Download - EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM …
SKRIPSI
EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR
NI MADE DESTRIANA ALVIANI
NIM. 1103005081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
SKRIPSI
EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR
NI MADE DESTRIANA ALVIANI
NIM. 1103005081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iii
EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
NI MADE DESTRIANA ALVIANI
NIM. 1103005081
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
iv
Lembar Persetujuan Pembimbing
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 05 MEI 2015
Pembimbing I
Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum
NIP. 19461231 197602 1 001
Pembimbing II
I Made Tjatrayasa,SH.,MH
NIP. 19501231 197903 1 019
v
SKRIPSI INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL : 02 JULI 2015
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 245/UN14.1.11/PP.05.02/2015 Tanggal 24 JUNI 2015
Ketua : Prof.Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum ( )
Sekretaris : I Made Tjatrayasa,SH.,MH ( )
Anggota : 1. Dr. Ida Bagus Surya Dharma jaya,SH.,MH ( )
2. I Gusti Ngurah Parwata, SH., MH ( )
3. Sagung Putri M.E Purwani, SH., MH ( )
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
menganugerahkan nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis
menyadari bahwa penyusunan skripsi ini atas bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang tak terhingga dengan penuh rasa hormat kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana,SH.,MH., Dekan Fakultas
Hukum Univeristas Udayana;
2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;
vii
6. Bapak I Gst. Ngr. Parikesit Widiatedja SH.,M.Hum, Pembimbing Akademik
(PA) yang selama ini telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis;
7. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH.,M.Hum,dosen pembimbing I yang telah
membimbing dan memberikan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;
8. Bapak I Made Tjatrayasa,SH.,MH,dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya, membimbing dan memberikan motivasi dalam
penyusunan skripsi ini ;
9. Bapak/Ibu Dosen serta seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas
Udayana yang telah memberikan pengetahuan dan bimbingan yang sangat
bermanfaat selama masa studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana;
10. Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana dan
pegawai perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang turut
membantu kelancaran proses penyelesaian skripsi ini;
11. Bapak I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH, Kepala Satuan Pengamanan
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan
bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna;
12. Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH, A.Md.IP.SH, Kasi
Bimbingan dan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan, yang telah
memberikan bantuan dan keterangan-keterangan yang sangat berguna ;
13. Bapak Dewa Gede Astara,SH.MH, Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang telah memberikan data terkait
dengan data pegawai Lapas Klas IIA Denpasar ;
viii
14. Bapak Mikha Simanjuntak, SH, Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan
dan Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, yang turut serta
memberikan keterangan yang sangat berguna ;
15. Bapak Ida Bagus Sedana, SH, Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar, yang
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan pendapatnya terkait
kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah dalam pembinaan narapidana ;
16. Kepada orang tua penulis, Bapak I Nengah Sukandia dan Ibu Yani Suryani,
yang senantiasa mendukung dan percaya kepada penulis, serta selalu
menyertakan nama penulis dalam setiap munajatnya.
17. Kepada saudara kandung penulis, Ni Putu Hilda Septian Andriyani, Dikri
Lazuardi, Ni Komang Intan Tri Pujiani, I Ketut Andika Pramudia yang terus
memberikan dukungan serta doa tiada henti. Selain itu terimakasih untuk
nenek, paman, bibi, saudara-saudara sepupu, dan seluruh anggota keluarga
yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
18. Untuk Sahabat-sahabat penulis, Andhika Ramadian Afsiandi, Akbar Nugraha,
Windi Dianti Agustin, Amalia Rani, M. Syamsul Islam, Daud Jusuf
Aritonang, Irma Putri Labora, Arya Utamayasa, A.A Ayu Mirah Kartini
Irawan, Ni Luh Intan Ayu Megawati, M Zainal Abidin, I Wayan Edy
Kurniawan, Ida Ayu Merta Dewi yang telah memberikan doa, dukungan serta
warna tersendiri dalam hidup penulis;
ix
19. Keluarga Besar ALSA, UMCC, SOLIH Fakultas Hukum Universitas
Udayana, yang telah memberikan banyak pengalaman serta pelajaran
berharga dalam setiap kegiatannya ;
20. All crew Pro2fm Denpasar, Ayu Rasminiati SH, Alan Bawana, Theresa P
Turker, Cahyo Suryo Andre A, Diah Karang, IAP Widya Indah Sari, Ida
Bagus Tri Pramana, Yogi Ari Dwipayana, Desak Putu Kurnia, Erica
Wahyuni, Komang Pratama Putra, Kadek Windy Pranata Putra, Made Arya,
yang telah memberikan semangat, motivasi, serta bersedia menggantikan
tugas penulis selama pembuatan skripsi ini;
21. Segenap pihak yang membantu dan mendukung penulis baik secara material
maupun immaterial yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari dengan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, maka
skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan
skripsi ini, penulis persembahkan skripsi ini kepada almamater tercinta, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Denpasar, 15 Mei 2015
Penulis
x
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan
Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi
manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 28 Mei 2015
Yang menyatakan,
( Ni Made Destriana Alviani)
NIM.1103005081
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM ...................................................................... ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ..................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ................ iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ......................... v
HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................. vi
HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ...................................... x
HALAMAN DAFTAR ISI ............................................................................... xi
ABSTRAK ......................................................................................................... xv
ABSTRACT ........................................................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................. 9
1.4 Orisinalitas ...................................................................................... 10
1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................ 12
a. Tujuan Umum ............................................................................. 12
xii
b. Tujuan Khusus ............................................................................ 12
1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................... 12
a. Manfaat Teoritis ........................................................................ 12
b. Manfaat Praktis ......................................................................... 13
1.7 Landasan Teoritis ............................................................................ 13
1.8 Metode Penelitian ........................................................................... 22
a. Jenis Penelitian.......................................................................... 22
b. Jenis Pendekatan ....................................................................... 23
c. Sifat Penelitian .......................................................................... 24
d. Sumber Data.............................................................................. 24
e. Teknik Pengumpulan data ......................................................... 25
f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian........................................ 26
g. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 27
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN
DAN SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA
2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia ............................................ 28
2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan ...................................... 28
2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia .......... 31
2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan ............................................ 36
2.1.4 Asas Penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan ................... 37
2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana . 40
xiii
2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan ............................................... 40
2.2.2 Pola Pembinaan Narapidana ................................................. 43
2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ... 48
BAB III PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPPASAR
3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar ......................................................................... 49
3.1.1 Gambaran Umum Lapas Klas IIA Denpasar ........................ 49
3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja ...................................... 51
3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar ............................................................................ 55
BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN
PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR DAN UPAYA
PENANGGULANGANNYA
4.1 Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan Terhadap
Narapidana ................................................................................ 75
4.2 Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir
Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Narapidana .................. 80
xiv
4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan
Narapidana ................................................................................ 80
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 84
5.2 Saran ............................................................................................... 85
DAFTAR BACAAN
DAFTAR INFORMAN
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
Abstrak
Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat
untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan
Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang kemerdekaannya
setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang selanjutnya terpidana di
tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali
di proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup
bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi
Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan
narapidana. Berdasarkan hal tersebut maka dibuatlah skripsi berjudul Efektivitas
Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pembinaan Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Adapun permasalahan yang diangkat adalah
Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana
Upaya Penanggulangannya.
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode empiris, dengan
menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian di analisis secara
analisis deskriptif kualitatif.
Adapun hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah Pembinaan
terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang cukup memadai yang disebut
bengkel kerja. Pembinaan terhadap warga binaan dilaksanakan oleh petugas
pemasyarakatan dan petugas pengamanan. penyelenggaran pembinaan dimulai
dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi, dan tahap Integrasi. Adapun pola
pembinaan yang dilakukan yaitu Pembinaan kepribadian dan pembinaan
kemandirian. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Denpasar merupakan
salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas
hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan
bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia
mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar
pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan antara lain Pengurangan jumlah
Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi
terhadap masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan
dengan maksimal hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang
terjadi di Lapas Klas IIA Denpasar.
Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan
xvi
Abstract
Recovery referred to the prison staff is to undertake the construction of the
residents and Protégé detention in principle everyone offenders undergoing criminal, lost
its independence after the break through a court order, which is then convictedpersons
placed in rehabilitation institutions as a prisoner not to return in the process according
to the law so you can eventually return to public life. But many agencies are constraints,
such as the concerned recovery facilities, as well as in the field of the construction of the
residents. Based on this categorization made entitled the effectiveness of recovery in
coaching inmates In Klas IIA Denpasar Correctional Intitutions. of the issues raised is
how prisoners in Klas IIA Denpasar State construction recovery facility at this time. How
the construction of the policies of the residents in the days to come.
Legal methods used is the method of empirical laws, using primary data and
secondary data analysis the analysis at a later deskriptif kualitatif.
For the results obtained in this study was the construction of the prison in
Kerobokan recovery facility has been implemented in a sufficient way known as
workshops. The construction of the building was carried out by Security officers and
correctional officers. the construction of the venue began with the construction of the
stage, stage of assimilation. For pattern construction construction of personality and
construction of independence. Klas IIA Denpasar correctional institution rehabilitation
(prison staff) is one who suffers from excess capacity and experience to date between the
factors restricting the construction process for inmates that not all citizens are willing to
follow correctional building construction are in Klas IIA Denpasar correctional facility,
lack of guidance of the coaching. For policies that can be used by the Government in the
days to come, among other things, a reduction in the number of people in our prisons,
make cards, there is a socialization to society. Brezzi Based on the research results can
be drawn the conclusion that the condition of building the prison in Klas IIA Denpasar
recovery facilities can be said not to walk with maybe this is evidenced by the large
number of problems still occur in Klas IIA Denpasar prison staff.
Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, Prisoner, Developmment
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang luas dan merupakan negara hukum.
Pembangunan nasional dalam garis besar haluan negara mencakup semua aspek
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan.
Adanya proses penegakan hukum yang baik hendaknya dapat berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan, atau tidak terjadi ketimpangan didalam proses
penerapannya. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Menegakan tertib hukum guna mencapai tujuan negara
Republik Indonesia yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila, maka dalam upaya mencapai tujuan tersebut tidaklah
jarang terjadi permasalahan-permasalahan hukum yang disebabkan karena
luasanya negara Indonesia sangatlah berdampak pada permasalahan di negara ini
yang kompleks terjadi dalam aspek perkembangan hukum di Indonesia, Selain itu
para pihak (pejabat) dalam melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan
kepada hukum yang berlaku di Indonesia saat ini.
Hukum merupakan hasil dari interaksi sosial dengan kehidupan
masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum
2
(timbulnya, berubahnya,lenyapnya ) sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Perkembangan hukum merupakan kaca dari pembangunan masyarakat.1
Bicara pembangunan hukum kuat dan merata diseluruh kalangan
masyarakat, maka dari itu pembangunan hukum tersebut dapat dikatakan berjalan
sesuai dengan rencana, namun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa didalam proses
pembangunan hukum yang kuat masih banyak terjadi kendala, misalnya saja
hukum di Indonesia ini seakan menjadi milik segelintir orang yang mempunyai
kedudukan penting di negara ini, mereka bisa dengan mudah membeli hukum itu
sendiri, namun dilain pihak masyarakat terus menjerit ketika hukum tersebut tidak
lagi berpihak kepadanya. Masyarakat di buat frustasi dengan keadaan seperti ini,
hak asasi manusia (HAM) yang ada seakan tidak dapat menolongnya. Keadaan
seperti ini membuat masyarakat tidak memiliki jalan keluar lain, sehingga mereka
melakukan tindak kejahatan yang berdampak pada di jebloskannya orang tersebut
ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang
kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang
berkekuatan hukum tetap selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan sebagai narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan
hukum yang berlaku agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Hal ini
sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yaitu, untuk memenuhi rasa
1Riduan Syahrini, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.51.
3
keadilan dalam masyarakat dengan cara melaksanakan dan menegakan aturan
hukum pidana demi terciptanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.2
Penjatuhan pidana kepada seseorang dengan menempatkannya kedalam
Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya melihat bahwa pidana adalah alat untuk
menegakan tata tertib dalam masyarakat. Pidana adalah alat untuk mencegah
timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap
terpelihara, sehingga dengan dimasukannya ke dalam Lembaga Pemasyarakatan
orang tersebut tidak mengulangi perbuatannya.
Namun dalam lembaga ini banyak terjadi kendala, seperti kondisi
Lembaga Pemasyarakatan yang memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan
narapidana. Disini akan sedikit dijabarkan mengenai apa itu Lembaga
Pemasyarakatan, narapidana dan proses pembinaannya. Menurut Undang-
Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ( Selanjutnya di sebut UU
Pemasyarakatan ) khususnya Pasal 1 angka ke-3 menyebutkan bahwa pengertian
“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka ke-7 menyebutkan bahwa narapidanaadalah
“terpidana yang menjalani hilang kemerdekannya di Lapas”.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa
2Muhammad Zainal Abidin & I wayan Edy Kurniawan, 2013, CatatanMahasiswaPidana,
Indie Publishing, Depok, hal. 6.
4
narapidana (napi) atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang
tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau
tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana
dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau
dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.
Pidana penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat
sebagai adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelanggar hukum, oleh
karena itu pidana penjara juga disebut sebagai pidana hilang kemerdekaan. sistem
kepenjaraan yang di gunakan tidak konsisten dan sistem perlakuan yang
diterapkan sifatnya kurang mendidik para narapidana.Selain itu, dalam sistem
penjara, hak-hak asasi manusia sangat tidak di perhatikan. Narapidana di
perlakukan secara tidak manusiawi dan tidak kenal perikemanusiaan. Itu sebabnya
mengapa dikatakan secara konsepsional sistem kepenjaraan bertentangan dengan
tujuan yang dianutnya, dan sistem kepenjaraan tidak sesuai untuk di terapkan.
Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman
Sahardjo pada tahun 1963. Tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Sesuai dengan tujuan utama
didirikannya Lembaga Pemasyarakatan yang disebutkan dalam Pasal 2 UU
Pemasyarakatan yaitu membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya
yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta
5
menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Hal ini bertujuan supaya
fungsi Lembaga Pemasyarakatan untuk menyiapkan warga binaan
permayarakatan agar dapat berintegritas secara sehat dengan masyarakat, sehingga
dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung
jawab sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 UU Pemasyarakatan dapat terwujud.
Tak lepas juga pola pembinaan (pembinaan karakter, pembinaan mental, dan
pembinaan iman) dalam Lembaga Pemasyarakatan harus benar-benar dijalankan.
Pembinaan Narapidana sebagaimana diatur dalam UU Pemasyarakatan,
pembinaan narapidana diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999
tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya ditulis PP No.31
Tahun 1999 ), yakni dalam ketentuan :
Pasal 2 PP No. 31 Tahun 1999
(1) program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan
pembimbingan kepribadian dan kemandirian.
(2) program pembinaan diperuntukan bagi narapidana dan anak didik
pemasyarakatan
(3) program pembimbingan
Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan
dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan
pembinaan kemandirian. Semua ini dilakukan bawasannya narapidana merupakan
masyarakat dari bangsa Indonesia sendiri yang mempunyai hak-hak yang patut
dipenuhi, diantaranya hak untuk hidup dan hak atas perlindungan dan bebas dari
ancaman.
6
Hak-hak yang dimiliki oleh narapidana hendaknya dapat diberikan dengan
jalan adanya pembinaan kepribadian yang diarahkan pada pembinaan mental dan
watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung
jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, sedangkan pembinaan
kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar nantinya
narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan
bertanggung jawab. Perkembangan tujuan pembinaan narapidana berkaitan erat
dengan tujuan pembinaan. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat
dibagi dalam tiga hal yaitu :
a. Setelah keluar dari Lapas tidak lagi melakukan pidana.
b. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam
membangun bangsa dan Negara.
c. Mampu mendekatkan diri kepada tuhan yang maha esa dan mendekatkan
kebahagiaan di duia maupun di akhirat3.
Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada kenyataannya tidak
sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh dimasyarakat.
dalam hal ini yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakikat hidup
yang tumbuh di masyarakat maksudnya dalam pembinaan narapidana para
petugas pembina narapidana terkadang melakukan penyimpangan dalam
melaksanakan tugasnya kurang atau tidak berdasarkan kepada hukum yang
3 Andi Hamzah, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia, Cetakan Pertama,
Nopember, Jakarta, hal.17.
7
berlaku seperti yang diamanahkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan
mengenai hak-hak narapidana dan dalam ketentuan PP No.31/1999 tentang
Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, merupakan dasar bagaimana
seharusnya narapidana diberlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu
sistem pemindanaan yang terpadu.
Pembinaan yang diberikan terhadap narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar masih berada jauh dibawah standarisasi
nasional, masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran di Lembaga
Pemasyarakatan yang terbesar di Bali tersebut.4 Sebagai contoh nyata adalah
peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana hingga berujung pada
pembakaran sejumlah fasilitas Lembaga Pemasyarakatan yang terjadi pada
tanggal 28 Februari 2012.5 Kerusuhan yang diwarnai aksi pembakaran tersebut
bermula dari peristiwa penusukan pada narapidana yang dilakukan oleh
narapidana lain terkait adanya perlakuan khusus atau sikap diskriminasi oleh
petugas pemasyarakatan yang dianggap tidak adil.6
Peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar juga
disebabkan terkait dengan terjadinya over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar. Lembaga Pemasyarakatan yang berkapasitas 336 hunian, pada
kenyataannya dihuni oleh sekitar 1.050 Warga Binaan Pemasyarakatan yang
4 Diakses dari http://www.ditjenpas.go.id/Lapas/denpasar pada 17 Mei 2013 Pukul 11.38
5 Kerusuhan di Lapas Klas IIA Denpasar, Bali Post, 29 Februari, 2012, hal.1.
6Diakses dari http://www.nasional.new.viva.co.id/read/news/290303-ada-senjata-yang-
dirampas-napi-kerobokan 22 Oktober 2014 Pukul 12.34.
8
terdiri dari narapidana dan tahanan.7 Sementara itu, faktor internal terkait dengan
terjadinya kerusuhan tersebut dikarenakan terbatasnya jumlah petugas keamanan
Pemasyarakatan, minimnya Sumber Daya Manusia petugas pemasyrakatan dan
kurangnya pemahaman dari petugas pemasyarakatan terhadap P.P.L.P (Peraturan
Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan) yang wajib dibawa dan dipahami ketika
melakukan pengawasan terhadap narapidana.8
Pembinaan terhadap narapidana merupakan komponen penting yang tidak
dapat dipisahkan dalam menjalankan sistem pemasyarakatan yang berlandaskan
pengayoman oleh setiap Lapas Khususnya Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Sistem keamanan sebagai langkah awal dari pembinaan terhadap
narapidana harus berjalan seimbang, sehingga Warga Binaan Pemasyarakatan
dapat memahami dan mematuhi segala peraturan yang berlaku di Lembaga
Pemasyarakayan Klas IIA Denpasar pada khususnya. Apabila semua proses
tersebut sudah diterapkan dan dilaksanakan dengan benar sesuai ketentuan
undang-undang yang berlaku, maka akan tercipta ketertiban dan keharmonisan
terhadap seluruh penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang meliputi narapidana,
tahanan, anak didik pemasyarakatan, petugas Lembaga Pemasyarakatan, sehingga
penyelenggaraan pembinaan berjalan dengan lancar. Pada akhirnya narapidana
siap untuk dikembalikan kepada masyarakat dan diharapkan tidak akan
7Diakses dari http://www.regional.kompas.com/read/inilah-penyebab-kerusuhan-Lapas-
kerobokan , 24 Oktober 2014 pukul 12.57.
8 Direktorat Jendral Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009, Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, hal.136.
9
mengulangi tindak pidana lagi serta menjadi warga yang baik dan bertanggung
jawab sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 2 UU Pemasyarakatan.9
Berdasarkan latar belakang bahwa terdapat ketimpangan dalam hal
pembinaan terhadap narapidana sesuai yang diamanahkan Pasal 2 UU
pemasyarakatan, maka mengangkat permasalahan ini ke dalam skripsi yang
berjudul “EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM
PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga
PemasyarakatanKlas IIA Denpasar ?
2. Apa yang Menjadi Faktor Penghambat dalam Pembinaan Narapidana
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dan Bagaimana Upaya
Penanggulangannya ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah
diuraikan, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang menjadi ruang
lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
9Ibid, hal.32.
10
Pokok permasalahan yang pertama dalam penulisan skripsi ini, akan
dibahas mengenai pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar. Ruang lingkup masalah ini diperlukan untuk menghindari terjadinya
kekaburan permasalahan yang akan dibahas. Pelaksanaan pembinaan meliputi
program pembinaan apa saja yang diberikan kepada seluruh narapidana dalam
sistem pemasyarakatan khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar, karena pembinaan yang dilakukan sangat penting dan wajib diperoleh
setiap narapidana, oleh karena fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah
tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik
pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU
Pemasyarakatan, sehingga narapidana yang sudah diberikan pembinaan serta
pembekalan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar siap untuk
dikembalikan ke dalam masyarakat dan tentunya tidak mengulangi perbuatannya.
Pokok permasalahan yang kedua akan dibahas mengenai faktor apa saja
yang dapat menghambat kelangsungan pelaksanaan pembinaan terhadap
narapidana khsususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, selain itu
akan dibahas pula mengenai upaya-upaya yang dilakukan untuk memaksimalkan
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
1.4 Orisinalitas
Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi
ini maka dapat dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu
11
skripsi berjudul Pembinaan Narapidana Lanjut Usia di Lapas Karang Asem
dengan penulis bernama Agung Beliferdo di Fakultas Hukum Universitas
Udayana pada tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP kelas II
A kabupaten Karangasem?
2. Faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut
usia dan upaya apa yang dilakukan ?
Adapun skripsi lain berjudul Efektivitas Pelaksanaan Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dengan penulis bernama
Realizhar Adillah Kharisma Ramadhan di Universitas Hasanudin Makasar pada
tahun 2013. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pihak Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka
ketergantungan Narkotika bagi warga binaan?
2. Bagaimanakah efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan
narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ?
Penulis dapat memastikan bahwa penelitian yang dilakukan dapat terjamin
keorisinalitasannya dan berbeda dengan skripsi yang telah di sebutkan di atas.
Karena dalam penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada
efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.
12
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ada 2 (dua) tujuan yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu untuk
memperoleh pemahaman mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam
pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis penyelenggaraan pembinaan
terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar
2. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam
memaksimalkan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan
wawasan bagi para pembaca tentang bagaimana efektivitas Lembaga
Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana khususnya di Lapas Klas IIA
Denpasar sebagaimana yang diamanahkan dalam ketentuan undang-undang yang
mengatur. Adapaun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperoleh
13
pencerahan tentang permasalahan hukum yang dihadapi sehingga dapat menjadi
dasar pemikiran yang teoritis, bahwa suatu Perundangan-undangan yang ada
belum tentu berjalan sesuai, serta sempurna dalam prakteknya.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi penulis, penelitian ini adalah untuk mendapatkan bahan informasi
dalam menganalisa serta sebagai suatu pemecahan masalah-masalah
terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi, khususnya
mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan
narapidana.
2. Bagi Petugas Lapas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi
dalam hal membuat perencanaan pembinaan Narapidana yang
berlandaskan UU Pemasyarakatan agar efektivitas Lapas tersebut dalam
memberikan pembinaan dapat terjamin.
3. Bagi pembuat kebijakan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dan
sebagai bahan dalam mengambil dan membuat kebijakan yang akan
dilaksanakan dalam upaya peningkatan pembinaan oleh Lembaga
Pemasyarakatan.
1.7 Landasan Teoritis
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah pengawasan
direktorat jenderal pemasyarakatan ( Dirjenpas ) Departemen Hukum dan Ham
RI, dimana departemen ini bertugas mengayomi masyarakat dalam bidang hukum
14
dan hak asasi manusia. Kewenangan departemen ini ditangan pemerintah pusat
yang diserahkan menjadi kewenangan daerah otonom.10
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk memproses atau
memperbaiki seseorang ( people processing organization ), dimana input maupun
outputnya adalah manusia yang dilabelkan penjahat.11
Demi mewujudkan sistem
pemasyarakatan yang berlandaskan pancasila, maka dibentuklah UU
Pemasyarakatan. Secara yuridis Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam UU
No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 ayat (3) UU No.12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik
pemasyarakatan. Sedangkan sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan
berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang
dibina, dan masyarakat agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Pasal 1 angka ke-1 yang dimaksud dengan pemasyarakatan adalah kegiatan untuk
melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
10Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham R.I, 2009 Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan,hal.136.
11
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, hal. 124.
15
Selain itu berdasarkan surat keputusan kepala daerah direktorat
pemasyarakatan No.K.P.10/3/7, tanggal 8 Februari 1965, dimana disampaikan
suatu konsepsi pemasyarakatan, yaitu : pemasyarakatan adalah suatu proses,
proses therapeuntie dimana si narapidana pada masuk Lapas berada dalam
keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan
yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu mengalami
pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat yang
sekelilingnya tersebut merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan)
hidup dalam penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif).
Secara umum Lembaga Pemasyarakatan memiliki sarana dan prasarana
fisik yang cukup memadai bagi pelaksana seluruh proses sistem pemasyarakatan
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, seperti adanya sarana
perkantoran, sarana perawatan (balai pengobatan), sarana untuk melakukan
peribadatan sesuai dengan kepercayaan yang dipeluk setiap Warga Binaan
Pemasyarakatan, sarana pendidikan dan perpustakaan, sarana olahraga baik diluar
ruangan (outdor) maupun didalam ruangan (indoor), sarana sosial yang terdiri
dari tempat kunjungan keluarga, aula pertemuan, sarana konsultasi, dan sarana
transportasi (mobil dinas). Narapidana diberikan makanan tiga kali sehari pagi,
siang, dan sore setiap harinya.12
Pembinaan terhadap narapidana dikenal dengan nama pemasyarakatan.
pembinaan dilakukan oleh petugas pemasyarakatan. Menurut Pasal 7 ayat (1) UU
Pemasyarakatan yang dimaksud dengan petugas pemasyarakatan adalah pejabat
12Ibid,hal.174.
16
fungsional penegak hukum yang melaksanakan tugas dibidang pembinaan,
pengamanan, dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Tujuan dari
pembinaan menurut Pasal 2 UU Pemasyarakatan adalah untuk membentuk warga
binaan pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat kembali ke
dalam lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, hidup
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Untuk melaksanakan proses pembinaan, maka dikenal 10 prinsip pokok
pemasyarakatan, yaitu :
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan pembalasan dendam dari negara
3. Rasa tobat tidaklah dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan
bimbingan
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih
jahat dari pada ia sebelum masuk Lapas
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu semata hanya diperuntukan bagi kepentingan lembaga atau negara
saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan
negara
17
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan terhadap narapidana harus
berdasarkan pancasila
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia
meskipun ia telah tersesat
9. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
10. Sarana fisik lembaga ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan
sistem pemasyarakatan.13
Pembinaan narapidana tidak hanya pembinaan terhadap mental spritual
(pembinaan kemandirian), tapi juga pemberian pekerjaan selama berada di
Lembaga Pemasyarakatan (pembinaan keterampilan) dan olahraga. Berdasarkan
Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 31 Tahun 1999, pelaksanaan pembinaan meliputi
kepribadian dan kemandirian.
Hukum pidana mengenal teori penjatuhan pidana, Ada tiga teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana :14
1. Teori absolute atau teori pembalasan ( Vergeldings theorin )
2. Teori relative atau Tujuan ( doeltheorien )
3. Teori gabungan ( Verenigings theorien )
Teori yang pertama muncul pada akhir abad ke 18.Teori pembalasan
mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti
13 A Josias dan Simon R-Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.
14
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan Indonesia, PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
1993,hal.21.
18
memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu
kejahatan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu
dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan.15
Pidana terlepas dari dampaknya dimasa depan, karena telah dilakukan
suatu kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman, dalam ajaran absolute ini
terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan
pidana sebenarnya tidak berguna bahkan memiliki dampak yang lebih buruk
terhadap pelaku kejahatan. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana
mempunyai dua arah yaitu :
a. Ditujukan pada penjahatnya ( Sudut Subjektif )
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan
masyarakat ( Sudut Objektif )
Teori yang kedua ialah teori relative atau teori tujuan. Teori ini
berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakan tata tertib (
hukum ) dalam masyarakat. Pidana adalah untuk mencegah timbulnya suatu
kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori
relatif penjatuhan pidana tergantung dari efek yang diharapkan dari penjatuhan
pidana itu sendiri, yakni agar seseorang tidak mengulangi perbuatannya.
Sementara itu, sifat pencegahan dari teori ini ada 2 ancaman yaitu :
15Ibid, hal. 29.
19
a. Teori pencegahan umum. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada
penjahat ditujukan agar orang-orang menjadi takut untuk berbuat
kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh
masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang
serupa dengan penjahat itu.
b. Teori pencegahan khusus. Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah
pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi
melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk
untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata.
Teori yang ketiga adalah teori gabungan.Teori ini mendasarkan pidana
pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata
lain, dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu
tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk
dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat.
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.16
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa
inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan
16Muhammad zainal abidin & Iwayan Edy kurniawan, Op.cit, hal. 39
20
memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki makna
“berhasil guna”. Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan
sebagai keberhasil-gunaan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri. L.J Van Apeldoorn, menyatakan bahwa efektivitas
hukum berarti keberhasilan, kemajemukan hukum atau Undang-Undang untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.17
Secara terminologi pakar
hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektivitas
sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang masing-masing.
Soerjono Soekanto berbicara mengenai efektivitas suatu hukum ditentukan antara
lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para
penegak hukumnya.18
Efektivitas hukum dilain pihak juga dipandang sebagai
tercapainya tujuan hukum. Menurut Soerjono Soekanto, dalam ilmu sosial antara
lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatutan atau ketaatan hukum atau
kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor
yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini
hukum.19
Efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum
baik penegak hukum, subtansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga
tidak terjadi ketimpangan antara das solendan das sein. Hal ini sesuai dengan
17Van Apeldoorn, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Ke 30,
hal.11.
18
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung, hal.62.
19
Ibid, hal.20.
21
pendapat Lawrence M.Friedman yang mengemukakan bahwa dalam sistem
hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur, substansi dan kultur hukum.20
Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi
termasuk didalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan jaksanya,
pengadilan dengan hakimnya. Substansi adalah keseluruhan aturan hukum
termasuk asas hukum dan norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak
tertulis termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum diartikan sebagai kebiasaan-
kebiasaan, opini-opini, cara bertindak dan cara berpikir.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto, antara lain :21
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam tulisan ini akan dibatasi Undang-
Undang saja
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
20Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-Undang (LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal.
Kencana, Jakarta, hal.225
21
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta,hal.5.
22
Substansi hukum itu adalah Peraturan Perundang-undangan, Struktur
Hukum itu sering disebut penegak hukum, budaya hukum itu sangat luas, dapat
dipahami budaya hukum itu adalah kepatuhan masyarakat.
Kebudayaan (Culture) berarti keseluruhan dan hasil manusia hidup
bermasyarakat berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota
masyarakat yang merupakan kepandaian, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat kebiasaan, pengertian ini pertama kali dikemukakan oleh E.B Tylor dalam
bukunya Primitive Culture di New York.22
Jadi dari pengertian itu, kebudayaan lebih dari kesenian, melainkan ada
kepandaian, hukum, moral, dan termasuk kepercayaan, itu menunjukan budaya
bukan hanya seni.
penulisan ini menggunakan teori pemasyarakatan, teori efektivitas hukum,
dan teori pemidanaan khususnya teori tujuan (relative).
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis yuridis empiris. Pendekatan
yuridis artinya mendekati permasalahan dari segi hukum yakni berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
22Hassan Shadily, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan, Jakarta, hal.81.
23
Sedangkan pendekatan dari segi empiris yaitu permasalahan yang terjadi
dalam masyarakat. Pendekatan empiris adalah penelitian hukum positif tidak
tertulis mengenai perilaku angggota masyarakat dalam hubungan hidup
bermasyarakat. Penelitian hukum empiris bertujuan untuk mengetahui sejarah
mana bekerjanya hukum di dalam masyarakat.23
Penelitian yuridis empiris ini, permasalahan dikaji dengan melakukan
pendekatan langsung di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu dalam hal pelaksanaan
pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar lalu dikaitkan dengan ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31/1999
khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan.
b. Jenis Pendekatan
Pembahasan dalam penelitian ini akan di kaji dengan pendekatan
Perundang-undangan ( the statue approach ), pendekatan analisis konseptual
(analitycal and conceptual approach), dan pendekatan Fakta (The Fact
Approach). Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah
peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu Pasal 2
dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan, kemudian dikaitkan dengan permasalahan
pelaksanaan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar. Pendekatan konseptual,
yaitu penelitian terhadap konsep-konsep hukum, Seperti sumber hukum, fungsi
hukum, lembaga hukum, dan sebagainya. Pendekatan fakta dalam hal ini penulis
23Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Denpasar, hal.68.
24
juga melihat fakta – fakta yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar yang berkaitan
dengan efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam Pembinaan narapidana.
c. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yaitu deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk
pula didalamnya ilmu hukum yang bertujuan menggambarkan secara
komferhensif gejala-gejala dalam masyarakat. Serta, menghubungkan antara
gejala satu dengan gejala lainnya.24
Penelitian ini bermaksud untuk
mendeskripsikan mengenai penyelenggaraan pembinaan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
d. Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data
primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang bersumber dari suatu penelitian lapangan,
yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber lapangan yaitu baik
dari responden maupun informan. Data primer yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung di
ruang Kepala Pengamanan Lapas dan di ruang Kasi. Binadik Lapas Klas
IIA Denpasar.
2. Data sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan, yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber
24Zainudin Ali, 2009, Merode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,hal.25.
25
pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah
terdokumenkan. Terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier.
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji Menyatakan bahwa dalam
suatu penelitian ini mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer (bahan-
bahan hukum yang mengikat), bahan hukum sekunder (yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer), dan bahan hukum tertier (bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder).25
Ketiga bahan hukum tersebut disebut data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat. Bahan hukum primer yang terdiri dari Peraturan Perundang-
undangan, yaitu UU Pemasyarakatan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
e. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a) Teknik Wawancara
Teknik wawancara menurut Norman K.Densim dapatlah diartikan
sebagai “any face to conversational excange where one person elicits
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta, hal.39.
26
information from another”26
yang dimaksud dengan hal ini adalah segala
bentuk percakapan, dimana seseorang mendapatkan informasi dari orang
lain. Teknik wawancara yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan
dengan permasalahan penelitian terhadap Bapak I Wayan Agus Miarda
selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar, Bapak I Wayan Putu Sutresna selaku Kasi. Bimbingan napi dna
anak didik, dan Bapak Mikha Simanjuntak sebagai staff bimbingan
kemasyarakatan dan perawatan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar.
b) Teknik Studi Dokumen
Teknik studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang
relevan dengan permasalahan penelitian yaitu UU Pemasyarakatan, PP
No.31/1999 serta bahan bacaan yang berkaitan dengan efektivitas Lapas
dalam pembinaan narapidana.
f. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan
teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Sampel penelitian ditentukan sendiri oleh si peneliti dengan
mencari key information (informasi kunci) ataupun responden kecil yang
dianggap mengetahui tentang penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti.
26Sri Mamuji, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
47.
27
g. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisa data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah dengan menggunakan analisa kualitatif. Kualitatif yaitu menganalisis atau
menggambarkan data hasil penelitian dilapangan dengan cara kata-kata tanpa
menganalisis angka dan selanjutnya pengolahan data disajikan secara deskriptif
analisis yaitu menggambarkan secara lengkap tentang aspek yang berkaitan
dengan masalah berdasarkan literatur dan data lapangan. Kemudian pengolahan
dan analisis data dilakukan dengan cara deskripsi, sistematis, dan eksplanasi.
28
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI SISTEM PEMASYARAKATAN DAN
SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA
2.1 Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
2.1.1 Pengertian Sistem Pemasyarakatan
Sampai saat ini masih banyak perselisihan paham tentang apa yang
dimaksud dengan pemasyarakatan, sebagai pelaksanaan dalam gerak usahanya
mengidentikan pemasyaraktan itu dengan memberikan kelonggaran-kelonggaran
yang lebih banyak kepada narapidana. Sudarto memberikan definisi tentang
pemasyarakatan yaitu : Istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan
“resosialisasi” dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam
tata budaya Indonesia, dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat
Indonesia. Istilah yang digunakan itu sebenarnya tidak begitu penting, kita tidak
boleh terpancing kepada istilah, dalam hal ini yang penting ialah pelaksanaaan
dari prinsip-prinsip pemasyarakatan itu sendiri, bagaimanakah cara-cara
pembinaan para narapidana itu dalam kenyataannya dan bagaimanakah hasilnya.27
Mengenai pengertian resosialisasi ini Rosslan Saleh menyatakan bahwa
27Hendro Purba, Pengertian Tentang Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2
Februari 2015, available from : URL : Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-
tentang-sistem.html#
29
usaha dengan tujuan bahwa terpidana akan kembali kedalam masyarakat
dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia dapat hidup dalam masyarakat tanpa
melakukan lagi kejahatan-kejahatan.28
Kemudian Romli Atmasasmita memberikan batasan tentang resosilialisasi
ini sebagai berikut : Suatu proses interaksi antara narapidana, petugas Lembaga
Pemasyarakatan dan masyarakat, dan ke dalam proses interaksi mana termasuk
mengubah sistem, nilai-nilai daripada narapidana, sehingga ia akan dapat dengan
baik dan efektif mereadaptasi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.29
Jelas inti dari proses resosialisasi ini adalah mengubah tingkah laku
narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yag dianut oleh
masyarakat dengan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan motivasi
narapidana sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.
Surat keputusan kepala direktorat Pemasyarakatan Nomor.K.P.10.13/3/1,
tanggal 8 Februari 1985, menentukan suatu konsepsi tentang Pemasyarakatan
sebagai berikut :
Pemasyarakatan adalah suatu proses, proses theurapeuntie dimana si
narapidana pada waktu masuk Lembaga Pemasyarakatan berada dalam
keadaan tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai
hubungan yang negative dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana lalu
mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam
masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana
dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian
( keharmonisan hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang
merugikan).
28Ibid.
29
R.Achmad S.Soema Dipradja,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan di
Indonesia, Bandung : Percetakan Ekonomi, hal.19.
30
Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan bagi narapidana yang
bertujuan mengadakan perubahan-perubahan yang menjurus kepada kehidupan
yang positif, para petugas pemasyarakatan merupakan yang menjalankan peran
penting sebagai pendorong, penjurus dan pengantar agar proses tersebut dapat
berjalan dengan lancar sehingga mencapai tujuan dengan cepat dan tepat.
Pasal 1 butir 2 UU Pemasyarakatan, menentukan bahwa sistem
Pemasyarakatan adalah :
Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
anatara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas
warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Sistem pemasyarakatan juga dapat diartikan sebagai suatu cara perlakuan
terhadap narapidana yang dijatuhi pidana hilang kemerdekaan, khususnya pidana
penjara, dengan mendidik, membimbing dan mengarahkan narapidana, sehingga
setelah selesai menjalani masa pidananya ia dapat kembali menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara, serta tidak melakukan
kejahatan lagi.
31
2.1.2 Sejarah Singkat Sistem Pemasyarakatan di Indonesia
Upaya perbaikan terhadap pelanggar hukum, baik yang berada dalam
penahanan sementara maupun yang sedang menjalani pidana, terus diadakan dan
ditingkatkan sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Upaya tersebut tidak hanya terjadi pada bangsa
Indonesia, akan tetapi juga pada bangsa-bangsa lain sejalan dengan pergerakan
kemerdekannya, terutama setelah perang dunia ke-2.
Pada tahun 1933 The International Penal and Penitentiary Comission
(IPPC) atau dalam bahasa Indonesianya Komisi Internasional Pidana dan
Pelaksanaan Pidana, telah merencanakan perbaikan sistem pemindanaan di
seluruh negara dan pada tahun 1934 mengajukan rencana tersebut untuk disetujui
oleh The Assembly Of The League Of Nation ( Rapat Umum Organisasi Bangsa-
bangsa). Setelah diadakan perbaikan-perbaikan oleh sekretariat PBB, naskah IPPC
tersebut disetujui oleh kongres PBB pada tahun 1955, yang kita kenal dengan
Standart Minimum Rules (SMR) dalam pembinaan narapidana, Standart Minimum
Rules (SMR) ini menetapkan hak-hak bagi narapidana yaitu :
1. Akomodasi
2. Kebersihan pribadi
3. Pakaian dan tempat tidur
4. Makanan
5. Latihan dan olahraga
6. Pelayanan kesehatan
32
7. Disiplin dan hukum
8. Alat-alat penahanan
9. Informasi kepada dan keluhan oleh narapidana
10. Hubungan dengan dunia luar
11. Mendapatkan buku/informasi ( Koran/TV )
12. Berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut narapidana
tersebut
13. Penyimpanan harta kekayaan narapidana
14. Pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan, dan sebagainya
15. Personal lembaga
16. Pengawasan terhadap narapidana
Kemudian pada tanggal 31 Juli 1957 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB
(Resolusi No.663c XXIV) menyetujui dan menganjurkan pada pemerintahan dari
setiap negara untuk menerima dan menerapkannya.30
Bahroedin Soerjobroto menggambarkan susunan pertumbuhan ajaran untuk
pidana penjara di Indonesia dimulai dari beralihnya teori retributif kepada teori
punitif, yang dianggap memulai peranan sebenarnya sebagai ancaman pidana.
Selanjutnya tiba giliran teori punitif mendapat tantangan aliran baru dari teori
rehabilitatif. Sedangkan dikemudian hari teori rehabilitatif mulai terdesak oleh
pembinaan ( Treatment ).31
Teori punitif yang memegang peranan hukuman yang
30Sipirprodeo, Sejarah Sistem Pemasyarakatan, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015,
available from : URL:Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-
pemasyarakatan/
31
Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang, hal.9.
33
sebenarnya sebagai ancaman pidana penjara inilah yang kemudian dapat
membawa perkembangan pidana penjara ke arah non-punitif, yaitu dengan metode
pembinaan dan bimbingan dalam upaya treatment ( pembinaan ).32
Sebelum menganut sistem pemasyarakatan, di Indonesia sistem pemidanaan
yang dianut ialah sistem penjara. Sistem penjara ini memandang bahwa hukuman
merupakan isolasi terhadap penjahat untuk melindungi masyarakat, lebih
mengutamakan pembalasan atau memuaskan dendam masyarakat terhadap si
penjahat, dan sama sekali tidak ada unsur pembinaan terhadap sipelaku kejahatan
tersebut. Titik awal transformasi sistem pemidanaan Indonesia dari sistem penjara
ke sistem pemasyarakatan ini ialah, berkat peran ilmu kriminologi dan hukum
pidana yang mulai memikirkan usaha-usaha rehabilitasi terhadap narapidana, dan
disepakati Standart Minimum Rules For the Treatment of Prisoners.
Upaya untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan dibidang tata
perlakuan narapidana di Indonesia diawali oleh Sahardjo yang menjabat sebagai
Menteri Kehakiman pada saat itu. Tepatnya pada tanggal 15 Juli 1963 di Istana
NegaraRI dalam penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa bidang hukum, ia
mengemukakan pada saat itu bahwa : Tiap orang adalah manusia dan harus pada
narapidana bahwa ia itu penjahat. Sebaliknya ia harus selalu merasa bahwa ia
dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.33
Pandangan ini yang menjadi dasar
dari Lembaga Pemasyarakatan, yaitu Griya Winaya Jamna Miwarga Laksa
32 Bambang Poernomo, Op.cit, hal.52.
33
Akhmad Sekhu, Sejarah hari Penjara ke LAPAS, data diakses pada tanggal 2 Februari 2015,
available from : URL:Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPAS-
napi-juga-manusia/.
34
Dharmesti. Yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar
patuh kepada hukum dan berbuat baik.
Gagasan tentang pemasyarakatan ini mencapai puncaknya pada tanggal 21
April 1964 konferensi nasional kepenjaraan di grand hotel Lembang, Bandung.
Konferensi yang diikuti oleh setiap direktur penjara seluruh Indonesia, konferensi
ini berhasil merumuskan prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan
terhadap narapidana dan anak didik. Kesepuluh prinsip pemasyarakatan yang
disepakati sebagai pedoman, pembinaan terhadap narapidana di Indonesia
tersebut, yaitu34
:
1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertaubat
4. Negara tidak berhak membuat mereka lebih buruk atau jahat dari pada
sebelum dijatuhi hukuman pidana
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik
harus dikenalkan dengan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
bersifat pengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan
menjunjung usaha peningkatan produksi.
34Marlina, Op.cit,hal.124.
35
7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
harus berdasarkan pancasila
8. Narapidana dan anak didik sebagai orang-orang yang tersesat adalah
manusia, dan mereka harus diperlakukan sebagai manusia
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan
sebagai satu-satunya derita yang dialaminya
10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi
rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.
Perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang telah
dilaksanakan sejak lebih dari 40 tahun tersebut semakin mantap dengan
diundangkannya UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diatur pula
tentang hak-hak bagi narapidana. Hak-hak yang dimaksud dapat dilihat pada Pasal
14 ayat (1) UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa narapidana berhak
untuk :
1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan
2. Mendapat perawatan baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Mendapat pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak di larang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
36
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
13. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan
yang berlaku.
Adanya Pemasyarakatan maka semakin kokoh usaha-usaha mewujudkan
suatu sistem pemasyarakatan yang bersumber dan berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2.1.3 Tujuan Sistem Pemasyarakatan
Perkembangan pembinaan terhadap narapidana berkaitan erat dengan tujuan
pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya
berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan nilai dan hakekat yang tumbuh di masyarakat.35
Tujuan perlakuan
terhadap narapidana di Indonesia dimulai sejak tahun 1964 setelah Sahardjo
mengemukakan dalam konferensi kepenjaraan, jadi mereka yang berstatus
35C.I.Harsono, 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta,hal.13.
37
narapidana bukan lagi dibuat jera melainkan dibina untuk kemudian
dimasyarakatkan kembali.36
Tujuan dari pembinaan dan tujuan dari penyelenggaraan Sistem
Pemasyarakatan dapat ditemukan dalam Pasal 2 dan 3 UU No.12 Tahun
1995tentang pemasyarakatan, yaitu :
Pasal 2 :
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Pasal 3:
sistem Pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyakarat,
sehingga dapat berperan aktif kembali sebagai anggota masyarakat yang
bebas dan bertanggung jawab.
Pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan merupakan bagian dari
sistem pemasyarakatan untuk menegakan hukum pidana. Berdasarkan Pasal 2
dan Pasal 3 UU Pemasyarakatan maka dapat diketahui bahwa tujuan dari sistem
pemasyarakatan adalah untuk mengembalikan warga binaan menjadi warga yang
baik sehingga dapat diterima kembali di dalam masyarakat.
2.1.4 Asas Penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan
36Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung, hal.86.
38
Menurut Pasal 5 UU Pemasyarakatan, sistem pembinaan terhadap
narapidana harus dilaksanakan berdasarkan asas :
1. Pengayoman
Yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan kepada warga
binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari
pengulangan perbuatan pidana oleh Warga Binaan dengan cara
memberikan pembekalan melalui proses pembinaan.37
2. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Seluruh Warga Binaan di Lembaga Pemasyarakatan diperlakukan dan
dilayani sama tanpa membeda-bedakan latar belakang orang ( non
diskriminasi )
3. Pendidikan dan Pembimbingan
Pelayanan di bidang ini dilandasi dengan jiwa kekeluargaan, budi pekerti,
pendidikan rohani, kesempatan menunaikan ibadah, dan keterampilan
dengan berlandaskan pancasila.
4. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Asas ini dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang
dianggap orang yang “tersesat”, tetapi harus diperlakukan sebagai
manusia.
5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan
37A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung, hal.1.
39
Yang dimaksud diatas adalah bahwa Warga Binaan hanya ditempatkan
sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatlan
rehabilitasi dari negara
6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu
7. Adanya upaya didekatkan dan dikenalkan kepada masyarakat sehingga tidak
menimbulkan keterasingan dengan cara kunjungan, hiburan ke dalam
Lapas, serta berkumpul dengan sahabat maupun keluarga.
Asas-asas pembinaan tersebut pada prinsipnya mencakup 3 pikiran
pemasyarakatan yaitu sebagai tujuan, proses dan motode.38
a. Sebagai tujuan berarti dengan pembimbingan pemasyarakatan diharapkan
narapidana dapat menyadari perbuatannya dan kembali menjadi warga
yang patuh dan taat pada hukum yang berlaku
b. Sebagai proses berarti berbagai kegiatan yang harus dilakukan selama
pembinaan dan pembimbingan berlangsung
c. Sebagai metode merupakan cara yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan pembinaan dan pembimbingan dengan sistem pemasyarakatan.
Seluruh proses pembinaan narapidana dengan sistem pemasyarakatan
merupakan suatu kesaturan yang integral untuk mengembalikan narapidana
kepada masyarakatan dengan bekal kemampuan (mental, phisik, keahlian,
38 Romli Atmasasmita, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan, Rineka,
Bandung, hal.12.
40
keterpaduan, sedapat mungkin pula financial dan material) yang dibutuhkan untuk
menjadi warga yang baik dan berguna.39
2.2 Pengertian Sistem Pembinaan dan Pola Pembinaan Narapidana
2.2.1 Pengertian Sistem Pembinaan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang yang telah melakukan
tindak pidana dan dijatuhi vonis oleh pengadilan akan menjalani hari-harinya
didalam rumah tahanan atau Lembaga Pemasyarakatan sebagai perwujudan dalam
menjalankan hukuman yang diterimanya. Dalam Lembaga Pemasyarakatan itu,
orang tersebut akan menyandang status sebagai narapidana dan menjalani
pembinaan yang telah di programkan.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa
“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani narapidana dan anak didik Pemasyarakatan”.
Pembinaan narapidana yang dikenal dengan pemasyarakatan untuk pertama
kalinya dikemukakan oleh Sahardjo, pada waktu diadakan konferensi Dinas
39Djisman Samosir, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan Narapidana di
Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,hal.13.
41
Kepenjaraan di Lembang, mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari
sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan.40
Efektivitas pidana penjara terletak pada aspek pencegahan, yaitu seberapa
jauh pidana penjara berpengaruh terhadap narapidana sehingga dapat mencegah
narapidana tersebut untuk tidak mengulangi kejahatannya/menjadi
residivis.R.M.Jackson menyatakan, bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si
pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya
ditegaskan, bahwa efektivitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan antara
jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana
kembali.41
Sistem pembinaan inilah yang menjadi salah satu alternatif untuk
meningkatkan efektivitas pidana penjara sehingga jumlah narapidana yang
menjadi residivis akan semakin menurun.
Satu hal yang harus selalu diingat bahwa tindakan apapun yang dilakukan
terhadap narapidana baik dalam rangka pembinaan atau lainnya harus bersifat
mengayomi dan tidak bertentangan dengan tujuan pemasyarakatan. Seperti yang
diungkapkan oleh bahrudin Surjobroto : Dengan menerapkan sistem
pemasyarakatan, narapidana harus diayomi dengan cara memberinya bekal hidup
supaya ia menjadi warga yang berguna dalam masyarakat. Dengan memberikan
40Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Universitas
Dipenogoro, Semarang, hal.38.
41
Ibid,hal.218.
42
pengayoman tersebut jelas bahwa penjatuhan pidana penjara bukanlah dimaksud
sebagai tindakan balas dendam dari negara.42
Mengenai perubahan tujuan pembinaan narapidana dari sistem kepenjaraan
ke sistem pemasyarakatan. Dasar hukum sistem perlakuan terhadap narapidana
ialah :
1. Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch Indie ( Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana ) S.1915 No.732 jo. 1917 No.947, Undang-Undang No.1
Tahun 1946 jo. Undang-Undang No.73 Tahun 1958, Pasal 1 Aturan
Peralihan UUD 1945 dan Pasal 1 peraturan Presiden No.2 Tahun 1945
tanggal 10 oktober 1945.
2. Gestichen Reglemen (Reglemen Penjara) S.1917 No.708
3. Dwangopvoeding Regeling (DOR) S.1917 No. 749
4. Regeling vorwaardelijke veroodeiling S. 1926 487.43
Sistem kepenjaraan bertujuan untuk membuat narapidana jera dan tidak
mengulangi perbuatannya lagi, maka orientasi pembinaannya lebih bersifat “Top
Down Approach”,44
yaitu program-program pembinaan yang diberikan kepada
narapidana. Penentuan program yang bersifat “ Top Down Aprroach “ ini
dilandasi pertimbangan keamanan, keterbatasan sarana pembinaan, dan
pandangan bahwa narapidana hanyalah objek semata, dimana narapidana sebagai
objek tidak dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhannya.
Lahirnya Undang-Undang Pemasyarakatan telah melalui proses perjalanan
yang panjang, Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan sesungguhnya telah
42Bahrudin Surjobroto, 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan, Departemen
kehakiman RI, jakarta, hal. 5
43
Serikat Putra jaya, loc.cit.
44
Serikat Putra Jaya, Loc.it.
43
selesai pertama kali pada tahun 1972, tetapi karena dianggap belum mendesak
oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, maka Rancangan Undang-Undang
tersebut tidak dilanjutkan kembali. Begitu pula dengan Rancangan Undang-
Undang pemasyarakatan yang kedua, dimana Rancangan Undang-Undang
tersebut tidak dilanjutkan kembali ke DPR oleh pemerintah.
Sedangkan dalam hal pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No.31 Tahun
1999 ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No.12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka program pembinaan warga binaan
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan ditekankan pada kegiatan
pembinaan kepribadian seperti menyadari kesalahannya, dapat memperbaiki diri,
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat. Adapun pembinaan kemandirian diarahkan pada
pembinaan bakat dan keterampilan agar warga binaan pemasyarakatan berperan
kembali warga masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
2.2.2. Pola Pembinaan Narapidana
Sistem pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan
berbagai tahapan dan dilakukan oleh para pembina. Sejak narapidana masuk ke
dalam lingkungan Lembaga Pemasyarakatan, maka saat itu narapidana menjalani
pembinaan yang dalam pelaksanaan programnya tidak terlepas dari unsur
44
masyarakat dan bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya, sehingga
narapidana dengan masyarakat itu dapat sembuh kembali dari segi-segi negatif.
Jangka waktu dari masing-masing tahap yang satu kepada tahap berikutnya tidak
sama serta dalam pelaksanaan proses pembinaan ini maju mundurnya tergantung
dari narapidana yang bersangkutan dan kadang-kadang ada kalanya mengulangi
lagi sebagian dari proses atau tahap yang dilalui terutama jika belum mencapai
hasil yang memadai. Artinya masing-masing narapidana membutuhkan waktu
yang berbeda-beda tergantung dari keadaan narapidana yang bersangkutan.
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1991 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan bahwa pembina
pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan
narapidana dan anak didik pemasayarakatan di Lapas. Jadi, hanya pembina
pemasyarakatan inilah yang berhak untuk memberikan pembinaan bagi
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Dalam sistem pemasyarakatan,
pembinaan dan bimbingan yang dilakukan oleh para pembina, melalui tahap-tahap
yaitu : adminisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi.45
a. Tahap admisi dan orientasi, dimulai sejak warga binaan pemasyarakatan
memasuki lembaga dengan suatu kegiatan, meliputi pengenalan terhadap
suasana lembaga, petugas-petugas lembaga/pembina, tata tertib/disiplin, hak
dan kewajiban selama berada dilembaga. Jangka waktu tahap admisi ini
adalah 1 (satu) minggu bagi tahanan dan 1 (satu) bulan bagi warga binaan
45Serikat Putra Jaya, Op.cit, hal.39.
45
pemasyarakatan. Pada tahapan ini dikenal sebagai pengenalan dan penelitian
lingkungan (MAPENALING).
b. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per
dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat
(maximum security) dengan tujuan agar warga binaan pemasyarakatan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan peraturan-peraturan yang berlaku
terutama dalam hal perilaku.
c. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per
tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini mulai diperkenalkan warga binaan
pemasyarakatan dengan jati diri (kecerdasan, mental, dan iman) secara lebih
mendalam pada masyarakat sekeliling lembaga melalui olahraga, pramuka dan
lain-lain. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang (medium security).
d. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani
2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada
tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security). Bagi warga
binaan pemasyarakatan yang betul-betul sadar dan berkelakuan baik
berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan dapat mengusulkan :
cuti biasa, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat.
Sedangkan ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman Tahun 1990 No. M-02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan, dapat dibagi dalam 2 (dua) bidang yakni :
1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :
a. Pembinaan Kesadaran Beragama
46
Usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan imannya terutama memberikan
pengertian agar warga binaan pemasyarakatan dapat menyadari akibat-
akibat dari perbuatan-perbuatan yang benar-benar dan perbuatan-perbuatan
yang salah. Pembinaan kesadaran beragama ini bertujuan agar para
narapidana dapat meningkatkan kesadaran terhadap agama yang mereka
anut.
b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Usaha ini dilaksanakan melalui pembinaan pengenalan pancasila. Untuk
itu pembinaan ini diberikan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran
berbangsa dan bernegara dalam diri para narapidana. Dengan tumbuhnya
kesadaran berbangsa dan bernegara, diharapkan setelah para narapidana
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, mereka dapat menjadi warga binaan
yang baik dapat memberikan sesuatu yang berguna bagi bangsa dan
negaranya.
c. Pembinaan Kemampuan Intelektual ( Kecerdasan)
Usaha ini diperlukan agar pengetahuan serta kemampuan berpikir warga
binaan pemasyarakatan semakin meningkat sehingga dapat menunjang
kegiatan-kegiatan positif yang diperlukan selama masa pembinaan.
Pembinaan intelektual dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal
maupun melalui pendidikan non formal, pendidikan formal,
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada yang
ditetapkan oleh pemerintah agar dapat ditingkatkan semua warga binaan
pemasyarakatan.
47
d. Pembinaan kesadaran hukum
Pembinaan kesadaran hukum warga binaan pemasyarakatan dilaksanakan
dengan memberikan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai
kadar kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai anggota masyarakat,
mereka menyadari hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakan
hukum dan keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia,
ketertiban, ketentraman, kepastian hukum dan terbentuknya perilaku setiap
warga negara indonesia yang taat pada hukum. Penyuluhan hukum
bertujuan lebih lanjut untuk membentuk keluarga sadar hukum
(KADARKUM) yang dibina selama berada didalam lingkungan
pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah masyarakat.
e. Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat
Pembinaan dibidang ini dapat dikatakan juga pembinaan kehidupan sosial
kemasyarakatan, yang bertujuan pokok agar bekas narapidana mudah
dapat diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya. Untuk mencapai
ini, kepada mereka selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina terus
untuk patuh beribadah dan dapat melakukan usaha-usaha sosial secara
gotong royong, sehingga pada waktu mereka kembali kemasyarakat
mereka telah memiliki sifat-sifat positif untuk dapat berpartisipasi dalam
pembangunan masyarakat lingkungannya.
2. Pembinaan Kemandirian
a. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri misalnya kerajinan
tangan, industri rumah tangga dan sebagainya
48
b. Keterampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya
pengolahan bahan mentah dari sektor pertanian dan bahan alam menjadi
bahan setengah jadi
c. Keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing,
dalam hal ini bagi mereka yang memiliki bakatnya itu. Misalnya
kemampuan dibidang seni, maka diusahakan untuk disalurkan ke
perkumpulan seniman.
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan tidak hanya
memperhatikan kesalahan narapidana semata, melainkan juga memperhatikan ke
masa depan mereka setelah keluar dari Lapas. Hal ini dapat dilihat dari pembinaan
dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana meliputi bidang yang bersifat
kepribadian dan kemandirian (keterampilan).
2.3 Sejarah Singkat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Sekitar tahun 1936, yaitu zaman kolonial belanda telah dibangun rumah
penjara di daerah Pekambingan Jalan Dipenogoro Denpasar, semenjak Indonesia
merdeka maka seluruh peninggalan Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah
RI, kemudian pada tahun 1964 penjara yang ada di Indonesia berubah menjadi
Lembaga Pemasyarakatan dengan dicanangkan sistem Pemasyarakatan oleh
Suhardjo, sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Bertolak dari pandangan
49
Sahardjo, tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan
terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara.46
Pada tahun 1976 baru di Badung Lapas Klas IIA Denpasar yang terletak di
Jl. Tangkuban Perahu PO.BOX. 884 Banjar Pengubengan Kangin, Desa
Kerobokan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Lapas Klas IIA
Denpasar Merupakan pindahan dari Lapas di Jalan Dipenogoro dan mulai
dioperasikan pada tahun 1983. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
berdiri di atas tanah seluas 43.220 m2, dengan memiliki kapasitas bangunan
sebanyak 336 orang penguhi, selain itu pula terdapat perumahan dinas bagi
petugas Lapas Klas IIA Denpasar, yang berada di luar bangunan Lapas seluas
3220 m2.
46Dwija Priyatno, Op.cit, hal.97.
50
BAB III
PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS IIA DENPASAR
3.1 Gambaran Umum dan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar
3.1.1 Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Lapas Klas IIA Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang bernaung di
bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Propinsi Bali.
Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan pada tanggal 15 Agustus 1983.
Adapun perbatasannya, sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk,
sebelah selatan berbatasan dengan pemukiman dan pertokoan, sebelah barat
berbatasan dengan pemukiman penduduk.
Secara fisik keseluruhan bangunan yang dimiliki oleh Lapas Klas IIA
Denpasar terdiri dari beberapa bangunan dan ruang perkantoran, agar lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 01
Jenis dan Luas Bangunan Lapas Klas IIA Denpasar
51
Wisma Luas Bangunan
(dalam m2)
1 A 156
2 B 156
3 C 225
4 D 225
5 E 225
6 F 225
7 G 225
8 H 225
9 I 225
10 J 225
11 K 96
12 Tahanan Wanita 96
13 Narapidana Wanita 396
14 Maksimum Security 396
15 Pengangsingan 64
Sumber : Kasubag Tata Usaha Lapas Klas IIA Denpasar
Selain itu, terdapat pula bangunan lain pendukung Lapas Antara Lain :
- 3 buah bangunan perkantoran dengan luas 6000 m2
- 1 buah bangunan poliklinik dan ruang laboratorium dengan luas 120 m2
- 1 buah bangunan dapur dengan luas 120 m2
52
- 2 buah bangunan bengkel kerja dengan luas 216 m2
- 1 buah bangunan masjid dengan luas 33 m2
- 1 buah bangunan pura dengan luas 33 m2
- I buah bangunan gereja dengan luas 33 m2
- I buah bangunan vihara dengan luas 16 m2
- 1 buah lapangan tennis, lapangan volley dengan luas 750 m2
- 1 buah lapangan upacara dengan luas 750 m2
- 7 buah pos jaga dengan luas masing-masing 63 m2
- 25 rumah dinas dengan type :
a. 11 buah type E luas 396 m2
b. 8 buah type D luas 350 m2
c. 6 buah type C luas 140 m2
- 1 buah lapangan parkir mobil dan sepeda motor dengan luas 700 m2
3.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Sebagai efektifnya pada suatu organisasi dalam menjalankan mekanisme
guna tujuan bersama, harus memiliki struktur organisasi. Menurut SK Menteri
Kehakiman RI No. M.01-PR 35 35.31-03 Tahun 1985 tentang Struktur Organisasi
Lapas Klas IIA Denpasar di perlukan guna menentukan garis komando,
wewenang atau hak dan kewajiban setiap personel di atau lingkungan organisasi
sehingga tercipta sasaran kerja yang tertib, disiplin dan dinamis yang merupakan
syarat untuk mencapai tujuan.
53
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak. Dewa Gede Astara selaku
Kasubag. tata usaha Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari
Senin tanggal 6 April 2015 Pukul 10.15 Wita di ruangan bagian tata usaha, dalam
struktur organisasi di Lapas Klas IIA Denpasar, terdapat 1 (satu) orang kepala (
yang selanjutnya disebut KALAPAS ), 2 (dua) orang Ka. Sub Bagian yaitu
Ka.Sub Bag. Tata Usaha ( Ka. SUBAG TU) dan Kepala Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan ( Ka. KPLP ), 2 dua) orang Ka. Ur yaitu urusan kepegawaian dan
urusan umum. 3 (tiga) orang, Ka. Seksi yaitu bimbingan napi dan anak didik (
Kasie Binadik ), seksi kegiatan kerja ( Kasie. Giatja) dan seksi administrasi
kemanan dan tata tertib ( Kasie Minkamtib), dan 6 (enam) orang Ka. Sub Seksi
terdiri dari Sub. Sie bimbingan kemasyarakatan dan perawatan narapidana dan
anak didik (Ka. Subsie Bikemaswat ), Sub Sie Registrasi ( Ka. Subsie Registrasi ),
Sub Sie Bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja ( Ka. Subsie Bimker dan
Lolahaker ), Sub Sie Saranan Kerja, Sub Sie Kemanan dan Sub Sie Pelaporan dan
Tata Tertib.
54
Struktur Organisasi Lapas Klas IIA Denpasar
Uraian tugas dari bagian-bagian maupun seksi-seksi yang ada di Lapas Klas
IIA Denpasar adalah sebagai berikut :
a. Sub Bagian Tata Usaha
Bertugas melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lapas yang
terdiri atas :
- Urusan kepegawaian dan keuangan memiliki tugas dalam hal kepegawaian
dan keuangan
KALAPAS
Sudjonggo,Bc.Ip,SH
KA SUB BAG.TATA USAHA
DEWA GEDE ASTARA,SH.MH
KAUR KEPEG & KEU
NI GUSTI AYUMUDIARTINI,SH
KAUR UMUM
Drs.I GEDE SUARDIKA
KASI ADMINISTRASI KAMTIB
HERMANUS SETYO
HARTANTO,BcIP.,SH
KASI KEGIATAN KERJA
I GEDE PURWATA,SH
KASI BINADIK
I WAYAN PUTU
SUTRESNA,A.Md.IP.SH.MH
KEPALA KPLP
I WAYAN AGUS
MIARDA,A.Md.IP.SH
KASI ADMINISTRASI KAMTIB
HERMANUS SETYO
HARTANTO,BcIP.,SH
KASUBSI BIMKER & LOLAHAKER
DADANG FIRMANSYAH,Amd.IP,.SH
KASUBSI REGISTRASI
I MADE SUARDANA, SH
PETUGAS
KEAMANAN
KASUBSI PEPAORAN& TATIB
SARIJEM ,SE
KASUBSI SARANA KERJA
I WAYAN SUMAKERTA,SH
KASUBSI BIMKEMASY & PERAWATAN
NI NYOMAN BUDI
UTAMI,Amd.IP.S.Sos.MM
55
- Urusan umum mempunyai tugas melakukan surat menyurat, perlengkapan
dan rumah tangga Lapas.
b. Sub Bagian Narapidana dan Anak Didik
Bertugas memberikan bimbingan dan pembinaan terhadap narapidana dan
anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari :
- Sub seksi registrasi memiliki tugas dalam melakukan pencatatan,
administrasi dan pembuatan statistik (database), pemberian remisi serta
dokumen sidik jari narapidana (daktiloskopi)
- Sub seksi bimbingan kemasyarakatan dan perawatan memiliki tugas dalam
memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani dan memberikan pelatihan
olahraga, peningkatan pendidikan dan pengetahuan, program asimilasi,
cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelas bebas, dan pembebasan
bersyarat, memberikan kesejahteraan dan perawatan bagi narapidana dan
anak didik pemasyarakatan serta mengurus kesehatannya.
c. Seksi Kegiatan Kerja
Bertugas memberikan petunjuk dan bimbingan kegiatan kerja bagi
narapidana yang terdiri atas :
- Sub seksi bimbingan kerja dan pengelolaan hasil kerja mempunyai tugas
memberikan bimbingan dan pelatihan kerja kepada narapidana serta
mengelola hasil dari pekerjaan tersebut.
- Sub seksi sarana kerja mempunyai tugas dalam mempersiapkan fasilitas dan
sarana kerja
56
d. Seksi administrasi keamanan dan tata tertib
- Sub seksi keamanan mempunyai tugas dalam menerima laporan harian dan
berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan
laporan berkala di bidang kemanan dan penegakan tata tertib.
3.2 Penyelenggaraan Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar
Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dikenal dengan
nama pemasyarakatan. Berhasilnya pembinaan warga binaan pemasyarakatan di
Lapas merupakan tujuan yang paling utama sebagai akhir dari sistem peradilan
pidana di Indonesia. Tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah setelah warga
binaan pemasyarakatan mengikuti seluruh program pembinaan, diharapkan
mereka akan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga yang baik dan bertanggung jawab.
Masa pengenalan lingkungan atau admisi dan orientasi merupakan
tahap awal pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Setelah ditetapkan
di blok hunian atau wisma masing-masing, warga binaan akan diberitahukan oleh
pertugas pemasyarakatan mengenai tata tertib yang ada di Lapas, nama-nama
petugas serta seluruh staff pegawai, kewajiban dan hak warga binaan, cara
menyampaikan keluhan, dan segala sesuatu yang ada di lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Masa pengenalan lingkungan
57
(MAPENALING) dilakukan selama 7 hari (satu minggu). Sangat diharapkan agar
warga binaan dapat menyesuaikan diri dalam beradaptasi, sehingga diharapkan
agar warga binaan dapat menyesuaikan diri dan dapat beradaptasi, sehingga dapat
berinteraksi secara normal di dalam Lapas. Pada tahap ini dilakukan pengawasan
yang sangat ketat (maximum Security).
Pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dilaksanakan pada sebuah sarana yang
cukup memadai yang disebut bengker atau bengkel kerja. Pembinaan terhadap
warga binaan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan dan petugas
pengamanan.
Hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Putu
Sutresna,Amd.IP,SH.,MH, menjabat sebagai Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi
dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar pada hari senin
tanggal 13 April 2015 pukul 10.10 Wita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar, Proses pembinaan yang dilakukan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Tahap
selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus
untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama
7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga
Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya
menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :
58
1. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai 1/2 (satu per
dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat
(maximum security).
2. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai 1/2 (satu per dua) sampai 2/3 (dua per
tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam
Lapas ataupun di luar Lapas. Untuk diluar Lapas narapidana dengan kasus
tindak pidana umum akan ditempatkan di perusahan yang ingin menampung
Warga Binaan Pemasyarakatan dan mendapatkan Upah. Sedangkan untuk
narapidana dengan kasus Tindak pidana Khusus (Tipisus) khususnya Tindak
Pidana Korupsi akan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan sosial, yang
mana Warga Binaan Pemasyarakatan ini tidak mendapat upah karena dalam
hal ekonomi sudah di anggap mampu. Pada tahap ini pengawasan agak
berkurang (medium security).
3. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani
2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada
tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security) . Apabila
Warga Binaan Pemasyarakatan di nilai sudah berkelakuan baik selama
menjalani pembinaan, maka pada tahap ini dapat diajukan remisi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Bersyarat, dan Cuti mengunjungi Keluarga. Semua proses
tersebut harus melalui pengajuan terlebih dahulu yang kemudian akan di
tentukan lewat proses persidangan.
59
Selanjutnya Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP,SH.,MH
menjelaskan mengenai pola pembinaan yang diberikan kepada warga binaan
pemasyarakatan (WBP) meliputi :
1. Pembinaan kepribadian yang meliputi :
1) Pembinaan kesadaran beragama atau ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
Pembinaan kesadaran beragama dianggap pembinaan yang paling awal
harus diikuti oleh warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA
Denpasar. Pembinaan dibidang ini diharapkan mampu meningkatkan
kepercayaan dan kesadaran terhadap agama mereka masing-masing dan
insyaf atau menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan sebelum
ditempatkan pada Lapas adalah perbuatan yang dilarang oleh agama
mereka masing-masing. Dalam melaksanakan pembinaan kesadaran
beragama selaku Kasi. Binadik ( Bimbingan Napi dan Anak Didik
)melakukan kerjasama dibidang kegamaan, ataupun relawan yang
bersedia memberikan waktunya secara Cuma-Cuma. Dalam menjalankan
pembinaan di bidang keagamaan, di Lapas Klas IIA Denpasar terdapat
sarana dan prasarana peribadahan seperti :
a. Pura Padmasari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Pura padmasana merupakan saranan persembahyangan bagi warga
binaan pemasyarakatan yang beragama Hindu. Kegiatan
persembahyangan dilakukan tiga kali sehari (trisandya), dan kegiatan
persembahyangan bulanan pada hari purnama serta tilem. Warga
60
binaan khususnya yang beragama Hindu wajib menjaga kesucian dan
kebersihan pura padmasari. Dalam hal pembinaan kesadaran
beragama bagi warga binaan yang memeluk agama Hindu, diadakan
darma wacana setiap dua minggu sekali mulai dari pukul 10.00 hingga
12.00 wita yang diberikan oleh para narasumber dari Departemen
Keagamaan (Depag). Pemberian dharma wacana diharapkan mampu
memberikan kesadaran bagi warga binaan agar selalu mematuhi
segala perintahNYA dan menjauhi segala laranganNYA, sadar akan
kesalahan yang diperbuat, tidak mengulangi tindak pidana lagi, dan
mampu memotivasi merega agar menjadi warga yang baik dan
bertanggung jawab.
b. Mesjid Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Seperti kita ketahui mesjid merupakan tempat peribadatan bagi umat
muslim. Mesjid Lapas Klas IIA Denpasar digunakan bagi warga
binaan yang memeluk agama Islam. Kegiatan rutinitas mereka adalah
melakukan shalat lima waktu dan shalat jumat termasuk juga hari
besar keagamaan seperti hari raya idul fitri dan idul adha. Pembinaan
kesadaran beragama bagi warga binaan yang memeluk agama
Islamadalam pemberian pengajian, membaca Al-Qur’an, dan
kewajiban agar selalu ikut serta dalam menjaga kebersihan mesjid.
Lapas Klas IIA Denpasar bekerjasama dengan kementerian agama
melalui narasumber yang mewakili. Dalam hal ini, Warga Binaan
61
Pemasyarakatan Perempuan membentuk kelompok pengajian yang
terdapat struktur organisasi didalamnya.
c. Gereja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Sejak terjadi kerusuhan Lapas 21 Februari 2012 lalu, perayaan
kebaktian bagi warga binaan pemeluk agama Kristen hanya dilakukan
pada hari raya natal. Namun, di tahun 2015 ini umat kristiani di Lapas
Klas IIA Denpasar justru termasuk ke dalam Warga Pemasyarakatan
dengan aktivitas terdapat dalam bidang keagamaan. Setiap minggunya
ada pendeta dari berbagai kalangan baik dari departemen keagamaan
maupun dari LSM. Kegiatan rutinitas mereka adalah melakukan
kebaktian di gereja yang dipimpin oleh FKPK ( Forum Komunitas
Persatuan Kristen) yang berjumlah sebanyak 17 komunitas.
d. Cetia Dharmameta Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
Cetia dharmameta merupakan tempat peribadatan bagi warga binaan
Lapas Klas IIA Denpasar yang memeluk agama Budha. Dalam hal ini
warga binaan yang memeluk agama Budha melakukan rutinitas
persembahyangan yang diawasi oleh pegawai LAPAS. Perayaan hari
besar dilakukan pada hari besar keagamaan yaitu waisak. Dari ketiga
pemeluk agama lainnya, warga binaan pemasyarakatan yang
beragama Budha berjumlah paling sedikit yaitu sebanyak 14 warga
binaan.
62
2) Pembinaan kesadaran Hukum
Sejak warga binaan melakukan tindak pidana, mereka sudah dianggap
tidak sadar hukum atau peraturan yang berlaku, maka ketika mereka
ditempatkan di dalam Lapas, sangat diharapkan warga binaan
pemasyarakatan mampu menyadari akan hukum yang berlaku atau
setidaknya menaati peraturan-peraturan yang berlaku. Pembinaan
kesadaran hukum kepada warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Lapas
Klas IIA Denpasar adalah kewajiban seluruh warga binaan
pemasyarakatan tidak terkecuali menaati dan mematuhi segala peraturan
dan tata tertib yang berlaku di Lapas Klas IIA Denpasar.
kewajiban warga binaan pemasyarakatan selain mentaati dan mematuhi
seluruh peraturan yang berlaku di Lapas Klas IIA Denpasar adalah sebagai
berikut :
a. Taat menjalankan ibadah sesuai agama dengan kepercayaan masing-
masing serta memelihara kerukunan beragama di lingkungan
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar
b. Mengikuti seluruh kegiatan yang telah diprogramkan
c. Patuh, taat, dan hormat kepada seluruh petugas
d. Mengenakan seragam yang telah diberikan
e. Memelihara kerapian dalam berpakaian sesuai dengan norma
kesopanan
f. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian
63
g. Mengikuti apel pagi yang di pimpin langsung oleh petugas pengamanan
pada pukul 08.00 Wita
h. Mengikuti senam pagi yang dilaksanakan setiap hari dibedakan dalam
atas masing-masing wisma hunian mulai pukul 08.00 Wita.
3) Pembinaan kemampuan intelektual
Pembinaan kemampuan intelektual yang diprogramkan Lapas Klas IIA
Denpasar adalah program kursus bahasa inggris, Lapas Klas IIA Denpasar
bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin
memberikan pelajaran kursus bahasa inggris kepada warga binaan
pemasyarakatan. kursus bahasa inggris seharusnya wajib diikuti oleh
warga binaan, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua warga binaan
yang mau mengikuti pembelajaran bahasa inggris, melainkan warga
binaan yang memang tertarik untuk mengenal bahasa inggris. Kursus
bahasa inggris diadakan setiap hari kamis dan jumat yang dilakukan
diruangan perpustakaan Lapas Klas IIA Denpasar. Tujuan diadakan
kursus bahasa inggris adalah agar setelah menyelesaikan masa pidana di
Lapas, mereka mempunyai kemampuan berbahasa inggris dengan baik
untuk terjun langsung dibidang pekerjaan yang membutuhkan
kemampuan berbahasa inggris. Adapun hasil dari kursus bahasa inggris
ini, Warga Binaan Pemasyarakatan akan mendapatkan sertifikat dari LSM
terkait.
64
4) Pembinaan kesehatan jasmani dan rohani
Hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Bapak Mikha Simanjuntak
SH selaku staff bimbingan dan kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Denpasar pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul 10.00
Wita di Lapas Klas IIA Denpasar, pembinaan kesehatan jasmani dan
rohani yang diprogramkan di Lapas Klas IIA Denpasar adalah :
a. Terjaminnya kesehatan seluruh warga binaan pemasyarakatan
Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar tersedia sarana
poliklinik atau tempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan bagi
warga binaan pemasyarakatan. dalam poliklinik terdapat empat dokter
yang terdiri dari satu dokter umum, dua dokter gigi, dan dibantu oleh
delapan orang perawat yang mana mereka berada di Lapas setiap hari
senin sampai jumat terkecuali hari sabtu mereka hanya bertugas
setengah hari (sampai dengan pukul 12.00 Wita). Meski demikian,
Dokter Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang tinggal di
rumah dinas harus siap 24 (dua puluh empat) jam apabila ada
pemanggilan terhadapnya terkait kesehatan warga binaan
pemasyarakatan.
b. Pemberian makanan yang layak
Warga binaan pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar setiap
harinya memperoleh makanan yang dibagi menjadi dua jenis
makanan, yaitu menu makanan bagi WNI dan WNA. Di dalam
pembuatan menu makanan, warga binaan pemasyarakatanlah yang
65
harus memasak sendiri menu makanan di dapur yang tersedia pada
Lapas Klas IIA Denpasar namun masih diawasi oleh petugas dapur
yang berjumlah dua orang. Meskipun demikian, warga binaan juga
diperbolehkan menerima makanan yang diberikan kepada pihak
keluarga pada waktu jam besuk atau membeli makanan yang ada di
kantin Lapas yang dikelola oleh Koperasi Lapas Klas IIA Denpasar.
Tujuan warga binaan membuat menu makanan sendiri tidak lain
adalah memberikan bekal hidup khususnya dalam kemampuan
memasak dan mengolah makanan agar setelah warga binaan keluar
dari Lapas mereka bisa mempraktekan kemampuan yang telah
didapatkan pada saat menjalani hukuman di Lembaga
Pemasyarakatan.
c. Sarana olahraga sebagai penunjang kesehatan jasmani
Prasarana olaharaga seperti lapangan tennis, lapangan bola volley,
lapangan basket, lapangan sepak bola meski tidak seluas lapangan
pada umumnya, alat-alat fitness atau kebugaran, dan yang trerakhir
tennis meja. Dengan adanya fasilitas ini, warga binaan diharapkan
selain mengikuti program pembinaan yang lain, mereka dapat
bersantai dengan berolahraga di jam-jam tertentu. Fasilitas tersebut
dapat digunakan oleh seluruh warga binaan tanpa terkecuali.
66
2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi :
1) Pembinaan keterampilan kerja
Pembinaan keterampilan kerja yang diprogramkan di Lapas Klas IIA
Denpasar adalah keterampilan membuat kipas tangan, mengamplas,
memasang benang dan lem. Pembinaan dilaksanakan di bengker atau
bengkel kerja Lapas Klas IIA Denpasar yang diawasi oleh petugas
pengamanan dan staff pegawai. Dalam melaksanakan pembinaan
dibidang keterampilan kerja, Lapas Klas IIA Denpasar yang sebelumnya
bekerja sama dengan perusahaan wiraswasta yang bernama Wiracana
dimana perusahaan ini yang menyediakan bahan setengah jadi selanjutnya
warga binaan pemasyarakatanlah yang harus menyelesaikan kipas tangan
tersebut. Namun, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar mulai melakukan
pembinaan keterampilan kerja ini sendiri dan akan segera mengaktifkan
museum Lapas sebagai tempat penjualan hasil karya Warga Binaan
Pemasyarakatan.
2). Latihan kerja dan produksi
Seperti halnya pembinaan keterampilan, latihan kerja dan produksi juga
dilaksanakan pada bengkel kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar yang wajib diikuti warga binaan pemasyarakatan dari hari senin
sampai jumat pada pukul 09.00 wita dibawah pengawasan petugas
pengamanan yang dibantu oleh beberapa staff pegawai. Pembinaan
latihan kerja dan produksi yang diprogramkan Lapas Klas IIA Denpasar
meliputi : latihan menyablon kaos, seni melukis, melaundry pakaian,
67
menjahit, kerajinan perak, keterampilan desain grafis, pembuatan kipas,
serta dalam bidang pertanian dan peternakan. Hasil dari produksi tersebut
akan diserahkan kepada pihak ketiga yang bekerjasama dengan Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
Segala proses pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, dilakukan
dengan pengawasan yang cukup ketat. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh
Bapak I Wayan Agus Miarda selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas
IIA Denpasar pada wawancara hari Jumat tanggal 17 April 2015 Pukul 10.45
Wita, keamanan di Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan oleh regu pengamanan
yang terdiri dari 4 regu. Setiap 1 (satu) regu terdiri dari 15 orang dan dibagi
menjadi 4 set, yaitu : pagi, siang, malam dan istirahat. Sistem pengawasan di
Lapas Klas IIA Denpasar dilakukan secara tertutup, artinya pengawasan berada
didalam tembok Lapas. Selain itu, pengawasan dibantu dengan CCTV di 20 titik
tertentu.
Selanjutnya, Bapak I Wayan Agus Miarda menuturkan, bahwa banyak
ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan
ataupun oleh Petugas Sipir. Petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar
melakukan sidak setiap 1 (satu) Bulan 4 kali, dalam setiap sidak ini, masih
ditemukan Warga Binaan Pemasyarakatan yang kedapatan mengkonsumsi
narkoba di dalam Lapas, hal lain yang ditemui dalam Lapas Klas IIA Denpasar
masih maraknya penggunaan alat telepon genggam atau Handphone di dalam
Lapas. Setelah ditelusuri, Warga Binaan Pemasyarakatan menggunakan
Handphone beralasan untuk berkomunikasi dengan keluarga. Selain Warga
68
Binaan Pemasyarakatan, Petugas Sipir masih ada yang kedapatan melakukan
Pungutan Liar (PUNGLI) di dalam Lapas.
Pada dasarnya, pemberian pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar
sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU Pemasyarakatan sebagai dasar
acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa hal masih saja
ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas tersebut.
Di lain pihak, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan
Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH selaku Kasi. Bimbingan dan Anak Didik
(BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 10.00
Wita. Bahwa, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari
masyarakat luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di
dalam Lapas. Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas,
Tawuran antar wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan
melakukan pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat
dilakukan Sidak, pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di
dalam wisma Lapas Klas IIA Denpasar.walau sudah diberikan sanksi kepada
setiap pelanggar sampai pada sanksi terberat yaitu dimasukan kedalam ruang
isolasi, hal ini tidak memberikan efek jera kepada pelaku.
Selanjutnya Bapak I Wayan Putu Sutresna, Amd.IP.SH.,MH
menambahkan, angka recidivice di Lapas Klas IIA Denpasar tergolong sedikit,
hanya saja mantan narapidana yang kembali menjadi Warga Binaan
69
Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar masih banyak dengan kasus yang
berbeda. Contoh : sebelumnya narapidana tersebut melakukan pembunuhan, dan
saat keluar Lapas ia menjadi pengedar narkoba. Bahkan diantara mereka ada yang
masih dalam pengawasan atau wajib lapor oleh Balai Pengawasan (BAPAS) dan
sudah melakukan tindak pidana lainnya. Padahal Lapas Klas IIA Denpasar sudah
melakukan pembinaan secara maksimal, hanya saja saat kembali ke masyarakat
stigma dari masyarakat kepada mantan narapidana belum dapat dirubah bahkan
cenderung tidak bisa menerima mantan narapidana termasuk dalam sulitnya
membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk melamar
pekerjaan, hal inilah yang pada akhirnya membuat mantan narapidana tersebut
melakukan tindak pidana kembali.
Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan
efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik
penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak
terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.47
Struktur adalah keseluruhan instisusi hukum beserta aparatnya, dalam
hal ini Petugas Sipir Lapas Klas IIA Denpasar. Namun, pada pelaksanaannya
masih terdapat oknum petugas sipir yang melakukan pungli dan membiarkan
beberapa fasilitas seperti televisi, telepon genggam sampai pada narkotika bisa
masuk kedalam Lapas. Kurangnya pengawasan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan, menyebakan pembinaan tidak dilakukan secara maksimal yakni
47Soerjono Soekanto, Loc.cit.
70
masih kurangnya kesadaran Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengikuti
kegiatan di Bengkel Kerja.
Substansi adalah keseluruhan aturan hukum termasuk asas hukum dan
norma hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis termasuk putusan
pengadilan. Mengacu pada Pasal 2 UU Pemasyarakatan yang menyebutkan bahwa
sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini, Lembaga Pemasyarakatan bisa menjadikan seseorang menjadi
lebih jahat lagi atau bahkan menjadi seseorang yang lebih baik. Masih banyaknya
mantan Narapidana yang kembali masuk ke Lapas Klas IIA Denpasar,
menyebabkan tujuan dari sistem pemasyarakatan belum dapat terwujud.
Budaya hukum menunjukan adanya kepandaian, hukum, moral dan
termasuk kepercayaan. Stigma masyarakat yang cenderung tidak percaya terhadap
mantan Narapidana sulit diubah, sehingga mantan narapidana tersebut kesulitan
untuk hidup di luar Lapas yang pada akhirnya lebih memilih untuk kembali ke
dalam Lapas.
Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan dari Warga Binaan
Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA Denpasar, yaitu Ibu Lasmana pada hari Selasa
tanggal 14 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar Pukul 09.15 Wita, bahwa Ibu
71
Lasmana terlibat dalam kasus pengedaran narkotika tingkat internasional dan
tertangkap di Bandar Udara Ngurah Rai Denpasar. Selama 1 tahun menjalani
pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar, Ibu Lasmana mengatakan proses
pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar masih belum efektif karena masih
banyaknya pengguna sabu di dalam Lapas Klas IIA Denpasar khususnya wisma
perempuan. Selain itu pada saat menjalani proses MAPENALING, hanya di
tempatkan di dalam wisma dan diamkan selama satu minggu. Kegiatan
pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar hanya diikuti oleh beberapa Warga
Binaan Pemasyarakatan saja dan tidak ada sanksi tegas dari petugas sipir terhadap
Warga Binaan Pemasyarakatan yang tidak mengikuti kegiatan di Bengkel Kerja.
Selanjutnya ibu Lasmana menambahkan, Lembaga Pemasyarakatan dapat
membuat seseorang menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih buruk.
Berdasarkan ungkapan narasumber yang berbeda, seperti pernyataan
Bapak Edik sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar
pada wawancara hari Selasa tanggal 14 April 2015 pukul 10.02 Wita di Lapas
Klas IIA Denpasar, bahwa Edik sudah menjalani proses pembinaan di Lapas Klas
IIA Denpasar selama 2 tahun karena terlibat kasus pembunuhan berencana. Edik
menjelaskan, pada saat di masukan kedalam Wisma untuk mengikuti
MAPENALIG, edik melakukan perkenalan dengan anggota wisma.
Selanjutnya,kegiatan di bengkel kerja hanya diikuti oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan yang baru masuk Lapas Klas IIA Denpasar. Sementara, Warga
Binaan Pemasyarakatan yang sudah lama lebih memilih diam di dalam wisma
bahkan ada yang melakukan judi. Edik membenarkan bahwa masih banyak Warga
72
Binaan Pemasyarakatan yang menggunakan narkoba jenis sabu dan pemakaian
alat telepon genggam, bahkan banyaknya organisasi masyarakat (ORMAS) di
dalam Lapas seperti misalnya “Pemuda Bali Bersatu”. Ia selaku wakil ketua dari
ormas tersebut mendapatkan fasilitas berupa ruang wisma sendiri yang dilengkapi
dengan radio atau televisi. Pembinaan di dalam Lapas Klas IIA Denpasar
menurutnya belum efektif karena masih adanya napi yang lebih berkuasa dari
petugas sipir.
Dari ketiga elemen hukum baik struktur hukum, substansi hukum, dan
budaya hukum masyarakat yang belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui
bahwa penyelenggaraan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar belum efektif. Relevan dengan teori efektivitas hukum, Romli
Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan
hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim,
jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi
hukum yang sering diabaikan.48
Narapidana merupakan mereka yang melakukan tindak pidana dan
menjalani masa pidana di Lembaga Pemasyarakatan. meskipun mereka telah
melakukan tindak pidana, namun mereka tetap mempunyai hak yang wajib
mereka dapatkan serta wajib dihormati oleh siapapun.49
Dalam melakukan
pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang tidak terlepas adalah
48Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung, Mandarmaju, hal.55.
49Mangasa Sidabutar, 2001, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.17.
73
pemenuhan hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Kewajiban warga binaan
pemasyarakatan adalah mentaati segala peraturan yang berlaku di Lembaga
Pemasyarakatan, sementara hak-hak mereka antara lain, hak mendapatkan
pelayanan kesehatan, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, informasi dan
sebagainya.
Dilaksanakan program pembinaan kepada warga binaan
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar adalah tujuan
dari sistem pemasyarakatan tersebut dimana sesudah mereka menjalani seluruh
proses pembinaan di Lapas dan telah dinyatakan bebas, diharapkan mereka agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar yang baik dan
bertanggung jawab.
74
BAB IV
FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA
DENPASAR DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
4.1. Faktor Penghambat dalam Penyelenggaraan Pembinaan terhadap
Narapidana.
Lembaga Pemasyarakatan ( Lapas ) sebagai institusi yang menampung
dan melakukan pembinaan terhadap para pelaku kejahatan (narapidana)
hendaknya harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung
proses pembinaan atau pemasyarakatan itu sendiri. Tersedianya fasilitas yang
memadai di dalam Lembaga Pemasyakaratan menjadi faktor yang sangat penting
dalam menjalankan fungsi Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan
terhadap narapidana. Secara umum jumlah penghuni di Lembaga Pemasyarakatan
seluruh indonesia telah melebihi daya tampung yang semestinya (over
kapasitas).50
Akibat dari penghuni yang melebihi daya tampung di Lembaga
Pemasyarakatan, terdapat Lembaga Pemasyarakatan anak yang kemudian separuh
lokasinya digunakan untuk menampung narapidana dewasa. Bahkan terdapat pula
Lembaga Pemasyarakatan yang sekaligus menampung narapidana dewasa laki-
laki, dewasa perempuan, tahanan, dan narapidana anak. Dibeberapa Lembaga
50A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.129.
75
Pemasyarakatan lain diperkirakan jumlah penghuni yang melebihi kapasitas
adalah akibat banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan narkoba dan perjudian yang
ditangkap.51
Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor
yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni
terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga
dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan, antara lain tidak terdapatnya
poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.52
Permasalahan di tubuh
Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat teratasi dengan mudah mengingat
minimnya dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru dan terbatasnya
lahan yang bisa digunakan untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan baru.53
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang dipilih sebagai
tempat penelitian merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang
mengalami keadaan over kapasitas hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor
penghambat proses pembinaan bagi narapidana. Permasalahan over kapasitas
menjadi sulit diatasi mengingat tingginya tingkat kriminalitas dan keterbatasan
dana untuk membuat Lembaga Pemasyarakatan yang baru di daerah Denpasar.
Melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan bukanlah
suatu hal yang mudah dan merupakan tantangan dari waktu ke waktu bagi setiap
Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas
51A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Op.cit, hal.30
52
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit
53
A Josias dan R-Thomas Sunaryo, Loc.cit
76
adalah instansi yang sangat berperan penting dalam memasyarakatkan kembali
para narapidana sebagai bagian akhir sistem peradilan pidana di Indonesia. Hasil
dari wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak I Wayan Agus Miarda
selaku Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan ( Ka. PLP) Lapas
Klas IIA Denpasar pada hari Kamis tanggal 16 April 2015 di ruangan Ka.PLP
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar, ditemui beberapa faktor penyebab
yang dapat menghambat pelaksanaan sistem keamanan dan pembinaan terhadap
warga binaan pemasyarakatan seperti :
1. Tidak seimbangnya jumlah petugas pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dengan jumlah warga binaan
pemasyarakatan, sehingga pelaksanaan sistem keamanan menjadi tidak
maksimal
2. Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung pengamanan di Lapas
Klas IIA Denpasar seperti kurangnya jumlah kamera pengamanan
(CCTV), tidak tersedianya alat pendeteksi logam (metal detector), dan
senjata pengamanan bagi petugas pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar.
Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP,SH.,MH selaku
Kasi.Binadik ( Bimbingan dan Anak Didik ) Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar dalam wawancara pada hari Kamis tanggal 16 April 2015, menyebutkan
faktor penghambat lainnya di Lapas Klas IIA Denpasar. Yaitu :
1. Keadaan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar yang mengalami
over kapasitas (tidak memadai daya tampung Lembaga Pemasyarakatan
77
dibandingkan jumlah warga binaan pemasyarakatan). Lembaga
Pemasyarakatan memiliki kapasitas daya tampung sebanyak 336 orang,
sedangkan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan di Lapas Klas IIA
Denpasar hingga saat ini berjumlah 900 orang. Melihat kondisi ini, Lapas
Klas IIA Denpasar sudah mengalami over kapasitas sebesar 300 %.
2. Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia mengikuti pembinaan
yang diprogramkan di Lembaga PemasyarakatanKlas IIA Denpasar.
Dalam hal ini hanya Warga Binaan Pemasyarakatan barulah yang
mengikuti program pembinaan, sementara yang lainnya lebih memilih
tinggal di dalam wisma. Meski demikian, hal ini akan berdampak pada
penilaian petugas sipir kepada warga binaan pemasyarakatan yang
bersangkutan.
3. Keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung proses pembinaan.
Semenjak kerusuhan yang terjadi pada tahun 2012 lalu, banyak sarana dan
prasarana yang ikut terbakar.
4. Kurangnya tenaga pengajar pembinaan, hal ini berkaitan dengan
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di Lapas Klas IIA
Denpasar.
5. Kurangnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh Warga Binaan
Pemasyarakatan. kesejahteraan memang bersifat relatif, tingkat
kesejahteraan setiap warga binaan pemasyarakatan berbeda satu sama lain.
Salah satunya yaitu, banyaknya keluhan kepada petugas sipir terkait
dengan kesehatan warga binaan pemasyarakatan.
78
4.2 Upaya yang Telah dilakukan Oleh Lapas untuk Meminimalisir
Faktor Penghambat
Tugas pokok dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan adalah
melaksanakan pembinaan kepribadian dan kemandirian yang di tunjang dengan
keamanan, antara pembinaan dan keamanan seperti satu mata uang yang tidak
dapat di pisahkan, yaitu jika keadaan aman pembinaan di depan dan keamanan
membantu,serta jika keadaan darurat keamanan di depan dan pembinaan yang
membantu. Direktorat Jendral Pemasyarakatan mempunyai tugas merumuskan
dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemasyarakatan.
Disamping tugas pokok tersebut, Lembaga Pemasyarakatan juga mempunyai
tugas pelayanan dan perawatan, yaitu terkait dengan pelayanan kesehatan dan
makanan.
Pada dasarnya, segala proses penyelenggaraan Pembinaan di Lapas
Klas IIA Denpasar tidak akan berjalan secara maksimal apabila tidak ada peran
serta dari pemerintah terkait seperti kementerian hukum dan Ham. Peran serta
tersebut dapat berbentuk suatu kebijakan yang dilakukan agar dapat tercapainya
tujuan yang diharapkan. Berbicara mengenai kebijakan, Menurut Carl Friedrich:
Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari
79
peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang
diinginkan.54
Sehubungan dengan itu berdasarkan hasil wawancara Bapak I Wayan
Putu Sutresna, Amd.IP,SH.,MH selaku Kasi Bimbingan dan anak didik
(BINADIK) Lapas Klas IIA Denpasar pada hari SeninTanggal 20 April 2015
Pukul 10.15 Wita, bahwa pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah
banyak memberikan sutau kebijakan terkait dengan pembinaan di Lapas Klas IIA
Denpasar diantaranya dengan memperketat penjagaan di Lapas Klas IIA
Denpasar, mengadakan sidak baik sidak secara rutin maupun sidak dadakan.
Selain itu, Pemerintah Daerah juga sudah membantu dalam Penyaluran dana
untuk Lapas Klas IIA Denpasar, saat ini Lapas Klas IIA Denpasar sudah
mendapat saluran dana untuk perbaikan gedung akibat kerusuhan yang terjadi
pada tahun 2012 lalu.
Di sisi lainnya, menurut pernyataan Bapak I Wayan Agus Miarda
selaku Kepala Kesatuan Pengamanan Lapas Klas IIA Denpasar dalam wawancara
pada hari Senin tanggal 20 April 2015 Pukul 11.25 Wita, bahwa terkait dengan
kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini banyaknya sidak
yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham). Dalam setiap pelaksanaan sidak, dilakukan pemeriksaan baik
54Ali Imron, 2002,Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, PT Bumi Aksara, hal. 37.
80
dari administrasi maupun langsung melakukan pengecekan langsung ke dalam
wisma.
Melihat adanya faktor penghambat jalannya proses pembinaan terhadap
warga binaan pemasyarakatan, pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar sebagai institusi yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan
pemasyarakatan sudah tentu memiliki langkah atau upaya-upaya yang telah
dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang dapat menghambat jalannya proses
pembinaan warga binaan pemasyarakatan seperti yang telah dijelaskan diatas.
Upaya-upaya yang dilakukan tidak lain adalah tindakan seadanya yang mampu
dilakukan petugas pembinaan maupun pengamanaan mengingat kondisi Lembaga
Pemasyarakatan yang sudah mengalami over kapasitas. Dari hasil wawancara
dengan Bapak Mikha Simanjuntak, SH selaku staff bimkesmaswat ( Bimbingan
Kemasyarakatan dan Perawatan ) pada hari Senin, 20 April 2015 pukul 09.05
Wita di ruangan Bimkesmaswat Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar,
bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar,
bahwa sejauh ini upaya-upaya yang telah dilakukan Lapas Klas IIA Denpasar
dalam mencegah hambatan proses pembinaan meliputi :
1. Memaksimalkan pengamanan terhadap Lapas Klas IIA Denpasar melalui
penempatan titik rawan seperti dimenara penjagaan atas, tembok
pembatas, dan didalam wisma hunian
2. Mengajukan permohonan penambahan petugas pengamanan kepada
kantor Wilayah Hukum dan Ham Provinsi Bali (Kanwil Hukum dan
Ham)
81
3. Petugas pengamanan meminta bantuan kepada staff bagian umum untuk
membantu mengawasi penjagaan di sekitar Lapas mengingat minimnya
jumlah petugas di bidang pengamanan
4. Petugas di bidang pembimbingan dibantu dengan petugas pengamanan
melakukan pendekatan secara halus kepada warga binaan yang tidak
bersedia mengikuti program pembinaan
5. Kekurangan tenaga pengajar keterampilan dibidang melukis membuat
pegawai Lapas Klas IIA Denpasar turut serta memberikan pengajaran
semampunya.
4.3 Upaya yang dapat dilakukan untuk Memaksimalkan Pembinaan
Narapidana.
Berbagai permasalahan yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar,
menyebabkan Penyelenggaraan pembinaan di Lapas Klas IIA Denpasar belum
berjalan secara maksimal. Jika dikaitkan dengan teori efektivitas hukum yang
disampaikan oleh Soerjono Soekanto, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, antara lain :55
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni didalam Peraturan Perundang-undangan
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
55Soerjono Soekanto, Loc.cit.
82
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup
Adapun kelima faktor penegakan hukum tersebut belum diterapkan secara
maksimal. Hal ini dapat diketahui dari faktor penegak hukum yaitu petugas Sipir
yang belum tegas dalam membina narapidana sehingga masih banyak Warga
Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIA Denpasar yang tidak mengikuti kegiatan
di bengkel kerja, adanya Petugas Sipir yang menjadi oknum kurir pengedaran
narkoba di Lapas Klas IIA Denpasar, sarana dan prasana yang terbatas sampai
pada stigma masyarakat yang belum dapat menerima mantan narapidana.
Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana dapat dikatakan berhasil
apabila tujuan dari pembinaan yang diamanatkan Pasal 2 UU Pemasyarakatan
dapat tercapai, yaitu mengembalikan narapidana menjadi manusia seutuhnya dan
dapat kembali dalam lingkungan masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut,
maka diperlukan suatu upaya yang dapat dilakukan dalam memaksimalkan
pelaksanaan pembinaan narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Agus Miarda
pada hari Jumat tanggal 17 April 2015 di Lapas Klas IIA Denpasar, adapun
Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
83
1. Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan dengan pemberian
Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat dan Cuti Mengunjungi Keluarga yang
saat ini sudah mulai diterapkan Lapas Klas IIA Denpasar
2. Penambahan SDM di Lapas Klas IIA Denpasar dalam hal ini adalah petugas
Sipir agar pengawasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dapat
dilakukan secara maksimal
Selanjutnya, Bapak I Wayan Putu Sutresna Amd.IP,SH.,MH dalam
wawancara pada Hari Jumat tanggal 17 April 2015, adapun kebijakan yang dapat
dilakukan dalam memaksimalkan pelaksanaan pembinaan narapidana, antara lain :
1. Akan di buat Kartu Brezzi yang bekerjasama dengan Bank BRI berfungsi
sebagai alat pembayaran Warga Binaan Pemasyarakatan layaknya seperti
kartu ATM, pembuatan kartu breezi ini di harapkan dapat meminimalisir
pengedaran uang di Lapas untuk membeli hal-hal yang tidak di inginkan,
contoh : narkoba di dalam Lapas
2. Perlunya kerjasama dengan banyak pihak seperti LSM, tokoh masyarakat,
Konsulat setiap negara, dll
3. Perlu dikurangi interpensi atau ikut campur dari pihak lain, seperti
misalnya instansi dalam tindak pidana korupsi, sehingga narapidana
merasa di pidana lebih dari dari satu kali
4. Adanya sosialisasi terhadap masyarakat agar mau menerima mantan
narapidana di lingkungan masyarakat luas
84
5. Perlu kebijakan khusus bagi Narapidana. Misalnya dalam pembuatan
SKCK, sehingga mantan narapidana tersebut tetap dapat bekerja di
lingkup masyarakat.
Mengenai Upaya yang adapat dilakukan dalam memaksimalkan
pembinaan terhadap narapidana tidak hanya mengandalkan Kementerian Hukum
dan Ham khususnya Petugas Sipir. Namun, memang di rasa perlu kerjasama
segala komponen baik aparatur negara maupun masyarakatan luas. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Bapak Ida Bagus Sedana, SH selaku Kasi pencegahan BNN
Kota Denpasar dalam wawancara pada hari kamis tanggal 16 April 2015 pukul
13.00 Wita di kantor BNN Kota Denpasar. Adapun menurutnya upaya yang dapat
dilakukan, antara lain :
1. Lembaga Pemasyarakatan harus dikembalikan pada fungsi Lapas yang
disebutkan dalam UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
2. Pelaku teknis dengan auditor harus berkoordinasi
3. Narapidana harus di tempatkan berdasarkan kasusnya. Contoh :
narapidana dengan kasus narkoba berada di dalam satu wisma agar,
narapidana dengan kasus lain tidak menjadi pecandu narkoba
4. Perlunya komponen dari masyarakat luas
5. UU yang menjadi dasar Lembaga Pemasyarakatan sudah bagus, hanya saja
perlu penegakan yang maksimal dari apatur penegak hukum.
85
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan
maksimal. Hal ini dibuktikan dengan keterbatasan sarana dan prasarana
penunjung program pembinaan, keadaan Lapas yang mengalami over
kapasitas, tidak semua Warga Binaan Pemasyarakatan bersedia mengikuti
program pembinaan, Banyaknya Warga Binaan Pemasyarakatan yang
menggunakan narkoba di dalam Lapas, oknum petugas sipir yang
kedapatan melakukan pungutan liar, dan yang terakhir kurangnya petugas
pemasyarakatan di bidang pembinaan serta tenaga pengajar program
pembinaan keterampilan melukis sehingga sistem pemasyarakatan tidak
berjalan baik di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
2. Untuk mencapai tujuan dari sistem Pemasyarakatan yang diamanatkan
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka
upaya yang dapat dilakukan terhadap pembinaan narapidana di Lapas klas
IIA Denpasar, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas
dengan pembuatan kartu brezzi, penempatan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan kasus, sosialisasi kepada masyarakat agar
86
dapat merubah stigma terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga
mantan narapidana dapat diterima kembali di masyarakat.
5.2 Saran
1. Narapidana yang menjalani hukuman di bawah 3 bulan hendaknya tidak
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, melainkan dengan cara
merehabilitasi di suatu tempat dengan memindahkan Warga Binaan
Pemasyarakatan yang ada di luar Bali agar over kapasitas di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar bisa diatasi.
2. Diperlukan penambahan petugas dibidang pengamanan dan alat-alat
pengamanan seperti kamera pengawas (CCTV) , alat pendeteksi logam
(metal detektor), dan senjata pengamanan di Lapas Klas IIA Denpasar agar
pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan dapat
berjalan dengan maksimal serta tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran atau
penyimpangan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar harus
menemukan suatu solusi untuk mengatasi apabila terdapat Warga Binaan
Pemasyarakatan yang tidak bersedia mengikuti. Sehingga Warga Binaan
Pemasyarakatan mendapatkan pembekalan hidup selama mengikuti
pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, tidak mengulangi tindak pidana,
serta dapat diterima kembali di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abidin, Muhammad Zainal & Kurniawan Edy, I Wayan,2013, Catatan Mahasiswa
Pidana, Indie Publishing, Depok.
Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Abdulrahman, Soejono, H.2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta,
Jakarta.
Ali Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang
(LegisPrudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung
--------------2008,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru ), kecana Prenada Media Grup,
Jakarta.
Apeldoorn Van, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
AtmasasmitaRomli, 1996, Beberapa Catatan Isi Naskah RUU Pemasyarakatan,
Rineka, Bandung.
----------------- 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung.
Departemen Pendidkan Nasional, 2002,Kamus Besar Bahasa Indonesia( edisi
ketiga), Balai Pustaka, Jakarta.
Dipradja, R.Achmad S.Soema,Romli Atmasasmita,1979, Sistim Pemasyarakatan
di Indonesia, Percetakan Ekonomi, Bandung.
Fakultas Hukum, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar.
Hamzah, Andi, 1983, Tinjauan Ringkas Sistem Pemindanaan di Indonesia,
cetakan pertama, November, Jakarta.
Harsono CI , 1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta.
Imron, Ali. 2002. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Kansil C.S.T, Dan Christine S.T Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
Hukum Pidana Untuk Tiap Orang. Cetakan Kedua, PT Pradnya
Paramita.Jakarta.
Mamuji, Sri.2004, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Pradnya Paramita,
Jakarta.
Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT Eresco,
Bandung.
Samosir Djisman, 1982, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pembinaan
Narapidana di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta
Shadily Hassan, 1989, Sosiologi Untuk Orang Indonesia, PT Pembangunan,
Jakarta.
Simon, R A Josias dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung.
Soekanto Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Bandung.
----------------------- 2007, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Raja Grafindo, Jakarta.
----------------------- Sri Mamuji, 1998, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta.
Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Alumni, Bandung.
Soerjobroto Bahroedin, 1969, The Treatment Of Offenders, Undip, Semarang.
---------------------- 1991, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Pemasyarakatan,
Departemen kehakiman RI, Jakarta.
Syahrini Riduan, 1999, Rangkuman Intisari Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-undang Nomor.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
3. Internet
Http:/Wikipedia.com/Lembaga Pemasyarakatan/, di akses pada tanggal 5Oktober
2014
Http://id.m.wikipedia.org/wiki/lembaga_pemasyarakatan_Kerobokan/, di akses
pada tanggal 20 Oktober 2014.
Http ://online-hukum-blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html/ di
akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http :// polsuspas.wordpress.com/2011/01/05/sejarah-sistem-pemasyarakatan/di
akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/21/sejarah-dari-penjara-ke-LAPAS-napi-
juga-manusia/di akses pada tanggal 2 Februari 2015.
Http://Regional.kompas.com/read/2012/02/22/08252280/, diakses pada tanggal 20
Oktober 2014
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Wayan Agus Miarda, A.Md.IP.SH
Jabatan : Kepala Satuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan
Kerobokan
Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan,
Jln. Tangkuban Perahu
2. Nama : I Wayan Putu Sutresna,Amd.IP.SH.,MH
Jabatan : Kasi Bimbingan dan Anak Didik Lembaga
Pemasyarakatan Kerobokan
Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan
No.5, Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta
Badung.
3. Nama : Dewa Gede Astara,SH.MH
Jabatan : Ka.Sub Bagian Tata Usaha Lembaga Pemasyarakatan
Kerobokan
Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan
Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta
Badung.
4. Nama : Mikha Simanjuntak, SH
Jabatan : Staff Pegawai Bimbingan Kemasyarakatan dan
Perawatan Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan
Alamat : Rumah Dinas Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan
Jl.Gunung Tangkuban Perahu, Kerobokan, Kuta
Badung.
5. Nama : Ida Bagus Sedana, SH
Jabatan : Kasi. Pencegahan BNN Kota Denpasar
DAFTAR RESPONDEN
6. Nama : Lasmana
Umur : 46 Tahun
Kasus : Peredaran Narkotika
Asal : Ci Amis, Jawa Barat
7. Nama : Edik
Umur : 23 Tahun
Kasus : Pembunuhan Berencana
Asal : Tanggerang, Banten
1
EFEKTIVITAS LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA
DENPASAR
Oleh
Ni Made Destriana Alviani
Prof. Dr. I Ketut Mertha,SH.,M.Hum
I Made Tjatrayasa,SH.,MH
Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana
Abstract
The writing is titled effectiveness of correctional institutions in coaching
Inmates on the Review of the Act No. 12 of 1995 concerning Corrections. In
principle, all convicted person undergoing criminal court ruling, after going
through the next convict placed in correctional institutions, however a lot of
institutions going constraints, such as the concerned correctional facility
condition, and also in terms of the construction of the inmates. As for the goals of
this research is to gain an understanding of the effectiveness of the correctional
institutions inmates in coaching. Research methods used are empirical juridical.
venue construction begins with the construction of the stage, stage of assimilation
and integration phase. As for policies that can be applied by the Government in
the days to come, among others, a reduction in the number of People in our
Prisons, making a breezi card, there is a socialization against society. Based on
the research results can be drawn the conclusion that the condition of the
Building construction of prisons in Klas II A Denpasar correctional facility can
be said not to walk with maybe this is evidenced by the large number of problems
still occur in Klas II A Denpasar prison staff.
Key Word : Key words: Effectiveness, Correctional Institutions, prisoner, Treatment
Abstrak
Penulisan ini berjudul Efektivitas Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar.Pada
prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana setelah melalui putusan
pengadilandi tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan, Namun dalam lembaga ini
banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang
memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana. Adapun tujuan yang
ingin diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman
mengenai efektivitas Lembaga Pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. penyelenggaran
pembinaan dimulai dengan tahap pembinaan, tahap asimilasi dan tahap integrasi.
2
Adapun kebijakan yang dapat diterapkan oleh pemerintah di masa yang akan
datang antara lain Pengurangan jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan,
pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi terhadap masyarakat. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan yaitu Kondisi pembinaan
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Lapas Klas
II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan maksimal hal ini dibuktikan
dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi di Lapas Klas II A Denpasar
Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana, hilang
kemerdekaannya setelah di putuskan melalui putusan pengadilan, yang
selanjutnya terpidana di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai
narapidana untuk disana kembali di proses sesuai dengan hukum yang berlaku
agar nantinya dapat kembali hidup bermasyarakat. Namun dalam lembaga ini
banyak terjadi kendala, seperti kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang
memperihatinkan, dan juga dalam hal pembinaan narapidana.Adapun
permasalahan yang diangkat adalah Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar saat ini. Apa yang
menjadi faktor penghambat dalam pembinaan narapidana dan bagaimana upaya
penanggulangannya ?
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis
penyelenggaraan pembinaan terhadap Narapidana di Lapas Klas IIA Denpasar
serta untuk mengetahui upaya penanggulangan yang dapat dilakukan dalam
memaksimalkan pembinaan narapidana.
II. ISI MAKALAH
2.1 Metode Penelitian
3
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
empiris yaitu terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas
hukum.56
sehingga dalam penyusunannya dilakukan dengan penelitian lapangan
yang memanfaatkan data-data primer dari hasil wawancara dan observasi yang
didukung dengan data sekunder.
2.2 Hasil dan Pembahasan
2.2.1 Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Denpasar
Lapas Klas II A Denpasar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana yang
bernaung di bawah kantor wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Propinsi Bali. Lembaga Pemasyarakatan ini baru di Resmikan
pada tanggal 15 Agustus 1983.
Proses pembinaan yang dilakukan terhadap Warga Binaan
Pemasyarakatan dimulai saat pertama kali narapidana tersebut masuk Lapas yang
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik sampai pada pada registrasi. Untuk tahap
selanjutnya, Warga Binaan Pemasyarakatan ditempatkan dalam wisma khusus
untuk menjalani proses Masa Pengenalan Lingkungan (MAPENALING) selama
7 hari (satu minggu). Setelah menjalankan proses MAPENALING, maka Warga
Binaan Pemasyarakatan akan di masukan kedalam wisma untuk selanjutnya
menjalankan proses pembinaan, yang terbagi ke dalam :
56Bambang Sunggono, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.41.
4
4. Tahap pembinaan, dilaksanakan pada 1/3 (satu per tiga) sampai ½ (satu per
dua) dari masa pidana, pada tahap ini pengawasan dilakukan sangat ketat
(maximum security).
5. Tahap asimilasi, pelaksanannya dimulai ½ (satu per dua) sampai 2/3 (dua per
tiga) dari masa pidana. Pada tahap ini pembinaan mulai dilakukan di dalam
LAPAS ataupun di luar LAPAS. Pada tahap ini pengawasan agak berkurang
(medium security).
6. Tahap integrasi, dilaksanakan setelah warga binaan pemasyarakatan menjalani
2/3 (dua pertiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana. Pada
tahap ini pengawasan sudah sangat berkurang (minimum security)
Pada dasarnya, pemberian pembinaan di LapasKlas II A Denpasar
sudah mengacu pada prosedur yang ada yaitu UU No.12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan sebagai dasar acuan pemberian Pembinaan dan PP No. 31 Tahun
1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, dalam beberapa
hal masih saja ditemukan ketimpangan selama proses pembinaan di dalam Lapas
tersebut.Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan miniatur dari masyarakat
luar, dengan kata lain apa yang ada di masyarakat luar pasti ada di dalam Lapas.
Hal ini berarti masih adanya penggunaan narkoba di dalam Lapas, Tawuran antar
wisma bahkan sampai pada oknum petugas sipir yang kedapatan melakukan
pungli atau membiarkan narkoba masuk kedalam Lapas. Saat dilakukan Sidak,
pernah kedapatan alat pembuatan narkoba secara manual di dalam wisma
LapasKlas II A Denpasar.
5
Jika mengacu pada teori efektivitas hukum yang menyebutkan
efektivitas suatu peraturan harus terintegrasinya ketiga elemen hukum baik
penegak hukum, substansi hukum dan budaya hukum masyarakat, sehingga tidak
terjadi ketimpangan antara das solen dan das sein.57
Dari ketiga elemen hukum
baik struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum masyarakat yang
belum dapat terpenuhi, maka dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pembinaan
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Denpasar belum efektif.
2.2.2 Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Klas Iia Denpasar Dan Upaya
Penanggulangannya
Secara umum, Lembaga Pemasyarakatan mengalami beberapa faktor
yang dapat menghambat proses pembinaan, selain tidak seimbangnya penghuni
terhadap Lembaga Pemasyarakatan, keadaan minimnya dana untuk kesehatan juga
dijumpai dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan. antara lain tidak terdapatnya
poliklinik dan dokter di Lembaga Pemasyarakatan.58
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Klas II A Denpasar merupakan
salah satu Lembaga Pemasyarakatan yang mengalami keadaan over kapasitas
hingga saat ini dan mengalami beberapa faktor penghambat proses pembinaan
bagi narapidana yaitu Tidak semua warga binaan pemasyarakatan bersedia
57Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis Prudence) Volume 1 Pemahaman
Awal, Kencana, Jakarta,hal.225.
58
A Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga Pemasyarakatan
di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung,hal.129.
6
mengikuti pembinaan yang diprogramkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Denpasar, Keterbatasan sarana dan prasarana, Kurangnya tenaga pengajar
pembinaan. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan
pembinaan narapidana di lapas Klas IIA Denpasar antara lain Pengurangan jumlah
Warga Binaan Pemasyarakatan, pembuatan Kartu Brezzi, Adanya sosialisasi
terhadap masyarakat.
III KESIMPULAN
Kondisi pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Denpasar dapat dikatakan tidak berjalan dengan
maksimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permasalahan yang terjadi
di LapasKlas II A Denpasar seperti masih banyak narapidana yang menggunakan
narkoba di dalam Lapas serta terdapat pungutan liar yang dilakukan oknum sipir
LapasKlas II A Denpasar. Selain itu upaya yang dapat dilakukan terhadap
pembinaan narapidana, yaitu : pengurangan jumlah peredaran uang di Lapas
dengan pembuatan kartu brezzi, penempatan Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan kasus.
7
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicial Prudence) : Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legis
Prudence) Volume 1 Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum, Bandung.
Josias Simon R dan Thomas Sunaryo, 2010, Studi Kebudayaan Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia, Lubuk Agung, Bandung.
Sunggono, Bambang, 2009, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Peraturan Pemerintah No.31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan.