EFEK EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP KADAR
MALONDIALDEHID HEPAR TIKUS
EFEK EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) TERHADAP KADAR
MALONDIALDEHID HEPAR TIKUS
Ishlahiyatin Ni’mah*, Rr Ayu Fitri Hapsari**, Endah Wulandari**
*Mahasiswa dan **Staf pengajar Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Latar belakang : Bawang putih mengandung berbagai senyawa aktif yang memiliki aktivitas
antioksidatif, seperti allisin. Senyawa allisin mampu menstimulasi antioksidan endogen tubuh
untuk melawan radikal bebas sehingga dapat mencegah kondisi stress oksidatif. Radikal bebas
yang bereaksi dengan asam lemak tak jenuh akan menghasilkan peroksida lipid dan kemudian
membentuk malondialdehid (MDA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak
bawang putih (Allium sativum L.) terhadap kadar MDA hepar tikus. Metode : 20 ekor tikus diberi
ekstrak bawang putih dosis 0, 50, 100, dan 150 mg/kgBB selama 30 hari. Pengukuran kadar MDA
menggunakan larutan TCA 10% dan TBA 0,67%. Hasil pengukuran dibaca pada spektrofotometer,
selanjutnya dianalisis dengan uji one way ANOVA. Hasil : pemberian ekstrak bawang putih dosis
50 mg/kgBB menurunkan kadar MDA hepar tikus, sedangkan kadar MDA meningkat pada dosis
100 dan 150 mg/kgBB. Hasil pengukuran memiliki kecenderungan meningkat (p>0,05).
Kesimpulan : pemberian ekstrak bawang putih meningkatkan kadar MDA hepar tikus.
Kata Kunci : bawang putih, antioksidan, malondialdehid
Background: Garlic contains a variety of active compounds that have antioxidative activity, such
as allisin. Allisin can stimulate endogenous antioxidants to fight free radicals so can prevent
oxidative stress. Free radicals that react with polyunsaturated fatty acids will produce lipid
peroxide and then form malondialdehyde (MDA). The aim of this study is to determine the effect
of garlic extract (Allium sativum L.) on MDA level of rat liver. Method: 20 rats were given garlic
extract dose 0, 50, 100, and 150 mg / kgBB for 30 days. Measurement of MDA use TCA 10% and
TBA 0,67%. The results can be read on spectrophotometer, then analyzed by one way ANOVA
test. Result: the garlic extract dose 50 mg / kgBB decreased MDA level, while MDA level
increased at dose 100 and 150 mg / kgBB. The results have an increasing tendency (p> 0.05).
Conclusion: the garlic extract increases MDA level of rat liver.
Keywords : garlic, antioxidant, malondialdehyde
Pendahuluan
Mekanisme stres oksidatif merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit degeneratif
(WHO, 2011). Ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan di dalam tubuh dapat
menyebabkan kerusakan asam nukleat, protein, dan lipid di dalam sel.3 Radikal bebas yang
bereaksi dengan asam lemak tak jenuh akan membentuk lipid peroksida yang merupakan salah
satu senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) (Murray et al, 201).
Meningkatnya konsentrasi lipid peroksida dapat menjadi awal rusaknya sel hepar.
Peningkatan yang lebih jauh akan menyebabkan terjadinya nekrosis hepar. Lipid peroksida ini
akan keluar dari hepar menuju pembuluh darah dan dapat merusak organ atau jaringan lain.
Peningkatan lipid peroksida pada jaringan maupun organ dapat mengakibatkan berbagai penyakit
degeneratif, seperti penyakit jantung koroner dan stroke (Muliasari, 2009). Keadaan ini dapat
ditentukan dengan mengukur kadar malondialdehid (MDA) yang merupakan senyawa hasil dari
reaksi peroksidasi lipid.
Tubuh dapat menetralisir radikal bebas dengan mekanisme pertahanan antioksidan
endogen. Bila antioksidan endogen tidak mencukupi, maka tubuh membutuhkan antioksidan dari
luar (Murray et al, 201). Berbagai bahan alam rempah di Indonesia memiliki aktifitas antioksidatif,
salah satunya adalah bawang putih (Allium sativum L.).
Masyarakat sudah mengenal bawang putih sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sekitar
tahun 3000 SM oleh bangsa Cina dan suku-suku pengelana Asia Tengah yang menggunakannya
untuk mengusir roh jahat dan untuk menjaga kesehatan (Banerjee dan Maulik, 2002). Kemudian
menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Bawang putih dapat dimanfaatkan sebagai
komponen bumbu masakan dan sebagai obat untuk menyembuhkan beberapa penyakit (Kim et al.,
2002). Selain itu, bawang putih juga dipilih karena memiliki harga yang relatif terjangkau dan
mudah didapatkan.
Senyawa allisin yang terkandung di dalam bawang putih diketahui memiliki aktivitas
antioksidatif dengan meningkatkan aktivitas enzim-anzim antioksidan endogen (Tsai et al., 2005).
Penelitian tentang efek ekstrak bawang putih telah dilakukan sebelumnya. Penelitian oleh
Susilorini et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak bawang putih mampu
mempengaruhi diameter glomerulus ginjal tikus yang diinduksi Streptozotocin dengan mekanisme
antioksidan dan antiglikasinya. Saat ini belum diketahui mekanisme antioksidan dari senyawa aktif
bawang putih terhadap tikus sehat, sehingga penelitian dilakukan untuk mengetahui efek
pemberian bawang putih terhadap kadar MDA hepar tikus. Manfaat penelitian ini harapannya
dapat dijadikan dasar pencegahan kasus-kasus penyakit degeneratif.
Metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia dan Animal House Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada bulan Februari-Agustus 2017. Bahan
uji yang digunakan adalah suspensi bawang putih (Allium sativum L.) lokal varietas Lumbu
Kuning yang diperoleh dari Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa
Tengah. Bahan uji juga telah dideterminasi di “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani Pusat
Penelitian Biologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley berumur 9-10 minggu dengan berat badan 250-350 gram
yang diperoleh dari peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Penentuan sampel secara acak dan homogen. Perlakuan yang berbeda-beda dilakukan
terhadap 4 kelompok (dengan pemberian dosis ektrak bawang putih 0 ( Na-CMC/kontrol), 50, 100
dan 150 mg/KgBB perhari selama 30 hari) yang masing-masing terdiri atas 5 ekor tikus.
1. Penyiapan Hewan Uji
Hewan uji diaklimatisasi selama 2 minggu agar dapat menyesuaikan dengan
lingkungannya. Selama proses adaptasi, dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan
berat badan. Suspensi ekstrak diberikan secara oral menggunakan sonde, Seluruh tikus diterminasi
pada hari ke-30 dengan cara dimasukkan ke dalam toples yang telah dijenuhkan dengan uap eter,
kemudian dibedah untuk diambil heparnya. Masing-masing hepar ditimbang dan kemudian
disimpan pada suhu 40 C hingga saat dilakukannya pengujian.
2. Pembuatan Homogenat
Masing-masing hepar dipotong dan ditimbang sebanyak 50 mg. Kemudian dimasukkan ke
dalam tabung mikro. Setelah itu ditambahkan Phosphate Buffer Saline (PBS) dengan pH 7
sebanyak 1 ml, lalu dilakukan homogenisasi sampai tercampur rata. Hasil homogenat disimpan
dalam lemari pendingin pada suhu 40C hingga siap dilakukan pegukuran kadar MDA.
3. Pengukuran Kadar MDA
Sampel dari homogenat jaringan hepar diambil sebanyak 0,25 ml, lalu ditambahkan 0,25
ml Larutan TCA 10%. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 5 menit. Setelah itu, keseluruhan
supernatan diambil dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
yang lain. Kemudian ditambahkan larutan TBA 0,67% sebanyak 0,75 ml. Lalu dipanaskan dalam
penangas air yang mendidih (suhu 100o C) selama 10 menit. Setelah dingin, tabung reaksi diambil
dan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm. Kemudian dihitung kadar
MDA dengan cara mengkonversikan hasil spektrofotometer ke dalam kurva standar MDA (gambar
3.1).
Hasil Dan Pembahasan
Hasil pengukuran kadar MDA pada hepar tikus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
yang diberikan ekstrak bawang putih dengan dosis berbeda dapat dilihat pada gambar 4.1. Kadar
MDA meningkat pada pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis sedang (100 mg/kgBB) dan
dosis tinggi (150 mg/kgBB), sedangkan pada pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis rendah
(50 mg/kgBB) terlihat kadar MDA lebih rendah dibandingkan kontrol. Secara keseluruhan melalui
analisis regresi, hasil pengukuran ini cenderung mengalami peningkatan dan menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05).
Menurut Helliwell dan Gutteridge, MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tak
jenuh oleh radikal bebas (Inoue, et al, 2009). Organ hepar sebagai pusat metabolisme tubuh banyak
mengandung asam lemak tak jenuh. Reaksi radikal bebas dengan asam lemak tak jenuh di
membran sel dan lipoprotein plasma menghasilkan peroksida lipid yang selanjutnya akan
membentuk MDA.
Peningkatan kadar MDA pada penelitian ini menandakan tingginya proses oksidasi oleh
radikal bebas di dalam membran sel. Dalam hal ini diasumsikan bahwa bawang putih belum
mampu menekan radikal bebas yang menyerang asam lemak tak jenuh hepar. Senyawa allisin yang
terkandung di dalam bawang putih kemungkinan tidak menstimulasi enzim antioksidan endogen
seperti : glutation peroksidase (GPx), superoksida dismutase (SOD), dan katalase (Cat).
Gambar 1. Kadar MDA hepar tikus setelah pemberian dosis ekstrak bawang putih
Kadar MDA dapat dipengaruhi oleh dosis bawang putih yang diberikan. Perbedaan
konsentrasi dari setiap perlakuan akan memberikan respon yang berbeda pula di setiap sampel
jaringan. Egen-Schwind C. et al (1992) menyebutkan bahwa pemberian allisin dengan konsentrasi
tinggi menyebabkan kerusakan sel. Beberapa literatur menunjukkan adanya efek negatif bawang
putih, namun memberikan hasil yang tidak konsisten dari beberapa penelitian, sehingga belum
diketahui secara pasti pada dosis berapakah bawang putih mampu menimbulkan efek ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Chih-Chung Wu et al (2012) menggunakan sintesis allisin
dari bawang putih dengan konsentrasi berbeda pada hepatosit primer memperoleh hasil adanya
peningkatan MDA pada pemberian allisin 30 dan 50 µM setelah diinkubasi selama 4 dan 8 jam,
sedangkan pemberian allisin 10 µM tidak menunjukkan perbedaan signifikan terhadap kontrol
setelah inkubasi 8 jam (Wu et al., 2012). Penelitian lain oleh Sheen et al (1996) mengenai efek
negatif bawang putih pada hepatosit tikus menunjukkan bahwa pemberian diallyl sulfide (DAS)
dari bawang putih dapat dimanfaatkan untuk detoksifikasi dan antioksidasi pada kadar 1 mM,
0,041 0,038
0,0730,066
0,000
0,010
0,020
0,030
0,040
0,050
0,060
0,070
0,080
0,090
kontrol 50 100 150
Kad
ar
MD
A (
nm
ol/
ml)
Dosis ekstrak bawang putih (mg/kgBB)
namun pada kadar 5 mM secara nyata dapat menurunkan viabilitas sel, mengubah morfologi sel,
dan menurunkan aktivitasnya (Sheen et al, 1996). Hasil berbeda dari penelitian yang dilakukan
Caro et al (2012) dengan tujuan untuk mengevaluasi efek langsung dari diallyl sulfide (DAS) dan
diallyl disulfide (DADS) pada fungsi mitokondria. Inkubasi mitokondria dengan DADS sebanyak
1 mM menghasilkan peningkatan laju oksidasi 2',7' dichlorofluorescein diacetate (DCFH-DA),
penurunan glutathione (GSH), dan peningkatan MDA, sedangkan DAS tidak berefek secara
signifikan (Caro et al., 2010).
Efek negatif pemberian bawang putih kemungkinan disebabkan oleh aktivitas senyawa
organosulfur yang terkandung di dalamnya. Senyawa organosulfur bawang putih dikelompokkan
menjadi larut dalam lemak seperti DAS, DADS, dan diallyl trisulfide (DATS), atau larut dalam
air seperti S-allylcysteine (SAC) dan S-allylmercaptocysteine (SAMC) (Wang et al., 2010).35
Beberapa senyawa sulfida bersifat toksik, meskipun diyakini memiliki peran baik sebagai
antioksidan yang melindungi sel. Kelompok senyawa yang larut dalam lemak juga diketahui
menyebabkan penurunan fungsi mitokondria sel mamalia dalam kultur jaringan. Penelitian oleh
Rhein et al (2009) dan Truong et al (2009) menyimpulkan bahwa DAS dan DADS menyebabkan
penurunan fungsi mitokondria pada hepatosit tikus primer (Rhein et al., 2009; Truong et al., 2009).
Stress oksidatif menjadi mekanisme utama penyebab kerusakan ini. DAS, DADS, dan
DATS dilaporkan mampu meningkatkan kadar radikal bebas (ROS) dalam sel. Senyawa
polisulfida bawang putih dapat menginduksi stress oksidatif melalui reaksi redox-cycling yang
diinisiasi dengan oksidasi glutathione (Munday, 2012; Filomeni et al, 2008).
Mekanisme DADS menginduksi peroksidasi lipid dapat dilihat pada gambar 4.2. Langkah
awal pada siklus redoks adalah pengurangan disulfida (RSSR) ke thiol (RSH) oleh GSH (reaksi
1). Setelah ionisasi (reaksi 2), anion thiolat (RS-) mengalami oksidasi satu elektron dengan adanya
logam transisi oksidasi tinggi (Fe3+), membentuk RS radikal thiyl RS• (reaksi 3). Dengan adanya
thiol berlebih, radikal thiyl membentuk anion radikal disulfida RSSR•- (reaksi 4) yang dengan
cepat mengalami auto-oksidasi, menghasilkan anion superoksida (O2-) dan meregenerasi disulfida,
sehingga menutup siklus redoks (reaksi 5). Logam transisi juga berputar, karena logam transisi
dengan oksidasi tinggi dihasilkan melalui autoksidasi (reaksi 6). Dengan adanya thiol berlebih,
anion superoksida menghasilkan radikal thiyl dan juga hidrogen peroksida (H2O2) (reaksi 7).
Rangkaian reaksi ini menghasilkan senyawa reaktif intermediet yang memiliki potensi untuk
mengoksidasi atom hidrogen dan memulai peroksidasi lipid (Caro dan Cederbaum, 2004;
Tweeddade et al, 2007).41, 42
Gambar 4.2. Siklus redoks diallyl disulfide (DADS) (Caro et al., 2010).
Dari hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya yang disebutkan di atas
menunjukkan bahwa efek pemberian bawang putih dengan bentuk sediaan, dosis, dan jangka
waktu yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda terhadap kadar MDA. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan konsentrasi senyawa bioaktif yang terkandung di dalam bawang putih.
Penyebab peningkatan kadar MDA belum diketahui pasti. Diduga senyawa allisin mampu bekerja
secara efektif pada pemberian ekstrak bawang putih dengan dosis kurang dari 100 mg/kgBB,
namun diperlukan penelitian lebih mendalam untuk membuktikan kebenarannya.
Kesimpulan
Pemberian ekstrak bawang putih meningkatkan kadar MDA hepar tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global status report on noncommunicable disease 2010.
Geneva : WHO. 2011.
2. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Biokimia Harper. Ed-29. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2014.
3. Muliasari A. Konsentrasi lipid peroksida hati kelinci hiperlipidemia yang diberi
senyawa hipolipidemik [Skripsi]. Bogor : Departemen Biokimia FMIPA IPB; 2009.
4. Banerjee SK, Maulik SK. Effect of garlic on cardiovasculer disorders: a review. J Nutr
1. 2002; (4): 1-14
5. Kim MY, Choi SW, and Chung SK. Antioxidative flavonoids from the garlic (Allium
sativum L.) shoot. Food Science and Biotechnology. 2002 ; 9 (4): 199-203
6. Tsai CW, Yang JJ, Chen HW, Sheen LY, Lii CK. Garlic organosulfur compounds
upregulate the expression of the class of glutathione s-transferase in rat primary
hepatocytes. J Nutr. 2005; 135 : 2560-5.
7. Susilorini, Indrayani UD, Soffan M. Pengaruh Ekstrak Allium Sativum Terhadap
Diameter Glomeruli Ginjal Tikus Sprague Dawley Jantan yang Diinduksi
Streptozotocin. Sains Medika, Vol. 5, No. 1, Januari - Juni 2013: 11-16.
8. Inoue, et al. The Asia-Pacific perspective : Redefining obesityand its treatment. Japan :
WHO Western Pacific Region, International Association for Study of Obesity. 2000; 2:
9-13.
9. Wu CC, Chu YL, Sheen LY. Allicin modulates the antioxidation and detoxification
capabilities of primary rat hepatocytes. J Tradit Complement Med. 2012 Oct-Dec; 2(4):
323-330
10. Sheen LY, Lii CK, Sheu SF, Meng RH, Tsai SJ. Effect of the active principle of garlic
– diallylsulfide – on cell viability, detoxification capability and the antioxidation system
of primary rat hepatocytes. Food and Chemical Toxicology 34; 1996: 971-978.
11. Caro AA, et al. Effect of garlic-derived organosulfur compounds on mitochondrial
function and integrity in isolated mouse liver mitochondria. Toxicol Lett. 2012 October
17; 214(2): 166-174.
12. Wang YB, Qin J, Zheng XY, Bai Y, Yang K, Xie LP. Diallyl trisulfide induces Bcl-2
and caspase-3- dependent apoptosis via downregulation of Akt phosphorylation in
human T24 bladder cancer cells. Phytomedicine. 2010; 17: 363–368.
13. Rhein V, Song X, Wiesner A, et al. Amyloid-beta and tau synergistically impair the
oxidative phosphorylation system in triple transgenic Alzheimer’s disease mice. USA:
Proc Natl Acad Sci. 2009; 106:20057–20062.
14. Truong D, Hindmarsh W, O’Brien PJ. The molecular mechanisms of diallyl disulfide
and diallyl sulfide induced hepatocyte cytotoxicity. Chem Biol Interact. 2009; 180: 79–
88.
15. Munday R. Harmful and beneficial effects of organic monosulfides, disulfides, and
polysulfides in animals and humans. Chem Res Toxicol. 2012; 25: 47–60.
16. Filomeni G, Rotilio G, Ciriolo MR. Molecular transduction mechanisms of the redox
network underlying the antiproliferative effects of allyl compounds from garlic. J Nutr.
2008; 138: 2053–2057.
17. Caro AA, Cederbaum AI. Antioxidant properties of S-adenosyl-L methionine in Fe(2+)-
initiated oxidations. Free Radic Biol Med. 2004; 36:1303–1316.
18. Tweeddale HJ, Kondo M, Gebicki JM. Proteins protect lipid membranes from oxidation
by thiyl radicals. Arch Biochem Biophys. 2007; 459:151–158.