FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS
SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh :
Suwoto
S860208032
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS
SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)
Disusun oleh:
Suwoto
S860208032
Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama/NIP Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Dr. Warto, M. Hum
NIP. 131633898
Pembimbing II Dr. Budhi Setiawan, M.Pd
NIP. 131809046
Mengetahui
Ketua Program Pendidikan Sejarah
Dr. Warto, M. Hum
NIP. 131633898
iii
FOLKLOR MENARA, MASJID, DAN MAKAM SUNAN KUDUS
SEBAGAI PENGAYAAN MATERI PEMBELAJARAN SEJARAH
(Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus)
Disusun oleh:
Suwoto
S860208032
Telah Disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. HB. Sutopo, M.Sc.,
M.Sc., Ph.D
NIP. 130444310
Sekretaris Dr. Suyatno Kartodirdjo
NIP. 130324012
Anggota Penguji 1. Dr. Warto, M. Hum
NIP. 131633898
2. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd
NIP. 131809046
Surakarta, April 2009
Mengetahui :
Direktur Ketua
Program Pascasarjana UNS Program Pendidikan Sejarah
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D
NIP 131472192
Dr. Warto, M.Hum
NIP 131633898
iv
PERNYATAAN
Nama : Suwoto NIM : S860208032
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus) adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Kudus, April 2009
Yang Membuat Pernyataan
Suwoto
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya maka tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mencapai gelar magister. Tesis ini disusun berdasarkan
penelitian dengan judul “Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
sebagai Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah
Nahdlatul Ulama Banat Kudus)”.
Ucapan terima kasih atas bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini,
penulis sampaikan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr. Sp. KJ, selaku Rektor Universitas Sebelas
Maret yang telah memberikan izin belajar di Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret;
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan untuk
melanjutkan studi di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta, dan membantu proses perizinan penelitian;
3. Dr. Warto, M. Hum selaku Ketua Program Pendidikan Sejarah Universitas
Sebelas Maret Surakarta, dan sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah
memberi motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis tentang isi,
sistematika, dan penggunaan bahasa dalam tesis ini;
4. Dr. Budhi Setiawan, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberi
motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis tentang isi, sistematika, dan
penggunaan bahasa dalam tesis ini;
vi
5. Semua Dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan
dukungan moral dan semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan di Pascasarjana UNS;
6. Deny Nur Hakim selaku Pengelola Yayasan Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus; Djupriyono selaku Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia dan
Sancaka Dwi Supani selaku Kasi Kebudayaan dan Kepurbakalaan Dinas
Pariwisata Kabupaten Kudus yang telah memberikan informasi tentang tempat
peninggalan sejarah tersebut;
7. Kepala Sekolah, Drs. Moh. Said serta Swidarto dan Azwar selaku guru
Sejarah MA NU Banat Kudus, yang telah memberikan informasi dan
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis;
8. Hj. Sri Rokhyati, istriku dan Tito Arizal Bintang, Rizki Putra Wicaksono,
Lazuardi Ulil Abshor, Zakiya Briliana Putri, anak-anakku tercinta yang telah
memberikan dukungan moral dan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana UNS;
Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya pendidikan sejarah di Indonesia.
Surakarta, April 2009
Peneliti
Suwoto
vii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ……………..……………………………………………………….. i
PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………………. ii
PENGESAHAN PENGUJI TESIS ………………………………………….. iii
PERNYATAAN …………………………………………………………….. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………… vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. xi
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xiii
ABSTRAK…………………………………………………………………… xiv
ABSTRACT ………………………………………………………………… xv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….. 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 7
1. Manfaat Teoretis …………………………………………. 7
2. Manfaat Praktis …………………………………………… 8
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PIKIR ………………………….. 9
A. Kajian Teori …………………………………………………… 9
1. Folklor …………………………………………………….. 9
a. Pengertian Folklor …………………………………….. 9
b. Ciri-Ciri Folklor………………………………………… 11
c. Bentuk-Bentuk Folklor ………………………………… 13
d. Kegunaan Folklor ……………………………………… 18
2. Sejarah …………………………………………………….. 19
a. Pengertian Sejarah dalam Pendidikan.......…………….. 19
viii
b. Tujuan Pendidikan Sejarah …………………………. 21
c. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Sejarah SMA……… 22
3. Materi Pembelajaran ………………………………………. 24
a. Pengertian Materi Pembelajaran ………………….. 24
b. Prinsip Pengayaan Materi Pembelajaran………… ……. 25
c. Langkah-langkah dalam Pengayaan Materi Pembelajaran
Sejarah …………………………………………………. 27
d. Cara Memanfaatkan Materi Pembelajaran Sejarah…….. 34
4. Pembelajaran Sejarah ……………………………………… 42
a. Hakekat Pembelajaran Sejarah ………………………… 42
b. Ciri-ciri Pembelajaran Sejarah ………………………… 43
c. Komponen Pembelajaran Sejarah……………………… 45
B. Kerangka Pikir ………………………………………………… 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 49
A. Setting Penelitian ……………………………………………… 49
B. Bentuk dan Strategi Penelitian………………………………… 49
C. Sumber Data…………………………………………………… 51
D. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………. 51
E. Teknik Cuplikan (Sampling) ………………………………….. 54
F. Validitas Data ………………………………………………… 56
G. Teknik Analisis Data ………………………………………… 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………… 60
A. Deskripsi Latar………………………………………………… 60
B. Sajian Data …………………………………………………….. 64
C. Pokok-Pokok Temuan Penelitian …………………………… 114
D. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………… .. 117
ix
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN………………………… 122
A. Simpulan ………………………………………………………. 122
B. Implikasi ………………………………………………………. 124
C. Saran…………………………………………………………… 126
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 127
LAMPIRAN .................................................................................................... 129
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Sejarah Kelas XI SMA, Semester 1 ………………………………… 24
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Skema Kerangka Pikir …………………………………………… 48
Gambar 2 Bagan Siklus Analisis Interaktif ………………………………… 58
xii
DAFTAR SINGKATAN
YM3SK : Yayasan Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
MSI : Masyarakat Sejarawan Indonesia
M3SK : Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
MA : Madrasah Aliyah (setingkat dengan SMA)
NU : Nahdlatul Ulama (Organisasi Massa Islam)
SK : Standar Kompetensi
KD : Kompetensi Dasar
RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Sejarah MA NU Banat ...... 129
Lampiran 2 Denah Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus ...................... 137
Lampiran 3 Potongan Menara Kudus .............................................................. 138
Lampiran 4 Ijin Penelitian ............................................................................... 139
xiv
ABSTRAK
Suwoto, S860208032. 2009. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai Pengayaan Materi Pembelejaran Sejarah (Studi Kasus di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus). Tesis: Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat Kudus; Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus; Kriteria kelayakan yang digunakan untuk mengetahui tentang folklor Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus yang dapat digunakan sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus; Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus; Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.
Penelitian ini dilaksanakan di MA NU Banat Kudus dan Kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Sumber data berasal dari informan dan dokumen. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam, observasi dan analisis dokumen. Sampling berasal dari purposive sampling dan validitas data diukur menggunakan triangulasi data dan triangulasi metode.
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat sangat beragam di mana makna filosofisnya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Makna filosofis ini dapat dijadikan materi pengayaan sejarah. Kriteria yang dipakai dalam menentukan kelayakan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat adalah folklor tersebut harus sesuai dan menunjang pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sejarah SMA/MA. Sebelum memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah memeriksa kesesuaian folklor tersebut dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sejarah SMA/MA. Kedua, menentukan cakupan materi yang dapat digunakan dalam pengayaan materi pembelajaran. Ketiga, menentukan urutan materi sehingga penyajian materi dapat berkesinambungan, koheren dan utuh sehingga mudah dipahami oleh siswa. Urutan materi menggunaan pendekatan prosedural. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah alokasi waktu yang sedikit dan kesulitan mendapatkan sumber informan yang dapat menjelaskan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara lengkap dan terpercaya.
xv
ABSTRACT
Suwoto, S860208032. 2009. Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus Folklore for Developing Instructional Learning (Case Study at Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus). Thesis: Post Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.
The aim of research are to describe : the kinds of Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore that issue in Kudus Society; the philosophical meaning of Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore to be used as developing instructional learning. And also to find out that Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus can be used to develop instructional learning. The research also describe the teacher manner and difficulsties to use Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus as instructional learning
The study is a descriptive qualitative research with case study approach taken place in MA NU Banat Kudus and Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus complex. The research used qualitative descriptive. The data source was obtained from the place and event, informant and document. The place and event of research is the learning implementation process occuring in the Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus. The data was then analyzed using an interactive analysis model including data reduction, data presentation, and conclusion drawing / verification.
The Result of research explain that Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore has vary version and its philosophical meaning can influence social aspects of Kudus society. This Philosophic meaning can be made to develop instructional learning of history. The reason why it can be used as instructional learning cause Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore support Standart Competence and Basical Competence of History at SMA/MA. Before them as instructional learning, teacher has to examine the folklore that suitable to SMA/MA to Standart Competence and Basical Competence. Then, teacher has to find out and get the matterial to develop instrunctional learning that suitable for the purpose. The last prosedure is to arrange matterial by using procedural approach so the instructional learning can be coheren, well organised, and complete so simple understanding by students. Teacher face difficulties to find out and arrange suitable and trusty informants that know presicely about Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus folklore to get matterial to develop instructional learning. Teacher also face difficulties to make students visit Menara, Masjid and Makam Sunan Kudus for searching and using them as instructional learning of history.
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang asal usul
dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan
metodologi tertentu. Pendidikan sejarah diberikan di tingkat sekolah dasar hingga
sekolah menengah karena pengetahuan masa lampau mengandung nilai-nilai
kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap,
watak dan kepribadian siswa.
Mata pelajaran sejarah telah diberikan pada tingkat pendidikan dasar
sebagai bagian dari mata pelajaran IPS, sedangkan pada tingkat pendidikan
menengah, mata pelajaran sejarah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri.
Mata pelajaran sejarah memiliki arti yang sangat strategis dalam pembentukan
watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia
Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, maka mata
pelajaran sejarah ini perlu disampaikan kepada siswa di sekolah dalam kegiatan
pembelajaran.
Pembelajaran sejarah merupakan sebuah sistem yang mengintegrasikan
berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
diinginkan. Pemilihan komponen-komponen dalam pembelajaran harus dipikirkan
dengan baik agar pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
Komponen-komponen pembelajaran harus saling mendukung dan melengkapi
1
xvii
untuk menghasilkan suatu proses pembelajaran yang bermakna dan mudah
dipahami oleh siswa. Materi pembelajaran diperlukan oleh guru untuk membantu
guru memberikan pengetahuan yang baru.
Pemilihan materi pembelajaran juga harus memperhatikan potensi daerah
yang ada. Karakteristik dan potensi daerah yang sesuai dengan kompotensi dasar
Mata Pelajaran Sejarah perlu dimasukkan dalam materi pembelajaran. Pemasukan
bahan materi pembelajaran yang sudah dikenal oleh siswa akan membantu
pembelajaran lebih bermakna sehingga tujuan pendidikan nasional dapat tercapai
secara maksimal.
Pembelajaran sejarah dimaksudkan agar siswa mengenal asal usul dirinya,
sehingga materi pembelajaran sejarah perlu memuat tentang cerita dan peristiwa
yang terjadi di daerah sekitarnya. Cerita dan peristiwa sejarah tersebut akan
memberikan pemahaman kepada siswa tentang dirinya dan pada akhirnya siswa
menjadi lebih arif dalam menyikapi kehidupan.
Warisan budaya masa lampau di suatu daerah memiliki berbagai manfaat,
antara lain: 1) menggali jati diri dan kepribadian daerah, 2) membangun
solidaritas sosial, 3) memberikan informasi tentang kejadian-kejadian, peristiwa-
peristiwa, asal usul suatu daerah sehingga dapat membangkitkan semangat untuk
berkreasi mengembangkan, 4) mempertahankan dan melestarikan budaya lokal
tersebut. Namun peninggalan sejarah ini belum digali secara optimal oleh
berbagai komponen pendidikan terutama ( guru, sekolah, Dinas Pendidikan).
Sehubungan dengan hal itu, pembelajaran sejarah dengan mengkaitkan
peristiwa masa lalu dengan kondisi/ konteks kehidupan nyata yang sedang dialami
xviii
adalah sesuatu yang tepat, karena tujuan dari pembelajaran sejarah adalah
menanamkan semangat dan cinta tanah air yang saat ini mulai memudar karena
pergantian generasi tidak diikuti dengan pendidikan kebangsaan yang siap. Suatu
contoh di Kabupaten Kudus banyak peninggalan sejarah dan kepurbakalaan,
utamanya pada masa transisi zaman agama Hindu dan Budha ke masa
berkembangnya agama Islam di pulau Jawa.
Folklor yang tersebar di Kudus sangat banyak sekali, khususnya di
wilayah kecamatan Kota. Menurut inventarisasi data peninggalan sejarah dan
purbakala Kabupaten Kudus di Kecamatan Kota terdapat puluhan folklor yakni :
Menara Kudus, Masjid Al-Aqso Kudus, Makam Sunan Kudus, Gapura
Padureksan Kidul Menara, Makam Pangeran Palembang, Makam Pangeran Puger,
Gapura Kembar, Masjid Langgar Dalem, Masjid Madureksan, Masjid Bubar,
Yoni/ Lumpang Batu Segi Empat, Lumpang Batu Persegi Panjang, Lingga,
Klenteng Hok Ling Bio, Sumur Tulak, Batu Lumpang, Masjid Jami’ Nganguk
Wali, Makam Kyai Telingsing, Pesarean Sidomukti, Pintu Gapura Sidomukti
(Ahfas Muntohar, 2007 : ix).
Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut menunjukkan demikian kayanya
kecamatan Kota akan folklor. Namun situs-situs tersebut baru sedikit sekali yang
dikenali seperti Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus, sedangkan yang
lainnya belum dikenali oleh siswa SMA/MA bahkan guru sejarah sekalipun.
Keadaan inilah yang dapat menjadikan keprihatinan bagi kalangan dunia
pendidikan karena kekurangpedulian dalam mengenali dan menggali folklor yang
ada dilingkungannya. Sedangkan apabila digali peninggalan-peninggalan tersebut
xix
dapat dimanfaatkan oleh guru sejarah untuk kepentingan pengayaan pembelajaran
khususnya sejarah. Selama ini masih belum maksimal dalam memanfaatkan
folklor karena pada saat mengunjungi lokasi folklor lebih ditekankan pada aspek
rekreasinya dari pada aspek belajar dan mengkaitkan pembelajaran sejarah dengan
peninggalan-peninggalan sejarah itu. Oleh karena itu, guru sejarah harus mampu
mengarahkan siswanya apabila mengunjungi lokasi folklor bukan hanya rekreasi
tetapi memanfaatkan sebagai sumber belajar agar para siswa lebih mengenal dan
memperoleh makna pembelajaran.
Kekayaan arkeologis yang ada di Kabupaten Kudus mengakibatkan
berkembangnya cerita rakyat yang beragam. Cerita yang berkembang di
masyarakat biasanya berkaitan dengan benda-benda bersejarah yang banyak
terdapat di Kudus. Cerita-cerita semacam ini dalam sejarah termasuk dalam
bagian folklor.
Folklor yang terkenal di masyarakat Kudus adalah folklor Menara,
Masjid, dan Makam Sunan Kudus. Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
terletak dalam satu kompleks dan termasuk peninggalan dari Sunan Kudus.
Folklor yang berkembang di masyarakat berkaitan dengan penyebaran agama
Islam di kota Kudus, khususnya Kudus Kulon yaitu daerah penyebaran agama
Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus.
Folklor yang berkembang di seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus memiliki versi yang beragam. Folklor ini mengandung berbagai pelajaran
hidup yang berasal dari kejadian di masa lampau yang ingin disampaikan kepada
generasi seterusnya dengan dikemas dalam cerita yang menarik.
xx
Folklor merupakan salah satu kekayaan kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan Indonesia mengandung makna dan nilai luhur. Kebudayaan
Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara dan
dibina, dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan
Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa,
mempertebal harga diri dan kebanggaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan
dan kesatuan bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita
bangsa di masa depan.
Folklor yang digali dari masyarakat setempat berfungsi untuk
mengungkapkan jati diri dan kepribadian masyarakat setempat, membangun
solidaritas sosial, memberikan informasi tentang kejadian-kejadian, peristiwa-
peristiwa, asal usul suatu daerah sehingga dapat membangkitkan semangat untuk
berkreasi mengembangkan, mempertahankan dan melestarikan folklor yang ada.
Pengayaan materi pembelajaran sejarah Madrasah Aliyah dengan
memanfaatkan cerita folklor tersebut akan memberikan makna yang mendalam
kepada siswa tentang asal-usul dan jati dirinya. Nilai yang terkandung dalam
folklor perlu diberikan kepada siswa dengan jalan memasukkan folklor Menara,
Masjid,dan Makam Sunan Kudus dalam materi pembelajaran.
MA NU Banat Kudus sebagai bagian dari sekolah/ madrasah yang berada
di wilayah kecamatan Kota perlu berupaya memanfaatkan folklor sebagai
pengayaan materi pembelajaran sejarah. Alasan yang mendasari folklor dijadikan
sebagai pengayaan materi sejarah karena MA NU Banat Kudus sebagai bagian
dari lembaga pendidikan Islam yang memiliki kepedulian untuk turut menggali
xxi
folklor yang ada di wilayah Kecamatan Kota karena situs-situs tersebut sebagian
besar adalah peninggalan jaman Indonesia Madya yang bercorakkan Islam.
Melalui pengayaan materi sejarah inilah dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan
untuk melindungi, melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan
kebudayaan daerah dan memperkaya kebudayaan nasional.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi permasalahan di atas,
penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang
berkembang di masyarakat Kudus?
2. Makna filosofis apa sajakah yang terkandung dalam folklor tentang Menara,
Masjid,dan Makam Sunan Kudus?
3. Apakah folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus dapat
dimanfaatkan sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA)
Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus?
4. Bagaimana guru memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di MA NU Banat Kudus?
5. Kendala apa saja yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,
Masjid, dan Makam Sunan Kudus dalam pembelajaran?
xxii
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
tentang:
1. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di
masyarakat Kudus.
2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan
Makam Sunan Kudus.
3. Kriteria kelayakan yang digunakan untuk menetukan folklor Menara, Masjid,
dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah
Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus.
4. Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi sejarah oleh guru di Madrasah Aliyah (MA)
Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus.
5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid,
dan Makam Sunan Kudus dalam pembelajaran.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran terhadap pengembangan dunia pendidikan pada umumnya dan
khususnya evaluasi pengayaan materi pembelajaran sejarah yang telah
xxiii
dilakukan di MA NU Banat Kudus dengan memanfaatkan folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Kepala madrasah,
Memberikan wawasan dan masukan kepada kepala MA NU Banat
Kudus tentang evaluasi pengayaan materi pembelajaran dengan
memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus di MA
NU Banat Kabupaten Kudus.
2. Guru
Memberikan wawasan dan masukan kepada guru sejarah MA NU
Banat Kudus tentang evaluasi pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus sebagai salah satu alternatif pengayaan materi
pembelajaran sejarah yang telah dilakukan guru sejarah sehingga dapat
digunakan sebagai pijakan untuk meningkatkan mutu pembelajaran
sejarah.
3. Siswa
Memberikan masukan kepada siswa untuk mengadakan evaluasi
tentang pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
sebagai salah satu alternatif pengayaan materi pembelajaran sejarah
sehingga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami nilai-nilai yang
terkandung dalam situs tersebut.
xxiv
BAB II
KAJIAN TEORI, KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
1. Folklor
a. Pengertian Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore,
kata dasarnya folk dan lore (James Danandjaja Dhanar Widianta (2008)
dalam http://www.titikoma.com/esai/duaversi_folklor_dan_levi-
strauss.php). Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa
Inggris folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari
dua kata dasar yaitu: folk dan lore. Menurut Dundes dalam Shodiq
Mustafa (2006: 18) folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari
kelompok-kelompok sosial lainnya. Lore merupakan tradisi dari folk, yaitu
sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat
(mnemonik device). Folklor adalah bagian dari kebudayaan yang
disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat.
Folklor secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan
suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun.
9
xxv
Di antara kolektif dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat
tradisional baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat bantu pengingat / mnemonik device. Folklor
biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam cerita
rakyat atau permainan rakyat pada umumnya. Folklor pada umumnya
mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif
misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial, dan
proyeksi suatu keinginan yang terpendam. Sebagai bentuk kebudayaan
milik bersama (kolektif) folklor bersifat pralogis yaitu logika yang khusus
dan kadang berbeda dengan logika umum. Penelitian tentang folklore
telah banyak dilakukan untuk berbagai macam tujuan, misalnya untuk
tujuan antropologi, pendidikan, bahasa, seni pertunjukan, sosiologi, dan
berbagai pranata sosial (Arif Budi Wurianto, 2007,
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm).
Menurut Djames Danandjaya (dalam Sumarno, 1996: 95) folklor
adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun temurun di antara kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-
temurun di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.
Shodiq Mustafa (2006:24) berpendapat folklor adalah istiadat
tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi
tidak dibukukan. Folklor adalah bagian dari sastra lisan yang berisi cerita
xxvi
kisah, adat istiadat keagamaan, upacara ritual dan pengetahuan rakyat
daerah tertentu yang diwariskan secara lisan dan turun temurun (I Wayan
Badrika, 2006 : 44). Folklor adalah tradisi lisan dari suatu masyarakat
yang tersebar atau diwariskan secara turun temurun.
b. Ciri-Ciri Folklor
Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan
lainnya, harus diketahui ciri-ciri pengenal utama folklor. Menurut
Sumarno (1996: 94) ciri-ciri pengenal itu, antara lain: 1) Warna kulit yang
sama, 2) Taraf pendidikan yang sama, 3) Bentuk rambut yang sama, 4)
Mata pencaharian yang sama, 5) Bahasa yang sama, 6) Kesenian yang
sama, 7) Agama yang sama, 8) Tradisi yang sama.
Ciri-ciri pengenal dari folk adalah kesadaran akan identitas
kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi dari folk, yaitu
sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan
atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat.
Tedi Sutardi (2007) dalam http://books.google.co.id/ books?id
berpendapat bahwa folklor memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :
1) Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu
contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu
pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
xxvii
2) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif
tetap dan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama
(paling sedikit dua generasi).
3) Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah
tentu karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi,
sehingga setiap anggota kolektif mengetahui folklor tersebut dan
menganggapnya milik bersama.
4) Folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama yaitu sebagai
alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang
terpendam.
Menurut James Danandjaya (1997: 3) bahwa ciri-ciri dari folklor
adalah sebagai berikut :
1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yaitu :
melalui tutur kata dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi.
2) Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar.
3) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan
penyebarannya secara lisan sehingga folklor mudah mengalami
perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.
4) Bersifat anonim, artinya pembuatannya sudah tidak diketahui lagi.
5) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya
misalnya. Menurut sahibul hikayat.......(menurut yang empunya cerita)
atau dalam bahasa Jawa, misalnya dimulai dengan kalimat anuju
sawijining dina (pada suatu hari).
xxviii
6) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya
berguna sebagai alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan
cerminan keinginan terpendam.
7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Ciri utama folklor lisan dan sebagian lisan.
8) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.
9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali
kelihatannya kasar dan spontan. Hal ini disebabkan banyak folklor
(cerminan) emosi manusia yang jujur.
c. Bentuk-Bentuk Folklor
Menurut Shodiq Mustafa (2006:10) membagi folklor ke dalam tiga
kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan dan
bukan lisan. Adapun masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Foklor lisan
Folklor lisan dikenal sebagai fakta mental (mentifact) yang
meliputi sebagai berikut:
a) Bahasa rakyat, seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu,
onomastis.
b) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa dan sindiran.
c) Pertanyaan tradisional yang dikenal sebagai teki-teki.
d) Sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair
e) Cerita prosa rakyat, yang terdiri : mite, legenda, dan dongeng.
f) Nyanyian rakyat, seperti Jali-jali, Olesio, Jamuran dan sebagainya.
xxix
2) Folklor sebagian lisan
Folklor dikenal sebagai fakta sosial (sosiofact) yang meliputi:
a) Kepercayaan dan takhayul
b) Permainan dan hiburan rakyat setempat.
c) Teater rakyat, seperti Lenong, Ketoprak, Ludruk.
d) Tarian rakyat, seperti tari Tayuban, Doger, Jaran Kepang dan
Ngibing.
e) Adat kebiasaan seperti gotong-royong dalam pembuatan jalan
rumah atau pesta slamatan, dan khitanan.
f) Upacara tradisional, seperti tinkeban, turun tanah, dan temu
manten.
g) Pesta rakyat tradisional, seperti bersih desa sesudah panen dan
selamatan.
3) Folklor bukan lisan
Folklor dikenal sebagai artefak (artifact) meliputi: sebagai
berikut: a) Arsitektur bangunan rumah tradisional, seperti : joglo di
Jawa, Rumah Gadang di Minangkabau, Rumah Betag di Kalimantan,
Menara, Masjid-Masjid Kuno, dan sebagainya; b) Seni kerajinan
tangan tradisional; c) Pakaian tradisional; d) Obat-obatan rakyat; e)
Alat-alat musik tradisional; f) Peralatan dan senjata khas tradisional;
g) Makanan dan minuman khas.
Menurut Brunvand (dalam Arif Budi Wurianto, 2007,
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) menyatakan bahwa folklor terdiri
xxx
atas mentifacts, sociofact dan artifacts. Secara teori folklor berkaitan
dengan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi (sistem
pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup),
sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.
Berdasarkan tujuh unsur kebudayaan universal tersebut maka folklor dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok besar yaitu folklor lisan, folklore
sebagian lisan, dan folklore bukan lisan (Arif Budi Wurianto, 2007,
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm).
Menurut James Dananjaya (1997: 21-22) folklor dapat dibedakan
menjadi tiga yaitu : folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan. Folklor
lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Folklor lisan terdiri dari
bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan
puisi rakyat, prosa rakyat dan nyanyian rakyat. Bahasa rakyat berupa logat
(dialect), seperti logat Sunda, logat Cirebon, logat Jawa, dan logat
Madura. Selain bahasa rakyat juga penggunaan gelar kebangsawanan atau
jabatan tradisional, seperti raden, mas, raden mas, raden panji, raden
tumenggung, raden ayu, raden ajeng dan sebagainya. Ungkapan
tradisional atau pribahasa adalah kalimat peribahasa seperti: siapa cepat,
siapa dapat, berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, buah yang manis
berulat di dalamnya, yang mengibaratkan orang yang bermulut manis
tetapi sesungguhnya busuk. Pertanyaan atau teka-teki adalah ungkapan
lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan dan
jawabannya harus diterka, seperti “makin lama berdiri, makin pendek ia
xxxi
menjadi,” jawabannya adalah lilin. Sajak atau puisi rakyat, yaitu
kesusastraan rakyat yang sudah memiliki bentuk tertentu dan biasanya
terjadi dari beberapa deret kalimat. Ada yang berwujud mantra,
peribahasa, sajak, pantun, sinom, kinanti, pangkur dan sebagainya. Cerita
prosa yang terdiri dari mitos, legenda, dan dongeng.
Folklor sebagian lisan, bentuknya merupakan gabungan unsur
lisan maupun bukan lisan. Folklor sebagaian lisan terdiri dari kepercayaan
rakyat, atau yang sering disebut takhayul, permainan rakyat yaitu
permainan rakyat kanak-kanak yang terdiri dari : berdasarkan gerak tubuh
seperti kejar-kejaran, sembunyi-sembunyian; matematika dasar, kecekatan
tangan seperti menghitung, dan melempar batu, dan sebagainya.
Folklor non lisan yaitu tradisi rakyat yang meninggalkan bentuk
material, seperti : arsitektur rakyat (prasasti, bangunan-bangunan suci),
kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tradisional, obat-obatan
tradisional dan makanan rakyat.
Sumarno (1996 : 97) membagi bentuk floklor menjadi tiga yaitu
folklor lisan, sebagian lisan dan bukan lisan. Folklor lisan dapat berupa
bahasa rakyat( seperti: a) Logat (dialek) seperti : bahasa Jawa,
Banyumasan, Betawi dan sebagainya; b) Julukan seperti si botak, dan si
pesek; c) Slang, bahasa rahasia kolektif seperti bahasa pencopet,
pemulung, remaja, dan sebagainya; d) Bahasa para pedagang, seperti
cepek (seratus), seceng (seribu), dan seterusnya; e) Sirkumlokusi, yaitu
ungkapan tidak langsung, misalnya apabila ketemu harimau di hutan,
xxxii
menyebutkan dengan istilah simbah (kakek); f) Cara pemberian nama
seseorang seperti nama kecil, nama setelah dewasa, nama setelah
memangku jabatan, dan pergantian nama selalu menderita sakit; g) Gelar
kebangsawanan atau jabatan tradisional, seperti raden, raden mas, andi,
teuku, ratu, ida bagus, anak agung dan sebagainya. Contoh jabatan
tradisional adalah kebayan, dukuh, penewu, dan sebagainya; h) Bahasa
bertingkat, seperti bahasa ngoko, krama, andep, dan krama inggil; i)
Anomatopoetis yaitu kata-kata yang dibentuk dengan mencontoh bunyi
atau suara alamiah seperti pating jlerit (bunyi orang berteriak-teriak),
pating jlegur (bunyi tembakan meriam); j) Anomastis adalah pemberian
nama berdasarkan legenda, misalnya Sunda, konon berasal dari kata Asu
munggah andha (anjing naik tangga), legenda Sangkuriang. Betawi konon
dari kata mambet tahi (berbau kotoran manusia), dari peristiwa
pembendungan Ciliwung zamannya Sultan Agung (1629), ungkapan
tradisional (seperti: seperti: a) Peribahasa yang lengkap kalimatnya,
seperti “Belum beranak sudah ditimang”; b) Peribahasa yang kalimatnya
tidak lengkap, seperti “dari Sabang sampai Merauke” ; c) Peribahasa
perumpamaan, contohnya “seperti telur di ujung tanduk” (keadaan yang
gawat); d) Ungkapan yang mirip dengan peribahasa “Koyo monyet keno
tulup” artinya menggambarkan orang yang bingung), pertanyaan
tradisional (seperti: a) Teka-teki yang pertanyaan dan jawabannya tidak
bertentangan, seperti: “binatang apa yang perutnya, kakinya, ekornya
semua di kepala” jawabannya kutu kepala; b) Teka-teki yang bertentangan
xxxiii
antara pertanyaan dan jawabannya ada unsur pertentangannya. Contoh :
punya telinga, tetapi tidak dapat mendengar (panci). Punya tangan tidak
dapat memegang, punya kaki tidak dapat berjalan dan sebagainya), sajak
dan puisi rakyat (yaitu kesusasteraan rakyat yang sudah tertentu
bentuknya biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang
berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata,
tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama), cerita prosa rakyat (dapat
dibedakan menjadi tiga golongan yaitu mite, legenda, dan dongeng).
Folklor sebagian lisan meliputi : kepercayaan rakyat permainan rakyat.
Folklor bukan lisan meliputi : makanan tradisional, pakaian tradisional
dan bangunan-bangunan.
d. Kegunaan Folklor
Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam
kehidupan bersama suatu kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat
pendidik, hiburan, protes sosial, dan proyeksi suatu keinginan yang
terpendam. Folklor mengungkapkan secara sadar atau tidak sadar
bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan
memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan
mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif
pendukungnya. Misalnya bagaimana norma-norma hidup dan perilaku
serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat Minangkabau melalui
pepatah, pantun, dan peribahasa. Demikian juga bagaimana norma-norma
hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat
xxxiv
Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat
(parikan, tembung seroja, sengkalan, dsb.), puisi rakyat, ragam seni
pertunjukan, lelucon, bahkan manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti
batik, wayang, tarian, dan sebagainya (Dhanar Widianta, 2008,
http://www.titikoma.com/esai/dua_versi_folklor_dan_levi-
strauss.php).
William R. Bascom (dalam Arif Budi Wurianto, 2007:
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) mengemukakan bahwa empat
fungsi utama folklor adalah : (a) sebagai sistem proyeksi yaitu alat
pencermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan
pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, dan
(d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat
dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Secara teori folklor berkaitan dengan
tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi (sistem pencaharian
hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.
2. Sejarah
a. Pengertian Sejarah dalam Pendidikan
Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah
tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa
lampau berdasarkan metode dan metodologi tertentu. Terkait dengan
pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pengetahuan masa
lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan
xxxv
untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak dan kepribadian
peserta didik.
Sejarah atau Ilmu Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat tentang
masa lampau atau suatu bidang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan
menuturkan riwayat masa lampau tersebut sesuai dengan metode-metode
tertentu yang dapat dipercaya (Sutiyah, 1991: 30).
Riwayat masa lampau sebagai objek studi sejarah, berkenaan
dengan peristiwa-peristiwa kehidupan manusia yang menyangkut segala
aspeknya. Dalam penuturan sejarah, peristiwa-peristiwa tadi diurutkan
sesuai periode-periode waktu secara kronologis. Dari analisa sejarah
tentang suatu gejala, suatu peristiwa atau suatu masalah, akan didapatkan
prediksi hal-hal tersebut pada masa yang akan datang, sehingga sedikit
banyak akan dapat memperhitungkan kecenderungannya di masa yang
akan datang.
Secara struktural Ilmu Sejarah dapat menjadi Sejarah Ekonomi,
Sejarah Kebudayaan, Sejarah Kesenian, Sejarah Politik, Sejarah Geografi
dan lain-lain. Penelitian dan pengkajian sejarah erat kaitannya dengan
kepurbakalaan, Antropologi, Ilmu Bahasa dan Geologi Sejarah (Sutiyah,
1991:91).
Menurut Poerwantana (dalam Nursid Sumaadmadja 2003:28)
pembelajaran sejarah adalah suatu sistem atau proses membelajarkan
siswa mengenai gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang
dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi
xxxvi
tafsiran dan analisis kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Sartono Kartodirjo (1992:59) pembelajaran sejarah adalah kegiatan dalam
membelajarkan pelbagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif pada
masa lampau.
b. Tujuan Pendidikan Sejarah
Tujuan pendidikan merupakan gambaran kondisi akhir atau nilai-
nilai yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan. Tujuan pendidikan
memiliki dua fungsi yaitu 1) menggambarkan kondisi akhir yang ingin
dicapai, 2) Memberikan arah dan cara bagi semua usaha atau proses
(Depdiknas , 2003: 11).
Sejalan dengan tujuan pendidikan tersebut, maka pembelajaran
sebagai suatu proses merupakan rangkaian kegiatan guru dalam rangka
membuat siswa belajar. Agar kegiatan belajar dan mengajar tercapai maka
perlu dirumuskan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran adalah suatu
deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa
setelah dilaksanakannya pembelajaran tersebut (Oemar Hamalik, 1997 :
109).
Dalam kurikulum KTSP disebutkan bahwa pembelajaran sejarah
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
a) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan
tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan
masa depan; b) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta
sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan
xxxvii
metodologi keilmuan; c) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan
peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban
bangsa Indonesia di masa lampau; d) Menumbuhkan pemahaman peserta
didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah
yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan
datang; e) Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah
air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik
nasional maupun internasional (Depdiknas, 2006 (b) : 3).
Muhammad Surya (2003 : 123) berpendapat tujuan pembelajaran
sejarah adalah menanamkan pemahaman tentang adanya perkembangan
masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa
kebangsaan dan rasa cinta tanah air serta bangga sebagai bangsa Indonesia
dan memperluas wawasan hubungan antarbangsa di dunia.
c. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Sejarah SMA
Ruang lingkup materi pembelajaran sejarah adalah suatu bahan
ajar yang akan diajarkan kepada siswa dalam mata pelajaran sejarah.
Materi pembelajaran sejarah terdiri dari seperangkat pengetahuan ilmiah
yang dijabarkan dalam kurikulum untuk disampaikan kepada siswa atau
dibahas dalam proses belajar mengajar sebagaimana telah ditetapkan
dalam kurikulum yang dijabarkan dalam Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD) Silabus, RPP dan indikator.
xxxviii
Sesuai dengan KTSP materi pembelajaran sejarah yang diajarkan
di SMA/ MA yang tertera pada silabus, ruang lingkup materi
pembelajarannya adalah sebagai berikut: 1) Prinsip dasar ilmu sejarah; 2)
Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia; 3) Perkembangan
negara-negara tradisional di Indonesia; 4) Indonesia pada masa
penjajahan; 5) Pergerakan kebangsaan; 6) Proklamasi dan perkembangan
negara kebangsaan Indonesia.
Menurut Nana Sudjana (1989 : 127) beberapa pertimbangan yang
perlu diperhatikan dalam mendapatkan bahan pelajaran yaitu : a) Bahan
harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan; b) Bahan yang ditulis
dalam perencanaan mengajar hanya garis besarnya saja; c) Menetapkan
bahan pengajaran harus sesuai dengan urutan tujuan artinya bahan yang
ditulis pertama bersumber dari tujuan yang pertama, bahan yang ditulis
kedua bersumber dari yang kedua dan seterusnya; d) Urutan bahan
hendaknya memperhatikan kesinambungan.
Sesuai dengan KTSP materi pembelajaran sejarah yang diajarkan
di SMA/ MA yang tertera pada pengembangan silabus, ruang lingkup
materi pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1) Prinsip dasar ilmu sejarah
2) Peradaban awal masyarakat dunia dan Indonesia
3) Perkembangan negara-negara tradisional di Indonesia
4) Indonesia pada masa penjajahan
5) Pergerakan kebangsaan
xxxix
6) Proklamasi dan perkembangan negara kebangsaan Indonesia
(Depdiknas, 2006 (b): 17).
Sesuai dengan kajian penelitian ini, maka ruang lingkup materi
yang akan dibahas adalah materi sejarah kelas XI semester I. Adapun
silabusnya disajikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sejarah Kelas XI SMA, Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Menganalisis perjalanan bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional
1.1 Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
1.2 Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
1.3 Menganalisis pengaruh perkembangan agama dan kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
1.4 Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
1.5 Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia
3. Materi Pembelajaran
a. Pengertian Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran (instructional materials) adalah kumpulan
dari berbagai dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus
dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah
ditentukan. Secara rinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari
xl
pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap
atau nilai (Depdiknas, 2006 (a) : 4).
Pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan
subjek didik/ pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan
atau dievaluasi secara sistematis agar subjek didik / pembelajar dapat
mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien
(Depdiknas, 2003 : 9). Sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang
mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa
lampau dalam kehidupan umat manusia (I Wayan Badrika, 2004 : 3).
b. Prinsip Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah SMA
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam materi
pembelajaran sejarah. Prinsip dalam pemilihan materi pembelajaran
sejarah harus berpedoman pada hubungan/ relevansi, konsistensi, dan
kecukupan ( Depdiknas, 2006 (a) : 7).
Prinsip relevansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran sejarah
hendaknya relevan atau ada keterkaitan/ hubungannya dengan pencapaian
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dituangkan dalam silabus.
Prinsip konsistensi artinya keajegan. Penentuan kompetensi dasar
yang harus dikuasai siswa seperti kemampuan memahami hakikat, ruang
lingkup, dan prinsip-pinsip dasar ilmu dan penelitian sejarah maka materi
yang diajarkan harus sesuai dengan kompetensi dasar tersebut.
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup
memadai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang
xli
diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu
banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar
kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan
membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk
mempelajarinya.
Sejalan dengan pendapat Depdiknas, Awan Sundiawan (2008
dalam http://AwanSudiawan.blog.net) menyatakan bahwa dalam
pengayaan materi pembelajaran harus memperhatikan beberapa prinsip
yaitu: kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan
(adequacy). Relevansi artinya kesesuaian. Materi pembelajaran
hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian
kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta
didik berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan
harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip atau pun jenis materi yang
lain. Konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus
dikuasai peserta didik ada empat macam, maka materi yang harus
diajarkan juga harus meliputi empat macam. Adequacy artinya
kecukupan. Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam
membantu peserta didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan.
Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika
terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan
xlii
mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum
(pencapaian keseluruhan SK dan KD).
c. Langkah-Langkah dalam Pengayaan Materi Pembelajaran Sejarah
Dalam materi sejarah prinsip yang harus dipegang guru adalah
kurikulum. Sesuai dengan kurikulum yang digunakan saat ini adalah
KTSP. Dalam KTSP akan dijabarkan melalui Silabus. Dari silabus
dijabarkan menjadi Standar Kompetensi (SK) dan menjadi Kompetensi
Dasar (KD), kemudian dijabarkan menjadi Rencana Pembelajaran (RP),
dijabarkan menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
dirumuskan menjadi indikator dan materi pembelajaran (Awan
Sundiawan, 2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).
Dengan demikian dalam mengembangkan materi pembelajaran
sejarah perlu memperhatikan kurikulum, silabus, Standar Kompetensi
(SK), Kompetensi Dasar (KD), RP, dan RPP serta indikator pembelajaran
sejarah yang akan diajarkan kepada siswa. Agar dalam materi
pembelajaran sejarah sesuai dengan tujuannya maka guru perlu
mengetahui kriteria pemilihan materi pembelajaran yang tepat. Kriteria
pokok pemilihan materi pembelajaran harus berdasarkan pada Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Hal ini berarti bahwa
materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru kepada siswa
hendaknya berisikan materi pembelajaran yang benar-benar menunjang
tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Dengan kata lain,
xliii
pemilihan materi pembelajaran haruslah mengacu atau merujuk pada
standar kompetensi (Depdiknas, 2006 (a) : 10).
Setelah diketahui kriteria pemilihan materi pembelajaran,
sampailah pada langkah-langkah pemilihan materi pembelajaran sejarah
yang tepat. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan materi
pembelajaran meliputi pertama-tama mengidentifikasi aspek-aspek yang
terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi
acuan atau rujukan pemilihan materi pembelajaran. Langkah berikutnya
adalah mengidentifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Langkah ketiga
memilih materi pembelajaran sejarah yang sesuai atau relevan dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi.
Terakhir adalah memilih sumber materi pembelajaran (Awan Sundiawan,
2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).
Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan materi pembelajaran
menurut (Depdiknas, 2006 (a) : 10) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi
dan kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran
terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi
dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek
tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan
kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam
kegiatan pembelajaran. Setiap aspek standar kompetensi tersebut
xliv
memerlukan materi pembelajaran yang berbeda-beda untuk membantu
pencapaiannya.
2) Identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran. Menurut prosedur
Reigeluth dalam (Depdiknas, 2006 (a) : 10) identifikasi jenis-jenis
materi pembelajaran ditentukan melalui jenis aspek standar
kompetensi, yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Materi pembelajaran aspek kognitif secara rinci dapat dibagi menjadi
empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur. Materi jenis
fakta dapat berupa nama-nama objek, nama tempat, nama orang,
lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda,
dan lain sebagainya. Materi konsep berupa pengertian, definisi,
hakikat, inti isi. Materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat
adagium, paradigma, teorema. Materi jenis prosedur berupa langkah-
langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah
menyusun proposal penelitian sejarah, penyusunan laporan penelitian.
Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pemberian respon,
penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian. Materi
pembelajaran aspek motorik terdiri dari gerakan awal, semi rutin, dan
rutin.
3) Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar. Dalam memilih jenis materi yang sesuai dengan
standar kompetensi yang telah ditentukan perlu memperhatikan
jumlah atau ruang lingkup yang cukup memadai sehingga
xlv
mempermudah siswa dalam mencapai standar kompetensi. Berpijak
dari aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah
diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah memilih jenis materi yang
sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi
dan kompetensi dasar tersebut. Materi yang akan diajarkan perlu
diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur,
afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan
mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru
akan mendapatkan kemudahan dalam cara mengajarkan dan
mengembangkannya. Setelah jenis materi pembelajaran teridentifikasi,
langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai
dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai
siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran penting untuk keperluan
mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan
strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem
evaluasi/penilaian yang berbeda-beda (Awan Sundiawan, 2008 dalam
http://AwanSudiawan.blog.net).
4) Memilih sumber pembelajaran sejarah. Setelah jenis materi ditentukan
langkah berikutnya adalah menentukan sumber pembelajaran.
Sumber pembelajaran sejarah merupakan tempat di mana
bahan ajar dapat diperoleh. Dalam mencari sumber
pembelajaran, siswa dapat dilibatkan untuk mencarinya.
Misalnya, siswa ditugasi untuk mencari koran, majalah, hasil
xlvi
penelitian, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan prinsip
pembelajaran siswa aktif (CBSA). Berbagai sumber dapat kita
gunakan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari setiap
standar kompetensi dan kompetensi dasar. Adapun sumber-
sumber sejarah adalah sebagai berikut: Buku teks, laporan hasil
penelitian, jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah),
Pakar bidang studi, professional, buku kurikulum, penerbitan berkala
seperti harian, mingguan, dan bulanan, internet, media audiovisual
(TV, Video, VCD, kaset audio), lingkungan ( alam, sosial, seni
budaya, teknik, industri, ekonomi). Dalam menyusun rencana
pembelajaran berbasis kompetensi, buku-buku atau terbitan tersebut
hanya merupakan bahan rujukan. Artinya, tidaklah tepat jika hanya
menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber
pembelajaran. Oleh karena itu guru perlu mengembangkan materi
pembelajaran dengan menggunakan sumber yang relevan sehingga
siswa mencapai kompetensi yang diharapkan.
5) Penentuan cakupan dan urutan materi pembelajaran sejarah. Masalah
cakupan atau ruang lingkup, kedalaman, dan urutan penyampaian
materi pembelajaran sejarah sangat penting untuk diperhatikan.
Ketepatan dalam menentukan cakupan, ruang lingkup, dan kedalaman
materi pembelajaran akan menghindarkan guru dari mengajarkan
terlalu sedikit atau terlalu banyak, terlalu dangkal atau terlalu
mendalam. Ketepatan urutan penyajian (sequencing) akan
xlvii
memudahkan bagi siswa mempelajari materi pembelajaran (Awan
Sundiawan, 2008 dalam http://AwanSudiawan.blog.net).
Adapun penentuan cakupan dan urutan materi pembelajaran
sejarah menurut Awan Sundiawan (2008 dalam http://AwanSudiawan.
blog.net) dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Penentuan cakupan materi pembelajaran sejarah. Dalam menentukan
cakupan atau ruang lingkup materi pembelajaran harus diperhatikan
apakah materinya berupa aspek kognitif (fakta, konsep, prinsip,
prosedur) aspek afektif, ataukah aspek psikomotorik, sebab nantinya
jika sudah dibawa ke kelas maka masing-masing jenis materi tersebut
memerlukan strategi dan media pembelajaran yang berbeda-beda.
Selain memperhatikan jenis materi pembelajaran sejarah perlu
memperhatikan prinsip-prinsip yang perlu digunakan dalam
menentukan cakupan materi pembelajaran yang menyangkut keluasan
dan kedalaman materinya. Keluasan cakupan materi berarti
menggambarkan berapa banyak materi-materi yang dimasukkan ke
dalam suatu materi pembelajaran, sedangkan kedalaman materi
menyangkut seberapa detail konsep-konsep yang terkandung di
dalamnya harus dipelajari/dikuasai oleh siswa. Prinsip kecukupan
(adequacy) atau memadainya cakupan materi dalam pengertian.
Cukup tidaknya aspek materi dari suatu materi pembelajaran akan
sangat membantu tercapainya penguasaan kompetensi dasar yang
telah ditentukan. Cakupan atau ruang lingkup materi perlu ditentukan
xlviii
untuk mengetahui apakah materi yang harus dipelajari oleh siswa
terlalu banyak, terlalu sedikit, atau telah memadai sehingga sesuai
dengan kompetensi dasar yang ingin dicapai.
b) Penentuan urutan materi pembelajaran sejarah. Urutan penyajian
(sequencing) materi pembelajaran sejarah sangat penting untuk
menentukan urutan mempelajari atau mengajarkannya. Tanpa urutan
yang tepat, jika di antara beberapa materi pembelajaran mempunyai
hubungan yang bersifat prasyarat (prerequisite) akan menyulitkan
siswa dalam mempelajarinya.
Menurut Depdiknas (2006 (a) : 13) materi pembelajaran yang
sudah ditentukan ruang lingkup serta kedalamannya dapat diurutkan
melalui dua pendekatan pokok , yaitu: pendekatan prosedural, dan
hierarkis. Adapun masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Pendekatan prosedural.
Urutan materi pembelajaran secara prosedural menggambarkan
langkah-langkah secara urut sesuai dengan langkah-langkah
melaksanakan suatu tugas. Misalnya langkah-langkah dalam
penyusunan proposal penelitian sejarah, langkah-langkah dalam
penyusunan laporan hasil penelitian sejarah.
2) Pendekatan hierarkis.
Urutan materi pembelajaran secara hierarkis menggambarkan urutan
yang bersifat berjenjang dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah.
xlix
Materi sebelumnya harus dipelajari dahulu sebagai prasyarat untuk
mempelajari materi berikutnya.
d. Cara Memanfaatkan Materi Pembelajaran Sejarah
Setelah menentukan langkah-langkah materi pembelajaran sejarah
dilaksanakan maka langkah berikutnya adalah menentukan cara
memanfaatkan materi pembelajaran sejarah tersebut. Menurut Hambali
(2003 : 3) Cara memanfaatkan materi pembelajaran sejarah mencakup :
strategi penyampaian materi pembelajaran oleh guru dan strategi
mempelajari materi pembelajaran oleh siswa. Adapun masing-masing
dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Strategi penyampaian materi pembelajaran sejarah oleh Guru
Strategi penyampaian sejarah oleh guru menurut Depdiknas
(2006a: 24) meliputi strategi urutan penyampaian simultan, strategi
urutan penyampaian suksesif, strategi penyampaian konsep, strategi
penyampaian materi pembelajaran prinsip, strategi mengajarkan/
menyampaikan materi aspek afektif. Adapun masing-masing dapat
diuraikan sebagai berikut:
a) Strategi urutan penyampaian simultan
Guru dalam menyampaikan materi pembelajaran sejarah
lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan dengan
penyampaian materi pelajaran secara simultan, materi secara
keseluruhan disajikan secara serentak, baru kemudian diperdalam
satu demi satu. Misalnya guru akan mengajarkan materi dengan
l
kompetensi dasar hakikat ruang lingkup dan prinsip-prinsip dasar
ilmu dan penelitian sejarah maka guru menyampaikan secara
keseluruhan terlebih dahulu kemudian baru setiap materi pokok
hakikat dan ruang lingkup sejarah, dasar-dasar penelitian sejarah,
dan jejak masa lampau disajikan secara mendalam (Depdiknas,
2006 (a): 24).
b) Strategi urutan penyampaian suksesif
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) Guru dalam manyampaikan materi
pembelajaran sejarah lebih daripada satu, maka menurut strategi
urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu
disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan
menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Misalnya,
guru menyampaikan materi pokok hakikat dan ruang lingkup
sejarah secara mendalam, kemudian dilanjutkan dasar-dasar
penelitian sejarah, dan jejak masa lampau. Setelah materi pokok
disampaikan secara mendalam guru kemudian mengajarkan materi
dengan kompetensi dasar hakikat ruang lingkup dan prinsip-
prinsip dasar ilmu dan penelitian sejarah secara keseluruhan.
c) Strategi penyampaian fakta
Menurut Depdiknas (2006a: 24) apabila guru harus
manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama
benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lambang
li
atau simbol, dan sebagainya) strategi yang tepat untuk
mengajarkan materi tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Sajikan materi fakta dengan lisan, tulisan, atau gambar.
Berikan bantuan kepada siswa untuk menghafal. Bantuan
diberikan dalam bentuk penyampaian secara bermakna,
menggunakan jembatan ingatan, jembatan keledai, atau
mnemonics, asosiasi berpasangan, dan sebagainya. Bantuan
penyampaian materi fakta secara bermakna, misalnya
menggunakan cara berpikir tertentu untuk membantu
menghafal. Sebagai contoh, untuk menghafal jenis-jenis
sumber belajar digunakan cara berpikir: Apa, oleh siapa,
dengan menggunakan bahan, alat, teknik, dan lingkungan
seperti apa? Berdasar kerangka berpikir tersebut, jenis-jenis
sumber belajar diklasifikasikan manjadi: pesan, orang, bahan,
alat, teknik, dan lingkungan. Bantuan mengingat-ingat jenis-
jenis sumber belajar tersebut menggunakan jembatan keledai,
jembatan ingatan (mnemonics) menjadi POBATEL (Pesan,
orang bahan, alat, teknik, lingkungan).
(2) Bantuan menghafal berupa asosiasi berpasangan (pair
association). Contohnya dalam menggali jejak-jejak masa
lampau nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan
atau Yunani. Yunan berasal dari Cina Selatan sedangkan
Yunani dari Eropa.
lii
d) Strategi penyampaian konsep
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) materi pembelajaran jenis konsep adalah
materi berupa definisi atau pengertian. Tujuan mempelajari konsep
adalah agar siswa paham, dapat menunjukkan ciri-ciri, unsur,
membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dan sebagainya.
Langkah-langkah mengajarkan konsep: Pertama sajikan
konsep, kedua berikan bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok,
contoh dan bukan contoh), ketiga berikan latihan (exercise)
misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain, keempat berikan
umpan balik, dan kelima berikan tes.
e) Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip
Menurut Depdiknas (2006a: 24) termasuk materi
pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus, hukum (law),
postulat, teorema, dan sebagainya.
f) Strategi penyampaian prosedur
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) tujuan mempelajari prosedur adalah agar
siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut,
bukan sekadar paham atau hafal. Termasuk materi pembelajaran
jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan
liii
suatu tugas secara urut. Misalnya langkah-langkah menyetel
televisi.
g) Strategi mengajarkan/menyampaikan materi aspek afektif
Termasuk materi pembelajaran aspek sikap (afektif)
menurut Bloom dalam Ella Yulaelawati (2004: 59) adalah
pemberian respons, penerimaan suatu nilai, internalisasi, dan
penilaian. Beberapa strategi mengajarkan materi aspek sikap
antara lain: penciptaan kondisi, pemodelan atau contoh,
demonstrasi, simulasi, penyampaian ajaran atau dogma.
2) Strategi mempelajari materi pembelajaran sejarah oleh siswa
Ella Yulaelawati (2004: 52) ditinjau dari guru, perlakuan
(treatment) terhadap materi pembelajaran berupa kegiatan guru
menyampaikan atau mengajarkan kepada siswa. Sebaliknya, ditinjau
dari segi siswa, perlakuan terhadap materi pembelajaran berupa
mempelajari atau berinteraksi dengan materi pembelajaran. Secara
khusus dalam mempelajari materi pembelajaran, kegiatan siswa dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu menghafal, menggunakan,
menemukan, dan memilih.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a) Menghafal (verbal & parafrase)
Ada dua jenis menghafal, yaitu menghafal verbal
(remember verbatim) dan menghafal parafrase (remember
paraphrase). Menghafal verbal adalah menghafal persis
liv
seperti apa adanya. Terdapat materi pembelajaran yang
memang harus dihafal persis seperti apa adanya, misalnya
nama orang, nama tempat, lambang, peristiwa sejarah,
nama-nama bagian atau komponen suatu benda, dan
sebagainya. Sebaliknya ada materi pembelajaran yang tidak
harus dihafal persis seperti apa adanya tetapi dapat
diungkapkan dengan bahasa atau kalimat sendiri (hafal
parafrase). Yang penting siswa paham atau mengerti,
misalnya pengertian sejarah, menyebutkan peninggalan-
peninggalan sejarah masa lampau, evolusi Darwin dan
sebagainya (Depdiknas, 2006 : 13).
b) Menggunakan/mengaplikasikan (Use)
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) materi pembelajaran setelah dihafal atau
dipahami kemudian digunakan atau diaplikasikan. Jadi
dalam proses pembelajaran siswa perlu memiliki
kemampuan untuk menggunakan, menerapkan atau
mengaplikasikan materi yang telah dipelajari.
Penggunaan fakta atau data adalah untuk dijadikan
bukti dalam rangka pengambilan keputusan. Contoh,
berdasar hasil penggalian ditemukan fakta terdapatnya
barang tembikar/ pecah belah berupa cobek, wajan, bejana,
di bekas peninggalan sejarah. Dengan menggunakan fakta
lv
tersebut, ahli sejarah menyimpulkan bahwa lokasi tersebut
tempat bekas pengrajin kundi (Hambali, 2003:14).
Penggunaan materi konsep adalah untuk menyusun
proposisi, dalil, atau rumus. Seperti diketahui, dalil atau
rumus merupakan hubungan antara beberapa konsep.
Misalnya, dalam menentukan tahun saka menjadi tahun
Masehi maka rumusnya tahun saka ditambah dengan angka
78 (Depdiknas, 2006a : 13).
c) Menemukan
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) penemuan (finding) di sini adalah
menemukan cara memecahkan masalah-masalah baru
dengan menggunakan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur
yang telah dipelajari. Menemukan merupakan hasil tingkat
belajar tingkat tinggi. Gagne (1987) menyebutnya sebagai
penerapan strategi kognitif. Misalnya, setelah mempelajari
tentang teknik cetak a cire perdue dan bivalve maka siswa
dapat membuat peralatan dari logam.
d) Memilih
Memilih di sini menyangkut aspek afektif atau sikap.
Yang dimaksudkan dengan memilih di sini adalah memilih
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Misalnya memilih
lvi
membaca mata pelajaran sejarah daripada membaca komik
(Depdiknas, 2006a : 13).
3) Materi Prasyarat, Perbaikan, dan Pengayaan (Remedial & Enrichment)
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) dalam mempelajari materi pembelajaran
untuk mencapai kompetensi dasar terdapat beberapa
kemungkinan pada diri siswa, yaitu siswa belum siap bekal
pengetahuannya, siswa mengalami kesulitan, atau siswa
dengan cepat menguasai materi pembelajaran.
Kemungkinan pertama siswa belum memiliki pengetahuan
psyarat. Pengetahuan prasyarat adalah bekal pengetahuan yang
diperlukan untuk mempelajari suatu materi pembelajaran baru.
Misalnya, bila siswa disuruh membuat histografi maka siswa harus
sudah mempelajari langkah-langkah penyusunan proposal penelitian.
Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan
prasyarat, guru harus mengadakan tes prasyarat (prequisite test). Jika
berdasar tes tersebut siswa belum memiliki pengetahuan prasyarat,
maka siswa tersebut harus diberi materi atau bahan pembekalan.
Bahan pembekalan (matrikulasi) dapat diambil dari materi atau modul
di bawahnya (Depdiknas, 2006a : 13).
Dalam menghadapi kemungkinan kedua, yaitu siswa
mengalami kesulitan atau hambatan dalam menguasai materi
pembelajaran, guru harus menyediakan materi perbaikan (remedial).
lvii
Materi pembelajaran remedial disusun lebih sederhana, lebih rinci,
diberi banyak penjelasan dan contoh agar mudah ditangkap oleh
siswa. Untuk keperluan remedial perlu disediakan modul remedial
(Hambali, 2003: 25).
Menurut Awan Sudiawan (2008 dalam http://Awan
Sudiawan.blog.net) dalam menghadapi kemungkinan ketiga, yaitu
siswa dapat dengan cepat dan mudah menguasai materi pembelajaran,
guru harus menyediakan bahan pengayaan (enrichment). Materi
pengayaan berbentuk pendalaman dan perluasan. Materi pengayaan
baik untuk pendalaman maupun perluasan wawasan dapat diambilkan
dari buku rujukan lain yang relevan atau disediakan modul pengayaan.
Selain pengayaan, perlu dipertimbangkan adanya akselerasi alami di
mana siswa dimungkinkan untuk mengambil pelajaran berikutnya.
Untuk keperluan ini perlu disediakan bahan atau modul akselerasi.
4. Pembelajaran Sejarah
a. Hakikat Pembelajaran Sejarah
Menurut Ella Yulaelawati (2004: 106), pembelajaran memiliki tiga
teori teori dasar yaitu teori behavioris, teori kognitif, dan teori konstruktif.
Teori behavioris sudah diterapkan sejak lama sampai sekitar tahun 70-an.
Teori behavioris menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila terdapat
perubahan tingkah laku pada peserta didik. Teori kognitif menekankan
pada proses berpikir dibalik perubahan tingkah laku. Sedangkan menurut
lviii
teori konstruktif, peserta didik membangun pengetahuan tentang dunia
melalui pandangannya sendiri berdasarkan pengalaman individual ataupun
skema.
Peserta didik dalam pembelajaran merupakan subjek dan sekaligus
objek. Karena itu, inti proses pembelajaran tidak lain adalah kegiatan
belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran
merupakan suatu proses mengatur, menorganisai lingkungan yang ada di
sekitar siswa sehingga menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan
proses pembelajaran (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:39).
Pembelajaran merupakan suatu kegiatan di mana terjadi perubahan
mental pada diri siswa. Dalam pembelajaran, siswa sebagai pelaku
belaajar dan guru sebagai pembelajar. Hubungan guru dan siswa adalah
hubungan fungsional dalam arti pelaku pendidik dan pelaku terdidik. Dari
segi tujuan yang akan dicapai baik guru maupun siswa sama-sama
mempunyai tujuan tersendiri. Secara umum pembelajaran adalah suatu
proses interaksi yang mendorong terjadinya belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 2006: 5-7).
b. Ciri-ciri Pembelajaran
Ciri-ciri pembelajaran menurut Edi Suardi dalam Syaiful Bahri
Djamarah dan Aswan Zain (2006:39), meliputi: 1) pembelajaran memiliki
tujuan yakni membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu;
2) ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan; 3) kegiatan pembelajaran
lix
ditandai dengan suatu materi khusus; 4) ditandai dengan aktivitas anak
didik; 5) dalam kegiatan pembelajaran, guru berperan sebagai
pembimbing; 6) dalam kegiatan pembelajaran membutuhkan disiplin; 7)
ada batas waktu; 8) evaluasi.
Menurut Skinner dalam Dimyati dan Mudjiono (2006: 9),
pembelajaran memiliki ciri yaitu: 1) kesempatan terjadinya peristiwa yang
menimbulkan respons anak didik; 2) respons anak didik pada peristiwa
tersebut; 3) konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut.
Menurut Bruner dalam Nasution (2008: 9), dalam proses
pembelajaran dapat dibedakan menjadi tiga fase atau periode, yakni
1) informasi. Dalam setiap pembelajaran, siswa memproleh sejumlah
informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang memperhalus dan
memperdalam pengetahuan, ada juga informasi yang bertentangan dengan
apa yang diketahui siswa; 2) transformasi. Informasi harus dianalisis,
diubah atau ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau
konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang mebih luas. Dalam
hal ini bantuan guru sangat diperlukan; 3) evaluasi.
Oemar Hamalik (2003: 11) menyatakan bahwa ciri-ciri khas yang
terkandung dalam sistem pembelajaran adalah 1) rencana , penataan
intensional orang, material, dan prosedur yang merupakan unsur sistem
pembelajaran seusai dengan suatu rencana khusus, sehingga tidak
mengambang; 2) kesalingtergantungan (independent), unsur-unsur sistem
merupakan bagian yang koheren dalam keseluruhan, masing-masing
lx
bagian bersifat esensial, satu sama lain saling memberikan sumbangan
tertentu; 3) tujuan, setiap sistem pembelajaran memiliki tujuan tertentu.
c. Komponen-komponen Pembelajaran
Sebagai sebuah sistem, pembelajaran mengandung sejumlah
komponen yang meliputi tujuan, materi pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, metode, alat dan sumber belajar. Tujuan dalam
pembelajaran adalah suatu cita-cita yang normatif yaitu dalam tujuan
terkandung nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada siswa. Materi
pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran tidak akan dapat berjalan jika tidak ada
materi. Karena itu, guru yang akan mengajar harus dan pasti mengusaidan
memahami materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa.
Kegiatan pembelajaran merupakan inti kegiatan dalam pendidikan. Dalam
kegiatan pembelajaran, guru dan siswa terlibat dalam sebuah interaksi
dengan materi pembelajaran sebagai mediumnya. Dalam interaksi ini,
siswalah yang aktif bukannya guru. Dalam kegiatan pembelajaran, guru
sebaiknya memperhatikan perbedaan individual siswa, yaitu pada aspek
biologis, intelektual dan psikologis. Metode adalah suatu cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh guru dan penggunaanya
bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran
berakhir. Alat adalah sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran. Alat dapat dibagi menjadi dua yaitu alat
lxi
dan alat bantu. Alat dapat berupa suruhan, perintah dan larangan
sedangkan alat bantu dapat berupa globe, papan tulis, dan lain-lain.
Sumber belajar adalah sesuat yang dapat dipergunakan sebagai tempat di
mana materi pembelajaran berasal. Evaluasi diperlukan untuk memberikan
umpan balik kepada guru sebagai dasar dalam memperbaiki proses
pembelajaran, memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil
belajar siswa, menentukan murid dalam situasi belajar mengajar yang
tepat dan mengenal latar belakang siswa yang mengalami kesulitan dalam
pembelajaran (Syaiful Bahri dan Aswan Zain, 2006: 41-52).
Komponen atau unsur-unsur dalam pembelajaran menurut Dimyati
dan Mudjiono (2006: 8) adalah 1) pelaku, yaitu guru sebagai pelaku
pendidik dan siswa yang terdidik; 2) tujuan untuk memperoleh hasil
belajar dan pengalaman hidup serta membantu siswa menjadi pribadi
mandiri dan utuh; 3) proses yaitu proses interaksi sebagai eksternal dan
internal belajar; 4) tempat, sebagai tempat untuk kegiatan pembelajaran;
5) lama waktu pendidikan; 6) ukuran keberhasilan dan hasil.
B. Kerangka Pikir
Dalam pengayaan materi sejarah, guru turut menentukan keberhasilan
karena gurulah yang menyampaikan materi pembelajaran. Dalam KTSP, guru
dapat membuat materi pembelajaran sendiri asalkan sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Pembuatan materi pembelajaran ini dapat dikatakan sebagai pengayaan
materi. Dalam pengayaan materi, guru harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
lxii
yang berlaku yaitu sesuai dengan Standar Isi. Dalam pengayaan materi
pembelajaran sejarah harus berpedoman pada KTSP dalam hal ini yaitu Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Sejarah. Folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus memiliki makna-makna fislisofis yang dapat
ditanamkan kepada siswa melalui proses pembelajaran. Folklor Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah juga
tidak terlepas dari kesesuaiannya dalam pencapaian Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar tersebut. Pengayaan materi ini akan dimasukkan dalam materi
pembelajaran pokok dan dimasukkan dalam proses belajar mengajar. Pengayaan
materi pembelajaran dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus menghadapi kendala-kendala. Kendala-kendala tersebut harus
diatasi agar proses pembelajaran dapat berjalan.
lxiii
Berdasarkan kajian teoretis yang telah diuraikan sebelumnya dapat
diperoleh model teoretik yang dapat disajikan kerangka pikir dalam penelitian ini
sebagai berikut :
Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
Pengayaan materi pembelajaran
Materi Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran Sejarah
Kendala dan upaya penyelesaian
Folklor Menara, Masjid dan Makan Sunan Kudus Makna Filosofis
Kriteria pengayaan materi pembelajaran
Guru Sejarah
lxiv
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kudus. Objek
penelitian adalah di MA NU Banat Kudus. Lokasi ini dipilih karena MA NU
Banat Kudus merupakan bagian dari wilayah kecamatan Kota yang memiliki
kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. MA NU Banat Kudus
sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang memiliki tugas dan
tanggungjawab untuk menggali, melestarikan benda-benda purbakala dan
folklor yang berkembang dari benda-benda purbakala tersebut. Folklor
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus tersebut dapat digunakan sebagai
salah satu alternatif untuk pengayaan materi sejarah di MA NU Banat Kudus.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2008 sampai dengan
Februari 2009.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Berdasarkan konteks permasalahan dalam penelitian ini maka bentuk
penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2001 : 2)
penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
49
lxv
dapat diamati. Menurut Sutopo (2006 : 227) penelitian kualitatif deskriptif adalah
jenis penelitian yang mampu menangkap dengan berbagai informasi kualitatif
dengan deskripsi dengan teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada
sekadar pernyataan jumlah atau pun frekuensi dalam bentuk angka. Sugiyono
(2005 :1) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah di mana peneliti sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-
kata tertulis yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah di mana
peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara
trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian
kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Pada penelitian ini strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal
terpancang karena sudah terarah pada batasan atau fokus tertentu berdasarkan
karakteristik metodologi penelitian kualitatif yang berkaitan dengan desain lentur
dan terbuka, dan proses analisisnya bersifat induktif (Sutopo, 2006:139).
Permasalahan dalam penelitian ini menyangkut tentang pemanfaatan folklor
Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan Materi
Pembelajaran Sejarah di Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama Banat Kudus. Melalui
strategi studi kasus tunggal terpancang tersebut peneliti dapat menggali informasi
lxvi
sebanyak-banyaknya dari MA NU Banat Kudus dalam upaya pemanfaatan folklor
Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus untuk pengayaan materi pembelajaran
sejarah.
C. Sumber Data
Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data-data
kualitatif yang berbentuk kata kata. Data-data yang dikumpulkan adalah data-data
yang berkaitan dengan pemanfaatan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus di MA NU Banat Kudus.
Data-data itu diperoleh dari:
1. Informan atau nara sumber pengelola Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus, MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), Dinas Pariwisata, guru
sejarah, Kepala Sekolah, siswa-siswi sekolah MA Banat Kudus,
2. Dokumen atau arsip yaitu silabus, RPP.
3. Tempat dan peristiwa. Tempat yang dimaksud adalah Kompleks Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus, sedangkan perstiwa adalah kegiatan
pembelajaran sejarah dan pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU
Banat Kudus yang memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus sebagai materi pembelajaran.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang
dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
lxvii
1. Wawancara secara mendalam (in-depth interviewing)
Menurut Patton (dalam Sutopo, 2006: 228) wawancara secara
mendalam adalah jenis wawancara yang bersifat lentur dan terbuka, tidak
terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang
pada informan yang sama. Wawancara secara mendalam adalah wawancara
yang mempunyai karakteristik berupa pertemuan langsung secara berulang-
ulang antara peneliti dan informan yang diarahkan pada pemahaman
pandangan informan dalam kehidupan (Bodgan dan Taylor dalam Moleong,
2001 : 27 ).
Wawancara mendalam dilakukan kepada:
a. Pengelola Masjid, Menara, dan Makam Sunann Kudus untuk
mendapatkan informasi tentang: 1) Macam-macam folklor Menara,
Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat
Kudus; 2) Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus.
b. MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) untuk mendapatkan informasi
tentang: 1) Macam-macam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus yang berkembang di masyarakat Kudus; 2) Makna filosofis yang
terkandung dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan
Kudus.
c. Dinas Pariwisata Kabupaten Kudus untuk mendapatkan informasi tentang
1) Macam-macam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang
lxviii
berkembang di masyarakat Kudus; 2) Makna filosofis yang terkandung
dalam folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus.
d. Guru sejarah untuk mengetahui tentang 1) Kriteria kelayakan yang
digunakan untuk mengetahui tentang folklor Menara, Masjid, dan Makam
Sunan Kudus yang dapat digunakan sebagai bahan pengayaan materi
sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus;
2) Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul
Ulama (NU) Banat Kudus; 3) Kendala yang dihadapi guru dalam
memanfaatkan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus.
e. Kepala sekolah untuk mendapatkan tentang pengayaan materi
pembelajaran yang dilakukan guru Sejarah.
f. Siswa-siswi sekolah MA Banat Kudus untuk mendapatkan informasi
tentang pemanfaatan folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi pembelajaran Sejarah di MA NU Banat Kudus.
2. Observasi langsung berperan aktif
Sutopo (2006 : 78) berpendapat bahwa observasi berperan aktif ini
merupakan cara khusus dan peneliti tidak bersifat pasif hanya sebagai
pengamat tetapi memainkan berbagai peran yang dimungkinkan dalam situasi
yang berkaitan dengan penelitiannya dengan mempertimbangkan posisi yang
bisa memberikan akses yang bisa diperolehnya untuk bisa dimanfaatkan bagi
pengumpulan data yang lengkap dan mendalam.
lxix
Observasi ini dilakukan dengan cara observer hadir dan terlibat
langsung sebagai pengawas dan pemandu dalam proses kegiatan pembelajaran
sejarah dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus sebagai bahan penyaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat.
3. Content analysis (Analisis Dokumen)
Kegiatan pencatatan dalam pengumpulan data sangat penting.
Pencatatan data ini dilakukan terhadap sumber data yang berasal dari
dokumen berupa RPP dan Silabus yang ada kaitannya dengan kegiatan upaya
guru sejarah MA NU Banat Kudus dalam pengayaan materi pembelajaran
Sejarah.
E. Teknik Cuplikan (Sampling)
Teknik cuplikan ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel yang
akan dijadikan sebagai informan dalam penelitian. Menurut Sutopo (2006 : 229)
pada penelitian kualitatif, teknik cuplikan yang digunakan bukanlah cuplikan
statistik atau yang biasa dikenal sebagai probability sampling tetapi menggunakan
purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan cuplikan didasarkan
atas berbagai pertimbangan tertentu dengan kecenderungan peneliti untuk
memilih informannya berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang dianggap
memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.
Alasan yang mendasari penggunaan teknik cuplikan purposive sampling
disebabkan pada penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan
yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep
lxx
teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empirisnya dan lain-
lain. Oleh karena itu cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat
purposive sampling (cuplikan) dengan criterion-based selection sebagaimana
yang dikemukakan oleh Goetz & LeCompte ( dalam Sutopo, 2006 : 229).
Dengan penggunaan teknik cuplikan purposive sampling maka dapat
memilih informan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan yang
dimiliki informan tentang pengayaan materi sejarah MA. Adapun informan yang
diminta pendapat adalah Pengelola Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus, Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI), Dinas Pariwisata Kudus, Guru
Sejarah, Kepala Sekolah dan siswa MA NU Banat Kudus.
Pada penelitian ini strategi yang diterapkan adalah cuplikan internal
sampling sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan & Biklen (dalam Sutopo,
2006 : 229) dalam cuplikan yang bersifat internal, cuplikan diambil untuk
mewakili informasinya bukan populasinya, dengan kelengkapan dan kedalaman
yang tidak perlu ditentukan oleh jumlah sumber datanya, karena jumlah informan
yang kecil bisa menjelaskan informasi tertentu secara lengkap dan benar daripada
informasi yang diperoleh dari jumlah nara sumber yang lebih banyak, yang
mungkin kurang mengetahui dan memahami informasi yang sebenarnya.
Sampling dalam penelitian kualitatif, sifatnya yang internal tersebut mengarah
kepada kemungkinan generalisasi teoretis.
Dengan menerapkan strategi cuplikan internal sampling untuk mewakili
informasi bukan populasinya. Peneliti dapat menyesuaikan kebutuhan data, situasi
dan kondisi di lapangan. Melalui selektivitas tersebut akan mendapatkan sumber
lxxi
data yang benar-benar valid dan reliabel. Adapun sampel yang direncanakan
sebagai informan dalam penelitian ini meliputi berbagai unsur yaitu pengelola
Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, Masyarakat Sejarah
Indonesia (MSI), Guru sejarah MA NU Banat, Kepala Sekolah MA NU Banat dan
siswa-siswi sekolah MA NU Banat Kudus. Unsur-unsur sampel tersebut
diharapkan dapat memberikan informasi/ penjelasan tentang Folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai salah satu alternatif pengayaan materi
pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus.
F. Validitas Data
Menurut (Sugiyono, 2006 : 117) validitas merupakan derajad ketepatan
antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan
oleh peneliti. Dengan demikian data yang valid adalah data yang tidak berbeda
antar data yang dilaporkan oleh peneliti dengan data yang sesungguhnya terjadi
pada objek penelitian. Sutopo (2006 : 92) berpendapat validitas data merupakan
jaminan bagi kemantapan simpulan dan tafsir makna sebagai hasil penelitian.
Untuk lebih menjamin dan meyakinkan suatu data yang akan dikumpulkan dalam
penelitian ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah teknik trianggulasi. Teknik yang digunakan
untuk menguji validitas data dalam penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi
yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di
luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding
terhadap data tersebut (Moleong, 2001 : 31).
lxxii
Validitas data dalam penelitian ini didapatkan dengan menggunakan
teknik triangulasi sumber atau data dan triangulasi metode.
1. Triangulasi sumber (data), yaitu teknik triangulasi yang mengarahkan peneliti
mengumpulkan data dari beragam sumber data yang tersedia. Artinya, data
yang sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber
data yang berbeda (Patton dalam Sutopo, 2002: 79). Dalam hal ini, peneliti
bisa memperoleh data dari narasumber (informan) yang berbeda – beda.
Misalnya, data tentang folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
didapatkan peneliti dari informan pengelola Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus, informan dari MSI, dan informan dari Dinas Pariwisata
Kabupaten Kudus.
2. Triangulasi metode, yaitu menggali data yang sama dengan menggunakan
metode pengumpulan data yang berbeda. Hal ini dilakukan dengan menggali
data tentang pelaksanaan pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan folklor
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi
pembelajaran sejarah didapatkan peneliti dengan metode wawancara dan
observasi langsung berperan aktif di mana observer berperan sebagai
pengawas dan pemandu proses pembelajaran.
Agar hasil penggalian sumber data dapat valid dan reliabel maka
dikonsultasikan dan diskusikan dengan teman peneliti. Melalui cara ini didapatkan
sumber data yang baik. Kemudian data-data tersebut dikembangkan dan
meyimpan data base agar sewaktu-waktu dapat ditelusuri kembali bila
dikehendaki adanya verifikasi untuk disempurnakan.
lxxiii
G. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan mengikuti pola
arah penelitian kualitatif, analisis dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis interaktif dari Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2006 : 96).
Adapun hubungan interaksi antara unsur-unsur kerja analisis tersebut
dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram sebagai berikut :
Gambar 2. Bagan Siklus Analisis Interaktif Sumber: Sutopo (2006 : 120)
Adapun rincian model tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang digunakan untuk
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga simpulan-
simpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Sajian Data Reduksi
Data
penarikan simpulan/ verifikasi
Pengumpulan Data
(1) (2)
(3)
lxxiv
2. Penyajian Data
Pada pelaksanaan penelitian penyajian-penyajian data yang lebih baik
merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid.
Penyajian yang menarik akan membuat tampilan data menjadi menarik.
Dalam penyajian ini dapat dilakukan melalui berbagai macam cara visual
misalnya gambar, grafik, network chart, diagram, matrik dan sebagainya.
Penyajian data disesuaikan dengan rumusan masalah, sehingga tersaji
deskripsi kondisi yang rinci yang merupakan jawaban setiap permasalahan.
3. Simpulan-simpulan : penarikan / verifikasi
Setelah data hasil penelitian direduksi, disajikan langkah terakhir adalah
simpulan-simpulan : penarikan / verifikasi. Data hasil penelitian selanjutnya
digabungkan dan disimpulkan serta diuji kebenarannya. Penarikan simpulan
merupakan bagian dari satu kegiatan dari konvigurasi yang utuh, sehingga
simpulan-simpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Verifikasi data yaitu pemeriksaan tentang benar dan tidaknya hasil laporan
penelitian. Simpulan adalah tinjauan ulang pada catatan dil apangan atau
kesimpulan dapat ditinjau sebagai makna-makna yang muncul dari data yang
harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yaitu yang
merupakan validitasnya (Milles dan Huberman, 2000 : 19 ).
Melalui verifikasi data maka didapatkan objektivitas. Untuk mendapatkan
data yang objektivitas maka dibutuhkan subjektivitas dan kesepakatan
intersubjektif dari peneliti sehingga hasil penelitian mudah dipahami bagi para
pembaca secara mendalam.
lxxv
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Latar
Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus adalah warisan budaya yang
terletak dalam satu kompleks di Desa Kauman Kecamatan Kota Kabupaten
Kudus. Kompleks ini dilindungi dan dirawat oleh Yayasan Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus atau YM3SK. Latar belakang didirikannya Yayasan
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) yaitu untuk
menyebarluaskan peran para wali (Auliya’) dalam menyebarkan dan
mengembangkan agama Islam di tanah Jawa dan di berbagai daerah Nusantara,
dan untuk melestarikan peninggalan-peninggalan yang telah diwariskan oleh para
Auliya’ tersebut. Para auliya dalam menyebarkan dan mengembangkan agama
Islam, memilih jalan damai (peace penetration), sangat akomodatif terhadap nilai-
nilai budaya lokal, sehingga melahirkan budaya baru yang merupakan hasil
akulturasi budaya.
Para auliya’ memiliki warisan budaya yang tidak kasat mata (intangible
heritage) berupa ajaran-ajaran moral, tradisi-tradisi maupun kasat mata (tangible
heritage) yang merupakan cagar budaya yang harus dilindungi, dipelihara dan
dimanfaatkan demi pengembangan budaya bangsa. Pemikiran tersebut mendasari
pembentukan Yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Pembentukan
YM3SK diharapkan dapat berperan dalam mengelola situs Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus dengan sebaik-baiknya demi ukhuwah Islamiyah, dan juga
60
lxxvi
memiliki peran dan tanggung jawab dalam pelestarian dan pengelolaan
peninggalan cagar budaya dari masing-masing leluhurnya.
Tujuan dari berdirinya YM3SK adalah : 1) sebagai wadah silaturrahim
antar pemangku; 2) bertukar informasi dan pengalaman; 3) meningkatkan
pengelolaan yang lebih baik; 4) membuat kalender kegiatan yang terkoordinasi;
5) sebagai media penghubung antar pemangku dan pemerintah serta mitra kerja
yang lain; 6) meneruskan dakwah Sunan Kudus; 7) melestarikan serta memelihara
petilasan dan peninggalan Sunan Kudus.
Penelitian ini juga dilaksanakan di MA NU Banat sebagai lembaga
pendidikan yang melaksanakan pengayaan materi pembelajaran dengan
memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Deskripsi latar
yang kedua dapat diuraikan sebagai berikut: MA NU Banat adalah madrasah
khusus putri yang beralamat di Jln. KHM. Arwani Amin Kajan Krandon, Kudus
Kode Pos 59314. MA NU Banat memiliki visi yaitu” Terwujudnya madrasah putri
sebagai pusat keunggulan yang mampu menyiapkan dan mengembangkan SDM
berkualitas di bidang IMTAQ dan IPTEK yang Islami yang Sunny”. Misi yang
diusung MA NU Banat adalah “Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi
kualitas, baik akademik, moral maupun sosial sehingga mampu menyiapkan dan
mengembangkan SDM berkualitas di bidang IMTAQ dan IPTEK dalam rangka
mewujudkan Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur Negara yang aman tentram,
adil makmur dalam ridlo Allah”. Tujuan yang ingin dicapai MA NU Banat yaitu:
1) Mampu memahami ilmu agama; 2) Mampu mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari sehingga terwujudnya generasi muslim,
lxxvii
yang mar’atus sholihah berakhlak mulia; 3) Memiliki ilmu keterampilan sebagai
bekal hidup di masyarakat; 4) Mampu berkomunikasi sosial dengan modal bahasa
asing praktis (bahasa Arab dan bahasa Inggris); 5) Mampu memahami ilmu-ilmu
yang dibutuhkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Jenjang
Akreditasi yang dimiliki MA ini adalah A. Alamat website MA NU Banat adalah
www.banatnukudus.or.id dan alamat e-mail [email protected].
Periode sejarah MA NU Banat Kudus yang berdiri tahun 1972-1981/1982
jumlah rombel (rombongan belajar) hanya 1 kelas yang jumlah siswanya 7 orang,
meskipun pada waktu tersebut penerimaan sebanyak 14 orang. Kemudian mulai
tahun 1982/1983-1992 mulai merangkak naik 2-3 rombel. Tahun 1992-2002,
dengan cepat mengalami perkembangan 4, 5, 6, 7, 8 rombel. Mulai 2002 sampai
sekarang jumlahnya mencapai 8-9 rombel. Mulai 2005, MA NU Banat Kudus
membatasi hanya 9 kelas, sehingga pada tahun 2005 terpaksa mengembalikan
sebanyak 103 pendaftar lewat seleksi. Pada tahun 2006/2007 bulan Juli yang lalu,
MA NU Banat Kudus hanya menerima 75% dari jumlah pendaftar. Tahun 2008
berjumlah 32 kelas. Untuk kelulusan MA sejak tahun 1997-2004 lulus 100%,
tahun 2005 tidak lulus 1 atau 99, 74%. 2007/2008 tidak lulus 2 atau 99,48%.
Pembagian tugas (job description) di MA NU Banat telah terjalin dengan
baik dengan sistem saling membantu. Jajaran Pimpinan MA NU Banat adalah
1) Kepala Madrasah : HM. Mashum AK, 2) Wakil Kepala : Drs. H. Moh. Said
Muslim, 3) Bag. Kurikulum MA : Dra. Sri Roychanah, 4) Bag. Kurikulum
Ponpes: Shohibul Huda AH, 5) Bag. KePeserta didikan : Siti Romlah, S.Pd,
6) Bag. Humas / Agama : Moh. Amin, S.Ag, 7) Bag. Sarana Prasarana : Drs.
lxxviii
Subchan. Bimbingan dan Konseling dikoordinatori oleh : Dra. Hj. Noor Jannah;
Staf BK yaitu: 1) Dra. Khofiyan Nida, 2) Muayyanah, S.Pd, 3) Yusriya
Inayati,S.Sos.I.
MA NU Banat mempunyai beberapa kebijakan khusus dalam
melaksanakan pembelajarannya. Selain memberikan pembelajaran sesuai dengan
struktur kurikulum SMA/MA yang telah ditetapkan oleh BSNP, MA NU Banat
juga mengembangkan beberapa muatan lokal. Penambahan muatan lokal ini
disesuikan dengan kondisi dan potensi yang ada di lingkungan sekitar MA NU
Banat.
Muatan lokal yang bersesuaian dengan pemanfaatan folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah mata pelajaran tarekh dan ke-NU-an.
Tarekh adalah suatu mata pelajaran yang memberikan pengetahuan pada siswa
tentang sejarah perkembangan Islam. Pelajaran ini juga membahas tentang sejarah
dan asal usul Nabi dan Rasul. Mata pelajaran ke-NU-an adalah mata pelajaran
yang berisi tentang sejarah perkembangan Islam di Indonesia secara umum dan
sejarah perkembangan organisasi massa yang bercork keislaman bernama
Nahdlatul Ulama. Mata pelajaran ke-NU-an juga membahas tentang tokoh-tokoh
yang berjasa dalam perkembangan Islam dan NU.
Kedua muatan lokal tersebut menggunakan sumber dan materi pelajaran
salah satunya adalah sejarah dan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus merupakan salah satu
peninggalan sejarah Islam yang perlu diketahui oleh siswa. Selain penambahan
muatan lokal dalam struktur kurikulum di mana sumber dan materi
lxxix
pembelajarannya memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus, MA NU Banat juga mengembangkan pembelajaran sejarah yang
memanfaatkan potensi di lingkungan sekitar sekolah yaitu folklor Menra, Masjid
dan Makam Sunan Kudus. Kepala MA NU Banat dan guru-guru sejarah MA NU
Banat menyadari bahwa dalam standar isi mata pelajaran sejarah SMA/MA
terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar yang materi pembelajarannya
dapat menggunakan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.
Pembelajaran sejarah di MA NU Banat menggunakan metode yang
bervariasi di mana disesuaikan dengan matei pembelajaran yang akan diterima
oleh siswa. Materi pembelajaran yang dapat ditemukan di lingkungan sekitar
menggunakan metode inuqiry, karya wisata, wawancara dan observasi. Kegiatan
pembelajaran ini diharapkan memberikan siswa pengalaman belajar yang
bervariasi.
B. Sajian Data
1. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di
masyarakat Kudus
Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus merupakan peninggalan
sejarah Sunan Kudus. Folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
terdiri dari berbagai cerita yang berkembang di masyarakat. Folklor tersebut
ada yang berkaitan dengan Sunan Kudus sendiri maupun folklor tentang
pembangunan Menara, Masjid Sunan Kudus. Sedangkan folklor tentang
Makam Sunan Kudus berkembang setelah Sunan Kudus wafat.
lxxx
Pendapat Djupriyono, Folklor Sunan Kudus dapat diceriterakan
sebagai berikut : Sunan Kudus nama aslinya Ja’far Shodiq, tetapi sewaktu
kecil atau dikenal dengan nama Joko Gentong adalah putera dari R. Usman
Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (Blora). Kadang-kadang
dipanggil dengan nama Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah
haji ia bertindak sebagai pemimpin rombongan (amir).
Sunan Kudus adalah putera Raden Usmar Haji, yang menyiarkan
agama Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilahnya Sunan
Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad
SAW. Silsilah lengkapnya Ja’far Shodiq bin Raden Usman Haji bin Raja
Pendeta bin Ibrahim as- Samarakandi bin Maulana Muhammad Jumadil
Kubro bin Zaini al-Husein bin Zaini al-Kubro bin Zainul Alim bin Zainul
Abidin bin Sayid Husein bin Ali RA (Solichin Salam, 1995: 30).
Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di
daerah Kudus dan sekitarnya. Sunan Kudus memiliki keahlian khusus dalam
bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fiqih, usul fikih, tauhid, hadist, tafsir
serta logika. Oleh karena itu, Sunan Kudus diberi julukan sebagai wali al-ilmi
(orang yang luas ilmunya), dan karena keluasan ilmunya maka beliau banyak
didatangi oleh penuntut ilmu dari berbagai daerah di nusantara.
Di samping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh, dan dipercaya
mengendalikan pemerintahan di wilayah Kabupaten Kudus, sehingga ia
lxxxi
menjadi pemimpin pemerintahan dan sekaligus pemimpin agama di daerah
tersebut (Solichin Salam, 1995: 30).
Dalam cerita rakyat yang berkembang Sunan Kudus pernah belajar di
Baitulmakdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang
menelan banyak kurban di Palestina. Atas jasanya, oleh pemerintah Palestina
diberi daerah kekuasaan di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan
hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa
setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan
masjid di daerah Loran tahun 1549; masjid itu, diberi nama Masjid al-Aqsa
atau al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti namanya
dengan Kudus, diambil dari sebuah kota di Palestina, al-Quds (Ahfas
Mutohar, 2007: vii).
Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil,
puteri dari R. Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonang di Tuban.
R. Makdum Ibrahim adalah putera R. Rahmad (Sunan Ampel) putera Maulana
Ibrahim Asmarakandi. Hingga di sini bertemulah silsilah Sunan Kudus dengan
isterinya. Dengan demikian maka Sunan Kudus adalah menantu Kanjeng
Sunan Bonang. Dengan perkawinannya dengan Dewi Rukhil Sunan Kudus
hanya mendapatkan seorang putera laki-laki yang diberi nama Amir Hasan.
Pendapat Sancaka Dwi Supani, Sunan Kudus dari isteri yang kedua
yaitu puteri dari Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus
dikarunia 8 (delapan) putera yaitu : Nyai Ageng pembayun, Panembahan
Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi,
lxxxii
Panembahan Karimun, Panembahan Joko (yang wafat ketika masih muda),
Ratu Pakojo, Ratu Prodobinabar, yang kemudian kawin dengan Pangeran
Poncowati (Panglima Perangnya Sunan Kudus). Di antara kedelapan orang
tersebut di atas, hanya 4 orang yang kini makamnya dikenal orang di sekitar
makam Sunan Kudus. Keempat orang itu adalah panembahan Palembang,
Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati dan Pangeran Sujoko.
Sunan Kudus bukan hanya sebagai guru agama tetapi di samping itu
menjadi mubaligh, dan juga menjadi senopati dari kerajaan Bintoro Demak.
Hal ini sesuai dengan prinsip dalam ajaran Islam, bahwa tidak ada pemisahan
antara agama (religie) dan negara (staat). Ini pun dipraktekkan oleh Sunan
Kudus (Solichin Salam, 1995: 29)..
Pendapat Djupriyono, Sunan Kudus menyiarkan agama Islam adalah
sebagaimana yang dijalankan oleh para wali-wali lainnya, yaitu memakai
jalan kebijaksanaan. Dalam menyiarkan agama Islam Sunan Kudus memakai
strategi :
a. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah.
Sunan Kudus tidak menggunakan jalan kekerasan atau radikal dalam
menghadapi masyarakat yang demikian.
b. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah diubah
maka segera dihilangkan.
c. Tut wuri handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan
dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi
lxxxiii
sedikit dan menerapkan prinsip Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari
belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
d. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam
cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi
tidak mengeruhkan airnya.
e. Pada akhirnya boleh merubah adat kepercayaan masyarakat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau
masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal
imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar
mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tidak bisa mereka
lakukan kecuali melaksanakan ajaran agama Islam secara konsekuen.
Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah
laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan da’wah nyata yang dapat
memikat masyarakat non muslim.
Pendapat Sancaka Dwi Supani, dengan strategi yang demikian halus
inilah maka masyarakat Hindu di Kudus banyak yang memeluk agama Islam.
Cara halus dalam berdakwah dapat di contoh untuk menghormati pemeluk
agama Hindu dan Budha maka Sunan Kudus mengikat seekor lembu (sapi) di
halaman masjid Al-Aqso untuk menarik perhatian masyarakat Kudus yang
waktu itu masih memeluk agama Budha. Setelah banyak masyarakat
berkumpul maka Sunan Kudus memulai da’wahnya. Media da’wah yang
dilakukan Sunan Kudus ini ternyata efektif sehingga banyak dari masyarakat
Hindu dan Budha memeluk agama Islam.
lxxxiv
Pendapat Djupriyono, di samping mengikat seekor lembu di halaman
masjid Al-Aqso. Sunan Kudus juga melarang rakyatnya menyembelih sapi
karena pada waktu Syekh Ja’far Shodiq kehausan kemudian mendapatkan air
susu dari seekor lembu. Maksud dari Sunan Kudus melarang rakyatnya
menyakiti atau menyembelih sapi karena kebanyakan nenek moyang yang
menyusui kita dahulunya memeluk agama Hindu/ Budaha. Dengan demikian
tidak menyinggung perasaan dan kehormatan serta kepercayaan hidup mereka,
yang pada waktu itu masih kuat di kalangan masyarakat alangkah
bijaksananya apabila tidak menyakiti hati serta menyinggung kepercayaan dan
adat asli penduduk bumi putra.
Pendapat Deny Nur Hakim, sesudah berhasil menarik simpati umat
Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi,
yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun
menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus menjaring umat Budha.
Caranya memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudlu
dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi
arca kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuai dengan ajaran Budha.
“Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga” yaitu : 1) Harus
memiliki pengetahuan yang benar; 2) Mengambil keputusan yang benar; 3)
Berkata dengan benar, 4) Hidup dengan cara yang benar; 5) Mencari
penghidupan/ bermata pencaharian yang benar; 6) Bekerja dengan benar; 7)
Beribadah dengan benar; 8) menghayati agama dengan benar.
lxxxv
Pendapat Sancaka Dwi Supani, usahanya ini membuahkan hasil,
banyak umat budha yang penasaran, untuk apa umat Sunan Kudus memasang
lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudlu sehingga mereka
berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan dari Sunan Kudus.
Pendapat Djupriyono, selain merangkul umat Hindu dan Budha
dengan menggunakan cara-cara demikian Sunan Kudus juga dalam berda’wah
bersikap halus dengan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Hindu
dan Budha seperti pada acara Mitoni, kirim sesaji di kuburan sebagai bentuk
bela sungkawa atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Sunan
Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual dan berusaha sebaik-
baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Contoh
pada saat Mitoni bagi orang Jawa yang hamil tiga bulan maka akan dilakukan
acara selamatan yang disebut mitoni dengan meminta kepada Dewa apabila
anak yang lahir perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih. Adat tersebut
tidak ditentang oleh Sunan Kudus tetapi diarahkan dalam bentuk islami. Acara
selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekadar kirim sesaji
kepada para Dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan
sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya
langsung kepada Allah dengan harapan apabila anak yang lahir laki-laki akan
berwajah tampan seperti nabi Yusuf dan bila perempuan seperti Siti Mariam
ibunda Nabi Isa. Untuk itu, sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca
surat Yusuf dan Surat Mariam dalam Al-Qur’an. Sebelum dilaksanakan
upacara, dilakukan pembacaan layang Ambiya’ atau sejarah para nabi.
lxxxvi
Biasanya yang dibaca adalah bab nabi Yusuf. Hingga sekarang acara
pembacaan layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung
dan lain-lain masih hidup dikalangan pedesaan. Dengan siasat tersebut maka
masyarakat diajak untuk bertoleransi sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Pendapat Sancaka Dwi Supani, Sunan Kudus sebagai tokoh pejuang
kerajaan Demak Bintoro. Beliau adalah seorang Senopati Perang dari
Kerajaan Demak Bintoro. Ketika Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) pada
tahun 1511 M telah dapat menguasai Jepara sebagai pangkalan militer. Untuk
memperkuat kerajaan pangkalan Militer di Jepara maka diperkuat dengan
armada laut yang tangguh dan dilengkapi dengan kapal-kapal besar yang
berlapiskan baja. Pada tahun 1513, Demak menyerang orang-orang Portugis
di Malaka di bawah pimpinan Adipati Unus. Karena dengan penguasaan
Portugis di Malaka maka akan mengancam keselamatan Kerajaan Demak
Bintoro. Dengan penyerangan terhadap Malaka mempunyai segi-segi politis
dan ekonomis karena Kerajaan Demak Bintoro sebagai kerajaan agraris
maritim yang mengembangkan pertanian dan perdagangan antarpulau maka
keberadaan Portugis di Malaka merupakan salah satu penghalang bagi kapal-
kapal dagang Demak Bintoro di masa mendatang. Oleh karena itu, Adipati
Unus berusaha untuk menghalau Portugis dari Malaka.
Pendapat Deny Nur Hakim, Sunan Kudus dalam sejarah tampil
sebagai seorang tokoh yang kuat serta gagah berani. Karena keberanian yang
luar biasa serta kedudukannya sebagai panglima perang, maka tidaklah keliru
apabila dikatakan bahwa Sunan Kudus itu adalah Senopati perang, yang setiap
lxxxvii
saat siap sedia berkorban untuk membela keselamatan Kerajaan Demak.
Sunan Kudus memiliki jiwa militer yang diwariskan dari ayah handanya
(Sunan Ngudung) sehingg memiliki sikap disiplin, keras, dan taat kepada
pemerintah atasannya. Ketaatan dan keberaniannyalah yang menyebabkan
beliau ditakuti dan disegani oleh bawahannya khususnya, dan oleh kawan atau
lawan umumnya.
Pendpat Deny Nur Hakim, Hasil karya Sunan Kudus yaitu : 1) masjid
Nganguk Wali, 2) Masjid Al-Aqso atau Al-Manar, 4) Menara Kudus,
5) gapura, 6) tradisi Dandangan, 7) tradisi penjamasan keris Ciptoko/ Cintoko,
8) Seni sastra yaitu menciptakan tembang Maskumambang dan menyusun
kitab Wulang Reh yang berisikan tentang ajaran pemurnian Islam.
Pendapat Deny Nur Hakim, folklor mengenai Menara Kudus berkaitan
dengan pembangunan Menara Kudus. Asal usul Menara Kudus menurut Mn,
ada dua versi, pertama: Menara Kudus berasal dari Candi Hindu yang dibawa
oleh salah seorang murid Sunan Kudus. Menara ini dulunya tempat
pembakaran mayat. Konon di bawah menara dulu terdapat sumber kembar
(mata air). Sumber kembar itu memancarkan air penghidupan (banyu
penguripan). Dalam bahasa Sansekerta dinamakan (Amrta, atau tirta
Kamandanu). Menara Kudus bentuknya menyerupai Candi Jago, tempat
pemakaman raja Wisnu Wardana (Singasari) yang terdapat di Malang Jawa
Timur. Menara Kudus mendapatkan pengaruh dari kebudayaan pra-Islam, di
mana candi dipandang sebagai suatu bangunan suci pengikut agama Hindu
maupun Budha. Candi ini digunakan oleh Sunan Kudus untuk menarik para
lxxxviii
umat Hindu yang ada di sekitar Kudus agar mau mendekat dan mendengarkan
penjelasan Sunan Kudus tentang ajaran agama Islam.
Pendapat Deny Nur Hakim, Versi kedua yaitu Menara Kudus memang
sengaja dibangun oleh Sunan Kudus menyerupai bentuk bangunan Candi. Hal
ini didasarkan pada pemikiran Sunan Kudus bahwa seseorang yang telah
menganut dan meyakini ajaran agama akan lebih mudah menerima ajaran dari
seseorang yang meghormati dan sesuai dengan dirinya. Pemikiran ini
diwujudkan oleh Sunan Kudus dengan membangun Menara Masjid yang
menyerupai Candi yaitu tempat ibadah umat Hindu-Budha. Fungsi Menara
yaitu sebagai tempat mengumandangkan azan, meletakkan bedug dan
kentongan, serta sebagai tempat berzikir.
Menara Kudus berdasarkan cerita Deny Nur Hakim, dibuat dari batu
bata merah tanpa perekat semen. Batu bata merah ini hanya digosok-gosokkan
agar menyatu dan tidak roboh setelah bangunan berdiri tegak. Cerita lain
menyatakan bahwa sebagai bahan perekat Sunan Kudus menggunakan putih
telur.
Pendapat Djupriyono, Bangunan Menara Kudus memiliki folklor yang
dapat diceritakan sebagai
a. Orientasi
Pengertian Orientasi dalam hubungannya dengan masalah teknik
bangunan menara, adalah arah hubungan manusia dengan khaliknya
tergolong ke dalam spiritual dengan sumbu religi diarahkan ke kiblat.
Data observasi Menara Kudus, orientasinya mengarah ke kiblat (Barat).
lxxxix
Berarti dapat disimpulkan bahwa Menara Kudus meruupakan satu-satunya
menara yang bernilai arkeologis, yang orientasinya ke kiblat atau ke arah
Ka’bah sebagai pusat religi umat muslim seluruh dunia. Sedangkan
orientasi bangunan menara masjid lain yang arahnya bukan ke kiblat,
merupakan perkecualian karena pengaruh historis, kondisi setempat serta
perancang itu sendiri.
b. Zooning
Area Menara Kudus dengan aktivitasnya tergolong dalam lokasi utama.
Dengan demikian zooning menara yang terletak di sebelah Tenggara
kompleks masjid, lebih kurang 2 Km dari alun-alun kota Kudus dan
beberapa ratus meter dari pasar Kudus Lama.
Alhasil didapat kesimpulan zooning Menara Kudus adalah daerah utama
pusat kota kompleks yang menempati wilayah aktifitas manusia.
Tampaknya jelas bahwa perancang (designer) memilih daerah yang
strategis dan menonjol.
c. Prosesi
Yang dimaksud dengan prosesi teknik bangunan menara adalah proses
pencapaian menuju ke lokasi yang dimaksud. Untuk maksud tersebut
dapat melalui gapura bentar (A), gapura kori Agung (B), atau dari pintu
kampung (C). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada lampiran. Memang
dalam hal ini, proses teknik bangunan menara tidak mengikuti secara
menyeluruh tata cara pencapaian dari luar kompleks ke dalam kompleks
xc
secara filosofis, seperti halnya pada kompleks bangunan pura dan
bangunan Hindu lainnya yang mempunyai tata aturan untuk prosesi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa prosesi Menara Kudus tidak mengenal
aturan secara khusus. Dengan kata lain, orang dapat mencapai lokasi
secara bebas melalui tempat-tempat yang tersedia. Dari sini tampak
bahwa, rancangan yang dibuat sedemikian rupa seakan-akan menyerupai
prosesi bangunan Hindu.
d. Komposisi
Tata letak bangunan Menara Kudus serta bangunan lain pada kompleks
masjid, dikelilingi oleh tembok penyekat serta dilengkapi dengan gapura
Bentar dan kori Agung. Susunan ini menjadikan komposisi massa-massa
bangunan menjadi menarik, dan mengingatkan kita kepada kompleks
bangunan pura di Bali. Memang kalau dilihat dari segi tata letak, seolah-
olah komposisi bangunan tersebut mengikuti aturan-aturan jarak
sebagaimana dibentuk dalam arsitektur Hindu, tetapi sebenarnya hal ini
merupakan taktis perancang untuk tidak melupakan pedoman-pedoman
arsitektur pra Islam. Tentu saja tujuannya menarik massa, sekaligus
memperlihatkan Islam datang dengan jalan damai tanpa merusak
kebudayaan-kebudayaan sebelumnya.
Jadi kesimpulannya bahwa pokok-pokok pembentukan komposisi dalam
teknik bangunan Menara Kudus adalah tembok-tembok penyekat, massa-
massa bangunan lain serta tanaman halaman. Di mana penyekat
memberikan kesan keseluruhan isi yang terkurung, serta memisahkan
xci
dengan tegas antara ruang halaman utama dengan halaman luar.
Sedangkan massa bangunan lain seperti masjid sebagai bangunan utama,
bale tajuk dan pemakaman merupakan bagian yang memberikan kesan
dalam kompleks. Tumbuh-tumbuhan memang tak tergolong bangunan,
peranan tanaman halaman memberikan arti penting yang menurut
kepercayaan lama mempunyai arti magis.
e. Dimensi
Dalam kehidupan dunia, manusia berusaha menyelaraskan benda-benda
bumi dengan alam, sehingga perwujudan-perwujudan buatan manusia
adalah skala diri dan lingkungannya. Demikianlah dalam teknik bangunan
menara masjid, dimensinya adalah proporsi manusia dari bagian-bagian
dirinya untuk menentukan jarak (seperti langkah kaki, rentangan tangan
dan sebagainya).
Suatu keistimewaan dalam dimensni arsitek Menara Kudus, adalah nilai
filosofis pada setiap ukuran. Ukuran yang tak mungkin diterjemahkan ke
dalam dimensi meter dan satuan-satuan lainnya, seperti dimensni atap
tumpang bertingkat dua. Bentuk semacam ini juga terdapat pada dimensi
tradisional bangunan-bangunan meru di Bali.
Dimensi arsitektural suatu bangunan sangat dipengaruhi tata hias
ornamen. Pengaruh ornamen pada dimensi ini juga tampak pada bangunan
Menara Kudus, akibatnya sifat kekunoan menghilang. Memang dari
keindahan proporsi dan tuntutan ekonomis praktis hal ini dapat diterima,
namun nilai-nilai spiritual telah ditinggalkan. Tentunya nilai keasliannya
xcii
semakin dilupakan, sehingga nilai religius abstrak terdesak oleh pola
berfikir materialis konkrit.
f. Material
Menara Kudus, tampaknya cenderung memiliki material yang diperoleh
dari daerah setempat (lokal). Material tersebut rupanya telah dikerjakan
secara fabricated (pabrik khusus). Seperti batu bata merah untuk bahan
pondasi dan ragawi menara. Dimensi batu-batu yang dipakai lebar 15 cm
dan panjang antara 25-28 cm. Material lain dipakai adalah kayu jati
sebagai atap di mana pengerjaannya dilakukan secara gotong royong.
Namun adanya pengaruh material-material industri, mengakibatkan
kecenderungan baru serta sifat-sifat kompetisi yang selalu menyertai
individu-individu, menyebabkan pemakaian material tambahan hasil
industri, misalnya pemakaian tegel pada kontruksi tangga dan ruangan
kecil di badan menara. Hal ini jelas menunjukkan pemakaian bahan-bahan
tradisional telah ditinggalkan dan beralih ke pemakaian bahan hasil
industri. Dampak lain dari pengaruh industri adalah adanya
kecenderungan baru dan sifat-sifat kompetisi yang selalu menyertai
individu-individu.
g. Konstruksi
Tuntutan struktur menghendaki susunan material memenuhi persyaratan
konstruksi, dengan atap memperhatikan karakter dan estetika serta logika
yang didasari filosofis religius.
xciii
Teknik kontruksi pada bangunan menara ini, merupakan konstruksi
sederhana. Material yang disusun membentuk konstruksi dengan
memperhatikan karakter alamiah materialnya, dengan jelas
memperhatikan elemen-elemen kontruksi yang berfungsi ganda. Selain
ornamen yang menyelaraskan teknik konstruksi dengan keindahan
aktivitas yang diwadahinya, juga berfungsui menahan gaya-gaya akibat
berat sendiri dengan gaya-gaya luar seperti beban angin, gempa, dan orang
bebas.
1) Pondasi. Dinding tembok dan pilar yang merupakan tumpuan dari
bangunan, tak dapat didirikan begitu saja di atas tanah. Lapis tanah
bagian atas umumnya lunak. Agar didapat keseimbangan antara
beban dengan gaya dukung tanah setempat, dasar tembok harus di
perdalam serta diperlebar. Bagian inilah yang disebut pondasi. Fungsi
pondasi adalah untuk menyalurkan bobot bangunan serta memberi
kekuatan melalui luas yang lebih besar pada seluruh dasarnya.
Besarnya pondasi bertalian erat dengan susunan, sifat daya dukung
tanah dan keadaan di sekitar bangunan. Untuk Menara Kudus, pondasi
harus menahan beban atap (pondasi ragawi bangunan menara, atap
dan angin) dan beban tak tetap (orang dan benda-benda lainnya).
Berdasarkan data yang didapat dari Berita Penelitian Artkeologi No.
14 tahun 1978, tampak bahwa material pondasi Menara Kudus adalah
batu bata merah. Ketebalannya rata-rata 5 cm, sedangkan dimensi
panjang bervariasi antara 25 dan 28 cm, lebarnya rata-rata 15 cm.
xciv
Kontruksi teknik pondasi pada bangunan ini, merupakan pondasi
langsung di atas tanah padat yang mengeras. Kontruksi pondasi itu
sendiri tersusun dari pasangan batu bata dengan hubungan silang.
Tampaknya antara tiap lapisan bata terdapat perekat, namun hal ini
besar kemungkinan merupakan kumpulan atau larutan dari tanah yang
mengendap. Ketinggian dari pondasi terhadap permukaan tanah lebih
dari 167 cm.
2) Ragawi. Secara umum ragawi Menara Kudus terbagi menjadi
beberapa bagian, terdir atas : a) Bagian kaki; b) Bagian tubuh menara;
c) Bagian puncak. Secara teknis kaki menara dapat dijabarkan lagi
menjadi dua bagian yaitu : tumpuan (Soubasement) dan Basement.
3) Denah. Tumpuan atau soubasement mempunyai dimensi sisi sebelah
utara dan selatan 10,475 m, sisi sebelah timur dan barat 10,60 m.
Tinggi tumpuan lebih kurang 1,30 m. Sedangkan denah kaki menara,
berbentuk bujur sangkar dengan dimensi 9,50 m. Badan menara yang
terletak di atas kaki menara, berdenah dengan dimensi setiap sisinya
6,30 m. Pada sisi sebelah barat (bagian muka menara), terdapat tiga
buah penampil yang menjorok ke depan hanya 0,50 m dari denah
pokok, satu di depan yang lain. Lebar penampil pertama 3,75 m,
penampil kedua 3,25 m. Penampil ketiga menjorok ke depan sampai
4,55 m dari penampil kedua, sedangkan lebar penampil ini 2,75 m.
Tembok pada kiri dan kanan penampil merupakan sayap tangga
lebarnya sama dengan 0,55 m. Antara denah kaki dan badan menara
xcv
terdapat teras/atau pelataran yang biasa disebut selasar. Selasar yang
mengelilingi badan menara ini, mempunyai lebar rata-rata 1,60 m.
Bagian ini merupakan akhir dari tangga pertama (bordes) yang
menanjak dari tumpuan menara. Di sisi barat pada badan menara
terdapat pula candi sudut penghias konstruksi tangga yang menuju ke
bilik badan menara. Posisi candi sudut ini sejajar dengan canndi sudut
pada kaki menara. Pada akhir tangga, terdapat pintu bilik badan
menara. Dengan kata lain bilik ini merupakan bordes yang kedua.
Alasannya, karena dari bagian ini masih ada tangga yang menuju ke
puncak.
a) Tumpuan atau Soubasement. Tumpuan yang merupakan alas
bangunan ini, berfungsi menyalurkan semua beban bangunan yang
di atasnya ke pondasi. Bagian ini terdiri material batu bata merah,
sama seperti material pada pondasi. Sedangkan teknik konstruksi
pemasangan susunan batu batanya menggunakan ikatan silang.
Secara konstruktif memang jenis ikatan ini menguntungkan,
karena menghasilkan silang kait antara lapisan batu bata yang
menambah kekuatan konstruksi. Yang menakjubkan dari kontruksi
ini, antara lain tiap lapisan batu bata tidak menggunakan tanah
perekat. Tidak digunakannya perekat, dapat ditelusuri dari
beberapa teori di bawah ini : teori pertama, menyatakan bahwa
penyusunan batu bata tersebut dengan sistim menggosok-gosok,
sehingga terjelma suatu rekatan yang luar biasa; teori kedua
xcvi
menyebutkan bahwa awalnya batu bata disusun sedemikian rupa,
menjadi wujud sebuah menara. Setelah itu barulah dibakar secara
keseluruhan, sehingga menumbuhkan daya rekat. Itulah sebabnya
ada beberapa bagian yang kurang kuat, diduga bagian yang aus
tersebut pembakarannya kurang sempurna. Teori pertama selama
ini memang dianggap kuat, namun kedua teori tersebut ditolak
oleh Drs. Hasan Muarif Ambari, Arkeolog yang meraih gelar
Doktor di Perancis mengatakan : “melihat bentuk bata merah yang
berlainan ukuran itu, jelas pada saat menara akan dibangun sudah
ada pabrik batu bata merah spesial. Hipotesa terakhir ini bisa jadi
benar. Karena dari data hasil penggalian yang dilakukan suatu tim
gabungan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Universitas
Indonesia dan Universitas Gajah Mada, ternyata ditemukan hal-hal
baru yang berhubungan dengan bentuk dan ukuran batu bata
merah. Pada bagian badan sebelah timur, memang ada suatu
kontruksi dengan dimensi material yang khas. Kekhasan yang
tidak mungkin kalau pada saatnya dibuat satu cetakan khusus oleh
pabrik.
b) Basement. Basement ini bertumpu di atas soubasement. Secara
teknis basement menara dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni :
kaki basement, badan basement, dan puncak basement. Kaki
basement, merupakan bagian yang tersusun dari empat buah lis
mendatar. Lis yang terbawah merupakan lis/atau pelipit yang
xcvii
terlebar, lis ini di atasnya memiliki lebar yang sama, namun makin
ke atas makin menyempit. Badan basement bagian bawah terdapat
tiga buah pelipit yang tersusun menjadi satu, bagian tengahnya
merupakan bagian yang menonjol. Di dalam arsitektur klasik
bentuk lis semacam ini disebut pattika terpenggal. Sedangkan
puncak basement terjadi dari beberapa susunan perbiraian yang
makin ke atas makin melebar sehingga menonjol keluar. Sebagai
penyangga/batas antara basement bagian tengah dan bagian atas,
terdapat sebuah komposisi pelipit yang tersusun tiga buah pattika
terpenggal. Bagian teratas dari basement ini, sekarang telah
dilapisi dengan regel agar tidak mudah rusak akibat gangguan dari
luar. Sisi barat basement bentuknya tidak sama dengan ketiga sisi
lain yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya
kontruksi tangga menara yang menjorok ke luar. Kontruksi tangga
rupanya membelah dua bagian barat, mempunyai buah bidang
tegak yang makin mendekati tangga makin sempit. Seluruh pelipit
yang terdapat pada bagian basement berbentuk pilipit mistar
yakni pelipit yang berpenampang persegi ganda, di samping
sebagai hiasan juga berfungsi sebagai penguat yakni menahan
semua beban-beban yang berkerja padanya. Konstruksi semacam
ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan candi. Seluruh
bagian pada basement, menggunakan material yang merupakan
xcviii
pasangan batu bata merah tanpa perekat. Teknik konstruksi
pengerjaannya tidak berbeda dengan bagian-bagian sebelumnya.
c) Tubuh Menara. Secara teknis tubuh menara dapat dipecah menjadi
tiga bagian : tubuh menara bagian bawah, tubuh menara bagian
tengah, tubuh menara bagian atas. Tubuh menara bagian bawah
(upapita dalam arsitektur klasik) merupakan sebuah pelipit besar
dan tinggi yang dibagi dua oleh sebuah bingkai tebal. Bingkai ini
menimbulkan kesan seakan-akan badan menara mempunyai kaki
kedua yang tersusun. Pada bagian kedua yang merupakan atas dan
bawah berisi hiasan. Kalau diperhatikan, tampak bentuk kaki
sebelah bawah bingkai tadi seperti basement (selasar). Hanya saja
dimensi dan hiasannya berbeda. Sisi barat bagian atas dibagi
menjadi dua bagian oleh konstruksi tangga. Di sudut dalam,
terdapat candi sudut. Tubuh menara bagian tengah berbentuk
persegi, tampak tinggi dan ramping. Di tengahnya terdapat lis
band yang membagi dua tubuh menara. Sisi utara, timur, dan
selatan, terdapat relung-relung kosong. Dalam bangunan Hindu,
relung ini berisi relief patung dan sebagainya,. Pada bagian ini
juga terdapat sebuah ruangan sempit /bilik yang sempit dan tinggi.
Dimensinya 1,40 m X 0,85 m X 4,65 m, sedangkan tebalnya
tembok lebih dari 1,00 m. Pintu masuk ruangan ini terbuat dari
kayu jati dilengkapi dua buah pintu tinggi 1,35 m dan lebar 0,85
m. Pada kanan dan kiri pintu terdapat candi sudut. Seluruh model
xcix
candi sudut ini merupakan tiruan bentuk asli menara kudus. Oleh
karena itu berdasarkan candi sudut tersebut, dapat direkonstruksi
seluruh bangunan menara andaikata bangunan tersebut mengalami
kerusakan. Di dalam bilik ini juga terdapat konstruksi tangga yang
terbuat dari kayu jati. Tangga tersebut diletakkan di tengah-tengah
ruangan hampir tegak lurus menuju ke puncak menara. Pada
tangga ini terdapat inskripsi yang menunjukkan angka tahun 1313
H. Angka ini merupakan tahun peringatan penggantian tangga
baru. Tubuh Menara Kudus bagian atas terdiri susunan pelipit-
pelipit mendatar yang kian ke atas kian panjang dan melebar.
Susunan tersebut dibuat sedemikian rupa untuk mengimbangi
susunan pelipit-pelipit pada badan menara bagian bawah. Pelipit
teratas merupakan pelipit puncak, yakni pelipit tebal (lis/birai)
yang berfungsi sebagai penutup seluruh pembiraian bangunan
Menara Kudus. Mengenai dimensi ukuran seluruh bagian tubuh
menara, akan lebih jelas dengan memperhatikan gambar terlampir
mengenai tampak dan irisan. Material yang dipakai, secara teknik
konstruksi yang ditetapkan, sama halnya dengan bagian
sebelumnya.
d) Konstruksi Tangga. Konstruksi tangga yang terdapat pada menara
kudus, bila ditinjau dari segi material dan bentuk, dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian : (1) Tangga batu bata yang
berbentuk tusuk lurus dengan bordes. Tangga ini menghubungkan
c
bagian soubasement serta tubuh menara; (2) Tangga kayu yang
berbentuk tusuk lurus yang terdapat pada ruangan sempit
berfungsi menghubungkan bagian tubuh dengan puncak menara.
Tangga klasifikasi pertama, tersusun dari material batu bata dan
terdiri dari 32 anak tangga atau trede, dilapisi dengan tegel. Kiri
kanan tangga, dibuat boom (dinding penutup/sayap tangga) yang
tidak berhias. Konstruksi seperti ini terdapat juga pada candi jago,
penataran, dan pencandian penagungan. Dimensi aantrede dan
optrede dari tangga tersebut adalah 0,26 x 0,26 m. Jadi tangga ini
mempunyai kemiringan 45 o. Tangga ini agak menyempit setelah
melewati borders/selaras. Tipe tangga klasifikasi kedua, tersusun
dari material kayu jati. Tangga ini hampir tegak lurus pada lantai,
seperti tangga darurat atau pun tangga untuk menara air.
Konstruksi tangganya, terdiri dari beberapa trede berbentuk
hampir bujur sangkar, dihubungkan dengan pegangan/sandaran
dengan sambungan pen dan lobang. Sambungan tersebut saat ini
diperkuat pula dengan plat besi baja.
e) Puncak Menara. Dengan menaiki tangga kayu yang terdapat pada
ruangan kecil di badan menara, maka akan sampai di puncak
menara. Ruangan yang mirip pendapa ini, berlantaikan papan
dengan lebar 18 cm. Dinaungi oleh atap tumpang bertingkat dua,
yang ditutup dengan atap sirap dan diberi hiasan. Dahulu sebelum
ada pemugaran, penutup atap terbuat dari genting dengan hiasan
ci
mustaka/memolo bercat putih dan hiasan berduri. Namun
sekarang, hiasan itu diganti dengan kaligrafi bundar yang
bertuliskan Asma Allah. Atap itu sendiri ditopang empat saka
pokok, dikelilingi balok dimensi 5/20 cm di dasarnya, dan 16
saka-saka samping yang dikelilingi oleh balok 6/20 cm di
dasarnya. Tiang-tiang tersebut bertumpu masuk pada lantai papan
berlapis. Diantara dua tiang sebelah timur, sekarang dipasang
hiasan arloji bundar yang cukup besar serta beberapa pengeras
suara. Pada salah satu balok pengerat terdapat inskripsi yang
ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa bunyinya Gapura rusak
ewahing jagad. Jagad-1, ewah-6, rusak-0, gapura-9; kalimat
seluruhnya menunjukkan tahun Jawa 1609 atau 1685 M.
Menurut J. Knebel inskripsi tersebut berbunyi : Gaphoera sak
owah ing jagad wong ngaroengoe. Namun angka tahun yang
diterjemahkan olehnya sama, dengan yang telah diuraikan
sebelumnya. Adapun penetapan angka tersebut, menunjukkan
bahwa bagian atap menara pernah mengalami perbaikan. Yang
menarik, inskripsi ini menimbulkan perdebatan. Prof. Dr. Sutjipto
Wirjosuparto menolak hipotesa Bernet Kempers yang menyatakan
bahwa Menara Kudus tadinya tak beratap, atap yang sekarang
merupakan tambahan kemudian. Di bawah atap menara,
tergantung sebuah bedug berdiameter lebih kurang 88 cm dan
panjang 140 cm. Kedudukannya menghadap arah ke utara selatan.
cii
Di samping bedug, tergantung pula sebuah kentong kayu. Kedua
benda ini dibunyikan pada saat adzan akan diserukan sebagai
isyarat memanggil umat untuk bersholat. Penempatan bedug
tersebut memang agak janggal, sebab biasanya bedug diletakkan
pada serambi masjid. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika
G.F. Pijper menghubungkan menara kudus dengan bale kulkul di
Bali. Dengan itu, Pijper juga menyimpulkan bahwa Menara Kudus
bukanlah menara. Duduk persoalannya sekarang, adalah apakah
pendapat itu benar atau tidak. Ditilik dari segi fungsi memang
antara Menara Kudus dengan bale kulkul kebetulan memiliki
fungsi sama yaitu sebagai isyarat memanggil manusia. Namun,
rupanya Pijper tidak meninjau lebih jauh bahwasanya pengaturan
penempatan beduk di serambi masjid seperti yang dikatakan, sama
sekali tidak ada dalam ajaran Islam. Tidak ada satu ayat pun dalam
Al-Qur’an maupun sunnah Rosul yang mengatur hal tersebut.
Kalau dilihat dari segi konstruktif, jelas bagian tersebut tidak
menahan bagian lain dari konstruksi atap kecuali beduk. Dari segi
estetika justru menimbulkan kesan tanpa penggantung itu pin
dirasakan leih indah. Pijper agaknya hanya melihat dari kaca mata
kebiasaan tata letak beduk di masjid. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa Islam tidak mempermasalahkan tata letak beduk,
di mana pun diletakkan tidak menjadi soal. Malahan dengan
diletakkannya beduk dan kentongan kayu secara bersama,
ciii
memperlihatkan betapa Islam dalam misinya yang damai tidak
menghilangkan tradisi lama. Dan, Menara Kudus tetap merupakan
tempat adzan yang dirancang menyerupaib candi maupun bale
kulkul di Bali. Hal ini tidak lain merupakan taktik dakwah Islam
dalam mengembangkan sayap. Kontruksi atap tumbang dua
tingkat yang menjadi penutup menara, secara teknis termasuk jenis
atap jurai yang terdiri dari jurai luar (bentuk limas) dan jurai
dalam (limas terpancung). Jurai luar terbentuk dari satu saka tegak
lurus dua balok horizontal (bersilang) satu sama lain dihubungkan
dengan sambungan pen lubang yang diperkuat dengan pasak. Saka
tadi merupakan sumbu bagi jurai, dan sebagai tumpuan dari
rangka-rangka jurai (bubungan). Sedangkan tumpuan bawah dari
rangka-rangka jurai tadi berupa empat pelangri yang saling
menyiku. Pelangi ini juga menjadi tumpuan dari dua balok silang
horizontal di atas. Di atas rangka-rangka jurai tadi dipasang reng-
reng yang akan menjadi tempat kedudukan sirap penutup. Jenis
alat sambung yang digunakan pada konstruksi ini adalah paku.
Pelangri-pelangri di atas dibentuk karena ditopang oleh empat
saka pokok dan siku-siku penguat. Pada saka ini, di bawah serta
yang sejajar dengan pelangri, juga bertumpu empat balok sunduk
yang merupakan atas rangka-rangka jurai limasan terpacung.
Sedangkan tumpuan bawahnya berupa pelangri yang ditopang
pada empat saka sudut di antara 16 saka yang terpasang
civ
mengelilingi pinggir pendapa. Perlu diketahui bahwa pada
konstruksi di atas, ada juga dipakai penguat dari besi baja pada
bagian-bagian tertentu. Bentuk atap tumpang dua tingkat memang
sukup menarik. Berikut ini sebetulnya sudah lama dikenal sejak
zaman pra islam, kini masih lazim didapat di Bali. Namanya meru,
digunakan untuk mengatapi bangunan-bangunan ssuci di dalam
pure. Islam agak memihak ganjil dalam jumlah tingkat atap seperti
satu, tiga, atau lima demikian kata Nicolaus de Graaf yang di kutip
oleh G.F. Pijper dalam bukunya Minaret of Java. Kedua tingkat
pada atap menara cukup mengundang pertanyaan bagi penulis.
Sebab kalau kita layangkan pandangan ke arah masjid kudus yang
berada di sebelah menara, tampak tiga tingkatan atap tumpang
sebagai penutup. Apakah perbedaan ini mempunyai arti bahwa
masjid merupakan bangunan utama sedangkan menara merupakan
bagian dari masjid. Secara fisik bangunan, pemikiran di atas
mungkin benar. Namun masih ada nilai-nilai filosofi yang tersirat.
Bahwasanya dua tingkat atap menara mempunyai makna
Syahadatain (dua kalimat syahadat). Hal ini menunjukkan syarat
pertama yang harus dipenuhi bagi orang Islam yakni
mengucapkan, menyakini dan mengamalkan kalimat Asyhadu anla
ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (aku
bersaksi hanya Allah Tuhan itu dan Muhammad adalah utusan-
Nya). Dengan filosofi ini tampak adanya tendensi awal untuk
cv
mengislamkan yang masih beragama Hindu. Jika dijabarkan lebih
jauh lagi, ada kesan bahwa dua tingkatan pada atap merupakan
pelengkap dari struktur empat tingkat pada atap merupakan
pelengkap dari struktur empat tingkat di bawahnya (ragawi
menara-kaki; tubuh bagian bawah;tubuh bagian tengah; tubuh
bagian atas). Sehingga semua tingkat tersebut berjumlah enam
tingkat, dan saling berkaitan menjadi satu kesatuan yang utuh dan
bernilai luhur berupa Rukun Iman. Hal ini menunjukkan fase
kedua yang harus segera dijalankan bagi masyarakat yang baru
memeluk Islam untuk meyakini adanya Allah SWT, kitab-kitab
suci ciptaan-Nya, Malaikat-Malaikat-Nya, Rosul-Rosul-Nya, Qada
dan Qadar serta hari akhir. Dengan filosofi ini tampak adanya
tendensi untuk menanamkan dasar-dasar ajaran Islam yang kokoh
pada pemeluk Islam. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh
suatu rasa kepercayaan yang mendalam terhadap agama yang baru
mereka anut. Andaikata tingkatan-tingkatan tadi disederhanakan
lagi, akan tampak bahwasanya nilai filosofi yang berbentuk dari
kesatuan dua tingkatan atap dengan tiga tingkatan ragawi menara
(kaki; tubuh; puncak) merupakan perlambang dari Rukun Islam
dan Hukum Islam (Ahkam al Khamsa). Setelah para pemeluk
agama Islam mempunyai pondasi yang kokoh berupa iman, maka
fase berikut yang harus mereka sempurnakan sebagai syarat untuk
mendapat predikat muslim yakni : (1) Mengucapkan dua kalimat
cvi
syahadat; (2) Mengerjakan sholat; (3) Mengeluarkan zakat; (4)
Mengerjakan ibadah haji bagi yang mampu; (5) Puasa bulan
ramadhan. Predikat muslim dan mukmin telah mereka dapat,
selanjutnya mereka harus mengetahui hukum/norma-norma
perkara yang mereka laksanakan. Istilah ini dalam Islam dikenal
dengan sebutan Ahkam al Khamsa yakni : wajib, sunnah, haram,
makruh, dan mubah. Analisa filosofi ragawi menara telah
diuraikan di muka. Dari analisa-analisa di atas, terlihat betapa
agung nilai-nilai filosofi yang terkandung pada bangunan Menara
Masjid Kudus. Bertolak dari hal tersebut, tercermin sifat elastis
serta fleksibelitas perancang dalam mengadaptasi rancangannya
dengan lingkungan setempat, sehingga secara secara tak disadari
mereka telah diperkenalkan dengan agama baru yang agung yakni
Islam.
f) Ritual. Ajaran Islam secara utuh memang tidak mengatur segi-segi
ritual dalam pelaksanaan teknik bangunan. Namun telah dikenal
istilah hari baik serta upacara-upacara lain yang diterapkan pada
awal dan akhir pelaksanaan teknik bangunan. Menara Kudus
sebagai tempat untuk menabuh kentongan beduk serta tempat
untuk adzan, kemungkinan besar masih menerapkan segi-segi
ritual dalam pelaksanaan teknik bangunan. Namun melihat pribadi
Sunan Kudus, jelas segi-segi yang dilaksanakan bukanlah segi-
segi yang akan merusak akidah Islam.
cvii
h. Ornamen
Tata seni rupa dan arsitektur Islam, memang tidak lepas dari pengaruh
perkembangan agama dan tata kehidupan masyarakat setempat. Kalau kita
ingat arsitektur mengandung pengertian pembagian tata ruang untuk
keperluan penghidupan dan kehidupan manusia tempat tinggal
beristirahat, bekerja dan lain sebagainya, dapatlah dimengerti bahwa
pembagian tata ruang tersebut disesuaikan dengan kebutuhan hidup dan
pandangan filsafatnya. Dan pandangan hidup manusia ini tidak terlepas
dari sekitarnya.
Seni bangunan dan ornamen Menara Kudus tidak lepas dari filsafat
keagamaan Islam, tata kehidupan masyarakat, kelompok masyarakat serta
keselarasan, keharmonisan dari alam, manusia dan hubungannya dengan
pencipta (Tuhan) merupakan syarat pokok dalam penentuan dasar-dasar
arsitektur dan kegunaan ornamen di dalamnya.
Bangunan sejenis menara dalam zaman pra Islam, pembagian tingkatan,
serta adanya ornamen, patung, merupakan syarat mutlak sesuai dengan
tata aturan yang berlaku pada agama Hindu. Tata ornamen dalam Islam
memang ada disebut baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Pada
dasarnya, Islam tidak melarang keindahan. Kalau kita analisa Al-Qur’an,
Surat 7 : 31 –33. ternyata Allah menyuruh kita untuk berpakaian yang
indah setiap masjid, makan dan minum namun jangan berlebihan (31).
Lalu pada ayat selanjutnya rangkuman yang didapat ialah Allah tidak
mengharamkan perhiasan, dan menyediakan rezeki yang baik bagi orang-
cviii
orang yang beriman maupun yang tidak. Kemudian pada ayat 33 Allah
lebih memperjelas bahwasanya diharamkan perbuatan keji serta perbuatan
yang mempersekutukan-Nya dengan orang lain. Disamping itu kalau kita
perhatikan sunnah Rasulullah SAW, yang termaktub dalam mukadimah
Ibnu Khaldum dikatakan sesungguhnya Tuhan itu Maha Indah, ia
mengasihi keindahan.
Folklor Masjid Al-Aqso atau Al-Manar berkaitan dengan pendirian
Masjid ini. Masjid Al-Aqso didirikan pada tahun 956 H atau bertepatan
dengan tahun 1549 M. Hal ini didasarkan pada batu bertulis yang bertuliskan
bahasa Arab. Ukuran batu bertulis ini panjangnya 46 cm dan lebar 30 cm.
Batu ini konon berasal dari Baitulmakdis (Al-Quds) di Yeruzalem (Darus-
Salam) Palestina dan kata Al-Quds kemudian menjadi kudus yang artinya suci
dan dijadikan nama daerah di sekitar pendirian masjid.
Bagian selatan masjid terdapat kolam padasan yang dilengkapi dengan
8 buah pancuran dengan kepala arca Kebo Gumarang yang dikenal dengan
“Astasanghi-Kamarga” atau delapan jalan mencapai kebenaran yaitu
pengetahuan yang benar, keputusan yang benar, perkataan yang benar,
perbuatan yang benar, cara penghidupan yang benar, meditasi yang benar, dan
comtemplasi yang benar. Masjid dilengkapi dengan Mihrab, Mustaka yang
terbuat dari emas 24 karat yang beratnya 3 kg. dan dilengkapi dengan dua
bendera yang terdapat di kanan kiri mimbar bendera tersebut berwarna hijau
tua dan kuning keemasan sebagai lambang kebesaran dari Sunan Kudus.
cix
Komplek-komplek makam Sunan Kudus terbagi-bagi dalam beberapa
blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri dari hubungannya terhadap
Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri Kanjeng Sunan, ada blok
para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam Kanjeng Sunan
sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antarblok berbentuk gapura
candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang
disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti layaknya
bangunan candi. Panorama yang nampak adalah kompleks pemakaman Islam
namun bercorak Hindu.
Kompleks permakaman di belakang masjid Sunan Kudus ramai oleh
orang-orang yang berdoa mencari berkah. Terlepas dari tuah-tuah itu,
memanjatkan doa untuk sang leluhur memang sangat dianjurkan. Lantai
bersih mengilat di sekeliling makam utama. Kelambu dan kain luwur masih
berwarna putih bersih. Setiap tanggal 10 Syuro, kain luwur itu diganti. Kain
yang lama biasanya menjadi rebutan karena dipercaya mendatangkan rizki
bila disimpan.
Folklor Buka Luwur yaitu memperingati khoul dan sekaligus
mengganti selambu makam (kain mori) yang dilaksanakan pada tanggal 10
Muharram (Suro). Pada acara buka luwur itu dilakasanakan kenduri dengan
beribu-ribu berkat yang dibagikan kepada pengunjung. Berkat yang dibungkus
dengan memakai daun jati ini diyakini dapat memberikan berkah. Sedangkan
kain luwurnya dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat terhindar dari
mara bahaya dan sebagai tolak balak.
cx
Folklor tradisi Dhandangan yang dilaksanakan menjelang memasuki
bulan puasa. Dandangan ini dilakukan untuk memberikan tanda dan jawaban
kepada masyarakat Kudus yang hendak menjalani ibadah puasa. Dengan
ditabuhnya bedug atau Dandangan maka berarti keesokan harinya sudah
menjalankan ibadah puasa.
2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Masjid, Menara
dan Makam Sunan Kudus
Berdasarkan penuturan Djupriyono, folklor tentang Masjid, Menara
dan Makam Sunan Kudus terdapat makna-makna filosofis yang mengandung
nilai-nilai paedagogis (nilai-nilai moral) sehingga digunakan sebagai bahan
pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus meliputi :
ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Di bidang idiologi folklor situs Menara Kudus dapat memberikan nilai
paedagogis keagamaan bagi siswa untuk meningkatkan derajat ketaqwaan
kepada Allah SWT. Dengan memanfaatkan folklor M3SK sebagai materi
pengayaan sejarah maka sekolah, guru dan siswa dapat turut serta
melestarikan situs tersebut untuk syiar Islam.
Dalam bidang politik, MA NU Banat Kudus dapat memberikan
kepercayaan kepada masyarakat tentang konsistensinya dalam turut serta
mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam Menara
Kudus dan menjadikannya sebagai salah satu simbol dan identitas Banat
cxi
sebagai salah satu sekolah yang berdiri, tumbuh, berkembang dan mencapai
kemajuan yang pesat karena lokasinya berada di sekitar Menara Kudus.
Dalam bidang ekonomi, nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada
siswa melalui pemanfaatan folklor M3SK dalam pengayaan pembelajaran
sejarah adalah semangat dan etos kerja siswa. Karena di kompleks M3SK,
setiap hari ribuan lebih pengunjung datang berziarah baik dari lokal Kudus,
luar kota, bahkan dari manca negara, dapat memberikan inspirasi bagi siswi-
siswi untuk mengembangkan kegiatan ekonomi seperti produksi barang-
barang untuk keperluan para pengunjung Menara dan makam Sunan Kudus
misalnya : pakaian muslim, asesories, bordir, oleh-oleh khas Kudus, alat
keperluan ritual, perdagangan, jasa pertokoan, jasa transportasi, jasa warung
makan dan sebagainya.
Dalam bidang sosial, melalui pemanfaatan folklor situs purbakala
Menara Kudus sebagai pengayaan pembelajaran sejarah dapat memberikan
nilai-nilai sosial kepada siswa. Karena di lokasi Menara Kudus setiap hari
dikunjungi oleh para pengunjung untuk keperluan wisata ritual, banyaknya
pengunjung inilah maka terdapat kegiatan sosial seperti adanya kerjasama
antara pengelola seperti juru kunci dan petugas makam dalam melayani para
pengunjung dalam melaksanakan ritual, akomodasi, dan memberikan jasa
pelayanan gaet untuk menerangkan kompleks Menara Kudus, kerjasama
dengan para tukang jasa, dan petugas kebersihan, serta dalam waktu-waktu
tertentu di Menara Kudus terdapat upacara ritual seperti penjasaman keris
cxii
Ciptoko/ Cintoko yang diadakan pada bulan dzulhijah dan khoul Sunan Kudus
setiap tanggal 10 Muharram.
Dengan adanya kegiatan tersebut maka dapat diambil suatu nilai-nilai
sosial yaitu adanya kegotong royongan, kerjasama antara pengurus yayasan
Menara Kudus dengan masyarakat sekitar serta sekolah-sekolah yang ada di
sekitar Menara Kudus membantu dan berpartisipasi dalam mensukseskan
kegiatan tersebut. Salah satunya adalah penentuan jadwal khusus bagi
madrasah untuk berziarah di makam Sunan Kudus.
Di bidang budaya, yang nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada
siswa adalah memberikan apresiasi tentang budaya leluhur yang patut
dilestarikan, dipertahankan dan dikembangkan demi syiar Islam. Menara
Kudus sebagai salah satu simbol kebesaran dan kejayaan Islam di masa
lampau patut ditelusuri dan digali secara terus menerus karena memiliki nilai
paedagogis yang patut ditanamkan kepada siswa sehingga dalam dirinya
timbul jiwa patriotisme terhadap bangsa, negara serta agamanya.
Menurut guru sejarah MA NU Banat Kudus Swidarto, folklor Menara
Kudus mengandung makna-makna filosofis sehingga dapat digunakan sebagai
bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus.
Makna filosofis folklor Menara Kudus ini diwujudkan dari arsitektur Menara
Kudus yaitu sebagai berikut :
a. Tata ruang
Tata ruang bangunan Menara Kudus dikaitkan dengan letak bangunan
yang ada di dalam kompleks masjid Menara Kudus. Di dalam pola
cxiii
arsitektur Islam, tidak ada aturan mengenai tata letak, baik menyangkut
bangunan peribadatan maupun bangunan suci lainnya. Namun semua itu
bukan tanpa keseragaman sama sekali, tetapi tetap memegang aturan
permainan bahwa tempat peribadatan seperti masjid dan makam dirancang
sedemikian rupa menghadap ke arah kiblat. Jadi masing-masing bangunan
memiliki tata letak sendiri-sendiri berdasarkan fungsi darinya. Namun
kenyataannya tata letak pola arsitektur kompleks masjid di Indonesia
umumnya berbeda hal ini dipengaruhi oleh faktor geografis, faktor adat
istiadat, faktor kelentukan atau fleksibilitas, yakni tata letak itu
mempunyai dimensi yang berlainan pula baik besar sedang maupun kecil
dan perkembangan arsitektur zaman Hindu sampai kedatangan orang-
orang Islam hingga kini. Arsitektur Menara Kudus dilihat dari tata ruang
mencakup tata letak pekarangan, tata letak bangunan.
1) Tata letak pekarangan
Tata letak dalam arsitektur masjid sesungguhnya memiliki arti
mendasar yakni, secara spiritual mempunyai hubungan sebab akibat,
antara bangunan itu sendiri dengan perancang bangunan itu sendiri.
Selain itu, memiliki arti tertentu bagi tata kehidupan masyarakat
sehingga dapat dijadikan suatu kriteria bahwa bangunan itu
menunjukkan tempat peribadatan, menara, makam dan sebagainya.
Tata ruang bangunan Menara Kudus memiliki kesamaan dengan
bangunan-bangunan sejamannya seperti menara masjid Banten.
Menara Kudus letaknya berada di sebelah tenggara masjid menyerupai
cxiv
balai Kulkul di Bali. Letak Menara Kudus yang berada di kompleks
masjid Al-Aqso itu sebenarnya memiliki makna politik. Sebab menara
dibangun pada tempat yang ideal, yakni dekat dengan alun-alun atau
tempat penting lainnya. Tempat tersebut paling strategis untuk
meyampaikan da’wah. Semua kegiatan masyarakat terpusat di sana
baik itu kegiatan pemerintahan, agama dan lainnya.
2) Tata letak bangunan
Tata letak bangunan kompleks Masjid Menara cukup kompleks, Bila
dikaitkan dengan tata letak Menara Kudus dengan bangunan lainnya.
Hal ini mencakup pola dari kompleks bangunan-bangunan, ukuran
dari pekarangan kompleks, bangunan-bangunan serta letaknya.
Bangunan-bangunan tersebut memiliki nilai spiritual.
Dalam kaitan dengan tata letak bangunan, Menara Kudus berada pada
halaman muka, namun agak bergeser ke selatan menghadap ke arah
barat. Posisi ini sama dengan Menara Kulkul di Bali. Letak ini
menonjolkan bagian bangunan yang berfungsi memanggil atau
mengumpulkan masa untuk bersholat. Secara taktis sangat
menguntungkan bagi kepentingan misi Islam.
b. Teknik bangunan
Dalam tinjauan arsitektur bangunan Menara Kudus, teknik bangunannya
tidak hanya untuk memenuhi persyaratan konstruksi semata tetapi
berusaha menciptakan bentuk-bentuk yang selaras dengan hubungan
antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Dalam hal teknik bangunan
cxv
tampak Menara Kudus memenuhi persyaratan tersebut. Struktur dan
keinginan bentuk terjalin dengan memperhatikan segi-segi filsafat,
ekologi, tata laksana, ritual, sifat-sifat material dan sosiologi secara
lengkap, menyeluruh dan terrinci.
Berkaitan dengan teknik bangunan tersebut Menara Kudus memiliki
makna filosofis adalah iman, Islam dan Ikhsan sebagai konsep dasar serta
ajaran tasyawuf sebagai pedoman konsep tujuan akhir. Ritual adalah
bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam teknik bangunan Menara
Kudus, sebab teknik bangunan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan
budaya yang selalu disertai nilai-nilai ritual. Teknik bangunan Menara
Masjid Kudus menghormati kepercayaan setempat seperti penggunaan
atap tumpang serta bentuk bangunan yang mirip dengan candi.
Lebih lanjut, Azwar menjelaskan tentang nilai-nilai yang terkandung
di dalam folklor Menara Kudus yang dapat ditanamkan kepada siswa. Nilai
folklor yang dapat ditanamkan kepada siswa cukup banyak hal ini diketahui
dari arsitektur bangunan Menara Kudus itu sendiri yang memiliki berbagai
makna filosofis. Di dalam bangunan Menara Kudus yang memiliki teknik
bangunan yang terdiri dari orientasi, zooning, prosesi, komposisi, dimensi,
matrial, konstruksi, ornamen dan sebagainya. Bangunan-bangunan ini
memiliki makna filosofis yang syarat akan nilai-nilai.
a. Orientasi. Teknik bangunan Menara Kudus teknik bangunannya
menunjukkan arah hubungan manusia dengan khaliqnya tergolong ke
dalam spiritual dengan sumbu religi yang arahnya diorientasikan ke kiblat
cxvi
(barat) yaitu ka’bah sebagai pusat religi umat muslim. Sedangkan pintu
gapura diorientasikan searah dengan pintu masjid dan mihrab/
pengimaman, sebagai simbolik bahwa masyarakat yang hendak
menghadap kepada sang khaliq.
b. Zooning. Area Menara Kudus dibangun pada lokasi utama. Dengan
demikian zooning menara yang terletak di sebelah tenggara kompleks
masjid lebih kurang 2 km dari alun-alun kota Kudus, dan beberatus meter
dari pasar lama. Ini menunjukkan bahwa kompleks Menara Kudus
menempati aktifitas manusia. Hal menunjukkan bahwa perancang
berdirinya Menara Kudus memilih daerah yang strategis.
c. Prosesi. Yang dimaksud prosesi Menara Kudus adalah proses pencapaian
menuju lokasi yang dimaksud. Dalam menuju Menara Kudus bebas
melalui tempat-tempat yang tersedia dapat melalui gapura Bentar, Gapura
Kori Agung, atau dari pintu kampung.
d. Komposisi. Bangunan Menara Kudus pembentukan komposisi dalam
teknik bangunan adalah tembok penyekat di kanan kiri dan depan pintu
gapura masjid, massa-massa bangunan lain serta tanaman halaman yang
dulu terdiri dari beberapa pohon (asem, sawo kecik, tanjung, pohon
kemuning, pohon kleca, pohon nagasari) mengandung makna magis.
Pohon-pohon ditanam sebagai salah satu simbol yang bermaknakan
filosofis ( asem : kalau berkunjung ke mesjid harus dengan raut wajah
yang mesam-mesem, sawo kecik : kalau berkunjung ke mesjid hendaknya
: memakai pakaian yang serba bagus dan juga hatinya harus ditata yang
cxvii
baik, pohon tanjung : bermakna bahwa orang yang datang ke masjid harus
menjunjung tinggi nama Allah yang Maha Kuasa, Pohon kemuning :
Pohon kemuning dipersepsikan oleh masyarakat bahwa setelah duduk
enak di dalam masjid maka harus mengheningkan cipta seraya memohon
kepada Allah agar diberi ampunan dan petunjuk dan Pohon nagasari
bermaknakan bahwa orang yang berada di masjid setelah duduk dengan
enak, mengheningkan cipta beribadah kepada Allah dan kemudian
mendengarkan fawa-fatwa dari ulama maka harus dapat menyarikan /
intisari dari ajaran yang diberikan oleh ulama / kyai di dalam masjid).
Bangunan penyekat memberikan keseluruhan isi yang terkurung, serta
memisahkan dengan tegas antara ruang halaman utama dan halaman luar.
Sedangkan massa bangunan lain seperti masjid sebagai bangunan utama,
gapura, sumur dan pemakaman yang memberikan kesan dalam dan
kompleks.
e. Dimensi. Dalam kehidupan dunia, manusia berusaha menyelaraskan
benda-benda bumi dengan alam, sehingga perwujudan-perwujudan buatan
manusia adalah skala diri dan lingkungannya. Demikian pula bangunan
Menara Kudus, dimensinya adalah proporsi manusia dari bagian-bagian
dirinya untuk menentukan jarak seperti : langkah kaki, rentangan tangan
dan sebagainya. Suatu keistimewaan dalam dimensi arsitektur Menara
Kudus adalah nilai filosofis pada setiap ukuran. Ukuran yang tak
mungkin diterjemahkan ke dalam dimensi meter tetapi satuan lainnya
mulai dari : basement (pondasi / tingkat dasar, badan dan puncak).
cxviii
f. Material. Menara Kudus tampaknya cenderung memiliki material yang
diperoleh dari daerah setempat (lokal). Material utamanya adalah batu
bata merah yang ukurannya lebar 15 cm dan panjangnya 25-28 cm.
Material batu bata merah dimungkinkan asli. Material lain yang digunakan
adalah kayu jati yang digunakan untuk tangga dan bahan atap dan tempat
untuk meletakkan bedung. Sedangkan sebagai perekat adalah badra leva
yang terbuat dari kuning telur dan madu. Ini didapatkan dari pemberian
masyarakat sekitar lokasi dari pendirian Menara.
g. Konstruksi. Tuntutan struktur bangunan menghendaki susunan material
memenuhi persyaratan kontuksi, dengan memperhatikan karakter dan
estetika serta logika yang didasari filosofis religius. Teknik konstruksi
pada bangunan Menara Kudus tetap memperhatikan karakter dan estetika
serta logika yang didasari filosofis religius. Teknik konstruksi pada
bangunan gapura, merupakan konstruksi sederhana. Material yang bahan
utama batu bata disusun membentuk konstruksi dengan memperhatikan
karakter alamiah materialnya, jelas memperlihatkan element konstruksi
yang berfungsi ganda. Selain elemen yang menyelaraskan teknik
konstuksi dengan keindahan aktivitas yang diwadahinya, juga fungsinya
menahan gaya-gaya akibat berat sendiri dan gaya-gaya luar seperti beban
angin, dan getaran gempa dan orang bebas.
Penuturan senada disampaikan oleh Deny Nur Hakim, makna-makna
filosofis dalam folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
mengandung nilai-nilai paedagogis yang dapat digunakan sebagai pengayaan
cxix
materi pembelajaran sejarah, yaitu: a) Keagamaan, yaitu sebagai ritual
keagamaan seperti tempat beribadah, tempat upacara adat dan sebagainya;
b) Sosial kemasyarakatan, yaitu membina persatuan, kesatuan dan kegotong-
royongan; c) Pariwisata, yaitu untuk tempat wisata khususnya wisata religi;
d) Pendidikan, yaitu untuk media dan sumber pembelajaran; e) Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yaitu sebagai sarana penelitian sejarah,
arkheologi, dan antropologi.
3. Kriteria kelayakan yang digunakan untuk mengetahui tentang folklor
Masjid, Menara, dan Makam Sunan Kudus yang dapat digunakan
sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA)
Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus
Pendapat Azwar, sebelum memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran, harus
ditentukan terlebih dahulu apakah folklor tersebut cocok sebagai materi
pembelajaran sejarah di MA NU Banat Kudus. Pemanfaatan folklor situs
purbakala untuk pengayaan materi pembelajaran harus memenuhi persyaratan
yakni sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah
ditentukan dalam KTSP.
Alasan yang mendasari folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus dimanfaatkan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah karena
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus merupakan peninggalan kerajaan
Islam Demak Bintoro dan menjadi simbol serta pusat kebudayaan Islam di
cxx
wilayah Kudus dan sekitarnya. Di samping itu arsitekturnya yang unik dan
spesifik dapat mencerminkan perpaduan antara kebudayaan Hindu, Budha dan
Islam. Alasan kedua adalah karena MA NU Banat Kudus sebagai salah satu
madrasah tumbuh dan berkembang di lokasi Menara bahkan pengurus
yayasan, guru dan siswanya sebagian besar berasal dari lingkungan tersebut.
Melalui pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus, MA
NU Banat Kudus dapat mempertahankan, melestarikan, menyebarluaskan
dan meneruskan cita-cita Sunan Kudus dalam mengembangkan syiar serta
kebudayaan Islam.
Pendapat Swidarto folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
dapat dimanfaatkan untuk pengayaan materi pembelajaran sejarah karena
Menara Kudus tersebut merupakan peninggalan kebudayaan Islam yang
dibangun pada masa Sunan Kudus dan sampai saat ini memiliki arti yang
sangat penting bagi pengayaan agama Islam di Kudus. Menara Kudus dapat
dijadikan sebagai simbol penghubung antargenerasi dari jaman pra Islam
(Hindu dan Budha) dan jaman Islam sampai sekarang. Sebagai salah satu
wujudnya kini banyak para pengunjung yang datang berziarah ke Makam
Sunan Kudus yang disebabkan salah satunya adalah ketertarikannya
pengunjung untuk melihat keindahan arsitektur/style gaya bangunan dari
Menara Kudus.
Sekolah mendukung pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah, mengingat MA
NU Banat Kudus sebagai salah satu madrasah yang bercirikan khusus
cxxi
keagamaan Islam yang berupaya untuk mendukung dan menjunjung tinggi
budaya Islam. Melalui pengayaan materi ini siswa mampu menguasai
kompetensi dasar yaitu menganalisis pengaruh perkembangan agama dan
kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia dan
menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di
Indonesia.
4. Pemanfaatan folklor tentang Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul
Ulama (NU) Banat Kudus
Pendapat Swidarto dan Azwar, dalam membelajarkan sejarah dengan
memanfaatkan folkor Menara Kudus diawali dari kegiatan perencanaan
pembelajaran. Dalam perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan SK dan
KD. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Sesuai dengan standar
kompetensi yang hendak dikembangkan adalah menganalisis perjalanan
bangsa Indonesia pada masa negara-negara tradisional sedangkan kompetensi
dasarnya adalah 1) menganalisis pengaruh perkembangan agama dan
kebudayaan Islam terhadap masyarakat di berbagai daerah di Indonesia;
2) Menganalisis perkembangan kehidupan negara-negara, kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia; 3) Menganalisis proses interaksi antara tradisi lokal,
Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia.
Setelah memahami SK/ KD, guru harus membuat silabus dan RPP, di
mana dalam menyusun RPP temuat materi pembelajaran yang akan diajarkan
cxxii
kepada siswa. Materi pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari
keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan
pembelajaran dapat mencapai sasaran. Sasaran tersebut harus sesuai dengan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta
didik. Artinya, materi yang ditentukan untuk kegiatan pembelajaran
hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar
kompetensi dan kompetensi dasar, serta tercapainya indikator.
Pengayaan materi pembelajaran harus memperhatikan bahan
pengayaan materi tersebut dalam kaitan kesesuaiannya dengan SK KD mata
pelajaran sejarah SMA/MA. Bahan pengayaan materi pembelajaran dalam hal
ini folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus harus dipilih secara
selektif, mana saja yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pencapaian
kompetensi baik standar kompetensi maupun kompetensi dasar dan indikator
yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran.
Langkah kedua setelah cakupan materi pengayaan sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai adalah menentukan urutan bahan pengayaan
tersebut ketika menjadi materi pembelajaran. Urutan materi pembelajaran ini
berkaitan dengan urutan penyajian materi tersebut dalam proses pembelajaran.
Penyajian materi pembelajaran harus saling berkesinambungan, koheren dan
menyatu sehingga siswa akan lebih mudah memahami materi yang sedang
diajarkan. Urutan materi pengayaan menggunakan pendekatan prosedural.
Pendekatan ini dipakai karena melalui materi pengayaan ini siswa diajak
untuk menganalisa folklor yang berkembang seputar Menara, Masjid dan
cxxiii
Makam Sunan Kudus dalam kaitannya dengan perkembangan Islam dan
kebudayaan yang berkembang di saat itu.
Langkah ketiga adalah menentukan sumber belajar yang akan
digunakan dalam pengayaan materi pembelajaran dengan memanfaatkan
folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Sumber Belajar adalah
rujukan, artinya dari berbagai sumber belajar tersebut seorang guru harus
melakukan analisis dan mengumpulkan materi yang sesuai untuk
dikembangkan dalam bentuk materi pembelajaran.
Setelah materi pembelajaran dicantumkan maka guru menentukan
metode pembelajaran yang akan diajarkan yakni metode tatap muka, metode
pemberian tugas atau inquiry, PAKEM, atau CTL. Metode-metode
pembelajaran tersebut memberikan peluang kepada siswa untuk menganalisa
kebudayaan yang ditinggalkan oleh Sunan Kudus. Setelah kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan berbagai metode yang telah disebutkan
maka langkah selanjutnya adalah mengadakan evaluasi pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa
dapat mencapai kompetensi yang telah ditentukan dengan memenuhi
indikator-indikator pembelajaran yang ditentukan oleh guru sebelumnya.
Setelah guru membuat pengayaan materi dan membuat perencanaan
pembelajaran, maka langkah selanjutnya dalam memanfaatkan folklor
Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah pelaksanaan pembelajaran
dengan memanfaatkan materi pengayaan tersebut. Berdasarkan hasil
pencatatan observasi, didapatkan bahwa MA NU Banat telah memanfaatkan
cxxiv
folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai materi
pembelajaran. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk menggali dan
menganalisa folklor peninggalan sejarah Sunan Kudus untuk lebih mengenal
dan memahami tentang perkembangan Islam pada masa tersebut.
Berdasarkan hasil observasi, setelah siswa mendapatkan tugas dan
penjelasan dari guru, siswa MA NU Banat mengunjungi kompleks Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus. Sekolah telah memberikan waktu khusus
bagi siswa MA NU Banat untuk melaksanakan tugas observasi tersebut
sehingga kegiatan ini tidak akan mengganggu jam belajar mata pelajaran yang
lain. Siswa mengunjungi lokasi observasi dengan berjalan kaki karena lokasi
sekolah dan lokasi observasi tidak terlalu jauh. Pelaksanaan pembelajaran
dengan memanfaatkan folklor ini dilaksanakan di kompleks Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus. Di kompleks Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus, siswa kemudian membagi diri menjadi kelompok-kelompok dan
melakukan observasi di lokasi yang berbeda, ada yang melakukan obserasi di
Menara Kudus, ada yang melakukan observasi di Masjid Sunan Kudus dan
ada yang melakukan observasi di Makam Sunan Kudus. Selama
melaksanakan observasi, siswa aktif bertanya dan mengadakan wawancara
dengan pengelola di sana. Setelah melaksanakan observasi dan wawancara,
siswa kembali ke sekolah untuk memberikan laporan singkat kepada guru
sejarah. Evaluasi yang dilaksanakan guru selain laporan singkat tersebut,
siswa juga harus mengumpulkan laporan lengkap mengenai hasil tugas yang
cxxv
diberikan kepada mereka. Berikut adalah salah satu contoh laporan hasil
observasi dan wawancara yang dikerjakan oleh siswa MA NU Banat:
ANALISA DAN SEJARAH MENARA, MASJID DAN
MAKAM SUNAN KUDUS
Salah satu masjid dengan menaranya, termasuk masjid tertua di
Indonesia. Letaknya di Kudus, kota yang terletak di pantai utara Jawa Tengah,
berada 51 km di sebelah utara kota Semarang, berdekatan dengan kota Pati,
Demak dan Jepara. Keunikan masjid ini adalah bahwa di sampingnya terdapat
bangunan menara yang dikenal dengan nama “Menara Kudus”, tempat
menaruh bedug masjid. Oleh karena itu, masjid ini pun masyhur dengan
sebutan Masjid Menara Kudus.
Berdasarkan inskripsi yang ditemui di atas mihrab masjid tersebut,
masjid ini didirikan pada tahun 956 H / 1549 M, pada masa Kesultanan
Demak. Menurut inskripsi, tertulis Ja’far Sadiq, sedangkan berdasarkan cerita
dari mulut ke mulut pendirinya adalah Sunan Kudus, salah seorang sembilan
wali (Wali Songo). Hal itu tidak bertentangan karena Ja’far Sadiq adalah
nama Sunan Kudus sebelum ia menjadi penguasa Kudus.
Bentuk asli masjid ini sudah tidak dikenal lagi karena telah berulang
kali mengalami perubahan-perubahan. Pada tahun 1919 masjid ini diperbaiki
dan diperluas. Pada tahun 1925 bagian depan masjid ditambah bangunan baru
berupa serambi. Serambi ini kemudian diperluas lagi pada tahun 1933 untuk
menampung jamaah salat Jum’at yang semakin bertambah. Akibat perubahan
ini, bagian depan masjid menjadi satu dengan bagian Kori-Agung (gapura)
cxxvi
yang terkenal dengan sebutan Lawang Kembar. Di atas serambi dibangun
sebuah kubah besar. Bentuknya mirip dengan bangunan di India. Sekeliling
kubah itu diukir nama-nama pahlawan Islam, antara lain Abu Bakar as Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Waqqas,
Zubair bin Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah, Imam
Malik, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali.
Perbaikan lainnya yaitu tahun 1960, yaitu meninggikan bangunan
masjid dari tinggi 13,25 m mnenjadi 17,45 m. Walaupun telah dibongkar
beberapa kali, peninggalan-peninggalan kuno yang terdapat di dalam masjid,
seperti batu bertulis, tetap terpelihara dengan baik.
Puncak masjid mulanya terbungkus dengan emas 24 karat. Ukuran
bangunan puncak 35 cm panjang, yang terbungkus emas hanya 19 cm, luas
lingkaran emas 13 cm. Akan tetapi setelah diadakan perombakan tahun 1960,
puncak masjid yang asli tidak dapat dipertahankan lagi, lalu diganti dengan
bangunan baru lingkaran emas diganti dengan Aluminium.
Bangunan Menara Kudus didirikan pada tahun 1685. bentuk menara
itu tidak ada bandingannya di Indonesia, bahkan di dunia. Bentuknya
menyerupai Candi Jago, tempat pemakaman Raja Wisnuwardana (Singasari)
yang terdapat di Malang. Bagian puncak dai menara bukan lagi bangunan asli.
Puncak bangunan asli runtuh pada tahun 1947 sehingga diganti baru. Pada
bagian dalam menara terdapat sebuah tangga yang terbuat dari kayu jati
bertuliskan angka 1313 H, menunjukkan tahun pembuatan tangga tersebut.
cxxvii
Bangunan Menara Kudus merupakan perpaduan antara seni bangunan
Indonesia asli, Hindu dan Islam.
Bangunan lain yang berada di sekitar Menara Kudus adalah makam
Sunan Kudus, gapura-gapura, dan tajuk. Makam Sunan Kudus terletak di
sebelah barat masjid. Di pintu makam itu tertulis kalimat al-asma’al al-husna
dan angka tahun 1296 H yang merupakan tahun pembuatan tulisan itu.
Makam itu dikelilingi oleh makam para wali, istri Sunan Kudus, dan para
pangeran /ahli waris Sunan Kudus. Di sekitar masjid dan menara terdapat
banyak gapura. Khusus di dalam masjid terdapat dua gapura yang disebut
Kori-Agung. Pada kiri kanan gapura dijumpai hiasan dinding yang mirip
dengan hiasan Masjid Mantingan Jepara. Pada gapura yang terletak di serambi
depan masjid (lawang kembar) ditemukan tulisan dalam bahasa Arab tahun
1215 H, yang merupakan tahun penulisannya. Di sebelah selatan makam
Sunan Kudus terdapat sebuah tajuk, yaitu semacam langgar yang pada tiang
atapnya dijumpai anagka 1145 H, yang merupakan tahun pembuatannya.
Menara Kudus diabadikan dalam mata uang pecahan lima ribuan.
5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Masjid,
Menara dan Makam Sunan Kudus
Pendapat Moh. Said, memanfaatkan Menara Kudus sebagai
pengayaan materi pembelajaran sejarah banyak dihadapkan kepada kendala,
yaitu alokasi waktu. Karena dalam pembelajaran alokasi waktu dalam struktur
program KTSP hanya diberikan waktu 1 jam pelajaran perminggu sedangkan
cxxviii
materi pembelajaran sejarah cukup banyak. Oleh karena itu, guru harus pandai
mengatur waktunya. Kendala tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
metode terintegrasi, siswa disuruh untuk mencari buku sumber yang berada di
sekitar menara serta melihat menara Kudus. Dari sinilah siswa dapat
memahami menara Kudus dari dekat yang akan dapat menambah pemahaman
siswa.
Pendapat Swidarto, terdapat kendala yang dihadapi guru dalam
memanfaatkan Menara Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran
sejarah. Kendala yang dihadapi yaitu alokasi waktu yang hanya 1 jam
pelajaran. Waktu tersebut kurang memadai karena banyaknya materi yang
harus diajarkan dalam pembelajaran sejarah. Kendala tersebut dapat
dipecahkan dengan cara memberikan tugas kelompok, maupun individu untuk
mencari sumber-sumber tentang Menara Kudus dan kemudian
mendiskusikannya dengan mempresentasikan hasil temuan siswa di lapangan
yang menyangkut menara Kudus.
Azwar menyatakan bahwa pemanfaatan Menara Kudus sebagai materi
pembelajaran sejarah dihadapkan pada kendala, yakni sumber dan waktu
belajar. Sebagai pengayaan materi pembelajaran, folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus harus memiliki sumber belajar yang lengkap dan
terpercaya untuk mendukung pencapaian kompetensi dalam pembelajaran.
Kondisi tidak terlalu menguntungkan karena folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus merupakan sebuah fragmen-fragmen yang terpecah-
pecah dan membutuhkan keahlian untuk menjadikannya sebuah bahan yang
cxxix
utuh dan mudah dipahami. Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
hanya diketahui oleh beberapa orang saja sehingga menyulitkan guru untuk
mendapatkan data yang utuh dalam pengayaan materi pembelajaran Sejarah
MA NU Banat. Kendala ini dapat dipecahkan melalui kerjasama dengan
YM3SK yaitu yayasan Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus untuk dapat
memfasilitasi kepada siswa yang berusaha mencari sumber dan mengadakan
observasi di kompleks Menara Kudus dengan bimbingan guru. Melalui cara
tersebut siswa dalam satu kali pertemuan dapat melihat secara langsung
hakekat Menara Kudus, Masjid Al-Aqsa dan Makam Sunan Kudus baik dari
arsitektur, sejarah, nilai moral yang terkandung di dalamnya dan sebagainya.
Di samping itu memberikan tugas kepada siswa untuk membuat resume dan
tugas kelompok sebagai hasil dari kunjungan ke Menara Kudus.
C. Pokok-Pokok Temuan
1. Folklor Masjid, Menara dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di
masyarakat Kudus
Folklor yang berkembang seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus adalah: 1) folklor mengenai Sunan Kudus; 2) tradisi dhandangan untuk
menyambut Puasa Ramadhan; 3) folklor tentang pembangunan Menara
Kudus; 4) folklor mengenai pembangunan Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar
Sunan Kudus; 5) tradisi penjamasan keris; 6) tradisi khaoul (peringatan
wafatnya Sunan Kudus yang diadakan setiap 1 tahun) dan buka luwur
(mengganti selambu yang menutupi makam Sunan Kudus).
cxxx
2. Makna filosofis yang terkandung dalam folklor tentang Masjid, Menara
dan Makam Sunan Kudus
Makna filosofis yang terdapat dalam folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus mengandung nilai-nilai paedagogis yang dapat
digunakan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah. Makna filosofis
yang terkandung dalam folklor ini terkait dengan penyebaran agama Islam
yang dilakukan oleh Sunan Kudus. Makna filosofis yang terdapat dalam
folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus mengandung ajaran agama
Islam yang sangat kental. Setiap tradisi dan folklor yang berkembang di
masyarakat selalu mengandung ajaran-ajaran Islam dan toleransi beragama
yang diajarkan oleh Sunan Kudus dalam rangka Islamisasi masyarakat Kudus
dan sekitarnya.
3. Kriteria kelayakan tentang folklor Masjid, Menara, dan Makam Sunan
Kudus sebagai bahan pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah
(MA) Nahdlatul Ulama (NU) Banat Kudus
Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat Kudus harus
memperhatikan kelayakannya sebagai materi pembelajaran sejarah. Folklor
yang digunakan sebagai pengayaan materi pembelajaran harus sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapai oleh siswa berdasarkan standar kompetensi
dan kompetensi dasar serta standar kompetensi lulusan. Kriteria lain yang
mendasari pemilihan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah
cxxxi
Menara Kudus merupakan salah satu kekayaan nasional sehingga perlu
diketahui sejarah dan keberadaannya oleh siswa. Siswa MA NU Banat sebagai
salah satu madrasah (sekolah yang menekankan pada pendidikan umum dan
pendidikan agama Islam) dan terletak di sekitar kompleks Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus perlu untuk mengetahui, mempelajari dan melestarikan
peninggalan sejarah nasional tersebut melalui folklor yang berkembang di
sana.
4. Pemanfaatan folklor tentang Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus
sebagai pengayaan materi sejarah di Madrasah Aliyah (MA) Nahdlatul
Ulama (NU) Banat Kudus
Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
membutuhkan persiapan yang matang. Pertama, guru harus memahami
standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sejarah yang
berkaitan dengan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Kedua,
guru harus menentukan cakupan bahan pengayaan yang dapat dimanfaatkan
dalam pengayaan materi pembelajaran sejarah MA. Ketiga, menetukan urutan
materi pengayaan dalam materi pembelajaran sehingga urutan penyajian
materi dalam kegiatan pembelajaran dapat saling berkesinambungan, koheren
dan utuh. Urutan materi dalam pengayaan materi folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus menggunakan pendekatan prosedural. Langkah ketiga
adalah menentukan sumber belajar yang dapat digunakan sebagai pengayaan
materi pembelajaran.
cxxxii
5. Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,
Masjid, dan Makam Sunan Kudus
Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus adalah alokasi waktu yang tidak cukup
untuk menyampaikan materi pengayaan tentang folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus. Kendala yang kedua adalah berkaitan dengan sumber
belajar yang menjadi bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU
Banat. Guru kesulitan mencari sumber informan yang dapat meyampaikan
folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara lengkap dan
terpercaya sehingga kompetensi dan indikator yang ingin dicapai dalam
pembelajaran dapat terwujud dengan maksimal.
D. Pembahasan
Ilmu pengetahuan adalah suatu kompleksitas permasalahan yang sangat
dinamis yang dihadapi manusia dalam upayanya mencari kebenaran. Dalam
perkembangannya secara singkat dapat dikatakan ilmu mengalami pertumbuhan
dan perkembangan dari jaman Pra Yunani kuno-Yunani abad pertengahan sampai
pada masa Renaissance. Dalam perkembangan selanjutnya dalam upaya mencari
kebenaran (epistemologi) terdapat dikotomi antara ilmu western dan ilmu non
western. Western (Barat) berupaya dengan penuh kesadaran melakukan suatu
kegiatan kongkret berkelanjutan untuk memperbaiki, merombak, memperbarui
tata kehidupan, tata masyarakat atau tata negara yang dirasakan tidak memuaskan.
Hal ini dalam bentuk filsafat ilmu pengetahuan dan implikasi-implikasinya yang
cxxxiii
dirintis sejak jaman Yunani kuno dan diterapkan di dunia Barat sejak Renaissance
dan Aufklarung sampai sekarang yang hasilnya berupa IPTEK. Sedangkan ilmu
Non Western subjek escape dari kenyataan yang tidak memuaskan. Artinya akan
menjauhi dan mengasingkan diri secara fisik/ruhani. Pencari kebenaran akan
meng” cover ”, memperindah kenyataan yang tidak memuaskan dengan khayalan
atau gambaran sesuatu yang ideal.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka sebagai seorang intelektual, guru
perlu mengambil bahan-bahan yang akan memperkaya pengetahuan siswa. Guru
perlu mengembangkan materi pembelajaran dengan memperhatikan dan
memanfaatkan potensi daerah setempat.
Folklor secara umum didefinisikan sebagai bagian kebudayaan suatu
kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun. Diantara kolektif
dalam berbagai macam versi yang berbeda dan bersifat tradisional baik dalam
bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu
pengingat / mnemonik device. Folklor yang berkembang di seputar kompleks
Menara Kudus merupakan kebudayaan yang tercipta dari penyebaran agama
Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus di Kudus dan sekitarnya.
Folklor yang berkembang di seputar kompleks Menara Kudus memiliki
logika yang hanya diterima oleh masyarakat Kudus. Logika yang terdapat dalam
folklor yang berkembang di seputar kompleks Menara Kudus terkadang dianggap
orang di luar daerah Kudus sebagai logika yang tidak masuk akal, akan tetapi bagi
penduduk asli Kudus folklor tersebut adalah logis dan memang sudah seharusnya
seperti itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam
cxxxiv
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) yang menyatakan bahwa folklor sebagai
bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif), maka folklor bersifat pralogis yaitu
logika yang khusus dan kadang berbeda dengan logika umum.
Folklor Menara, Masjid,dan Makam Sunan Kudus merupakan salah satu
unsur kebudayaan. Folklor yang berkembang di Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus merefleksikan kebudayaan yang berkembang di Kudus dan
kebudayaan tersebut merupakan ciri khas dari kota Kudus. Hal ini sejalan dengan
pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam http://elka.umm.ac.id/ artikel2.htm)
yang menyatakan bahwa folklor berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan
universal yaitu ekonomi (sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan
dan perlengkapan hidup), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem
pengetahuan, dan religi.
Folklor yang berkembang di seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus mengandung makna-makna filosofis. Makna filosofis yang terkandung
dalam folklor Menara, Masjid, dan Makam Sunan Kudus merupakan perwujudan
dari cara Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam di Kudus dan sekitarnya.
Folklor yang berkembang di kompleks Menara Kudus mempunyai tujuan dan
fungsi sebagai manifestasi pola pikir masyarakat pada masa itu sehingga Sunan
Kudus menggunakan cara penyebaran Islam secara damai. Kondisi ini didukung
oleh pendapat Arif Budi Wurianto (2007, dalam
http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm) yaitu folklor mengungkapkan secara sadar
atau tidak sadar bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak,
cxxxv
berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai,
dan mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh kolektif pendukungnya.
Penentuan Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai
pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat harus bersesuaian dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan oleh Badan
Standarisasi Nasional. Penyesuaian bahan pengayaan materi pembelajaran dengan
standar kompetensi dan kompetensi dasar diharapkan siswa dapat memenuhi
standar kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh BSN.
KTSP merupakan sebuah kurikulum di mana memiliki karakteristik
sekolah dapat mempergunakan potensi daerah sebagai bahan pengayaan
kurikulum sekolah. KTSP memberikan peluang kepada sekolah terutama guru
untuk mempergunakan bahan yang ada di lingkungan sekitar sebagai bahan
pengayaan materi pembelajaran sehingga memberikan ciri khas pada sekolah.
Penggunaan potensi daerah ini yaitu folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus akan memberikan siswa nilai lebih sehingga selain mendukung pencapaian
kompetensi yang telah ditentukan, siswa juga dapat mendapatkan pelajaran ekstra
tentang kebudayaan yang telah berkembang di Kudus.
Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai
pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU Banat Kudus dapat dilakukan
dengan memasukkan materi pengayaan tersebut dalam materi pembelajaran dan
dicantumkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Pengayaan materi harus
relevan dengan materi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa. Materi
pengayaan harus mencukupi dan konsisten untuk dijadikan sebagai materi
cxxxvi
pembelajaran sehingga materi pengayaan ini dapat dipertanggungjawabkan
sebagai pencapaian kompetensi siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip pengayaan
materi yang disampaikan oleh Awan Sundiawan (2008 dalam
http://AwanSudiawan.blog.net) yaitu prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam
menentukan materi pembelajaran adalah kesesuaian (relevansi), keajegan
(konsistensi), dan kecukupan (adequacy).
Kendala yang dihadapi guru merupakan kendala teknis dalam pengayaan
materi pembelajaran dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus. Kendala teknis ini meliputi alokasi waktu dan sumber belajar yang
akan dijadikan sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah di MA NU Banat.
Kendala teknis ini bukanlah merupakan kendala yang prinsipal sehingga
menjadikan pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus tidak
dapat digunakan. Kendala teknis ini dapat dicari solusinya sehingga pengayaan
materi dengan memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus
dapat terlaksana dengan maksimal dan dapat memenuhi kompetensi lulusan yang
dicapai siswa.
cxxxvii
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan
Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di
masyarakat memiliki berbagai versi. Folklor tersebut adalah folklor tentang Sunan
Kudus, folklor tentang pembangunan Menara Kudus, folklor tentang
pembangunan Masjid Al-Aqsa, dan folklor yang berkaitan dengan pembangunan
kompleks Makam Sunan Kudus. Folklor tentang Sunan Kudus berkaitan dengan
asal-usul Sunan Kudus, perjalanan Sunan Kudus sehingga mendapatkan batu dari
Baitulmaqdis Palestina yang kemudian menginspirasi Sunan Kudus untuk
menamakan daerah di sekitar penyebaran Islam yang dipegangnya dengan nama
Kudus, bagaimana Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam dan
sebagainya. Folklor tentang pembangunan Menara Kudus adalah alasan pendirian
Menara Kudus, bagaimana pendirian Menara Kudus tersebut dan sebagainya.
Folklor tentang Masjid Al-Aqsa Sunan Kudus meliputi bagaimana Masjid ini
dibangun, kegunaan dan bahan pembangunan Masjid ini bagi penyebaran agama
Islam saat itu. Folklor tentang Makam Sunan Kudus berkaitan dengan tata letak
dan bagaimana Makam tersebut dibangun untuk tetap memberikan pendidikan
bagi peziarah dan masyarakat sekitarnya.
Folklor yang berkembang tersebut memiliki berbagai makna dan tujuan
yang ingin dicapai oleh Sunan Kudus. Makna filosofis yang terkandung dalam
folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus berkaitan dengan ajaran-ajaran
122
cxxxviii
agama Islam yang ingin disampaikan oleh Sunan Kudus. Folklor-folklor yang
berkembang seputar Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus mengandung
nilai-nilai moral dan ajaran Islam yang memang sengaja dimasukkan oleh Sunan
Kudus dalam kepentingannya menyebarkan agama Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya.
Makna-makna filosofis yang terkandung dalam folklor Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus tersebut mengandung ajaran moral dan pendidikan
yang sesuai dengan tujuan pendidikan sejarah di SMA/MA. Berdasarkan hal
tersebut, maka folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus dimanfaatkan
oleh MA NU Banat sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran sejarah.
Kriteria yang dipakai dalam menentukan kelayakan folklor Menara, Masjid dan
Makam Sunan Kudus sebagai pengayaan materi pembelajaran sejarah MA NU
Banat adalah folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus harus sesuai dan
menunjang pencapaian standar kompetensi dan Kompetensi dasar sejarah
SMA/MA. Kriteria kedua adalah sebagai madrasah yang mengusung pendidikan
Islam maka MA NU Banat perlu mengetahui dan meneruskan perjuangan para
Auliyya’ dalam menyebarkan agama Islam dengan memasukkan folklor Menara,
Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai materi pembelajaran dengan cara
pengayaan materi pembelajaran yang sudah ada.
Pemanfaatan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai
bahan pengayaan materi pembelajaran perlu dipersiapkan dengan baik. Sebelum
memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan
pengayaan materi pembelajaran adalah memeriksa kesesuaian folklor tersebut
cxxxix
dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar sejarah SMA/MA. Kedua,
menentukan cakupan materi yang dapat digunakan dalam pengayaan materi
pembelajaran. Ketiga, menentukan urutan materi sehingga penyajian materi dapat
berkesinambungan, koheren dan utuh sehingga mudah dipahami oleh siswa.
Urutan materi menggunaan pendekatan prosedural.
Kendala yang dihadapi guru dalam memanfaatkan folklor Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran adalah
alokasi waktu yang sedikit dan kesulitan mendapatkan sumber informan yang
dapat menjelaskan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus secara
lengkap dan terpercaya.
B. Implikasi
Folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus banyak berkembang di
masyarakat secara terpisah-pisah. Masyarakat satu dengan yang lain memiliki
versi folklor yang berbeda tentang Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus.
Kondisi ini memberikan dampak negatif bagi guru untuk mendapatkan informasi
tentang folklor secara utuh, lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Kesulitan ini membawa dampak negatif bagi pengumpulan bahan
bagi pengayaan materi pembelajaran sejarah. Selain dampak negatif, keragaman
folklor yang berkembang juga memberikan dampak positif yaitu guru
mendapatkan beragam cerita mengenai satu tempat saja. Keragaman ini dapat
menjadikan guru untuk memacu kreatifitas siswa dalam menganalisa folklor yang
berkembang di masyarakat yang sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi.
cxl
Makna yang terkandung dalam folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan
Kudus merupakan ajaran dari Sunan Kudus tentang Islam. Makna filosofis
tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat karena makna-makna
tersebut dapat digunakan sebagai bahan pengajaran agama Islam bagi masyarakat.
Makna-makna filosofis ini dapat dimanifestasikan dalam memahami cara
penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Kudus pada masa itu untuk
dianalisa oleh siswa.
Folklor yang berkembang sangat beragam sehingga untuk memanfaatkan
folklor tersebut sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran, guru harus bekerja
ekstra keras agar folklor yang diambil dapat mendukung pencapaian kompetensi
sejarah SMA/MA yang telah ditentukan oleh BSNP. Pemeriksaan suatu sumber
belajar sebagai bahan pengayaan materi pembelajaran perlu dilakukan dan harus
disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah
ditentukan oleh BNS sehingga materi pengayaan dapat menunjang pencapaian
kompetensi lulusan siswa. Pemeriksaan tersebut akan membeikan dampak positif
bagi pembelajaran sejarah karena pembelajaran sejarah dapat lebih bermakna bagi
siswa di mana siswa diajak berpikir untuk melestarikan folklor yang ada di daerah
asalnya dan mampu memanfaatkannya sebagai bahan pengembangan kompetensi
yang memang harus mereka capai.
cxli
C. Saran-Saran
Berdasarkan kajian teori sebagai kondisi ideal serta kondisi nyata di
lapangan seperti yang disajikan dalam simpulan dan implikasi, maka beberapa
saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Perlu adanya suatu pembukuan inventarisasi terhadap folklor Menara, Masjid
dan Makam Sunan Kudus yang berkembang di masyarakat sekitar.
2. Perlunya sosialisasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Kudus untuk
memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sebagai
pengayaan materi pembelajaran di SMA dan MA yang lain.
3. Perlu adanya suatu tim untuk mengembangkan materi pembelajaran dengan
memanfaatkan folklor Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus sehingga
pengayaan materi dapat lebih terfokus dan terarah sebagai penunjang
pencapaian standar kompetensi lulusan.
4. Perlunya mencari metode-metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif
dalam memanfaatkan materi pengayaan folklor Menara, Masjid dan Makam
Sunan Kudus.
cxlii
DAFTAR PUSTAKA
Ahfas Muntohar. 2007. Inventarisasi Benda Cagar Budaya (BCG). Kudus : Pemkab Kudus
Arif Budi Wurianto. 2007. “Memahami Psikologi Masyarakat Indonesia melalui Pengkajian Folklor Nusantara sebagai Dasar Pemahaman Psikologi Berbasis Budaya Indonesia (Pendekatan Multidisiplin Psikologi, Ilmu-Ilmu Sastra dan Antropologi)”. http://elka.umm.ac.id/artikel2.htm [Akses tanggal 13 April 2009]
Awan Sudiawan. 2008. “KTSP : Pengembangan Materi Pembelajaran”. http://AwanSudiawan.blog.net. [Akses tanggal 7 Januari 2009]
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta. Dirjen Dikdasmen
_____ .2006a. Pengembangan Materi Pembelajaran atau Bahan Ajar. Jakarta : Depdiknas
______. 2006b. Standar Isi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Standar Kelulusan. Jakarta : Dirjen Dikdasmen
Dhanar Widianta. 2008. “Dua Versi Folklor dan Lévi-Strauss”. http://www.titikoma.com/esai/dua_versi_folklor_dan_levi-strauss.php. [Akses tanggal April 13, 2009]
Dimyati dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta
Ella Yulaelawati. 2004. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi Teori dan Aplikasi. Bandung: Pakar Karya
Hambali. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Sejarah. Jakarta : Depdiknas
I Wayan Badrika. 2004. Sejarah Indonesia dan Umum Jilid I. Jakarta : Erlangga
James Danandjaja. 1997. Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Grafiti
Miles, M. B. & Hubberman. A. M. 2000. Qualitative Data Analysis : A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills, CA. : Sage Publications
Moleong.L.J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
127
cxliii
Muhammad Surya. 2003. Kapita Selekta Kependidikan. Jakarta. UT
Nana Sudjana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nasution. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belaajar Mengajar. Cetakan kesebelas. Jakarta: Bumi Aksara
Nursid Sumaadmadja. 2003. Kapita Selekta IPS. Jakarta : Universitas Terbuka
Oemar Hamalik. 2003. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi aksara
Sartono Katodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
Shodiq Mustafa. 2006. Wawasan Sejarah II. Solo : Tiga Serangkai Mandiri
Solichin Salam. 1995. Kudus Selayang Pandang. Jakarta: Gema Salam
Sugiyono. 2006. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung. Alfa Beta
Sumarno. 1996. Sejarah Budaya. Jakarta: Yudhistira
Sutiyah. 1991. Dasar-dasar IPS (IPS 4101). Buku Pegangan Kuliah FKIP – P IPS – Sejarah. Surakarta: Univeritas Sebelas Maret
Sutopo. H. B. 2006. Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta
Tedi Sutardi. 2007. “Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya”. http://books.google.co.id/books?id [Akses tanggal 17 Maret 2009]
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta : Depdiknas