Download - farmakologi DBD
LAPORAN KASUS FARMASI
TYPHUS ABDOMINALIS
Oleh:
Caesaria Christ H.
G99122025
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2014
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)
atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.1
B. Epidemiologi
Pada tahun 2005, virus dengue dan nyamuk aedes aegypti telah menyebar
di daerah tropis dimana terdapat 2.5 miliar orang berisiko terkena penyakit ini di
daerah endemik.2
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
lebih besar disbanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia.
Setiap tahun diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana
ratusan ribu kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas
epidemiknya.3
Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia tercatat 14.875
orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang perlu
diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.4
C. Faktor Risiko
Infeksi virus dengue pada manusia menyebabkan gejala dengan spektrum
luas, berkisar dari demam biasa sampai penyakit perdarahan yang serius. Pada
area endemik, infeksi dengue memiliki gejala klinis yang tidak spesifik, terutama
pada anak-anak. Gejala yang tampak hanya seperti infeksi virus pada umumnya.
Faktor risiko yang penting dan berpengaruh terhadap proporsi pasien yang
mengalami gejala yang berat selama transmisi endemik di antaranya strain dan
serotipe virus yang menginfeksi, status imunitas dari setiap individu, usia
penderita, faktor genetik dari pasien.5,6
D. Etiologi
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh
virus dengue termasuk grup B Arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang
dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat.7,8
Dengue adalah penyakit daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari.
Faktor risiko penting pada DHF adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti
umur, status imunitas, dan predisposisi genetis. Vektor utama penyakit DBD
adalah nyamuk Aedes aegypti (diderah perkotaan) dan Aedes albopictus (didaerah
pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti
kaleng, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain – lain.
Jarak terbang ± 100 meter
Nyamuk betina bersifat ‘ multiple biters’ (mengigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi
E. Patogenesis
Ada dua patofisiologi utama pada DBD, yaitu : pertama, meningkatnya
permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan ini menyebabkan
hipovolemia, hemokonsentrasi serta renjatan; kedua, adanya hemostasis yang
abnormal, melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopeni dan
koagulopati.
1. Sistem vaskuler
Patofisiologi primer DBD adalah peningkatan akut permeabilitas vaskuler
yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma
menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post
mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi. Tidak
terjadinya lesi destruktif nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa perubahan
sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika penderita
sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diabsorbsi dengan cepat,
menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD
melibatkan 3 faktor : perubahan vaskuler, trombositopeni dan kelainan koagulasi.
Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan
trombositopeni, dan banyak diantaranya penderita menunjukkan koagulogram
yang abnormal. 9
Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi
perdarahan. Mediator-mediator apa yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan
bagaimana mekanisme phenomena perdarahan, belum dapat diidentifikasi.
Penyebab perdarahan pada DBD sangat komplek dan mungkin melibatkan satu
atau lebih dari trombositopeni, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi
trombosit dan diseminated intravasculan coagulation (DIC). Kerusakan trombosit
dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. Oleh karena itu, pasien dengan
trombosit lebih dari 100.000/ mm3 mungkin didapat waktu perdarahan yang
memanjang. DIC terjadi pada renjatan berkepanjangan dan berat serta
menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk. 10
Manusia dapat terinfeksi 4 serotipe dengue selama hidup. Hampir semua
pasien DBD pernah terinfeksi dengan salah satu dari 4 serotipe virus dengue
sebelumnya, yang dikenal dengan hipotesa antibodi heterotipik. 10
Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam
sirkulasi darah akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut :
a. Agregasi trombosit melepaskan ADP dan mengalami metamorfosis yang
kemudian kehilangan fungsi sehingga dimusnahkan sistem retikulo endotel
dengan akibat trombositopeni hebat dan perdarahan. Disamping itu trombosit
yang mengalami metamorfosis melepaskan faktor trombosis ke-3 yang
mengakibatkan sistem pembekuan.
b. Aktifasi faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan
dengan akibat terjadinya pembekuan intravaskuler yang sangat luas. Dalam
proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan
anafilatoksin dan penghancuranfibrin menjadi fibrin degradation product.
Disamping itu aktifasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan
meningkatkan permeabilitas kapiler, menurunnya faktor pembekuan yang
disebabkan aktifasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah
beratnya perdarahan. 7
Skema 1. Patofisiologi DBD
F. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam, demam berdarah dengue, atau
syndrome syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam,
akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat
pengobatan yang adekuat.1 Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang
disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva. Penderita juga sering
mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan
nyeri seluruh perut.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa
penderitanya, ditandai oleh :
demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
manifestasi perdarahan
hepatomegali/pembesaran hati kadang-kadang terjadi syok manifestasi
perdarahan pada DHF dimulai dari tes torniquet positif dan bintik-bintik
perdarahan di kulit (ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota
gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, perdarahan
gusi, perdarahan dari saluran cerna dan perdarahan dalam urin.
G. Diagnosis11
Diagnosis dari infeksi dengue dapat ditegakkan melalui tes laboratorium
dengan cara mengisolasi virus, mendeteksi sequence RNA-spesifik virus dengue
dengan tes amplifikasi nukleotida, atau dengan mendeteksi antibody pada serum
pasien.
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan melalui:
1. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15%
dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari hematokrin
awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3, menghilang
setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur
virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya infeksi virus
dengue.
2. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didpatkan efusi pleura, terutama pada hematoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table
berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertasi
2 atau lebih
tanda : sakit
kepala, nyeri
retro-orbital,
mialgia, artralgia
Leukopenia
Trombositopenia,
tdk ada kebocoran
plasma
Serologi
dengue
(+)
DBD I Gejala diatas,
ditambah dgn uji
bendung (+)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas,
ditambah dgn
perdarahan
spontan
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas
ditambah
dengan
kegagalan
sirkulasi (kulit
dingin dan
lembab, serta
gelisah)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
IV Syok berat
disertai dengan
Trombositopenia
(<100.000), bukti
tekanan darah
dan nadi tidak
terukur
ada kebocoran
plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah
ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
H. Diagnosis banding
1. Pada awal perjalanan penyakit,
diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti
demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis dan malaria.
2. Idiopatic Thrombocytopenic
Purpura (ITP)
3. Perdarahan seperti petekie dan
ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya sepsis,
meningitis meningokokus; leukemia atau anemia aplastik.12
I. Tata Laksana
Protokol dibagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam pemberian pertolongan pertama
pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaan hemonglonin (Hb), hematokrin (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien
dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik
dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb, Ht, leukosit dan
trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera
kembali ke Unit Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun juga dianjurka untuk
dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruanag
Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masih dan tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah
seperti rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )
Setelah pemberian cairan dilakukan dilakukan pemberian Hb, Ht tiap 24
jam:
Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht,
trombo dilakukan tiap 12 jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protocol penatalaksanaan DBD dengan
peningkatan Ht >20%.
3. Protokol 3. Penatalaksaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%
Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah
dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien
kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi
perbaikkan perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrin turun,
frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka
jumlah cairan infuse dikurangimenjadi 5 ml/KgBB/jam. Dua jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan infuse dikurangi 3ml/KgBB/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48 jam
kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/KgBB/jam dalam tapi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infuse menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam
kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5 ml/KgBB/jam tetapi
bila keadaan tidak menunjukkan perbaikkan maka jumlaah cairan infuse
dinaikkan 15ml/KgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi
menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda syok maka pasien
ditananganisesuai protocol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.
Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi
pemberian cairan
4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing ( hematuria, perdarahan otak
atau perdarahan sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi,
pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan
kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi factor-faktor pembekuan darah (PT dan aPTT) yang memanjang),
PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan dan massif dengan
jumlah tromboit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama yang harus diingat adalah
renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
dilakukan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan penderita DBD tanpa
renjatan. Dan renjatan dapat terjadi karena kerelambatan penderita DBD
mendapat pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Penderita juga diberikan O2 2-4 liter/menit. Pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20ml/kgBB dan
evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi ( ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat srta dieresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7
ml/kgBB/jam. Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48
jam setelag renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrin tetap stabil srta
dieresis cukup maka pemberian cairan perinfus dihentikan.
Pengawan dini tetap dilakukan tertama dalam 24 jam pertama sejak terjadi
renjatan. Oleh karena itu untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi
dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital, pembesaran hati, nyeri
tekan didaerah hipokondrium kana dan epigastrium serta jumlah dieresis
(diusahakan 2ml/kgBB/jam). Pemantauan DPL dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.
Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberan
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit.
Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai Ht.
Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan.
- Pemberian koloid mula-mula diberikan 10-20ml.kgBB dan
dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka pemantaun cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pmberian dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB
( maksimal 1-1,5µ/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-
18cmH2O
- Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan
koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder.
- Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapu
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik /
vasopresor.
Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan (internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfuse darah segar 10ml/kgBB dan dapat
diulang sesuai kebutuhan.
J. Prognosis
Pada DBD/DSS mortalitasnya cukup tinggi
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Sdr. S
Umur : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Pabrik
Alamat : Watu Tumpuk, Karanganyar
No. CM : 01115681
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Badan panas
B. Riwayat penyakit sekarang
Sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh panas
seluruh badan, panas dirasakan terus-menerus, panas mendadak tinggi, pasien
mengeluhkan keringat dingin (+), menggigil (-).
Pasien juga megeluhkan badan merasa lemas, lemas dirasakan terus-
menerus, tidak berkurang dengan makan atau minum manis. Pasien juga
mengeluh nggliyer dan pusing berkunang-kunang jika ada perubahan posisi
terutama dari posisi tidur ke duduk atau berdiri. Tidak didapatkan keluhan
telinga berdenging, pandangan mata kabur atau gusi berdarah.
Pasien BAB 1x sehari, konsistensi lunak warna kuning kecoklatan,
BAB warna hitam (-), mual (-), muntah darah (-). Pasien BAK 2-3x/ hari, @
½ - 1 gelas belimbing. Pasien tidak merasa anyang-anyangan. BAK pasien
berwarna kuning. Tidak didapatkan darah, nyeri saat BAK, BAK tidak tuntas,
maupun BAK pasir.
C. Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
2. Riwayat sakit gula : Disangkal
3. Riwayat mondok : Disangkal
4. Riwayat sakit jantung : Disangkal
5. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat sakit asma : Disangkal
7. Riwayat alergi : Disangkal
D. Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat keluhan serupa : Disangkal
2. Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
3. Riwayat sakit gula : Disangkal
4. Riwayat asma : Disangkal
5. Riwayat sakit jantung : Disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : Disangkal
2. Riwayat minum alkohol : Disangkal
3. Riwayat minum jamu : Disangkal
4. Riwayat minum obat-obatan : Disangkal
F. Riwayat Perkawinan dan Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang laki-laki, belum menikah. Pasien bekerja sebagai
buruh pabrik. Saat ini, pasien berobat dengan biaya BPJS.
G. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, penderita makan teratur tiga kali sehari dengan nasi,
sayur, makan daging, telur dan ikan, tahu, dan tempe.
H. Anamnesis Sistem
1. Kepala : Sakit kepala (-), pusing (-), nggliyer (+), jejas (-),
leher kaku (-)
2. Mata : Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),
pandangan Berputar (-), berkunang kunang
(+), mata kuning (-)
3. Hidung : Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
4. Telinga : Pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar
cairan (-), darah (-)
5. Mulut : Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir
pecah-pecah (-), gusi berdarah (-), mulut kering
(-)
6. Tenggorokan : Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
7. Sistem respirasi : Sesak nafas (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah
(-), mengi (-)
8. Sistem kardiovaskuler :Sesak nafas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
9. Sistem gastrointestinal : Mual (-), muntah (-), perut sebah (-), diare (-),
nyeri seluruh perut (-), nafsu makan menurun
(+), sakit perut (-), susah berak (-), berak darah
(-),
10. Sistem muskuloskeletal : Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-),
badan lemas (+)
11. Sistem genitourinaria : Sering kencing (-), nyeri saat kencing (-), keluar
darah (-), kencing nanah (-), sulit memulai
kencing (-), warna kencing kuning pekat
12. Ekstremitas:
Atas : Luka (-), ujung jari terasa dingin (-), kesemutan
(-), bengkak(-), sakit sendi (-), panas (-),
berkeringat (-)
Bawah : Luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan di kedua kaki (-), sakit sendi (-),
bengkak (-)
13. Sistem neuropsikiatri :Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-), mengigau
(-), emosi tidak stabil (-)
14. Sistem Integumentum :Kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-),bercak merah
kebiruan di tangan (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 7 Mei2014.
1. Keadaan umum : sakit berat, compos mentis, gizi kesan kurang
2. Tanda vital :
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Frekuensi nafas : 24 x/menit, kussmaul (-), cheyne stokes (-)
Nadi : Frekuensi 100 x/menit, reguler, isi dan tegangan
cukup, equal
Heart rate : 100 x/menit, pulsus defisit (-)
Suhu : 39 0C per axiller
3. Status Gizi : BB 50 kg
TB 170 cm
BMI 50/(1,7)2 = 17.3 kg/m2 kesan berat badan kurang
4. Kulit : Uji tourniquet (+), ikterik (-), ekhimosis di kaki (-),
turgor (N), kulit kering (-), hematoma di tangan (-).
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam beruban,
mudah rontok (-), mudah dicabut (-), luka (-)
6. Wajah : Moon face (-), atrofi musculus temporalis (-),
oedem (-)
7. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3mm/3mm, reflek cahaya (+/+)
normal, edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), lensa
keruh (-/-)
8. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-)
gangguan fungsi pendengaran (-/-)
9. Hidung : Epistaksis (-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
fungsi pembau baik
10. Mulut : Sianosis (-), gusi berdarah (-), mukosa basah (+),
bibir kering (-), sariawan (-), pucat (-), lidah kotor
(-), tepi lidah hiperemis (-), lidah tremor (-), papil
lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-), pharyng
hiperemis (-) tonsil (T1/T1).
11. Leher : JVP normal (R+2 cm); trakea di tengah, simetris;
pembesaran limfonodi (-)
12. Thoraks : Bentuk normochest, simetris, atrofi musculus
pectoralis (-/-), spider nevi (-), ginecomastia (-),
retraksi interkostalis (-), retraksi supraklavikula (-),
pernafasan thorakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran kelenjar getah bening aksilla(-), rambut
ketiak rontok (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : SIC V 1cm medial linea mediclavicularis
sinistra
Batas kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas kanan bawah : SIC IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung : SIC III linea parasternalis sinistra
Kesan batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas murni, reguler, HR 75
x/menit, bising (-), gallop (-).
Pulmo
Inspeksi Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak melebar
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi interkostalis (-),
retraksi supraklavikula (-).
Palpasi Statis : Simetris
Dinamis : Pergerakan kanan = kiri
Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi Kanan : Sonor, batas relatif paru hepar SIC V
Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru jantung
Batas paru lambung SIC VIII linea axillaris
anterior sinistra
Auskultasi Kanan : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan
wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki
basah halus (-)
Kiri : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan
wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki
basah halus (-)
13. Abdomen
Inspeksi : Dinding sejajar dengan dinding dada, distensi (-) ,
venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), vena kolateral (-),
hernia umbilikalis (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, liver span 8 cm, pekak alih (-), pekak sisi (+)
normal, undulasi (-), puddle sign (-). Area troube pekak.
Palpasi : Supel (-), nyeri tekan (-), murphy sign
(-),hepar tidak teraba, lien tidak teraba
14. Punggung : Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis(-), nyeri ketok
kostovertebra (-) bengkak (-).
15. Genitourinaria : Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
16. Kelenjar getah bening inguinal: KGB inguinal tidak membesar
17. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah
Pemeriksaan 5/3 Satuan Nilai Rujukan
Hb10
gr/dlLk : 13,5-18.,00Pr : 12,0-16,0
Hct50.8
%Lk : 40-54Pr: 38-47
Jumlah Eritrosit 5106/ul
Lk : 4,6-6,2Pr : 4,2-5,4
Jumlah Leukosit 7,8 103/ul 4,5-11Jumlah Trombosit 80 103/ul 150-440
Gol darah
MCV 82,67 /um 80,0-96,0MCH 27,16 pg 28,0-33,0
MCHC 32,8 g/dl 33,0-36,0RDW 20,3 % 11,6-14,1HDW 4,5 g/dl 2,2-3,2MPV 8,4 fl 7,2-11,1PDW 64 % 25-65
Eosinofil % 0,00-4,00Basofil % 0,00-2,00Netrofil % 55,00-80,00Limfosit % 22,00-44,00Monosit % 0,00-2,00
PT 13,3 detik 10,0-15,0APTT 31,3 detik 20,0-40,0INR 0,970
GDS mg/dl 80-140Ureum 34 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,0 mg/dl 0,7-1,3
- -
- -
- -
- -
ElektrolitNaKCl
Ca ion
1374
115
mmol/Lmmol/Lmmol/Lmmol/L
136-1463,5-5,198-106
1,17-1,29HbsAg
Dengue IgG +Dengue IgM +
Ig M salmonella -
V. DAFTAR ABNORMALITAS
1.Panas 7 hari
2.Keringat dingin
3.Lemas
4.Pusing
5.Pandangan berkunang-kunang
Pemeriksaan Fisik
6.Suhu 39o C
7.Konjungtiva pucat
Pemeriksaan Penunjang
8. Penurunan Hb dan AE
9. Peningkatan Hct
10. Penurunan angka trombosit
11. Ig G dan Ig M dengue positif
VI. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
Problem 1. Dengue Hemorragic Fever Grade II
Ass : Penatalaksanaan: Kegawatan
Ip Dx : -
Ip Tx : Bedrest total
Diet lunak TKTP 1700 kkal
IVFD RL 2100 ml/ hari
Paracetamol tab 500 mg (jika panas)
Ip Mx : Tanda vital, balance cairan, hemoglobin, hematokrit, trombosit
Ip Ex : Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya
Prognosis : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Tujuan Penggunaan Obat
1. Penggantian cairan : IVFD RL 2100 ml / hari
2. Antipiretik : paracetamol diberikan jika panas
Resep :
R/ Ringer Laktat inf. flab No. V
Cum infus set No. I
IV catheter no. 22 No. I
imm
R/ Paracetamol tab mg 500 No IV
prn (1-4) dd tab I agrediente febre
Pro : Tn S ( 22 th )
BAB III
PEMBAHASAN OBAT
A. Ringer laktat
Injeksi Ringer laktat adalah larutan steril dari Kalsium klorida, Kalium
klorida, Natrium klorida dan Natrium laktat dalam Air untuk injeksi. Injeksi
Ringer laktat tidak boleh mengandung bahan antimikroba.
Ringer laktat termasuk cairan kristaloid yaitu larutan dengan air
(aqueous) yang terdiri dari molekul-molekul kecil yang dapat menembus
membran kapiler dengan mudah. Biasanya volume pemberian lebih besar,
onset lebih cepat, durasinya singkat, efek samping lebih sedikit dan harga
lebih murah.Yang termasuk cairan kristaloid antara lain salin (salin 0,9%,
ringer laktat, ringer asetat), glukosa (D5%, D10%, D20%), serta sodium
bikarbonat. Masing-masing jenis memiliki kegunaan tersendiri, dimana salin
biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh sehari-hari dan saat
kegawat daruratan, sedangkan glukosa biasa digunakan pada penanganan
kasus hipoglikemia, serta sodium bikarbonat yang merupakan terapi pilihan
pada kasus asidosis metabolik dan alkalinisasi urin.
Mekanisme secara umum larutan kristaloid menembus membran
kapiler dari kompartemen intravaskuler ke kompartemen interstisial,
kemudian didistribusikan ke semua kompartemen ekstra vaskuler. Hanya
25% dari jumlah pemberian awal yang tetap berada intravaskuler, sehingga
penggunaannya membutuhkan volume 3-4 kali dari volume plasma yang
hilang. Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah cairan
kedalam pembuluh darah dengan segera dan efektif untuk pasien yang
membutuhkan cairan segera.
Cairan kristaloid bersifat mudah keluar dari intravaskuler, terutama
pada kasus dimana terjadi peningkatan resistensi kapiler seperti pada sepsis.
Pada kondisi tersebut, penting untuk dipikirkan penggantian cairan yang
memiliki molekul lebih besar, yaitu jenis koloid.
Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi
elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung
cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan
menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma
darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi
untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk
menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik
termasuk syok perdarahan.
Indikasi pemberian ringer laktat adalah untuk mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik.
Ringer laktat menjadi kurang disukai karena memiliki efek samping
hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan
penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
Kontraindikasi pemberian ringer laktat yitu hipernatremia, kelainan
ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
B. Paracetamol
Nama obat Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang
mempunyai sifat antipiretik / analgesik.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen
dan mekanismenya diduga berdasarkan efek
sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena,
tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen
dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini
dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang
dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium
nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa
4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat
anhidrat.
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa
nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol sebagai
analgetik memiliki khasiat sama seperti aspirin atau
obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID)
lainnya. Seperti aspirin, parasetamol berefek
menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak
tetapi sedikit aktivitasnya sebagai penghambat
postaglandin perifer. Namun, tak seperti obat-obat
NSAIDs.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak
digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per
oral, Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran
cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam
waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian.
Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari
5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi.
Karena Parasetamol memiliki
aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga
tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun
efek kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya
cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
Dosis Dewasa Dosis umum untuk orang dewasa adalah 500 mg sampai
1000mg setiap empat jam serta dikonsumsi tidak lebih
dari 10 hari.
Dosis anak analgesik, antipiretik: oralDosis anak 6-12 bulan 60
mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali,
maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2
g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan :
tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksi Obat Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin
untuk mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab
paracetamol tidak mempunyai efek anti inflamasi seperti
aspirin sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan
didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada
penyakit rematik. Paracetamol aman diberikan pada
wanita hamil dan menyusui namun tetap dianjurkan
pada wanita hamil untuk meminum obat ini bila benar
benar membutuhkan dan dalam pengawasan dokter.
Paracetamol dikombinasikan dengan opiod codein.
Paracetamol dokombinasikan dengan codein dan
penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol
umumnya digunakan untuk mengobati demam, sakit
kepala, dan rasa nyeri ringan. Senyawa ini bila
dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid
(NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan
untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal dan
alkoholik
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Gubler, DJ: Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public
health, social and economic problem in the 21st century. Trends
Micriobiol 10:100, 2002.
3. World Health Organization: Strengthening implementation of the global
strategy for dengue fever/dengue haemorrhagic fever prevention and
control. Report of the Informal Consultation, World Health Organization,
October 18–20, 1999, Geneva, 2000.
4. Departemen Kesehatan RI. Data Surveilans tahun 1994. Jakarta, 1995
p43. Data Surveialns tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan
Imunisasi Subdirektorat Surveilans. Jakarta: Departemen Kesehatan RI;
2996. P. 37.
5. World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever: Diagnosis,
Treatment and Control, 2nd ed. Geneva, World Health Organization, 1997.
6. Gubler DJ: Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev
11:480, 1998.
7. Sri Rejeki HH, 2002. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap
Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Balai Penerbit FK UI.
Jakarta
8. Staf Medis Fungsional Ilmu Penyakit Dalam RSDM, 2004. Standar
Pelayanan Medis Kelompok Staf Medis Ilmu Penyakit Dalam. RSUD Dr,
Moewardi. Surakarta
9. Soegijanto S, 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue. http://www . pediatrik.com
10. Price D, 2006. Dengue Fever. www.emedicine.com/emerg/byname/
dengue-fever.htm
11. Guzman MG, Kouri G: Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J
Infect Dis 8:69, 2004.
12. Hendarwanto, 2007. Demam Berdarah Dengue dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 3., editor : Aru W Sudoyo. Balai Penerbit FK
UI. Jakarta.