DRAFT
REGULATORY IMPACT ANALYSIS (RIA)
“REGULASI UNTUK PENGENDALIAN DAN
PENGAWASAN BAHAN PENGHAMBAT NYALA PBDE”
Dr.-Ing.Ir.Anton Irawan, MT, IPM
SEPTEMBER 2018
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Rumusan Masalah 7
BAB II KONSEP REGULATORY IMPACT ANALYSIS DAN PEMBAHASAN 8
2.1 Kerangka Konsep 8
2.2 Pembahasan 19
BAB III PENUTUP 20
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA 24
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Persistant Organic Pollutans (POPs) merupakan senyawa kimia yang memiliki sifat
beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan mudah terangkut baik itu melalui udara dan air, serta
mudah berpindah sebelum bioakumulasi. Senyawa tersebut dapat terakumulasi dalam
ekosistem darat dan air termasuk ikan sehingga bisa membahayakan manusia yang memakan
ikan yang mengandung senyawa PoPs. Pada tahun 2001 telah dihasilkan konvensi Stockholm
yang ditanda tangani lebih dari 152 dan 179 pihak yang berpartisipasi termasuk Indonesia ikut
menandatangani konvensi tersebut. Konvensi Stockholm awalnya mengidentifikasi 12 bahan
kimia untuk penghapusan dan pengurangan, kemudian pada tahun 2009 ditambahkan 11
senyawa baru PoPs termasuk didalamnya PBDE pada kelompok Annex A yang harus
dimusnahkan dan tidak boleh diproduksi.
Polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) merupakan suatu kelompok senyawa aromatik
organobromin yang telah digunakan sebagai zat tambahan yang berfungsi sebagai penghambat
nyala di berbagai produk. Zat penghambat nyala (flame retardant) termasuk PBDE
ditambahkan pada suatu produk agar terjadi penghambatan nyala apabila produk tersebut
terbakar. Dengan adanya penghambat nyala diharapkan api dapat dipadamkan segara atau tidak
meluas nyala dari api tersebut. Bahan aditif flame retardant (pelambat nyala) yang biasa
digunakan untuk produk-produk berbahan plastik seperti elektronika dan otomotif serta produk
– produk tekstil yang mudah menyala.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti Indonesia dengan Jepang yang telah
dipublikasikan menunjukkan ada beberapa kandungan PBDE untuk lokasi sedimen sungai di
Indonesia sebesar 8-36 ng/gram kering (Ilyas et,all, 2011, 2013). Dengan ditemukan
kandungan PBDE pada lokasi tersebut mengindikasikan potensi adanya PBDE pada beberapa
lokasi lain. Ada beberapa kemungkinan sumber timbulnya PBDE dari hasil temuan tersebut
yaitu bahan plastic yang mengandung PBDE tersebut berasal dari material lama sebelum
adanya konvensi stockhom atau beberapa produk yang didapatkan dari luar mengandung
PBDE. Kemudian hasil analisa dari suatu laboratorium analisa ditampilkan hasil produk -
produk mengandung PBDE hingga lebih dari 6000 ppm (Tabel 1) baik berupa deca dan nona
BDE. Adapun parameter besarnya kandungan PBDE pada suatu produk berdasarkan standar
RoHS maksimum 1000 ppm sehingga nilai lebih dari 1000 ppm menunjukkan kondisi yang
2
membahayakan. Pada tahun 2017, produk komersial c-decaBDE juga telah terdaftar pada
konvensi stockholm.
Tabel 1. Hasil Analisa Beberapa Produk yang Menggunakan Flame Retardant
Sebagai POPs, PBDE memiliki sifat beracun, sulit terurai (persisten), biokamuluasi dan
terangkut melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta
tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut berakumulasi dalam ekosistem
darat dan air. Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara termasuk
Indonesia, senyawa PBDE telah terdeteksi pada biota laut (ikan dan kerang-kerangan),
sedimen, tanah, debu, udara, dan air susu ibu (ASI). Dampak negatif PBDE bagi kesehatan
menurut beberapa penelitian dapat menyebabkan kanker, turunnya berat badan, keracunan
ginjal, thyroid dan hati, penyakit kulit, serta penurunan kecerdasan pada anak.
Temuan - temuan kandungan PBDE pada beberapa produk bisa dijadikan dasar untuk
pemerintah dalam menyusun suatu aturan dalam mengendalikan dan mengawasi bahan kimia
atau produk -produk yang berpotensi mengandung PBDE. Dengan adanya peraturan tersebut
maka potensi penyalagunaan dalam penggunaan bahan kimia dengan kandungan PBDE dapat
dicegah dari awal. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang Undang
No 19 tahun 2009 tentang pengesahan Konvensi Stokholm terkait bahan pencemar organik
yang persisten (POPs). Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan
turunan dari UU NO 19 tahun 2009 untuk mengatur penggunaan PBDE sehingga peraturan
untuk membatasi atau bahkan melarang penggunaan flame retardant jenis halogen (PBDE)
3
sangat diperlukan. Regulasi pemerintah yang harus segera dilakukan adalah melakukan
pengawasan dan pengendalian penggunaan PBDEs mulai dari penyediaan bahan baku PBDE,
proses pembuatan sampai dengan limbah dari proses serta pengawasan produk yang
menggunakan bahan baku flame retardant.
1.2 Identifikasi Masalah Terkait Regulasi Pengendalian dan Pengawasan PBDE
PBDE merupakan salah satu jenis penghambat nyala yang paling banyak digunakan karena
karakteristik dari PBDE mengganggu mekanisme rantai radikal dalam proses pembakaran
sehingga sangat efektif untuk menghambat nyala api. Selain itu penambahan bahan penghambat
nyala PBDE tidak terlalu banyak dibandingkan jenis bahan penghambat nyala lainnya yang
harus ditambahkan dalam jumlah banyak dan berakibat mengganggu karakteristik produk yang
dihasilkan. Dengan tambahan aditif bahan penghambat nyala yang banyak juga menimbulkan
biaya tambahan sehingga PBDE lebih kecil biayanya dibandingkan dengan jenis flame
retardant yang lainnya.
Ada 4 potensi untuk keberadaan dari senyawa PBDE di Indonesia yaitu
1. PBDE bisa diimpor langsung dalam kondisi murni ke Indonesia untuk nantinya
dipergunakan bagi Industri penggguna secara langsung. Dari hasil diskusi dengan Bea
Cukai dan Kementerian Perdagangan Direktorat Import diperoleh informasi bahwa
harmonized system (HS) number untuk PBDE belum ada. Dengan demikian, potensi
impor PBDE dalam kondisi murni belum bisa dipastikan karena kemungkinan PBDE
bisa diimport dalam bentuk senyawa lainnya. Dengan demikian pengawasan bahan –
bahan yang mengandung brom perlu diperketat karena ada potensi impor secara
langsung PBDE dengan nama yang berbeda. Pengawasan ini bisa dilakukan pada
wilayah kerja bea cukai dengan terlebih dahulu pihak – pihak yang langsung terlibat
dapat dibekali pemahaman tentang senyawa PBDE.
2. PBDE terdapat dalam product yang diimport. Dari hasil analisa beberapa
komponen yang mengandung PBDE (Tabel 1) dapat diduga bahwa keberadaaan PBDE
pada produk – produk elektronika, tekstil serta biji plastik. Pemerintah perlu
mendalami lebih jauh untuk besaran kandungan PBDE dalam produk karena hasil
analisa pada produk biji plastik polystyrene (PS) yang terdapa pada tabel 1 didapatkan
4
besaran kandungan Deca PBDE diatas 6000 ppm. Potensi masuknya PBDE melalui
chemical in product sangat besar sehingga perlu langkah – langkah untuk bisa
mengetahui produk – produk yang mengandung PBDE. Pengecekan secara langsung
terhadap produk -produk yang diduga mengandung PBDE bisa dilakukan dengan
menggunakan XRF Portable untuk mendapatkan kandungan Brom dalam suatu
produk.
Gambar 1. XRF Portable untuk Pengecekan Kandungan Brom dalam Suatu Produk
3. Penggunaan material daur ulang dari produk sebelum 2001. Produk – produk yang
menggunakan flame retardant sebelum tahun 2001 seperti TV tabung diduga masih
mengandung PBDE. Apabila produk – produk tersebut dipergunakan kembali maka
PBDE yang terdapat di dalam plastik dari TV tersebut bisa terbawa terus menerus.
Umumnya, plastik daur ulang akan dipergunakan untuk produk -produk yang lebih
rendah seperti kantong atau wadah plastik. Apabila kantong dan wadah plastik tersebut
terkena langsung dengan makanan pada suhu tinggi maka potensi tersebarnya PBDE
akan semakin meluas dan bisa bioakumulasi.
4. Masih adanya produk -produk berupa limbah untuk produk khususnya
elektronika yang diduga mengandung PBDE. Produk – produk tersebut hingga saat
ini masih tersimpan pada konsumen yang menggunakannya seperti TV Tabung atau
peralatan listrik lainnya seperti kabel listrik yang terpasang pada bangunan yang
terbangun sebelum adanya larangan penggunaan senyawa penghambat nyala PBDE.
5
Kondisi ini membahayakan karena masyarakat masih memakainya atau
menyimpannya sehingga potensi terpapar bahaya PBDE dapat dengan muda masuk
kepada penghuninya.
Gambar 2 Alur Material Bahan Penghambat Nyala dalam Penggunaan untuk Menghasilkan Produk
6
Dari alur material bahan penghambat nyala termasuk jenis PBDE terlihat masalah- masalah
yang timbul apabila tidak terjadi pengendalian dan pengawasan senyawa PBDE . Adapun
masalah masalah saat ini yang berhubungan dengan PBDE
• Tidak terlacaknya masuknya PBDE baik dalam kondisi murni atau tercampur dalam
suatu produk. Hal ini terjadi karena belum dimilikinya HS Number untuk bahan
penghambat nyala jenis PBDE.
• Tidak terawasinya keberadaan senyawa penghambat nyala dalam proses produksi di
pabrik – pabrik pengguna penghambat nyala. Pemerintah belum memiliki data-data
jenis industri yang menggunakan bahan penghambat nyala sehingga menyulitkan
dalam proses pengawasan industri penggunaa bahan penghambat nyala.
• Tidak terawasinya penggunaan kembali bahan plastik daur ulang yang kemungkinan
mengandung PBDE. Keberadaan produk produk lama mengandung PBDE sebelum
Konvensi Stockholm bisa didaur ulang untuk mengoptimalkan bahan baku pada industri
pengguna seperti daur ulang produk plastik.
• Kurang pahamnya masyarakat akan bahaya senyawa PBDE dibuktikan dengan masih
banyaknya peralatan elektronika lama yang disimpan atau digunakan oleh masyarakat.
Dengan adanya masalah - masalah yang terkait dengan bahan penghambat nyala PBDE
maka regulasi yang berhubungan pengendalian dan pengawasan sangat diperlukan untuk
menghilangkan masalah -masalah yang timbul tersebut. Regulasi yang disusun harus bisa
membuat iklim usaha dan perdagangan semakin membaik sehingga pihak – pihak yang
menggunakan bahan penghambat nyala dapat terus berbisnis dengan baik dan tidak terganggu
dengan keberadaaan regulasi tersebut. Selain itu regulasi tersebut harus bermanfaat buat
masyarakat agar mendapatkan produk -produk yang digunakan tidak mengandung senyawa -
senyawa yang membahayakan.
7
1.3 Rumusan Masalah
Keberadaaan regulasi yang mengendalikan dan mengawasi sangat diperlukan untuk
mendapatkan kondisi lebih baik dan mengurangi dampak dari keberadaaan senyawa yang
berbahaya seperti PBDE. Adapun substansi yang akan dikendalikan dan diawasi dalam
regulasi tersebut adalah sebagai berikut
a. Pengendalian impor terhadap bahan penghambat nyala serta produk – produk yang
mengandung bahan penghambat nyala
b. Pengawasan industri – industri yang mengunakan bahan penghambat nyala pada proses
produksinya
c. Pengawasan perdagangan terhadap produk – produk yang mengandung bahan
penghambat nyala
d. Pengawasan penggunaan kembali produk -produk mengandung bahan penghambat
nyala untuk didaur ulang
e. Pengawasan terhadap limbah atas produk -produk yang mengandung bahan penghambat
nyala
8
BAB II KONSEP REGULASI IMPACT ANALYSIS (RIA)
PADA RENCANAN REGULASI PBDE
PBDE merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk melapis beberapa produk -produk
agar tidak mudah menyala. Ada dua kemungkinan keberadaan dari senyawa PBDE masuk ke
Indonesia yaitu kondisi senyawa PBDE murni dan bercampur dengan senyawa lainnya dalam
suatu produk. Dengan demikian keberadaan senyawa PBDE perlu diawasi dan dikendalikan
agar dampak dari penggunaan PBDE dapat diminimalkan atau dihilangkan. Salah satu
instrumentasi untuk dapat mengawasi dan mengendalikan keberadaan senyawa PBDE adalah
peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Peraturan mengenai pengendalian dan pengawasan
bahan penghambat nyala sangatlah diperlukan untuk bisa mengurangi dampak dalam
pengunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun dari senyawa PBDE. Regulatory Impact
Analysis (RIA) merupakan salah satu cara untuk menyusun langkah -langkah dalam
penyusunan suatu aturan termasuk regulasi sehingga dampak dari adanya regulasi tersebut lebih
efektif.
2.1 Kerangka Konsep Regulatory Impact Analysis (RIA) dalam Pengendalian dan
Pengawasan Bahan Penghambat Nyala
Beberapa industri yang menggunakan flame retardant antara lain industri elektronika
dan alat listrik, industri otomotif, industri tekstil. Industri elektronika dan alat listrik paling
banyak menggunakan flame retardant karena potensi terjadinya kebakaran pada alat elektronika
dan listrik cukup besar. Hasil survei sebelumnya memperlihatan bahwa industri – industri
elektronika dan alat listrik mendapatkan beberapa materialnya bisa langsung dalam bentuk jadi
dari import atau pembuatannya di dalam negeri. Apabila import komponen elektronika dari luar
negeri maka pencampuran flame retardantnya sudah dilakukan oleh pihak pembuat komponen
tersebut di luar negeri. Kondisi import flame retardantnya dalam kondisi murni akan lebih
mudah diidentifikasi oleh pihak bea cukai sehingga proses pengendalian atau penghilangan
dapat dilakukan untuk impor langsung senyawa flame retardant. . Kondisi import produk -
produk elektronika, alat listrik, tekstil dan komponen kendaraaan dalam bentuk sudah jadi yang
dinamakan chemical in product agak kesulitan dalam melacak kandungan dari material
tersebut. Dengan demikian pada tahapan ini perlu dilakukan suatu pengawasan secara detail
9
kepada pihak – pihak yang melakukan import barang atau komponen untuk industri elektronika,
alat listrik, tekstil dan kendaraan. Pengecekan awal dapat dilakukan dengan menggunakan alat
portable XRF untuk mengetahui kandungan Br yang terdapat dalam produk -produk import
yang diduga mengandung flame retardant.
Selain itu, produk-produk dari industri yang diproduksi sebelum tahun 2006 masih
potensi mengandung senyawa PBDE sebagai flame retardant. Analisa awal bahwa produk-
produk yang memungkinkan digunakan kembali adalah produk elektronika atau kendaraan
yang terbuat dari plastic dengan melakukan daur ulang. Potensi terpaparnya PBDE dapat
terkena kepada manusia yang melakukan proses daur ulang. Kondisi ini bisa diminimalisir
dengan adanya peraturan pengawasan proses daur ulang serta perdagangan pellet plastic daur
ulang dari plastic yang kemungkinan mengandung PBDE.
Kemudian potensi kandungan PBDE bisa terjadi pada tahapan akhir yaitu pemusnahan
dari produk -produk yang menggunakan flame retardant terutama produk yang diproduksi
sebelum tahun 2006. Proses pemusnaan produk -produk yang kemungkinan mengandung
PBDE harus dilakukan pada lokasi pemusnaan yang telah tersertifikasi sehingga proses
pengawasannya akan lebih mudah. Dengan demikian pemusnaan produk -produk elektronika
harus memiliki standar yang jelas dengan teknologi tertentu sehingga emisi yang dihasilkan
tidak keluar dari area pemusnaan produk -produk yang kemungkinan mengandung senyawa
PBDE.
Berdasarkan kondisi tersebut maka rancangan regulasi ini bertujuan untuk
• Mengendalikan penggunaan bahan penghambat nyala yang membahayakan (PBDE)
pada proses produksi
• Mengawasi penggunaan bahan penghambat nyala yang membahayakan (PBDE)
pada proses perdagangan
• Mengawasi limbah -limbah yang mengandung bahan penghambat nyala yang
membahayakan (PBDE) termasuk dalam penyimpanan dan pemusnaan.
Dalam penyusunan suatu peraturan maka perlu diidentfikasi peraturan -peraturan terkait
dengan senyawa PBDE sebagai bahan kimia yang diperdagangkan untuk kebutuhan sektor
industri. Beberapa peraturan yang terkait dengan rencana penyusunan regulasi pengawasan dan
pengendalian bahan penghambat nyala adalah:
10
a. Undang Undang No 19 tahun 2009 tentang Ratifikasi Konvensi Stockholm
Pada ratifikasi konvensi Stockholm tersebut disampaikan bahwa adopsi konvensi
Stockholm harus diikut dengan langkah-langkah selanjutnya yaitu
• mendorong Pemerintah untuk mengembangkan peraturan nasional dan
kebijakan serta pedoman teknis mengenai pengelolaan bahan POPs
• mempersiapkan kapasitas Daerah untuk mengelola timbunan residu bahan POPs
dan melakukan pengawasan dan pemantauan bahan POPs
• mengembangkan kerja sama riset dan teknologi terkait dengan dampak bahan
POPs sesuai dengan Best Available Techniques (BAT) dan Best Environmental
Practices (BEP) yang disusun oleh Konvensi berdasarkan keputusan Sidang
Para Pihak atau Conference of the Parties (COP)
• mengembangkan upaya penggunaan bahan kimia alternatif yang ramah
lingkungan dalam proses produksi
• meningkatkan upaya untuk mengurangi emisi dioxin dan furan dalam proses
produksi
• memperkuat upaya penegakan hukum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atas bahan POPs yang dilarang
• mengembangkan Rencana Penerapan Nasional atau National Implementation
Plan (NIP) untuk pelaksanaan Konvensi Stockholm di Indonesia.
Dengan mengamati tahapan selanjutnya terlihat bahwa peraturan nasional dan kebijakan
sangat diperlukan agar implementasi dari isi konvensi Stockholm dapat berjalan dengan baik.
b. Undang – Undang No 3 tahun 2013 tentang Perindustrian
Pada pasal 3 ayat c bahwa perindustrian diselenggarahakan dengan tujuan mewujudkan
Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau. Kemudian pada pasal 77
disampaikan bahwa Industri hijau dapat terwujud dengan langkah yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu
• perumusan kebijakan
• penguatan kapasitas kelembagaan;
• standardisasi
• pemberian fasilitas.
11
Salah satu bentuk perumusan kebijakan adalah pembuatan suatu regulasi yang
mendukung terbentuknya industri yang ramah terhadap lingkungan termasuk penggunaan
bahan baku (pasal 79 ayat 2) yang tidak berakibat berbahaya bagi lingkungan dan manusia.
c. Undang – Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan
Pada pasal 35 ayat 1 poin d bahwa pemerintah melakukan pelarangan dan pembatasan
perdagangan barang dan/atau jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi
kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Kemudian
diperkuat pada pasal 50 ayat 2 poin c bahwa pemerintah melarang ekspor dan impor untuk
kepentingan nasional dengan alasan untuk melindungi keseatan dan keselamatan manusia,
hewan, ikan, tumbuhan dan lingkungan hidup.
d. Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya
dan Beracun
Pada pasal 5 ayat 1 ditunjukan tentang klasifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3)
dengan salah poin yaitu beracun (h), berbahaya (i) dan berbahaya terhadap lingkungan (l).
PBDE belum masuk list pada B3 yang diatur dalam PP ini dan rencananya PBDE akan
dimasukan dalam revisi PP 74 tahun 2001 yang rencananya akan dikeluarkan pada tahun 2018.
e. Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun
Salah satu karakteristik limbah B3 pada pasal 5 ayat 2 poin f yaitu beracun sehingga
produk- produk yang mengandung PBDE dan tidak digunakan lagi menjadi limbah perlu
penanganan tertentu sesuai PP 101 tahun 2014. Penanganan tertentu meliputi fasilitas
penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan kembali dan pemusnaaan B3 diatur dalam PP
tersebut.
f. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/5/2006
tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan Berbahaya
Untuk Industri.
Pada peraturan Menteri perindustrian ini diatur hanya untuk 6 bahan yang diperlihatkan
pada pasal 2 ayat 1 dengan ketentuan bahwa bahan tersebut akan diawasi baik yang diproduksi
di dalam negeri atau impor.
12
Selain itu pada pasal 6 dan 7 memuat tentang pelaporan yang harus dilakukan oleh
produsen atau pengguna bahan berbahaya tersebut. Kemudian pada pasal 9 terdapat bagian
pembinaan dan pengawasan bagi produsen dan industri pengguna bahan berbahaya tersebut.
Peraturan ini bisa dikembangkan untuk menaungi beberapa bahan berbahaya lainnya yang
termasuk dalam konvensi Stockholm dengan ketentuan bisa dibuat lebih komprehensif.
g. Peraturan Menteri Perdagangan No 75 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Menteri Perdagangan No 44 tahun 2009 tentang Pengadaan, Distribusi
dan Pengawasan Bahan Berbahaya
Pada pasal 2 ayat 1 bahwa Jenis Bahan Berbahaya (B2) yang diatur tata niaga impor
dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak
kelestarian lingkungan hidup. Bila ditelaah lebih bahwa PBDE termasuk bahan berbahaya
sehingga perlu diatur tata niaga impor dan distribusinya tetapi pada lampiran permendag
tersebut tidak dimuat PBDE termasuk pada revisi kedua Permendag No 75 tahun 2014 dengan
adanya tambahan bahan berbahaya menjadi 407 dari sebelumnya 351 bahan pada Permendag
44 tahun 2009.
h. Peraturan Menteri Perdagangan No 94 tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Menteri Perdagangan No 87 tahun 2015 tentang Ketentuan Import
Produk Tertentu
Pada peraturan ini ada ketentuan barang -barang yang dikendalikan impornya termasuk
bahan -bahan yang mengandung bahan penghambat nyala. Adapun contoh barang -barang yang
diduga mengandung bahan penghambatnya nyala yaitu
• HS Number 6114.30.20 yaitu pakaian digunakan untuk pelindung
dari api
• HS Number 85.28 yaitu monitor dan proyektor, tidak digabung
dengan aparatus penerima televisi; aparatus penerima untuk televisi,
digabung dengan penerima siaran radio atau aparatus perekam atau
pereproduksi suara atau video, maupun tidak.
13
i. Peraturan Menteri Perdagangan No 36 tahun 2018 tentang Pelaksanaan
Pengawasan Kegiatan Perdagangan
Pada Bab II tentang ruang lingkup pengawasan kegiatan perdagangan khususnya pada
pasal 2 poin b yaitu pengawasan perdagangan barang yang diawasi, dilarang dan atau diatur
serta poin d tentang pendaftaran barang produk dalam negeri dan asal impor terkait dengan
keamanan, keselamtan , kesehatan, dan lingkungan hidup.
Dari telah beberapa peraturan tersebut maka instansi – instansi yang terlibat dalam
pengendalian dan pengawasan bahan berbahaya meliputi
1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan titik awal dari
masuknya suatu bahan itu tergolong berbahaya dan beracun. PBDE sebagai salah satu
bahan yang bisa digolongkan berbahaya dan beracun bisa dimasukan ke dalam
list pada perbaikan PP 74 tahun 2001 sehingga langka -langka dalam pengendalian
dan pengawasan terhadap PBDE akan lebih mudah.
2. Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Impor menjadi pintu awal masuk dalam
memberikan ijin impor barang tertentu termasuk kemungkinan bahan penghambat nyala
PBDE. Direktorat impor akan melarang atau mengendalikan bahan tertentu apabila ada
ketentuan dalam suatu peraturan misalkan PBDE masuk list dalam perbaikan PP 74
tahun 2001. Kemudian pada direktorat perdagangan jendral perlindungan
konsumen dan tertib niaga akan melakukan pengawasan atas barang beredar termasuk
bahan berbahaya yang terkandung dalam suatu produk.
3. Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan awal
terhadap kedatangan barang tersebut di border atau post border termasuk PBDE apabila
masuk list dalam bahan berbahaya dan beracun (B3).
4. Kementerian Perindustrian melalui direktorat industri kimia hulu dan hilir,direktorat
elektronika dan direktorat industri tekstil merupakan industri -industri yang
menggunakan bahan penghambat nyala pada produk – produk yang dihasilkan.
Direktorat- direktorat tersebut bersama -sama dengan dinas perindustrian propinsi serta
14
kabupaten/kota bisa melakukan pengawasan atas penggunaan bahan penghambat nyala
dalam proses produksinya.
Gambar 3. Keterlibatan Beberapa Kementerian dalam Penerapan Aturan Pengendalian
dan Pengawasan Senyawa Penghambat Nyala
Dari kondisi – kondisi tersebut terdapat beberapa opsi untuk alternatif peraturan dan kebijakan
yaitu
• Tidak adanya peraturan khusus yang mengendalikan dan mengawasi bahan penghambat
nyala berbahaya (PBDE) seperti kondisi saat ini
• Adanya peraturan komprehensif yang melibatkan seluruh kementerian terkait mulai dari
pengendalian impor, pengawasan barang beredar , pengawasan sector produksi dan
pengawasan dan pengendalian pada limbah -limbah yang mengandung PBDE
PENGENDALAIANDAN
PENGAWASANSENYAWA
PENGHAMBATNYALA
KEMENTERIANLINGKUNGANHIDUPDANKEHUTANAN
KEMENTERIANPERINDUSTRIAN
KEMENTERIANKEUANGAN
KEMENTERIANPERDAGANGAN
15
• Adanya peraturan sectoral industri yang menggunakan bahan penghambat nyala
berbahaya (PBDE) dalam proses produksinya dengan kementerian perindustrian yang
melakukan pengawasan dan pengendalian.
Langkah selanjutnya adalah membuat suatu matrik keuntungan dan kerugian serta
konsekuensi yang terjadi apabila regulasi tersebut diterapkan. Tabel 2 memperlihatkan matrik
dari 3 alternatif kondisi untuk pengendalian dan pengawasan sehingga bisa dianalisis lebih
mendalam apabila regulasi tersebut diterapkan.
Hasil analisa menunjukkan bahwa alternatif 2 merupakan regulasi yang diharapkan
dapat mengurangi dampak secara signifikan keberadaaan PBDE dalam perdagangan, proses
produksi dan limbah. Alternatif no 2 memerlukan sumber daya manusia dan sarana prasarana
yang mendukung regulasi tersebut dapat diterapkan. Selain itu, ketersediaan bahan pengganti
dari PBDE harus disiapkan terlebih dahulu dengan kemampuan dari bahan pengganti dari
penghambat nyala secara fungsi dan biaya serta kualitas produk tidak lebih buruk dibandingkan
dengan PBDE.
16
Tabel 2. Alternatif Regulasi dalam Pengawasan dan Pengendalian Bahan Penghambat Nyala Berbahaya (PBDE)
No Alternatif Penyelesaian
Masalah PBDE
Keuntungan Kerugian Konsekuensi dari
Alternatif Kebijakan
1 Tidak adanya Peraturan yang
mengatur khusus tentang PBDE
• Tidak perlu ada peraturan yang
dibuat khusus untuk PBDE
• Industri dapat menggunakan bahan
penghambat nyala jenis apapun
sesuai dengan kebutuhan dari
pihak industri
• Kepercayaan dunia terhadap
produk -produk eksport dari
Indonesia menjadi berkurang
• Masyarakat akan
mendapatkan produk yang
membahayakan dari sisi
kesehatan
• Makin banyaknya
produk – produk
mengandung bahan
berbahaya seperti
PBDE masuk ke
Indonesia dan
diperdagangkan
2 Peraturan komprehensif untuk
pengendalian dan pengawasan
bahan penghambat nyala
• Masyarakat mendapatkan produk
yang lebih aman dan sehat
• Impor Bahan Penghambat Nyala
dapat dikendalikan
• Pengawasan dapat berlangsung pada
produksi dan perdagangan terhadap
produk -produk mengandung bahan
penghambat nyala
• Pihak pengguna harus
melalui prosedur dan
birokrasi yang lebih lama
dalam impor bahan baku
penghambat nyala
• Peningkatan biaya produksi
bagi industri dengan tidak
bisa digunakan bahan
• Membutuhkan biaya
yang besar untuk
melakukan
pengendalian dan
pengawasan
• Perlu penyiapan
SDM yang handal
dalam melakukan
17
• Bahan daur ulang dapat lebih
terjamin kualitasnya
• Pemusnaan terhadap produk -
produk mengandung PBDE dapat
dikendalikan dan diawasi
penghambat nyala yang
lebih murah
• Sistem pengawasan menjadi
lebih rumit terhadap bahan
penghambat nyala yang
berbahaya (PBDE)
pengendalian dan
pengawasan
3 Peraturan hanya pengawasan
pada proses produksi bagi
industri penggunan bahan
penghambat nyala
• Menutup kemungkinan
penyalagunaan bahan
penghambat nyala pada proses
produksi
• Masyarakat percaya terhadap
produk dalam negeri
• Produk dalam negeri
tidak laku akibat
murahnya produk impor
yang mengandung
bahan penghambat
nyala
• Industri dalam negeri
susah bersaing dengan
produk luar negeri
• Indsutri kecil dan
menengah pengguna
bahan penghambat
nyala akan kesulitan
berproduksi
18
2.2 Pembahasan Substansi Regulasi
Penyusunan suatu regulasi yang berhubungan dengan berbagai instansi terkait
memerlukan harmonisasi juga dengan peraturan -peraturan yang sudah ada. Pemerintah dalam
hal ini kementerian lingkungan hidup dan kehutanan sedang melakukan revisi dan perbaikan
terhadap Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2001 tentang pengelolaan bahan berbahaya dan
beracun. Dengan adanya revisi tersebut maka PBDE sebagai salah satu bahan yang berbahaya
dan beracun dapat dimasukan ke dalam list pada perbaikan PP No 74 tahun 2001. Dengan
adanya list PBDE sebagai bahan berbahaya dan beracun maka tahapan selanjutnya adalah
membuat regulasi untuk pengendalian dan pengawasan terhadap bahan penghambat nyala yang
berbahaya termasuk PBDE.
Gambar 3. Alur Proses Penyusunan Regulasi Secara Komprehensif
Bersamaan dengan penyusunan regulasi maka kepastiaan dari ketersediaan bahan
alternative pengganti PBDE yang lebih ramah terhadap lingkungan dan manusia serta biaya
yang dikeluarkan tidak terlalu membebani sector industri. Beberapa industri pengguna bahan
penghambat nyala menggunakan bahan alternative berupa Decabromo Diphenyl Ethane
(DBDPE). Bahan ini relative lebih ramah terhadap lingkungan dan belum termasuk yang
19
dilarang dalam konvensi Stockholm. Pemerintah juga perlu mendukung penelitian dan produksi
bahan alternative yang dapat dihasilkan di dalam negeri sehingga industri memiliki pilihan
dalam penggunaan bahan penghambat nyala sesuai dengan kebutuhannya.
Regulasi pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala ini akan lebih efektif
apabila didukung dengan standarisasi terhadap produk -produk yang mengandung bahan
penghambat nyala. Bentuk standarisasi bisa Standar Nasional Indonesia sesuai dengan
Peraturan Menteri Perindustrian Nomo 86 tahun 2009 tentang Standar Nasional Indonesia
Bidang Industri. Apabila SNI tentang produk -produk industri telah dibuat maka langkah
selanjutnya adalah pengawasan dari SNI tersebut dengan acuan pada Peraturan Menteri
Perindustrian No 4 tahun 2018 tentang Tata Cara Pengawasan Pemberlakuan Standarisasi
Industri Secara Wajib.
Draft Peraturan Pengendalian dan Pengawasan Bahan Penghambat Nyala serta
pembuatan dan pengawasan terhadap SNI produk -produk mengandung bahan penghambat
nyala harus disosilisasikan terlebih dahulu kepada para pemangku kepentingan. Adapun
pemangku kepentingan dengan bahan penghambat nyala adalah
• Import produk -produk mengandung bahan penghambat nyala
• Industri penguna bahan penghambat nyala
• Industri pengolahan daur ulang produk mengandung bahan penghambat nyala
Dari sosialiasi ini akan didapatkan suatu masukan dan perbaikan atas draft regulasi
pengendalian dan pengawasan bahan penghambat nyala. Langkah selanjutnya perbaikan
terhadap regulasi untuk nantinya bisa segera diproses pada biro hukum untuk dijadikan
peraturan resmi dari pemerintah perihal pengendalian dan pengawasan bahan penghambat
nyala.
20
BAB III
PENUTUP
Regulatory Impact Analysis (RIA) terhadap regulasi pengendalian dan pengawasan
bahan penghambat nyala telah dibuat sebagai acuan dalam penyusunan regulasi terkait. RIA
ini perlu disampaikan agar efektif dan asas kemanfaatan dari regulasi pengendalian bahan
penghambat nyala dapat berjalan dengan baik. Hasil dari RIA menunjukkan bahwa regulasi
dibuat secara komprehensif dengan melibatkan beberapa kementerian sehingga bisa
didapatkan hasil yang lebih efektif. Secara bersamaan untuk mendukung penerapan regulasi
tersebut bisa dibuat SNI terhadap produk – produk mengandung bahan penghambat nyala serta
pengembangan produk pengganti PBDE.
21
DAFTAR PUSTAKA
Chai, C.Y., Yu, S.Y., Liu, Y., Tao, S., Liu, W.X. (2018). PBDE emission from E-wastes during
the pyrolytic process: Emission factor, compositional profile, size distribution and gas particle
partitioning. Environmental Pollution, Vol 235, pages 419-428
He, J., Robrock, K. R., dan L. Alvarez-Cohen. (2006). Microbial Reductive Debromination of
PBDEs. Environmental Science & Technology, Vol. 40 pages 4429 – 4434
Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Ogawa, S., Takahashi, S.,
Tanabe, S. (2011). Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame
retardants in surface soils from Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 83, 783-791
Ilyas, M., Sudaryanto, A., Setiawan, I.E., Riyadi, A.S., Isobe, T., Tanabe, S. (2013).
Charcterization of polychlorinated biphenyls and brominated flame retardants in sludge,
sediment and fish from municipal dumpsite at Surabaya, Indonesia. Chemosphere, Vol: 93,
1500 -1510
Parry, E., Zota, A.R., Park, J.S., Woodruff, T.J., (2018). Polybrominated diphenyl ethers
(PBDEs) and hydroxylated PBDE metabolites (OH-PBDEs): A six year temprat trend in
Nothern California pregnant woman, Chemosphere, Vol 195, 777- 783
United States Environmental Protection Agency (EPA). (2014). Technical Fact Sheet
Polybrominated Diphenyl Ether (PBDEs) and Polybrominated Biphenyls (PBBs).
United States Health and Human Service. (2017). Toxicological Profile Polybrominated
Diphenyl Ethers (PBDEs).