Download - EKIN FINAL - Teori Perdagangan Internasional
A. Teori Perdagangan Internasional
Teori Klasik
1. Merkantilis
Para penganut merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi suatu negara untuk
menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin
impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan,
atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang
dimiliki oleh suatu negara maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian,
pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor, dan mengurangi
serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah). Namun, oleh karena setiap
negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor, juga karena jumlah emas dan
perak adalah tetap pada satu saat tertentu, maka sebuah Negara hanya dapat memperoleh
keuntungan dengan mengorbankan negara lain.
Keinginan para merkantilis untuk mengakumulasi logam mulia ini sebetulnya cukup
rasional, jika mengingat bahwa tujuan utama kaum merkantilis adalah untuk memperoleh
sebanyak mungkin kekuasaan dan kekuatan negara. Dengan memiliki banyak emas dan
kekuasaan maka akan dapat mempertahankan angkatan bersenjata yang lebih besar dan lebih
baik sehingga dapat melakukan konsolidasi kekuatan di negaranya; peningkatan angkatan
bersenjata dan angkatan laut juga memungkinkan sebuah negara untuk menaklukkan lebih
banyak koloni. Selain itu, semakin banyak emas berarti semakin banyak uang dalam sirkulasi
dan semakin besar aktivitas bisnis. Selanjutnya, dengan mendorong ekspor dan mengurangi
impor, pemerintah akan dapat mendorong output dan kesempatan kerja nasional.
2. Adam Smith
Adam Smith berpendapat bahwa sumber tunggal pendapatan adalah produksi hasil tenaga kerja
serta sumber daya ekonomi. Dalam hal ini Adam Smith sependapat dengan doktrin merkantilis
yang menyatakan bahwa kekayaan suatu negara dicapai dari surplus ekspor. Kekayaan akan
bertambah sesuai dengan skill, serta efisiensi dengan tenaga kerja yang digunakan dan sesuai
dengan persentase penduduk yang melakukan pekerjaan tersebut.
Menurut Smith suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut
bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain,
yaitu karena memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage) dalam produksi barang tersebut.
Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih
sedikit dibanding kemampuan negara-negara lain.
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter
sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional.
Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya
nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk
menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang
tersebut (Labor Theory of value).
Teori Absolute Advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga
kerja. Teori nilai kerja ini bersifat sangat sederhana sebab menggunakan anggapan bahwa tenaga
kerja itu sifatnya homogeny serta merupakan satu-satunya faktor produksi. Dalam kenyataannya
tenaga kerja itu tidak homogen, faktor produksi tidak hanya satu dan mobilitas tenaga kerja tidak
bebas.
Kelebihan dari teori absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua
negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor
dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu
negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi
karena tidak ada keuntungan
Teori Modern
1. John Stuart Mill dan David Ricardo
Teori J.S.Mill menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor
suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang
dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan
mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar).
Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja
yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai
tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan
oleh teori absolute advantage.
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai
penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang
dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu
barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David
Ricardo juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai
dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli
(misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di
lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas
tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon
pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan
maka nilai penukarannya normal, harga pasaran dapat berbeda dengan harga alami di mana akan
menyesuaikan dengan keadaan penawaran dan permintaan atas barang yang bersangkutan.
Demikian pula atas dasar pertimbangan tertentu, adanya peraturan pemerintah yang dapat
menghalangi penyesuaian harga alami dengan harga pasaran. Tetapi bagaimanapun, harga alami
akan menjadi acuan (pedoman) atas penetapan harga pasaran.
Teori perdagangan internasional diketengahkan oleh David Ricardo yang mulai dengan
anggapan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara yang
diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua Negara tersebut hanya beredar uang emas.
Ricardo memanfaatkan hukum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk
mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan
absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara
yang melakukan perdagangan.
Teori comparative advantage kemudian telah berkembang menjadi dynamic comparative
advantage yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif dapat diciptakan. Oleh karena itu
penguasaan teknologi dan kerja keras menjadi faktor keberhasilan suatu negara. Bagi negara
yang menguasai teknologi akan semakin diuntungkan dengan adanya perdagangan bebas ini,
sedangkan negara yang hanya mengandalkan kepada kekayaan alam akan kalah dalam
persaingan internasional.
a. Cost Comparative Advantage (Labor efficiency)
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang di mana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang
di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien.
b. Production Comperative Advantage (Labor productifity)
Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi relatif
lebih produktif serta mengimpor barang di mana Negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak
produktif. Walaupun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan Cina untuk kedua
produk, sebetulnya perdagangan internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan
keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara yang memiliki labor productivity.
Kelemahan teori klasik Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa
terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah
perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang
memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari Negara tersebut memiliki perbedaan
dalam Cost Comparative Advantage atau Production Comparative Advantage. Teori ini
mencoba melihat kuntungan atau kerugian dalam perbandingan relatif. Teori ini berlandaskan
pada asumsi: Labor Theory of Value, yaitu bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh jumlah
tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan barang tersebut, di mana nilaibarang yang
ditukar seimbang dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan untuk memproduksinya.
2. Teori Heckscher-Ohlin (H-O)
Teori Perdagangan Internasional modern dimulai ketika ekonom Swedia yaitu Eli Hecskher
(1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai perdagangan internasional
yang belum mampu dijelaskan dalam teori keunggulan komparatif. Teori Klasik Comparative
advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan
dalam productivity of labor (faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan) antar negara.
Namun teori ini tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaaan produktivitas
tersebut.
Teori H-O kemudian mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya
perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaaan produktivitas
karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh
masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan harga barang
yang dihasilkan. Oleh karena itu, teori modern H-O ini dikenal sebagai ‘The Proportional Factor
Theory”. Selanjutnya negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah
dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor
barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara
tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.
Penjelasan analisis teori H-O menggunakan dua kurva. Pertama adalah kurva isocost
yaitu kurva yang melukiskan total biaya produksi sama serta kurva isoquant yang melukiskan
total kuantitas produk yang sama. Teori ekonomi mikro menyatakan bahwa jika terjadi
persinggungan antara kurva isoquant dan kurva isocost maka akan ditemukan titik optimal.
Sehingga dengan menetapkan biaya tertentu suatu negara akan memperoleh produk maksimal
atau sebaliknya dengan biaya yang minimal suatu negara dapat memproduksi sejumlah produk
tertentu.
Asumsi-asumsi yang mendasari teori H-O:
Perdagangan internasional terjadi antara dua negara (dalam hal ini Indonesia dan Korea
Selatan).
Setiap negara memproduksi dua komoditi yang sama (misalnya 300 sepatu dan 80 televisi)
Setiap negara menggunakan dua jenis faktor produksi yaitu labor dan kapital, dengan
jumlah
Pengujian Empiris teori H-O
Pengujian Data Amerika Serikat (Wassily Leotief)
Pengujian empiris terhadap teori ini antara lain dilakukan oleh Wassily Leontief, seorang pelopor
utama dalam analisis Input-Output yang melakukan studi empiris untuk menguji prediksi H-O.
Leontief menerapkan H-O pada data Amerika Serikat tahun 1947. Secara umum AS diasumsikan
sebagai negara yang relatif memiliki modal lebih banyak dan tenaga kerja lebih sedikit
dibandingkan negaranegara lain. Sehingga berdasarkan teori H-O, maka ekspor AS akan terdiri
atas barang-barang yang padat modal dan sebaliknya impornya akan terdiri atas barang barang
padat karya.
Dari hasil pengujian diperoleh tenyata AS cenderung ekspor produk padat tenaga kerja
dan mengimpor produk padat modal. Kesimpulan ini bertentangan dengan teori H-O yang sering
dikenal dengan Leontief Paradoks. Tetapi munculnya paradoks tersebut menurut beberapa
ekonom dapat disebabkan keterbatasan metodologi dan kelemahan analisa. Selain ada beberapa
faktor yang mendukung terjadinya paradoks tersebut, antara lain misalnya, pada tahun 1947
terjadi perang Dunia II sehingga keadaan pada saat itu belum dapat mewakili kondisi
perdagangan AS secara umum dengan tepat.
Sedangkan menurut beberapa ahli ekonomi perdagangan, paradox Leontief dapat terjadi
karena beberapa sebab utama berikut:
1. Adanya intesitas faktor produksi yang berkebalikan (factors intensity reversals)
2. Tariff dan non-tarief barier
3. Perbedaan dalam ketrampilan dan human capital
Penjelasan lain menyatakan bahwa penemuan Leotief tidak sepenuhnya bertentangan
dengan teori H-O, karena ekspor AS yang pada karya (labor intensif) tersebut sangat logis. AS
merupakan negara yang mempunyai banyak tenga kerja terdidik (skilled labor) dibandingkan
dengan negara lain, sehingga eskpornya lebih banyak terdiri atas barang yang padat karya namun
terdidik. Sehingga penemuan Leontief tersebut, dalam batasan tertentu justeru sesuai dan
mendukung teori H-O.
Pengujian data banyak negara
Pengujian dilakukan dengan menggunakan data dari berbagai negara. Studi terpenting yang
perna dilakuakan antara lain oleh Harry P. Bowen, Edward E. Learmer dan Leo Sveikauskas.
Mereka menyatakan bahwa perdagangan barang secara tidak langsung merupakan perdagangan
faktor produksi. Sehingga kita akan menemukan negara akan melakukan ekspor terhadap produk
yang factor produksinya relatif melimpah dan begitu pula sebaliknya.
Dari sampel 27 negara dan 12 faktor produksi yang diujikan oleh Bowen (Krugman dan
Obstfeld, 2003:83) dapat dihitung rasio faktor endowments setiap faktor produksi suatu negara
terhadap penawaran dunia. Kemudian dilakukan pembandingan rasio-rasio tersebut dengan
bagian setiap negara dari pendapatan dunia. Mereka menyatakan jika teori faktor produksi benar,
maka suatu negara akan selalu ekspor faktor yang bagiannya melebihi bagian pendapatan dan
sebaliknya. Kenyataanya adalah 2/3 faktor produksi diperdagangkan kurang dari 70 persen yang
sesuai dengan arah yang telah diprediksikan. Hasil ini mendukung paradoxs Leontief di
tingkatan yang lebih luas, bahwa perdagangan sering tidak berjalan sesuai dengan yang
diprediksikan oleh teori Hecksher-Ohlin.
Hipotesis Teori H-O
Sebelum melakukan kritik terhadap teori H-O, di bawah ini akan dikemukakan hipotesis yang
telah dihasilkan oleh Teori H-O, antara lain:
1. Produksi barang ekspor di tiap negara naik, sedangkan produksi barang impor di tiap
negara turun,
2. Harga atau biaya produksi suatu barang kan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor
produksi yang dimiliki masing-masing negara.
3. Harga labor di kedua negara cenderung sama, harga barang A di kedua negara cenderung
sama demikian pula harga barang B di kedua negara cenderumg sama.
4. Perdagangan akan terjadi antara negara yang kaya Kapital dengan negara yang kaya
Labor.
5. Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan
murah untuk melakukan produksi. Sehingga negara yang kaya kapital maka ekspornya
padat kapital dan impornya padat karya, sedangkan negara kaya labor ekspornya padat
karya dan impornya padat kapital.
Kritik terhadap hipotesis yang dihasilkan Teori H-O
Teori H-O merupakan penyempurnaan dari teori perdagangan internasional sebelumnya, selain
itu sudah dilakukan pengenduran atau pengurangan asumsi, namun masih belum sempurna.
Berikut ini akan dikemukakan kajian terhadap hipotesi yang telah dikemukanan di atas:
1. Berdasar teori H-O perbedaan harga barang sejenis dapat terjadi karena adanya
perbedaan proporsi atau jumlah faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara
dalam memproduksi barang tersebut. Sehingga apabila jumlah atau proporsi faktor
produksi yang dimiliki masing-masing negara relative sama maka harga barang sejenis
akan sama pula sehingga perdagangan internasional sulit terjadi.
2. Fakta yang ada dalam dunia nyata menunjukkan walaupun jumlah atau proporsi faktor
produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama sehingga harga barang sejenis
relatif sama, ternyata perdagangan internasional tetap dapat terjadi.
3. Teori H-O masih merupakan teori perdagangan internasional komparatif statik (Sih
Prapti E., 1991). Sehingga asumsi klasik dan neoklasik yang menganggap hampir semua
besaran variabel dalam perekonomian adalah statik, tidak berubah atau diasumsikan
exogeneous (perubahan ditentukan di luar model). Padahal fakta yang terjadi adalah
terjadi perubahan secara terus menerus pada variabel dan perubahannya terjadi di dalam
model (endogeneous). Kondisi menyebabkan aplikasi teori H-O menjadi terbatas, atau
tidak dapat diterapkan secara umum. Oleh karena itu teori hanya dapat menjelaskan
terjadinya perdagangan antara negara yang kaya tenaga kerja dengan negara yang kaya
kapital, dimana hanya merupakan sekitar 40% dari volume perdagangan dunia.
Kondisi riil yang tidak sesuai dengan asumsi teori H-O
Beberapa kondisi fakta terkini yang tidak sesuai dengan asumsi teori H-O sehingga perlu adanya
perbaikan, antara lain:
1. Kondisi permintaan dan penawaran komoditas perdagangan senantiasa mengalami
perubahan karena variabel yang mempengaruhinya senantiasa berubah.
2. Teori perdagangan terbaru menyatakan bahwa pengetahuan, dan pengetahuan adalah
variabel penentu keputusan perdagangan dan investasi.
3. Jumlah dan dan kualitas faktor produksi dan teknologi berubah dari waktu ke waktu.
4. Variabel ongkos transportasi diperhitungkan.
Perbaikan antara lain dapat dilakukan dengan melakukan pelepasan beberapa asumsi
yang digunakan dalam teori H-O. Misalnya asumsi teori H-O yang mengatakan tingkat teknologi
sama sudah tidak relevan. Hal ini karena fakta dilapangan menunjukkan tingkat teknologi yang
tidak sama serta ada penundaan dalam proses transmisi atau difusi teknologi dari satu negara ke
negara lain.
Sehingga suatu negara bisa menjadi eksportir yang sukses jika terus menerus melakukan
inovasi. Oleh karena itu perdagangan dilakukan dengan banyak produkproduk baru hasil inovasi.
Kondisi ini relevan dengan masalah yang ada sekarang terkait dengan kesenjangan antara negara
maju dan negara berkembang sehingga dapat mengatasi keunggulan komparatif dinamis
dibandingkan teori Klasik.
Kelemahan Asumsi Teori H-O
Untuk lebih memahami kelemahan teori H-O dalam menjelaskan perdagangan internasional akan
dikemukan beberapa asumsi yang kurang valid:
1. Asumsi bahwa kedua negara menggunakan teknologi yang sama dalam memproduksi
adalah tidak valid. Fakta yang ada di lapangan negara sering menggunakan teknologi
yang berbeda.
2. Asumsi persaingan sempurna dalam semua pasar produk dan faktor produksi lebih
menjadi masalah. Hal ini karena sebagian besar perdagangan adalah produk negara
industri yang bertumpu pada diferensiasi produk dan skala ekonomi yang belum bisa
dijelaskan dengan model faktor endowment H-O.
3. Asumsi tidak ada mobilitas faktor internasional. Adanya mobilitas factor secara
internasional mampu mensubstitusikan perdagangan internasional yang menghasilkan
kesamaan relatif harga produk dan faktor antar negara. Maknanya adalah hal ini
merupakan modifikasi H-O tetapi tidak mengurangi validitas model H-O.
4. Asumsi spesialisasi penuh suatu negara dalam memproduksi suatu komoditi jika
melakukan perdagangan tidak sepenuhnya berlaku karena banyak negara yang masih
memproduksi komoditi yang sebagian besar adalah dari impor.
Adanya asumsi spesialisasi penuh yang mensyaratkan komoditi diproduksi dengan
kondisi constan return to scale dan faktor endowment yang berbeda. Namun sebetulnya
perdagangan internasional tetap dapat dilaksanakan walaupun kedua negara identik dalam
berbagai hal. Hal ini yang belum dijelaskan dalam teori H-O. Kondisi tersebut dapat dijelaskan
dengan konsep increasing return to scale (IRS), sehingga perdagangan yang saling
menguntungkan masih dapat terlaksana.
IRS menunjukkan kondisi produksi di mana output secara proposional bertambah
melebihi kenaikan input atau faktor produksi. Jika semua input meningkat dua kali maka output
akan naik lebih dari dua kali. IRS terjadi karena dalam skala operasi yang lebih besar pembagian
kerja dan spesialisasi menjadi hal yang mungkin.
Kritik oleh ahli perdagangan internasional
a) Kritik Raymond Vernon
Dalam kritik terhadap kelemahan teori H-O di atas antara lain dinyatakan bahwa teori H-O hanya
mampu menjelaskan 40% dari volume perdagangan dunia sedangkan fenomena terjadinya 60%
negara maju belum mampu dijelaskan. Oleh memunculkan peluang timbulnya teori baru, yaitu
teori siklus produksi (product life cycle) yang dikemukakan oleh Raymod Vernon. Teori ini
antara lain berdasarkan adanya anggapan bahwa variabel-variabel dalam perekonomian
senantiasa berubah dan perubahannya terjadi dalam model bahkan menggunakan perubahan
variable-variabel tersebut sebagai driving motives timbulnya perdagangan internasional (Sih
Prapti E., 1991). Teori siklus produksi juga dibangun atas dasar pada adanya kelambanan imitasi
atau penundaan difusi teknologi. Teori ini memperhatikan siklus hidup produk baru dan
dampaknya terhadap perdagangan internasional.
Teori ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pertama, tahap produksi baru yaitu ketika
baru ditemukan produk dan diproduksi sebagai tahap perkenalan serta hanya dikonsumsi
dinegara tersebut. Tahap kedua, tahap pertumbuhan produksi yaitu memproduksi massal untuk
dikonsumsi sendiri dan diekspor ke negara lain. Tahap ketiga, tahap standarisasi produk yaitu
tahap dimana negara penemu pertama produk tersebut sekarang mejadi pengimpor dengan alasan
skala ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori menempatkan keungulan komparatif
dinamis karena sumber ekspor negara bergeser melewati suatu siklus hidup produk.
Mengevaluasi Teori Product Life-Cycle Menurut sejarah, Teori Product Life-Cycle
memperlihatkan sebuah penjelasan akurat dari pola perdagangan internasional. Pertimbangan
mesin fotocopy; produk yang dikembangkan di awal 1960 oleh Xerox di US dan awalnya dijual
untuk pengguna di US. Mula-mula Xerox mengekspor mesin fotokopi mulai Amerika Serikat,
terutama ke Jepang dan negara-negara maju di Eropa Barat. Karena permintaan mulai meningkat
di negara-negara itu, Xerox masuk menjadi usaha gabungan untuk membangun produksi di
Jepang dan Britania Raya. Dari waktu ke waktu banyak kompetitor masuk ke pasar. Akhirnya,
Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya (Jepang dan Britania Raya) berubah dari
pengekspor mesin fotocopy menjadi pengimpor. Evolusi pada pola perdagangan internasional
mesin fotocopy tersebut cocok dengan prediksi dari teori dari produk life-cycle bahwa industri-
industri yang dewasa keluar dari Amerika dan masuk ke lokasi-lokasi biaya rendah.
Bagaimanapun, Teori Product Life-Cycle bukan tanpa kelemahan. Dilihat dari segi Asia dan
Eropa, argumen Vernon bahwa banyak produk baru dikembangkan dan dikenalkan di Amerika
Serikat kelihatan etnosentris.
b) Kritik Linder mengenai persamaan selera
Asumsi lain teori H-O adalah adanya kesamaan selera di antara kedua negara. Hal ini kurang
relevan sekarang, menurut ekonom swedia, Staffan Brensstam Linder yang mengemukakan teori
linder selera konsumen sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan penduduk. Selera dalam
suatu negara akan menghasilkan permintaan pada suatu produk. Oleh karena itu teori linder
berorientasi pada permintaan suatu produk sedangkan teori H-O berorientasi pada penawaran
karena fokusnya pada faktor sumber daya dan intesitas faktor. Sehingga suatu negara akan
mendorong produksi produk yang diminati (menjadi cerminan selera) sehingga muncul ekspor.
3. Teori Perdagangan Baru (New Trade Theory)
Teori perdagangan baru mulai muncul pada tahun 1970an ketika sejumlah ahli ekonomi
menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan untuk mencapai tingkat kekuatan ekonomi
mempunyai implikasi penting untuk perdagangan internasional.
Teori perdagangan baru membuat dua poin penting: pertama, karena pengaruhnya pada
skala ekonomi, perdagangan dapat meningkatkan keanekaragaman dari barang-barang yang
tersedia untuk konsumen dan mengurangi biaya rata-rata barang tersebut. Kedua, industri-
industri itu ketika output diperlukan untuk mencapai skala ekonomi yang menggambarkan
proporsi penting dari total permintaan dunia, pasar global barangkali hanya mampu mendukung
sejumlah kecil dari perusahaan-perusahaan.jadi perdagngan dunia pada produk tertentu mungkin
dikuasai oleh negara-negara yang mempunyai perusahaan-perusahaan yang merupakan first
mover di produksi mereka.
Meningkatkan Variasi Produk Dan Mengurangi Biaya
Dalam indutri, dimana skala ekonomi adalah penting, variasi barang yang dapar diproduksi suatu
negara dan skala produksi keduanya terbatas oleh ukuran dari pasar. Jika pasar sebuah negara
adala kecil, tidak ada kemungkinan cukup permintaan untuk penghasil mencapai skala ekonomi
untuk produk-produk tertentu. Karena itu, produk tersebut bisa diproduksi, dengan cara
membatasi variasi produk yang tersedia untuk konsumen. Kemungkinan lain, mereka bisa
memproduksi produk, tetapi dalam volume rendah yang biaya dan harga unitnya lebih tinggi
daripada kekuatan mereka jika skala ekonomi bisa dicapai.
Sekarang mengingat apa yang terjadi ketika perdagangan negara satu sama lain. Pasar negara
individual dikombinasikan ke dalam pasar dunia yang lebih besar. Seperti ukuran pasar yang
berkaitan dengan luas perdagangan, perusahaan-perusahaan individual mungkin dapat mencapai
skala ekonomi lebih baik. Sebuah implikasi, menurut teori perdagangan baru, bahwa setiap
negara mampu untuk menspesialisasi dalam memproduksi produk lebih sempit pada kekurangan
perdagangan, masih dengan membeli barang-barang dari negara lain, setiap negara dapat secara
serempak meningkatkan variasi dari barang-barang yang tersedia untuk konsumennya dan biaya
yang lebih rendah dari barang-barang tersebut – jadi perdagangan menawarkan sebuah
kesempatan untuk keuntungan bersama bahkan ketika negara-negara tidak berbeda pada sumber
daya pendukung atau teknologi mereka.
Skala Ekonomi, Keuntungan First-Mover Dan Pola Perdagangan
Keuntungan first-mover adalah keuntungan ekonomis dan strategis yang tumbuh untuk pengikut
yang masuk lebih awal ke dalam sebuah industri. Kemampuan untuk menangkap skala ekonomi
lebih dulu dari pengikut selanjutnya, dan pada prinsipnya keuntungan dari struktur biaya yang
lebih rendah, adalah sebuah keuntungan first-mover yang penting. Teori perdagangan bebas
beragumen bahwa untuk produk-produk dimana skala ekonomi adalah penting dan menunjukkan
proporsi permintaan dunia yang kuat, first mover pada sebuah industri dapat mencapai
keuntungan biaya berdasarkan skala agar pengikut-pengikut selanjutnya hampir tidak mungkin
menemukan tandingan. Jadi, pola perdagangan yang kita teliti untuk produk yang bisa
menggambarkan keuntungan first-mover. Negara-negara bisa mendominasi eksppor dari barang-
barang tertentu karena skala ekonomi penting dalam produksi mereka dan karena perusahaan
berlokasi di negara-negara yang pertama menggambarkan skala ekonomi, memberi mereka
sebuah keuntungan first-mover.
Implikasi New Trade Theory
Teori perdagangan baru mempunyai implikasi penting. Teori itu menyatakan bahwa negara-
negara bisa tetap untung ketika mereka tidak berbeda dalam sumber daya pendukung dan
teknologinya. Teori tersebut juga menyatakan bahwa suatu negara bisa mendominasi ekspor dari
sebuah barang yang sederhana karena cukup menguntungkan mempunyai satu atau lebih
perusahaan pertama untuk memproduksi barang itu.
Teori ini cukup berguna dalam menjelaskan pola-pola perdagangan. Studi empiris
nampaknya mendukung prediksi dari teori bahwa perdagangan meningkatkan spesialisasi
produksi di dala sebuah industri, menambah variasi produk yang tersedia untuk konsumen, dan
menghasilkan harga rata-rata yang lebih rendah.
Mungkin banyak yang memperdebatkan implikasi dari teori perdagangan baru dengan
argumen bahwa teori perdagangan baru menimbulkan campur tangan pemerintah dan kebijakan
perdagangan strategis. Ahli teori perdagangan baru menekankan keuntungan, entrepreneurship,
dan inovasi dalam memberi perusahaan keuntungan-keuntungan first-mover.
Kondisi Liberalisasi Perdagangan Yang Dihadapi Indonesia Saat Ini
1. ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Kerjasama perdagangan di kawasan ASEAN secara resmi diumumkan pada 24 Februari 1977
yang disebut dengan Preferential Trade Arrangement (PTA) dan dalam perkembangannya
menjadi ASEAN Free Trade Area (AFTA). PTA mengusulkan pelaksanaan perdagangan bebas
melalui lima cara. Dari kelima cara yang diusulkan tersebut, hanya pengurangan tarif yang
dilaksanakan cukup luas bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negaranegara
anggota ASEAN.
AFTA melalui CEPT (Common Effective Preferential Tariff) merupakan wujud dari
kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas
perdagangan, untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Pada KTT
ke-4 telah diputuskan bahwa AFTA akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1 Januari 1993-1
Januari 2008) dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian dipercepat menjadi tahun
2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Sampai tahun 2002, tarif bea masuk impor yang dikenakan terhadap barang-barang yang
diperdagangkan di antara kawasan ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, dan Thailand) diturunkan sampai pada tingkat 0-5%, kecuali untuk produk sensitif,
seperti beras, dan produk yang secara tetap dikecualikan, seperti narkotika dan substansi
psikotropika. Komitmen Indonesia dibawah skema CEPT-AFTA menunjukkan bahwa pada 2003
sekitar 99,07% tarif CEPT Indonesia telah berada pada kisaran 0-5%. Disamping itu,
kesepakatan dalam AFTA tidak hanya untuk menurunkan tarif tetapi juga penghapusan
hambatan kuantitatif (quantitative restriction) dan hambatan non-tarif (non-tariff barriers).
Pada pertemuan 12 Juli 2003 di Jakarta, disepakati percepatan integrasi terhadap 11
sektor prioritas ASEAN. Selanjutnya untuk masing-masing sektor prioritas tersebut, tarif akan
diturunkan hingga nol, hambatan non tarif dihapuskan, dan batasan nilai tukar terhadap produk-
produk tersebut akan diharmonisasikan.
Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan
ekspor komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk
menghasilkan komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA.
Upaya ke arah itu, nampaknya masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih
serius dari pemerintah maupun para pelaku agrobisnis, mengingat beberapa komoditas pertanian
Indonesia saat ini maupun di masa yang akan datang masih akan selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan dalam peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga
dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak kondusif bagi sektor
pertanian.
Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis
dapat menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk pertanian sehingga lebih
kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global, dan sekaligus memberikan dampak
positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan
daerah.
Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia
Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota ASEAN masih
memiliki beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan kita dalam menghadapi AFTA,
diantanya adalah; dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk
di Indonesia. Jika tak ada kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang
mana hal tersebut akan menyebabkana biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya
saing produk dalam pasar internasional.
Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut
memperlancar perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering diindikasikan KKN. Akibat
masih meluasnya KKN dan berbagai pungutan yang dilakukan unsure pemerintah di semua
lapisan, harga produk yang dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang
diharapkan akan meningkatkan akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal
ternyata dipakai untuk menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia usaha tanpa
menghiraukan implikasinya. Otonomi malah menampilkan sisi buruknya yang bisa
mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar dunia.
Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat
luas, baik berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir
barang selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap
tahun akibat ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran kemampuan
TNI-AL, sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk mengamankan lautan akibat
kekuarangan dana dan sarana yang lain. Kendala utama bagi masyarakat Indonesia adalah
mengubah pola pikir, baik di kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja.
Mengubah pola pikir ini sangat penting bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.
2. China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA)
Setelah setahun penerapan CAFTA, ternyata kondisi UKM di Indonesia memiliki daya saing
UMKM yang semakin merosot. Dampak penerapan kawasan perdagangan CAFTA bagi usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia dipastikan makin kuat pada 2011. Selain
meningkatkan daya saing produk, dukungan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada para
pelaku usaha dalam negeri juga diperlukan. Di lain pihak, para pelaku usaha terutama UM KM
wajib melakukan evaluasi pasar sepanjang 2010 untuk menetapkan strategi pemasaran pada 2011
karena meski pada tahun pertama pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China belum
memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap sejumlah sektor unggulan, namun tidak
berarti kondisi itu akan terus stagnan. Buktinya untuk beberapa komoditas seperti tekstil, barang
elektronik, mainan anak-anak dan beberapa sektor lainnya begitu deras bahkan mendominasi di
pasar dalam negeri,
Pada tahun 2011 ini dipastikan volume barang impor dari China akan meningkat drastis
sehingga berbagai jenis barang dan komoditas yang masuk akan mengancam produk lokal. China
masih memiliki banyak komoditas yang siap menyerbu pasar dunia, terutama ke Indonesia yang
memiliki pasar cukup besar. Pelaku usaha perlu mengantisipasi, terutama dalam memperkuat
daya saing di pasar dalam negeri agar tidak tergeser produk luar.
Akan tetapi, tidak sepenuhnya benar bila tahun 2011 dianggap sebagai ancaman karena
dari perdagangan ini justru ada peluang. Hal itu bisa terjadi bila pemerintah tidak memberikan
perhatian dan keberpihakan dalam kebijakan-kebijakannya. Sejumlah pelaku UMKM di
Indonesia belum kuat bergulat di pasar bebas. Hal tersebut perlu segera diatasi dengan
memperkuat kelembagaan dan komunitas masing-masing dalam meningkatkan daya saing dan
perkuatan pasar dalam negeri. Kondisi tersebut merupakan salah satu kelemahan yang perlu
segera dibenahi dan pemasaran produk saat ini tidak bisa dilakukan secara sektoral atau per
individu melainkan perlu ada penguatan komunitas pelaku UMKM agar daya saing produk
dalam negeri makin meningkat. Pengembangan dan inovasi produk tidak bisa terhindarkan lagi,
pemanfaatan teknologi informasi mutlak bagi mereka dan komunikasi inovasi perlu
dimaksimalkan disamping penguatan jaringan promosi dan pasar yang lebih dari tahun-tahun
sebelumnya.
Kecenderungan pasar yang meminati produk impor khususnya produk China yang
berharga murah, perlu menjadi bahan evaluasi dan survei pasar untuk mengetahui karakter pasar
yang bisa ditembus. Sebab terlepas dari kualitas, pasar bisa menentukan sendiri pilihannya.
Karena itu, kemampuan promosi dan menyiasati karakter pasar seperti itu mutlak dalam
mendongkrak pemasaran untuk UMKM. Di sisi lain, perlu adanya jaringan distribusi dan
pemasaran produk yang lebih efektif bagi produk-produk UMKM. Saat ini pemasaran produk
UMKM terkadang harus melalui broker atau perantara karena keterbatasan jaringan.
Akan tetapi ternyata kondisi saat ini menjadi lebih parah, di mana banyak industri lokal
yang kini memilih melakukan impor barang jadi ke Indonesia ketimbang memilih bersaing
dengan produk China. Industri ini kemudian hanya memberikan label lokal dalam produk-produk
buatan China tersebut. Kondisi ini diakibatkan tingginya biaya pengolahan bahan baku di
Indonesia.
Di lain pihak, para importir di seluruh Indonesia juga tidak mampu membendung
kebutuhan konsumen terhadap impor dari China, terutama jenis barang jadi maupun baku. Para
importir hanya bisa terus mengimpor seluruh permintaan konsumen atas seluruh barang. Hal ini
juga didukung dengan kondisi menguatnya Rupiah akhir-akhir ini sehingga menunjang kinerja
para importir.
Data BPS merinci, kenaikan impor dari China yang semakin besar. Impor dari China naik
sebesar 40,45 persen dari US$198,01 juta di Februari 2011 dan pada bulan Maret 2011 naik
menjadi US$278,11 juta. Secara kumulatif Januari-Maret 2011, impor dari China mencapai
US$710,236 juta, tumbuh 37,4 persen dibanding Januari-Maret 2010 sebesar US$516.897 juta.
B. EFEK KEBIJAKAN MONETER DAN KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP
PENYESUAIAN BALANCE OF PAYMENT (BOP) DAN PENENTUAN EXCHANGE
RATE
Untuk menjelaskan bagaimana efek dari kebijakan moneter dan fiskal terhadap penyesuaian
balance of payment dan penentuan exchange rate, kita dapat menggunakan teori Mundell-
Flemming, di mana bentuk analisis IS-LM yang sederhana memasukkan unsur BOP sehingga
analisisnya menjadi lebih kompleks.
Kebijakan Fiskal pada Fixed Exchange Rate
Di sini kita mengasumsikan bahwa tingkat suku bunga domestik (r) sama dengan tingkat suku
bunga luar negeri (rf). Karena kondisinya sedang krisis, sektor swasta tidak tumbuh sebagaimana
mestinya dan sektor pemerintah lah yang memegang peranan dalam bentuk peningkatan
spending government nya (G). Kenaikan pada G akan mengakibatkan kurva IS bergeser ke
kanan atas (IS1), di mana membuat pendapatan nasional (Y) mengalami peningkatan.
Peningkatan Y akan menyebabkan kenaikan pada tingkat suku bunga domestik (r). Kenaikan
pada r menyebabkan terjadinya aliran modal masuk bertambah (capital inflow) yang
mengindikasikan adanya kenaikan permintaan terhadap Rupiah. Tingkat suku bunga domestik
yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga internasional membuat orang-orang tertarik untuk
menabung di domestik. Naiknya permintaan terhadap Rupiah menyebabkan pemerintah harus
menambah supply Rupiah (karena kurs tetap maka kurs tidak akan disesuaikan). Adanya
kenaikan penawaran terhadap Rupiah inilah menyebabkan ekspor mengalami penurunan dan
impor meningkat pesat.
Peningkatan dari supply Rupiah menyebabkan kurva LM bergerak menuju LM1 yang artinya
kurva LM mengalami penurunan. Keseimbangan ekonomi kembali berpindah menuju titik C
dengan tingkat pendapatan naik dari Y menuju Y2. Kenaikan tingkat pendapatan inilah yang
menjadi barometer kesuksesan kebijakan fiskal pada kondisi fixed exchange rate.
Kebijakan Moneter pada Fixed Exchange Rate
Sama seperti asumsi di atas, adanya peningkatan penawaran Rupiah akan menyebabkan kurva
LM bergeser ke kanan bawah (LM1) sehingga pendapatan (Y) akan mengalami peningkatan.
Peningkatan kondisi perekonomian ini akan menyebabkan tingkat suku bunga domestic (r)
mengalami penurunan sehingga terjadi aliran modal keluar (capital outflow) akibat rendahnya
tingkat suku bunga domestik dibandingkan suku bunga internasional. Meningkatnya capital
outflow akan menyebabkan terjadinya kenaikan permintaan terhadap valuta asing (valas).
Peningkatan permintaan valas di satu sisi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran Rupiah.
Pengurangan penawaran Rupiah sama saja artinya dengan penurunan kurva LM sehingga kurva
LM kembali bergerak dari LM1 ke LM0 dan keseimbangan kembali berpindah dari B menuju A.
Keseimbangan ini biasanya tidak permanen dan hanya terjadi pada periode jangka pendek
sehingga dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan fixed exchange rate, kebijakan
moneter tidak efektif dibandingkan kebijakan fiskal.
Kebijakan Fiskal Terhadap Flexible Exchange Rate
Adanya kebijakan fiskal dalam arti terjadinya kenaikan government spending / G (fiskal
ekspansif) akan menggerakkan kurva IS ke kanan atas (IS1). Akibatnya suku bunga domestik
mengalami kenaikan dan terjadi capital inflow dari dunia internasional. Dengan kebijakan kurs
yang flexible maka kenaikan permintaan terhadap Rupiah akan memungkinkan perubahan kurs
yang menyebabkan nilai tukar Rupiah menguat (apresiasi Rupiah).
Efek dari apresiasi Rupiah terhadap perdagangan Indonesia cukup merugikan, sebab secara
relatif harga komoditi Indonesia lebih mahal dalam valuta asing sehingga mengurangi
permintaan ekspor kita serta meningkatkan permintaan impor. Akibatnya apresiasi Rupiah akan
kembali menurunkan kurva IS ke kiri dan menurunkan kembali keseimbangan ekonomi ke
keadaan semula dalam jangka panjang. Jadi dapat disimpulkan pada negara dengan kebijakan
flexible exchange rate, kebijakan fiskal tidak efektif dibandingkan kebijakan moneter.
Kebijakan Moneter Pada Flexible Exchange Rate
Kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan kenaikan kurva LM sehingga bergeser ke
kanan bawah. Akibatnya tingkat suku bunga domestik turun dan terjadinya capital outflow ke
luar negeri. Dalam kondisi flexible exchange rate maka capital outflow akan menaikkan
permintaan valuta asing sehingga nilai valuta asing menguat atau dengan kata lain terjadi
depresiasi Rupiah. Depresiasi Rupiah akan menaikkan neraca perdagangan Indonesia dan kurva
IS bergeser ke kanan atas (IS1). Keseimbangan akhir berada pada titik C dengan tingkat
pendapatan sebesar Y2. Karenanya dapat disimpulkan kebijakan moneter justru sangat efektif
untuk diterapkan di suatu negara yang menganut sistem nilai tukar yang flexible.
C. 1. MANFAAT YANG DIDAPATKAN DARI MATA KULIAH EKONOMI
INTERNASIONAL TERHADAP JURUSAN AKUNTANSI
Manfaat yang saya dapatkan dari mata kuliah ekonomi internasional di jurusan akuntansi adalah
saya bisa mengetahui bagaimana perdagangan internasional tersebut ternyata, menurut saya,
mempunyai pengaruh terhadap pola pencatatan transaksi antarnegara. Dikarenakan sekarang
sudah era globalisasi di mana batasan dan hambatan perdagangan antarnegara sudah jauh
berkurang dibandingkan dulu, pola pencatatannya transaksi pun juga harus menyesuaikan diri,
terlebih transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan yang membuka cabang perusahaan
di negara lain dengan nama yang sama dengan induk perusahaan yang disebut multinational
corporation (MNC).
Adanya transaksi antarnegara dan prinsip-prinsip akuntansi yang berbeda antarnegara
mengakibatkan munculnya kebutuhan akan standar akuntansi yang berlaku secara internasional.
Oleh karena itu muncul organisasi yang bernama IASB atau International Accounting Standard
Board yang mengeluarkan International Financial Report Standar (IFRS). IFRS kemudian
dijadikan sebagai pedoman penyajian laporan keuangan di berbagai negara dan membantu
kelancaran perdagangan internasional.
Kajian empiris yang ingin dilakukan adalah hubungan perdagangan internasional dengan
peningkatan tingkat kecurangan dalam ekspor impor khususnya di perusahaan MNC.
Menurut saya, mungkin kajian ini menarik untuk diteliti menjadi sebuah skripsi dikarenakan
pada perusahaan MNC terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
Beroperasi di lebih dari satu negara dan tidak memiliki negara basis yang jelas. Namun demikian, mereka memproduksi dan menjual secara internasional.
Mencari keuntungan yang kompetitif dan memaksimalkan laba dengan terus-menerus mencari lokasi produksi yang paling efisien dan murah.
Memiliki fleksibilitas geografis yang memudahkan mereka memindahkan berbagai sumber dan operasi di seluruh dunia.
Menguasai tiga per empat perdagangan dunia dan sekitar sepertiga dari seluruh output perekonomian global.
Dikarenakan ciri-ciri di atas, dimungkinkan perusahaan multinational corporation (MNC) ini memiliki potensi kecurangan dalam hal perdagangan (ekspor dan impor) antarnegara.
"Good Corporate Governance", Sebuah Keharusan
SUATU survei penerapan tata kelola perusahaan yang baik (good corporategovernance) oleh Indonesian Institute for Corporate Governance bekerja sama dengan majalah SWA di perusahaan-perusahaan publik di Indonesia hanya direspons kurang dari 10 persen dari total responden. Dari total 332 responden yang disurvei, hanya 31 perusahaan yang mengikuti survei tersebut. Survei serupa yang dilakukan di negara-negara maju rata-rata diikuti lebih dari 70 persen responden. Hal ini mencerminkan masih rendahnya kesadaran good corporate governance di Indonesia.
NAMUN, hal ini tidak terlalu mengejutkan karena sebuah survei lain yang dilakukan La Porta, Lopez, Shleifer, dan Vishny pada tahun 1998-2000 mengenai perlindungan investor dan corporate governance mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat penerapan good corporate governance yang rendah.
Bank Dunia dalam sebuah survei Governance Research Indicator Country Snapshot tahun 2002 memberi Indonesia skor rata-rata di bawah 25 dari kemungkinan 1-100 untuk enam kategori penilaian, jauh tertinggal dari negara-negara tetangga yang memperoleh skor rata-rata di atas 50. Bahkan untuk kategori pengendalian terhadap korupsi Indonesia hanya memperoleh skor 6,7, jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing memperoleh nilai 68, 53.6, dan 37.6. (lihat tabel)
Penyebab krisis
Krisis yang melanda Indonesia yang dimulai pada pertengahan 1997 salah satunya diperparah rendahnya penerapan corporate governace. Hal ini ditandai dengan kurang transparannya pengelolaan perusahaan sehingga kontrol publik menjadi sangat lemah dan terkonsentrasinya pemegang saham besar pada beberapa keluarga menyebabkan campur tangan pemegang saham mayoritas pada manajemen perusahaan sangat terasa dan menimbulkan konflik kepentingan yang sangat menyimpang dari norma-norma tata kelola perusahaan yang baik.
Sebuah riset yang dilakukan ekonom Bank Dunia pada tahun 1998 mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 1993 sampai 1997, lebih dari 60 persen saham perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) hanya dikuasai oleh sepuluh keluarga terkaya di Indonesia.
Minimnya perlindungan pada pemegang saham minoritas menyebabkan hilangnya kepercayaan investor, terutama investor asing, untuk tetap memegang saham-saham perusahaan publik di Indonesia. Pada pertengahan tahun 1998, bursa hampir-hampir ditinggalkan investor asing, hanya pemain domestik dan spekulan yang masih bertahan. Tidaklah mengagetkan kalau di tahun 1998 bursa Indonesia mengalami titik terendah dalam lima tahun terakhir bursa beroperasi.
Rendahnya stabilitas keamanan dalam negeri dan tidak berfungsinya aparat penegak hukum menjadikan investasi jangka panjang yang ikut menggerakkan sektor riil mulai meninggalkan Indonesia dan memindahkan perusahaannya ke beberapa negara tetangga. Indonesia sudah tidak dianggap lagi sebagai negara yang kompetitif untuk investasi jangka panjang. Ini tentu saja semakin menambah jumlah pengangguran dan mengganggu kinerja ekspor kita.
Buruknya pengelolaan perbankan dan kebijakan pemberian kredit yang penuh kolusi hanya menghasilkan terkonsentrasinya pemberian kredit pada pihak-pihak yang terkait dengan pemilik bank. Bank hanya dijadikan sapi perahan bagi pemiliknya, menyedot dana dari masyarakat, dan menyalurkannya ke perusahaan-perusahaan sendiri tanpa mengindahkan aturan Batas Maksimum Pemberian Kredit kepada perusahaan terafiliasi.
Begitu krisis mata uang mulai menerpa, segera saja kredit macet menggunung mencapai 70 persen dari total pinjaman sehingga menyebabkan kebangkrutan sektor keuangan dalam negeri dan hilangnya kepercayaan lembaga keuangan internasional. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, kredit macet perbankan Indonesia merupakan yang tertinggi dan terparah, perbankan Malaysia dan Filipina hanya menanggung beban kredit macet 18 persen dan 20 persen dari total kredit.
Kebangkrutan sektor keuangan dalam negeri ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank oleh Bank Indonesia pada tanggal 1 November 1998 dan menyebabkan kepanikan luar biasa pada masyarakat sehingga mereka menarik dana-dana simpanannya dari bank, baik dalam bentuk deposito maupun tabungan. Diperkirakan dana masyarakat yang ditarik sampai dengan akhir Desember 1998 mencapai separuh dari total simpanan perbankan. Untuk meredam kepanikan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat, pemerintah mengumumkan penjaminan kewajiban bank umum. Ternyata ini saja tak cukup. Untuk menarik kembali dana-dana tersebut, BI mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat suku bunga yang sangat tinggi dan diikuti perbankan dalam negeri, bahkan suku bunga pernah mencapai lebih dari 60 persen setahun untuk deposito berjangka satu bulan.
Harga yang harus dibayar rakyat untuk merekapitalisasi sektor perbankan sangatlah mahal. Lebih dari Rp 600 triliun dana dihabiskan dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda rakyat bisa menuai hasilnya.
Penghambat pemulihan
Sudah hampir tujuh tahun krisis melanda Indonesia dan tiga kali pergantian presiden, namun tanda-tanda ke arah pemulihan masih belum menampakkan gambaran yang jelas.
Memang beberapa indikator makro mulai memberikan prospek yang optimis, seperti nilai tukar rupiah yang mulai stabil di kisaran Rp 8.500, tingkat inflasi yang semakin menurun dari 12.55 persen di akhir tahun 2001 menjadi 5.06 persen di akhir tahun 2003, suku bunga SBI yang semakin turun dari 17,6 persen tahun 2001 menjadi 8,31 persen pada tahun 2003, Indeks Harga Saham Gabungan di BEJ yang sudah melampaui level sebelum krisis dan cadangan devisa yang mencapai 36,25 juta dollar AS pada akhir tahun 2003.
Namun, beberapa indikator lainnya masih terlihat suram, arus investasi langsung masih negatif, kredit perbankan rendah, pengangguran terbuka semakin tinggi, dan kinerja ekspor belum mencapai level sebelum krisis.
Rendahnya kesadaran good corporate governance menyebabkan tingginya risiko berinvestasi di Indonesia. Hal ini berdampak langsung dengan tingkat investasi, bahkan sampai dengan tahun 2003 arus investasi langsung ke Indonesia masih negatif, artinya arus modal keluar lebih tinggi daripada modal yang masuk. Walaupun sampai dengan akhir tahun 2003 negatifnya sudah mulai turun.
Rendahnya penerapan good corporate governance menyebabkan hilangnya kepercayaan investor maupun kreditor untuk menyalurkan kredit, trauma kredit macet menggunung karena penyaluran kredit yang serampangan pada masa Orde Baru masih menghantui kalangan perbankan. Hal ini terlihat dari rasio kredit yang hanya mencapai kisaran 50 persen dari tingkat dana pihak ketiga yang ditampung perbankan.
Negatifnya arus investasi dan rendahnya penyaluran kredit menyebabkan tak berjalannya sektor riil yang berakibat langsung pada tidak tersedianya lapangan kerja baru dan semakin menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Pada tahun 2003, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia masih tinggi (sembilan juta orang-Red), sedangkan pekerja yang bekerja di sektor informal menjadi 62,4 juta, mengalami kenaikan dari sebelum krisis tahun 1997 sebesar 53,7 juta.
Semakin banyaknya pengangguran dan meningkatnya pekerja sektor informal bisa mengakibatkan ledakan sosial yang sangat mahal harganya bagi pemulihan ekonomi kita. Broker-broker politik ditengarai sedang bergentayangan untuk mulai membeli suara sebanyak-banyaknya untuk kepentingan mereka. Partai-partai sibuk mengumpulkan uang baik melalui cara yang sah maupun cara-cara "haram".
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai sebuah institusi kepanjangan tangan pemerintah yang diharapkan bisa memelopori penerapan tata kelola perusahaan yang baik justru memberikan gambaran suramnya penerapan good corporate governance di Indonesia.
Sejak berdiri tahun 1998 sampai dengan dibubarkan pada Februari kemarin, BPPN mengalami pergantian ketua (kepala) sebanyak delapan kali, suatu cermin saratnya kepentingan pemegang saham (pemerintah) untuk menyetir institusi itu sesuai keinginan penguasa. Kasus-kasus besar yang mencederai hati masyarakat menerpa lembaga ini, pembobolan Bank Bali untuk kepentingan partai tertentu, penjualan Indomobil yang disinyalir tidak sesuai prosedur, penggunaan rekening 502 yang serampangan, dan konflik kepentingan dan penyajian keuangan yang menyesatkan dalam proses penjualan Bank Lippo merupakan contoh-contoh betapa lemahnya penerapan good corporate governance di lembaga ini.
Ide dasar pelaksanaan privatisasi BUMN adalah agar BUMN mampu beroperasi secara efisien, kompetitif, transparan dan jauh dari praktik-praktik ekonomi rente. Di samping untuk memperoleh dana dalam rangka menutup defisit APBN. Namun, di Indonesia privatisasi BUMN dilaksanakan dalam iklim rendahnya penerapan good governance pada level pemerintah maupun korporasi. Yang terjadi adalah konflik kepentingan yang luar biasa antara legislatif yang merasa mewakili kepentingan pembayar pajak sebagai pemegang saham BUMN, Kementerian BUMN sebagai pelaksana privatisasi mengemban tugas menutup defisit APBN dan manajemen maupun karyawan yang menggantungkan hidupnya dari BUMN tersebut.
Dalam hampir setiap pelaksanaan privatisasi selalu diwarnai demo besar-besaran, baik oleh masyarakat maupun karyawan. Ancam-mengancam antar pemerintah dan anggota DPR sudah menjadi tontonan sehari-hari. Hal ini tentu saja semakin memperburuk potret penerapan good corporate governance di Indonesia.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang mengalami krisis, pemulihan perekonomian Indonesia berjalan sangatlah lambat. Sebagai contoh, Malaysia membutuhkan waktu hanya 2-3 tahun untuk pemulihan perekonomiannya kembali ke tingkat sebelum krisis, bahkan sekarang sudah lebih tinggi lagi. Demikian juga di Thailand, Filipina, Korea, dan Jepang. Hal ini terkait erat dengan tingginya penerapan good governance pada level pemerintah maupun perusahaan di negara-negara tersebut.
Penutup
Sebagai warga korporasi dunia, sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia, baik perusahaan terbuka maupun BUMN, menerapkan good corporate governance dalam pengelolaannya.
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik memberikan banyak sekali keuntungan bagi perusahaan itu sendiri dan masyarakat, tumbuhnya kepercayaan investor memberi peluang akses sumber pendanaan yang murah dan berkembangnya pasar modal kita, menguatnya kepercayaan lembaga keuangan domestik maupun internasional memberi peluang akses kredit dengan bunga yang kompetitif, kontrol yang efektif mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Bersihnya perusahaan dari praktik-praktik korupsi memungkinkan perusahaan untuk beroperasi secara efisien dan menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing di pasar global, yang pada gilirannya mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan berkesinambungan.
Menarik sekali apa yang dikemukakan James Wolfensohn saat menjabat sebagai Presiden Bank Dunia pada tahun 1998. "Kuatnya good corporate governance menghasilkan perkembangan sosial yang bagus. Penerapan good corporate governance menciptakan struktur kepemilikan perusahaan yang luas dan mengurangi tersentralisasinya kekuasaan pada pihak-pihak tertentu
dalam masyarakat, menunjang perkembangan pasar modal dan menstimulasi inovasi, memacu tumbuhnya investasi jangka panjang, mengurangi gejolak, dan menghambat pelarian modal.