i
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT KORTIKOSTEROID
PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT UMUM SUMEDANG PADA TAHUN 2018
SKRIPSI
diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Sarjana (S1) pada Jurusan
Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Al-Ghifari
Oleh:
KRISTIAN PERMANA
D1A171513
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AL-GHIFARI BANDUNG
BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya, penulis diberikan kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan
skripsi yang berjudul “EVALUASI PENGGUNAAN OBAT
KORTIKOSTEROID PADA PASIEN ASMA BRONKIAL RAWAT INAP
DI RUMAH SAKIT UMUM SUMEDANG PADA TAHUN 2018”, tujuan
penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana sains pada Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Al-Ghifari.
Penulis menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang penulis miliki, sehingga dalam penulisan ini masih banyak
kekurangan dan hasilnya masih jauh dari kesempurnaan. Penyusunan skripsi ini
tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan banyak pihak, baik secara
moril maupun material. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. H. Didin Muhafidin, S.I.P., M.Si., selaku Rektor Al-Ghifari
Bandung
2. Bapak Ardian Baitariza M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas
Al-Ghifari Bandung.
3. Ibu Ginayanti Hadisoebroto M.Si, Apt selaku Ketua Jurusan Farmasi
Universitas Al-Ghifari, Seluruh staf pengajar dan karyawan Jurusan Farmasi
Universitas Al-Ghifari Bandung.
ii
4. Bapak Thito Dwi Evrianto, S.Si.,Apt.,M.Kes. selaku pembimbing I yang telah
memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Sri Maryam, M.Si.,Apt. selaku pembimbing II yang telah memberikan
petunjuk dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Istri beserta putra tercinta yang telah banyak mendukung dan membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Orang tua, keluarga besarku tercinta yang selalu setiap saat memberi
dukungan, semangat, doa yang tulus dan selalu membantu baik moril maupun
materil selama penyusunan skripsi berlangsung dengan penuh kesabaran dan
ketulusan yang sangat berarti bagi penulis.
8. Seluruh rekan-rekan Jurusan Farmasi, khususnya rekan-rekan seangkatan yang
telah memberikan dukungan, semangat serta doa tulus yang diberikan setiap
saat.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
kesalahan dan kekurangan, karenanya kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir
kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya amin.
Bandung, September 2019
Penulis
3
ABSTRAK
Asma merupakan inflamasi kronik saluran nafas yang menyebabkan hiperreaktivitas
bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang
berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada. Kortikosteroid merupakan
obat efektif untuk penatalaksanaan asma, namun penggunaan kortikosteroid yang
tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi serta meningkatkan resiko efek
samping. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana evaluasi
penggunaan obat golongan kortikosteroid pada pasien asma bronkhial di Rumah Sakit
Umum Daerah Sumedang pada tahun 2018 serta untuk mengetahui seberapa besar
keberhasilan penggunaan obat golongan kortikosteroid pada pasien asma bronkhial di
Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang pada tahun 2018. Metode penelitian yang
digunakan yaitu retrospektif-deskriptif dengan pengumpulan data rekam medik
pasien asma yang menjalani rawat inap di rumah sakit Sumedang tahun 2018. Hasil
analisis kuantitatif berdasarkan jumlah pasien asma bronkial yaitu 118 pasien yang
menunjukkan bahwa obat yang paling banyak digunakan pada pasien rawat inap
adalah metilprednisolon parenteral sebanyak 154 peresepan (53,84%). Sedangkan
hasil analisis kualitatif berdasarkan penggunaan obat kortikosteroid yaitu 110 pasien
dengan pemberian terapi kortikosteroid tepat pasien, indikasi dan tepat dosis
sebanyak 100%, sedangkan penggunaan kortikosteroid yang berpotensi interaksi
dengan obat lain terdapat pada 95 pasien. Peresepan yang berpotensi interaksi paling
banyak adalah penggunaan metilprednisolon dengan teofilin, terdapat pada 57
(60,00%) pasien yang dapat menyebabkan hipokalemia serta peningkatan kadar
teofilin dalam plasma atau menyebabkan toksisitas. Kesimpulannya kortikosteroid
paling banyak digunakan adalah metilprednisolon dengan tepat pasien, indikasi dan
tepat dosis sebanyak 100% dan potensi interaksi terdapat pada 95 pasien.
Kata kunci: Asma, Kortikosteroid, Rumah Sakit Umum Sumedang.
4
ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammation of the airways that causes bronchial
hyperreactivity to various stimuli characterized by recurrent episodic symptoms such
as wheezing, coughing, shortness of breath and heaviness in the chest.
Corticosteroids are effective drugs for the management of asthma, but improper use
of corticosteroids can cause therapy failure and increase the risk of side effects. The
purpose of this study was to find out how to evaluate the use of corticosteroid drugs
in bronchial asthma patients in Sumedang Regional General Hospital in 2018 and to
find out how successful the use of corticosteroid drugs in bronchial asthma patients
in Sumedang Regional General Hospital in 2018 The research method used was a
retrospective descriptive collection of medical records of asthmatic patients who
were hospitalized at Sumedang Hospital in 2018. The results of the quantitative
analysis were based on the number of bronchial asthma patients, 118 patients who
showed that the drugs most used in hospitalized patients parenteral
methylprednisolone is 154 prescriptions (53.84%). While the results of the qualitative
analysis based on the use of corticosteroid drugs were 110 patients with appropriate
corticosteroid therapy, indications and exact dosages of 100%, while the use of
corticosteroids with potential interactions with other drugs was found in 95 patients.
The most potent interaction interaction is the use of methylprednisolone with
theophylline, in 57 (60.00%) patients who can cause hypokalemia and increase
plasma theophylline levels or cause toxicity. In conclusion, the most widely used
corticosteroids were methylprednisolone with the right patient, indications and exact
dosages of 100% and potential interactions were found in 95 patients.
Key word: Asthma, Corticosteroids, Sumedang General Hospital.
5
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………. i
ABSTRAK……………………………………………………………………… iii
ABSTRACT…………………………………………………………………….. iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL……………………………………………………………… vii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………………. 1
1.2. Identifikasi Masalah…………………………………………………… 4
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………………. 5
1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………………... 5
1.5. Metode Penelitian……………………………………………………… 5
1.6. Waktu dan Tempat…………………………………………………….. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 7
2.1. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)…………… ………………………. 7
2.2. Golongan Obat Kortikosteroid …………………………….................. 9
2.3. Asma Bronkhial ………………………………………………………. 10
2.4. Rumah Sakit ………………………………………………………….. 29
2.5. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)………………………….…….. 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………………. 33
3.1. Metode Penelitian…………………………………………………….. 33
3.2. Studi Pendahuluan…………….……………………………………… 34
3.3. Penetapan Kriteria Pasien ……………………………………………. 34
3.4. Penetapan Kriteria Obat……………………………………………… 34
3.5. Penetapan Kriteria Penggunaan Obat………………………………… 35
3.6. Data dan Sumber Data ………………………………………………. 35
3.7. Analisis Data …………………………... ………………………….... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… 37
4.1. Analisis Kuantitatif …………………………………………………... 37
4.1.1 Berdasarkan Jenis kelamin …………………………………….. 38
4.1.2 Berdasarkan umur ……………………………………………… 39
4.1.3 Berdasarkan penggunaan obat kortikosteroid………………….. 40
4.1.4 Berdasarkan Golongan Farmakologi ……………………………..42
4.1.5 Berdasarkan rute pemberian obat…..…………………………… 42
6
4.2 Analisis Kualitatif……………………………………………………. 43
4.2.1 Tepat Pasien ………………………………………………………44
4.2.2 Tepat Indikasi …………………………………………………… 45
4.2.3 Tepat Dosis ……………………………………………………… 46
4.2.4 Potensi Interaksi………………………………………………… 48
BAB V SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………… 52
5.1. Simpulan……………………………………………………………… 52
5.2. Saran………………………………………………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 54
LAMPIRAN……………………………………………………………………. 57
7
DAFTAR TABEL
Tabel:
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara umum
pada orang dewasa…………….………………………………………..13
Tabel 2.2 Tingkat Asma Terkontrol ....................... ……………………………....16
Tabel 2.3 Daftar Obat Pelega dan Pengontrol Asm ……………………………....18
Tabel 4.1 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Jenis Kelamin.………...30
Tabel 4.2 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Umur…….…………....31
Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Asma Bronkial…...32
Tabel 4.4 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Golongan Farmakologi.33
Tabel 4.5 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Rute Pemberian Obat…34
Tabel 4.6 Distribusi Tepat Pasien pada Pasien Asma Bronkial ………...……......36
Tabel 4.7 Distribusi Tepat Indikasi pada Pasien Asma Bronkial……………...….37
Tabel 4.8 Distribusi Tepat Dosis Pada Pasien Asma Bronkial…..……...………..38
Tabel 4.9 Potensi Interaksi ..................................... ………………………...…….39
8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Algoritma Penatalaksanaan Asma di Rumah………………………...45
Lampiran 2 Algoritma Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit………………….46
Lampiran 3 Kriteria Penggunaan Obat ................... ………………………………47
Lampiran 4 Gambar kartu obat pasien RSUD sumedang ……………… ……… 55
Lampiran 5 Gambar Aplikasi interaksi di RSUD sumedang …………………… 56
9
DAFTAR SINGKATAN
SINGKATAN
NAMA
GINA Global Initiatif for Asthma
WHO World Health Organization
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
EPO Evaluasi Penggunaan Obat
IFRS Instalasi Farmasi Rumah Sakit
ROM Reaksi Obat Merugikan
KPO Kriteria Penggunaan Obat
NAEPP National Asthma Education and
Prevention Program
APE Arus Puncak Ekspirasi
VEP1 Volume Ekspirasi Paksa detik Pertama
KVP Kapasitas Vital Paksa
IDT Inhalasi Dosis Terukur
MDI Metered Dose Inhaler
10
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit heterogen, ditandai dengan peradangan saluran
nafas kronis. Hal ini ditentukan oleh riwayat gejala pernafasan seperti mengi, sesak
nafas, dada terasa berat, batuk semakin memberat dan keterbatasan aliran udara
ekspirasi. Penyakit asma sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olahraga, alergen
atau paparan iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi virus pernafasan (GINA, 2016).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 100-150 Juta penduduk
dunia menderita asma, jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun (Depkes, 2009). Data berbagai negara
menunjukkan bahwa prevalensi asma berkisar antara 1-18% (GINA, 2016).
Berdasarkan data Riskesdas 2013 terdapat 18 provinsi yang mempunyai prevalensi
melebihi angka nasional, 5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah 8%, Nusa
Tenggara Timur 7,3%, DI Yogyakarta 6,9%, Sulawesi Selatan 6,7%, dan Kalimantan
Selatan 6,4%. Dari data Riskesdas 2013 juga didapatkan data bahwa umur 25-34
tahun mempunyai prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur <1 tahun
memiliki prevalensi asma terendah sebesar 1,5%.
11
Asma merupakan penyakit yang memiliki karakteristik dengan sesak nafas
dan wheezing, dimana keparahan dan frekuensi dari tiap orang berbeda. Kondisi ini
akibat kelainan inflamasi dari jalan nafas di paru-paru dan mempengaruhi sensitivitas
saraf pada jalan nafas sehingga mudah teriritasi. Pada saat serangan, alur jalan nafas
membengkak karena penyempitan jalan nafas dan pengurangan aliran udara yang
masuk ke paru-paru (Rengganis. Iris. 2008).
7
Kortikosteroid merupakan Obat yang sangat efektif digunakan dalam
pengobatan penyakit asma, karena dapat menghalangi respon peradangan dan dapat
mengurangi gejala penyakit asma tetapi jika tidak tepat pada penggunaannya dapat
menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kegagalan terapi, meningkatkan
resiko efek samping yang merugikan pasien dan selain berdampak pada morbiditas
dan mortalitas juga berdampak negatif terhadap ekonomi dan sosial (Yunus, 2011).
Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma Glukokortikoid tidak secara
langsung merelaksasi otot polos sehingga mempunyai efek yang kecil pada
bronkokontriksi akut. Efek antiinflamatorinya pada asma meliputi modulasi produksi
sitokin dan Kemokin menghambat sintesis eikosanoid menghambat akumulasi
basofil, eosinofil, dan leukosit lain dalam paru-paru dan menurunkan vermeabilitas
vaskular. Karena kerja antiinflamatorinya yang menyeluruh dan menonjol,
glukokortikoid merupakan obat yang paling efektif untuk pengobatan asma.
(Goodman & Gilman, 2011).
Untuk menjamin mutu penggunaan obat yang tepat dan rasional, maka perlu
dilakukan evaluasi penggunaan obat Asma yang digunakan pada terapi Asma
Bronkial di Rumah Sakit, terutama obat golongan kortikosteroid yang paling banyak
digunakan, sehingga dengan tercapainya terapi diharapkan kualitas hidup pasien akan
meningkat.
8
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah proses jaminan mutu yang sah
secara organisatoris, terstruktur dilakukan terus menerus, serta didesain untuk
memastikan bahwa obat digunakan dengan tepat, aman, dan efektif. Selain itu juga
(EPO) dilakukan untuk mengetahui ketepatan dan ketidaktepatan penggunaan suatu
obat. Dalam evaluasi obat ini didasarkan pada kriteria penggunaan obat dari standar
yang telah ditetapkan (Siregar, 2006).
Penggunaan obat (KPO), mengumpulkan dan mengorganisasikan data,
mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada (KPO), mengambil tindakan
untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat, mengkaji keefektifan
tindakan yang diambil dan membuktikan penyempurnaan, dan mengkomunikasikan
informasi kepada individu dan kelompok yang tepat di dalam rumah sakit (Siregar,
2003).
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,
rumah sakit mempunyai beberapa fungsi. Fungsi yang pertama yaitu pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna
tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan medis. Fungsi yang selanjutnya
yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Serta fungsi yang
terakhir adalah penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan
teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
9
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Undang-Undang
No.44/2009).
1. 2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka identifikasi masalah dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana evaluasi penggunaan obat golongan kortikosteroid pada pasien asma
bronkhial di Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang pada tahun 2018?
2. Seberapa besar keberhasilan penggunaan obat golongan kortikosteroid pada pasien
asma bronkhial di Rumah Sakit Umum Daerah Sumedang pada tahun 2018?
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak terlepas dari permasalahan pokok yang telah di
kemukakan. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
10
1. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi penggunaan obat golongan
kortikosteroid pada pasien asma bronkhial di Rumah Sakit Umum Daerah
Sumedang pada tahun 2018.
2. Untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan penggunaan obat golongan
kortikosteroid pada pasien asma bronkial di Rumah Sakit Umum Daerah
Sumedang pada tahun 2018.
1. 4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih mendalam
kepada para tenaga teknis kefarmasian mengenai penggunaan obat golongan
kortikosteroid pada pasien asma bronkhial.
1. 5 Metode Penelitian
1. Studi Pendahuluan
2. Penetapan Kriteria Pasien
3. Penetapan Kriteria Obat
4. Penetapan Kriteria Penggunaan Obat
5. Tempat dan Waktu Penelitian
6. Data dan Sumber Data
7. Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
11
1. 6 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Inap dan Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Sumedang pada bulan April sampai bulan Juni tahun 2019.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Program EPO di rumah sakit adalah suatu proses jaminan mutu yang terstruktur,
dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit, ditujukan untuk
memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman, dan efektif.
Program EPO harus mengevaluasi penggunaan obat terhadap kriteria penggunaan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu dan memprakarsai perubahan dalam
penggunaan obat yang tidak memenuhi kriteria tersebut (Siregar, 2006).
Unsur dasar EPO antara lain kriteria/standar penggunaan obat; mengidentifikasi
masalah penting dan mungkin menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan
solusi masalah, mengkaji secara obyektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan
menggunakan kriteria yang absah secara klinik, solusi masalah, menerapkan
tindakan untuk memperbaiki atau meniadakan masalah, dan mendokumentasi serta
melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi, tindakan yang diambil, dan
hasilnya.
13
Sasaran dilaksanakannya EPO ialah mengadakan pengkajian penggunaan obat
yang efisien dan terus-menerus meningkatkan pengembangan standar penggunaan
terapi obat mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi
berkelanjutan meningkatkan kemitraan antar pribadi profesional pelayanan
kesehatan menyempurnakan pelayanan pasien mengurangi resiko tuntutan hukum
rumah sakit mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat
dosis yang akurat, efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang
lebih singkat (Siregar, 2003).
Pada pelaksanaan EPO dapat dilakukan evaluasi retrospektif, konkuren, maupun
prospektif. Evaluasi retrospektif adalah evaluasi dari terapi obat yang sudah
dikonsumsi oleh pasien. Evaluasi retrospektif digunakan dalam penelitian
33
dan dapat menyajikan selama periode waktu yang diperpanjang. Sumber utama
data adalah rekam medik dan evaluasi ini tidak memiliki dampak langsung pada
pasien. Evaluasi konkuren adalah evaluasi terapi obat selama pasien masih
menerima pengobatan. Pengkajian konkuren merupakan pengkajian kontemporer
atau perawatan yang sedang diberikan kepada pasien. Pada evaluasi konkuren,
terdapat kemungkinan dilakukannya tindakan perbaikan selama pasien dirawat dan
kemungkinan terapi obat pasien diubah. Diperlukan konsultasi diplomatis dan
tegas oleh apoteker kepada dokter. Evaluasi prospektif adalah evaluasi sebelum
penulisan, dispensing, pemberian obat, dan adanya antisipasi hasil dari tindakan
tersebut. Pada evaluasi prospektif terdapat kemungkinan perubahan terapi sebelum
pasien menerima terapi yang telah direncanakan sebelumnya.
EPO dilaksanakan melalui beberapa tahap, meliputi membentuk tim EPO dan
menunjuk penanggung jawab, mengkaji data pola penggunaan obat menyeluruh
(secara kuantitatif); mengidentifikasi obat dan golongan obat tertentu untuk
dipantau dan dievaluasi; mengembangkan kriteria
Penggunaan obat (KPO); mengumpulkan dan mengorganisasikan data;
mengevaluasi penggunaan obat dengan mengacu pada (KPO); mengambil tindakan
untuk solusi masalah atau menyempurnakan penggunaan obat; mengkaji
keefektipan tindakan yang diambil dan membuktikan penyempurnaan; dan
mengkomunikasikan informasi kepada individu dan kelompok yang tepat di dalam
rumah sakit (Siregar, 2006).
34
2. 2 Golongan Obat Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas glukokortikoid dan
mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat beragam yang
meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid,efek terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai
sistem dalam tubuh. Namun, secara umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na,
efek terhadap metabolisme karbohidrat dan efek antiinflamasi(Goodman &
Gilman, 2011). Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan
banyakdigunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang
bekerjasecara topikal maupun secara sistemik (Yunus, 2011). Kortikosteroid
mengurangijumlah sel inflamasi di saluran napas, termasuk eosinofil, limfosit T,
sel mast dansel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat penarikan sel
inflamasi kesaluran napas dan menghambat keberadaan sel inflamasi di saluran
napas. Olehkarena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum
luas, sehinggaberdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi
kebocoran vaskular,penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-
adrenergik (Ikawati, 2006).
Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma belum diketahui dengan pasti. Salah
satu teori mengemukakan bahwa kortikosteroid dapat membentuk makrokortin dan
35
lipomodulin yang bekerja menghambat fosfolipase A2 membentuk leukotrien,
prostaglandin, tromboksan, dan metabolit asam arakidonatlain. Mekanisme kerja
steroid yang lain adalah menghalangi pembentukan mediator oleh inflamasi,
menghalangi pelepasan mediator dan menghalangirespon yang timbul akibat
lepasnya mediatur (Yunus, 2011).
2. 3 Asma Bronkhial
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hiperreaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan
rasa berat di dada terutama pada malam atau dini hari yang umumnya bersifat
reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian (Depkes, 2009).
A. Epidemiologi
Asma terjadi pada kurang lebih 300 juta penduduk dunia. Berdasarkan Global
Strategy for Asthma Management and Prevention, prevalensi asma sebesar 1-18%
populasi di berbagai negara (GINA, 2016). Berdasarkan data Riskesdas 2013
terdapat 18 provinsi yang mempunyai prevalensi melebihi angka nasional, 5
36
provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah 7,8%, Nusa Tenggara Timur 7,3%, DI
Yogyakarta 6,9%, Sulawesi Selatan 6,7%, dan Kalimantan Selatan 6,4%. Dari data
Riskesdas 2013 juga didapatkan data bahwa umur 25-34 tahun mempunyai
prevalensi asma tertinggi yaitu sebesar 5,7% dan umur <1 tahun memiliki
prevalensi asma terendah sebesar 1,5%. Di Rumah Sakit Umum Sumedang sendiri
terjadi peningkatan prevalensi asma dari tahun 2015 sampai tahun 2016 terjadi
peningkatan sebesar 1,15%
B. Etiologi
Serangan akut umumnya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus,
seperti infeksi virus atau alergen. Selain itu, asma dapat pula dicetuskan oleh cuaca
dingin, kegiatan jasmani, gastroesofageal refluks, dan ketidakstabilan emosi
(psikis) (Wardhani, 2012).
C. Patofisiologi
Sempitnya saluran napas pada asma merupakan hal umum yang merupakan
pemicu gejala dan perubahan fisiologi. Faktor yang mempengaruhi penyempitan
saluran napas antara lain kontraksi otot polos yang diakibatkan oleh mediator yang
menyebabkan bronkokontriksi saluran napas dan neurotransmiter yang berperan
dalam penyempitan saluran napas. Pada serangan asma juga terjadi edema saluran
napas. Adanya edema pada saluran napas meningkatkan microvaskular leakage
sebagai respon dari mediator inflamasi. Keadaan ini merupakan hal penting pada
37
keadaan eksaserbasi. Selain itu juga terjadi hipersekresi mukus yang dapat memicu
terjadinya penyumbatan luminal akibat peningkatan jumlah sekresi mukus dan
eksudat inflamasi.
Hiperresposivitas saluran napas merupakan karakteristik fungsional
abnormal dari asma. Adanya hiperresponsivitas menyebabkan sempitnya saluran
napas. Saluran napas yang sempit berdampak pada terbatasnya aliran udara dan
gejala yang bersifat sementara. Hiperresponsivitas saluran napas berhubungan
dengan terjadinya inflamasi dan perbaikan saluran napas. Keadaan tersebut dapat
kembali normal dengan adanya terapi.
Mekanisme terjadinya hiperresponsivitas saluran napas antara lain kontraksi otot
polos saluran napas. Pelepasan mediator inflamasi, penebalan dinding saluran
napas yang terjadi akibat adanya edema dan perubahan struktural. Saraf sensori
yang tersensitisasi oleh adanya inflamasi menyebabkan eksagregasi
bronkokontriksi sebagai respon dari stimulus.
Pada kondisi asma, beberapa sel inflamatori dan mediator
mengkarakterisasikan adanya perubahan patofisiologi. Inflamasi saluran napas
bersifat persinten dengan gejala episodik. Pada sebagian besar pasien, inflamasi
terjadi pada saluran pernapasan bagian atas dan hidung namun hal tersebut
dikatakan mengecilnya ukuran bronkial. Karakteristik inflamasi karena adanya
alergi yang juga ditemukan pada asma, yaitu teraktivasinya sel mast, peningkatan
38
jumlah eosinofil, dan meningkatnya reseptor sel T yang berperan dalam pelepasan
mediator yang menyebabkan terdapatnya gejala (Dipiro, 2014).
Aktivitas sel mast menyebabkan pelepasan mediator bronkokontriktor seperti
histamin, leukotrien, prostaglandin. Sel mast aktif karena adanya alergen yang
berikatan dengan reseptor IgE. Meningkatnya jumlah sel mast menyebabkan
hiperresponsivitas jalan udara.
Ketika terdapat ikatan antara alergen dengan reseptor IgE, makrofag alveolar
meningkat dan aktif kemudian membebaskan mediator inflamasi seperti faktor
pembekuan darah, leukotrien, neutrofil, dan eosinofil yang memperkuat proses
inflamasi. Neutrofil meningkat pada jalan napas dan sputum pasien asma.
Eosinofil bermigrasi ke dalam jalan udara dan membebaskan mediator inflamasi
(leukotrien dan protein granul), mediator sitotoksik, dan sitokin.
Alergen pada jalan udara yang bermigrasi ke nodus limfa berinteraksi dengan sel T
dan menstimulasi produksi TH1 dan TH2 (TH1 : berperan dalam pertahanan
selular).
Pada pasien asma, saat serangan asma terjadi perubahan struktur saluran napas,
fibrosis subendotelial. Fibrosis subendotelial terlihat dari terjadinya deposisi serat
kolagen dan proteoglikan di bawah membran. Fibrosis juga terjadi diluar dinding
saluran napas yang disertai dengan deposisi kolagen dan proteoglikan.
39
Saat asma aktivitas otot saluran napas meningkat. Terjadi hipertopi
(peningkatan ukuran sel) dan hyperplasia (peningkatan divisi sel) serta
peningkatan ketebalan dinding saluran napas. Proses ini terjadi karena adanya
mediator inflamasi. Pembuluh darah pada saluran napas juga turut berperan serta
dalam penebalan dinding saluran napas dengan adanya proliferasi vaskulas
endothelial growth factor. Peningkatan jumlah sel epitelium saluran napas dan
peningkatan kelenjar submukosa menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus
(Dipiro, 2014).
D. Faktor Resiko
Resiko berkembangnya asma disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor
penjamu (host) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu antara lain predisposisi
genetik asma, alergi, preaktivitas bronkus, jenis kelamin, ras/etnik. Faktor
lingkungan di bagi menjadi dua, yaitu faktor lingkungan individual dengan
kecenderungan/preposisi asma untuk berkembang menjadi asma dan faktor
lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan menyebabkan gejala asma
menetap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan preposisi asma
untuk berkembang menjadi asma antara lain alergen di dalam maupun di luar
ruangan, seperti alergen binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara di luar maupun di dalam
ruangan, virus, diet, obesitas, maupun faktor keturunan. Sedangkan faktor
lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala asma
40
menetap adalah alergen di dalam maupun di luar ruangan, polusi udara di luar
maupun di dalam ruangan, infeksi pernapasan, olah raga, hiperventilasi, perubahan
cuaca, makanan, zat tambahan makanan (pengawet, penyedap, pewarna makanan),
obat-obatan seperti asetil salisilat, ekspresi emosi yang berlebihan, asap rokok dan
iritasi seperti parfum, bau-bauan yang merangsang (Depkes, 2009).
E. Klasifikasi Asma
Berdasarkan timbulnya gejala, asma digolongkan sebagai asma akut dan asma
kronik. Asma akut terjadi disaat timbulnya serangan dan bersifat tidak terkendali.
Serangan asma dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Derajat
serangan juga menentukan terapi yang diterapkan. Sedangkan asma kronik
merupakan asma tanpa serangan namun terdapat episode dispnea disertai mengi,
pasien mengeluh sakit dada, batuk terutama pada malam hari, hal tersebut secara
spontan atau berhubungan dengan alergen tertentu. Asma kronik dibagi menjadi
empat berdasarkan tingkat keparahannya yaitu mild intermiten, mild pesisten,
moderate pesisten, dan severe persisten. NAEPP merekomendasikan pengobatan
asma sesuai tingkat keparahan tersebut.
41
Tabel 2.1
Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Secara Umum Pada Orang Dewasa
Derajat
Asma
Gejala
Gejala
Malam
Fungsi Paru
I. Intermiten
(Bulanan)
Gejala
<1x/minggu
tanpa gejala
diluar serangan
≤ 2 kali
bulanan
Variabilitas APE
< 20% VEP1
≥80% nilai prediksi
APE ≥80% nilaiterbaik
42
Serangan
Singkat
II. Persisten ringan
(Mingguan)
Gejala
>1x/minggu
tetapi <1x/hari
serangan dapat
mengganggu
aktifitas dan tidur
> 2 kali sebulan Variabilitas APE
20 – 30%
VEP1 ≥80% nilai prediksi
APE 80% nilai terbaik
III. Persisten Sedang
(Harian)
Gejala setiap hari
serangan mengganggu
aktifitas dan tidur
membutuhkan
bronkodilator
setiaphari
> 2 kali sebulan Variabilitas
APE > 30%
VEP1 60 – 80%
nilai prediksi
APE 60 – 80%
nilai terbaik
43
IV. Persisten Berat
(Kontinyu)
Gejala terus menerus
sering kambuh
Aktifitas fisik terbatas
Sering Variabilitas
APE >30%
VEP1 ≤60%
nilai prediksi
APE ≤60%
nilai terbaik
Sumber : Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Departemen Kesehatan RI., 2009.
F. Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala awal serangan asma berupa batuk terutama pada malam hari
atau dini hari, sesak napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien
menghembuskan napasnya. Mengi terjadi karena adanya obstruksi bronkus akibat
inflamasi dan hiprreaktivitas bronkus. Selain itu gejala lainnya ialah rasa berat di
dada dahak sulit keluar.
Gejala yang berat merupakan keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Gejala
asma berat meliputi serangan batuk yang hebat, sesak napas yang berat dan
tersengal-sengal, sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), sulit
tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk, dan kesadaran
menurun (Dipiro, 2014).
44
G. Diagnosis
Secara umum, untuk menegakkan diagnosis asma diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dilakukan untuk
menelusuri gejala yang dialami pasien, faktor-faktor pemicu serangan serta riwayat
penyakit diri dan keluarga. Dari pemeriksaan fisik dapat diketahui adanya
kelainan. Tanda-tanda penyakit asma dan penyakit alergi lainnya perlu
diperhatikan. Tanda khas pasien asma adalah mengi namun sebagian pasien tidak
mengalami mengi disaat tidak adanya serangan. Pada kondisi asma berat dimana
pasien dalam keadaan sianosis dan kesadaran menurun mengi tidak terdengar.
Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan
pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometer, pemeriksaan arus puncak
ekspirasi dengan alat peak flow rate meter, pengujian reversibilitas, pengujian
provokasi bronkus untuk melihat keberadaan aktivitas bronkus, uji alergi, dan foto
toraks untuk melihat keadaan paru (Depkes, 2009).
H. Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan Asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, agar kualitas hidup meningkat
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
45
4. Mempertahankan aktivitas normal termasuk latihan jasmani dan aktivitas
lainnya
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara ireversibel
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2 golongan
yaitu:
1) Penatalaksanaan Asma Akut
Serangan akut adalah keadaan darurat dan membutuhkan bantuan medis
segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit/gawat
darurat. Kemampuan pasien untuk mendeteksi dini perburukan asmanya sangat
penting, agar pasien dapat mengobati dirinya sendiri saat serangan di rumah
sebelum ke dokter. Dilakukan penilaian berat serangan berdasarkan riwayat
serangan, gejala, pemeriksaan fisis dan bila memungkinkan pemeriksaan faal
paru, agar dapat diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak
diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium yang dapat
menyebabkan keterlambatan dalam pengobatan/tindakan.
2) Penatalaksanaan Asma Kronik
Pasien asma kronik diupayakan untuk dapat memahami sistem penanganan
asma secara mandiri, sehingga dapat mengetahui kondisi kronik dan variasi
keadaan asma. Antiinflamasi merupakan pengobatan rutin yang bertujuan
mengontrol penyakit serta mencegah serangan dikenal sebagai pengontrol,
46
bronkodilator merupakan pengobatan saat serangan untuk mengatasi
eksaserbasi/serangan, dikenal pelega. Dengan dilaksanakannya penatalaksanaan
asma, diharapkan penanganan asma terkontrol (Rengganis, 2008).
Tabel 2.2
Tingkatan Asma Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol
Sebagian
Tidak terkontrol
Gejala harian Tidak ada (dua kali
atau kurang
perminggu)
Lebih dari dua kali
seminggu
Tiga atau lebih
gejala dalam kategori
asma terkendali
sebagian, muncul
sewaktu-waktu dalam
seminggu
47
Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu- waktu
dalam seminggu
Gejala
noktural/gangguan tidur
Kebutuhan akan reliver
atau terapi rescue
Tidak ada
Tidak ada (dua kali
atau kurang dalam
seminggu)
Sewaktu- waktu
dalam seminggu
Lebih dari dua kali
seminggu
Fungsi paru Normal <80% perkiraan atau
dari kondisi terbaik
bila diukur
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih
dalam setahun
Sekali dalam seminggu
Sumber : GINA 2010
I. Terapi Asma
Terapi asma dapat diberikan secara farmakologi maupun non-farmakologi.
Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan sanitasi rumah,
tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung alergen, menghindari makanan
berbulu, menghindari obat-obat pencetus asma, menghindari udara dingin dan asap
pembakaran, rehabilitasi/latihan pernapasan. Asma akut adalah episodik
48
perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Kemampuan pasien untuk
mendeteksi dini perburukan asmanya adalah penting, agar pasien dapat mengobati
dirinya sendiri saat serangan di rumah sebelum ke dokter, apabila tidak ada
perbaikan pasien dianjurkan segera ke fasilitas kesehatan. Penanganan diusahakan
segera dan disesuaikan dengan derajat asma. Penilaian beratnya serangan
berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya
pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan
cepat. Pada serangan ringan obat yang diberikan hanya β2-agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak mungkin dapat diberikan
secara sistemik.
Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada
serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada
serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, β2 agonis kerja cepat,
kortikosteroid IV, dan Aminofillin IV. Sedangkan pada asma kronik tujuan untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan.
Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi edukasi, obat asma (pengontrol dan
pelega) dan menjaga kebugaran. Obat pelega diberikan pada saat serangan asma,
sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus (Depkes, 2009).
49
Bronkodilator pada asma diberikan sebagai pembuka saluran napas dan
memfasilitasi pernapasan dengan mengurangi bronkospasmus dengan cara
merelaksasi otot polos pada bronkial. Beberapa obat yang bekerja sebagai
bronkodilator antara lain obat-obatan simpatomimetik seperti metaprotenol,
albuterol, terbutalin, isotarin, pirbuterol, salmetrol, obat-obat β2-agonis, dan obat-
obat yang merelaksasi otot polos disepanjang saluran pernapasan. Sedangkan anti
inflamasi digunakan sebagai pengontrol/pengendali asma (Depkes, 2007).
Tabel 2.3
Daftar Obat Pelega dan Pengontrol Asma
Jenis Obat Golongan Nama Generik
Bentuk/Kemasan
Obat
Pengontrol
(Antiinflamasi)
Steroid inhalasi Flutikason IDT
propionat IDT
Budenosid Turbuhaler
Antileukotrien Zafirlukas Oral
Kortikosteroid
sistemik
Metilprednisolon (tablet)
Prednison Oral
50
Agonis β2 kerja Prokaterol (injeksi)
Panjang Formoterol Oral
kombinasi steroid
dan agonis β2 kerja
panjang
Salmeterol Oral
Flutikason +
Salmeterol
Turbuhaler
IDT
Budenoside +
formoterol
IDT
Turbuhaler
Pelega
(Bronkodilator)
Agonis β2 kerja
Panjang
Salbutamol Oral, IDT,
rotacap,
Terbutalin Solution
Oral, IDT,
Turbuhaler
Antikolinergik Prokaterol Solution
Metilsantin Fenotreol Ampul
Ipatropium (injeksi)
51
Bromida IDT
Kortikosteroid
sistemik
Teofilin IDT, solution
Aminofilin IDT, solution
Teofilin lepas Oral
Lambat Oral
Metilprednisolon Oral, inhaler
prednison Oral
Sumber : Pedoman Pengendalian Penyakit Asma, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia., 2009.
Terdapat 7 kelas agen teurapeutik yang diindikasikan dalam penanganan asma
yaitu : β2-agonis, kortikosteroid, modifikasi leukotrien, kromolin dan nedokromil,
metilxantin, inhibitor IgE, antikolinergik.
1) β2-agonis
β2-agonis merupakan bronkodilator yang aman dan efektif dengan bekerja
mengaktivasi reseptor β2-agonis sehingga merelaksasi otot polos. β2-agonis dibagi
menjadi 2, yaitu β2-agonis kerja diperlama (salmeterol dan furmeterol) digunakan
bersama dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala
yang timbul pada malam hari. Obat ini dipengaruhi untuk mencegah
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. β2-agonis kerja singkat
52
(albuterol, botilterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk
menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi latihan fisik
(Depkes, 2007).
2) Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal.
Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, otot dan resisten
tubuh. Kortikosteroid banyak digunakan dalam pengobatan radang dan
imunologik. Dalam pemberian hormon ini dengan dosis farmakologi tidak hanya
memberikan efek antiinflamasi dan imunosupressif tetapi juga memberikan efek
yang merugikan. Kortikosteroid merupakan obat yang sangat efektif digunakan
dalam pengobatan penyakit asma karena dapat menghalangi respon peradangan
dan dapat mengurangi gejala penyakit asma (Latif, 2006).
Mekanisme kerja kortikosteroid pada asma Glukokortikoid tidak secara
langsung merelaksasi otot polos sehingga mempunyai efek yang kecil pada
bronkokontriksi akut. Efek antiinflamatorinya pada asma meliputi modulasi
produksi sitokin dankemokin; menghambat sintesis eikosanoid;
menghambat akumulasi basofil, eosinofil, dan leukosit lain dalam paru-
paru; dan menurunkan vermeabilitas vaskular. Karena kerja
antiinflamatorinya yang menyeluruh dan menonjol, glukokortikoid
merupakan obat yang paling efektif untuk pengobatan asma. (Goodman &
Gilman, 2011).
53
Efek samping kortikosteroid
1. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit : Edema, hipokalemic
alkalosis, hipertensi, hiperglikemia.
2. Bisa mengaktifasi infeksi laten, pada penderita-penderita dengan infeksi
pemberian glukokortikoid hanya diberikan bila sangat dibutuhkan dan
harus dengan perlindungan pemberian antibiotik yang cukup.
3. Ulkus pepticum
Hubungan antara glukokortikoid dan terjadinya ulkus peptikus masih
belum diketahui, namun mungkin melalui efek glukokortikoid yang
menurunkan perlindungan terhadap selaput lendir lambung (mucous
barrier), mengganggu proses penyembuhan jaringan dan meningkatan
produksi asam lambung dan pepsinogen dan mungkin oleh karena
hambatan penyembuhan luka-luka oleh sebab lain.
4. Myopati
Terjadi karena pemecahan protein otot-otot rangka yang dipakai sebagai
substrat pembentukan glukosa. Myopati ditandai dengan kelemahan
otot-otot bagian proksimal tangan dan kaki. Pada penderita asma
54
pemberian glukokortikoid pada keadaan ini dapat memperburuk
keadaan jika terjadi pada otot pernapasan.
5. Perubahan tingkah laku seperti : nervous, insomnia, euphoria,
psychosis
6. Pada mata, katarak dan glaukoma
7. Osteoporosis
Osteoporosis dan fraktur kompresif sering terjadi pada penderita yang
mendapat terapi glukokortikoid dalam jangka lama.
8. Gangguan pertumbuhan
Glukokortikoid jenis fluorinated (deksametason, betametason,
beklometason, triamsinolon) dapat menembus barrier placenta, oleh karena
itu walaupun pemberian glukokortikoid antenatal dapat membantu
pematangan paru dan mencegah RDS namun tetap harus waspada terhadap
kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan/perkembangan janin.
(Latif, 2006)
Kortikosteroid digunakan dengan dosis bertahap. Apabila dosis awal yang
diberikan tidak mampu menangani asma maka dosis harus ditingkatkan
perlahan, begitu pula saat akan menghentikan penggunaannya. Salah satu
metode untuk menurunkan
55
Dosis inhalasi kortikosteroid adalah dengan mengkombinasikan dengan β2-
agonis seperti salmeterol dan formoterol. Terapi kombinasi lebih efektif
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan eksaserbasi akut.
3) Modifikasi leukotrien
Mekanisme kerja pada asma obat yang memodifikasi leukotrien bekerja
sebagai antagonis kompetitif reseptor leukotrien atau dengan menghambat sintesis
leukotrien. Penggunaan obat ini terhadap pasien dengan asma ringan yang tidak
mendapat kortikosteroid. Pada umumnya memperlihatkan perbaikan fungsi
fulmoner sedang, tetapi tidak signifikan serta penurunan gejala dan eksaserbasi
asma. Golongan obat ini tidak diindikasikan untuk terapi bronkodilator cepat,
sehingga pasien diintruksikan untuk mendapat β-adrenergik kerja pendek sebagai
pengobatan penyelamatan.
4) Kromolin dan nedokromin
Obat ini menghambat pelepasan mediator dari sel mast bronkial; melawan
peningkatan aktivitas fungsional dalam leukosit yang didapat dari darah pasien
asma; menekan aktivitas peptida kemotaktik pada neutrofil, eosinofil dan monosit
manusia; menghambat refleks para simpatik dan refleks batuk; dan menghambat
aliran leukosit pada saluran napas pasien asma. Penggunaan obat ini untuk
56
mencegah serangan asma ringan sampai sedang dan tidak efektif untuk mengobati
bronkokontriksi yang sedang terjadi. Efek samping penggunaan kromolin antara
lain batuk dan bersin (Goodman & Gilman, 2011).
5) Metilxantin
Teofilin merupakan obat golongan metilxantin yang telah banyak digunakan
untuk menangani asma akut dan kronik. Teofilin berperan sebagan bronkodilator
dengan meningkatkan cAMP disertai dengan inhibisi fosfodiesterasi sehingga
merelaksasi otot polos. Teofilin digunakan sebagai bronkodilator bronkospasmus
sedang atau berat. Selain sebagai bronkodilator teofilin juga memiliki efek
antiinflamasi atau imunomodulator.
6) Inhibitor IgE
Pengobatan menggunakan inhibitor IgE relatif mahal dan memerlukan regular
serta observasi setelah injeksi diberikan. Inhibitor IgE mengikat IgE sehingga tidak
dapat berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast dan basofil sehingga mencegah
reaksi alergi. Terapi menggunakan obat ini hanya boleh digunakan oleh pasien
asma berat kronik yang tidak dapat dikontrol oleh terapi kombinasi agonis-β kerja
lama dengan inhalasi kortikosteroid dosis tinggi.
7) Antikolinergik
Obat-obat antikolinergik bekerja sebagai antagonis kompetitif asetilkolin yang
sangat berguna bagi pasien dengan gejala yang disebabkan oleh stimulus
57
asetilkolin yang berlebihan. Stimulus asetilkolin pada reseptor muskarinik
menyebabkan otot polos berkontraksi. Bronkodilatasi yang dihasilkan bersifat
lokal, pada tempat tertentu (Katzung, 2015).
2. 4 Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4,
rumah sakit mempunyai fungsi diantaranya:
1. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai dengan kebutuhan
medis.
2. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
3. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan (Undang-Undang
No.44/2009).
58
2. 5 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
IFRS didefinisikan sebagai suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah
sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang
apoteker yang memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku dan
kompeten secara profesional, tempat, atau fasilitas penyelenggaraan yang
bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan dan pelayanan kefarmasian.
Tugas instalasi farmasi rumah sakit meliputi:
1. Mengelola perbekalan farmasi melalui perencanaan, pengadaan, penyimpanan,
penyiapan, peracikan, pelayanan langsung dan pengendalian.
2. Menyediakan terapi obat yang optimal, pelayanan bermutu, dengan biaya
minimal.
3. Pengembangan pelayanan kefarmasian yang luas dan terkoordinasi dengan
baik dan tepat.
4. Melangsungkan pelayanan farmasi optimal.
5. Pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan etika
profesi.
6. Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).
7. Melakukan pengawasan sesuai aturan yang berlaku.
59
8. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan di
bidang farmasi.
Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
rumah sakit. Fungsi IFRS dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sebagai fungsi non
klinik dan fungsi klinik.
1. Fungsi farmasi non klinik adalah perencanaan, penetapan spesifikasi produk
dan pemasok, pengadaan, pembelian, produksi, penyimpanan, pengemasan dan
pengemasan kembali, distribusi dan pengendalian perbekalan kesehatan yang
beredar dan digunakan di rumah sakit. Secara keseluruhan fungsi farmasi non
klinik biasanya tidak secara langsung dilakukan sebagai bagian terpadu dan
segera dari pelayanan penderita serta lebih sering merupakan tanggung jawab
apoteker rumah sakit.
2. Fungsi farmasi klinik adalah fungsi yang secara langsung dilakukan sebagai
bagian terpadu dari perawatan penderita atau memerlukan interaksi dengan
profesional kesehatan lainnya yang secara langsung terlibat dalam pelayanan
penderita. Fungsi farmasi klinik mencakup fungsi farmasi yang dilakukan
dalam program rumah sakit yaitu: Pemantauan terapi obat (PTO), Evaluasi
penggunaan obat (EPO), penanganan bahan sitotoksik, pelayanan di unit
perawatan kritis, pemeliharan formularium, penelitian, pengendalian infeksi di
rumah sakit, sentral informasi obat, pemantauan dan pelaporan reaksi obat
merugikan (ROM), sistem formularium, Panitia Farmasi dan Terapi, sistem
60
pemantauan kesalahan obat, buletin terapi obat, program edukasi in service
bagi apoteker, dokter dan perawat, investigasi obat, dan unit gawat darurat.
(Permenkes No. 72/2016).
Definisi Kriteria inklusi adalah kriteria atau standar yang ditetapkan sebelum
penelitian atau penelaahan dilakukan. Kriteria inklusi digunakan untuk menentukan
apakah seseorang dapat berpartisipasi dalam studi penelitian atau apakah penelitian
individu dapat dimasukkan dalam penelaahan sistematis. Kriteria inklusi meliputi
jenis kelamin, usia, jenis penyakit yang diobati, pengobatan sebelumnya, dan kondisi
medis lainnya. Kriteria inklusi membantu mengidentifikasi peserta yang sesuai
sedangkan definisi Kriteria eksklusi atau kriteria pengecualian adalah kriteria atau
standar yang ditetapkan sebelum penelitian atau penelaahan. Kriteria eksklusi
digunakan untuk menentukan apakah seseorang harus berpartisipasi dalam studi
penelitian atau apakah penelitian individu harus dikecualikan dalam tinjauan
sistematis. Kriteria eksklusi meliputi usia, perawatan sebelumnya, dan kondisi medis
lainnya. Kriteria membantu mengidentifikasi peserta yang sesuai (Nursalam 2013).
61
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1 Metode Penelitian
Dalam metodologi telah dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan penelitian
mempunyai kebebasan untuk memiliki metode guna memperoleh suatu data. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan oleh sutrisno Hadi, Yaitu:
Baik buruknya suatu research sebagian tergantung dari pengumpulan data
research ilmiah bermaksud memperoleh bahan – bahan yang relevan, aktual dan
variabel, maka untuk memperoleh data seperti itu pekerjaan research menggunakan
tekhnik – tekhnik, prosedur, alat – alat serta kegiatan yang diandilkan.
Penelitian ini meliputi studi pustaka mengenai rumah sakit, IFRS, pelayanan
farmasi klinik yang berkaitan dengan evaluasi penggunaan obat, penyakit asma
bronkial pada pasien dewasa dan terapi farmakologinya.
Penelitian dilakukan secara studi observasional dengan rancangan deskriptif
analitik yang bersifat retrospektif, dengan mengkaji rekam medik pasien asma dewasa
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sumedang. Lembar resep digunakan sebagai sumber
informasi tambahan apabila keterangan pada rekam medik tidak mencukupi.
Pengkajian berupa pencatatan data identitas pasien, diagnosa, dan obat beserta dosis
yang diberikan. Penelitian dilanjutkan dengan analisis kuantitatif dan kualitatif
mengenai informasi yang telah dicatat dengan membandingkan data dengan kriteria
penggunaan obat yang terdiri dari indikasi, dosis, kontraindikasi, efek samping, dan
interaksi obat. Selanjutnya dilakukan pengorganisasian dan analisis data serta
pengambilan kesimpulan.
37
3. 2 Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan dilakukan untuk menetapkan kriteria pasien yang
diikutsertakan dalam penelitian. Pada studi pendahuluan, dilakukan penelusuran
informasi mengenai jumlah diagnosis asma dewasa Rawat Inap pada tahun 2018 dari
periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2018. Data studi pendahuluan didapat
dari bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Sumedang. Hasil studi penelitian ini
digunakan sebagai base line dalam pada penetapan pasien yang akan diikut sertakan
dalam penelitian.
3. 3 Penetapan Kriteria Pasien
Kriteria inklusi : Pasien dewasa rawat inap yang berusia > 17 tahun dan hanya
1 kali dalam 1 tahun (tanpa perulangan) dirawat di rumah sakit umum Sumedang.
Kriteria eksklusi : Pasien dewasa rawat inap yang tidak disertai penyakit
penyerta dan pasien asma bronkial yang menggunakan kortikosteroid inhaler.
3. 4 Penetapan Kriteria Obat
Obat yang dievaluasi memiliki kriteria antara lain obat yang efektif bila
digunakan pada pengobatan asma bronkial, obat yang jika tidak tepat penggunaannya
dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain kegagalan terapi dan meningkatnya
resiko efek samping. Obat yang dievaluasi adalah obat yang paling sering ditulis oleh
dokter dengan diagnosis asma bronkial yaitu obat golongan kortikosteroid.
3. 5 Penetapan Kriteria Penggunaan Obat
38
EPO dilakukan dengan membandingkan obat yang dituliskan pada resep
dengan kriteria/standar penggunaan obat yang digunakan sebagai acuan. Kriteria
penggunaan obat dibuat untuk obat golongan kortikosteroid untuk dievaluasi
berdasarkan acuan. Standar yang digunakan untuk menetapkan kriteria penggunaan
obat bersifat obyektif, tidak samar, mutakhir, disusun berdasarkan pengalaman klinik
dan disetujui staf medik, serta merefleksikan standar praktek medik. Kriteria
penggunaan obat meliputi indikasi, dosis, kontraindikasi, efek samping, dan interaksi.
Kriteria penggunaan obat disusun berdasarkan berbagai pustaka, baik pustaka primer,
sekunder, maupun tersier yang secara nasional dan internasional banyak digunakan.
3.6 Data dan Sumber Data
Data penelitian bersumber dari rekam medik periode 1 Januari sampai 31
Desember 2018. Secara umum dalam rekam medik tertulis identitas meliputi, nama,
usia, jenis kelamin, alamat pasien, tanggal kunjungan dengan diagnosis asma, dan
obat yang dituliskan dokter pada resep beserta dosisnya. Selain dari rekam medik,
data diambil dari penelusuran lembar resep pasien. Lembar resep pasien ditelusuri
apabila dosis obat tidak tertulis dalam rekam medik. Data yang diperoleh dicatat
dalam lembar pengambilan data yang dibuat oleh peneliti.
Adapun rumus yang peneliti ambil untuk sampel dari penelitian kuantitatif
kali ini yaitu:
Persentase Analisis Kuantitatif = X/100 . n
Keterangan:
X: Jumlah Pasien
n:Total Jumlah Pasien Secara Keseluruhan
39
3. 7 Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian diorganisasikan dan dianalisis secara
kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif mencakup pengumpulan,
pengorganisasian, dan pelaporan jumlah pasien berdasarkan tanggal kunjungan pasien
dengan diagnosa asma, jenis kelamin, kelompok usia, dan jumlah penggunaan obat
berdasarkan rute pemberian dan golongan obat yang diberikan. Analisis kualitatif
mencakup ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan dosis serta potensi
interaksi. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan kualitatif.
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Kuantitatif
4.1.1 Berdasarkan Jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Jenis Kelamin di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sumedang tahun 2018.
Jenis kelamin Jumlah pasien %
Laki-laki 39 33,05
Perempuan 79 66,94
Total 118 100,00
Keterangan : n = 118 pasien
Dari tabel 1 didapatkan data bahwa penderita asma bronkial yang dirawat inap
di Rumah Sakit Umum Sumedang tahun 2018 dilihat dari jenis kelamin lebih banyak
pasien perempuan yaitu sebanyak 79 pasien (66,94%) sedangkan pasien laki-laki
sebanyak 39 pasien (33,05%). Hasil penelitian ini sesuai dengan data Riskesdas tahun
54
2013 bahwa prevalensi asma pada perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-
laki. Hal ini disebabkan oleh ukuran rongga paru-paru pada laki-laki dewasa lebih
besar dibandingkan dengan perempuan dewasa (Wulandari E, 2011). Penelitian lain
menunjukkan bahwa asma dewasa lebih banyak pada perempuan sebanyak 45 pasien
(63,4%) daripada laki-laki sebanyak 26 pasien (36,6%) diduga adanya pengaruh
hormonal dan hiperesponsif jalan napas, diantaranya adalah adanya peranan psikis
premenstruasi pada perempuan dan hormon progesteron. Hormon progesteron
menyebabkan bronkokontriksi sehingga memicu serangan asma Katzung, Bertram G.
(2015).
4.1.2 Berdasarkan Umur
Tabel 4.2 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Umur di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018
Kelompok usia Jumlah pasien %
17 - 25 tahun 18 15,25
26 - 35 tahun 18 15,25
36 - 45 tahun 24 20,33
46 - 55 tahun 21 17,79
56 - 65 tahun 20 16,97
> 65 tahun 17 14,40
Total 118 100,00
Keterangan : n = 118 pasien
55
Pengelompokkan umur berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun
2009
Dari tabel 2 didapatkan data bahwa penderita asma bronkial yang dirawat inap
di Rumah Sakit Umum Sumedang tahun 2018 dilihat berdasarkan umur bahwa
penderita asma bronkial terbanyak ada pada rentang umur 36-45 tahun berjumlah 24
pasien (20,33%) sedangkan pada usia ≥ 45 tahun mulai menurun. Hal ini sesuai
dengan data Riskesdas tahun 2013 bahwa prevalensi asma pada usia ≥ 45 tahun
mulai menurun.
4.1.3 Berdasarkan Penggunaan Obat Kortikosteroid
Tabel 4.3 Distribusi Penggunaan Obat Kortikosteroid Pada Pasien Asma Bronkial
di Instalasi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018
Jenis Terapi Jumlah %
Terapi menggunakan 110 93,22
Kortikosteroid
Terapi tidak 8 6,77
Menggunakan
Kortikosteroid
Total 118 100,00
Keterangan : n = 118 pasien
Dari tabel 3 didapatkan data bahwa pasien asma bronkial yang menggunakan
terapi obat kortikosteroid sejumlah 93,22% sedangkan yang tidak menggunakan terapi
56
obat kortikosteroid sejumlah 6,77%. Hal ini menunjukan bahwa obat kortikosteroid
merupakan obat yang efektif untuk penatalaksanaan asma dengan mempertimbangkan
beberapa faktor yang meliputi dosis, indikasi, interaksi obat, efek samping obat, jenis
pemakaian obat dan jadwal pemakaian dalam penggunaan kortikosteroid (BPOM,
2000).
4.1.4 Berdasarkan Golongan Farmakologi
Tabel 4.4 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Golongan Farmakologi di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018
Golongan Farmakologi Jumlah %
Analgetik non narkotik, antipiretik,
antiinflamasi non steroid 22 1,51
Antialergi, obat untuk anafilaksis 189 13,01
Antiinfeksi
Sefalosforin 179 12,32
Makrolida 13 0,89
Penisillin 6 0,41
Kuinolon 47 3,23
Hormon, obat Endokrin lain dan
Kontrasepsi
Kortikosteroid (Glukokortikoid) 265 18,25
Obat untuk saluran napas
57
Antiasma 250 17,21
Obat batuk – Ekspektoran 11 0,75
Obat batuk – Mukolitik 163 11,22
Obat untuk saluran cerna
Antasida dan antiulkus 228 15,70
Antiemetika 34 2,34
Obat Kardiovaskular
Antihipertensi 32 2,20
Diuretik 13 0,89
Total R/ 1.452 100,00
Keterangan : n = 118 pasien
Penggolongan farmakologi obat berdasarkan DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional),
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013.
Dari tabel 4 menunjukkan penggunaan obat pada pasien asma 1.452 dari 118
pasien yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sumedang. Hal ini disebabkan karena
tiap pasien mendapatkan lebih dari satu obat. Dari tabel 4 juga didapatkan data
peresepan yang paling banyak adalah obat golongan kortikosteroid sejumlah 265 resep
atau sekitar 18,25% dari jumlah total seluruh obat yang diresepkan pada pasien asma
bronkial yang dirawat inap di Rumah Sakit Umum Sumedang selama tahun 2018.
4.1.5 Berdasarkan Rute Pemberian Obat
58
Tabel 4.5 Distribusi Pasien Asma Bronkial Berdasarkan Rute Pemberian Obat
Kortikosteroid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun
2018
Nama Obat Rute Jumlah %
Pemberian
Budesonid Inhalasi 4 1,40
Deksametason Oral 3 1,0
Parenteral 21 7,34
Metilprednisolon Oral 87 30,42
Parenteral 154 53,84
Triamsinolon Parenteral 19 6,64
Total R/ 286
100,0
0
Keterangan : n = 118 pasien
Dari tabel 5 didapatkan data bahwa pemberian obat kortikosteroid
berdasarkan rute pemberian paling banyak digunakan selama dirawat inap di Rumah
Sakit Umum Sumedang adalah rute pemberian secara parenteral yaitu dari obat
metilprednisolon 154 resep (53,84%) dan metilprednisolon oral sebanyak 87 resep (
30,42%). Rute pemberian secara parenteral paling banyak diberikan, hal ini
dikarenakan untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih cepat, sedangkan rute
pemberian obat secara oral digunakan pada obat-obatan yang tidak ditujukan untuk
menghasilkan respon segera dan pemberian obat kortikosteroid oral biasanya
59
diberikan pada pasien yang sudah diberi izin pulang sebagai terapi lanjutan pada saat
setelah menjalani rawat inap.
4.2 Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif bertujuan untuk menilai kesesuaian penggunaan obat
berdasarkan kriteria penggunaan obat yang telah ditetapkan. Masalah yang berkaitan
dengan penggunaan obat yang dianalisis meliputi ketepatan pasien, ketepatan
indikasi, kesesuaian dosis serta potensi interaksi obat. Efek samping obat tidak
dianalisis karena evaluasi efek samping memerlukan penelitian lebih lanjut dan tidak
ada data pendukung mengenai efek samping penggunaan obat.
Penggunaan obat secara rasional mengharuskan pasien menerima pengobatan
yang tepat sesuai dengan kebutuhan klinik, oleh karena itu untuk menjamin
penggunaan obat rasional diperlukan evaluasi penggunaan obat. Obat yang dievaluasi
penggunaannya adalah obat yang paling banyak ditulis dokter pada resep yaitu obat
golongan kortikosteroid. Obat yang dievaluasi pada analisis kualitatif dibatasi hanya
terhadap obat dengan pemberian secara parenteral dan secara oral, sedangkan
pemberian obat secara inhalasi tidak dilakukan evaluasi.
Evaluasi penggunaan obat dilakukan pada obat golongan kortikosteroid
dianggap penting karena inflamasi memiliki peranan penting dalam patogenesis asma
60
sehingga dibutuhkan obat antiinflamasi diantaranya adalah obat golongan
kortikosteroid.
Analisis kualitatif dilakukan terhadap data 110 pasien yang mendapatkan
terapi menggunakan obat kortikosteroid tanpa disertai penyakit penyerta serta yang
tidak menggunakan obat kortikosteroid inhaler. Triamsinolon parenteral tidak
dianalisis secara kualitatif karena penggunaan triamsinolon parenteral diberikan pada
pasien dengan diagnosa asma bronkial yang disertai penyakit penyerta.
4.2.1 Tepat Pasien
Suatu obat dikatakan tepat pasien jika pemilihan obat kortikosteroid tidak ada
kontraindikasi terhadap keadaan kondisi pasien.
Tabel 4.6 Distribusi Tepat Pasien Pada Pasien Asma Bronkial di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018.
Ketepatan Jumlah pasien %
Tepat pasien 110 100
Tidak tepat pasien 0 0
Total 110 100
Keterangan : n = 110 pasien, persentase dihitung dari kontraindikasi terhadap jumlah
penderita selama pengamatan.
61
Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada
semua pasien asma bronkial di rawat inap Rumah Sakit Umum Sumedang tahun 2018
sebanyak 110 pasien (100%).
4.2.2 Tepat Indikasi
Tabel 4.7 Distribusi Tepat Indikasi Pada Pasien Asma Bronkial Di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018.
Ketepatan Jumlah pasien %
Tepat Indikasi 110 100
Tidak tepat Indikasi 0 0
Total 110 100
Keterangan : n = 110 pasien, persentase dihitung berdasarkan ketepatan indikasi Asma
Bronkial terhadap jumlah penderita selama pengamatan.
Pasien dikatakan mendapat obat dengan indikasi yang sesuai apabila obat yang
diberikan sesuai dengan gejala yang timbul. Dari tabel 7 diketahui bahwa pemberian
obat sesuai dengan diagnosis yang dituliskan pada rekam medis dengan indikasi asma
bronkial dengan gejala gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen, sesak napas,
penumpukan sekret, wheezing, batuk serta penurunan kesadaran serta dilihat dari hasil
62
pemeriksaan penunjang foto toraks untuk menyingkirkan penyakit selain asma (Depkes,
2009). Obat diberikan sesuai dengan kesesuaian indikasi sebesar 100% .
4.2.3 Tepat Dosis
Pasien dikatakan mendapat dosis sesuai apabila dosis yang diberikan berada pada
rentang dosis lazim penggunaan dan tepat diberikan pada keadaan pasien tersebut dan
rentang dosis lazim sesuai dengan kriteria penggunaan obat. Pada analisis kesesuaian
dosis, pasien diasumsikan tidak memiliki gangguan hati ataupun gangguan ginjal.
Tabel 4.8 Distribusi Tepat Dosis Pada Pasien Asma Bronkial Di Instalasi Rawat
Inap Rumah Sakit Umum Sumedang Tahun 2018.
Nama Rute Tepat Dosis Tidak Tepat Dosis
Kortiko
Steroid Pemberian ∑R/ %
∑R/
%
Deksametas
on Oral 3 1,13
0 0,00
Parenteral 21 7,92 0 0,00
Metilpredni
solon Oral 87 32,83
0 0,00
Parenteral 154 58,11 0 0,00
Total 265 100,0 0 0,00
63
Keterangan : n = 110 pasien, % = perbandingan jumlah terhadap jumlah penggunaan
obat total 248 R/
Pada tabel 8 dikatakan tepat dosis apabila dosis obat kortikosteroid yang
diberikan sesuai dengan rentang terapi sesuai dengan Pharmaceutical Care
Penyakit Asma tahun 2007 dan disesuaikan dengan KPO. Berdasarkan perhitungan
dosis obat kortikosteroid yang dievaluasi dari 110 jumlah pasien yang diteliti
didapatkan tepat dosis sebanyak 100%, karena berada pada rentang dosis lazim
penggunaan obat. Pada asma kronis yang berat kortikosteroid dosis besar harus
segera diberikan secara intra vena (IV). Bila gejala mereda dapat diikuti dengan
pemberian secara oral. Dosis diturunkan secara bertahap, penghentian pengobatan
tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai risiko
insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien (Gunawan, 2012).
4.2.4 Potensi Interaksi
Interaksi obat merupakan suatu keadaan yang terjadi jika suatu obat
mengubah efek obat lainnya. Berdasarkan mekanisme kerjanya interaksi obat terbagi
dalam interaksi secara farmakokinetik meliputi interaksi pada proses absorpsi,
distribusi, metabolisme, eliminasi dan interaksi obat secara farmakodinamik meliputi
sinergisme, antagonisme, efek reseptor tidak langsung dan gangguan cairan dan
elektrolit. Faktor yang mempengaruhi interaksi obat adalah usia, berat badan,
kehamilan, obat dalam asi, variasi diurenal, toleran, suhu tubuh, kondisi fatologik,
64
waktu pemberian dan genetik. Karena interaksi tidak dapat diamati secara langsung
pada subjek penelitian, maka analisis hanya terbatas pada potensi interaksi obat
dengan asumsi obat yang memiliki potensi interaksi tersebut dikonsumsi bersamaan.
Tabel 4.9 Jumlah Potensi Interaksi Obat Kortikosteroid
Jumlah Potensi Interaksi Obat Kortikosteroid
Potensi Interaksi Jenis
Jumlah
% Obat I Obat II Interaksi
Deksametason Teofillin Moderat 14 14,73
Metilprednisolon Salbutamol Minor 16 16,87
Metilprednisolon Teofillin Moderat 57 60,00
Metilprednisolon Levofloksasin Mayor 8 8,42
Total 95 100
65
Dari tabel 9 terdapat 95 pasien yang berpotensi interaksi antara kortikosteroid
dengan obat lain. Kombinasi Deksametason + Teofillin sebanyak 14 pasien (14,73%),
kombinasi Metilprednisolon + Salbutamol sebanyak 16 pasien (16,87%), kombinasi
Metilprednisolon + Teofillin sebanyak 57 pasien (60,00%), dan kombinasi
Metilprednisolon + Levofloksasin sebanyak 8 pasien (8,42%). Penggunaan kombinasi
secara bersama antara Deksametason dengan Teofillin sebanyak 14 pasien (14,73%)
yang berpotensi interaksi secara farmakodinamik tingkat moderat, dimana
penggunaan bersama antara Deksametason dengan Teofillin dapat menyebabkan
hipokalemia (potasium darah rendah) dan meningkatkan kadar teofillin dalam plasma
atau menyebabkan toksisitas. Untuk mengatasi masalah penggunaan obat tersebut
disarankan pasien pantau kadar kalium darahnya dan apabila pasien mengalami
lemah, lesu bingung, kesemutan atau perasaan berat di kaki segera laporkan kepada
dokter kemungkinan telah mengalami hipokalemia dan bila perlu diberikan suplemen
kalium. Sedangkan apabila pasien mengalami mual, muntah, diare, sakit kepala,
gelisah, insomnia, dan detak jantung tidak teratur segera laporkan ke dokter
kemungkinan terjadi toksisitas mungkin memerlukan penyesuaian dosis atau tes
khusus untuk keselamatan penggunaan kedua obat tersebut. Penggunaan kombinasi
secara bersama antara Metilprednisolon dan Salbutamol sebanyak 16 pasien (16,87%)
yang berpotensi interaksi secara farmakodinamik tingkat minor, dimana penggunaan
bersama antara Metilprednisolon dengan Salbutamol dapat menyebabkan
hipokalemia. Secara klinis jumlah interaksi terbatas dan tidak memerlukan terapi
66
pengganti. Untuk mengatasi masalah penggunaan obat tersebut disarankan pasien
pantau kadar kalium darahnya dan apabila perlu diberikan suplemen kalium.
Penggunaan kombinasi secara bersama antara Metilprednisolon dengan
Teofillin sebanyak 57 pasien (60,00%) yang berpotensi interaksi secara
farmakodinamik tingkat mayor, dimana dapat menyebabkan hipokalemia serta dapat
terjadi peningkatan kadar teofillin dalam plasma atau dapat menyebabkan toksisitas.
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat tersebut disarankan pasien pantau kadar
kalium darahnya dan apabila pasien mengalami lemah, lesu bingung, kesemutan atau
perasaan berat di kaki segera laporkan kepada dokter kemungkinan telah mengalami
hipokalemia dan bila perlu diberikan suplemen kalium dan segera laporkan kepada
dokter. Sedangkan apabila pasien mengalami mual, muntah, diare, sakit kepala,
gelisah, insomnia, dan detak jantung tidak teratur segera laporkan ke dokter
kemungkinan terjadi toksisitas mungkin memerlukan penyesuaian dosis atau tes
khusus untuk keselamatan penggunaan kedua obat tersebut.
Kombinasi Metilprednisolon dan Levofloksasin terdapat 8 pasien (8,42%)
yang berpotensi terjadi interaksi secara farmakokinetik tingkat mayor. Penggunaan
bersama Metilprednisolon dengan Levofloksasin dapat meningkatkan resiko
tendinitis dan tendon pecah. Hal ini lebih mungkin terjadi pada orang dewasa yang
berusia lebih dari 60 tahun atau mereka yang telah menerima transplantasi ginjal, hati
dan atau paru-paru. Jika terdapat keluhan dapat mengusulkan penggunaan obat
alternatif yang tidak berinteraksi atau mungkin memerlukan penyesuaian dosis atau
67
pemantauan yang lebih sering pada penggunaan kedua obat dengan aman. Hentikan
penggunaan kombinasi Metilprednisolon dan Levofloksasin jika pasien mengalami
rasa sakit atau peradangan pada daerah tendon seperti bagian belakang pergelangan
kaki, bahu, tangan atau ibu jari (Stockley, 2010).
68
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Dari data hasil penelitian ini dapat disimpulkan mengenai gambaran
penggunaan kortikosteroid dan evaluasi penggunaan kortikosteroid pada pengobatan
asma yang dilakukan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Sumedang selama
tahun 2018 :
a. Kortikosteroid yang paling sering digunakan adalah Metilprednisolon
pemberian secara oral sebanyak 87 peresepan (30,42%), dan pemberian secara
parenteral sebanyak 154 peresepan (53,84%).
b. Keberhasilan penggunaan obat kortikosteroid berdasarkan tepat pasien, tepat
indikasi dan tepat dosis 100%, terdapat 95 pasien berpotensi interaksi antara
kortikosteroid dengan obat lain. Dan yang paling banyak berpotensi interaksi
adalah penggunaan Metilprednisolon dengan Teofillin sebanyak 57 pasien
(60,00%).
5.2. Saran
Dari penelitian yang dilakukan, dapat disarankan agar dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai evaluasi efek samping dari obat kortikosteroid, penulisan data
yang lengkap dan jelas dalam rekam medik, konseling yang lebih efektif antara
69
apoteker dengan pasien asma guna meningkatkan pemahaman pasien dalam hal
kepatuhan dan penggunaan obat asma.
70
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
BPOM. (2000). Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009). Undang-Undang No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan dan
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. (2009). Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R Matzke (Eds), B. G. Wells, and L. M.
Posey., (2014) Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach,9_E-
McGrow Hill Medical. epub.
Dyah.W.P., Uyainah Anna. Kapiat Selekta Kedokteran Edisi 4 2012 hal-163. Media
aesculapius.
Global Initiatif for Asthma. (2016). Global Strategy for Asthma Management and
Prevention, Cape Town: University of Cape Town Lung Institute.
71
Goodman and Gilman. (2011). Farmakologi dan Terapi. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Gunawan. Sulistia. G. (2012). Farmakologi dan Terapi. Departemen Farmakologi
dan Terapeutik. Universitas Indonesia, Jakarta.
Katzung, Bertram G. (2015). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10, Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta.
Nursalam. (2013)., Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
45
Rengganis. Iris. (2008). Diagnosis dan Tatalaksana
Asma Bronkial, Majalah Kedokteran
Indonesia, Vol 58, No 11.
Siregar, C. dan E. Kumolosari. ( 2006). Farmasi
Klinik Teori dan Penerapan, Penerbit EGC,
Jakarta.
Siregar, C. dan L. Amalia. (2003). Farmasi Rumah
Sakit Teori dan Penerapan, Penerbit EGC,
Jakarta.
Stockley. I. H., K. Baxter. (2010). Stockley’s Drug
Interactions, Pharmaceutical Press : London.
Wulandari. Erni. (2011). Pola Penggunaan Obat
untuk Penyakit Asma Pada Pasien Dewasa
46
di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.
MOEWARDI. Surakarta.
Yunus,f., 2011, Manfaat Kortikosteroid Pada
Asma Bronkial, Cermin Dunia Kedokteran,
PT Bintang Toedjoe, Jakarta.
47
Lampiran 1
AlgoritmaPenatalaksanaan Serangan Asma Di Rumah
48
49
Lampiran II
Algoritma Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit
50
51
52
Lampiran III
KRITERIA PENGGUNAAN OBAT PASIEN DEWASA DENGAN DIAGNOSIS ASMA
BRONKIAL
Golongan – Subgolongan : Kortikosteroid
1. Nama Obat : Dexametason
Indikasi Mekanisme Dosis kontraindikasi Efek samping interaksi
Kerja
Agen Mengurangi Dewasa Hipersensitivitas Badan terasa 1. Peningkatan
antiinflamasi Inflamasi Oral, I.M., lelah atau efek/ toksisitas :
53
atau Dengan I.V : 0,75 – lemas, sakit inhibitir
aminosupresan Menekan 9 mg / hari kepala, asetilchlorinase,
berbagai Migrasi dalam dosis keringat amfeterisine B,
penyakit neutrofil, terbagi tiap berlebihan, cyclosporin,
termasuk alergi, Penurunan 6 – 12 jam perubahan deferasirox,
dermatologi, Produksi suasana hati ifospamid,
endokrin, Mediator Seperti leflunomid,
hematologi, inflamasi, dan depresi, diuretik,
inflamasi, Sebaliknya mudah haus, natalizumab,
neoplastik sistem Peningkatan sering buang NSAID (COX-2
saraf, ginjal, Permeabilitas air kecil, nyeri inhibitor), NSAID
54
Lampiran III
Lanjutan
Indikasi Mekanisme Dosis kontraindikasi Efek samping interaksi
kerja
pernafasan, kapiler, otot, nyeri (non-selektif,
rhematik dan menekan respon pada sendi dan warfarin.
autoimun. imun normal. atau tulang, 2. Penurunan efek
sakit perut, : aldesieukin, agen
Rentan antidiabetes,
terhadap apixaban,
infeksi. aripiprazole,
55
imatinib,
isoniazid,
nifedipin,
nisoldipin,
verapamil,
praziquantel.
56
Lampiran III
Lanjutan
Golongan – Subgolongan : Kortikosteroid
2. Nama Obat : Metilprednisolon
Indikasi Mekanisme kerja Dosis kontraindikasi Efek samping Interaksi
Mengontrol Dalam jaringan secara Anti-inflamasi Hipersensitivitas Mual, muntah , 1. Peningkatan
alergi berat spesifik, kortikosteroid Atau nyeri ulu hati, efek/ toksisitas
atau alergi mengatur ekspresi imunosupresan : sakit perut, : inhibitir
yang tidak genberikutnya Dewasa gangguan asetilchlorinase
dapat untukmengikat reseptor Oral : 2-60 mg 1-4 pencernaan, , amfeterisine
57
ditangani intraselular spesifikdan kali sehari diikuti lemas, lelah, B, cyclosporin,
menggunakan translokasi ke oleh pengurangan Keringat leflunomid,
pengobatan nukleus.Kortikosteroid Bertahap berlebih, diuretik,
konvensional mengerahkan beragam I.M : 10-80 depresi, sulit natalizumab,
efek fisiologis termasuk mg/hari sekali tidur, NSAID (COX-
modulasi karbohidrat, Sehari menstruasi 2 inhibitor),
proteindan metabolisme I.V : 10-40 mg tidak teratur. NSAID (non-
lipid dan pemeliharaan dapat diulang selektif,
homeostasis cairan dan Sesuai warfarin.
elektrolit. kebutuhan30mg/k 2. Penurunan
kardiovaskular, g berat badan efek :
imunologi, diulang ≥ 30 menit aldesieukin,
58
Lampiran III
Lanjutan
Indikasi Mekanisme kerja Dosis kontraindikasi Efek samping Interaksi
muskuloskeletal, bila diperlukan agen
endokrin, dan
neurologis dosis dapat antidiabetes,
Fisiologis diulang 4 – 6 jam calsittriol,
dipengaruhioleh isoniazid,
kortikosteroid. salisilat,
Mengurangi inflamasi sipuleucel-T,
59
dengan menekan
migrasi telaprevir.
neutrofil, penurunan
produksi mediator
inflamasi, dan sebaliknya
Peningkatan
permeabilitas kapiler,
menekan respon imun
normal.
60
Lampiran III
Lanjutan
Golongan – Subgolongan : Obat untuk saluran nafas – Antiasma
3.Nama Obat : Albuterol/Salbutamol sulfat
Indikasi Mekanisme kerja Dosis Kontraindikasi Efek samping Interaksi
Meredakan dan Stimulasi reseptor Dewasa dan Hipersensitivitas Penurunan 1. Peningkatan
mencegah beta2 di bronki anak diatas pada albuterol nafsu makan efek/toksisitas :
bronkospasmus menyebabkan 12 tahun : atau pada nyeri pada atomoksetin,
pada pasien aktivitas dari 2-4 mg 2-3 komponen lain bagian perut inhibitor MAO,
61
dengan
gangguan adenilsiklase. kali sehari. pada formulasi memperburuk antidepresan,
saluran nafas Meningkatkan
diabetes
melitus trisiklik, zat
reversibel jumlah cyclic
dan ketoasidosis simpatomimetik
AMP yang
2. Penurunan
efek
berdampak pada : betahistin, alfa-
relaksasi otot bloker dan beta-
polos bronkial bloker
serta menghambat
Pelepasan
62
mediator
penyebab
Reaksi
hipersensitivitas
dari sel mast.
63
Lampiran III
Lanjutan
Golongan – Subgolongan : Obat untuk saluran nafas – Antiasma
4. Nama Obat : Teofillin
Indikasi Mekanisme kerja Dosis Kontraindikasi Efek samping Interaksi
Pengobatan Sebagai bronhodilator
16-60 tahun : Hipersensitivitas Mual, 1. Peningkatan
gejala dan memiliki 2 0,4 muntah, sakit efek/toksisitas :
obstruksi
jalan mekanisme kerja mg/kg/jam, kepala, detak formoterol,
64
nafas
dengan cara
relaksasi maksimal jantung cepat indacaterol,
reversibel otot polos dan 900 mg/hari atau tidak pancuronium,
akibat asma menekan stimulasi > 60 tahun : beraturan, simpatomimetik
kronis atau yang terdapat pada 0,3 insomnia, 2. Penurunan efek
penyakit paru jalan napas. Efek mg/kg/jam, diare, : benzodiazepin,
kronis lainnya Bronkodilatasi maksimal kehilangan carbamazepin,
disebabkan oleh 400 mg/hari nafsu makan. posphenytoin,
Adanya lithium,
penghambatan 2 phenytoin,
isoenzim yaitu regadenoson.
Phospodiesterase
65
(PDE III) dan (PDE
IV).
Lampiran III
Lanjutan
Golongan – Subgolongan : Antibiotik
5. Nama Obat : Levofloksasin
Indikasi Mekanisme Dosis Kontraindikasi Efek samping Interaksi
kerja
Infeksi sinusitis Menghambat Dewasa Hipersensitif terhadap Diare, mual, 1. Peningkatan
maksilaris DNA Gyrase Oral, I.V : levofloksasin dan vaginitis,
efek/ toksisitas
66
akut, :
eksaserbasi bakteri (DNA 500 mg tiap golongan kuinolon, pruritis, ruam kafein,
bakteri akut topoisomerase 24 jam epilepsi, riwayat ,nyeri perut, kortikosteroid
pada bronkitis II), sehingga selama 7
gangguan tendon
terkait genital sistemik,
kronik, terjadi hari atau Pemberian moniliasis, methotreksat,
pneumonia penghambatan 750 mg tiap
florokuinolon,kehamila
n pusing, sulfonilurea,
komunitas replikasi dan 24 jam dan menyusui. dispepsia,
teofillin,
agonis
(community- traskripsi DNA selama 5 insomnia,
vitamin k
dapat
acquired bakteri. Hari muntah, meningkatkan
67
pneumonia), anoreksia, konsentrasi
uncomplicated konstipasi, siprofloksasin.
skin dan skin edema, lelah, 2. Penurunan
structure sakit kepala, efek :
infections, palpitasi, berpotensi
infeksi saluran parentesis membentuk
iii
Lampiran III
Lanjutan
Indikasi Mekanisme Dosis Kontraindikasi Efek samping Interaksi
kerja
kemih sindrom kelat bersama
kompleks stevens- ion logam
(complicated johnson, (Al,Cu, Zn, Mg,
urinary tract vasodilatasi Ca) antasid
infection), dan tendon mengandung
pielonefritis rupture.
alumunium
dan
akut karena
magnesium
dan
mikroorganis
me obat yang
yang sensitif. mengandung
besi
menurunkan
absorbsi
levofloksasin.
LAMPIRAN IV
iv
Gambar kartu obat pasien RSUD sumedang
LAMPIRAN V
Gambar Aplikasi interaksi di RSUD sumedang