LAPORAN DISKUSI PEMICU 4
MODUL GASTROINTESTINAL
Disusun Oleh:
Kelompok Diskusi 1
Rosa Linda I11109093
Gapar I11111001
Dyanti Warrahmah Dewi I11111007
Muhammad Dirga Iswara I11111011
Agnes Widyaningsih I11111032
Mafisah I11111038
Yuniar Harris Prayitno I11111039
Fina Herlinda Nur I11111053
Uray Muhammad Rizky M. I11111060
Jenny Ismyati I11111066
Wenny Rupina I11111067
Apriyan Yudha Putranto I11111069
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2012/2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan berkat, rahmat,
dan hidayah-Nya lah, laporan diskusi modul Gastrointestinal ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Pembuatan laporan ini berguna untuk memenuhi tugas terstruktur modul
Gastrointestinal dalam semester genap pada program studi Pendidikan Kedokteran
Universitas Tanjungpura.
Pada proses penulisan laporan ini sampai dengan selesainya, penulis banyak
mendapatkan bantuan berupa dorongan dari semua pihak, maka pada kesempatan ini tak lupa
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Abror Irsan, MMR, selaku koordinator penanggung jawab modul.
2. dr. WidiRahardjo, M.Kes dan dr. Iit Fitrianingrum selaku fasilitator.
3. Orang tua penulis yang selalu memberi semangat dan doa.
4. Teman-teman penulis yang telah memberi banyak saran dan dorongan bagi penulis.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Besar harapan kami agar laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembacanya. Namun demikian, seperti kata pepatah “ tak ada gading yang tak retak ”, kami
menyadari bahwa masih ada beberapa kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua. Amin.
Pontianak, 11Maret 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
Cover.................................................................................................................. i
Kata Pengantar................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
1.1. Pemicu............................................................................................. 4
1.2. Klarifikasi Definisi.................................................................... ..... 4
1.3. Kata Kunci...................................................................................... 4
1.4. Rumusan Masalah........................................................................... 5
1.5. Analisis Masalah............................................................................. 6
1.6. Hipotesis......................................................................................... 6
1.7. Learning Issue................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 8
BAB III STUDI KASUS.................................................................................... 29
BAB IV KESIMPULAN.................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 31
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PEMICU
Seorang laki-laki, 35 tahun datang ke RS karena badan makin lemas sejak 1 minggu
ini. Sejak satu bulan ini nafsu makan makin berkurang, meriang, dan menjadi kurus.
Pasien adalah pengguna narkoba suntik.
Pemeriksaan fisik: BB = 38 kg, TB = 160 cm, konjungtiva pucat, mata kuning, suhu
tubuh 38oC.
Data tambahan: SGOT = 135 U/L, SGPT = 180 U/L, bilirubin total = 4,8 mg/dl, Anti
HCV total (+), dan anti HIV (+).
1.2 KLARIFIKASI DAN DEFINISI
a. Konjungtiva : membran mukosa yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
berlanjut menutupi bagian depan bola mata kecuali kornea.
b. Meriang : berasa tidak enak badan karena kurang sehat; terasa agak demam.
1.3 KATA KUNCI
a. Pria 35 tahun
b. Badan lemas 1 minggu
c. Nafsu makan menurun, meriang, menjadi kurus 1 bulan
d. Pengguna narkoba suntik
e. Mata kuning
f. Demam suhu 38oC
g. Konjungtiva pucat
h. BMI = 14,84
1.4 RUMUSAN MASALAH
Pria 35 tahun pengguna narkoba suntik datang dengan keluhan lemas sejak 1 minggu
yang lalu, disertai nafsu makan yang menurun dan meriang sejak 1 bulan yang lalu.
Pemeriksaan fisik ditemukan BMI = 14,84, konjungtiva pucat, mata kuning, dan demam.
4
1.5 ANALISIS MASALAH
5
Pria 35 tahun
Anamnesis
a. Lemas
b. Meriang
c. Nafsu makan menurun
d. Pengguna narkoba suntik
Pemeriksaan
fisik
a. BMI = 14,84
b. Konjungtiva pucat
c. Mata kuning
d. Demam = 38oC
Penyakit gangguan hati
Fungsi normal?
a. Anatomi
b. Histologi
c. Fisiologi
d. Biokimia
Suspect: hepatitis akut DD: ikterus fisiologis
a. Etiologi klasifikasi
b. Epidemiologi
c. Patofisiologi
d. Faktor resiko (apakah
meningkatkan resiko
terkena HIV?)
e. Gejala
f. Diagnosis
g. komplikasi
a. definisi
b. Gejala klinis
c. Diagnosis
d. patofisiologi
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis Kerja
Tatalaksana Prognosis
1.6 HIPOTESIS
Pria 35 tahun suspect hepatitis akut dengan diagnosis banding ikterus fisiologis dan
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis.
1.7 LEARNING ISSUE
a. Hepar dan Vesica biliaris
1) Anatomi
2) Fisiologi
3) Histologi
4) Biokimia
b. Hepatitis akut
1) Hepatitis A
a) Definisi
b) Gejala klinis
c) Diagnosis
2) Hepatitis B
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Faktor resiko
f) Gejala klinis
g) Diagnosis
h) Komplikasi
3) Hepatitis C
a) Definisi
b) Etiologi
c) Epidemiologi
d) Patofisiologi
e) Faktor resiko
f) Gejala klinis
g) Diagnosis
h) Komplikasi
c. Ikterus Fisiologis
6
1) Definisi
2) Gejala klinis
3) Diagnosis
4) Patofisiologi
d. Studi kasus
1) Bagaimana mekanisme terjadinya lemas, demam, penurunan nafsu makan, dan
BB pada pasien tersebut?
2) Bagaimana faktor resiko penggunaan narkoba suntik menyebabkan keadaan
seperti kasus di atas?
3) Mengapa pada pasien tersebut konjungtiva memucat dan mata menguning?
4) Adakah kemungkinan pasien tersebut terkena HIV , jika ada
bagaimana HIV bisa menyebabkan penyakit seperti dikasus?
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HEPAR DAN VESICA BILIARIS
2.1.1 ANATOMI
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2 -1,8 kg atau
kurang lebih 25% berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar
kuadran kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan
fungsi yang sangat kompleks. Batas atas hati berada sejajar dengan ruang
interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke
iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah
transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat
mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta, dan
duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kava dan di balik
kandung empedu. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya
perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang
berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Pada daerah antara ligamentum falsiform
dengan kandung empedu di lobus kanan kadang-kadang dapat ditemukan
lobus kuadratus dan sebuah daerah yang disebut sebagai lobus kuadratus yang
biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan ligamentum venosum pada
permukaan posterior. Hati terbagi dalam 8 segmen dengan fungsi yang
berbeda. Pada dasarnya, garis Cantile yang terdapat mulai dari vena kava
sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan
dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relatif sedikit, kadang-kadang
dijadikan batas reseksi. Pembagian lebih lanjut menjadi 8 segmen didasarkan
pada aliran cabang pembuluh darah dan saluran empedu yang dimiliki oleh
masing-masing segmen. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Secara mikroskopis, di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli,
setiap lobules berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati berbentuk kubus
yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Di antara lembaran sel hati
terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan
arteri hepatica. Sinusoid dibatasi oleh sel fagositik (sel kupffer) yang
merupakan sistem retikuloendotelial dan berfungsi menghancurkan bakteri dan
8
benda asing lain di dalam tubuh, jadi hati merupakan salah satu organ utama
pertahanan tubuh terhadap serangan bakteri dan organ toksik. (Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009)
Selain cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika yang mengelilingi
bagian perifer lobulus hati, juga terdapat saluran empedu yang membentuk
kapiler empedu yang dinamakan kanalikuli empedu yang berjalan di antara
lembaran sel hati. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Sistem Bilier dan Kandung Empedu
Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus,
corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus merupakan bagian
terbesar dari kandung empedu. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya ke atas, belakang, dan kiri. Collum adalah bagian
yang sempit dari kandung empedu. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus
yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus
hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi
fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum
dengan permukaan visceral hati (Snell, 2002).
Pembuluh arteri kandung empedu adalah A. cystica, cabang A. Hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung
empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui
nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan A. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari
plexus coeliacus. Variasi anatomik misalnya double folded atau double twisted
sangat sering ditemukan, juga kandung empedu yang besar, non obstruktif,
sering dijumpai pada penderita alkoholisme atau diabetes melitus (Snell,
2002).
9
2.1.2 FISIOLOGI
Hati
Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta
yang menyuplai 75% dari suplai asinus memegang peranan penting dalam
fisiologi hati, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, protein, dan asam
lemak. Telah dibuktikan bahwa pada zona-zona hepatosit yang memperoleh
oksigenasi yang lebih baik mempunyai kemampuan glukoneogenesis dan
sintesis glutation yang lebih baik dibandingkan dengan zona yang yang tidak
memperoleh oksigenasi yang baik. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati
mengekskresikan empedu sebanyak 1 liter per hari ke dalam usus halus. Unsur
utama empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu. Walaupun bilirubin
(pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis
tidak mempunyai peran aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan
saluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan
cairan yang berhubungan dengannya.(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi
glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai
glukosa secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan
10
tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan
tenaga dan sisanya diubah menjadi glikogen (yang disimpan dalam otot) atau
lemak (yang disimpan dalam jaringan subkutan). (Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 2009)
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein
plasma berupa albumin (yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan
osmotik koloid), protrombin, fibrinogen, dan faktor bekuan lainnya. (Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Fungsi hati dalam metabolisme lemak adalah menghasilkan
lipoprotein, kolesterol, fosfolipid, dan asam asetoasetat.(Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2009)
Regenerasi Hati
Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap memiliki
daya untuk beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi
sudah terbatas, maka sekelompok sel pluripotensial oval yang berasal dari
duktulus-duktulus empedu akan berproliferasi sehingga terbentuk kembali sel-
sel hepatosit dan sel-sel bilier yang tetap memiliki kemampuan untuk
beregenerasi.(Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Kemampuan hati untuk beregenerasi setelah perlukaan jaringan atau
reseksi bedah sangat mencengangkan. Dari penelitian pada model binatang
ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari tikus dapat mengalami pembelahan
hingga kurang lebih 34 kali, atau memproduksi jumlah sel yang mencukupi
sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan demikian dapat dikatakan
sangatlah memungkinkan untuk melakukan hepatektomi hinggal 2/3 dari
seluruh hati. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Fungsi Imunologis
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Sel Kupffer, yang meliputi
15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit tubuh, merupakan sel
yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari luar
tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit. (Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, 2009)
Fisiologi Pembentukan Empedu
11
Salah satu fungsi dari hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600 dan 1000 ml/hari. Empedu melakukan dua fungsi penting:
( Guyton, 2007)
Pertama, empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan
absorbsi lemak bukan karena enzim dalam empedu yang menyebabkan
pencernaan lemak, tetapi karena asam empedu dalam empedu melakukan dua
hal: (1) asam empedu membantu emulsi partikel- partikel lemak yang besar
dalam makanan menjadi banyak partikel kecil, permukaan pertikel tersebut
dapat diserang oleh enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas, dan
(2) asam empedu membantu absorbsi produk akhir lemk yang telah dicerna
melalui membrane mukosa intestinal. ( Guyton, 2007)
Kedua, empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah. Hal ini terutama meliputi bilirubin,
suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol.
( Guyton, 2007)
Anatomi Fisiologis Sekresi Empedu
Empedu disekresikan melalui 2 tahap oleh hati:
Awalnya disekresi oleh sel hepatosit yang mengandung asam empedu,
kolesterol, dan zat- zat organic lainnya kemudian empedu disekresikan
kedalam kanalikuli biliaris kecil yang terletak di antara sel- sel hati.( Guyton,
2007)
Kemudian, empedu mengalir di dalam kanalikuli menuju septa
interlobularis, melalui ductus yang lebih besar, akhirnya mencapai ductus
hepatikus dan ductus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikeluarkan
kedalam duodenum atau dialihkan dalam hitungan menit/ jam melalui ductus
sistikus kedalam kantong empedu.( Guyton, 2007)
Fungsi Garam_ Garam Empedu pada Pencernaan dan Absorsi Lemak
Bekerja sebagai deterjen pada pertikel lemak dalam makanan untuk
mengurangi tegangan permukaan partikel dan memungkinkan agitasi dalam
tractus intestinal untuk mencegah tetesan- tetesan lemak menjadi bentuk kecil.
Proses ini disebut juga emulsifikasi/ fungsi deterjen. ( Guyton, 2007)
12
Membantu absorbsi asam lemak, monogliserida, kolesterol, dan lemak
dalam tractus intestinal, dengan cara membentuk kompleks- kompleks fisik
yang sangat kecil yang disebut micel, dan bersifat semi-larut didalam kimus
akibat muatan listrik dari garam empedu kemudian lemak usus diangkut
menuju mukosa usus kemudian diabsorbsi ke dalam darah. Empedu yang
direabsorbsi dalam darah dari usus halus, setentahnya didisfusi melalui
mukosa pda bagian awal usus halus, sisanya melalui transport aktif melewati
mukosa usus bagian distal ileum kemudian garam empedu memasuki darah
portal diteruskan kembali ke hati.( Guyton, 2007)
2.1.3 HISTOLOGI
Struktur Histologis Hepar
Hepar dibagi menjadi unit-unit berbentuk prisma polygonal
yang disebut lobulus, terdiri atas parenchyma hepar dengan
diameter 0,7—2 mm. pada potongan terlihat bahwa lobulus
berbentuk sebagai segi enam dengan pembuluh darah yang
terdapat di tengah,yang disebut vena sentralis. (Blomm, 2002)
Batas-batas lobulus pada hepar manusia tidak jelas
dipisahkan oleh jaringan pengikat. Pada sudut pertemuan
antara lobuli yang berdekatan terdapat bangunan jaringan
pengikat berbentuk segi tiga berisi saluran-saluran yang
disebut Canalis Portalis yang terdiri dari pembuluh darah,
pembuluh limfe, saluran empedu dan serabut saraf. Bangunan
segitiga ini disebut Trigonum Kiernanni.(Blomm, 2002)
13
Jika mengingat hepar sebagai kelenjar maka apa yang
disebut lobulus tadi tidak sesuai dengan lobulus pada kelenjar
yang pada umumnya mempunyai saluran keluar yang
terdapat di tengah-tengah lobulus. (Blomm, 2002)
Pembagian lobulus hepar tersebut merupakan
pembagian cara klasik yang mendasarkan atas aliran darah
yang mengalir dari tepi lobulus yang kemudian berkumpul di
tengah Vena Sentralis. Jika terjadi gangguan peredaran darah
akan terjadi perubahan-perubahan di daerah perifer lobulus
yang meluas ke pusat lobulus. (Blomm, 2002)
Elias pada tahun 1949 meyatakan bahwa parenchyma
hepar terdiri atas masa sel yang saling berhubungan dan
ditempati oleh suatu anyaman sinusoid. Sinusoid ini membagi
rangkaian sel-sel parenchyma hepar menjadi lembaran atau
lempeng-lempeng setebal satu sel. (Blomm, 2002)
Sel-sel hepar disebut pula hepatosit yang berbentuk
polyhedral. Sepanjang permukaan terdapat anyaman
canaliculi biliferi di seluruh lobuli hepatic yang pada sediaan
biasa tidak dapat dilihat dengan mikroskop karena canaliculi
tersebut sangat halus. Semua canaliculi akan bermuara di
cabang Duktus Biliferus di perifer lobulus hepatis.(Blomm,
2002)
Histofisiologi Vesica Fellea
Vesica fellea dipergunakan untuk menampung dan
menyimpan empedu yang dihasilkan oleh hepar terutama
pada waktu pencernaan lemak. Cairan empedu disalurkan dari
vesica fellea melalui ductus cholodochus ke dalam duodenum.
Hal ini disebabkan kontraksi otot-otot vesica fellea yang
dipengaruhi oleh hormon cholecystokinin yang ikeluarkan oleh
tunica mucosa usus dibawa melalui darah ke otot-otot vesica
fellea. (Blomm, 2002)
14
Terdapat pengangkutan aktif ion Na ke dalam celah-elah
iantara sel epitel vesica fellea yagn diikuti transpor air dari
cairan empedu ke dalam celah interseluler. Akibatnya cairan
empedu akan lebih pekat. (Blomm, 2002)
Sekresi mukus oleh kelenjar-kelenmjar yang terdapat
dalam collum. (Blomm, 2002)
Dinding Vesica Fellea
1. Tunica Mucosa
Bagian dinding ini mudah mengalami kerusakan post mortem, maka
pembuatan sediaan vesica fellea sangat sulit. Tunica mucosa melipat-lipat
membentuk rugae pada permukaan. Pada liatan yang besar akan terdapat
lipatan-lipatan yang lebih kecil. Lipatan-lipatan tersebut akan mendatar
apabila vesica fellea berisi penuh.(Blomm, 2002)
a) Epitel
Terdiri atas selapis sel silindris tanpa sel piala. Sel-selnya mempunyai
inti oval dengan bbutir-butir kromatin halus. Inti terdapat di bagian
basal sel. Pada permukaan sel terdapat banyak microvilli.
b) Lamina Propria
Sebagai jaringan pengikat di bawah pitel. Tidak diketemukan kelenjar
kecuali pada collum yang berbentuk tubulo alveolar dengan sel-sel
yang berbentuk kuboid jernih, dengan inti gelap terdesak ke basal.
Kelenjar ini menghasilkan mucus
2. Tunica Muscularis
Terdiri atas anyaman serabut-serabut otot polos yang berjalan sirkuler,
longitudinal dan menyerong dengan disertai serabut-serabut elastis.
(Blomm, 2002)
3. Tunica Perimuscularis
Merupakan jaringan pengikat agak padat yang membungkus seluruh
vesica fellea dan melanjutkan diri kedalam jaringn interlobular hepar. Di
dalamnya banyak mengandung serabut-serabut elastis dengan beberapa
15
fibroblast, sel lemak, sel limfoid, pembuluh darah, pembuluh limfe dan
serabut-serabut saraf. (Blomm, 2002)
4. Tunica Serosa
Bagian vesica fellea yang tidak menempel pada permukaan hepar
dibungkus oleh peritoneum yang melanjutkan diri membungkus hepar.
Peritoneum yang menutupi vesica fellea merupakan tunica serosa.
Vesicsa fellea pada collumnya melanjutkan diri sebagai ductus cysticus.
Pada permukaan dalamnya terlihat lipatan-lipatan yang disebut valvula
spiralis heister yang disebabkan karena penebalan sebagian dari tunica
mucularis luarnya.(Blomm, 2002)
2.1.4BIOKIMIA
Katabolisme heme menghasilkan bilirubin.
Dalam komdisi faali seorang dewasa sehat, setiap jam, 1-2 x eritrosit
dihancurkan. Oleh sebab itu dalam 1 hari seorang dengan berat badan 70 kg
mempertukarkan sekitar 6 gram hemoglobinnya. Jika hemoglobin
dihancurkan, globin akan diurai menjadi asam asam amino pembentuknya
yang kemudian dapat digunakan kembali, dan besi heme memasuki
kompartemen bebas besi ( juga untuk didaur ulang). Bagian porfirin yang
bebas besi juga di urai kan, terutama di sel retikuloendotel hati, limpa, dan
sumsum tulang. (Murray et al, 2009)
Katabolisme heme dari semua protein heme tampaknya dilaksanakan
di fraksi mikrosom sel oleh suatu system enzim komplek yang disebut heme
oksigenase. Pada saat heme yang berasal dari protein heme mencapai system
oksigenase, besi tersebut biasanya telah dioksidasi menjadi bentuk feri yang
membentuk hemin. Hemin diresukdi menjadi heme dengan NADPH, dan
dengan bantuan NADPH lain, oksigen ditambahkan ke jembatan α- metin
antara pirol dan II porfirin. Besi fero kembali dioksidasi menjadi bentuk feri.
Dengan penambahan oksigen lain, besi feri dibebaskan dan karbon monoksida
dihasilkan serta terbentuk biliverdin dari pemecahan cincin tetrapirol dalam
jumlah molar yang setara. (Murray et al, 2009)
Diperkirakan bahwa 1 g hemoglobin menghasilkan 35 mg bilirubin.
Suatu enzim larut yang dinamai biliverdin reduktase mereduksi jembatan
16
metin antara pirol III dan pirol IV ke gugus metal untuk menghasilkan
bilirubin. Bilirubin yang dibentuk di jaringan perifer diangkut kehati oleh
albumin plasma. Metabolisme bilirubin selanjutnya terjadi di hati. Metabolism
ini di bagi menjadi 3 proses : (1) peyerapan bilirubin oleh sel parenkim hati ;
(2) konjungasi bilirubin dengan glukuronat di reticulum endoplasma ; (3)
sekresi bilirubin terkonjungasi ke empedu.(Murray et al, 2009)
Hati menyerap bilirubin.
Bilirubin hanya sedikit larut dalam air, tetapi kelarutannya dalam plasma
meningkat oleh pembentukan ikatan non kovalen dengan albumin. Dalam 100
ml plasma, sekitar 25 mg bilirubin dapat terikat erat. Dihati bilirubin
dikeluarkan dari albumin dan diserap pada permukaan sinusoid hepatosit oleh
suatu system yang diperantarai oleh suatu system karier-perantara yang dapat
jenuh. System transport terfasilitasi memungkinkan tercapainya
keseimbangan antara kedua sisi membrane hepatosit, penyerapan netto
bilirubin bergantung pada pengeluaran bilirubin melalui jalur-jalur metabolik
berikutnya. (Murray et al, 2009)
Setelah masuk kedalam hepatosit, bilirubin berikatan dengan protein
sitosol tertentu yang membantu senyawa ini tetap larut sebelum dikonjugasi.
Ligandin dan protein Y adalah protein-protein yang berperan. Keduanya
membantu mencegah aliran balik bilirubin kedalam aliran darah.(Murray et al,
2009)
Konjungasi Bilirubin dengan Asam Glukoronat Terjadi di Hati.
Bilirubin bersifat nonpolar dan akan menetap disel ( mis terikat pada lipid )
jika todal dibuat larut air. Hepatosit mengubah bilirubin menjadi bentuk polar
yang mudah dieksresikan dalam empedu, dengan menambahkan molekul asam
glukoronat ke senyawa ini. Proses ini disebut konjugasi. Dan dapat
mengunakan molekul polar selain asam glukoranat ( mis asam sulfat ).(Murray
et al, 2009)
Konjungasi bilirubin dikatalis oleh suatu glukoronosiltransferrase yang
spesifik. Enzim ini terletak terutama di reticulum endoplasma, menggunakan
UDP-asam glukoronat sebagai donor glukuronosil, dan di sebut sebagai
bilirubin UGT. (Murray et al, 2009)
17
Bilirubin Dieksresikan ke dalam Empedu.
Sekresi bilirubin terkonjugasi kedalam empedu terjadi oleh suatu mekanisme
transpor aktif yang menentukan laju keseluruhan proses metabolism bilirubin
dihati. Protein yang berperan adalah MRP-2 (multidrug resistance-like protein
2) yang juga di sebut multispecific organic anion transporter (MOAT).
Protein terletak dimembran plasma kanalikulis empedu dan menangani
sejumlah anion organic. Protein ini merupakan family transporter ATP-binding
cassette (ABC).(Murray et al, 2009)
Bilirubin Terkonjungasi di Reduksi Menjadi Urobilinogen oleh Bakteri
Usus.
Sewaktu bilirubin terkonjungasi mencapai ileum terminal dan usus besar,
glukuronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus (β-glukuronidase), dan
pigmen tersebut kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok
senyawa tetrapirol tak berwarna yang disebut urobilinogen. Diileum terminal
dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen direabsorpsi dan diekskresi ulang
melalui hati sehingga disebut siklus urobilinogen enterohepatik.(Murray et al,
2009)
Pada keadaan normal, sebagian besar urobilinogen yang tak berwarna
dan dibentuk dikolon oleh flora feses mengalami oksidasi disana menjadi
urobilin (senyawa berwarna) dan diekskresi ditinja. Bertambah gelapnya tinja
ketika terkena udara disebabkan oleh oksidasi urobilinogen yang tersisa
menjadi urobilin. (Murray et al, 2009)
2.2 HEPATITIS A
2.2.1 DEFINISI
Penyakit Hepatitis A disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh kotoran/tinja
penderita biasanya melalui makanan (fecal - oral), bukan melalui aktivitas
seksual atau melalui darah. Hepatitis A merupakan jenis hepatitis paling
ringan dibanding hepatitis jenis lain (B dan C) dan dapat sembuh secara
spontan tanpa meninggalkan gejala sisa. Penyakit ini bersifat akut, hanya
menimbulkan gejala sekitar 1 sampai 2 minggu. (Price dan Wilson, 2005)
18
Etiologi (Penyebab)
Virus Hepatitis A (HAV). Virus ini sangat mudah menular, terutama melalui
makanan dan air yang terkontaminasi oleh tinja orang yang terinfeksi.
Kebersihan yang buruk pada saat menyiapkan dan menyantap makanan
memudahkan penularan virus ini. Karena itu, penyakit ini hanya berjangkit di
masyarakat yang kesadaran kebersihannya rendah.(Price dan Wilson, 2005)
2.2.2 GEJALA KLINIS
Penyakit Hepatitis A memiliki masa inkubasi 2 sampai 6 minggu sejak
penularan terjadi, barulah kemudian penderita menunjukkan beberapa tanda
dan gejala terserang penyakit Hepatitis A, antara lain:(Price dan Wilson, 2005)
1. Demam. Demam yang terjadi adalah demam yang terus menerus, tidak
seperti demam yang lainnya yaitu pada demam berdarah, tbc, thypus, dll
2. Ikterus (mata/kulit berwarna kuning, tinja berwarna pucat dan urin
berwarna gelap)
3. Keletihan, mudah lelah, pusing
4. Nyeri perut, hilang selera makan, muntah-muntah
5. Dapat terjadi pembengkakan hati (hepatomegali), tetapi jarang
menyebabkan kerusakan permanen
6. Atau dapat pula tidak merasakan gejala sama sekali
Hepatitis A dapat dibagi menjadi 3 stadium:
1. Stadium pendahuluan (prodromal) dengan gejala letih, lesu, demam,
kehilangan selera makan dan mual;
2. Stadium dengan gejala kuning (stadium ikterik);
3. Stadium kesembuhan (konvalesensi).
2.2.3 DIAGNOSIS
1. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
darah terhadap fungsi hati.
2. Pada pemeriksaan fisik, hati teraba lunak dan kadang agak membesar.
3. Untuk memastikan diagnosis dilakukan pemeriksaan enzim hati, SGPT,
SGOT.
19
4. Tes serologi untuk mengetahui adanya immunoglobulin M (IgM)
terhadap virus hepatitis A digunakan untuk mendiagnosa hepatitis A
akut.
(Price dan Wilson, 2005)
Penatalaksanaan
Virus hepatitis A biasanya menghilang sendiri setelah beberapa minggu.
Namun, untuk mempercepat proses penyembuhan, diperlukan penatalaksanaan
sebagai berikut:(Price dan Wilson, 2005)
1. Istirahat
Bed rest pada fase akut, untuk kembali bekerja perlu waktu berangsur-
angsur.
2. Diet
a. Makanan disesuaikan dengan selera penderita
b. Diberikan sedikit-sedikit
c. Dihindari makanan yang mengandung alkohol atau hepatotoksik
3. Medikamentosa (simtomatik)
a. Analgetik – antipiretik, bila demam, sakit kepala atau pusing
b. Antiemesis, bila terjadi mual/muntah
c. Vitamin, untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan nafsu makan
Pencegahan
1. Menjaga kebersihan perorangan seperti mencuci tangan dengan teliti.
2. Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi
imunoglobulin. Imunisasi hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk
sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin hepatitis B
(Twinrix). Imunisasi hepatitis A dilakukan dua kali, yaitu vaksinasi
dasar dan booster yang dilakukan 6-12 bulan kemudian, sementara
imunisasi hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu bulan dan 6
bulan kemudian. Imunisasi hepatitis A dianjurkan bagi orang yang
potensial terinfeksi seperti penghuni asrama dan mereka yang sering
jajan di luar rumah.
(Price dan Wilson, 2005)
20
Prognosis
Perawatan yang legeartis prognosis baik.(Price dan Wilson, 2005)
2.3 HEPATITIS B
2.3.1 DEFINISI
Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang hati dan
menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Penyakit ini dapat menjadi
kronis dan akhirnya menjadi kanker hati.(Price dan Wilson, 2005)
Adapun beberapa hal yang menjadi pola penularan antara lain
penularan dari ibu ke bayi saat melahirkan, hubungan seksual, transfusi darah,
jarum suntik, maupun penggunaan alat kebersihan diri (sikat gigi, handuk)
secara bersama-sama.(Price dan Wilson, 2005)
2.3.2 ETIOLOGI
Virus Hepatitis B (VHB). (Price dan Wilson, 2005)
2.3.3 EPIDEMIOLOGI
Semua usia. (Price dan Wilson, 2005)
MenurutBrasher, 2008, penyakit hepatitis inimenginfeksi:
a. 2 miliar orang di duniaterinfeksi HBV
b. Lebihdari 1 juta orang di AmerikaSerikatmenderitainfeksi HBV kronis;
prevalensikeseluruhaninfeksi HBV 0,5% sampai 1%
tetapilebihbesarlagipadapopulasi Alaska dan orang
AmerikaketurunanAfrika
c. Kelompokprevalensitinggi lainnyameliputipenggunaanobatintravena (IV),
generasipertamaimigrandaridaerah endemic seperti Asia Tenggara, pria
yang berhubunganseksualdenganpria,
kontakperalatanrumahtanggadanpasanganseksualpembawa HBV,
heteroseksualdenganbanyakpasangan, orang yang memerlukan
hemodialysis, pasien di institusiperawatan, dan tenaga kesehatan.
d. Insidensitelahmenurunhampir 50% selama 10 tahunterakhir (di USA,
vaksinasiuntuk Hepatitis B direkomendasikanuntuksemuabayi).
21
e. Risikomenderita HBV
kronisbervariasisecaraterbalikdenganusiasaatterkenainfeksi (90% bayi
yang terinfeksisaatlahirakanmenjadipembawa; sekitar 5%
menjadipembawabilainfeksimengenaianak yang berusialebihdari 5 tahun).
Prialebihbanyak terkenadariwanita; usiapuncak 10 sampai 29 tahun.
f. Alcohol adalah kofaktor terjadinya penyakit kronis
g. Tidakadafaktorrisiko yang diketahuipada 30% sampai 40% kasus.
h. Transmisi virus disebarkansecara parenteral
melaluidarahatauprodukdarah, kontakseksual, ataupajanan prenatal.
(Brasher, 2008)
2.3.4 PATOFISIOLOGI
Secara jelas masih belum diketahui, tapi beberapa bukti menunjukkan adanya
mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core
(protein struktural) dicurigai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu
berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan
dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis (Sudoyo, 2009).
Patofisiologi dari hepatitis terutama disebabkan oleh reaksi
imunologis, reaksi sel T sitotoksik spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHB pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan
melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetik VHB sehingga kerusakan sel hati berjalan
terus menerus (Sudoyo, 2009).
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi
lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel
yang khas ini sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quiscent) kemudian
berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif
dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat
timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti
sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada
22
semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan
sirosis hati (Sudoyo, 2009).
2.3.5 FAKTOR RESIKO
Hepatitis B adalah penyebab utama dari hepatitis kronis dan
karsinoma hepatoseluler di dunia, dengan masa inkubasi 45-
160 hari, dengan rata-rata 100 hari. Hal-hal yang dapat
menyebabkan anda terinfeksi heatitis B antara lain :
a. Berhubungan seks dengan orang yang terinfeksi tanpa
kondom.
b. Berbagi jarum untuk menyuntikkan narkoba.
c. Mentato atau menindik di bagian tubuh dengan alat-alat
kotor yang digunakan dengan orang lain.
d. Tertusuk jarum yang terkontaminasi dengan darah yang
terinfeksi
e. Bertukar sikat gigi atau pisau cukur dengan orang yang
terinfeksi.
f. Perjalanan ke negara dimana hepatitis B adalah umum
(adalah mungkin untukmelakukan perjalanan ke daerah-
daerah endemik merupakan faktor risiko utama, namun
fakta sederhana ini sendiri tidak menentukan bahwa orang
itu menular, jika Anda memiliki perawatan yang tepat.)
g. Ibu yang terinfeksi dapat menularkan hepatitis B kepada
bayinya pada saat itu lahir atau melalui ASI.
h. Transfusi darah yang terkontaminasi
(Soemoharjo, 2008)
2.3.6 GEJALA KLINIS
Gejala-gejala prodormal timbul pada semua penderita dan dapat berlangsung
selama satu minggu atau lebih sebelum timbul ikterus (meskipun tidak semua
pasien akan mengalami ikterus) yang di bagi dalam tiga stadium yaitu: (Price
dan Wilson, 2005)
23
a. Stadium pra ikterik
Pada stadium ini berlangsung selama 4-7 hari klien mengeluh sakit kepala,
lemah, anoreksia, mual dan muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di
perut kanan atas, urine menjadi lebih coklat.
b. Stadium ikterik
Stadium ini berkembang selama 3-6 minggu, ikterik mula-mula terlihat pada
sclera. Kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang tetapi
klien masih lemah, anoreksia dan muntah, tinja mungkin berwarna kelabu atau
kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
c. Stadium post 1 (rekovalensi)
Pada stadium ini ikterik mereda, warna urin dan tinja normal lagi,
penyembuhan pada anak lebih cepat dari pada orang dewasa yaitu pada akhir
bulan kedua karena penyebab yang biasanya berbeda. Banyak pasien
mengalami antralgia, arthritis, urtikaria, dan ruam kulit sementara. Terkadang
dapat terjadi glomerulonefritis. Manifestasi ekstra hepatic dari hepatitis virus
ini dapat menyerupai sindrom penyakit serum dan dapat disebabkan oleh
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Gejala hepatitis B kronik
Cenderung tidak tampak tanda-tanda seperti pada hepatitis B akut, sehingga
penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko (Price dan Wilson, 2005)
2.3.7 DIAGNOSIS
a. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan pemeriksaan
fisik.
b. Diagnosis pasti hepatatitis B dapat diketahui melalui pemeriksaan: HBsAg
(antigen permukaan virus hepatatitis B)
(Price dan Wilson, 2005)
Hepatitis B di diagnosis melalui tes darah yang mencari antigen
(pecahan virus hepatitis B)tertentu dengan antibodi (yang dibuat oleh
kekebalan system tubuh sebagai reaksi terhadap HBV). Tes darah awal untuk
diagnosis HBV mencari suatu antigen HbsAg (antigen permukaan atau
surface, hepatitis b) dan dua antibodi –anti-HBs (antigen terhadap antigen
24
permukaan HBV) dan anti –HBc (antibodi terhadap antigen bagian inti HBV).
Ada 2 anti HBc yaitu antibodi IgM dan IgG(Green, 2005).
HbsAg Anti HBc IgM Anti HBc IgG Anti HBs Status Hepatitis B
Negative Negative Negative Negative Tidak pernah terinfeksi.
Positive Positive Positive Negative Terinfeksi, kemungkinan dalam 6 bulan terakhir, masih aktif.
Negative Positive Positive Negative Terinfeksi, kemungkinan dalam 6 bulan terakhir, proses pemulihan.
Negative Negative Positive Positive Terinfeksi, kemungkinan terjadi lebih dari 6 bulan lalu dan dikendalikan secara sukses oleh system kekebalan tubuh.
Negative Negative Negative Positive Pernah di infaksinasi terhadap infeksi HBV.
Positive Negative Positive Negative Infeksi HBV kronis.
2.3.8 PENATALAKSANAAN DAN KOMPLIKASI
Penatalaksanaan
Penderita yang diduga Hepatitis B, untuk kepastian diagnosa yang ditegakkan
maka akan dilakukan periksaan darah (HbsAg positif). Setelah diagnosa
ditegakkan sebagai Hepatitis B, maka pengobatan untuk hepatitis B yaitu
pengobatan oral dan injeksi. (Price dan Wilson, 2005)
a. Obat Oral
25
1) Pemberian obat Lamivudine dari kelompok nukleosida analog, yang
dikenal dengan nama 3TC. Obat ini digunakan bagi dewasa maupun anak-
anak. Pemakaian obat ini cenderung meningkatkan enzim hati (ALT), untuk
itu penderita akan mendapat monitor bersinambungan dari dokter.
2) Pemberian obat Adefovir dipivoxil (Hepsera). Pemberian secara oral
akan lebih efektif, tetapi pemberian dengan dosis yang tinggi akan
berpengaruh buruk terhadap fungsi ginjal.
3) Pemberian obat Baraclude (Entecavir). Obat ini diberikan pada
penderita Hepatitis B kronik, efek samping dari pemakaian obat ini adalah
sakit kepala, pusing, letih, mual dan terjadi peningkatan enzim hati. Tingkat
keoptimalan dan kestabilan pemberian obat ini belum dikatakan stabil.
b. Injeksi/Suntikan
Pemberian suntikan Microsphere yang mengandung partikel radioaktif
pemancar sinar ß yang akan menghancurkan sel kanker hati tanpa merusak
jaringan sehat di sekitarnya. Injeksi Alfa Interferon (dengan nama cabang
INTRON A, INFERGEN, ROFERON) diberikan secara subkutan dengan
skala pemberian 3 kali dalam seminggu selama 12-16 minggu atau lebih. Efek
samping pemberian obat ini adalah depresi, terutama pada penderita yang
memilki riwayat depresi sebelumnya. Efek lainnya adalah terasa sakit pada
otot-otot, cepat letih dan sedikit menimbulkan demam yang hal ini dapat
dihilangkan dengan pemberian paracetamol.
Pencegahan
1. Tidak berganti-ganti pasangan sex
2. Penggunaan jarum suntik hanya untuk sekali pakai
3. Vaksin Hepatitis B, terutama pada orang-orang yang beresiko tinggi
terkena virus ini, seperti mereka yang berprilaku sex kurang baik (ganti-ganti
pasangan/homosexual), pekerja kesehatan (perawat dan dokter) dan mereka
yang berada didaerah rentan (banyak kasus Hepatitis B).
(Price dan Wilson, 2005)
Prognosis
26
Hepatitis B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik
(menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.(Price dan
Wilson, 2005)
2.4 HEPATITIS C
2.4.1 DEFINISI
Hepatitis C adalah peradangan pada hati yang disebabkan olhe virus hepatitis
C (VHC). Infeksi virus ini dapat menyebabkan peradangan hati yang bersifat
asimptomatik (tidak bergejala), apabila infeksi berlanjut akan menyebabkan
sirosis hati dan kanker hati. Virus hepatitis C menyebar melalui kontak
darah-ke-darah dari darah orang yang terinfeksi. Diperkirakan 150-200 juta
orang di seluruh dunia terinfeksi VHC. Walaupun sudah ditemukan vaksin
pada hepatitis A dan B, tidak ada vaksin yang dibuat untuk hepatitis C.
(Prince dan Wilson, 2005)
2.4.2 ETIOLOGI
Virus Hepatitis C (HCV). (Price dan Wilson, 2005)
2.4.3 EPIDEMIOLOGI
Semua usia. (Price dan Wilson, 2005)
Menurut Brasher, 2008, penyakit hepatitis ini menginfeksi:
a. 3,9 juta orang Amerika terinfeksi HCV; prevalensinya jauh lebih tinggi di
Asia dan Timur Tengah
b. HCV merupakan infeksi menular melalui darah yang paling umum di USA,
dan melebihi sirosis alkoholik sebagai penyebab penyakit heparkronis yang
dominan di Negara ini.
c. HCV berhubungan dengan penggunaan obat IV, transfuse berulang,
individu dengan cedera jarum suntik, penderita hemophilia, orang yang
memerlukan dialysis, tenaga kesehatan, penderita infeksi HIV, pasien
transplantasi hepar dan ginjal, kontak alat rumah tangga dan kontak seksual
dengan orang yang terinfeksi secara kronis.
27
d. Alcohol merupakan kofaktor untuk pembentukan dan perkembangan
penyakit kronis.
e. Tidak ada faktor risiko yang diketahui pada 40% kasus.
f. Menyebar secara inokulasi parenteral langsung, kontak seksual,
transplantasi organ terinfeksi, atau pajanan perinatal.
g. Secara keseluruhanada 130 negara dimana yang melaporkan terinfeksi
HCV. Data di Indonesia, pravelensi HCV berkisar antara 0,5-3,4%
menunjukkan sekitar 1-7 juta penduduk Indonesia mengindap infeksi virus
C. Di Asia, infeksi HCV diperkirakan bervariasi dari 0,3% di Selandia Baru
sampai 4% persen di Kamboja. Data di daerah Pasifik diperkirakan sekitar
4,9%. Di Timur Tengah angka yang pernah dilaporkan adalah 12% pada
beberapa pusat penelitian (Hernomo K, 2003)
h. Transmisi HCV terjadi terutama melalui paparan darah yang tercemar.
Paparan ini biasanya terjadi pada penggunaan narkoba suntik, transfuse
darah (sebelum 1992), pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi,
praktek medis yang takaman, paparan okupasional terhadap darah yang
tercemar, kelahiran dari ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan
orang yang terinfeksi, perilaku seksual resiko tinggi dan kemungkinan
penggunaan kokain intranasal, di Amerika lebih dari 60% dari penderita
hepatitis C yang baru disebabkan oleh pemakaian obat-obatan intravena.
(Bals M, 2006, p.250) Virus ini baru-baru ini ditemukan sebagai penyebab
utama hepatitis non A, non B yang diperoleh secara parenteral terutama
melalui transfuse darah.
(Sacher RA, McPherson RA, 2000)
2.4.4 PATOFISIOLOGI
Secara jelas masih belum diketahui, tapi beberapa bukti menunjukkan adanya
mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-sel hati. Protein core
(protein struktural) dicurigai dapat menimbulkan reaksi pelepasan radikal
oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu
berinteraksi pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan
dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis (Sudoyo, 2009).
Patofisiologi dari hepatitis terutama disebabkan oleh reaksi
imunologis, reaksi sel T sitotoksik spesifik yang kuat diperlukan untuk
28
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relatif lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan
melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak bisa menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan
terus menerus (Sudoyo, 2009).
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi
seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi
lainnya dan menyebabkan aktivasi sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel
yang khas ini sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quiscent) kemudian
berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif
dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat
timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti
sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel-sel hati yang ada
semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan
sirosis hati (Sudoyo, 2009).
2.4.5 FAKTOR RESIKO
a. Positif HIV
b. Melakukan suntikan obat-obatan terlarang
c. Pekerja layanan kesehatan yang sering melakukan kontak dengan darah
d. Melakukan tato atau tindik dengan alat yang tidak steril
e. Lahir dari Ibu dengan infeksi hepatitis C
f. Menerima pengobatan hemodialysis dalam waktu yang lama
g. Menerima transplantasi organ dan transfusi darah
h. Menerima konsentrat pembeku darah
Pencegahan
a. Hentikan penggunaan obat-obatan terlarang
b. Berhati-hati ketika melakukan tindik atau tato
c. Melakukan hubungan seksual dengan pengaman yang aman.
(Price dan Wilson, 2005)
29
2.4.6 GEJALA KLINIS
Gejala-gejala prodormal timbul pada semua penderita dan dapat
berlangsung selama satu minggu atau lebih sebelum timbul ikterus (meskipun
tidak semua pasien akan mengalami ikterus) yang di bagi dalam tiga stadium
yaitu: (Price dan Wilson, 2005)
a. Stadium pra ikterik
Pada stadium ini berlangsung selama 4-7 hari klien mengeluh sakit kepala,
lemah, anoreksia, mual dan muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di
perut kanan atas, urine menjadi lebih coklat.
b. Stadium ikterik
Stadium ini berkembang selama 3-6 minggu, ikterik mula-mula terlihat pada
sclera. Kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang tetapi
klien masih lemah, anoreksia dan muntah, tinja mungkin berwarna kelabu atau
kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
c. Stadium post 1 (rekovalensi)
Pada stadium ini ikterik mereda, warna urin dan tinja normal lagi,
penyembuhan pada anak lebih cepat dari pada orang dewasa yaitu pada akhir
bulan kedua karena penyebab yang biasanya berbeda. Banyak pasien
mengalami antralgia, arthritis, urtikaria, dan ruam kulit sementara. Terkadang
dapat terjadi glomerulonefritis. Manifestasi ekstra hepatic dari hepatitis virus
ini dapat menyerupai sindrom penyakit serum dan dapat disebabkan oleh
kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
HIV-Hepatitis C
Koinfeksi Hepatitis C-HIV sering ditemukan, mungkin hal ini
disebabkan karena penularan virus hepatitis C dan HIV terjadi
melalui jalur yang serupa yaitu melalui perantaraan cairan
tubuh. Prevalensi hepatitis C pada orang dengan HIV/AIDS
(Odha) secara keseluruhan adalah sekitar 40%, namun
terdapat variasi prevalensi pada masing-masing kelompok
risiko. Beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi yang
30
tinggi tertama ditemukan pada Odha yang merupakan
pecandu narkotika suntik yaitu sekitar 50-90%. (Wenang,
2008)
Studi EuroSIDA yang melibatkan 3048 Odha
menunjukkan bahwa 33% dari mereka terinfeksi Hepatitis C.
Sementara khusus pada Odha yang merupakan pecandu
narkotika suntik lebih dari 75% positif terinfeksi hepatitis C.
Data dari Laboratorium Imunologi Subbagian Hematologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Mei 2000-awal
Desember 2002 menunjukkan bahwa dari 199 Odha yang
merupakan pecandu narkotika suntik, 125 (62,8%) orang
terinfeksi Hepatitis C.(Wenang, 2008)
Koinfeksi hepatitis C dan HIV akan menjadi masalah
yang perlu mendapat perhatian yang serius mengingat
adanya tren peningkatan kasus HIV/AIDS yang tertular melalui
jarum suntik. Di satu kelurahan d Jakarta Pusat angkanya
bahkan mencapai 93%. (Wenang, 2008)
Replikasi virus Hepatitis C akan meningkat dengan
adanya infeksi HIV. Umumnya 20-30% orang yang terinfeksi
hepatitis C akan berlanjut menjadi sirosis dalam waktu 10-20
tahun. Adanya ko-infeksi dengan HIV akan menyebabkan
peningkatan insidens sirosis, juga akan menyebabkan interval
antara infeksi sampai terjadinya sirosis menjadi memendek.
Pengobatan HIV dengan HAART (High Active Anti Retroviral
Treatment) terbukti dapat menurunkan jumlah virus HIV dan
meningkatkan jumlah CD4, sehingga diasumsikan dapat pula
menahan laju progresifitas penyakit hepatitis C. Namun,
beberapa studi sampai saat ini belum dapat menunjukkan
efek pemberian HAART terhadap perjalanan penyakit Hepatitis
C. (Wenang, 2008)
31
Pengaruh infeksi hepatitis C terhadap perjalanan
penyakit HIV sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Beberapa studi yang telah dilakukan tidak menemukan
hubungan antara ko-infeksi hepatitis C dengan peningkatan
progresifitas penyakit infeksi HIV walaupun terdapat pula studi
yang menunjukkan peningkatan progresifitas akibat adanya
ko-infeksi dengan hepatitis C genotype 1. (Wenang, 2008)
Pengobatan terhadap infeksi HIV pada pasien dengan
infeksi hepatitis C membutuhkan perhatian khusus karena
adanya efek samping hepatotoksik dari obat antiretroviral.
Obat golongan inhibitor protease seperti indanavir atau
nelvinafir sebaiknya tidak digunakan. Pemeriksaan fungsi hati
harus lebih ketat dilakukan. (Wenang, 2008)
Apabila hepatitis C kronik harus diobati, maka
pengobatan infeksi hepatitis C dapat dilakukan pada pasien
dengan infeksi HIV terkontrol (CD4 >200 sel/mm3).
Pengobatan standar hepatitis C kronik saat ini adalah
kombinasi interferon-a / pegylatedinterferon dengan ribavirin.
Interaksi antara ribavirin dengan obat antiretroviral perlu
mendapat perhatian. Vaksinasi hepatitis A cukup aman,
adanya peningkatan risiko terjadinya hepatitis fulminan dan
walaupun terdapat penurunan imunitas pada pasien HIV tetapi
dua pertiganya ternyata mampu membentuk antibodi yang
protektif terhadap hepatitis A.(Wenang, 2008)
Penularan
Penularan Hepatitis C biasanya melalui kontak langsung
dengan darah atau produknya dan jarum atau alat tajam
lainnya yang terkontaminasi. Dalam kegiatan sehari-hari
banyak resiko terinfeksi Hepatitis C seperti berdarah karena
terpotong atau mimisan, atau darah menstruasi. Perlengkapan
pribadi yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan
32
virus Hepatitis C (seperti sikat gigi, alat cukur atau alat
manicure). Resiko terinfeksi Hepatitis C melalui hubungan
seksual lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih dari
satu pasangan.(Wenang, 2008)
Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang
terinfeksi Hepatitis C ke bayi yang baru lahir atau anggota
keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika sang ibu juga
penderita HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat
lebih memungkinkan. Menyusui tidak menularkan Hepatitis C.
(Wenang, 2008)
2.4.7DIAGNOSIS
1. Tes darah termasuk:
a. Antibodi terhadap virus C ( menunjukkan bahwa orang tersebut telah
terekspos pada virus ini sebelumnya, tetapi tidak menunjukkan apakah
virus ini masih ada di dalam darah – bayi yang dilahirkan oleh wanita
yang pernah menderita hepatitis C dapat mempunyai antibodi dari
ibunya pada kurang lebih tahun pertama hidupnya, tetapi ini tidak
berarti bahwa bayitersebut terinfeksi)
b. Tes asam nukleik, misalnya PCR (menunjukkan bahwa virus ini ada di
dalam darah)
c. Tes jumlah virus (menunjukkan berapa banyak virus ada di dalam
darah)
d. Tes genotipe (menujukkan jenis mana virus ada di dalam darah –
yangdapat membantu dalam merencanakan perawatan)
e. Tes fungsi hati, yang mungkin menunjukkan kerusakan hati pada saat
ini.
a. Biopsi hati (di mana sedikit hati diambil dan diperiksa dengan
mikroskop)menunjukkan jenis dan parahnya kerusakan hati dan
mungkin membantudalam merencanakan perawatan.
2. Tes Enzim Hati
33
Seperti dengan hepatitis A dan B, enzim hatiyang paling penting dipantau
adalah SGPT dan SGOT. Padakurang lebih dua pertiga orang dengan
hepatitis C kronis, tingkatSGPT terus-menerus tinggi, dan hal ini
menunjukkanpengrusakan terus-menerus pada sel hati. Namun untuk
sepertigaorang dengan hepatitis C kronis, tingkat SGPT tetap
normal.Banyak di antara orang ini akan hidup dengan infeksi HCV
tanpamasalah apa pun pada hati. Tetapi sebagian orang ini dengantingkat
SGPT yang normal bahkan rendah dapat mengalamikerusakan pada hati
yang terjadi pelan-pelan. Tingkat SGOT jugasering tinggi pada orang
dengan hepatitis C kronis. Namuntingkat SGOT biasanya lebih rendah
daripada tingkat SGPT. Bilasirosis terjadi, tingkat SGOT dapat naik di atas
tingkat SGPT –ini tanda bahwa kerusakan hati bertambah buruk.
(Price dan Wilson, 2005)
2.4.8KOMPLIKASI
Sirosis
Jika tidak diobati, hepatitis C kronis kadang-kadang dapat
menyebabkan parut pada hati (sirosis). Hal ini dapat
mengembangkan hingga 20 tahun setelah Anda pertama kali
terinfeksi.
Sejumlah faktor dapat meningkatkan risiko terkena sirosis,
seperti:
a. minum alkohol
b. memiliki diabetes tipe 2
c. tertular hepatitis C pada usia yang lebih tua
d. memiliki HIV atau jenis hepatitis lainnya, seperti
hepatitis B
Tergantung pada faktor-faktor, risiko sirosis dapat berkisar
dari 10% sampai 40%.
34
Gejala sirosis meliputi:
a. kelelahan dan kelemahan
b. kehilangan nafsu makan
c. berat badan
d. merasa sakit
e. sangat gatal kulit
f. nyeri atau sakit di sekitar hati
g. kecil garis merah (darah kapiler) pada kulit di atas
permukaan pinggang
h. penyakit kuning
Selain transplantasi hati, tidak ada obat untuk sirosis. Namun,
pengobatan dapat membantu meringankan beberapa gejala
sirosis dan mencegah kondisi dari memburuk.
Gagal Hati
Dalam kasus yang parah sirosis, hati kehilangan sebagian
atau seluruh fungsinya. Hati memiliki berbagai fungsi, seperti
penyaringan racun dari darah dan memproduksi sejumlah
hormon penting.
Hal ini dikenal sebagai kegagalan hati atau penyakit hati
stadium akhir. Kegagalan hati terjadi pada sekitar satu dari
lima orang dengan hepatitis sirosis terkait.
Gejala gagal hati termasuk:
a. rambut rontok
b. penumpukan cairan dalam, pergelangan kaki dan kaki
(edema)
35
c. penumpukan cairan di perut Anda yang dapat membuat
Anda terlihat sangat hamil (ascites)
d. dark urine
e. tinja berwarna hitam, atau tinja sangat pucat
f. sering mimisan dan gusi berdarah
g. kecenderungan untuk mudah memar
h. muntah darah
Setelah gagal hati telah terjadi, biasanya mungkin untuk
mempertahankan hidup selama beberapa tahun
menggunakan obat. Namun, transplantasi hati saat ini satu-
satunya cara untuk menyembuhkan gagal hati.
Kanker hati
Diperkirakan bahwa sekitar 1 dari 20 orang dengan hepatitis
sirosis terkait akan mengembangkan kanker hati.
Gejala kanker hati termasuk:
a. penurunan berat badan secara signifikan
b. merasa sakit
c. muntah
d. kelelahan
e. penyakit kuning
Hal ini biasanya tidak mungkin untuk menyembuhkan kanker
hati, terutama pada orang dengan sirosis, meskipun
kemoterapi dapat digunakan untuk memperlambat
penyebaran kanker.
Komplikasi lain
36
Komplikasi jarang lain dari hepatitis C kronis termasuk:
a. kekeringan pada mulut dan mata (yang disebabkan oleh
kerusakan kelenjar keringat, air liur dan air mata)
b. bercak kulit gatal (lichen planus)
c. pembengkakan di dalam ginjal (glomerulonephritis)
d. sensitivitas terhadap cahaya, menyebabkan lecet dan
borok pada kulit
e. kurang aktif kelenjar tiroid
f. kelenjar tiroid terlalu aktif
g. cryoglobulinemia (gangguan di mana protein abnormal
dapat merusak kulit, sistem syaraf dan ginjal)
h. non-Hodgkin (sejenis kanker yang mempengaruhi
sistem limfatik tubuh)
i. resistensi insulin dan diabetes
j. Penyakit kandung empedu
(http://www.nhs.uk/Conditions/Hepatitis-C/Pages/
Complications.aspx)
2.5 IKTERUS FISIOLOGIS
2.5.1DEFINISI
lkterus terjadi apabila terdapat bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan
pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 % menderita
ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Setiap
bayi dengan ikterus yang ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi
atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam.
Kemungkinan mengalami ikterus fathologis, dan bila kadar bilirubin > 5mg/dl,
ikterus akan terlihat dengan kasat mata. (Price dan Wilson, 2005)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi.
37
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebaik-baiknya
agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.(Price dan Wilson, 2005)
2.5.2 GEJALA KLINIS
Gejala Umum
Gejala yang paling umum dari penyakit kuning adalah:
a. menguningnya kulit, mata, dan selaput lendir (lapisan
sel lorong-lorong tubuh dan rongga, seperti mulut dan
hidung)
b. berwarna pucat tinja (feses)
c. urin berwarna gelap
Gejala Tambahan
Tergantung pada penyebab ikterus, pasien mungkin memiliki
sejumlah gejala tambahan.
Dalam kasus di mana penyakit kuning adalah hasil dari
infeksi, seperti hepatitis C, pasien mungkin memiliki gejala-
gejala seperti:
a. suhu tinggi (demam) dari 38 º C (100,4 º F) atau di atas
b. panas dingin
c. nyeri perut
d. gejala mirip flu, seperti otot dan nyeri sendi
Dalam kasus di mana penyakit kuning disebabkan oleh
kerusakan pada hati, seperti sirosis, gejala tambahan umum
termasuk:
a. penurunan berat badan
b. kulit gatal
Dalam kasus pasca-hati jaundice (di mana obstruksi,
seperti batu empedu, adalah mencegah empedu mengalir
keluar dari kantong empedu) gejala tambahan umum
termasuk:
38
a. Nyeri perut bagian atas
b. suhu tinggi
c. menggigil
(http://www.nhs.uk/Conditions/Jaundice/Pages/
Symptoms.aspx)
2.5.3DIAGNOSIS
Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan; Bilirubin serum
meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; Kadar bilirubin
serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl
pada bayi preterm; Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama
kehidupan, atau; Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl.Kemungkinan
patologis perlu dicari penyebabnya, untuk membedakan diagnosis ikterus ter-
gantung dari timbulnya kapan: (Price dan Wilson, 2005)
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama:
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut: Inkompatibilitas darah Rh, ABO
atau golongan lain; Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan
kadang-kadang bakteri); Kadang- kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Kadar bilirubin serum berkala; Darah tepi
lengkap; Golongan darah ibu dan bayi; Uji coombs; Pemeriksaan penyaring
defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
lkterus timbul biasanya ikterus fisiologis; Masih ada kemungkinan
inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga
jika peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam;
Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin Polisitemia; hemolisis perdarahan
tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-
lain); Hipoksia; Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain; Dehidrasi asidosis;
Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
39
Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Bila keadaan bayi baik dan peningkatan
ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan
kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan
pemeriksaan lainnya bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama
lkterus ini timbul biasanya karena infeksi (sepsis); Dehidrasi asidosis;
Difisiensi enzim G-6-PD; Pengaruh obat; Sindrom Criggler-Najjar; Sindrom
Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Ikterus ini timbul karena obstruksi, Hipotiroidisme, "breast milk jaundice",
Infeksi, Neonatal hepatitis, Galaktosemia, Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek)
berkala, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan penyaring G-6-PD, biakan
darah, biopsi hepar bila ada indikasi, pemeriksaan lainnya yang berkaitan
dengankemungkinan penyebab, dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru
dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya
tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang
menjadi 'kernicterus'.
2.5.4PATOFISIOLOGI
Kurang lebih 80 - 85 % bilirubin berasal dari penghancuran eritrosit tua.
Sisanya 15 - 20 % bilirubin berasal dari penghancuran eritrosit muda karena
proses eritropoesis yang inefektif di sumsum tulang, hasil metabolisme proein
yang mengandung heme lain seperti sitokrom P-450 hepatik, katalase,
peroksidase, mioglobin otot dan enzim yang mengandung heme dengan
distribusi luas. Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu
dari keempat mekanisme ini : Over produksi, Penurunan ambilan hepatic,
Penurunan konjugasi hepatic, Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu
(akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik). (Price
dan Wilson, 2005)
40
Over produksiPeningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel
darah merah yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan
meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan
hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan
autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi
hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus
hemolitik.Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin
tak terkonjugasi meningkat dalam darah. Karena bilirubin tak terkonjugasi
tidak larut dalam air maka tidak dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak
terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan urobilinogen meningkat yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine feces (warna
gelap).Beberapa penyebab ikterus hemolitik : Hemoglobin abnormal (cickle
sel anemia hemoglobin), Kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), Antibodi
serum (Rh. Inkompatibilitas transfusi), Obat-obatan.(Price dan Wilson, 2005)
Penurunan ambilan hepatik. Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein
penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam flavaspidat, novobiosin dapat
mempengaruhi uptake ini.(Price dan Wilson, 2005)
Penurunan konjugasi hepatikTerjadi gangguan konjugasi bilirubin
sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan
karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi pada : Sindroma
Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II. (Price dan
Wilson, 2005)
Penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi
intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)Gangguan ekskresi bilirubin
dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung
ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya
kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : reaksi
obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hati oleh alkohol. ikterus pada
trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan
Rotor, Ikterus pasca bedah.Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan
menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria.
41
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura
pasca peradangan atau operasi.(Price dan Wilson, 2005)
BAB III
STUDI KASUS
1) Bagaimana mekanisme terjadinya lemas, demam, penurunan nafsu makan dan
berat badan, pada pasien tsb?
Salah satu faktor di duodenum yang mempengaruhi laju pengosongan
lambung adalah lemak. Lemak dicerna dan diserap lebih lambat daripada nutrien lain.
Selain itu, pencernaan dan penyerapan lemak berlangsung hanya di dalam lumen usus
halus. Karena itu, ketika lemak sudah ada di duodenum, pengosongan lambung lebih
lanjut ke dalam duodenum terhenti sampai usus halus selesai memproses lemak yang
ada di dalamnya. Pada kenyataannya, lemak adalah perangsang paling kuat untuk
menghambat motilitas lambung. Hal ini jelas ketika anda membandingkan laju
pengosongan makanan tinggi lemak (setelah enam jam hidangan yang mengandung
daging berlemak plus telur mungkin masih ada di lambung) dengan makanan yang
banyak mengandung karbohidrat dan protein (hidangan dengan daging tanpa lemak
dan kentang mungkin sudah tidak ada lagi di lambung dalam tiga jam). Oleh karena
itu, bila pencernaan lemak terganggu akibat gangguan pada hati, proses pengosongan
lambung pun akan terhambat. Hal ini diakibatkan duodenum yang semakin lama
memproses lemak sehingga makanan dari lambung belum dapat diteruskan ke dalam
duodenum. Pasien pun menjadi tidak nafsu makan yang menyebabkan berat badan
menurun dan badan menjadi lemas. Terakhir, demam yang terjadi adalah akibat dari
proses inflamasi sebagai bentuk pertahanan tubuh terhadap virus hepatitis tersebut.
2) Bagaimana faktor resiko penggunaan narkoba suntik
menyebabkan keadaan seperti kasus di atas?
42
Seperti yang telah dijelaskan dalam etiologi maupun proses
penularan virus hepatitis c, dapat diambil kesimpulan bahwa
penggunaan narkoba jarum suntik merupakan satu diantara faktor
resiko tertularnya virus hepatitis c. Hal ini disebabkan karena
penularannya dapat melalui darah.
3) Mengapa pada pasien tersebut konjungtiva memucat dan
mata menguning?
Secara fisiologis, ikterus adalah pewarnaan jaringan tubuh menjadi
kekuning-kuningan, meliputi kekuning-kuningan pada kulit dan
jaringan dalam. Penyebab umumnya adalah adanya sejumlah besar
bilirubin dalam cairan ekstrasel baik yang bebas maupun yang
terkonjugasi. Konsentrasi bilirubin plasma normal, meliputi hampir
seluruhnya bentuk bebas, rata-rata 0,5 mg/dl plasma. Pada keadaan
normal tertentu, nilainya bisa meningkat sampai 40 mg/dl, dan
banyak dari tipe bilirubin ini adalah bentuk terkonjugasi. Kulit
biasanya mulai tampak kuning apabila konsentrasinya meningkat
menjadi kurang lebih 3 kali di atas normal yaitu di atas 1,5 mg/dl.
Penyebab dari ikterus yang umum adalah peningkatan
pemecahan sel darah merah, dengan pelepasan bilirubin yang cepat
ke dalam darah dan penyumbatan duktus biliaris atau kerusakan sel
hati sehingga bahkan jumlah bilirubin yang biasa sekalipun tidak
dapat dieksresikan ke dalam saluran pencernaan. Dua tipe ikterus
ini secara berturut-turut disebut sebagai ikterus hemolitik dan
ikterus obstruktif.
Keduanya berbeda satu sama lainnya dalam mekanisme
berikut:
a. Pada ikterus hemolitik, kelainan disebabkan oleh hemolisis sel
darah merah yang berlebihan dimana fungsi ekskresi tidak
terganggu, tetapi sel darah merah dihemolisis dengan cepat
sehingga sel hati tidak dapat mengekskresi bilirubin secepat
pembentukannya. Oleh karena itu, konsentrasi plasma bilirubin
bebas meningkat di atas nilai normal. Selain itu, kecepatan
43
pembentukan urobilinogen dalam usus meningkat dengan cepat
juga dan sebagian besar direabsorpsi ke dalam darah dan
akhirnya diekskresikan dalam urin.
b. Sedangkan pada ikterus obstruktif, kelainan disebabkan oleh
obstruksi duktus biliaris atau penyakit hati. Kerusakan hati pada
penyakit hepatitis tidak mengganggu kecepatan pembentukan
bilirubin normal, tetapi bilirubin yang dibentuk tidak dapat lewat
dari darah ke dalam usus. Bilirubin bebas masih masuk ke sel
hati dan dikonugasi dengan cara yang biasa. Bilirubin
terkonjugasi ini kemudian kembali ke dalam darah , mungkin
karena pecahnya kanalikuli biliaris yang terbendung dan
pengosongan langsung ke saluran limfe yang meninggalkan hati.
sehinga, bilirubin dalam plasma yang ditemukan adalah bilirubin
terkonjugasi.
4) Adakah kemungkinan pasien tersebut terkena HIV , jika ada
bagaimana HIV bisa menyebabkan penyakit seperti dikasus?
Ya, ada. Hal ini juga telah dibuktikan dengan tes laboratorium
yang menyatakan bahwa HIV (+). HIV dapat menyebabkan
terjadinya infeksi- infeksi oportunistik, artinya, ketika sistem imun
seseorang menjadi turun akibat aktivitas virus ini, maka infeksi-
infeksi lain dapat dengan mudah terjadi dalam tubuh orang
tersebut. Infeksi ini bisa disebabkan oleh banyak hal, contohnya
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, maupun virus. Ketika
mikroba tersebut menyerang salah satu organ tubuh, maka akan
menimbulkan penyakit pada orang tersebut tergantung organ mana
yang terinfeksi. Pada kasus ini, HIV menyebabkan penurunan sistem
imun pasien dan membuat virus hepatitis c dapat mudah masuk
dan menyerang tubuh pasien tersebut sehingga ia terkena penyakit
hepaatitis c.
44
BAB IV
KESIMPULAN
Pria 35 tahun mengalami hepatitis C. Riwayat perjalanan penyakit
diperburuk oleh penurunan daya tahan tubuh akibat infeksi virus HIV yang
mendahului.
45
DAFTAR PUSTAKA
Blomm,Flawcett. 2002. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC
Brasher, L. Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen.
Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2005. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
46
Green, W. Chris. 2005. Viral Hepatitis and HIV. USA: AIDS Community Research Initiative
of America (ACRIA).
Guyton, Arthur C., et al. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11. Jakarta: EGC.
Hernomo, K. 2003. PandanganTerkini Hepatitis Virus B dan C dalam Praktek Klinik.
Surabaya.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta kedokteran, edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Mescher, Anthony L. 2011. Histologi Dasar Junqueira: Teks dan Atlas, edisi 12. Jakarta:
EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, edisi 6. Jakarta: EGC.
Richard S. Snell. 2002. Anatomi Klinik, edisi 3. Jakarta : EGC.
Sacher, RA. McPherson, RA. 2000. Widman’s Clinical Interpretation of Laboratory Test.
Philadelphia: FA Davis Company.
Sari, Wenang. 2008. Care Your Self:Hepatitis. Jakarta : Penebar Plus
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Soemoharjo,Soewignjo. 2008. Hepatitis, edisi. 2. Jakarta: EGC.
47