter, sehingga dapat menimbulkan kesulitan miksi dan retensi urin.
SSP: Epinefrin dosis terapi tidak menimbulkan efek stimualsi yang kuat karena obat inmi relatif polar sehingga sukar melewati sawar darah-otak. Akibat dari efek perifirnya pada beberapa orang dapat menimbul kegelisahan, kekawatiran, sakit kepala dan tremor.
Efek metabolik. Perangsangan reseptor beta-2 di hati dan otot rangka menstimulasi glikogenolisis. Dalam hati glikogen dirubah menjadi glukosa oleh glukosa-6-fosfatae, sedangkan otot rangka tidak mempunyai enzim ini, tetapi melepaskan asam laktat. Epinefrin juga menghambat sekresi insulin (dominasi reseptor alfa terhadap beta-2) dan menurunkan ambilan glukosa oleh jaringan perifir.
FARMAKOKINETIK
Pemberian oral epinefrin dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat dalam dinding usus dan hati. Suntikan subkutan absorpsinya lambat karena terjadi vasokonstriksi lokal. Pemberian I.M. absorpsi lebih cepat. Pemberian lokal melalui semprot hidung dan inhalasi, efeknya terbatas pada saluran nafas, namun dapat terjadi efek sistemik.
EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping dapat berupa : rasa takut, kawatir, kegelisahan ketegangan, sakit kepala berdenyut, tremor, rasa lemas, pusing, pucat, palpitasi dan sukar bernafas. Gejala ini cepat mereda setelah istirahat. Dosis epinefrin yang berlebihan atau pemberian IV dapat menimbulkan perdarahan otak akibat kenaikan tekanan darah yang hebat secara mendadak. Untuk mengatasi ini dapat diberikan vasodilator kerja cepat seperti Na-nitroprusid atau suatu alfa-bloker. Penderita hipertiroidi dan hipertensi lebih peka terhadap efek samping dan efek pada sistem kardiovaskuler. Pada penderita penyakit jantung organik atau pada anestesi dengan hidrokarbon berhalogen, epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel dan dapat melanjut jadi fibrilasi ventrikel yang biasanya fatal.
KONTRAINDIKASI
Epinefrin tidak boleh diberikan pada penderita : (1) hipertensi, (2) hipertiroidi, (3) aritmia dan (4) angina pektoris karena memperberat kerja jantung dan memperberat kekurangan O2 yang dapat menimbulkan serangan angina.
INDIKASI KLINIS
Epinefrin sering digunakan untuk: (1) bronkospasme diberikan secara subkutan, (2) anafilaktik, diberikan secara parenteral ,(3) dengan infiltrasi anestesi untuk memperpanjang masa kerja anestesi lokal (efek vasokonstriksi lokal pada tempat suntikan), (4) henti jantung, untuk merangsang kontraksi jantung dan (5) secara lokal untuk menghentikan perdarahan kapiler.
3. NOREPINEFRIN (LEVATERENOL)
FISIOLOGIS DAN FARMAKOLOGINorepinefrin (NE) yang disebut juga sebagai noradrenalin atau levarterenol adalah sebagai berikut : (1) disintesa oleh serat simpatis pascaganglion dan sel di "locus cereleus" dan pon. (2) tidak dapat melewati sawar darah-otak; (3) reseptor alfa memberikan efek fisiologis (lihat Tabel 1.6) :
a) alfa-1 - terutama pada membran pasca-sinaptik, sensitivitas terhadap Epi = NE, > isoproterenol
b) alfa 2 - terutama pada membran prasinaptik; snsitivitas Epi = NE > isoproterenol (tidak ada aktivitas); (4) reseptor beta - untuk efek fisiologis, lihat TAbel 1.6 ; NE lebih poten pada reseptor beta-1 daripada beta-2. Beta-1 bekerja terutama pada jaringan jantung; sensitivitas terhadap isoproterenol > Epi = NE; beta-2 terutama terdapat pada otot polos dan kelenjar-kelenjar; sensitivitas terhadap isoproterenol > Epi > NE.
4. ISOPROTERENOL
Isoproterenol (= isopropilnorepinefrin = isoprenalin = isopro- pilarterenol) mempunyai efek yang paling kuat terhadap reseptor beta-1 dan beta-2, umunya tidak mempunyai efek pada reseptor alfa (efenya relatif murni terhadap reseptor beta). Aktivasi reseptor beta-2 oleh isoproterenol merelaksasi hampir semua jenis otot polos. Efek ini terutama jelas bila tonus otot polos sebelumnya tinggi, dan paling jelas terlihat pada otot polos bronkus dan saluran cerna.
Otot polos pembuluh darah. Pemberian isoproterenol per infus pada manusia menurunkan tekanan darah diastolik, karena relaksasi otot polos pembuluh darah terutama otot rangka, dan juga mesenterium dan ginjal. Efek inotrpoik dan kronotropik positif meyebabkan curah jantung bertambah.
Otot polos bronkus. Isoproterenol bekerja sebagai antagonis fisiologik terhadap obat-obat atau terhadap penyebab asma yang menyebabkan bronkokonstriksi. Toleransi dapat timbul bila obat ini digunakan secara berlebihan. Pada asma isoproterenol juga menghambat pembebasan histamin pada reaksi antigen-antibodi. Efek ini juga dimiliki oleh antagonis beta-2 yang selektif.
Otot polos saluran cerna dan uterus. Isoproterenol menurunkan tonus dan motilitas usus dan juga motilitas uterus.
SSP.Isoproterenol menstimulasi SSP. Efek ini tidak jelas pada dosis terapi.
INDIKASI KLINIK. Isoproterenol diindikasikan untuk : (1) mengatasi bronkospasme, diberikan secara ihalasi; (2) perangsang jantung, diberikan IV untuk pengobatan shok (jarang digunkanan); (3) mengatasi bradikardi yang disertai hipotensi dan/atau angina.
5. DOBUTAMIN EFEK FARMAKOLOGI
Secara kimia ada kaitannya dengan dopamin. Merupakan stimulan beta-1 yang selektif. Efeknya lebih sedikit pada reseptor-reseptor beta-2, alfa atau dopamin.
Kardiovaskuler. Dobutamin mempunyai efek inotropik positif sama seperti dopamin, tetapi efek kronotropik kurang kuat, lebih sedikit menyebabkan aritmia dan iskemia kardiak daripada dopamin; tidak menghasilkan vasodilatasi pada dosis rendah (dopamin menimbulkan vasodilatasi pada dosis rendah); efek vasokonstriksi minimal.
INDIKASI KLINIK Dobutamin digunakan untuk kelemahan jantung kongestif pada periode pasca-insufisiensi mitral, dengan miokarditis atau kardiomiografi dan setelah "open heart surgery". Meningkatkan curah jantung dengan sedikit perubahan pada O2 miokard. EFEK SAMPING Efek samping dapat berupa : enek, muntah, sakit kepala, palpitasi, angina dan aritmia.
4. ADRENEGIK NON-KATEKOLAMIN
Termasuk obat golongan adrenergik-nonkatekolamin adalah : efendrin, fenilefrin, amfetamin, metamfetamin, mefentermin, hidroksiamfe-tamin, metaraminol, metoksamin, agonis beta-2 (orsiprenalin, salbutamol, terbutalin, fenoterol, ritodrin, isoetarin, kuintere- nol, soterenol), dan lain-lain. Aktivitas agonis simpatetik dapat dihasilkan dari pembebasan simpanan NE atau stimulasi langsung reseptor adrenergik. Kebanyakan obat adrenergik nonkatekolamin dapat diberikan per oral, dan banyak di antaranya mempunyai masa kerja yang lama,
karena resistensi obat-obat ini terhadap COMT dan MAO dan dosisnya relatif besar. Efek sentral relatif kuat karena dapat melewati sawar-darah otak. 4.1. TIRAMIN
Tiramin banyak ditemukan dalam anggur merah, bir, keju, coklat, dan banyak makanan lain. Diambil oleh neuron-neuron simpatis dan bekerja sebagai transmiter palsu untuk membebaskan katekol-katekol. Dalam keadaan normal senyawa ini didegradasi oleh MAO. Tidak digunakan dalam terapi.
TOKSISITAS. Bila tiramin dimakan oleh orang yang sedang mengunakan MAO inhibitor akan terjadi penurunan metabolisme MAO inhibitor, dan kadar tiramin dalam serum yang tinggi akan menimbulkan pembebasan katekolamin secara mendadak yang akan menginduksi terjadinya hipertensi krisis dan aritmia berat.
4.2. AMFETAMIN
EFEK FARMAKOLOGIK
(1) Amfetamin menimbulkan pembebasan NE (efek-efek alfa dan beta yang kuat) dan dopamin. Ekskresinya adalah melalui urin, umumnya dalam bentuk tidak berobah.
(2) SSP : Stimulasi SSP menimbulkan iritabilitas, takipnue, efori, penekanan nafsu makan, peningkatan aktivitas mototrik, dan dosis tinggi dapat menimbulkan psikosis yang dapat diobati dengan obat-obat blokade dopamin.
(3) Kardiovaskuler : meningkatkan tekanan darah, menurunkan reflek denyut jantung (bervariasi); dan merupakan aritmogenik pada dosis tinggi.
INDIKASI KLINIK1. penyakit kurang perhatian pada anak-anak (disfungsi otak yang minimal, hiperaktivitas); 2. sebagai narkolepsi; 3. penekan nafsu makan, hanya digunakan untuk jangka pendek (beberapa minggu)
karena efek adiksinya. Adanya rebound weight gain menghilangkan manfaat obat ini.
EFEK SAMPING
Efek samping amfetamin dapat berupa :1. kelemahan, pusing, insomnia, disfori, tremor, sakit kepala, reaksi psikotik (jarang); 2. palpitasi, takikardi, hipertensi; 3. diare atau konstipasi; 4. impoten; 5. dosis berlebih dapat menimbulkan konfusi, delirium, paranoia, psikosis, aritimia
jantung, hipertensi atau hipotensi, nyeri abdomen (pengasaman urin mempercepat ekskresi obat ini);
6. penyalahgunaan dapat menimbulkan ketergantungan obat.
4.3. Metaraminol EFEK FARMAKOLOGIMetaraminol mempunyai efek-efek farmakologi sebagai berikut : (1) bekerja sebagai "false neurotransmitter" dan sebagai agonis adrenergik; (2) stimulasi reseptor α -1 dan α-2 (efek langsung dan tidak langsung); (3) meningkatkan tekanan darah saistolik dan diastolik dan sering menimbulkan reflek bradikardi.
INDIKASI KLINIK. Metaraminol digunakan untuk mengatasi hipotensi.
EFEK SAMPING : sama dengan NE.
4.4. EFEDRIN
FARMAKODINAMIK. Efedrin adalah alkaloid yang diperoleh dari tumbuhan Efedra. Farmakodinamik efedrin sama seperti amfetamin (tetapi efek sentralnya lebih lemah) atau mirip epinefrin. Dibanding dengan epinefrin, efedrin dapat diberikan per oral, masa kerjanya jauh lebih lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari dosis epinefrin. Bekerja merangsang reseptor α, β1 dan β2. Efek perifir, bekerja langsung dan tidak langsung (melalui pembebasan NE endogen) pada efektor sel. Seperti epinefrin , efedrin menimbulkan bronkodilatasi, tetapi efeknya lebih lemah dan berlangsung lama. Hal ini digunakan untuk terapi asma bronkial. Penetesan lokal pada mata menimbulkan midriasis. Pada uterus dapat mengurangi aktivitas uterus, dan efek ini daapat dimanfaatkan untuk dismenore.
INDIKASI KLINIK
Dalam klinik efedrin dapat digunakan untuk :1) sebagai dekongestan diberikan peroral atau intranasal. Penggunaan yang terus
menerus menimbulkan toleran. 2) Pencegahan enuresis, karena efeknya meningkatkan tonus spingter vesica
urinaria. 3) Sebagai midriatika untuk pemeriksaan mata. 4) Pengobatan bronkospasme (asma bronkial).
EFEK SAMPING: sama seperti pada amfetamin, tetapi efek samping pada SSP lebih ringan.
4.5. METOKSAMIN
Metoksamin adalah suatu agonis α-1 relatif murni, bekerja langsung pada efektor sel. Efek sentral hampir tidak ada. Efek vasokonstriksi cukup kuat, menimbulkan kenaikan
tekanan darah sistolik dan diastolik, disertai dengan efek bradikardi yang kuat dan perlambatan konduksi AV. TOKSISITASNYA: sama dengan fenilefrin. PENGGUNAAN : untuk hipotensi.
5. AGONIS BETA-2 SELEKTIF Termasuk golongan ini ialah : orsiprenalin (metaproterenol - inhalasi), salbutamol (albuterol - agonis beta-2 paling kuat, pemberian inhalasi atau per oral), terbutalin (inhalasi, subkutan atau per oral), fenoterol, ritodrin, isoetarin (dibanding obat-obat lain : onsetnya cepat, masa kerja pendek, pemberian hanya per inhalasi), kuinterenol, soterenol, dan lain-lain. Dalam dosis kecil efeknya pada reseptor β-2 jauh lebih kuat dari pada β-1. Bila dosis dinaikkan selektivitas ini dapat hilang. Efek perangsangan β-2 pada paru menimbulkan bronkodilatasi, pada uterus dan pembuluh darah otot rangka menimbulkan vasodilatasi. Setiap obat agonis β-2 mempunyai selektivitas yang berbeda-beda .
EFEK SAMPING. Dapat berupa : (1) enek dan muntah, (2) takikardi, palpitasi, hipertensi, dan disritmia, dan (3) sakit kepala dan tremor.
INDIKASI KLINIK. Agonis beta-2 selektif terutama digunakan untuk terapi simtomatis bronkospasme (asma bronkial). Untuk serangan akut asma bronkial dapat digunakan epinefrin subkutan 0,2-0,5 mg atau secara inhalasi ("metered aerosol").
28. Obat-Obat AntiadrenergikMuhammad Irsan Saleh
Obat-obat antiadrenergik (penghambat adrenergik = antagonis adrenergik = adrenolitik) ialah obat-obat yang bekerja menghambat perangsangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya obat-obat ini dibagi atas 3 golongan, yaitu : (1) penghambat adrenoseptor (adrenoceptor blocker), (2) penghambat saraf adrenergik, dan (3) penghambat adrnergik sentral. PENGHAMBAT ADRENOSEPTOR(Adrenoceptor blocker) Penghambat adrenoseptor atau adrenoseptor bloker adalah obat-obatyang bekerja menempati reseptor adrnergik sehingga menghambat interaksi obat adrenergik dengan reseptornya, dengan akibat dihambatnya kerja adrenergik pada sel efektornya. Dengan demikian obat-obat ini menghambat respons sel efektor adrenergik terhadap perangsangan saraf simpatik dan terhadap obat adrenergik eksogen.
Sesuai dengan jenis reseptornya, penghambat adrenoseptor dibedakan atas 2 jenis, yaitu: (1) penghambat adrenoseptor-α (alfa bloker) dan (2) penghambat adrenoseptor-β (beta-bloker).
ALFA-BLOKER Yang termasuk alfa-bloker atau penghambat reseptor alfa di antaranya adalah: derivat haloalkilamin, derivat imidazolin, prazosin, derivat alkaloid ergot, yohimbin. Obat ini bekerja dengan penghambatan kompetitif NE pada reseptor-α. Pemakaian yang lama dapat menginduksi desensitisasi reseptor.
Derivat Haloalkilamin
Termasuk golongan ini ialah fenoksibenzamin dan dibenamin. Fenoksibenzamin mempunyai potensi 6-10 kali dibenamin.
FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja. Dalam darah senyawa ini terurai jadi etilenimonium yang mempunyai efek inhibisi kompetitif yang reversibel. Selanjutnya etilenimonium akan terurai membentuk ion karbonium yang sangat reaktif yang membentuk ikatan kovalen
Tabel 8-1. Penggolongan obat antiadrenergik berdasarkan cara kerja dan selektivitasnya.Penghambat adrenergik Cara kerja Sub-sub divisi Sediaan
Penghambat α (α bloker)
α-1 bloker non-selektif
α-1 bloker selektif
α-2 bloker selektif
α-1 bloker non-selektif non-kompetitif
α-1 bloker non-selektif kompetitif
derivat kuinazolin*
- fenoksibenzamin- dibenzamin
- fentolamin- tolazolin
- prazosin **- terazosin- doksazosin- trimazosin- bunazosin
- YohimbinPenghambat β (β bloker)
-Kompetitif antagonis NE dan Epi endogen dan eksogen pda reseptor β.
Efek β bloker >< agonis adrenergeik
- propranolol***- asetbutolol- atenolol- labetalol- metoprolol- nadolol- pindolol- timolol
Penghambat saraf adrenergik
Bekerja menggangu sintesis, simpanan, dan rilis neurotransmiter di terminal adrenergik
-Guanetin & Guanadrel
-reserpin- metirosin
Penghambat -menghambat perangsangan - klonidin
adrenergik sentral neuron adrenergik di SSP - metildopa Antagonis kompetitif α-1 sangat selektif, dan sangat poten. Prazosin: afinitas α 1 = 300 x α2;
Doksazosin: afinitas α 1 = > 600 x α-2 ** prototip*** prototip dan standar untuk ukuran β bloker lain .
yang stabil dengan adrenoseptor-α , yang mempunyai hambatan nonkompetitif dan ireversibel. Dengan mekanisme kerja ini golongan obat ini mempunyai mula-kerja yang lambat (walaupun pada pemberian IV) dan masa-kerja yang lama (berhari-hari sampai berminggu-minggu). Karena itu golongan obat ini disebut alfa-bloker nonkompetitif dengan masa kerja lama. Fenoksibenzamin merupakan α1-bloker dengan selektivitas sedang.
EFEK PADA ORGAN-ORGAN
(1) Pada SSP menimbulkan efek sedasi atau stimulasi, enek dan muntah. (2) Pada mata menimbulkan efek miosis (inhibisi otot dilator). (3) Pada sistem kardiovaskuler: terjadi sedikit penurunan tekanan darah diastolik, tetapi
pada waktu berdiri atau pada penderita hipovolemi penurunan tekanan darah sistolik dan diatolik lebih hebat sebagai akibat blokade reflek vasokonstriksi, blokade pressor respons NE dan Epi.
(4) Pada saluran cerna terjadi peningkatan motilitas dan sekresi kelenjar.(5) Pada saluran kemih-kelamin terjadi gangguan ejakulasi, dan penurunan tonus sfingter.(6) Efek metabolik, terjadi peningkatan pembebasan insulin.
FARMAKOKINETIK
Derivat haloalkilamin diabsorpsi dengan baik dari semua tempat, tetapi karena efek iritasi lokalnya hanya diberikan secara oral atau IV. Fenoksibenzamin per oral diabsorpsi dalam bentuk aktif sebanyak 20-30% saja. Fenoksibenzamin mudah larut dalam lemak dan pemberian dosis besar dapat terjadi penumpukan dalam lemak. Pada pemberian IV mulai kerjanya 1-2 jam. Waktu paruh hambatan sekitar 24 jam dan masih terlihat efek hambatannya setelah 3-4 hari. Pemberian tiap hari dapat menimbulkan efek kumulatif.
INDIKASI KLINIK
Fenoksibenzamin diindikasikan untuk : (1) Hipertensi sekunder akibat dosis berlebihan dari agonis adrenergik atau MAO
inhibitor. (2) Feokromositoma, praoperatif diberikan per oral untuk mengatasi hipertensi dan IV
pada waktu operasi. (3) Hiperefleksi otonomik karena trauma pada medula spinalis. (4) Profilaksis pada penyakit Raynaud. EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping karena efek alfa-bloker berupa: takikardi, hipotensi ortostatik, miosis, hidung tersumbat dan hambatan ejakulasi. Pada penderita hipovolemia dapat terjadi penurunan tekanan darah yang hebat.
Efek samping bukan karena efek blokade reseptor alfa : iritasi lokal (enek dan muntah pada pemberian oral), sedasi, perasaan lemah dan kelelahan.
Derivat Imidazolin
Derivat imidazolin yang digunakan sebagai α -bloker adalah fentolamin (α1 dan α 2-bloker nonselektif) dan tolazolin (α bloker selektif).
FARMAKODINAMIK
Masa kerja penghambatan kompetitif lebih pendek dari fenoksibenzamin. Respon terhadap serotonin juga dihambat. Toksisitasnya lebih besar dari fenoksibenzamin. Dosis rendah menimbulkan vasodilatasi karena kerja langsung pada otot polos pembuluh darah.
INDIKASI KLINIK
Pentolamin (IV atau IM) dan tolazolin (IV, IM atau SK) digunakan untuk krisis hipertensi yang disebabkan oleh feokromositoma. Tolazolin jarang digunakan lagi.
EFEK SAMPING
Efek samping pentolamin dan tolazolin ialah : (1) gejala stimulasi pada jantung berupa takikardi, aritmia dan angina; (2) gejala stimulasi saluran cerna berupa nausea, muntah, nyeri abdomen, diare dan kambuhnya ulkus peptikum.
1.1.3. Prazosin
Prazosin menghambat reseptor α1 yang memberikan efek vasodilatasi. Pemberian prazosin menyebabkan efek presor epinefrin berubah menjadi efek depresor dan menghambat efek presor NE. Prazosin merupakan α 1-bloker yang sangat selektif.
Prazosin mengurangi tonus pembuluh darah arteri maupun vena, sehingga mengurangi alir balik vena dan curah jantung. Efek hemodinamiknya yaitu penurunan tekanan arteri; pemnurunan tonus arteri dan vena; curah jantung dan tekanan atrium kanan yang hampir tidak berubah, seperti halnya dengan efek hemodinamik vasodilator langsung misalnya Na-nitroprusid. Penggunaan utama ialah untuk pengobatan hipertensi. Selain itu juga digunakan untuk kelemahan jantung kongestif (sering ditemukan takifilaksis) dan penyakit Raynaud.
1.1.4. Lain-Lain Penghambat Adrenoseptor
1. Alkaloid Ergot
Alkaloid ergot secara klinik tidak dapat digunakan sebagai à-bloker karena efek ini baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditolerir oleh manusia.
2. YOHIMBIN
Adalah alkaloid tumbuhan Yohimbehe. Merupakan alfa-bloker kompetitif yang cukup selektif untuk reseptor α 2. Obat ini dapat meningkatkan pembebasan NE endogen pada dosis yang lebih rendah daripada yang diperlukan untuk memblok reseptor α 1 di perifir. Obat ini dengan mudah melewati sawar darah-otak dan dalam dosis kecil (kecil dari dosis yang diperlukan untuk memblok α 1- perifir) memblok reseptor α 2-sentral. Efek sentral berupa perangsangan yang menimbulkan kenaikan tekanan darah dan denyut jantung, hipermotorik dan tremor, dan antidiuresi akibat pembebasan vasopresin. Obat ini juga menghambat reseptor serotonin di perifir dan efek langsung pada pembuluh darah yang lemah. Pemberian yohimbin secara parenteral menimbulkan pengeluaran keringat disertai mual dan muntah. Penggunaan sebagai aprodisiak tidak dapat dibenarkan karena dari segi pertimbangan manfaat-resiko obat ini tidak menguntungkan.
1.2. BETA-BLOKER
Termasuk dalam golongan ini ialah asebutolol, atenolol, metoprolol, propranolol, timolol, nadolol, dan lain-lain (lihat Tabel 1.25 dan Tabel 1.26). Prototip golongan ini ialah propranolol. Semua golongan α-bloker mempunyai struktur kimia mirip dengan isoproterenol. Afinitas terhadap adrenoseptor ? dari beberapa preparat beta-bloker dapat dilihat pada Tabel 1.25.
Tabel 1.25. Selektivitas/afinitas beberapa beta-bloker (terhadap adrenoseptor β ) yang sering digunakan dalam klinik.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Propranolol β 1 + β 2 5. Metoprolol β 1 > β 22. Oksprenolol β 1 +β 2 6. Pindolol β 1 > β 23. Sotalol β 1 + β 2 7. Asebutolol β 1 > β 24. Timolol α 1 + β 2 8. Atenolol β 1 > α 2 9. Praktolol β 1 > β 2----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tabel 1.26. Jenis-jenis beta-bloker dengan efek-efek farmakodinamiknya.----------------------------------------------------------------------------------------- Nama preparat Kardio- Aktivitas simpa- Aktivitas Sta- selektivitas patomimetik bilisasi mem- intrinsik (ISA) bran (MSA)------------------------------------------------------------------------------------------------------------ 1. Asebutolol + + + 2. Atenolol +++ - - 3. Metoprolol ++ - +/- 4. Propranolol - - ++ 5. Timolol - +/- - 6. Nadolol - - -
7. Sotalol - - - 8. Pindolol - +++ +/- 9. Karteolol - +++ +/-10. Oksprenolol - ++ +11. Alprenolol - ++ +12. Labetalol *) - + **) + ------------------------------------------------------------------------------------------------------------*) Juga merupakan alfa-bloker**)Terbatas pada adreneoseptor β 2.
FARMAKODINAMIK
Beta-bloker menghambat secara kompetitif efek NE dan Epi endogen dan obat adrenergik eksogen pada reseptor beta. Potensi penghambatan efek takikardi isoproterenol digunakan sebagai ukuran dalam penentuan sesuatu obat beta bloker. Efek beta-bloker dapat dilawan dengan pemberian obat adrenergik. Farmakodinamik utama pada beberapa beta-bloker dapat dilihat dalam Tabel 1.28. Asebutolol, atenolol dan metoprolol disebut beta-bloker kardioselektif karena dapat menghambat reseptor beta-1 pada jantung dengan dosis 50-100 x lebih kecil dari dosis yang diperlukan untuk menghambat adrenoseptor beta-2 pada pembuluh darah dan otot polos bronkus. Beta-bloker lainnya disebut beta-bloker nonselektif karena mempunyai afinitas yang sama terhadap reseptor beta-1 dan reseptor beta-2 (Tabel 1.28). Beta-bloker kardioselektif ini tidaklah mutlak karena pada dosis yang cukup tinggi beta-2 juga dihambat. Interaksi beta-bloker dengan adrenoseptor beta tanpa disertai obat adrenergik (seperti epinefrin atau isoproterenol) akan menimbulkan efek adrenergik yang nyata, walaupun lemah; dan aktivitas ini disebut aktivitas agonis parsial (partial agonist activity = PAA) atau disebut juga "intrinsic symphatomimetic activity" = ISA. Obat-obat beta-bloker yang mempunyai PAA atau ISA ini adalah : pindolol, karteolol, oksprenolol, alprenolol dan asebutolol. Beta bloker lainnya tidak mempunyai aktivitas PAA/ISA ini. Beberapa beta-bloker mempunyai membrane stabilizing activity (MSA), atau efek seperti kinidin . Termasuk beta-bloker yang mempunyai aktivitas MSA ini ialah : propranolol, oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol, karteolol dan labetalol. Potensi MSA propranolol lebih kurang sama dengan lidokain; oksprenolol, 1/2 nya; sedangkan atenolol, timolol, nadolol dan sotalol tidak mempunyai aktivitas ini (Tabel 1.26). Labetalol, selain merupakan beta-bloker nonselektif, juga adalah alfa-1 bloker yang cukup selektif. Ke-empat isomer labetalol mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adrenoseptor alfa dan beta. Rasio penghambatan adrenoseptor alfa : beta oleh labetalol dsiperkirakan sekitar 1:7 setelah pemberian IV, dan 1:3 setelah pemberian oral. Labetalol juga mempunyai ISA, tetapi terbatas pada adrenoseptor β-2.
Blokade reseptor beta-1 memberikan efek : (1) Pada jantung menimbulkan penurunan efek inotropik dan kronotropik, penurunan
otomatisitas dan kecepatan konduksi; dan penurunan curah jantung. Penurunan oksigen miokardial dapat memperbaiki angina.
(2) Efek metabolik : memblok respons hiperglisemik terhadap Epi.
Blokade reseptor beta-2 memberikan efek : (1) pada saluran nafas berupa: bronkokonstriksi, dapat memperberat atau pencetus
timbulnya bronkospasme.
(2) Vaskuler, berupa : pencegahan dilatasi vena dan arteriol-arteriol organ-organ dalam abdomen, ginjal, paru-paru dan otot skelet yang diperantarai oleh reseptor β-2.
Efek-efek blokade -beta pada SSP adalah: depresi, mimpi-mimpi, insomnia. Bagaimana mekanismenya ini belum diketahui dengan jelas.
INDIKASI KLINIK
Indikasi klinik propranolol dan lain-lain beta bloker adalah untuk : (1) Penyakit jantung iskemik: angina pektoris (kurangnya miokard mendapat O2)
dapat mencegah perluasan daerah yang infark, bila diberikan segera setelah terjadinya suatu kelemahan katup mitral (MI) akut; menurunkan mortalitas jangka panjang pada setelah MI.
(2) Hipertensi. Propranolol dapat bekerja dengan mengurangi pembebasan renin atau NE, atau dengan menurunkan curah jantung. Penggunaan beta-bloker untuk hipertensi ini dibicarakan khusus dalam seksi 30.
(3) Aritmia supraventrikuler atau aritmia ventrikuler. Beta bloker digunkan untuk mengurangi efek katekolamin pada reseptor beta di jantung. Pengobatan hipertensi selanjutnya dapat dilihat dalam seksi 30.
(4) (4) Kardiomiopati obstruktif hipertonik. Penyakit ini terjadi akibat aktivitas simpatik meningkat pada kegiatan fisik, dimana kontrkasi miokard meningkatkan obstruksi aliran darah keluar ventrikel yang dapat menimbulkan serangan angina. Beta bloker dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kontraksi miokard pada kegiatan fisik pada penyakit jantung di atas.
(5) Profilak pada migren. Propranolol dan beta-bloker tanpa ISA lain dapat digunakan untuk mencegah serangan migren, tetapi tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan migren. Mekanisme kerja pencegahan migren ini belum diketahui dengan jelas.
(6) Hipertiroidi (Tirotoksikosis). Beta-bloker dapat digunakan untuk mengatasi gejala adrenergik (seperti peningkatan frekwensi denyut jantung, curah jantung yang besar dan tremor) pada hipertiroidi. Untuk ini lebih baik digunakan sotalol dan nadolol yang tidak banyak dimetabolisme dan waktu paruhnya lebih panjang.
(7) Tremor esensial, yang belum diketahui penyebabnya.(8) Pencegahan perdarahan dalam perut pada pasien sirosis. (9) Ansietas. Semua jenis beta-bloker dapat digunakan untuk mengatasi gejala-gejala
somatik seperti palpitasi dan tremor pada waktu stres. Untuk ini efektivitasnya sama dengan benzodiazepin. Dalam hal ini beta bloker harus digunakan dengan dosis efektif sekecil mungkin. Untuk stres dengan gejala psikis yang lebih dominan, maka benzodiazepin lebih efektif. Beta bloker tidak efektif untuk ansietas kronik dan ansietas dengan gejala somatik yang tidak jelas.
(10) Glaukoma. Untuk ini dapat digunakan timolol yang juga tersedia dalam bentuk tetes mata.
EFEK SAMPING
Efek samping beta bloker dapat berupa : (1) kegagalan jantung kongestif; (2) bradikardi, blok jantung; (3) gejala putus obat: Penghentian obat secara mendadak dapat menimbulkan hipertensi, serangan angina atau insifisiensi mitral; (4) bronkospasme pada penderita asma dan PPOM (penyakit paru obstruktif menahun); (5) pada penderita diabetes melitus beta-bloker akan memblok tanda-tanda hipoglikemia (berkeringat, takikardi) dan
respon-respon yang diperantarai oleh katekolamin; (6) SSP: depresi, mimpi-mimpi buruk, dan insomnia; (7) impotensi; (8) bertambahnya gejala klaudikasio pada tungkai. Efek samping yang sering terjadi adalah : (1) kambuhnya kelemahan jantung, (2) bronkospasme. Efek samping lain jarang terjadi. Penggunaan jangka lama dari praktolol dapat menimbulkan ruam kulit, keruskan kornea dan fibrosis intra-abdominal. KONTRAINDIKASI
Beta-bloker dikontraindikasikan pada penderita dengan: (1) "kegagalan jantung bendungan", (2) hipotensi, (3) asma, dan (4) Blok AV.
1.2.1. PROPRANOLOL
Propraolol merupakan beta-bloker nonselektif, ikatan dengan protein tinggi, 90-95% dimetabolisme di hepar (efek lintas pertama yang nyata) pada pemakaian per oral; metabolit-metabolit yang tidak aktif diekskresi ke dalam urin.
1.2.2. NADOLOL
Efek farmakologi, indikasi klinik, dan efek samping Nadolol ini sama dengan propranolol, kecuali : metabolismenya tidak nyata, tetapi diekskresi dalam bentuk tidak berubah, dan mempunyai waktu paruh yang lebih panjang. 1.2.3. TIMOLOL Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai potensi 5 x lebih kuat dari propranolol. Indikasi klinik ialah untuk pengobatan : (1) Penyakit jantung iskemik, (2) Dalam bentuk obat tetes mata untuk pengobatan glaukoma. Toksisitas sama dengan propranolol; obat tetes mata diabsorpsi dan dapat menyebabkan keracunan sistemik.
1.2.4. PINDOLOL
Merupakan beta-bloker nonselektif, mempunyai efek agonis adrenergik lemah dengan bebebrapa aktivitas simpatomimetik, dan efek inotropik dan kronotropik negatifnya lebih lemah dari propranolol. Penggunaan klinis terutama ialah untuk (1) hipertensi, (2) pengobatan angina, dan (3) takiaritmia supraventrikuler. Toksisitas sama seperti propranolol.
1.2.5. METOPROLOL Merupakan beta-bloker kardioselektif (β1) relatif; pada pemberian dosis tinggi dapat terjadi efek blokade β2. Indikasi utama ialah: (1)hipertensi, (2)penyakit jantung iskemik dengan penyakit bronkospastik. Toksisitas sama dengan propranolol, tetapi efek bronkokonstriksinya lebih lemah.
1.2.6. ATENOLOL
Sama dengan propranolol, tetapi waktu paruhnya lebih panjang (4 - 6 jam) dan kurang berpenetrasi ke SSP ( toksisitas pada SSP lebih ringan, dibanding dengan propranolol).
2. PENGHAMBAT SARAF ADRNERGIK
Obat penghambat saraf adrnergik bekerja menghambat aktivitas saraf adrenergik dengan menggangu sintesis, penyimpanan dan pembebasan NE dan Epi di terminal saraf adrenenergik. Termasuk golongan obat ini ialah: (1) guanetidin dan derivatnya (betanidin, debrisokuin, guanadrel; bretilium) dan (2) reserpin. Prototip golongan ini ialah guanetidin.
2.1. GUANETIDIN DAN BRETILIUM
Guanetidin bekerja dengan efek anestesi lokalnya yang menstabilkan membran ujung saraf presinaptik (tanpa menggangu konduksi akson) sehingga ujung saraf ini tidak memberikan respon terhadap perangsangan saraf adrenergik. Hambatan ini dapat total dan berlangsung dengan cepat sekali. Pemberian kronis akan mendeplesi NE dengan lambat dan bertahan berhari-hari setelah obat dihentikan. Penghambatan terhadap reseptor alfa dan beta sama kuat yang menyebabkan penurunan tekanan darah dengan cepat dan berkurangnya kerja jantung. Obat ini tidak digunakan lagi sebagai antihipertensi karena efek samping kumulatif dan dapat terjadi hipotensi ortostatik yang berat, dan sudah digantikan oleh banyak obat antihipertensi lain. Betanidin, debrisokuin merupakan obat antihipertensi dengan cara kerja sama seperti guanitidin, tetapi masa kerjanya lebih pendek. Bretilium cara kerjanya hampir sama dengan guanitidin. Obat ini hanya dapat digunakan secara parenteral untuk pengobatan takiaritmia ventrkuler atau untuk mengatasi fibrilasi ventrikuler yang berat yang tidak responsif dengan obat lain.
2.2. RESERPIN Reserpin adalah alkaloid yang diperoleh dari Rauwolfia serpentina. Penggunaan utama ialah sebagai antihipertensi.
FARMKODINAMIK
Cara kerja reserpin ialah : (1) menghambat secara reversibel mekanisme transpor aktif NE dan amin lain pada membran vesikel adrenergik; (2) menghambat ambilan NE dari sitoplasma; (3) menghambat sintesis NE melalui penghambatan ambilan dopamin dari vesikel. Dopamin dan NE yang tidak diambil ini dirusak oleh MAO.
Karena kerja reserpin yang ireversibel, untuk pengembalian kadar katekolamin memerlukan waktu yang lama. Karena itu pemberian berulang akan menyebabkan efek kumulatif, walaupun pemberiannya hanya 1 x seminggu. Selain itu reserpin juga mengosongkan katekolamin dan 5-HT dimedula adrenal, otak dan organ-organ lain.
Efek antihipertensi : Efek penghambatan aktivitas adrenergik menyebabkan penurunan tekanan darah yang berlangsung lambat disertai takikardi serta penrunan resistensi perifir (terutama pada waktu berbaring). Efek sentral : menimbulkan sedasi dan sikap tidak acuh terhadap sekitarnya. Efek sentral ini diduga karena deplesi katekolamin dan 5-HT di SSP. Penggunaan dosis tinggi dalam jangka lama dapat menimbukan gejala ekstrapiramidal. EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI
Efek samping yang utama ialah terhadap SSP dan saluran cerna. Efek samping dapat berupa : (1) sedasi, (2) depresi mental yang berat dan mimpi-mimpi buruk sudah dapat terjadi pada dosis 0,25 mg; (3) gangguan ekstrapiramidal (jarang terjadi pada dosis untuk antihipertensi); (4) peningkatan tonus dan motilitas saluran cerna, yang disertai spasme dan diare, dan sekresi asam lambung meningkat; (5) peningkatan berat badan; (6) kemerahan dan kongesti nasal (dapat menimbulkan gangguan nafas yang berat pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapat reserpin).
KONTRAINDIKASI
Reserpin tidak boleh diberikan pada: (1) penderita dengan riwayat depresi mental, dan harus dihentikan bila pada pemakaiannya timbul gejala depresi, (2) adanya riwayat ulkus peptikum, dan pemberian harus dihentikan bila pada pemberiannya menimbulkan gejala ulkus peptikum.
3. ADRENOLITIK SENTRAL
Termasuk dalam golongan ini ialah : klonidin dan metildopa yang bekerja menghambat perangsangan neuron adrenergik sentral di SSP yang mengatur aktivitas simpatis perifir. Penggunan utama obat ini ialah sebagai antihipertensi (lihat seksi 30).
-.-