Download - Faktor2 Yg Mempengaruhi Loss Follow Up
i
TESIS
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA
YANG MENERIMA TERAPI ARV
DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI
TAHUN 2002 – 2012
DESAK NYOMAN WIDYANTHINI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
TESIS
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA
YANG MENERIMA TERAPI ARV
DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI
TAHUN 2002 – 2012
DESAK NYOMAN WIDYANTHINI
NIM. 1292161003
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iii
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA
YANG MENERIMA TERAPI ARV
DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI
TAHUN 2002 – 2012
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESAK NYOMAN WIDYANTHINI
NIM. 1292161003
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
iv
v
Tesis Ini Telah Diuji pada
Pada Tanggal 9 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Rektor
Universitas Udayana, No.: 0183 / UN 14.4 / HK / 2014, Tanggal 28 Januari 2014
Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH
Anggota :
1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH
2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD
3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA(K)
4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si
vi
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puii syukur penulis panjatkan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya/karunia-Nya,
tesis ini dapat diselesaikan.
Perkenankanlah pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebsesar-besarnya kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, pembimbing
I sekaligus sebagai Direktur di Yayasan Kerti Praja yang merupakan tempat
penelitian, Pembimbing Akademik, dan Ketua Program Studi Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universits Udayana yang dengan penuh perhatian telah
memberikan bimbingan, perhatian, dan dukungan selama penulis mengikuti
program pasca sarjana, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih
sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr. Anak Agung Sagung Sawitri,
MPH, pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.
Ucapan yang sama pula penulis sampaikan kepada Rektor Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepana penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan Program Pasca Sarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih
juga penulis tujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku
Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Pasca Sarjana di
Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa
terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, Prof. Dr. dr.
Mangku Karmaya, M.Repro PA(K), Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si.
selaku penguji tesis yang telah memberikan masukan, saran, sanggaan, dan
koreksi sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada The Kirby Institute, University of New South
Wales yang telah memberikan bantuan finansial sehingga meringankan beban
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
viii
Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Mamak dan Bapak yang telah mendukung penulis
dalam melanjutkan studi di Program Pasca Sarjana baik berupa dukungan moril
maupun finansial, serta kepada Kiki yang senantiasa memberikan dukungan disaat
penulis merasakan jenuhnya menulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih
pada kakak-kakak tercinta, Opank, Ade, Bli Putu dam Bli Gde yang selalu
memberikan semangat dan dukungan, serta ponakan-ponakan tercinta Depu, Icha,
dan Marchia yang telah menjadi penghibur dan pembuat tawa.
Semoga Ida sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis sekeluarga.
Penulis,
ix
ABSTRAK
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA
YANG MENERIMA TERAPI ARV
DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN 2002 –
2012
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan global. Penemuan obat
antiretroviral (ARV) pada tahun 1995 telah mampu menurunkan kematian dan
memperpanjang usia orang dengan HIV/AIDS (odha). Monitoring dan evaluasi
diperlukan untuk menilai keberhasilan program pengobatan ARV, dengan salah
satu indikator keberhasilannya adalah jumlah odha yang loss to follow up. Odha yang loss to follow up atau berhenti memakai ARV akan meningkatkan resistensi terhadap ARV, meningkatkan risiko untuk menularkan HIV pada orang lain, serta meningkatkan risiko kematian pada odha. Tujuan penelitian ini akan dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha di Bali. Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan analisis data
sekunder yang dilakukan dengan mengekstraksi rekam medis odha yang memulai
terapi ARV pada tahun 2002 sampai dengan 2012 di Yayasan Kerti Praja (YKP).
YKP adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali yang telah
melakukan sejumlah program mengenai HIV&AIDS. Cox Proportional Hazard
Model digunakan untuk menilai hubungan antara beberapa variabel dengan loss to
follow up. Variabel yang dianalisis adalah; usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, adanya pengawas minum obt (PMO), kadar CD4, berat badan,
hemoglobin, infeksi oportunistik, dan risiko penularan HIV. Semua variabel
tersebut adalah kondisi saat pertama kali memulai terapi. Loss to follow up adalah
odha yang tidak melanjutkan terapi ARV di YKP selama > 3 bulan, atau tidak
diketahui keberadaan maupun status penggunaan ARVnya, atau putus obat.
Sebagai kriteria inkusi adalah odha yang memiliki lebih dari satu kali kunjungan
ke YKP.
Sampel dalam penelitian ini adalah 548 odha. Dari jumlah tersebut, 77
(14,1%) diantaranya loss to follow up dan 471 (85,9%) tidak loss to follow up.
Insiden loss to follow up adalah 5,15 per 100 person years . Pada analisis
multivariat, loss to follow up 1,8 kali lebih tinggi pada odha yang tidak memiliki
PMO dibandingkan yang memiliki PMO (HR=1,8; 95 % CI=1,11-2,87; p=0,016).
Loss to follow up 0,3 kali lebih rendah pada odha dengan riwayat penasun
dibandingkan kelompok heteroseksual sebagai pekerja seks (HR=0,4; 95 %
CI=0,79-0,67; p=0,002). Loss to follow up lebih rendah pada odha yang berumur
di atas 32 tahun (HR=0,6; 95 % CI=0,34-0,95; p=0,031).
x
Tiga variabel yang secara statistik terbukti memiliki hubungan dengan loss to
follow up adalah adanya PMO, umur, dan faktor risiko penularan. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk merumuskan program care support
and treatment (CST) terutama dalam hal pendampingan dan pemberian konseling
yang lebih intensif pada kelompok yang berisiko.
Kata kunci: Analisis survival, Odha, Terapi ARV, Loss to Follow Up
xi
ABSTRACT
FACTORS ASSOCIATED WITH
LOSS TO FOLLOW UP AMONG PLHIV
WHO RECEIVE ARV THERAPY
IN AMERTHA CLINIC, KERTI PRAJA FOUNDATION, BALI
YEAR 2002 - 2012
HIV/AIDS is a global health problem. The discovery of antiretroviral drugs
(ARVs) in 1995 has been able to reduce mortality and extend the life of people
living with HIV/AIDS (PLHIV). Monitoring and evaluation is needed to assess
the success of ARV treatment programs, with one indicator of success is the
number of PLHIV that loss to follow-up. Patients were loss to follow-up or stop
taking ARVs will increase resistance to antiretroviral drugs, increasing the risk of
transmitting HIV to others, as well as increase the risk of death among PLHIV.
This study will provide an overview of the factors associated with loss to follow-
up on PLHIV in Bali.
Longitudinal study to analysis secondary data was conducted by extracting
medical records of HIV patients who had started ART between 2002 until 2012 at
Kerti Praja Foundation (YKP). YKP was one of non government organization
(NGO) in Bali who has carried out a number of programs concerning HIV&AIDS
and STI prevention and treatment. Cox Proportional Hazard Model was used to
assess relationship between variables with of loss to follow-up. Variables included
in the analyses were; age, sex, education level, occupation, the presence of
supervisor of ART, CD4 count, weight, hemoglobin, history of opportunistic
infection, and mode of HIV transmission. All variables are variables at baseline.
Lost to follow-up was defined as when the patients did not come to seek ART in
at least 3 months at the scheduled visit, could not track down, or stop the
treatment. Patients were included in analysis if they had more than one visit YKP
clinic.
The total sample is 548 PLHIV. Of the 548 PLHIV, 77 (14,1%) were lost to
follow up and 471 (85,9%) were retained in treatment, died, or moved away.
Incidence rate of loss to follow up was 5,15 per 100 person years. In multivariate
analysis, patients who didn’t have supervisor of ART 1.8 times more likely to
loss to follow-up (HR=1,8; 95% CI=1,11-2,87; p=0,016). Patients with history of
injecting drugs were less likely to loss to follow-up compared with those with a
history of heterosexual transmission mode as sex workers (HR=0,3; 95%
CI=0,17-0,67; p=0,002). Patients with aged above 32 years old were less likely to
loss to follow-up (HR=0,6; 95% CI=0,34-0,95; p=0,031).
Three variables are statistically proven to have a relationship with loss to
follow-up are supervisor of ARV, age, and risk factors of transmission.
xii
The results of this study are expected to be input to formulate a program of
support and care treatment (CST), especially in terms of mentoring and the
provision of more intensive counseling on risk groups.
Keywords : Survival analysis, HIV positive individuals, ARV Therapy, Lost to
follow- up
xiii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN .................................................................................................. i
SAMPUL DALAM ................................................................................................. ii
LEMBAR PERSYARATAN GELAR ................................................................. vii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... v
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................................... v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 8
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 12
2.1 HIV/AIDS ................................................................................................. 12
2.2 Terapi ARV .............................................................................................. 15
2.3 Efek Loss to Follow Up Terapi ARV ....................................................... 18
2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang
Menerima Terapi ARV ............................................................................. 20
2.5 Perilaku ..................................................................................................... 25
xiv
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN
HIPOTESIS
PENELITIAN ..................................................................................... 32
3.1 Kerangka Berpikir ....................................................................................... 32
3.2 Konsep Penelitan ......................................................................................... 35
3.3 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 36
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................... 38
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................. 38
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 38
4.3 Penentuan Sumber Data .............................................................................. 38
4.4 Variabel Penelitian ...................................................................................... 40
4.5. Instrumen Penelitian.................................................................................... 42
4.6. Prosedur Pengumpulan Data ....................................................................... 43
4.7. Analisis Data ................................................................................................ 45
BAB V HASIL PENELITIAN............................................................................ 48
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ................................................................ 48
5.2 Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To Follow
Up .............................................................................................................. 51
5.3 Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To
Follow Up ................................................................................................. 53
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 55
6.1 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss To Follow Up .................. 55
6.2 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 60
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 61
7.1 Simpulan ................................................................................................... 61
7.2 Saran ......................................................................................................... 61
xv
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 62
LAMPIRAN .......................................................................................................... 67
xvi
DAFTAR TABEL
2.1 Target Terapi Antiretroviral ...................................................................... 16
2.2 Rekomendasi untuk Memulai Terapi ARV............................................... 16
4.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian .................................................. 41
5.1 Komparabilitas Sampel Penelitian ............................................................ 49
5.2 Hasil Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to
Follow Up ................................................................................................ 51
5.3 Hasil Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to
Follow Up ................................................................................................ 53
xvii
DAFTAR GAMBAR
3.2 Konsep Penelitian .............................................................................................. 35
5.2 Kurva Kaplan Meir Loss to Follow Up .......................................................... 50
xviii
DAFTAR SINGKATAN
AIDS = Acquired Immuno Deficiency Syndrome
ARV = Antiretroviral
ASI = Air Susu Ibu
CD4 = Cluster of differentiation 4
CDC = Centers for Disease Control
CFR = Case Fatality Rate
HIV = Human Immunodeficiency Virus
HBM = Health Belief Model
IMS = Infeksi Menular Seksual
KPA = Komisi Penanggulangan AIDS
LSL = Lelaki Seks dengan Lelaki
odha = Orang dengan HIV/AIDS
Penasun = Pengguna narkoba suntik
PDP = Perawatan, dukungan dan pengobatan
PMO = Pengawas Minum Obat
TAHOD = Treat Asia HIV Observational Database
UPPI = Unit Perawatan Intermediit Penyakit Infeksi
VCT = Voluntary Counselling and Testing
WHO = World Health Organization
PSP = Pekerja Seks Perempuan
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Formulir Pengmpulan Data
Lampiran 2 Ethical Clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar
Lampiran 3 Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Provinsi Bali
Lampiran 4 Rekomendasi Penelitian dari Kesbangpol Kota Denpasar
Lampiran 5 Hasil Output STATA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pertama kali ditemukan di tahun 1981 HIV/AIDS telah berkembang
menjadi masalah kesehatan global. Menurut laporan UNAIDS (2013) secara
global jumlah kasus HIV/AIDS pada tahun 2012 sebanyak 35,3 juta. Infeksi baru
di tahun 2012 diperkirakan 2,3 juta dan meninggal sebanyak 1,6 juta. Dengan
penambahan jumlah kasus sebanyak 700.000, dibandingkan tahun 2001 infeksi
baru pada tahun 2012 telah menurun sebanyak 33%. Untuk kawasan Asia dan
Pasifik, jumlah kasus baru di tahun 2012 diperkirakan sebanyak 350.000 dengan
penurunan 26% dari tahun 2001.
Penurunan infeksi baru tersebut adalah karena perubahan perilaku seksual
masyarakat dan pengobatan dengan terapi antiretroviral (ARV). Menurut laporan
UNAIDS (2013) sejak tahun 2000 telah terjadi perubahan perilaku seksual yang
lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan pengetahuan tentang
pencegahan HIV/AIDS pada usia muda, penurunan jumlah usia dibawah 15 tahun
yang telah melakukan hubungan seksual, peningkatan pemakaian kondom pada
multiple sex partner, dan meningkatnya jumlah usia muda yang melakukan tes
HIV. Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa pengobatan terapi ARV mampu menurunkan risiko penularan HIV/AIDS
sebanyak 96% (UNAIDS, 2013).
2
2
Sejak ditemukan kasus pertama di Indonesia tahun 1987 (pada seorang turis
Belanda yang sedang berlibur di Bali) kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke
Kementerian Kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun yaitu sebanyak
179.775 kasus pada tahun 2013 (Depkes, 2014). Laporan UNAIDS (2013) untuk
HIV/AIDS di kawasan Asia dan Pasifik menyatakan Indonesia sebagai salah satu
negara di kawasan Asia dengan peningkatan infeksi baru HIV/AIDS. Antara tahun
2001 dan 2012 infeksi baru HIV/AIDS di Indonesia meningkat 2,6 kali. Perkiraan
jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan
China.
Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Propinsi Bali sampai dengan tahun
2013 sebanyak 12.044 kasus, dimana Propinsi Bali berada di urutan kelima
(dalam hal jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan ke Kementerian
Kesehatan) setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua, dan Jawa Barat. Prevalensi
kasus AIDS di Bali sebesar 102,42 per 100.000 penduduk, menempati urutan
kedua setelah prevalensi kasus AIDS di Papua (Kemenkes, 2014).
Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1995 telah mampu
menurunkan kematian dan memperpanjang usia orang dengan HIV/AIDS (odha).
Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit ataupun membunuh virus dan
menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat,
namun terapi ARV mampu menghentikan progresivitas penyakit HIV/AIDS
dengan menekan replikasi HIV, memulihkan sistem imun dengan mengurangi
terjadinya infeksi oportunistik, menurunkan angka kesakitan dan kematian,
sehingga meningkatkan kualitas hidup odha. ARV mampu meningkatkan
3
harapan masyarakat sehingga saat ini paradigma HIV/AIDS sebagai penyakit
yang fatal dan mematikan telah berubah. HIV/AIDS telah diterima sebagai
penyakit kronik yang dapat dikendalikan (Depkes, 2006). Meskipun mampu
menurunkan risiko penularan HIV, terapi ARV dikhawatirkan dapat
meningkatkan perilaku seksual dan menyuntik berisiko. Dalam penelitian oleh Fu
dkk dinyatakan bahwa terdapat dua hipotesis yang mendukung perilaku seksual
berisiko setelah terapi ARV dimulai, yaitu: 1) adanya perbaikan terhadap status
klinis dapat meningkatkan keinginan untuk berperilaku yang berisiko; dan 2)
sikap atau pengetahuan yang rendah tentang penularan HIV selama mengikuti
terapi ARV. Penelitian ini tidak menemukan bukti kompensasi perilaku yang
berisiko setelah memulai terapi ARV, namun perilaku berisiko baik perilaku
seksual maupun menyuntik dapat meningkat setelah pemakaian ARV jika
sebelum mengikuti terapi odha telah memiliki perilaku berisiko (Fu dkk, 2012).
Program penanggulangan AIDS di Indonesia terdiri dari 4 komponen dalam
upaya untuk menuju 3 zero, yaitu: Zero new infection, Zero AIDS-related death
dan Zero Discrimination. Empat komponen tersebut meliputi: pencegahan;
perawatan, dukungan dan pengobatan; mitigasi dampak berupa dukungan
psikososio-ekonomi; dan penciptaan lingkungan yang kondusif. Komponen yang
kedua, yaitu perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) yang meliputi
penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan dukungan serta pendidikan dan
pelatihan bagi odha. Program PDP terutama ditujukan untuk menurunkan angka
kesakitan dan rawat inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
4
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV. Pencapaian tujuan tersebut
dapat dilakukan antara lain dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV)
(Depkes, 2011).
Sampai dengan 31 Desember 2013 tercatat jumlah odha yang mendapatkan
terapi ARV sebanyak 73.774 orang, dimana 96% diantaranya adalah dewasa dan
4% adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut hanya 53% yang masih mengikuti
terapi ARV, sementara 18,5% meninggal, 7,7% pindah, 2,9% berhenti, dan 17,3%
loss to follow up (Kemenkes, 2014).
Berdasarkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2007
dikemukakan bahwa pemberian ARV pada odha diindikasikan untuk: a) odha
tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika
kadar CD4 ≤ 200 sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah
mendapat terapi ARV diberikan jika pasien datang dengan jumlah CD4 <200
sel/mm3 dan stadium klinis 3 atau 4 tanpa memandang jumlah CD4; c)
perempuan hamil dengan HIV diberikan pada stadium klinis 1 atau 2 dan jumlah
CD4 < 200 sel/mm3, stadium klinis 3 dan kadar CD4 < 350 sel/mm3, dan
stadium klinis 4 tanpa memandang jumlah CD4; d) odha dengan Koinfeksi TB
yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika terdapat gejala TB aktif
dan jumlah CD4 <350 sel/mm3; sementara tidak ada rekomendasi khusus pada
odha dengan Koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum pernah mendapat terapi
ARV. Sedangkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2011
merekomendasikan pemberian terapi ARV untuk: a) odha tanpa gejala klinis
(stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 350
5
sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV
diberikan pada odha dengan stadium klinis 2 bila CD4 < 350 sel/mm3 atau
stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4; c) terapi ARV diberikan pada
semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis; d) odha
dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan tanpa
melihat jumlah CD4; dan e) odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif),
berapapun jumlah CD4 (Kemenkes, 2011). Kriteria terbaru Surat Edaran Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) menyebutkan bahwa
inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4 pada mereka yang HIV (+) yaitu: ibu
hamil, pasien koinfeksi TB, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi
Hepatitis B dan C, pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik
(Penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak
menggunakan kondom secara konsisten. Sebelum mendapat terapi ARV pasien
harus dipersiapkan secara matang dengan diberikan informasi dan konseling
tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV,
kesanggupan dan kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya.
Menurut Nasronudin (2007) dalam pemberian terapi ARV ada sepuluh
prinsip yang perlu dijadikan acuan, yaitu: indikasi, kombinasi, pilihan obat,
kompleksitas, resistensi, informasi, motivasi, monitoring, target pengobatan, dan
efikasi. Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menilai keberhasilan program
pengobatan ARV, dimana indikator keberhasilannya adalah: a) kepatuhan sesuai
6
petunjuk (adherence); b) penurunan jumlah viral load setelah 6 bulan memulai
terapi; c) peningkatan kualitas hidup atau penurunan jumlah kematian akibat
AIDS, dan d) jumlah odha yang loss to follow up ( Kemenkes, 2011 dan Martin
dkk, 2008).
Berbagai penelitian telah dilakukan di berbagai negara untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi odha yang loss to follow up terhadap terapi
ARV. Namun hasil penelitian-penelitian tersebut tidak menunjukkan hasil yang
konsisten (Odafe dkk, 2012; Honge dkk, 2013 ). Menurut hasil penelitian tersebut
faktor-faktor yang mempengaruhi odha yang loss to follow up antara lain : kadar
CD4 saat pertama kali memulai terapi (Martin dkk, 2008; Caluwaerts dkk, 2009;
Gerver dkk, 2010; Clouse dkk, 2013), umur (Caluwaerts dkk, 2009; Honge dkk,
2013; Saka dkk, 2013), jenis kelamin (Odafe dkk, 2012; Honge dkk, 2013), risiko
penularan (Ioannidis dkk, 1997; Lanoy dkk, 2006; Krishnan dkk, 2011;), dan
pendidikan (Krishnan dkk, 2011).
Tempat-tempat pelayanan ARV di Indonesia ditetapkan dengan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 451/Menkes/SK/XII/2012 tentang Rumah
Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan AIDS yaitu sebanyak 358 rumah
sakir di seluruh Indonesia. Untuk propinsi Bali layanan terapi ARV dilaksanakan
di RS Sanglah dan beberapa RS daerah lainnya. Salah satu layanan ARV yang
bukan merupakan RS di propinsi Bali adalah Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
karena klinik ini adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pionir dalam
layanan VCT dan ARV di Indonesia. Karena tidak termasuk dalam SK Menteri
tersebut klinik Amertha menjadi satelit dari RS Sanglah. Dalam artian permintaan
7
atau supply ARV dan laporan pasien dilaksanakan di RS Sanglah . Selain VCT
dan layanan ARV, kegiatan lain yang dilakukan di Yayasan Kerti Praja berkaitan
dengan penanggulangan HIV/AIDS adalah penjangkauan (outreach) di lapangan,
pembagian kondom, dukungan sebaya, skrining/pemeriksaan berkala IMS,
pelatihan keterampilan bagi odha dan pekerja seks, serta penelitian-penelitian
yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Di klinik Amertha, odha yang memenuhi
syarat akan mendapat terapi ARV dengan pemantauan jumlah CD4 secara
berkala. Sampai dengan 11 Januari 2014 telah tercatat 787 pasien telah menerima
terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja, dimana 52,99% diantaranya
masih mengikuti terapi ARV, 19,06% telah pindah, 17,28% berhenti mengikuti
terapi, dan 10,67% telah meninggal (www.kertiprajafoundation.com, 2013).
Pasien yang loss to follow up atau berhenti memakai ARV akan
meningkatkan resistensi terhadap ARV, meningkatkan risiko untuk menularkan
HIV pada orang lain, serta meningkatkan risiko kematian pada odha. Untuk
mengurangi persentase jumlah loss to follow up perlu dilakukan penelitian tentang
sebab-sebab terjadinya loss to follow up. Namun penelitian seperti ini agak sulit
dilaksanakan terutama untuk odha karena sebagian besar alamatnya tidak
diketahui atau mereka hidup berpindah-pindah (mobile). Pendekatan lain adalah
dengan memperkirakan faktor-faktor penyebab loss to follow up berdasarkan data
yang tersedia di tempat layanan. Penelitian seperti ini pernah dilaksanakan di Bali,
yaitu pada tahun 2012. Bali menjadi salah satu site dari 18 site penelitian
TAHOD (Treat Asia HIV Observational Database) yang dilaksanakan di wilayah
Asia Pasifik, namun hasil penelitiannya dilaporkan secara agregate sehingga
8
tidak memperlihatkan data Bali secara spesifik. Penelitian TAHOD tersebut
mengunakan data di RSUP Sanglah dimana sebagian besar sampelnya adalah ibu
rumah tangga dan odha yang tinggal menetap. Sedangkan pada penelitian ini,
dimana penelitian akan dilakukan di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja yang
sebagian besar sampelnya adalah pekerja seks perempuan dengan tingkat
mobilitas yang tinggi. Penelitian ini akan dapat memberikan gambaran yang lebih
spesifik terhadap odha yang loss to follow up di Bali dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya, sehingga praktisi di lapangan dapat memanfaatkannya untuk
meningkatkan efektivitas program terapi ARV. Selain itu penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pada bidang keilmuan terkait sehingga bisa digunakan
sebagai acuan oleh peneliti selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Adakah hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up pada odha
yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali
Tahun 2002-2012?
1.2.2 Adakah hubungan antara umur dengan loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun
2002-2012?
9
1.2.3 Adakah hubungan antara tingkat pendidikan dengan loss to follow up
pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti
Praja Bali Tahun 2002-2012 ?
1.2.4 Adakah hubungan antara jenis pekerjaan dengan loss to follow up pada
odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002-2012?
1.2.5 Adakah hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to
follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha
Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?
1.2.6 Adakah hubungan antara kadar CD4 dengan loss to follow up pada odha
yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali
Tahun 2002-2012?
1.2.7 Adakah hubungan antara berat badan odha dengan loss to follow up pada
odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002-2012?
1.2.8 Adakah hubungan antara kadar hemoglobin dengan loss to follow up pada
odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002-2012?
1.2.9 Adakah hubungan antara infeksi oportunistik yang menyertai dengan loss
to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha
Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012?
10
1.2.10 Adakah hubungan antara faktor risiko penularan dengan loss to follow up
pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti
Praja Bali Tahun 2002-2012?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up
pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002–2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini untuk mengetahui:
1. Karakteristik odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan
Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012, meliputi: a) jenis kelamin; b) umur; c)
pendidikan; d) pekerjaan; e) adanya pengawas minum obat (PMO); f) kadar
CD4; g) berat badan; h) kadar hemoglobin; i) infeksi oportunistik yang
menyertai; j) faktor risiko penularan saat pertama kali memulai terapi ARV
2. Hubungan antara beberapa variabel berikut pada odha yang menerima terapi
ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012 dengan
loss to follow up, yaitu: a) jenis kelamin; b) umur; c) pendidikan; d) pekerjaan;
e) pengawas minum obat (PMO); f) kadar CD4; g) berat badan; h) kadar
hemoglobin; i) infeksi oportunistik yang menyertai; dan j) faktor risiko
penularan.
11
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Dapat menjadi masukan untuk penentu kebijakan dalam merumuskan
program care support and treatment (CST) dan tata laksana pasien dalam
program terapi ARV.
1.4.2 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
pengembangan pengetahuan tentang faktor yang berhubungan dengan loss to
follow up pada odha dengan terapi ARV.
2. Dapat menjadi acuan bagi penelitian berikutnya, terutama yang berkaitan
dengan ARV dan HIV/AIDS.
12
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.1 Pengertian HIV/AIDS
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrom merupakan sekumpulan
gejala yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Menurut
Centers for Disease Control (CDC) dalam Depkes (2006) seseorang yang
terinfeksi HIV dapat dikatakan menderita AIDS jika dia telah menunjukkan
gejala dari suatu penyakit yang merupakan akibat dari penurunan daya tahan
tubuh atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3. Seseorang yang telah
terinfeksi HIV/AIDS disebut dengan odha yaitu orang yang hidup dengan
HIV/AIDS (Depkes RI, 2006).
2.1.2 Terminologi Penularan HIV
HIV ditemukan pada cairan semen, sekresi serviks/vagina, limfosit, sel-sel
dalam plasma bebas, cairan serebrospinal, air mata, saliva, air seni, serta air susu.
Meskipun demikian bukan berarti semua cairan ini dapat menularkan infeksi HIV
karena konsentrasi HIV dalam cairan-cairan tersebut sangat bervariasi.
Berdasarkan penelitian, hingga saat ini cairan yang dapat menularkan HIV adalah
darah dan air mani/cairan semen dan serviks/vagina, serta air susu ibu yang dapat
menularkan HIV dari ibu ke bayinya. Dengan kata lain HIV dapat tersebar melalui
hubungan seksual yang berisiko (baik homoseksual maupun heteroseksual),
13
penggunaan jarum suntik yang telah tercemar HIV, kecelakaan kerja pada sarana
pelayanan kesehatan (misalnya tanpa sengaja tertusuk jarum bekas pakai yang
telah tercemar HIV), transfusi darah, donor organ, tindakan medis invasif, serta
pada janin dari ibu yang telah terinfeksi HIV (baik pada saat mengandung,
melahirkan maupun saat pemberian air susu ibu). Sampai saat ini baik lewat
penelitian maupun laporan kasus, belum ada bukti bahwa HIV dapat menular
melalui kontak sosial, alat makan, toilet, kolam renang, udara di dalam ruangan,
atau oleh gigitan nyamuk/serangga (Depkes, 2006).
Epidemi HIV merupakan masalah serius yang menjadi tantangan kesehatan
masyarakat dunia. Secara umum kecenderungan epidemik terdiri dari tiga pola,
yaitu : (1) Epidemi meluas (generalized epidemic), yaitu keadaan dimana HIV
telah menyebar di populasi (masyarakat umum) yang ditunjukkan dengan
prevalensi lebih dari 1% diantara ibu hamil, (2) Epidemi terkonsentrasi
(concentrated epidemic), yaitu HIV yang menyebar di kalangan sub populasi
tertentu (seperti LSL, penasun, pekerja seks dan pasangannya) yang bisa dilihat
dari prevalensi lebih dari 5% secara konsisten pada sub populasi tersebut, dan (3)
epidemic rendah (low epidemic) yaitu HIV telah ada namun belum menyebar luas
pada sub populasi tertentu, prevalensi masih dibawah 5% pada sub populasi yang
dianggap berisiko (KPA, 2013).
2.1.3 Epidemi HIV/AIDS
Jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan ke Kementrian Kesehatan dalam
tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah kasus yang
dilaporkan sebanyak 28.317 kasus. Jumlah ini terus meningkat menjadi 30.121
14
kasus di tahun 2012, dan menjadi 34.645 kasus pada tahun 2013. Meskipun
jumlah kasus yang dilaporkan mengalami peningkatan, tetapi case fatality rate
(CFR) AIDS mengalami penurunan yaitu 3,58% pada tahun 2011, menjadi 3,79%
tahun 2012, dan 1,67% pada tahun 2013. Proporsi kasus AIDS yang terjadi sejak
1987 sampai dengan tahun 2013 lebih banyak terjadi pada laki-laki (55%)
dibandingkan perempuan (30%), dimana sebagian besar kasus AIDS terjadi pada
kelompok usia produktif yaitu pada kelompok umur 20-29 tahun (34%),
kelompok umur 30-39 tahun (29%), dan pada kelompok umur 40-49 tahun (11%).
Dilihat dari faktor risikonya, sebagian besar penularan kasus AIDS adalah melalui
heteroseksual yaitu sebanyak 63%, dan penularan melalui jarum suntik sebanyak
16% (Depkes,2014).
Prevalensi HIV di Indonesia dari beberaa tempat sentinel pada tahun 2006
berkisar antara 21%-52% pada penasun, 1-22% pada PSP, dan 3%-17% pada
waria. Sejak tahun 2000 prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa
sub populasi berisiko tertinggi tertentu. Penyebaran HIV yang sudah pada tahap
meluas (melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum dengan
prevalensi > 1%) terjadi di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat (KPA, 2013).
Dari tahun 1987 sampai dengan Agustus 2013 jumlah kumulatif kasus
HIV/AIDS yang dilaporkan di Provinsi Bali adalah 8563 kasus, dengan proporsi
kasus terbanyak adalah di Denpasar (40,67%), kemudian Kabupaten Buleleng
(18,33%), dan Kabupaten Badung (14,45%). Proporsi kasus HIV/AIDS di Bali
masih didominasi oleh kelompok heteroseksual (78%), penasun (10%),
homoseksual (5%), dan perinatal (3%). Berdasarkan jenis kelamin, 64%
15
diantaranya adalah laki-laki, sedangkan 36% adalah perempuan. Kasus paling
banyak pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebesar 39%, kelompok umur 30-
39 tahun, sebesar 36%, dan kelompok umur 40-49 tahun sebesar 14% (Dinkes
Provinsi Bali, 2014).
2.2 Terapi ARV
Terapi antiretroviral (ARV) ditemukan pada tahun 1995. Terapi ARV dapat
menekan replikasi HIV, dimana obat ini bekerja dengan mengurangi viral load
sampai serendah-rendahnya, sehingga mampu mengurangi kematian akibat AIDS.
Dalam Nasronudin (2007) disebutkan tujuan dari terapi ARV adalah :
a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan angka kematian
akibat AIDS
b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin
c. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal
d. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV
dalam plasma <50 kopi/ml.
Secara umum target terapi ARV dapat dilihat pada tabel berikut:
16
Tabel 2.1
Target Terapi Antiretroviral
Target Uraian
Klinis
Imunologis
Virologis
Terapeutik
Epidemiologis
Kualitas hidup penderita ditingkatkan seoptimal mungkin dan
dipertahankan tetap optimal selama mungkin. Umur harapan hidup
penderita diharapkan dapat diperpanjang selama mungkin sejauh
diupayakan oleh manusia secara wajar, rasional, dan manusiawi
Status imun yang terganggu diusahakan untuk dipulihkan. Jumlah
limfosit total diusahakan dan dipertahankan >1200 dan atau CD4
ditingkatkan dan dipertahankan >500sel/mm3
Jumlah virus dapat ditekan paling tidak di bawah 400 kopi per ml atau
idealnya di bawah 50 kopi per ml dan dipertahankan tetap rendah
selama mungkin
Obat ARV dapat diterima oleh tubuh penderita dengan efek samping
dan resistensi seminimal mungkin
Transmisi infeksi HIV menurun bermakna. Perjalanan epidemiologi
HIV harus dapat diubah Sumber : Nasronudin, 2007
Untuk memulai terapi ARV ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi,
diantaranya pemeriksaan kadar CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis
infeksi HIV-nya. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada
odha dewasa menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa tahun 2011:
17
Tabel 2.2
Rekomendasi untuk Memulai Terapi ARV
Target Populasi Stadium Klinis Jumlah Sel CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa
Stadium klinis 1 dan
2
> 350 sel/mm3
Belum mulai terapi.
Monitor gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 6-12
bulan
Stadium klinis 3 dan
4
< 350 sel/mm3
Mulai terapi
Pasien dengan ko-
infeksi TB
Stadium klinis 1, 2,
3, atau 4
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Pasien dengan ko-
infeksi Hepatitis B
Kronik aktif
Stadium klinis 1, 2,
3, atau 4
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Ibu Hamil
Stadium klinis 1, 2,
3, atau 4
Berapapun jumlah
sel CD4
Mulai terapi
Sumber : Kemenkes RI, 2011
Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral tahun 2007 merekomendasikan
pemberian ARV pada; a) odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum
pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4 ≤ 200 sel/mm3; b) odha dengan
gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika pasien darang
dengan jumlah CD4 <200 sel/mm3 dan stadium klinis 3 atau 4 tanpa memandang
jumlah CD4; c) perempuan hamil dengan HIV diberikan pada stadium klinis 1
atau 2 dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3, stadium klinis 3 dan kadar CD4 < 350
sel/mm3, dan stadium klinis 4 tanpa memandang jumlah CD4; d) odha dengan
Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan jika terdapat
gejala TB aktif dan jumlah CD4 <350 sel/mm3; sementara tidak ada rekomendasi
khusus pada odha dengan Koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum pernah
18
mendapat terapi ARV. Sedangkan Pedoman Nasional Pengobatan Antiretroviral
tahun 2011 merekomendasikan pemberian terapi ARV untuk; a) odha tanpa gejala
klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV jika kadar CD4
≤ 350 sel/mm3; b) odha dengan gejala klinis dan belum pernah mendapat terapi
ARV diberikan pada odha dengan stadium klinis 2 bila CD4 < 350 sel/mm3 atau
stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4; c) terapi ARV diberikan pada
semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis; d) odha
dengan Koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV diberikan tanpa
melihat jumlah CD4; dan e) odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif),
berapapun jumlah CD4 (Kemenkes, 2011).
Peraturan-peraturan mengenai pemberian terapi antiretroviral senantiasa
diperbaharui. Berdasarkan surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan
Infeksi Menular Seksual (IMS) pada bagian III (Upaya, Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan ) point 4 disebutkan bahwa “Inisiasi dini ART tanpa melihat nilai
CD4, dapat diberikan kepada mereka yang HIV (+) yaitu: Ibu hamil, pasien
koinfeksi TB, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi Hepatitis B dan C,
pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (Penasun), odha yang
pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom
secara konsisten”.
19
2.3 Efek Loss to Follow Up Terapi ARV
Penggunaan ARV pada odha merupakan salah satu upaya untuk
memperpanjang harapah hidup odha. ARV bekerja dengan menekan progresifitas
penyakit HIV, menekan replikasi virus, sehingga mampu menurunkan viral load
dan meningkatkan jumlah CD4. Meskipun ARV belum mampu menyembuhkan
penyakit atau membunuh HIV, namun terapi ARV telah mampu memulihkan
sistem imun pasien. Hal ini mengakibatkan infeksi oportunistik menjadi jarang,
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat HIV/AIDS, sehingga mampu
meningkatkan kualitas hidup odha (Depkes, 2006).
Secara umum pemberian terapi ARV diberikan dalam bentuk kombinasi yang
harus dikonsumsi seumur hidupnya. Odha yang menerima terapi ARV rentan
mengalami loss to follow up karena loss to follow up memiliki hubungan yang erat
dengan ketidakpatuhan odha dalam mengkonsumsi ARV (Honge dkk, 2013).
Odha yang loss to follow up akan memberikan efek, baik itu efek klinis maupun
program terapi ARV. Pada tingkatan klinis, kelanjutan terapi ARV odha yang loss
to follow up tidak akan dapat dievaluasi. Bagi odha yang memutuskan untuk
berhenti mengikuti terapi, akan memiliki risiko kematian yang lebih besar. Hal ini
disebabkan sistem imun yang awalnya dikendalikan oleh terapi ARV akan
menjadi semakin buruk, sehingga odha rentan terhadap infeksi oportunistik dan
berakibat pada kematian (Zhou dkk, 2012). Selain itu HIV akan menjadi resisten
dan akan menjadi kebal terhadap ARV. Akibatnya jika odha memutuskan untuk
kembali mengikuti terapi, kemungkinan odha akan mengalami kegagalan terapi di
lini 1 sehingga harus beralih ke lini 2. Akan tetapi apabila odha sudah sampai di
20
lini 2 tetapi kembali terjadi kegagalan terapi, ini berarti ARV sudah tidak mampu
mengendalikan replikasi HIV. Dengan kata lain akan terjadi resistensi obat
sehingga ARV tidak lagi dapat berfungsi atau terjadi kegagalan terapi ARV
(Mahardining, 2010). Selain itu, adanya loss to follow up akan mengakibatkan
risiko penularan yang lebih tinggi. Odha yang tidak mengikuti terapi ARV atau
berhenti mengikuti terapi ARV akan memiliki risiko untuk menularkan virusnya
pada orang lain. Pada tingkat program, loss to follow up akan menyebabkan
kesulitan untuk mengevaluasi efektivitas terapi ARV (Gerver dkk, 2010).
2.4 Faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha
yang Menerima Terapi ARV
Keberhasilan program terapi ARV dapat dilihat dari angka kepatuhan,
penurunan jumlah viral load, serta kelangsungan hidup odha (Gerver dkk, 2010).
Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah berkurangnya angka kejadian
AIDS dan kematian akibat AIDS pada pasien HIV. Hal ini dapat tercapai jika
semua odha yang menerima terapi ARV patuh berobat dan mengikuti terapi
dengan rajin. Namun kenyataannya, masih banyak odha yang tidak mengikuti
terapi dengan rajin atau loss to follow up.
Di berbagai negara telah banyak dilakukan penelitian untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV, diantaranya:
2.4.1 Jenis Kelamin
Beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan antara jenis kelamin dan
risiko loss to follow up menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Mosoko
21
dkk di Cameroon menunjukkan bahwa laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow
up dibandingkan perempuan (HR 1,33; 95% CI: 1,18-1,50) (Mosoko dkk, 2011).
Sedangkan hasil dari penelitian oleh Saka dkk yang dilakukan di Togo dari tahun
2008 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada
perempuan lebih besar daripada laki-laki (OR = 1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka dkk,
2013). Dalam penelitian oleh Odafe dkk pada tahun 2012, dinyatakan bahwa
kemungkinan laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up dikarenakan
perempuan cenderung lebih memperhatikan masalah kesehatan dibandingkan laki-
laki. Selain itu telah ada layanan kesehatan khusus bagi perempuan terutama
masalah kesehatan reproduksi dan anak, sementara belum ada layanan kesehatan
yang dikhususkan untuk laki-laki (Odafe dkk, 2012).
2.4.2 Umur
Umur yang semakin muda akan meningkatkan risiko odha untuk loss to
follow up. Menurut hasil penelitian oleh Saka dkk (2013) loss to follow up lebih
berisiko pada odha yang memulai terapi ARV pada umur di bawah 35 tahun (OR
= 1,6; 95%CI: 1,2-2,2). Kemungkinan odha loss to follow up pada umur yang
lebih muda dikarenakan penolakan psikologis bahwa mereka telah terinfeksi HIV
mereka mencoba mencari alternatif pengobatan lain. Sedangkan penelitian oleh
Honge dkk menunjukkan bahwa odha dengan umur <30 tahun lebih berisiko
untuk loss to follow up (Honge dkk, 2013).
2.4.3 Pendidikan, Pekerjaan, dan Pendapatan
Menurut hasil penelitian oleh Khrisnan dkk pada tahun 2011 loss to follow
up lebih banyak pada odha dengan pendidikan yang lebih rendah. Pekerjaan
22
berhubungan dengan pendapatan yang diperoleh. Pendapatan yang rendah
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi loss to follow up pada odha.
Penelitian yang dilakukan oleh Maru dkk di India menunjukkan bahwa odha
yang memiliki pendapatan yang rendah akan lebih berisiko untuk loss to follow
up, dan ada pula interaksi yang signifikan antara pendapatan yang rendah dengan
kadar CD4 yang rendah saat memulai terapi. Odha dengan kadar CD4 yang
rendah yang dibarengi dengan pendapatan yang rendah akan lebih meningkatkan
risiko untuk loss to follow up dibandingkan pengaruh kedua faktor ini secara
mandiri (Maru dkk, 2007). Salah satu pekerjaan yang rentan terhadap loss to
follow up adalah pekerja seks perempuan (PSP). Mereka biasanya hidup
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain dan jauh dari keluarga yang
mendukung sehingga risiko untuk loss to follow up akan lebih tinggi.
2.4.4 Adanya pengawas minum obat (PMO)
Salah satu faktor yang mempengaruhi odha loss to follow up adalah adanya
pengawas minum obat (PMO). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan
dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita dalam minum obat secara
teratur. Keberadaan PMO mungkin lebih dikenal dengan PMO pada pasien TBC.
PMO bertugas mengawasi dan memantau pasien agar meminum obat TBC secara
teratur sampai pengobatannya tuntas. Dalam kaitannya dengan TBC, keberadaan
PMO sangat penting. Telah ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa
PMO sangat berkontribusi terhadap kepatuhan pasien TBC untuk meminum obat
TBC sehingga pasien menjadi sembuh (Krisnawati, 2005; Hana, 2009; Putri,
2010). Konsep ini dapat digunakan pula untuk odha, dimana odha yang sedang
23
dalam terapi ARV di Yayasan Kerti Praja sebagian besar telah didampingi PMO.
PMO pada terapi ARV memiliki tugas yang hampir sama dengan PMO pada
pasien TBC. PMO dapat membantu mengingatkan odha untuk meminum ARV
secara teratur sesuai jadwal sehingga tetap bertahan pada terapi ARV yang
dijalani dan mengurangi risiko loss to follow up. Berdasarkan hasil dari review
beberapa literatur yang tercantum pada buku “Interventions to Improve Adherence
to Antiretroviral Therapy: A Review of the Evidence” oleh USAID (2006) tersebut
dinyatakan pula bahwa adanya Directly Observed Treatment (DOT) atau PMO
pada terapi ARV di tingkat fasilitas kesehatan yang disediakan oleh petugas
penjangkauan atau anggota keluarga adalah metode yang efektif dan murah untuk
membantu meningkatkan kepatuhan odha dalam mengkonsumsi ARV. Odha yang
patuh mengikuti terapi ARV akan menurunkan risiko loss to follow up.
2.4.5 Kadar CD4
Penelitian yang dilakukan oleh Martin dkk pada sejumlah program terapi
ARV di wilayah Afrika, Asia dan Amerika Selatan menemukan bahwa odha yang
memulai terapi ARV pada kadar CD4 < 25 sel/mm3 memiliki risiko yang lebih
besar untuk loss to follow up dibandingkan odha yang memulai terapi ARV pada
kadar CD4 50 sel/mm3 (HR: 1,48; 95% CI: 1,23–1,77) (Martin dkk, 2008).
Sementara penelitian oleh Gerver dkk di UK pada tahun 2010 menunjukkan
bahwa odha yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 <200 sel/mm3
dibandingkan kadar CD4 > 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to follow up
yang lebih besar (OR = 1,99, 95% CI:1,05-3,74). Serupa dengan hasil penelitian
tersebut, penelitian oleh Lanoy dkk juga menunjukkan bahwa odha yang memulai
24
terapi ARV dengan kadar CD4 < 200 sel/mm3 memiliki risiko untuk loss to
follow up yang lebih besar dibandingkan dengan kadar CD4 >200 sel/mm3 (Lanoy
dkk, 2006). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah peningkatan
jumlah CD4. Mereka yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 lebih tinggi
cenderung akan lebih rajin datang ke klinik dan meneruskan terapi ARV karena
trend CD4 akan cenderung meningkat karena sudah merasakan manfaat terapi
ARV. Sebaliknya apabila trend CD4 cenderung turun maka kemungkinan odha
akan mencari pengobatan lain dan tidak meneruskan terapi. Hal ini menunjukkan
adanya masalah kesehatan yang kompleks dan tekanan psikososial (Khrisnan dkk,
2011).
2.4.6 Berat badan
Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan seseorang. Odha yang
memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi atau kadar hemoglobin
yang normal akan memperoleh kondisi sehat yang lebih baik, hal ini
menyebabkan odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi
ARVnya karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Body mass index
(BMI) <18.5 kg/m2 menurut hasil penelitian oleh Honge dkk yang dilakukan di
Guinea-Bisaau merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan loss to
follow up (HR:1,32, 95% CI 0,97-1,79) (Honge dkk, 2013).
2.4.7 Kadar hemoglobin
Faktor lain adalah hemoglobin, dimana penelitian oleh Zhou dkk yang
dilakukan di 18 site di kawasan Asia Pasifik menyatakan bahwa odha dengan
kadar hemoglobin yang rendah berisiko untuk loss to follow up (Zhou dkk, 2012).
25
2.4.8 Infeksi oportunistik yang menyertai
Faktor lain adalah adanya infeksi oportunistik, dimana hasil dari penelitian
oleh Saka dkk menunjukkan bahwa risiko loss to follow up yang lebih besar pada
odha yang memiliki infeksi oportunistik saat pertama kali memulai terapi (OR =
2,3; 95%CI: 1,5-3,1) (Saka dkk, 2013). Adanya infeksi oportunistik menunjukkan
bahwa odha telah berada pada stadium yang lebih parah. Hal ini kemungkinan
menyebabkan odha menghentikan terapi atau mencari alternatif pengobatan lain.
2.4.9 Faktor risiko penularan
Odha dengan riwayat pengguna narkoba suntik merupakan salah satu faktor
yang berhubungan dengan loss to follow up. Hasil penelitian oleh Lebouche dkk
menunjukkan bahwa risiko loss to follow up pada odha dengan riwayat pengguna
narkoba suntik lebih besar daripada laki-laki yang melakukan hubungan seksual
dengan laki-laki (LSL) (OR=5,3; 95% CI 2,7-10,5) (Lebouche dkk, 2006).
2.4.10 Jarak tempat tinggal dengan layanan
Ada pula yang menyatakan bahwa jarak antara tempat tinggal dengan layanan
mempengaruhi loss to follow up. Penelitian oleh Mosoko dkk di tahun 2011
menunjukkan bahwa odha yang tinggal > 150 km dari layanan memiliki risiko
untuk loss to follow up yang lebih besar (HR=1,41, 95% CI :1,18-1,69)(Mosoko et
al. 2011). Hal ini dikarenakan kesulitan yang dirasakan odha untuk menjangkau
layanan yang dirasa jauh, sehingga mereka enggan untuk meneruskan terapi.
26
2.5 Perilaku
2.5.1 Pengertian Perilaku
Menurut Notoatmodjo dalam Maulana (2009) perilaku merupakan
perwujudan dari hasil interaksi antara pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan. Perilaku akan dapat diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap,
dan tindakan. Perilaku merupakan faktor kedua terbesar yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat setelah faktor lingkungan.
Apabila dilihat dari segi biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas makhluk hidup yang bersangkutan, dimana semua makhluk hidup baik
itu manusia, hewan, maupun tumbuhan memiliki perilaku masing-masing karena
semua memiliki aktivitas. Perilaku manusia merupakan tindakan atau aktivitas
manusia yang bisa diamati oleh pihak luar baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dari segi psikologis, menurut Skinner dalam Maulana (2009)
menyatakan bahwa perilaku merupakan reaksi seseorang terhadap rangsangan
yang datang dari luar (stimulus), pengertian ini dikenal dengan teori S-O-R
(stimulus-organisme-respons). Skinner membedakan respon menjadi dua jenis,
yaitu :
a. Respondent response atau reflexive, merupakan tanggapan yang ditimbulkan
oleh rancangan stimulus tertentu yang menimbulkan respon yang relatif tetap.
Keberadaan respon ini sangat terbatas dan susah untuk dimodifikasi.
b. Operant response atau instrumental response, merupakan respon yang timbul
dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
27
Perilaku odha terhadap terapi ARV sangat mempengaruhi kelangsungan terapi
ARV yang dijalaninya. Beberapa perilaku tersebut akan dapat dijelaskan pada
teori atau model perilaku kesehatan.
2.5.2 Teori atau Model Perilaku Kesehatan
Timbulnya perilaku didasarkan pada tingkat kebutuhan manusia, artinya
perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Maslow dalam
Maulana (2009) manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu physiological
needs, safety needs, social needs or the belonging and love, the esteem needs, dan
self actualization needs. Tingkat dan jenis kebutuhan ini merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahan satu dengan lainnya.
Perilaku manusia dapat dibentuk sesuai dengan harapan yang dikehendaki.
Ada berbagai teori tentang faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi
pembentukan perilaku. Teori-teori tersebut antara lain :
a. Teori Lawrence Green (1980)
Teori yang dinyatakan oleh Green (1980) menyatakan bahwa perilaku
seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factor). Faktor ini merupakan faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang, meliputi pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai-nilai, norma sosial, budaya, dan
faktor sosio demografi.
Faktor pengetahuan odha terhadap terapi ARV baik manfaat maupun efek
sampingnya, sikap dan kepercayaan odha terhadap dokter yang merawat serta
28
manfaat dari terapi ARV yang diterima merupakan faktor predisposisi odha
untuk rajin atau teratur menjalani terapi ARVnya.
2. Faktor pendukung (enabling factor), yang memungkinkan terjadinya perilaku.
Faktor ini berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber
khusus yang mendukung dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan.
Sarana kesehatan di tempat layanan ARV, jauh dekatnya tempat layanan, serta
fasilitas di tempat layanan merupakan beberapa faktor pendorong yang
mempengaruhi loss to follow up pada odha atau tetap menjalankan terapinya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor), yang memperkuat perilaku termasuk
sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat.
Perilaku odha terhadap terapi ARV diperkuat juga oleh sikap dan perilaku
dokter atau perawat di tempat layanan, adanya orang atau kelompok lain yang
mendapat terapi ARV di tempat yang sama, atau adanya dukungan dari tokoh
masyarakat setempat, atau adanya pengawas minum obat (PMO).
Teori Green dapat dirumuskan sebagai berikut :
B = Behaviour
F = fungsi
PF = Predisposing factor
EF = Enabling factor
RF = Reinforcing factor
b. Health Belief Model (HBM)
B = f (PF, EF, RF)
29
Health Belief Model (HBM) telah dikembangkan sejak tahun 1950an sebagai
upaya menjelaskan kegagalan partisipan masyarakat dalam program pencegahan
atau deteksi penyakit oleh ahli psikologi sosial di Amerika. HBM digunakan juga
untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas penting yang berdampak
terhadap pengambilan keputusan secara rasional dalam situasi yang tidak
menentu. HBM merupakan model kognitif yang digunakan untuk meramalkan
perilaku peningkatan kesehatan (Maulana, 2009).
HBM mengemukakan bahwa kemungkinan seseorang melakukan tindakan
pencegahan dipengaruhi oleh beberapa keyakinan, yaitu :
1. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or
illness). Hal ini berhubungan dengan sejauh mana seseorang menganggap
penyakit atau kesakitan merupakan ancaman bagi diriya. Apabila ancaman
yang dirasakan meningkat maka perilaku pencegahan terhadap risiko juga
akan meningkat. Dalam hal terapi ARV jika seorang odha menganggap bahwa
HIV yang dideritanya merupakan ancaman yang sangat mematikan bagi
dirinya, maka perilakunya mungkin akan teratur mengkonsumsi ARV.
Penilaian tentang ancaman yang dirasakan didasarkan pada beberapa hal,
yaitu:
a) Kerentanan yang dirasakan (perceived vulnerability). Merupakan
keyakinan seseorang bahwa ia rentan atau berisiko terhadap masalah
kesehatan tertentu.
b) Keseriusan yang dirasakan (perceived severity). Persepsi tentang tingkat
keseriusan atau keparahan jika penyakit dibiarkan atau tidak ditangani.
30
Odha mungkin akan merasa jika ia tidak teratur mengkonsumsi ARV
maka HIV dapat berkembang menjadi AIDS dan menyebabkan kematian
yang lebih cepat.
2. Keuntungan dan kerugian (benefits and cost). Merupakan pertimbangan
seseorang untuk melakukan tindakan pencegahan atau tidak berdasarkan
keuntungan dan kerugian perilakunya. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan
odha bahwa dengan konsumsi ARV secara teratur dapat menurunkan risiko
kematian akibat AIDS.
3. Keyakinan terhadap posisi yang menonjol (salient position). Merupakan
petunjuk untuk berperilaku yang diduga tepat untuk memulai proses perilaku.
Keyakinan ini diperoleh dari informasi dari luar atau nasehat mengenai
permasalahan kesehatan seperti kampanye, nasehat orang lain, media massa,
dan sebagainya. Penilaian terhadap permasalahan kesehatan terdahulu
merupakan petunjuk untuk berperilaku (cues to action) diduga tepat untuk
memulai proses perilaku.
Beberapa faktor di atas seperti ancaman, keseriusan, kerentanan,
pertimbangan keuntungan dan kerugian dipengaruhi oleh beberapa variabel,
antara lain : 1) variabel demografi; seperti umur, jenis kelamin, latar belakang
budaya, 2) variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, kelas sosial, dan
tekanan sosial, dan 3) variabel struktural; seperti pengetahuan dan pengalaman
sebelumnya (Maulana, 2009).
c. Social Learning Theory
31
Perilaku dibentuk berdasarkan pada teori belajar social/Social Learning
Theory yang dikemukakan oleh Bandura tahun 1977. Menurut teori ini pada
dasarnya pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan menggunakan contoh atau
model (dalam Maulana, 2009). Dalam Social Learning Theory yang dikemukakan
oleh Bandura dinyatakan bahwa perilaku ditentukan oleh harapan dan insentif.
1. Harapan
Harapan dibagi menjadi tiga jenis (Rosenstock dkk., 1988), yaitu :
a) Harapan tentang isyarat lingkungan (yaitu keyakinan tentang bagaimana
peristiwa terhubung - tentang apa yang menyebabkan apa) .
b) Harapan tentang konsekuensi dari tindakan diri sendiri (yaitu pendapat
tentang bagaimana perilaku individu kemungkinan akan mempengaruhi
hasil) yang biasa disebut sebagai ekspektasi hasil .
c) Harapan tentang kemampuan diri sendiri untuk melakukan perilaku
diperlukan untuk mempengaruhi hasil. Hal ini disebut ekspektasi efikasi
(self-efficacy)
2. Insentif
Insentif (atau penguatan) didefinisikan sebagai nilai objek tertentu atau
hasil. Hasilnya mungkin status kesehatan, penampilan fisik, persetujuan
lain, keuntungan ekonomi, atau konsekuensi lainnya. Perilaku diatur oleh
konsekusensi atau penguatan, tetapi hanya konsekuensi yang mampu dimengerti
dan dipahami oleh individu tersebut.
32
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP PENELITIAN, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Faktor yang berhubungan dengan odha loss to follow up lebih tepat bila
dijelaskan dengan perilaku, sebab loss to follow up merupakan tindakan odha
terkait perilakunya dalam mengikuti terapi ARV.
Terdapat 3 faktor yang dapat mempengaruhi perilaku yang berhubungan
dengan loss to follow up, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi: pengetahuan, status sosio
demografi (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan),
kepercayaan terhadap dokter yang merawat, serta manfaat yang dirasakan
dengan terapi ARV. Laki-laki lebih berisiko untuk loss to follow up
dibandingkan dengan perempuan karena perempuan cenderung lebih
memperdulikan masalah kesehatannya sehingga mereka lebih patuh dalam
mengikuti terapi. Odha lebih muda lebih berisiko untuk loss to follow up
dikaitkan dengan penolakan psikologis di usia yang masih muda. Mereka akan
susah menerima kondisinya yang telah terinfeksi HIV, kondisi ini
menyebabkan mereka lebih labil sehingga menjadi loss to follow up selama
mengikuti terapi ARV. Demikian pula dengan pendidikan, risiko loss to follow
up akan lebih tinggi pada odha dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Odha dengan pendidikan lebih tinggi cenderung berpikir jangka panjang, akan
33
memikirkan ancaman yang akan didapat jika tidak melanjutkan terapi, lebih
mudah menerima informasi baik dari media massa, kampanye, atau nasehat
orang lain sehingga mempengaruhi perilakunya untuk tetap rajin mengikuti
terapi. Pekerjaan berkaitan dengan pendapatan yang diterima. Odha dengan
pendapatan rendah akan cenderung loss to follow up terhadap terapi ARV.
Salah satu pekerjaan yang memiliki risiko loss to follow up adalah pekerja
seks perempuan, karena mereka hidup berpindah-pindah dan jauh dari
keluarga yang bisa memberikan dukungan.
2. Faktor pendukung (enabling factor), meliputi: sarana dan prasarana yang
disediakan di layanan ARV dan jarak antara tempat tinggal dengan layanan
kesehatan penyedia ARV.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor), meliputi sikap dan perilaku dokter
atau perawat di tempat layanan, adanya teman yang ikut mendapat layanan
ARV di tempat tersebut, adanya dukungan keluarga dan tokoh masyarakat
setempat, serta adanya pengawas minum obat (PMO). PMO merupakan orang
yang bertugas untuk mengingatkan odha untuk minum ARV secara teratur.
Keberadaan mereka diharapkan turut membantu agar odha teratur minum
ARV sehingga menekan risiko untuk loss to follow up.
Selain faktor perilaku ada pula faktor klinis yang mempengaruhi loss to
follow up. Dari aspek klinis beberapa faktor yang memiliki pengaruh dengan loss
to follow up antara lain kadar CD4 saat pertama kali memulai terapi ARV. Kadar
CD4 merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi odha yang loss to
follow up. Odha yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 yang lebih tinggi
34
dikaitkan dengan peningkatan kadar CD4 yang lebih tinggi sehingga odha untuk
menjalani terapi dengan teratur semakin baik. Hal ini berkatan dengan faktor
benefits yang telah dirasakan oleh odha sehingga ia melanjutkan terapinya.
Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi atau
kadar hemoglobin yang normal akan memperoleh kondisi sehat yang lebih baik,
hal ini menyebabkan odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan
terapi ARVnya karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV.
Adanya infeksi oportunistik menunjukkan bahwa odha telah berada pada
stadium yang lebih parah. Hal ini kemungkinan menyebabkan odha menghentikan
terapi atau mencari alternatif pengobatan lain. Selain itu odha dengan risiko
penularan melalui jarum suntik (pengguna narkoba suntik), yang tinggal jauh dari
tempat layanan (>150 km), dan merokok memiliki risiko loss to follow up yang
lebih besar dibandingkan faktor risiko penularan lainnya.
35
3.2 Konsep Penelitian
PERILAKU
Gambar 3.2
Konsep Penelitian
Faktor predisposisi
(predisposing factor):
1. Pengetahuan
2. Jenis kelamin
3. Umur
4. Pendidikan
5. Pekerjaan
6. Pendapatan
7. Kepercayaan terhadap
dokter yang merawat
8. Manfaat yang
dirasakan dengan
terapi ARV.
Faktor pendukung
(enabling factor):
1. Sarana dan prasarana
yang disediakan di
layanan ARV
2. Jarak antara tempat
tinggal dengan layanan
kesehatan penyedia
ARV
Faktor pendorong
(reinforcing factor):
1. Sikap dan perilaku
dokter atau perawat di
tempat layanan
2. Adanya teman yang ikut
mendapat layanan ARV
di tempat tersebut
3. Adanya dukungan
keluarga dan tokoh
masyarakat setempat 4. Adanya pengawas
minum obat (PMO).
1. Kadar CD4
2. Berat badan
3. Kadar hemoglobin
4. Infeksi Oportunistik
5. Faktor risiko penularan
Loss to follow up
KLINIS
Menerima
terapi ARV
Keterangan :
Diteliti
Tidak diteliti
36
Faktor-faktor yang berhubungan dengan loss to follow up yang diteliti adalah:
jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, adanya pengawas minum obat
(PMO), kadar CD4, berat badan, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik, dan
faktor risiko penularan.
1.3 Hipotesis Penelitian
Dari kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
1.3.1 Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up pada odha
yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali
Tahun 2002-2012
1.3.2 Ada hubungan antar umur terhadap loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun
2002-2012
1.3.3 Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan loss to follow up pada
odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002-2012
1.3.4 Ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan loss to follow up pada odha
yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali
Tahun 2002-2012
1.3.5 Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow
up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan
Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012
37
1.3.6 Ada hubungan antara kadar CD4 dengan loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali Tahun
2002-2012
1.3.7 Ada hubungan antara berat badan odha dengan loss to follow up pada odha
yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja Bali
Tahun 2002-2012
1.3.8 Ada hubungan antara kadar hemoglobin dengan loss to follow up pada
odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
Bali Tahun 2002-2012
1.3.9 Ada hubungan antara infeksi oportunistik yang menyertai dengan loss to
follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha
Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012
1.3.10 Ada hubungan antara faktor risiko penularan dengan loss to follow up
pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti
Praja Bali Tahun 2002-2012
38
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan melakukan analisis
data sekunder secara retrospektif pada kohort odha yang menerima layanan ARV
di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja tahun 2002 sampai dengan 2012.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja,
pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan Maret
2014. Klinik ini memberikan pelayanan pemberian ARV terhadap odha serta
memiliki rekam medis yang lengkap. Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja
merupakan salah satu satelit pemberian layanan ARV RS Sanglah. Dibandingkan
dengan RS Sanglah, rekam medis di YKP lebih mudah untuk diekstraksi
sehingga dengan mempertimbangkan waktu penelitian yang terbatas dipilihlah
Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh odha yang menerima terapi ARV di
Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja, dengan kriteria inklusi adalah odha yang
pertama kali menerima terapi ARV di Klinik Amertha, sedangkan kriteria
39
eksklusi adalah odha yang hanya satu kali melakukan kunjungan. Sampai dengan
11 Januari 2014 jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 787 orang.
4.3.2 Jumlah dan Besar Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh odha yang
menerima terapi ARV di Klinik Amertha periode 2002-2012 yang memenuhi
kriteria inklusi.
Perhitungan jumlah sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan rumus yang sama untuk penentuan sampel uji hipotesis terhadap 2
proporsi pada dua kelompok tidak berpasangan, sebagai berikut:
2
21
2
2211
)(
2
PP
QPQPZPQZn
Dengan asumsi :
P2 = 45% = 0,45
Q2 = 1-0,45 = 0,55
Z = 0.05 = 1,96
z = 0,20=0,84
d (P1 – P2) = presisi yang diinginkan adalah 25%, sehingga P1 = 0,70
Q1= 1-0,70 = 0,30
P = (0,70+0,45)/2 = 0,6
Q = 1-0,6= 0,4
2
2
)45,070,0(
55,045,030,070,084,04,06,0296,1
xxxxn
n1 = n2 =61 sampel
40
P2 merupakan proporsi paparan pada kelompok yang tidak loss to follow up,
didapat dengan survei kecil pada 20 kelompok yang tidak loss to follow up
(dengan risiko pengguna narkoba suntik).
Jadi jumlah sampel minimal untuk kelompok yang loss to follow up sebanyak 61
orang dan jumlah sampel untuk kelompok yang tidak loss to follow up sebanyak =
2x61 = 122 orang. Namun dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan
adalah seluruh odha dalam terapi ARV yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak
548 orang, sehingga jumah sampel minimal sudah terpenuhi. Penggunaan semua
sampel odha yang menerima terapi ARV dengan pertimbangan kelengkapan
rekam medis pada sampel sehingga memerlukan sampel yang lebih besar.
Peningkatan presisi 25% dipilih untuk mendapatkan sampel yang sesuai karena
keterbatasan jumlah sampel yang loss to follow up.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel dependent dan
variabel independent. Variabel dependent dalam penelitian ini adalah loss to
follow up sedangkan variabel independent adalah: 1) jenis kelamin; 2) umur; 3)
tingkat pendidikan; 4) jenis pekerjaan; 5) adanya pengawas minum obat (PMO);
6) kadar CD4; 7) berat badan; 8) kadar hemoglobin; 9) infeksi oportunistik yang
menyertai; dan 10) faktor risiko penularan.
41
4.4.2 Definisi Operasional
Tabel 4.1
Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel Definisi Operasional Cara
Pengumpulan
Data
Alat
Pengumpulan
Data
Skala
1 2 3 4 5
1. Jenis kelamin
2. Umur
3. Tingkat
Pendidikan
4. Jenis Pekerjaan
5. Pengawas Minum
Obat (PMO)
6. Kadar CD4
7. Berat badan
8. Infeksi
Oportunistik
Jenis kelamin yang
tercatat di rekam medis
Umur (dalam tahun)
saat pertama kali
memulai terapi ARV
yang tercatat di rekam
medis. Cut off point
ditentukan dengan
melihat nilai median
(32 tahun)
Tingkat pendidikan
terakhir yang ditempuh
yang tercatat di rekam
medis
Jenis pekerjaan yang
tercatat di rekam medis
Memiliki seseorang
yang menjadi
pengawas pasien
selama minum ARV
yang tercatat di rekam
medis
Kadar CD4 saat
pertama kali memulai
terapi ARV
Berat badan saat
pertama kali memulai
terapi ARV yang
tercatat di rekam
medis. Cut off point
ditentukan dengan
melihat nilai median
(55 kg)
Infeksi oportunistik
saat pertama kali
memulai terapi yang
tercatat di rekam medis
Review
dokumen
Formulir
pengumpulan
data
Nominal
Interval
Ordinal
Nominal
Nominal
Interval
Interval
Nominal
42
1 2 3 4 5
9. Kadar
Hemoglobin
10. Faktor Risiko
Penularan
11. Loss to follow up
Kadar Hemoglobin
saat pertama kali
memulai terapi ARV
yang tercatat di rekam
medis. Cut off point
ditentukan dengan
melihat nilai median
(12gr/dL)
Cara penularan virus
HIV yang dialami
odha pertama kali yang
tercatat di rekam medis
Odha yang tidak
melanjutkan terapi
ARV di YKP selama >
3 bulan, atau tidak
diketahui keberadaan
maupun status
penggunaan ARVnya,
atau putus obat.
Sebagai start point
adalah tanggal
pertama kali odha
memulai terapi
ARV, dan end
point adalah
tanggal kunjungan
terakhir odha (baik
yang loss to follow
up, meninggal atau
pindah).
Sebagai sensor
adalah odha yang
telah meninggal
atau pindah.
Interval
Nominal
Nominal
4.5. Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah formulir pengumpulan
data yang berisi variabel-variabel yang diteliti. Setiap subjek diekstraksi ke dalam
satu formulir yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisikan data diri
odha, meliputi: nama, nomor rekam medis, tanggal lahir, nama konselor, jenis
43
kelamin, risiko atau paparan, pekerjaan, pendidikan, dan kadar CD4 pertama kali.
Sedangkan bagian kedua berisikan riwayat pemeriksaan dan penggunaan terapi
ARV. Bagian kedua terdiri dari beberapa baris dan kolom. Baris terdiri dari
tanggal kunjungan odha sejak pertama kali datang ke Klinik Amertha Yayasan
Kerti Praja sampai kunjungan terakhirnya. Kolom terdiri dari data tanggal tes
CD4, jumlah CD4, alasan kunjungan, jenis IO, berat badan, tanggal tes dan hasil
pemeriksaan hemoglobin, tanggal mulai terapi ARV, dan keberadaan PMO.
4.6. Prosedur Pengumpulan Data
4.6.1 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data
dari kohort odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti
Praja periode 2002 sampai dengan 2012. Adapun data yang dikumpulkan adalah
seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan, adanya PMO, kadar CD4,
berat badan, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik, dan faktor risiko penularan
dan data loss to follow up, termasuk pula tanggal pertama kali memulai terapi
ARV dan tanggal kunjungan terakhir.
4.6.2 Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan ekstraksi rekam medis masing-masing odha
yang menggunakan ARV periode 2002 sampai dengan 2012 di Klinik Amertha
Yayasan Kerti Praja yang memenuhi kriteria inklusi ke dalam formulir
pengumpulan data yang telah dipersiapkan. Selanjutnya data pada formulir
pengumpulan data yang masih dalam bentuk hard copy akan dibuat ke dalam
44
bentuk soft copy (dalam bentuk microsoft excel) untuk memudahkan analisis.
Untuk menjaga kerahasiaan data odha sebagai sampel maka dalam proses
ekstraksi data akan dilaksanakan oleh peneliti dengan mencantumkan nomor
identitas tanpa mencantumkan nama odha yang akan disimpan dalam file khusus
yang bersifat rahasia.
4.6.3 Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Pembersihan Data
Pada tahap ini data diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data. Apabila
ditemukan data yang kurang jelas atau kurang lengkap, maka akan dilihat kembali
rekam medis dalam bentuk hard copy.
2. Pemberian Skor
Beberapa variabel pada skala pengukuran pada saat pengumpulan data
dikategorikan dan diberikan skor untuk memudahkan analisis.
3. Memasukkan ke dalam Komputer
Data yang telah dikategorikan kemudian dimasukkan ke dalam Microsoft
Excel, kemudian dibuatkan ke dalam format STATA.
4. Tabulasi Data
Data kemudian dianalisis dengan STATA dan disajikan secara deskriptif ke
dalam bentuk tabel.
45
4.7. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan program STATA, meliputi analisis univariat,
bivariat, dan multivariat.
4.7.1 Analisis Univariat
Pada variabel yang berskala interval, akan dilakukan analisis deksriptif untuk
mendapatkan nilai mean dan standar deviation (SD).
4.7.2 Analisis Bivariat
Distribusi frekuensi masing-masing variabel dilakukan dengan melakukan
tabulasi silang antara variabel independent (jenis kelamin, umur, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, adanya pengawas minum obat (PMO), kadar CD4,
berat badan, kadar hemoglobin, infeksi oportunistik yang menyertai, dan faktor
risiko penularan saat pertama kali memulai terapi ARV) dengan variabel
dependent.
Untuk memperhitungkan waktu terjadinya loss to follow up dilakukan
analisis berdasarkan waktu, karena waktu pengamatan masing-masing subjek
tidak sama, menggunakan survival analysis. Pada analisis ini, akan diperoleh
nilai rate loss to follow up per 100 person years atau hazard rate. Nilai ini juga
digunakan untuk menggambarkan rate loss to follow up per 100 person years pada
setiap kategori variabel. Selain rate per 100 person years diketahui pula nilai
median atau nilai tengah loss to follow up sejak subjek pertama kali memulai
terapi hingga menjadi loss to follow up dan inter quartil range (IQR) yang
menggambarkan persentil yang ke 25% sampai persentil ke 75% dari waktu loss
to follow up.
46
Hasil dari survival anaysis digambarkan dalam bentuk kurve Kaplan-Meier,
Hazard Ratio (HR) loss to follow up beserta jumlah pasien yang masih
mempunyai kesempatan untuk loss to follow up.
Analisis dengan menggunakan Cox Proportional Hazard Regression
digunakan untuk memperoleh Hazard Ratio (HR) dari loss to follow up odha yang
menerima terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja periode 2002
sampai dengan 2012, dengan memasukkan variabel dependent dengan masing-
masing variabel independent. Pada analisis ini, akan diperoleh nilai HR, nilai p
spesifik, dan nilai p untuk crude HR dengan tingkat kepercayaan 95%.
Untuk menentukan nilai p untuk crude HR pada variabel dengan lebih dari 2
kategori maka pada data kategorikal akan dilakukan dengan menggunakan
testparm dan untuk data interval akan digunakan test trend. Pada saat analisis
untuk memperoleh nilai p untuk crude HR, data pasien yang missing dikeluarkan
dari model analisis. Sehingga data missing tidak mempengaruhi hasil analisis.
Hubungan antara variabel independent terhadap variabel dependent dapat
dilihat dari nilai p. Nilai HR dan 95% CI dari HR. Ho ditolak bila p < 0,05 dan
nilai HR ≠ 1 dengan 95% CI dari HR, dimana 1 berada di luar CI. HR < 1 berarti
variabel tersebut dapat menurunkan risiko untuk loss to follow up, HR > 1
menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat meningkatkan risiko loss to follow
up, sedangkan HR = 1 berarti variabel tersebut tidak berhubungan dengan loss to
follow up.
47
4.7.3 Analisis Multivariat
Analisis menggunakan Cox Proportional Hazard Regression dilakukan
kembali untuk mengetahui besarnya hubungan antara loss to follow up dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi secara bersama-sama (untuk menghilangkan
efek variabel confounding). Variabel dependent dimasukkan bersama-sama
dengan variabel independent. Variabel independent yang dimasukkan ke dalam
model adalah variabel yang pada analisis bivarat memiliki nilai p < 0,20. Metode
seleksi yang akan digunakan adalah metode backward dimana satu persatu
variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari model sampai diperoleh model
akhir.
Pada analisis ini juga diperoleh nilai Hazard Ratio (HR), nilai p spesifik, dan
nilai p untuk crude HR dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk variabel dengan
lebih dari dua kategori, dicari nilai p untuk crude HR dengan melakukan testparm
(untuk data kategorikal) dan test trend (untuk data interval). Pengaruh antara
variabel dependent dengan variabel independent dapat dilihat dari nilai p (dimana
dikatakan signifikan jika nilai p < 0,05), nilai HR dan 95% CI dari HR. Ho
ditolak bila p < 0,05 dan nilai HR ≠ 1 dengan 95% CI dari HR, dimana 1 berada di
luar CI. HR < 1 berarti variabel tersebut dapat menurunkan risiko untuk loss to
follow up, HR > 1 menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat meningkatkan
risiko loss to follow up, sedangkan HR = 1 berarti variabel tersebut tidak
berhubungan dengan loss to follow up.
48
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Dari jumlah populasi 787 orang diperoleh jumlah sampel yang memenuhi
syarat dalam penelitian ini sebanyak 548 orang (69,6%). Dari jumlah tersebut 77
orang diantaranya loss to follow up (14,1%) dan 471 orang (85,9%) tidak loss to
follow up. Komparabilitas sampel penelitian (odha yang loss to follow up dan
tidak loss to follow up) disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 memperlihatkan sampel berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
pada kelompok yang tidak loss to follow up (59,45%) dibandingkan kelompok
yang loss to follow up (45,45%). Sampel yang berumur ≤32 tahun lebih banyak
pada kelompok loss to follow up (74,03%) dibandingkan kelompok tidak loss to
follow up (59,02%). Sebanyak 48,41% sampel memiliki pendidikan yang lebih
rendah pada kelompok tidak loss to follow up sementara pada kelompok loss to
follow up sebanyak 46,75%. Pekerjaan sebagai pekerja seks lebih banyak pada
kelompok loss to follow up (38,96%) dibandingkan kelompok yang tidak loss to
follow up (25,05%). Sebanyak 69,21% kelompok tidak loss to follow up memiliki
PMO, sementara pada kelompok loss to follow up sebanyak 61,04%. Kelompok
tidak loss to follow up yang memulai terapi ARV pada kadar CD4< 100 sel/mm3
sebanyak 43,80%, sedangkan pada kelompok loss to follow up sebanyak 36,36%.
Hanya 33,77% odha pada kelompok yang loss to follow up yang memiliki berat
badan >55kg, sementara pada kelompok tidak loss to follow up sebanyak 43,74%.
49
Kadar hb awal >12g/dL pada kelompok tidak loss to follow up sebanyak 66,45%,
sedangkan pada kelompok loss to follow up sebanyak 57,14%. Sebanyak 16,56%
odha pada kelompok tidak loss to follow up memiliki IO, sementara pada
kelompok loss to follow up sebanyak 11,69%. Sebanyak 21,02% odha pada
kelompok heteroseksual sebagai pekerja seks tidak loss to follow up, sementara
yang loss to follow up sebanyak 31,47%.
Tabel 5.1
Komparabilitas Sampel Penelitian
Karakteristik Tidak Loss to Follow Up (N=471)
n(%)
Loss to Follow Up (N=77)
n(%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
280 (59,45)
191 (40,55)
35 (45,45)
42 (54,55)
Umur
≤ 32 th
>32 th
Mean (SD) = 32 (7,8)
278 (59,02)
193 (40,98)
57 (74,03)
20 (25,97)
Pendidikan
SMP, SMA, PT
Tidak sekolah, SD
243 (51,59)
228 (48,41)
41 (53,26)
36 (46,75)
Pekerjaan
Pekerja Seks
Lain-lain
Missing
118 (25,05)
351 (74,52)
2 (0,42)
30 (38,96)
46 (59,74)
1 (1,30)
Pengawas Minum Obat
Memiliki
Tidak memiliki
326 (69,21)
145 (30,79)
47 (61,04)
40 (38,96)
Kadar CD4
< 100 sel/mm3
100-199 sel/mm3
≥ 200 sel/mm3
Missing
Mean (SD) = 142 (110,1)
205 (43,80)
112 (23,93)
151 (32,26)
3 (0,64)
28 (36,36)
20 (25,97)
29 (37,66)
0 (0)
Berat Badan
≤ 55 kg
˃ 55 kg
Missing
Mean (SD) = 55 (10,4)
262 (55,63)
206 (43,74)
3 (0,64)
48 (62,34)
26 (33,77)
3 (3,90)
50
1 2 3
Hemoglobin
≤12 g/dL
˃ 12 g/dL
Missing
Mean (SD) = 12 (2)
152 (32,27)
313 (66,45)
6 (1,27)
29 (37,66)
44 (57,14)
4 (5,19)
Infeksi Oportunistik
Tidak
Ya
393 (83,44)
78 (16,56)
68 (88,30)
9 (11,69)
Faktor Risiko Penularan
Heteroseksual PS
Hteroseksual Non PS
Homoseksual
Penasun
99 (21,02)
158 (33,55)
87 (18,47)
127 (26,96)
25 (31,47)
24 (31,17)
16 (20,78)
12 (15,58)
Insiden rate loss to follow up di YKP adalah 5,15 per 100 person years,
sedangkan median time loss to follow up sampai akhir pengamatan tidak tercapai.
Kurva loss to follow up digambarkan pada kurva Kaplan-Meier sebagai berikut:
0.0
00
.25
0.5
00
.75
1.0
0
0 5 10analysis time
Kaplan-Meier failure estimate
Gambar 5.1
Kurva Kalpan Meir Loss to Follow Up
Pro
bab
ility
of
Loss
to
Fo
llow
Up
51
5.2 Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to
Follow Up pada Odha
Analisis variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, adanya
pengawas minum obat, kadar CD4, berat badan, hemoglobin, adanya infeksi
oportunistik yang menyertai serta faktor risiko penularan sebagai faktor-faktor
yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha ditentukan berdasarkan
nilai p , nilai HR, dan 95% CI dari HR dengan menggunakan Cox Proportional
Hazard Regression. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Hasil Analisis Bivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to Follow
Up pada Odha
Karakteristik Rate lost to follow up
per 100 person years
Analisis Bivariat
Lost Rate 95% CI Haz. Ratio 95% CI p p
group
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
35
42
4,1
6,6
2,9-5,7
4,9-9
1,0 (ref)
1,6
1,02-2,52
0,039
Umur
≤ 32 th
>32 th
57
20
6
3,7
4,6-7,8
2,4-5,7
1,0 (ref)
0,6
0,37 -1,02
0,057
Tingkat Pendidikan
SMP, SMA, PT
Tidak sekolah, SD
41
36
7,1
7,8
4,3-7,9
3,3-6,4
1,0 (ref)
0,8
0,52-1,29
0,393
Jenis Pekerjaan
Lain-lain
Pekerja Seks
Missing
46
30
1
4,3
7,3
5,6
3,2-5,8
5,1-10,5
0,8-39,5
1,0 (ref)
1,7
1,5
1,06-2,66
0,2-10,7
0,028
0,701
0,027
Pengawas Minum Obat
Memiliki
Tidak memiliki
47
30
4
9,3
3-5,4
6,5-13,2
1,0 (ref)
2,04
1,29-3,25
0,003
Kadar CD4
< 100 sel/mm3
100-199 sel/mm3
≥ 200 sel/mm3
28
20
29
4,4
4,8
7
3-6,3
3,1-7,5
4,8-10
1,0 (ref)
1,1
1,5
0,64-2,01
0,89-2,53
0,675
0,125
0,129
Berat Badan
≤ 55 kg
> 55 kg
48
26
5,3
4,5
4-7,1
3,1-6,7
1,0 (ref)
0,8
0,5-1,3
0,398
52
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa dari 10 faktor yang dianalisa, hanya empat
faktor yang secara independent berhubungan dengan loss to follow up. Terjadinya
loss to follow up paling besar adalah pada variabel adanya pengawas minum obat
(PMO), dimana loss to follow up ditemukan dua kali lebih besar pada odha yang
memiliki PMO dibandingkan yang odha yang tidak memiliki PMO (HR=2; 95%
CI=1,29-3,25; p=0,003). Selanjutnya adalah variabel jenis pekerjaan, dimana loss
to follow up pada pekerja seks hampir dua kali lebih besar apabila dibandingkan
dengan pekerjaan lain (HR=1,7; 95% CI=1,06-2,66; p=0,028). Loss to follow up
juga lebih besar hampir dua kali pada perempuan daripada laki-laki (HR=1,6;
95% CI=1,02-2,52; p=0,039). Loss to follow up 0,3 kali lebih rendah pada odha
dengan kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) dibandingkan dengan
kelompok heteroseksual PS (HR=0,3; 95% CI=0,15-0,62; p=0,004).
1 2 3 4 5 6 7
Hemoglobin
≤12 g/dL
> 12 g/dL
29
44
5,7
4,6
4-8,3
3,4-6,2
1,0 (ref)
0,8
0,5-1,3
0,312
Infeksi Oportunistik
Tidak
Ya
68
9
5,5
3,5
4,3-7
1,8-6,7
1,0 (ref)
0,7
0,33-1,32
0,241
Faktor Risiko Penularan
Heteroseksual PS
Heteroseksual Non PS
Homoseksual
Penasun
25
24
16
12
7,2
6,1
9,1
2,1
4,9-11
4,1-9
5,5-15
1,2-4
1,0 (ref)
1,2
1,4
0,4
0,46-1,43
0,61-2,15
0,15-0,62
0,468
0,682
0,001
0,004
53
5.3 Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to
Follow Up pada Odha
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor yang berhubungan
dengan loss to follow up pada odha secara bersama-sama (untuk menghilangkan
efek variabel confounding). Variabel yang dianalisis pada analisis multivariat
adalah variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p <0,2, yaitu: jenis
kelamin, umur, jenis pekerjaan, pengawas minum obat, kadar CD4, dan faktor
risiko penularan, dimana hasilnya disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil Analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to
Follow Up pada Odha
Karakteristik Haz. Ratio 95% CI p p group
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
1,0 (ref)
1,4
0,70-2,76
0,340
Umur
≤ 32 th
>32 th
1,0 (ref)
0,6
0,34-0,95
0,031
Jenis Pekerjaan
Lain-lain
Pekerja Seks
1,0 (ref)
1,1
0,36-3,09
0,914
Pengawas Minum Obat
Memiliki
Tidak memiliki
1,0 (ref)
1,8
1,11-2,87
0,016
Kadar CD4
< 100 sel/mm3
100-199 sel/mm3
≥ 200 sel/mm3
1,0 (ref)
1,0
1,1
0,56-1,82
0,61-1,83
0,965
0,856
0,856
Faktor Risiko Penularan
Heteroseksual PS
Heteroseksual Non PS
Homoseksual
Penasun
1,0 (ref)
0,8
1,1
0,3
0,48-1,49
0,58-2,09
0,17-0,67
0,536
0,771
0,002
0,031
Berdasarkan hasil analisis multivariat pada Tabel 5.3, dari enam variabel yang
dianalisis secara bersama-sama, hanya tiga variabel yang signifikan secara
statistik. Loss to follow up lebih besar hampir dua kali lipat pada odha yang tidak
54
memiliki PMO dibandingkan odha yang memiliki PMO (HR=1,8; 95% CI=1,11-
2,87; p=0,016). Selanjutnya loss to follow up lebih rendah 0,6 kali pada odha yang
berumur >32 tahun dibandingkan odha yang berumur ≤ 32 tahun (HR=0,6; 95%
CI=0,34-0,95; p=0,031). Dibandingkan dengan kelompok heteroseksual PS, loss
to follow up lebih rendah 0,3 kali pada odha dengan riwayat penasun (HR=0,3;
95% CI=0,17-0,67; p=0,002).
55
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Loss to Follow Up
Setelah 10 tahun periode pengamatan terhadap kohort odha yang menerima
terapi ARV di Klinik Amertha Yayasan Kerti Praja, pasien yang loss to follow up
sebanyak 14,1%. Angka ini lebih rendah dari angka loss to follow up di Indonesia
yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu sebanyak 17,3% odha loss to
follow up dari terapi ARV di Indonesia (Depkes, 2014). Median lama mengikuti
terapi ARV sebelum loss to follow up pada penelitian ini tidak tercapai. Karena
hanya 25% sampel yang mengalami loss to follow up sebelum akhir pengamatan.
Dari 10 tahun pengamatan, 25% sampel tersebut hanya sampai 6 tahun mengikuti
terapi ARV sampai akhirnya loss to follow up.
Insiden loss to follow up pada penelitian ini sebesar 5,15 per 100 person
years. Apabila dibandingkan dengan hasil dari penelitian lain, angka insiden ini
lebih rendah, dimana hasil penelitian yang dilakukan Odafe dkk pada tahun 2012
di Nigeria menemukan angka insiden loss to follow up sebanyak 7,9 per 100
person years (Odafe dkk, 2012) sementara di kawasan Asia Pasifik sebanyak 21,4
per 100 person years (Zhou dkk, 2012). Penelitian ini sejalan dengan penelitian-
penelitian tersebut, tetapi dibedakan oleh cut off point dalam mendefinisikan loss
to follow up yang berbeda-beda. Pada penelitian ini cut off point untuk
menefinisikan loss to follow up adalah odha yang tidak melanjutkan terapi ARV
di YKP selama >3 bulan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Odafe
56
dkk menggunakan cut off point 6 bulan, dan penelitian oleh Zhou dkk
menggunakan cut off point 36 bulan. Selain itu adanya beberapa program seperti
penjangkauan (outreach) dan dukungan sebaya yang dilaksanakan di YKP
berdampak pada rendahnya insiden loss to follow up di YKP dibandingkan
Nigeria dan kawasan Asia Pasifik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang secara statistik
berhubungan dengan loss to follow up antara lain: umur, adanya PMO, dan fakor
risiko penularan. Loss to follow up lebih besar pada odha yang memiliki umur
lebih muda. Hal ini sama dengan hasil penelitian lain seperti penelitian di
Perancis (Lebouché dkk, 2006), di India (Maru dkk, 2007), di Eropa (Mocroft
dkk, 2008), di Guinea Bissau (Hønge dkk, 2013), dan di Togo (Saka dkk 2013).
Hal ini kemungkinan dikarenakan umur masih memiliki hubungan yang erat
dengan kondisi psikologis seseorang. Berdasarkan penelitian kualitatif yang
dilakukan oleh Roura di tahun 2009, penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor
individu seperti psikologis memegang peranan yang penting pada kelanjutan
terapi ARV. Selanjutnya dikatakan pula bahwa motivasi dan kemampuan diri
sendiri untuk berperilaku teratur mengikuti terapi ARV sebagai bagian dari
psikologis yang berhubungan dengan usia muda (Roura dkk, 2009). Usia yang
lebih muda membuat odha belum siap secara psikologis untuk mengikuti terapi
ARV secara teratur selain adanya penolakan psikologis terhadap kondisinya. Hal
lain yang kemungkinan berhubungan dengan usia muda adalah mobilisasi.
Penelitian yang dilakukan Khrisnan di tahun 2011 menyatakan bahwa usia muda
57
lebih mudah untuk loss to follow up karena mereka sering berpindah-pindah untuk
bekerja atau bersekolah (Krishnan dkk, 2011.).
Loss to follow up pada odha yang tidak memiliki PMO dua kali lebih besar
dari odha yang memiliki PMO. PMO selama ini dikenal dan telah banyak diteliti
adalah PMO pada pasien TBC. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa PMO
sangat berkontribusi terhadap kepatuhan pasien TBC untuk meminum obat secara
teratur sehingga pasien menjadi sembuh (Krisnawati, 2005; Hana, 2009; Putri,
2010). Konsep ini dapat digunakan pula untuk terapi ARV. Peranan PMO sangat
besar karena bertugas mengingatkan odha untuk teratur mengambil ARV di klinik
dan meminum ARV secara teratur, sehingga odha tetap bertahan mengikuti terapi
ARV. Di Ukraina pernah dilaksanakan penelitian oleh Mimiaga yang meneliti
tentang hambatan dan faktor pendukung kepatuhan odha dalam kepatuhan
terhadap terapi ARV. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa salah satu faktor
pendukung kepatuhan odha dalam mengikuti terapi ARV adalah adanya dukungan
dan pengingat minum ARV dari pihak keluarga, teman, atau orang lain yang dekat
dengan odha (Mimiaga dkk, 2010). Dalam buku “Interventions to Improve
Adherence to Antiretroviral Therapy: A Review of the Evidence” oleh USAID
(2006) dikatakan bahwa kepatuhan sangat berhubungan dengan dukungan dari
keluarga atau teman dekat. Berdasarkan hasil dari review beberapa literatur yang
tercantum pada buku tersebut dinyatakan pula bahwa adanya Directly Observed
Treatment (DOT) atau PMO pada terapi ARV di tingkat fasilitas kesehatan yang
disediakan oleh petugas penjangkauan atau anggota keluarga adalah metode yang
efektif dan murah untuk membantu meningkatkan kepatuhan odha dalam
58
mengkonsumsi ARV. Odha yang patuh mengikuti terapi ARV akan menurunkan
terjadinya loss to follow up.
Pada penelitian ini loss to follow up lebih rendah pada odha dengan riwayat
sebagai pengguna narkoba suntik (penasun) dibandingkan odha dengan kelompok
heteroseksual pekerja seks. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil dari
penelitian-penelitian lain yang menyatakan loss to follow up yang lebih besar pada
odha dengan riwayat penasun dibandingkan faktor risiko lain (Ioannidis dkk,
1997), (Lebouché dkk, 2006), (Lanoy dkk, 2006), (Krishnan dkk, 2011), (Mocroft
dkk, 2008), (Keiser dkk, 2012). Akan tetapi dalam penelitian tersebut tidak
membedakan antara heteroseksual sebagai PS dan heteroseksual non PS. Dalam
penelitian ini heteroseksual dibagi menjadi heteroseksual PS dan non PS karena
YKP merupakan klinik yang sebagian besar pasiennya adalah PS. PS yang ada di
YKP sebagian besar adalah pendatang yang datang dari luar Bali, sehingga
memiliki mobilitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan mereka memiliki risiko
yang besar untuk loss to follow up. Selain itu kemungkinan penasun pada
penelitian ini adalah penasun yang hidupnya sudah stabil dan telah berhenti
menyuntik, hal ini menyebabkan mereka lebih patuh dan mampu bertahan pada
terapi ARV.
Penelitian ini menemukan hasil statistik yang signifikan terhadap variabel
jenis kelamin pada analisis bivariat, dimana loss to follow up lebih besar pada
perempuan daripada laki-laki. Akan tetapi hasilnya menjadi tidak signifikan pada
analisis multivariat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian dari beberapa
penelitian. Penelitian oleh Saka menunjukkan bahwa loss to follow up lebih besar
59
pada perempuan dibandingkan laki-laki (Saka dkk, 2013), tetapi penelitian lain
menunjukkan hasil sebaliknya (Odafe dkk, 2012), (Hønge dkk, 2013), (Clouse
dkk, 2013). Hasil penelitian ini dapat dikaitkan dengan loss to follow up yang
lebih besar pada perempuan karena YKP memberikan layanan untuk pekerja seks
yang sebagian besar adalah perempuan, dimana pekerja seks di YKP sebagian
besar berasal dari luar Bali dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga banyak
yang loss to follow up.
Peneliti menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar CD4
saat memulai terapi ARV dengan loss to follow up, sementara hasil penelitian lain
menunjukkan hubungan yang signifikan. Odha yang memulai terapi dengan kadar
CD4 lebih rendah akan mengalami loss to follow up yang lebih besar (Lanoy dkk,
2006), (Maru dkk, 2007), (Mocroft dkk, 2008), (Gerver dkk, 2010) (Clouse dkk,
2013) (Hønge dkk, 2013). Hal yang sama juga terjadi pada variabel infeksi
oportunistik, dimana pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara infeksi
oportunistik dengan loss to follow up. Sedangkan hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa inkfeksi oportunistik seperti TBC dan sarcoma kaposi akan
lebih berisiko untuk loss to follow up (Caluwaerts dkk, 2009) (Saka dkk, 2013).
Demikian pula dengan variabel tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, berat badan,
dan kadar haemoglobin yang tidak terbukti memiliki hubungan yang signifikan
secara statstik dengan loss to follow up.
60
6.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder, sehingga kemungkinan dapat
terjadi kesalahan saat pencatatan data. Selain itu tidak semua variabel penting
dapat diteliti karena tidak tersedianya data variabel-variebel tersebut. Padahal loss
to follow up sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku yang akan sulit diperoleh
pada data sekunder. Penelitian ini hanya menggunakan status terakhir pemakaian
ARV sebagai endpoint tanpa memperhitungkan odha yang pernah putus obat
kemudian kembali mengikui terapi. Tidak tersedianya tanggal meninggal dunia
atau pindah menyebabkan odha yang meninggal atau pindah dimasukkan ke
dalam kelompok tidak loss to follow up. Hal-hal seperti ini kemungkinan
mempengaruhi hasil penelitian. Karena dalam penelitian ini odha yang diketahui
telah meninggal atau pindah dimasukkan ke dalam kelompok tidak loss to follow
up, sementara dalam penelitian lain dimasukkan ke dalam kelompok loss to follow
up.
61
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Setelah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV di Klinik Amertha
Yayasan Kerti Praja Bali Tahun 2002-2012, dapat disimpulkan bahwa dari 10
variabel yang diteliti, tiga variabel yang terbukti secara statistik berhubungan
dengan loss to follow up. Loss to follow up lebih besar pada odha yang tidak
memiliki PMO, odha dengan umur ≤32 tahun, dan odha pada kelompok
heteroseksual sebagai pekerja seksual. Sedangkan variabel jenis kelamin, tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, kadar CD4, berat badan, hemoglobin, dan infeksi
oportunisik tidak terbukti secara statistik memiliki hubungan terhadap loss to
follow up.
7.2 Saran
Untuk mengurangi loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV
dapat disarankan kepada provider untuk melakukan pendampingan yang lebih
intensif pada mereka, terutama untuk pekerja seks. Konseling yang lebih intensif
juga perlu diberikan pada odha yang berumur lebih muda sebelum memulai terapi
ARV. Selain itu diperlukan penelitian lain yang menggunakan data primer seperti
penelitian kualitatif untuk dapat mengetahui alasan mengapa odha loss to follow
up.
62
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi
VI, Jakarta : PT Rineka Cipta
Caluwaerts C., R. Mendaeanda, F. Maldonado, M. Biot, N. Ford, K. Chu. 2009.
Risk factors and true outcomes for loss to follow-up individuals in an
antiretroviral treatment programme in Tete, Mozambique. Int Health. 2009
Sep;1(1):97-101. doi: 10.1016/j.inhe.2009.03.002. Available from :
http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed
Charurat, M., M. Oyegunle, R. Benjamin, A. Habib, E. Eze, P. Ele, I. Ibanga, S.
Ajayi, M. Eng, P. Mondal, U. Gebi, E. Iwu, M. Etiebet, A. Abimiku, P.
Dakum, J. Farley, W. Blattner. 2010. Patient retention and adherence to
antiretrovirals in a large antiretroviral therapy program in Nigeria: a
longitudinal analysis for risk factors. PloS one, 5(5), e10584.
doi:10.1371/journal.pone.0010584
Clouse K.,A. Pettifor, M. Maskew, J. Bassett, A. Van Rie, C. Gay, F. Behets, I.
Sanne. 2013. Initiating antiretroviral therapy when presenting with higher
CD4 cell counts results in reduced loss to follow-up in a resource-limited
setting. AIDS (London, England), 27(4), pp.645–50. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23169326 [Accessed October 1,
2013].
Dahlan. 2008.Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika
Depkes RI. 2006. Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006. Jakarta :
Depkes RI
_________ 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta : Depkes RI
Fu. T, Westergaard, P. Ryan, B. Lau, Celentano, D. David, D. Vlahov, H. S.
Mehta, D. G.Kirk. 2012. Changes in sexual and drug-related risk behavior
following antiretroviral therapy initiation among HIV-infected injection
drug users. AIDS (London, England), 26(18), pp.2383–91. Available at:
http://europepmc.org/articles/PMC3678983/?report=abstract [Accessed
May 17, 2014]
63
Gerver, S.M.,T.R. Chadborn, F. Ibrahim, B. Vasta, V.C. Delpech, P.J.
Easterbrook. 2010. High rate of loss to clinical follow up among African
HIV-infected patients attending a London clinic: a retrospective analysis
of a clinical cohort. Journal of the International AIDS Society, 13, p.29.
Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2924265&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 7, 2013].
Hana, S. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kesembuhan Penderita
TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Kota Tegal
(onine). Available at:http://www.eprints.undip.ac.id
Hønge, B.L., S. Jaspersen, P.B., Nordentoft, C. Medina, D. Silva, Z.J. Silva, L.
Ostergraad, A.L. Laursen, C. Wejse. 2013. Loss to follow-up occurs at all
stages in the diagnostic and follow-up period among HIV-infected patients
in Guinea-Bissau: a 7-year retrospective cohort study. BMJ open, 3(10),
p.e003499. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3808780&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed November 7, 2013].
Ioannidis, J.P., R. Bassett, M. Hughes, P.A. Volberding., H.S. Sacks, J. Lau. 1997.
Predictors and impact of patients lost to follow-up in a long-term
randomized trial of immediate versus deferred antiretroviral treatment.
Journal of acquired immune deficiency syndromes and human
retrovirology : official publication of the International Retrovirology
Association, 16(1), pp.22–30. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9377121 [Accessed October 7,
2013].
Keiser, O.,B.Spycher, A. Rauch, A. Calmy, M. Cavassini, T. Glass, D. Nicca, B.
Ledergerber, M. Egger. 2012. Outcomes of antiretroviral therapy in the
Swiss HIV Cohort Study: latent class analysis. AIDS and behavior, 16(2),
245–55. doi:10.1007/s10461-011-9971-5
Kemenkes RI. 2014. Laporan Perkembagan HIV-AIDS Triwulan IV Tahun 2013.
Jakarta : Kemenkes RI
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 451/Menkes/SK/XII/2012 tentang Rumah
Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan AIDS
Komisi Penanggulangan AIDS. 2013. Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV. Bali : KPA
64
Krishnan, S., K.Wu, M. Smurzynski, R.J. Bosch, C.A. Benson, A.C. Collier, M.K.
Klebert, J. Feinberg, Koletar, S L. 2011. Incidence rate of and factors
associated with loss to follow-up in a longitudinal cohort of antiretroviral-
treated HIV-infected persons: an AIDS Clinical Trials Group (ACTG)
Longitudinal Linked Randomized Trials (ALLRT) analysis. HIV clinical
trials, 12(4), pp.190–200. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3207266&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 7, 2013].
Krisnawan, Upik. 2005. Peran PMO Keluarga dalam Keberhasilan Pengobatan
TBC di BP4 Semarang (onlne). Aveilable
at:http://www.eprints.undip.ac.id
Lanoy, E., M. Mary-Krause, P. Tattevin, R. Dray-Spira, C. Duvivier, P. Fischer,
Y. Obadia, F. Lert, D. Costagliola. 2006. Predictors identified for losses to
follow-up among HIV-seropositive patients. Journal of Clinical
Epidemiology, 59(8), pp.829–835.e1. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0895435606000278
[Accessed October 16, 2013].
Lebouché, B., Y. Yazdanpanah, Y. Gérard, D. Sissoko, F. Ajana, I. Alcaraz, P.
Boitte, B. Cadoré, Y. Mouton. 2006. Incidence rate and risk factors for
loss to follow-up in a French clinical cohort of HIV-infected patients from
January 1985 to January 1998. HIV medicine, 7(3), pp.140–5. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16494627 [Accessed October
16, 2013].
Mahardining, A.B., Hubungan Antara Pengetahuan, Motivasi dan Dukungan
Keluarga dengan Kepatuhan Terapi ARV ODHA. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Volume 5 : 131-137. Avaiable from :
http://www.journal.unnes.ac.id [Accessed February 13, 2013]
Martin W.G.B., D.François, M. Landon, R.B. David, B. Andrew N. Denis, S.
Mauro, L. Christian, K. Olivia, M. Margaret, S. Eduardo, E. Matthias, A.
Xavier. 2008. Early loss of HIV-infected patients on potent antiretroviral
therapy programmes in lower-income. Bull World Health
Organ vol.86 n.7 Genebra Jul. 2008. Available from :
http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed
Maru, D.S.R., D.C. Khakha, M. Tahir, S. Basu, S.K. Sharma. 2007. Poor follow-
up rates at a self-pay northern Indian tertiary AIDS clinic. International
journal for equity in health, 6, p.14. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2200646&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 7, 2013].
Maulana. H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta : EGC
65
Mimiaga, M.J. S.A.Safren, S. Dvoryak, S.L. Reisner, R. Needle, G. Woody.
2010. “We fear the police, and the police fear us”: structural and
individual barriers and facilitators to HIV medication adherence among
injection drug users in Kiev, Ukraine. AIDS care, 22(11), pp.1305–13.
Available at: http://dx.doi.org/10.1080/09540121003758515 [Accessed
April 30, 2014].
Mocroft, A., O. Kirk, P. Aldins, A. Chies, A. Blaxhult, N. Chentsova, N. Vetter,
F. Dabis, J. Gatell, J.D. Lundgren. 2008. Loss to follow-up in an
international, multicentre observational study. HIV medicine, 9(5), 261–9.
doi:10.1111/j.1468-1293.2008.00557.x
Mosoko, J.J., W. Akam, P.J. Weidle, J.T. Brooks, A.J. Aweh, T.N. Kinge, S. Pals,
P.L. Raghunathan. 2011. Retention in an antiretroviral therapy
programme during an era of decreasing drug cost in Limbe, Cameroon.
Journal of the International AIDS Society, 14, p.32. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3143073&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 1, 2013].
Nasronudin. 2007. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Surabaya : AIrlangga University Press
Odafe, S., O. Idoko, T. Badru, B. Aiyenigba, C. Suzuki, H. Khamofu, O.
Onyekwena, E. Okechukwu, K. Torpey, O.N. Chabikuli. 2012. Patients’
demographic and clinical characteristics and level of care associated with
lost to follow-up and mortality in adult patients on first-line ART in
Nigerian hospitals. Journal of the International AIDS Society, 15(2),
p.17424. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3494164&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 7, 2013].
Putri, N.A. 2010. Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) dengan
Kesembuhan Pasien TB Paru Kasus Baru Stategi DOTS. Surakarta :
Universitas Sebelas Maret (online). Available from:
http://www.eprints.uns.ac.id [Accessed February 13, 2013].
Rosenstock I.M., V.J. Srecher, M.H. Becker. 1988. Sosial Learning theory and
health Belief Model. Health Education Quarterly, Vol 15 (2) : 175-183
Roura, M., J. Busza, A. Wringe, D. Mbata, M. Urassa, B. Zaba. 2009. Barriers to
sustaining antiretroviral treatment in Kisesa, Tanzania: a follow-up study
to understand attrition from the antiretroviral program. AIDS patient care
and STDs, 23(3), 203–10. doi:10.1089/apc.2008.0129
66
Saka, B., D.E. Landoh, A. Patassi, S. D'Almeida, A. Singo, B.D. Gessner. 2013.
Loss of HIV-infected patients on potent antiretroviral therapy programs in
Togo: risk factors and the fate of these patients. The Pan African medical
journal, 15, p.35. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3758855&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 2, 2013].
Sastroasmoro dan Ismael. 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta : Sagung Seto
Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 129 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular
Seksual (IMS)
UNAIDS. 2013. Global Report. UNAIDS Report on the Global AIDS Epidemic
2013 (online). Available at : http://www.unaids.org
_______. 2013. HIV in Asia and the Pasific (online). Available at :
http://www.unaids.org
USAID. 2006. Interventions to Improve Adherence to Antiretroviral Therapy: A
Review of the Evidence (online). Available at : http://pdf.usid.gov
WHO. 2013. Global Update on HIV Treatment 2013, Result, Impact, and
Opportunities. WHO
Yayasan Kerti Praja. 2013. ARV Service. (online). Available at:
http://www.kertiprajafoundation.com
Zhou, J., J. Tanuma, R. Chaiwarith, C.K.C Lee, M.G. Law, N. Kumarasamy, P.
Phanuphak, Y.A. Chen, S. Kiertiburanakul, F. Zhang, S. Vonthanak, R.
Ditangco, S. Pujari, J.Y. Choi, T.P. Merati, E. Yunihastuti, P.C.K. Li, A.
Kamarulzaman, V.K. Nguyen, T.T.T. Pham, P.L. Lim. 2012. Loss to
Followup in HIV-Infected Patients from Asia-Pacific Region: Results
from TAHOD. AIDS research and treatment, 2012, p.375217. Available
from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3296146&tool
=pmcentrez&rendertype=abstract [Accessed October 7, 2013].
67
Lampiran 1
FORMULIR PENGUMPULAN DATA PASIEN
HIV/AIDS YANG MELAKUKAN TERAPI ARV DI
KLINIK YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN
2002-2012
DATA DEMOGRAFI PASIEN NO VARIABEL DATA
1 Nama Pasien
2 No RM
3 Tanggal Lahir / Umur (saat kunjungan pertama)
4 Nama Konselor
5 Jenis Kelamin
6 Risiko atau Paparan (saat kunjungan pertama)
1. Risiko seksual (Jabarkan apa risikonya: misalnya apakah ganti-ganti pasangan, bagaimana pemakaian kondom, mencari pekerja seks, mencari waria, cewek café)
2. Risiko IDU
(Jabarkan apa risikonya: misalnya apakah menggunakan jarum suntik, menyuntik bersama)
3. Risiko lainnya (jelaskan: misal tatto, piercing, transfuse darah)
7 Pekerjaan
8 Pendidikan
9 Kadar CD4 Tanggal Test CD4 Pertama Kali: Hasil:
CD4 (absolute dan persen):
68
Jumlah CD4 %CD4 Tanggal Test Tanggal Hasil Hemoglobin
Tanggal Kunjungan
Terapi ARV
Tanggal Mulai ART
Pemeriksaan FisikInfeksi Opportunistik
Jenis IO Tanggal Diagnosis
Kunjungan Ke- Alasan Kunjungan Darah
HubunganBerat Badan
Kadar CD4+
Hasil Test
Tanggal Test Tanggal Hasil
Supervisor ART atau
Pengawas Minum Obat
(PMO) ada/tidak
69
70
71
72
Lampiran 5
HASIL OUTPUT STATA
Univariat
Age 31.7792 .3317989 31.12744 32.43095
Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
Mean estimation Number of obs = 548
. mean Age
Total 548 100.00
>32 213 38.87 100.00
<=32 335 61.13 61.13
Age2cat Freq. Percent Cum.
. tab Age2cat
73
Total 548 100.00
missing 3 0.55 100.00
PS 147 26.82 99.45
other 398 72.63 72.63
ion Freq. Percent Cum.
new_occupat
. tab new_occupation
Total 548 100.00
female 233 42.52 100.00
male 315 57.48 57.48
sex Freq. Percent Cum.
. tab sex
74
Total 548 100.00
dont have 175 31.93 100.00
have 373 68.07 68.07
fARV Freq. Percent Cum.
Supervisoro
. tab SupervisorofARV
Total 548 100.00
have 87 15.88 100.00
dont have 461 84.12 84.12
V Freq. Percent Cum.
nstartingAR
TypeofIOwhe
. tab TypeofIOwhenstartingARV
Total 548 100.00
elementary,no edu 264 48.18 100.00
jun,sen,col 284 51.82 51.82
edu2cat Freq. Percent Cum.
. tab edu2cat
Total 548 100.00
IDU 139 25.36 100.00
homosex 103 18.80 74.64
heteroNonPS 182 33.21 55.84
heteroPS 124 22.63 22.63
NewRisk2 Freq. Percent Cum.
. tab NewRisk2
75
Total 548 100.00
lost to follow up 77 14.05 100.00
no lost to follow up 471 85.95 85.95
outcome Freq. Percent Cum.
. tab outcome
Haemoglobin 12.73682 .0850218 12.56981 12.90384
Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
Mean estimation Number of obs = 538
. mean Haemoglobin
Total 548 100.00
. 10 1.82 100.00
>12 357 65.15 98.18
<=12 181 33.03 33.03
Hb2cat Freq. Percent Cum.
. tab Hb2cat, missing
Weight 55.25627 .4480319 54.37618 56.13637
Mean Std. Err. [95% Conf. Interval]
Mean estimation Number of obs = 542
. mean Weight
Total 548 100.00
. 6 1.09 100.00
>55 232 42.34 98.91
<=55 310 56.57 56.57
W2cat Freq. Percent Cum.
. tab W2cat, missing
Total 548 100.00
. 3 0.55 100.00
>=200 180 32.85 99.45
100-<200 132 24.09 66.61
<100 233 42.52 42.52
CD4100an Freq. Percent Cum.
. tab CD4100an, missing
76
Insiden rate
total 1493.859001 .0515444 548 6.157426 . .
time at risk rate subjects 25% 50% 75%
incidence no. of Survival time
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. stsum
Bivariat
last observed exit t = 11.30459
earliest observed entry t = 0
1493.859 total analysis time at risk, at risk from t = 0
77 failures in single record/single failure data
548 obs. remaining, representing
0 exclusions
548 total obs.
origin: time dateof1stdayvisitYKP
t for analysis: (time-origin)/365.25
exit on or before: failure
obs. time interval: (origin, dateotthelastdayvisitingY]
failure event: outcome == 1
. stset dateotthelastdayvisitingY, failure( outcome==1) origin( dateof1stdayvisitYKP) scale(365.25)
77
JENIS KELAMIN
sex 1.605116 .368226 2.06 0.039 1.023845 2.516394
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -435.52369 Prob > chi2 = 0.0386
LR chi2(1) = 4.28
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -435.52369
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -435.52369
Iteration 1: log likelihood = -435.52419
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox sex
female 42 6.3330 6.6319 4.9011 8.9739
male 35 8.6056 4.0671 2.9202 5.6646
sex D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate sex, per (100)
78
UMUR
_IAge2cat_2 .609908 .1585631 -1.90 0.057 .3664124 1.015216
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -435.71845 Prob > chi2 = 0.0487
LR chi2(1) = 3.89
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -435.71845
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -435.71845
Iteration 2: log likelihood = -435.71845
Iteration 1: log likelihood = -435.73007
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
. xi: stcox i.Age2cat
>32 20 5.4147 3.6936 2.3830 5.7252
<=32 57 9.5239 5.9850 4.6165 7.7590
Age2cat D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate Age2cat, per (100)
79
PENDIDIKAN
edu2cat .8221985 .1883037 -0.85 0.393 .5248444 1.28802
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -437.29571 Prob > chi2 = 0.3920
LR chi2(1) = 0.73
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -437.29571
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -437.29571
Iteration 1: log likelihood = -437.29571
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox edu2cat
elementary,no edu 36 7.8458 4.5884 3.3098 6.3611
jun,sen,col 41 7.0928 5.7805 4.2563 7.8506
edu2cat D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate edu2cat, per (100)
80
PEKERJAAN
_Inew_occup_99 1.479216 1.499579 0.39 0.699 .2028207 10.78824
_Inew_occup_2 1.688489 .3970441 2.23 0.026 1.064977 2.677049
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -435.27109 Prob > chi2 = 0.0915
LR chi2(2) = 4.78
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -435.27109
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -435.27109
Iteration 2: log likelihood = -435.27109
Iteration 1: log likelihood = -435.29552
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.new_occupat~n _Inew_occup_1-99 (naturally coded; _Inew_occup_1 omitted)
. xi: stcox i.new_occupation
missing 1 0.1797 5.56359 0.78371 39.49636
PS 30 4.0864 7.34141 5.13301 10.49995
other 46 10.6724 4.31017 3.22843 5.75436
new_oc~n D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate new_occupation, per (100)
81
.
new_occupation 1.689914 .3973969 2.23 0.026 1.065854 2.679363
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -429.27863 Prob > chi2 = 0.0292
LR chi2(1) = 4.75
Time at risk = 1475.88501
No. of failures = 76
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -429.27863
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -429.27863
Iteration 2: log likelihood = -429.27863
Iteration 1: log likelihood = -429.30457
Iteration 0: log likelihood = -431.65521
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox new_occupation if new_occupation~=99
PENGAWAS MINUM OBAT
dont have 30 3.2418 9.2542 6.4704 13.2356
have 47 11.6968 4.0182 3.0190 5.3480
Supervi~V D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate SupervisorofARV, per (100)
82
_ISuperviso_2 2.042776 .4830546 3.02 0.003 1.285102 3.247163
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -433.3936 Prob > chi2 = 0.0035
LR chi2(1) = 8.54
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -433.3936
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -433.3936
Iteration 2: log likelihood = -433.39361
Iteration 1: log likelihood = -433.51158
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
. xi: stcox i.SupervisorofARV
CD4
>=200 29 4.2327 6.8513 4.7611 9.8592
100-<200 20 4.1524 4.8164 3.1074 7.4655
<100 28 6.4031 4.3729 3.0193 6.3333
CD4100an D Y Rate Lower Upper
(545 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate CD4100an , per (100)
83
CD4100an 1.226311 .1646613 1.52 0.129 .9425551 1.595492
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -435.82328 Prob > chi2 = 0.1291
LR chi2(1) = 2.30
Time at risk = 1478.830938
No. of failures = 77
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -435.82328
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -435.82328
Iteration 1: log likelihood = -435.82348
Iteration 0: log likelihood = -436.97509
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox CD4100an if CD4100an~=999
_ICD4100an_3 1.503239 .3994009 1.53 0.125 .8930368 2.530386
_ICD4100an_2 1.130838 .3313503 0.42 0.675 .6367768 2.00823
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -435.77452 Prob > chi2 = 0.3010
LR chi2(2) = 2.40
Time at risk = 1478.830938
No. of failures = 77
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -435.77452
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -435.77452
Iteration 2: log likelihood = -435.77452
Iteration 1: log likelihood = -435.77968
Iteration 0: log likelihood = -436.97509
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.CD4100an _ICD4100an_1-3 (naturally coded; _ICD4100an_1 omitted)
. xi: stcox i.CD4100an
84
BERAT BADAN
_IW2cat_2 .8137962 .1984743 -0.84 0.398 .5045668 1.31254
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -420.43852 Prob > chi2 = 0.3938
LR chi2(1) = 0.73
Time at risk = 1474.521561
No. of failures = 74
No. of subjects = 542 Number of obs = 542
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -420.43852
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -420.43852
Iteration 1: log likelihood = -420.43872
Iteration 0: log likelihood = -420.80215
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.W2cat _IW2cat_1-2 (naturally coded; _IW2cat_1 omitted)
. xi: stcox i.W2cat
>55 26 5.7315 4.5363 3.0887 6.6625
<=55 48 9.0137 5.3252 4.0131 7.0664
W2cat D Y Rate Lower Upper
(542 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. . strate W2cat , per (100)
85
W2cat .8137962 .1984743 -0.84 0.398 .5045668 1.31254
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -420.43852 Prob > chi2 = 0.3938
LR chi2(1) = 0.73
Time at risk = 1474.521561
No. of failures = 74
No. of subjects = 542 Number of obs = 542
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -420.43852
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -420.43852
Iteration 1: log likelihood = -420.43872
Iteration 0: log likelihood = -420.80215
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox W2cat if W2cat~=999
HEMOGLOBIN
_IHb2cat_2 .7845558 .1881889 -1.01 0.312 .4902852 1.255448
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -412.43031 Prob > chi2 = 0.3162
LR chi2(1) = 1.00
Time at risk = 1462.548939
No. of failures = 73
No. of subjects = 538 Number of obs = 538
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -412.43031
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -412.43031
Iteration 1: log likelihood = -412.43092
Iteration 0: log likelihood = -412.93251
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Hb2cat _IHb2cat_1-2 (naturally coded; _IHb2cat_1 omitted)
. xi: stcox i.Hb2cat
86
Hb2cat .7845558 .1881889 -1.01 0.312 .4902852 1.255448
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -412.43031 Prob > chi2 = 0.3162
LR chi2(1) = 1.00
Time at risk = 1462.548939
No. of failures = 73
No. of subjects = 538 Number of obs = 538
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -412.43031
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -412.43031
Iteration 1: log likelihood = -412.43092
Iteration 0: log likelihood = -412.93251
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. xi: stcox Hb2cat if Hb2cat~=999
_IHb2cat_2 .7845558 .1881889 -1.01 0.312 .4902852 1.255448
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -412.43031 Prob > chi2 = 0.3162
LR chi2(1) = 1.00
Time at risk = 1462.548939
No. of failures = 73
No. of subjects = 538 Number of obs = 538
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -412.43031
Refining estimates:
Iteration 2: log likelihood = -412.43031
Iteration 1: log likelihood = -412.43092
Iteration 0: log likelihood = -412.93251
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Hb2cat _IHb2cat_1-2 (naturally coded; _IHb2cat_1 omitted)
. xi: stcox i.Hb2cat
87
INFEKSI OPORTUNISTIK
_ITypeofIOw_2 .6596046 .2340774 -1.17 0.241 .3290131 1.322373
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -436.89812 Prob > chi2 = 0.2164
LR chi2(1) = 1.53
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -436.89812
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -436.89812
Iteration 2: log likelihood = -436.89813
Iteration 1: log likelihood = -436.91033
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.TypeofIOwhe~V _ITypeofIOw_1-2 (naturally coded; _ITypeofIOw_1 omitted)
. xi: stcox i.TypeofIOwhenstartingARV
have 9 2.5698 3.5022 1.8223 6.7310
dont have 68 12.3688 5.4977 4.3347 6.9728
TypeofI~V D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate TypeofIOwhenstartingARV, per (100)
88
FAKTOR RISIKO PENULARAN
Prob > chi2 = 0.0035
chi2( 3) = 13.61
( 3) _INewRisk2_4 = 0
( 2) _INewRisk2_3 = 0
( 1) _INewRisk2_2 = 0
. testparm _INewRisk2*
_INewRisk2_4 .308768 .1099012 -3.30 0.001 .1536952 .6203035
_INewRisk2_3 1.141577 .3688715 0.41 0.682 .605984 2.150549
_INewRisk2_2 .8119563 .2331612 -0.73 0.468 .4624894 1.425488
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -429.46201 Prob > chi2 = 0.0009
LR chi2(3) = 16.40
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -429.46201
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -429.46201
Iteration 2: log likelihood = -429.46272
Iteration 1: log likelihood = -429.7365
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
. xi: stcox i.NewRisk2
IDU 12 5.7302 2.0942 1.1893 3.6875
homosex 16 1.7679 9.0502 5.5445 14.7727
heteroNonPS 24 3.9662 6.0511 4.0558 9.0278
heteroPS 25 3.4742 7.1959 4.8623 10.6494
NewRisk2 D Y Rate Lower Upper
(548 records included in the analysis)
Estimated rates (per 100) and lower/upper bounds of 95% confidence intervals
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
. strate NewRisk2, per (100)
89
Multivariat
_ICD4100an_3 1.052746 .2974222 0.18 0.856 .6051209 1.831494
_ICD4100an_2 1.013407 .3033473 0.04 0.965 .5636251 1.822123
_IAge2cat_2 .5800395 .1544525 -2.05 0.041 .3441915 .9774959
_INewRisk2_4 .4839525 .3408563 -1.03 0.303 .1216988 1.924505
_INewRisk2_3 1.628288 .9856226 0.81 0.421 .4971513 5.333028
_INewRisk2_2 1.108921 .7026314 0.16 0.870 .3203058 3.839163
_ISuperviso_2 1.824912 .4458583 2.46 0.014 1.13052 2.945815
_Inew_occup_99 1.08224 1.128272 0.08 0.940 .1402546 8.35084
_Inew_occup_2 1.071217 .5844343 0.13 0.900 .3676877 3.120871
_Isex_2 1.429216 .5020292 1.02 0.309 .7179651 2.845068
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -423.05146 Prob > chi2 = 0.0019
LR chi2(10) = 27.85
Time at risk = 1478.830938
No. of failures = 77
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -423.05146
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -423.05146
Iteration 2: log likelihood = -423.05232
Iteration 1: log likelihood = -423.50887
Iteration 0: log likelihood = -436.97509
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.CD4100an _ICD4100an_1-3 (naturally coded; _ICD4100an_1 omitted)
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
i.new_occupat~n _Inew_occup_1-99 (naturally coded; _Inew_occup_1 omitted)
i.sex _Isex_1-2 (naturally coded; _Isex_1 omitted)
. xi: stcox i.sex i.new_occupation i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat i.CD4100an
90
CD4100an 1.026086 .1451364 0.18 0.856 .7776497 1.35389
_IAge2cat_2 .5799279 .1543954 -2.05 0.041 .3441571 .9772174
_INewRisk2_4 .4830978 .339813 -1.03 0.301 .1217016 1.917669
_INewRisk2_3 1.624753 .9806886 0.80 0.421 .497747 5.303544
_INewRisk2_2 1.107395 .7008895 0.16 0.872 .3203043 3.828624
_ISuperviso_2 1.826279 .4452771 2.47 0.014 1.132479 2.945128
_Inew_occup_99 1.080245 1.125539 0.07 0.941 .1401618 8.325581
_Inew_occup_2 1.069512 .58239 0.12 0.902 .3678525 3.109548
_Isex_2 1.429448 .5021855 1.02 0.309 .718008 2.845821
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -423.05257 Prob > chi2 = 0.0010
LR chi2(9) = 27.85
Time at risk = 1478.830938
No. of failures = 77
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -423.05257
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -423.05257
Iteration 2: log likelihood = -423.05343
Iteration 1: log likelihood = -423.50935
Iteration 0: log likelihood = -436.97509
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
i.new_occupat~n _Inew_occup_1-99 (naturally coded; _Inew_occup_1 omitted)
i.sex _Isex_1-2 (naturally coded; _Isex_1 omitted)
. xi: stcox i.sex i.new_occupation i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat CD4100an if CD4100an~=.
91
92
Prob > chi2 = 0.0285
chi2( 3) = 9.06
( 3) _INewRisk2_4 = 0
( 2) _INewRisk2_3 = 0
( 1) _INewRisk2_2 = 0
. testparm _INewRisk2*
_IAge2cat_2 .5886736 .1568064 -1.99 0.047 .3492512 .9922273
_INewRisk2_4 .4610454 .3244376 -1.10 0.271 .1160789 1.831193
_INewRisk2_3 1.598164 .9625238 0.78 0.436 .4908732 5.203232
_INewRisk2_2 1.048779 .6623746 0.08 0.940 .3041534 3.616389
_ISuperviso_2 1.784424 .4320768 2.39 0.017 1.110171 2.868179
_Inew_occup_99 1.10254 1.146944 0.09 0.925 .1435196 8.46988
_Inew_occup_2 1.068995 .5822016 0.12 0.903 .367612 3.108576
_Isex_2 1.398692 .4894093 0.96 0.338 .7045024 2.77691
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -424.00657 Prob > chi2 = 0.0006
LR chi2(8) = 27.31
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -424.00657
Refining estimates:
Iteration 4: log likelihood = -424.00657
Iteration 3: log likelihood = -424.00657
Iteration 2: log likelihood = -424.00739
Iteration 1: log likelihood = -424.4406
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
i.new_occupat~n _Inew_occup_1-99 (naturally coded; _Inew_occup_1 omitted)
i.sex _Isex_1-2 (naturally coded; _Isex_1 omitted)
. xi: stcox i.sex i.new_occupation i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat
93
_IAge2cat_2 .6215361 .1653823 -1.79 0.074 .3689549 1.047031
_INewRisk2_4 .4723303 .332512 -1.07 0.287 .1188544 1.877052
_INewRisk2_3 1.652217 .9996676 0.83 0.407 .5047203 5.408581
_INewRisk2_2 1.05734 .6675722 0.09 0.930 .3067553 3.644495
_ISuperviso_2 1.747207 .4265939 2.29 0.022 1.082723 2.819498
new_occupation 1.060937 .5779348 0.11 0.914 .3647593 3.085838
_Isex_2 1.467427 .5206192 1.08 0.280 .7320893 2.941365
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -418.50087 Prob > chi2 = 0.0004
LR chi2(7) = 26.31
Time at risk = 1475.88501
No. of failures = 76
No. of subjects = 545 Number of obs = 545
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -418.50087
Refining estimates:
Iteration 4: log likelihood = -418.50087
Iteration 3: log likelihood = -418.50087
Iteration 2: log likelihood = -418.50166
Iteration 1: log likelihood = -418.90893
Iteration 0: log likelihood = -431.65521
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
i.sex _Isex_1-2 (naturally coded; _Isex_1 omitted)
. xi: stcox i.sex new_occupation i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat if new_occupation~=99
94
_IAge2cat_2 .5913117 .1564579 -1.99 0.047 .3520408 .9932072
_INewRisk2_4 .4303019 .1901063 -1.91 0.056 .181015 1.022897
_INewRisk2_3 1.522042 .7186196 0.89 0.374 .6033074 3.839851
_INewRisk2_2 .9842907 .3176697 -0.05 0.961 .5228857 1.852849
_ISuperviso_2 1.788868 .4315582 2.41 0.016 1.114882 2.870303
_Isex_2 1.395259 .4866636 0.95 0.340 .7042998 2.764091
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -424.01809 Prob > chi2 = 0.0001
LR chi2(6) = 27.29
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -424.01809
Refining estimates:
Iteration 4: log likelihood = -424.01809
Iteration 3: log likelihood = -424.01809
Iteration 2: log likelihood = -424.01893
Iteration 1: log likelihood = -424.44597
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
i.sex _Isex_1-2 (naturally coded; _Isex_1 omitted)
. xi: stcox i.sex i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat
95
FINAL MODEL
Prob > chi2 = 0.0099
chi2( 3) = 11.37
( 3) _INewRisk2_4 = 0
( 2) _INewRisk2_3 = 0
( 1) _INewRisk2_2 = 0
. testparm _INewRisk2*
_IAge2cat_2 .5692598 .1489878 -2.15 0.031 .3408257 .9507988
_INewRisk2_4 .3325249 .1186481 -3.09 0.002 .165237 .669177
_INewRisk2_3 1.099982 .360587 0.29 0.771 .578564 2.091315
_INewRisk2_2 .846215 .2440322 -0.58 0.563 .480851 1.489193
_ISuperviso_2 1.785627 .4308449 2.40 0.016 1.112779 2.865319
_t Haz. Ratio Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]
Log likelihood = -424.47044 Prob > chi2 = 0.0001
LR chi2(5) = 26.38
Time at risk = 1493.859001
No. of failures = 77
No. of subjects = 548 Number of obs = 548
Cox regression -- Breslow method for ties
Iteration 0: log likelihood = -424.47044
Refining estimates:
Iteration 3: log likelihood = -424.47044
Iteration 2: log likelihood = -424.4711
Iteration 1: log likelihood = -424.87976
Iteration 0: log likelihood = -437.66205
origin: time dateof1stdayvisitYKP
analysis time _t: (dateotthelastdayvisitingY-origin)/365.25
failure _d: outcome == 1
i.Age2cat _IAge2cat_1-2 (naturally coded; _IAge2cat_1 omitted)
i.NewRisk2 _INewRisk2_1-4 (naturally coded; _INewRisk2_1 omitted)
i.Supervisoro~V _ISuperviso_1-2 (naturally coded; _ISuperviso_1 omitted)
. xi: stcox i.SupervisorofARV i.NewRisk2 i.Age2cat