Download - e'Laporan Praktikum Kimia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia tidak dapat hidup tanpa air, karena air merupakan unsur yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia. Sekitar 80% tubuh manusia adalah terdiri dari cairan,
serta di dalam air terdiri atas unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia untuk
perkembangan atau pertumbuhan fisik manusia. Beberapa unsur kimia yang terdapat dalam
air antara lain adalah Ca, Mg, Zn, Cl, Fe, Mn dan lain sebagainya. Untuk memenuhi
kebutuhan air terutama dapat diperoleh dari air minum dan makanan. Dalam fungsinya
sebagai air minum, dibutuhkan air yang benar-benar bersih dan sehat. Disamping sebagai
air minum air juga mempunyai peranan yang sangat luas dalam bidang sosial ekonomi
(Kusnaedi, 2002).
Bertambahnya populasi manusia maka bertambah pula kebutuhannya terhadap air
bersih. Sebagian konsumen memilih air minum merk terkenal dengan alasan kualitas dan
kesehatan, namun bagi sebagian masyarakat yang lain, harga air kemasan bermerk yang
cukup mahal membuat mereka beralih untuk mencari air minum dengan harga ekonomis
dan terjangkau. Air minum isi ulang menjadi salah satu pilihan dalam memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat, karena harganya air minum isi ulang (AMIU) jauh lebih
murah dari harga air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi resmi industri
besar. Tingginya minat masyarakat dalam mengkonsumsi air minum dalam kemasan dan
mahalnya harga air minum dalam kemasan yang diproduksi industri besar mendorong
tumbuhnya depot air minum isi ulang di berbagai tempat terutama kota-kota besar seperti
halnya di Mataram, akan tetapi beberapa anggota masyarakat masih ragu akan hal
kualitasnya sehingga dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi.
Terdapat perbedaan mendasar antara Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dengan
Air Minum Isi Ulang (AMIU). AMDK dihasilkan melalui rangkaian proses pengolahan
yang berstandar, selain dengan ozonisasi juga memakai fasilitas industri yang qualified,
karenanya hampir seluruh AMDK memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).
Proses Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) harus melalui proses tahapan baik secara
klinis maupun secara hukum, secara higienis klinis biasanya disahkan menurut peraturan
pemerintah memalui Departemen Badan Balai Pengawasan Obat Dan Makanan ( Badan
POM RI) baik dari segi kimia, fisika, mikrobiologi. Sedangkan AMIU tidak sebagus
1
AMDK, baik dari proses pengolahan maupun pada jaminan kualitas hasil olahannya.
Hasil penelitian kualitas 120 sampel AMIU dari 10 kota besar di Indonesia oleh
Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002 lalu
menemukan bahwa, kualitas air minum yang diproduksi oleh depot air minum isi ulang
bervariasi dari satu depot dengan depot lainnya. Sementara itu, BPOM menguji sampel air
dari 95 depot air minum isi ulang di lima kota, termasuk Jakarta, Bandung, Medan, dan
Surabaya. Menurut hasil penelitian ini, sebagian air yang dimaksud juga tercemar bakteri
coliform, e-coli, dan salmonella. Bahkan beberapa sampel air terdeteksi mengandung
logam berat kadmium. Sedangkan hasil penelitian mahasiswa Universitas Sumatera Utara,
Wahyuni Deylyana Siregar menyebutkan bahwa kulaitas air minum dalam kemasan
(AMDK) yang ada di kota Medan masih memenuhi standar kualiatas air minum yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Berdasarkan Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002, air minum yang sehat
dan berkualitas harus memenuhi berbagai persyaratan baik secara fisika, kimia, maupun
bakteriologi. Persyaratan kualitas air minum secara kimia diantaranya yaitu mempunyai pH
yang sesuai, mempunyai kadar klorida, padatan terlarut, dan tingkat kesadahan yang kecil
dan dibawah batas maksimal yang diperbolehkan. Berdasarkan Permenkes RI No. 907/
Menkes/SK/VII/2002, batas maksimal kadar klorida, padatan terlarut, dan kesadahan
secara berturut-turut adalah 250 mg/L ; 1000 mg/L ; dan 500 mg/L, sedangkan pH air
minum harus berada diantara rentang 6.5 sampai 8.5.
pH merupakankan tingkat keasamaan suatu larutan. Air minum yang baik
hendaknya memiliki mendekati 7 (netral). Besarnya pH air minum dapat diukur
menggunakan kertas lakmus dan pH meter. Cara yang paling akurat adalah menggunakan
pH meter karena dapat menunjukkan data secara kuatitatif.
Padatan terlarut atau TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran berat zat padat yang
terlarut dalam air baik itu zat organic maupun anorganic, misalnya garam dan lain-lain. Air
minum yang baik adalah air minum yang memliki TDS dalam jumlah yang kecil atau
mendekati 0. Pengukuran TDS dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya yaitu
gravimetri. Metoda Gravimetri merupakan cara yang paling baik dan paling akurat untuk
mengukur TDS sebab keakuratannya bisa sampai 0.0001 gram.
TDS berhubungan dengan kesadahan air. Kesadahan merupakan petunjuk
kemampuan air untuk membentuk busa apabila dicampur dengan sabun. Kesadahan air
menunjukkan adanya kandungan mineral-mineral tertentu yang terdapat di dalam air, pada
2
umumnya mineral itu adalah ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) dalam bentuk garam
karbonat. Semakin tinggi padatan terlarut (TDS) maka semakin tinggi pula garam-garam
yang dikandungnya dalam hal ini garam kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) sehingga dapat
dikatakan kesadahan air juga akan semakin tinggi. Pengukuran tingkat kesadahan air dapat
dilakukan secara akurat dengan titrasi kompleksometri.
Selain pH, padatan terlarut, kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), parameter kimia
yang lain yang dapat menunjukkan kualitas air minum yaitu kadar klorida (Cl -). Ion klorida
sebenarnya memliki peranan penting bagi tubuh karena merupakan ion utama dalam cairan
ekstra seluler yang berfungsi untuk mempertahankan pH dan osmolaritas. Namun apabila
kadar klorida terlalu berlebihan atau melampaui batas akan berdampak negatif bagi
kesehatan. Dari berbagai studi, ternyata orang yang meminum air yang mengandung
klorida dengan kadar tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena kanker
kandung kemih, dubur ataupun usus besar. Sedangkan bagi wanita hamil dapat
menyebabkan melahirkan bayi cacat dengan kelainan otak atau urat saraf tulang belakang,
berat bayi lahir rendah, kelahiran prematur atau bahkan dapat mengalami keguguran
kandungan. Adapun analisa klorida secara kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya analisa secara titrimetri dengan menggunakan metode argentometri
(titrasi pengendapan). Cara ini sangat menguntungkan karena pelaksanaannya mudah dan
cepat, ketelitian dan ketepatan cukup tinggi.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan analisis kualitas kimia air minum
isi ulang yang sering dikonsumsi masyarakat khusunya di wilayah kota Mataram, apakah
telah memenuhi standar kualitas air minum yang ditetapkan oleh Permenkes RI No. 907/
Menkes/SK/VII/2002. Selanjutnya hasil analisisnya dibandingkan dengan air minum dalam
kemasan untuk mengetahui tingkat kualitas kedua jenis air minum tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah
yaitu:
a. Berapakah pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air
minum isi ulang dan air minum dalam kemasan?
b. Apakah air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan memenuhi persyaratan
kualitas air minum menurut Permenkes RI No. 907/ Menkes/SK/VII/2002 secara
kimia?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui besarnya pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan
kesadahan air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan.
b. Untuk mengetahui apakah air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan
memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut Permenkes RI No. 907/
Menkes/SK/VII/2002 secara kimia.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Parameter kimia yang dianalisis pada air minum yaitu pH, kadar klorida (Cl -),
padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air.
b. Sampel air yang dianalisis yaitu air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan
yang diambil secara acak di wilayah kota Mataram.
c. Metode yang digunakan adalah metode argentometri, gravimetri, dan
kompleksometri.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang pH, kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan
kesadahan air pada air minum isi ulang dan air minum dalam kemasan sehingga dapat
diketahui layak tidaknya air minum tersebut untuk dikunsumsi.
b. Bagi Mahasiswa
Sebagai rujukan dalam melaksanakan percobaan yang berkaitan dengan pengujian pH,
kadar klorida (Cl-), padatan terlarut (TDS), dan kesadahan air.
c. Bagi Peneliti
Memperdalam pengetahuan tentang metode penentuan pH, kadar klorida (Cl-), padatan
terlarut (TDS), dan kesadahan air secara argentometri, gravimetri, dan
kompleksometri.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Air minum
2.1.1 Pengertian air minum
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air
minum, antara lain disebutkan bahwa Air minum adalah air yang melalui proses
pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum. Pengertian air minum dapat dilihat juga dalam Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :
651/MPP/Kep/10/2004 yaitu tentang persyaratan teknis Depot air minum dan
perdagangannya. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa Air minum adalah
air baku yang telah diproses dan aman untuk diminum.
Berdasarkan dua pengertian diatas maka dapat diartikan bahwa air minum
adalah air yang dapat langsung diminum tanpa menyebabkan gangguan bagi
orang yang meminumnya.
2.1.2 Jenis air minum
Jenis air minum, menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas
air minum, adalah :
a. Air yang didistribusikan melalui pipa untuk keperluan rumah tangga
b. Air yang didistribusikan melalui tangki air
c. Air kemasan
d. Air yang digunakan untuk produksi bahan makanan dan minuman yang
disajikan kepada masyarakat.
2.2. Persyaratan Kualitas Air
Parameter kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan manusia haruslah air
yang tidak tercemar atau memenuhi persyaratan fisika, kimia, dan biologis
(Notoatmodjo,2003).
2.1.1 Persyaratan Fisika Air
Air yang berkualitas harus memenuhi persyaratan fisika sebagai berikut:
5
a. Jernih atau tidak keruh
Air yang keruh disebabkan oleh adanya butiran-butiran koloid dari tanah liat.
Semakin banyak kandungan koloid maka air semakin keruh.
b. Tidak berwarna
Air untuk keperluan rumah tangga harus jernih. Air yang berwarna berarti
mengandung bahan-bahan lain yang berbahaya bagi kesehatan.
c. Rasanya tawar
Secara fisika, air bisa dirasakan oleh lidah. Air yang terasa asam, manis, pahit atau
asin menunjukan air tersebut tidak baik. Rasa asin disebabkan adanya garam-garam
tertentu yang larut dalam air, sedangkan rasa asam diakibatkan adanya asam
organik maupun asam anorganik.
d. Tidak berbau
Air yang baik memiliki ciri tidak berbau bila dicium dari jauh maupun dari dekat.
Air yang berbau busuk mengandung bahan organik yang sedang mengalami
dekomposisi (penguraian) oleh mikroorganisme air.
e. Temperaturnya normal
Suhu air sebaiknya sejuk atau tidak panas terutama agar tidak terjadi pelarutan zat
kimia yang ada pada saluran/pipa, yang dapat membahayakan kesehatan dan
menghambat pertumbuhan mikro organisme.
f. Tidak mengandung zat padatan
Air minum mengandung zat padatan yang terapung di dalam air.
2.1.2 Persyaratan Bakteriologis
Sumber-sumber air di alam pada umumnya mengandung bakteri, baik
air angkasa, air permukaan, maupun air tanah. Jumlah dan jenis bakteri berbeda
sesuai dengan tempat dan kondisi yang mempengaruhinya. Oleh karena itu
air yang dikonsumsi untuk keperluan sehari-hari harus bebas dari bakteri
patogen. Bakteri golongan Coli (Coliform bakteri) tidak merupakan bakteri
patogen, tetapi bakteri ini merupakan indikator dari pencemaran air oleh bakteri
patogen (Slamet, 2009).
E.coli sudah lama diketahui sebagai indikator adanya pencemaran
tinja manusia pada minuman ataupun makanan. Beberapa alasan mengapa E.coli
disebut sebagai indikator pencemaran pada tinja dibanding bakteri lainnya adalah
6
(Chandra, 2005) :
a. Jumlah organisme cukup banyak dalam usus manusia. Sekitar 200-400 miliar
organisme ini dikeluarkan melalui tinja setiap harinya. Oleh karena jarang
sekali ditemukan dalam air, keberadaan kuman ini dalam air memberi bukti
kuat adanya kontaminasi tinja manusia.
b. Organisme ini lebih mudah dideteksi melalui metode kultur (walau hanya
terdapat 1 kuman dalam 100 cc air) dibanding tipe kuman patogen lainnya.
c. Organisme ini lebih tahan hidup dibandingkan dengan kuman usus patogen
lainnya.
d. Bila coliform organisme ini ditemukan di dalam sampel air maka dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa kuman usus patogen yang lain dapat juga
ditemukan dalam sampel air tersebut di atas walaupun dalam jumlah yang
kecil.
2.1.3 Persyaratan Kimia
Kualitas air tergolong baik bila memenuhi persyaratan kimia seperti berikut:
a. pH netral
Derajat keasaman air minum harus netral, tidak boleh bersifat asam atau basa.
Contoh air yang terasa asam adalah air gambut. Air murni mempunyai pH 7.
apabila pH di bawah 7 air bersifat asam, sedangkan di atas 7 berarti bersifat basa
(rasanya pahit).
b. Tidak mengandung zat kimia beracun
Air yang berkualitas baik tidak mengandung bahan kimia beracun seperti
sianida, sulfida, fenolik. Tidak mengandung garam atau ion-ion logam seperti
Fe, Mg, Ca, K, Hg, Zn, Mn, Cl, Cr dan lain-lain.
c. Kesadahan rendah
Tingginya kesadahan berhubungan dengan garam-garam yang terlarut di dalam
air terutama Ca dan Mg.
d. Tidak mengandung bahan organik
Kandungan bahan organik dalam air dapat terurai menjadi zat-zat yang
berbahaya bagi kesehatan. Bahan-bahan organnik itu seperti NH4, H2S, SO42- dan
NO3- (Kusnaedi,2002).
7
2.3 Air Minum Dalam Kemasan (AMDK)
Air minum kemasan atau dengan istilah AMDK (Air Minum Dalam
Kemasan), merupakan air minum yang siap di konsumsi secara langsung tanpa harus
melalui proses pemanasan terlebih dahulu. Air minum dalam kemasan merupakan
air yang dikemas dalam berbagai bentuk wadah, misalnya 19 liter atau galon ,
1500 ml / 600 ml (botol), 240 ml /220 ml (gelas).
Proses Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) harus melalui proses tahapan
baik secara klinis maupun secara hukum, secara higienis klinis biasanya disahkan
menurut peraturan pemerintah memalui Departemen Badan Balai Pengawasan Obat
Dan Makanan ( Badan POM RI) baik dari segi kimia, fisika, mikrobiologi.
Tahapan secara hukum biasanya melalui proses pengukuhan merek dagang, hak
paten, sertifikasi dan asosiasi yang mana keseluruhannya mengacu pada peraturan
pemerintah melalui DEPERINDAG, SNI (Standar Nasional Indonesia), dan Merek
Dagang. Untuk masalah air kemasan tentang Hak Cipta, Hak Paten Merek
biasanya melalui instansi Departemen Kehakiman.
Adapun proses Pengolahan air untuk menjadikan air siap dikemas dan
dipasarkan secara umum, ada beberapa proses yang harus dilalui antara lain :
1. Proses Pengolahan Air
2. Proses Sterilisasi Air
3. Proses Kontrol Kualitas
4. Proses Pengemasan ( Galon, Botol, Cup)
5. Proses Pengepakan
6. Proses Distribusi (htt p : // zeo f ilt. w or d press.co m )
2.4 Air Minum Isi Ulang (AMIU)
Depot air minum isi ulang adalah usaha industri yang melakukan
proses pengolahan air baku menjadi air minum dan menjual langsung kepada
konsumen (Deperindag, 2004). Prinsip pengolahan air pada dasarnya
harus mampu menghilangkan semua jenis polutan, baik fisik, kimia maupun
mikrobiologi. Proses pengolahan air pada depot AMIU terdiri atas penyaringan
(filtrasi) dan desinfeksi. Pertama, air akan melewati filter dari bahan silica untuk
menyaring partikel kasar. Setelah itu memasuki tabung karbon aktif untuk
menghilangkan bau. Tahap berikutnya adalah penyaringan air dengan saringan
8
berukuran 10 mikron kemudian melalui saringan 1 mikron untuk menahan bakteri.
Air yang keluar dari saringan 1 mikron dinyatakan telah bebas dari bau
dan bakteri, ditampung pada tabung khusus yang berukuran lebih kecil dibanding
tabung penampung air baku. Selanjutnya adalah tahap mematikan bakteri yang
mungkin masih tersisa dengan menggunakan sinar ultra violet, ozonisasi dan
Reversed Osmosi (Pitoyo, 2005).
Air minum isi ulang adalah salah satu jenis air minum yang dapat langsung
diminum tanpa dimasak terlebih dahulu, karena telah melewati beberapa
proses tertentu. Merebaknya peluang usaha yang umumnya disebut sebagai depot
air minum isi ulang tidak terlepas dari krisis yang dialami masyarakat
Indonesia, sehingga masyarakat mencari alternatif lain dalam membangun suatu
usaha dengan biaya relatif ringan tetapi cepat kembali modalnya, ataupun para
konsumen air minum mengurangi biaya kebutuhan sehari-hari.
Proses produksi AMIU merupakan suatu proses dalam usaha menjadikan
air yang belum layak dikonsumsi menjadi air yang layak dikonsumsi
masyarakat. Air yang berasal dari air tanah yang dapat dijadikan bahan baku (air
baku) ditampung kemudian diangkut dengan mobil tangki air. Air tersebut ditampung
dalam suatu wadah, kemudian dialirkan melalui pipa dan disaring menggunakan
alat filter, kemudian disterilisasi dengan ozon. Air yang telah steril dialirkan ke
tangki lalu disaring lagi melalui penyaringan halus kemudian diinjeksikan dengan
sinar ultraviolet, saring sekali lagi melalui penyaring halus. Air melalui pengisian
dimasukkan kedalam botol dan ditutup. (Kacaribu, 2008).
Pencemaran terhadap air minum kemasan/isi ulang berasal dari kualitas
air baku yang digunakan, dimana pencemaran itu dapat berasal dari kegiatan
industri, domestik, dan kegiatan lain yang berdampak negatif terhadap penurunan
sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air(Effendi, 2003).
Selain itu dalam dunia industri yang menggunakan bahan-bahan kimia
sintetik, dimana banyak dari bahan-bahan kimia tersebut telah menyebabkan
pencemaran terhadap lingkungan air. Seperti limpasan dari pestisida dan herbisida
yang berasal dari daerah pertanian atau perkebunan dan buangan limbah industri
ke permukaan air. Yang lebih serius lagi adalah terjadinya rembesan kedalam air
tanah dari bahan-bahan pencemar yang berasal dari penampungan limbah kimia
dan kolam penampungan atau kolam pengolahan limbah dan fasilitas-fasilitas
9
lainnya.
Untuk air yang didistribusikan dengan tangki pengangkut dari lokasi
sumber air baku ke depot air minum harus menggunakan tangki pengangkut air
yang terbuat dari bahan tara pangan (food grade), tahan korosi dan bahan kimia yang
dapat mencemari air (Achmad, 2004).
2.5 pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman
atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH didefinisikan sebagai
kologaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen
tidak dapat diukur secara eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan
teoritis. Skala pH bukanlah skala absolut. pH bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan
standar yang pH-nya ditentukan berdasarkan persetujuan internasional.
pH sangat penting sebagai parameter kualitas air karena ia mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan dan mahluk-mahluk akuatik
lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai pH maka kita
akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan mereka.
Air murni bersifat netral, dengan pH-nya pada suhu 25 °C ditetapkan sebagai 7,0.
Larutan dengan pH kurang dari tujuh disebut bersifa tasam, dan larutan dengan pH lebih
dari tujuh dikatakan bersifat basaatau alkali. Pengukuran pH sangatlah penting dalam
bidang yang terkait dengan kehidupan atau industri pengolahan
kimiaseperti kimia, biologi, kedokteran, pertanian, ilmupangan, rekayasa (keteknikan), dan
oseanografi. Tentu saja bidang-bidang sains dan teknologi lainnya juga memakai meskipun
dalam frekuensi yang lebih rendah.
Umumnya indikator asam-basa sederhana yang digunakan adalah kertas lakmus
yang berubah menjadi merah bila keasamannya tinggi dan biru bila keasamannya rendah.
Selain menggunakan kertas lakmus, indikator asam basa dapat diukur dengan pH meter
yang bekerja berdasarkan prinsip elektrolit / konduktivitassuatu larutan.
Suatu pH meter diatur sedemikiannya pembacaan meteran untuk suatu larutan
standar adalah sama dengan nilai pH(S). Nilai pH(S) untuk berbagai larutan standar S
diberikan oleh rekomendasi IUPAC. Larutan standar yang digunakan sering kali
10
merupakan larutan penyangga standar. Dalam prakteknya, adalah lebih baik untuk
menggunakan dua atau lebih larutan penyangga standar untuk mengijinkan adanya
penyimpangan kecil dari hukum Nerst ideal pada elektrode sebenarnya. Oleh karena
variabel temperatur muncul pada persamaan di atas, pH suatu larutan bergantung juga pada
temperaturnya.
Pengukuran nilai pH yang sangat rendah, misalnya pada air tambang yang sangat
asam, memerlukan prosedur khusus. Kalibrasi elektrode pada kasus ini dapat digunakan
menggunakan larutan standar asam sulfat pekat yang nilai pH-nya dihitung menggunakan
parameter Pitzer untuk menghitung koefisien aktivitas (Wikipedia).
2.6 Klorida (Cl)
Zat khlor berbentuk gas berwarna biru kehijauan dan bersifat racun keras. Khlor
selalu dikonsumsi dalam bentuk garam dapur (NaCl). Zat ini belum pernah dilaporkan
memberikan gejala-gejala defisiensi.
Ion Cl dapat menembus membrane sel dengan leluasa dan keluar masuk memoranda
sel secara pasif mendampingi ion K+ Na+ (Ahmad Djaeni Sediautama, 1991).
2.6.1. Kadar Klorida dalam Air Minum
Kadar klorida dalam air minum kemasan berdasarkan Permenkes Nomor: 907/
Menkes/ SK/ VII/ 2002 kadar klorida maksimum 250 mg/ l. Jumlah klorida dalam air
minum lebih dari 600 mg/ l dapat merusak ginjal (Depkes, 2002).
Pada saat pengolahan air minum dilakukan klorinasi, yaitu cara desinfektasi air
dengan tujuan mematikan bakteri. Klorin yang digunakan biasanya berbentuk cairan
(Natrium hipoklorit), bubuk (Kalsium hipoklorit), tablet dan bentuk gas. Klorin yang
berbentuk gas biasanya digunakan dalam tangki baja sehingga memudahkan dalam
transportasi oleh pabrik-pabrik pengolahan air minum.
Khlor yang ditambahkan ke dalam air minum kalau yang berbentuk gas (Cl2) maka
akan terjadi reaksi hidrolisa yang cepat sebagai berikut :
Cl2 + H2O H+ +Cl- + HOCl
Selanjutnya asam hipoklorit (HOCl) yang terjadi akan pecah sesuai dengan reaksi berikut:
HOCl OC + H+
Pada suhu air yang normal dan suasana netral atau asam lemah reaksi tersebut akan
berlangsung dengan cepat.
11
Semua perairan alami mengandung klorida yang kadarnya sangat bervariasi mulai
dari beberapa milligram sampai puluhan ribu milligram (air laut). Namun suatu perairan
baik itu airtanah, air artesis, danau atau sungai biasanya memiliki kadar klorida yang relatif
tetap. Perubahan kadar klorida dalam suatu perairan berhubungan dengan lokasi maupun
waktu tertentu yang menunjukkan adanya percampuran dengan perairan lain maupun
pencemaran terhadap perairan tersebut. Keberadaa ion Cl- dalam air akan berpengaruh
terhadap tingkat keasinan air. Semakin tinggi konsentrasi Cl-, berarti semakin asin air dan
semakin rendah kualitasnya. Besarnya kadar klorida dalam perairan sangat penting dalam
berbagai aspek seperti dalam penelitian-penelitian tenaga panas bumi, irigasi, industri,
hidrologi, dll. Pada umumnya adanya klorida dalam air menyebabkan air tersebut memiliki
rasa asin. (Soemirat, 1995).
2.6.3. Metode Argentometri
Penetapan kadar klorida dapat dilakukan dengan metode Argentometri, yaitu
digunakannya larutan baku sekunder AgNO3.
Adapun macam-macam metode argentometri ada 3 yaitu
a. Argentometri Mohr
Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromide dalam
suasana netral dengan larutan baku perak nitrat (AgNO3) dengan indicator kalium kromat
(K2CrO4)membentukendapan perak kromat yang berwarna merah bata.
Cl- + Ag+ AgCl (putih)
CrO4 + Ag+ Ag2CrO4 (merah bata)
b. Argentometri Volhard
Klorida dapat ditetapkan dalam suasana asam dengan penambahan larutan baku
perak nitrat (AgNO3) berlebihan. Kelebihan AgNO3 dititrasi dengan Kalium thiosianat
dengan indicator besi (III) ammonium sulfat yang akan membentuk warna merahdari
kompleks besi (III) atau Fe(CNS)3 yang larut.
Cl- + Ag+ AgCl (endapan putih)
Ag+ + CNS- AgCNS
CNS- + Fe3+ Fe(CNS)3
Fe(CNS)3 + Fe3+ Fe [Fe(CNS)3]3 (larutan merah)
c. Metode K. Fayans
Pada metode ini digunakan indicator adsorpsi sebagai kenyataan bahwa pada titik
12
ekuivalen indicator ini tidak memberi warna pada larutan tetapi pada permukaan endapan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam metode ini adalah endapan dijaga sedapat mungkin
dalam bentuk koloid. Garam netral dalam jumlah besar, ion bervalensi banyak harus
dihindarkan karena mempunyai daya mengkoagulasi, sedikit sekali dan mengakibatkan
oerubahan indicator tidak jelas. Metode ini dapat digunakan untuk menetapkan kadar
klorida dengan indicator eosin atau flouresein
Reaksi argentometri K. Fayans : (Mariyati, 2009)
Cl- + Ag+ AgCl (endapan putih)
AgCl- + Cl- AgCl2
AgCl + Ag+ + H eosin H+ + AgCl Ag eosin
Dari tiga metode titrasi tersebut, yang digunakan sebagai dasar penetapan kadar
klorida pada air minum kemasan/isi ulang adalah metode Mohr, karena pada metode ini
mempunyai banyak kelebihan yaitu reagen mudah didapat, prosedur mudah dan praktis
dan titik akhir titrasi dapat terlihat dengan jelas.
2.7 TDS (Total Dissolve Solid)
2.7.1 TDS (Total Dissolve Solid) Dalam Air
TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun
anorganik, misal : garam, dll) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS meter
menggambarkan jumlah zat terlarut dalam Part Per Million (PPM) atau sama dengan
milligram per Liter (mg/L). Umumnya berdasarkan definisi diatas seharusnya zat yang
terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2 micrometer
(2×10-6 meter). Aplikasi yang umum digunakan adalah untuk mengukur kualitas cairan
biasanya untuk pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam renang, proses kimia, pembuatan
air mineral, dll. Setidaknya, kita dapat mengetahui air minum mana yang baik dikonsumsi
tubuh, ataupun air murni untuk keperluan kimia (misalnya pembuatan kosmetika, obat-
obatan, makanan, dll) (Insan, 2007).
Total padatan terlarut merupakan bahan-bahan terlarut dalam air yang tidak
tersaring dengan kertas saring millipore dengan ukuran pori 0,45 μm. Padatan ini terdiri
dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan garam-
garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang
umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh air buangan sering mengandung molekul
13
sabun, deterjen dan surfaktan yang larut air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan
industri pencucian (Anonim, 2010).
Benda-benda padat di dalam air tersebut berasal dari banyak
sumber, organik seperti daun, lumpur, plankton, serta limbah industri dan kotoran. Sumber
lainnya bisa berasal dan limbah rumah tangga, pestisida, dan banyak lainnya. Sedangkan
sumber anorganik berasal dari batuan dan udara yang mengandung kalsium bikarbonat,
nitrogen, besi fosfor, sulfur, dan mineral lain. Semua benda ini berbentuk garam, yang
merupakan kandungannya perpaduan antara logam dan non logam. Garam-garam ini
biasanya terlarut di dalam air dalam bentuk ion, yang merupakan partikel yang memiliki
kandungan positif dan negatif. Air juga mengangkut logam seperti timah dan tembaga saat
perjalanannya di dalam pipa distribusi air minum.
Sesuai regulasi dari Enviromental Protection Agency(EPA) USA, menyarankan
bahwa kadar maksimal kontaminan pada air minum adalah sebesar 500mg/liter (500 ppm).
Kini banyak sumber-sumber air yang mendekati ambang batas ini. Saat angka penunjukan
TDS mencapai 1000mg/L maka sangat dianjurkan untuk tidak dikonsumsi manusia.
Dengan angka TDS yang tinggi maka perlu ditindaklanjuti, dan dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut. Umumnya, tingginya angka TDS disebabkan oleh kandungan potassium,
klorida, dan sodium yang terlarut di dalam air. Ion-ion ini memiliki efek jangka pendek
(short-term effect), tapi ion-ion yang bersifat toksik (seperti timah arsenik, kadmium, nitrat
dan banyak lainnya) banyak juga yang terlarut di dalam air (Anonim, dalam Rio Santoso
2008).
TDS dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas air minum, karena
mewakili jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS tinggi seringkali memiliki rasa yang
buruk dan atau kesadahan air tinggi. Walaupun TDS umumnya dianggap bukan sebagai
polutan utama (misalnya tidak dianggap terkait dengan efek kesehatan), tetapi digunakan
sebagai indikasi karakteristik estetika air minum dan sebagai indikator agregat kehadiran
array yang luas dari kontaminan kimia.
Adapun dampak dari Total Dissolved Solid (TDS) adalah (Mahadmika, 2010):
1. Dampak terhadap lingkungan
a. Kandungan TDS dapat berdampak buruk pada lingkungan, terutama
dapat menghambat resapan air dalam tanah dengan cara menutupi pori-pori.
b. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air,
yaitu mempengaruhi degenerasi oksigen serta fotosintesis.
14
2. Dampak terhadap kesehatan
TDS tidak berdampak langsung pada kesehatan karena efek kandungan TDS di dalam
air adalah memberi rasa pada air, yaitu air menjadi seperti garam. Sehingga jika
air yang tidak sengaja mengandung TDS terminum, maka akan terjadi akumulasi
garam di dalam ginjal manusia dalam waktu lama. Sehingga lama kelamaan akan
mempengaruhi fungsi fisiologis ginjal.
2.7.2 Metode Gravimetri
Pengukuran kadar pedatan terlarut dalam cairan, biasanya menggunakan metode
Gravimetri karena keakuratannya bisa sampai 0.0001 gram. Gravimetri merupakan salah
satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau komponen yang telah diketahui dengan cara
mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah melalui proses pemisahan.
Analisis gravimetri adalah proses isolasi dan pengukuran berat suatu unsure atau senyawa
tertentu. Bagian terbesar dari penetuan secara analisis gravimetri meliputi transformasi
unsure atau radikal kesenyawa murni stabil yang dapat segera diubah menjadi bentuk yang
dapat ditimbang dengan teliti. Metode gravimetric memakan waktu yang cukup lama,
adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila perlu factor-faktor koreksi dapat
digunakan. Zat ini mempunyai ion yang sejenis dengan endapan primernya. Postpresipitasi
dan kopresipitasi merupakan dua penomena yang berbeda. Sebagai contoh pada
postpresipitasi, semakin lama waktunya maka kontaminasi bertambah, sedangkan pada
kopresipitasi sebaliknya. Kontaminasi bertambah akibat pengadukan larutan hanya pada
postpresipitasi tetapi tidak pada kopresipitasi (Khopkar, 1990).
Lebih lanjut Chang menambahkan bahwa analisis gravimetri merupakan suatu teknik
analitik yang berdasarkan pada pengukuran massa. Suatu analisis gravimetri melibatkan
pembentukan (formasi), isolasi dan penentuan massa endapan. Umumnya prosedur ini
digunakan pada senyawa-senyawa ionic. Pertama suatu zat sampel dilarutkan dalam air
dan dibiarkan bereaksi dengan zat lain untuk membentuk endapan. Selanjutnya endapan
tersebut disaring, dikeringkan dan ditimbang. Dengan mengetahui massa dan rumus kimia
endapan yang terbentuk, maka dapat dhitung massa masing-masing komponen (yakni
anion dan kation) dari sampel. Sehingga dari massa komponen dan massa sampel dapat
ditentukan persen komposisi massa komponen pada senyawa asal (Chang, 1998).
Pada metode gravimetri, senyawa yang hendak ditentukan dilarutkan, kemudian
diendapkan menjadi endapan yang sukar larut. Dari endapan ini konsentrasi zat yang akan
15
ditetapkan dapat dihitung secara stoikiometri. Oleh karena itu, endapan yang terjadi harus
merupakan senyawa dengan kelarutan sekecil mungkin dan mempunyai susunan tertentu
dan dapat secara tepat serta mudah dipisahkan dari hasil lainnya. Endapan yang terjadi
dapat ditentukan dengan cara penimbangan. Persyaratan analisis gravimetri ini, bahwa
bentuk yang ditimbang dapat yang didapat dari pengeringan atau pemijaran endapan
mempunyai susunan dan berat molekul yang diketahui. Dengan persyaratan ini, kadar zat
yang hendak ditentukan dapat diperoleh secara perbandingan stoikiometri (Roth dan
Blaschke, 1988).
2.8 Kesadahan
2.8.1 Kesadahan Air
Kesadahan adalah suatu keadaan atau peristiwa terlarutnya ion- ion tertentu di air
sehingga menurunkan kualitas air baik secara distribusi maupun penggunaanya. Ion-ion
tersebut yaitu Ca2+, Mg2+, Mn2+, Fe2+, Si2+, dan semua kation yang bermuatan 2. Ion-ion
mampu bereaksi dengan Sabun untuk Presipirat dan anion-anion yang ada untuk
membentuk kerak.
Air sadah berarti air yang didalamnya terkandung ion-ion kesadahan. Kesadahan air
bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Kesadahan air permukaan lebih kecil
daripada air tanah di daerah kapur, karena pada daerah tanah tersebut banyak terkandung
ion Ca2+ dan Mg2+.
Berdasarkan sifatnya, air sadah dibagi atas 2,yaitu:
a. Kesadahan sementara
Air sadah yang mengandung Ca(HCO3)2 atau Mg(HCO2) 2, Air sadah
sementara dapat dipisahkan dengan cara pemanasan.
Reaksi : Ca(HCO2) 2 CaCO2 + H2O + CO2
Mg(HCO3)2 MgCO3 + H2O + CO2
b. Kesadahan tetap
Air sadah yang mengandung MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, dll. Airsadah
dapat dihilangkan dengan penambahan natrium karbonat.
Reaksi : CaSO4 + NaCO3 CaCO3 + Na2SO4
MgSO4 + Na2SO3 MgCO3 + Na2SO4
Kesadahan air juga dibagi menjadi 2 tipe yaitu: :
16
1. Kesadahan Kalsium dan Magnesium (Kesadahan Total)
Kalsium dan magnesium merupakan dua anggota dari kelompok alkali
logam. Kedua struktur ini mempunyai struktur elektron dan reaksi kimia yang
sama. Besarnya kesadahan kalsium dan magnesium dapat dihitung.
2. Kesadahan Karbonat dan Non Karbonat
Kesadahan karbonat ialah bagian kesadahan total yang secara kimia ekivalen
terhadap alkalinitas bikarbonat dan karbonat dalam air. Kesadahan non karbonat
ialah jumlah kesadahan akibat kelebihan kesadahan karbonat.
Jika CaCO3 sebagai alkalinitas dan kesadahan, maka kesadahan karbonat ditentukan
sebagai berikut :
a. Alkalinitas ³ kesadahan total
Kesadahan karbonat (mg/l) = kedadahan total (mg/l)
b. Alkalinitas < kesadahan total
Kesadahan karbonat (mg/l) = alkalinitas (mg/l)
Kesadahan nonkarbonat = kesadahan total – kesadahan karbonat kation.
Kation kesadahan nonkarbonat berikatan dengan anion-anion sulfat nitrat.
(environmental.blogspot, 2009)
2.8.2 Kesadahan Total dan Titrasi Kompleksimetri
Kesadahan total adalah jumlah ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang dapat ditentukan melalui
titrasi EDTA dan menggunakan indicator yang peka terhadap semua kation tersebut.
Kesadahan total dapat juga ditentukan dengan menggunakan jumlah ion Ca2+dan ion Mg2+
yang dianalisa secara terpisah misalnya metode AAS.
Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan
kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion), Kompleksometri merupakan
jenis titrasi dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa
kompleks. Reaksi–reaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak
sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu
pengertian yang cukup luas tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan
diterapkan pada titrasi. Contoh reaksi titrasi kompleksometri :
Ag+ + 2 CN- Ag(CN)2
Hg2+ + 2Cl- HgCl2 (Khopkar, 2002).
17
Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik
melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun sedikit
terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui
reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset, 1994).
Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi
pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi
dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat
kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal pula kompleksometri
yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut penggunaan
EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat, disebut ligan, dan dalam larutan air, reaksi
dapat dinyatakan oleh persamaan :
M(H2O)n + L = M(H2O)(n-1) L + H2O
(Khopkar, 2002).
Asam etilen diamin tetra asetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA, merupakan
salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah ligan seksidentat
yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus
karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom
koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2-diaminoetanatetraasetat (asametilenadiamina
tetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen – penyumbang dan empat atom
oksigen penyumbang dalam molekul (Rival, 1995).
Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah
besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif. Dalam larutan yang
agak asam, dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa pematahan sempurna kompleks
logam, yang menghasilkan spesies seperti CuHY-. Ternyata bila beberapa ion logam yang
ada dalam larutan tersebut maka titrasi dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua
ion logam yang ada dalam larutan tersebut (Harjadi, 1993).
Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg, Ca, Cr, dan
Ba dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi kompleksometri
mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja
kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri.
Indikator demikian disebut indikator metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah
Eriochrome black T; pyrocatechol violet; xylenol orange; calmagit; 1-(2-piridil-azonaftol),
PAN, zincon, asam salisilat, metafalein dan calcein blue (Khopkar, 2002).
18
Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan kimia
adala ion sianida, CN-, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap
dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa
kompleks perak-sianida, sedagkan dengan ion nilkel membentuk nikel-sianida. Kendala
yang membatasi pemakaian-pemakaian ion sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini
membentuk kompleks secara bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan
bergigi satu (Rival, 1995).
Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna
sebagai tanda tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion logam dapat
digunakan pada pendeteksian visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna harus
sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah berkompleks
dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu haruslah spesifik
(khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-indikator logam itu harus memiliki
kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna
yang tajam. Namun, kompleks-indikator logam itu harus kurang stabil dibanding kompleks
logam-EDTA untuk menjamin agar pada titik akhir, EDTA memindahkan ion-ion logam
dari kompleks-indikator logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat. Kelima,
kontras warna antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam harus sedemikian
sehingga mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap
pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen. Terakhir,
penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk titrasi adalah 10
dengan indikator eriochrome black T. Pada pH tinggi, 12, Mg(OH)2 akan mengendap,
sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan indikator murexide
(Basset, 1994).
Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari dengan
penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang mengandung baik
oksigen maupun nitrogen secara umum efektif dalam membentuk kompleks-kompleks
yang stabil dengan berbagai macam logam. Keunggulan EDTA adalah mudah larut dalam
air, dapat diperoleh dalam keadaan murni, sehingga EDTA banyak dipakai dalam
melakukan percobaan kompleksometri. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air,
sebaiknya EDTA distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan
kadmium (Harjadi, 1993).
19
2.7.3 Dampak Negatif Air Sadah
Air sadah membawa dampak negatif, yaitu:
- Menyebabkan sabun tak berbusa karena adanya hubungan kimiawi antara kesadahan
dengan molekul sabun sehingga sifat deterjen sabun hilang dan pemakaian sabun jadi
lebih boros.
- Menimbulkan kerak pada ketel yang dapat menyumbat katup-katup ketel karena
terbentuknya endapan kalsium karbonat pada dinding atau katup ketel. Akibatnya
hantaran panas pada ketel ait berkurang sehingga memboroskan bahan bakar.(www.
Chemistry.org)
20
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai November 2012 di Laboratorium
Kimia FKIP Universitas Mataram. Metode yang digunakan dalam analisis merupakan
metode standar nasional indonesia (SNI) tahun 2004.
3.2 Sampel
Sampel berupa air minum depot isi ulang dan air minum dalam kemasan yang
diambil secara random (acak) di wilayah Mataram.
3.3 Alat, Bahan, dan Prosedur Kerja
3.3.1 Penentuan pH
Alat yang digunakan adalah pH-meter
Bahan
a. Larutan buffer pH 4 (Ditimbang 10,12 gr kalium hidrogen ptalat, KHC8H4O4,
dilarutkan dalam 1000 mL air suling).
b. Larutan buffer pH 7 (Ditimbang 3,387 gr kalium dihidrogen fosfat, KH2PO4 dan
3,533 gr dinatrium hidrogen fosfat, Na2HPO4, dilarutkan dalam 1000 mL air
suling).
c. Larutan buffer pH 10 (Ditimbang 2,092 gr natrium hidrogen karbonat, NaHCO3
dan 2,640 gr natrium karbonat, Na2CO3, dilarutkan dalam 1000 mL air suling).
Prosedur
a. Kalibrasi pH-meter
1. Untuk peralatan ini sediakan 3 jenis larutan buffer yaitu : larutan buffer pH 4, pH
7 dan pH 10.
2. Dihubungkan elektroda dengan meter, dan dihidupkan meter dengan
menekan/menggeser switch pada posisi “ON”.
3. Dicelupkan elektroda ke dalam larutan buffer pH 4 dan baca skala/angka yang
ditunjukkan oleh meter (biasaya larutan perlu diaduk selama pengukuran
secara perlahan-lahan).
21
4. Jika angka yang ditunjukkan tidak sama dengan pH buffer (dalam hal ini pH 4)
putar tombol kalibrasi hingga angka yang ditunjukkan tepat = 4, bersihkan
elektroda dengan aquadest dan keringkan dengan kertas tissue.
5. Diulangi kalibrasi dngan menggunakan larutan buffer pH 7 dan pH 10.
b. Pengukuran pH sampel
1. Dicelupkan elektroda pH-meter ke dalam larutan sampel yang akan dianalisa.
2. Dibaca petunjuk angka pada pH-meter.
3. Diulangi langkah kerja (1) sampai (2) sebanyak 3x untuk tiap-tiap sampel
3.3.2 Penentuan Kadar Klorida
Alat
a. Buret 50 ml
b. Statif dan Klem
c. Corong
d. pH meter
e. Labu Erlenmeyer
f. Labu Takar
g. Gelas Kimia
h. Pipet Tetes
i. Pipet Volume
j. Batang Pengaduk
k. Neraca Analitik
Bahan
a. Larutan AgNO3 0.01 N
b. Larutan NaCl 0.01 N
c. Air sampel
d. NaOH 1 N
e. H2SO4 1 N
f. K2CrO4 (l) 5%
g. Aquadest
h. Aluminium Foil
22
Prosedur Kerja
a. Pembuatan larutan AgNO3 0.01 N
1. Ditimbang AgNO3 sebanyak 1.6987 gr
2. Dilarutkan dalam gelas kimia sedikit demi sedikit kemudian dituang ke dalam labu
ukur
3. Diisi aquadest hingga tepat pada volume 500 ml
Perhitungan massa AgNO3 yang ditimbang:
Gram=L x N x BMn
Gram=1 x 0.01 x 169.871
Gram=1.6987
b. Pembuatan larutan NaCl 0.01 N
1. Ditimbang 0.29225 gr NaCl
2. Dilarutkan dalam gelas kimia sedikit demi sedikit kemudian dituang ke dalam labu
ukur
3. Diisi aquadest hingga tepat pada volume 500 ml
Perhitungan massa NaCl yang ditimbang:
Gram=L x N x BMv
Gram=0.5 x 0.01 x58.451
Gram=0.29225
c. Pembuatan indikator K2CrO4 5%
1. Ditimbang 5 gr K2CrO4
2. Dilarutkan dengan aquadest sampai volume 100 ml
Perhitungan massa K2CrO4 yang ditimbang:
Gram= volume x N100 %
Gram=100 x 5 %100 %
Gram=5
23
d. Standarisasi AgNO3 dengan NaCl 0.01 N
1. Dibilas bagian dalam buret dengan aquadest
2. Dibilas kembali bagian dalam buret dengan larutan baku sekunder AgNO3
3. Diisi buret dengan larutan baku AgNO3 hingga tanda batas nol
4. Diambil 25 ml larutan NaCl 0.01 N dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer
5. Ditambahkan indikator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes
6. Dititrasi dalam larutan baku AgNO3 hingga terjadi perubahan warna (terbentuk
endapan merah bata muda)
7. Diulangi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang dibutuhkan
untuk titrasi
8. Dilakukan titrasi blanko dengan mengganti larutan NaCl dengan larutan blanko
(aquadest) dan dititrasi menggunakan AgNO3
e. Penentuan kadar klorida pada sampel
1. Diambil 100 ml sampel air dengan pipet volume dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer, diukur pH sampel
2. Ditambahkan NaOH 1 N atau H2SO4 1 N sampai suasana netral atau sedikit basa,
diukur kembali pH sampel
3. Ditambahkan indicator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes
4. Dititrasi menggunakan larutan AgNO3 hingga terbentuk endapan merah bata muda
5. Diulangi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang dibutuhkan
untuk titrasi
6. Diulangi langkah kerja (1) sampai (5) menggunakan sampel yang berbeda
e. Titrasi larutan blanko
1. Diambil 100 ml aquadest dengan pipet volume, dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dan diukur pH nya
2. Ditambahkan NaOH 1 N atau H2SO4 1 N sampai suasana netral atau sedikit basa,
diukur kembali pH sampel
3. Ditambahkan indicator K2CrO4 5% sebanyak 2-3 tetes
4. Dititrasi kembali dengan menggunakan larutan AgNO3 hingga terbentuk endapan
merah bata muda
24
5. Diulangi titrasi sebanyak 3 kali dan dihitung volume rata-rata AgNO3 yang
dibutuhkan untuk titrasi
3.3.3 Penentuan Residu Terlarut (TDS)
Alat
a. Neraca analitik
b. Cawan porselin
c. Corong
d. Oven
e. Penjepit kertas saring
f. Penjepit cawan
g. Hot Plate
h. Pipet
i. Desikator
Bahan
a. Kertas saring Wathman
b. Aquadest
c. Air sampel
Prosedur Kerja
a. Persiapan Kertas Saring
b. Persiapan Cawan
1. Dipanaskan cawan yang telah bersih pada suhu 180°C ± 2°C selama 1 jam di
dalam oven
2. Dipindahkan cawan dari oven dengan penjepit dan didinginkan dalam desikator
3. Setelah dingin, segera ditimbang dengan neraca analitik
4. Diulangi langkah (1) sampai (3) sehingga diperoleh berat tetap cawan (dicatat
sebagai A gram)
c. Pengujian Padatan Terlarut Total
1. Dimasukkan kertas saring ke dalam corong dan ditempatkan di atas labu
Erlenmeyer atau gelas kimia
2. Dikocok sampel sampai homogen dan dipipet sebanyak 50 sampai 100 ml
3. Disaring larutan sampel dengan kertas saring
25
4. Dipindahkan seluruh hasil saringan ke dalam cawan
5. Dipanaskan di atas hot plate sehingga volume sampel tersisa ± 25 ml
6. Dimasukkan cawan yang berisi padatan terlarut yang sudah kering ke dalam
oven pada suhu 180°C ± 2°C sampai semua cairannya menguap
7. Dipindahkan cawan dari oven dengan penjepit dan didinginkan dalam desikator
8. Setelah dingin, segera ditimbang dengan neraca analitik
9. Diulangi langkah (1) sampai (10) sebanyak 3x sehingga diperoleh berat tetap
(catat sebagai B gram)
3.3.4 Penentuan Kesadahan Air
Alat
a. buret 50 mL;
b. labu Erlenmeyer 250 dan 500 mL;
c. labu ukur 250 dan 500 mL;
d. gelas ukur 50, 100 mL;
e. pipet volume 10 dan 50 mL;
f. pipet ukur 10 mL;
g. sendok sungu;
h. alat pengukur pH;
i. pengaduk gelas;
j. pemanas listrik;
k. neraca analitik;
l. gelas arloji;
m. statif dan klem
Bahan
a. Indicator Eriochrome Black T (EBT)
b. Indikator Metil Merah
c. NaCl
d. CaCO3
e. (Na2EDTA 2H2O = C10H14N2Na2O8.2H2O)
f. MgSO4.7H2O
g. NH4Cl
h. NH4OH
26
i. HCl
j. Aquadest
Prosedur Kerja
Persiapan Larutan
a) Indikator Eriochrome Black T (EBT)
1 . Ditimbang 200 mg EBT dan 100 gr kristal NaCl, kemudian dicampur.
2 . Digerus campuran tersebut hingga mempunyai ukuran 40 mesh sampai
dengan 50 mesh.
3 . Disimpan dalam botol yang tertutup rapat.
b) Larutan penyangga pH 10 + 0,1
(i) Dilarutkan 1,179 gr Na2EDTA dihidrat dan 780 mg magnesium sulfat
penta hidrat (MgSO4.7H2O) atau 644 mg magnesium klorida heksa hidrat
(MgCl2.6H2O) dalam 50 mL aquadest.
(ii) Ditambahkan larutan tersebut ke dalam 16,9 gr NH4Cl dan 143 mL
NH4OH pekat, sambil dilakukan pengadukan.
(iii) Dincerkan dengan air suling hingga volumenya menjadi 250,0 mL.
c) Larutan standar kalsium karbonat (CaCO3) 0,01 M (1,0 mg/mL)
1. Ditimbang 1,0 g CaCO3 anhidrat, masukkan ke dalam labu erlenmeyer 500
mL.
2. Dilarutkan dengan sedikit asam klorida (HCl) 1 : 1, tambah dengan
200 mL aquadest.
3. Didihkan beberapa menit, untuk menghilangkan CO2, lalu dinginkan.
4. Setelah dingin, ditambahkan beberapa tetes indikator metil merah.
5. Ditambahkan NH4OH 3 N atau HCl 1 : 1 sampai terbentuk warna orange.
6. Dipindahkan secara kuantitaif ke dalam labu ukur 1000 mL, kemudian
tepatkan sampai tanda tera.
d) Larutan baku dinatrium etilen diamin tetra asetat dihidrat (Na2EDTA 2H2O =
C10H14N2Na2O8.2H2O) 0,01 M
Dilarutkan 1.86 gr Na2EDTA dihidrat dengan aquadest di dalam labu ukur
500 mL, tepatkan sampai tanda tera.
27
Standarisasi Larutan Na2EDTA 0,01 M
1. D i p ipet 10,0 mL larutan standar CaCO3 0,01 M, dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 mL
2. Ditambah 40 mL aquadest dan 1 mL larutan penyangga pH 10 + 0,1
3. Diambahkan seujung spatula 30 mg sampai dengan 50 mg indikator EBT
4. Dititrasi dengan larutan Na2EDTA 0,01 M sampai terjadi perubahan warna
dari merah keunguan menjadi biru.
5. Dicatat volume larutan Na2EDTA yang digunakan.
Penentuan Kesadahan Total
1. Diambil 25 mL sampel, d i masukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 mL,
diencerkan dengan aquadest sampai volume 50 mL.
2. Ditambahkan 1 mL sampai dengan 2 mL larutan penyangga pH 10 + 0,1.
3. Ditambahkan seujung spatula 30 mg sampai dengan 50 mg indikator EBT.
4. Dilakukan titrasi dengan larutan baku Na2EDTA 0,01 M secara perlahan
sampai terjadi perubahan warna merah keunguan menjadi biru.
5. Dicatat volume larutan baku Na2EDTA yang digunakan.
6. Diulangi titrasi tersebut 3 kali, kemudian dirata-ratakan volume Na2EDTA yang
digunakan.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Penentuan pH
pH rata−rata= pH 1+ pH 2+ pH 33
3.4.2 Penentuan Kadar Klorida
Normalitas NaCl
N=massaMr
x1000
Vx n
Standarisasi larutan AgNO3
normalitas AgNO3=normalita NaCl x volume NaCl
volume AgNO3
28
Kadar klorida (Cl-) pada sampel
Kadar Cl−¿( mg
L)=
( A−B ) x N x 34.45V
¿
A = volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi sampel (ml)
B = volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi blanko (ml)
N = normalitas larutan baku AgNO3 (N)
V = volume sampel (ml)
3.4.3 Penentuan Kadar Padatan Terlarut Total (TDS)
Kadar padatanterlarut total ( mgL
)=(B−A ) x106
volume sampel
A= berat tetap cawan kosong setelah pemanasan 180°C
B= berat tetap cawan berisi padatan terlarut total setelah pemanasan 180°C
3.4.4 Penentuan Kesadahan Total
a. Standarisasi Larutan Na2EDTA 0,01 M
dihitung molaritas Na2EDTA dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
M EDTA
M CaCO 3 x V CaCO 3
V EDTA
MEDTA = molaritas larutan baku Na2EDTA (mmol/mL)
VEDTA = volume rata-rata larutan baku Na2EDTA mL)
VCaCO3 = volume larutan CaCO3 (mL)
M CaCO3 = molaritas CaCO3 yang digunakan (mmol/L)
b. Penentuan Kesadahan Total
Kesada h an total (mgL
CaCO 3)= 1000volume sampel
xV EDTA xM EDTA x Mr CaCO 3
dimana :
V EDTA (a) = volume rata-rata Na2EDTA untuk titrasi kesadahan total (mL)
V EDTA (b) = volume rata-rata Na2EDTA untuk titrasi kalsium (mL)
MEDTA = molaritas larutan baku Na2EDTA (mmol/mL)
Mr CaCO = berat molekul CaCO3 (100 gr/mol)
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Penentuan pH
Pengukuran pH menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan
buffer pH 4, 7, dan 10. Pengukuran pH dilakukan pada sampel AMIU dan AMDK
masing-masing sebanyak 3 kali pengulangan, sehingga diperoleh hasil sebagai berikut :
Ulangan Ke Sampel AMIU Sampel AMDK
1 6.61 7.332 6.62 7.313 6.63 7.32
Rata-Rata 6.62 7.32
4.2 Penentuan Kadar Klorida
Penentuan kadar klorida menggunakan metode argentometri mohr, dimana larutan
perak nitrat AgNO3 sebagai larutan standarnya. Sebelum dilakukan pengujian pada
sampel, larutan AgNO3 distandarisasi dengan larutan NaCl. Pada titik akhir titrasi
diperoleh perubahan warna larutan dari kuning bening menjadi merah bata, dimana
volume AgNO3 yang dibutuhkan sebesar 26.8 ml sedangkan untuk titrasi blanko
diperoleh volume AgNO3 sebesar 1 ml. Selanjutnya dari hasil tersebut, diperoleh
konsentrasi AgNO3 sebesar 0.00998 N mendekati 0.01 N.
Selanjutnya dilakukan pengujian pada sampel AMIU dan AMDK menggunakan
larutan AgNO3 yang telah distandarisasi sampai terjadi perubahan warna larutan sama
seperti saat standarisasi, yaitu dari kuning bening menjadi merah bata. Berikut tabel
rincian volume AgNO3 yang dibutuhkan untuk titrasi:
Ulangan KeVolume AgNO3 (ml)
Sampel AMIU Sampel AMDK Blanko
1 4.2 3.4 1.72 4.2 3.3 1.83 4.1 3.4 1.8
Rata-Rata 4.17 3.37 1.77
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar klorida (Cl-) pada AMIU sebesar 0.0083 mg/L, sedangkan pada AMDK diperoleh sebesar 0.0055 mg/L (Lampiran 2).
30
4.3 Penentuan Kadar Padatan Terlarut Total (TDS)
Penentuan kadar padatan terlarut (TDS) menggunakan metode gravimetri yang
terdiri dari beberapa tahap yaitu pemurnian cawan, penyaringan sampel, pemanasan,
pengovenan, dan pendinginan. Hasil penyaringan sampel ditempatkan pada cawan dan
melalui serangkaian proses sehingga diperoleh hasil akhir berupa padatan kristal
berwarna putih yang merupakan padatan terlarut. Adapun berat padatan terlarut
dihitung sebagai selisih berat cawan yang berisi padatan terlarut dengan berat cawan
murni. Berikut tabel rincian berat padatan terlarut pada sampel AMIU dan AMDK
sebanyak 3 kali pengulangan:
Sampel Ulangan ke-
Berat Cawan Murni (gr)
Berat Cawan + Padatan Terlarut (gr)
Berat Padatan Terlarut (gr)
Kadar Padatan Terlarut (mg/L)
AMIU1 60.825 60.872 0.047
420 mg/L2 57.655 57.695 0.0403 60.837 60.877 0.040
Rata-Rata 0.042
AMDK1 48.333 48.356 0.023
200 mg/L2 45.275 45.295 0.0203 48.334 48.353 0.019
Rata-Rata 0.020
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar padatan terlarut (TDS) pada sampel AMIU sebesar 420 mg/L, sedangkan pada sampel AMDK sebesar 200 mg/L (Lampiran 2).
4.4 Penentuan Kesadahan Total
Penentuan kesadahan total menggunakan metode titrasi kompleksometri, dimana
larutan natrium etilen diamin tetra asetat Na2EDTA digunakan sebagai larutan
standarnya. Sebelum dilakukan pengujian kadar kesadahan pada sampel, terlebih
dahulu larutan Na2EDTA distandarisasi dengan larutan CaCO3. Pada titik akhir titrasi
diperoleh perubahan warna larutan dari merah anggur menjadi biru, dimana rata-rata
volume Na2EDTA yang dibutuhkan sebesar 11.17 ml. Selanjutnya dari hasil tersebut,
diperoleh konsentrasi Na2EDTA sebesar 0.00904 M mendekati 0.01 M.
Selanjutnya dilakukan pengujian kesadahan pada sampel AMIU dan AMDK
menggunakan larutan Na2EDTA yang telah distandarisi sampai terjadi perubahan
31
warna larutan sama seperti saat standarisasi, yaitu dari merah anggur menjadi biru.
Berikut tabel rincian volume Na2EDTA yang dibutuhkan untuk titrasi:
Ulangan Ke Volume Na2EDTA (ml)Sampel AMIU Sampel AMDK
1 2.7 1.32 2.8 1.43 2.6 1.2
Rata-Rata 2.7 1.3
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh kadar kesadahan total pada AMIU sebesar 97.632 mg/L, sedangkan pada AMDK diperoleh sebesar 47.008 mg/L (Lampiran 2).
BAB V
32
PEMBAHASAN
Kualitas air minum menjadi persyaratan penting layak tidaknya air minum untuk
dikonsumsi. Air minum yang sehat akan menunjang proses-proses metabolisme di dalam
tubuh. Menurut Permenkes RI No.907/Menkes/SK/VII/2002, air minum yang sehat harus
memenuhi berbagai persyaratan baik secara fisik maupun kimia. Dalam penelitian
dilakukan analisis air minum secara kimia pada sampel air minum isi ulang (AMIU) dan
air minum dalam kemasan (AMDK). Adapun parameter yang dianalisis berupa parameter
pH, klorida(Cl-), padatan terlarut(TDS), dan kesadahan total.
pH merupakan tingkat keasaman suatu larutan yang diukur pada skala 0-14. pH
menunjukkan kualitas air. pH yang ideal untuk air minum adalah pH netral yaitu pH 7.
Menurut Permenkes, pH yang baik untuk air minum adalah pH yang berada disekitar pH
netral yaitu pada rentang 6.5-8.0. Pada pH netral disosiasi molekul menghasilkan ion-ion
H+ dan OH- yang sama
H2O → H+ + OH-
Pada penelitian ini, pengukuran pH digunakan pH meter dimana alat dikalibrasi
terlebih dahulu pada pH buffer asam (4), pH netral (7), dan pH basa (10) dengan tujuan
untuk memperoleh hasil pengukuran pH yang tepat pada sampel. Dilakukan pengulangan
pengukuran sebanyak 3 kali dan diperoleh pH rata-rata untuk sampel AMIU adalah 6.62
dan pH rata-rata untuk sampel AMDK adalah 7.32. keduanya memenuhi persyaratan pH
yang telah ditetapkan oleh Permenkes RI. Apabila dibandingkan, pH AMDK lebih
mendekati pH netral daripada AMIU, sedangkan pH AMIU sedikit mendekati asam.
Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan sumber air karena baik AMIU dan AMDK
diperoleh dari sumber yang berbeda-beda. AMIU berasal dari air PDAM yang telah diolah.
Air PDAM sebagian besar berasal dari air sumur bor yang merupakan air tanah. pH AMIU
sedikit mendekati asam kemungkinan disebabkan karena adanya sumbangan zat asam dari
air hujan dan limbah industri yang terserap ke dalam tanah, sedangkan aliran air tanah
berjalan secara lambat sehingga masih terjadi penumpukan gas-gas kimia yang
mengandung asam dan terjadi peningkatan kadar ion hydrogen sehingga pH air sedikit
mendekati asam. Sedangkan AMDK berasal dari mata air pegunungan yang masih bersifat
steril, kemungkinan belum terkontaminasi dengan zat kimia yang bersifat asam. Selain itu
air pegunungan mengalir secara continue, menghasilkan oksigen melalui riak-riak kecil
hasil aliran air. Sirkulasi air yang terus-menerus membantu pelarutan kadar keasaman
33
sehingga apabila terdapat sumbangan zat asam dari air hujan, maka oksigen yang
dihasilkan dari riak air dapat mengikat kelebihan ion hydrogen untuk membentuk molekul
air lainnya sehingga tingkat keasaman berkurang. Itulah sebabnya pH AMDK lebih
mendekati pH netral daripada pH AMIU.
Selanjutnya dilakukan analisis kualitas air minum menggunakan parameter klorida
(Cl-). Klorida merupakan ion anorganik yang banyak terkandung dalam air yang berfungsi
sebagia desinfektan atau pembunuh kuman atau bakteri dalam air. Klorida dapat digunakan
sebagai parameter penentu kualitas air minum, semakin tinggi kadar klorida maka air
semakin asin dan semakin rendah kualitasnya. Berdasarkan Permenkes RI kadar maksimal
klorida yang diperbolehkan dalam air minum adalah sebesar 250 mg/L. Pada penelitian ini,
pengukuran kadar klorida pada sampel menggunakan metode titrasi Argentometri Mohr
yang menggunakan larutan perak nitrat (AgNO3) sebagai larutan standarnya. Sebelum
dilakukan pengukuran kadar klorida menggunakan larutan AgNO3, maka larutan AgNO3
tersebut distandarisasi terlebih dahulu untuk mengetahui tepat tidaknya konsentrasi AgNO3
yang telah dibuat sehingga efektif digunakan untuk mengukur kadar klorida pada sampel.
Sampel ditirasi dengan larutan AgNO3 dan digunakan indicator K2CrO4 untuk
menunjukkan perubahan warna pada titik akhir titrasi. Menurut hasil pengamatan, pada
titik akhir titrasi terjadi perubahan warna larutan dari kuning bening menjadi merah bata.
Pada proses titrasi, terjadi pengendapan bertingkat dimana larutan standar AgNO3
mengendap terlebih dahulu dengan sampel klorida membentuk endapan AgCl dan larutan
NaNO3, kemudian setelah semua klorida mengendap secara sempurna, selanjutnya AgNO3
mengendap dengan indicator K2CrO4 yang dapat mengendapkan ion perak Ag+ menjadi
endapan perak kromat Ag2CrO4, menurut reaksi sebagai berikut :
AgNO3(aq)+ NaCl(aq) → AgCl(s) + NaNO3(aq)
2 AgNO3(aq)+ K2CrO4(aq) → Ag2CrO4(s) + 2KNO3(aq)
Pada saat titik akhir titrasi, jumlah ekivalen zat penitrasi (AgNO3) sama dengan
jumlah ekivalen zat yang dititrasi (NaCl) sehingga dari volume AgNO3 yang dibutuhkan
untuk mencapai titik akhir titrasi, dapat ditentukan kadar kloridanya (Cl-). Berdasarkan
hasil pengamatan, diperoleh rata-rata volume AgNO3 yang dibutuhkan untuk mencapai
titik ekivalen pada sampel AMIU sebesar 4.17 ml dan pada AMDK sebesar 3.37 ml. Dari
hasil analisis data kadar klorida yang terdapat pada sampel AMIU dan AMDK sangat
kecil. Pada AMIU kadar klorida diperoleh sebesar 0.0083 mg/L, artinya dalam 1000 ml
atau 1 L sampel AMIU mengandung klorida sebesar 0.0083 mg. Sedangkan pada AMDK
34
diperoleh sebesar 0.0055 mg/L, artinya dalam sampel AMDK mengandung klorida sebesar
0.0055 mg dalam 1000 ml. Baik AMIU maupun AMDK masih memenuhi persyaratan
kualitas air minum menurut Permenkes RI karena kadar kloridanya masih dibawah kadar
klorida maksimum yang diperbolehkan (250 mg/L). Itu artinya AMIU dan AMDK
memiliki kualitas air minum yang baik. Namun apabila dibandingkan kadar klorida pada
AMIU lebih besar daripada AMDK. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada air
minum isi ulang (AMIU) lebih banyak mendapat perlakuan klorinasi yakni penambahan
klorida untuk membunuh kuman/bakteri. Selain terjadi pada pengolahan AMIU itu sendiri,
proses klorinasi juga dilakukan pada pengolahan air PAM sebagai sumber AMIU. Dengan
demikian AMIU lebih banyak mengalami proses klorinasi daripada AMDK yang
sumbernya langsung dari mata air pegunungan tanpa adanya proses klorinasi sebelum
diolah menjadi AMDK. Proses klorinasi memberikan sumbangan terhadap kandungan
klorida pada air minum. Itulah sebabnya kadar klorida pada AMIU lebih besar daripada
AMDK.
Selanjutnya dilakukan pengukuran padatan terlaut (total dissolve solid/TDS).
Padatan terlarut (TDS) merupakan bahan-bahan terlarut dalam air (baik itu zat organic
maupun anorganik), mineral ataupun garam yang tidak tersaring dengan kertas saring
milipore dengan ukuran pori 0.45 μm. Adapun bahan organic dapat berasal dari daun,
lumpur, plankton, limbah industry dll, sedangkan bahan anorganik berasal dari batuan
udara yang mengandung kalsium, magnesium, nitrogen, besi posfor, sulfur, dll. Air minum
yang baik hendaknya air minum yang mengandung sedikit TDS karena TDS mewakili
jumlah ion di dalam air. Air dengan TDS yang tinggi memiliki rasa yang tidak enak.
Berdasarkan Permenkes RI kadar maksimal TDS yang diperbolehkan dalam air minum
adalah sebesar 1000 mg/L.
Pada penelitian ini, pengukuran TDS menggunakan metode gravimetri yaitu metode
analisa kuantitatif suatu zat atau komponen dengan cara mengukur berat komponen dalam
keadaan murni setelah melalui proses pemisahan. Untuk memperoleh padatan terlarut dari
sampel, maka dilakukan penyaringan pada sampel menggunakan kertas saring berukuran
0.45 μm. Untuk menampung hasil saringan yang berisi air dan padatan terlarut digunakan
cawan yang sebelumnya sudah dicuci dan dipanaskan dalam oven sehingga diperoleh
cawan yang benar-benar murni dan terbebas dari debu yang sekiranya dapat
mempengaruhi berat padatan terlarut setelah ditampung dalam cawan. Selanjutnya
dilakukan proses pemanasan dan pengovenan pada hasil saringan dengan tujuan agar air
35
dapat menguap sehingga yang tersisa adalah padatan terlarut (TDS). Hasil akhir yakni
padatan terlarut yang berupa kristal putih. Berdasarkan hasil pengamatan, setelah
dilakukan 3 kali pengulangan untuk diperoleh berat padatan terlarut yang berbeda pada
AMIU dan AMDK. Rata-rata berat padatan terlarut untuk AMIU adalah sebesar 0.042 gr
dan untuk AMDK sebesar 0.020 gr. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh kadar
padatan terlarut (TDS) pada AMIU sebesar 420 mg/L, artinya dalam 1000 ml atau 1 L
sampel AMIU mengandung padatan terlarut sebesar 420 mg. Sedangkan pada AMDK
sebesar 200 mg/L, artinya sampel AMDK mengandung padatan terlarut sebesar 200 mg
dalam 1000 ml. Kadar padatan terlarut (TDS) masih memenuhi persyaratan kualitas air
minum oleh Permenkes RI karena masih dibawah kadar maksimal yang diperbolehkan
yaitu 1000 mg/L. Hal ini disebabkan karena proses pengolahan AMIU dan AMDK
tergolong baik, dimana kualitas mesin dan proses penggantian alat serta penggunaanya
masih dalam jangka waktu sesuai masa pakai. Namun apabila dibandingkan kadar TDS
AMIU lebih besar daripada AMDK. Hal ini disebabkan karena perbedaan sumber air dan
proses pendistribusiannya. Pada AMIU menggunakan sumber air PAM yang kemungkinan
terkontaminasinya dengan bahan-bahan organic maupun anorganik lebih besar daripada
AMDK yang diperoleh dari sumber mata air pengunungan yang masih murni. Selain itu
pada AMIU, proses pendistribusian lebih panjang daripada AMDK karena pada AMIU
perlu didistribusikan terlebih dahulu pada depot-depot sebelum akhirnya ke konsumen.
Akibatnya kemungkinan air untuk terkontaminasi dengan tangki-tangki pengangkut dan
wadah penyimpanan air pada depot AMIU lebih besar daripada AMDK sehingga padatan
terlarut pada AMIU lebih besar daripada AMDK. Disamping itu juga adanya padatan
terlarut pada AMIU diindikasikan juga berasal dari higinis sanitasi yang masih kurang baik
dari galon yang dibawa konsumen serta proses pembersihan yang kurang sempurna pada
depot AMIU. Pada umunmya masyarakat kurang memperhatikan kebersihan galon yang
dibawa ke depot isi ulang. Galon yang kurang bersih mengindikasikan adanya padatan
terlarut didalamnya, walaupun pada depot AMIU galon yang hendak diisi dibersihkan
terlebih dahulu, namun proses pembersihannya masih kurang sempurna. Sedangkan pada
AMDK digunakan kemasan galon yang masih steril karena belum dipakai sebelumnya. Hal
ini menyebabkan kandungan padatan terlarut pada AMDK lebih kecil daripada AMIU.
Parameter terakhir yang dianalisis untuk menentukan kualitas air minum adalah
kesadahan. Kesadahan merupakan suatu keadaan atau peristiwa terlarutnya ion-ion tertentu
di air sehingga menurunkan kualitas air baik secara distribusi maupun penggunaannya.
36
Ion-ion tersebut berupa ion Ca2+, Mg2+, Mn2+, Fe2+, Si2+ dll. Berdasarkan Permenkes RI,
kadar maksimal kesadahan yang diperbolehkan dalam air minum adalah 500 mg/L. Dalam
penelitian ini kadar kesadahan yang diukur adalah kadar kesadahan total yaitu kesadahan
kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Adapun metode yang digunakan untuk mengukur
kadar kesadahan yaitu metode titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan
pembentukan persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion).
Pada metode titrasi ini, digunakan larutan natrium etilen diamin tetra asetat
Na2EDTA sebagai larutan standarnya karena memiliki beberapa kelebihan antara lain,
dapat bereaksi cepat dengan banyak jenis ion logam, selalu membentuk kompleks ketika
direaksikan dengan ion logam, kestabilannya dalam membentuk kelat sangat konstan
sehingga reaksi berjalan sempurna. Sebelum melakukan pengukuran kesadahan
menggunakan Na2EDTA, larutan baku tersebut distandarisasi terlebih dahulu untuk
mengetahui tepat tidaknya konsentasi larutan Na2EDTA yang telah dibuat sehingga efektif
digunakan untuk mengukur kadar kesadahan total dalam sampel. Titrasi menggunakan
indicator erio chrom black T (EBT) untuk menunjukkan perubahan warna pada titik akhir
titrasi. Selain itu pemilihan indicator EBT yaitu karena indicator ini dapat membentuk
senyawa kompleks dengan ion logam. Sampel yang hendak dititrasi ditambahkan dengan
larutan CaCO3, indicator EBT serta larutan buffer pH 10 untuk menjaga kondisi pH tetap
konstan karena pada pH inilah senyawa kompleks dapat terbentuk. Pada titik akhir titrasi
terjadi perubahan warna larutan dari merah anggur menjadi biru, menurut reaksi:
CaCO3(aq) + Na2EDTA(aq) → CaEDTA(aq) + Na2CO3(aq)
Pada proses titrasi, garam dinatrium etilen diamin tetra asetat (EDTA) bereaksi
dengan kation logam tertentu membentuk senyawa kompleks khelat yang larut. Pada pH
10, ion-ion kalsium dalam sampel bereaksi dengan indicator EBT dan membentuk larutan
berwarna merah anggur. Selanjutnya molekul indicator terlepas kembali dan pada titik
akhir titrasi larutan berubah warna dari merah anggur menjadi ungu yang merupakan
larutan CaEDTA. Dari besarnya volume Na2EDTA yang dibutuhkan sampai mencapai titik
akhir dapat ditentukan kadar kesadahan totalnya dalam CaCO3. Berdasarkan hasil analisis
data, diperoleh kadar kesadahan total pada AMIU sebesar 97.632 mg/L, artinya dalam
1000 ml atau 1 L sampel AMIU mengandung kesadahan total sebesar 97.632 mg.
Sedangkan pada AMDK sebesar 47.008 mg/L, artinya terdapat kandungan kesadahan total
sebesar 47.008 mg dalam 1000 ml atau 1 L sampel AMDK. Keduanya masih memenuhi
persyaratan kualitas air minum karena kadar kesahannya masih berada jauh dibawah kadar
37
maksimal kesadahan yang diperbolehkan menurut Permenkes RI yaitu sebesar 500 mg/L.
Namun apabila dibandingkan, kadar kesadahan pada AMIU lebih besar daripada AMDK.
Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sumber air dan proses pendistribusian AMIU
dan AMDK. Kesadahan total terkait dengan padatan terlarut karena kesadahan juga
merupakan bagian dari padatan terlarut. Artinya padatan terlarut juga menunjukkan
tingginya kesadahan total pada air minum. Pada AMIU diperoleh padatan terlarut yang
lebih besar karena bersumber dari air PAM dan proses pendistribusiannya lebih panjang
daripada AMDK, selain itu pada AMDK menggunakan kemasan yang lebih steril daripada
AMIU sehingga padatan terlarut berupa kesadahan total pada AMIU lebih besar daripada
AMDK. Dengan demikian kualitas AMDK dapat dikatakan lebih baik daripada AMIU.
BAB VI
38
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan, hasil pengamatan, dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Kadar pH, klorida, padatan terlarut, dan kesadahan pada AMIU secara berturut-
turut adalah 6.62 ; 0.0083 mg/L ; 420 mg/L; dan 97.632 mg/L, sedangkan pada
AMDK pH, klorida, padatan terlarut, dan kesadahan secara berturut-turut adalah
7.32 ; 0.0055 mg/L ; 200 mg/L ; dan 47.008 mg/L.
2. Air minum isi ulang (AMIU) dan air minum dalam kemasan (AMDK) berkualitas
baik karena memenuhi persyaratan kimia air minum menurut Permenkes RI
No.907/Menkes/SK/2002.
3. Air minum dalam kemasan (AMDK) memiliki kualitas yang lebih baik daripada air
minum isi ulang (AMIU) disebabkan karena perbedaan sumber air, proses
pengolahan, pendistribusian, dan pengemasannya.
6.2 Saran
1. Perlu ditingkatkan koordinasi antara dosen, laboran, dan praktikan dalam
ketersediaan alat dan bahan serta kegiatan praktikum.
39