1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1.Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah panci, kompor, blender, pengaduk,
gelas bekker, termometer, gelas ukur, pH meter, timbangan digital, dan kain saring.
1.1.2.Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut (Eucheuma cottonii),
isopropil alkohol (IPA), NaOH 10%, HCl 0,1 N, dan aquades.
1.2. Metode
Rumput laut ditimbang sebanyak 40 gram
Disiapkan air sebanyak 1 liter
Dipotong kecil-kecil dan diblender dengan ditambahkan sedikit air
Blender dibersihkan dengan menggunakan air
Tepung rumput laut
Tepung rumput laut direbus (diekstraksi) dalam air dan dipanaskan pada suhu 80-90oC selama 1 jam
Atur pH larutan menjadi pH 8 dengan menambahkan larutan HCl 0,1 N atau NaOH 0,1 N
Hasil ekstraksi disaring dengan menggunakan kain saring yang bersih dan cairan filtratnya ditampung dalam gelas ukur besar
Cairan filtrat ditambah larutan NaCl 10% sebanyak 5% dari volume filtrat
Dipanaskan pada suhu 60oC
Filtrat dituang ke wadah berisi cairan IPA sebanyak 700 ml untuk diendapkan dengan cara diaduk selama 10-15 menit sehingga terbentuk
serat karagenan
Endapan karagenan ditiriskan dan direndam dalam IPA sampai diperoleh serat karagenan yang lebih kaku
Serat karagenan dibentuk tipis-tipis dan diletakkan dalam wadah tahan panas
Dikeringkan dalam oven selama 12 jam pada suhu 50-60oC
Serat karagenan kering ditimbang
Diblender menjadi tepung karagenan
Dihitung persen rendemen dengan rumus
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dengan menggunakan Eucheuma cottonii dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ekstraksi Karagenan
Kelompok Berat Basah (gram) Berat Kering (gram)
% Rendemen
E1 40 3,70 9,250E2 40 3,36 8,400E3 40 3,63 9,075E4 40 3,84 9,600E5 40 3,76 9,400
Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa terjadi hubungan yang berbanding lurus antara
berat kering dengan % rendemen, semakin banyak berat kering yang didapatkan maka
semakin banyak pula %r rendemen yang didapatkan. Berat basah yang digunakan
semua kelompok adalah sama yakni 40 gram. Berat kering yang paling banyak
didapatkan kelompok E4 yaitu sebanyak 3,84 gram sedangkan berat kering paling
sedikit didapatkan kelompok E2 yaitu sebanyak 3,36 gram, lalu pada kelompok E1
mendapatkan berat kering sebanyak 3,70 gram, kelompok E3 mendapatkan berat kering
sebanyak 3,63 gram, dan pada kelompok E5 mendapatkan berat kering sebanyak 3,76
gram. Kemudian, % rendemen yang paling banyak didapatkan kelompok E4 yaitu
9,600% sedangkan % rendemen yang paling sedikit didapatkan kelompok E2 yaitu
8,400%, lalu pada kelompok E1 mendapatkan % rendemen sebanyak 9,250 %,
kelompok E3 mendapatkan % rendemen sebanyak 9,075 %, dan pada kelompok E5
mendapatkan % rendemen sebanyak 9,400 %.
3. PEMBAHASAN
Seaweed termasuk dalam divisi Thallophyta yang biasa dikenal dengan istilah ganggang
atau alga (Poncomulyo, 2006). Seaweed telah dikonsumsi oleh masyarakat Asia sejak
zaman dahulu hingga sekarang ini. Edible seaweed memiliki kandungan yang kaya akan
serat, mineral, dan protein (Viswanathan & Nallamuthu, 2014). Seaweed ini adalah
tanaman yang pada umumnya hidup di daerah perairan yang tidak berlumpur
(Poncomulyo, 2006). Seaweed tidak memiliki daun, batang, dan juga akar yang sejati
sehingga seaweed disebut sebagai tanaman derajat rendah. Dalam industri pangan
seaweed memiliki banyak kegunaan yang menguntungkan seperti sumber karagenan,
pembuatan agar, dan sebagai sumber alginat (Anggadiredjo, 2006). Menurut Amstrong
(2003) pengelompokkan seaweed atau makroalga didasarkan pada pigmentasinya. Ada
tiga kelompok besar dari seaweed yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau
(Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Leonel Pereiraa & van de Veldeb
(2010) menambahkan seaweed dapat memproduksi hidrokoloid, dimana hidrokoloid
merupakan ikatan antara dinding sel dengan intercellular space. Seaweed jenis alga
merah (Rhodophyta) memproduksi galaktan seperti karagenan dan agar. Karagenan
merupakan salah satu komposisi tambahan yang utama untuk menghasilkan tekstur
produk pangan yang baik dan telah diaplikasikan sejak lama di bidang pangan.
Karagenan ini juga telah ditetapkan sebagai GRAS (Generally Regarded As Safe) atau
bahan pangan yang aman untuk dikonsumsi.
Karagenan adalah polisakarida yang diperoleh dari hasil ekstraksi alga merah, yang
merupakan galaktan tersulfatasi secara linier hidrofilik dan merupakan pengulangan unit
disakarida. Terdapat tiga jenis karagenan yang dikomersilkan yaitu karagenan kappa,
lambda, dan iota (Campo et al. 2009). Kappaphycus alvarezii atau yang memiliki nama
pasar Eucheuma cottonii merupakan seaweed penghasil karagenan kappa. Karagenan
kappa hasil ekstraksi Eucheuma cottonii memiliki kandungan nutrien yang tinggi serta
mengandung senyawa fenolik (antioksidan) dan senyawa antipoloferatif yang mampu
menekan pertumbuhan sel kanker (Shamsabadi et al., 2013). Seaweed ini memiliki
beberapa ciri seperti permukaan yang licin, mempunyai warna yang berubah-ubah dapat
berwarna abu-abu, hijau, hijau kuning, merah, tergantung pada faktor lingkungan,
thallus-nya mempunyai bentuk silindris (Atmadja, 1996).
Karagenan kappa pada umumnya dihasilkan secara enzimatis oleh enzim sulfohidrolase
dan secara komersil dihasilkan dengan ekstraksi secara alkali. Karagenan membentuk
gel yang bersifat thermo-reversible. Eucheuma cottonii memiliki kandungan yang
bersifat hidrokoloid, dengan penyusun utama yaitu kalium, natrium, magnesium, dan
kalisum sulfat ester dari kopolimer 3,6 anhidrous galaktosa (Van de Velde et al, 2002).
Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan pembentukan gel dari
karagenan yakni jenis karagenan, konsentrasi, konsistensi, adanya ion-ion penghambat
terbentuknya hidrokoloid, dan pelarut yang digunakan (Distantina et al., 2014).
Secara kimiawi, karagenan merupakan polisakarida linier yang tersusun atas unit
galaktosa dan 3,6 anhidro galaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 secara
bergantian (Zhou et al., 2008). Karagenan secara alami dibedakan menjadi enam jenis
yaitu iota (ι), kappa (κ), lambda (λ), mu (μ), nu (v), dan tetha (θ) (Fernandes de Araújo
et al., 2012).
Gambar 1. Struktur Kimia Karagenan (Campo et al., 2009 dalam Fernandes de Araújo
et al., 2012)
Dari enam jenis karagenan diatas, hanya terdapat tiga jenis karagenan yang dapat
ditemukan secara luas di perairan dunia. Ketiga karagenan tersebut adalah kappa,
lambda, dan iota yang dibedakan berdasar posisi gugus ester-sulfat dan jumlah residu
3,6 anhydro-D-galaktosa, hal tersebut akan berpengaruh pada perbedaan sifat fisik dan
karakteristik penggunaannya dalam industri pangan. Karagenan kappa memiliki struktur
D-galaktosa dan beberapa gugus 2-sulfat ester pada 3,6 anhidro-D-galaktosa. Karagenan
kappa menghasilkan struktur yang kuat dan gel yang kaku dengan penambahan ion
pottasium (Hoffmann et al. 1995; Rochas & Rinaudo, 1984 dalam Mustapha et al.
2011). Lalu karagenan iota memiliki gugus 4-sulfat ester dalam semua gugus D-
galaktosa dan gugus 2-sulfat ester dalam 3,6 anhydro-D-galaktose. Karagenan iota
menghasilkan struktur yang lemah, gel elastis (Stanley, 1987 dalam Mustapha et al.
2011). Selanjutnya karagenan lambda memiliki residu disulfat-D-galaktosa yang tidak
mengandung gugus ester 4-sulfat namun sejumlah gugus ester 2-sulfat (Markfoeld,
2002). Karagenan lambda tidak dapat membentuk gel namun apabila dicampurkan
dalam larutan akan menghasilkan larutan dengan viskositas yang tinggi (Stanley, 1987
dalam Mustapha et al. 2011). Jenis karagenan tetha memiliki tingkat kekentalan yang
lebih rendah dibandingkan karagenan lambda sehinggan jenis karagenan tetha tidak bisa
diaplikasikan sebagai pembentuk gel maupun thickener (Jonathan et al., 2010).
Selanjutnya, karagenan nu merupakan prekursor karagenan iota sedangkan karagenan
mu merupakan prekursor karagenan kappa (Markfoeld, 2002).
Dalam praktikum ini, mula-mula rumput laut Eucheuma cottonii ditimbang 40 gram
kemudian diblender hinggan halus dengan ditambahkan 1 liter air. Penghalusan rumput
laut ini berguna untuk memperbesar luas permukaan kontak rumput laut dengan pelarut
sehingga akan mempercepat proses ekstraksi (Arpah, 1993). Tahapan selanjutnya,
rumput laut halus tersebut diekstraksi dengan cara direbus diatas kompor dengan
sesekali diaduk dan diamati suhunya terus-menerus supaya terjaga antara 80-90°C
selama 1 jam. Menurut teori Fachruddin (1997) suhu dan waktu ekstraksi adalah faktor
yang sangat penting yang harus diperhatikan. Apabila penggunaan suhu pada saat
ekstraksi melebihi suhu maksimal maka akan terjadi degradasi biopolimer dalam
struktur karagenan yang menyebabkan daya viskositas serta kemampuan pembentukkan
gelnya menurun. Pengadukan yang dilakukan sesekali ini berguna supaya tidak terjadi
kegosongan atau pembentukan kerak selama ekstraksi sehingga bisa didapatkan
karagenan dengan struktur gel yang kuat dan lebih viskos. Selain suhu dan waktu
ekstraksi, faktor lain yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah jenis pelarut yang
digunakan, perbandingan jumlah bahan yang akan diekstrak dengan pelarut, cara dan
lama pengadukan, serta ukuran padatan yang terkandung dalam bahan (Fachruddin,
1997). Setelah pengekstrasian dengan cara direbus, hasil ekstraksi didiamkan dan
didinginkan hingga suhu 30oC. Setelah mencapai suhu 30oC, hasil ekstraksi kemudian
diatur pHnya menjadi pH 8 (basa) dengan penambahan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N.
Distantina et al. (2011) memaparkan suasana basa dibutuhkan untuk mengekstrak
seaweed. Penggunaan kondisi basa ini juga sesuai dengan teori Anisuzzaman et al.
(2014) yang menyatakan semakin basa konsentrasi larutan maka gel yang terbentuk
juga akan semakin kuat. Bawa et al. (2007), menambahkan bahwa pH optimal untuk
seaweed Eucheuma cottonii yaitu pH 8-8,5.
Hasil ekstraksi yang telah memiliki pH 8 kemudian disaring menggunakan kain saring
kemudian filtrat yang didapatkan diukur volumenya kemudian dituangkan dalam
wadah. Penyaringan ini berfungsi untuk memisahkan partikel dari larutan, banyaknya
filtrat yang dihasilkan tergantung pada bentuk dan karakteristik partikel yang
terkandung (Earle, 1969). Filtrat yang didapatkan lalu ditambah dengan NaCl 10%
sebanyak 5% dari volume filtrat kemudian dipanaskan lagi hingga suhu 60°C.
Penambahan NaCl ini berguna untuk meningkatkan kekuatan dari gel karagenan.
Setelah mencapai suhu 60°C, filtrat dituang ke dalam wadah yang berisi 700 ml larutan
isopropil alkohol (IPA) kemudian dilakukan pengadukan secara terus-menerus selama
10-15 menit hingga endapan karagenan terbentuk. Berdasarkan teori Distantina et al.
(2011), isopropil alkohol adalah larutan yang bisa digunakan untuk memurnikan
karagenan, karena sifat karagenan yang larut dalam air namun tidak larut dalam alkohol
sehingga karagenan akan terpresipitasi. Presipitasi adalah proses terbentuknya endapan
dari suatu senyawa melalui reaksi kimia. Presipitasi karagenan dibagi menjadi dua jenis
yakni presipitasi alkohol dan presipitasi dingin (dengan pembekuan). Presipitasi alkohol
lebih murah dan cepat dibandingkan presipitasi dingin (Food Chemical Codex, 1981).
Endapan karagenan yang terbentuk lalu direndam dalam larutan isopropil alkohol
hingga didapatkan serat karagenan yang kaku. Serat karagenan yang telah kaku
kemudian dibentuk tipis-tipis lalu diletakkan di loyang untuk dioven selama 12 jam
pada suhu 50-60°C. Tujuan pengovenan ini untuk menghilangkan kadar air yang
terkandung dalam serat karagenan (Aslan, 1998). Serat karagenan yang telah dioven
kemudian diblender hingga menjadi tepung karagenan dan dihitung % rendemennya
dengan rumus berikut.
% Rendemen=berat keringberat basah
x 100 %
Dari tabel hasil pengamatan dapat diketahui bahwa terjadi hubungan yang berbanding
lurus antara berat kering dengan % rendemen, semakin banyak berat kering yang
didapatkan maka semakin banyak pula %r rendemen yang didapatkan. Berat basah yang
digunakan semua kelompok adalah sama yakni 40 gram. Berat kering yang paling
banyak didapatkan kelompok E4 yaitu sebanyak 3,84 gram sedangkan berat kering
paling sedikit didapatkan kelompok E2 yaitu sebanyak 3,36 gram, lalu pada kelompok
E1 mendapatkan berat kering sebanyak 3,70 gram, kelompok E3 mendapatkan berat
kering sebanyak 3,63 gram, dan pada kelompok E5 mendapatkan berat kering sebanyak
3,76 gram. Kemudian, % rendemen yang paling banyak didapatkan kelompok E4 yaitu
9,600% sedangkan % rendemen yang paling sedikit didapatkan kelompok E2 yaitu
8,400%, lalu pada kelompok E1 mendapatkan % rendemen sebanyak 9,250 %,
kelompok E3 mendapatkan % rendemen sebanyak 9,075 %, dan pada kelompok E5
mendapatkan % rendemen sebanyak 9,400 %.
Besar % rendemen yang dihasilkan masing-masing kelompok berbeda meskipun berat
bahan basah yang digunakan sama. Menurut Basmal et al. (2009) besarnya % rendemen
dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu ekstraksi yang dilakukan. Berdasarkan teori
Basmal et al. (2009) tersebut perbedaan besar % rendemen yang dihasilkan dapat
disebabkan karena prosedur perebusan dan pemanasan yang dilakukan tidak seragam
atau sama persis di masing-masing kelompok, pengukuran suhu yang tidak akurat,
waktu penuangan larutan ekstrak dan cara pengadukan yang terlalu cepat pada saat
presipitasi, sehingga hal-hal tersebut akan berpengaruh pada besarnya rendemen yang
dihasilkan.
Karagenan digunakan sebagai bahan tambahan pangan dan viscosifier di indusri pangan
(Guerrero, 2001; Hoffmann et al. 1995 dalam Mustapha et al. 2011). Menurut Sung et
al. (2013), karagenan sering diaplikasikan di industri wafer, crackers, dan biskuit,
pengaplikasian karagenan ini bertujuan untuk mendapatkan produk dengan kerenyahan
tinggi. Karagenan jenis kappa juga diaplikasikan di industri susu dan produk olahan
susu (es krim dan keju), pengaplikasian karagenan kappa dalam industri ini karena
karagenan kappa memiliki fungsi emulsifier (dapat larut dalam lemak maupun air)
sehingga dapat menstabilkan sistem dispersi lemak dalam air, dimana sistem dispersi
lemak dalam air ini terdapat pada produk susu dan olahannya. Leonel Pereiraa & van de
Veldeb (2010) menambahkan karagenan adalah stabilizer yang ideal untuk suspensi
coklat dalam susu coklat. Karagenan juga digunakan di industri candy film, pada
industri ini karagenan berbasis protein digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
permen kemudian ditambahkan plasticizer sehingga didapatkan produk dengan hasil
akhir cenderung transparan dan tidak mudah robek. Selain itu, karagenan juga
diaplikasikan pada produk olahan daging dan bir. Karagenan juga dilaporkan dapat
digunakan sebagai mikrobialsidal atau mikrobialstatis dalam sistem pengemasan atau
digunakan sebagai bahan aktif antimikrobial dalam pengemasan produk pangan yang
dapat memperpanjang periode lag dan menurunkan laju pertumbuhan mikrooraganisme
patogen maupun nonpatogen, dan juga dapat memperpanjang umur simpan (Assefa &
Admassu, 2013 dalam Muthezhilan et al., 2014).
4. KESIMPULAN
Dalam industri pangan, karagenan dapat diaplikasikan emulsifier, viscosifier,
thickening agent, stabilizer, mikrobialsidal, dan mikrobialstatis.
Eucheuma cottonii adalah alga merah penghasil utama karagenan kappa.
Faktor yang mempengaruhi hasil ekstraksi adalah jenis pelarut, perbandingan
jumlah sampel dengan pelarut, cara dan lama waktu ekstraksi, suhu ekstraksi, dan
karakteristik padatan yang ada.
Penghalusan bertujuan untuk memperluas area kontak bahan dengan pelarut selama
ekstraksi.
Larutan NaCl berfungsi untuk meningkatkan kekuatan dari gel yang dihasilkan.
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan residu dari filtrat yang merupakan
ekstrak karagenan.
Larutan isopropil alkohol (IPA) digunakan untuk memurnikan karagenan karena
sifat karagenan yang tidak larut dalam alkohol.
Proses pengeringan/pemanasan bertujuan untuk menghilangkan sebagian/seluruh
air yang terkandung dalam serat karagenan.
Berat kering karaginan berbanding lurus dengan % rendemen karaginan yang
dihasilkan.
% rendemen karagenan dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi ektraksi.
Semarang, 04 November 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Monica Budi Rahayu - Ignatius Dicky A.W.
13.70.0130
5. DAFTAR PUSTAKA
Anggadiredja, Jana T., Achmad Zatnika, Heri Purwoto, dan Sri Istini. 2006. Rumput Laut. Jakarta : Penebar Swadaya.
Armstrong, W. P. (2003). Seaweeds : The Multicellular Marine Algae. http://step.nn.k12.va.us/science/marine/mppt/Seaweeds.ppt.
Arpah, M. (1993). Pengawetan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Aslan,M., (1998), ”Budidaya Rumput Laut”, Kanisius, Yogyakarta, hal. 89.
Atmadja WS. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah. Di dalam : Pengenalan Jenis Jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuam Indoneisa. Hlm 147-151.
Basmal, J., Sedayu, B. B., Utomo, B. S. B. 2009. Mutu semi refined carrageenan (SRC) yang diproses menggunakan air limbah pengolahan SRC yang didaur ulang. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 4(1): 1-11.
Bawa, I.G.A.G, Puta, A.B, Laila, I.R. (2007). Penentuan pH Optimum Isolasi Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia Vol 1(1):15-20.
Campo, V.L., Kawano, D.F., Silva Júnior, D.B., Ivone Carvalho, I., 2009, “Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural Analysis”, Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.
Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. (2011). Carrageenan Properties Extracted From Eucheuma cottonii, Indonesia. World Academy of Science, Engineering and Technology 54 : 738-742.
Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. 2014. Stabilization of Kappa Carrageenan Film by Crosslinking: Comparison of Glutaraldehyde and Potassium Sulphate as the Crosslinker. IPCBEE vol.74 IACSIT Press, Singapore.
Earle, R.L. (1969). Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Penerjemah: Zein Nasution. Sastra Hudaya, Bogor.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fernandes de Araújo, I.W., Rodrigues, J.A.G., de Sousa Oliveira, E., Vanderlei., de Paula, G.A., de Brito Lima, T., Benevides, N.M.B. (2012). Iota-carrageenans from Solieria filiformis (Rhodophyta) and Their Effects in the Inflammation and Coagulation. Acta Scientiarum Technology Maringá, Vol. 34, No. 2.
Food Chemical Codex. (1981). Carrageenan. National Academy Press Washington.
Jonathan P. Doyle, Persephoni Giannouli, Brian Rudolph, and Edwin R. Morris. 2010. Preparation, authentication, rheology and conformation of theta carrageenan. Carbohydrate Polymers 80 (2010) 648–654.
Leonel Pereiraa, L., van de Veldeb, F. (2010). Portuguese carrageenophytes: Carrageenan composition and geographic distribution of eight species (Gigartinales, Rhodophyta). Elsevier Ltd. All rights reserved.
Markfoeld, D. (2002). Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius. Jakarta.
Mustapha, S., Chandar, H., Abidin, Z.Z., Saghravani, R., Harun, M.Y. (2011). Production of Semi-Refined Carrageenan from Eucheuma cotonii. Journal of Scientifif & Industrial Research Vol. 70.
Muthezhilan, R., Jayaprakash, K., Karthik, R., Hussain, A.J. (2014).Endophytic Fungal Cellulase for Extraction of Carrageenan and its Use in Antibiotics Amended Preparation. BIOSCIENCES BIOTECHNOLOGY RESEARCH ASIA Vol. 11(Spl. Edn. 1).
Poncomulyo, T. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
S.M.Anisuzzaman, Awang Bono, Duduku Krishnaiah, Norazwinah Azreen Hussin, and Hong Ying Wong. 2014. Effects of Extraction Process Conditions on Semi Refined Carrageenan Produced by using Spray Dryer. Journal of Applied Sciences 14 (12) : 1283-1288.
Shamsabadi, F.T, Khoddami, A, Fard, S.G, Abdullah, R, Othman, H.H & S, Mohamed. (2013). Comparison of Tamoxifen with Edible Seaweed (Eucheuma cottonii L) Extract in Suppresing Breast Tumer. Institute of Bioscience Universitas Putra Malaysia. Malaysia.
Sung-Hwan Eom, Jung-Ae Kim, Byoung-Yil Son, Dong Hyun You, Jeong Min Han, Jung-Hwan Oh, Bong-Yeun Kim and Chang-Suk Kong. 2013. Effects of Carrageenan on the Gelatinization of Salt-Based Surimi Gels. Journal of Fish Aquatic Science 16 (3), 143-147.Korea.
Van de Velde,.F.,Knutsen, S.H., Usov, A.I., Romella, H.S., and Cerezo, A.S., 2002, ”1H and 13 C High Resolution NMR Spectoscopy of Carrageenans: Aplication in Research and Industry”, Trend in Food Science and Technology, 13, 73-92.
Viswanathan, S., Nallamuthu, T. (2014). Extraction of Sodium Alginate from Selected Seaweeds and Their Physiochemical and Biochemical Properties. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology Vol. 3, Issue 4.
Zhou, M.H, Ma, J.S, Li, J, Ye, H.R, Huang, K.X & X.W, Zhao. (2008). A k-carrageenase from Newly Isolated Pseudoalteromonas-like Bacterium WZUC 10. Biotechnology and Bioprocess Engineering Vol 13:545-551.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan% rendemen=berat keringberat basah
x100 %
Kelompok E1
% rendemen=3,7040
x100 %
= 9,250%
Kelompok E2
% rendemen=3,3640
x100 %
= 8,400%
Kelompok E3
% rendemen=3,6340
x100 %
= 9,075%
Kelompok E4
% rendemen=3,8440
x100 %
= 9,600%
Kelompok E5
% rendemen=3,7640
x100 %
= 9,400%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal