-
DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU
(DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA
PEMILU
(Skripsi)
Oleh
FERI KURNIAWAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
http://www.kvisoft.com/pdf-merger/
-
ABSTRAK
DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU
(DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA
PEMILU
Oleh
FERI KURNIAWAN
Pemilihan umum merupakan salah satu proses untuk memperjuangkan
kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap lahirnya wakil rakyat
dan pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena pemilihan umum
merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan
rakyat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan. Pemilihan
umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang
berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh UUD
1945.
DKPP merupakan lembaga penyempurna yang lahir berdasarkan Undang-Undang
Nomor. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, semula adalah DK KPU
yang hanya bersifat ad hoc, dan merupakan suatu lembaga yang dikhususkan
untuk mengimbangi dan mengawasi kinerja dari KPU dan Bawaslu. Semakin
meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu
menodorong perbaikan kelembagaan sehingga menjadikan DKPP sebagai
lembaga yang tetap dan memperkuat kewenangan yang fokus mengawasi
penegakan kode etik penyelenggara pemilu. Jenis penelitian yang dilakukan
adalah penelitian hukum normatif,atau sering dikenal dengan istilah pendekatan
yuridis normati. Penelitian hukum adalah penelitian yang dilakukan dengan cara
mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder
Hasil penelitian ini terlihat bahwa dalam kelembagaan DKPP telah terjadi
dinamika yang semula ad hoc berubahan menjadi lembaga yang tetap. Putusan
DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum
lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak
ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk
umum.
Kata Kunci : Dinamika, Penyelenggara Pemilu, Integritas
-
ABSTRACT
DYNAMIC BOARD OF ELECTORAL HUMAN RESOURCES (DKPP) IN
ENFORCING ELECTORAL INTEGRITY
By
FERI KURNIAWAN
General election is one of the processes to fight for political interests in the form
of a selection process for the birth of people's representatives and leaders in the
context of the realization of democracy, because the election is a series of
political activities to accommodate the interests of the people, which are then
formulated in various forms of policy. Elections are a means of democracy to
form a system of state power that is sovereign of the people and the deliberation
of representation outlined by the 1945 Constitution.
DKPP is a perfection institution that was born based on Law Number. 22 of 2007
concerning Election Organizers, originally the KPU DK which was only ad hoc in
nature, and is an institution devoted to compensating and overseeing the
performance of the KPU and Bawaslu. Increasing public distrust of the electoral
organizer encourages institutional improvement to make DKPP a permanent
institution and strengthens the authority that focuses on overseeing the election
code of conduct. This type of research is normative legal research, or often known
as the normative juridical approach. Legal research is research conducted by
studying and examining library materials in the form of primary legal materials
and secondary legal materials
The results of this study indicate that in the DKPP institution there has been a
dynamic that was originally ad hoc turned into a permanent institution. DKPP
decisions are final and binding. Final means that no other legal remedies or
further remedies are available after the enactment of the DKPP decision since it
has been determined and pronounced in an open plenary session DKPP is open to
the public.
Keywords: Dynamics, Election Organizer, Integrity
-
DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU
(DKPP) DALAM MENEGAKAN INTEGRITAS PENYELENGGARA
PEMILU
Oleh
FERI KURNIAWAN
Skipsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
-
Judul Skripsi : DINAMIKA DEWAN KEHORMATAN
PENYELENGGARA PEMILU (DKPP)
DALAM MENEGAKKAN INTEGRITAS
PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
Nama Mahasiswa : Feri Kurniwan
No. Pokok Mahasiswa : 1512011173
Bagian : Hukum Tata Negara
Fakultas : Hukum
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Yulia Neta, S.H., M.SI., M.H. Ahmad Saleh, S.H., M.H.
NIP 19640716 1987032 002 NIP 19780925 200801 1 015
2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara
Dr. Budiyono, S.H., M.H.
NIP 19741019 200501 1 002
-
MENGESAHKAN
1. Tim penguji
Ketua : Yulia Neta, S.H., M.SI., M.H ..................
Sekretaris/Anggota : Ahmad Saleh, S.H., M.H. ..................
Penguji Utama : Dr. Candra Perbawati, S.H., M.H ..................
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H.
NIP 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 3 September 2019
-
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya:
1. Bahwa skripsi dengan judul “Dinamika Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) Dalam menegakkan Integritas
Penyelenggara Pemilihan Umum” adalah hasil karya saya sendiri dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan karya penulis lain dengan
cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam
masyarakat akademik dan hukum yang berlaku atau yang disebut
plagiarisme;
2. Bahwa hak intelektual atas karya ilmiah ini, saya serahkan sepenuhnya
kepada Universitas Lampung.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari
ternyata ditemukan adanya ketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat
dari sanksi yang diberikan kepada saya, dan saya bersedia dan sanggup dituntut
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bandar Lampung, 23 Agustus 2019
Pembuat Pernyataan
Feri Kurniawan
NPM. 1512011173
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sukadana Selatan , Kecamatan
Sukadana Kabupaten Lampung Timur pada tanggal 11 Juni
1997. Merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari
pasangan Ayahanda Milhadi Nurjati dan Ibu Maryani.
Penulis mengenyam pendidikan awal di Sekolah Dasar 4
Sukadana Tahun 2003. Tahun 2009 melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Pertama PGRI 1 Sukadana dan lulus Tahun 2012. Pada Tahun yang
sama melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA NEGERI 1
Sukadana, kemudian penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur PMPAP pada Tahun 2015.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di internal maupun eksternal kampus. Di
internal kampus penulis aktif di Barisan Intelektual Muda (BIM FH) menjabat
sebagai anggota Dinas Agitasi Propaganda dan Jurnalistik periode 2015-2016,
Staf Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) Dinas Kajian
Penelitian dan Pengembangan periode Tahun 2016-2017, Kepala Bidang Agitasi
Propaganda dan Jurnalistik BEM FH periode 2017-2018, Sekretaris Himpunan
Mahasiswa Hukum Tata Negara 2018-2019. Penulis aktif pula di eksternal
kampus, Penulis aktif sebagai kader di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Bandar Lampung Komisariat Hukum Unila, menjabat sebagai
Departemen Transparansi dan Anggaran Dana periode 2016-2017. Pada Tahun
-
2018-2019 penulis juga aktif dalam Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Kecamatan Sukarame (Panwascam) sebagai Staff Divisi Penindakan Pelanggaran,
Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2018 di Tiyuh
Cahyow Randu Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Penulis menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
-
Motto
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya” (surah al-isra ayat 36)
“Adil ialah menimbang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan
yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di
atasnya. Berani menegakkan keadlian, walaupun mengenai diri sendiri, adalah
puncak segala keberanian”
(Buya Hamka)
“Jika penguasa menggunakan materi serta kekuasaanya untuk mendapatkan
sesuatu, maka aku akan menggunakan ilmu serta pengetahuanku untuk
memperjuangkan keadilan”
(Feri Kurniawan)
-
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah Swt. yang tiada henti, kupersembahkan sebuah
karya ini kepada:
Bapak dan Ibu tercinta
Milhadi Nurjati dan Maryani
Kakak-kakakku
Tamami, Hamami, S.H., Yessy Angguman, S.Pd.
Seluruh sahabat seperjuangan
Almamater tercinta
Universitas Lampung
-
SANWACANA
Puji Syukur penulis kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Strata satu Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
berjudul “Dinamika Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Dalam Menegakkan Integritas Penyelenggara Pemilu”
Penulis menyadari banyak pihak yang sudah terlibat dalam proses penyelesaian
skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan
ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan niat tulus dan ikhlas yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
dukungan dan masukan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
3. Ibu Yulia Neta, S.H., M.Si., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
sabar memberikan bimbingan ilmu, waktu yang berharga, nasihat serta
motivasi dan dukungan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
-
4. Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H. selaku Pembimbing II terima kasih atas
kesabaran dan ketulusannya yang luar biasa dalam mendengarkan setiap
keluhan penulis, sehingga berkat nasehat dan bimbingannya secara
komprehensif menjadi inspirasi agar skripsi ini dapat penulis selesaikan.
5. Ibu Dr. Candra Perbawati, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah
memberikan masukan-masukan yang berharga demi layaknya skripsi ini
untuk dijadikan sebagai karya ilmiah penulis.
6. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai Pembahas II yang
telah memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat guna
layaknya skripsi ini.
7. Dosen-Dosen Bagian Hukum Tata Negara, ibu Dr. Yusnani Hasyim Zum,
S.H., M.H., bapak Yhannu Setyawan, S.H., M.H., bapak Rudy, S.H.,
LL.M., LL.D., bapak Dr. Muhtadi, S.H., M.H., Dr. Zulkarnain Ridlwan,
S.H., M.H., M. Iwan Satriawan, S.H., M.H., Siti Khoiriah, S.H., M.H.,
Ade Arif Firmansyah, S.H., M.H., Malicia Evendi, S.H., M.H.
8. Seluruh Civitas Akademica Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis
serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh
studi.
9. Pakde Marji, Pakde Narto, Kiyai Jamroni, dan Bang Ofal yang telah
menjadi Bapak dan Abang bagi penulis. Terima kasih atas segala nasehat
dan motivasi yang diberikan juga kopi hitam kental yang selalu tersaji
disela-sela diskusi.
-
10. .Kedua orang tua, Bapak Milhadi Nurjati (ah) dan Ibu Maryani (emak),
dan kakakku Tamami (engku), Hamami, S.H., (aden) dan Yessy
Angguman, S.Pd (imbayan) yang selalu sabar mendidik serta yang tak
pernah berhenti untuk selalu memberikan Do’a dan dukungan kepada
Penulis. Keluarga tercinta tempat penulis diberikan kehidupan. Penuh rasa
syukur kepada Allah SWT, penulis lahir di dunia dengan kedua orang tua
yang demikian berjuang untuk penulis dan atas semua yang mereka
berikan pada saat ini,. Berbagai bentuk pengorbanan telah dilakukan
sehingga penulis telah menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat Sarjana
Hukum (S.H.). Bentuk kasih sayang mereka luar biasa melalui do’a-
doanya, serta kerja keras demi melihat anaknya atau saudara menjadi
sarjana. Semoga Allah SWT akan selalu memberikan jalan terbaik bagi
penulis dalam menjalani kehidupan. Hal ini semata-mata untuk membuat
mereka bahagia, bangga, dan bersyukur atas apa yang penulis lakukan.
Mereka penyemangat penulis untuk kehidupan dunia akhirat yang lebih
baik dan berada dijalur Allah SWT kehendaki umat-Nya. Sarjana Hukum
(S.H.) hanya sebagai salah satu bentuk rekayasa kehidupan dan ini hanya
sebuah pijakan awal untuk langkah kaki menuju jalan yang panjang dalam
kehidupan. Besar harapan dan selalu berdoa untuk kebahagiaan,
kebanggaan, dan kesehatan kedua orang tua dan keluarga besar lainnya.
11. Terima kasih kepada pak Purwanto, mak Suhahtati, Dina R Oktarini, S.Pd,
dan Sugeng Riadi, kalian adalah keluarga yang selalu memberikan
dorongan dan bantuan yang sangat luar biasa, terima kasih atas segalanya.
-
12. Kurnia Novita Alhadi, S.Tr.Keb Perempuan yang selalu menemani sejak
awal dan memberikan dorongan agar selalu bangkit dari keterpurukan,
terima kasih atas waktu serta motivasi yang telah diberikan tanpa henti.
13. Mentor sekaligus abang, Bang Yefri, Bang Sumaindra, Bang Kujang,
Bang Imin, Bang Fiqi, Bang Adit, Bang Arif Triwibowo, Bang RB, Bang
James, Bang Apip, Bang Bayu, Bang Ridwan, Bang Hendi, Bang Indra,
Bang Prima, Bang Nay, Bang Sulung, dan Bang Lay, terimakasih atas
bimbingannya.
14. Kanda, Yunda, dan Adinda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Hukum Unila, terimakasih atas dedikasinya dan dinamika yang
telah kita bentuk selama ini dan menjadikan kita sebagai insan yang siap
dan tangguh dalam berbagai hal, sehingga penulis dapat membuka
cakrawala berpikir dan terus belajar menuju insan paripurna, dan semoga
silaturahmi kita selalu terjaga, tidak terhenti sampai disini. Yakusa!
15. Kader HMI KHU 2015 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
kalian semua kader yang luar biasa, kader yang tangguh yang selalu
ditempa agar menjadikan diri kita menjadi insan yang kamil, insan yang
paripurna serta telah banyak momentum serta dinamika yang kita torehkan
bersama pada masa kita berjuang anggaplah itu adalah bagian dari
perndewasaan diri agar dapat saling menghargai satu sama lain. Yakinlah
bahwa hidup kita tidak hanya berenti di Komisariat, Berpisah untuk
berjuang bersatu untuk memukul. YAKUSA!!!
16. Fr Arena, Bahara Rizki, S.H., Achmad Fadli, S.H., Ebi, Erwin Gumara,
S.H., Gandi, Ismi, Ragil, Satria, Ridwan Saputra, S.H., Rio Fahni, S.H.,
-
Saptori, S.H., Andika Hidayatullah, S.H., Hedy Andre, S.H., Aji
Almagribi, S.H.
17. Kiyai Bowo, Masum, Iqbal, Darwin, Gian, Rexsi, Alif, Ungkas, Agung,
Aryanto dan Atu Ika, Popy serta adinda Ebi, Ismi, Satria, Karim, Rio JF,
Ragil, Gandi, Irawan, Mahendra, Boy, Ardan, dan Dea, kawan-kawan
perjuangan UKM-F MAHKAMAH, terimakasih atas pembelajaran dan
kebersamaannya, sehingga membuat penulis terpacu untuk selalu diskusi
hukum, dan semoga di lain kesempatan dapat berdialektika kembali.
Bersama Yakin Bisa!
18. Rekan yang selalu memantik dan menggugah hasrat diskusi Erwin
Gumara, S.H., Ridwan Saputra, S.H., Saptori, S.H.
19. Saudara Dero Imazi Afriano sebagai sehabat yang selalu punya cara untuk
melepaskan hiruk pikuk masalah dunia.
20. Abang, adek, dan teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH
Unila, terimakasih atas prosesnya, yang selalu sibuk rapat dan berkegiatan,
baik tataran konsep maupun teknis di dalam ruangan, maupun di lapangan.
21. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara, Indah, Lisma,
Eva, Chaidir, Mujib, Habibi, Hadiyan, Kusmanto, Kharisma, Decky, dan
Adriansyah, terimakasih atas perjuangannya dalam proses studi, baik
didalam kelas maupun diluar kelas.
22. Mak Sari, terima kasih karena telah menjadi solusi terbaik bagi penulis
untuk terus survive di saat keuangan penulis defisit masih dapat menikmati
kopi hitam yang pekat dan Rokok Suryamu selalu menjadi solusi.
-
23. Kawan-kawan KKN Desa Cahyow Randu, Kecamatan Pagar Dewa,
Kabupaten Tulang Bawang Barat Dieky, Fatry, Samuel, Heni, Desi.
24. Karang Taruna Tiyuh Cahyow Randu, Ayeng Pawari, Abang Hen, dan
segenap aparatur Tiyuh, Bapak Sudir dan Ibu Linda serta yang lainya yang
tidak dapat sebutkan satu persatu.
25. Kawan-kawan seperjuangan Future Leader baik dikampus maupun diluar
kampus, Nabel Ockari, S.T.P, M. Iqbal Marino Kusumo, S.H., Deni
Kurniawan, S.H., Hendi Oktavianda, S.H., M. Daniansyah, Amd.TG.,
Ramanda Baherda P, S.H., Indra Putra Bangsawan, S.STP, Agustiandro,
S.H., Diki, S.H.
26. Rekan-Rekan sendari awal masuk kuliah Himapan, Saptori, S.H., Chan
Fadli, S.H., Danang Pratama, S.H., Akbar Radinal, S.H., Irfan Mahdialla,
S.H., Reza Zikri Fauzian, S.H., Aji Pandu, S.H., Reza Fahlepi, S.H.,
Dragon, S.H., Mega Sopiandi, S.H., Doni, S.H., Erwin Syaputra, S.H., M.
Hadidi, S.H., dan Agung Purnama, S.H., tetap solid hindari perpecahan.
27. Komisioner serta jajaran Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan
Sukarame, Arwan Afriyanto, A. Zulfikar, M.S.Ag, Aswan Abdulrachman,
S.H, Tri Novalinda, Mba Wulan, Arum, Wanda, Jemy, Checep, Om Nasir,
Bang Dedi, Mba Ani, Bang Yulis, Mba Ayu, teruslah kawal demokrasi
agar terciptanya pemilu yang jujur dan adil.
28. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi
kita semua. Aamiin.
-
Bandar Lampung, 22 Agustus 2019
Feri Kurniawan
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI Halaman
I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah .................................................................................... 10 C. Ruang Lingkup .......................................................................................... 10 D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 10
a. Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
b. Kegunaan Penelitian.............................................................................. 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 12
A. Demokrasi ................................................................................................. 12 B. Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah ...................................... 14
a. Pemilihan Umum ................................................................................... 14
b. Pemilihan Kepala Daerah ...................................................................... 16
C. Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum .............................................. 23 a. Komisi Pemilihan Umum (KPU) .......................................................... 27
b. Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) ............................... 29
c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ............................ 32
III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 35
A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 35 B. Pendekatan Masalah .................................................................................. 35 C. Sumber Data .............................................................................................. 35 D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 37
-
ii
E. Metode Pengolahan Data .......................................................................... 37 F. Analisis Data ............................................................................................. 37
IV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 39
A. Dinamika Pengaturan ................................................................................. 39
a. Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu ... 39
b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu ... 49
B. Penegakan Etik ........................................................................................... 66
V. PENUTUP ..................................................................................................... 72
A. Kesimpulan ................................................................................................ 72
B. Saran ........................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74
-
1
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Negara merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia tentang pola
hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan
sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai tujuan
bersama. Terbentuknya sebuah Negara berasal dari tujuan dan cita-cita pendiri
bangsa. Menurut J.J Rousseau Negara adalah perserikatan dari rakyat bersama-
sama yang melindungi dan mempertahankan hak masing-masing diri dan harta
benda anggota-anggota yang tetap hidup dengan bebas merdeka.1
Negara Indonesia sendiri memiliki tujuan dan cita-cita bangsa yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Salah satu cita-cita yang telah dirumuskan, dalam pembukaan Undang-
Undang Negara Republik Indonesia 1945 adalah Negara yang berdaulat. Sebagai
bentuk realisasi kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah
terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) secara regular dengan prinsip yang
langsung umum bebas rahasia jujur dan adil atau biasa disingkat luberjurdil.
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kedaulatan tertinggi berada
di tangan rakyat. Adapun, secara etimologis demokrasi berasal dari bahasa
1 Yulia Neta, S.H,M.H. Ilmu Negara, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, Hlm. 4
-
2
Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos atau kratein” yang berarti
kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi dapat diartikan rakyat berkuasa atau
“government or rule by the people” (pemerintahan oleh rakyat).
Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap
paling ideal saat ini. Keikut sertaan rakyat dalam kehidupan bernegara di dalam
negara demokrasi adalah hal yang sangat penting karena rakyat yang memegang
kekuasaan tertinggi. Pemilihan umum merupakan salah satu proses untuk
memperjuangkan kepentingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap
lahirnya wakil rakyat dan pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi, karena
pemilihan umum merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung
kepentingan rakyat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan.
Pemilihan umum adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan
negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang
digariskan oleh UUD 1945 Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah
kekuasaan yang lahir dari bawah, menurut kehendak rakyat dan dipergunakan
sesuai dengan keinginan rakyat begitu juga dengan pemilihan kepala daerah
maupun legislatif.
Salah satu cernin negara demokratis adalah pemerintah yang menjalankan sistem
pemilu dengan baik. Setiap Pemerintah yang mengaku demokratis hendaknya
mampu menyelenggarakan Pemilu secara demokratis pula karena Pemilu
demokratis merupakan pilar penting dalam sistem demokratis modern. Sejalan
dengan pemahaman tersebut, Internasional of Jurist dalam sebuah konferensinya
di Bangkok tahun 1965 memberikan definisi mengenai pemerintahan dengan
-
3
model representative goverment sebagai “a goverment derivering its power and
authority are exercised through representstive Freely chosen and responsible to
them‟‟. Bahkan untuk menekankan adanya “Representative goverment under the
Rule of Law”, konfrensi tersebut menghasilakan suatu kesepakatan mengenai
pentingnya Pemilihan Umum yang bebas.2
Pemilihan kepala daerah adalah pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur,
bupati dan wali kota sebagai pemimpin daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan
kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan
umum merupakan konsekuensi logis yang dianut prinsip kedaulatan rakyat
(Demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi prinsip dasar
kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut
aktif dalam proses politik.
Sebagai bentuk realisasi kedaulatan rakyat dalam bingkai demokratisasi adalah
terselanggaranya Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat Pemilu) secara regular
dengan prinsip yang bebas, langsung, umum dan rahasia. Pemilu merupakan
mandat dari konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini
memastikan dan melindungi pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menyalurkan
hak-hak politiknya dalam Pemilu. Pemilu sebagai salah satu praktek
berlangsungnya kekuasaan dan pemerintahan harus berdasarkan prinsip-prinsip
hukum yang berkeadilan dan nilai-nilai kemanfaatan. Salah satu prinsip dasar dari
negara hukum demokratis adalah adanya jaminan yang berkeadilan bagi rakyat
dalam mengekspresikan kedaulatannya.
2 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009, hlm. 417
-
4
sementara hak untuk menikmati kebebasan dalam berserikat dinyatakan warga
dalam bentuk berbagai organisasi termasuk partai politik. Sedengkan hak
menikmati kebebasan pers diartikulasikan sebagai kebebasan suatu media dalam
menyampaikan informasi tentang pengetahuan termasuk pendidikan partai politik
tanpa diintimidasi rezim, namun setiap informasi yang disampaikan tentu
memiliki standar etika dan moralitas sosial kemasyarakatan yang ada berdasarkan
budaya suatu bangsa. Pers bebas menyampaikan informasi politik sepanjang tidak
memberikan pesan maupun kesan menghina, mencaci, menghujat, atau hal-hal
yang bermuatan merusak sendi-sendi kebersamaan dalam bernegara.
Kebebasan masyarakat menggunakan public opinion sebagai cara
mengkomunikasikan kepentingan mereka dalam pengambilan keputusan ini
merupakan sesuatu yang baik karena melalui public opinion rakyat akan ikut
memberikan sumbangan pemikiran mengenai apa yang seharusnya pemikiran
mengenai aturan main frepensi dalam Pemilu. Karena pendapat umum pada
dasarnya merupakan pendapat rata-rata individu dalam masyarakat, sebagai hasil
diskusi langsung atau tidak langsung yang diilakukan memecahkan persoalan
sosial.3
Salah satu prinsip dasar dari negara hukum demokratis adalah adanya jaminan
yang berkeadilan bagi rakyat dalam mengekspresikan kedaulatannya. Istilah
demokrasi secara singkat dapat dipahami sebagai pemerintahan atau kekuasaan
dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sebagai dasar hidup
bernegara diartikan bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
3 Anwar Arifin, Pencitraan Dalam Politik (Strategi pemenangan pemilu dalam Perspektif
komunikasi politik), Jakarta: Pustaka Indonesia, 2006, hlm. 14
-
5
dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya termasuk dalam
menentukan kehidupan rakyat.4
Di era modern ini dunia mengalami kegoncangan nilai dan norma yang cukup
kuat. Krisis moral dan etika kehidupan berbangsa terutama krisis nilai pada aspek
politik begitu terasa. Penyimpangan etika privat dan etika public dalam bernegara
mengalami peningkatan dan kekacauan norma seakan-akan terus terjadi dalam
praktik pengelolaan negara sehingga dalam suasana globalisasi kita gamang
menghadapinya, dengan sikap responsive5. Karena rumusan etika itu mengisi
ranah kode etik. Kode etik merupakan aturan tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang
dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika rasional umum common sense dinilai menyimpang
dari kode etik6. Tindakan politik yang senantiasa mendasarkan pada etika tentu
akan selalu menghasilkan kebaikan-kebaikan bersama yang lebih besar daripada
sekedar tindakan politik yang hanya mementingkan kepentingan sesaat. Karena
etika pada hakikatnya memiliki landasan pemikiran kritis berkaitan dengan ajaran-
ajaran maupun pandangan-pandangan tentang moral dalam konteks kehidupan
sebagai umat manusia yang memiliki potensi kebaikan.
Menurut Frans Magnis Suseno, etika adalah suatu ilmu yang membahas tantang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral, Magnis juga membagi etika dalam dua bentuk,
4 Deliar Noer,. Pengantar ke Pemikiran Politik. Jakarta: CV. Rajawali, 1983, hlm.207.
5 Jimly Asshiddiqie, Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, raja grafindo, Jakarta,2013 hlm
22, dan 29-30 6 Adams , dkk, Etika Profesi, (Jakarta: Gramedia,2007), hlm 112
-
6
pertama etika bersifat umum dan kedua etika bersifat khusus. Etika bersifat umum
adalah prisip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan etika
khusus dibagi lagi menjadi etika individu yang menerangkan tentang bagaimana
kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri.
Selain etika individu, juga yang kita ketahui ialah etika sosial. Etika sosial
merupakan sebuah prinsip yang mengajarkan tentang bagaimana manusia
menempatkan kewajiban terhadap manusia lain disekitarnya dalam kehidupan
sehari-hari yang itu tidak lain merupakan kesatuan dari etika yang bersifat khusus.
Dalam konteks politik, termasuk politik penyelenggaraan Pemilu juga sejatinya
setiap masyarakat ataupun aktor yang menjadi penyelenggara harus menjadikan
nilai-nilai kebaikan universal tadi sebagai pedoman dalam melihat, menilai, dan
bertindak atau sederhananya dalam proses pengambilan keputusan. Karena tanpa
disadari dengan nilai-nilai kebaikan pada diri seseorang dalam proses
pengambilan keputusan maka secara otomatis penempatan istilah indepedensi atau
netralitas sebagai pihak penengah tidak akan terbangun dengan baik.
maka dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan
kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal
proses penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilukada diseluruh Indonesia,
Institusi ini dibentuk dalam praktik demokrasi modern di Indonesia.
DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya
penyelenggaraan pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik
tersendiri bagi setiap proses perubahan menuju kearah yang lebih baik dan oleh
karena begitu mahalnya pemilu maka dibentuklah lembaga khusus secara
-
7
permanen guna melakukan penegakan kode etik agar tujuan menghasilkan pemilu
yang tidak saja Luber Jurdil tapi menciptakan iklim proses dan hasil yang
berintegritas sehingga dengan demikian bangsa ini bisa memilih pemimpin yang
berkualitas dan bermartabat.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu sebagai dua
lembaga yang memiliki kewenangan yang luas dalam menyelenggarakan Pemilu
terikat oleh kode etik penyelenggara Pemilu. Kode etik tersebut merupakan
pedoman perilaku diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam
setiap tindakan dan ucapan mereka sebagai satu-kesatuan norma, etis, dan
filosofis.
Dalam rangka menjaga kemandirian penyelenggara pemilu tersebut, maka perlu
dibentuklah peraturan yang mengatur tentang Kode Etik penyelenggara pemilu.
Kode Etik ini bersifat mengikat dan wajib dipatuhi oleh penyelenggara pemilu.
Kode Etik ini berisikan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang luber dan
jurdil sebagaimana diatur oleh konstitusi dan undang-undang dan sifat-sifat moral
yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, untuk memeriksa
adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,
maka pada tahun 2008 dibentuk Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum
(DK KPU), yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dugaan pelanggaran
Kode Etik yang dilakukan oleh KPU. (DK KPU) saat itu bersifat ad hoc dan
diberi wewenanang hanya mengawasi perilaku anggota KPU yang menyimpang
dari aturan sistem penyelenggaraan pemilu. Perubahan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 ternyata membawa konsekuensi logis yang cukup berarti, dimana
status DK KPU dinaikan jadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
-
8
Perubahan fundamental ini terlihat jelas dari semula ad hoc jadi permanen, dan
tidak lagi bergantung pada pleno KPU.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP
adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara
Pemilu.7 DKPP bertugas memeriksa dan memutuskan pengaduan dan/atau laporan
adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.
DKPP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 pasal 109
tentang Penyelenggara Pemilu. DKPP resmi dibentuk pada 12 Juni 2012, terdiri
dari 7 anggota yang berasal dari unsur KPU dan Bawaslu masing-masing satu
orang, serta dari unsur tokoh masyarakat yang diajukan
oleh DPR dan Pemerintah, bahkan DKPP menurut amanat Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 tidak saja memanggil dan memeriksa anggota KPU, tetapi
juga anggota Bawaslu yang secara instusi sebagai penyelenggara Pemilu dimana
masing-masing tingkatan.
Keberadaan DKPP sebagai lembaga penegak kode etik penyelenggara Pemilu
merupakan hasil revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 menjadi Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2011. Sebelum DKPP menjadi lembaga yang permanen,
penanganan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu ditangani oleh Dewan
Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) dan Dewan Kehormatan KPU
Provinsi serta Dewan Kehormatan Bawaslu. Sejak diundangkannya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011, maka seluruh kewenangan penyelesaian
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, ditangani atau
diselesaikan oleh DKPP. Dengan Penanganan dan Penyelesaian oleh lembaga
7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kode_etik_profesihttps://id.wikipedia.org/wiki/Pemiluhttps://id.wikipedia.org/wiki/DPRhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintah_Indonesia
-
9
DKPP, maka pemanggilan, pemeriksaan, dan persidangan lebih memastikan dan
memenuhi keadilan para pencari keadilan (Justice seekers).
Sejak terbentuknya DKPP 12 Juni 2012, telah banyak kasus pelanggaran kode etik
yang telah ditangani oleh DKPP. Selain memberikan efek jera, DKPP juga telah
memberikan kejelasan pada para pencari keadilan yang menyebabkan seseorang
berada dalam posisi tersandera atau berada dalam posisi tertuduh melakukan
pelanggaran atau berada dalam posisi dicurangi tanpa ada keputusan apapun.
DKPP sebagai lembaga peradilan etik telah menangani pelanggaran kode etik
penyelenggara Pemilu, baik agenda Pemilu yang diselenggarakan lima tahun
sekali yaitu Pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi,
DPRD Kabupaten/Kota maupun Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pemilukada 2015 yang diselenggarakan secara serentak di 269 daerah, 9 provinsi
dan 224 kabupaten dan 36 kota, merupakan Pemilukada yang pertama dalam
sejarah kepemiluan di Indonesia. Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
penyelenggaraan Pemilukada secara serentak memiliki beberapa alasan8. Gagasan
Pemilu serentak lahir dari imajinasi untuk meretas praktik demokrasi yang tak
kunjung keluar dari kebuntuan politik. Karena masih terperangkap dalam rutinitas
seremonial Pemilu yang melelahkan, tapi tidak kunjung membawa perubahan9.
8 Zaman, R.K. (2016). Perjalanan Panjang Pilkada Serentak. Jakarta: Expose (PT Mizan Publika).
hlm. 12 9 Suharizal.(2012). Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang. Depok: PT
Rajagrafindo Persada hlm. 136
-
10
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa permasalahan DKPP yang
menarik untuk dibahas lebih lanjut dan agar lebih fokus kajian masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana dinamika pengaturan DKPP dalam Undang-Undang
penyelenggara Pemilu ?
2. Bagaimana perubahan kewenangan berdasarkan Undang-Undang
Penyelenggara Pemilu?
C. Ruang Lingkup
Berdasarkan rumusan maslah, maka ruang lingkup penelitian ini adalah kajian
bidang hukum tata negara (HTN), yang secara khusus meneliti lembaga DKPP
dalam peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum dari substansi yang
dikaji meliputi Kedudukan DKPP dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia dan
kewenangan DKPP dalam pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara
Pemilihan Umum.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penulisan tesis ini adalah :
1. Mengetahui dan menganalisis bagaimana dinamika pengaturan lembaga
DKPP
2. Untuk mengetahui bagaimana perubahan kewenangan DKPP.
-
11
b. Keguanaan Penelitan
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara Teoritis maupun Praktis,
yaitu:
1. Secara Teoritis
a. Kegunaan teoritis penelitian ini untuk memberikan masukan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum tata negara yang berkenaan dengan lembaga negara.
b. Sebagai informasi awal bagi kajian-kajian tentang lembaga negara
yang akan datang.
2. Secara Praktis
a. Sumbangan pikiran kepada para pemangku kepentingan (pejabat dan
petinggi negara) dalam hal pembentukan lembaga penyelenggara
Pemilu dan pelaksanaan fungsinya di dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
b. Dapat dijadikan bahan informasi bagi DPR dalam pengembagan dan
pemantapan kedudukan dan hasil putusan DKPP dalam peraturan
perundang-undangan dimasa yang akan datang.
-
12
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Demokrasi
Demokrasi adalah sebagai suatu bentuk peyelenggaraan pemerintahan, artinya
demokrasi dipandang sebagai suatu bentuk dan cara penyelenggaraan
pemerintahan yang terbaik. Dengan demikian, kedaulatan rakyat merupakan suatu
konsep yang bersifat statis, sedangkan demokrasi adalah konsep yang dinamis,
akan berubah-ubah warnanya sesuai dengan falsafah yang dianut dan kebutuhan
dari tiap-tiap negara.
Dapat juga dikatakan bahwa ajaran kedaulatan rakyat memperoleh bentuk yang
konkret ke dalam apa yang disebut dengan demokrasi.10
Demokrasi dipandang
sebagai pengejawatahan yang paling tepat dan ideal untuk semua sistem
organisasi politik dan sosial modern. Sebagai dasar hidup bernegara pada
umumnya demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat
memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakasanaan pemerintahan negara oleh
karena kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat.
Negara demokrasi merupakan negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak
dan kekuasaan rakyat sama halnya bahwa rakyat turut serta dalam segala
10
Sodikin, Hukum Pemilu Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, Bekasi : Gramata Publishing,
2014, hlm 17
-
13
perbuatan pemerintah, atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti sebagai
suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat.11
Menurut R.
Kranenburg dalam buku “Inleiding in de vergelijkende staatsrechtwetenschap”,
kata demokrasi terbentuk dari dua kata pokok yang artinya adalah cara
memerintah oleh rakyat.12
Jika ditinjau lebih jauh lagi, demokrasi adalah cara pemerintahan Negara yang
disebut “autocratie” atau “oligarchie”, yaitu pemerintahan yang dilakukan oleh
segolongan kecil manusia, yang menganggap dirinya sendiri berhak untuk
mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat. Menurut M.
Durverger dalam buku “les regimes politicues”, demokrasi termasuk cara
pemerintahan dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah
adalah sama dan tidak terpisahkan. Artinya satu sistem pemerintahan Negara,
dalam pokoknya, semua orang (rakyat) berhak sama untuk memerintah dan
diperintah.13
Prof. Hertz14
dalam buku Political Realism and Political Idealism menyatakan
bahwa:
”Demokrasi adalah semacam pemerintahan dimana tidak ada seorang
anggota masyarakat atau kelompok yang mempunyai hak prerogatif (hak
yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun) atas orang lain.
(democracy is a from of government in wich no one member, has political
prerogative over any other. Government is thus the rule of all over all in
the common, as apposed to the individual or separate group interest).
11
Moh. Mahfud MD, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm.
2. 12
Ni‟matul Huda mengutip Koencoro Poerbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi,
Bandung, Eresco. hlm. 6. 13
Ibid 14
Sukarna,Sistem Politik, Alumni, Bandung, 1981. hlm.37
-
14
Demokrasi menghendaki atau menuntut pertanggungjawaban dari orang yang
memerintah kepada yang diperintah. Antara pemerintah dan yang diperintah
dalam demokrasi adalah sama, yang membedakan hanya fungsinya.
Plamenantz menyatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan oleh orang-orang
yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab terhadap yang diperintah
(Democracy means government by person freely chosen by and responsible to the
governed).
Jimly Asshidiqie menerjemahkan makna demokrasi dalam 4 (empat) ciri besar:
1) kekuasaan berasal dari rakyat;
2) rakyat menentukan seluruhnya arah sesungguhnya serta
menyelenggarakan kehidupan kenegaraan;
3) keseluruhan sistem penyelenggaraan negara diperuntukkan untuk
rakyat; dan
4) negara yang ideal bahkan diselenggarakan bersama-sama dengan
rakyat.15
Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara pada dasarnya diperuntukan bagi
seluruh rakyat itu sendiri, bahkan negara yang baik diidealkan dengan
diselenggarakannya negara bersama-sama dengan rakyat dalam arti dengan
melibatkan masyarakat dalam arti seluas-luasnya.
B. Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah
a. Pemlihan Umum
Pemilihan Umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankn
kedaulatannya sesuai dengan azas yang bermaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pemilu itu sendiri pada dasarnya adalah suatu Lembaga Demokrasi yang memilih
anggota-anggota perwakilan rakyat dalam MPR, DPR, DPRD, yang pada
gilirannya bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah, menetapkan politik
15
Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika,
2011, hlm. 293.
-
15
dan jalannya pemerintahan negara16
. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suryo
Untoro dalam memberikan batas pemilu, yaitu:
“Bahwa Pemilihan Umum (yang selanjutnya disingkat Pemilu) adalah suatu
pemilihan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang mempunyai hak
pilih, untuk memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam Badan Perwakilan
Rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).”
Kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut
sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi
tidak langsung (indirect democracy).
Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan kedaulatan rakyat adalah
para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan rakyat atau
biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama
rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya
pemerintahan suatu negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam
jangka waktu yang pendek maupun dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang
dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui kehendak
hukum (volunte generale)17
.
Beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk
dilaksanakan secara berkala18
. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan
selalu sama untuk jangka waktu yang panjang dalam artian bahwa kondisi
kehidupan rakyat itu bersifat dinamis sehingga aspirasi mereka akan aspek
16
Ali Murtopo, Strategi Politik Nasional, CSIS, Jakarta, 1974, hlm. 61. 17
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Jakarta : Visimedia,, 2009, hlm.
46. 18
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 170.
-
16
kehidupan bersama juga akan berubah seiring berjalannya waktu, K.C Wheare
menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki aspek
pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi. Kedua, disamping
pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu , kondisi kehidupan
bersama dalam masyarakat dapat pula berubah baik karena dinamika internasional
maupun karena dinamika dalam negeri sendiri. Ketiga, perubahan aspirasi dapat
juga disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa.
Mereka itu, terutama pemilih baru (nem voter), dan pemilih pemula belum tentu
memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Keempat, dengan
maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang
kekuasaan eksekutif maupun di cabang kekuasaan legislatif.
b. Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali disebut pilkada
atau pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang
memenuhi syarat.
Menurut Sartono, ada 4 (empat) tujuan pilkada, antara lain yakni:
a. Pilkada sebagaimana pemilu merupakan institusi pelembagaan publik.
Dengan pilkada masyarakat lokal mengintegrasikan kepentingannya dalam
prosedur yang etis dan damai. Pilkada didesain untuk meredam konflik-
konflik apalagi yang berbau kekerasan, guna mencapai tujuan demokrasi
dan pengisian jabatan politik daerah.
-
17
b. Pilkada sebagai sarana pencerdasan dan penyadaran politik warga. Sikaf
pastisipatif lambat laun akan mendorong masyarakat untuk dapat berfikir
politik secara bijaksana. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemimpin
karena omong kosong janji yang bertebaran dimana-mana, memberikan
bahan-bahan pemikiran bagi masyarakat untuk bersikap atau tidak
bersikap sesuatu politik.
c. Mencari sosok pemimpin yang kompeten dan komunikatif. Idealnya,
mereka yang terpilih adalah orang yang profesional, berjiwa
kepemimpinan yang membela nasib rakyat.
d. Menyusun kontrak sosial baru, artinya tidak hanya untuk mendapatkan
pemipin yang baru, melainkan sirkukasi komunikasi yang membuat
perjanjian-perjanjian calon pemimpin sebelum menjadi pemenang dituntut
untuk merealisasikan secara nyata.
Sejarah kemerdekaan, ketentuan mengenai pemerintahan daerah (termasuk
didalamnya mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah) diatur dalam sejumlah
undang-undang,19
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1986, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang 32 Tahun 2004, Undang-Undang 22
Tahun 2007, Undang-Undang 12 Tahun 2008, Undang-Undang 15 Tahun 2011,
Undang-Undang 22 Tahun 2014,Undang-Undang 23 Tahun 2014, Perppu Nomor
1 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015.
19
Suharizal,Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, Jakarta: PT. RajaGrafindo,
2011, hlm.15.
-
18
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pemilihan kepala daerah
dilakukan Dewan. Sementara menurut Undang-Undang Nomor 22 1948 kepala
daerah dipilih oleh pemerintah pusat dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD,
dalam hal ini DPRD berhak mengusulkan pemberhentian seorang kepala daerah
kepada pemerintah pusat. Setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 hingga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, ketentuan pilkada belum
mengalami perubahan yang signifikan, antara lain sebagai berikut:20
1. Kepala daerah dipilih oleh DPRD
2. Kepala daerah Tingkat 1 diangkat dan diberhentikan oleh presiden
3. Kepala daerah Tingkat II diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Dalam
Negeri dan otonomi daerah, dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD
yang bersangkutan.
Setelah era reformasi, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 pemilihan kepala daerah dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi
tidak langsung dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan penegasan asas
desentralisasi yang kuat21
, sementara pemerintah hanya menapatkan dan melantik
kepala daerah berdasarkan hasil pemilu yang dilakukan oleh DPRD.
Hasil perubahan UUD RI Tahun 1945 telah membawa pengaruh besar pada
sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan tersebut memberikan jaminan
konstitusional bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia, berdasarkan jaminan
tersebut maka sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dikenal ada tiga macam
pemilu, yaitu:
20
Ibid. hlm. 16. 21
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, „‟Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD
dan Kepala Daerah. Bandung:PT. Alumni. 2004, hlm.115.
-
19
a. Pemilu legislatif, yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD
b. Pemilu presiden, yaitu pemilihan untuk memilih presiden dan wakil
presoden
c. Pemilihan kepala daerah, yaitu pemilihan untuk memilih kepala daerah.
Ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung tersebut kemudian
telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan kemudian dirubah dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Perkembangan ketatanegaraan telah memunculkan adanya daya tarik ulur
kepentingan dalam pemilihan kepala daerah, pembentukan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang
mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mewarnai
proses pemilihan kepala daerah sebelum dikeluarkanya Peraturan Pemerintah
pengganti Undang-Undang (perppu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang yang dikeluarkan oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sekaligus membatalkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota dan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh rakyat. Lebih lanjut kemudian pada tanggal 2 Februari tahun 2015
Presien Joko Widodo telah mengesahkan pembentukan Undang-Undang Nomor 1
-
20
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi
Undang-Undang. Sementara pengaturan terbaru tentang pemilihan Kepala Daerah
saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Gubernur dan wakil Gubernur
untuk provinsi, Bupati dan wakil Bupati untuk kabupaten, Walikota dan wakil
walikota untuk daerah kota. pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung
sejalan dengan upaya pengembangan dan penguatan sarana demokrasi kedaulatan
rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil melalui pemungutan suara. Pergeseran bentuk
pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diikuti dengan diaplikasikannya
nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan
demokrasi di indonesia untuk tataran nasional dilaksanakan bersamaan dengan
yang berada pada tataran lokal (daerah), hal ini merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan desentralisasi politik. Salah satu manifestasi dari proses tersebut
adalah dilaksanakanya pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih
gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota debagai amanat dari
undang-undang pemerintah daerah22
.
22
Gamawan Fauzi, Sengketa Pemilukada, Putusan MK, dan Pelaksanaan Putusan MK, dalam
Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Op.Cit, hlm. 31.
-
21
Tuntutan reformasi menghendaki agar Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diubah. Hasil dari amandemen atau perubahan Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan besar pada sistem
ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan pengisian
jabatan kepala daerah yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 194523
.
Dikatakan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa “Gubernur, Bupati dan
Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan
kota dipilih secara demokratis.” Frasa “dipilih secara demokratis” bersifat luwes,
sehingga mencakup pengertian pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat
ataupun oleh DPRD seperti yang pada umumnya pernah dipraktikkan di daerah-
daerah berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku24
.
Pemiihan kepala daerah secara langsung juga dinilai dengan semangat otonomi
daerah, bahwa daerah berhak menguruh rumah tangganya sendiri termasuk dalam
menetukan secara langsung siapa pemimpin yang dikehendaki. Semangat
menumbuhkan demokrasi tingkat lokal tersebut juga diperkuat dengan asumsi
bahwa:
a. pemilihan kepala daerah untuk meningkatkan kualitas dan akuntabilitas
lokal, termasuk kepala-kepala daerah.
b. pemilihan kepala daerah diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik
dan efektifitas pemerintahan.
23
Pasal 18 hadir dalam amandemen kedua padal tanggal 7-18 Agustus 2000 dalam sidang tahunan
MPR. Amandemen kedua dilakukan sebanyak 7 bab dan 25 pasal. Perubahan meliputi Pasal 18,
Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bb IXA, Pasal
25 E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B,
Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28H, Pasal 28J, Bab XII,
Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C. FX. Sumarja, Hasil dan Prospek
Amandemen UUD 1945, Jurnal Konstitusi PKK Fakultas Hukum Universitas Lampung Volume III
Nomor 2 November 2011, hlm. 12. 24
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat
Studi Hukum Tata Negara UI, 2002, hlm. 22.
-
22
c. pemilihan kepala daerah akan memperkuat dan meningkatkan kualitas
seleksi kepemimpinan nasional karena makin terbuka bagi munculnya
pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah (daerah). Hal ini
sejalan dengan salah satu tujuan desentralisasi atau otonomi daerah yaitu
dalam rangka pelatihan dan kepemimpinan nasional.
d. pemilihan kepala daearah merupakan wadah masyarakat lokal dalam
menyalurkan aspirasi politiknya untuk memilih kepala daerah sesuai
dengan hati nuraninya masing-masing tanpa intervensi25
.
Menurut Kant dikutip oleh Sartono dalam bukunya Nasib Demokrasi Lokal di
Negeri Bardar bahwa:26
“Pilkada yang demokratis sebagai salah satu bentuk konsep yang harus
didukung dengan tertib hukum dan partisipasi manusia secara keseluruhan
yang menjadi keselarasan yang ditentukan sebelumnya (harmonia
praestabilita) sebagai etika yang asasi yang berasal dari perasaan dan
kepercayaan. Sedangkan, teori demokrasi menjadi bingkai pendukung
terhadap pengembangan konsep politik yang mengarahkan pilkada
yang jujur dan adil sebagai budaya demokratis suatu negara”.
Pilkada secara demokratis dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat memang
untuk rakyat Indonesia sebagaimana prinsip demokrasi sesungguhnya.
Pemilukada langsung menjadi momentum penting bagi pembangunan politik aras
lokal ke arah yang lebih demokratis. Ini yang disebut oleh Brian C. Smith dan
Robert Dahl sebagai local accountability, politicalequality, dan local
responsiveness, yang menjadi pertaruhan setiap daerah. Ketiganya menjadi tolak
ukur untuk melihat sejauh mana pemerintahan di daerah berjalan27
.
25
Ridlwan, Zulkarnain, Model Pengawasan Pemilukada Berbasis Pelibatan Masyarakat, dalam:
Jurnal Konstitusi, Vol III No. 1. Juni 2011, Jakarta, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 26
Rudy dan Charlyna S. Purba, Dinamika Sengketa Pemilukada Di Indonesia, Nagakusuma Media
Kreatif, Jakarta, 2014, hlm. 14. 27
Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Expose, Jakarta, 2016, hlm. 38.
-
23
Berkaitan dengan pemerintah lokal setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa
pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dipilih secara demokratis.
Pertama, pemerintahan lokal yang demokratis membuka ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal (political
equality). Kedua, pemerintahan lokal yang demokratis mengedepankan pelayanan
kepada kepentingan publik (local accountability). Ketiga, pemerintahan lokal
yang demokratis meningkatkan akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang
berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat (local responsiveness). Ketiga hal
tersebut menjadi acuan pokok dalam upaya menggulirkan wacana pemilhan
langsung agar arah pengembangannnya memiliki sandaran yang kokoh28
.
C. Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum
Peran penyelenggara pemilu sangat penting dalam pelaksanaan Pemilu. Dinamika
penyelenggara pemilu telah bergulir mulai dari Pemilu 1955 hingga saat ini. Awal
pelaksanaan Pemilu hingga masa Orde Baru, penyelenggaranya tidak dapat
terlepas dari partai politik dan pemerintah. Tetapi setelah memasuki gerbang
Reformasi penyelenggara pemilu dibentuk sebagai suatu lembaga yang bersifat
independen diluar dari pengaruh partai politik dan pemerintah.
Amandemen UUD 1945 sebagai salah satu proyek Reformasi yang berdampak
banyak munculnya lembaga negara baru yang dibentuk sesuai dengan
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Salah satu lembaga yang dibentuk
setelah amandemen tersebut yaitu komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara
28 Wahyu Widodo, Pelaksanaan Pilkada Berdasarkan Asas Demokrasi Dan Nilai-Nilai Pancasila, Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume V, No 1, Januari 2015, hlm. 682.
-
24
pemilu di Indonesia. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas
dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh Nusantara serta
memiliki kompleksitas nasional menuntut perlu adanya penyelenggara pemilihan
umum yang professional dan memiliki kredibilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka menyelenggarakan serta mengawal terwujudnya pemilihan umum
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu
lembaga agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan
asas pemilihan umum sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan
perundangundangan.
Penyelengara pemilu sendiri dibentuk dengan tujuan untuk:29
a. memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
b. mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;
c. menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;
d. memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengahrran
pemilu; dan
e. meurujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Lembaga penyelenggara pemilu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasca amandeman, dikatakan dalam Pasal 22E ayat (5) tentang pemilu bahwa
pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri dapat disampaikan beberapa hal30
. Pertama, bahwa
penyelenggaraan pemilu mencakup kewenangan yang luas sebagaimana fungsi
29
Lihat Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu. 30
Lihat UUD 1945 Pasal 22E Ayat (5)
-
25
manajemen moderen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
dan pengawasan yang bersifat internal-vertikal dan melekat. Kedua, bahwa
terminologi “suatu komisi pemilihan umum” yang ditulis dengan huruf kecil
menunjuk pada suatu fungsi dan bukan suatu nama lembaga (nomenklatur).
Ketiga, bersifat nasional dimaksudkan untuk menegaskan lingkup wilayah tugas
dan kewenangannya yang meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Keempat, bersifat tetap dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
lembaga penyelenggara pemilu merupakan lembaga yang bersifat permanen dan
bukan bersifat ad hoc. Kelima, bersifat mandiri dimaksudkan untuk melindungi
penyelenggara pemilu dari intervensi berbagai kekuatan politik dan/atau dari
pengaruh pemerintah31
. Namun perlu ditegaskan bahwa bersifat mandiri juga
bermakna terbatas dalam hal pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Karena itu
kemandirian tersebut mencakup kemandirian kelembagaan, dalam arti bahwa
lembaga penyelenggara pemilu bukan merupakan bagian dari suatu lembaga
Negara lainnya, dan kemandirian dalam proses penentuan kebijakan/pengambilan
keputusan dalam arti bebas intervensi dari pihak manapun32
.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang tertuang dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU/VIII/2010 memberikan
pertimbangan hukumnya yaitu bahwa Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 menyatakan
ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum diatur dengan undang-undang.
31
Indra Pahlevi, Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum Di Indonesia: Berbagai
Permasalahannya, Politica Vol. 2, No. 1, Juni 2011, Hlm. 56-57. 32
Ibid.
-
26
Secara de facto dan de jure, Undang-Undang 22 Tahun 2007 telah mengatur dan
merumuskan bahwa suatu komisi pemilihan umum yang menyelenggarakan
pemilihan umum dimaksud meliputi, kesatu, lembaga penyelenggara pemilihan
umum yang dikenal sebagai KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota; dan
kedua, lembaga pengawasan pemilu yang dikenal sebagai Badan Pengawas
Pemilihan Umum, Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/ Kota33
. Pandangan
Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan penekanan bahwa keberadaan
lembaga penyelenggara pemilu memang harus ada dengan tiga komponen utama
yaitu KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan. Oleh karena, itu tentu akan
menjadi perhatian dalam pengaturan tentang penyelenggara pemilu harus
memenuhi tiga unsur tersebut meskipun disadari pengawasan tidak harus bersifat
eksternal-horisontal. Selain itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum telah merumuskan keberadaan KPU, Bawaslu dan DKPP dalam
satu nafas harmonis sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Ketiga
lembaga ini telah diamanatkan undang-undang untuk menyelenggarakan Pemilu
menurut fungsi, tugas, dan kewenangannya masing-masing. Setelah adanya
perubahan undang-undang penyelenggara Pemilu dari Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum, dinyatakan
dalam Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bahwa:
“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang
terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan
33
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010.
-
27
Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggara
Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.”
a. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Sebagaimana diketahui bahwa penyelenggara Pemilihan Umum sejak Pemilu
1971 hingga Pemilu 1997 menjadi tanggung jawab Lembaga Pemilihan Umum
(LPU). Namun, sejak era Reformasi bergulir maka, yang menjadi penanggung
jawab penyelenggaraan Pemilu adalah KPU. Komisi Pemilihan Umum yang
pertama (1999 – 2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun
1999, beranggotakan 53 orang yang terdiri dari unsur pemerintah 5 (lima) orang
dan partai politik 48 orang. KPU pertama dilantik oleh Presiden BJ. Habibie.98
Komisi Pemilihan Umum jika ditinjau dari tugas dan fungsinya dalam konteks
cabang-cabang kekuasaan negara termasuk katergori menjalankan kekuasaan
eksekutif, yakni untuk membantu presiden dalam penyelengaraan pemilihan
umum di Indonesia. Oleh karena itu secara fungsional Komisi Pemilihan Umum
termasuk organ penunjang (auxiliary organs) atas tugas organ utama yakni
presiden. Dengan demikian, sesungguhnya organ utamanya (primary
constitutional organs) dari penyelenggara Pemilu di Indonesia adalah presiden,
yang lebih lanjut oleh Undang-Undang Dasar 1945 diatribusikan kepada komisi
pemilihan umum34
. Namun, KPU bukan merupakan lembaga negara yang
34
Ibramsyah Amirudin, Hukum Kelembagaan Negara Kedudukan KPU Dalam Struktur
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Laksbang Grafika:Yogyakarta, 2016, hlm. 51.
-
28
kewenangannya diatur langsung dalam UUD 1945. Karena yang diatur dalam
UUD 1945 adalah fungsinya, tidak menyangkut pada lembaganya. Maka dari itu
dalam UUD 1945 tersebut, perkataan komisi pemilihan umum ditulis dengan
huruf kecil karena nama lembaga penyelenggara pemilu itu tidak diharuskan
bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU)35
.
Secara konstitusional KPU sebagai penyelenggara Pemilu diatur dalam Pasal 22E
ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemilihan umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri. Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah nama yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
untuk lembaga penyelenggara pemilu36
. Komisi Pemilihan Umum yang
selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. KPU terdiri atas: (a)
KPU; (b) KPU Provinsi; (c) KPU kabupaten/Kota; (d) PPK; (e) PPS; (f) PPLN;
(g) KPPS; dan (h) KPPSLN37
.
Terdapat perubahan dalam struktur keanggotaan KPU dalam Undang- Undang
Nomor 15 Tahun 2011 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Pasal 6
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menyebutkan bahwa, jumlah
anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang; KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) orang;
dan KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 (lima) orang. Sedangkan dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 jumlah anggota KPU sebanyak 7 (tujuh) orang;
35
Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisian Anggota Badan Pengawas Pemilu buku Charles
Simabura yang berjudul Pengawas Pemilu Di Indonesia dalam Pengisian Jabatan Pempinan
Lembaga Negara Independen, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 303. 36
Ibramsyah Amirudin, Op.Cit, hlm. 51 . 37
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu.
-
29
KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang; dan KPU Kabupaten/Kota
sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Penetapan jumlah anggota KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada Undang- Undang Nomor
7 Tahun 2017 didasarkan pada kriteria, jumlah penduduk, luas wilayah, dan
jumlah wilayah administratif pemerintahan.
b. Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU)
Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955
belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di
seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang
dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai
Konstituante. Panitia pengawas Pemilu baru dikenal dalam Pemilu Tahun 1982
masa Orde Baru Pada tahun 1982 dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan
Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang dibentuk sesuai amanat Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1980 sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 4
Tahun 197538
.
Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes protes atas
banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh
para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan
pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas
direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya
muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan
38
Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisia Anggota Badan Pengawas Pemilu, Loc.Cit.
-
30
'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju
untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu,
pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam
urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Selain adanya Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu pada masa Orde Lama di
tahun 1996 pada akhir bulan Januari, gabungan dari sejumlah lembaga swadya
masyarakat dan individu-individu yang menginginkan pelaksanaan pemilihan
umum yang lebih bebas dan adil pada tahun 1997 membentuk suatu Komisi
Independen Pemantau Pemilu (KIPP), namun sangat disayangkan keberadaan
lembaga ini tidak terlalu eksis dikarenakan besarkan kontrol pemerintah pada
Orde Lama.
KIPP merupakan lembaga yang ikut memantau jalannya pelaksanaan Pemilihan
Umum di Indonesia. Pada era Reformasi pemerintah membentuk lembaga
penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi
Pemilihan Umum (KPU), selain itu era reformasi juga memberikan dampak pada
panitia pengawas Pemilu. Lembaga pengawas pemilu juga berubah nomenklatur
dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selanjutnya
perubahan mendasar terkait dengan kelembagaan Pengawas Pemilu baru
dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut undang-
undang ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu yang dibentuk oleh KPU yang
terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia
Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan.
Berdasarkan amanat undang-undang di atas Panwaslu pertama dibentuk
-
31
berdasarkan S.K KPU No 88 Tahun 2003 tentang Panwas panitia pengawas
dibentuk dan bertanggungjawab sepenuhnya kepada KPU.39
Selanjutnya kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya sebuah
lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu
dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 pada ketentuan Pasal 1
Angka (15) dan Angka (16) menyatakan bahwa: Bawaslu adalah badan yang
bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan panitia pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas
Pemilu kabupaten/Kota adalah Panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk
mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah Provinsi dan Kabupaten /kota.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11/PUUVII/ 2010 tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang diajukan oleh anggota Bawaslu, Bawaslu
muncul sebagai lembaga negara. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
dikatakan bahwa :40
Klausul “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945
tidak menunjuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasiona, tetap dan mandiri.
Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum
tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi
termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas
Pemiliha Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sebagai kelanjutan
39
Iwan Satriawan, Masa Depan Pengisia Anggota Badan Pengawas Pemilu, Loc.Cit. 40
Ibid.
-
32
atas putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi tersebut diterbitkanlah
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentuknya
lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat provinsi dengan nama Badan
Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 juga menegaskan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu yang semula hanya
dimiliki oleh KPU kini bertambah dengan adanya Bawaslu sebagai satu kesatuan
lembaga penyelenggara Pemilu. Badan Pengawas Pemilu yang selanjutnya
disebut Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara pemilu yang mengawasi
Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bawaslu terdiri atas Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota,
Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Panwaslu
TPS. Jumlah anggota Badan Pengawas Pemilu terdiri atas (a) Bawaslu sebanyak 5
(lima) orang; (b) Bawaslu Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang; (c)
Bawaslu Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tga) atau 5 (lima) orang; dan (d) Panwaslu
Kecamatan sebanyak 3 (tiga) orang.41
c. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Pertama kalinya dalam sejarah penyelenggaraan pemilu, pada pemilu 2009
mengenal Kode Etik dan Dewan Kehormatan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Kode
41
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Penyelenggara Pemilu
-
33
Etik dan Dewan Kehormatan disusun bersama antara KPU dan Bawaslu, serta
Dewan Kehormatan yang bersifat ad hoc.
Dewan Kerhormatan saat itu terdiri atas Dewan Kehormatan KPU dan Dewan
Kehormatan Bawaslu. Dewan Kehormatan adalah institusi ethic difungsikan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk
menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara. Namun, saat
itu wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil,
memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan
bersifat ad hoc.
DK KPU 2008-2011 dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dari
aspek struktural kurang seimbang karena didominasi oleh penyelenggara Pemilu.
DK KPU beberapa kali dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dan
prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan DPR
memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota
KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk salah satu mantan anggota KPU 2010
memberi harapan baru bagi publik pada perubahan. Dari prestasi yang baik dan
dengan menampilkan performa kelembagaan DK KPU yang produktif di mata
publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP.
Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu
sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan
memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU
tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan lewat produk hukum Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Oleh karena itu, Dewan
-
34
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dibentuk berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 untuk pemilu 2014 merupakan kelanjutan
dari Dewan Kehormatan yang berasal dari pemilu 2009 berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2007.42
DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya
dugaan pelanggaran kode etik yang, dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU
provinsi, anggota, KPU Kabupaten Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu
Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota. DKPP dibentuk paling lama 2
(dua) bulan sejak anggota KPU dan anggota Bawaslu mengucapkan sumpah/janji.
Anggota DKPP berjumlah 7 (tujuh) orang yang terdiri dari 1 (satu) orang ex
offtcio dari unsur KPU; 1 (satu) orang ex offio dari unsur Bawaslu; dan 5 (lima)
orang tokoh masyarakat. Anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat
diusulkan oleh Presiden sebanyak 2 (dua) orang dan diusulkan oleh DPR
sebanyak 3 (tiga) orang. Kemudian usul keanggotaan DKPP dari setiap unsur
diajukan kepada Presiden. DKPP hanya melakukan penyelidikan terkait
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. DKPP hanya menyusun dan
menetapkan kode etik, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan
penyelenggara pemilu dan memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu apabila
terbukti melanggar kode etik, mulai dari sanksi pemberhentian secara definitif,
bahkan juga dan merehabilitasi anggota. Sehingga, objek perkara yang ditangani
DKPP hanya pada masalah perilaku pribadi penyelenggara pemilu, bukan
mengurusi masalah keputusan yang telah diambil oleh penyelenggara pemilu.
42
Sodikin, Hukum Pemilu Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,Op.Cit, hlm. 83.
-
35
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif,atau sering
dikenal dengan istilah pendekatan yuridis normatif43
. Penelitian hukum adalah
penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan
pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan terhadap permasalahan yang ada dalam penelitian ini
adalah dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pokok masalah penelitian. Pendekatan kasus (case appoarch) dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi dan menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
C. Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai berikut:
43
Suratman dan H. Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung:Alfabeta, 2013, hlm. 54.
-
36
1. Bahan hukum primer (primary law material), yaitu bahan hukum yang
memiliki kekuatan hukum mengikat secara umum (perundang-
undangan) atau mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak
yang berkepentingan yang bersumber dari dokumen hukum, dan
putusan hakim44
.
a. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun
1945.
b. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
c. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua
atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
e. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum.
f. Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman
Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum.
2. Bahan hukum sekunder (secunder law material)
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang
digunakan antara lain:
44
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2004,
hlm. 2.
-
37
a. Doktrin atau pendapat ahli hukum ketatanegaraan yang terdapat
pada buku, jurnal, hasil riset;
b. Bahan hukum tersier yang digunakan adalah berupa Kamus Besar
Bahasa Indonesia.
D. Metode Pengumpulan Data
Pegumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan studi
kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mempelajari,
menelaah, dan menafsirkan dari berbagai literatur, dokumen-dokumen dan
pera