Download - EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
1
EVALUASI KESESUAIAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK
KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG
Dwikki Rahadian Yudha Wijayanto
Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected]
Wiwik Sri Utami
Dosen Pembimbing Mahasiswa
Abstrak
Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) adalah sasaran pengembangan kawasan
agropolitan di Kabupaten Jombang. SKPP I memiliki 15 komoditas unggulan, salah satunya yaitu kopi.
Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas harga pasar yang baik, sehingga para petani akan
cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Di
samping itu, kebijakan dan rencana pembangunan yang detil telah ditetapkan pemerintah setempat dalam
rangka mengembangkan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi. Oleh sebab itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman kopi dan mengevaluasi kesesuaian
wilayahnya dalam konsep pengembangan kawasan agropolitan.
Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian survei. Teknik pengumpulan data pada penelitian
ini meliputi wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji laboratorium, dan dokumentasi.
Selanjutnya data yang terhimpun dianalisis dengan metode matching: (1) antara karakteristik lahan
dengan syarat tumbuh tanaman kopi; (2) dan antara kebijakan atau strategi pengembangan kawasan
agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan.
Hasil penelitian mengenai evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa terdapat lahan seluas
8.454,32 Ha di SKPP I yang memiliki potensi untuk budidaya kopi. Lahan tersebut terletak di tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam (6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan Kecamatan
Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas lahan yang berpotensi tersebut tergolong kelas kesesuaian lahan
berupa S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada variabel temperatur, bulan
kering, tekstur tanah, drainase tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan hasil penelitian untuk evaluasi
kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan menunjukan bahwa: (1) belum ada realisasi
pembangunan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi; (2) hanya terdapat satu home industry
pengolahan berbahan baku kopi yang bernama “Kopi Bagong”; (3) pola kemitraan pemasaran yang
direncakan belum berjalan namun masih bergantung pada keberadaan tengkulak; (4) belum adanya
realisasi kesinambungan keberadaan BPR dengan petani kopi yang membutuhkan bantuan modal.
Kata Kunci: kesesuaian lahan, kesesuaian wilayah, agropolitan, komoditas kopi.
Abstract
Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) is subjected as agropolitan development
area in Jombang City. SKPP I has 15 leading commodity, one of which is coffee. Coffee is a commodity
that has a good market price stability, so that farmers will tend to persist to grow coffee for long time
because the rate of loss is smaller. In addition, policies and detailed development plan has set local
authorities in order to develop agropolitan for coffee. Therefore, this study aims to evaluate land
suitability for coffee plantations and evaluate region suitability of agropolitan development concept.
This type of research is a survey research. Data collection techniques in this study included
interviews, observations, measurements in the field, laboratory testing, and documentation. Furthermore,
the data collected was analyzed by the method of matching: (1) between the land characteristics with the
requirements growth coffee plant; (2) and between the policy or strategy of agropolitan development with
the existing condition in the field.
Results of research on land suitability evaluation indicates there is an area of 8.454,32 Ha in
SKPP I which have the potential for the cultivation of coffee. The land is located in three sub-districts of
Wonosalam (6.679,11 Ha), Bareng (1.232,85 Ha), and Mojowarno (542,36 Ha). Of the total land area
that potentially are still classified as land evaluation classes in the form of S2 (Cukup Sesuai) and S3
(Sesuai Marginal) with the limitation factors on the variable temperature, dry season, soil texture, soil
drainage, and slope. While the results of study to evaluate region suitability of the agropolitan
development area show that: (1) there is no realization of industrial manufacture of fertilizer for the
coffee plants; (2) there is only one home industry of coffee processing named "Kopi Bagong"; (3) the
pattern of planned marketing partnerships which have not been running but is still dependent on the
existence of “tengkulak”; (4) the lack of realization of the continued existence of BPR with coffee farmers
who need capital.
Keywords: land suitability, region suitability, agropolitan, coffee commodities
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
2
PENDAHULUAN
Secara geografis, Indonesia memiliki potensi yang
baik untuk bidang pertanian. Hal ini ditinjau dari
karakteristik geologi, klimatik dan edafik yang dimiliki
(Andrianto, 2014:1). Sementara jika dilihat dari sudut
pandang sosial, data menunjukkan bahwa dari jumlah
tenaga kerja Indonesia sebanyak 112.761.072 jiwa,
terdapat 34,7% yang bekerja di sektor agraris (BPS,
2014). Hal tersebut juga melatarbelakangi istilah “negara
agraris” yang disematkan masyarakat dunia kepada negara
Indonesia. Mengingat bidang pertanian merupakan mata
pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya
(Andrianto, 2014:2). Hal ini mengindikasikan bahwa
bidang pertanian di Indonesia merupakan potensi besar
untuk dikembangkan, sehingga pembangunan bidang
pertanian sebagai sektor basis wilayah pedesaan akan
menjadi suatu hal yang vital (Muta’ali,2013:113). Seperti
diketahui bahwa kesenjangan pembangunan di perkotaan
dan pedesaan masih menjadi masalah bagi Indonesia,
maka dari itu diperlukan konsep pembangunan pedesaan
yang secara konkret bisa mengatasi masalah tersebut.
Agropolitan merupakan salah satu konsep
pembangunan yang dianggap masih menjadi solusi utama
dalam meminimalkan kesenjangan antara perkotaan dan
pedesaan (Rahmawati, 2008:18). Melalui konsep ini juga
akan mendorong penduduk pedesaan untuk tetap tinggal
di wilayahnya dan berinvestasi di kawasan pedesaan.
Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang bahwa konsep agropolitan
diartikan sebagai kawasan pusat kegiatan di wilayah
pedesaan yang berbasis pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang dilengkapi dengan adanya
keterkaitan fungsional keruangan serta didasarkan pada
sistem agribisnis yang di dalamnya mencakup kegiatan
agroindustri (Rustiadi, dkk. 2011:329). Menindaklanjuti
regulasi dari Pemerintah Pusat tersebut, maka Provinsi
Jawa Timur juga telah memulai mengkampanyekan
pembangunan wilayah pedesaan berbasis pendekatan
agropolitan. Provinsi ini telah menetapkan 22 kabupaten
sebagai sasaran pengembangan kawasan agropolitan,
salah satunya adalah Kabupaten Jombang.
Sejak tahun 2010, melalui Keputusan Bupati Jombang
Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan
Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan
pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP
I) di Kabupaten Jombang, telah ditetapkan empat
kecamatan yang menjadi sasaran pengembangan kawasan
agropolitan. Empat kecamatan tersebut tergabung dalam
SKPP I yang meliputi Kecamatan Mojowarno, Kecamatan
Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro.
Berdasarkan surat keputusan tersebut juga telah
ditentukan 15 komoditas unggulan yang dikembangkan,
salah satunya ialah komoditas kopi.
Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas
harga pasar yang baik, sehingga para petani akan
cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke
tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Selain itu,
produk kopi juga memiliki kemampuan untuk disimpan
dalam waktu yang lama, bahkan semakin lama usia kopi
disimpan maka semakin mahal harga jualnya. Komoditas
kopi menjadi salah satu andalan bagi Kabupaten Jombang,
meskipun hanya terdapat dua kecamatan yang setiap
tahunnya menghasilkan panen produk kopi, yaitu
Kecamatan Wonosalam dan Bareng. Dengan luas lahan
1.252,5 Ha, dua kecamatan tersebut mampu memproduksi
474,79 Ton produk kopi dalam satu tahun (BPS Kab.
Jombang, 2014). Di samping itu, komoditas kopi telah
ditetapkan rencana pengembangannya melalui dokumen
rencana induk pengembangan kawasan agropolitan oleh
Bappeda Kab. Jombang. Rancangan tersebut meliputi: (1)
pembangunan industri pupuk untuk tanaman kopi; (2)
pembangunan industri pengolahan berbahan baku produk
kopi seperti industri kopi bubuk, minuman rasa kopi, dan
essense kopi; (3) pola kemitraan strategi pemasaran
berbasis Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi
Vertikal (KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat
Agribisnis (KOMA); (4) penyediaan lembaga perkreditan
(Bappeda Kab. Jombang, 2010:122-123).
Namun demikian, penetapan komoditas kopi sebagai
salah satu komoditas unggulan pada kawasan agropolitan
di SKPP I tentu memerlukan kajian lebih lanjut. Hal ini
untuk memastikan bahwa keberadaan pengembangan
komoditas kopi di SKPP I sudah sesuai menurut teori dan
pelaksanaan strateginya telah berjalan sesuai rencana.
Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menentukan kesesuaian lahan bagi pengembangan
komoditas kopi dan menentukan kesesuaian wilayahnya
berdasarkan pelaksanaan strategi dan kebijakan
pengembangan kawasan agropolitan yang telah disusun.
Dengan demikian akan dapat diketahui sebaran kelas
kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di SKPP I dan dapat
diketahui sejauh mana implementasi rencana
pengembangan kawasan agropolitan tersebut.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini ialah penelitian survei. Dengan
pendekatan deskriptif evaluatif, yaitu bertujuan untuk
membandingkan atau matching kondisi di lapangan
dengan kriteria atau syarat tertentu. Lokasi penelitian ini
berada di SKPP I yang penentuannya dilakukan secara
purposive berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jombang
Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan
Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan
pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
3
I) di Kabupaten Jombang. Subjek penelitian ini adalah
seluruh cakupan wilayah dari SKPP I di Kabupaten
Jombang, yang secara administratif terbagi dalam empat
kecamatan berikut: Kecamatan Mojowarno, Kecamatan
Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro.
Sementara itu, terdapat tiga objek penelitian yang
meliputi: (1) objek penelitian untuk menentukan tingkat
kesesuaian lahan untuk tanaman kopi yang didasarkan
pada peta unit analisis lahan yang kemudian dipilih
beberapa unit lahan secara purposive berdasarkan
pertimbangan tertentu dengan pendekatan fisiografis; (2)
untuk evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan
kawasan agropolitan untuk komoditas kopi adalah para
pengurus kelompok tani yang berada di Desa
Carangwulung dan Desa Jarak. Di mana terdapat 13
kelompok tani yang akan menjadi responden. Penentuan
asal lokasi kelompok tani ini dilakukan secara purposive
dengan dasar pertimbangan bahwa kedua desa tersebut
telah ditetapkan sebagai kawasan pemusatan produksi
komoditas kopi; (3) Kepala Bagian Ekonomi Bappeda
Kab. Jombang selaku penanggung jawab program
agropolitan SKPP I.
Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi
Kualitas/Karakteristik
Lahan Simbol
Tingkat Kesesuaian
S1
(Sangat Sesuai)
S2
(Cukup Sesuai)
S3
(Sesuai
Marginal)
N
(Tidak
Sesuai)
Temperatur
Rata-rata tahunan (°C)
(t)
22-25
>25-28
>28-32
19-<22
>32
<19
Ketersediaan air
Bulan Kering (<75mm)
Curah hujan/tahun (mm)
Kelembapan (%)
(w)
2-3
1500-2500
45-<80
>3-5
>2500-3000
80-90
35-45
>5-6
>3000-4000
1250-<1500
>90
30-<35
>6
>4000
<1250
<30
Media perakaran
Drainase tanah
Tekstur
(r)
Baik
L, SCL, Sil, Si,
CL, SiCL
Sedang
SL, SC, SiC, C
Agak terhambat,
agak cepat
LS, Str C
Terhambat,
agak cepat,
sangat
terhambat,
sangat cepat.
Kerikil, pasir
Penyiapan lahan
Konsistensi
(p)
-
-
Sangat keras,
sangat teguh,
sangat lekat
Berkerikil,
berbatu
Tingkat Bahaya Erosi
Kemiringan Lereng (%)
(e)
<8
8-15
>15-25
>25
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah
wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji
laboratorium, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan
untuk mendapatkan data mengenai variabel industri
pembuatan pupuk untuk tanaman kopi, industri
pengolahan berbahan baku produk kopi, strategi
pemasaran, dan lembaga perkreditan. Di mana yang
menjadi target dalam wawancara adalah kelompok tani
dan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kab. Jombang.
Sementara untuk observasi dilakukan dalam rangka
memperoleh data mengenai drainase tanah dan
penggunaan lahan eksisting. Pengukuran di lapangan
dilakukan untuk mendapatkan data koordinat letak
industri pupuk untuk tanaman kopi, koordinat letak
industri pengolahan berbahan baku produk kopi, dan
koordinat letak lembaga perkreditan, serta koordinat titik
unit lahan sebagai objek penelitian. Uji laboratorium
dilakukan untuk memperoleh data mengenai tekstur tanah
dan konsistensi tanah. Kemudian dokumentasi dilakukan
untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peta
penggunaan lahan, dan peta jenis tanah dari wilayah
Kabupaten Jombang, data jumlah curah hujan menurut
bulan pada tahun 2004 – 2013, data temperatur menurut
bulan pada tahun 2011 – 2014, dan data kelembapan
udara menurut bulan pada tahun 2011 – 2014, dan peta
Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 dengan nomor
lembar 1508-323 (Kandangan), 1508-324 (Pujon), 1508-
Sumber: Modifikasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007:310
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
4
332 (Kunjang), 1508-341 (Ngoro), 1508-342
(Panglungan), dan 1508-343 (Mojoagung).
Teknik analisis data yang digunakan untuk
mengevaluasi kesesuaian lahan adalah matching atau
membandingkan antara karakteristik lahan dengan syarat
tumbuh tanaman kopi. Kriteria kesesuaian lahan untuk
tanaman kopi seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan
untuk mengevaluasi kesesuaian wilayah digunakan teknik
yang sama yaitu matching atau membandingkan antara
kebijakan atau strategi pengembangan kawasan
agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan.
HASIL PENELITIAN
Unit Analisis Lahan SKPP I
Unit analisis lahan merupakan hal yang mendasari
dalam teknik analisis data matching antara antara
karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi.
Pada unit analisis lahan ini digunakan empat peta dasar
yaitu peta bentuk lahan, peta jenis tanah, peta kemiringan
lereng, dan peta penggunaan lahan. Keempat peta tersebut
diolah melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan
aplikasi Arc View 3.3. Keempat peta dasar tersebut di-
overlay (tumpang susun) dan menghasilkan peta unit
analisis lahan. Setelah dilakukan tahap overlay, maka
didapatkan 37 unit lahan di SKPP I.
Ditinjau dari aspek bentuk lahan, seluruh unit lahan
yang ada di SKPP I dapat dibagi menjadi dataran fluvial,
lereng bawah pegunungan, dan lereng tengah
pegunungan. Menurut Soetoto (2013:142), bentuk lahan
dataran fluvial merupakan dataran yang terbentuk dari
hasil sedimentasi sungai dan kegiatan erosi. Bentuk lahan
ini mencakup sebagian wilayah dari Kecamatan
Mojowarno, Bareng dan seluruh Kecamatan Ngoro. Pada
bentuk lahan dataran fluvial ini tampak memiliki
karakteristik pola aliran sungai membentang secara
vertikal (dari utara ke selatan) dan relief permukaan yang
datar.
Bentuk lahan lereng bawah pegunungan dan lereng
tengah pegunungan adalah tergolong dalam bentuk lahan
vulkanik. Kedua bentuk lahan tersebut menunjukkan
karakteristik lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas
vulkanik, baik di masa lampau atau saat ini (Soetoto,
2013:142). Untuk bentuk lahan lereng bawah
pegunungan, wilayahnya mencakup sebagian dari
Kecamatan Mojowarno, Bareng, dan Wonosalam. Bentuk
lahan tersebut merupakan yang terluas. Bentuk lahan ini
dicirikan oleh tingkat kerapatan garis kontur yang relatif
cukup renggang dengan rentang ketinggian tempat mulai
50 – 1.100 m dpal.
Wilayah dari bentuk lahan lereng tengah pegunungan
hanya mencakup Kecamatan Wonosalam. Pada bentuk
lahan tersebut dicirikan dengan tingkat kerapatan garis
kontur yang tinggi dan memiliki rentang ketinggian
tempat mulai dari 1.100 – 2.150 m dpal. Pola aliran sungai
pada bentuk lahan ini menunjukkan pola membentang
secara horisontal (dari timur ke barat) sesuai dengan
bentuk lembah atau igir dari relief wilayah tersebut.
Dilihat dari aspek jenis tanah, maka terdapat empat
jenis tanah di SKPP I yang meliputi: (1) Asosiasi
mediteran cokelat dan grumusol kelabu; (2) Komplek
andosol cokelat, andosol cokelat kekuningan dan litosol;
(3) Komplek regosol dan litosol; (4) Latosol cokelat
kemerahan. Keempat jenis tanah tersebut menjadi salah
satu informasi spasial yang juga digunakan untuk
pembuatan peta unit analisis lahan. Meskipun jenis tanah
secara langsung tidak terlalu berpengaruh terhadap
keberadaan tumbuhan kopi, namun penggunaan aspek
jenis tanah sebagai salah satu dasar peta unit analisis lahan
dianggap memiliki peran penting. Hal ini dapat
memberikan gambaran informasi detil mengenai jenis
tanah di SKPP I, sehingga dalam proses analisis menjadi
semakin rinci.
Ditinjau dari aspek kemiringan lereng, terdapat empat
kelas kemiringan lereng yang meliputi meliputi kelompok
(<8%), (>8-15%), (>15-25%), dan (>25%). Kecamatan
Mojowarno, Kecamatan Ngoro, dan Kecamatan Bareng
memiliki karakteristik wilayah dengan kemiringan lereng
di bawah 8%, artinya permukaan tanahnya tergolong
datar. Sedangkan di Kecamatan Wonosalam tampak
memiliki kelas kemiringan lereng yang lebih bervariasi,
mengingat kecamatan ini memiliki wilayah yang
topografinya berbukit-bukit. Namun sebagian kecil
wilayah Kecamatan Wonosalam juga masih memiliki
areal yang kemiringan lerengnya di bawah 8% dan
termasuk relatif datar.
Berdasarkan aspek penggunaan lahan di SKPP I
menunjukkan bahwa sawah irigasi banyak terdapat di
Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Bareng, dan
Kecamatan Ngoro. Hal tersebut sesuai dengan
karakteristik topografi wilayahnya yang relatif datar.
Sedangkan penggunaan lahan berupa hutan banyak
tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan
Wonosalam, hal ini didasarkan pada kondisi topografinya
yang merupakan kawasan pegunungan dan dalam areal
hutan tersebut juga terdapat daerah hutan lindung yang
bernama Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soeryo yang
dikelola oleh Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan 37 unit lahan yang terdapat di SKPP I,
kemudian dipilih beberapa unit lahan yang dianggap
memiliki potensi untuk budidaya tanaman kopi. Proses
pemilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan pada
setiap aspek dasar penyusun unit analisis lahan. Pada
aspek bentuk lahan, berdasarkan tiga bentuk lahan yang
dimiliki SKPP I maka terdapat dua bentuk lahan yang
diasumsikan sesuai untuk tanaman kopi. Kedua bentuk
lahan yang dimaksud ialah lereng bawah pegunungan dan
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
5
lereng tengah pegunungan. Hal ini didasarkan pada
adanya pengaruh topografi dan temperatur yang lebih
sesuai untuk tanaman kopi yaitu pada daerah pegunungan.
Dilihat dari aspek jenis tanah, semua jenis tanah yang
dimiliki oleh SKPP I tidak memiliki pengaruh terhadap
keberadaan tanaman kopi, karena pada dasarnya tanaman
kopi sesuai pada semua jenis tanah. Lalu pada aspek
kemiringan lereng, berdasarkan kelas kemiringan lereng
yang ada maka dikaitkan dengan dasar teori oleh
Hardjowigeno dan Widiatmaka yang menyatakan bahwa
daerah yang sesuai untuk tanaman kopi adalah yang
memiliki kemiringan lereng sebesar 0-25%. Maka dari itu,
terdapat tiga kelas kemiringan lereng yang dijadikan dasar
pemilihan satuan lahan sebagai objek penelitian yaitu
kelas (<8%), (>8-15%), dan (>15-25%).
Aspek penggunaan lahan menunjukkan bahwa
terdapat dua jenis penggunaan lahan yang diasumsikan
memiliki potensi untuk dijadikan tempat budidaya
tanaman kopi, yaitu penggunaan lahan berupa kebun dan
tanah ladang. Penentuan tersebut disebabkan karena
penggunaan lahan kebun pada dasarnya adalah sesuai
untuk tanaman kopi, mengingat tanaman ini merupakan
salah satu varietas tanaman perkebunan, lalu untuk
penggunaan lahan berupa tanah ladang dianggap memiliki
potensi untuk diubah menjadi penggunaan lahan kebun,
khususnya kebun kopi. Sedangkan untuk kelima jenis
penggunaaan lahan lainnya yaitu berupa hutan, sawah
irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar, dan
permukiman diasumsikan tidak memiliki potensi untuk
dijadikan tempat budidaya kopi dikarenakan perlunya
upaya ekstra untuk mengubah penggunaan lahan tersebut
menjadi kebun kopi.
Dengan demikian diperoleh enam unit lahan terpilih
untuk diteliti lebih lanjut dan memiliki potensi dijadikan
lahan perkebunan kopi. Informasi mengenai ke-enam unit
lahan yang dimaksud seperti ditampilkan pada Tabel 2. Di
mana pada tabel tersebut telah diberikan informasi secara
rinci termasuk titik pengambilan sampel tanah.
Tabel 2. Unit Analisis Lahan Terpilih pada SKPP I
No. Unit Lahan Bentuk
Lahan
Jenis Tanah Kemiri-
ngan
Lereng
Penggu-
naan
Lahan
Titik Pengambilan Sampel
Koordi-nat Desa
1 F2.L.I.K Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. <8% Kebun X: 650088
Y: 9149592
Pucangrejo
2 F2.L.I.TL Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. <8% Tanah
Ladang
X: 653420
Y: 9150952
Panglungan
3 F2.L.II.K Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. >8 - 15% Kebun X: 653266
Y: 9147268
Carangwulung
4 F2.L.II.TL Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. >8 - 15% Tanah
Ladang
X: 649751
Y: 9142470
Galengdowo
5 F2.L.III.K Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. >15 – 25% Kebun X: 652438
Y: 9144370
Jarak
6 F2.L.III.TL Lereng Bawah
Pegunungan Lat. Co. Kem. >15 – 25% Tanah
Ladang
X: 652996
Y: 9143622
Jarak
Keterangan Tabel 2:
Lat. Co. Kem. : Latosol cokelat kemerahan
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di
SKPP I Kabupaten Jombang akan ditentukan tingkat
kesesuaian lahan berdasarkan nilai dari kualitas dan
karakteristik lahan yang dibandingkan (matching) dengan
syarat tumbuh tanaman kopi. Dengan demikian akan
dapat diketahui kelas kesesuaian lahan dari lokasi yang
menjadi objek penelitian, dalam hal ini terdapat 6 (enam)
unit lahan terpilih yaitu F2.L.I.K, F2.L.I.TL, F2.L.II.K,
F2.L.II.TL, F2.L.III.K, dan F2.L.III.TL. Dalam penentuan
kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan juga akan
memberikan informasi mengenai faktor pembatasnya
berdasarkan aspek kualitas lahan yang diteliti. Hasil dari
proses matching antara nilai karakteristik lahan pada
masing-masing unit lahan terpilih dengan syarat tumbuh
tanaman kopi dapat dilihat pada Tabel 3.
Sumber: Analisis Data, 2015
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
6
Tabel 3. Hasil Matching Karakteristik Lahan dengan Syarat Tumbuh Tanaman Kopi pada Unit Lahan Terpilih
di SKPP I Kabupaten Jombang
Kualitas/Karakteristik
Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan
F2.L.I.K F2.L.I.TL F2.L.II.K F2.L.II.TL F2.L.III.K F2.L.III.TL
Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls
Temperatur (t)
Rata-rata tahunan (°C)
26,1
S2
26,1
S2
25,5
S2
25,2
S2
25,5
S2
25,2
S2
Ketersediaan air (w)
Bulan kering
(<75mm)
Curah hujan/tahun
(mm)
Kelembapan (%)
4,8
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
5
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
4,8
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
4,8
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
4,8
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
4,8
1738,9-
1962,1
77,4
S2
S1
S1
Media perakaran (r)
Drainase tanah
Tekstur
Baik
SL
S1
S2
Agak cepat
C
S3
S2
Baik
SCL
S1
S1
Agak ter-
hambat
SCL
S3
S1
Baik
SL
S1
S2
Baik
SL
S1
S2
Penyiapan lahan (p)
Konsistensi
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Teguh
S1
Gembur
S1
Tingkat bahaya erosi (e)
Kemiringan lereng (%)
<8
S1
<8
S1
>8-15
S2
>8-15
S2
>15-25
S3
>15-25
S3
Kelas Kesesuaian Lahan
S2
S3
S2
S3
S3
S3
Faktor Pembatas
S2 t, S2 w, S2r-2
S3 r-1
S2 t, S2 w, S2 e
S3 r-1
S3 e
S3 e
Keterangan:
Kls : Kelas S2 t : Faktor pembatas pada temperatur SL : Lempung berpasir
S1 : Sangat sesuai S2 r-2 : Faktor pembatas pada tekstur tanah C : Liat
S2 : Cukup sesuai S2 w : Faktor pembatas pada bulan kering SCL : Lempung liat berpasir
S3 : Sesuai marginal S2 e / S3 e: Faktor pembatas pada kemiringan lereng
S3 r-1 : Faktor pembatas pada drainase tanah
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa masing-
masing unit lahan memiliki kelas kesesuaian lahan dan
faktor pembatas yang cukup bervariasi. Bahkan tidak
terdapat unit lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan
berupa S1 (sangat sesuai). Akan tetapi dari keenam unit
lahan yang diteliti juga tidak ada yang tergolong pada
kelas kesesuaian lahan berupa N (tidak sesuai). Untuk
memperjelas konteks spasial hasil evaluasi kesesuaian
lahan ini juga dapat dilihat pada Peta 1.
Unit lahan F2.L.I.K (Lereng bawah pegunungan;
Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Kebun)
tergolong kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai),
dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel
temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan tekstur
tanah. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan
berupa kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi yang
dikelola dengan sistem tumpangsari, artinya juga terdapat
beberapa jenis tanaman lain yang tumbuh di sekitar area
kebun tersebut. Dengan temperatur rata-rata tahunan
sebesar 26, 1 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah
bulan kering tahunan sebesar 4,8 bulan, serta tekstur tanah
yang berupa SL (Lempung berpasir), hal ini yang
menyebabkan unit lahan F2.L.I.K memiliki kelas
kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan faktor
pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan demikian
penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu
diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat
memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha
perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan
ketiga faktor pembatas yang ada.
Unit lahan F2.L.I.TL (Lereng bawah pegunungan;
Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Tanah ladang)
tergolong kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal),
dengan faktor pembatas berupa drainase tanah. Unit lahan
tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan,
dengan beberapa tanaman palawija yang tumbuh
disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini
ialah tergolong Agak Cepat, hal tersebut yang menjadi
penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai
marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.I.TL
dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai
lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan
perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk
kondisi drainase tanah.
Unit lahan F2.L.II.K (Lereng bawah pegunungan;
Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Kebun)
memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai),
dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel
temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan
kemiringan lereng. Unit lahan tersebut memiliki
penggunaan lahan berupa kebun, yaitu untuk budidaya
tanaman kopi yang dikelola dengan sistem tumpangsari,
hal ini sama dengan penggunaan lahan pada unit lahan
F2.L.I.K. Dengan temperatur rata-rata tahunan sebesar 25,
Sumber: Analisis data, 2015
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
7
5 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah bulan kering
tahunan sebesar 4,8 bulan, serta kemiringan lereng sebesar
>8-15%, hal ini yang menyebabkan unit lahan F2.L.II.K
memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan
faktor pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan
demikian penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu
diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat
memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha
perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan
ketiga faktor pembatas yang ada.
Peta 1. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Pada SKPP I di Kabupaten Jombang
Unit lahan F2.L.II.TL (Lereng bawah pegunungan;
Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Tanah
ladang) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai
marginal), dengan faktor pembatas berupa drainase tanah,
hal ini sama dengan unit lahan F2.L.I.TL. Unit lahan
tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan,
dengan beberapa tanaman sejenis ketela yang tumbuh
disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini
ialah tergolong Agak Terhambat, hal tersebut yang
menjadi penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai
marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.II.TL
dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai
lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan
perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk
kondisi drainase tanah.
Unit lahan F2.L.III.K (Lereng bawah pegunungan;
Latosol cokelat kemerahan; Lereng >15-25%; Kebun) dan
F2.L.III.TL (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat
kemerahan; Lereng >15-25%; Tanah ladang) tercatat
memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu berupa
kelas S3 (sesuai marginal), dengan faktor pembatas
berupa kemiringan lereng. Kedua unit lahan tersebut
memiliki tipe penggunaan lahan yang berbeda, untuk unit
lahan F2.L.III.K memiliki penggunaan lahan berupa
kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi. Sedangkan
pada unit lahan F2.L.III.TL memiliki penggunaan lahan
berupa tegalan dan ditumbuhi beberapa jenis tanaman
ketela. Dengan kemiringan lereng sebesar >15-25%, maka
hal tersebut menyebabkan unit lahan F2.L.III.K dan
F2.L.III.TL memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai
marginal). Dengan demikian penggunaan lahan kopi yang
ada pada unit lahan F2.L.III.K perlu diupayakan beberapa
usaha perbaikan lahan agar dapat memaksimalkan potensi
lahan tersebut untuk tanaman kopi, sedangkan untuk unit
lahan F2.L.III.TL dapat dikatakan memiliki potensi
dijadikan sebagai lahan budidaya kopi, namun pada kedua
unit lahan ini diperlukan usaha perbaikan lahan dalam
variabel kemiringan lereng.
Evaluasi Kesesuaian Wilayah
Evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan
agropolitan untuk komoditas kopi dilakukan agar dapat
diketahui kesinambungan antara kebijakan dan strategi
pembangunan yang ditetapkan melalui dokumen rencana
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
8
induk dengan kondisi eksisting di lapangan, yaitu pada
SKPP I Kabupaten Jombang. Berikut ini disajikan melalui
tabel berupa hasil matching antara kebijakan dan strategi
pembangunan dengan kondisi realita di lapangan:
Tabel 4. Hasil Matching Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan dengan Kondisi Eksisting
pada SKPP I di Kabupaten Jombang
No. Subsistem Variabel Kebijakan dan Strategi Kondisi Eksisting
1 Input Industri pembuatan pupuk
untuk tanaman kopi
Menyediakan industri pembuatan
pupuk untuk tanaman kopi
(Bappeda Kab. Jombang,
2010:123)
Belum Terealisasikan
2 Pasca panen Industri pengolahan
berbahan baku produk kopi
Menyediakan industri pengolahan
berbahan baku produk kopi
berupa kopi bubuk, minuman rasa
kopi, dan essence kopi (Bappeda
Kab. Jombang, 2010:122)
Industri kopi bubuk dan
biji polesan bernama
“Kopi Bagong”
3 Pemasaran Strategi pemasaran Pola kemitraan dengan
KOVATMA dan KOMA bersama
Pemerintah Daerah setempat
(Bappeda Kab. Jombang,
2010:123)
Belum Terealisasikan
4 Jasa dan
Penunjang
Lembaga perkreditan Menyediakan BPR pada seluruh
desa hinterland cluster
perkebunan tanaman tahunan
(Bappeda Kab. Jombang,
2010:123)
BPR setingkat
kecamatan dan belum
terintegrasi dengan
petani kopi
Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui sejauh mana
implementasi perencanaan pengembangan kawasan
agropolitan di SKPP I telah terlaksana dengan baik dan
mencapai taraf sesuai. Berdasarkan kajian menurut
subsistem agribisnis dan agroindustri, dapat diketahui
karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Untuk
tinjauan secara spasial juga ditampilkan melalui Peta 2
yang meggambarkan lokasi berbagai infrastruktur yang
terkait dengan subsistem agribisnis dan agroindustri
sebagai penopang keberadaan kawasan agropolitan.
Menurut hasil wawancara kepada 13 petani kopi pada
masing-masing kelompok tani yang berada di dua desa
yaitu Desa Carangwulung dan Jarak, menunjukkan bahwa
100% responden tidak mengetahui tentang keberadaan
industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan industri pembuatan
pupuk untuk tanaman kopi di SKPP I belum terealisasikan
sesuai Rencana Induk Pengembangan Kawasan
Agropolitan.
Industri pengolahan berbahan baku kopi merupakan
bagian dalam subsistem pasca panen pada sistem
agribisnis dan agroindustri yang akan berperan untuk
mendorong terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I.
Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa
92,3% responden tidak mengetahui dan tidak memiliki
ikatan kerjasama dengan industri pengolahan berbahan
baku kopi yang mengolah hasil panen kopi para petani.
Namun terdapat 1 (satu) petani kopi bernama Suaman
yang selama ini juga menjalankan industri pengolahan
berbahan baku kopi yang menghasilkan produk biji kopi
polesan dan kopi bubuk dengan merek “Kopi Bagong”.
Industri pengolahan kopi tersebut telah berjalan sejak
tahun 2008 dan masih termasuk dalam skala home
industry. Sedangkan lokasi industri “Kopi Bagong” ini
berada di kediaman Bapak Suaman, yaitu di Dusun
Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam
dengan letak koordinat geografis pada 07° 42’ 36” LS dan
112° 24’ 00” BT.
Strategi pemasaran komoditas kopi merupakan bagian
dalam subsistem pemasaran pada sistem agribisnis dan
agroindustri yang akan berperan untuk mendorong
terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan
hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden
melakukan strategi pemasaran dengan cara menjual hasil
panen kopi ke tengkulak dalam kondisi ose (kering hasil
proses penjemuran). Namun untuk petani kopi yang juga
memiliki industri pengolahan berbahan baku kopi dengan
merek “Kopi Bagong” yaitu Bapak Suaman, selama ini
menggunakan strategi pemasaran dengan bantuan dari
Dinas Perkebunan dan Kehutanan yang menjualkan
produk biji kopi polesan dan kopi bubuknya. Akan tetapi,
strategi pemasaran dengan pola kemitraan Koperasi
Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal
(KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis
(KOMA) dengan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten
Jombang dan Provinsi Jawa Timur serta investor yang
bersangkutan, yang menjadi sasaran dalam Rencana Induk
selama ini tampak belum terealisasikan.
Sumber: Analisis data, 2015
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
9
Peta 2. Kesesuaian Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I di
Kabupaten Jombang
Lembaga perkreditan merupakan bagian dalam
subsistem jasa dan penunjang pada sistem agribisnis dan
agroindustri yang akan berperan untuk mendorong
terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan
hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden
tidak pernah bekerjasama dengan lembaga perkreditan
untuk membantu sistem permodalannya dalam budidaya
tanaman kopi. Sedangkan bagi Bapak Suaman yaitu
petani kopi sekaligus pemilik industri pengolahan
berbahan baku kopi merek “Kopi Bagong” menyatakan
pernah menjalin kerjasama dengan Bank Rakyat
Indonesia (BRI) Kecamatan Wonosalam untuk periode
tahun 2008 – 2012. Hal tersebut tidak berlanjut
dikarenakan terjadinya kredit macet. Di samping itu,
berdasarkan pemaparan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda
Kab. Jombang selaku penanggung jawab program
agropolitan SKPP I yaitu Ninik Pujirahayu, menyatakan
bahwa terdapat setidaknya 4 (empat) Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) di masing-masing kecamatan pada SKPP I,
namun kesinambungan BPR untuk menjalin kerjasama
dengan para petani khususnya petani kopi tampak belum
berjalan maksimal.
PEMBAHASAN
Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi
pada SKPP I di Kabupaten Jombang
Evaluasi kesesuaian lahan merupakan upaya untuk
membandingkan (matching) karakteristik lahan dengan
syarat penggunaan lahan tertentu (Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007:20). Dalam konteks penelitian ini,
evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan adalah
bertujuan untuk membandingkan (matching) karakteristik
lahan pada SKPP I dengan syarat tumbuh tanaman kopi.
Hal ini juga dikaitkan dengan keberadaan penetapan
SKPP I sebagai kawasan agropolitan yang memiliki salah
satu komoditas unggulan yaitu komoditas kopi.
Berdasarkan unit analisis lahan yang telah dipilih
sebagai objek penelitian dengan menggunakan pendekatan
fisiografis, maka telah diperoleh sebanyak enam unit
lahan. Setelah dilakukan penelitian pada enam unit lahan
tersebut maka dapat diketahui kelas kesesuaian lahan
aktual untuk tanaman kopi pada SKPP I. Kelas kesesuaian
yang dimiliki wilayah ini adalah S2 (cukup sesuai) dan S3
(sesuai marginal) dengan masing-masing faktor pembatas
yang dimiliki. Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan ini
telah dipetakan seperti yang ada pada Peta 1.
Peta 1 menunjukkan bahwa Kecamatan Wonosalam,
Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Mojowarno memiliki
kelas kesesuaian lahan yang cukup bervariasi untuk
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
10
tanaman kopi. Secara administratif, hal ini cukup
bertentangan dengan data statistik yang menunjukkan
bahwa produksi kopi pada SKPP I selama ini hanya
terdapat pada kecamatan Bareng dan Wonosalam, karena
secara teori dapat dibuktikan bahwa Kecamatan
Mojowarno juga memiliki beberapa areal lahan yang
potensial untuk dijadikan lokasi budidaya kopi (seperti
disajikan pada Tabel 5).
Tabel 5 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di
Kecamatan Mojowarno (data dalam satuan Ha)
No. Desa
Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas
Jumlah
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, tekstur tanah
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, kemiringan
lereng
S3 (Sesuai Marginal):
drainase tanah
1 Grobogan 53,25 - 93,45 146,70
2 Japanan 239,72 22,21 92,95 354,89
3 Mojoduwur 19,2 - 16,78 35,98
4 Penggaron 4,78 - - 4,78
Jumlah 316,96 22,21 203,19 542,36
Selama ini pada Kecamatan Mojowarno belum
didapati areal lahan untuk budidaya komoditas kopi,
namun setelah dilakukan penelitian maka dapat diketahui
bahwa terdapat areal lahan seluas 542,36 Ha di
Kecamatan Mojowarno bagian timur yang memiliki
potensi untuk dijadikan lokasi budidaya tanaman kopi.
Seperti disajikan pada Tabel 5, dari total areal lahan
potensial untuk kopi tersebut dapat dibagi lagi menjadi
beberapa areal lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan
yang dimiliki beserta faktor pembatasnya. Persebaran
areal lahan yang dimaksud berada di 4 (empat) desa yang
meliputi Desa Grobogan, Japanan, Mojoduwur, dan
Penggaron. Desa Japanan merupakan desa yang memiliki
areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan
Mojowarno, yaitu seluas 354,89 Ha. Akan tetapi, lahan
potensial pada desa tersebut tidak digunakan sebagai
lahan perkebunan kopi (disajikan pada Gambar 3).
Gambar 3 Kondisi Eksisting pada Lahan Potensial
untuk Tanaman Kopi di Desa Japanan, Kecamatan
Mojowarno (Dokumentasi penulis, 2015)
Dilihat pada Gambar 3, menunjukkan bahwa kondisi
eksisting pada lahan potensial untuk tanaman kopi di Desa
Japanan masih digunakan sebagai lahan perkebunan tebu.
Hal ini bisa disebabkan oleh budaya penduduk atau
pemilik lahan tersebut yang cenderung lebih tertarik untuk
membudidayakan tanaman tebu. Pasalnya, di wilayah
sekitar lahan tersebut tidak ditemukan sama sekali lahan
perkebunan kopi, meskipun secara teoritis telah teruji
bahwa areal lahan tersebut memiliki potensi untuk
tanaman kopi.
Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan
Bareng sebesar 13,7 ton/tahun pada areal perkebunan kopi
seluas 34 Ha, hal tersebut menempatkan kecamatan ini
sebagai kontributor produk kopi terbesar kedua di
Kabupaten Jombang, termasuk di wilayah SKPP I. Dari
data tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun
kopi di kecamatan ini akan menghasilkan 2,4 ton produk
kopi per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan
luas lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan
Bareng yang mencapai 1.232,85 Ha (seperti disajikan
pada Tabel 6), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas
kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu
mencapai angka 2.958,84 ton/tahun. Tentunya angka
produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan
yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah
digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi.
Persebaran areal lahan potensial untuk tanaman kopi
pada Kecamatan Bareng terletak di 9 (sembilan) desa
yang meliputi Desa Banjaragung, Bareng, Jetisgelaran,
Karangan, Ngampungan, Nglebak, Ngrimbi, Pakel, dan
Pulosari. Desa Pulosari merupakan desa yang memiliki
areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan
Bareng, yaitu seluas 343,12 Ha. Hal tersebut bisa
disebabkan karena faktor geografis wilayah Desa Pulosari
yang terletak di bagian timur Kecamatan Bareng, di mana
Sumber: Analisis data, 2015
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
11
pada wilayah tersebut merupakan kaki pegunungan
Arjuna dan berbatasan langsung dengan Kecamatan
Wonosalam yang memiliki topografi sebagai daerah
perbukitan dan pegunungan.
Tabel 6 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di
Kecamatan Bareng (data dalam satuan Ha)
No. Desa
Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas
Jumlah
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, tekstur tanah
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, kemiringan
lereng
S3 (Sesuai Marginal):
drainase tanah
1 Banjaragung 1,23 - - 1,23
2 Bareng 18,36 - - 18,36
3 Jetisgelaran 49,12 0,93 188,07 238,12
4 Karangan - 1,13 192,82 193,95
5 Ngampungan - - 34,50 34,50
6 Nglebak 190,65 - - 190,65
7 Ngrimbi 132,56 - 34,65 167,21
8 Pakel - - 45,71 45,71
9 Pulosari 70,90 226,94 45,28 343,12
Jumlah 462,84 229,01 541,05 1.232,85
Luas lahan 343,12 Ha yang potensial untuk tanaman
kopi di Desa Pulosari tersebut, terdapat seluas 226,94 Ha
lahan yang memiliki kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai)
dengan faktor pembatas berupa temperatur, bulan kering,
dan kemiringan lereng. Perlu dilakukan upaya perbaikan
karakteristik lahan pada ketiga faktor pembatas tersebut
yang bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas kopi
setempat. Penggunaan lahan pada areal lahan ini ialah
perkebunan kopi yang dibudidayakan dengan sistem
tumpangsari, artinya juga terdapat beberapa jenis tanaman
lain yang tumbuh di sekitar tanaman kopi.
Tabel 7 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di
Kecamatan Wonosalam (data dalam satuan Ha)
No. Desa
Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas
Jumlah
Produksi
Kopi
Tahun 2013
(Ton)
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, tekstur
tanah
S2 (Cukup Sesuai):
temperatur, bulan
kering, kemiringan
lereng
S3 (Sesuai
Marginal):
drainase
tanah
S3 (Sesuai
Marginal):
kemiringan
lereng
1 Carangwulung 38,45 455,6 175,51 128,42 797,99 83,45
2 Gelengdowo 47,72 39,66 166,72 66,79 320,90 68,35
3 Jarak - 105,75 76,46 197,04 379,26 83,77
4 Panglungan 20,28 274,49 433,89 40,48 779,10 67,54
5 Sambirejo 2,58 26,68 410,55 433,85 873,68 78,90
6 Sumberjo 289,07 34,45 343,89 589,39 1.256,82 70,95
7 Wonokerto 3,84 47,28 10,54 483,42 545,09 23,56
8 Wonomerto 49,01 243,77 30,4 129,62 452,79 49,21
9 Wonosalam 503,69 316,45 294,27 159,05 1.273,48 82,79
Jumlah 954,64 1.544,13 1.942,23 2.228,06 6.679,11 540,17
Kecamatan Wonosalam tercatat sebagai kecamatan
penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jombang, termasuk
dalam SKPP I. Jika dilihat dari Tabel 7, maka dapat
diketahui bahwa terdapat lahan seluas 6.679,11 Ha yang
memiliki potensi untuk tanaman kopi. Hal tersebut
menempatkan kecamatan ini sebagai daerah yang
memiliki lahan potensial untuk kopi terluas di SKPP I.
Namun demikian, tidak semua bagian pada lahan tersebut
telah digunakan untuk budidaya komoditas kopi. Seperti
diketahui bahwa baru terdapat lahan seluas 1.218,5 Ha
yang digunakan untuk kawasan perkebunan kopi.
Apabila dikaitkan dengan penetapan pemusatan
kawasan produksi kopi yang terletak di Desa
Carangwulung dan Jarak, maka berdasarkan Tabel 7
Sumber: Analisis data, 2015
Sumber: Analisis data, 2015
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
12
menunjukkan bahwa penetapan tersebut perlu dikaji
ulang. Hal ini dikarenakan luas lahan potensial untuk
tanaman kopi yang dimiliki kedua desa tersebut masih
jauh di bawah luas lahan potensial dari Desa Wonosalam
dan Sumberjo, di mana dua desa ini mempunyai lahan
potensial untuk kopi terluas di Kecamatan Wonosalam.
Pada Desa Carangwulung dan Jarak hanya terdapat lahan
potensial untuk kopi seluas 1.177,25 Ha. Sedangkan pada
Desa Wonosalam dan Sumberjo tercatat memiliki lahan
potensial untuk kopi seluas 2.530,29 Ha. Data ini menjadi
temuan penting bahwa penetapan pemusatan kawasan
produksi kopi sebaiknya perlu mempertimbangkan aspek
potensial dan kesesuaian lahan pada masing-masing
wilayah administrasi, bukan berpatokan pada kontribusi
panen kopi di setiap tahunnya saja.
Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan
Wonosalam sebesar 540,17 ton/tahun pada areal
perkebunan kopi seluas 1.218,5 Ha, maka dari data
tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun kopi
di kecamatan ini akan menghasilkan 2,2 ton produk kopi
per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan luas
lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan
Wonosalam yang mencapai 6.679,11 Ha (seperti disajikan
pada Tabel 7), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas
kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu
mencapai angka 14.649,04 ton/tahun. Tentunya angka
produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan
yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah
digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi.
Berdasarkan data-data di atas, maka dapat diketahui
bahwa Kecamatan Mojowarno juga memiliki lahan yang
potensial untuk tanaman kopi. Hal ini membuka peluang
untuk upaya ekstensifikasi guna meningkatkan produksi
kopi di SKPP I dalam rangka menunjang program
pengembangan kawasan agropolitan. Sementara
Kecamatan Wonosalam yang tercatat memiliki lahan
potensial terluas dan produksi kopi terbesar di SKPP I,
tercatat belum memiliki lahan dengan kelas kesesuaian
maksimal yaitu S1 (sangat sesuai). Hal ini dikarenakan
lahan tersebut masih memiliki berbagai faktor pembatas,
seperti temperatur, bulan kering, tekstur tanah, kemiringan
lereng, dan drainase tanah. Oleh sebab itu perlu dilakukan
upaya perbaikan karakteristik lahan pada faktor pembatas
tersebut, agar optimalisasi produksi kopi setempat dapat
tercapai.
Evaluasi Kesesuaian Wilayah Pengembangan
Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada
SKPP I di Kabupaten Jombang
Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa kawasan
agropolitan merupakan kawasan yang terdiri dari satu atau
lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya
alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hierarki keruangan dari kesatuan sistem
permukiman dan sistem agribisnis yang didalamnya
mencakup kegiatan agroindustri (Rustiadi, dkk.,
2011:329). Dalam konteks penelitian ini dibahas
mengenai pengembangan kawasan agropolitan untuk
komoditas kopi di SKPP I Kabupaten Jombang. Dengan
demikian perlu dikaji keberadaan sistem agribisnis dan
agroindustri sebagai penopang terciptanya kawasan
agropolitan di SKPP I.
Berdasarkan Peta 2 dapat dilihat persebaran
infrastruktur yang berkaitan dengan pengembangan
kawasan agropolitan. Infrastruktur yang secara fisik dapat
dilihat pada peta meliputi keberadaan lokasi home
industry “Kopi Bagong” yang terletak di Desa
Carangwulung, kemudian empat BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) yang terletak di masing-masing pusat kecamatan
di SKPP I. Sementara infratruktur lain yang terkait dengan
sistem agribisnis dan agroindustri sebagai penopang
kawasan agropolitan tampak belum memadai. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa keterkaitan fungsional dan
hierarki keruangan dari kesatuan sistem agribisnis yang
didalamnya mencakup kegiatan agroindustri di SKPP I
belum sepenuhnya berjalan dengan baik.
Pada dasarnya, agropolitan merupakan kota pertanian
yang tumbuh dan berkembang karena eksistensi subsistem
dalam agribisnis dan agroindustri yang mampu melayani,
mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pertanian
setempat (Muta’ali, 2013:173-174). Maka dari itu,
agropolitan dipandang sebagai cara untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pedesaan yang identik dengan
sektor pertanian. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa
peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi parameter
utama dalam menentukan keberhasilan pengembangan
kawasan agropolitan. Namun pada kasus yang dibahas
dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa upaya
peningkatan kesejahteraan petani tampak belum
maksimal. Khususnya pada bagian subsistem pemasaran.
Dalam subsistem pemasaran yang sesuai dengan
konsep agropolitan ialah strategi pemasaran yang tidak
lagi bergantung pada pihak ketiga atau tengkulak. Hal ini
disebabkan karena pihak ketiga atau tengkulak lebih
cenderung menjadi pemain yang menentukan harga
pasaran, sehingga petani bergantung sepenuhnya pada
sentimen harga pasar yang ditentukan oleh para tengkulak
tersebut. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan maksud
dan tujuan pengembangan kawasan agropolitan yang
menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan petani
dengan salah satu caranya yaitu optimalisasi strategi
pemasaran.
Demikian pula yang terjadi di kawasan agropolitan
SKPP I Kabupaten Jombang, di mana strategi pemasaran
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada
SKPP I Di Kabupaten Jombang
13
para petani kopi setempat masih sangat bergantung pada
keberadaan tengkulak. Hal ini menjadi catatan penting
bahwa keberadaan strategi pemasaran yang telah
ditetapkan dalam dokumen Rencana Induk
Pengembangan Kawasan Agropolitan SKPP I Kabupaten
Jombang perlu segera direalisasikan agar kebergantungan
petani kopi pada tengkulak dapat mulai berkurang.
Sebagaimana diketahui bahwa telah ditetapkan pola
kemitraan pengembangan sosial kapital, yaitu pola
Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal
(KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis
(KOMA) yang kegiatannya direncanakan untuk
bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jombang –
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Investor yang
bertanggung jawab terhadap pola pemasaran sektor
perkebunan tanaman tahunan, termasuk komoditas kopi.
Dengan berkurangnya kebergantungan petani kopi
terhadap tengkulak, maka strategi pemasaran produk kopi
di SKPP I diharapkan dapat mencapai standar dalam
konsep kawasan agropolitan, yaitu menitikberatkan pada
peningkatan kesejahteraan petani.
Suatu kawasan agropolitan juga perlu didukung
dengan keberadaan integrasi subsistem agribisnis dan
agroindustri yang baik mulai dari hulu (subsistem input)
hingga hilir (subsistem pemasaran). Pelayanan yang
berkaitan dengan penyediaan sarana produksi (saprodi)
merupakan salah satu hal vital yang tidak bisa dilepaskan
dari konsep pengembangan kawasan agropolitan
(Rustiadi, dkk., 2011:329). Seperti telah disusun oleh
Bappeda Kab. Jombang, bahwa untuk mendukung
pengembangan kawasan agropolitan di SKPP I untuk
komoditas kopi, maka diperlukan ketersediaan industri
pembuatan pupuk yang menjadi bagian dari saprodi.
Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
keberadaan industri pembuatan pupuk tersebut belum
diketahui oleh para petani kopi. Hal ini mengindikasikan
bahwa rencana tersebut belum terealisasikan. Sementara
seluruh petani kopi selama ini masih bergantung terhadap
penggunaan pupuk kandang dan sebagian petani juga
mengkombinasikan antara pupuk kandang dan kimia.
Mercado (dalam Muta’ali, 2013:160) memaparkan
bahwa kawasan agropolitan akan berfungsi sebagai urban-
rural industrial. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
agroindustri menjadi bagian penting dalam pengembangan
kawasan agropolitan. Sebagaimana dijelaskan bahwa
agroindustri merupakan segala kegiatan industri yang
berkaitan dengan kegiatan pertanian (Andrianto,
2014:255).
Namun kondisi eksisting di SKPP I belum
menunjukkan berjalannya fungsi agropolitan sebagai
urban-rural industrial. Merujuk pada Peta 4.11, gambaran
persebaran dan ketersediaan industri yang berkaitan
dengan kegiatan pertanian khususnya untuk komoditas
kopi terbilang sangat minimum. Hanya saja telah terdapat
home industry pengolahan produk kopi yang bernama
“Kopi Bagong”. Namun jika dikaitkan dengan kebijakan
Pemerintah Kabupaten Jombang mengenai perencanaan
pengembangan kawasan agropolitan, kondisi eksisting
yang ada di SKPP I saat ini belum mencerminkan suatu
kawasan agropolitan secara utuh dan masih jauh dari
rencana pembangunan yang ditetapkan. Seperti diketahui
bahwa pada subsistem pasca panen, Pemerintah
Kabupaten Jombang bertekad untuk mengembangkan
industri pengolahan berbahan baku produk kopi seperti
industri minuman rasa kopi, industri essence kopi, dan
industri kopi bubuk (Bappeda Kab. Jombang, 2010:122).
Akan tetapi dari ketiga bentuk agroindustri tersebut baru
terealisasikan satu jenis yaitu industri kopi bubuk. Hal ini
menunjukkan tahap ketercapaian kebijakan yang belum
maksimal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
mengenai “Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan
Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada SKPP I di
Kabupaten Jombang”, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman
kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat
diketahui bahwa terdapat lahan seluas 8.454,32 Ha
yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai lahan
budidaya komoditas kopi. Lahan tersebut terletak di
tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam
(6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan
Kecamatan Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas
lahan yang berpotensi tersebut tidak terdapat lahan
yang memiliki kelas kesesuaian optimal yaitu S1
(sangat sesuai), namun masih tergolong kelas
kesesuaian lahan berupa S2 (cukup sesuai) dan S3
(sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada
variabel temperatur, bulan kering, tekstur tanah,
drainase tanah, dan kemiringan lereng. Dengan
demikian perlu upaya perbaikan karakteristik lahan
berdasarkan faktor pembatas tersebut.
2. Berdasarkan evaluasi kesesuaian wilayah
pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas
kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat
diketahui keberadaan dan karakteristik empat variabel
dari empat subsistem agribisnis dan agroindustri yang
diteliti. (1) Pada variabel industri pembuatan pupuk
untuk tanaman kopi, diketahui dari 100% responden
tidak mengetahui keberadaan industri pembuatan
pupuk seperti yang dimaksudkan dalam rencana induk
pengembangan kawasan agropolitan; (2) pada variabel
industri pengolahan berbahan baku kopi, diketahui
bahwa terdapat satu home industry bernama “Kopi
Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015
14
Bagong” yang telah berdiri sejak tahun 2008 dan
industri ini menjual produk kopi bubuk dan biji kopi
polesan; (3) untuk variabel strategi pemasaran,
diketahui bahwa 92,3% responden melakukan strategi
pemasaran produk kopinya dengan cara menjualnya
secara langsung kepada tengkulak dengan kondisi kopi
berupa ose kering, dan belum terdapat realisasi pola
kemitraan dalam strategi pemasaran produk kopi
sebagaimana dimaksud pada rencana induk
pengembangan kawasan agropolitan; (4) pada variabel
lembaga perkreditan, diketahui bahwa 92,3%
responden tidak pernah menjalin kerjasama dengan
lembaga perkreditan manapun, sedangkan apabila
dikaitkan dengan rencana induk pengembangan
kawasan agropolitan setempat, maka sudah terdapat
empat BPR setingkat kecamatan yang ada di wilayah
SKPP I namun belum terjalin kesinambungan dengan
para petani kopi yang pada dasarnya membutuhkan
bantuan modal.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka dapat
diberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang terkait
dengan pengembangan kawasan agropolitan untuk
komoditas kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang,
yaitu sebagai berikut:
1. Bagi para petani di SKPP I agar mulai
membudidayakan komoditas kopi pada areal lahan
yang termasuk memiliki potensi untuk tanaman
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
menggunakan sistem tumpangsari, sehingga tidak
perlu melakukan perubahan pola jenis komoditas yang
telah dikembangkan sebelumnya di lahan yang belum
ditanami kopi. Dengan demikian upaya ekstensifikasi
dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kopi setempat berdasarkan potensi lahannya.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Jombang agar
mengalokasikan anggaran dana untuk pembangunan
industri pupuk tanaman kopi dan industri pengolahan
produk kopi sesuai kebijakan yang telah ditetapkan
dalam rencana induk pengembangan kawasan
agropolitan di SKPP I. Hal ini untuk menciptakan
integrasi subsistem agribisnis dan agroindustri yang
baik dalam menopang kawasan agropolitan setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Tuhana T. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian:
Agraris, Agribisnis, Agroindustri, dan Agroteknologi.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Bappeda Kab. Jombang. 2010. Implementasi Rencana
Induk Pengembangan Kawasan Agropolitan pada
Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP
I) dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Pertanian Terpadu Berbasis Rencana Tata Ruang.
Jombang: Bappeda Kab. Jombang.
BPS. 2014. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)
Tahun 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi
Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muta’ali, Lutfi. 2013. Pengembangan Wilayah
Perdesaan (Perspektif Keruangan). Yogyakarta:
Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.
Rahmawati, Nur Fajri. 2008. Pengaruh Pelaksanaan
Agropolitan Terhadap Perkembangan Ekonomi Di
Tujuh Kawasan Agropolitan Kabupaten Magelang.
Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Rustiadi, Sunsun dan Dyah, Ernan. 2011. Perencanaan
dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia.
Soetoto. 2013. Geologi Dasar. Yogyakarta: Ombak.