Download - Diskripsi Sistem Surveilans
Diskripsi Sistem Surveilans
1. Pengertian
Menurut WHO (2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis
dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi
kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi
diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang
dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan
penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.
Surveilans kesehatan masyarakat adalah proses pengumpulan data kesehatan yang
mencakup tidak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan
analisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Hasil surveilans
dan pengumpulan serta analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan,
mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk
mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan demikian,
agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia dalam bentuk yang
dapat digunakan (Timmreck, 2005).
2. Tujuan Surveilans
Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam
masyarakat sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar
biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal
pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat
administrasi (Depkes RI, 2004a).
3. Komponen Surveilans
Komponen-komponen kegiatan surveilans menurut Depkes. RI, (2004b) seperti dibawah
ini:
1) Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan
ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data
epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko
terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk
menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan
keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat
penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya,
cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
2) Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi,
dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik
dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil
analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam
menghadapi masalah yang baru.
3) Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data
digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan
disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada
lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.
Komponen-komponen dalam pelaksanaan sistem surveilans (WHO,1999) adalah sebagai
berikut :
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas
informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang dikumpulkan.
Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit
yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan surveilans yang baik
pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus.
Tujuan pengumpulan data :
1). Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai resiko terbesar
terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan lain-lain.
2). Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.
3). Menentukan reservoir infeksinya
4). Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi penyakit.
5). Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.
Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data sistem
surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu:
1). Pencatatan kematian
2). Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam surveilans. Data yang
diperlukan : nama penderita, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai
sakit.
3). Laporan kejadian luar biasa atau wabah.
4). Hasil pemeriksaan laboratorium.
5). Penyelidikan peristiwa penyakit menular.
6). Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.
7). Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.
8). Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan.
9). Data penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin.
10). Data kependudukan dan lingkungan.
b. Pengolahan, analisa dan interpretasi data
Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan berdasarkan
waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk teks, tabel, spot map dan lain-
lain agar bisa menjawab masalah-masalah yang ada, sehingga segera dilakukan tindakan
yang cepat dan tepat.
Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-saran
dalam menentukan tindakan pemecahan masalah yang ada.
c. Penyebarluasan Informasi dan umpan balik.
Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit
kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk
disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih
lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi
laporan.
Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data
(pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah,
merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up.
4. Aktifitas Inti Surveilans
Aktivitas surveilans kesehatan masyarakat meliputi delapan aktivitas inti (McNabb. et al.,
2002), yaitu:
1) Pendeteksian kasus (case detection): proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan
kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan
surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian,
unit program-sektor dan unit statistik lainnya.
2) Pencatatan kasus (registration): proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau
keadaan kesehatan.
3) Konfirmasi (confirmation): evaluasi dari ukuran-ukuran epidemiologi sampai pada hasil
percobaan laboratorium.
4) Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans
epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan
penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian
dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.
5) Analisis data (data analysis): analisis terhadap data-data dan angka-angka dan
menentukan indikator terhadap tindakan.
6) Respon segera/ kesiapsiagaan wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam
menghadapi wabah/kejadian luar biasa.
7) Respon terencana (response and control): sistem pengawasan kesehatan masyarakat
hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan
munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat.
8) Umpan balik (feedback): berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan
dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi.
5. Kegunaan Surveilans Epidemiologi.
Surveilans epidemiologi mempunyai beberapa kegunaan (Depkes RI, 1997) yaitu:
a. Mengidentifikasi adanya kejadian luar biasa, epidemi dan untuk memastikan tindakan
pengendalian secara berhasil guna yang dapat dilaksanakan.
b. Memantau pelaksanaan dan daya guna program pengendalian khusus dengan
memperbandingkan besarnya masalah sebelum dan sesudah pelaksanaan program.
c. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas sasaran program pada tahap
perencanaan program.
d. Mengidentifikasi kelompok resiko tinggi menurut umur, pekerjaan, tempat tinggal dimana
masalah kesehatan sering terjadi dan variasi terjadinya dari waktu ke waktu, menambah
pemahaman mengenai vektor penyakit, reservoir binatang dan cara serta dinamika
penularan penyakit menular.
6. Syarat-syarat sistem surveilans yang baik.
Syarat-syarat sistem surveilans yang baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai
berikut (Romaguera, 2000) :
a. Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian
sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber
pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan
staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya
yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit.
b. Fleksibilitas (Flexibility).
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi
perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa
memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.
c. Dapat diterima (Acceptability).
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu,
organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat,
temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan
pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator
penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan
pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam
sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau,
pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap
saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan
perundangan yang dijalankan dengan tepat.
d. Sensitivitas (Sensitivity).
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian
kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan
mengidentifikasi adanya KLB.
Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
1). Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan
2). Kemampuan mendiagmosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan
dilaporkan
3). Keakuratan data yang dilaporkan
e. Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)
Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang
kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif
Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi penyakit
atau masalah kesehatan di masyarakat.
f. Representatif (Representative).
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat
distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data
merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak
sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri demografik dan
infomasi mengenai faktor resiko yang penting.
g. Tepat Waktu.
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan
kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data
serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan
penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan
secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu
dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk
pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program
dalam jangka panjang. Tekhnologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem
surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I., 1997 “Pedekatan Epidemiologi dan Dasar-dasar Surveilans”, Pusdiklat : Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004b) Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan Penyakit Menular dan Tidak Menular Terpadu
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004a) Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit.
McNabb, S.J., Chungong, S., Ryan, M., Wuhib, T., Nsubuga, P., Alemu, W., Kulis, V.C. & Rodier G. (2002) Conceptual Framework of Public Health Survellance and Action and Its Application in Health Sector Reform. BMC Public Health, Januari 29 2002, 2:2 Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2458/2/2, [Diakses tanggal 23 Juli 2009].
Romaguera, A. Raul., German, R.Robert & Klaucke N. Douglas, 2000 Evaluating Public Health Surveillance in : Teutsch, M. Steven and Churchill, E. R. ed. Principles and Practice of Public Health Surveillance: New york : Oxford university press pp. 176 – 193.
Timmreck, C.T. (2005) Epidemiologi: Suatu Pengantar, Edisi 2, terjemahan oleh Munaya Fauziah, dkk. Jakarta: EGC.
WHO, 1999, WHO Recommended Surveillance Standards, The united Kingdom of Great Britain.WHO. (2004) WHO comprehensive assessment of the National Disease surveilans in Indonesia.
Washington DC
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN DI LAHAN PRAKTIK
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN DI LAHAN PRAKTIK
disampaikan dalam seminar pencegahan infeksi nosokomial di Poltekkes Kemenkes RI Padang Minggu, 14 April 2013
A. Pendahuluan
”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah sakit yang lebih banyak.
HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi ini menunjukkan penurunan mutu pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.
Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas, peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.
Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat, bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium, Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik bagi mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswa dan peserta magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi dan akan beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswa, peserta
magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses terjadinya infeksi, mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta bagaimana pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Sebab bila sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup sulit mengatasinya, pada umumnya kuman sudah resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga semua mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang akan mengadakan praktik di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga karyawan baru yang akan bertugas harus diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI) tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.
B. Rantai Penularan Infeksi
Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan adalah:
1. Agen infeksi (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit. Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load)
2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina
3. Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :
a. Kontak (contact transmission):
1) Direct/Langsung: kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasen
2) Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat) perantara: melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci
b. Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek, tdk bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib), Virus Influenza, mumps, rubella c. Airborne : partikel kecil ukuran < 5 μm, bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh: Mycobacterium tuberculosis, virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur
d. Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
e. Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat menularkan kuman penyebab cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat, pinjal/kutu, binatang pengerat
5. Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang suseptibel). Pintu masuk bisa melalui: saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.
C. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko pada penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.
2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.
Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan)
4. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan. Berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.
D. Kewaspadaan Isolasi
Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan benar dapat menurunkan risiko transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi mikroba infeksius diantara petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium keluar.
Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :
Standard Precautions /Kewaspadaan Standar
gabungan dari:
Universal Precautions/Kewaspadaan Universal Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh
berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit pelayanan kesehatan
Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi
dipakai bila rute transmisi tidak dapat diputus sempurna hanya Standard precautions.
1970 Tehnik isolasi untuk penggunaan di RS, edisi 1.
Memperkenalkan 7 katagori kewaspadaan isolasi kartu berwarna: Strict, Respiratory, Protective, Enteric, Wound and Skin,Discharge, and Blood
1983 CDC Pedoman Kewaspadaan Isolasi RS
Membagi menjadi 2 golongan sistim Isolasi; katagori spesifik dan penyakit spesifik
1985 Universal Precautions (UP)
Berkembang dari epidemi HIV/AIDS
Ditujukan aplikasi kewaspadaan terhadap Darah dan Cairan Tubuh pada pasien pengidap infeksi
Tidak diterapkan terhadap feses,ingus,sputum,keringat,air mata,urin,muntahan
1987 Body Substance Isolation (BSI)
Menghindari kontak terhadap semua cairan tubuh dan yang potensial infeksius kecuali keringat
1996 Pedoman Kewaspadaan Isolasi dalam Rumah Sakit
Dibuat oleh The Healthcare Infection Control Practices Advisory
Committee (HICPAC), CDC
Menggabungkan materi inti dari UP and BSI dalam Kewaspadaan Standard untuk diterapkan terhadap semua pasien pada setiap waktu
2007 Pedoman Kewaspadaan Isolasi; Pencegahan Transmisi penyebab infeksi pada Sarana Kesehatan.
Dibuat oleh HICPAC, CDC.
tambahan :
HAIs Hyangiene respirasi/Etika batuk, Praktek menyuntik yang aman Pencegahan infeksi unt prosedur Lumbal
pungsi
Sejarah Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung terinfeksi/kolonisasi. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:
1. Kebersihan tangan/Handhygiene
2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield (pelindungwajah), gaun
3. Peralatan perawatan pasien4. Pengendalian lingkungan5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan7. Penempatan pasien8. Hyangiene respirasi/Etika batuk9. Praktek menyuntik yang aman10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi
Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang dapat ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak kulit atau permukaan terkontaminasi.
3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:
– kewaspadaan transmisi kontak
– kewaspadaan transmisi droplet
– kewaspadaan transmisi airborne
Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun kombinasi karena suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.
1. Kewaspadaan transmisi Kontak
a) Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah HAIs) Kohorting (management MDRo )
b) APD petugas:
Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak bahan infeksius, lepaskan sarung tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik
Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan
c) Transport pasien
Batasi kontak saat transportasi pasien
2. Kewaspadaan transmisi droplet
a) Penempatan pasien :
Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka
b) APD petugas:
Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien
c) Transport pasien
Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne
a) Penempatan pasien :
Di ruangan tekanan negatif Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA Pintu harus selalu tertutup rapat. kohorting Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting jarak >1 m Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran Ventilasi airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal) Terpisah jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang
b) APD petugas:
Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien, Gaun Goggle Sarung tangan
(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)
c) Transport pasien
Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk
Catatan :
Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi patogen yang sama di ruang yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.
Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi
Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien rawat inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :
1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh pasien
2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu lainnya3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak darah dan cairan tubuh serta barang
yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien.
6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang pembuangan yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan obtainer/container pasien lainnya.
7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan dan
didisinfeksi benar.
E. Kebersihan Tangan
Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS. Menjaga kebersihan tangan dengan baik dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi infeksi nosokomial. Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar pengendalian infeksi. Teknik yang digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah. Dapat memakai antiseptik, dan air mengalir atau handrub berbasis alkohol.
Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi (orang ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan menunjang penurunan insiden MRSA, VRE di ICU.
Kapan Mencuci Tangan?
Segera setelah tiba di rumah sakit Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien Sebelum dan sesudah kontak pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh pasien Diantara kontak pasien satu dengan yang lain Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien Sesudah ke kamar kecil Sesudah kontak darah atau cairan tubuh lainnya Bila tangan kotor Sebelum meninggalkan rumah sakit Segera setelah melepaskan sarung tangan Segera setelah membersihkan sekresi hidung Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan
Alternatif Kebersihan Tangan
Handrub berbasis alkohol 70%:
– Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas
– Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau
– Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml 100 ml alkohol 70 %)
Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan air bersih mengalir dan sabun harus dilakukan Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan
kotor harus mencuci tangan sabun dan air mengalir Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan sabun dan air mengalir Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya mencuci tangan sabun
antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997. Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit
Enam langkah kebersihan tangan :
Langkah 1 : Gosokkan kedua telapak tangan
Langkah 2 : Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan sebaliknya
Langkah 3 : Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang
Langkah 4 : Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan sebaliknya
Langkah 5 : Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, dan lakukan sebaliknya
Langkah 6 : Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, dan lakukan sebaliknya
F. Penutup
Memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi harus didukung dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan dalam Standar Prosedur Operasional. Adapun cara memutus mata rantai penularan infeksi tersebut adalah dengan penerapan “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar) dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
Promosi secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan dapat meningkatkan daya tahan tubuh. Selanjutnya perlu perlindungan bagi petugas minimal dengan imunisasi Hepatitis B, dan diulang tiap 5 tahun paska imunisasi.
Kewaspadaan yang konstan dalam penanganan benda tajam harus dilaksanakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO). Luka tertusuk Jarum merupakan bahaya yang sangat nyata dan membutuhkan program manajemen paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas kesehatan berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.
PENGENDALIAN INFEKSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi
mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat
akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi.
Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.
Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari rumah sakit pada saat pasien
menjalani proses asuhan keperawatan. Infeksi nosokomial pada umumnya terjadi pada pasien yang
dirawat di ruang seperti ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan
perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang
didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut
tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Definisi Pengendalian Infeksi
2. Cara penularan mikroorganisme
3. Faktor yang mempengaruhi proses infeksi
4. Infeksi nosokomial
5. Sterilisasi dan desinfeksi
6. Pencegahan infeksi
7. Masalah- masalah pada pengendalian infeksi
8. Proses keperawatan dengan masalah pengendalian infeksi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pengendalian Infeksi
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit
(Potter & Perry, 2005).
Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi
mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat
akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi.
Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.
Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Menurut Utama 2006, Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh
yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang
tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat
atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi
penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala
setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar tubuh. Infeksi
endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh dan
berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection atau auto infection, sementara
infeksi eksogen (cross infection) disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit
dan dari satu pasien ke pasien lainnya.
2.2 Rantai Infeksi
Menurut Perry Potter, 2005 proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar
berbagai faktor yang mempengaruhi, Proses tersebut melibatkan beberapa unsur diantaranya:
1. Reservoir
Merupakan habitat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dapat berupa manusia,
binatang, tumbuhan, maupun tanah.
2. Jalan Masuk
Merupakan jalan masuknya mikroorganisme ketempat penampungan dari berbagai kuman,
seperti saluran pencernaan, pernapasan, pencernaan, kulit dan lain-lain.
3. Inang (host)
Merupakan tempat berkembangnya suatu mikroorganisme yang dapat didukung oleh ketahanan
kuman.
4. Jalan Keluar
Merupakan tempat keluarnya mikroorganisme dari reservoir, seperti sistem pernapasan, sistem
pencernaan, alat kelamin dan lain-lain.
5. Jalur Penyebaran
Merupakan jalur yang dapat menyebarkan berbagai kuman mikroorganisme ke berbagai tempat,
seperti air, makanan, udara dan lain-lain.
2.3 Cara Penularan Mikroorganisme
Proses penyebaran mikroorganisme kedalam tubuh, baik pada manusia maupun hewan dapat
melalui berbagai cara di antaranya :
1. Kontak Tubuh
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui proses penyebaran secara langsung maupun tidak
langsung. Penyebaran secara langsung melalui sentuhan dengan kulit, sedangkan secara tidak
langsung dapat melalui benda yang terkontaminasi kuman.
2. Makanan dan Minuman
Terjadinya penyebaran dapat melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, seperti
pada penyakit tifus abdominalis penyakit infeksi cacing, dan lain-lain.
3. Serangga
Contoh proses penyebaran kuman melalui serangga adalah penyebaran penyakit malaria oleh
plasmodium pada nyamuk aedes dan beberapa penyakit saluran pencernaan yang dapat ditularkan
melalui lalat.
4. Udara
Proses penyebaran kuman melalui udara dapat dijumpai pada penyebaran penyakit sistem
pernapasan (penyebaran kuman tuberkolosis) atau sejenisnya.
2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Infeksi
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses infeksi adalah:
1. Sumber Penyakit
Sumber penyakit dapat mempengaruhi apakah infeksi berjalan dengan cepat atau lambat.
2. Kuman Penyebab
Kuman penyebab dapat menentukan jumah mikroorganisme, kemampuan mikroorganisme
masuk kedalam tubuh dan virulensinya.
3. Cara Membebaskan Sumber Dari Kuman
Cara membebaskan kuman dapat menentukan apakah proses infeksi cepat teratasi atau
diperlambat, seperti tingkat keasaman (pH), suhu, penyinaran (cahaya) dan lain-lain.
4. Cara Penularan
Cara penularan seperti kontak langsung melalui makanan atau udara dapat menyebabkan
penyebaran kuman kedalam tubuh.
5. Cara Masuknya Kuman
Proses penyebaran kuman berbeda tergantung dari sifatnya. Kuman dapat masuk melalui
saluran pernapasan, saluran pencernaan, kulit dan lain-lain.
6. Daya Tahan Tubuh
Daya tahan tubh yang baik dapat memperlambat proses infeksi atau mempercepat proses
penyembuhan. Demikian pula sebaliknya, daya tahan tubuh yang buruk dapat memperburuk proses
infeksi.
Selain faktor- faktor diatas, terdapat faktor lain seperti status gizi atau nutrisi, tingkat stress pada
tubuh, faktor usia, dan kebiasaan yang tidak sehat.
2.5 Infeksi Nosokomial
Kata nosokomial berasal dari kata dalam bahasa yunani Nosokomien yang artinya rumah sakit
atau tempat perawatan. Kata itu sendiri berasal dari Norus artinya penyakit, komeion berarti
merawat. Nosokomial diartikan segala sesuatu yang berasal atau berhubungan dengan rumah sakit
atau tempat perawatan.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan
kesehatan yang berasal dari proses penyebaran di sumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien,
petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya.
Penyebab Infeksi Nosokomial akan menjadi kuman yang berada di lingkungan Rumah Sakit
atau oleh kuman yang sudah dibawa oleh pasien sendiri, yaitu kuman Endogen. Dari batasan ini
dapat disimpulkaan bahwa kejadian Infeksi Nosokomial adalah Infeksi yang secara potensial dapat
dicegah atau sebaliknya dapat juga merupakan infeksi yang tidak dapat dicegah.
Infeksi yang terjadi dirumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari
proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui :
1. Pasien
Pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi kepada pasien lainnya,
petugas kesehatan, pengunjung, atau benda dan alat kesehatan yang lainnya.
2. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung yang dapat menularkan
berbagai kuman ke tempat lain.
3. Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit,
atau sebaliknya yang dapat dari dalam rumah sakit keluar rumah sakit.
4. Sumber Lainnya
Yang dimaksud disini adalah lingkungan rumah sakit yang meliputi lingkungan umum atau
kondisi kebersihan rumah sakit atau alat yang ada dirumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau
petugas kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.
Dan pada umumnya infeksi Nosokomial yang mendapat perhatian hanyalah infeksi yang terjadi
pada penderita yang sedang dirawat dirumah sakit. Infeksi yang tidak diketahui masa inkubasinya
yang timbul pada penderita yang dirawat inap, harus dianggap sebagai infeksi nosokomial sampai
dapat dibuktikan secara klinis ataupun epidemiologis bahwa infeksi dapat dibuktikan secara klinis
ataupun epidiomiologis bahwa infeksi tersebut berasal dari masyarakat.
Infeksi nosokomial dapat secara eksogen atau endogen. Infeksi eksogen didapat dari
mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan merupakan flora normal, contohnya
adalah organisme salmonella dan clostridium tetani. Infeksi endogen dapat terjadi bila sebagian
flora normal klien berubah dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan. Contohnya adalah infeksi
yang disebabkan enterokokus, ragi, dan steptokokus. Bila organisme dalam jumlah cukup yang
normalnya ditemukan dalam salah satu rongga atau lapisan tubuh dipindahkan kebagian tubuh lain,
terjadi infeksi endogen. Misalnya penularan dari enterokokus, normalnya ditemukan dalam feses,
dari tangan kekulit sering mengakibatkan infeksi luka. Jumlah mikroorganisme yang diperlukan
untuk menyebabkan infeksi nosokomial bergantung pada virulensi organisme, kerentanan hospes
dan daerah yang diinfeksi.
Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah
prosedur invasif terapi resiko yang diterima dan lama perawatan mempengaruhi resiko terinfeksi.
Tempat utama untuk infeksi nosokomial piratorius, dan pembuluh darah.
Infeksi nosokomial meningkatkan biaya perawatan kesehatan secara signifikan, lamanya masa
rawat diinstitusi layanan kesehatan, meningkatnya ketidakmampuan, peningkatan biaya antibodi
dan masa penyembuhan yang memanjang yang menambah pengeluaran klien, juga institusi layanan
kesehatan dan badan pemberian dana (misalnya medicare). Seringkali biaya untuk infeksi
nosokomial tidak diganti, oleh sebab itu pencegahan memiliki pengaruh finansial yang
menguntungkan dan merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan perawatan.
Terjadinya infeksi nosokomial adalah karena beberapa factor-faktor :
1. Agen penyakit
Macam-macam agen penyakit dapat berupa kuman, virus, jamur, parasit atau rickettsia. Dan
macam-macam agen penyakit ini ditentukan pula oleh patogenitasnya, virulensinya, daya invasifnya
dan dosis infeksinya.
2. Reservoir/sumber
Semua kuman ada reseviornya/sumbernya seperti virus, reseviornya adalah manusia, kuman
positif gram manusia, tetapi kuman negatif dapat manusia dapat juga alam seperti Pseudomonas.
Apabila reseviornya manusia, maka dapat berasal dari traktus respiratorius, traktus digestivus,
traktus urogenitalis, kulit (variola) atau darah (hepatitis B).Kuman itu akan ada diudara pada debu
seperti Salmonella, pada droplet seperti Mycrobacterium atau pada kulit yang lepas.
3. Lingkungan
Keadaan udara sangat mempengaruhi seperti kelembapan udara, suhu dan pergerakan udara atau
tekanan udara.
4. Penularan
Penularan adalah perjalanan kuman patogen dari sumber ke hospes. Ada 4 jalan yang dapat
ditempuh:
a. Kontak langsung (perawat)
b. Alat (endoskop)
c. Udara
d. Vektor (lalat)
5. Hospes
Tergantung port d'entree (tempat masuknya penyakit)
a. Melalui kulit seperti Leptospira atau Staphylococcus.
b. Melalui traktus digestivus seperti Eschericha coli, Shigella, Salmonela.
c. Melalui traktus respiratoris bagian atas partikel =5µ. Apakah melalui traktus respiratorius bagian
bawah partikel =5µ.
d. Melalui traktus urinarius seperti Klebsiel la pneumoniae.
2.6 Sterilisasi Dan Desinfeksi
Sterilisasi
Sterilisasi merupakan upaya pembunuhan atau pengahncuran semua bentuk kehidupan
mikroba yang dilakukan dirumah sakit melalui proses fisik maupun kimiawi. Strelisisasi juga dapat
dikatakan sebagai tindakan untuk membunuh kuman pathogen atau apatogen beserta spora yang
terdapat pada alat perawatan atau kedokteran dengan cara merembus, menggunakan panas tinggi,
atau bahan kimia. Sterilisasai adalah tahap awal yang penting dari proses pengujian mikrobiologi.
Ada 5 metode umum sterilisasi yaitu :
Sterilisasi uap (panas lembap)
Sterilisasi panas kering
Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi gas
Sterilisasi dengan radiasi
A. Sterilisasi Uap
Sterilisasi uap dilakukan dengan autoklaf menggunakan uap air dalam tekanan sebagai
pensterilnya. Bila ada kelembapan (uap air) bakteri akan terkoagulasi dan dirusak pada temperature
yang lebih rendah dibandingkan bila tidak ada kelembapan. Mekanisme penghancuran bakteri oleh
uap air panas adalah karena terjadinya denaturasi dan koagulasi beberapa protein esensial dari
organism tersebut :
Prinsip cara kerja autoklaf
Seperti yang telah dijelaskan sebagian pada bab pengenalan alat, autoklaf adalah alat untuk
mensterilkan berbagai macam alat & bahan yang menggunakan tekanan 15 psi (2 atm) dan suhu
1210 C. Untuk cara kerja penggunaan autoklaf telah disampaikan di depan. Suhu dan tekanan tinggi
yang diberikan kepada alat dan media yang disterilisasi memberikan kekuatan yang lebih besar
untuk membunuh sel dibanding dengan udara panas. Biasanya untuk mesterilkan media digunakan
suhu 121o C dan tekanan 15 lb/in2 (SI = 103,4 Kpa) selama 15 menit. Alasan digunakan suhu 121o
C atau 249,8o F adalah karena air mendidih pada suhu tersebut jika digunakan tekanan 15 psi.
Untuk tekanan 0 psi pada ketinggian di permukaan laut (sea level) air mendidih pada suhu 100o C,
sedangkan untuk autoklaf yang diletakkan di ketinggian sama, menggunakan tekanan 15 psi maka
air akan memdididh pada suhu 121o C. Ingat kejadian ini hanya berlaku untuk sea level, jika
dilaboratorium terletak pada ketinggian tertentu, maka pengaturan tekanan perlu disetting ulang.
Misalnya autoklaf diletakkan pada ketinggian 2700 kaki dpl, maka tekanan dinaikkan menjadi 20
psi supaya tercapai suhu 121o C untuk mendidihkan air. Semua bentuk kehidupan akan mati jika
dididihkan pada suhu 121o C dan tekanan 15 psi selama 15 menit.
Pada saat sumber panas dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih dan uap
air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf
diganti dengan uap air, katup uap/udara ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada
saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai dantimer mulai
menghitung waktu mundur. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan
dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 psi. Autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan
mencapai 0 psi.
Untuk mendeteksi bahwa autoklaf bekerja dengan sempurna dapat digunakan mikroba
pengguji yang bersifat termofilik dan memiliki endospora yaitu Bacillus stearothermophillus,
lazimnya mikroba ini tersedia secara komersial dalam bentuk spore strip. Kertas spore strip ini
dimasukkan dalam autoklaf dan disterilkan. Setelah proses sterilisai lalu ditumbuhkan pada media.
Jika media tetap bening maka menunjukkan autoklaf telah bekerja dengan baik.
B. Sterilisasi Panas Kering
Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan menggunakan oven pensteril karena
panas kering kurang efektif untuk membunuh mikroba dibandingkan dengan uap air panas maka
metode ini memerlukan temperature yang lebih tinggi dan waktu yang lebih panjang. Sterilisasi
panas kering biasanya ditetapkan pada temperature 160-1700C dengan waktu 1-2 jam.
Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa yang tidak efektif untuk
disterilkan dengan uap air panas, karena sifatnya yang tidak dapat ditembus atau tidak tahan dengan
uap air.Senyawa-senyawa tersebut meliputi minyak lemak, gliserin (berbagai jenis minyak), dan
serbuk yang tidak stabil dengan uap air.Metode ini juga efektif untuk mensterilkan alat-alat gelas
dan bedah.
Karena suhunya sterilisasi yang tinggi sterilisasi panas kering tidak dapat digunakan untuk alat-
alat gelas yang membutuhkan keakuratan (contoh:alat ukur) dan penutup karet atau plastik.
C. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi dengan penyaringan dilakukan untuk mensterilisasi cairan yang mudah rusak jika
terkena panas atu mudah menguap (volatile). Cairan yang disterilisasi dilewatkan ke suatu saringan
(ditekan dengan gaya sentrifugasi atau pompa vakum) yang berpori dengan diameter yang cukup
kecil untuk menyaring bakteri. Virus tidak akan tersaring dengan metode ini.
D. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh mikroorganisme
dan sporanya. Meskipun gas dengan cepat berpenetrasi ke dalam pori dan serbuk padat. Sterilisasi
adalah fenomena permukaan dan mikroorganisme yang terkristal akan dibunuh. Sterilisasi gas
biasanya digunakan untuk bahan yang tidak bisa difiltrasi, tidak tahan panas dan tidak tahan radiasi
atau cahaya.
E. Sterilisasi dengan radiasi
Radiasi sinar gama atau partikel elektron dapat digunakan untuk mensterilkan jaringan yang
telah diawetkan maupun jaringan segar. Untuk jaringan yang dikeringkan secara liofilisasi,
sterilisasi radiasi dilakukan pada temperatur kamar (proses dingin) dan tidak mengubah struktur
jaringan, tidak meninggalkan residu dan sangat efektif untuk membunuh mikroba dan virus sampai
batas tertentu. Sterilisasi jaringan beku dilakukan pada suhu -40o Celsius. Teknologi ini sangat
aman untuk diaplikasikan pada jaringan biologi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada sterilisasi, di antaranya:
1. Sterilisator (alat untuk mensteril) harus siap pakai, bersih dan masih berfungsi.
2. Peralatan yang akan disterilisasi harus dibungkus dan diberi label yang jelas dengan menyebutkan
jenis peralatan, jumlah, tanggal pelaksanaan steril.
3. Penataan alat harus berprinsip semua bagian dapat steril.
4. Tidak boleh menambah peralatan dalam sterilisator sebelum waktu mensteril selesai.
5. Memindahkan alat steril ke dalam tempatnya dengan korentang steril.
6. Saat mendinginkan alat steril tidak boleh membuka pembungkusnya, bila terbuka harus dilakukan
sterilisasi ulang.
Desinfeksi
Desinfeksi adalah proses pembuangan semua mikroorganisme patogen pada objek yang
tidak hidup dengan pengecualian pada endospora bakteri. Desinfeksi juga dikatakan suatu tindakan
yang dilakukan untuk membunuh kuman patogen dan apatogen tetapi tidak dengan membunuh
spora yang terdapat pada alat perawatan ataupun kedokteran. Desinfeksi dilakukan dengan
menggunakan bahan desinfektan melalui cara mencuci, mengoles, merendam dan menjcmur dengan
tujuan mencegah terjadinya infeksi, dan mengondisikan alat dalam keadaan siap pakai.
Kemampuan desinfeksi ditentukan oleh waktu sebelum pembersihan objek, kandungan rat
organik, tipe dan tingkat kontaminasi mikroba, konsentrasi dan waktu pemaparan, kealamian objek,
suhu, dan derajat keasaman (pH).
Disinfektan yang tidak berbahaya bagi permukaan tubuh dapat digunakan dan bahan ini
dinamakan antiseptik. Antiseptik adalah zat yang dapat menghambat atau menghancurkan
mikroorganisme pada jaringan hidup, sedang desinfeksi digunakan pada benda mati. Desinfektan
dapat pula digunakan sebagai antiseptik atau sebaliknya tergantung dari toksisitasnya.
Desinfektan akan membantu mencegah infeksi terhadap pasien yang berasal dari peralatan
maupun dari staf medis yang ada di RS dan juga membantu mencegah tertularnya tenaga medis
oleh penyakit pasien. Disinfektan dapat membunuh mikroorganisme patogen pada benda mati.
Kriteria desinfeksi yang ideal:
1. Bekerja dengan cepat untuk menginaktivasi mikroorganisme pada suhu kamar
2. Aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh bahan organik, pH, temperatur dan kelembaban
3. Tidak toksik pada hewan dan manusia
4. Tidak bersifat korosif
5. Tidak berwarna dan meninggalkan noda
6. Tidak berbau/ baunya disenangi
7. Bersifat biodegradable/ mudah diurai
8. Larutan stabil
9. Mudah digunakan dan ekonomis
10. Aktivitas berspektrum luas
Tujuan dari sterilisasi dan desinfeksi adalah:
Mencegah terjadinya infeksi
Mencegah makanan menjadi rusak
Mencegah kontaminasi mikroorganisme dalam industry
Mencegah kontaminasi terhadap bahan- bahan yg dipakai dalam melakukan biakan murni.
Hasil proses desinfeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor:
Beban organik (beban biologis) yang dijumpai pada benda.
Tipe dan tingkat kontaminasi mikroba.
Pembersihan/dekontaminasi benda sbelumnya.
Konsentrasi desinfektan dan waktu pajanan.
Struktur fisik benda.
Suhu dan PH dari proses desinfeksi
Terdapat 3 tingkat desinfeksi:
Desinfeksi tingkat tinggi
Membunuh semua organisme dengan perkecualian spora bakteri.
Desinfeksi tingkat sedang
Membunuh bakteri kebanyakan jamur kecuali spora bakteri.
Desinfeksi tingkat rendah
Membunuh kebanyakan bakteri beberapa virus dan beberapa jamur tetapi tidak dapat
membunuh mikroorganisme yang resisten seperti basil tuberkel dan spora bakteri.
2.7 Pencegahan Infeksi
Prinsip Pencegahan infeksi
1. Beberapa definisi dalam pencegahan infeksi, antara lain adalah:
a) Antiseptik
Antiseptik adalah usaha mencegah infeksi dengan cara membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada kulit atau jaringan tubuh lainnya.
b) Aseptik
Aseptik adalah semua usaha yang dilakukan dalam mencegah masuknya mikroorganisme ke
dalam tubuh yang mungkin akan menyebabkan infeksi. Tujuannya adalah mengurangi atau
menghilangkan jumlah mikroorganisme, baik pada permukaan benda hidup maupun benda mati
agar alat-alat kesehatan dapat digunakan dengan aman.
c) Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa petugas kesehatan
dapat menangani secara aman benda-benda (peralatan medis, sarung tangan, meja pemeriksaan)
yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh. Cara memastikannya adalah segera melakukan
dekontaminasi terhadap benda - benda tersebut setelah terpapar/terkontaminasi darah atau cairan
tubuh
d) Desinfeksi
Tindakan yang tindakan menghilangkan sebagian besar mikroorganisme penyebab penyakit dari
benda mati.
e) Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
Suatu proses yang menghilangkan mikroorganisme kecuali beberapa endospora bakteri pada
benda mati dengan merebus, mengukus, atau penggunaan desinfektan kimia.
f) Mencuci dan membilas
Suatu proses yang secara fisik menghilangkan semua debu, kotoran, darah, dan bagian tubuh
lain yang tampak pada objek mati dan membuang sejumlah besar mikro organisme untuk
mengurangi resiko bagi mereka yang menyentuh kulit atau menangani benda tersebut (proses ini
terdiri dari pencucian dengan sabun atau deterjen dan air, pembilasan dengan air bersih dan
pengeringan secara seksama).
g) Sterilisasi
Sterilisasi adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan semua mikroorganisme
(bakteri, virus, jamur, parasit), termasuk endospora bakteri pada benda-benda mati atau instrument.
2. Prinsip-prinsip pencegahan infeksi yang efektif berdasarkan:
a. Setiap orang (ibu, bayi baru lahir, penolong persalinan) harus dianggap dapat menularkan penyakit
karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik (tanpa gejala).
b. Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.
c. Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan dan telah bersentuhan
dengan kulit tak utuh, selaput mukosa, atau darah harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah
selesai digunakan harus dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.
d. Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah diproses dengan benar,
harus dianggap telah terkontaminasi.
e. Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total tetapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin
dengan menerapkan tindakan-tindakan pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.
3. Tindakan-tindakan pencegahan infeksi meliputi :
a. Pencucian tangan.
b. Penggunaan sarung tangan.
c. Penggunaan cairan antiseptic untuk membersihkan luka pada kulit.
d. Pemrosesan alat bekas pakai (dekontaminasi, cuci dan bilas, desinfeksi tingkat tinggi atau
sterilisasi).
e. Pembuangan sampah.
Daya tahan Hospes (manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan
bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen. Meskipun seseorang secara
konstan kontak dengan mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai
individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress (fisik dan emosional),
status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit penyerta.
Faktor yang berpengaruh pada kejadian infeksi klien:
• Jumlah tenaga kesehatan yang kontak langsung dengan pasien
• Jenis dan jumlah prosedur invasive
• Terapi yang diterima
• Lamanya perawatan Penyebab infeksi nosokomial meliputi:
Traktus urinarius:
Pemasangan kateter urine
Sistem drainase terbuka
Kateter dan selang tdk tersambung
Obstruksi pada drainase urine
Tehnik mencuci tangan tidak tepat
Traktus respiratorius:
1. Peralatan terapi pernafasan yang terkontaminasi
2. Tidak tepat penggunaan tehnik aseptif saat suction
3. Pembuangan sekresi mukosa yg kurang tepat
4. Tehnik mencuci tangan tidak tepat
Luka bedah/traumatik:
1. Persiapan kulit yg tdk tepat sblm pembedahan
2. Tehnik mencuci tangan tidak tepat
3. Tidak memperhatikan tehnik aseptif selama perawatan luka
4. Menggunakan larutan antiseptik yg terkontaminasi
Aliran darah:
1. Kontaminasi cairan intravena saat penggantian
2. Memasukkan obat tambahan dalam cairan intravena
3. Perawatan area insersi yg kurang tepat
4. Jarum kateter yg terkontaminasi
5. Tehnik mencuci tangan tidak tepat
Asepsis berarti tidak adanya patogen penyebab penyakit. Teknik aseptik adalah usaha yang
dilakukan untuk mempertahankan klien sedapat mungkin bebas dari mikroorganisme. Asepsis
terdiri dari asepsis medis dan asepsis bedah.Asepsis medis dimaksudkan untuk mencegah
penyebaran mikroorganisme. Contoh tindakan: mencuci tangan, mengganti linen, menggunakan
cangkir untuk obat. Obyek dinyatakan terkontaminasi jika mengandung/diduga mengandung
patogen.Asepsis bedah, disebut juga tehnik steril, merupakan prosedur untuk membunuh
mikroorganisme.Sterilisasi membunuh semua mikroorganisme dan spora, tehnik ini digunakan
untuk tindakan invasif. Obyek terkontaminasi jika tersentuh oleh benda tidak steril. Prinsip-prinsip
asepsis bedah adalah sebagai berikut:
1. Segala alat yang digunakan harus steril
2. Alat yang steril akan tidak steril jika tersentuh
3. Alat yang steril harus ada pada area steril
4. Alat yang steril akan tidak steril jika terpapar udara dalam waktu lama
5. Alat yang steril dapat terkontaminasi oleh alat yang tidak steril
6. Kulit tidak dapat disterilkan
2.8 Proses keperawatan pada masalah pengendalian infeksi
1. Pengkajian keperawatan
Merupakan tindakan mengkaji ada atau tidaknya faktor yang mempengaruhi atau menyebabkan
infeksi, seperti penurunan daya tahan tubuh, status nutrisi, usia, stress, dan lain-lain.pengkajian
selanjutnya adalah memeriksa ada atau tidaknya tanda klinik infeksi (seperti pembengkakan,
kemerahan, panas, nyeri pada daerah lokalisasi infeksi) dan tanda sistemik (seperti demam, malaise,
anoreksia, sakit kepala, muntah, atau diare).
2. Diagnosis keperawatan
Hal yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadinya infeksi yang berhubungan dengan proses
penyebaran teman.
3. Perencanaan keperawatan
Tujuan:
Mencegah terjadi infeksi atau penyebaran kuman
Rencana tindakan:
Melakukan tindakan untuk menghambat penyebaran kuman, seperti mencuci tanagan, memakai
masker, memakai sarung tangan, sterilisasi, dan desinfeksi.
4. Pelaksanaan (tindakan) keperawatan
A. Cara mencuci tangan
Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat dalam memberikan
tindakan keperawatan yang bertujuan membersihkan tangan dari segala kotoran, mencegah
terjadinya infeksi silaang melalui tangan, dan mempersiapkan bedah atau tindakan pembedahan
a. Teknik mencuci biasa
Alat dan bahan:
1. Air bersih
2. Handuk
3. Sabun
4. Sikat lunak
Prosedur kerja :
1. Lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan
2. Basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian sabuni dan sikat bila perlu
3. Bilas dengan air bersih yang mengalir dan keringkan dengan handuk atau lap kering
b. Teknik mencuci dengan disinfektan
Alat dan bahan :
1. Air bersih
2. Larutan disinfektan lisol / savlon
3. Handuk / lap kering
Prosedur kerja
1. lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan
2. basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian gosokan larutan disinfektan dan sikat
bila perlu
3. bilas dengan air bersih yang mengalir dan keringkan dengan handuk atau lap kering
c. Teknik mencuci steril
Alat dan bahan :
1. air mengalir
2. sikat steril dalam tempat
3. alcohol 70 %
4. sabun
Prosedur kerja
1. lepaskan segala benda yang melekat pada daerah tangan, seperti cincin atau jam tangan
2. basahi jari tangan, lengan, hingga siku dengan air, kemudian tuang sabun (2-5 ml) ke tangan dan
gosokan tangan serta lengan sampai 5cm di atas siku, kenudian sikat ujung jari, tangan, lengan, dan
kuku sebanyak kurang lebih 15 kali gosokan, sedangkan telapak tangan 10 kali gosongkan bingga
siku.
3. Bilas dengan air bersih yang mengalir
4. Setelah selesai tangan tetap di arahkan ke atas
5. Gunakan sarung tangan steril
B. Cara menggunakan sarung tangan
Sarung tangan digunakan dalam melakukan prosedur tindakan keperawatan dengan tujuan
mencegah terjadinya penularan kuman dan mengurangi risiko tertularnya penyakit.
Alat dan bahan:
1. Sarung tangan
2. Bedak/ talk
Prosedur kerja
1. Cuci tangan secara menyeluruh
2. Bila sarung tangan belum dibedaki, ambil sebungkus bedak, dan tuangkan sedikit.
3. Pegang tepi sarung tangan dan masukan jari- jari tangan, pastikan ibu jari dan jari- jari lain tepat
pada posisinya.
4. Ulangi pada tangan kiri
5. Setelah terpasang, cukupkan kedua tangan.
C. Cara menggunakan masker
Tindakan pengamanan dengan menutup hidung dan mulut menggunakan masker bertujuan
mencegah atau mengurangi transmisi droplet mikroorganisme saat merawat pasien.
Alat dan bahan:
1. Masker
Prosedur kerja:
A. Tentukan tepi atas dan bawah bagian masker
B. Pegang kedua tali masker.
C. Ikatan pertama, bagian atas berada pada kepala, sedangkan ikatan kedua berada pada bagian
belakang leher.
D. Cara desinfeksi
a. Cara desinfeksi dengan Mencuci
Prosedur kerja
1. Cucilah tangan dengan sabun kemudian bersihkan, kemudian siram atau membasahi dengan alcohol
70%.
2. Cucilah luka dengan H202, betadine, atau larutan lainnya.
3. Cuculah kulit atau jaringan tubuh yang akan dioperasi dengan yodium tinktur 3%, kemudian
dengan alcohol.
4. Cucilah vulva dengan larutan sublimat atau larutan sejenisnya.
b. Cara desinfeksi dengan mengoleskan
Prosedur kerja:
Oleskan luka dengan merkurokrom atau bekas luka jahitan menggunakan alcohol menggunakan
alcohol atau betadine.
c. Cara desinfeksi dengan merendam
Prosedur kerja:
1. Rendamlah tangan dengan larutan lisol 0,5%
2. Rendamlah peralatan dengan larutan lisol 3-5% selama 2 jam.
3. Rendamlah alat tenun dengan lisol 3-5% kurang lebih 24 jam
d. Cara desinfeksi dengan menjemur
Prosedur kerja
Jemurlah kasur, tempat tidur, urinal, pispot, dan lain- lain; masing- masing permukaan selama 2
jam.
5. Cara membuat larutan desinfeksi
a. Sabun
Alat bahan
1. Sabun padat/ cream/ cair
2. Gelas ukuran
3. Timbangan
4. Sendok makan
5. Alat pengocok
6. Air panas/ hangat dalam tempatnya
7. Baskom
Prosedur kerja
1. Masukkan 4 gram sabun padat/ cream kedalam 1 liter air panas/ hangat kemudian diaduk sampe
larut
2. Masukkan 3 cc sabun cair kedalam 1 liter air panas/ hangat, kemudian diaduk sampe larut
Larutan ini dapat digunakan untuk mencuci tangan atau peralatan medis
b. Lisol dan Kreolin
Alat/Bahan:
1. Larutan lisol/ kreolin
2. Gelas ukuran
3. Baskom berisi air
Prosedur kerja
1. Masukkan larutan Larutan lisol/ kreolin 0,5% sebanyak 5 cc ke dalam air 1 liter air.
Larutan ini dapat digunakan untuk mencuci tangan.
2. Masukkan larutan Larutan lisol/ kreolin 2% sebanyak 20 cc atau larutan Larutan lisol/ kreolin
sebanyak 3% sebanyak 3 cc ke dalam 1 liter air. Larutan ini dapat digunakan untuk merendam
peralatan medis.
c. Savlon
Alat/Bahan:
1. Savlon
2. Gelas ukuran
3. Baskom berisi air secukupnya
Prosedur kerja
1. Masukkan larutan savlon 0,5% sebanyak 5 cc ke dalam 1 liter air.
2. Masukkan larutan savlon 1% sebanyak 10 cc ke dalam 1 liter air.
6. Cara sterilisasi
Beberapa alat yang perlu disterilisasi:
1. Peralatan logam (pinset, gunting, speculum, dan lain- lain)
2. Peralatan kaca (semprit, tabung kimia, dan lain- lain )
3. Peralatan karet (kateter, sarung tangan, pipa lambung, drain dan lain- lain)
4. Peralatan ebonite (kanule rectum, kanule trakea, dan lain- lain)
5. Peralatan email (bengkok, baskom, dan lain- lain)
6. Peralatan porselin (mangkok, cangkir, piring, dan lain- lain)
7. Peralatan plastic (selang infuse, dan lain- lain)
8. Peralatan tenunan (kain kasa, tampon, doek baju, sprei, dan lain- lain)
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi terhadap masalah risiko infeksi ()penyebaran kuman) secara umum dilakukan untuk
menilai ada atau tidaknya tanda infeksi nosokomial seperti penyebaran kuman ke pasien atau orang
lain
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan
suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan
negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama.
Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial yaitu Agen infeksi, Respon dan toleransi
tubuh pasien, Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung, Resistensi antibiotika dan Faktor
alat
1.2 Saran
1. Diharapkan kepada penentu kebijakan dalam hal ini rumah sakit agar memfasilitasi alat yang
dibutuhkan dalam mencegah infeksi nosokomial di rumah sakit dan mengurangi beban kerja
perawat agar dapat melakukan upaya pencegahan infeksi nosokomial dengan baik.
2. Diharapkan kepada perawat pelaksana agar berupaya dengan baik dalam mencegah infeksi
nosokomial di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA