Download - Efek samping-obat-anti-tuberkulosis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ
tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah
kesehatan masyarakat terbesar, khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta
menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia
setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di
Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002,
terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan
diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru
tuberkulosis bertambah seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR) mengalami peningkatan
selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah
target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%,
tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar 76% yang berarti mencapai target
global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan
rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan
pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa
pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk
dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin
timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi
efek samping tersebut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah
antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas
obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,
Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut
sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino
Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.
Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin
umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat
primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,
maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
2
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
3
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau
frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2
bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf,
seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3 kali seminggu ( selama 4 bulan).
Kemasan obat dalam bentuk :
Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia
Kategori 1 • 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
OAT sisipan • HRZE
Kategori anak • 2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan.
Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan
tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6
bulan
Obat ini diberikan untuk:
• Penderita baru TB Paru BTA Positif.
• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif
• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan
HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya
pernah diobati, yaitu:
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal (failure)
• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).
3. OAT Sisipan (HRZE)1
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50
kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet
Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan
berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1
ObatDosis
(mg/KgBB/hr)
Dosis yg dianjurkanDosisMaks (mg)
Dosis mg/KgBB
Harian (mg/KgBB/hr)
Intermitten (mg/KgBB/kali)
<40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 35 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
v
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC).
Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam
tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO
sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan
keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam
bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan
penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat
meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita
tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah
pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3
Tabel 3. Jenis OAT FDC2
Fase Intensif Fase Intensif2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/mingguRHZE
150/75/400/275
RHZ150/75/400
RHZ150/150/500
RH150/75
RH150/150
30-3738-5455-70>71
2345
2345
2345
2345
2345
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
vi
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan
teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis
termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang
uji tuberkulin, radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat
sulit sekali mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat
menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan
(scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis
atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada
anak
vii
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga,
BTA tidak
jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan
/keadaan gizi
Bawah garis
merah (KMS)
atau BB/U <
80%
Klinis gizi
buruk (BB/U
< 60%)
Demam tanpa
sebab jelas
> 2 minggu
(jelas)
Batuk* > 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe
coli, aksila,
inginal,
> 1cm, jumlah
> 1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut
Ada
pembengkakan
Foto toraks Normal /
tidak jelas
Kesan TB
Catatan:
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain
viii
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
Berat badan dinilai saat pasien datang
Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis
sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis).
Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi,
seperti :
Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan
pleura, cairan serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.
Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan
atau biopsy.
Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu
menggunakan CT-Scan.
Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan
selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3
OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R.
Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
ix
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari)
Dosis maksimal
(mg per hari)
Isoniazid (H) 5-15* 300
Rifampisisn ** (R) 10-20 600
Pyrazinamide (z) 15-40 2000
Streptomisin (S) 15-40 1000
Catatan:
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat
diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap
lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75
mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg
dan rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R75 4 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5
x
Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah
(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable).
2.2 Efek Samping OAT : 5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &
5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan
dengan dosis dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis
xi
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan
terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama
yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan
pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang
tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien,
yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu
makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada
1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak
segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan
nekrosis hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang
terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-
35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien
berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu
alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa
pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi
kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat
dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian
dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai
pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi,
seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati
terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi
piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian
piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf
pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis
dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya
anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid
xii
dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan
toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin1, 3, 6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,
keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara
permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam.
B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis.
Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis.
Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang
dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang
ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan
terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi
kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4)
yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon,
antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease,
beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan
obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam
serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan
demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait
dengan nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
xiii
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan
diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid 4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%
penderita),
General
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh
semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi.
Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.
Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya
berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi.
Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.
Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia,
vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang
terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme
pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi
hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan.
Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis
interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol 4,5,6
xiv
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan
penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping
yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang
diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang,
gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual
secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari
digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda
untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah-
hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu
setelah obat dihentikan.
Okular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman
penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk
neuritis optic atau retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6
Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan
bersifat reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan
bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg
per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1%
dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan
pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang
dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih
rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
xv
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan
umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah
pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping
dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah
12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu
diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari
pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak
diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman
penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa
terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara
berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic
neuritis sering terjadi pada pemberian dosis lebih dari 15 mg/kg/hari.
Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan
pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun
sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan
biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat
terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan
kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau
tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel
setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang
irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien
dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di
dalam tubuh.
Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi
dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%
pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya,
lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2
xvi
bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat
dihentikan.
Hepatik
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan
asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang
dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari
bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol.
Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat
dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian
terapi ethambutol
Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid.
Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,
dermatitis exfoliatif), lichen-planus reaction, dan toxic epidermal
necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking
fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions
termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama
seperti toxic epidermal necrolysis.
Hematologi
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan
neutropenia.
Respiratori
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates
dengan atau tanpa eosinofilia
Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol
dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas.
Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan
bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain
termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
xvii
Sistem Saraf
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta
kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
Psikiatrik
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
Dermatologi
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
Muskuloskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal
insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin
serum dan idiosyncratic interstitial nephritis.
5. Streptomisin4,5
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih
dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan
insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan
diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya
yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat
memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan.
Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan
pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan
vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan.
Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau
penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya
toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough)
aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat
yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin paling bersifat
xviii
vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat
nefrotoksik.
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek
yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis
pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian
kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak
sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat
hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat
paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani
pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada
petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang
berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik
yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular,
berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan
gangguan ini berhubungan langsung dengan umur, pasien, kadar obat dalam
darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa
minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas
vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga
penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.
xix
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2
Efek Samping Kemungkinan Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,
sakit perutRifampisin Obat diminum malam
sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan ObatGatal dan kemerahan
pada kulitSemua jenis OAT Beri antihistamin &
dievaluasi ketatTuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)
Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang
dan boleh diberikanhepatoprotektor
Muntah dan confusion(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan
purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan
kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan
tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk.
xx
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus
efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka
pemberian kembali OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas
atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-
rechallenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis
rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi
hipersensitivitas.
Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan
TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat
tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis
OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut
HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab
mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan
rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),
sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik
tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk
xxi
menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat
regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
Keparahan dari penyakit hati
Keparahan dari TB
Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat
anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit
TB sangat berat dan diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan
TB, regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati
kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang
sebelum memberikan kembali obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan
tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu setelah
menghilangnya jaundice dan tenderness pada abdomen bagian atas sebelum
memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan penyakit
hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari
streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau
dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali
satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat
diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit
samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan
merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap
xxii
pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari
pyrazinamide.
Regimen alternatif tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan
hepatitis.
Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa
rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti
dengan 10 bulan isoniazid dan ethambutol
Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin,
pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.
Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif,
total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9
bulan.
Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen
nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang
optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB
menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang
digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika,
suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah,
(single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya
terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai
berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif
atau lanjutan.
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan
TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika
hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti
pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari
permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6 bulan pada fase
lanjutan.
xxiii
Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan
4 bulan dari terapi lanjutan.
xxiv
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan, antara lain :
1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer, dan
hipersensitivitas.
2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada
gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.
3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala
pada gastrointestinal dan hipersensitivitas.
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik, ketajaman penglihatan
berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.
5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik.
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan
terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini
dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu
perlu adanya penjelasan dan edukasi terhadap efek samping dari pemberian OAT.
xxv
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. 2010. Panduan Tatalaksana Tuberkulosis.
Jakarta
2. World Health Organisation. 2003. Treatment of tuberculosis:
guidelines for national programmes. 3 rd ed. Geneva`: WHO. Hal. 28-
35
3. Dahlan, Z. 1997. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis.Tinjauan Kepustakaan. Cermin Dunia Kedokteran
No.115. Jakarta. Hal. 8-12
4. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Tuberkulosis. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik
Direktorat Jenderal. Edisi 2. Cetakan kedua . Jakarta Dep Kes RI
5. Katzung, 2004. Farmakologi Klinik. Edisi ke 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular toxicity of ethambutol: review article.
Hong Kong. Medical Journal. Vol 12. No 1. February 2006.
7. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.
xxvi