Download - Ekosistem Mangrove Pantai Timur Surabaya
EKOSISTEM MANGROVE PANTAI TIMUR SURABAYA
EKOSISTEM MANGROVE
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang
membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari
genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas
lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi (Dahuri, 2002).
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara
untuk perikanan pantai. Mangrove menyokong kehidupan sejumlah besar spesies binatang dengan
menyediakan tempat berbiak, berpijah dan makan. Spesies tersebut meliputi berbagai jenis burung,
ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting (Mastra, 1999).
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang unik merupakan sumberdaya alam yang
sangat potensial, mendukung hidupnya keanekaragaman flora dan fauna komunitas terestris akuatik
yang secara langsung atau tidak langsung berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia baik
dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan (Dahuri, 2002).
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di
dunia, seluruhnya tercatat terdapat 89 jenis. Dari sekian banyak jenis bakau di Indonesia, jenis
mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora
sp.), tancang (Bruguiera sp.) dan bogem atau pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan
mangrove utama yang banyak dijumpai (Bengen, 2000).
Zona adalah suatu daerah yang memiliki kesamaan karakter fisik, biologi, ekologi dan
ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih. Kriteria tersebut merupakan dasar untuk
mengidentifikasi zona. Mengingat keadaan daerah bervariasi, maka kemungkinan ada kriteria atau
pertimbangan kebijaksanaan lain yang dapat ditambahkan untuk mengidentifikasi secara lebih baik
daerah tersebut yang dialokasikan pada suatu zona tertentu (Bengen, 2000).
Menurut Bengen (2001), berdasarkan jenis - jenis pohon penyusun formasi hutan mangrove
dari arah laut ke daratan dapat dibedakan 4 zonasi, yaitu :
NAMA : NURLAILA SHOFIANITA
NRP : 1509100029
1. Zone Api - api (Avicenni Sonneratia)
Terletak paling luar atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur, agak lembek,
dangkal, terdiri dari sedikit bahan organik dengan kadar gram agak tinggi. Zone ini didominasi oleh
jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin.
Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai
akar pasak.
2. Zone Bakau (Rhizopora)
Terletak di belakang zona api - api prepat, keadaan tanah lembek, dalam, daerah ini tidak
selalu terendam air, hanya kedang-kadang saja terendam air. Banyak ditumbuhi oleh jenis bakau
(Rhizophora spp.)
3. Zone Tancang (Bruguiera)
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Daerah ini
tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan
permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. Pada umumnya ditumbuhi jenis Bruguiera spp.
4. Zone Nipah (Nypa Fructicance)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dalam kearah darat. Zone ini salinitas airnya sangat
rendah dan tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut. Pada umumnya ditumbuhi jenis Nipah.
(Wijayanti dkk, 2005).
Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik dalam hal
produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum merupakan sumber alam yang kaya
sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora dan fauna. Mulai dari perkembangan
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan
dan hewan-hewan laut kecil lainnya. Pada gilirannya akan menjadi makanan hewan yang lebih besar
dan akhirnya menjadi mangsa predator besar termasuk pemanfaatan oleh manusia. Misalnya
kepiting, ikan blodok, larva udang dan lobster memakan plankton dan detritus di habitat ini. Kepiting
diambil dan dimanfaatkan manusia sebagai makanan (Wijayanti dkk, 2005).
EKOSISTEM MANGROVE DALAM TINJAUAN FUNGSI EKOLOGI
Ekosistem hutan bakau memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non
economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues). Adapun
manfaat berdasar fungsi ekologi sebagai manfaat tidak langsung adalah sebagai berikut :
1. Menumbuhkan pulau dan mensta-bilkan pantai
Pulau, sebagai salah satu habitat komunitas bakau, bersifat dinamis, artinya dapat berkembang
meluas ataupun berubah mengecil bersamaan dengan berjalannya waktu. Bentuk dan luas pulau
dapat berubah karena aktivitas proses vulkanik atau karena pergeseran lapisan dasar laut. Beberapa
ahli berpendapat bakau berperan dalam menangkap, menyimpan, mempertahankan dan
mengumpulkan benda dan partikel endapan dengan struktur akarnya yang lebat, sehingga lebih suka
menyebutkan peran bakau sebagai “shoreline stabilizer” daripada sebagai “island initiator” atau
sebagai pembentuk pulau. Dalam proses ini yang terjadi adalah tanah di sekitar pohon bakau
tersebut menjadi lebih stabil dengan adanya bakau tersebut (Bann, 1998).
2. Mengawali rantai makanan
Daun bakau yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar teruraikan oleh mikro
organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan makanan bagi larva dan hewan kecil
air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat yang bermukim
atau berkunjung di habitat bakau (Siahaya, 2004).
3. Tempat tambat kapal
Daerah teluk yang terlidung seringkali dijadikan tempat berlabuh dan bertambatnya perahu.
Dalam keadaan cuaca buruk pohon bakau dapat dijadikan perlindungan dengan bagi perahu dan
kapal dengan mengikatkannya pada batang pohon bakau. Perlu diperhatikan agar cara tambat
semacam ini tidak dijadikan kebiasaan karena dapat merusak batang pohon bakau yang
bersangkutan (Kusmono, 1997).
4. Melindungi dan memberi nutrisi
Akar tongkat pohon bakau memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi hewan ikan
dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap di laut dan di daerah
terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari predator dan suplai nutrisi yang
cukup di daerah bakau ini. Berbagai jenis hewan darat berlindung atau singgah bertengger dan
mencari makan di habitat mangrove (Naamin, 1991).
Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Berbagai biota pesisir
dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah
pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery
ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Mereka menangguk banyak keuntungan
dari “kemurahan hati” mangrove. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan
jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan
sebagai feeding ground. Sampah ini, juga jasad renik yang muncul karenanya, menjadi makanan bagi
hewan-hewan yang hidup di perairan ekosistem mangrove ini (Kusmono, 1997).
EKOSISTEM MANGROVE DALAM TINJAUAN FUNGSI EKONOMI
Disamping memberikan manfaat secara tidak langsung, ekosistem mangrove tersebut juga
memberikan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung, hal tersebut menyangkut nilai ekonomis
yang diberikan, adapun manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove adalah sebagai berikut :
1. Obat-obatan
Kulit batang pohonnya dapat dipakai untuk bahan pengawet dan obat-obatan. Macam-macam
obat dapat dihasilkan dari tanaman bakau. Campuran kulit batang beberapa spesies bakau tertentu
dapat dijadikan obat penyakit gatal atau peradangan pada kulit. Secara tradisional tanaman bakau
dipakai sebagai obat penawar gigitan ular, rematik, gangguan alat pencernaan dan lain-lain. Getah
sejenis pohon yang berasosiasi dengan bakau (blind-your-eye mangrove) atau Excoecaria agallocha
dapat menyebabkan kebutaan sementara bila kena mata akan tetapi cairan getah ini mengandung
cairan kimia yang dapat berguna untuk mengobati sakit akibat sengatan hewan laut. Air buah dan
kulit akar bakau muda dapat dipakai mengusir nyamuk. Air buah tancang dapat dipakai sebagai
pembersih mata. Kulit pohon tancang digunakan secara tradisional sebagai obat sakit perut dan
menurunkan panas. Acanthus ebracteatus dapat digunakan sebagai pembersih darah serta
mengatasi kulit terbakar. Daun mengobati rematik. Perasan buah atau akar kadang-kadang
digunakan untuk mengatasi gigitan ular atau terkena panah beracun. Bijinya bisa mengatasi serangan
cacing dalam pencernaan (Khazali dkk, 1999).
2. Pengawet
Buah pohon tancang dapat dijadikan bahan pewarna dan pengawet kain dan jarring dengan
merendam dalam air rebusan buah tancang tersebut. Selain mengawetkan hasilnya juga pewarnaan
menjadi coklat-merah sampai coklat tua, tergantung pekat dan lamanya merendam bahan.
Pewarnaan ini banyak dipakai untuk produksi batik, untuk memperoleh pewarnaan jingga-coklat. Air
rebusan kulit pohon tingi dipakai untuk mengawetkan bahan jaring payang oleh nelayan di daerah
Labuhan, Banten (Siahaya, 2004).
3. Pakan dan makanan
Daunnya banyak mengandung protein. Daun muda pohon api-api dapat dimakan sebagai sayur
atau lalapan. Daun-daun ini dapat dijadikan tambahan untuk pakan ternak. Bunga bakau jenis api-api
mengandung banyak nectar atau cairan yang oleh tawon dapat dikonversi menjadi madu yang
berkualitas tinggi. Buahnya pahit tetapi bila memasaknya hati-hati dapat pula dimakan. Sirup dalam
jumlah yang cukup banyak dapat dibuat dari batang Nypa fruticans, jika bunga diambil pada saat
yang tepat. Digunakan untuk memproduksi alkohol dan gula. Jika dikelola dengan baik, produksi gula
yang dhasilkan lebih baik dibandingkan dengan gula tebu, serta memiliki kandungan sukrosa yang
lebih tinggi (Khazali dkk, 1999).
4. Bahan bakar dan bangunan
Batang pohon bakau banyak dijadikan bahan bakar baik sebagai kayu bakar atau dibuat dalam
bentuk arang untuk kebutuhan rumah tangga dan industri kecil. Batang pohonnya berguna sebagai
bahan bangunan. Bila pohon bakau mencapai umur dan ukuran batang yang cukup tinggi, dapat
dijadikan tiang utama atau lunas kapal layar dan dapat digunakan untuk balok konstruksi rumah
tinggal. Batang kayunya yang kuat dan tahan air dipakai untuk bahan bangunan dan cerocok penguat
tanah. Batang jenis tancang yang besar dan keras dapat dijadikan pilar, pile, tiang telepon atau
bantalan jalan kereta api. Bagi nelayan kayu bakau bisa juga untuk joran pancing. Kulit pohonnya
dapat dibuat tali atau bahan jaring. Avicenia alba dapat digunakan sebagai kayu bakar dan bahan
bangunan bermutu rendah. Jenis Ceriops memiliki kayu yang paling tahan /kuat diantara jenis-jenis
mangrove lainnya dan digunakan sebagai bahan bangunan, bantalan kereta api, serta pegangan
berbagai perkakas bangunan (Khazali dkk, 1999).
EKOSISTEM MANGROVE DALAM TINJAUAN ATRIBUT LAHAN BASAH
Ekosistem mangrove dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung,
namun disamping itu, sebagai bagian dari ekosistem lahan basah, lahan mangrove memiliki fungsi
tersendiri sebagai atribut dari komunitas lahan basah.
Lahan basah di Indonesia dikenal sebagai kawasan yang mempunyai kekayaan hayati
“biodiversity” yang terkaya di dunia, sehingga disebut sebagai “Indonesian wetland
megabiodiversity”. Lahan basah memiliki arti penting, dimana berfungsi sebagai system penyangga
kehidupan (life support systems), sebagai sumber air, sumber pangan, dan menjaga “biodiversity”,
serta akhir-akhir ini sering disebut sebagai pengendali iklim global. Menyadari akan pentingnya baik
secara struktur maupun fungsi lahan basah secara local, nasional, regional maupun internasional,
maka perlu adanya upaya pengelolaan lahan basah secara bijaksana, tepat, terpadu dan
berkelanjutan (sustainable development) (Tjokrokusumo, 2006).
Ekosistem mangrove sebagai lahan basah dapat memberikan pengaruh berupa pengendali
pencemaran. Dalam kaitan fungsi tersebut, lahan basah memberikan mekanisme pengatur aliran air,
yaitu untuk penyimpanan air dan memperlambat aliran air. Selain itu mencegah intrusi air asin, baik
untuk air tanah maupun air permukaan, sebagai pelindung terhadap bencana alam, yaitu untuk
penahan badai, ombak dan tsunami, sebagai pengendap lumpur hasil erosi dan kegiatan lainnya
serta racun. Bagian paling penting adalah sebagai penambat unsure hara dan penambat racun
(Tjokrokusumo, 2006).
Lahan mangrove dapat memberikan fungsi untuk menjernihkan air. Akar pernafasan (akar
pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk pernafasan tanaman saja, tetapi
berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air
yang datang dari daratan dan mengalir ke laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali
membawa zat-zat kimia atau polutan. Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat
kimia tersebut dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak
penduduk melihat daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya
dengan tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan
dan menyebabkan pohon mati (Dahuri, 2002).
Dalah hal atribut lahan basah dan estetika, ekosistem mangrove memberikan sumbangsih
sebagai tempat wisata yang saat ini lebih dikenal sebagai eco-wista. Di Negara lain yang berada
dalam kawasan ASEAN, hutan mangrove sudah tidak dieksploitasi lagi. Pemanfaatannya dilakukan
dengan menggunakan pendekatan pariwisata dan industri perikanan yang tidak mengubah
ekosistem. Konservasi mangrove ditekankan untuk mencegah terjadinya pembukaan hutan
mangrove untuk tambak illegal atau lahan tambak yang kurang produktif. Selain itu juga dilakukan
usaha rehabilitasi agar hutan mangrove yang telah rusak setidak-tidaknya dapat kembali seperti
ekosistem alamiahnya (Bann, 1998).
KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA SECARA UMUM
Ekosistem wilayah pantai berkarakter unik dan khas karena ekosistem tersebut perpaduan
antara kehidupan darat dan air. Ekosistem wilayah memiliki arti strategis karena memiliki potensi
kekayaan hayati baik dari segi biologi, ekonomi, bahkan pariwisata. Hal itu mengakibatkan berbagai
pihak ingin memanfaatkan secara maksimal potensi itu.
Kawasan Pantai Timur Surabaya merupakan salah satu kawasan yang mendapat perhatian
khusus berhubungan dengan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau di Surabaya. Kawasan ini
memiliki peran penting sebagai imbas dari perkembangan Kota Surabaya ke arah timur, dengan
tujuan untuk mengurangi atau menyebarkan konsentrasi kegiatan dari pusat Kota Surabaya.
Pengembangan Kawasan Surabaya Timur berpengaruh terhadap kawasan konservasi alam, yaitu
kawasan yang diarahkan sebagai perlindungan perlindungan pantai dari kerusakan dan kawasan
ruang terbuka hijau dengan cara melestarikan hutan mangrove yang ada (Arisandi, 1998).
Pantai Timur Surabaya merupakan daerah lahan basah yang memiliki keanekaragaman
ekosistem, baik ekosistem pasir, ekosistem rawa payau dan ekosistem mangrove dengan luas
mencapai 3.129 ha pada tahun 1998. Sejak tahun 1993, setelah kawasan Pantai Timur Surabaya
diubah peruntukannya menjadi kawasan pengembangan yang sebelumnya dalam master plan 2000
ditetapkan sebagai kawasan konservasi, selama kurun waktu lima tahun telah terjadi pengalihan
fungsi lahan secara revolusi. Kesinambungannya sangat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem
mangrove yang menjadi penghubungnya. Selama satu dasawarsa ini telah terjadi pengurangan luas
jalur hijau, yang semula pada tahun 1970-an masih dapat dijumpai jalur hijau dengan lebar hingga
700 meter saat ini hanya dijumpai jalur hijau dengan lebar kurang dari 100 meter. Di muara – muara
sungai besar seperti muara sungai wonokromo, muara sungai wonorejo hanya memiliki ketebalan
hutan mangrove 10 – 20 meter (Arisandi, 1998).
Pantai Timur Surabaya terbentang dari Kenjeran sampai muara Sungai Dadapan yang
merupakan perbatasan Surabaya dengan Sidoarjo dengan panjang pantai 26,5 km. Terletak pada 07
16’ 03 ‘’ LS- 112 50’ 31’’ BT, pantai timur Surabaya merupakan daerah estuari yang subur, tempat
berbiaknya berbagai biota karena adanya suplai nutrisi yang terus-menerus dibawa ombak. Sungai-
sungai mempengaruhi-nya adalah Sungai Wonokromo, Sungai Wonorejo, Sungai Dadapan dan Sungai
Keputih. Pantai Timur Surabaya merupakan pantai yang landai dengan kemiringan 0-3°, pasang surut
1,67 meter, kondisi tanah homogen (Sandyclay) dengan kedalaman tanah yang di tembus akar 90 cm.
Kondisi ini sangat sesuai bagi tumbuhnya mangrove, sehingga di sana mangrove di jumpai dapat
tumbuh dengan baik (Arisandi, 2004).
Topografi Pantai Timur Surabaya yang relatif landai (0-3°) dengan 7 sungai yang membawa
sediment, menyebabkan terbentuknya delta di pantai ini. Karakteristik lainnya adalah arusnya
tenang, substrat penyusun relatif homogen berupa tanah liat berpasir (sandy clay), suhu udara 26,6°
C – 30,3° C. Kawasan seluas 3.100 ha ini 80% merupakan rawa payau yang terpengaruh pasang surut
air laut, menjadikan Kawasan Pantai Timur Surabaya memiliki beberapa tipe ekosistem yang
semuanya mendukung tumbuhnya mangrove (Arisandi, 1998).
Pantai Timur Surabaya diberi-takan telah tercemar oleh merkuri (Hg) dan tembaga (Cu).
Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoo-benthos) menunjukkan klasifikasi tercemar berat di
bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral
Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali Kenjeran termasuk dalam kategori tercemar berat. Biota
tersebut menggambarkan biomagnifikasi yang terjadi akibat beban limbah yang masuk ke perairan
terus bertambah. Komposisi makrozoobenthos terbesar adalah golongan kerang-kerangan (85,8%).
Kandungan logam berat di dalam substrat lumpur di dasar perairan dan biota di Pantai Timur
Surabaya telah melebihi ambang batas FAO/WHO yang menetapkan kandungan logam berat bersifat
akumulatif dan kronis untuk biota laut. Hal ini menunjukkan bahwa dasar perairan pesisir dan sungai
telah menjadi perangkap logam berat yang terdapat dalam limbah cair yang dibuang ke sungai
(Arisandi, 2001).
Kawasan Pantai Timur Surabaya sebenarnya daerah penyangga yang dapat dikembangkan
menjadi kawasan hutan kota karena di kawasan ini telah ada hutan mangrove namun kondisinya
yang perlu untuk dibenahi kembali (Arisandi, 2004)
Di kawasan Pantai Timur Surabaya tercatat terdapat 14 jenis burung air yang menjadikan
Kawasan tersebut sebagai habitat hidupnya baik sementara maupun menetap. Keberadaan burung-
burung air di Kawasan Pantai Timur Surabaya sangat tergantung kondisi mangrovenya (Arisandi,
2004)
POTENSI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA
Ekosistem Laut
Ekosistem merupakan kesatuan yang menyeluruh dan saling mempengaruhi yang
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. Ekosistem dapat
didefinisikan sebagai suatu organisasi antara komponen-komponen biotik dan nonbiotik yang saling
mempengaruhi. Ekosistem dalam ekologi tidak hanya melibatkan suatu sistem antara tingkah laku
(behavior) dari faktor-faktor biotik dan non biotik, tetapi melibatkan berbagai sistem dalam aliran
energi dan siklus materi (Begon et al., 2006).
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 29 Tahun 2009 tentang
Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah, ekosistem dibagi menjadi Ekosistem Alami
(Natural Ecosystem) dan Ekosistem Buatan (Man madeecosystem). Ekosistem alami merupakan
ekosistem yang terbentuk secara alami tanpa ada campur tangan manusia. Contoh ekosistem alami
antara lain : Ekosistem Hutan Tropis, Danau, Mangrove, dan Savana. Ekosistem buatan merupakan
ekosistem yang terbentuk dari hasil rekayasa manusia untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan
hidup penduduk yang jumlahnya terus meningkat (Resosoedarmo, 1985).
Tipe ekosistem yang ada di wilayah Surabaya meliputi ekosistem alami (Natural Ecosystem)
dan buatan (Man madeecosystem). Ekosistem alami dibagi menjadi tiga, yaitu laut, pesisir (diwakili
oleh mangrove), serta daratan (yang diwakili oleh sungai). Sedangkan ekosistem buatan dibagi
menjadi dua, yaitu ekosistem pesisir (yang diwakili oleh tambak) dan ekosistem daratan yang diwakili
oleh ekosistem pertanian (sawah, ladang), Ruang Terbuka Hijau, dan ekosistem kolam penampung
air (Boezem) (Siahaya, 2004).
Wilayah laut Surabaya memiliki diversitas yang dapat dilihat dari hasil lautnya seperti ikan,
udang, dan kepiting oleh nelayan serta biota lainnya mulai dari jenis teripang (Holothureidea) dan
kerang (Bivalvea) yang melimpah. Selain hal tersebut, hasil laut seperti karang-karang juga masih
terdapat di wilayah laut Surabaya. (Arbi, 2008).
Wilayah laut Surabaya memiliki beberapa potensi dan fungsi, baik ekonomis maupun non
ekonomis. Dengan dasar hal inilah, maka wilayah laut Surabaya dibagi menjadi empat wilayah
dengan luas dan fungsi sebagai berikut :
Tabel. Zona wilayah lau, luas dan fungsi
Wilayah laut di Surabaya memberikan peranan bagi pembangunan ekonomi di Surabaya. Hal
ini terlihat dari hasil ikan tangkap menurut Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya dalam
Surabaya Dalam Angka Tahun 2009 menunjukkan terdapat 14 jenis ikan tangkap dan jenis ikan
lainnya dengan total 9.493,15 ton/tahun dengan rata-rata hasil jual mencapai Rp 153.342.799,00
(Anonim, 2012).
Secara kualitatif ekosistem laut Surabaya yang dibagi menjadi empat zona merupakan daerah
dengan standard baku mutu yang berbeda-beda. Setiap triwulan diukur parameter fisik, biologi,
kimia, maupun logam terlarut yang dapat menentukan kualitas laut. Zona I Daerah Teluk Lamong
berdasarkan pengambilan sampling oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya diketahui bahwa
faktor biologi pada akhir triwulan 2011, menunjukkan tidak memenuhi batas baku mutu air laut yang
telah ditentukan (koliform : 54000, koliform tinja : 54000), sedangkan pada faktor fisik, kimia
maupun logam pada beberapa poin seperti BOD, Fosfat Nitrat, dan tingkat kekeruhan melampaui
batas baku mutu sedangkan plankton tercemar sedang. Pada zona II, pada titik pelabuhan Nilam
Timur tidak memenuhi batas baku mutu air laut sedangkan titik Nilam Barat memenuhi batas baku
mutu air laut. Pada Zona III, faktor tingkat kekeruhan, Nitrat, Fosfat dan Surfaktan detergen
melampaui batas baku mutu air laut yang ditentukan. Pada zona IV, daerah Gunung Anyar faktor
tingkat kekeruhan, Nitrat, Fosfat dan Koliform tidak memenuhi batas baku mutu air laut yang telah
ditentukan. Sedangkan, pada titik Wonorejo diketahui bahwa tingkat kekeruhan, Fosfat, Nitrat,
Amoniak namun faktor biologi memenuhi batas baku mutu air laut (Anonim, 2012).
Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai
ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan
pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi,
ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia
nutrien, tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan
bagi beragam biota laut. Selain itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai
atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2000).
Tabel. Pemanfaatan lahan mangrove di Surabaya tahun 2010
Kawasan mangrove di daerah Surabaya dimanfaatkan sebagai area tambak, perlindungan
pantai dan kanan-kiri sungai. Kawasan mangrove yang dimanfaatkan sebagai daerah tambak memiliki
luasan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah pantai dan sungai. Hal ini diduga karena adanya
alih fungsi lahan mangrove menjadi daerah pertambakan sehingga keberadaan mangrove paling
besar berada di daerah tambak (Anonim, 2012).
Tambak yang semakin besar dibandingkan dengan daerah mangrove di pantai maupun
sungai dapat meningkatkan abrasi yang mungkin terjadi saat air pasang. Selain hal tersebut,
perubahan lahan menjadi tambak akan membuka daerah dan dapat meningkatkan fragmentasi
habitat antara daerah pantai, mangrove, dan sungai. Pembukaan lahan dan fragmentasi lahan
mangrove menjadi fragmen atau bagian bagian petak tambak juga dapat mempngaruhi fauna yang
berasosiasi dengan mangrove tersebut. Jenis- jenis Mollusca maupun Aves, Mamalia, dan lainnya
dapat berpindah tempat karena kurangnya naungan dan daerah untuk beristirahat (Naamin, 1991).
Keberadaan Pamurbaya sangat berperan penting bagi Kota Surabaya, terkait dengan hal
pengendalian banjir, dimana lokasi Pamurbaya yang ada di ujung aliran sungai di Surabaya. Secara
ekologis, kehadiran hutan bakau di kawasan ini berfungsi untuk melindungi pantai dari abrasi, serta
melindungi keanekaragaman hayati pesisir yang tersisa di Surabaya. Bagi masyarakat Surabaya,
keberadaan hutan bakau di Pamurbaya membantu terjadinya infiltrasi atau penyerapan air laut ke
dalam air tanah. Sedangkan berdasarkan penggunaannya, Pamurbaya ideal dikembangkan dengan
beberapa fungsi yang melekat di dalamnya, antara lain pendidikan lingkungan hidup, ekowisata, dan
riset (Arbi, 2008).
Luas Pamurbaya sekitar 2.534 Ha. Namun, berdasarkan analisa spasial perbandingan antara
citra tahun 1972 hingga 2009, terdapat perbedaan luas Pamurbaya sebesar 1.136 Ha. Perbedaan ini
muncul akibat adanya sedimentasi (pengendapan material dari daratan) yang menumpuk dan
menambah daratan. Daratan baru ini sering disebut sebagai tanah timbul atau tanah oloran.
Kawasan ini terbentuk sebagai hasil endapan dari sistem sungai yang ada di sekitarnya dan pengaruh
laut. Kondisi daerah delta dengan tanah aluvial yang sangat kuat dipengaruhi oleh sistem tanah ini
(disebut juga dengan istilah tanah rawang laut), merupakan habitat yang baik bagi terbentuknya
ekosistem mangrove. Ada beberapa sungai yang bermuara di Pamurbaya yang menjadi terminal
sedimen dan subtrat. Sungai-sungai tersebut setiap hari mengirimkan berton-ton subtrat dari hulu
sungai, sehingga akhirnya akan mengalami proses sedimentasi di Pamurbaya dan akhirnya akan
mempercepat proses lahan oloran. Sejak tahun 1986-1996 terjadi penambahan lahan sekitar 2-4 km
di Pamurbaya karena porses sedimentasi. Tanah oloran ini dimanfaatkan warga sebagai tambak dan
pemukiman (Arbi, 2008).
1. Fungsi Fisik Mangrove Pamurbaya
Mangrove di Surabaya dapat menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing
sungai, mencegah erosi laut, sebagai penangkap zat-zat pencemar dan limbah. Kondisi perakaran
tanaman mangrove sesuai dengan karakteristik habitatnya. Perakaran yang tertanam di daerah
berlumpur atau genangan yang kurang oksigen, membentuk sistem akar napas (pneumatopora) yang
muncul di atas permukaan lumpur. Perakaran yang mencuat ke atas permukaan menghambat aliran
arus sungai atau laut serta mengendapkan lumpur hingga dasar tanah meningkat dan akhirnya
mengering.
Gambar. Pneumatophora dari Avicennia di Gunung Anyar, Surabaya
(Anonim, 2012).
2. Fungsi Biologi
Ekosistem mangrove Pamurbaya berfungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan jenis ikan,
udang serta menjadi tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burung-
burung dan menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota. Mangrove di Wonorejo yang mengalami
proses pelapukannya, hutan mangrove sangat kaya protein dan menjadi sumber makanan utama
bagi hewan-hewan tersebut di atas, yang selanjutnya akan menjadi bahan makanan ikan-ikan lainnya
seperti Belanak yang banyak terdapat di Pamurbaya.
Gambar. Kelompok Burung Ardeidae yang Bertengger dan Membangun Sarang di Avicennia
Wonorejo, Surabaya
(Anonim, 2012).
3. Fungsi ekonomi, Produksi dan Edukasi
Ekosistem mangrove juga difungsikan oleh masyarakat sekitar sebagai makanan, minuman, obat-
obatan, peralatan rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya. Sebagai contoh, daerah
Kedungasem, Rungkut terdapat sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam pengelolaan mangrove
oleh masyarakat. Hasilnya berupa batik mangrove, sabun, kripik dan lain sebagainya. Usaha Kecil
Menengah lainnya juga terdapat di daerah Wonorejo dalam pengelolaan mangrove terutama
Sonneratia sebagai sirup mangrove. Selain hal tersebut, keberadaan mangrove di Pamurbaya
menjadi tempat yang baik untuk melakukan riset dan studi bagi pelajar, mahasiswa maupun peneliti
yang bergerak di bidang pendidikan.
Gambar. Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan “Sirup Bogem Mangrove” yang Dikelola oleh
Masyarakat Wonorejo, Surabaya
(Anonim, 2012).
Di daerah Kenjeran dimanfaatkan sebagai pariwisata. Pariwisata di Kenjeran berkembang dengan
adanya Ken Park, Pantai Ria Kenjeran, dan pusat oleh-oleh dari masyarakat sekitar. Selain hal
tersebut, mangrove di daerah Kenjeran belum termanfaatkan sebagai bahan industri kecil seperti
sirup dan lebih diutamakan sebagai daerah penahan air laut dan penambat perahu oleh masyarakat.
Di daerah Keputih Tambak, mangrove dimanfaatkan sebagai penahan gelombang air laut oleh
masyarakat untuk melindungi tambak, dan belum ada pemanfaatan untuk sektor industri kecil. Di
daerah Wonorejo, masyarakat membentuk Ekowisata Mangrove sebagai upaya pemanfaatan di
bidang pariwisata yang di dalamnya terdapat ekowisata perahu, pos pantau dan pemancingan ikan.
Selain hal tersebut, mangrove (Sonneratia) dimanfaatkan sebagai bahan sirup mangrove. Di daerah
Medokan, mangrove dimanfatkan oleh kelompok Usaha Kecil Menengah di Rungkut sebagai bahan
pembuat batik tulis mangrove. Di daerah Gunung Anyar, masyarakat membentuk Ekowisata Perahu
Mangrove (Anonim, 2012).
KEBIJAKAN PEMKOT MENGENAI PANTAI TIMUR SURABAYA
Tahun 2012 menjadi tahun perubahan terhadap kebijakan mengenai kawasan ekosistem
mangrove di daerah pantai timur Surabaya. Hal tersebut dikarenakan hilangnya tiga aturan tentang
Pamurbaya dalam RTRW Surabaya yang disebut akan memberikan dampak berupa potensi kerusakan
kelangsungan area konservasi mangrove di daerah pantai timur. Penyebabnya adalah ketiga aturan
yang dihilangkan Pemkot secara sepihak itu, mengatur tentang kewajiban reboisasi kawasan
mangrove di wilayah pantai timur. Tiga aturan yang dihilangkan tersebut pada pasal 142 ayat 3 . Di
draft terakhir finalisasi sebelum diubah Pemkot tersebut dinyatakan upaya pengelolaan kawasan
sempadan pantai di Pamurbaya antaranya pada aturan huruf e meliputi reboisasi hutan mangrove
sepanjang pesisir wilayah kecamatan Benowo dan Asemrowo dengan lebar paling sedikit 100 meter.
Dalam aturan huruf f juga disebutkan reboisasi hutan mangrove di wilayah pesisir kecamatan Gunung
Anyar, Sukolilo, dan Mulyorejo yang ditetapkan sebagai kawasan lindung , memiliki lebar paling
sedikit 350 meter. Sedangkan dalam huruf g reboisasi hutan mangrove di kawasan kecamatan
Benowo, Asemrowo dan Semampir paling sedikit 100 meter ke arah daratan dari titik pasang
tertinggi. Dengan ketiadaan kewajiban reboisasi ini memang mengkhawatirkan kondisi hutan
mangrove Pamurbaya yang saat inipun sudah sangat memprihatinkan. Dari data yang dirilis Ecoton
dan Aliansi Jurnalis Peduli Lingungan(KJPL) kondisi hutan mangrove di Pamurbaya sangat tidak ideal
saat ini. Ketebalan hutan mangrove di Pamurbaya saat ini sebagian besar kurang dari 50 meter,
itupun tidak merata karena ada beberapa wilayah yang kondisinya nol mangrove. Hutan mangrove
yang ketebalannya lebih 100 meter hanya ada di Wonorejo, Wonoayu sampai Gunung Anyar.
Sementara menurut perhitungan berdasarkan PP 26/2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional,
ideal ketebalan hutan mangrove di Pamurbaya adalah 330 meter dengan variasi antara kurang dari
1000 pohon sampai 1.500 pohon. Dengan hilangnya aturan mengenai reboisasi ini, dapat dikatakan
tidak ada lagi mekanisme yang menjamin kelangsungan hutan mangrove di Pamurbaya (Ardianto,
2012).
Pembuat kebijakan adalah pemerintah, namun tetap saja pelaksana kebijakan adalah
masyarakat sendiri. Jika dikaitkan dengan fungsi ekosistem mangrove yang sedemikian besar maka
tentunya dibuhtuhkan suatu upaya ekstra untuk mempertahankan keberlangsungan ekosistem
mangrove tersebut. Kebijakan pemerintah bukanlah menajdi hambatan dalam menjaga
keberlangsungan tersebut. Dalam Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) disebutkan bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam
rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Hendaknya aturan inilah yang menjadi landasan kita untuk tetap melakukan pengelolaan secara
terpadu. Beda cara pandang, beda pula capaian dan hasil akhirnya. Bila memahami keberadaan
lingkungan hidup sebagai “warisan nenek moyang” tentu akan lain hasilnya dengan melihat
lingkungan sebagai “titipan anak cucu”. Pemanfaatan yang berkelanjutan harus menjadi prioritas
dalam pembangunan. Menjaganya dengan arif sebagai penyokong utama kehidupan manusia
(Anonim, 2011).
Tugas menjaga lingkungan tentulah bukan semata menjadi kewajiban pemerintah. Akan
tetapi Pengelolaan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab dan kewajiban bersama antara
masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha. Ketiganya harus sinergis dalam menjaga lingkungan agar
keberlanjutan ekosistem dapat terjaga. Sehingga perilaku masyarakat dalam hidup sehari-hari juga
harus selaras dengan upaya pelestarian lingkungan. Porsi pemerintah menjaga agar kebijaksanaan
pembangunan dapat memperhatikan masalah lingkungan, semisal dengan mewajibkan pelaku
kegiatan pembangunan maupun kegiatan perekonomian untuk melakukan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL). Tujuan secara umum AMDAL adalah untuk mengetahui apa efek terhadap
lingkungan sekitarnya, apabila suatu kegiatan atau pembangunan tersebut dilaksanakan. Dengan
demikian, potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa diprediksi dan dilakukan upaya
pencegahannya. Dengan sinergi, terlebih dari anggota masyarakat yang menjadi “pengawas” untuk
lingkungannya diharapkan dapat menegakkan kehidupan yang berimbang, sebagai perwujudan dari
keragaman lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem (Anonim, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Menuju Indonesia Hijau : Selamatkan Bumi. Diakses dari http://www.infopublik.org.
Anonim. 2012. Ekosistem Mangrove Pantai Surabaya. Diakses dari http://www.lh.surabaya.go.id
Arbi, U. Yanu. 2008. Komunitas Moluska di Ekosistem Mangrove tambak Wedi, Selat Madura,
Surabaya, Jawa Timur. UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung-LIPI.
Ardianto, A. Fajar. 2012. Hutan Mangrove Surabaya Terancam Punah. Diakses dari
http://www.beritajatim.com
Arisandi. P. 1998, Panduan Pengenalan Mangrove Pantai Timur Surabaya Mangrove Sang Pelindung,
Diakses dari http://www.ecoton.or.id
Arisandi, P. 2001. Mangrove Jenis Api-Api (Avicennia Marina) Alternatif Pengendalian Pencemaran
Logam Berat Pesisir. Diakses dari http://terranet.or.id
Arisandi, P. 2004. Mangrove Pantai Timur Surabaya Terancam Punah, Diakses dari
http://www.terranet,or.id
Bann. C., 1998. The Economic Valuation of Mangrove : A Manual for Researchers. Economic and
Environment Program for Southeast Asia, IDRC.
Begon, M., Townsend, C.R and Harper, J.L. 2006. Ecology : From Individual to Ecosystems. Blackwell
Publishing : Oxford.
Bengen, D.G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Dahuri ,R, J.Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, 2002. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita : Jakarta.
Khazali, M., Noor, Y., dan Suryadiputra, N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.
Wetlands International Indonesia Programme : Jakarta.
Kusmono, C., 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove, Makalah Pelatihan Pengelolaan
Hutan Mangrove Lestari Angkatan I PKSPL. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Mastra, R. 1999 Penggunaan Citra Untuk Memantau Perubahan dan Kerusakan Kawasan Pantai,
Diakses dari http://www.sim.nilim.go.jp
Naamin, N. 1991. Penggunaan Lahan Mangrove Untuk Budidaya Tambak Keuntungan dan
Kerugiannya. Dalam Subagjo Soemodihardo et al. Proseding Seminar IV Ekosistem
Mangrove. Panitia Nasional Pangan MAB Indonesia LIPI.
Resosoedarmo, R.S. 1985. Pengantar Ekologi. Remaja Karya : Bandung.
Siahaya, A. 2004. Penyusunan Strategi Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan PAMURBAYA,
Tesis Mahasiswa Teknik Lingkungan ITS : Surabaya.
Tjokrokusumo, S. Wagiman. 2006. Upaya Mitigasi Laut dengan Artificial Wetlands. Jurnal Teknik
Lingkungan vol. 7 No. 2.
Wijayanti, T., Malviana, A. 2005. Upaya Penanganan Hutan Mangrove Pantai Timur Surabaya Melalui
Strategi Studi Visualisasi Obyek. Karya Ilmiah Mahasiswa Teknik Lingkungan UPN
”veteran” Jawa Timur : Surabaya.