Download - Fenomena Kemiskinan di Indonesia.docx
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemiskinan dewasa ini merupakan masalah sosial yang banyak mendapatkan
perhatian tidak hanya kalangan birokrat, tetapi juga menjadi topik kajian kalangan
ilmuwan. Diakui atau tidak, selama ini pendekatan yang dipakai pemerintah dalam
mengatasi kemiskinan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal umumnya
kurang atau bahkan bukan bertitik-tolak dari pemahaman yang benar mengenai
perbedaan kemiskinan dengan perangkap kemiskinan. Sangat jelas terlihat,
pemerintah umumnya hanya melihat problem utama yang sedang dihadapi rakyat
adalah semata-mata persoalan rendahnya pendapatan dan tidak dimilikinya modal
usaha di berbagai program yang dilaksanakan pemerintah umumnya hanya berusaha
memberikan bantuan dibidang permodalan, memberikan subsidi, dan semacamnya.
Untuk jangka pendek, upaya pemberian bantuan bantuan ekonomi itu mungkin
dapat bermanfaat. Tetapi, untuk jangka panjang seseungguhnya pemberian bentuan
ekonomi itu tidak akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas.
Banyak bukti yang dapat kita lihat yang justru memunculkan problem-problem baru
yang tidak kalah sulitnya, misalnya pemberian bantuan-bantuan kredit entah itu lewat
BRI Unit Desa, pegadaian, BPR, lembaga KURK dan sebagainya yang dimaksudkan
untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, tarnyata banyak yang dimanfaatkan
untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makanan sehari-hari.
Tekanan kebutuhan sehari-hari yang senantiasa mendesak dan kewajiban untuk
menghidupi anak dan masalah kemiskinan yang lain telah membuat golongan
masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya. Mengingat dampak dari
kemiskinan yang sangat kompleks, keseriusan seluruh masyarakat dan pemerintah
sangat diharapkan dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang semakin
meningkat. Bukan hanya menanggulangi pada permukaan saja, namun sampai ke akar
permasalahan sehingga masalah kemiskinan dapat diselesaikan secara tuntas.
1
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah untuk makalah ini adalah :
1. Apakah penyebab dari kemiskinan di Indonesia ?
2. Apakah dampak dari kemiskinan di Indonesia ?
3. Apakah solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia ?
C. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Mendeskripsikan penyebab dari kemiskinan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan dampak dari kemiskinan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.
D. MANFAAT
Manfaat yang diperoleh dari makalah ini adalah :
1. Pembaca dapat mengetahui penyebab dari kemiskinan di Indonesia.
2. Pembaca dapat mengetahui dampak dari kemiskinan di Indonesia.
3. Pembaca dapat mengetahui solusi untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Teori
Kemiskinan pada hakekatnya adalah situasi serba kekurangan yang terjadi
bukan karena dikehendaki oleh si miskin, tetapi karena tidak bisa dihindari dengan
kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan antara lain ditandai dengan sikap dan
tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidak bisa diubah, yang
tercermin di dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya produktivitas,
ditambah lagi oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendidikan dan
terbatasnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Dep Tan,
1996).
Secara harfiah kata “miskin” berarti tidak berharta (WJS Poerwadarminto.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976). Dengan
pengertian tersebut akan sulit kita menggolongkan orang-orang yang termasuk miskin
atau tidak tanpa suatu kriteria tertentu. Untuk kepentingan studi yang berhubungan
dengan kemiskinan, Sayogyo membedakan 3 tipe orang miskin berdasarkan pendapat
yang diperoleh setiap orang dalam setiap tahun, yaitu :
a. Miskin (poor)
Orang yang berpenghasilan kalu diwujudkan dalam bentuk beras yakni 320
kg/orang/tahun. Jumlah tersebut dianggap cukup memenuhi kebutuhan makan
minimum (1900 kalori/orang/hari)
b. Sangat miskin (very poor)
Orang yang sangat miskin berpenghasilan antara 240 kg sampai 320 kg
beras/orang/tahun.
c. Termiskin (poorest)
Orang yang digolongkan sebagai termiskin berpenghasilan berkisar antara 180
sampai 240 kg beras /orang/tahun.
3
B. Faktor Penyebab Kemiskinan di Indonesia
1. Laju pertumbuhan penduduk
Pertumbuhan penduduk Indonesia terus meningkat disetiap 10 tahun
menurut hasil sensus penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di
tahun 1990 Indonesia memiliki 179 juta lebih penduduk. Kemudian di sensus
penduduk tahun 2000 penduduk meningkat sebesar 27 juta penduduk atau
menjadi 206 juta jiwa dapat diringkaskan pertambahan penduduk Indonesia
persatuan waktu adalah sebesar setiap tahun bertambah 2,04 juta orang pertahun
atau 170 ribu orang perbulan atau 5.577 orang perhari atau 232 orang perjam atau
4 orang permenit. Banyaknya jumlah penduduk ini membawa Indonesia menjadi
negara ke-4 terbanyak penduduk setelah China, India dan Amerika.
Meningkatnya jumlah penduduk membuat Indonesia semakin terpuruk
dengan keadaan ekonomi yang belum mapan. Jumlah penduduk yang bekerja
tidak sebanding dengan julah beban ketergantungan. Penghasilan yang minim
ditambah dengan banyaknya beban ketergantungan yang harus ditanggung
membuat penduduk hidup dibawah garis kemiskinan.
2. Angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan pengangguran.
Secara garis besar penduduk suatu negara dibagi menjadi dua yaitu tenaga
kerja dan bukan tenaga kerja. Yang tergolong sebagai tenaga kerja ialah
penduduk yang berumur didalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-
beda disetiap negara yang satu dengan yang lain. Batas usia kerja yang dianut
oleh Indonesia ialah minimum 10 tahun tanpa batas umur maksimum. Jadi setiap
atau semua penduduk berumur 10 tahun tergolong sebagai tenaga kerja. Sisanya
merupakan bukan tenaga kerja yang selanjutnya dapat dimasukan dalam kategori
beban ketergantungan. Tenaga kerja (manpoer) dipilih pula kedalam dua
kelompok yaitu angkatan kerja (labor force) dan bukan angkatan kerja. Yang
termasuk angkatan kerja ialah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang
bekerja atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak bekerja, dan
4
mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk sebagai bukan angkatan kerja
adalah tenaga kerja dalam usia kerja yang tidak sedang bekerja, tidak mempunyai
pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, yakni orang-orang yang kegiatannya
bersekolah, mengurus rumah tangga, serta orang yang menerima pendapatan tapi
bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya. Selanjutnya angkatan
kerja dibedakan pula menjadi dua subkelompok yaitu pekerja dan penganggur.
Yang dimaksud dengan pekerja adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan,
mencangkup orang-orang yang mempunyai pekerjaan dan memang sedang
bekerja maupun orang yang memiliki pekerjaan namun sedang tidak bekerja.
Adapun yang dimaksud dengan pengangguran adalah oarng yang tidak
mempunyai pekerjaan, lengkapnya orang yang tidak bekerja dan mencari
pekerjaan. Pengangguran semacam ini oleh BPS dikategorikan sebagai
pengangguran terbuka. (Dumairy, 1996)
3. Distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan.
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya
pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Kriteria
ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional
yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk berpendapatan
rendah (penduduk miskin); 40% penduduk berpendapatan menengah; serta 20%
penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya). Ketimpangan dan
ketidakmerataan distribusi dinyatakan parah apabila 40% penduduk
berpendapatan rendah menikmati 12 hingga 17 persen pendapatan nasional.
Sedangkan jika 40% penduduk miskin menikmati lebih dari 17 persen pendapatan
nasional maka ketimpangan atau kesenjangan dikatakan lunak, distribusi
pendapatan nasional dikatakan cukup merata. (dumairy, 1996)
Pendapatan penduduk yang didapatkan dari hasil pekerjaan yang mereka
lakukan relatif tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sedangkan ada
sebagian penduduk di Indonesia mempunyai pendapatan yang berlebih. Ini
disebut juga sebagai ketimpangan. Ketimpangan pendapatan yang ekstrem dapat
menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya sebagian adalah pada tingkat
pendapatan rata-rata berapapun, ketimpangan yang semakin tinggi akan
5
menyebabkan semakin kecilnya bagian populasi yang memenuhi syarat untuk
mendapatkan pinjaman atau sumber kredit. Selain itu ketimpangan yang tinggi
menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan
mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar, dan kemudian menyebabkan
kesenjangan pendapatan yang semakin melebar. (Todaro, 2006)
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan
berwujud dalam berbagai bentuk dan aspek atau dimensi. Bukan saja berupa
ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita tetapi juga
ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-
mata berupa ketimpangan spasial atau antar daerah tetapi ketimpangan sektoral
dan ketimpangan regional.
Ketimpangan sektoral dan regional dapat ditengarai antara lain dengan
menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti penyerapan tenaga
kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan. Sepanjang era PJP I
(lima pelita) yang lalu, sektor pertanian rata-rata hanya tumbuh 3,54 persen per
tahun. Sedangkan sektor indusri pengolahan tumbuh dengan rata-rata 12,22
persen per tahun. Di Repelita VI sektor pertanian saat itu ditargetkan tumbuh
rata-rata 3,4 persen per tahun, sementara pertumbuhan rata-rata tahunan sektor
industri pengolahan ditargetkan 9,4 persen per tahun. Tidak seperti masa era PJP
I, dimana dalam pelita-pelita tertentu terdapat sektor lain yang tingkat
pertumbuhannya lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan sektor industry
pengolahan, selama Repelita VI tingkat pertumbuhan sektor ini dicanangkan yang
tertinggi dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sektor industry pengolahan
diharapkan dapat menjadi pemimpin sepanjang sektor Repelita VI.
Ketimpangan pertumbuhan antarsektor, khususnya antara sektor pertanian
dan sektor industry pengolahan harus disikapi sacara arif. Ketimpangan
petumbuhan sektorial ini bukanlah ‘kecelakaan’ atau ekses pembangunan.
Ketimpangan ini lebih kepada suatu hal yang terencana dan memang disengaja
terkait dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai negara industry. Pemerintah
perlu memikirkan kembali perihal ketepatan keputusan menggunakan
industrialisasi sebgai jalur pembangunan karena akan sangat berdampak bagi
pendapatan penduduk dan selanjutnya kemiskinan. (Dumairy, 1996)
6
4. Tingkat pendidikan rendah.
Rendahnya kualitas penduduk juga merupakan salah satu penyebab
kemiskinan di suatu negara. Ini disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan
dan tingkat pengetahuan tenaga kerja. Untuk adanya perkembangan ekonomi
terutama industry, jelas sekali dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja yang
mempunyai skill atau paling tidak membaca dan menulis. Menurut Schumaker
pendidikan merupakan semberdaya yang terbesar manfaatnya dibanding faktor-
faktor produksi lain. (irawan, 1999)
5. Kurangnya perhatian dari pemerintah.
Pemerintahan yang kurang peka terhadap laju pertumbuhan masyarakat
miskin dapat menjadi salah satu faktor kemiskinan. Pemerintah tidak
memutuskan kebijakan yang mampu mengendalikan tingkat kemiskinan di
negaranya.
C. Dampak Kemiskinan di Indonesia
1. Pengangguran.
Data pengangguran di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Badan
Pusat statistik (BPS) melansirkan jumlah pengangguran di negeri ini mencapai
sekitar 8% dari jumlah angkatan kerja. Sekitar 12,8 juta jiwa masyarakat
Indonesia menganggur baik pengangguran terbuka maupun pengangguran paruh
waktu. Ditambah lagi, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Fadel
Muhammad di tahun ini ada penambahan pengangguran sekitar 1,1 juta yakni
dari tamatan sekolah (perguruan tinggi) yang belum terserap lapangan pekerjaan.
Dengan banyaknya pengangguran yang terjadi di Indonesia berarti banyak
masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja
dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli
masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap
tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata yang sekaligus juga
berdampak pada kemiskinan yang sedang terjadi di Indonesia.
7
2. Munculnya kekerasan.
Menurut H.F.T.RHODES, dalam bukunya yang berjudul The criminal
Society, ondon 1939, dalam sistem ekonomi dulu, kemiskinan dan kesederhanaan
merupakan kebajikan. Hal ini berbeda dengan perkembangan ekonomi dari abad
ke 19, sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas,
menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, cara penjualan modern dan
lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan untuk memiliki barang, dan sekaligus
mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan.
Kekerasan-kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari
pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan
yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan
dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan.
Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu. belakangan banyak
oknum-oknum yang menggunakan modus penipuan melalui sms.
3. Terhadap pendidikan
Negara Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar
Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah
memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan
biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu,
pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis
karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan
mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa
diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar
berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang
yang terendah, yaitu sekolah dasar (Ahmad, 2009).
Melihat kenyataan bahwa sebagian besar keadaan sosial ekonomi
masyarakat negara Indonesia tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka
masih dililit predikat miskin. Mengacu Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang
Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah
berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu
8
gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar
diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat
dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara,
kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan
dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin (Ahmad,
2009).
Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi
dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat
lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Karena untuk makan satu kali
sehari saja mereka sudah kesulitan.Kondisi seperti ini membuat masyarakat
miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah
berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan
mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini
akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di
era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
4. Terhadap Kesehatan
Penduduk Indonesia yang mempunyai pendapatan rendah kebanyakan
tinggal dirumah tua —khususnya di dalam kota—yang akan menyebabkan
mereka terkena buruknya dampak timah, yang dapat mengakibatkan masalah bagi
pertumbuhan anak-anak. Masyarakat miskin mungkin saja memiliki anggaran
terbatas untuk kebutuhan pangan mereka dan hanya mampu membeli makanan
dengan harga terjangkau, yang pada umumnya telah diproses dan tidak
mengandung nutrisi penting. Masyarakat Indonesia yang memiliki pendapatan
rendah tidak dapat memperoleh perawatan medis yang bersifat pencegahan
(preventif), gawat, atau jangka panjang ketika mereka membutuhkannya.
Kurangnya akses layanan kesehatan dan asuransi yang dapat membantu
menutupi biaya pelayanan kesehatan mempengaruhi kemampuan dari banyak
individu dengan pendapatan rendah untuk menjaga kesehatan mereka. Kondisi
kehidupan sehari-hari dari kaum dhuafa, seperti misalnya keberadaan mereka
dalam lingkungan yang berbahaya dan kondisi pekerjaan (contohnya, kekerasan
9
lingkungan dan polusi) atau resiko pemecatan, pekerjaan yang penuh tekanan
tetapi hanya menawarkan sedikit imbalan, juga membawa dampak bagi kesehatan
mereka. Seperti kita ketahui biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir
setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau
ongkos pengobatan yang biayanya sangat mahal. Sehingga, biayanya tidak dapat
djangkau oleh kalangan miskin. Sehingga dengan adanya biaya yang mahal maka
secara otomatis juga berdampak menambah angka kemiskinan di Indonesia.
D. Solusi Mengatasi Kemiskinan di Indonesia.
1. Meningkatkan pendidikan rakyat
Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia.
Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di
Indonesia.Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan
tidak mengajar lagi. Dulu pada tahun 1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada
sekolah pagi dan ada sekolah siang sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai
untuk 2 sekolah dan melayani murid dengan jumlah 2 kali lipat. Sebagai contoh di
sekolah SDN Bidaracina 01 Pagi (Sekarang berubah jadi Cipinang Cempedak 01
Pagi) dan SDN Bidaracina 02 Petang. Sekolah pagi mulai dari jam 7.00 hingga
12.00 sedang yang siang dari jam 12:30 hingga 17:30. Satu bangunan sekolah bisa
menampung total 960 murid.
Ini tentu lebih efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan
gedung sekolah bisa dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat
bahwa hal itu bisa mengurangi jumlah pelajaran karena jam belajar berkurang.
Padahal tidak. Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru membuat
siswa jenuh dan tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi
mereka PR atau tugas yang dikerjakan baik sendiri, bersama orang tua, atau
teman-teman mereka. Ini melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan
orang tua dan juga dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau
caturwulan bisa mencapai Rp 200 ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu
hanya untuk membeli buku. Jika punya 3 anak, berarti harus mengeluarkan uang
10
Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang buku orang tua harus mengeluarkan
130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR) para buruh yang hanya sekitar
900 ribuan. Untuk mengurangi beban orang tua dalam hal uang buku, pemerintah
bisa menyediakan Perpustakaan Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah
meminjamkan buku-buku Pedoman (waktu itu terbitan Balai Pustaka) kepada
seluruh siswa secara gratis. Untuk soal bisa didikte atau ditulis di papan tulis. Ini
beda dengan sekarang di mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu
selesai dipakai harus dibuang. tidak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski
sebetulnya tetap membayar yang lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang
untuk Perguruan Tinggi Negeri biayanya justru jauh lebih tinggi dari Universitas
Swasta yang memang bertujuan komersial. Untuk masuk UI misalnya orang tahun
2005 saja harus membayar uang masuk antara Rp 25 hingga 75 juta. Padahal
tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp 300 ribu sehingga orang miskin dulu
tidak takut untuk menyekolahkan anaknya di PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS,
dan sebagainya. Meski ada surat edaran Rektor bahwa orang tua tidak perlu takut
akan bayaran karena bisa minta keringanan, namun teori beda dengan praktek.
Boleh dikata orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika
pun ada paling cuma segelintir saja yang mau bersusah payah mengurus surat
keterangan tidak mampu dan merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus
sebagai Keluarga Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya. Tanpa
pendidikan, sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi
bangsa yang maju.
2. Pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani.
Menurut Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia memiliki lahan kurang
dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya tanah dan sekedar jadi buruh tani.
Kadang terjadi tawuran antar desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena
memperebutkan lahan beberapa hektar. Artinya jika 1 hektar bisa menghasilkan 6
ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah hanya Rp 2.000/kg,
pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp 800 ribu/bulan. Jika
dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan asumsi 50% dari
11
pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400 ribu/bulan saja. Pada
saat yang sama 69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini
menunjukkan belum adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada zaman
Orba (Orde Baru) ada proyek Transmigrasi di mana para petani mendapat tanah 1-
2 hektar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Transportasi, rumah, dan
biaya hidup selama setahun ditanggung oleh pemerintah. Program itu sebenarnya
cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia kekurangan pangan
seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor puluhan trilyun
rupiah setiap tahunnya.
Jika petani dapat tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi
Rp 48 juta per tahun atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga. Memang biaya
transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah, lahan,
dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan anggaran Rp
10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan per
tahunnya. Seandainya tiap keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar
menghasilkan 12 ton beras per tahun, maka akan ada tambahan produksi sebesar 6
juta ton per tahun. Ini sudah cukup untuk menutupi kekurangan beras di dalam
negeri.
Saat ini dari 2 juta ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu
dan tempe), 60% diimpor dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik
dari Rp 3.500/kg menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang
bangkrut dan karyawannya banyak yang menganggur.Jika program transmigrasi
dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana kita harus
impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan Indonesia tidak
tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8 trilyun per tahunnya.
Ini akan menghemat devisa.
3. Melakukan efisiensi di bidang pertanian
Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida kimia
mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami seperti
burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan
12
berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos. Semakin murah
biaya pestisida dan pupuk, para petani akan semakin terbantu karena ongkos tani
semakin rendah. Jika membajak sawah bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa
harus memakai traktor? Dengan sapi/kerbau para petani bisa menternaknya
sehingga jadi banyak untuk kemudian dijual. Daging dan susunya juga bisa
dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan butuh bensin/solar yang selain mahal
juga mencemari lingkungan.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Faktor penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia adalah :
a. Laju pertumbuhan penduduk
b. Angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan pengangguran.
c. Distribusi pendapatan dan pemerataan pembangunan.
d. Tingkat pendidikan rendah.
e. Kurangnya perhatian dari pemerintah.
2. Dampak dari kemiskinan di Indonesia adalah :
a. Pengangguran.
b. Munculnya kekerasan.
c. Terhadap pendidikan.
d. Terhadap kesehatan.
3. Solusi mengatasi kemiskinan di Indonesia adalah :
a. Meningkatkan pendidikan rakyat.
b. Pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani.
c. Melakukan efisiensi di bidang pertanian.
4. Saran
1. Masyarakat dan pemerintah sangat diharapkan untuk bisa serius dalam upaya
penanggulangan kemiskinan yang semakin meningkat. Bukan hanya
menanggulangi pada permukaan saja, namun sampai ke akar permasalahan
sehingga masalah kemiskinan dapat diselesaikan secara tuntas.
14
2. Baik pemerintah dan swasta sebaiknya memberikan lapangan pekerjaan yang
seluas-luasnya dan memberi gaji yang sepadan dengan kemampuannya.
15