Tugas Mikro III - Om 1
Faktor Berpengaruh terhadap Perilaku Korupsi
Kasus Indonesia
Oleh Oswar Mungkasa
(Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro 3, 2002)
1. Pendahuluan
Korupsi merupakan penyakit paling parah yang menggerogoti
perekonomian negara-negara di dunia ketiga. Suatu kemustahilan
mengharapkan negara menjadi makmur ketika korupsi sudah dianggap
menjadi bagian dari suatu kehidupan bangsa.
Tingkat Korupsi yang demikian besar tentu saja akan berdampak
terhadap kondisi perekonomian. Salah satu contoh aktual adalah Nigeria.
Tahun 1985 pendapatan per kapita Nigeria mencapai 2.500 dollar AS. Namun,
sekarang tinggal 225 Dollar AS. Salah satu hasil studi Angang Hu (2000)1 dari
Center for China Study, Qinghua University menyebutkan bahwa kerugian
Cina akibat korupsi di berbagai proyek mencapai sekitar 3,4 sampai 4,5
persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya dampak korupsi
mengakibatkan kejahatan korupsi dianggap bukan tindak pidana biasa tetapi
merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka tingkat korupsi di
Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif sama jeleknya. Tidak ada data
yang pasti tentang besarnya korupsi di Indonesia, tetapi berdasar salah satu
indikator yang diakui secara internasional yaitu Corruption Perception Index
(CPI)2 yang dikeluarkan oleh Transparency International (TI) menempatkan
Indonesia pada peringkat ke-88 dari 91 negara yang dinilai. Posisi ini secara
substansial tidak beranjak dari tahun tahun sebelumnya (Kompas, 4
1 Hasil penelitian ini dikemukakan dalam makalahnya Corruption and Anti-corruption Strategies in China yang
disampaikan dalam Simposium Korupsi di Amerika Serikat pada bulan februari 2001. 2 Transparency International (TI) merupakan sebuah lembaga pemantau tingkat korupsi di berbagai negara yang berbasis di Berlin, Jerman. Sementara Corruption Perception Index 9CPI) dihitung berdasar persepsi pelaku bisnis, analis, dan orang yang berkepentingan dengan pemberantasan korupsi.
Tugas Mikro III - Om 2
Desember 2001). Sekalipun angka ini masih dipertanyakan validitasnya,
tetapi realitasnya menunjukkan kondisi yang relatif serupa.
Tentu saja banyak faktor yang dituding menjadi penyebab korupsi.
Kesemua faktor penyebab tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa
faktor berpengaruh dalam pengambilan keputusan korupsi dari sebuah
individu. Dalam makalah ini keseluruhan faktor penyebab tersebut
dikelompokkan dalam 3 (tiga) faktor berpengaruh terhadap kecenderungan
korupsi (atau tidak korupsi) yaitu tingkat gaji pegawai pemerintah, besarnya
pendapatan dari korupsi, besar/tingginya tingkat hukuman jika tertangkap,
dan kemungkinan (probabilitas) tertangkap.
Pemahaman terhadap mekanisme pengaruh dari faktor-faktor tersebut
dipercaya dapat membantu pengambil kebijakan (pada berbagai tingkatan
pemerintahan/institusi) dalam menerapkan strategi penanganan korupsi.
Memperhatikan hal tersebut di atas, maka maksud studi ini adalah
memberikan gambaran kecenderungan seseorang berperilaku korupsi
dengan memperhatikan faktor tingkat gaji pegawai negeri, kemungkinan
tertangkap, besarnya suap/hasil korupsi dan besarnya hukuman. Tujuan
studi adalah membangun sebuah model yang dapat memperlihatkan bentuk
hubungan antara (a) gaji pegawai negeri; (b) kemungkinan tertangkap; (c)
besarnya suap/hasil korupsi; dan (d) besarnya/tingginya hukuman terhadap
tingkat kecenderungan korupsi dari pelaku korupsi.
2. Korupsi: Penyebab dan Faktor Berpengaruh
2.1 Definisi dan Bentuk Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptus yang berarti mematahkan
atau memisahkan dan corrumpere atau merusak. Secara konsepsual, korupsi
adalah sebuah bentuk perilaku yang memisahkan diri dari etika, moralitas,
tradisi, hukum dan kebajikan sipil. Korupsi mencakup penyalahgunaan
kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam
masyarakat untuk maksud pribadi (Lubis, 1998). Definisi klasik Bank Dunia
Tugas Mikro III - Om 3
dan Dana Moneter Internasional (IMF), korupsi diartikan sebagai
penggunaan posisi pengambilan kebijakan publik untuk secara ilegal
memperoleh keuntungan pribadi/kelompok.
Sementara definisi lainnya adalah (a) Discretionary corruption, korupsi
yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan;
(b) Illegal corruption, suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan
maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu; (c) Mercenery
corruption, jenis tindak korupsi untuk kepentingan pribadi; (d) Ideological
corruption, korupsi illegal atau discretionery untuk kepentingan kelompok
(Benveniste, 1997).
Sedikitnya terdapat tujuh macam bentuk korupsi, yaitu (a) korupsi
transaksional, korupsi yang melibatkan kedua belah pihak; (b) korupsi
memeras, jika salah satu pihak terpaksa melakukan korupsi; (c) korupsi
ontogenik, hanya melibatkan yang bersangkutan; (d) korupsi defensif, jika
dilakukan untuk membela diri; (e) korupsi investasi, berupa pelaksanaan
tugas dengan harapan mendapat imbalan; (f) korupsi nepotisme, pemberian
keistimewaan pada keluarga/teman/relasi; (g) korupsi suportif, tidak terlibat
langsung tapi memberi peluang atau pura-pura tidak tahu (Noeh, 1997).
2.2 Dampak Korupsi
Dampak korupsi dapat dibedakan atas dampak negatip dan positip.
Dampak negatip yaitu (a) Menggagalkan pencapaian tujuan pelaksanaan
pembangunan; (b) Kenaikan biaya administrasi; (c) Jika dalam bentuk komisi,
akan mengurangi alokasi dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan
masyarakat umum; (d) Berpengaruh buruk pada mental pegawai; (e)
Menurunkan kredibilitas pemerintah. Sementara dampak positip adalah (a)
Hasil korupsi sebagian terbesar dipergunakan untuk investasi; (b)
Meningkatkan kualitas pegawai; (c) Perekrutan yang berlandaskan nepotisme
akan melipatgandakan jumlah pegawai, yang berakibat mengurangi jumlah
pengangguran (Lubis,1998).
2.3 Faktor Penyebab
Tugas Mikro III - Om 4
Faktor penyebab korupsi, dapat dikategorikan sebagai (a) rendahnya
tingkat kesejahteraan pegawai dan sistem penerimaan pegawai. Dampak
sistem penerimaan pegawai yang baik (merit-system) diteliti oleh Evans and
Rauch [1996] di 35 negara berkembang. Hasilnya menunjukkan bahwa sistem
yang baik mengurangi tingkat korupsi. Pengaruh tingkat gaji pegawai
pemerintah diteliti oleh Rijckeghem and Weder (1997) yang menemukan
bahwa perbedaan gaji pegawai pemerintah relatif terhadap gaji swasta
berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi. Meningkatkan gaji pegawai
pemerintah sebesar dua kali lipat akan memperbaiki CPI sebanyak 2 point
(Lambsdorff, 2000); (b) faktor kultural. Budaya patron-client dalam birokrasi,
dan pendekatan kekeluargaan/perkawanan dalam pengambilan keputusan
merupakan bentuk budaya yang mendorong terjadinya korupsi. Pada
beberapa komunitas, tingkat kepercayaan diantara masyarakat masih tinggi.
La Porta et al. [1997: 336] menyatakan bahwa kepercayaan dapat membantu
mengurangi tingkat korupsi karena dapat membantu pegawai pemerintah
bekerjasama lebih baik diantara mereka dan dengan masyarakat umum. Hasil
ini berdasar pada penelitian di 33 negara (Lambsdorff, 2000); (c) kurang
efektifnya sistem pengawasan; (d) lemahnya penegakan hukum Berdasar
World Development Report (1997) yang terfokus pada kualitas hukum
menunjukkan penegakan hukum mempengaruhi tingkat korupsi di 59
negara; (e) kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
penanggulangan korupsi. Brunetti and Weder (1998) menunjukkan bahwa
keterbukaan, demokrasi, kebebasan pers, dan partisipasi masyarakat
merupakan faktor efektif mengurangi tingkat korupsi (Lambsdorff, 2000)
Menurut Huntington (1968) dalam buku klasiknya tentang
pembangunan politik, mengutarakan beberapa kondisi yang menguntungkan
timbulnya korupsi yaitu (a) korupsi cendrung meningkat dalam suatu
periode pertumbuhan serta modernisasi yang cepat, karena perubahan nilai-
nilai, sumber-sumber baru kekayaan dan kekuasaan, dan perluasan
pemerintahan; (b) Negara dengan keragaman stratifikasi sosial, lebih banyak
Tugas Mikro III - Om 5
polarisasi kelas, dan lebih banyak kecenderungan feodal, korupsi cenderung
berkurang; (c) Apabila banyak perusahaan asing di suatu negara maka
korupsi cenderung meningkat; (d) semakin partai politik kurang berkembang
mekar, semakin meluas korupsinya, lantaran lemahnya kontrol (Klitgaard,
1998).
Menurut Rijckeghem (1997)3, keseluruhan faktor penyebab korupsi di
atas dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori yaitu tingkat gaji (w),
ketidakmemadaian pengawasan (p), tingkat/besarnya hukuman (f), besarnya
distorsi ekonomi, dan faktor lainnya (Rijckeghem, 1997).
3. Pengaruh Kemungkinan Tertangkap, Besarnya Korupsi dan
Hukuman terhadap Kecenderungan Korupsi
3.1 Tinjauan Teoritis
Model dalam makalah ini dijiwai oleh ‘Shirking Model’ (Shapiro dan
Stiglitz, 1984) dan dibangun dari hasil kerja Becker dan Stigler (1974), yang
mengasumsikan bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’.
Perilaku korupsi jika tertangkap dihukum dalam bentuk dipecat, sehingga
pejabat dengan pendapatan besar cenderung menjadi kurang korup. Ketika
tingkat suap tinggi atau kemungkinan tertangkap rendah, model ini
memperkirakan bahwa gaji yang dapat mengurangi korupsi adalah tinggi.
Karena itu, buat pemerintah lebih efektif (cost effective) untuk
membayar ‘capitulation wages’ (gaji dibawah reservation wages) daripada
meningkatkan gaji. Lebih lanjut, hukuman dapat selalu diperberat sampai
pada tingkat yang dapat mencegah korupsi, karenanya gaji tinggi tidak
dibutuhkan.
Implikasi kebijakan di atas tidak kuat untuk merumuskan proses
korupsi. Hal ini terlihat ketika dilakukan relaksasi terhadap asumsi pegawai
negeri memak-simalkan ‘expected income’, sehingga peran kebijakan gaji
menjadi lebih besar
3 Faktor p, w, f ditambah besarnya korupsi (B) dinasukkan dalam model Rijckeghem pada bagian
selanjutnya dari makalah ini.
Tugas Mikro III - Om 6
Pegaai negeri mungkin terlibat dalam perilaku ‘satisficing (pemuasan)’
dan bukannya ‘maximizing (pemaksimalan)’ dan karenanya korupsi
dilakukan hanya untuk mencapai pendapatan sewajarnya (fair income).
Pegawai negeri mungkin menghindari kesempatan korupsi, dengan
tersedianya gaji memadai, bahkan ketika tindakan tersebut bukan
memaksimalkan ‘expected income’. Formalnya cara pandang ini dimodelkan
sebagai ‘fair-wage effort hypothesis’ (Akerloff and Yellen, 1990). Ditunjukkan
bahwa hipotesis ini berakibat peningkatan gaji (penurunan) mempunyai
dampak kuat pada korupsi daripada ketika PNS memaksimalkan ‘expected
income’ dan mengurangi korupsi melalui kebijakan gaji mungkin tidak
mahal. Ini konsisten dengan bukti penelitian terkini terhadap fair wage effort
hypothesis.
3.2 Korupsi dalam kerangka ‘maximizing’
Dari sudut pandang penegakan hukum (Becker and Stigler, 1974)
bahwa pegawai negeri memaksimalkan ‘expected income’ dengan cara
menyeimbangkan keuntungan korupsi terhadap denda dan hukuman jika
tertangkap. Hukuman ini mencakup pemecatan (biaya sama dengan
perbedaan gaji dengan swasta ditambah kesempatan korupsi yang hilang)
dan hukuman lainnya.
Pada model satu periode hubungannya sebagai berikut:
Kecuali C maka semua variabel dan parameter P( C) adalah eksogen.
EI = (1 – P( C)) (CB + Wg) + P( C) (Wp – f) …... (1)
EI = expected income P = kemungkinan tertangkap dan dihukum C = jumlah tindakan korupsi (variabel kontinu) Wg = gaji pegawai pemerintah Wp = gaji swasta B = tingkat suap F = hukuman lain/penjara
Tugas Mikro III - Om 7
Persamaan diatas menunjukkan bahwa expected income merupakan
rata-rata tertimbang pendapatan ketika korupsi tidak terdeteksi dan ketika
terdeteksi. Ketika terdeteksi, pendapatan adalah hasil korupsi dan gaji
sementara jika tertangkap pendapatan adalah gaji swasta dikurangi
hukuman.
Pada formulasi ini, kebijakan gaji pemerintah mempunyai dampak
terhadap korupsi sebab hukuman termasuk kehilangan pekerjaan. Namun
gaji tinggi tidak berarti korupsi berkurang, dengan kondisi pemerintah dapat
memanipulasi P(C) dan f . Akhirnya, kebijakan gaji kehilangan kefektifannya
ketika tingkat suap tinggi.
Beragam penambahan dimungkinkan. Pertama, P dapat diekspresikan
sebagai fungsi negatif hukuman (memasukkan pemecatan), P juga
dipengaruhi oleh suap terhadap penegak hukum. Kedua, ukuran suap (B)
mungkin bergantung pada keuntungan suap bagi pemberi suap, tingkat
hukuman dan kemungkinan tertangkap.
Mempertimbangkan semua penambahan di atas maka formula
menjadi:
Berdasar formula di atas, penambahan f kehilangan banyak
kemampuan mengurangi korupsi, sebagai hasil dari dampak terhadap
penegakan hukum oleh masyarakat yang berkurang sebagaimana pada
tingkat suap (yang bertambah). Instrumen kedua, P tidak lagi berada
dibawah kendali langsung pemerintah. Gaji Wg, dilain pihak, meningkat
perannya melalui dampak pada aktifitas penegakan hukum oleh masyarakat
(yang bertambah dengan meningkatnya pendapatan).
3.3 Korupsi dalam Kerangka Pemuasan (‘satisficing’)
EI = (1 – P( C,f,Wg-Wp)) (CB(P,f) + Wg) + P( C,f,Wg-Wp) (Wp – f) … (2)
Tugas Mikro III - Om 8
Perilaku individu mungkin tidak cocok dengan penggambaran melalui
kerangka ‘maximizing’ di atas. Fehr et. al (1993) menemukan bukti bahwa gaji
memotivasi usaha bahkan ketika tidak ada hukuman untuk ‘shirking’.
Eksperimen ‘lost-letters’4 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat
jujur, dalam konteks tidak menggunakan kesempatan korupsi. Penemuan ini
mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat tidak menggunakan
kesempatan korupsi sepanjang diperlakukan adil.
Secara formal ‘fair wage-effort’ hypothesys dimodelkan sebagai :
Menurut teori, pekerja menyesuaikan usahanya kalau terdapat
perbedaan antara gaji dan ‘fair’ wage. Korupsi dapat dipahami dalam konteks
ini sebagai penyesuaian tunjangan (N). Dengan sedikit modifikasi maka teori
ini menjadi:
Untuk membandingkan dengan kerangka maximizing diasumsikan
bahwa hukuman korupsi melalui pemecatan (Wg-Wp), kehilangan
kesempatan korupsi (CB), dan hukuman (f). Diasumsikan juga untuk
4 Eskperimen ini dimaksudkan untuk menilai tingkat kejujuran suatu komunitas dengan cara penyebaran amplop berisi uang di tempat-tempat umum. Setiap amplop diberi alamat pemilik amplop, sehingga jika si penemu jujur maka dia dapat mengirim kembali amplop tersebut pada pemiliknya.
e = f (I/W*) = f ((W + N)/W*) …… (3.a)
e = usaha I = pendapatan aktual W* = gaji wajar (fair wage) W = gaji yang diterima N = tunjangan
e = f (EI/EI*) …. (3.b)
EI = actual expected income EI* = targeted/’fair’ exp. income
Tugas Mikro III - Om 9
penyederhanaan bahwa P adalah jumlah kejadian korupsi ( C) dikalikan
kemungkinan tertangkap untuk sebuah kegiatan korupsi (p). Asumsi ini
mengurangi kompleksitas analsis, tetapi tetap dapat diterima sebagai suatu
pedekatan untuk negara berkembang.
Substitusi P = pC pada persamaan 1 didapatkan:
Persamaan ini menjadi dasar analisis selanjutnya yang disebut ‘fair
wage-corruption’ hypothesis, yaitu hipotesis bahwa pegawai memilih
tingkatan korupsi dalam usaha mencapai EI = EI*
Solusi untuk C adalah fungsi dari Wg relatif terhadap fair income EI*.
Kemungkinan tidak terdapat solusi untuk C.
Penggabungan korupsi dan usaha dalam satu model sesuai dengan
yang digambarkan dalam literatur korupsi (PNS yang tidak ingin, tidak
punya kesempatan, atau korupsi tidak menguntungkan mungkin melakukan
strategi lain yaitu ngobyek (Gould, 1980).
3.4 Implikasi Tertentu
3.4.1 Hipotesis Fair Wage-Corruption
Penyelesaian C (satisficing) menggunakan rumus ABC dan memilih
akar negatip sehingga:
EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) …... (4)
EI = (1 – pC)) (CB + Wg) + pC (Wp – f) = EI* …... (5)
B – p (Wg – Wp + f) - D C = ---------------------------------------------- ….. (6) 2 p B
Tugas Mikro III - Om 10
Penggunaan hanya akar negatip karena akar positip mengakibatkan
semakin banyaknya korupsi dibanding maximizing dan berarti pareto-
inferior (keduanya pemerintah dan PNS akan lebih baik dengan kurangnya
korupsi), sehingga ditiadakan.
Jika Wg = EI*, C=0, contohnya korupsi nol ketika pemerintah
membayar fair wage. Dari pers. 4 bahwa jika solusi ada (C>0) dan tertangkap
menjadi mahal (misal CB+Wg > Wp-f), pendapatan korupsi CB melampaui
perbedaan antara fair wage dan gaji PNS, EI* -Wg. Intuisinya adalah bahwa
pegawai memerlukan kompensasi untuk kemungkinan kehilangan pekerjaan
dan biaya lainnya yang berkaitan dengan tertangkap.
Jika EI* bertambah maka korupsi meningkat tetapi EI* terlalu tinggi
mengakibatkan D negatip dan tidak ada solusi.
Penurunan Pertama
Penurunan ini juga merepresentasikan penurunan C terhadap (Wg –
Wp) jika EI* = Wp, yaitu fair wage sama dengan gaji swasta.
Penurunan Kedua
D = [B – p (Wg – Wp + f)]2 – 4 p B (EI – Wg) ….. (6.a)
dC - 1 1 ------ = ----- [ 1 + --------- [B+p (Wg – Wp + f)]] …. (6.a) dWg 2 B (D)0.5
dC 1 [B - p (Wg – Wp + f)] – [2p (EI- Wg)] – (D)0.5
------ = ----- ----------------------------------------------------------- …. (6.b) dp 2 p2 (D)0.5
Tugas Mikro III - Om 11
Penurunan kedua ini selalu lebih besar atau sama dengan nol. (jika
solusi ada). Secara intuisi, peningkatan kemungkinan tertangkap mengurangi
expected income dari PNS, ceteris paribus, sepanjang dipecat adalah sesuatu
yang tidak diinginkan. Karenanya PNS akan menguragi korupsi jika
kemungkinan tertangkap meningkat.
3.4.2 Hipotesis Shirking
Jika pegawai menginginkan maximizing EI solusi C dan turunan
pertama terhadap Wg dan p adalah
Penurunan Pertama
Penurunan Kedua
Tiga observasi dapat dihasilkan. Pertama, jumlah korupsi skenario
satisficing adalah lebih kecil dari jumlah korupsi skenario maximizing, untuk
B – p (Wg – Wp + f) C = -------------------------------- ………….. (7) 2 p B
dC - 1 ------- = ----- ….. (7.a) dWg 2 B
dC - 1 ------- = ------- …… (7.b) dp 2 p2
Tugas Mikro III - Om 12
setiap tingkatan gaji (jika solusi ada, bandingkan pers 6 dan 7). Dalam
konteks ini, kesempatan korupsi tidak dipergunakan. Gaji yang mengurangi
korupsi selalu lebih besar untuk maximizing daripada satisficing. Kedua,
turunan C terhadap Wg sama dengan turunan (satisficing), minus term, yang
selalu negatif (jika B+p(Wg-Wp+f) positif). Oleh karenanya dalam skenario
maximizing peran gaji lebih besar dalam mengurangi korupsi. Juga turunan
lebih kecil untuk tingkat suap yang lebih besar, baik satisficing dan
maximicing, mengakibatkan peran lebih kecil bagi kebijakan gaji ketika suap
tinggi. Ketiga, turunan terhadap p negatip (maximizing) sementara positip
(satisficing).
Pada kedua skenario (maximizing dan satisficing) maka :
Hipotesis I Korupsi berhubungan negatip dengan perbedaan relatif gaji
pegawai negeri dan swasta
Skenario fair wage hypothesis
Hipotesis II Korupsi berkurang/hilang ketika gaji sama dengan fair
wage.
Sebagai catatan, untuk tingkat suap rendah dan/atau hukuman tinggi
dan/atau probabilitas tertangkap dan dihukum tinggi, korupsi hilang
pada tingkat gaji rendah.
Hipotesis III jika gaji cukup tinggi (sehingga solusi ada pada skenario
satisficing), probabilitas tertangkap dan dihukum lebih tinggi
dihubungkan dengan korupsi yang lebih tinggi, dan bukan korupsi
rendah.
Catatan, hubungan negatip anatara p dan f adalah konsisten dengan
hipotesis fair wage jika gaji rendah dan lingkungan kerja dengan tingkat
suap rendah dan/atau hukuman tinggi dan/atau p tinggi.
Skenario shirking hypothesis
Hipotesis 4 jika lingkungan kerja dengan tingkat suap tinggi dan/atau f
rendah dan/atau p rendah, gaji pemerintah berlipat gaji swasta agar
korupsi hilang.
Tugas Mikro III - Om 13
Hipotesis 5 p lebih besar dikaitkan dengan korupsi rendah
3.5 Kasus Indonesia
Menurut Filmer (2001), berdasar penelitiannya tentang perbandingan
gaji pegawai negeri dan swasta, menemukan bahwa secara umum pegawai
negeri golongan III kebawah (yang mencakup sekitar 70 persen dari seluruh
jumlah pegawai negeri) mempunyai tingkat gaji yang lebih baik dari pegawai
swasta. Kondisi ini menyebabkan untuk kasus Indonesia, Model Rijckeghem
perlu dilakukan perubahan terutama menyangkut asumsi Wp lebih besar dari
Wg menjadi Wg lebih besar dari Wp, sehingga jika tertangkap maka fungsi
kerugian menjadi (Wg – f). Perubahan tersebut mengakibatkan persamaan (1)
berubah menjadi:
Substitusi P = pC maka persamaan (8) dapat ditulis sebagai:
Optimalisasi persamaan (9) dilakukan dengan menggunakan rumus
ABC dan memilih akar negatip sehingga:
EI = EI* = (1 – P(C)) (CB + Wg) + P(C) (Wg – f) …... (8)
(B – pf) – (E)0.5 C = -------------------------------- ………………… (10)
2 p B
(1 – pC) (CB + Wg) + pC (Wg – f) – EI = 0 …... (9)
E = [B - pf)]2 - 4 p B (EI - Wg) ………. (10.a)
Tugas Mikro III - Om 14
3.5.1 Kondisi Maksimisasi (Shirking Corruption)
Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi memaksimalkan expected
incomenya, sehingga persamaan (10) menjadi
Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)
Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (11) terhadap Wg, sebagai:
Persamaan (12.a) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari faktor
gaji pegawai pemerintah terhadap intensitas korupsi.
Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)
Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap p, sebagai:
Persamaan (12.b) menunjukkan bahwa kemungkinan tertangkap
berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar
kemungkinan tertangkap akan mengakibatkan berkurangnya intensitas
korupsi.
Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)
(B – pf) C = ------------------- ………… (11)
2 p B
dC ------- = 0 ….. (12.a) dWg
dC - 1 ------- = --------- …… (12.b) dp 2 p2
Tugas Mikro III - Om 15
Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap B, sebagai:
Persamaan (12.c) menunjukkan bahwa besarnya korupsi berpengaruh
positip terhadap intensitas korupsi. Semakin besar jumlah yang didapatkan
dari hasil korupsi (atau suap) akan mengakibatkan meningkatnya intensitas
korupsi.
Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)
Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(11) terhadap f, sebagai:
Persamaan (12.d) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh
negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan
mengakibatkan menurunnya intensitas korupsi.
Hal lainnya bahwa pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas
korupsi tergantung pada besarnya hasil korupsi. Semakin besar hasil korupsi
maka semakin kecil pengaruh tingkat hukuman terhadap intensitas korupsi.
3.5.2 Kondisi Optimalisasi (Fair-Wage Corruption)
Pada kondisi ini dianggap pelaku korupsi melakukan korupsi dalam
rangka mencapai expected income, sehingga formula yang dipergunakan
adalah persamaan (10).
Pada kondisi ini maka beberapa persyaratan awal perlu dipenuhi yaitu
(i) (E)0.5 harus positip agar terdapat solusi, sehingga [B - pf)]2 > 4 p B (EI -
Wg) atau
dC f ------- = --------- …… (12.c) dB 2 B2
dC - 1 ------- = --------- …… (12.d) df 2 B
Tugas Mikro III - Om 16
(ii) (B – pf) harus positip agar terdapat solusi, sehingga (B – pf) > 0 atau
(iii) (B – pf) harus lebih besar dari (E)0.5 agar terdapat solusi, sehingga
Pengaruh gaji pegawai pemerintah (Wg) terhadap korupsi (C)
Pengaruh Wg terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (10) terhadap Wg, sebagai:
Persamaan (14.a) menunjukkan bahwa gaji pegawai pemerintah
berpengaruh negatip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi gaji
pegawai pemerintah maka semakin kecil intensitas korupsi.
Pengaruh kemungkinan tertangkap (p) terhadap korupsi (C)
Pengaruh p terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(10) terhadap p, sebagai:
[B - pf)]2 /4pB > (EI - Wg) ………. (13.a)
(B > pf) ………. (13.b)
(B - pf) > (E)0.5 ………. (13.c)
dC - 1 ------- = ------ ….. (14.a) dWg (E)0.5
dC 1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) ------ = ----- [ ---------- - 1 ] + --------------------------------- … (14.b) dp 2 p2 B 2 PB (E)0.5
Tugas Mikro III - Om 17
Dari persamaan (14.b) relatif sulit menunjukkan bentuk hubungan
antara C dan P. Hal ini terlihat dari persamaan (14.c) dan (14.d):
Persamaan (14.c) bisa lebih kecil atau lebih besar dari persamaan
(14.d). Jika dC/dP < 0, maka persamaan (14.c) harus lebih besar dari
persamaan (14.d), sehingga:
Persamaan (14.e) dapat disederhanakan menjadi:
1 (E)0.5
persamaan (13.c) ------- [ ---------- - 1 ] < 0 …………. (14.c) 2 p2 B
4 B (EI – Wg) + f (B – pf)
persamaan (13.b) ----------------------------------- > 0 …… (14.d) 2 PB (E)0.5
1 (E)0.5 4 B (EI – Wg) + f (B – pf) - ----- [ ---------- - 1 ] > --------------------------------- … (14.e) 2 p2 B 2 PB (E)0.5
B (E)0.5 - E > 4 pB (EI – Wg) + pf (B – pf) …. (14.f)
Tugas Mikro III - Om 18
Tetapi kemudian persamaan (14.f) tetap sulit untuk diartikan, sehingga
pengaruh kemungkinan tertangkap terhadap intensitas korupsi menjadi tidak
sederhana. Bisa berpengaruh positip maupun negatip.
Pengaruh besarnya korupsi (B) terhadap korupsi (C)
Pengaruh B terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama persamaan
(10) terhadap B, sebagai:
Dari persamaan (14.g) relatif sulit menunjukkan pengaruh besarnya
hasil korupsi terhadap intensitas korupsi. Jika dC/dB > 0 maka 4 p (EI – Wg)
harus lebih besar dari (B – pf), sehingga:
Dari persamaan (14.h) dapat diartikan bahwa besarnya hasil korupsi
berpengaruh positip terhadap intensitas korupsi jika persamaan (14.h)
terpenuhi, yaitu selisih expexted income dan actual income ditambah
besarnya hukuman harus lebih besar dari besarnya korupsi.
Perilaku optimalisasi mengakibatkan bahwa besarnya korupsi hanya
akan berpengaruh positip jika tidak melebihi selisih antara pendapatan
sekarang dan pendapatan yang diharapkan ditambah besarnya hukuman
yang kemungkinan harus dibayar. Jika hasil korupsi besar sekali maka
pegawai negeri tidak akan melakukan korupsi.
Pengaruh tingkat/besar hukuman (f) terhadap korupsi (C)
Pengaruh f terhadap C ditunjukkan melalui turunan pertama
persamaan (10) terhadap f, sebagai:
dC 1 (E)0.5 4 p (EI – Wg) - (B – pf) ------- = -------- [( f + --------- )] + ---------------------------------- …. (14.g) dB 2 B2 p 2 p B (E)0.5
dC 1 (B – pf) ------- = --------- [ ----------- - 1 ] …… (14.i) df 2 B (E)0.5
B < 4 p (EI – Wg+ 0,25 f) …. (14.h)
Tugas Mikro III - Om 19
Persamaan (14.i) menunjukkan bahwa tingkat hukuman berpengaruh
positip terhadap intensitas korupsi. Semakin tinggi tingkat hukuman akan
mengakibatkan meningkatnya intensitas korupsi. Artinya pelaku korupsi
akan tetap korupsi walaupun tingkat hukuman dinaikkan. Hal ini terkait
dengan kondisi pelaku korupsi hanya melakukan korupsi untuk memenuhi
kekurangan pendapatannya dari pendapatan yang diharapkan.
4. Kesimpulan
Beberapa hal dapat disimpulkan dari hasil kajian ini yaitu:
a. Perilaku korupsi dipengaruhi oleh banyak faktor yang dalam kajian ini
diklasifikasikan dalam 4 (empat) kategori yaitu tingkat gaji pemerintah
(Wg), kemungkinan tertangkap (p), besarnya korupsi (B), dan
besarnya/tingginya hukuman (f).
b. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap intensitas korupsi
beragam tergantung pada kondisi yang ada. Dalam kajian ini
dibedakan antara perilaku korupsi yang memaksimalkan pendapatan
dan korupsi yang mengoptimalkan pendapatan (haanya untuk
memenuhi kekurangan antara pendapatan aktual dan pendapatan
yang diharapkan). Model awal mengasumsikan gaji pegawai
pemerintah (Wg) lebih kecil dari gaji swasta (Wp), sementara untuk
kondisi Indonesia Wp lebih kecil dari Wg. Secara ringkas hasil kajian
tersebut adalah sebagai berikut:
Faktor Skenario I Wp > Wg Skenario II Wp < Wg
Maksimisasi Optimalisas
i
Masimisasi Optimalisasi
Gaji pegawai pemerintah
Negatip Negatip Tidak ada pengaruh
Negatip
Tugas Mikro III - Om 20
(Wg)
Kemungkinan tertangkap (p)
Negatip Positip Negatip Tidak jelas
Besarnya korupsi (B)
Positip Tidak jelas Positip Positip jika B < 4p (EI – g + 0,25f)
Besarnya hukuman (f)
Negatip Tidak jelas Negatip Positip
Keterangan: sel dibaca pengaruh faktor Wg/p/B/f terhadap intensitas korupsi untuk masing-masing skenario
Pada skenario I (Wp > Wg), maka model dapat menjelaskan secara
baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi
optimalisasi hanya dapat menjelaskan hubungan Wg dan p terhadap
intensitas korupsi.
Pada skenario II (Wp < Wg), maka model dapat menjelaskan secara
baik hanya untuk kondisi maksimisasi, sementara pada kondisi
optimalisasi model tidak dapat menjelaskan hubungan p terhadap
intensitas korupsi.
c. Pada kasus Indonesia, maka pengurangan intensitas korupsi dapat
dilakukan melalui:
(i) jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi memaksimumkan
expected income maka menaikkan gaji pegawai pemerintah
tidak akan mengurangi tingkat korupsi. Hanya menaikkan
besarnya hukuman yang dapat menurunkan intensitas korupsi.
(ii) Jika diasumsikan bahwa pelaku korupsi mengoptimalkan
pendapatan aktualnya sehingga dapat menutup kekurangan
pendapatannya, maka kenakan gaji pegawai pemerintah akan
menurunkan intensitas korupsi. Sementara besarnya hukuman
bukan merupakan strategi yang tepat untuk menurunkan
intensitas korupsi.
d. Kebijakan untuk menanggulangi korupsi sangat tergantung pada
asumsi/kondisi obyektif yang ada.
Tugas Mikro III - Om 21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
1. Benveniste, Guy. Birokrasi. Cetakan Keempat. PT. Rajagrafindo, Jakarta 1997.
2. Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Diterjemahkan oleh Hermoyo dari judul asli Controlling Corruption. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
3. Lubis, Mochtar dan Scott, James C. (Ed.). Bunga Rampai Korupsi. Cetakan Ketiga. LP3ES, Jakarta, 1995.
4. Noeh, Munawar Fuad. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Zihrul Hakim, Jakarta, 1997.
Makalah
1. Filmer, Deon dan Lindauer, David L. Does Indonesia Have A ‘Low Pay’ Civil Service?. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 37, No.2, 2001.
1. Lambsdorff, Johann Graf. Corruption in Empirical Research - A Review. Internet center for Corruption Research, 2000.
2. Rijckeghem, Caroline Van dan Beatrice Weder. Corruption and the Rate of Temptation: Do Low Wages in the Civil Service Cause Corruption?. International Monetary Fund, June 1997.
Media Massa 1. Kompas 4 Desember 2001. Pemberantasan Korupsi. Kemajuan itu
Masih Sebatas Kata.