Download - Fix Complete
1 | P a g e
Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di Pesisir
Oleh
Nama : Khalisha AzisNIM : 121 444 1 009Kelas : ICP A Biologi
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
20132 | P a g e
LEMBAR PENGESAHAN
Makalah mata kuliah Pengetahuan Lingkungan dengan judul “Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di Pesisir” yang disusun oleh:
Nama : Khalisha Azis
NIM : 121 444 1 009
Kelas : ICP A Biologi
Telah diperiksa dan dikonsultasikan kepada Asisten, maka makalah ini dinyatakan diterima.
Makassar, Juni 2013
Mengetahui,Dosen Penanggungjawab Asisten,
Drs. Muhammad Nur Zakariah Leo, M.Si Syahreni, S.Pd
3 | P a g e
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena kemurahan kasih, rahmat, taufik dan
hidayah-Nya yang begitu besar sehingga penulisan makalah ini telah selesai disusun
penulis. Shalawat dan salam juga dipanjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
sebagai pembawa risalah atas kebenaran-Nya.
Dalam penulisan makalah Pengetahuan Lingkungan ini, penulis banyak
menerima bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta,
teman-teman, dosen, asisten, dan semua pihak yang terkait selama proses pembuatan
makalah yang berjudul “Sikap Nelayan Terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup di
Pesisir” ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya.
Penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik agar pembuatan makalah berikutnya
bisa mendekati kesempurnaan.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan
sumbangan pikiran yang berguna dan juga kesadaran lebih untuk menjaga lingkungan
sekitar.
Makassar, Juni 2013
Penulis
4 | P a g e
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………………. i
Lembar Pengesahan ………………………………………………………………………….. ii
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………... iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………...... iv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………………………….…. 2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………………………….…… 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA …………………………………………………………….….…. 3
A. Kebudayaan Masyarakat Nelayan ……………………………………………….…….. 3
B. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ………………………………………………….… 7
C. Sejarah Terjadinya Pencemaran Wilayah Pesisir …………………………………… 29
D. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut akibat Aktifitas Manusia ……… 51
E. Aktifitas Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Pesisir ……………….…... 60
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Masyarakat Nelayan Terhadap Kelestarian Wilayah Pesisir …..….. 72
B. Kegiatan dan Tingkat Sosial-Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir ……………… 79
C. Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir …………………………………………. 83
D. Peranan Nelayan Terhadap Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau …………….... 95
E. Pandangan dan Sikap Nelayan terhadap Kerusakan Wilayah Pesisir …...……… 101
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………………………..… 110
B. Saran ………………………………………………………………………………….... 110
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………... 111
5 | P a g e
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari
konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di
kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan.
Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan,
kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas
kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007).
Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber
daya pesisir dan kelautan. Konstruksi masyarakat nelayan dengan mengacu pada
konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial
budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok-kelompok sosial
yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya
kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi
lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial,
masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-
satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan
dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang
hidup di daerah perkotaan.
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau
sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola
kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap
gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama.
Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau
penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya.
Pesisir merupakan salah satu wilayah kegiatan ekonomi yang sangat penting
pada saat ini. Hal ini disebabkan karena sekitar 80% kegiatan ekonomi di Indonesia
terkait dengan wilayah ini, seperti perikanan, industry, kepariwisataan, dan
6 | P a g e
pertambangan. Selain itu, sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki mata
pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan cara memanfaatkan
sumberdaya alam di wilayah pesisir baik sebagai petani sawah maupun nelayan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Resosudarmo et.al., (1987), sebanyak 90%
produksi ikan nasional dihasilkan oleh usaha perikanan rakyat, pengusaha tambak,
pengembangan budidaya kerang-kerangan, rumput laut, dan berbagai jenis ikan
termasuk udang.
Pertumbuhan penduduk wilayah pesisir yang sangat pesat dan lebih besar
dari pada rata-rata nasional dengan tingkat pendidikan yang rata-rata rendah, tingkat
penguasaan teknologi yang rendah pada pemanfaatan sumber daya alam yang
cepat ditambah dengan peningkatan pembangunan oleh pemerintah hampir di
semua sektor, telah memberikan tekanan pada lingkungan wilayah pesisir. Akibat
tekanan tersebut telah terjadi berbagai kerusakan lingkungan, antara lain
pencemaran perairan pesisir, seperti terumbu karang, hutan Mangroove, abrasi
(erosi) pantai, dan kemiskinan yang terus melilit sebagian besar wilayah pesisir,
menunjukkan kondisi yang telah mengancam pembangunan ekonomi pesisir secara
berkelanjutan.
Berangkat dari permasalahan dan kecenderungan negative yang diuraikan di
atas, maka suatu studi mengenai potensi sumberdaya di wilayah pesisir yang
mendalam dan tajam tentang bagaimana mengembangkan potensi sosial-ekonomi
masyarakat pesisir yang berkelanjutan penting untuk dilakukan. Berbagai potensi
ekonomi sumberdaya wilayah pesisir yang dapat dikembangkan ternyata tidak hanya
terdapat pada pertanian rakyat, perikanan laut, tambak, melainkan juga pada
perdagangan, transportasi dan pariwisata.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang mendasari latar belakang di atas, yaitu:
1. Bagaimana upaya pemberdayaan lingkungan di wilayah pesisir seperti estuaria?
2. Bagaimana pengoptimalisasian pemanfaatan ekosistem di wilayah pesisir?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi upaya-upaya dan sikap masyarakat
pesisir utamanya nelayan dalam pelestarian lingkungan hidup serta pemanfaatan
wilayah pesisir itu sendiri.
.
7 | P a g e
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
A. Kebudayaan Masyarakat Nelayan
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari
konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di
kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan2.
Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan,
kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas
kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007).
Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan
kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan
sumber daya pesisir dan kelautan. Dalam tulisan ini, saya memahami konstruksi
masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu
konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara
signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya
bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan
memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis
kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki
identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti
petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok
masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah
perkotaan. Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan
atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-
pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69).
Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang
tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau
penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu
pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan
dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang
disepakati secara social. Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu
8 | P a g e
masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara
manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan
yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses
demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan
demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, khususnya di Provinsi
Jawa Tengah, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang
dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan,
seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya
perikanan, dan kepemimpinan social (Kluckhon, 1984:85, 91).
Pekerjaan-pekerjaan di laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan,
menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan
fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik
yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti
mengurus tanggung jawab domestik, serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi.
Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tangung
jawab pekerjaan tersebut. Sebagian besar aktivitas perekonomian di kawasan
pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah
menempatkan kaum perempuan sebagai “penguasa aktivitas ekonomi pesisir”.
Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi
dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah
tangganya (Kusnadi, 2001).
Dengan demikian, kaum perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen”
tetapi bersifat ”komplemen” dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya.
Persepsi masyarakat nelayan terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik
terbagi menjadi tiga, yaitu: persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual
dinamis (Kusnadi, et.al., 2006:67-76). Jika persepsi ”konservatif” dan pandangan
”moderat bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya
pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat
nelayan. Persepsi kontekstual-dinamis lebih rasional dalam menilai perempuan
pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi sosial ekonomi
lokal. Persepsi ini memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk terlibat aktif
dalam kegiatan publik dengan tidak mengorbankan tanggung jawab domestiknya.
Dalam rumah tangga nelayan miskin, kaum perempuan, isteri nelayan,
mengambil peranan yang strategis untuk menjaga integrasi rumah tangganya.
Modernisasi perikanan yang berdampak serius terhadap proses pemiskinan telah
menempatkan kaum perempuan sebagai penanggung jawab utama kelangsungan
9 | P a g e
hidup rumah tangga nelayan (Kusnadi, 2003:69-83). Jika pemerintah menggagas
program-program pemberdayaan untuk mengatasi kemiskinan nelayan, kaum
perempuan dapat ditempatkan sebagai subjek pemberdayaan sosial-ekonomi.
Dengan demikian, upaya untuk mencapai tujuan pemberdayaan dapat ditempuh
secara tepat dan efisien.
Masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang spesifik dan
terbangun melalui proses evalusi yang panjang. Ciri-ciri kebudayaan di atas, seperti
sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola perilaku dalam mengeksploitasi sumber
daya perikanan, serta kepemimpinan sosial tumbuh karena pengaruh kondisi-
kondisi dan karakteristik-karakteristik yang terdapat di lingkungannya. Sebagai
bagian dari suatu masyarakat yang luas, yang sedang bergerak mengikuti arus
dinamika sosial, masyarakat nelayan dan kebudayaan pesisir juga akan terkena
dampaknya. Kemampuan beradaptasi dan keberhasilan menyikapi tantangan
perubahan sosial sangat menentukan kelangsungan hidup dan integrasi sosial
masyarakat nelayan.
Deskripsi singkat tentang beberapa aspek antropologis masyarakat nelayan
di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan dan bekal umum bagi
para peserta “Jelajah Budaya Tahun 2010” yang akan melakukan kunjungan/kerja
lapangan pada masyarakat nelayan di Pantai Utara Jawa. Tentu saja, masih banyak
aspek-aspek kebudayaan lainnya yang perlu dipahami agar wawasan pengetahuan
kita tentang masyarakat nelayan semakin komprehensif.
Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri
perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan
matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.
2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.
3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.
4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.
5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau
membantu sesama ketika menghadapi musibah.
6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi.
7. Bergaya hidup “konsumtif “.
8. Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan
rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.
9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.
10 | P a g e
10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.
Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan
sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan
antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984:62):
“Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan
kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat
marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang
cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki
rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada
kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat
penghargaan yang tinggi.“
Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri
kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-
naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti
Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di
kalangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut (Widayati, 2001:3):
1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan.
2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
3. Dermawan kepada semua orang.
4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan.
5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa.
6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri.
7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja.
8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu.
9. Sabar dan bijaksana.
10. Berusaha membahagiakan orang lain.
Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang
sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau
masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan
masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi
kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai
budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk
membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya
kemaritiman nasional.
11 | P a g e
B. Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan
kelompok masyarakat yang lain. Sebagaimana lazimnya, suatu komunitas memiliki
nilai budaya tersendiri yang dipahami oleh masyarakatnya dalam membentuk
tindakan sehari-hari. Faktor ekologi sangat berpengaruh terhadap tindakan yang
dilakukan sehari-hari. Selain itu, faktor nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok
masyarakat pesisir ini akan berpengaruh pada pemahaman mereka terhadap
pendidikan. Kondisi inilah yang akan menjadi dasar dalam membangun model
pendidikan yang harus dilakukan.
Dalam konteks sosiologis, penduduk atau masyarakat yang menghuni
kawasan pesisir, ditilik dari besaran populasi, perbedaan mata pencaharian dan
sumber penghidupan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis satuan sosial
yang kerapkali menjadi satuan administrasi pemerintahan, yaitu: (1) desa pesisir
tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe
tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe
nelayan/empang/tambak, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh
penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya
perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang
sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang
antar pulau dan penyedia jasa transportasi antar wilayah (laut)
(Hasanuddin,1985:108).
Dengan demikian, masyarakat pesisir dalam realitasnya menunjukkan
perbedaan-perbedaan sebagai suatu kesatuan sosial yang disebut sebagai
masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sebagaimana diketahui hidup, tumbuh,
dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, dikenal sebagai masyarakat nelayan yang
merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak
semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian
sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar
penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya
perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas
kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan.
Dalam kehidupan masyarakat pada umumnya kerap dikenal sebagai
masyarakat nelayan, dengan berbagai sebutan baik nelayan, petambak, maupun
12 | P a g e
pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung
berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.Untuk
menguraikan hal ihwal yang terkait dengan masyarakat pesisir sebagaimana
dimaksudkan dalam konsepsi ini, tidak dapat dilepaskan dari konsep konstruksi
masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas.
Masyarakat pesisir sebagai masyarakat miskin memiliki persoalan yang
kompleks. Pertama, faktor miskin secara ekonomi, terpinggir secara sosial, dan
terlupakan secara fungsi dan martabat. Penyebab kemiskinan nelayan secara
umum adalah pendidikan dan keterampilan yang rendah. Hal ini yang menyebabkan
nelayan tidak memiliki alternatif pekerjaan lain yang layak pada musim paceklik dan
nelayan tidak dapat mengoptimalkan manfaat dari hasil usaha penangkapan ikan,
baik dari sisi volume produksi maupun dari harga jual karena mutunya yang rendah.
Panduan memuat konsepsi dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir agar
menghasilkan model yang komprehensif sekaligus mampu menjawab kebutuhan
pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengorganisasian di
masyarakat pesisir.
Suatu konsep tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial
budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok–kelompok sosial yang
melangsungkan kehidupannya dan bergantung pada usaha pemanfaatan sumber
daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi
lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial,
masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-
satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan
dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya
yang hidup di daerah perkotaan. Dalam konteks itu, bagi masyarakat nelayan,
kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi
sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai
sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di
lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional
dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu
yang tidak lama.
Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau
penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu
pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan
dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang
disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,91). Dalam perspektif antropologis dan
13 | P a g e
sosiologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan
berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan sosial
budayanya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan
manusia, satuan social yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan
karakteristik budaya yang berbeda-beda. Karakteristik masyarakat pesisir dapat
dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan
(teologis), dan posisi nelayan sosial.
Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan
dari warisan nenek moyangnya, misalnya mereka untuk melihat kalender dan
penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari
aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki
kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau
sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak
percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka melakukan ritual
tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi sosial nelayan,
pada umumnya nelayan tergolong kasta rendah.
Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal
struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam relasi pasar
pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal
kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien
dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan” (Satria, 2002). Dari masalah utang
piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah
persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya
terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat
mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Peran
pemerintah mulai tingkat lokal hingga tingkat pusat sangat penting dalam
menciptakan aturan bagi kelangsungan kehidupan masyarakat pesisir dan
keberlanjutan (sustainabilitas) sumberdaya alamnya. Ini perlu ditekankan karena
sebagaimana sumberdaya alam lainnya, sifatnya yang bisa hancur dan menjadi
langka bila tidak dikelola dengan bijak akan menimbulkan konflik di masa
mendatang.
Peraturan dengan demikian sangat penting termasuk untuk memastikan hak
pemanfaatan sumberdaya alam bagi masyarakat lokal. Selain pemerintah, lembaga
non pemerintah dan berbasis masyarakat seperli Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) sangat membantu dalam mengarahkan strategi pemberdayaan dan
pemanfaatan potensi yang ada dan diperlukan masyarakat pesisir serta menunjang
14 | P a g e
pengelolaan sumberdaya lingkungan laut di sekitar tempat tinggal mereka, misalnya
budidaya perikanan. Pengelolaan ini dilakukan dengan kegiatan nyata yang sesuai
dengan warna dari kultur masyarakat setempat. Untuk itu, LSM harus mampu
memberikan masukan dan atas pemikiran kritis bagi strategi pengembangan dan
pengelolaan kawasan pesisir dan masyarakatnya. Masyarakat pesisir secara umum
dipahami sebagai masyarakat dengan matapencaharian utama nelayan. Ini bisa
dimaklumi karena nelayan menjadi matapencaharian utama kelompok masyarakat
yang hidup di sekitar pantai ini. Yang perlu dicermati pada masyarakat pesisir
adalah masalah yang berkaitan dengan peran dan matapencaharian mereka
sebagai nelayan.
Berbagai kebijakan yang dilakukan belum mampu mengangkat kerangkeng
kemiskinan para nelayan. Kebijakan pembangunan kelautan selama ini, cenderung
lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil
eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang
mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa
kecenderungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:
a. Aspek ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan
telah cenderung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau,
dan sebagainya). Akibat dari ini adalah menyempitnya wilayah dan sumber daya
tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat
vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar
dan antara nelayan dengan pemerintah).
b. Aspek sosial ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara
pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan
kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut
menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi
buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.
c. Aspek sosio kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut
menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/tradisional terhadap
pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat
center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan
terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan.
Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya
memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang mempunyai kemampuan
ekonomi dan politik, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis
pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan
15 | P a g e
antara kegiatan produksi. Selain sebagai nelayan, pada kondisi pesisir tertentu,
yaitu adanya perubahan kecenderungan pola kerja nelayan, maka beragam
matapencaharian lainnya bisa dikerjakan oleh masyarakat pesisir, termasuk oleh
kelompok perempuan. Menjadi petani garam sebagaimana ditemukan di banyak
wilayah NTB (Sumbawa) dan Madura.
Kehidupan mereka dalam mengelola sumberdaya alam menjadi garam, juga
tidak lepas dari kultur dan relasi yang mereka bangun dengan alam, serta tenik
keterampilan yang mereka kuasai. Dalam perjalanan sebagai petani garam, terkait
dengan alur ekonomi lainnya, maka kehidupan masyarakat pesisir dalam hal ini
petani garam juga tidak luput dari pasang surut, termasuk yang paling mutakhir
terjadi adalah kebijakan harga dan impor garam yang ditetapkan oleh pemerintah.
Ini sekali lagi memberikan bukti bahwa kehidupan masyarakat pesisir membutuhkan
perhatian penuh dalam pemberdayaannya. Yang perlu diperhatikan sebagai
matapencaharian utama lainnya masyarakat pesisir adalah petambak dan petani
rumput laut.
Kegiatan terakhir ini sebagaimana ditemui di wilayah Jeneponto, Sulawesi
Selatan banyak melibatkan anggota keluarga termasuk perempuan. Perkembangan
budidaya rumput laut yang dalam dekade sebelumnya pernah mencapai harga
puncak telah berkontribusi pada pola pencaharian masyarakat pesisir dari nelayan
tradisional menjadi petani budidaya rumput laut. Namun sebagaimana kelompok
masyarakat pesisir petani garam, petani rumput laut juga dihadapkan pada fluktuasi
pasar dan perubahan ekosisistem yang berpotensi pada rendahnya kesinambungan
penghidupan ini. Tentu kerentanan ini membutuhkan proteksi kebijakan pemerintah
yang kuat. Demikian juga di level masyarakat, antisipasi dengan pola
pemberdayaan lewat pendidikan menjadi salah satu alternatif mekanisme
mengurangi kerentanan tersebut.
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang
kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun
demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan
perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan
yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Robinson (1994)
menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu
pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreativitas dan kebebasan bertindak.
16 | P a g e
Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada
kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa),
kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Sedangkan Payne (1997)
menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu
klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan
dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut,
termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orang-
orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya,
bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka
sendiri dan akumulasi pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam
rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan
eksternal.
Pranarka dan Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses
pemberdayaan” mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan
yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan,
kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya.
Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan
sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa
yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
a. Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi
kondisi perubahan ke depan)
b. Mampu mengarahkan dirinya sendiri
c. Memiliki kekuatan untuk berunding
d. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang
saling menguntungkan, dan
e. Bertanggungjawab atas tindakannya.
Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi,
berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu
berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu
mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi.
Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang
17 | P a g e
diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan
partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.
Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari
pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan
suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan
daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya
yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan
kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang
dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif
merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada
perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif
adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat
diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan
psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai
upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
Tidak ada program pemberdayaan yang berkelanjutan tanpa partisipasi
berarti dari masyarakat itu sendiri. Pihak luar hanya berfungsi sebagai katalisator
dan fasilitator. Dengan demikian masyarakat yang akan mengambil keputusan dan
risiko dari kegiatan yang mereka rancang. Program yang tidak berkesinambungan
seringkali diakibatkan oleh rendahnya partisipasi ini, karena masyarakat tidak
merasa memiliki kegiatan yang dilakukannya, dan lepas tanggung-jawab. Program
demikian biasanya tidak didasari pada kajian kebutuhan dan potensi masyarakat
bersama masyarakat sendiri. Selain itu, pentingnya partisipasi kelompok sasaran ini
didasarkan pada kesadaran bahwa proses pemberdayaan merupakan aksi yang
akan dilakukan oleh kelompok dalam masyarakat sendiri, sementara pihak luar
merupakan fasilitator yang mempermudah proses. Juga, partisiapsi dimaksudkan
agar inisiatif awal yang dilakukan oleh fasilitator luar akan ditindak-lanjuti oleh
kelompok masyarakat sendiri sebagai sebab indikasi keberlanjutan yang dikehendai
dalam program dan pendidikan pemberdayaan.
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat
serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
18 | P a g e
pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya
kesempatan untuk berpartisipasi. Selama ini, kemauan dan kemampuan
berpartisipasi lebih berasal dari masyarakat yang dalam hal ini dimaksudkan
sebagai badan dunia dan lembaga swadaya masyarakat, sedangkan kesempatan
berpartisipasi datang dari pihak luar yang memberi kesempatan, yang dimaksud ini
adalah pihak pemerintah. Apabila ada kemauan tetapi tidak ada kemampuan dari
pihak luar yang dalam hal ini masyarakat, sungguhpun telah diberi kesempatan oleh
negara atau penyelenggara pemerintahan, maka partisipasi tidak akan terjadi.
Demikian juga, jika ada kemauan dan kemampuan tetapi tidak ada ruang atau
kesempatan yang diberikan oleh negara atau penyelenggara pemerintahan, maka
tidak mungkin juga partisipasi masyarakat itu terjadi.
Chambers membagi tingkat partisipasi dalam beberapa level, mulai dari
yang terendah, sebagai berikut:
a. Partisipasi dengan mobilisasi, yakni suatu partisipasi semu karena keterlibatan
masyarakat digerakkan oleh sebuah instruksi, dan bukan menjadi kesadaran atau
kebutuhan.
b. Partisipasi karena menerima manfaat, yakni masyarakat berpartisipasi karena
ada suatu yang mereka dapatkan dari proses ini.
c. Partisipasi program yang dilaksanakan pihak lain, yakni pada dasarnya
masyarakat tidak terlibat merancang dan melakukan perencanaan terhadap
kegiatan, namun melakukan kegiatan pihak lain.
d. Partisipasi konsultatif, yakni biasanya dilakukan antara pemrakarsa dan
pelaksana
e. Partisipasi pemberdayaan atau pengalihan kemampuan. Ini dikembangkan
dengan asumsi bahwa selama ini masyarakat tidak dilibatkan karena anggapan
bahwa mereka memiliki kemampuan yang belum memadai sehingga membutuhkan
pendampingan hingga mereka mandiri untuk menyusun rencana mereka sendiri.
Pihak luar merupakan fasilitator yang melakukan transformasi pengetahuan yang
dibutuhkan masyarakat.
f. Partisipasi dengan cara menganalisis, merencanakan, melakukan dan
mengevaluasi kegiatan bersama. Ini merupakan partisipasi tertinggi dari sebuah
kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tujuannya.
Kerusakan Lingkungan Wilayah Pesisir
Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi
sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan
19 | P a g e
memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat
maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas
perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir di antaranya adalah kegiatan
perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata. Selain dimanfaatkan
untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat
membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik dari darat maupun di
kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak yang tidak diharapkan
dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan
lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena dampak adalah perairan
estuaria. Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan
tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Namun wilayah pesisir
juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari
aktifitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir
merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut.
Menurut Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir,
terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas
industri. Estuaria merupakan badan air tempat terjadinya percampuran massa air
laut yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan air tawar yang berasal dari
daratan. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya air payau dengan salinitas yang
meningkat kearah mulut sungai. Pada musim kemarau volume air sungai berkurang
dan air laut dapat masuk sampai ke arah hulu sehingga salinitas di wilayah estuaria
meningkat, sebaliknya pada musim penghujan volume air tawar dari sungai sangat
besar dan mengalir ke wilayah estuaria sehingga salinitas menjadi rendah. Wilayah
estuaria meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan mangrove dekat
estuaria dan hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini dapat dikatakan
sebagai wilayah yang sangat dinamis karena terjadi proses dan perubahan pada
lingkungan fisik, kimia dan biologi (Supriadi, 2001).
Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER
16/MEN/2008 pasal 1 menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Menurut undang-undang ini perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan
daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria, teluk, perairan dangkal, rawa,
payau dan laguna.
20 | P a g e
Kawasan yang berada di kawasan pesisir ini tak luput dari pengembangan
dan pembangunan kota. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan ekosistem
estuaria dan munculnya konflik kepentingan. Sebagai contoh di beberapa wilayah di
Indonesia terjadi konflik antara konservasi dengan pengembang reklamasi pantai di
Manado (Sulawesi Utara), konflik antara industri dan masyarakat pesisir atau konflik
antara lahan konservasi mangrove dengan pembangunan perumahan di Pantai
Indah Kapuk, Jakarta. Kerusakan ekosistem yang mungkin ditimbulkan dari adanya
konflik kepentingan tersebut adalah meningkatnya konsentrasi limbah yang masuk
ke perairan, volume sedimen, penurunan biomassa dan keanekaragaman hayati.
Pencemaran pantai dan laut telah menjadi penyebab utama perubahan struktur dan
fungsi dari fitoplankton, zooplankton, bentos dan komunitas ikan pada area yang
luas, termasuk dampak terhadap kesehatan masyarakat, khususnya pada
perikanan dan penggunaan komersil habitat pantai dan laut (Tanaka, 2004).
Beberapa kasus pencemaran yang terjadi di muara sungai di Indonesia telah
dilaporkan seperti pencemaran bahan organik dan anorganik di perairan di perairan
pesisir Semarang (Sulardiono, 1997). Menurunnya kualitas perairan pantai Jakarta,
Semarang, dan Jepara akibat limbah domestik (Suhartono, 2004).
Berdasarkan hal tersebut di atas, untuk menekan ancaman terhadap
keberlanjutan fungsi perairan ini perlu dibuat rancangan model pengelolaan
lingkungan estuaria yang melibatkan semua elemen yang terkait berdasarkan
simulasi model kualitas air yang dapat diprediksi beberapa tahun ke depan,
sehingga diharapkan dapat menjadi arahan bagi kebijakan pemerintah daerah
dalam upaya pelestarian lingkungan perairan pada masa yang akan datang. Untuk
dapat merancang strategi pengelolaan berkelanjutan pada perairan estuaria,
terdapat beberapa permasalahan yang perlu dirumuskan yaitu;
- Bagaimana kondisi terkini lingkungan di estuaria dan berapa besar dampak
lingkungan serta tekanan yang muncul akibat menurunya kualitas perairan di
wilayah ini.
- Mengidentifikasi bahan polutan yang masuk ke lingkungan sungai sebagai
masukan model.
- Bagaimana model hidrodinamika perairan estuaria dan perubahan kondisi
lingkungan perairan Estuaria Tallo berdasarkan model kualitas air.
- Bagaimana kondisi kualitas perairan estuaria pada musim barat dan musim timur
dengan skenario yang berbeda (kondisi pasang dan surut) .
- Bagaimana strategi pengelolaan lingkungan estuaria berdasarkan model kualitas
perairan .
21 | P a g e
Pengelolaan lingkungan perairan Estuaria perlu memperhatikan kondisi
kualitas perairan. Semakin meningkatnya beban limbah yang dibuang ke sungai
dapat mengakibatkan perubahan kondisi fisik, kimia dan biologi perairan.
Perubahan tersebut tentunya lambat laun akan mengganggu kestabilan ekosistem
estuaria. Terganggunya kestabilan ekosistem estuaria dapat mengakibatkan
terganggunya ekosistem pesisir dan laut. Untuk dapat memprediksi beberapa tahun
kedepan mengenai kondisi kualitas perairan estuaria, diperlukan suatu simulasi
model matematik yang diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi ke depan
agar dapat dijadikan pertimbangan dalam merumuskan strategi pengelolaan. Hasil
model matematis dibandingkan dengan baku mutu perairan yang berlaku. Upaya
pengelolaan lingkungan perairan estuaria merupakan suatu masalah kompleks dan
melibatkan berbagai komponen dan stakeholders terkait. Metode pendekatan
sistem merupakan salah satu metode yang dapat digunakan sebagai dasar dalam
penyelesaian masalah pengelolaan lingkungan estuaria. Penyusunan skenario
untuk melihat berbagai fenomena kondisi perairan yang akan terjadi di masa depan
didasarkan pada hasil simulasi model dengan program MIKE 21. Hasil ini kemudian
akan dijadikan rekomendasi sebagai dasar menyusun strategi pengelolaan yang
akan diterapkan. Bantuan pakar (expert judgment) juga ditentukan untuk menyusun
strategi pengelolaan yang dilaksanakan saat ini dan pada masa yang akan datang.
Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar
dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat
pencemar. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari
volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus,
topografi dan geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan
ketiganya akan saling berinteraksi. Apabila salah satu factor terganggu atau
mengalami perubahan akan berdampak pada ekologi perairan. Penyebaran bahan
pencemar terutama logam berat dalam perairan dengan proses pengendapan akan
mempengaruhi siklus hidup dari hewan perairan terutama ikan. Dengan terjadinya
proses pengendapan bahan pencemar di dasar perairan akan memberikan dampak
terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh organisme melalui rantai makanan.
Limbah pabrik yang masuk ke perairan sungai dan mengalir ke perairan
muara mengakibatkan perubahan kualitas perairan dan mengganggu kehidupan
organisme perairan, bahkan dapat menyebabkan kematian bagi organisme (ikan).
Hal ini disebabkan organisme perairan akan mengakumulasi bahan pencemar yang
masuk ke dalam tubuhnya. Pada suatu saat konsentrasinya akan melebihi ambang
batas, sehingga mengakibatkan kerusakan organ bahkan dapat menyebabkan
22 | P a g e
kematian bagi organisme tersebut. Kerusakan organ yang terkena dampak/akibat
dari limbah, terutama logam berat yang pertama kali adalah insang, karena insang
merupakan organ pernafasan yang berinteraksi langsung dengan air untuk
mendapatkan oksigen. Selain organ insang yang memperlihatkan reaksi terhadap
masuknya bahan pencemar ke dalam tubuh, organ ginjal juga memberikan reaksi
terhadap bahan pencemar karena sesuai dengan fungsinya ginjal berfungsi
menetralisir racun (bahan pencemar) yang telah masuk ke dalam tubuh. Sesuai
dengan fungsi kedua organ tersebut kiranya perlu melihat kerusakan kedua organ
tersebut menggunakan analisis histopatologi.
Limbah dari aktifitas pabrik yang membuang limbah cairnya ke sungai
umumnya berupa limbah cair yang mengandung logam berat. Diketahui bahwa sifat
logam berat tersebut mudah mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan
komponen kimia lainnya, sehingga kemungkinan terjadinya pengakumulasian logam
berat tersebut di dasar perairan juga menjadi lebih besar (Riani, 2004).
Berbagai aktifitas yang dilakukan oleh manusia memberikan hasil akhir
berupa limbah yang merupakan sisa-sisa dari aktifitas yang dilakukan. Aktifitas yang
dilakukan oleh manusia adalah kegiatan industri, pertanian dan rumah tangga. Sisa
dari kegiatan tersebut jika tidak dikelola dengan baik, akan memberikan dampak
yang negatif dan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran. Salah satu ekosistem
yang menerima limbah buangan tersebut adalah ekosistem perairan, bahkan
ekosistem perairan merupakan ekosistem yang sering dijadikan tempat
pembuangan akhir dari aktifitas tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Aliran sisa buangan yang dilakukan oleh berbagai aktifitas tersebut
pertama kali akan memasuki ekosistem perairan sungai, selanjutnya akan masuk ke
perairan estuaria dan berakhir di laut lepas. Selama perjalanannya, bahan
pencemar yang masuk ke perairan akan mengalami perubahan atau mengalami
suatu proses penguraian. Di lain pihak bahan pencemar juga bisa merusak
ekosistem perairan tersebut, karena bahan pencemar ini akan mengakibatkan
terjadinya perubahan pada kualitas perairan, yang pada akhirnya akan
menyebabkan perubahan atau terjadinya gangguan terhadap organisme yang hidup
di dalamnya dan juga bisa menyebabkan munculnya dampak atau efek yang tidak
kecil bagi manusia yang memanfaatkan perairan tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dengan mengetahui sumber pencemar dan alirannya serta
efek yang ditimbulkan oleh bahan pencemar dari berbagai aktifitas manusia yang
terkait terhadap organisme perairan dan kualitas perairan akan memberikan suatu
23 | P a g e
gambaran pengelolaan ekosistem perairan secara baik demi keberlanjutannya
dimasa yang akan datang.
Konsep Kurikulum Pemberdayaan
Kurikulum pendidikan yang harus dikembangkan dalam upaya
pemberdayaan masyarakat pesisir harus menyesuaikan dengan aspek sosial
ekonomi dan sosio kultural yang ada pada masyarakat pesisir. Kurikulum yang
dikembangkan bukanlah kurikulum sebagaimana yang berlaku di sekolah formal.
Konsep kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulum yang fleksibel dan selalu
siap melakukan perubahan-perubahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat nelayan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan konsep kurikulum
yang harus dikembangkan pada masyarakat pesisir yang meliputi:
a. Landasan Filosofis Pendidikan
Pendidikan mengandung dua pengertian/makna yang dapat dipisahkan.
Pertama adalah pengertian pendidikan sebagai disiplin ilmu. Kedua adalah
pengertian pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara,
masyarakat, keluarga atau individu tertentu (S. Hamid Hasan, 1995 : 2).
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pesisir landasan pendidikan yang
hendak kita pegang adalah pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh
Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu. Pengertian ini kita ambil
karena pemberdayaan masyarakat pesisir akan melibatkan negara, masyarakat,
keluarga atau individu tertentu dalam hal ini mereka yang hidup di pesisir dan
matapencahariannya sangat tergantung pada apa yang ada di pesisir. Kurikulum
yang dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat hendaknya melibatkan seluruh
komponen masyarakat yang ada di masyarakat pesisir. Strata sosial yang ada di
masyarakat hendaknya menjadi individu-individu atau kelompok yang terlibat dalam
perumusan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan.
Masyarakat pesisir sudah lama hidup dengan pekerjaan yang dimilikinya,
khususnya pekerjaan sebagai nelayan. Mereka sudah memiliki keterampilan-
keterampilan yang mengakar dari generasi ke generasi. Pengetahuan yang mereka
miliki dari pekerjaannya bersumber dari pengalaman. Oleh sebab itu, landasan
filosofis yang digunakan dalam pengembangan kurikulum adalah pendidikan
bersumber dari pengalaman. Landasan filosofis yang berkenaan dengan hal ini
adalah filsafat dari John Dewey yang menyatakan bahwa konsepsinya dunia yang
selalu berubah,mengalir atau on going-ness. Pandangan filsafat ini berimplikasi
pada pandangan tentang pentingnya pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
Kaitan pengalaman dengan pendidikan menurut John Dewey bahwa pendidikan
24 | P a g e
merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman (Nana
Syaodih Sukmadinata, 1998 : 40-41).
b. Landasan Sosial Budaya
Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan akan
menggambarkan apa yang hendak dilakukan dalam pendidikan tersebut dan apa
tujuan yang hendak dicapai. Landasan sosial budaya sangat berkaitan dengan
konsep pendidikan dan masyarakat. Ada tiga sifat penting pendidikan, pertama
pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Hal itu
disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan
pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Kedua,
pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya
untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat.
Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada dalam masyarakat,
memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat
sebagai warga maupun dunia kerja. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi
dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung.
Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena
pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Dalam konteks
pengembangan kurikulum pada masyarakat pesisir haruslah menjadikan nilai-nilai
sosial budaya yang hidup dalam masyarakat pesisir dijadikan landasan kurikulum.
Nilai-nilai sosial budaya yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial menciptakan
pola hubungan dan strata sosial sehingga membentuk suatu hubungan patron klien.
Hal lain yang berkenaan dengan nilai-nilai sosial budaya adalah sistem
kepercayaan dan religi yang dimiliki masyarakat. Sistem kepercayaan biasanya
terbentuk dalam kaitan antara hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan
ini akan membentuk pengetahuan manusia terhadap gejala alam. Misalnya pada
masyarakat nelayan berdasarkan pada pengetahuan terhadap alam, mereka akan
mengetahui kapan saatnya musim ikan.
Sebagaimana pendekatan pemberdayaan masyarakat pada umumnya,
pendekatan untuk masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh pandangan atau
paradigma yang S digunakan. Namun dalam keseluruhan, pendekatan
pemberdayaan masyarakat pesisir berangkat dari pandangan bahwa masyarakat
pesisir, baik laki-laki maupun perempuan, diperlukan karena posisi mereka yang
sangat rentan akan perubahan dan berada dalam kondisi marginal. Seperti
dikemukakan di depan, posisi pheryphery menunjukkan tingkat terpinggirnya
25 | P a g e
kelompok masyarakat pesisir dibanding kelompok masyarakat lainnya. Mereka
semakin terpinggir bila kerentanan yang mereka hadapi tidak memiliki mekanisme
antisipasi (copying mechanism) yang disebabkan oleh kondisi alam, sosial maupun
kebijakan eksternal. Pendekatan yang umumnya digunakan dalam pembedayaan
masyarakat terpinggirkan, termasuk masyarakat pesisir adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Sosio Karitatif:
Pendekatan ini menempatkan dan menganggap masyarakat pesisir tidak
berdaya/marjinal, miskin, menderita dan tidak mampu mengenali dan memecahkan
masalahnya sendiri atau mereka dianggap tidak mampu. Bentuk yang sering kita
lihat adalah: santunan-santunan kepada komunitas miskin, pemberian beasiswa,
bantuan kesehatan, dan lain sebagainya.
2. Pendekatan Sosio Ekonomis:
Pendekatan ini berangkat dari anggapan apabila pendapatan masyarakat pesisir
meningkat, kebutuhan ekonominya terpenuhi, dengan sendirinya segala persoalan
kehidupan lainnya juga terpecahkan. Misalnya bentuk-bentuk penguatan usaha
perekonomian, beternak secara komunal, koperasi nelayan, dan lain sebagainya.
3. Pendekatan Sosio Reformis:
Pendekatan ini hanya sekedar untuk mengembalikan keadaan menjadi
sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya permasalahan/kesulitan. Model
ini tepat digunakan pada komunitas yang baru mengalami bencana alam, bencana
peperangan maupun bencana kerusuhan sosial.
4. Pendekatan Sosio Transformatif:
Pendekatan ini dasarnya adalah perubahan pandangan pemikiran, sikap, dan
tingkah laku bersama menuju pada keswadayaan dan kemandirian, mulai dari arah
pengenalan masalah, menentukan rencana kegiatan untuk penyelesaian masalah
hingga pada evaluasinya. Memang ada sedikit permasalahan pada pendekatan ini,
yaitu banyak pihak yang tidak bisa bersabar terhadap prosesnya yang
mengutamakan membangun kesadaran akan kehidupan mendatang yang lebih
baik.
Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat pesisir di lapangan yang
dilakukan sesuai konteks kebutuhan sasaran, tidak semua aksi yang dipilih memiliki
dampak pemberdayaan yang berkesinambungan. Beberapa pilihan pendampingan
yang ada adalah sebagai berikut :
1. Pendekatan Proyek:
Mengorganisir masyarakat pesisir pada kegiatan-kegiatan proyek alternatif, yang
bertujuan agar mereka dapat mandiri (self-reliance), misalnya: program penyehatan
26 | P a g e
masyarakat pesisir dan koperasi untuk meningkatkan ekonomi keluarga.
Pendekatan ini biasanya dilakukan secara parsial untuk menjawab sebagian atau
salah satu sektor yang ditangani untuk pemberdayaan. Pendekatan ini tidak
berkesinambungan karena bergantung pada proyek yang dibatasi sumberdaya dan
waktu dengan target yang terukur. Sementara pemberdayaan masyarakat pesisir
membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, berkesinambungan dan
pemandirian sumberdaya lokal.
2. Pendekatan Aksi Politik:
Memfokuskan pada aksi bersama, dimulai dari memahami persoalan-persoalan
yang mereka hadapi, sampai kepada melakukan tuntutan-tuntutan terhadap pihak
yang berkuasa. Cara-cara yang dilakukan dapat berupa: petisi, negosiasi, dan unjuk
rasa. Pendekatan ini bukan merupakan pemberdayaan yang utuh. Namun dipilih
untuk tujuan tuntutan perubahan kebijakan yang mendesak. Pendekatan ini
dilakukan bila masyarakat atau kelompok sasaran telah memiliki kemandirian yang
kuat dari proses pendampingan yang panjang, serta kemampuan berfikir kritis
sehingga mampu diorganisir untuk aksi politik.
3. Pendekatan untuk Pemandirian:
Aksi-aksi pencerahan dan penyadaran sosial melalui aktivitas pendidikan
masyarakat pesisir. Dalam pendekatan ini, aktivitas pada sektor-sektor tertentu
(misalnya: pemberdayaan kemampuan perekonomian, advokasi, dan lain-lain)
merupakan entrypoint bagi proses pembelajaran yang sesungguhnya. Dalam
proses pendekatan ini, diawali dengan pengorganisasian kelompok sasaran untuk
mengidentifikasi aspirasi dan kebutuhan, menyatukan potensi untuk perubahan ke
arah perbaikan kondisi dan posisi masyarakat pesisir, hingga kemampuan untuk
melakukan negosiasi atau dialog dengan lembaga formal lainnya. Dengan demikian
pendekatan ini membutuhkan jangka waktu panjang hingga tumbuhnya kesadaran
dari kelompok sasaran untuk memobilisasi dirinya atau kelompoknya bagi
perubahan yang lebih baik untuk kehidupan mereka.
Pada paragraph sebelumnya telah dikemukakan, strategi pemberdayaan
masyarakat pesisir dilakukan melalui pendidikan dan pemberdayaan sosial
ekonomi. D Bagaimana strategi ini dilakukan menjadi penting untuk dikaji agar
mencapai tujuan yang dimaksud. Disini koherensi antara tujuan dan strategi atau
cara yang digunakan penting untuk ditekankan. Sebagaimana ditekankan dalam
tujuan, pemberdayaan masyarakat pesisir dari keterbatasan atau partikuralisme
dialami dan membatasi mereka menuju kondisi dan posisi yang lebih baik melalui
pengembangan kurikulum pendidikan nonformal yang membebaskan atau
27 | P a g e
emansipatoris. Pengembangan kurikulum di sini dijadikan sarana pembebasan atau
emansipasi dan karena itu perlu kita tempatkan dalam posisi utama atau posisi
sentral. Selain itu, sebagai pendukung, pengorganisasian sosial dilakukan untuk
menjalankan pemberdayaan masyarakat pesisir. Bagaimana pengorganisasian
sosial di sini dilakukan mengikuti strategi pengelolaan kegiatan dalam organisasi
dan kelembagaan sosial, sebagaimana berlaku dalam pengorganisasian
kelembagaaan sosial pada umumnya, yaitu mengikuti tahapan-tahapan sebagai
berikut: (1) penentuan kebutuhan dan kepentingan; (2) artikulasi kepentingan dan
kebutuhan dan akses pada sumberdaya sosial dan politik; (3) struktur relasi
kekuasaan dengan segala keterbatasan dan peluang yang ada; (4) partisipasi dan
pengorganisasian sosial; (5) menumbuhkan kemandirian, kontrol dan penguasaan
atas sumberdaya.
Bagan berikut menggambarkan alur proses strategi pemberdayaan yang dilakukan
melalui pengembangan kurikulum dalam logika alur proses pemberdayaan dalam
organisasi dan lembaga sosial.
Bagan 1. Strategi Pemberdayaan melalui Pengembangan Kurikulum
Bagan di atas menggambarkan alur proses strategi pemberdayaan yang dilakukan
melalui pengembangan kurikulum pendidikan dengan mengikuti logika
pengorganisasian sosial. Dimulai dari penentuan kebutuhan dan kepentingan,
tahapan ini mengidentifikasi kepentingan dan kebutuhan pemberdayaan masyarakat
28 | P a g e
pesisir dalam konteks sosial beragam di masyarakat. Selanjutnya, berdasar
kepentingan dan kebutuhan terumuskan, artikulasi dan pembukaan akses pada
sumberdaya dilakukan menuju relasi sosial penuh kesetaraan. Strategi ini penting
dijadikan acuan dalam pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pendidikan,
pengembangan kurikulum dan pengorganisasian sosial. Strategi ini merupakan
strategi pendidikan responsif kebutuhan masyarakat pesisir bertujuan untuk
memberdayakan dengan mengintegrasikan pertimbangan relasi sosial masyarakat
pesisir dengan pemangku kepentingan lainnya ke dalam kebijakan pendidikan,
pengembangan kurikulum dan pengembangan kelembagaan sosial. Hal itu
dilakukan dengan mengarusutamakan atau memasukkan cara pandang, atau
perspektif kebutuhan masyarakat pesisir, dalam kebijakan dan penyelenggaraan
pendidikan, pengembangan kurikulum dan pengorganisasian sosial.
Mengarusutamakan dan responsif pada kebutuhan masyarakat pesisir, dalam hal ini
tidak hanya sekedar mengintergrasikan permasalahan mereka kedalam pendidikan,
tetapi juga mencakup upaya mengubah arus utama pemikiran dan menjadikan
pemikiran responsif kebutuhan lokal/spesifik sebagai realitas sosial. Hal itu penting
dilakukan untuk memastikan agar masyarakat pesisir memperoleh akses,
berpartisipasi dan memiliki kontrol serta memperoleh manfaat yang setara dan adil
dalam proses dan kegiatan pembangunan (Mohanty, 1991).
Penyelenggaraan pendidikan respontif kebutuhan masyarakat pesisir sendiri
mencakup baik pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis dalam dunia
pendidikan. Pemenuhan kebutuhan meliputi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat pesisir untuk memperbaiki kondisi mereka agar mereka dapat menjalani
kehidupan dan peran-peran sosial secara bermartabat. Untuk menuju ke sana,
selain diperlukan pendekatan jangka pendek mengatasi masalah hidup sehari-hari,
di bidang sosial-ekonomi, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan sebagainya,
juga diperlukan pendekatan strategis jangka panjang untuk pemberdayaan dan
perbaikan masyarakat pesisir dalam memperbaiki posisi dan meningkatkan posisi
tawar mereka baik di masyarakat, negara maupun pasar, atau dalam dunia kerja.
Tahap Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum pendidikan pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir
dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan pengembangan yang secara garis
besarnya terdiri dari dua tahap yaitu ; (1) Tahap identifikasi, dan (2) tahap
pengembangan kurikulum. Jabaran dari masing-masing tahap sebagai berikut :
1. Tahap Identifikasi
29 | P a g e
Tahap identifikasi merupakan tahap awal dari kegiatan pengembangan yang
dilakukan untuk memperoleh gambaran, masalah, potensi dan kebutuhan yang
perlu diperhatikan dan dikembangkan pada masyarakat sasaran. Kegiatan yang
dilakukan pada tahap identifikasi tediri dari 5 tahap yaitu : (a) analisis konteks, (b)
penentuan subyek sasaran, (c) identifikasi kebutuhan dan masalah sasaran, (d)
identifikasi tantangan dan peluang, dan (e) pemetaan dan klasifikasi kapsitas yang
dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan atau digali dalam masing-masing
tahap kegiatan identifikasi sebagai berikut :
a. Analisis Konteks
Identifikasi ragam-ragam sosial budaya dari masyarakat sasaran yang
berkaitan dengan etnis, agama, tingkat pendidikan masyarakat sasaran dan
aspek lain yang relevan. Ini dibutuhkan mengingat bahwa setiap keragaman
faktor sosial yang ada akan memberikan dampak atau implikasi pada peran
dan posisi masyarakat pesisir serta model relasi mereka dengan pemegang
kepentingan lainnya dalam struktur masyarakat.
Elaborasi kekhususan/keunikan masing-masing kelompok sosial yang ada di
masyarakat sasaran. Hal ini diarahkan untuk melihat secara mendalam relasi
antara masyarakat pesisir dan kelompok masyarakat lainnya termasuk
pemegang kepentingan masing-masing aspek sosial yang menonjol. Misalnya
dalam budaya lokal, bagaimana peran masyarakat pesisir, model kekerabatan
dan masyarakat secara umum.
Elaborasi ikatan-ikatan sosial dalam bentuk nilai atau institusi (misalnya nilai
apa aja yang bisa mengikat mereka yang berbeda tersebut, isu-isu
publik/kepentingan bersama: seperti akte lahir, musyawarah, dan lain-lain).
Atau dengan kata lain, dalam hal apa, misalnya perempuan menganggap
suatu hal menjadi persoalan bersama kaumnya, dan bukan persoalan
individual. Contohnya: apakah mendapatkan kredit bagi perempuan petani
mejadi kepentingan (atau kesulitan) yang umum mereka rasakan.
b. Penentuan Subyek Sasaran
Penentuan subyek sasaran dilakukan dengan memperhatikan dan memilah
kelompok-kelompok yang akan menjadi sasaran utama pengembangan.
Menentukan kelompok antara yang akan dilayani dalam kegiatan
pengembangan.
Penentuan kelompok-kelompok masyarakat dan lembaga yang menjadi mitra
dalam kegiatan pengembangan yang akan dilakukan.
c. Identifkasi Masalah dan Kebutuhan Sasaran
30 | P a g e
Masalah yang dimaksudkan adalah kondisi dan hambatan yang dihadapi
kelompok sasaran dalam kaitannya dengan penetapan harga ikan hasil
tangkapan. Penentuan masalah ini dapat dlakukan dengan melakukan
wawacara, penyebaran kuesioner, Focus Group Discussion (FGD/diskusi
terfokus) secara partisipatif tentang kedudukan dan posisi dan masalah yang
dihadapi masyarakat pesisir.
Kebutuhan kelompok sasaran adalah hal-hal yang diperlukan oleh kelompok
sasaran dalam menyelesaikan masalah dan membantu kelompok sasaran
membangun dan mengembangkan kapasitasnya atau kemampuan yang
dimiliki.
d. Identifikasi Tantangan dan Peluang
Peluang yang dimaksudkan dapat berupa kegiatan, kesempatan dan hal-hal
lain yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok sasaran sesuai dengan
kapasitas dan kemampuan yang dimiliki baik secara individu maupun
kelompok.
Tantangan yang dimaksudkan adalah apa yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan atau meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam
mengisi dan memanfaatkan peluang yang ada bagi kelompok sasaran.
Peluang dan tantangan bagi kelompok sasaran mencakup bidang ekonomi
(menyangkut akses yang dimiliki dan peluang pengembangannya), sosial
(misalnya ikatan juragan dan pekerja dalam masyarakat nelayan, atau ikatan
sosial lainnya yang bisa dipengaruhi oleh adanya ikatan modal yang
eksploitatif), hukum (terutama perubahan dan struktur kebijakan yang
berimplikasi pada kehidupan masyarakat pesisir) dan ekologi (lingkungan
sumberdaya alam terutama kerentanan dan kecenderungan perubahan) dan
pendidikan teknis pengembangan matapencaharian lainnya atau disesuaikan
dengan bidang pemberdayan yang akan dilakukan.
e. Pemetaan dan Klasifikasi Kapasitas yang Dikembangkan
Bila telah terpetakan kompetensi, kemampuan, masalah dan kebutuhan dari
kelompok sasaran, selanjutnya dilakukan pengelompokan tentang masalah
yang perlu diselesaikan, kapasitas dan kemampuan yang dapat dan perlu
dkembangkan agar dapat mengatasi masalah, memenuhi kebutuhan
kelompok sasaran, serta mengisi peluang dan tantangan dalam bidang
pemberdayaan yang dilakukn.
Pengelompokan yang dilakukan didasarkan pada tahapan atau proses
kegiatan pengembangan mulai dari pengenalan diri.
31 | P a g e
Pengelompokan ini merupakan dasar untuk merumuskan kompetensi atau
kemampuan yang akan dikembangkan atau hendak dicapai pada kelompok
sasaran
2. Tahap Pengembangan Kurikulum
Kurikulum pemberdayaan kelompok masyarakat pesisir paling tidak
berisikan tentang standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang
hendak dicapai melalui kegiatan pemberdayaan, pengalaman yang perlu
diperoleh oleh kelompok sasaran pemberdayaan dan materi kegiatan
pemberdayaan. Adapun tahapan yang dapat dilakukan adalah (a) merumuskan
standar kompetensi dan kompetensi dasar, (b) merumuskan indikator capaian,
(c) menentukan pengalaman yang harus diperoleh, (d) menentukan materi
kegiatan.
a. Merumuskan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Standar kompetensi merupakan kemampuan yang hendak dicapai dalam
kegiatan pemberdayaan sesuai dengan kelompok masalah, kebutuhan
kelompok sasaran yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Bila
kemampuan tersebut dimiliki maka kelompok sasaran telah berdaya atau
dapat melakukan aktivitas sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi
kemampuan yang dirumuskan dalam standar kompetensi masih umum
sifatnya, sehingga perlu dijabarkan kedalam beberapa kompetensi dasar,
yang sesungguhnya merupakan tahapan kemampuan dan atau beberapa
kemampuan sebagai dasar untuk mencapai standar kompetensi yang telah
ditetapkan.
b. Merumuskan Indikator Capaian
Indikator capaian merupakan jabaran capaian dari kompetensi dasar.
Indikator capaian ini dijabarkan secara spesifik dan bertahap mulai dari yang
paling bersifat kognitif sampai ke tingkat aplikatif dan atau kemampuan nyata
yang dapat diamati, diukur serta jelas ukurannya atau cirinya.
c. Pengalaman yang Diperoleh
Untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah
ditetapkan, perlu ada pengalaman belajar yang diperoleh oleh kelompok
sasaran, sehingga penguasaan dan kemampuan dan atau kompetensi yang
dimiliki bersifat aplikatif dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan
permasalahan kelompok sasaran. Dengan perolehan pengalaman ini
kelompok sasaran dapat menerapkan kemampuan yang dimilikinya dalam
kehidupan nyata berkaitan dengan pemberdayaan yang dilakukan.
32 | P a g e
d. Penentuan Materi
Indikator capaian dan kompetensi akan dapat dicapai bila dalam kegiatan
pemberdayaan jelas materi atau bahan pembelajaran yang akan diberikan
dan dibahas dalam kegiatan pemberdayaan. Dari materi ini kelompok sasaran
memperoleh pengetahuan, pengalaman dan sebagainya untuk
pengembangan kapasitas dan kemampuannya baik secara individu maupun
kelompok.
Kompetensi yang Dikembangkan Dalam Kurikulum
Pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir mencakup
empat (4) kompetensi. Keempat kompetensi yang dimaksud adalah (1) Kompetensi
pengenalan diri; (2) Kompetensi pengenalan kesempatan dan peluang; (3)
Kompetensi pengembangan potensi dan kemampuan diri membangun
matapencaharian yang berkelanjutan; (4) Kompetensi membangun relasi
kekuasaan yang setara dengan pemegang kepentingan lainnya dalam struktur
pengambilan keputusan di masyarakat, baik oleh lembaga informal maupun
lembaga formal. Keempat kompetensi ini perlu dibangun dan dikembangkan pada
subyek sasaran yakni masyarakat pesisir, perempuan dan laki-laki yang hendak
diberdayakan. Pengembangan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan
sampai kelompok sasaran mampu untuk membangun kondisi penghidupan yang
lebih baik pada unit yang terkecil, yakni keluarga sampai pada lingkup sosial
masyarakat yang lebih luas, termasuk relasi dengan pengambil kebijakan.
Kompetensi pengenalan diri merupakan kompetensi yang paling mendasar
atau awal yang perlu dikembangkan pada kelompok sasaran dengan maksud agar
kelompok sasaran mengenal tentang kebutuhan dan kepentingannya dalam
pemberdayaan masyarakt pesisir, termasuk cita-cita dan harapannya. Disamping
itu, juga ditumbuhkan kemampuan untuk memetakan potensi dan kemampuan diri
serta komunitas (kolektif) dan sumberdaya yang dimiliki berkait dengan nilai,
pengetahuan, keterampilan, motivasi, spirit dan kepercayaan diri dan kolektif dalam
pemberdayaan masyarakat pesisir. Kompetensi pengenalan kesempatan dan
peluang dimaksudkan mengembangkan kemampuan kelompok sasaran dalam
memetakan dan melihat peluang dan tantangan yang ada serta menentukan
strategi dan cara untuk mengisi dan memanfaatkan peluang yang ada.
Kompetensi pengembangan potensi dan kemampuan diri dan kolektif
dimaksudkan upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kemampuan,
pengetahuan, keterampilan yang berkait dengan potensi dan kemampuan yang
33 | P a g e
dimiliki sehingga mampu menentukan dan mengambil keputusan guna memperbaiki
penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir secara individu, keluarga
dan kolektif. Kompetensi membangun relasi adalah kemampuan yang dimiliki
individu, keluarga dan kolektif masyarakat pesisir dalam struktur pengambilan
keputusan dalam masyarakat oleh lembaga informal dan lembaga formal yang
berimplikasi pada kehidupan mereka.
Panduan pengembangan kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir
menjadi acuan dalam pemberdayaan melalui pendidikan nonfomal. Pengembangan
kurikulumhendaknya memperhatikan beberapa aspek penting, yaitu sosial
masyarakat yang beragam, partisipasi dalam pemberdayaan masyarakat pesisir
dan kapasitas yang berorientasi produktif untuk mengatasi partikularisme dan
ketimpangan dalam masyarakat. Panduan ini ditujukan kepada institusi/lembaga
yang hendak melakukan pemberdayaan masyarakat pesisir untuk dijadikan sebagai
rambu-rambu dan acuan dalam penyusunan kurikulumnya. Pengembangan
kurikulum pemberdayaan ini selain mengacu pada panduan juga tetap
memperhatikan kebutuhan, kepentingan, potensi dan peluang yang ada pada
kelompok sasaran masing-masing yang spesifik.
C. Sejarah Terjadinya Pencemaran Wilayah Pesisir
Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi
sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan
memberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup masyarakat
maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas
perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya adalah kegiatan
perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata.
Selain dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga
digunakan sebagai tempat membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik
dari darat maupun di kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak
yang tidak diharapkan dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka
terhadap perubahan lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena
dampak adalah perairan estuaria. tempat pertemuan antara perairan laut dan
perairan darat. Namun wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis
berupa pencemar yang bersumber dari aktifitas manusia. Melimpahnya bahan
pencemar tersebut di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap
kelestarian perikanan laut. Menurut Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di
wilayah pesisir, terutama diakibatkan oleh tingginya kepadatan populasi penduduk
34 | P a g e
dan aktifitas industri. Kondisi seperti ini disinyalir juga terjadi di perairan muara
Sungai Kampar.
Muara Sungai Kampar merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai
besar dan anak sungai yang terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke
muara Sungai Kampar mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar. Hal
ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai Kampar
terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan
membuang limbahnya ke sungai. Pabrik yang paling besar masuk ke aliran Sungai
Kampar adalah jenis pabrik kertas yaitu PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper).
Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan
tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies tertentu
yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga spesies ikan
yang dijumpai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri dan
Arumsyah (1994) bahwa masuknya bahan pencemar ke dalam perairan dapat
mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke perairan melebihi
kapasitas asimilasinya, maka daya dukung lingkungan akan menurun. Sehingga
menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya.
Bahan pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar
dan akan mengalami proses pengendapan, sehingga terjadi penyebaran zat
pencemar. Besar kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari
volume air pengencer, toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus,
topografi dan geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan
ketiganya akan saling berinteraksi. Apabila salah satu faktor terganggu atau
mengalami perubahan akan berdampak pada ekologi perairan.
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan
batas kearah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang
masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut,
perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisi
juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau
dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memeliki dua macam batas
(boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (longshore) dan batas tegak lurus
terhadap garis pantai (crossshore).
Batas wilayah pesisir kearah laut mencakup bagian atau batas terluar
daripada daerah paparan benua (continental shelf) dimana cirri-ciri perairan ini
masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
35 | P a g e
aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Bila diperhatikan batasan wilayah
pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan
perairan pesisir (coastal water), keduanya berbeda tetapi saling berinteraksi.
Secara ekologis daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai
sumberdaya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem
perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity)
ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan pesisir
terutama terjadi melalui aliran air (runoff).
Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria
regime), perairan pantai (nearshore regime), dan perairan samudera (oceanic
regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang
berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi
oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air
laut dengan air tawar yang bersal dari drainase daratan (Odum, 1971). Perairan
pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria kea rah laut sampai batas paparan
benua atau batas territorial. Sedangkan perairan samudera, semua perairan ke arah
laut terbuka dari batas paparan benua atau batas territorial.
Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu (1) ekosistem
litoral yang terdiri dari pantai pasir dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai
lumpur, (2) hutan payau, (3) vegetasi terna rawa payau, (4) hutan rawa air tawar,
dan (5) hutan rawa gambut.
Wilayah pesisir adalah wilayah interaksi antara laut dan daratan yang
merupakan 15 % daratan bumi. Wilayah ini sangat potensial sebagai modal dasar
pembangunan Indonesia sebagai tempat perdagangan dan transportasi, perikanan,
budidaya perairan, pertambangan serta pariwisata.. Wilayah pesisir Indonesia
sangat potensial pula untuk dikembangkan bagi tercapainya kesejahteraan umum
apabila pengelolaannya dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan,, dengan
memperhatikan faktor-faktor yang berdampak terhadap lingkungan pesisir.
Diposaptono (2001:8-14) membagi penyebab kerusakan pesisir menjadi
dua, yaitu: kerusakan karena faktor alam dan kerusakan akibat antropogenik
• Kerusakan karena Faktor Alam
Kerusakan yang diakibatkan oleh wilayah pesisir yaitu faktor alam adalah
gempa, tsunami, badai, banjir, el-Nino, pemanasan, predator, erosi. Kerusakan
yang diakibatkan oleh faktor alam dapat terjadi secara alami ataupun akibat campur
tangan manusia hingga mengakibatkan bencana alam. Bencana alam berupa
36 | P a g e
tsunami sering memakan korban yang tidak sedikit dan menimbulkan kerusakan di
daerah pesisir akibat gelombang laut yang ditimbulkan oleh suatu gangguan
impulsif yang terjadi pada medium laut.
Masalah banjir di Indonesia lebih sering disebabkan oleh manusia. Contoh-
contoh penyebabnya, yaitu: pengembangan kota yang tidak mampu atau tidak
sempat membangun sarana drainase, adanya bangunan-bangunan liar di sungai,
sampah yang dibuang di sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan
kota di daerah hulu. Masalah erosi yang terjadi dapat pula disebabkan oleh proses
alami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.
• Kerusakan Akibat Antropogenik
Perilaku manusia banyak dipengaruhi oleh etika antroposentrisme.
Antroposentrisme ini merupakan simbol kerakusan manusia yang tidak hanya
bersifat individual tetapi dapat bersifat kolektif. Seiring dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan maka muncul indutrialisasi yang kini marak dilakukan. Manusia tidak
hanya memanfaatkan alam sebatas keperluannya tetapi kini manusia telah
memanfaatkannya melebihi yang dibutuhkannya. Hal ini berarti manusia
mengeksploitasi alam dan lingkungan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-
banyaknya tanpa berpikir panjang terhadap dampak yang akan terjadi. Dampak
akibat aktivitas tersebut dapat merusak sumber daya alam khususnya dalam hal ini
ekosistem pesisir.
Aktivitas manusia pun dapat menimbulkan pencemaran yang mengancam
ekosistem. Pencemaran-pencemaran tersebut dapat menimbulkan kerusakan fisik
yang fatal di daerah pesisir. Miller (2004) dalam Mukhtasor (2007:7),“pencemaran
adalah sebarang penambahan pada udara, air dan tanah, atau makanan yang
membahayakan kesehatan, ketahanan atau kegiatan manusia atau organisme
hidup lainnya”. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 dalam Mukhtasor (2007:7),
“pencemaran adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan tersebut
tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya”. Hal ini berarti, pencemaran tidak
hanya dapat merusak tatanan ekosistem pesisir tetapi juga dapat membahayakan
kesehatan manusia serta dapat mematikan makhluk hidup yang memanfaatkan
sumber daya pesisir yang telah tercemar tersebut.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang mendiami wilayah pesisir dan
meningkatnya kegiatan pariwisata juga akan meningkatkan jumlah sapah dan
kandungan bakteri yang dapat menyebabkan berbagai kerugian bagi lingkungan
37 | P a g e
pesisir. Penggunaan pupuk untuk menyuburkan areal persawahan di sepanjang
Daerah Aliran Sungai yang berada di atasnya serta kegiatan-kegiatan industri di
darat yang membuang limbahnya ke dalam badan sungai yang kemudian terbawa
sampai ke laut melalui wilayah pesisir. Hal ini akan menperbesar tekanan ekologis
wilayah pesisir. Sumber pencemaran yang berasal dari limbah industri dan kapal-
kapal di sepanjang wilayah pesisir umumnya mengandung logam berat. Kandungan
logam berat diperairan diperkirakan akan terus meningkat dan akan mengakibatkan
terjadinya erosi dan pencucian tanah, masuknya sampah industri dan pembakaran
bahan baker fosil ke perairan dan atmosfer, serta pelepasan sedimentasi logam dari
lumpur aktif secara langsung.
Selain hal-hal di atas, dengan semakin besar dan banyaknya aktivitas
perekonomian yang dilakukan di wilayah pesisir dan lautan, seringkali pula
menimbulkan pengaruh dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan wilayah
pesisir misalnya (Dahuri 2001):
• Perkapalan dan transportasi: tumpahan minyak, air ballast limbah padat
dan kecelakaan.
• Pengilangan minyak dan gas : tumpahan minyak, pembongkaran bahan
pencemar, konversi kawasan pesisir.
• Perikanan: overfishing, destruksi habitat, pencemaran pesisir, pemasaran
dan distribusi, modal dan tenaga/ keahlian
• Budidaya perairan : ekstensifikasi dan konversi mangrove.
• Kehutanan: penebangan dan konversi hutan.
• Pertambangan: penambangan pasir dan terumbu karang
• Industri: reklamasi dan pengerukan tanah.
• Pariwisata: pembangaunan infrastruktur dan pencemaran.
Sejarah terjadinya pencemaran keanekaragaman hayati
Sejarahnya dimulai ketika bagian benua selatan Gondwana retak dan
terapung ke utara pada sekitar 140 juta tahun yang lalu (tyl) (ujung Yura).
Tumbuhan berbunga telah mulai berevolusi pada saat Benua Gondwana
terdisintegrasi. Baik flora maupun fauna dapat mencapai Nusantara tanpa perlu
menyeberangi air melalui tiga rute : Laurasia, Gondwana via Australia, atau
Gondwana via India kemudian diikuti migrasi ke tenggara. Beberapa kelompok
fauna pada saat itu pun bisa terisolasi dan tetap keadaannya seperti ditemukan
sekarang. Pada 55 juta tahun yang lalu (Eosen), pecahan fragmen Gondwana
membentur Laurasia. Sekitar 40 juta tyl, fragmen Asia Tenggara (Daratan Sunda)
38 | P a g e
telah mencapai khatulistiwa dan menempati posisi yang sama dengan yang
sekarang.
Migrasi flora dan fauna Laurasia bisa terjadi di Daratan Sunda tanpa
menyeberangi masa air. Migrasi yang sama terjadi juga di zaman Kuarter saat
glasiasi menurunkan muka laut sampai 180 meter. Pada 40 juta tyl itu, juga
benturan fragmen benua Gondwana dan kerak samudera di Lautan Pasifik telah
mengangkat Pegunungan Tengah Papua dan memperluas wilayah Papua. Tentu,
ini akan mempengaruhi spesiasi flora dan fauna.
Benturan berikutnya terjadi pada 15 juta tahun yang lalu (Miosen Tengah)
saat fragmen-fragmen benua Australia/Niugini membentur Sulawesi. Pada masa itu,
fragmen-fragmen Australia membawa flora dan fauna Gondwana dan membentur
flora dan fauna Sulawesi Barat yang telah banyak dikolonisasi biota Laurasia. Garis
batas Wallace (Selat Lombok ke Selat Makasar) adalah salah satu batas
zoogeografi di Bumi yang paling tajam dan paling dramatik yang membatasi zone
kontak antara fauna-fauna Laurasia dan Gondwana. Posisi strategis kewilayahan
Indonesia yang terbagi dalam tiga garis hipotetik berdasarkan kemiripan flora dan
fauna yang direka atas dasar asumsi persamaan asal-usul tipologi kewilayahan,
yakni garis Wallacea-Weber (meliputi daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora
dan fauna yang sama dengan Benua Asia), Garis Wallacea (meliputi daratan
Indonesia Bagian Tengah (Sulawesi) yang berbeda dengan wilayah lainnya), dan
Garis Lyedekker (meliputi Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang
sama dengan benua Australia).
Ketiga tipologi kewilayahan tersebut telah menjadikan Negara Indonesia
dikaruniai kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan dimilikinya
sekitar 90 tipe ekosistem, 40.000 spesies tumbuhan dan 300.000 spesies hewan,
yang menjadikan Negara Indonesia menduduki perangkat kelima keanekaragaman
hayati di dunia. Dengan potensi keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi nasional
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama periode Plistosen, semua
pulau di sebelah barat Garis Wallace dihubungkan oleh daratan sampai Asia. Oleh
karenanya pulau2 ini memiliki jenis fauna yang sama. Papua dan Aru di sebelah
timur Garis Wallace berhubungan dengan Australia dengan fauna yang khas
Australia. Di daerah Wallace, yaitu Maluku, Sulawesi dan pulau-pulau Nusa
Tenggara tidak mempunyai hubungan dengan benua-benua di sekitarnya. Maka
daerah Wallace miskin fauna dan flora, tetapi tingkat endemisitasnya (kekhasan)
39 | P a g e
tinggi. Di samping itu, terdapat perpaduan antara biota Asia (Laurasia) dan Australia
(Gondwana).
Kekayaan spesies melalui proses spesiasi dan tingkat endemik flora-fauna
akan ditentukan oleh ukuran pulau, ketinggian, habitat, dan lokasi geografi. Jumlah
spesies di sebuah pulau akan ditentukan oleh luas pulau dan angka perimbangan
kepunahan lokal dan migrasi. Pulau besar punya spesies lebih banyak, pulau
terisolasi punya spesies lebih sedikit. Tingkat endemisitas banyak dipengaruhi oleh
faktor isolasi geografik. Semakin terisolasi semakin endemik. Ketinggian juga
mempengaruhi kelimpahan spesies.
Semakin tinggi spesies semakin berkurang. Dengan menerapkan prinsip-
prinsip di atas dan memahami sejarah geologi (tektonik) suatu wilayah, maka dapat
dipahami dan diprediksi bagaimana kekayaan keanekaragaman hayati wilayah
tersebut. Sejarah geologi akan menentukan jumlah unit biogeografi. Manusia
merupakan salah satu komponen yang dapat mempengaruhi ekosistem. Manusia
dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan produksi komponen biotik
ekosistem, tetapi sebaliknya ulah manusia juga dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan manusia yang dapat menurunkan
keanekaragaman hayati. Tingginya keanekargaman hayati yang dimiliki Indonesia
memang dinilai sangat menguntungkan karena banyak di antara jenis hayati yang
ada memiliki manfaat sebagai bahan obat, bahan bangunan, bahan dasar industri,
maupun bahan-bahan lain yang sangat diperlukan baik oleh Indonesia sendiri
maupun oleh negara lain. Jenis-jenis lain yang secara langsung tidak atau kurang
bermanfaat bagi kehidupan manusia pun ternyata sangat penting untuk mendukung
kehidupan jenis hayati yang diperlukan oleh manusia. Keanekaragaman hayati yang
tinggi juga menyebabkan banyak di antara jenis hayati Indonesia memiliki populasi
yang kecil atau daerah sebarannya sangat terbatas (endemis) sehingga menjadi
rawan punah. Selain itu terdapat pula jenis pemangsa puncak, jenis megaherbivora,
jenis-jenis yang berbiak dalam kelompok, dan jenis-jenis yang melakukan migrasi.
- Pengaruh Pembukaan hutan terhadap keanekaragaman hayati
Posisi strategis kewilayahan Indonesia yang terbagi dalam tiga garis
hipotetik berdasarkan kemiripan flora dan fauna yang direka atas dasar asumsi
persamaan asal-usul tipologi kewilayahan, yakni garis Wallacea-Weber (meliputi
daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan Benua
Asia), Garis Wallacea (meliputi daratan Indonesia Bagian Tengah (Sulawesi) yang
berbeda dengan wilayah lainnya), dan Garis Lyedekker (meliputi Indonesia Bagian
Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia). Ketiga tipologi
40 | P a g e
kewilayahan tersebut telah menjadikan Negara Indonesia dikaruniai kekayaan
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan dimilikinya sekitar 90 tipe
ekosistem, 40.000 spesies tumbuhan dan 300.000 spesies hewan, yang menjadikan
Negara Indonesia menduduki perangkat kelima keanekaragaman hayati di dunia.
Dengan potensi keanekaragaman hayati yang melimpah tersebut merupakan
potensi yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi nasional dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Orang utan terpaksa tidak lagi hidup di
kanopi hutan, tetapi tergusur dari habitat aslinya dan hidup di permukaan tanah
yang sangat kurang akan bahan makanan. Kakinya yang tidak dirancang untuk
berjalan pun terpaksa digunakannya untuk menapak di lantai hutan.
Pembukaan hutan, seperti untuk lahan pertanian, perumahan,
pertambangan dan industri yang disebabkan pertambahan populasi manusia akan
berakibat terhadap keseimbangan ekosistem hutan. Terjadinya penggundulan hutan
akan mengakibatkan banjir. Kegiatan pembukaan hutan akan menghilangkan
beribu-ribu spesies asli yang ada di hutan karena habitatnya telah rusak.
Contohnya, semakin langkanya jalak putih bali karena habitatnya tergusur, dan
menurunnya populasi harimau jawa akibat habitatnya menyempit.
- Pengaruh Eksploitasi sumber daya alam hayati yang berlebihan terhadap
keanekaragaman hayati
Pertambahan populasi manusia yang sangat cepat mengakibatkan
pengambilan sumber daya alam hayati oleh manusia dapat melebihi batas
regenerasi dan reproduksi dari organisme tersebut. Kenyataan semacam itu
menyebabkan kepunahan pada berbagai jenis makhluk hidup, sehingga
menurunkan keanekaragaman hayati. Contohnya perburuan orangutan untuk
membuat obat, gading gajah untuk dikoleksi, perburuan beruang dan ular atau
buaya untuk pembuatan tas maupun jaket kulit.
- Pengaruh Pencemaran lingkungan terhadap keanekaragaman hayati
Peningkatan jumlah pemukiman dan industri akan membawa konsekuensi
terciptanya limbah yang akan mencemari lingkungan baik air, tanah atau udara.
Pencemaran merupakan perubahan lingkungan akibat ulah manusia. Perubahan
lingkungan ini akan memberikan tekanan terhadap makhluk hidup yang akan sangat
membahayakan kelangsungan biodiversitas atau keanekaragaman hayati di
permukaan bumi. Contohnya semakin langkanya jenis-jenis ikan air tawar yang ada
di sungai Ciliwung akibat pencemaran limbah industri, matinya ribuan ikan laut di
Pantai Teluk Jakarta akibat pencemaran limbah industri.
41 | P a g e
- Budidaya monokultur dan dampak negatif rekayasa genetik
Sistem pertanian monokultur yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas pangan, berpengaruh negatif terhadap jenis-jenis tumbuhan yang
kurang bersifat unggul karena menjadi kurang dibudidayakan sehingga hilang dari
lingkungan dan pada akhirnya menjadi punah. Selain itu, pemanfaatan bibit unggul
yang tahan hama dan penyakit hasil rekayasa genetika juga dapat menyebabkan
erosi plasma nuftah bagi tanaman yang tidak tahan terhadap hama dan penyakit.
Kegiatan-kegiatan yang berdampak negatif ini dapat membahayakan
ekosistem. Contohnya, jika perburuan liar marak terjadi hingga melenyapkan satu
spesies makhluk hidup, predator atau konsumen tingkat tinggi, seperti harimau atau
elang, keseimbangan ekosistem daerah tersebut akan terganggu. Populasi
konsumen tingkat pertama seperti banteng, rusa, dan kelinci akan meningkat.
Bahkan dapat merusak vegetasi hutan karena populasinya tidak terkendali.
Bayangkan, apa yang terjadi jika hutan-hutan di Indonesia habis.
Sejarah terjadinya pencemaran mangrove
Setiap tahun keadaan hutan mangrove di Indonesia semakin lama semakin
mengkhawatirkan. Jika ini dibiarkan terus menerus maka hutan mangrove kita tidak
akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dari data yang ada, dapat
digambarkan bahwa kondisi hutan mangrove di Indonesia sedang mengalami
tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan
hilangnya hutan mangrove dalam jumlah yang besar. Hal ini tentu sangat merugikan
mengingat hutan mangrove merupakan pelindung pantai dari terjadinya abrasi.
Salah satu kawasan yang terkena dampak dari hilangnya hutan mangrove adalah
kawasan utara pantai Jawa. Kawasan ini mengalami abrasi yang hebat akibat
hilangnya hutan mangrove yang disebabkan oleh berbagai aktifitas manusia.
Sebagian hutan mangrove telah berubah statusnya menjadi lahan-lahan
yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan sama sekali.
Salah satu contoh yang paling ironis terjadi di kawasan hutan mangrove yang
sangat terkenal di kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Kawasan yang ditetapkan
sebagai “Suaka Margasatwa” sejak pemerintahan Belanda. dengan nama “Karang
Gading” mempunyai luas sekitar 9.520 Ha. Karang Gading merupakan habitat
berbagai jenis mamalia, burung, reptil, ikan dan hewan tingkat rendah lainnya dan
kawasan ini juga kaya dengan berbagai jenis kerang-kerangan, kepiting, udang dan
berbagai jenis burung. Akan tetapi sekarang kondisinya sudah sangat berbeda,
sebagian kawasan ini hamper gundul akibat penebangan liar dan pembukaan
42 | P a g e
lahan-lahan pertanian. Sekitar 2.000 Ha dari kawasan ini telah berubah menjadi
tambak udang. Ekosistem mangrove merupakan kelompok jenis tumbuhan yang
tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi
istimewa disuatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa
pantai dengan reaksi tanah anaerob.
Menurut Zamroni dan Immy (2008), dalam satu hektar hutan mangrove
berdasarkan kerapatan vegetasi terdapat 480 pohon yang terdiri dari berbagai
macam spesies mangrove dan vegetasi yang lainnya. Luasan hutan mangrove
yang ditemukan di wilayah pesisir pantai Teluk Pising utara Pulau Kabaena adalah
152,128 ha. Hutan mangrove yang ditemukan dilokasi tersebut relatif masih baik
dan didominasi oleh Rhizophora apiculata (Tarigan, 2008) .
Belum ada hutan mangrove yang di lindungi pemerintah, seperti halnya
disampaikan Setyawan dan Kusumo (2006a) dari 20 lokasi hutan mangrove yang di
survei ternyata tidak ada satupun yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung.
Karena kawasan ekosistem mangrove tidak dilindungi pemerintah maka hutan
mangrove sekarang sudah banyak terjadi kerusakan akibat aktivitas masyarakat
sekitar pesisir pantai, seperti pertambangan udang, ikan dan garam, penebangan
vegetasi mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi. Konversi
ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab hilangnya
hutan mangrove dunia (Setyawan dan Kusumo, 2006a),
Wetland mangrove di Sidoarjo memiliki tipe dataran pantai yang
merupakan jalur sempit memanjang pantai yang didominasi jenis Rhizopora sp,
Avicennia Sp dan Excoecaria Sp. Untuk area wetland seluas 7.762 m2 frekuensi
kehadiran tertinggi kategori pohon, sapling dan seedling berada di dalam wetland
berkisar 0.45 – 0.55 %. Species yang berada di dalam wetland adalah Avicennia Sp
dengan Kerapatan 64 Ind/Ha dan Basal area 289.65 m2 (Kusumastuti, 2009).
Pada ekosistem alamiah, tegakan mangrove membentuk zonasi sesuai
dengan habitatnya (lumpur berpasir), salinitas dan fluktuasi pasang surut air laut.
Pada masing-masing zonasi dicirikan oleh tumbuh jenis tertentu, yang umumnya
mulai dari pantai hingga kedaratan; daerah yang paling dekat dengan laut, dengan
substrat agak berpasir, sering ditumbuhi Avecennia sp, lebih ke arah darat, hutan
mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai
Bruguiera sp. dan Xylocarpus spp. zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera
sp.zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa
ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya (Waryono,
2002 dan Rochana, 2001 ).
43 | P a g e
Mangrove Sumatera Selatan yang luas kawasannya 558 ribu ha dan non
kawasannya 495 ribu ha, dengan kondisi ± 75 % dalam keadaan rusak berat hingga
rusak ringan (Anwar, 2004), dan realisasi penanaman mangrove selama lima tahun
(1999-2003) hanya mencapai 200 ha.
Terjadi degradasi lingkungan antar lain dalam bentuk abrasi dan akresi
yang mengakibatkan perubahan garis pantai yang di Desa Tanggultlare, Desa
Bulakbaru, dan Desa Panggung. Pengaruh faktor manusia sangat berperan dalam
hal ini karena kegiatan perusakan ekosistem mangrove guna perluasan tambah.
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem mempunyai berbagai fungsi/
peranan yang dapat dikategorikan kedalam tiga jenis kelompok fungsi, yakni:
(1) fungsi fisik, (2) fungsi biologis/ekologis, dan (3) fungsi ekonomis, yang secara
komprehensif diuraikan dibawah ini.
1. Fungsi Fisik dari Ekosistem Mangrove
• Mengendalikan abrasi pantai
Pengendalian abrasi pantai oleh ekosistem mangrove terjadi melalui
mekanisme pemecahan energi kinetik gelombang air laut dan pengurangan
jangkauan air pasang ke daratan, seperti telah dibuktikan oleh penelitian yang
dilakukan Suryana (1998) di pantai utara pulau Jawa yang mana abrasi pantai relatif
tidak terjadi pada lokasi yang ditumbuhi mangrove dengan lebar ³ 100 m
• Mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut
Keberadaan tegakan mangrove secara signifikan dapat mengurangi
kecepatan tiupan angin dan kecepatan arus gelombang air laut (Aksornkoae, 1993).
Dalam hal ini Suryana (1998) melaporkan bahwa daya jangkauan air pasang
berkurang sampai lebih dari 60% pada lokasi dengan lebar hutan mangrove 100 m.
Hasil pengujian model di laboratorium oleh Puslitbang PU (1996) seperti
yang dikutip oleh Istianto, Utomo dan Suranto (2003) menginformasikan bahwa
adanya pengurangan limpasan sebesar 2 % – 5% pada model setara dengan
rumpun prototipe yang memiliki diameter pohon 50 cm dan jarak antara 2.5 m.
Selain itu, diinformasikan bahwa jarak tanam dengan susunan selang-seling
memberikan redaman yang lebih baik dibandingkan dengan susunan kolom baris.
Selanjutnya diinformasikan pula bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan,
meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam
perubahan tinggi gelombang ketika menjalar melalui rumpun tersebut (Thaha, 2001
dalam Istiyanto, Utomo dan Suranto, 2003). Hasil ini dipertegas oleh penelitian
Pratikto et al. (2002) di Teluk Grajagan, Banyuwangi yang menunjukkan bahwa
keberadaan ekosistem mangrove di daerah tersebut mampu mereduksi energi
44 | P a g e
gelombang sebesar 73 % dan tinggi gelombang sebesar 75 % pada jumlah pohon
sekitar 120 individu.
Fakta menunjukkan bahwa tsunami tidak memberikan kerusakan yang
berarti pada daerah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove yang lebat di
NAD dan Nias, sedangkan kerusakan berat terjadi pada daerah yang tidak memiliki
hutan mangrove dan hutan pantai yang baik (Onrizal, 2005). Desa Moawo dan
Desa Pasar Lahewa yang terletak di pantai utara Nias merupakan contoh daerah
yang selamat dari terjangan tsunami. Kedua daerah tersebut memiliki hutan
mangrove yang sangat rapat, dimana kerapatannya sekitar 17.000 – 20.700
individu per hektar untuk tumbuhan mangrove berdiameter > 2 cm dan tinggi > 1,5
m dengan lebar mangrove antara pemukiman dan pantai sekitar 200 m atau lebih.
Masyarakat di kedua desa tersebut meyakini bahwa desa mereka selamat dari
tsunami karena terlindung oleh hutan mangrove meskipun pada saat tsunami rumah
mereka terendam air sekitar 2 – 3 m namun airnya tenang.
Pada sisi lain daerah Manrehe dan Sirombu di pantai barat Nias yang
daerahnya telah dikonversi menjadi kebun kelapa dengan jarak tanamnya sekitar 6
x 6 m dan berupa lahan kosong; kerusakannya sangat berat. Hasil survey WI-IP
(2005) dalam Onrizal (2005) mengemukan bahwa di NAD kerusakan berat terjadi
pada pesisir pantai yang tidak memiliki hutan mangrove dan hutan pantai yang
rapat, namun kerusakan sangat sedikit pada daerah yang memiliki hutan pantai
dan hutan mangrove yang lebat. Salah satu contoh adalah desa Ladang Tuha,
Aceh Selatan yang selamat dari terjangan tsunami karena memiliki hutan pantai
yang didominasi oleh pohon cemara yang lebat.
• Menyerap dan mengurani bahan pencemar (polutan) dari badan air baik melalui
penyerapan polutan tersebut oleh jaringan anatomi tumbuhan mangrove maupun
menyerap bahan polutan yang bersangkutan dalam sedimen lumpur (IUCN & E/P
Forum, 1993).
Kemampuan vegetasi mangrove dalam menyerap bahan polutan (dalam
hal ini logam berat) telah dibuktikan oleh Darmiyati et al. (1995), yang mana jenis
Rhizophora mucronata dapat menyerap lebih dari 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, dan 15
ppm Cu. Begitu pula Saepulloh (1995) membuktikan bahwa pada daun Avicennia
marina ditemukan akumulasi Pb sebesar ³ 15 ppm, Cd³ 0,5 ppm, dan Ni ³ 2,4 ppm.
• Mempercepat laju sedimentasi yang akhirnya menimbulkan tanah timbul
sehingga daratan bertambah luas.
Hasil analisis sedimentologi menunjukkan bahwa pada habitat Rhizophora
spp. dan Avicennia spp. kandungan lumpur mencapai 61 %, sedangkan sisanya
45 | P a g e
berupa pasir dan kerikil (Sediadi, 1990). Selanjutnya Suryana (1998) melaporkan
bahwa tanah timbul di pantai utara pulau Jawa hanya dijumpai didepan hutan
mangrove dengan fenomena semakin lebar mangrove semakin lebar pula tanah
timbulnya dengan perimbangan ratio rataan sekitar 5 m tanah timbul per 1 m lebar
mangrove.
• Mengendalikan intrusi air laut
Fungsi ini terjadi melalui mekanisme sebagai berikut :
- Pencegahan pengendapan CaCo3 oleh badan eksudat akar.
- Pengurangan kadar garam oleh bahan organik hasil dekomposisi serasah.
- Peranan fisik susunan akar mangrove yang dapat mengurangi daya jangkauan air
pasang ke daratan.
- Perbaikan sifat fisik dan kimia tanah melalui dekomposisi serasah.
Hilmi (1998) melaporkan bahwa percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta
meningkat drastis dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 m menjadi 4,24 km
pada lokasi tanpa hutan manrove. Secara teoritis diperkirakan percepatan intrusi air
laut meningkat 2 – 3 kali pada lokasi tanpa hutan mangrove.
2. Fungsi Biologis dari Ekosistem Mangrove
• Tempat tumbuh berbagai jenis tumbuhan dan fauna
Umali et al (1987) dalam Kusmana (1997)melaporkan adanya sekitar 130
jenis tumbuhan yang idup d habitat mangrove, baik berupa major component of
mangrove, minor component of mangrove maupun mangrove associates. Secara
umum hutan mangrove di kawasan Asia-Pasifik didominasi oleh genera Rhizophora,
Bruguiera, Avicennia, dan Sonneratia.
Fauna yang hidup di ekosistem mangrove terdiri atas fauna daratan dan
fauna laut. Fauna daratan, baik yang bersifat temporari maupun permanen menetap
di mangrove, terdiri atas : (a) burung (Anhinga anhinga, Egretta spp, dll), (b)
amphibia (Rana spp), (c) reptilia (Crocodilus porosus, Varanus salvator, dll), (d)
mamalia (Nasalis larvatus, Macaca irus, Presbytis cristus, dll), dan (e) serangga
(Aedes spp, Anopheles spp, Culicoides spp)
Fauna laut terdiri atas : (a) infauna yang hidup di lobang-lobang dalam
tanah yang didominasi oleh Crustaceae dan Bivalvia, (b) epifauna yang
mengembara diatas permukaan tanah yang didominasi oleh Moluska (kerang-
kerangan, Gastropoda) dan kepiting.
• Sebagai tempat asuban (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding
ground) bagi berbagai jenis ikan, krustase dan moluska.
46 | P a g e
Mangrove (disamping padang lamun) merupakan penyedia sumber
makanan (food source) utama bagi berbagai jenis ikan, udang, dan kepiting yang
idup di ekosistem pesisir melalui guguran serasah dari tumbuhan mangrove
(terutama daun) yang mati. Sebagian kecil serasah yang jatuh di lantai hutan akan
langsung dimakan oleh kepiting dan sebagian besar akan didekomposisi menjadi
detritus oleh mikroba yang menjadi sumber makanan bagi detrivora, yang
selanjutnya detrivora tersebut menjadi sumber makanan bagi karnivora. Secara
normal produktivitas mangrove berkisar antara 10,00 ton/ha/th sampai 14,00
ton/ha/th yang mana sekitar 50 % dari serasah tersebut diekspor ke perairan pantai
lepas (Department of Forestry, 1997) dan sekitar 90 % masuk kedalam jaring-jaring
pangan (UNEP, 1985).
Pentingnya mangrove dan padang lamun bagi produktvitas perairan pantai
telah dilaporkan oleh Adam et al (1973) bahwa 75 – 90 % dari berbagai jenis ikan
bergantung pada habitat estuaria untuk menyelesaikan paling sedikit sebagian dari
penyelesaian siklus hidupnya, yang mana sebagian besar food source dari estuaria
tersebut berasal dari mangrove dan padang lamun.
3. Fungsi Ekonomis dari Ekosistem Mangrove
• Fungsi ekonomis dari ekosistem mangrove berasal dari Kayu
Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat digunakan
sebagai : (a) chips, terutama jenis Rhizophora spp dan Bruguiera spp, (b) penghara
industri papan dan plywood terutama jenis Bruguiera spp dan Heritiera littoralis, (c)
scalfold terutama jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera spp dan Ceriops spp, dan
(d) kayu bakar dan arang yang berkualitas tinggi terutama dari Rhizophora spp.
• Hasil hutan bukan kayu, seperti madu, obat-obatan, tanin, minuman.
Ikan/udang/kepiting, dll
• Rekreasi seperti halnya hutan rekreasi mangrove di Cilacap, Jawa Tengah.
Sebagai ilustrasi besarnya manfaat ekonomis dari ekosistem mangrove,
pada Tabel 1 disajikan manfaat langsung dari ekosistem mangrove di Batu Ampar
Kalimantan Barat. Tabel 1 menunjukkan bahwa masyarakat lokal mendapatkan
manfaat (pendapatan) yang cukup besar dari ekosistem mangrove dengan efisiensi
usaha diatas 70 % tanpa merusak hutan.
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan
beradaptasi dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove
menumbuhkan organ khas untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan
kelenjar garam di daun. Namun ada pula bentuk-bentuk adaptasi fisiologis. Tegakan
47 | P a g e
api-api Avicennia di tepi laut. Perhatikan akar napas yang muncul ke atas lumpur
pantai.
Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona
terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya
gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.)
menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur
untuk mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai
akar lutut (knee root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar
papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya
pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi pernapasannya.
Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel, lubang
pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan
garam melalui kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti
Rhizophora mangle, mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus
air garam. Air yang terserap telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari
kandungan garam di air laut tak mampu melewati saringan akar ini. Garam yang
sempat terkandung di tubuh tumbuhan, diakumulasikan di daun tua dan akan
terbuang bersama gugurnya daun. Mangrove (disamping padang lamun)
merupakan penyedia sumber makanan (food source) utama bagi berbagai jenis
ikan, udang, dan kepiting yang idup di ekosistem pesisir melalui guguran serasah
dari tumbuhan mangrove (terutama daun) yang mati. Sebagian kecil serasah yang
jatuh di lantai hutan akan langsung dimakan oleh kepiting dan sebagian besar akan
didekomposisi menjadi detritus oleh mikroba yang menjadi sumber makanan bagi
detrivora, yang selanjutnya detrivora tersebut menjadi sumber makanan bagi
karnivora.
Secara normal produktivitas mangrove berkisar antara 10,00 ton/ha/th
sampai 14,00 ton/ha/th yang mana sekitar 50 % dari serasah tersebut diekspor ke
perairan pantai lepas (Department of Forestry, 1997) dan sekitar 90 % masuk
kedalam jaring-jaring pangan (UNEP, 1985).
Pada pihak yang lain, mengingat sukarnya memperoleh air tawar,
vegetasi mangrove harus berupaya mempertahankan kandungan air di dalam
tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang panas mendorong tingginya
penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu mengatur bukaan mulut
daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik, sehingga
mengurangi evaporasi dari daun.
48 | P a g e
Sejarah terjadinyan pencemarn terumbu karang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang amat penting
bagikeberlanjutan sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan, dan
umumnyatumbuh di daerah tropis, serta mempunyai produktivitas primer yang tinggi
(10 kgC/m2/tahun). Tingginya produktivitas primer di daerah terumbu karang ini
menyebabkanterjadinya pengumpulan hewan-hewan yang beranekaragam seperti;
ikan, udang, mollusca,dan lainnya. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan
ditemukan kelompok karang hard coraldengan berbagai tipe yaitu : branching,
tabulate, sub massif, dan lainnya. Jenis ikan karangditemukan sekitar 26 famili
diantaranya famili Chaetodontidae, Pomacentridae dan Labridae.
Aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya terumbu
karang seringtumpang tindih dan bahkan banyak diantara aktivitas tersebut
menyebabkan kerusakanterumbu karang. Pembukaan hutan mangrove sering
menyebabkan penggelontoran sedimenyang tinggi ke perairan karang, lalu lintas
kapal diatas perairan karang dapat menyebabkansmashing karang, demikian pula
aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadapkehidupan karang.
Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka dikhawatirkan ekosistemterumbu
karang akan musnah.
indonesia dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh
Indo-Pasifik. Terumbu karang yang hidup di perairan Indonesia mencapai 284.300
km2 dan terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen terumbu karang di dunia.
Jenis terumbu karang tersebut lebih kurang 354 jenis yang terbagi ke dalam 75
marga. Fakta lain menyebutkan, pendapatan terumbu karang Indonesia mencapai
US$1,6 milyar/tahun, dan pendapatan pelayanan dan sumber dayanya mencapai
61,9 milyar/tahun. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis di
antaranya hidup di terumbu karang.
Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3-10 ton ikan per kilometer
persegi per tahun. Keindahan terumbu karang sangat potensial untuk wisata bahari
Indonesia. Masyarakat di sekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini
dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran dan penginapan, sehingga
pendapatan mereka bertambah.@Lihat saja Raja Ampat di Papua, daerah tersebut�
begitu terkenal dan dikunjungi para wisatawan karena terumbu karangnya yang
indah.
Sayangnya, karena ketidakpedulian masyarakat akan pentingnya terumbu
karang bagi kehidupan manusia, sekitar 30 persen terumbu karang di lautan
Indonesia mengalami kerusakan. Tidak hanya di Indonesia, terumbu karang
49 | P a g e
merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam rusak di dunia. Perkiraan
terakhir menunjukkan bahwa 10 persen dari terumbu karang dunia telah mengalami
degradasi atau kerusakan.
Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia disebabkan karena
aktivitas manusia, di antaranya adalah
• Terumbu karang yang hidup di dasar laut merupakan sebuah
pemandangan yang cukup indah. Banyak wisatawan melakukan penyelaman hanya
untuk melihatnya. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka menyentuh bahkan
membawa pulang terumbu karang tersebut. Padahal, satu sentuhan saja dapat
membunuh terumbu karang.
• Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.
• Mungkin tidak banyak yang sadar, penggunaan pupuk dan pestisida
buatan pada lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan. Karena
meskipun jarak pertanian dan bibir pantai sangat jauh, residu kimia dari pupuk dan
pestisida buatan pada akhirnya akan terbuang ke laut melalui air hujan yang jatuh di
lahan pertanian.
• Boros menggunakan air, karena semakin banyak air yang digunakan
semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut.
Limbah air tersebut biasanya sudah mengandung bahan kimia.
• Terumbu karang merupakan tujuan wisata yang sangat diminati. Kapal
akan lalu lintas di perairan. Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak
sengaja akan merusak terumbu karang yang berada di bawahnya.
• Penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman
di pesisir turut merusak kehidupan terumbu karang. Limbah dan polusi dari aktifitas
masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu
karang. Selain itu, sangat banyak yang pengambilan karang untuk bahan bangunan
dan hiasan akuarium.
• Masih banyak yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom
dan racun sianida. Ini sangat mematikan terumbu karang.
• Selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal
dari sesama mahkluk hidup di laut. Siput drupella salah satu predator bagi terumbu
karang.
Tidak sedikit yang berjuang untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang,
baik lembaga pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat, dengan
cara pemasangan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah bentuk
bangunan atau benda yang diturunkan ke dasar perairan sehingga dapat
50 | P a g e
menyerupai atau berfungsi sebagai habitat ikan. Selain itu, hal terpenting adalah
setiap insan menyadari betapa pentingnya kehidupan terumbu karang untuk kita.
Banyak masyarakat menggantungkan hidupnya dari sana. Dengan demikian kita
bersama-sama menjaga kehidupan terumbu karang. Pemetaan zona penangkapan
ikan harus segera diberlakukan, tidak menggunakan alat peledak dan racun ketika
menangkap ikan, dan mengurangi algae yang hidup bebas di dalam air.
Kerusakan yang diakibatkan oleh manusia itulah yang coba diminimalkan
saat ini. Itu dengan akan diusulkannya regulasi tentang overfishing dan juga akan
diusulkan satu daerah yang mana tidak dibolehkan nelayan menangkap ikan.
Seperti yang diungkapkan Sekretaris Eksekutif Coral Reef Rehabilitation and
Management Program II (COREMAP II), Jamaluddin Jompa. Dikatakannya, saat ini
pihaknya tengah bekerja keras guna meminimalisir pengrusakan terumbu karang
akibat ulah manusia. Upaya ini dilakukan dengan harapan kekayaan laut ini bisa
terjaga dengan baik.
“ Tentunya hal itu dilakukan dengan pendekatan dan juga penegakan
hukum. Dan khusus untuk overfishing, ini akan kita perjuangkan agar juga nantinya
ada regulasi yang bisa mengatur,” ujarnya kepada Indonesia Maritime Magazine.
Jamaluddin menyebutkan bahwa kerusakan karang di Indonesia sangat
jelas. Menurut data Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Tahun 2009 saja,
tercatat kalau luas terumbu karang Indonesia 70.000 kilo meter persegi yang masih
dalam kondisi sangat baik hanya 5,5 persennya saja. Hal itu menunjukkan
penurunan yang signifikan dari 2000 lalu yang mana pada tahun itu terumbu karang
yang kondisinya sangat baik mencapai 6,2 persen.
“Data LIPI 2009 juga me¬nye¬but¬kan kalau terumbu karang yang
kondisinya baik mencapai 26 persen, cukup baik 37 persen dan yang sudah
mengalami kehancuran sebanyak 31,5 persen. Kenyataan itulah yang nampak saat
ini dan diprediksikan bakal akan terjadi lagi kerusakan-kerusakan pada terumbu
karang ke depannya,” bebernya.
Di samping ulah jahil tangan manusia, tutur Jamaluddin, yang menjadi
ancaman terum¬bu karang ke depannya adalah pemanasan global yang
berdam¬pak pada perubahan iklim atau yang disebut dengan climate change dan
juga ancaman lainnya seperti sidemantasi, pencemaran laut, serta sampah.
Padahal, kerusakan terumbu karang saat ini yang mencapai 31,5 persen sangat
sulit untuk dilakukan pemulihan. Apalagi pertumbuhan karang sangat lambat dan
areal yang hancur sangat luas.
51 | P a g e
“Dalam pemulihan kembali sekaitan dengan karang itu tak bisa dilakukan
penanaman ulang seperti layaknya hutan. Karena pertumbuhan karang sangat
lambat,” tuturnya. Untuk itu, lanjut Jamaluddin, saat ini COREMAP II mengupayakan
untuk mempertahankan terumbu karang yang kondisinya masih sangat baik.
Sementara adanya ide untuk penanaman baru karang tak menjadi program mereka,
di mana hal itu membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
“Kalau ada yang menginginkan agar dilakukan saja penanaman kembali
terumbu karang, itu hal yang sangat sulit. Tapi, kita biarkanlah karang yang rusak itu
tumbuh kembali dengan sendirinya oleh proses alam. Itu lebih baik ketimbang jika
hendak dilakukan penanaman karang,” katanya.
Tindakan penyelamatan juga tengah dilakukan Komisi IV DPR. Salah
satunya, dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan yang
nantinya diharpakan akan mengatur sanksi hukum terkait pengrusakan ekosistem
laut dan juga tingkah nelayan Indonesia yang sangat gemar melakukan
penangkapan ikan secara berlebih, serta pengambilan karang untuk bahan
bangunan. Berbagai kegiatan manusia seringkali menjadi faktor-faktor yang
mengancam kelestarian terumbu karang. Dengan mempelajari setiap dampak yang
mingkin timbul, kita dapat mencegah atau menghindari kegiatan semacam itu.
Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di
perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22oC), memiliki kadar CaCO3
(Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan
karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh
organisme karang (filum Scnedaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia),
alga berkapur, dan organisme lain yang mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
Arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh keseimbangan ketiga
faktor yaitu hidrologis, batimetris, dan biologis. Jika ketiga faktor
seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan
dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba.
Namun jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri akan terbentuk
terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak membentuk lagun yang
benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Sedangkan terumbu
paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di
mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan
menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu
dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya
52 | P a g e
terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat.
(Zuidam, 1985).
Terumbu karang dapat berkembang dan membentuk suatu pulau kecil.
Dari lima jenis pulau yaitu Pulau Benua (Continental Islands), Pulau Vulkanik
(Volcanic Islands), Pulau Daratan Rendah (Low Islands) , Pulau Karang Timbul
(Raised Coral Islands), dan Pulau Atol (Atolls), dua yang terakhir terbentuk dari
terumbu karang. Di sisi lain, dari sepuluh jenis bentuklahan (Zuidam, 1985, dan F-G
UGM & Bakosurtanal, 2000), terumbu karang adalah salah satunya. Bentuklahan
(landforms) ini adalah bentuklahan organik yaitu berupa binatang. Bentuk lain yang
berhubungan dengan terumbu karang adalah bentuklahan karst, yaitu terbentuk
melalui proses karstifikasi pada batuan kalsium karbonat. Namun bentuklahan karst
ini terbentuk secara alami melalui proses eksogenik dan endogenik dan
berlangsung pada skala besar (Thornbury, 1954). Sedangkan terumbu karang
terbentuk secara organik dan relatif perlahan sehingga lebih dimungkinkan adanya
campur tangan manusia dalam pertumbuhannya. Hasil identifikasi bentuklahan
mencerminkan karakteristik fisik lahan dan untuk mendapatkannya dengan melalui
analisis geomorfologis. Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan
dan proses-proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan
timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan
keruangan (Zuidam, 1985).
Trumbu karang mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan
laut. Fungsi-fungsi tersebut diantaranya:
1. Sebagai Spawning Ground dan Nursery Ground. Secara alami, terumbu
karang merupakan habitat bagi banyak spesies laut untuk melakukan pemijahan,
peneluran,
pembesaran anak, makan dan mencari makan (feeding & foraging), terutama
bagi sejumlah spesies yang memiliki nilai ekonomis penting.
2. Sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain
(padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang
besar.
Kerusakan terumbu karang memang dapat diakibatkan faktor alam.
Misalnya hempasan ombak yang mematahkan karang atau berbagai jenis ikan dan
hewan laut yang memangsa karang. Akan tetapi, regenerasi dan pertumbuhan
karang yang sehat dapat menggantikan kerusakan ini.
Faktor yang dapat merusak terumbu karang diantaranya adalah :
a. Pengendapan kapur
53 | P a g e
Pengendapan kapur dapat berasal dari penebangan pohon yang dapat
mengakibatkan pengikisan tanah (erosi) yang akan terbawa kelaut dan menutupi
karang sehingga karang tidak dapat tumbuh karena sinar matahari tertutup oleh
sedimen.
b. Aliran air tawar
Aliran air tawar yang terus menerus dapat membunuh karang, air tawar
tersebut dapat berasal dari pipa pembuangan, pipa air hujan ataupun limbah pabrik
yang tidak seharusnya mengalir ke wilayah terumbu karang.
c. Berbagai jenis limbah dan sampah
Bahan pencemar bisa berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah
limbah pertanian, perkotaan, pabrik, pertambangan dan perminyakan.
d. Pemanasan suhu bumi
Pemanasan suhu bumi dikarenakan pelepasan karbon dioksida (CO2) ke
udara. Tingginya kadar CO2 diudara berpotensi meningkatan suhu secara global.
yang dapat mengakibatkan naik nya suhu air laut sehingga karang menjadi memutih
(bleaching) seiring dengan perginya zooxanthelae dari jaringan kulit karang, jika
terjadi terus menerus maka pertumbuhan terumbu karang terhambat dan akan mati.
e. Uji coba senjata militer
Pengujian bahan peledak dan nuklir di laut serta kebocoran dan buangan
reaktor nuklir menyebabkan radiasi di laut, bahan radio aktif tersebut dapat bertahan
hingga ribuan tahun yang berpotensi meningkatkan jumlah kerusakan dan
perubahan genetis (mutasi) biota laut.
f. Penambangan dan pengambilan karang
Pengambilan dan penambangan karang umumnya digunakan sebagai
bahan bangunan. Penambangan karang berpotensi menghancurkan ribuan meter
persegi terumbu dan mengubah terumbu menjadi gurun pasir bawah air.
g. Penambatan jangkar dan berjalan pada terumbu
Nelayan dan wisatawan seringkali menambatkan jankar perahu pada
terumbu karang. Jangkar yang dijatuhkan dan ditarik diantara karang maupun
hempasan rantainya yang sangat merusak koloni karang.
h. Serangan bintang laut berduri
Bintang laut berduri adalah sejenis bintang laut besar pemangsa karang
yang permukaanya dipenuhi duri. Ia memakan karang dengan cara manjulurkan
bagian perutnya ke arah koloni karang, untuk kemudian mencerna dan
membungkus polip-polip karang dipermukaan koloni tersebut.
i. Pemanfaatan sumber daya laut secara berlebihan.
54 | P a g e
Adanya beberapa jenis biota laut diterumbu bisa jadi merupakan faktor
penentu kesehatan dan faktor penentu kesehatan dan kelangsungan hidup koloni
karang.
Terumbu karang, selain berfungsi untuk kembangbiak ikan, pelindung
pantai dari erosi dan abrasi, juga bermanfaat untuk sektor pariwisata. Terumbu
karang merupakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir dan 60
persen penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir.
Indonesia dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh
Indo-Pasifik. Terumbu karang yang hidup di perairan Indonesia mencapai 284.300
km2 dan terumbu karang Indonesia mencapai 18 persen terumbu karang di dunia.
Jenis terumbu karang tersebut lebih kurang 354 jenis yang terbagi ke dalam 75
marga. Fakta lain menyebutkan, pendapatan terumbu karang Indonesia mencapai
US$1,6 milyar/tahun, dan pendapatan pelayanan dan sumber dayanya mencapai
61,9 milyar/tahun. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis di
antaranya hidup di terumbu karang.
Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3-10 ton ikan per kilometer
persegi per tahun. Keindahan terumbu karang sangat potensial untuk wisata bahari
Indonesia. Masyarakat di sekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini
dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran dan penginapan, sehingga
pendapatan mereka bertambah.@Lihat saja Raja Ampat di Papua, daerah tersebut�
begitu terkenal dan dikunjungi para wisatawan karena terumbu karangnya yang
indah.
Sayangnya, karena ketidakpedulian masyarakat akan pentingnya
terumbu karang bagi kehidupan manusia, sekitar 30 persen terumbu karang di
lautan Indonesia mengalami kerusakan. Tidak hanya di Indonesia, terumbu karang
merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam rusak di dunia. Perkiraan
terakhir menunjukkan bahwa 10 persen dari terumbu karang dunia telah mengalami
degradasi atau kerusakan. Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia
disebabkan karena aktivitas manusia, di antaranya adalah:
1. Terumbu karang yang hidup di dasar laut merupakan sebuah pemandangan yang
cukup indah. Banyak wisatawan melakukan penyelaman hanya untuk melihatnya.
Sayangnya, tidak sedikit dari mereka menyentuh bahkan membawa pulang terumbu
karang tersebut. Padahal, satu sentuhan saja dapat membunuh terumbu karang.
2. Membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut.
3. Mungkin tidak banyak yang sadar, penggunaan pupuk dan pestisida buatan pada
lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan. Karena meskipun jarak
55 | P a g e
pertanian dan bibir pantai sangat jauh, residu kimia dari pupuk dan pestisida buatan
pada akhirnya akan terbuang ke laut melalui air hujan yang jatuh di lahan pertanian.
4. Boros menggunakan air, karena semakin banyak air yang digunakan semakin
banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut. Limbah air
tersebut biasanya sudah mengandung bahan kimia.
5. Terumbu karang merupakan tujuan wisata yang sangat diminati. Kapal akan lalu
lintas di perairan. Membuang jangkar pada pesisir pantai secara tidak sengaja akan
merusak terumbu karang yang berada di bawahnya.
6. Penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman di
pesisir turut merusak kehidupan terumbu karang. Limbah dan polusi dari aktifitas
masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu
karang. Selain itu, sangat banyak yang pengambilan karang untuk bahan bangunan
dan hiasan akuarium.
7. Masih banyak yang menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom dan
racun sianida. Ini sangat mematikan terumbu karang.
8. Selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal dari
sesama mahkluk hidup di laut. Siput drupella salah satu predator bagi terumbu
karang.
D. Perubahan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut akibat Aktifitas Manusia
Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting
artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan
sumber pangan yang di usahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi
merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan
minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat di manfaatkan untuk
kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai pelayaran
(Pagoray, 2003). Secara ekologis, manusia adalah bagian dari lingkungan hidup.
Komponen yang ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak
kehidupan bagi manusia.
Lingkungan hidup inilah yang menyediakan berbagai sumber daya alam
yang menjadi daya dukung bagi kehidupan manusia dan komponen lainnya.
Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi
dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya
keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup
(Syahputra, 2007). Sumber daya pesisir merupakan unsur-unsur hayati dan
56 | P a g e
nonhayati yang terdapat di wilayah laut, dimana unsur hayati terdiri atas ikan,
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan biota lain beserta ekosistemnya.
Unsur nonhayati terdiri dari sumberdaya di lahan pesisir, permukaan air, di
dalam airnya dan di dasar laut seperti: minyak dan gas, pasir kuarsa, timah dan
karang mati. Sumberdaya hayati yang dimanfaatkan dapat diperbaharui selama laju
regenerasi sumberdayanya masih layak untuk berkembang secara alami. Sedang
substitusi sumberdaya tersebut untuk menggantikan fungsinya (Idris, 2001).
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin parah, dan dampak dari pola
pengelolaan lingkungan yang salah dan eksploitasi alam yang tidak bertanggung
jawab membuat kondisi semakin memprihatinkan.
Hampir setiap hari berbagai cerita duka akibat rusaknya lingkungan hidup
mewarnai media masa, seperti bencana banjir, tanah longsor, kabut asap, tragedi
lumpur lapindo, dan lain-lain. Seiring dengan itu, muncul pula berita terungkapnya
pembalakan liar, pembakaran hutan, dan pembangunan gedung-gedung atau
proyek lain yang tidak mengindahkan tata letak dan prosedur perizinan dan masih
banyak lagi perilaku yang tidak terpuji yang menyebabkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup (Garnasih, 2008).
Masih dalam Garnasih, (2008) Namun ironisnya, permasalahan
penanganan dan penegakan hukum atas perusakan lingkungan hidup justru sangat
lemah. Hukum lingkungan Hidup nyaris tumpul tidak berdaya menghadapi berbagai
perkara kejahatan lingkungan. Permasalahan lingkungan hidup adalah makhluk
hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan sebuah benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Bapedal, 1997
dalam Pagoray, 2003).
Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena adanya kegiatan (aktivitas)
yang dilakukan oleh menusia maupun karena pengaruh alam. Salah satu akibat
samping dari kegiatan pembangunan di berbagai sektor dan daerah adalah di
hasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Limbah
tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup
(Tandjung, 1991 dalam Pagoray, 2003).
Kerusakan Lingkungan yang Terjadi di Wilayah pesisir
Jenis Kerusakan Kerusakan yang sangat tampak jelas di wilayah pesisir
Pantai Tambakrejo karena disebabkan akibat dari: Rusaknya ekosistem wilayah
pesisir yang mengakibatkan terumbu karang dan ekosistem diperairan rusak
57 | P a g e
sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari adanya penggunaan alat tangkap
kompresor. Pembangunan pelabuhan yang berada dekat PPI (Pangkalan
Pendaratan Ikan) yang mengakibatkan habitat ikan, dampak negatif dari
pembangunan pelabuhan salah satunya adalah berkurangnya jenis ikan yang biasa
hidup di perairan pergi karena pembangunan pelabuhan yang mengganggu
perkembangbiakan ikan tersebut. Kurangnya kesadaran masyarakat setempat
didalam menjaga ekosistem perairan khususnya hutan mangrove yang berperan
sangat penting didalam suatu perairan, apabila tidak dijaga kelestariannya dapat
menyebabkan abrasi pantai yang terjadi di suatu perairan.
Penyebab Kerusakan Berdasarkan penelitian, penyebab kerusakan yang
terjadi di wilayah pesisir Pantai Tambakrejo disebabkan antara lain: (1) Faktor Alam,
Penumpukan sampah-sampah berupa ranting pohon di pinggir pantai ketika musim
penghujan tiba diakibatkan karena faktor alam. (2) Aktivitas Manusia, Pengerukan
pasir, yang di lakukan oleh masyarakat dapat menyebabkan penyempitan kawasan
wilayah pesisir Pantai Tambakrejo itu sendiri.
Alasan yang Mendasari Nelayan Merusak Sumber Daya Pesisir Faktor
Ekonomi yang Mendasari Nelayan Merusak Sumber Daya Pesisir Tingkat
perekonomian yang kurang mapan/rendah karena rendahnya tingkat pendidikan
nelayan, sehingga dalam memenuhi kehidupan sehari-hari mengakibatkan nelayan
tidak menyadari telah melakukan kerusakan di lingkungan wilayah pesisirnya. Sifat
dasar nelayan yang boros didalam membelanjakan kebutuhan sehari-hari yang
tidak dipikirkan penting tidaknya barang tersebut dibeli sehingga menyebabkan
pengeluaran yang banyak, hal tersebut mengakibatkan tidak adanya simpanan atau
tabungan untuk kehidupan yang akan datang hal ini juga harus di pahami karena
tingkat pendidikan rendah oleh sebagian besar para nelayan. Masalah ekonomi
yang mendesak nelayan melakukan penangkapan di daerah wilayah pesisir lain
juga menjadi salah satu tuntutan dalam hidup, karena semakin mahalnya kebutuhan
pokok dalam hal ini makanan, pendidikan mau tidak mau harus dipenuhi oleh
kepala rumah tangga.
Apabila nelayan melakukan penangkapan di daerah wilayah pesisir
lainnya, ditakutkan hal tersebut dapat menyebabkan hubungan antara nelayan
wilayah pesisir yang satu dengan yang wilayah pesisir lainnya akan berdampak
tidak baik karena nelayan pendatang yang dirasa melakukan penangkapan di
wilayah pesisirnya mengambil daerah kekuasaan nelayan asli.
Kurangnya Kesadaran Masyarakat Menjaga Lingkungan Wilayah Pesisir
58 | P a g e
Pemakaian kompresor dan alat-alat tangkap yang dapat merusak
sumberdaya laut di Desa Tambakrejo kini sangat memprihatinkan hal tersebut
disebabkan kurangnya kesadaran didalam penjagaan lingkungan wilayah pesisir
dari nelayan karena tingkat pendidikan sebagian besar nelayan sangat rendah,
sehingga dapat mengakibatkan kurang dapat mengendalikan penangkapan yang
ramah lingkungan didalam pengambilan hasil laut yang berlebihan. Kurangnya
kesadaran masyarakat yang memperhatikan pentingnya hutan mangrove didalam
keseimbangan ekosistem di kawasan wilayah pesisir pantai dan dapat juga
mencegah dampak dari terjangan ombak laut yang besar sebagai pemecah ombak.
Kondisi sifat atau watak dari nelayan yang pada dasarnya keras juga
karena nelayan yang masih muda mengenal minum-minuman keras sehingga dari
sifatnya yang keras serta pengaruh dari alkohol yang ada di minuman keras
menambah masalah di Desa Tambakrejo karena dari kebiasaan nelayan yang
masih muda tersebut mengakibatkan terjadinya tawuran antar nelayan. Perilaku
atau aktivitas pada individu atau organisasi tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang bersangkutan baik
stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat mempengaruhi
induvidu itu sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh pada lingkungan.
Demikian pula lingkungan dapat mempengaruhi individu, demikian sebaliknya. Oleh
sebab itu, dalam perspektif psikologi, perilaku manusia (human behaviour)
dipandang sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks
(Bandura, 1977; Azwar, 2003).
Kurangnya kesadaran nelayan karena sibuk mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan keluarga yang menyebabkan apapun akan dilakukan demi
untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dan kebutuhan keluarga dapat
terpenuhi. Sampai-sampai nelayan tidak menyadari kalau dalam menangkap ikan
menggunakan alat tangkap yang dapat menyebabkan kerusakan dalam
sumberdaya laut terutama pantai Tambakrejo. Pengetahuan Masyarakat Terhadap
Undang- Undang dan Nilai-Nilai Religi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Undang- Undang.
Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan masyarakat di Desa
Tambakrejo terhadap Undang-Undang tentang pemahaman masyarakat terhadap
Undang-Undang disebabkan antara lain:
(1) Meskipun pemerintah dan masyarakat setempat telah berusaha untuk
menjalankan hukum-hukum dari pemerintah tapi ada sebagian nelayan yang masih
tetap menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dalam melakukan
59 | P a g e
penangkapan ikan dan mengambil secara paksa hasil sumberdaya laut. Hal
tersebut sangat meresahkan dalam kelangsungan hidup masyarakat di Desa
Tambakrejo itu sendiri karena makin berkurangnya kekayaan sumberdaya laut yang
dibanggakan terutama di bagian Pantai Selatan Kabupaten Blitar.
(2) Kurangnya kesadaran nelayan dalam keikutsertaan apabila ada penyuluhan dari
pemerintah jawa timur atau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) karena kegiatan
tersebut sangat penting diketahui bagi nelayan agar mengetahui keuntungan dan
kerugian dalam menjaga kelestarian lingkungan wilayah pesisir. Mungkin tidak
semua perundang-undangan seperti Undang-Undang Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya diberikan penyuluh kepada nelayan
tetapi hanya yang dianggap penting saja yang diberikan, tapi pada intinya penyuluh
menyampaikan berita tentang pentingnya menjaga wilayah pesisir dan tidak boleh
melakukan penangkapan ekosistem perairan menggunakan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan dan menangkap hasil laut yang berlebihan.
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Nilai-Nilai Religi
Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan masyarakat di Desa
Tambakrejo tentang nilai-nilai religi dapat disebabkan antara lain:
(1) Pada dasarnya setiap manusia yang beragama pasti tidak setuju
dengan kebiasaan masyarakat di Desa tersebut yang mengharuskan membuang
sesajen atau mengadakan peringatan 1 Syuro karena hal tersebut dapat
menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dirasakan secara nyata tapi untuk masa
yang akan datang berupa pencemaran laut, walaupun peringatan 1 Syuro ini hanya
adat yang selalu diadakan di pantai-pantai pada umumnya. Selain akan
mempengaruhi lingkungan sumberdaya wilayah pesisir tetapi juga akan menambah
biaya pengeluaran bagi nelayan yang akan digunakan dalam peringatan 1 Syuro,
karena setiap peringatan tersebut yang mempunyai alat tangkap sekoci dikenai
pungutan biaya Rp 200.000,- dalam 1 kapal yang biaya tersebut dipakai untuk
kelangsungan acara peringatan 1 Syuro.
(2) Peringatan 1 Syuro dari tahun ketahun mengalami penurunan karena
ketiadaan dana dalam melaksanakan peringatan tersebut, kebanyakan masyarakat
juga melaksanan peringatan tersebut karena adat pada umumnya di wilayah pantai
dan juga hanya bertujuan untuk membersihkan desa saja. Walaupun di Desa
Tambakrejo ini mempunyai kegiatan keagamaan tetapi yang dibahas hanya
mengenai hubungan antara manusia dan Tuhan dan makhluk yang sudah
meninggal. Pergaulan anak-anak muda di Desa Tambakrejo ini juga perlu
diperhatikan karena maraknya minum-minuman keras sehingga membuat resah
60 | P a g e
para orangtua, sehingga menimbulkan inisiatif dari orangtua untuk menyekolahkan
ke pondok pesantren yang diharapkan agar anak-anaknya tidak melakukan
perbuatan yang dilarang oleh Agama berupa minum-minuman keras. Shalat sangat
penting dan bermanfaat bagi pengontrol ketika kita ingin melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Agama. Mendapatkan Rizki yang banyak tidak bisa di lihat apakah kita
melaksanakan peringatan 1 Syuro atau tidak, karena hanya Allah saja yang memiliki
kekuasaan dalam memberikan Rizki yang banyak tergantung pada tingkat kerja
keras manusia itu sendiri dalam mendapatkan Rizki yang halal dan dengan cara
yang baik pula.
(3) Walaupun masyarakat Desa Tambakrejo mengetahui bahwa
sebenarnya Rizki hanya Allah saja yang mengatur tetapi karena sudah menjadi
kebiasaan bagi masyarakat untuk melaksanakan peringatan tersebut sehingga
sebagai masyarakat mesti mau tidak mau harus melaksanakan karena sudah
sangat melekat dipikiran setiap masyarakat di Desa Tambakrejo. Ciri khas religi
animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan roh-roh dan daya-daya gaib
yang bersikap aktif. Prinsip roh aktif artinya kepercayaan animisme mengajarkan
bahwa roh- roh orang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa
berbuat aktif mencelakakan atau sebaliknya, membantu menyelamatkan dan
menyejahterahkan manusia atau masyarakat umat manusia. Sedangkan yang
terjadi pada masyarakat Desa Tambakrejo sendiri meyakini bahwa adanya
penunggu laut yang harus diberi sesajen pada peringatan 1 syuro, apabila tidak
diberi sesajen maka akan terjadi bencana di Desa tersebut.
(4) Masalah peringatan 1 Syuro ini sudah sangat kental sekali bagi
masyarakat wilayah pesisir terutama di Desa Tambakrejo ini karena hal tersebut
sudah menjadi kebiasaan jadi kalau tidak melaksanakannya malah kelihatan aneh
di pandang masyarakat lainnya, hasil tangkapan yang diperoleh dari melautpun
sama saja tidak bisa di ukur apakah orang itu melaksanakan peringatan 1 Syuro
apa tidak.
Analisis Regresi Berganda
Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada bagian metodelogi
penelitian, beberapa variabel yang diduga berpengaruh terhadap kerusakan
lingkungan wilayah pesisir dalam model regresi yaitu pengetahuan masyarakat
terhadap Undang-Undang, pengetahuan masyarakat terhadap Agama dan alasan
masyarakat merusak lingkungan. Dari analisis regresi berganda menggunakan
61 | P a g e
SPSS, berdasarkan hasil analisis statistika SPSS di peroleh hasil regresi sebagai
berikut:
Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e
Y = 7,693 + 0,051 X1 + 0,174 X2 – 0,218 X3 + e
Dimana:
Y = kerusakan lingkungan
X1 = pengetahuan masyarakat terhadap Undang- Undang
X2 = pengetahuan masyarakat terhadap Agama
X3 = alasan atau motivasi masyarakat merusak lingkungan
Koefisien Determinasi (R2) merupakan besaran yang dipakai untuk
menunjukkan seberapa besar variasi dependent dijelaskan oleh variable
independent. Nilai R2 di dapat 0,276 hasil ini menunjukkan 27,6 % variable terikat
dalam hal ini kerusakan lingkungan yang terjadi di Desa Tambakrejo dapat
dijelaskan oleh variabel pengetahuan masyarakat terhadap Undang-Undang,
pengetahuan masyarakat terhadap Agama dan alasan merusak lingkungan.
Sisanya yaitu 27,4 % di pengaruhi oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
model seperti referensi atau pengaruh dari orang lain Dari hasil analisa model
regresi berganda dengan 3 variabel bebas yang telah dipilih dalam penelitian, maka
akan dibahas masing-masing pengaruh variabel terikat (Y) kerusakan lingkungan.
Berikut akan diuraikan seberapa besar pengaruh dari masing-masing variabel
bebas terhadap pemeliharaan lingkungan khususnya wilayah pesisir.
Konsistensi pengelolaan lingkungan pesisir yang terdapat dalam undang-
undang dan Al-Qur’an Didalam konsistensi pengelolaan lingkungan pesisir
terutama: (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 10 dan Pasal 34, (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan Pasal 8 dan Pasal 84, (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990
Tentang Konservasi Sumberdaya Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 3 dan
Pasal 37, (4) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 5 dan Pasal 35, (5) Q.s. Ar-Rum (30): 41, (6)
Q.s. Al-A’raf (7): 56, dan (7) Q.s. Asy- Su’aara (26): 152. Tentang hukum-hukum
perundang-undangan yang diatur dan dibuat oleh pemerintah dan dalam Kitab Suci
Agama Islam yaitu Al-Qur’an.
Hubungan manusia dengan lingkungan merupakan suatu keniscayaan.
Artinya, antara manusia dengan lingkungan terdapat keterhubungan, keterkaitan
dan keterlibatan timbal balik yang tidak dapat ditawar. Lingkungan dan manusia
62 | P a g e
terjalin sedemikian eratnya hubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga
manusia tanpa keterjalinannya dengan lingkungan tidak dapat dibayangkan dan
tidak dapat pula dipikirkan bahkan tidak ada. Hukum dalam Kitab suci Al-Qur’an
yang telah diatur oleh Allah dan diturunkan ke bumi melalui wahyu-wahyu yang
disampaikan kepada para Nabi untuk kesejahteraan manusia di bumi: diantara
isinya agar manusia tidak melakukan kerusakan lingkungan di darat dan di laut dan
melakukan perbaikan di bumi.
Sebagai makhluk Khalifah (pemimpin) di bumi, manusia mempunyai
tanggung jawab besar terhadap bumi untuk tidak membuat kerusakan di bumi dan
menjaga keseimbangan di darat dan di bumi. Karena sesungguhnya kerusakan
yang terjadi di bumi diakibatkan karena tangan manusia itu sendiri dan manusia
tidak menyadarinya dan diharapkan agar manusia berdo’a kepada-Nya dengan rasa
takut dan penuh harap. Peran pemerintah dalam menjadikan lingkungan khususnya
wilayah pesisir tetap terpelihara kekayaan sumberdaya lautnya, antara lain meliputi;
melakukan pembinaan dimasyarakat, memberikan penyuluhan terhadap
masyarakat, menyampaikan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan
wilayah pesisir, dan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan agar
sumberdaya laut tetap ada sampai anak cucu kita kelak.
Menggerakkan kesadaran peran serta dari masyarakat setempat tentang
pentingnya menjaga lingkungan wilayah pesisir dan pengelolaan sumberdaya laut
yang ramah lingkungan tanpa merusak, melalui pendidikan dan penyuluhan;
menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan
tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup khususnya wilayah
pesisir dan diharapkan dengan diadakan kegiatan tersebut masyarakat dapat lebih
mengetahui peranan penting lingkungan khususnya wilayah pesisir. Adapun peran
serta masyarakat meliputi; menjaga kelestarian dan perlindungan terhadap
sumberdaya lingkungan; dalam menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan,
memelihara kelestarian fungsi dari lingkungan hidup itu sendiri dan menanggulangi
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan cara memberikan informasi
yang baik dan sesuai dengan tingkat pendidikan dalam menyampaikannya agar
dapat diterima dan di terapkan oleh masyarakat setempat.
Adapun proses dalam membantu penyadaran pada pemerintah dan
masyarakat ini tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan saja
tetapi harus dilakukan dengan cara masyarakat memahami dan lebih tertarik serta
terkesan agar tidak mudah dilupakan oleh aparat pemerintah dan masyarakat,
misalnya dengan cara diberikan pemutaran film yang di dalamnya menjelaskan
63 | P a g e
tentang betapa pentingnya menjaga lingkungan dan beserta dampak yang
ditimbulkan apabila terjadi kerusakan lingkungan. Selain itu juga, perlu diciptakan
dari diri masyarakat tersebut norma dan nilai hukum tentang pemanfaatan
sumberdaya khususnya wilayah pesisir sehingga hukum yang sudah ada tidak
dapat di pandang dari segi sangsinya saja.
Agar pembangunan dapat berhasil dan merata, maka harusnya adanya
hubungan yang baik antara Alllah sebagai pencipta seluruh alam, manusia, dan
lingkungan sekitar. Sehingga di harapkan agar masyarakat dapat memahami
konsep-konsep dalam Al-Qur’an bahwasannya tidak boleh mengadakan kerusakan
lingkungan dan menjaga keseimbangan lingkungan di darat dan di laut. Selain
ditekankan pemahaman terhadap Al-Qur’an tentang penyebab kerusakan
lingkungan di sebabkan sebagian besar dari tangan manusia, masyarakat juga
harus dapat menerapkan dan memahami dari peraturan yang telah dibuat oleh
pemerintah di dalam menjaga lingkungan khususnya wilayah pesisir dalam hal
pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya hayati.
Faktor timbulnya perusakan lingkungan wilayah pesisir di akibatkan salah
satunya karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya pengetahuan
penduduk terutama nelayan tentang pentingnya menjaga lingkungan wilayah
pesisir. Pemahaman Agama yang kurang juga mempengaruhi sifat dari masyarakat
yang lebih memilih merusak lingkungan wilayah pesisir daripada menjaga,
walaupun adanya kegiatan keagamaan di Desa Tambakrejo hanya terfokus pada
hubungan antara Tuhan dan manusia bukan terhadap Tuhan, manusia dan kepada
lingkungan sekitar. Faktor lainnya yaitu peran pemerintah dalam pelestarian
lingkungan wilayah pesisir telah baik dalam membuat peraturan dan kebijakan yang
isinya penjagaan lingkungan wilayah pesisir, namun sebaiknya pemerintah juga
mengikut sertakan peran masyarakat terutama nelayan dalam kegiatan tersebut
agar masyarakat mengetahui sangat pentingnya menjaga wilayah pesisir dengan
baik.
Di dalam pemahaman masyarakat setempat terhadap faktor Agama
mempengaruhi kerusakan secara langsung yang ada di Pantai Tambakrejo tersebut
sehingga diharapkan untuk Tokoh Agama setempat dapat memberikan penyuluhan
kepada masyarakat desa pada saat Khutbah jum’at berlangsung dan dari kegiatan
tersebut dapat mengurangi tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah Pantai
Tambakrejo sendiri. Alasan masyarakat merusak lingkungan karena kurang
kesadaran dan pemahaman tentang Undang-undang terhadap masyarakat
setempat tentang lingkungan wilayah pesisir, hal tersebut dapat diakibatkan karena
64 | P a g e
tingkat pendidikan mayoritas nelayan yang rendah dan watak dari nelayan keras
serta karena biaya hidup yang semakin lama semakin mahal sehingga dapat
mengakibatkan nelayan melakukan perusakan lingkungan yang dapat
mengakibatkan rusaknya ekosistem sumberdaya hayati di wilayah tersebut.
E. Aktifitas Masyarakat Terhadap Pengelolaan Ekosistem Pesisir
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam,
wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder,
1999)1. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari
berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan
dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat
produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia..
Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan
sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan
terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik
pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air
asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001). Berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan PEsisir
Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai
untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota. Kedua definisi
wilayah pesisir tersebut di atas secara umum memberikan gambaran besar, betapa
kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi di wilayah ini. Kompleksitas
aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan
sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi
wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang.
Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan
menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir.
65 | P a g e
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian
terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir dan
laut.
Kualitas lingkungan itu diukur dengan indeks kualitas lingkungan, yang
meliputi 3 hal yaitu penutupan lahan, kualiatas air dan kualitas lahan (Taridala,
S.A.A, 2010). Semestinya semua warga masyarakat menyadari bahwa tanggung
jawab pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab kita semua. Sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 7 ayat (1): Masyarakat mempunyai kesempatan yang
sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup; ayat
(2): pelaksanaan ketentuan pada ayat 1, dilakukan dengan cara: meningkatkan
kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan; menumbuhkembangkan
kemampuan dan kepeloporan masyarakat; menumbuhkan ketanggapsegeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan social; memberikan saran pendapat;
menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
Kenyataan yang ada saat ini, apa yang diamanatkan dalam undang-undang
tersebut, belum benar-benar diterapkan baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat itu sendiri. kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungannya
masih sangat rendah. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
adalah upaya dari pemerintah untuk membangun kesadaran dan memberdayakan
masyarakat. Pemberdayaan tidak hanya diperuntukkakn bagi masyarakat atau
kelompok saja, melainkan juga individu. Keberdayaan individu tidak meliputi
kemampuan seseorang untuk berpikir positif, kreatif, inovatif, mandiri dan dapat
mendayagunakansemua pengetahuan yang dimiliki sehingga mampu membangun
diri dan lingkungannya (Darwanto, H, 2009).
Di masa lalu, paradigma pembangunan lebih memprioritaskan masyarakat
perkotaan dan pertanian pedalaman, sedangkan masyarakat pesisir kurang
diperhatikan. Sudah saatnya memang paradigma tersebut dirubah dengan
memberikan perhatian yang sama terhadap masyarakat pesisir karena mereka juga
adalah warga negara Indonesia. Konsekuensinya, justru masyarakat pesisir perlu
mendapatkan perhatian khusus karena ketertinggalan mereka akibat paradigma
masa lampau. Yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat pesisir..
Karenanya, arah kebijakan sekarang ini untuk pemberdayaan masyarakat,
umumnya bukan lagi ditekankan pada pembangunan (development) dalam arti
memberikan barang atau uang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan dan
66 | P a g e
pendampingan selama beberapa waktu - perlu waktu bertahun- tahun - agar
masyarakat mempunyai kemampuan manajemen (pengelolaan).
Pengelolaan Berbasis Masyarakat atau biasa disebut Community Based
Management (CBM) menurut Nikijuluw (1994) merupakan salah satu pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan pengetahuan
dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem pengelolaan
sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut
terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung
di dalamnya Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat
sebenarnya telah di tetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Ketentuan tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan
negara atas sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan
kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
banyak, dan juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus
memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai..
Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal
tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat
karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun dari
masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat
lokal Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik
Indonesia tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi
masyarakat lokal baik dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi,
sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat
lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Menurut
Harbinson dan Myers2 dalam bukunya Manpower and Education : Country Studies
in Economic Development menyatakan bahwa In the final analysis, the wealth of a
67 | P a g e
country is based upon its power to develop and to effectively utilize the innate
capacities of its people.
Merujuk dari asumsi tersebut dalam rangka mengantisipasi penyelenggaraan
Otonomi Daerah yang mandiri dan bertanggung jawab, maka diperlukan
masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendayagunakan secara efektif
kekayaan alam bagi kemakmuran rakyat. Dalam kaitan ini, pengembangan
masyarakat pantai merupakan bagian integral dari pengelolaan sumber pesisir dan
laut bagi kemakmuran masyarakatnya, sehingga perlu digunakan suatu pendekatan
dimana masyarakat sebagai obyek sekaligus sebagai subyek pembangunan. [3] .
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat dengan Mengupayakan
Pengembangan Masyarakat Pantai. Strategi pengembangan masyarakat pantai
dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktural dan non
struktural. Pendekatan struktural adalah pendekatan makro yang menekankan pada
penataan sistem dan struktur sosial politik. Pendekatan ini mengutamakan peranan
instansi yang berwewenang atau organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan
pesisir laut. Dalam hal ini peranan masyarakat sangat penting tetapi akan kurang
kuat karena aspek struktural biasanya lebih efektif bila dilakukan oleh pihak-pihak
yang mempunyai kewenangan, paling tidak pada tahap awal.
Dilain pihak pendekatan non struktural adalah pendekatan yang subyektif.
Pendekatan ini mengutamakan pemberdayaan masyarakat secara mental dalam
rangka meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam
pengelolaan dan persoalan pesisir laut. Kedua pendekatan tersebut harus saling
melengkapi dan dilaksanakan secara integratif.
1. Pendekatan struktural
Sasaran utama pendekatan struktural adalah tertatanya struktur dan sistem
hubungan antara semua komponen dan sistem kehidupan, baik di wilayah pesisir
dan laut maupun komponen pendukung yang terkait, termasuk komponen sosial,
ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek struktural, diharapkan masyarakat
mendapatkan kesempatan lebih luas untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam
secara berkelanjutan. Selain itu penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan
ekonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk
ikut serta melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam
maupun dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus
menerus menempatkan masyarakat (lokal) pada posisi yang sulit. Pendekatan
struktural membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :
68 | P a g e
a. Pengembangan Aksesibilitas Masyarakat pada SumberDaya alam
Aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting
dalam rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut
diharapkan dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang
pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).
b. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan
keputusan.
Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan pesisir
dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang diambil. Kebijakan yang
dikembangkan dengan melibatkan dan memperhatikan kepentingan masyarakat
dan menjamin keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan wilayah.
Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan
yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan
yang berbasis pada potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat
dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga
memberikan keuntungan ganda : pertama, dengan mengakomodasi aspirasi
masyarakat maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga
akan mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi
masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu
yang lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan
hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.
c. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi.
Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat
pantai sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi
mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya
sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah
tersebut.
d. Pengembangan kapasitas kelembagaan.
Untuk meningkatkan peran masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber
daya alam, diperlukan kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat
secara kolektif. Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan
masyarakat untuk melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam
perekonomian. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial
diharapkan untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi
manajemen wilayah pesisir dan laut
e. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.
69 | P a g e
Keberadaan sistem pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan
pengembangan masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan
laut. Sistem pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan
cara memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah
pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem
pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang dilandasi
oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu, sistem
pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain memberikan peluang
bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat
mereka tinggal dan mencari makan, juga memperkuat rasa kebersamaan
masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini dapat dilakukan
melalui lembaga sosial masyarakat pantai (nelayan).
f. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut
mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling membantu.
Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholders), baik jaringan
pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.
2. Pendekatan Subyektif
Pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan yang
menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk
berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi
bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya
dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam
disekitarnya. Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat
lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah
dengan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk
berbuat sesuatu demi melindungi sumber daya alam. Pengetahuan dan
keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya
penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang
berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat
dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain
yaitu :
a. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan.
b. Pengembangan keterampilan masyarakat
c. Pengembangan kapasitas masyarakat.
d. Pengembangan kualitas diri
e. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperanserta
70 | P a g e
f. Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.
Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan hidup, menjadi salah satu penyebab semakin tingginya
pemanasan global, cuaca ekstrim, bencana alam seperti banjir, longsor, dll
(Republika Newsroom, 2009). Kesadaran yang rendah ini, dapat dilihat dari perilaku
masyarakat kita sehari-hari, misalnya kebiasaan membuang sampah sembarangan,
kebiasaan membakar sampah, menebang pohon sesukanya tanpa ada upaya
penanaman kembali, pengambilan pasir pantai dan penambangan bahan galian
golongan C lainnya secara besar-besaran yang menyebabkan tingkat abrasi sangat
tinggi, dll. Masyarakat dalam mengelola lahan juga sering melakukan tindakan di
luar batas-batas yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, mereka yang
punya lahan disepanjang daerah aliran sungai, mereka akan membuka lahan
sampai pada bibir sungai (sempadan sungai) yang semestinya tidak boleh dibuka.
Demikian juga disepanjang sempadan pantai. Hal ini tentu akan memperparah
kerusakan lingkungan.
Membangun kesadaran masyarakat memang tidak segampang
membalikkan telapak tangan. Perlu kerja sama dari semua pihak, baik masyarakat,
pemerintah maupun perusahaan (Widagdo, B, 2011). Perlu waktu yang cukup
panjang untuk pelan-pelan membangun kesadaran itu. Perlu contoh dan tauladan
yang positif dan konsisten dari pihak-pihak pengambil kebijakan. Dari sisi para
pengambil kebijakan dalam hal ini pihak pemerintah, tentunya juga harus
mengambil kebijakan yang sebijak-bijaknya. Seyogyanya, kebijakan yang diambil
tidak hanya menghitung keuntungan ekonomi sesaat, tapi juga harus
memperhitungkan kepentingan sosial dan lingkungan. Karena bila menghitung
kerugian yang akan diderita akibat tidak memperhitungkan aspek sosial dan
lingkungan, kadang-kadang keuntungan ekonomi yang akan diperoleh tidak
sebanding dengan kerugian yang akan diderita.
Kebijakan yang ada selama ini, selalu bersifat Top Down tanpa melibatkkan
masyarakat setempat. Sehingga sering kali kebijakan yang ada bukanlah hal yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Selanjutnya setelah program tersebut selesai,
masyarakat juga tidak tahu fungsi dan manfaat serta keuntungannya. Akibatnya,
bangunan, atau hasil dari program tersebut hanya terbengkalai begitu saja.
Masyarakat juga tidak mau terlibat dalam pemeliharaannya. Oleh karena itu sudah
selayaknya kebijakan saat ini harus dibalik menjadi kebijakan yang bersifat bottom
up, yaitu dengan melibatkan masyakarat lokal dari mulai perencanaan, pelaksanaan
dan pemeliharaan. Dengan system ini diharapkan program yang dilaksanakan
71 | P a g e
benar-benar sesuai dengan kebutuhan atau dengan kondisi masyarakat. Tentu
dengan melibatkan langsung mereka dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pemeliharaan, masyarakat akan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap
program.
Menurut Mikkelsen, system partisipatif atau pendekatan dari bawah (bottom
up) memiliki beberapa keuntungan: (1) data dikumpulkan, dikaji dan dicoba secara
langsung oleh pemakai; (2) pemecahan masalah sendiri langsung dapat dicoba
selama berlangsung proses itu sendiri; (3) menjadi meningkat penghargaan atas
masalah yang dihadapi para stakeholder, konteks kebudayaan serta perubahan
kondisi; (4) kelemahan dan kekuatan langsung dipahami oleh mereka yang ikut
dalam proses; dan (5) semakin meningkat motivasi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan, karena mereka sendiri memahami masalah yang
dihadapi. Banyak juga program-program penghijauan yang sudah dilakukan oleh
pemerintah, namun bibit tanaman kurang sejalan dengan keinginan masyarakat.
Yang ada di masyarakat, hanya terkesan bagi-bagi bibit. Tidak ada tindak lanjut
apakah bibit tersebut ditanam atau tidak, tumbuh atau tidak. Masyarakat yang
merasa tidak membutuhkan bibit yang diberikan, tentu akan membiarkan bibit
tersebut begitu saja. Sehingga tingkat keberhasilan dari program seperti ini
sangatlah kecil. Jika masyarakat dilibatkan secara aktif, akan lebih mudah untuk
memasukkan muatan penyadaran tentang pelestarian lingkungan kepada
masyarakat itu sendiri. Jika sudah lebih banyak masyakarat yang sadar bahwa
memelihara dan melestarikan lingkungannya, sedikit banyak tentu akan berdampak
positif pada pengurangan pemanasan global.
Dari sisi perusahaan, sudah seharusnya perusahaan-perusahaan itu
mengutamakan keseimbangan antara keuntungan dan komitmen menjaga
pelestarian lingkungan untuk keberlangsungan lingkungan itu sendiri. Konsep
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah konsep wajib dilakukan perusahaan
sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial dimana
perusahaan itu beroperasi (Widagdo, B. 2011). Realisasinya bisa berupa beasiswa
bagi siswa berprestasi, training kewirausahaan bagi masyarakat dan pelaksanaan
program penghijauan. CSR merupakan konsep yang ideal untuk menciptakan
perusahaan yang tidak hanya berorientasi keuntungan semata tetapi mempunyai
konsekuensi social dan lingkungan yang berkelanjutan. Untuk menjaga lingkungan,
kita bisa mulai dari diri dan keluarga kita masing-masing, misalnya dengan
membiasakan memisahkan sampah organik dan anorganik dan membuang sampah
tersebut pada tempatnya. Tidak membakar sampah, yang biasanya dianggap
72 | P a g e
sebagai cara paling praktis pada sebagian besar masyarakat. Menyediakan tempat
sampah di mobil sehingga tidak perlu membuang sampah di sepanjang jalan, serta
menyediakan tempat sampah ditempat-tempat umum lainnya.
Hal lain yang juga sangat mudah untuk dilaksanakan adalah dengan
membiasakan menanam dan memelihara tanaman di sekitar tempat tinggal kita.
Tidak harus tanaman besar, tapi juga tanaman kecil dan semak seperti bunga-
bungaan dan tanaman pagar. Bisa dibayangkan jika semua rumah punya ruang
terbuka hijau, berapapun ukurannya (tentu juga disesuaikan dengan ukuran tanah
yang dimiliki) tentu akan memberikan dampak positif pada bumi kita ini. Pemanasan
global pasti berkurang! Seperti pepatah lama ‘sedikit-demi sedikit, lama-lama jadi
menjadi bukit’ rasanya masih cukup relevan. Saya yakin dan percaya, jika kita
semua menyadari pentingnya melestarikan lingkungan hidup kita, maka pemanasan
bumi ini, akan sedikit diperlambat.
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS MASYARAKAT
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan,
apabila ditinjau dari garis pantai wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu
batas sejajar garis pantai dan batas tegak lurus garis pantai (Dahuri et all, 2008).
Salah satu tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk mengendalikan
erosi (abrasi) pantai. Menurut Nurmalasari (2002), pengelolaan wilayah berbasis
masyarakat dapat diartikan sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di
suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Arah kebijakan
pemerintah dimasa lalu yang lebih memprioritaskan pembangunan masyarakat
perkotaan dan pembangunan pertanian pedalaman, menyebabkan masyarakat
pesisir kurang diperhatikan. Arah kebijakan saat ini seharusnya adalah memberikan
perhatian yang sama pada masyarakat pesisir, dengan cara memberdayakan
masyarakat pesisir. Pemberdayaan masyarakat, bukan atau tidak ditekankan pada
pemberian uang atau barang kepada masyarakat, tetapi dengan pelatihan-pelatihan
dan pendampingan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
lingkungan. Pendampingan dan pelatihan yang terus menerus dilakukan secara
konsisten akan menambah kemampuan masyarakat dalam mengelola sumberdaya
alam dan melestarikan lingkungannya secara mandiri.
Kebijakan yang ada selama ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi dilakukan
sepenuhnya oleh pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
73 | P a g e
Sehingga rasa memiliki serta pemahaman tentang kegunaan dan pelestarian
hampir tidak ada sama sekali pada masyarakat setempat. Padahal apabila dilihat
dari karakteristik masyarakat wilayah pesisir dan lautan sangatlah kompleks dan
beragam, sehingga dalam pengelolaan wilayah pesisir sudah seharusnya
melibatkan masyarakat setempat. Selain masalah kebijakan yang tidak melibatkan
masyarakat lokal, berbagai krisis sumberdaya alam dan konflik yang terjadi di
wilayah pesisir dan juga pulau-pulau kecil berakar dari ketidakjelasan aturan sampai
penegakan hukum (Damayanti, E, 2004). Kebanyakan disebabkan oleh
ketidakjelasan aturan daerah, karena pengaturan wilayah laut sejauh 4 Mil menjadi
wewenang pemerintah kabupaten/kota. Terkadang ada persoalan yang tidak
memiliki solusi karena kemudian aturan daerah juga tidak memiliki aturan yang
jelas.
Menurut Nikijuluw dalam Nurmalasari (2002) pengelolaan berbasis
masyarakat atau sering disebut Community Based Management (CBM), merupakan
salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai pengelolanya.
Dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif, mulai dari perncanaan,
pelaksanaan, evalusai dan monitoring kegiatan diharapkan masyarakat lebih peduli
dan merasa memiliki program tersebut. Tentu tidak serta merta masyrakat akan
sadar dan tahu tentang pentingnya pengelolaan tersebut. Untuk itu dibutuhkan
pendampingan baik dari pihak-pihak yang peduli / pemerhati lingkungan dan juga
SKPD terkait seperti Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kelautan dan perikanan,
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Masyakarat dan Desa, dll.
Kerjasama dan integrasi dalam pembangunan tentunya akan saling mendukung dan
menguatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat lokal. Dalam upaya
mengurangi tekanan terhadap ekosistem pesisir perlu di lakukan pola pengelolaan
sumber daya pesisir dan lautan yang terintegrasi dan berwawasan lingkungan,
sehingga pemanfaatannya telah memperhitungkan kemampuan regenerasi dan
daya pulih sumber daya pesisir.
Tanaman yang Tepat untuk Wilayah Pantai
Menurut Mile (2007), pembangunan jalur hijau hutan pantai merupakan hal
yang penting dan strategis untuk dilaksanakan dalam rangka perlindungan kawasan
pantai dari abrasi, gelombang pasang dan tsunami. Guna mendukung program
pembangunan jalur hijau hutan pantai tersebut, dapat dilakukan juga
pengembangan sumberdaya perbenihan untuk menghasilkan benih unggul yang
74 | P a g e
berkualitas untuk tanaman pantai serta untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat melalui berbagai potensi manfaat yang terus dikembangkan.
Mengingat pantai-pantai disepanjang Kecamatan Lais adalah pantai berpasir
kering atau berbatu, maka tanaman yang cocok ditanam untuk jalur hijau hautan
pantai antara lain adalah cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan ketapang
(Terminalia catappa L). Sesuai dengan habitat tanaman ini, cemara umumnya
tumbuh di pinggir pantai berpasir, biasanya dari 0-100 m dpl, pohonnya toleran
terhadap air masin, tanah berkapur dan agak alkali dan sangat mudah adaptasi
pada tanah kurang subur (Nurahmah Y, et all.,2007). Ketapang, cocok dengan iklim
berpasir dan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 400 m dpl; curah hujan
antara 1000-3500 mm pertahun, dan bulan kering hingga 6 bulan. Tanaman ini
toleran terhadap tanah masin dan tahan terhadap percikan air laut, sangat tahan
terhadap angin dan menyukai sinar matahari penuh atau naungan sedang.
Cemara laut berguna mengamankan pantai dari berbagai ancaman bencana
alam sangat tinggi, apabila tanaman tumbuh besar, maka tumbuhan ini akan
memiliki fungsi strategis bagi pengamanan kawasan pantai. Tanaman iini akan
menjadi benteng pertahanan jika suatu waktu terjadi bencana alam gempa bumi
yang diikuti tsunami. Pohon cemara laut akan berperan penting untuk menahan air
laut sehingga dapat mengurangi dampak buruk tsunami, pemecah ombak, menahan
aktivitas abrasi pantai serta akan berperan mempercantik kawasan pesisir,
sehingga akan mendorong pengembangan kawasan pariwisata pantai. Pemilihan
tanaman cemara dan ketapang untuk pengelolaan kawasan pantai di Kecamatan
Lais, juga didasarkan karena beberapa tempat sudah dijadikan tempat wisata alam
bagi masyakarat local. Tanaman cemara khususnya tentu akan memberikan nilai
estetika yang lebih untuk pengembangan kawasan wisata pantai di masa depan.
Tanaman cemara adalah salah satu tanaman hutan pantai yang memiliki
keunggulan sebagai tanmaan yang mempunyai potensi sebagai tanaman campuran
dengan jenis tanaman hutan lainnya. Karena tahan terhadap angin, cemara laut
digunakan secara luas untuk menstabilkan bukit pasir di pantai, serta penahan
angin untuk melindungi perkebunan. Pada beberapa system agroforestry dataran
rendah di daerah tropis, cemara laut ditanam di perkebunan bersama tanaman kopi,
jambu mete, kelapa, kacang tanah, wijen dan legume berbiji lainnya. Selain itu juga
sering ditanam untuk mempercantik daerah perkotaan, taman dan tempat
peristirahatan di tepi laut. Karena itu cemara dapat dikategorikan sebagai jenis
pohon serba guna atau Multi Purpose Tree Species (Syamsuwida, 2005 dalam
Nurahmah Y, dkk., 2007).
75 | P a g e
Pengelolaan wilayah pesisir, harus dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan masyarakat lokal, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi,
agar kegiatan dapat berjalan berkesinambungan. Wilayah pantai yang relative
berpasir kering dan berbatu, cocok ditanami cemara laut dan ketapang, karena
tanaman ini sangat baik untuk menahan angin, memecah gelombang dan menjaga
kestabilan pantai. Pengelolan wilayah pesisir berbasis masyarakat diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
BAB IIIPEMBAHASAN
A. Aktifitas dan Pengelolaan Masyarakat Nelayan Terhadap Kelestarian
Ekosistem Pesisir
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia,
wilayah perairan Indonesia mencakup: laut territorial Indonesia adalah jalur laut
selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, Perairan
Kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus
76 | P a g e
kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai, Perairan
Pedalaman adalah semua peraiaran yang terletak pada sisi darat dari garis air
rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup. Wilayah laut dan
pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pengembangan
ekopainomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi
nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam
berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut
antara lain adalah :
- Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60%
dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis
pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan dating.
- Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing
daerah otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam
pengolahan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
- Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar
mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai
asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi
dan financial yang sangat besar.
- Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi
terhadap pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu,
pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future
resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini
belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini
baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen
(exporter) sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini
menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor
industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%). Selanjutnya, wilayah pesisir juga
kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lauatan yang potensial dikembangkan
lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60% cekungan minyak,
(b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik
penangkapan ikan di dunia, (c) pariwisata bahari yang diakui duniadengan
77 | P a g e
keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi
(natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan “ecotaurism”.
Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity
laut tripis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia
terdapat di Indonesia. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan
kawasan perbatasan antar Negara maupun antar daerah yang sensitive dan
memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Karakteristik Ekosistem Pesisir
Karakteristik dari ekosistem pesisir adalah mempunyai beberapa jumlah
ekosistem yang berada di daerah pesisir. Contoh ekosistem lain yang ikut kedalam
wilayah ekosistem pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun (seagrass)
dan ekosistem terumbu karang. Dari ekosistem pesisir ini, masing masing
ekosistem mempunyai sifat-sifat dan karakteristik yang berbeda beda. Berikut
merupakan penjelasan dari ekosistem pesisir dan faktor pendukungnya:
Pasang Surut
Daerah yang terkena pasang surut itu brmacam – macam antara lain gisik,
rataan pasang surut. Lumpur pasang surut, rawa payau, delta, rawa mangrove, dan
padang rumput (sea grass beds). Rataan pasut adalah suatu mintakat pesisir yang
pembentukannya beraneka, tetapi umumnya halus, pada rataan pasut umumnya
terdapat pola sungai yang saling berhubungan dan sungai utamanya halus, dan
masih labil. Artinya Lumpur tersebut dapat cepat berubah apabila terkena arus
pasang. Pada umumnya rataan pasut telah bervegetasi tetapi belum terlalu rapat,
sedangkan lumpur pasut belum bervegetasi.
Estuaria
Menurut kamus (Oxford) eustaria adalah muara pasang surut dari sungai
yang besar. Batasan yang umum digunakan saat sekarang, eustaria adalah suatu
tubuh perairan pantai yang semi tertutup, yang mempunyai hubungan bebas
dengan laut terbuka dan didalamnya ait laut terencerkan oleh air tawar yang berasal
dari drainase daratan. Eustaria biasanya sebagai pusat permukiman berbagai
kehidupan. Fungsi dari eustaria cukup banyak antara lain : merupakan daerah
mencari ikan, tempat pembuangan limbah, jalur transportasi, sumber keperluan air
untuk berbagai industri dan tempat rekreasi.
Hutan Mangrove
78 | P a g e
Hutan mangrove dapat diketemukan pada daerah yang berlumpur seperti
pada rataan pusat, Lumpur pasut dan eustaria, pada mintakat litoral. Agihannya
terutama di daerah tropis dan subtropis, hutan mangrove kaya tumbuhan yang
hidup bermacam – macam, terdiri dari pohon dan semak yang dapat mencapai
ketinggian 30 m. Species mangrove cukup banyak 20 – 40 pada suatu area dan
pada umumnya dapat tumbuh pada air payau dan air tawar. Fungsi dari mangrove
antara lain sebagai perangkap sedimen dan mengurangi abrasi.
Padang Lamun (Sea Grass Beds)
Padang lamun cukup baik pada perairan dangkal atau eustaria apabila sinar
matahari cukup banyak. Habitanya berada terutama pada laut dangkal.
Pertumbuhannya cepat kurang lebih 1.300 – 3.000 gr berat kering/m2/th. Padang
lamun ini mempunya habitat dimana tempatnya bersuhu tropis atau subtropics. Ciri
binatang yang hidup di padang lamun antara lain:
a. hidup di daun lamun
b. makan akar canopy daun
c. bergerak di bawah canopy daun
d. berlindung di daerah padang lamun
Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem dengan tingkat
keanekaragaman tinggi dimana di Wilayah Indonesia yang mempunyai sekitar 18%
terumbu karang dunia, dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (lebih dari
18% terumbu karang dunia, serta lebih dari 2500 jenis ikan, 590 jenis karang batu,
2500 jenis Moluska, dan 1500 jenis udang-udangan) merupakan ekosistem yang
sangat kompleks.Dapat hidup pada kedalaman hingga 50 meter, memerlukan
intensitas cahaya yang baik untuk dapat melakukan proses fotosintesis, salinitas 30-
35ppt merupakan syarat batas untuk terumbu karang dapat hidup disuatu perairan.
Selain berfungsi sebagai tempat tinggal banyak biota, letaknya yang berada
diujung/bibir pantai juga bermanfaat sebagai pemecah gelombang alami.
Keindahannya dengan warna-warni ikan dan karang membuat terumbu karang
dapat menjadi obyek wisata air, baik snorkeling ataupun selam.
Pengertian Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu adalah proses yang
dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan
tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya
pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan
79 | P a g e
proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima
secara politis.
Pengelolaan Pesisir Secara Berkelanjutan
Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan
secara ekonomis, ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan
secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat
membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital (capital maintenance),
dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara
ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan
integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber
daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan
pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara
sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat
menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial,
partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial,
dan pengembangan kelembagaan (Wiyana, 2004).
Darah pesisir di Indonesia sebenarnya telah mendapat persetujuan dalam
mengatur, mengelola, atau memberdayakan daerahnya masing masing, seperti
dibahas pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di
wilayah laut adalah eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan
laut sebatas wilayah laut tersebut.
Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir Daerah di Indonesia
Dari pengalaman pengalaman yang sudah berjalan sampai sekarang,
daerah pesisir di Indonesia yang kebanyakan ditinggali oleh para nelayan,
merupakan daerah yang belum sepenuhnya digali potensinya, hal ini berkaitan
dengan para nelayan itu sendiri sekedar memanfaatkan hasil dari laut berupa ikan,
rumput laut, terumbu karang, lamun, dan sebagainya hanya untuk memenuhi
kebutuhan harian mereka. Sehingga secara garis besar, potensi pesisir yang
diberdayakan oleh para masyarakat sekitar hanya terbatas untuk memenuhi
kebutuhan harian untuk hidup mereka. Sedangkan pemanfaatan potensi daerah
pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis
dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak
80 | P a g e
dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru
dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada
umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor
pariwisata dan sudah mempunyai kesadaran yang lebih dibandingkan dengan
daerah lain yang belum mempunyai pengolahan seperti ini.
Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang
kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru
bagi daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum
semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat
maupun daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya
alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi
dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah
pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam
di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak
lingkungan pada beberapa daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem dipesisir.
Perizinan pengembangan usaha bagi kelangan dunia usaha selama ini sebagian
besar menjadi kewenangan pusat. Kadangkala dalam hal ini pemberian izin tersebut
tanpa memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat setempat. Jika kita
perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- Pemanfaatan dan pengelolaan daerah belum diatur dengan peraturan
perundang-ungan yang jelas, seingga daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan sesuatu kebijakan.
- Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cendrung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
- Pemanfatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar daerah.
Kewenangan daerah dalam rangka otonomi daerah belum dipahami secara
komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap daerah dan setiap
sector timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam
pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
81 | P a g e
Peran dan Partisipasi Aktif Untuk Melestarikan Ekosistem Pesisir
Dalam upaya menjaga dan merawat kelestarian ekosistem pesisir, bukan
hanya warga masyarakat pesisir saja yang hanya merawat dan melestarikan
ekosistem pesisir. Melainkan hal ini membutuhkan banyak sokongan dan upaya dari
pemerintah serta semua elemen masyarakat. Hal ini bisa dilakukana dengan
menggunakan beberapa tahapan baik secara strukturak maupun non-struktural.
Tetapi pada hal ini, sepertinya pendekatan dengan cara non-struktural atau lebih
dikatakan dengan pendekatan subyektif. Pendekatan ini adalah pendekatan yang
menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk
berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi
bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya
dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam sekitarnya.
Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal dalam
pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk ebrbuat
sesuatu demi melindungi sumber daya alam.
Pengetahuan dan keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung
dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kerusakan sumber daya alam tetapi
juga hal-hal yang berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka
membekali masyarakat dengan usaha ekonomi alternative sehingga tidak merusak
lingkungan, antara lain yaitu :
1. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
2. Pengembangan keterampilan masyarakat
3. Pengembangan kapasitas masyarakat
4. Pengembangan kualitas diri
5. Peningkatan motivasi masyarakat untuk berperan serta
6. Penggalian dan pengembangan nilai tradisional masyarakat
Oleh karena itu, pelestarian ekosistem pesisir bukan hanya tugas dan keawajiban
dari masyarakat wilayah pesisir, melainkan semua aspek masyarakat yang ada.
Masyarakat umum harus mulai disadarakana bagaimana pentingnya ekosistem
pesisir bagi keberlanjutan kehidupan bagi umat manusia. Meskipun, untuk kejadian
proses alam lingkungan sekitar dan interaksi antara faktor abiotik dan biotik serta
perubahan ekologis hanya bisa di pahami oleh ilmuwan dan pakar lingkungan, basis
data yang didapat dari mereka bisa digunakan untuk sumber informasi untuk
disebarkan lebih luas agar semua masyarakat dapat ikut melestarikan dan menjaga
82 | P a g e
ekosistem pesisir sehingga proses pengelolaan ekosistem pesisir bisa berjalan tidak
hanya untuk jangka pendek, melainkan bisa hingga jangka panjang.
Cara Perlindungan dan Pelestarian Ekosistem Pesisir
Banyak elemen masyarakat yang sekarang masih kurang peka akan
kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ekosistem pesisir, hal ini apabila tidak di
tanggapi secara serius akan menimbulkan dampak yang cukup berbahaya ke
depannya. Kita tidak mungkin juga hanya bisa menikmati keindahan suatu tempat
tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya bagi generasi penerus. Berikut
merupakan tahapan yang dapat digunakan untuk perlindungan maupun pelestarian
ekosistem pesisir, diantaranya adalah :
1. Restorasi, dimaksudkan sebagai upaya untuk menata kembali kawasan pesisir
sekaligus melakukan aktivitas penghijuan. Untuk melakukan restorasi perlu
memperhatikan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah.
2. Reorientasi, dimaksudkan sebagai sebuah perencanaan pembangunan yang
berparadigma berkelanjutan sekaligus berwawasan lingkungan. Sehingga motif
ekonomi yang cenderung merusak akan mampu diminimalisasi
3. Responsivitas, dimaksudkan sebagai sebuah upaya dari pemerintah yang peka
dan tanggap terhadap problematika kerusakan ekosistem pesisir. Hal ini dapat
ditempuh melalui gerakan kesadaran pendidikan dini, maupun advokasi dan
riset dengan berbagai lintas disiplin keilmuan\
4. Rehabilitasi, gerakan rehabilitasi dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengembalikan peran ekosistem pesisir sebagai penyangga kehidupan biota
laut. Salah satu wujud kongkrit pelaksanaan rehabilitasi yaitu dengan
menjadikan kawasan pesisir sebagai area konservasi yang berbasis pada
pendidikan (riset) dan ekowisata
5. Responsibility, dimaksudkan sebagai upaya untuk menggalang kesadaran
bersama sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat.
6. Regulasi, dalam hal ini setiap daerah pasti mempunyai Perda yang telah diatur
secara jelas dan gambling. Maka dari itu, perlu kesadaran dan kewajiban untuk
memenuhi perda yang telah ada dan telah dibuat. Ini bisa dijadikan sebuah
punishment apabila tidak dijalankan secara serius. Punishment harus dijalankan
guna membentuk sikap yang sadar akan Perda yang telah diatur demi
keberlangsungan ekosistem pesisir di masa depan.
B. Kegiatan dan Tingkat Sosial-Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir
83 | P a g e
Kebijakan pembangunan kelautan dalam skala ekonomi nasional selama
ini selalu terpinggirkan. Perekonomian daratan menjadi primadona pemerintah
dalam kebijakan pembangunan ekonomi. Isu kemiskinan sangat lekat dalam
kehidupan nelayan, utamanya nelayan tradisional dan nelayan buruh yang hidup di
desa-desa pesisir dengan kondisi perairan overfishing. Masyarakat pesisir sebagai
masyarakat miskin memiliki persoalan yang kompleks. Pertama, faktor miskin
secara ekonomi, terpinggir secara sosial, dan terlupakan secara fungsi dan
martabat.
Di wilayah pesisir terdapat berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
dalam kegiatan social-ekonomi masyarakat. Sumberdaya tersebut tidak hanya
terbatas pada usaha-usaha perikanan (tangkap dan budidaya) dan usaha tanaman
pangan, melainkan juga usaha jasa perdagangan dan pelabuhan serta usaha
rumah tangga, seperti industry pengolahan ikan dalam skala kecil. Usaha perikanan
laut maupun tambak di kedua daerah khusus oenelitian ditunjang oleh peningkatan
teknologi penangkapan berupa motorisasi maupun modifikasi alat tangkap dan
teknologi pembenihan udang (hatchery), jugadidukung oleh kebijakan pemerintah
yang membantu peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
sumberdaya manusia.
Penyebab kemiskinan nelayan secara umum adalah pendidikan dan
keterampilan yang rendah. Hal ini yang menyebabkan nelayan tidak memiliki
alternatif pekerjaan lain yang layak pada musim paceklik dan nelayan tidak dapat
mengoptimalkan manfaat dari hasil usaha penangkapan ikan, baik dari sisi volume
produksi maupun dari harga jual karena mutunya yang rendah. Upaya untuk
mendorong kemandirian nelayan dengan meningkatkan kapasitas individu dan
kelompok sangat mendesak dilakukan. Untuk itu, tim peneliti dan perkayasa dari
Pusat Kurikulum dan Perbukuan berkepentingan mengembangkan model kurikulum
pemberdayaan masyarakat pesisir berbasis ekonomi produktif. Pemberdayaan
mempunyai makna sebagai pengembangan potensi dan kapasitas, baik individu
maupun kelompok.
Pemberdayaan masyarakat diawali dengan membangun dari yang mereka
miliki dan butuhkan serta kemampuan mereka dalam menjangkau perubahan untuk
pemberdayaan tersebut. Inilah yang disebut dengan partisipasi untuk masyarakat
pesisir hendaknya dikembangkan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di
masyarakat, berdasar kebutuhan, kapasitas dan dinamika lokal dalam rangka
pengembangan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat. Model kurikulum
menekankan pada penguatan pengetahuan, keterampilan, dan kesadaran. Model
84 | P a g e
kurikulum ini dilengkapi dengan panduan pengembangan kurikulum yang nantinya
diharapkan menjadi acuan bagi daerah/wilayah atau tempat sasaran yang
mempunyai budaya, kondisi sosial ekonomi dan potensi serta kemampuan
kelompok nelayan yang tidak sama antar daerah/wilayah. Meskipun demikian,
panduan ini diperlukan sebagai acuan agar pemberdayaan masyarakat pesisir
menjadi terarah dan dapat dipantau dalam rangka pembinaan dan
pengembangannya lebih lanjut.
Panduan memuat konsepsi dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir
agar menghasilkan model yang komprehensif sekaligus mampu menjawab
kebutuhan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengorganisasian di
masyarakat pesisir. Sedangkan model kurikulum ini mengambil contoh masyarakat
pesisir di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dan Kabupaten Jeneponto, Sulawesi
Selatan. Pengembangan model kurikulum pemberdayaan ini terkait pada 3 isu, yaitu
(1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial
yang dapat membentuk kelompok-kelompok sosial baru di kalangan masyarakat
pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang
sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka.
Di wilayah pesisir terdapat berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
dalam kegiatan social-ekonomi masyarakat. Sumberdaya tersebut tidak hanya
terbatas pada usaha-usaha perikanan (tangkap dan budidaya) dan usaha tanaman
pangan, melainkan juga usaha jasa perdagangan dan pelabuhan serta usaha
rumah tangga, seperti industry pengolahan ikan dalam skala kecil. Usaha perikanan
laut maupun tambak di kedua daerah khusus oenelitian ditunjang oleh peningkatan
teknologi penangkapan berupa motorisasi maupun modifikasi alat tangkap dan
teknologi pembenihan udang (hatchery), jugadidukung oleh kebijakan pemerintah
yang membantu peningkatan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
sumberdaya manusia.
Perahu dan alat tangkap yang tradisional serta kondisi alam yang kurang
menguntungkan akan membatasi gerak serta kegiatan nelayan, sehingga berakibat
pada produksi dan pendapatan yang rendah. Demikian juga jenis alat tangkap yang
digunakan mempengaruhi pola penggunaan waktu, jumlah tenaga, modal dan
produksiyang dihasilkan. Dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa
nelayan dari kedua daerah penelitian diperoleh informasibahwa mereka selalu
berganti alat tangkap sesuai dengan waktu dan sasaran tangkapan. Pergantian
jenis alat tangkapan yang dilakukan nelayan untuk mengantisipaso keadaan di
mana ikan sulit diperoleh pada saat-saat tertentu. Misalnya, selama bulan Oktober
85 | P a g e
sampai dengan bulan Januari saat air deras, gelombang keras, angin kencang
maka alat tangkap (bubu) tidak dipakai, mereka beralih menggunakan alat lain
sepertipancing.
Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia juga mempengaruhi
usaha perikanan, misalnya luas pengusahaan tambak di Sulawsi Selatan yang
memperlihatkan kecenderungan menurun untuk petani tambak yang mengusahakan
lebih dari 2 hektar. Petani tambak mula-mula mempunyai ketergantungan kepada
kelompok masyarakat lainnya seperti nelayan penyeser benur. Dengan makin
luasnya lahan tambak, lebih banyak bibit yang dibutuhkan, dan oleh karena itu pada
saat ini teknologi hatchery sangat membantu, karena mampu menghasilkan benur
untuk memenuhi kebutuhan petani tambak yang semakin besar.
Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi
sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan
danmemberikan sumbangan yang berarti, baik bagi peningkatan taraf hidup
masyarakat maupun sebagai penghasil devisa negara yang sangat penting. Aktifitas
perkonomian yang dilakukan di kawasan pesisir diantaranya adalah kegiatan
perikanan (tangkap dan budidaya), industri dan pariwisata. Selain dimanfaatkan
untuk kegiatan perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat
membuang limbah dari berbagai aktifitas manusia, baik dari darat maupun di
kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan ini memberikan dampak yang tidak diharapkan
dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan
lingkungan. Salah satu jenis perairan yang akan terkena dampak adalah perairan
estuaria.
Estuaria merupakan suatu habitat yang bersifat unik karena merupakan
tempat pertemuan antara perairan laut dan perairan darat. Namun wilayah pesisir
juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemar yang bersumber dari
aktifitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir
merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut. Menurut
Dahuri (1996) akumulasi limbah yang terjadi di wilayah pesisir, terutama diakibatkan
oleh tingginya kepadatan populasi penduduk dan aktifitas industri. Kondisi seperti ini
disinyalir juga terjadi di perairan muara Sungai Kampar. Muara Sungai Kampar
merupakan gabungan dari beberapa aliran sungai besar dan anak sungai yang
terdapat di Provinsi Riau. Aliran air yang masuk ke muara Sungai Kampar
mengindikasikan banyak mengandung bahan pencemar.
Hal ini terjadi karena di sepanjang sungai yang mengalir ke muara Sungai
Kampar terdapat banyak pabrik-pabrik atau kegiatan industri yang beroperasi dan
86 | P a g e
membuang limbahnya ke sungai. Pabrik yang paling besar masuk ke aliran Sungai
Kampar adalah jenis pabrik kertas yaitu PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper).
Masuknya bahan pencemar ke dalam perairan muara sungai ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh, bahkan bukan
tidak mungkin dapat mengakibatkan kematian serta mengakibatkan spesies tertentu
yang rentan terhadap bahan pencemar menjadi hilang/punah sehingga spesies ikan
yang dijumpai menjadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Dahuri dan Arumsyah (1994) bahwa masuknya bahan pencemar ke dalam
perairan dapat mempengaruhi kualitas perairan. Apabila bahan yang masuk ke
perairan melebihi kapasitasasi milasinya, maka daya dukung lingkungan akan
menurun. Sehingga menurun pula nilai perairan dan peruntukan lainnya. Bahan
pencemar yang masuk ke muara sungai dan estuari akan tersebar dan akan
mengalami proses pengendapan,sehingga terjadi penyebaran zat pencemar. Besar
kecilnya nilai kisaran dari parameter terukur tergantung dari volume air pengencer,
toksisitas/intensitas bahan pencemar, iklim, kedalaman, arus, topografi dan
geografi, sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi dan ketiganya akan
saling berinteraksi. Apabila salah satu factor terganggu atau mengalami perubahan
akan berdampak pada ekologi perairan. Penyebaran bahan pencemar terutama
logam berat dalam perairan dengan proses pengendapan akan mempengaruhi
siklus hidup dari hewan perairan terutama ikan.
Dengan terjadinya proses pengendapan bahan pencemar di dasar perairan
akan memberikan dampak terakumulasinya bahan pencemar dalam tubuh
organisme melalui rantai makanan. Ikan baung salah satu jenis ikan yang hidup di
dasar perairan Sungai Kampar dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat setempat,
padahal ikan baung baik secara langsung maupun tidak langsung, terkena dampak
dari bahan pencemar yang berada di dasar perairan atau dengan kata lain akan
terkontaminasi bahan pencemar. Mengingat ikan baung banyak hidup di dasar
perairan Sungai Kampar yang sudah tercemar, namun masih belum ada informasi
mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap kandungan bahan
pencemar terutama logam pada ikan baung.
C. Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan
memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber
pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya
adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi,
87 | P a g e
serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya
sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu
pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia . Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan
kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua
pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan
fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia . Laut juga memberikan
kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung
memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”.
Pesisir juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir
mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang
membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi
perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir merupakan
transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan darat.
Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum
dilaksanakan oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan
dengan kewenangan yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di
tangan Pusat.
Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan
yaitu era desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana
masing-masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab
dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang
dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan
pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau
pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah
(regional). Dengan digulirkannya Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th
1999), maka penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek
pengelolaan sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau
daerah yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau
lebih bersifat sentralistis.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan
bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan
88 | P a g e
sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut.
Pasal 10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah
Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut
Daerah Propinsi. Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan
bantuan penegakan hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah
yang digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata,
sehingga sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan
oleh institusi pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya
daratan, padahal untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang
memiliki wilayah pesisir dan laut, terlebih lagi Propinsi, Kabupaten dan Kota yang
berbentuk kepulauan sebagai contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa,
Kabupaten Kepulauan Seribu dan Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi
otonomi ekonomi juga berada di wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan
hanya mengkavling darat adalah sebagai bahagian utama pembangunan, tetapi
juga menyertakan wilayah laut dalam memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan
eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.
1. Pengelolaan Perairan Pesisir
Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang merupakan
daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara biofisik batas
dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lautan,
seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin laut. Sementara ke arah laut masih
dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran sungai, sedimentasi akibat
penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas pertanian, industri dan
lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat dengan sistem sungai
(daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung ekosistem darat (up land)
dengan ekosistem lautan.
Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena
tergantung karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan
sangat berbeda, karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu
sungai dimana aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan
pesisir akan semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai
aktivitas daratan baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang dibawa
oleh aliran sungai.
89 | P a g e
Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus
mengutamakan 3 prinsip keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar ekosistem
darat dan laut, dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak biofisik dan
sosial-ekonomi yang terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena merupakan
satu kesatuan ekologi yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya ancaman dan
kerusakan terhadap ekosistem daratan akan berimplikasi negatif terhadap
ekosistem lautan, begitu pula sebalinya.
Prinsip ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena
berbagi sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir merupakan
pusat pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan dengan
daratan maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan kapal,
perikanan, pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan industri
manufaktur di daratan. Sehingga dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk
menghindari arogansi masing-masing sektor dalam mengimplementasikan program
pembangunannya. Selain itu stakeholder terkait seperti pihak pemerintah, swasta,
akademisi, LSM dan masyarakat perlu diakomodir bersama-sama dalam penentuan
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pesisir, laut dan pulau-
pulau kecil untuk penyamaan persepsi.
Prinsip ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat
maupun daerah, dimana harus ada komunikasi 2 arah dan kerjasama yang
harmonis antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan dan ketidak
akuratan dalam melakukan perencanaan dan pengimplementasian berbagai
program pembangunan.
Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan
lautan secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan
kawasan perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang
akan datang.
2. Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi
msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat
(2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut
adalah :
90 | P a g e
- Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut.
- Pengaturan kepentingan administratif.
- Pengaturan tata ruang.
- Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.
- Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil
laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan
kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga
dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka
daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut
berada dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999
yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari
wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka
wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan
daerah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
Daerah. Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya
yang tersedia di Daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi
sumber daya yang dimiliki Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir.
a. Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta
dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil,
sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif
terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman
masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan
kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di
dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena
menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain
91 | P a g e
kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam
pelaksanaannya.
2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk
menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap
konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat
diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya
dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang
kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar
prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi
setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan
bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan
evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah
diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal
keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu
sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang
berlaku secara umum.
4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang
dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan
pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan
intensif dan konservasi sebagai berikut :
Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik
baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun
daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang
dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif
dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun,
daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang
kecil.
Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis
untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi
dan daerah pemanfaatan intensif.
92 | P a g e
5. Penentuan Sektor Unggulan
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada
zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria,
yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6. Penentuan Struktur Tata Ruang
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat
kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi
pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal
kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan
faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki
eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun
terhadap perubahan bentang alam, dll.
7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem
wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah
aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan
sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah
pesisir.
8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang
mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan
berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St = Vt x t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang
yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan
musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak
adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem
tatanan sosial setempat. Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang
bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam
kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial
93 | P a g e
fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah
administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu
memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku
pembangunnan di dalam penyusunan rencana
Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada
tingkat makro
Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku
pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang
ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya
dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan,
sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi
dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga
perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku
pembangunan.
b. Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui undang-undang No.
22/1999, provinsi diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan
mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dalam batas 12 mil laut
perairan wilayah Indonesia. Isi dari undang-undang yang terdapat pada pasal 10
yaitu memberikan wewenang untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi
dan mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata
ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada pemerintah pusat dalam
pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.
Berdasarkan keputusan Menteri No. 10/2002 wilayah pesisir didefinisikan
sebagai wilayah peralihan antar ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12
mil batas wilayah kearah perairan dan batas kabupaten atau kota kearah
pedalaman. Lokasi zona pesisir ini merupakan focus dari kegiatan perencanaan
dalam proyek MCRM (Marine and Coastal Resources Management). Kewenangan
untuk pengelolaan laut dan sumberdaya pesisir yang terbentang antara 12 mil batas
94 | P a g e
wilayah perairan sampai dengan 200 mil ZEE Indonesia tetap berada di pemerintah
pusat dan diserahkan kepada DKP.
Otonomi daerah, diasumsikan bahwa pemerintah kabupaten akan menjadi
sasaran pokok dan yang memperoleh manfaat terbesar dari program ICZM.
Rencana ICZM berbasis pada perencanaan untuk wilayah taman nasional dan
konservasi, tetapi hal ini dapat disesuaikan untuk tingkat cakupan wilayah provinsi,
kabupaten/kota atau daerah prioritas. Rencana strategis biasanya disiapkan untuk
wilayah yang luas (Provinsi), tapi dalam prakteknya dapat juga disusun untuk tingkat
kabupaten/kota karena mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan
dalam Undang-undang 22/1999. Dalam proyek MCRM, Rencana Zonasi, Rencana
pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan di tingkat kabupaten, namun boleh juga
dilakukan pada tingkat provinsi agar prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan
memiliki prioritas.
ICZM adalah suatu proses pemerintahan yang melibatkan penyusunan
rencana-rencana strategis, zonasi, pengelolaan dan aksi, terstruktur menurut
hirarkinya. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi
Pemangku Kepentingan yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan
sumberdaya. Manfaat menyiapkan dokumen Rencana Strategis, Rencana Zonasi,
dan Rencana Aksi hanya dapat dirasakan jika kemauan dan kemampuan
kelembagaan tersedia untuk melaksanakannya.
Rencana pengelolaan harus mendukung hakikat penegakan hokum,
peraturan-peraturan dan proses-proses administrasi yang berlaku dengan
menyediakan pedoman yang rinci untuk pejabat pemerintah dan pengelola
sumberdaya. Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk :
1. Membangun kerjasama kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan
masyarakat.
2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal
(usulan) pembangunan secara sistematik.
3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki
rencana ICZM.
4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif-inisiatif perencanaan lain.
Rencana Pengelolaan (RP) harus meyakinkan bahwa
Adanya kebijakan dan prosedur untuk pelaksanan arahan pemanfaatan wilayah
dan persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin-izin pembangunan.
Peninjauan arahan pemanfaatan wilayah dan perizinan yang terkait dengannya
dilakukan secara sistematik
95 | P a g e
Terbentuknya buku registrasi public meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan
wilayah dan izin penggunaannya.
Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan
arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya.
Catatan resmi publik terawat dan dapat diakses.
Mekanisme pelaporan pengelolaan dilaksanakan.
Pelatihan dan dukungan terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan
kebijakan dan prosedur tersedia.
Pengelolaan sumberdaya pesisir telah didelegasikan kepada yang
berwenang di daerah berdasarkan UU 22/1999. Oleh karena itu penyelenggara
pemerintah local harus diperkuat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
pengelolaan seperti inventarisasi sumberdaya alam, perencanaan untuk
perlindungan sumberdaya dan kesinambungan produksi dan penyelesaian konflik.
Struktur rencana pengelolaan merupakan bagian dari sejumlah rencana ICZM yang
saling melengkapi. Rencana ICZM dimaksudkan untuk menjadi dokumen”hidup”
dan oleh karena itu harus diperbaiki secara berkala, sejalan dengan pengalaman
yang diperoleh dari pelaksanaannya.
c. Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah
Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh
masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri
dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan,
rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan
baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk
mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan
pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir
untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten
dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi
pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah
berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan
perekonomian masyarakat di Daerah.
96 | P a g e
Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang
kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru
bagi Daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum
semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
d. Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh
masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi
kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan
sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak
lingkungan pada beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir.
Perizinan pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian
besar menjadi kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut
tanpa memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan
dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan suatu kebijakan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Daerah.
Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara
komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap
sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam
pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
97 | P a g e
Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut
dan pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi
pelaksanaan kewenangan Daerah di bidang kelautan.
Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan
ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari dan berkelanjutan.
e. Terobosan Baru Pengelolaan Wilayah Pesisir :
Lahirnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) patut diberikan apresiasi positif, karena
ini menandakan adanya niat baik dari semua pihak, terutama legislatif dan eksekutif
untuk memperhatikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai potensi
unggulan yang selama ini termarjinalkan. UU-PWP3K diharapkan menjadi payung
hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir dan
pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan yang berkepanjangan.
Hal yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di
Indonesia yang memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan,
badan usaha atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas
permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap
mempertimbangkan kelestarian ekosistemnya.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru
dan sangat penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan
akan mulai diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan
ruang pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait,
untuk menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan
pesisir. Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak
boleh diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai
umum dan alur pelayaran.
Selain itu, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena perairan
pesisir sangat berbeda dengan wilayah daratan, baik dari aspek biofisik-kimia
maupun sosial-ekonomi. Secara biologis kawasan ini kaya akan keanekaragaman
sumberdaya hayati yang rentan terhadap faktor eksternal berupa tekanan
eksploitasi yang berlebihan, karena akan menyebabkan over eksploitasi. sedangkan
secara fisik kawasan perairan pesisir beserta sumberdaya alamnya sangat rentan
terhadap aktivitas manusia yang merusak, seperti destruktif fishing, penambangan
karang dan pasir, yang akan menyebabkan degradasi dan menurunkan mutu
98 | P a g e
lingkungan perairan pesisir. Sementara secara kimiawi kawasan ini juga rawan
terhadap bahaya pencemaran, seperti tumpahan minyak dari kapal dan buangan
limbah kimia berbahaya yang mengandung logam berat dari berbagai aktivitas
manusia di daratan, karena dapat memberikan dampak yang besar terhadap
menurunnya kualitas perairan pesisir.
Dari aspek sosial-ekonomi, perairan pesisir sangat rentan konflik
pemanfaatan ruang antar berbagai sektor dan atau stakeholder terkait. Apalagi
kedepan akan adanya perubahan yang sangat fundamental terhadap status
kepemilikan perairan pesisir beserta sumberda alamnya, yang tadinya dapat
dimanfaatkan oleh semua orang (open access) karena milik bersama (common
property resources), namun dengan pemberlakuan HP3 akan berubah status
menjadi milik pribadi (private property resources) walaupun dalam batas wilayah
dan rentang waktu tertentu, karena hak-hak masyarakat secara umum berupa hak
akses maupun hak pemanfaatan akan dibatasi bahkan hilang.
f. Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan
Bakau Rusak
Pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah. Hingga kini, pemerintah pusat
belum menerbitkan aturan tentang panduan perencanaan pengelolaan wilayah
pesisir. Hal ini menghambat upaya pemerintah kabupaten/kota dalam upaya
membangun wilayah pesisir. Hal itu dikemukakan Direktur Riset dan Kajian
Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Selasa (9/9) di Jakarta. Menurut Arif,
belum dibuatnya aturan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir menunjukkan
bahwa pemerintah pusat belum berpihak pada pelestarian dan pengelolaan
kawasan pesisir.
Dijelaskan, pada Juli 2007, pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU)
Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
UU itu menugaskan agar dibuat peraturan menteri (permen) kelautan dan perikanan
paling lambat Oktober 2007 untuk menjabarkan UU No 27/2007 itu. ”Namun, hingga
kini belum ada permen yang disahkan,” kataArif. Setidaknya 11 draf permen
kelautan dan perikanan terkait pengelolaan pesisir telah selesai disusun tahun
2007, tetapi hingga kini belum ada yang disahkan.
Rancangan permen itu antara lain tentang perencanaan pengelolaanpesisir,
pemberdayaan masyarakat, konservasi pesisir, mitra bahari, pemanfaatan pulau
kecil, pengawasan, dan akreditasi. ”Kelambatan penerbitan aturan turunan
merupakan langkah mundur pemerintah. Ini menghambat kabupaten/kota dalam
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir,” ujar Arif.
99 | P a g e
Menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP
Syamsul Maarif, tertundanya pengesahan permen pengelolaan pesisir karena ada
hambatan administrasi. Syamsul mengakui, tidak adanya aturan yang jelas telah
menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah dan berpotensi merusak
lingkungan. Menurut Syamsul, meski belum ada panduan dari pemerintah pusat,
pemerintah kabupaten/kota dapat menyusun perda pengelolaan pesisir tanpa harus
menunggu permen. ”Silakan pemda berkonsultasi dengan pemerintah pusat tentang
perda pengelolaan pesisir. Sepanjang isinya tidak bertentangan dengan undang-
undang, maka dimungkinkan,” katanya. Tidak adanya panduan tentang pengelolaan
pesisir, kata Arif, membuat pemda kerap membuat aturan tata ruang sendiri yang
acapkali tidak memerhatikan kelestarian lingkungan.
g. Hutan bakau rusak
Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, laju
kerusakan hutan bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di
Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air
kini diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih
menjadi tambak, permukiman, dan kawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir
Indonesia dua pertiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau
terpanjang kedua di dunia.
D. Peranan Nelayan Terhadap Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove)
Fungsi hutan bakau di wilayah pesisir bukan hanya penting sebagai
pelindung fisik tetapi juga sebagai bagian terintegrasi dari eksositem wilayah pesisir
lainnya, seperti ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun. Di
Sulawesi Utara, hutan bakau sebagian besar telah rusak karena dikonversi menjadi
lahan tambak dan pemukiman. Selain itu, pengambilan kayu bakau oleh masyarakat
sekitar, untuk dijadikan kayu bakar merupakan penyebab lain kerusakan hutan
bakau. Dengan demikian, berbagai aktivitas manusia memberi dampak pada
kerusakan bakau. Usaha rehabilitasi hutan bakau di beberapa daerah, baik di pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah berulangkali dilakukan, namun
hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah kurang keterlibatan dan peran
serta masyara- kat dalam pengembangan wilayah, khusus- nya rehabilitasi hutan
bakau; dan masyara- kat masih cenderung dijadikan obyek dan bukan subyek
dalam upaya pembangunan (Subing, 1995).
100 | P a g e
Rehabilitasi hutan bakau merupakan langkah perlindungan yang ramah
lingkungan. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi atau perbaikan
ekosistem bakau penting untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung
jawab dalam menjaga sumberdaya alam di sekitar tempat tinggalnya. Pelibatan
masyarakat dalam melestarikan hutan bakau ini perlu dimulai dari pelatihan
mengenai teknik-teknik rehabilitasi untuk mendukung program konservasi hutan
bakau. Dengan demikian semua proses rehabilitasi dan reboisasi hutan bakau yang
dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh
masyarakat. Melalui mekanisme ini, masyarakat tidak merasa dianggap sebagai
pekerja melainkan ada rasa kepemilikan terhadap hutan bakau tersebut, karena
mereka merasa ikut punya andil dalam perencanaan penanaman dan lain-lain,
sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan sebagai kuli lagi melainkan
pemilik.
Ekosistem hutan bakau memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang
penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian,
kondisi hutan bakau di Indonesia terus mengalami keru- sakan dan pengurangan
luas lahan dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara
laju penambahan luas areal rehabilitasi bakau yang dapat terealisasi masih jauh
lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973
ha/tahun atau 0,4 %/tahun dari total kecepatan kerusakan hutan bakau. Di Sulawesi
Utara, bakau tumbuh hampir di sepanjang pantai Molas, Wori serta pantai Utara dan
Timur Kecamatan Likupang. Taman Nasional Bunaken (TNB) memiliki luas total
sekitar 1.800 Ha yaitu 20% terdiri dari hutan bakau dengan rincian mengelilingi
pulau Mantehage (±1.435 Ha), pulau Bunaken (±75 Ha), pulau Manado Tua (± 7,7
Ha), Pulau siladen dan pulau Nain (± 7 Ha).
Di pesisir bagian utara Malalayang dan Wori 235 Ha dan Arakan
Wawontulap seluas 933 Ha (Anonimous, 2005). Hutan bakau Desa Tiwoho
Kecama- tan Wori Kabupaten Minahasa Utara memiliki luas 62,5 Ha. Oleh karena
itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan bakau yang
rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan
mendukung pembangunan wilayah pesisir. Keikutsertaan masyarakat dalam upaya
merehabilitasi dan pengelolaan bakau dapat menjadi kunci keberhasilan pelestarian
bakau. Terutama nelayan, dimana nelayan dalam aktifitas sehari-hari berhubungan
langsung dengan ekosistem hutan bakau. Jadi nelayanlah yang secara langsung
merasakan manfaat dari ekosistem hutan bakau. Untuk itu, kegiatan pemberdayaan
101 | P a g e
masyarakat pesisir melalui kajian pengetahuan nelayan dan bagaimana respon
nelayan terhadap rehabilitasi ekosistem hutan bakau.
Observasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang lokasi
penelitian, keadaan lingkungan, ekosistem bakau dan kegiatan yang dilakukan
masyarakat dan pe- merintah yang terkait dalam pengelolaan ekosistem bakau.
Data sekunder diperoleh dari literatur serta bahan bacaan dan lembaga atau
institusi terkait dalam penelitian ini (Singarimbun, M. dan S. Effendi, 1989). Analisa
data yang dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan deskripsi kuantitatif.
Analisa deskriptif kualitatif adalah pengolahan data yang dilakukan melalui
beberapa pertimbangan logika dengan bahasa penulis yang sistematis, sedangkan
analisa data kuantitatif merupakan pengolahan data dengan mengunakan
perhitungan matematis sederhana seperti penjumlahan, persentase, angka rata-rata
dan sebagainya (Kartono, 2000).
Keadaan Umum Desa Desa Tiwoho termasuk dalam wilayah kecamatan
Wori, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara. Jumlah penduduk
sebanyak 1.116 jiwa dengan mata pencarian sebagian besar adalah petani (38%)
dan nelayan (16%). Tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya sekolah dasar
dengan nilai persentasenya 63,3% dan yang tidak mengecap pendidikan sebanyak
2 (dua) orang atau 6,7%. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti sekolah
menengah umum maupun perguruan tinggi sulit dijangkau karena terbentur dengan
keterbatasan ekonomi. Selain itu, tidak adanya sarana pendidikan lanjut di desa
Tiwoho menjadi penghambat karena semakin jauh sekolah semakin menambah
biaya sekolah. Posisi desa mempunyai ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut
dan me- miliki kondisi permukaan tanah berpasir yang datar dan berbukit.
Pemukiman dan garis pantai dibatasi oleh tanggul sepan- jang ±200 m dan bakau.
Luas wilayah desa adalah 556.485 Ha dengan hutan bakau 62,5 Ha (11,2 %).
Sejarah Rehabilitasi Hutan Bakau Sejak dahulu masyarakat Tiwoho
terbiasa memanfaatkan hutan bakau sebagai sumber penghidupan, diantaranya:
tempat mencari kayu bakar, bahan baku pembuatan atap rumah, sumber obat-
obatan tradisional, tempat mencari ikan, katang (kepiting), biak (kerang) dan hewan
buruan lainnya. Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun hingga pada suatu
ketika di akhir 1989 sebuah perusahaan bernama Wori Mas membuat usaha
tambak udang dan bandeng. Sekitar 25 hektar hutan bakau dikonversi menjadi
kolam-kolam pembudidayaan udang dan bandeng. Akibatnya berkurangnya jumlah
ikan, kerang dan kepiting karena kehilangan tempat bertelur dan memijah, tidak
adanya penahan ombak dan angin. Pada tahun 1991 pemerintah melalui
102 | P a g e
Departemen Kehutanan menetapkan wila- yah hutan bakau Desa Tiwoho masuk ke
dalam wilayah Taman Nasional Bunaken (TNB).
Sebagai tindak-lanjutnya penanaman bakau dilakukan pada bagian garis
pantai untuk menghindari terjadinya abrasi. Jenis bakau setempat yang ditanam
adalah Sonneratia sp. dan Avicennia alba dengan mengambil benih dari sekitar
hutan bakau yang masih sehat. Penanaman bakau terkonsentrasi pada lahan bekas
tambak. Sampai saat ini masyarakat yang bekerjasama dengan yayasan KELOLA
masih melakukan penanaman bakau.
Sejarah Rehabilitasi Hutan Bakau Sejak dahulu masyarakat sudah terbiasa
memanfaatkan hutan bakau sebagai sumber penghidupan, diantaranya: tempat
mencari kayu bakar, bahan baku pem- buatan atap rumah, sumber obat-obatan
tradisional, tempat mencari ikan, katang (kepiting), biak (kerang) dan hewan buruan
lainnya. Kebiasaan ini telah berlangsung turun-temurun hingga pada suatu ketika di
akhir 1989 sebuah perusahaan bernama Wori Mas membuat usaha tambak udang
dan bandeng. Sekitar 25 hektar hutan bakau dikonversi menjadi kolam-kolam
pembudidayaan udang dan bandeng. Akibatnya berkurangnya jumlah ikan, kerang
dan kepiting karena kehilangan tempat bertelur dan memijah, tidak adanya penahan
ombak dan angin. Pada tahun 1991 pemerintah melalui Departemen Kehutanan
menetapkan wilayah hutan bakau Desa Tiwoho masuk ke dalam wilayah Taman
Nasional Bunaken (TNB). Sebagai tindaklanjutnya penanaman bakau dilakukan
pada bagian garis pantai untuk menghindari terjadinya abrasi. Jenis bakau setempat
yang ditanam adalah Sonneratia sp. dan Avicennia alba dengan mengambil benih
dari sekitar hutan bakau yang masih sehat. Penanaman bakau terkonsentrasi pada
lahan bekas tambak. Sampai saat ini masyarakat yang bekerjasama dengan
yayasan KELOLA masih melakukan penanaman bakau.
Peran Kelembagaan
1. Pemerintah
Mengacu pada PERDA No. 38 tahun 2003 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat dalam pasal 14, masyarakat lokal
dalam hal ini pemerintah desa berkewajiban me- nyusun peraturan desa untuk
menjaga dan mempertahankan objek-objek yang bernilai ekonomi dan bernilai
ekologis dari lingkungan hidup sumberdaya wilayah pesisir dan laut, juga
memberikan informasi yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal.
Hasil penelitian di lapangan, masyarakat desa juga mengeluhkan
keterlibatan pemerintah daerah dalam hal pelestarian bakau. Selama ini pemerintah
103 | P a g e
daerah hanya sekali terlibat langsung dalam reha- bilitasi hutan bakau. Selain itu
juga bibit yang mereka tanam hampir seluruhnya mati. Hal ini disebabkan
ketidakcocokan bibit dengan lahan yang ditanami. Sementara itu, pemerintah desa
yang menjadi perpan- jangan tangan pemerintah pusat dan dae- rah belum
membuat peraturan desa yang secara tertulis dalam hal pengelolaan dan
pemanfaatan ekosistem bakau.
2. Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (Non-Governmental
Organization) memiliki peran yang sangat besar dalam rehabilitasi hutan bakau.
Hasil wawancara dengan nelayan ternyata, mereka banyak mendapatkan
pengetahuan tantang bakau karena keterlibat- an dari Yayasan KELOLA yang ada
di desa Tiwoho. Yayasan ini juga mengajarkan warga bagaimana cara menanam
bakau yang baik, selain itu mereka melakukan pengamatan secara langsung
terhadap rehabilitasi ekosistem bakau di desa Tiwoho.
3. Kelompok Masyarakat
Usaha pelestarian hutan bakau desa Tiwoho tidak terlepas juga dari peran
ke- lompok masyarakat yang ada di sana. Kelompok masyarakat seperti kelompok
tani, kelompok nelayan dan kelompok agama yang ada melibatkan diri dalam usaha
pelestarian ekosistem hutan bakau. Kelompok ini juga rutin melakukan penanaman
bakau, ada yang dilakukan tiap tiga bulan sekali ada juga yang melakukan tiap
bulan sekali. Peran kelompok masyarakat nelayan menilai peran kelompok
masyarakat berperan dalam rehabilitasi hutan bakau (47%).
4. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan memiliki peran untuk mengembangkan bantuan
teknis dan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam hal ini pelertarian
ekosestem bakau. Lembaga pendidikan yang ada di desa Tiwoho memberikan
kewajiban kepada setiap siswa untuk menanam 1 pohon bakau dan mengawasi
bakau tersebut sampai tumbuh. Lembaga ini juga memberikan kurikulum khusus
yang disebut muatan lokal yang mengajarkan tentang bakau dan kegunaannya.
Proses rehabilitasi ekosistem bakau di desa Tiwoho telah berlangsung
selama 18 tahun dan selama ini masyarakat terutama nelayan telah mengetahui
bagaimana cara menanam dan memelihara ekosistem bakau. Pengetahuan tentang
bakau banyak diketahui melalui DPTNB (Dewan Pengelola Taman Nasional
Bunaken), serta peran swasta yang senantiasa selalu memberikan penyuluhan atau
juga pelatihan tentang bakau itu sendiri. Nelayan memiliki peran yang cukup baik
dalam kegiatan rehabilitasi hutan bakau. Mereka terlibat langsung dalam rehabilitasi
104 | P a g e
bakau tanpa ada paksaan dan bayaran dari pihak manapun, karena mereka
berpendapat rehabilitasi bakau bukan hanya untuk dinikmati saat ini, tetapi sebagai
warisan untuk anak cucu mereka.
Penanaman dan pemeliharaan bakau di desa Tiwoho tidak mendapatkan
perlakuan yang istimewa, seperti: memberi pagar dan pupuk. Penanaman dilakukan
dengan cara melihat lokasi yang kosong dan layak ditanami bakau lalu mengambil
bibit yang tersedia di alam yang dianggap sudah layak untuk dipindahkan kemudian
menanam bibit tersebut. Hal ini dikarenakan dari hasil pengamatan dan pelatihan
yang mereka dapatkan bahwa bakau akan lebih cepat tumbuh jika dibiarkan tumbuh
secara alami. Dari hasil pengamatan di lapangan, setelah nelayan menanam bakau
tidak dibiarkan begitu saja. Bakau yang ditanam, beberapa minggu kemudian akan
dimonitor pertumbuhannya, apakah bakau yang me- reka tanam ini telah bertumbuh
atau mati dan ada juga yang telah terbawa arus saat air pasang. Jika bibit tersebut
telah mati atau terbawa arus maka mereka akan mengganti dengan tanaman baru.
Manfaat Rehabilitasi Ekosistem Hutan Bakau
Ekosistem bakau adalah salah satu ekosistem yang memiliki peran yang
sangat penting bagi kehidupan nelayan. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya, ekosistem bakau bermanfaat seca- ra ekologis dan ekonomis.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti melihat nelayan desa Tiwoho juga merasakan
manfaat dari ekosistem ini. Pada tabel berikut bisa dilihat manfaat apa saja dari
ekosistem bakau yang diketahui oleh nelayan desa Tiwoho.
Menurut Manik (2003), dalam pemanfaatan setiap sumberdaya alam terjadi
suatu proses yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik dampak negatif
maupun positif. Sebaliknya, kualitas lingkungan juga akan menentukan kelangsung-
an suatu usaha atau kegiatan. Artinya, lingkungan yang rusak menyebabkan suatu
usaha tidak dapat beroprasi. Misalnya, pemanfaatan sumberdaya alam hutan bakau
untuk usaha tambak udang. Pembangunan tambak udang seharusnya tidak
menebang habis hutan bakau, karena hutan bakau merupakan sabuk hijau pesisir
antara lain berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi dan intrusi gelombang air
laut. Dalam uraian sebelumnya masyarakat desa Tiwoho telah merasakan dampak
negatif dari pemanfaatan hutan bakau sebagai lahan tambak.
Dari hasil pengamatan di lapangan, saat ini masyarakat lebih khususnya
nelayan telah merasakan dampak positif dari rehabilitasi bakau. Mereka dapat tidur
dengan tenang pada saat musim gelombang tinggi, mereka yakin gelombang tinggi
tersebut tidak akan menghanyutkan perahu mereka dan membanjiri kompleks
pemukiman. Hal ini dikarenakan gelombang yang datang telah terhalang
105 | P a g e
pepohonan bakau yang ada. Nelayan juga memanfaatkan biota-biota yang hidup di
daerah ekosistem hutan bakau apalagi jika tiba musim gelombang tinggi sehingga
mereka tidak bisa melaut. Jadi mereka hanya mencari ikan, udang dan kepiting
bakau di sekitar bakau. Jadi, menurut nelayan bakau juga menjadi salah satu
sumber pendapatan mereka.
E. Pandangan dan Sikap Nelayan terhadap Kerusakan Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang paling rentan terkena dampak
perubahan iklim. Untuk itu perlu segera dilakukan upaya-upaya tertentu dalam
mencegah terjadinya degradasi lingkungan lebih lanjut di daerah tersebut. Ada dua
cara penanganan pelestarian lingkungan pesisir yaitu secara stuktural dan secara
non struktural. Secara stuktur (fisik) artinya pemecahan masalah penanggulan
degradasi lingkungan di wilayah pesisir dilakukan dengan membuat perlidungan
tertentu baik secara alami maupun buatan. Secara alami misalnya dengan
penanaman kembali mangrove, pembuatan terumbu karang, dan pembuatan bukit
pasir pantai (sand dune). Sedangkan secara buatan misalnya membuat breack
water, tembok laut, tanggul, maupun konstruksi pelindung lainnya.
Upaya penanggulangan masalah Bencana Banjir secara non struktur
artinya dilakukan dalam bentuk bukan pembangunan fisik, namun dalam bentuk
tindakan non fisik, misalnya pembuatan peta rawan bencana banjir dan abrasi,
pemberian sistem peringatan dini, informasi publik dan penyuluhan, serta
penyusunan tata ruang. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah terjadi pergeseran
paradigma dalam menangani masalah abrasi, yaitu: bekerjasama dengan proses-
proses alami (cooperation with nature) dibandingkan dengan melawan alam
(against the natural processes), mendalami (understanding) terhadap proses-proses
alami di pantai yang selanjutnya ‘bekerjasama’ dengan proses-proses tersebut.
Untuk itu di perlukan penyelesaian yang menyeluruh dan komprehensif melalui
pendekatan pengelolaan pesisir yang terpadu yang salah satunya adalah dengan
pendekatan sel sedimen (Subandono, 2007).
Sel sedimen adalah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman
kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam wilayah pergerakannya
tidak mengganggu keseimbangan kondisi pantai yang berdekatan. Sehubungan
dengan sifat dinamis dan keterkaitan ekologis dari ekosistem pesisir, maka
pemanfaatan ruang pesisir selain berdasarkan pada kesesuaian biofisik, harus pula
memperhatikan keterkaitan dampak antara kegiatan yang berada di kawasan pesisir
dan keserasian (compatibility) antar kegiatan di sekitarnya (S. Budi Prayitno, 2005).
106 | P a g e
Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan,
permukiman, dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada
lokasi yang secara biofisik sesuai, sehinga membentuk suatu mozaik yang sesuai.
Dalam kaitannya dengan sifat dinamis dan keterkaitan ekologis dari ekosistem
pesisir, maka penataan pemanfaatan ruang pesisir selain berdasarkan pada
kesesuaian biofisik, harus pula memperhatikan keterkaitan dampak antar kegiatan
yang berada di kawasan pesisir dan keserasian (compatibility) antar kegiatan di
sekitarnya. Pendekatan pembangunan berbasis masyarakat pada hakekatnya sama
dengan pembangunan berpusat pada manusia. Pembangunan sosial mempunyai
tujuan untuk membangun manusia seutuhnya. Menurut UN-ESCAP (2008)
dijelaskan bahwa pada dasarnya pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf
hidup manusia atau development of the well-being of the people.
Penekanan pada pembangunan sosial pada dasarnya adalah pendekatan
pembangunan yang berpusat pada manusia atau people centered development
sehingga terlihat kesamaan pola gerak dari pembangunan sosial dan pembangunan
yang berpusat pada manusia, yaitu pada upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan
manusia itu sendiri. Pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia
memandang bahwa tidak selayaknya manusia menghabiskan sumberdaya alam
yang sangat terbatas pada satu generasi saja, sehingga generasi selanjutnya tidak
dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut. Pendekatan people centered
development pada intinya bahwa pentingnya sinkronisasi antara pembangunan
yang memfokuskan ekonomi, ekologi, serta keadilan. Di dalamnya juga terdapat
unsur partisipasi, demokrasi, dan transparansi yang merupakan bagian yang
sedang dikembangkan di Indonesia sekarang.
Goulet (1995) memberikan asumsi yang harus diperhatikan dalam
pembangunan yang memfokuskan pada manusia , yaitu terkait dengan nilai-nilai
dasar yang dianggap universal, antara lain partisipasi (participation),
kesinambungan (sustainability), integrasi sosial (social integration), dan hak-hak dan
kemerdekaan asasi manusia (human right and fundamental freedoms).
Hogan (2000) menggambarkan proses pemberdayaan yang
berkesinambungan sebagai suatu siklus terdiri dari lima tahapan yaitu
menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan, mendiskusikan alasan,
mengidentifikasi suatu masalah, mengindentifikasi basis daya, dan
mengembangkan rencana-rencana aksi serta mengimplementasikannya.
Masyarakat akan diajak untuk berpartisipasi yang pada akhirnya diharapkan ada
107 | P a g e
perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat
baik secara kualitatif dan kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari
perubahan sikap dan perilaku tersebut. Pada akhirnya masyarakat akan mampu
melakukan berbagai aktivitas pada tingkat lokal secara mandiri dan
berkesinambungan dan tidak lagi tergantung pada stimulan atau bantuan pihak lain.
Sutomo (2008) memberikan gambaran proses keberlanjutan sebagai suatu
siklus dan mekanisme tersebut diharapkan menghasilkan suatu proses yang
bersifat kumulatif. Dengan demikian, dalam proses terkandung penguatan
keberlanjutan sosial melalui penguatan institusi sosial yang mendukung
keberlanjtuan aktivitas bersama, penguatan keberlanjutan ekonomi berupa
dipertahankan bahkan bertambahnya kemanfaatan ekonomis yang dirasakan oleh
warga masyarakat, serta penguatan keberlanjutan sumber alam dalam bentuk
semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memelihara kelestarian sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Kesemuanya bermuara pada peningkatan kualitas
hidup masyarakat.
Pantai yang terbentuk oleh proses di laut akibat erosi gelombang,
pengendapan sedimen, dan material organik. Material yang menyusun pantai
tersebut biasanya terdiri dari pasir bercampur batu , yang umumnya berasal dari
daratan, yang selain dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari daratan di
belakang pantai tersebut. Di samping berasal dari daratan, material yang menyusun
pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis biota laut yang ada di daerah pantai
itu sendiri. Pantai tipe ini mudah berubah bentuk, mengalami deformasi, dan
tererosi/abrasi.
Tipe pantai yang yang diteliti sedang mengalami kejadian abrasi yang parah.
Berdasarkan hasil interpretasi dengan citra satelit ALOS hasil pemotretatan tahun
2006, dapat diketahui dengan jelas lahan yang mengalami abrasi. Bentuk pantai di
lokasi ini sudah berubah menjadi teluk kecil yang menjorok ke daratan hingga 1,85
km. Permukiman di kedua wilayah tersebut juga sudah terancam terkena abrasi.
Apalagi dengan semakin tinggi ROB yang terjadi di daerah tersebut maka semakin
parah akibat yang ditimbulkan oleh gabungan antara Abrasi dan Rob. Pada peta
penggunaan lahan yang merupakan gabungan hasil interpretasi citra multi temporal
(1994 dan 2006), tampak jelas bahwa sebaran permukiman di kedua desa tersebut
sudah berada di bibir pantai. Bahkan di desa Bedono sudah ada warga satu dusun
yang di pindah ke wilayah yang lebih aman, yaitu menempati tanah irigasi milik
kantor Pekerjaan Umum (Kantor PU kabupaten Demak).
108 | P a g e
Kantor tersebut sudah hamper terkena air pantai, peritiwa ini terjadi akibat
terkikisnya garis pantai yang terjadi selama sekitar 10 tahun terakhir ini. Semula
mereka membangun rumah dengan jarak dari garis pantai sekitar 500 meter, namun
saat ini posisinya sudah berada di garis pantai (in front) sehingga akses untuk
menuju ke rumah dibuat jembatan darurat dari bahan kayu. Dari hasil wawancara
dengan penduduk, kondisi ini diperparah dengan semakin naiknya rob, yang
menurut informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan cenderung naik rata-rata 12
cm setiap tahun. Dengan demikian, bila tidak dilakukan upaya pencegahan yang
serius dari pemerintah, tidak tertutup kemungkinan ROB ini akan menggenangi jalan
raya sehingga akan mengganggu aktifitas ekonomi di Jalur Utara Propinsi Jawa
Tengah.
Respon dan Upaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi
1) Respon Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi
Berdasarkan hasil pengamatan secara mendalam dan hasil wawancara yang
telah dilaksanakan, sebagian besar masyarakat di daerah terkena dampak abrasi
sangat responsif dalam menghadapi bencana abrasi. Respon masyarakat yang
dilakukan ada berbagai cara dan bentuk. Bagi masyarakat yang berbukim didaerah
yang sudah parah atau abrasi masuk sampai ke dalam rumah, maka mereka akan
selalu mencari tahu bagaimana cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi
masalah tersebut. Sebagian besar dari mereka selalu mengikuti penjelasan atau
kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak luar dalam rangka mengatasi abrasi.
Respon mereka,selain mau mengikuti kegiatan, mereka juga memahami bahwa
abrasi yang datang saat sekarang merupakan masalah bersama. Bahkan ada
sebagian masyarakat yang bersedia untuk direlokasikan.
Respon lain yang ada dari masyarakat adalah berupa kesediaan dan
menerima setiap orang luar masuk ke daerah mereka dengan senang hati dan
penerimaan yang baik. Hal ini diwujudkan dengan selalu dilayaninya dengan baik
dan rasa senang dalam menerima tim peneliti setiap datang ke lokasi. Selain itu,
pada saat dilaksanakan diskusi terfokus, misalnya, semua warga yang diundang
untuk mengikuti kegiatan hadir semua. Bahkan tidak hanya warga setempat yang
terkena dampak yang ikut hadir, tetapi dari unsur masyarakat, perangkat, kepala
Kantor Kecamatan, dinas terkait seperti Bappeda, Kelautan dan Perikanan,
pemberdayaan masyarakat juga memberikan respon positip terhadap kegiatan yang
terkait dengan abrasi. Semua pihak tidak pernah berhenti dan putus asa dalam
upaya mengatasi abrasi.
2) Upaya Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Abrasi
109 | P a g e
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dapat diketahui beberapa upaya
masyarakat di dalam menghadapi bencana Abrasi, Upaya tersebut meliputi tindakan
pencegahan (mitigasi) secara Struktur yang berupa penanaman Mangrove,
pembuatan bangunan penahan gelombang, dan membangun rumah panggung.
Serta upaya mitigasi yang bersifat non Struktur meliputi penyuluhan dari berbagai
instansi, serta berupaya mengangkat issue peristiwa abrasi di daerah ini ketingkat
Nasional hingga Internasional.
a. Penanaman Mangrove di Daerah Abrasi
Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri (i) tumbuhan berpembuluh
(vaskuler), (ii) beradaptasi pada kondisi salin, dengan mencegah masuknya
sebagian besar garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan garam,
(iii) beradaptasi secara reproduktif dengan menghasilkan biji vivipar yang tumbuh
dengan cepat dan dapat mengapung, serta (iv) beradaptasi terhadap kondisi tanah
anaerob dan lembek dengan membentuk struktur pneumatofor (akar napas) untuk
menyokong dan mengait, serta menyerap oksigen selama air surut. Komunitas
mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan mikrobia, namun tanpa kehadiran
tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem mangrove
(Jayatissa et al., 2002).
Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian paling luar
didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah didominasi
Bruguiera gymnor- rhiza, bagian ketiga didominasi Xylocarpus dan Heritieria, bagian
dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan
Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera manghas. Pada masa
kini pola zonasi ini jarang ditemukan karena tingginya laju perubahan habitat
akibat penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan pencemaran lingkungan,
meskipun masih dapat dirujuk pada pola zonasi tersebut (Supriharyono, 2007).
Sebelum terjadinya abrasi, daerah penelitian adalah merupakan wilayah
pertambakan yang dikelilingi dengan tanaman mangrove. Dengan demikian,
berdasarkan tingkat kesesuaian lahannya, maka daerah penelitian sesbenarnya
cocok untuk tanaman mangrove. Hal ini didukung dengan kajian lapangan, yaitu
bahwa jenis tanahnya merupakan tanah aluvial hidromorf, dengan tekstur halus.
Dengan berdasarkan pengalaman penduduk setempat bahwa akibat
penebangan vegetasi mangrove maka menyebabkan abrasi semakin meningkat,
timbulah kesadaran akan pentingnya menanam mangrove. Kondisi ini mendapat
dukungan sepenuhnya dari pemerintah seperti dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Demak. Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Tengah.
110 | P a g e
b. Pembuatan Bangunan Pelindung Gelombang dan Arus Laut
Enegi potensial yang ditimbulkan gelombang secara teoritis dapat dikurangi
dengan berbagai cara, misalnya dengan membuat bangunan pelindung pantai
berupa tembok pemecah gelombang maupun pembuatan bangunan pelindung
lainnya. Sedangkan untuk mengurangi pengaruh arus laut dapat dibuat groin-groin
dari tumpukan batuan maupun tripot. Namun demikian upaya untuk mengurangi
energi gelombang dengan cara tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Hal ini
tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan dari pemerintah. Upaya masyarakat yang
telah dilakukan untuk mengurangi abrasi, disamping menanam mangrove, adalah
dengan membuat penahan gelombang dari trucuk-trucuk bambu. Akan tetapi upaya
ini tidak berhasil, bahkan oleh masyarakat sebagai tindakan yang sia-sia. Oleh
karena itu kegiatan pembuatan penahan gelombang dengan trucuk bambu tidak lagi
dilakukan masyarakat. Namun demikian, untuk di daerah pantai yang berbatasan
dengan daratan, masyarakat masih menggunakan bambu untuk menahan erosi
masih banyak dilakukan dengan bambu. Sisa-sisa hasil pembuatan penahan
gelombang dari trucuk bambu dapat dilihat pada gambar 5 di atas.
Pemerintah sendiri sebenarnya sudah berupaya banyak untuk membantu
membuat bangunan permanen penahan abrasi dalam bentuk tanggul dan jalan.
Pembangunan dalam bentuk tanggul umumnya dilakukan untuk melindungi
ekosistem mangrove seperti yang tampak pada gambar berikut ini. Pada bangunan
tanggul ini tampak jelas secara terbuka berfungsi untuk menahan energi
gelombang. Hanya saja bangunan seperti diatas ini seharusnya dibangun dengan
konstruksi yang kuat, sesuai dengan standar bangunan di lepas pantai. Kenyataan
di lapangan bangunan ini dibuat pada tahun 2007 namun di beberapa bagian sudah
retak, dan rentan mengalami kerusakan. Namun demikian adanya bangunan ini
paling tidak membantu tanaman mangrove untuk dapat tumbuh subur dengan
akumulasi substrat sedimen yang cukup memadai.
Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah membangun kembali jalur
jalan yang menghubungkan desa Surodadi – desa Bedono – desa Sriwulan – ke
Semarang. Karena adanya abrasi dan Rob maka jalan tersebut menjadi rusak berat
dan tidak dapat difungsikan secara optimal. Untuk Tahun Anggaran 2009 ini
pemerintah Kabupaten telah menganggarkan dana sebanyak lima milyard rupiah
untuk merehabilitasi dan meninggikan jalur jalan tersebut setinggi 0.75 meter.
Fungsi ganda dari jalur jalan ini adalah disamping menghidupkan kembali
aksesibilitas antar daerah setempat, juga berfungsi sebagai penanggulangan Abrasi
dan Rob. Gambar di bawah ini adalah situasi jalan yang sedang dilakukan
111 | P a g e
peninggian sehingga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi dan Rob di daerah
setempat.
c. Pembuatan Rumah Ramah Bencana Abrasi
Rumah penduduk baik di desa Sriwulan maupun desa Bedono merupakan
rumah tinggal biasa dengan ketinggian dasar pondasi yang sama dengan jalan.
Kualitas rumah bervariasi mulai dari rumah yang terbuat dari tembok, rumah terbuat
campuran tembok dengan kayu, dan rumah yang terbuat dari kayu. Kualitas bahan,
luas rumah biasanya berkaitan erat dengan tingkat ekonomi masyarakat setempat.
Saat ini, akibat adanya Abrasi dan Rob, maka sebagian besar dari mereka
berupaya meninggikan pondasi rumah tinggal mereka agar air tidak masuk ke
dalam rumah. Namun bagi penduduk dengan kondisi perekonomian yang terbatas
hanya akan membuat tanggul disekitar rumah. Namun effektifitas pembuatan
tanggul ini kurang baik, karena air masih bisa masuk ke dalam rumah. Pada
umumnya penduduk masih bertahan oleh karena berkaitan dengan alasan dekat
dengan tempat pekerjaan (sebagai pencari ikan, kerang) dan lagi pula tidak
mempunyai biaya pindah serta membangun rumah baru.
d. Upaya Non Struktural
Berbagai upaya yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah,
dalam rangka penanggulangan Abrasi dan Rob telah banyak dilakukan. Kerjasama
pemerintah dengan LSM dalam rangka membangun kesadaran masyarakat akan
manfaat mangrove sebagai penahan abrasi sering dilakukan. Masyarakat sendiri
juga sudah membuat kelompok tani yang peduli mangrove dengan fokus kegiatan
pada penanaman, dan pemeliharaan mangrove. Hasilnya adalah di pantai sebelah
timur Bedono (pantai Morodemak) telah berhasil di tanami mangrove dengan
kondisi yang subur. Dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
diselenggarakan oleh Tim Peneliti di desa Bedono pada tanggal 10 Juli 2009
berhasil diungkap rencana pemerintah untuk menjadikan hutan mngrove di
Morodemak ini sebagai daerah tujuan wisata. Rencana ini perlu didukung
masyarakat setempat karena akan ada multiplier effeck di bidang ekonomi
masyarakat. Dengan adanya daerah tujuan wusata Mangrove diharapkan
masyarakat dapat terlibat dalam hal penyediaan konsumsi, souvenir, guide.
Hal lain yang terungkap dalam kegiatan FGD ini adalah upaya pemerintah
untuk mengangkat issue abrasi dan rob ini ke tingkat nasional dan internasional. Hal
ini beralasan karena penanganan bencana Abrasi memerlukan dana yang sangat
besar sehingga pemerintah daerah Demak sendiri tidak mampu mengatasinya.
Upaya ini memang tidak serta merta dapat respon balik dari pihak pendonor dana,
112 | P a g e
namun paling tidak sudah menjadi referensi bagi negara pendonor tersebut bahwa
sudah ada desa yang terkena dampak Abrasi dan Rob akibat pemanasan global.
Saat ini ada lembaga asing non Pemerintah dari Jepang yang sudah mulai peduli
terhadap bencana Abrasi di desa Bedono, yaitu OISCA. Lembaga OISCA
kepanjangan dari Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement
(organisasi bagi Kemajuan di bidang Industri, Spiritual dan Budaya), merupakan
lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan hidup dari Jepang.
Lembaga ini melakukan bantuan langsung ke lapangan dengan
merehabilitasi SD Bedono yang rusak karena abrasi, dan saat ini sedang
membangun tembok pemecah gelombang untuk melindungi SD tersebut.
Disamping bantuan tersebut OISCA juga memberikan bantuan tanaman mangrove
untuk merehabilitasi pantai bedono. Peran serta OISCA dalam ikut menanggulangi
abrasi di desa Bedono diharapkan menjadi embrio munculnya bantuan asing
lainnya. Model Pelestarian Lingkungan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat
Menghadapi Bencana Abrasi Upaya paling dasar dalam pelestarian lingkungan
pantai akibat bencana abrasi adalah dengan menanam kembali mangrove
sebanyak mungkin. Pengetahuan dan pelajaran bahwa mangrove dapat melawan
hantaman ombak perlu ditanamkan dalam setiap individu dan masyarakat setempat.
Untuk itu maka kegiatan penanaman dan pemeliharaan mangrove harus
menjadi kewajiban dan tanggungan bersama. Untuk menjaga mangrove dari
kerusakan akibat ulah oknum anggota masyarakat perlu ada sangsi yang dibuat dan
disepakati secara bersama. Hal ini karena pemerintah daerah belum membuat
peraturan daerah yang berkaitan dengan pemberian sangsi bagi perusak mangrove.
Selama ini Pemerintah Kabupaten Demak khususnya yang terkait dengan
pelestarian hutan mangrove yang berada di sepanjang pesisir Demak belum ada
peraturan yang tertulis. Hanya himbauan dan larangan kepada siapa saja tentang
manfaat dan akibat jika mangrove ada dan tidak ada di daerah pesisir pantai yang
disampaikan lewat penyuluh-penyuluh yang diselenggarakan pada setiap daerah
pesisir Demak.
Untuk mendukung pelestarian hutan mangrove berbasis masyarakat maka
perlu dilakukan pelatihan Mangrove yang berkaitan dengan pembibitan,
penanaman, dan perawatan mangrove. Untuk itu maka perlu dukungan yang serius
dari dinas yang terkait, dalam hal ini adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, serta
Kantor Lingkungan Hidup. Dalam hal penanaman Mangrove, sebaiknya Dinas yang
terkait membimbing dan memotivasi warga untuk menanam tanaman mangrove
sacara swadaya di daerah-daerah yang dapat menjadi benteng wilayah daratan di
113 | P a g e
sekitar desa tersebut. Untuk itu maka pemerintah sebaiknya sesegera mungkin
menggerakkan warganya (terutama yang berlokasi/bertempat tinggal di daerah
pesisir) untuk lebih aktif dalam penanaman dan penyemaian bibit mangrove/bakau
secara swadaya di daerah mereka tanpa harus menunggu bantuan dan kuncuran
dana pihak lain.
Keberhasilan rehabilitasi pantai lewat penanaman mangrove diharapkan
akan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini karena adanya potensi
yang terkandung di dalam ekosistem mangrove, yaitu dapat dijadikan lokasi wisata
(ecowisata) hutan mangrove baik untuk pendidikan maupun untuk umum. Effek
berantai adanya kegiatan pariwisata ini nantinya adalah meningkatkan
perekonomian masyarakat setempat misalnya dengan berjualan makanan dan
minuman di sekitar obyek wisata.
Berikut gambaran model empiris pelestarian lingkungan wilayah pesisir
berbasis masyarakat dalam menghadapi bencana abrasi akibat perubahan iklim di
Sayung.
114 | P a g e
BAB IVPENUTUP
115 | P a g e
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari karya tulis ini, yaitu:
a. Kerusakan lingkungan hidup khususnya di wilayah pesisir ditegarai akibat
adanya kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
Beberapa kerusakan lingkungan di wilayah ini seperti pencemaran, rusuknya
terumbu karang, hilangnya sumber makanan ikan karena pencemaran, abrasi
pantai, pendangkalan, alih fungsi, dan lain-lain. Permasalahan yang terjadi di
wilayah pesisir pantai pada umumnya meliputi terjadinya abrasi dan akresi
pantai, kerusakan dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.
b. Proses pengolahan lingkungan pesisir dan laut, sebaiknya dilakukan dengan
lebih memandang situasi dan kondisi local agar pendekatan pengelolaannya
dapat disesuaikan dengan kondisi local daerah yang akan dikelola.
Pengelolaan Berbasis Masyarakat dapat diartikan sebagai sustu sistem
pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat lokal di
tempat tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya
alam yang terkandung di dalamnya.
c. Upaya Masyarakat menghadapi abrasi di daerah dilakukan dengan cara
penanaman mangrove, peninggian lantai rumah, membuat rumah pangggung.
Pengelolaan wilayah pesisir, harus dilakukan secara terpadu dengan
melibatkan masyarakat local, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi, agar kegiatan dapat berjalan berkesinambungan
B. Saran
1. Bagi nelayan, seharusnya tidak lagi menggunakan alat penangkap ikan yang
dapat merusak laut/ pantai (bom), tetapi menggunakan alat yang lebih ramah
lingkungan.
2. Bagi pemerintah adalah membuat rehabilitasi jalur jalan, pembuatan tembok
pelindung gelombang, rehabilitasi pantai dan relokasi penduduk.
DAFTAR PUSTAKA
116 | P a g e
Bengen, DG. 2004. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Artikel dalam buku Interaksi Daratan dan Lautan Pengaruhnya terhadap Sumberdaya dan lingkungan, editor: Wahyu Budi Setyawan, dkk. LIPI.
Budi, S. (2008). Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan. Malang: Laskbang Mediatama.
Departemen Kehutanan, 2006. Inventarisasi dan Klasifikasi Mangrove. Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun, Semarang.
Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers.
Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110.
Idris, I. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu Di Indonesia. Prosiding. Graha Sucofindo. Jakarta
KAI. 2003. Kemitraan Air Indonesia. http://www.inawater.com/news-Berita KAI. Diakses Pada 1 Juni 2013 Pukul 10.58 WITA
Keesing, Roger M. 1989. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga.
Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.
Kusnadi, (2000). Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.
Kusnendi. (2008). Model-model Persamaan Struktural, Satu Multigoup Sampel dengan Lisrel. Bandung: Penertbit Alfabeta.
Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan, Jakarta.
Moh. Manshur Hidayat & Surochiem As, Artikel Maritim : Pokok-Pokok Strategi Pengembangan Masyarakat Pantai Dalam Mendorong Kemandirian Daerah, Ridev Institute Surabaya
Muflikhati, I. (2010). Kondisi Sosial Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Kasus di Wilayah Pasisir Jawa Barat. Jurnal Ilmu Keluarga, 2-10.
Purnomo, Gatot Sugeng. 2005. Strategi Bertahan Hidup: Respons Nelayan terhadap Perubahan Kondisi Daerah Penangkapan Ikan di Selat Madura. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Rudy C Tarumingkeng,, (2001) Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan, http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/grp_paper01/kel1_012.htm,
Satria, A. (2002). Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo.
Singarimbun, M. dan S. Effendi (editor). 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta. LP3S. Supriharyono, M.S. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah pesisir tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Subing, Z. 1995.
117 | P a g e
Pengembangan Wilayah Pantai Terpadu dalam Rangka Pembangunan Daerah. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. Jember, 3-6 Agustus 1994.
Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Syahputra, B. 2007. Ramah Lingkungan Dalam Pandangan Islam. http://bennysyah.edublogs.org/2007/01/ 06/ramah-lingkungan-dalam-pandangan- islam/. Diakses Pada 3 Juni 2013 pukul 02:23 WITA
118 | P a g e