1
Fondasi Masyarakat Islam: Syiar-Syiar dan Ibadah
Mukaddimah
Pilar yang kedua yang menjadi asas tegaknya masyarakat Islam setelah aqidah adalah
berbagai syiar atau peribadatan yang telah diwajibkan oleh Allah bagi kaum Muslimin
sebagai media untuk bertaqarrub kepada-Nya, sekaligus sebagai pembuktian keimanan
mereka akan pertemuan dengan Allah Ta‟ala dan memperoleh hisab-Nya.
Di antara syiar-syiar yang paling nampak adalah empat kewajiban yang didahului oleh kedua
kalimat syahadah, yang dinamakan Arkanul Islam (rukun Islam). Yang kemudian telah
dikhususkan oleh para fuqaha dengan nama 'Ibadat'.
Berkenaan dengan rukun Islam tersebut Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
dalam hadistnya yang mulia:
ل ام الصا واك
ا الل دا زطى نا محما
وأ
ا الل
اه ال
ال
ن ل
هادة أ
مع ش
ى خ
م عل
طل
حج ة واخا بني ؤلا
اة وال
و الصا
وصىم زمظان
“Islam dibangun di atas lima (pilar): Syahadat Laa ilaaha illa Allah dan (syahadat)
Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”.
(HR Bukhari).
Selain itu, ada dua kewajiban asasi yang sangat ditekankan oleh Islam dan pantas untuk
dimasukkan ke dalam bagian pilar Islam dan syi'arnya yang agung, yaitu kewaiiban beramar
ma'ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah.
Dengan demikian maka kewajiban-kewajiban yang pokok, dan syi'ar-syi'ar yang agung yang
bersifat amaliyah ada enam, yaitu: mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan,
haji ke Baitullah, beramar ma'ruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah.
Kewajiban-kewajiban tersebut dinamakan sya'a-ir (syiar-syiar), karena ia merupakan tanda-
tanda yang nampak, untuk membedakan dan memisahkan antara kehidupan seorang Muslim
dengan non Muslim. Sebagaimana nantinya dapat membedakan antara kehidupan masyarakat
Muslim dengan non Muslim. Menegakkan syi'ar-syi'ar tersebut dan mengagungkannya
merupakan bukti atas kuatnya aqidah di dalam dada. Allah berfirman: "Demikianlah
(perintah Allah). Dan barang siapa mengagunglan syi'ar-syi 'ar Allah, maka sesungguhrya
itu timbul dari ketaqwaan hati." (Al Hajj: 32)
Di sini akan kita cukupkan untuk membahas tiga dari enam kewajiban di atas, yaitu shalat,
zakat, dan amar ma'ruf nahi munkar, dan ini bukan berarti menyeluruh.
Shalat
Shalat merupakan tiang Islam. Dalam hadits Mu‟adz disebutkan,
ةل م وعمىده الصا
مس ؤلاطل
ض ألا
جهاد زأ
طىامه ال
وذزوة
“Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak adalah jihad”
(HR. Tirmidzi )
2
Shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam bersabda,
وا ” جح وان انا أ
هح وأ
لفد أ
لحذ ف
بن صل
ه ف
ج
عمله صل ىم الليامت م حاطب به العبد ما
سوا هل ظ
ى : اه
عال
بازن وح
ب ج السا ا
ي ك
ظخه ش س
ف ص م
خل
بن اه
ظس ف
اب وخ
د خ
لظدث ف
ف
لعب لى ذ
ىن طاتس عمله عل
ي ما
ظت ث س
الف ص م
خل
مل بها ما اه
يى
ع ؟ ف ى
ؼ
ج ت ” . دي م وفي زوا
” : ل حظب ذ عما
ألا
رخ
ئما ج
ث ل
ل ذ
مث
اةو ما الصا
” .ث
“Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah
shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan.
Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat
wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta‟ala mengatakan, ‟Lihatlah apakah pada hamba tersebut
memiliki amalan shalat sunnah?‟ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat
wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.”
Shalat adalah garis pemisah antara iman dan kufur
سن بين العب ش
د أ
لها ف
سه
ا ج
بذ
فة
ل مان الصا فس وؤلا
د وبين الى
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan
sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At
Tarhib no. 566)
Shalat adalah ciri seorang mu‟min:
ىن حافظ ىاتهم
ى صل
هم عل ر
ا وال
“serta orang yang memelihara shalatnya.”
Sedangkan salah satu ciri masyarakat yang buruk dan sesat adalah menyia-nyiakan shalat.
Allah Ta‟ala berfirman,
ا يىن غ
لل
ظىف
هىاث ف
ابعىا الش واجا
ة
ل طاعىا الصا
أف
ل بعدهم خ م
ف
لخ
ف
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS.
Maryam: 59).
Allah Ta‟ala juga berfirman mengenai sikap orang-orang kafir yang mendustakan risalah
sebagai berikut: "Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ruku'lah, niscaya mereka tidak
mau ruku'." (QS. Al-Mursalat: 48)
Kemudian dalam ayat lainnya Allah berfirman: "Dan apabila kamu menyeru mereka untuk
shalat, mereka menjadikannnya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah
3
karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (QS. Al Maidah:
57)
Shalat merupakan ibadah harian yang menjadikan seorang Muslim selalu dalam perjanjian
dengan Allah. Ketika ia tenggelam dalam bahtera kehidupan maka datanglah shalat untuk
menerjangnya. Ketika dilupakan oleh kesibukan dunia maka datanglah shalat untuk
mengingatkannya. Ketika diliputi oleh dosa-dosa atau hatinya penuh debu kelalaian' maka
datanglah shalat untuk membersihkannya. Ia merupakan"kolam renang" ruhani yang dapat
membersihkan ruh dan menyucikan hati lima kali dalam setiap hari, sehingga tidak tersisa
kotoran sedikit pun.
Pelaksanaan shalat dalam Islam mempunyai keistimewaan yaitu dengan berjamaah dan
adanya adzan. Berjamaah dalam shalat ada yang menyatakan fardhu kifayah sebagaimana
dikatakan oleh mayoritas para Imam dan ada yang mengatakan fardhu 'ain sebagaimana
dikatakan oleh Imam Ahmad. Ibnu Mas‟ud berkata tentang shalat berjama‟ah:
حئ جل ان السا
د و
لاق ول
ف ىم الى
مىافم معل
ا عنها ال
ف
الخخ ىا وما
د د زأ
لين ول
جل ى به يهادي بين السا
ف ام في الصا
ل ى حتا
“Aku menyaksikan bahwa kami, tidak ada yang meninggalkan sholat jamaah kecuali munafik
yang jelas kemunafikannya. Bahkan ada orang yang datang ke masjid dengan cara dibopong
oleh dua orang sampai dia sampai ke shaf (sebagai bukti kesungguhan mereka melaksanakan
sunnah Rasulullah)” (HR Muslim)
Karena pentingnya shalat berjamaah maka Islam menekankan kepada kita untuk senantiasa
mendirikan shalat secara berjamaah, walaupun di tengah-tengah peperangan. Maka
dianjurkan untuk shalat"Khauf."
Shalat juga memiliki keistimewaan dengan adzan, itulah seruan Rabbani yang suaranya
menjulang tinggi setiap hari lima kali. Adzan berarti mengumumkan masuknya waktu shalat,
mengumumkan tentang aqidah yang asasi dan prinsip-prinsip dasar Islam, Adzan ini
layaknya 'lagu kebangsaan' bagi ummat Islam yang didengungkan dengan suara tinggi oleh
muadzin, lalu dijawab oleh orang-orang beriman di mana saja berada.
Imam Hasan Al-Banna berkata: "Pengaruh shalat tidak berhenti pada batas pribadi, tetapi
shalat itu sebagaimana disebutkan sifatnya oleh Islam dengan berbagai aktifitasnya yang
zhahir dan hakikatnya yang bersifat bathin merupakan minhaj yang kamil (sempurna) untuk
mentarbiyah ummat yang sempurna pula. Shalat itu dengan gerakan tubuh dan waktunya
yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir,
tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan.
Shalat dengan dipersyaratkannya membaca Al Fatihah di dalamnya, sementara Al- Qur'an
menjadi kurikulum Tsaqafah Islamiyah yang sempurna telah memberikan bekal pada akal
dan fikiran dengan berbagai hakekat ilmu pengetahuan, sehingga orang yang shalat dengan
baik akan sehat tubuhnya, lembut perasaannya dan akalnya pun mendapat gizi. Maka
kesempurnaan manakah dalam pendidikan manusia secara individu setelah ini? Kemudian
shalat itu dengan disyaratkannya secara berjamaah, maka akan bisa mengumpulkan ummat
lima kali setiap hari dan sekali dalam satu pekan dalam shalat jum'at di atas nilai-nilai sosial
4
yang baik, seperti ketaatan, kedisiplinan, rasa cinta dan persaudaraan serta persamaan derajat
di hadapan Allah yang Maha Tingi dan Besar. Maka kesempurnaan yang manakah dalam
masyarakat yang lebih sempurna daripada masyarakat yang tegak di atas pondasi tersebut dan
dikuatkan di atas nilai-nilai yang mulia? Sesungguhnya shalat dalam Islam merupakan sarana
tarbiyah yang sempurna bagi individu dan pembinaan bagi membangun ummat yang kuat.
Dan sungguh telah terlintas dalam benak saya ketika sedang menjelaskan prinsip-prinsip
kemasyarakatan saat ini bahwa shalat yang tegak dan sempurna itu bisa membawa dampak
kebaikan bagi pelakunya dan bisa membuang sifat-sifat buruk yang ada. Shalat telah
mengambil dari"Komunisme" makna persamaan hak dan persaudaraan yaitu dengan
mengumpulkan manusia dalam satu tempat yang tidak ada yang memiliki kecuali Allah yaitu
Masjid; dan Shalat telah mengambil dari"kediktatoran" makna kedisplinan dan semangat
yaitu dengan adanya komitmen untuk berjamaah' mengikuti Imam dalam setiap gerak dan
diamnya, dan barang siapa yang menyendiri, maka ia akan menyendiri dalam neraka. Shalat
juga mengambil dari"Demokrasi" suatu bentuk nasehat, musyawarah dan wajibnya
mengembalikan Imam ke arah kebenaran apabila ia salah dalam kondisi apa pun. Dan shalat
biasa membuang segala sesuatu yang jelek yang menempel pada semua ideologi tersebut di
atas seperti kekacauan Komunisme, penindasan diktaktorisme, kebebasan tanpa batas
demokrasi, sehingga shalat merupakan minuman yang siap diteguk dari kebaikan yang tidak
keruh di dalamnya dan tidak ada keruwetan"1
Shalat berjama‟ah juga menjadi standar keimanan. Dari Abu Sa‟id Al-Khudri radhiyallahu
„anhu, dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda,
عمس مظ ما ى )اهاعال
ح
ا الل ا
ه باإلمان ك
هدوا ل
اش
ظاجد ف
عخاد اإلا جل خم السا
ا زأ
اذ
ا بالل مم م
ااجد الل
ت آلا
“Apabila kalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia beriman.
Allah Ta‟ala berfirman, Orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At-Taubah: 18). (HR. Tirmidzi).2
Dari sinilah, maka pertama kali muassasah (lembaga) yang dibangun oleh Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam setelah beliau hijrah ke Madinah adalah Masjid Nabawi. yang
berfungsi sebagai pusat ibadah, kampus bagi kajian keilmuan dan gedung parlemen untuk
musyawarah.
Umat bersepakat bahwa siapa yang meninggalkan shalat karena menentang kewajiban shalat
dan karena menghinanya maka ia telah kafir. Dan mereka berbeda pendapat mengenai orang
yang meninggalkan tidak secara sengaja tetapi karena malas, sebagian mereka ada yang
menghukumi kafir dan berhak dibunuh seperti pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Sebagian
lagi ada yang menghukumi fasiq dan berhak dibunuh, seperti Imam Syafi'i dan Malik, dan
sebagian yang lain ada yang mengatakan fasik dan berhak mendapat ta'zir (hukuman, atau
pengajaran dengan dipukul dan dipenjara sampai ia bertaubat dan shalat, seperti Imam Abu
Hanifah. Tidak seorang pun di antara mereka mengatakan bahwa shalat itu boleh
1 Majalah Asy-Syihab, Tafsir awal-awal Surat Al Baqarah
2 Hadits ini dha‟if, tetapi maknanya benar sesuai ayat di atas.
5
ditinggalkan menurut kehendak seorang Muslim, jika mau ia kerjakan dan jika ia tidak mau,
maka ia tinggalkan dan hisabnya terserah Allah. Bahkan mereka (para Imam) mengambil
kesepakatan bahwa termasuk kewajiban hakim atau daulah Muslimah untuk ikut mengancam
dan memberi pengajaran bagi setiap orang yang secara terus menerus meninggalkan shalat.
Maka, tidak dapat disebut masyarakat Islam jika masyarakatnya masih melalaikan shalat dan
tidak menegakkannya.
Zakat
Zakat merupakan syi'ar kedua dalam Islam dan merupakan salah satu kekuatan pendanaan
sosial di samping kekuatan-kekuatan pendanaan lainnya di dalam Islam (shadaqah, kharaj,
ghanimah, dan lain-lain, red.).
Zakat merupakan „saudara kandung‟ shalat. Al Qur'an telah menyebutkan keduanya secara
bersamaan dalam dua puluh delapan kali. Sebagian disebutkan dalam bentuk perintah (amar),
seperti firman Allah: "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat." (Al Baqarah: 43)
Kadang-kadang dalam bentuk kalam khabar, seperti firman Allah Ta‟ala: "Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, mereka dapat pahala di sisi Tuhannnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al Baqarah: 277)
Kadang-kadang zakat disebutkan secara bersama dengan shalat dalam bentuk persyaratan
untuk masuk Islam atau masuk di dalam masyarakat Islam. Allah Ta‟ala berfirman dalam
surat At-Taubah ketika menjelaskan keadaan orang-orang musyrik yang memerangi (kaum
Muslimin): "Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka
itu adalah saudara-saudara seagama." (At-Taubah:11)
Orang yang musyrik tidak dianggap masuk Islam dan tidak sah bergabung dengan
masyarakat Islam serta menjadi saudara mereka kecuali dengan bertaubat dari kekufuran,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Zakat merupakan ibadah yang memiliki akar historis yang cukup panjang seperti juga shalat,
di mana para Nabi membawanya dan sangat diserukan oleh mereka. Dan wasiat pertama yang
diberikan Allah kepada mereka adalah zakat, untuk kemudian disampaikan kepada umat-
umatnya. Allah Ta‟ala telah menyanjung Abul Anbiya' Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub dengan
firman-Nya: "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan shalat, membayar zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu
meyembah." (Al Anblya': 73)
Allah juga memuji Ismail dengan firman-Nya sebagai berikut: "Dan ia (Ismail) menyuruh
ahlinya (keluarganya) untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah
seorang yang diridhai di sisi Tuhannnya." (Maryam: 55)
Allah Ta‟ala juga berfirman yang ditujukan kepada Musa sebagai berikut: "Dan Rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmatKu untuk orang-orang bertaqwa,
yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (Al A'raf:
156)
6
Allah juga berfirman kepada Bani Israil: "Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan
berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin,
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat." (Al Baqarah: 83)
Allah juga berfirman melalui lisan Isa ketika di dalam buaian, "Dan Dia (Allah)
memerintahkan kepadaku (mendinkan) shalat dan (menunaikan) zakat selama hidup."
(Maryam: 31)
Allah Ta‟ala juga berfirman mengenai Ahlul Kitab dengan firman-Nya sebagai berikut:
"Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan demikian itu agama yang lurus." (Al Baqarah:
5)
Melalui ayat-ayat tersebut, secara jelas bisa kita lihat bahwa zakat disebutkan oleh Allah
bersamaan dengan shalat, karena keduanya merupakan syi'ar dan ibadah yang diwajibkan.
Kalau shalat merupakan ibadah ruhiyah, maka zakat merupakan ibadah maliyah dan
ijtima'iyah (harta dan sosial). Tetapi tetap saja zakat juga merupakan ibadah dan pendekatan
diri kepada Allah Ta‟ala, maka niat dan keikhlasan merupakan syarat yang ditetapkan oleh
syari'at. Tidak diterma zakat tersebut kecuali dengan niat bertaqarrub kepada Allah, inilah
yang membedakan dengan pajak, suatu aturan yang dibuat oleh manusia.
Hanya saja kita yakin bahwa zakat yang telah diwajibkan oleh Islam meskipun sama dalam
landasan dan namanya dengan zakat dalam agama-agama dahulu sebenarnya ia merupakan
sistem baru yang unik yang belum pernah ada pada agama samawi dahulu maupun dalam
undang-undang bumi sekarang ini.
Zakat bukanlah sekedar amal kebajikan yang bersandar kepada keimanan seseorang, akan
tetapi ia merupakan ibadah yang selalu dijaga oleh keimanan seseorang, pengawasan jamaah
dan kekuasaan daulah (negara). Pada dasarnya dalam Islam zakat itu dipungut oleh seorang
imam (pemimpin) dan lembaga-lembaga syar'i, atau dengan kata lain melalui daulah
Islamlah, dalam hal ini melalui lembaga resmi yang telah dinash oleh Al Qur'an dengan nama
"Al 'Amilina 'Alaiha." Dan Al Qur'an memberikan kepada mereka bagian dari pembagian
zakat. Itu membuktikan atas disendirikannya anggaran zakat dari pintu-pintu yang lainnya
dalam masalah anggaran, sehingga tidak hilang hasil zakat itu untuk pembiayaan negara yang
beragam dan sehingga orang-orang yang berhak menerima zakat itu memperolehnya. Allah
berfirman: "Ambilah zakat dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka." (At-Taubah: 103)
Di dalam hadits disebutkan,
سائهم لى ف
رد عل
تىيائهم ف
غ أ م
رخ
ئ ج
"(Sesungguhnya zakat itu) di ambil dan orang-orang kaya mereka (kaum Muslimin) dan
dibagikan kepada, fuqara' mereka," maka zakat merupakan kewajiban yang dipungut, bukan
sumbangan bebas yang diserahkan atas kemauan seseorang.
7
Kita tidak akan heran setelah uraian ini, jika data sejarah yang benar telah menceritakan
kepada kita bahwa Khalifah yang pertama yaitu Abu Bakar radhiyallahu „anhu telah
memobilisasi pasukan dan mengirimkan beberapa katibah (batalyon) serta mengumumkan
peperangan atas suatu kaum yang tidak mau membayar zakat. Ketika itu mereka mengatakan,
"Kami akan mendirikan shalat tetapi tidak membayar zakat" maka Abu Bakar menolak untuk
berunding dengan mereka sedikit pun dari sesuatu yang telah diwajibkan oleh Allah, dan
beliau berkata dengan kata-katanya yang masyhur: "Demi Allah, sesungguhnya saya
memerangi orang yang membedakan shalat dengan zakat. Demi Allah, kalau mereka
membangkang kepadaku sedikit saja yang semula mereka berikan kepada Rasulullah,
niscaya aku akan memerangi mereka."
Abu bakar tidak membedakan antara orang-orang yang murtad, yaitu yang menjadi pengikut
orang-orang yang mengaku nabi dengan orang-orang yang tidak mau membayar zakat dan
beliau memerangi semuanya.
Ketika zakat telah menjadi suatu kewajiban yang pemungutannya dilakukan oleh Daulah
Islamiyah dari orang-orang yang wajib membayarkannya, kemudian membagikannya kepada
orang-orang yang berhak menerimanya, maka Islam menetapkan batasan ukuran (nishab atau
standar) yang wajib dikeluarkan dan juga menentukan batas yang akan diberikan serta orang-
orang yang berhak menerimanya. Islam tidak membiarkan zakat itu terserah pada kemauan
hati orang-orang yang beriman, baik dalam menentukan ukuran, kadar dan pemasukan atau
pengeluarannya.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Barangkali akan membuat terkejut bagi sebagian orang jika kewajiban amar ma‟ruf nahi
munkar ini termasuk kewajiban-kewajiban yang asasi dalam Islam.
Al Qur'an telah menjadikan amar ma'ruf nahi munkar sebagai keistimewaan yang pertama
yang dimiliki oleh umat ini dan yang mengungguli umat-umat lainnya. Allah Ta‟ala
berfirman: "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (Ali
Imran: 110)
Dalam ayat ini penyebutan amar ma'ruf dan nahi munkar lebih didahulukan daripada
penyebutan iman, padahal iman merupakan asas. Hal ini karena iman kepada Allah itu
merupakan ketentuan yang bersifat umum (dimiliki) antara umat-umat Ahlul Kitab
semuanya, tetapi amar ma'ruf nahi munkar merupakan kemuliaan umat ini. Seperti tumbuh-
tumbuhan padang pasir, Allah-lah yang mengeluarkannya, dan dia tidak dikeluarkan agar
hidup untuk dirinya saja, tetapi dikeluarkan untuk (kemaslahatan) umat manusia seluruhnya.
Umat ini adalah umat dakwah dan risalah, tugasnya menyebarkan yang ma'ruf dan
memperkuatnya, dan mencegah yang munkar serta menghancurkannya.
Sebelum ayat di atas disebutkan, dalam beberapa ayat sebelumnya Allah Ta‟ala berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung." (Ali Imran: 104)
8
Ayat di atas memiliki dua makna; yang pertama kalimat "min" berarti lit-tajrid, dengan
demikian artinya hendaklah kamu menjadi umat yang selalu mengajak kepada kebajikan. Dan
barangkali yang memperkuat makna ini adalah pembatasan keberuntungan kepada mereka,
bukan kepada yang lain, seperti yang ada pada kalimat "wa ulauika humul muflihuun.".
Makna tafsirnya: hendaklah seluruh umat Islam menjadi penyeru kebaikan, memerintahkan
yang ma'ruf dan mencegah kemunkaran, masing-masing sesuai dengan kedudukan dan
kemampuannya, sehingga termasuk berhak memperoleh keberuntungan.
Makna yang kedua, kata "min" berarti lit-tab'idh--sebagaimana ini terkenal--artinya
hendaklah di dalam masyarakat Islam itu ada sekelompok kaum Muslimin yang memiliki
spesialisasi, memiliki kemampuan dan memiliki persiapan yang sesuai untuk mengemban
kewajiban.berdakwah dan beramar ma'ruf nahi munkar.
Amar ma‟ruf nahi munkar adalah ciri-ciri umum masyarakat muslim: "Dan orang-orang
beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 71)
Allah menjelaskan dalam Surat Al Ashr: "Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-
benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
mentaati kesabaran." (Al Ashr: 1-3).
Maka tidak cukup hanya dengan iman dan beramal shalih untuk memperoleh keselamatan
dari kerugian dan kehancuran, sehingga mereka mau melaksanakan saling berwasiat dalam
melakukan kebenaran dan saling mewasiati untuk tetap bersabar. Dengan kata lain, sehingga
mereka mau memperbaiki orang lain dan menyebarkan makna saling menasehati dan dakwah
di masyarakat untuk berpegang kepada kebenaran dan tetap dalam kesabaran. Dan hal itu
termasuk pilar kekuatan masyarakat setelah iman dan amal shalih.
Di dalam surat At-Taubah juga ada penjelasan tentang sifat-sifat orang yang beriman yang
mana Allah telah membeli (menukar) diri dan harta mereka dengan surga, demikian itu
tersebut dalam firman Allah Ta‟ala: "Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang menyuruh berbuat ma'ruf
dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang rnakmin itu." (At-Taubah: 112)
Dalam Surat Al Hajj, Al Qur'an menjelaskan kewajiban yang terpenting ketika umat Islam
diberi kesempatan oleh Allah Ta‟ala di bumi ini untuk memiliki daulah dan kekuasaan, Allah
berfirman: "sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya,
sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika
kami teguhkan kedudukan mereka di maka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan." (Al Hajj: 40-41)
9
Amar ma‟ruf nahi munkar adalah bentuk takaful (tolong menolong) dalam perkara adab,
sebagaimana disebutkan dalam hadits dari An Nu‟man bin Basyir rahiyallahu „anhuma, ia
berkata bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ى ىم اطتهمىا عل
ل ك
مث
ىاكع فيها ه
وال
اى حدود الل
اتم عل
لل ال
ها وبعظهم مث
عل
صاب بعظهم أ
ؤطفيىت ، ف
ى أ
ىا ل
اللهم ف
ىك
ف ى م
وا عل ا مس
اإلا ىا م
ا اطخل
لها اذ
طف
فى أ ر
اان ال
يها ، ف
لطف
صببىا أ
ىا فى ه
سك
ا خ ها
ىا . ف
ىك
ف ذ م
ئم ه
ا ، ول
سك
جىا خ
جىا وه
ديهم ه ى أ
وا عل
رخ
ىا جميعا ، وان أ
يزادوا هل
ىهم وما أ
رو
ت بن
جميعا
“Perumpamaan orang yang mengingkari kemungkaran dan orang yang terjerumus dalam
kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah kapal. Nantinya ada
sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah kapal tersebut. Yang
berada di bagian bawah kala ingin mengambil air, tentu ia harus melewati orang-orang di
atasnya. Mereka berkata, „Andaikata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu
orang yang berada di atas kita.‟ Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-
orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang
bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan
selamat pula semua penumpang kapal itu.” (HR. Bukhari no. 2493)
Allah Ta‟ala berfirman, "Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zhalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras
siksaan-Nya." (Al Anfal: 25)
Sesungguhnya Allah telah melaknat Bani Israil melalui lisan para Nabi-Nya dan memukul
hati sebagian mereka dengan sebagian serta mengangkat pemimpin dari orang yang tidak
berbelas kasihan kepada mereka. Hal itu disebabkan karena tersebarnya kemungkaran di
antara mereka tanpa ada orang yang merubah atau melarangnya. Allah Ta‟ala berfirman:
"Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putera
Maryam. Yang demikian itu, disebabkari mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al Maidah: 78-79)
Lebih buruk dari apa yang telah kita sebutkan adalah jika hati masyarakat itu telah mati atau
paling tidak sakit, setelah lamanya bergaul dengan kemungkaran dan mendiamkannya,
sehingga kehilangan rasa keberagamaan dan akhlaqnya. Yang dengan perasaan itu akan
diketahui yang ma‟ruf dari yang mungkar. Mereka telah kehilangan kecerdasan yang
(seharusnya) mampu membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dan yang
haram, yang lurus dan yang menyimpang, maka ketika itu rusaklah standar masyarakat.
Sehingga mereka melihat perkara yang sunnah menjadi bid'ah, yang bid'ah menjadi sunnah.
Gejala lain adalah apa yang saat ini kita lihat dan rasakan di kalangan kebanyakan anak-anak
kaum Muslimin, yaitu anggapan bahwa beragama itu suatu kemunduran, istiqamah itu kuno
dan teguh dalam pendirian justru dianggap jumud (beku), sementara kemaksiatan dikatakan
sebagai seni, kekufuran menjadi sebuah kebebasan, dekadensi moral menjadi suatu kemajuan
dan memanfaatkan warisan salaf dianggap keterbelakangan dalam berfikir. Sampai pada hal-
10
hal yang tidak kita ketahui, atau dengan kata lain yang singkat, yang ma'ruf telah menjadi
munkar, dan yang munkar telah menjadi ma'ruf dalam pandangan mereka.
Lebih buruk dari itu semua ketika suara kebenaran itu mulai meredup (hilang), sementara
teriakan kebathilan semakin menggelora memenuhi seluruh penjuru dunia untuk mengajak
pada kerusakan, memerintahkan untuk berbuat kemungkaran dan melarang dari yang ma'ruf.
Wallahu A‟lam.
11
Adab Tilawah
Adab Sebelum Membaca Al-Qur’an
Pertama, husnun niyyah (niat yang baik).
Hendaklah interaksi dengan Al-Qur‟an dilandasi niat yang ikhlas mengharapkan ridha
Allah Ta‟ala, bukan berniat mencari dunia atau mencari pujian manusia. Karena
Allah Ta‟ala tidak akan menerima -bahkan murka- terhadap amal yang dilandasi riya.
Abu Hurairah radhiyallahu „anhu berkata,
يه ليامت عل
ىم ال ى لض اض الىا وا
انا أ لى م
ايه وطل
عل
اى الل
ا صل
ا الل ح طمعذ زطى
ؤهد ف
ش
زجل اطد
اذ فيها ك
ما عمل
ف ا
ها ك
عسف
ه وعمه ف
ف عسا
ن به ف
ذ ل
لاج ك ىىا
بذ ول
ر ه ا
هدث ك
ش
ى اطد حتا ذ في
لاجك
عل
م ال
اعل
از وزجل ح ل في الىا
لى أ ى وجهه حتا
سحب عل
مس به ف
ما أ
د كيل ث
ل جسي ف ا
ل لسمن
ال
سأمه وك
ام وعل
ح به ؤل ف
ال ث في
سأمخه وك
ام وعل
عل
مذ ال
اعل
ح ا
ذ فيها ك
ما عمل
ف ا
ها ك
عسف
ه وعمه ف
ف عسا
بذ ف
ر ه ا
سمن ك
د كيل لازة ف
هى ك ا
لسمن ليل
ث ال
سأ عالم وك ا
م ليل
عل
مذ ال
اعل
ح ىىا
ى وجهه ول
سحب عل
مس به ف
ما أ
ث
ع ح به ف
ؤه ف
ل و ا
صىاف اإلا
أ اه م
عؼ
يه وأ
عل
اع الل از وزجل وطا ل في الىا
لى أ ما حتا
ف ا
ها ك
عسف
ه وعمه ف
ف سا
طبيل ذ مسه
ما ج ا
ذ فيها ك
عمل ا
ذ ليل
عل
ف ىىا
بذ ول
ر ه ا
ك
لذ فيها ل
فه أ
ام فيها ال
ىف ن
حب أ
ج
از ل في الىالما أ
ى وجهه ث
سحب عل
مس به ف
ما أ
د كيل ث
ل هى جىاد ف
“Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: „Sesungguhnya
manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu
diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia
bertanya: „Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku?‟ Dia menjawab: „Saya
berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid.‟ Allah berfirman:
„Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu
disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut.‟ Kemudian
diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.
Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur‟an dan mengajarkannya, lalu
diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah
bertanya: „Apa yang telah kamu perbuat?‟ Dia menjawab, „Saya telah belajar ilmu dan
mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur‟an demi Engkau.‟ Allah berfirman: „Kamu
dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur‟an agar
dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu‟,
kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam
neraka.
Dan didatangkan seorang laki-laki yang diberi keluasan rizki oleh Allah, kemudian dia
menginfakkan hartanya semua, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia
mengetahuinya dengan jelas. Allah bertanya: „Apa yang telah kamu perbuat dengannya?‟
Laki-laki itu menjawab, „Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan
harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridlai.‟ Allah berfirman: „Dusta kamu, akan tetapi
12
kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu
telah dikatakan seperti itu.‟ Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan
dan dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Kedua, thaharatul qalbi wal jasadi (membersihkan hati dan jasad).
Sebelum membaca Al-Qur‟an, kita hendaknya bersungguh-sungguh membersihkan hati;
selain dengan husnun niyyah, hati pun harus dibersihkan dari kotoran-kotoran yang
menempel padanya. Diantaranya adalah kesombongan, yakni merasa diri hebat sehingga
menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
مؽ
حم وغ
س ال
ىبر بؼ
اض ال الىا
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“ (HR. Muslim)
Kotoran hati yang lainnya adalah dosa dan maksiat, maka bersihkanlah dengan
memperbanyak istighfar. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
ابه ، وا انا العبد اذ
لاب طلل ك
س وج
فصع واطخغ
ا هى ه
بذ
طىدا ، ف
خت
ىبه ه
لىخذ في ك
هتؼيئ
خ
ؤؼ
خ
ن عاد أ
ا
س اللهري ذ
اان ال به ، وهى السا
لى ك
عل
ى ح ىبهم ما” شد فيها حتا
لى ك
بل زان عل
ال
ظبىن ه
ى ىا
اهو ”
”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan, maka akan tercemari hatinya
dengan satu bercak hitam. Jika ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon
ampun) serta bertaubat, maka hatinya menjadi bersih lagi. Jika ia melakukan kesalahan lagi,
dan menambahnya maka hatinya lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah maksud
dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut Allah dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” [Al-
Muthoffifin: 14] ” (Hadist Riwayat Tirmidzi (No : 3334) dan Ahmad ( 2/ 297 ). Berkata
Tirmidzi : “Ini adalah hadist Hasan Shahih).
Sedangkan membersihkan jasad diantaranya dengan bersiwak. Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam bersabda,
ىان بىها بالظ يؼ
لسمن، ف
سق لل
م ػ
ىاهى
ف انا أ
“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan bagi Al Qur`an, maka harumkanlah dengan
bersiwak.” (Sunan Ibnu Majah, no.291)
Selain membersihkan mulut dengan bersiwak, maka badan, pakaian dan tempat membaca al-
Qur‟an pun hendaknya benar-benar bersih dan suci. Oleh karena itu, para ulama sangat
menganjurkan membaca Al-Qur‟an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih
dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i‟tikaf.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid
berniat i‟tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak
masuk masjid tersebut sudah berniat untuk i‟tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya
13
diperhatikan dan disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum
paham). Karena mengamalkan seperti itu sudah semakin langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).
Saat kita menyentuh mushaf, disunnahkan dalam kondisi suci/berwudhu.
بى أ ع
ا الل نا زطى
ه أ جد بيه ع
أ حصم ع عمسو ب د ب
محما س ب هخابا -ملسو هيلع هللا ىلص-بى يم
هل ال
ى أ
خب ال
ه
اهس ػ
السمن ال
مع ال
ان فيه ل
ي ف
Dari Abu Bakr bin Muhammad bin „Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya,
sesungguhnya Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk
Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur‟an melainkan orang yang suci”. (HR.
Daruquthni no. 449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa‟ no. 122).
Adab Memulai Membaca Al-Qur’an
Pertama, ta‟awudz (membaca do‟a perlindungan dari godaan syaithan).
Bacaan ta‟awudz menurut jumhur (mayoritas ulama) adalah “a‟udzu billahi minasy
syaithonir rajiim”. Membaca ta‟awudz ini dihukumi sunnah, bukan wajib; berdasarkan
firman Allah Ta‟ala berikut.
جيم ان السايؼ
ا الش م
ا بالل
اطخعر
ن ف
لسم
ث ال
سأا ك
بذ
ف
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Kedua, tasmiyah (membaca bismillahir rahmanir rahim)
Tasmiyah dibaca di setiap awal surat selain surat Bara‟ah (surat At-Taubah). Namun jika
memulai membaca di pertengahan surat, cukup dengan membaca ta‟awudz tanpa bismillahir
rahmanir rahim.
Adab Saat Membaca Al-Qur’an
Pertama, hadhrul fikri ma‟al qur‟an (hadirnya pikiran bersama Al-Qur‟an).
Kita harus berupaya mencermati dan memikirkan ayat-ayat Al-Qur‟an, yakni men-tadabburi-
nya dengan sungguh-sungguh.
Allah Ta‟ala berfirman,
باب ل ى ألا
ولس أ
اهاجه وليخر سوا م با مبازن ليدا
يىاه ال
صله هخاب أ
“Ini adalah sebuah kitab yang penuh dengan berkah, Kami turunkan kepadamu supaya
mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.” (QS. Shad, 38: 29)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah
untuk tadabbur banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran
tersebut. Ada cerita bahwa sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca
satu ayat yang terus diulang-ulang dan direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh.
Bahkan ada yang membaca Al-Qur‟an karena saking mentadabburinya hingga pingsan.
14
Lebih dari itu, ada di antara ulama yang sampai meninggal dunia ketika mentadabburi Al-
Qur‟an.” (At-Tibyan, hlm. 86)
Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa,
seorang ulama terkemuka di kalangan tabi‟in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika
shalat Shubuh. Zararah membaca surat hingga sampai pada ayat,
ىم عظير ىمئر لرىز ف
اك لس في الىا
ا ه
بذ
ف
“Apabila ditiup sangkakala, maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit.” (QS.
Al-Mudattsir: 8-9). Ketika itu Zararah tersungkur lantas meninggal dunia. Bahz menyatakan
bahwa ia menjadi di antara orang yang memikul jenazahnya. (At-Tibyan, hlm. 87)
Kedua, bil-qalbil khasyi‟ (dengan hati yang khusyu).
Allah Ta‟ala berfirman,
س ىبهم لره
لع ك
ش
خ
ن ج
ممىىا أ ر
ان لل
ؤ م
لبل أ
ك ىخاب م
ىا ال
وج
أ ر
االىا و
ىه
ي
حم ول
ال م ص
وما ه
االل
اطلىن ثير منهم ف
ىبهم وه
لظذ ك
لمد ف
يهم ألا
عل ا
ؼ
ف
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid, 57: 16)
Ibnu Rajab berkata tentang makna khusyu: “Asal (sifat) khusyu‟ adalah kelembutan,
ketenangan, ketundukan, dan kerendahan diri dalam hati manusia (kepada Allah Ta‟ala).”
Ketiga, bit-ta‟dzim (disertai pengagungan).
Pengagungan yang terpenting adalah dengan cara mengagungkan perintah dan larangan yang
terkandung di dalam Al-Qur‟an. Pengagungan juga nampak dari gerak-gerik lahiriyah, seperti
disebutkan firman Allah Ta‟ala,
خس يهم ى عل
خل ا
بله اذ
م م ك
عل
ىا ال
وج أ ر
ادا انا ال ان سجا
كذ ون لل
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.“ (QS. Al-Israa‟, 17:
107).
Juga dalam firman-Nya,
اث السا يهم مى عل
خل
ا ج
س اذ
خ
ا حمـ دا وبىي وا سجا
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis. “(QS. Maryam,[19: 58).
Diriwayatkan dengan sanad yang jayyid bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
15
ىاخباو
ىا ف
بي
م ج
بن ل
ىا. ف
لسمن وابي
ىا ال
لج ا
“Bacalah Al-Qur‟an dan menangislah. Apabila kamu tidak bisa menangis, maka berpura-
puralah menangis.” (HR. Ibnu Majah)
Keempat, lit-tanfizh (bertekad untuk melaksanakannya).
Allah Ta‟ala berfirman,
سج هيت
ا وعل ىاهم طس
ا زشك لىا مما
فه وأ
ة
ل امىا الصا
ك وأ
اىن هخاب الل
خل ر
ا انا ال
لبىز ىن ججازة
ج
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-
diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi.” (QS. Fathir, 35: 29)
Mengenai ayat ini Al-Qurthubi berkata: “Orang-orang yang membaca dan mengetahui serta
mengamalkan isi Al-Qur‟an yaitu mereka yang mengerjakan shalat fardhu dan yang sunnah
demikian juga dalam berinfaq.”
Sedangkan Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhaanahu wa Ta‟ala mengabarkan keadaan
hamba-hamba-Nya yang mukmin yaitu mereka yang membaca kitab-Nya, beriman
dengannya, dan beramal sesuai dengan yang diperintahkan seperti mengerjakan shalat dan
menunaikan zakat.”
Wallahu A‟lam…
16
Hadits Arbain No. 2: Iman
Matan Hadits:
ات
زشىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص ذ
دىس عن
حن جل
ما ن
ال: بين
قضا
ه أ
ى عن
عال
ي هللا ج ا عن عمس زض
ينع عل
ل ط
ىم إذ
د شىاد الش د
ياب ش
د بياض الث د
ى زجل ش
ض إل
ى جل حد حت
ا أ
ه من
عسف
س وال
ف س الص
ثيه أ
سي عل
عس ال
د ا محم ال: ه وق خر
ى ف
يه عل
فع ل
يه ووض
بخ
ى زل
يه إل
بخ
زل
دشن
أال النبي ملسو هيلع هللا ىلص ف
م ف
عن إلشا
أ
زشىل هللا و اد ن محم
هللا و أ
إال
ه إل
ال
ن أهد
ش
جنم أ
ج زشىل هللا ملسو هيلع هللا ىلص: )إلشا
، وث
ا ال ي
ث
ال: صد
ق إليه شبيا
عد
ط إن اشح
حج البيد
وث
ان
ىم زمض
وث
ا،م ه الز
لصأ ه
ا ل
عجبن
. ف
د
ق
ي به وزشله وال
ححه ول
من باهلل ومائن
ثنال: أ
مان ق عن إل
أال: ف
ه ق
ق د
من وس وث
ىم آل
عن أال: ف
ق
د
قال: صد
ه ق س
ه وش ي
ز
دن بال
ن ث
لإن
ساه ف
ك ث
نأ م هللا
عبد
جنال: أ
إلحصان ق
ائل ق من الص
عل
ىل عنها بأ
صئ
ال: ما ال
اعة ق عن الص
أال: ف
ساك ق ه
إنساه ف
عن ث
أال: ف
نال: أ
مازاتها ق
أ
يان ث
في البن
ىن
اول
ط
ح اء
زعاء الش
ة العال
العسا،
ا،
حف
سي ال
ثنتها وأ زب
مة
ألا
لد
ث
إنال: ف
ق
عل
: هللا وزشىله أ
د
لائل؟ ق دزي من الص
ا عمس أث ال:
ق
ثا ملي
بث
لق ف
لط ه ج ان
ال
ثل أ
) نن د
من
عل
Terjemah:
Dari Umar Radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah
Shallallahu‟Alaihi wa Sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang
mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-
bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga
kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam lalu menyandarkan kedua
lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu ‟Alaihi wa Sallam) dan meletakkan
kedua tangannya di atas dua pahanya (Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam) seraya
berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah
Shallallahu ‟Alaihi wa Sallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan
yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “,
kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula
yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu
beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang
buruk “, kemudian dia berkata: “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku
tentang ihsan “. Lalu beliau bersabda: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-
akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” .
Kemudian dia berkata: “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau
bersabda: “ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata: “ Beritahukan
aku tentang tanda-tandanya “, beliau bersabda: “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya
dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian, miskin dan
penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “, kemudian
orang itu berlalu dan aku berdiam. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Ya Umar
17
tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui
“. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan
agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Kandungan Hadits
1. Penjelasan tentang rukun Islam: Syahadatain, shalat, zakat, puasa, haji
2. Penjelasan tentang rukun iman: Iman kepada Allah, Iman kepada malaikat-malaikat-
Nya, Iman kepada kitab-kitab-Nya, Iman kepada rasul-rasul-Nya, Iman kepada hari
akhir, dan Iman kepada qadar
3. Penjelasan tentang hakikat ihsan: “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat
engkau”
4. Penjelasan tentang sebagian tanda-tanda kiamat: “ Jika seorang hamba melahirkan
tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan tak berpakaian,
miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan
bangunannya “
Syahadatain
Syahadatain adalah intisari semua muatan ajaran Islam. Ia adalah ikrar yang membedakan
Islam dan kafir. Juga merupakan syarat dasar bagi benarnya dan diterimanya amal ibadah
seorang hamba. Sebaik apa pun orang kafir, walau dia bersedekah untuk masjid dan ikut
berjihad membantu kaum muslimin, maka semuanya sia-sia baginya di akhirat, karena dia
belum berikrar atas hak ketuhanan Allah Ta‟ala dan kebenaran kenabian Muhammad
Shalalllahu „Alaihi wa Sallam dan risalah yang dibawanya.
Bagi yang sudah mengucapkannya dengan sadar tanpa terpaksa, maka baginya terlindungi
darah, kehormatan, dan hartanya. Maka, dia diperlakukan sebagai seorang muslim walapun
melakukan dosa besar, selama tidak melakukan perbuatan syirik dan kekafiran yang jelas
(kufrun bawwah).
Shalat
Shalat di adalah gerakan dan ucapan tertentu dan pada waktu yang ditetapkan pula, dari
takbiratul ihram hingga salam. Yang diwajibkan adalah lima kali sehari, kecuali menurut
Imam Abu Hanifah yang menambahkan wajibnya witir pula, namun tak satu pun ulama yang
mendukung pendapatnya ini.
Bagi yang mengingkari kewajiban shalat fardhu maka dia kafir dan murtad, dan tak ada
perbedaan pendapat dalam hal itu.
Ada pun meninggalkannya karena kemalasan dan kelalaian tapi masih mengakui
kewajibannya, maka para ulama berbeda pendapat antara yang mengkafirkan seperti Imam
Ahmad, pelakunya –jika tidak mau tobat- mesti dibunuh, tidak dimandikan, tidak dishalatkan,
dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin. Sementara yang lain masih mengakuinya
sebagai Islam tapi sebagai pelaku dosa besar dan di dunia dinilai sebagai fasik, sebagaimana
pendapat Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Abu Hanifah.
18
Namun, secara hukum meninggalkan shalat adalah tindakan pidana (kriminal) yang juga
mesti dibunuh jika tidak mau bertobat, inilah padangan Malik dan Syafi‟i, sedangkan Abu
Hanifah berpendapat dikucilkan hingga dia bertobat.
Zakat
Zakat adalah sedekah wajib yang dikeluarkan dari harta seorang muslim yang memiliki
kelebihan hartanya dengan ukuran tertentu jika sudah mencapai nishabnya (batas minimal
kepemilikan harta). Berfungsi untuk membersihkan harta dan membersihkan jiwa pelakunya,
dan juga memiliki dimensi sosial.
Yang mengingkarinya juga dihukumi kafir dan tidak ada perselisihan dalam hal itu. Ada pun
yang menolak mengeluarkan zakat, tapi mengakui kewajibannya, maka menurut jumhur
(mayortas) ulama dia adalah pelaku dosa besar. Dan, Abu Bakar Ash Shiddiq telah
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat, walau mereka masih shalat. Beliau
Radhiallahu „Anhu mengatakan: “Saya benar-benar akan memerangi orang yang
memisahkan antara shalat dan zakat, demi Allah benar-benar akan saya perangi orang yang
memisahkan keduanya sampai mereka kembali menyatukannya.”3
Puasa
Puasa adalah menahan diri (Al Imsak) dari hal-hal yang membatalkan puasa dari terbitnya
fajar hingga tenggelamnya matahari pada bulan Ramadhan, yakni bulan antara sya‟ban dan
syawal. Sebanyak 29 hari atau digenapkan hingga 30 hari.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam
bersabda:
ثين لعبان ث
ىا ش
مل
هؤم ف
يى
ما عل
بن غ
خه، ف
ؼسوا لسإ
فخه و أ
صىمىا لسإ
“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berhari rayalah karena melihatnya, dan
jika terhalang awan maka hitunglah sampai 30 hari.” (HR. An Nasa‟i No. 2118 dan Ibnu
Hibban No. 3442 dan 3443)4
Hukum Orang yang meninggalkan Puasa
Orang yang meninggalkan puasa karena mengingkari kewajibannya menurut Syaikh Sayyid
Sabiq hukumnya adalah kafir dan murtad, “Umat telah ijma‟ (konsensus) atas wajibnya
puasa Ramadhan. Dia merupakan salah satu rukun Islam yang telah diketahui secara pasti
dari agama, yang mengingkarinya adalah kafir dan murtad dari Islam.” 5
Sedangkan tentang hukum orang yang meninggalkan puasa karena lalai dan malas, tapi masih
mengakui kewajibannya, para ulama berbeda pendapat. Ulama ada yang yang menyatakan
kafir dan boleh dibunuh. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma,
bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
3 Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 6/14. Darul Fikr
4 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa‟i No. 2118
5 Fiqhus Sunnah, 1/433. Darul Kitab Al „Arabi
19
هى ، ف
ا واحدة سن منه
ج م ، م
طل
ع ؤلا ط
ا أ يه
عل
تث
ل
ث ىاعد الد
م وك
طل
م : عسي ؤلا الدا
افس حل
بها و
هاخىبت ، وصىم زمظان ش
ى ة اإلا
ل ام الصا
، واك
ا الل
اه ال
ال
ن ل
أدة
“Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan,
dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal (untuk
dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR.
Abu Ya’ala)
Namun Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah mendhaifkan hadits di atas, lantaran
kelemahan beberapa perawinya, yakni „Amru bin Malik An Nukri, di mana tidak ada yang
menilainya tsiqah kecuali Ibnu Hibban, itu pun masih ditambah dengan perkataan: “Dia suka
melakukan kesalahan dan keanehan.”
Telah masyhur bahwa Imam Ibnu Hibban termasuk ulama hadits yang terlalu mudah
mentsiqahkan. seorang rawi, sampai-sampai orang yang majhul (tidak dikenal) pun ada yang
dianggapnya tsiqah. Oleh karena itu, para ulama tidak mencukupkan diri dengan tautsiq yang
dilakukan Imam Ibnu Hibban, mereka biasanya akan meneliti ulang.
Selain dia, rawi lainnya Ma‟mal bin Ismail, adalah seorang yang shaduq (jujur) tetapi banyak
kesalahan, sebagaimana dikatakan Imam Abu Hatim dan lainnya. Umumnya hadits darinya
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas hanyalah bernilai mauquf (sampai sahabat) saja. Lalu,
secara zhahir pun hadits ini bertentangan dengan hadits muttafaq „alaih: “Islam dibangun
atas lima perkara …dst.” Bukan tiga perkara.
Maka dari itu, Syaikh Al Albani tidak meyakini adanya seorang ulama mu‟tabar yang
mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa, kecuali jika dia menganggap halal perbuatan
itu.6
Jumhur ulama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan puasa karena lalai dan malas,
tapi mengakui kewajibannya masih dianggap muslim, tapi dia adalah pelaku dosa besar dan
termasuk perbuatan yang keji. Dengan kata lain, jika dia masih meyakini kewajibannya,
tetapi dia meninggalkannya maka dia fasiq, jika Allah Ta‟ala berkehendak maka di akhirat
nanti Dia akan mengampuninya sesuai kasih sayangNya, dan jika berkehendak maka Dia
akan mengazabnya sesuai dengan keadilanNya, sejauh kadar dosanya. Inilah pendapat yang
lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A‟lam
Allah Ta‟ala juga berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa‟, 4: 116)
6 Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 94
20
Haji
Secara fiqih maknanya : “Yaitu mengunjungi Mekkah untuk melaksanakan Ibadah, seperti
thawaf, sa‟i, wuquf di Arafah, dan seluruh manasik, sebagai pemenuhan kewajiban dari
Allah, dan dalam rangka mencari ridha-Nya. Haji merupakan salah satu rukun Islam yang
lima, kewajiban di antara kewajiban agama yang sudah diketahui secara pasti. Seandainya
ada yang mengingkari kewajibannya, maka dia kafir dan telah murtad dari Islam.”7
Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, sedangkan yang kedua kali dan seterusnya adalah
sunah. Di dalam hadits kedua yang sedang kita bahas ada kalaimat:
إليه شبيا
عد
ط
.jika engkau mampu : إن اشح
Kalimat ini menunjukkan bahwa istitha‟ah (mampu) merupakan hal yang membuat seorang
muslim wajib melaksanakan haji. Ketika dia belum ada kemampuan, baik finansial dan fisik,
maka dia tidak wajib, serta tidak berdosa jika tidak melaksanakannya. Namun, dia
dianjurkan untuk berupaya menjadi mampu secara normal.
Berhutang untuk Haji?
Tentang berhutang untuk haji, ada riwayat dari Abdullah bin Abi Aufa Radhiallahu „anhu,
"
: ل احج ؟ ك
ظخلسض لل حجا ، أ م
جل ل السا خه ع
ل " طؤ
“Aku bertanya kepadanya, tentang seorang yang belum pergi haji, apakah dia berhutang
saja untuk haji?” Beliau bersabda: “Tidak.”8
Imam Asy Syafi‟i berkata tentang hadits ini: “Barangsiapa yang tidak memiliki kelapangan
harta untuk haji, selain dengan hutang, maka dia tidak wajib untuk menunaikannya.” 9
Namun, demikian para ulama tetap menilai hajinya sah, sebab status tidak wajib haji karena
dia belum istitha’ah, bukan berarti tidak boleh haji. Ada pun larangan Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam itu karena Beliau tidak mau memberatkan umatnya yang tidak mampu, itu
bukan menunjukkan larangannya. Yang penting, ketika dia berhutang, dia harus dalam
kondisi bahwa dia bisa melunasi hutang atau tersebut pada masa selanjutnya.
Rukun Iman10
Iman kepada Allah
Iman kepada Allah Ta‟ala adalah keyakinan bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu,
Dialah pemiliknya, pencipta, pemberi rizki, yang memberi kehidupan, yang
mematikan.
7 Fiqhus Sunnah, 1/625
8 HR. Asy Syafi‟i, Min Kitabil Manasik, No. 460. Al Baihaqi, Ma‟rifatus Sunan wal Atsar, Juz. 7, Hal. 363, No.
2788. Syamilah 9 Imam Asy Syafi‟i, Al Umm, Juz. 1, Hal. 127. Asy Syamilah
10 Dikutip dari Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Syarh Al „Aqidah Al Wasithiyah, Hal. 12-15. Cet. 2.
Rabiul Awal 1411H. Muasasah Al Juraisi
21
Dialah yang berhak diibadahi bukan selainNya, hanya dia satu-satunya yang
disembah secara merendahkan diri dan tunduk dengan segala macam peribadatan.
Dialah Allah yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna, agung, dan tinggi, serta
suci dari segala kekurangan.
Iman kepada Malaikat-malaikat -Nya
Iman kepada malaikat adalah keyakinan bahwa milik Allah-lah para malaikat yang
diciptakan dari cahaya. Mereka –sebagaimana yang Allah sifatkan- adalah hamba-
hamba Allah yang dimuliakan yang tidak pernah membangkang perintah yang Allah
berikan, dan mereka melaksanakan apa-apa yang mereka telah diperintahkan. Mereka
senantiasa bertasbih siang dan malam tanpa letih.
Mereka menjalankan tugas-tugas yang Allah perintahkan kepada mereka sebagaimana
telah mutawatir tentang hal itu dalam nash Al Quran dan As Sunnah. Maka, semua
pergerakan pada langit dan bumi merupakan perbuatan mereka sebagai wujud dari
menjalankan perintah Allah „Azza wa Jalla.
Wajib mengimani mereka, baik yang nama-nama mereka disebutkan secara rinci, atau
mereka yang belum disebutkan namanya secara global.
Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Iman kepada kitab adalah membenarkan bahwa milik Allah-lah kitab-kitab yang Dia
turunkan kepada para Nabi dan RasulNya, dia itu adalah ucapaNya secara hakiki, dia
adalah cahaya dan petunjuk, dan apa-apa yang terkandung di dalamnya adalah
kebenaran, serta tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah.
Wajib mengimaninya secara global, juga yang disebutkan namanya secara rinci, maka
wajib mengimaninya, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al Quran.
Kewajiban mengimani Al Quran juga mengharuskan meyakini bahwa Al Quran
adalah dari sisi Allah, dan Dia berbicara dengannya sebagaimana berbicara
dengan kitab-kitab yang diturunkan.
Wajib bagi semua manusia untuk mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, baik
berupa perintahnya, atau menjauhi yang dilarangnya. Al Quran adalah pengawas
(Muhaimin) bagi kitab-kitab sebelumnya, dan dia mendapatkan keistimewaan dari
Allah bahwa dia terjaga dari penggantian dan perubahan. Dia adalah firmanNya
bukan makhluk. Dari Dia dan kepadaNya kembali.
Iman kepada Rasul-rasul-Nya
Iman kepada para Rasul adalah membenarkan bahwa Allah-lah yang mengutus para
rasul unuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Dan, menetapkan
hikmahNya Ta‟ala bahwa mereka di utus sebagai pembawa kabar gembira
(mubasyirin) dan peringatan (mundzirin).
Wajib beriman kepada mereka secara keseluruhan, dan wajib beriman kepada mereka
yang namanya telah Allah rinci; mereka adalah 25 orang yang telah Allah sebutkan
dalam Al Quran.
22
Wajib beriman pula bahwa milik Allah-lah para Nabi dan Rasul selain mereka, dan
tidak ada yang mengetahui jumlah mereka kecuali Allah Ta‟ala, dan tidak ada yang
mengetahui nama-nama mereka kecuali Dia Jalla wa „Ala, sebagaimana wajib
beriman bahwa Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wa Sallam adalah yang paling
utama dan penutup para nabi, dan bahwa risalah yang dibawanya adalah untuk semua,
dan tidak ada nabi lagi setelahnya.
Iman kepada Hari Akhir
Iman kepada hari kebangkitan setelah kematian adalah meyakini secara pasti bahwa
ada kehidupan kampung akhirat yang saat itu Allah Ta‟ala membalas kebaikan orang
yang berbuat baik, keburukan orang yang berbuat buruk, dan Dia mengampuni siapa
saja yang dikehendakiNya, kecuali dosa syirik.
Hari kebangkitan (Al Ba‟ts) secara syara‟ bermakna: kembalinya badan dan masuknya
ruh ke dalamnya, mereka keluar dari kuburnya, seakan mereka adalah belalang
yang berhamburan menyambut dengan cepat yang memanggilnya.
Iman kepada Taqdir
Iman kepada qadar baik dan qadar buruk adalah membenarkan secara pasti bahwa
semua kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketetapan (qadha) Allah dan qadar
(keputusan)Nya.
Allah Ta‟ala Maha mengetahui semua taqdir segala sesuatu dan waktu-waktunya yang
azali sejak sebelum diwujudkannya, kemudian Dia menjadikannya dengan
qudrahNya, serta kehendak yang sesuai dengan apa yang diketahuiNya, bahwa Dia
telah menuliskannya dalam Lauh Mahfuzh sebelum terjadinya.
Ihsan
سان ه بهاساه ف
ج
ىم ج
بن ل
ساه، ف
ج ها
ؤعبد هللا و
ن ح
: أ ا
Lalu beliau bersabda: Ihsan adalah :ك
engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak
melihatNya maka Dia melihat engkau.
Imam Ibnu Daqiq Al „Id mengatakan: “Esensinya adalah kembali pada keitqanan (kualitas)
peribadatan dan menjaga hak-hak Allah, mendekatkan diri kepadaNya dan menghadirkan
keagunganNya dan kebesaranNya dalam keadaan berbagai ibadah.”11
Imam Sufyan bin „Uyainah Radhiallahu „Anhu mengatakan tentang makna Al Ihsan:
“Menjadikan yang tersembunyi (di hati) lebih baik dari yang ditampakkannya.” 12
As-Sa’ah (Kiamat)
اعت الظا برو عخ
ؤ: ف ا
Kemudian dia berkata: Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan :ك
kejadiannya)
11
Syarh Al Arbain An Nawawiyah, hal. 31 12
Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al „Azhim, 4/595
23
اتل الظا م معل
عنها بؤ ى
ظئ
: ما اإلا ا
Beliau bersabda: Yang ditanya tidak lebih tahu dari :ك
yang bertanya.
Maknanya adalah bahwa baik yang ditanya (yakni Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam)
dan yang bertanya (yakni laki-laki yang pada hakikatnya adalah malaikat Jibril), keduanya
sama sama tidak mengetahui kapan pastinya terjadi kiamat. Pengetahuan mereka sama-sama
terbatas.
Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam Al Quran:
ع ىه
لظؤ تها ال هى
يها لىك
جل مها عىد زب ل
ما عل ل اها
ان مسطاها ك ا
اعت أ الظا
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun
yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.” (QS. Al A’raf, 7: 187)
Ayat lainnya:
ان مسطاها ) ااعت أ الظا ع
ىه
لظؤ ساها )24
ذه ذ م
ه مىتهاها )24 فيم أ ى زب
22 ال
42. (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah
terjadinya? 43. siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? 44. kepada
Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. An Naziat, 79: 42-44)
Tanda-tanda As-Sa’ah (Kiamat)
مازاتها أ برو ع
خ
ؤ: ف ا
Dia berkata: Beritahukan aku tentang tanda-tandanya :ك
Bagian ini menunjukkan bahwa walaupun Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam tidak
mengetahui secara pasti datangnya kiamat, namun Allah Ta‟ala memberikannya keutamaan
dengan mengetahui tanda-tanda datangnya kiamat. Dan, ini merupakan kekhususan bagi
Beliau saja, tidak pada umatnya. Oleh karena itu banyak di antara ulama Islam yang
mengumpulkan hadits-hadits dan juga penjelasannya tentang tanda-tanda dan peristiwa-
peristiwa yang mendahului datangnya kiamat.
Imam Bukhari dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitab Al Fitan (Berbagai Huru Hara),
Imam Muslim dalam Shahihnya menulisnya dalam Kitabul Fitan wa Asyrath As Saa‟ah
(Berbagai Huru Hara dan Tanda-Tanda Kiamat), dan kitab hadits dari imam lainnya. Begitu
pula hadits-hadits tanda-tanda kiamat beserta pejelasannya seperti yang ditulis oleh Imam
Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah pada sub bab Al Fitan wal Malahim, juga Syaikh
Yusuf Abdullah Yusuf Al Wabil dengan kitabnya Asyratus Saa‟ah. Kedua buku ini sudah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
: اتها، ك زبا
مت
لد ألا
ن ج
أ : beliau bersabda: Jika seorang hamba melahirkan tuannya
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud ungkapan ini. Di antara mereka ada
yang memaknai bahwa saat itu kaum muslimin berhasil menguasai negeri-negeri kafir,
24
mengalahkan kaum musyrikin, dan banyak futuhat (penaklukan) yang mereka raih. Seakan,
posisi mereka yang tadinya anak dari budak wanita (Al Amah), justru anak itu menjadi tuan
bagi budak tersebut.
Sedangkan yang lainnya memahami bahwa saat itu kondisi manusia sudah sangat rusak
sampai wanita (budak) dijual anak-anaknya sendiri sehingga keberadaan mereka ditangan
pembelinya membuat ragu-ragu para pembelinya. Demikianlah tanda kiamat yang
menunjukkan kebodohan mereka atas keharaman menjual ibu mereka sendiri. Ada juga yang
mengatakan itu menunjukkan banyaknya kedurhakaan anak kepada orang ibunya, mereka
memperlalukan ibu mereka seperti tuan terhadap budaknya, merendahkan dan memakinya.13
ا ا زعا الش
ت العساة العال
اة
حف
سي ال
ن ج
dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki : وأ
dan tak berpakaian, fakir dan penggembala domba
Kalimat ini menggambarkan seseorang yang fakir, disebutkannya penggembala domba
menunjukkan posisi mereka yang paling lemah di antara penduduk gurun pasir, berbeda
dengan pemilik Unta yang biasanya bukan orang-orang fakir.14
يان ىن في البي
اول
خؼ : (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya
Imam Ibnu Daqiq Al „Id mengatakan: “Pada hadits ini dimakruhkan ajakan terhadap hal-hal
yang tidak dibutuhkan, berupa memanjangkan bangunan dan meninggikannya. Telah
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda;
اي ال
ل ش
مدم في و جس اب
ئ راب
ا الت
ما وطعه في هر
“Akan diberikan pahala bagi anak Adam dalam segala hal kecuali apa-apa yang
diletakannya (dibangunkannya) pada tanah ini.”15
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi, dengan lafaz:
خه و
لفجل في ه جس السا
ئ بىا
في ال ا
و ك
راب أ
الت
اها ال
ل
“Seseorang akan diberika pahala pada semua nafkahnya kecuali tanah.” Atau dia berkata:
“pada bangunan.” Imam At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih. (Sunan At tirmidzi No.
2483)
Beberapa Catatan Faidah Hadits
1. Membaur di masyarakat adalah kebiasaan para Nabi dan Rasul. Hal ini ditunjukkan
oleh perkataan bahwa dia dan para sahabat duduk-duduk bersama Rasulullah
Shallallahu „Alaihi wa Sallam.
13
Imam Ibnu Daqiq Al „Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 31 14
Imam Ibnu Daqiq Al „Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah Hal. 32 15
Ibid.
25
2. Adab menemui orang terhormat atau ahli ilmu. Yakni dengan menggunakan pakaian
yang sopan, rapi, dan bersih, serta penampilan yang baik. Serta gaya duduk yang
pantas dilakukan di depan mereka.
3. Dalam berbagai riwayat hadits ini, laki-laki itu datang tidak mengucapkan Salam. Hal
ini menunjukkan bahwa –secara fiqih- mengawali ucapan salam ketika berjumpa
adalah tidak wajib, tetapi sunah. Namun, menjawab salam adalah wajib.
4. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Malaikat bisa menjumpai manusia dalam wujud
manusia pula.
5. Dibolehkan mengambil pelajaran dari „sandiwara‟. Apa yang dilakukan oleh Jibril
yang menjelma menjadi laki-laki, secara zahir menunjukkan dia menanyakan hal-hal
penting kepada Rasulullah Shallallahu „Alaihi wa Sallam, seakan dia tidak tahu.
Namun, sebenarnya dia tahu
6. Ajakan agar kita bersungguh-sungguh dalam beribadah, yakni dengan merasakan
kehadiran Allah dan pengawasanNya. Tentunya, juga berlaku untuk pekerjaan
duniawi.
7. Keterbatasan pengetahuan makhluk Allah Ta‟ala atas terjadinya kiamat dan hal-hal
ghaib.
8. Berlomba-lomba meninggikan bangunan yang tidak dibutuhkannya adalah keburukan.
9. Ini menunjukkan manfaat berkumpul bersama orang-orang shalih dan ahli ilmu.
26
Disyariatkannya Qital di dalam Islam
Al-Haq (kebenaran) pada dasarnya tidak akan pernah bisa hidup berdampingan dan
mentoleransi kebatilan. Ia harus hadir dan berdiri tegak mencegah merebaknya kebatilan di
tengah-tengah kehidupan manusia. Konsekwensinya, akan selalu ada pergolakan dan
pergumulan antara keduanya.
Jika al-haq duduk menyerah kepada kebatilan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan
demi kerusakan, bahkan hingga terjadi dihancurkannya tempat-tempat ibadah oleh kebatilan
itu.
Allah Ta‟ala berfirman,
س هر ىاث ومظاجد
مذ صىامع وبيع وصل هد
اض بعظهم ببعع ل الىا
اع الل
دف
ىل
ثيراول
ه
افيها اطم الل
“Dan sekiranya Allah tidak mencegah kelaliman sebagian manusia terhadap sebagian
lainnya, niscaya biara, gereja, tempat ibadah Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah telah dihancurkan.” (QS. Al Hajj, 22: 40)
Oleh karena itu, kebenaran harus senantiasa mempersiapkan dirinya untuk mengusir
kebatilan dan kekuatan-kekuatan pendukungnya; mengusir semua bentuk keburukan,
kelaliman, dan kesewang-wenangan.
ا
ىن في طبيل اللاجل
ل ممىىا ر
اان انا ال
يؼ
اوليا الش
ىا أ
اجل
لىث ف
اغ
اىن في طبيل الؼ
اجل
ل سوا
ف ه ر
اوال
ان طعيفاان و
يؼ
ايد الش
ه
”Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah. Sementara orang-orang kafir
berperang di jalan Thagut. Maka perangilah wakil-wakil setan itu, karena sesungguhnya tipu
daya setan itu sangatlah lemah.” (QS. An-Nisaa, 4: 76)
Namun sikap tegas Islam terhadap kebatilan, keburukan, kelaliman, dan kesewenang-
wenangan jangan difahami bahwa Islam akan bertindak memaksa umat beragama lain untuk
memeluk Islam. Perlu diketahui, dalam hal beragama, Islam sesungguhnya memberikan
kebebasan kepada umat manusia untuk menentukan keyakinannya.
Allah Ta‟ala berfirman,
ي غ ال د م
ش ن الس بيا
د ج
ك ساه في الد
اه
ل
”Tidak ada pemaksaan di dalam menentukan keyakinan. Karena yang lurus telah begitu jelas
dari yang menyimpang.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256)
Ibnu Abbas menceritakan: Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki Ansar dari
kalangan Bani Salim ibnu Auf yang dikenal dengan panggilan Al-Husaini. Dia mempunyai
27
dua orang anak lelaki yang memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri adalah seorang
muslim. Maka ia bertanya kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, "Bolehkah aku
memaksa keduanya (untuk masuk Islam)? Karena sesungguhnya keduanya telah
membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama Nasrani." Maka Allah Ta‟ala
menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.16
Tujuan Jihad di dalam Islam
Pertama, melawan kedzaliman dan penindasan yang menimpa umat Islam. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta‟ala,
دس لصسهم ل
ى ه
عل
المىا وانا الل
هم ظ نا
ىن بؤ
لاجل ر
اذن لل
ن *أ
ير حم ال أ
ازهم بغ د سجىا م
خ
أ ر
اال
ا
ىا الل ىا زبلىل
”Telah diizinkan untuk berperang bagi mereka yang selama ini diperangi karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa untuk
menolong mereka. Yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka hanya
karena mereka mengatakan bahwa Tuhan kami hanyalah Allah.” (QS. Al-Hajj, 22: 39 – 40)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ishaq ibnu Yusuf Al-Azraq bahwa Ibnu 'Abbas telah
mengatakan bahwa ayat ini merupakan mula-mula ayat yang diturunkan berkenaan dengan
peperangan.
Sesungguhnya Allah mensyariatkan jihad dalam waktu yang tepat (setelah kaum muslimin
hijrah ke Madinah, red.); karena ketika kaum muslim berada di Mekah, jumlah kaum
Musyrik jauh lebih banyak. Seandainya kaum muslimin diperintahkan untuk memerangi
kaum musyrikin pada saat itu, tentulah amat berat bagi mereka melakukannya, mengingat
jumlah mereka hanya sepersepuluh jumlah kaum musyrikin, bahkan kurang dari itu. Karena
itulah setelah penduduk Yasrib (Madinah) berbaiat kepada Rasulullah di malam 'Aqabah,
yang saat itu jumlah mereka ada 80 orang lebih, mereka berkata, "Wahai Rasulullah,
bolehkan kami menyerang penduduk lembah ini?" Maksudnya orang-orang yang ada di Mina
di malam-malam Mina. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku belum
diperintahkan untuk melakukannya."
Kedua, memangkas seluruh hambatan yang melintang di tengah jalan dakwah. Perhatikanlah
fiman Allah Ta‟ala berikut,
ااى الظ
عل
ا عدوان ال
ل
تهىا ف
بن اه
ف
ا لل ىن الد
ي و
ىن فخىت
ي ج
ى ل ىهم حتا
اجل
ين وك إلا
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya
untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (QS. Al Baqarah, 2: 193)
16
Lihat: Tafsir Ibnu Katsir.
28
Ibnu Umar pernah ditanya mengapa Ia tidak terlibat jihad ketika terjadi perselisihan antara
kaum muslimin pada saat itu padahal Allah Ta‟ala telah memerintahkannya (lihat: Al-Hujurat
ayat 9 dan Al-Baqarah ayat 193). Ibnu Umar menjawab: “Kami telah melakukannya di
zaman Rasulullah yang pada saat itu Islam minoritas, dan seorang muslim ditindas dalam
agamanya, adakalanya dibunuh atau disiksa. Ketika Islam menjadi mayoritas, maka tidak
ada penindasan lagi.”17
Dari jawaban Ibnu Umar diatas dapat difahami bahwa tujuan jihad adalah memangkas
hambatan dakwah sehingga Islam semakin kokoh dan tidak ada lagi fitnah (penindasan dan
kemusyrikan) yang mengganggu kaum muslimin.
Ketiga, membantu tegaknya sebuah negara berbasiskan syariat Islam.
Allah Ta‟ala berfirman,
امىا الصا كاهم في ألازض أ ىا
ا ان مى ر
اىي عصصال
ل ل
اىصسه انا الل م
ا الل
يىصسنامسوا ول
وأ
اةو ىا الصا
ومج
لة
ألامىز عاكبت
اس ولل
ىى
اإلا عسوف ونهىا ع
باإلا
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar;
dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj, 22: 40 – 41)
Atiyyah Al-Aufi telah mengatakan sehubungan dengan makna QS. Al-Hajj ayat 40-41 ini,
bahwa ayat ini semakna dengan firman-Nya, surat An-Nur Ayat 55,
ا ال
ف
لما اطخخ
زض ه
هم في ألا نا
لف
بظخخ
الحاث ل ىا الصا
م وعمل
ممىىا مىى ر
ا ال
ابلهم وعد الل
ك م ر
بعد هم م نال يبد
هم ول
ى ل ض
ري ازج
اهم دنهم ال
نا ل
ن يمى
ول بئا وم
ىن ب ش
سو
ش
ني ل
عبدوه مىا
ىفهم أ
خ
اطلىن ف هم ال ئ
ولؤ ف ل
س بعد ذ
ف ه
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
(para khalifah) berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Dapat kita simpulkan bahwa jika umat ini telah kokoh keimanannya dan selalu melakukan
amal saleh serta mau berjihad membela agama Allah, maka akan Allah teguhkan kedudukan
17
Hadits ini dikisahkan oleh Nafi‟ dimuat di Tafsir Ibnu Katsir
29
umat Islam sehingga mereka dapat menjalan syariat Allah Ta‟ala dan mendakwahkannya
dengan leluasa.
Keempat, melindungi sistem kehidupan yang tinggi dan mulia di muka bumi. Allah Ta‟ala
berfirman,
م دامى
كذ أ ب
ث م و
ىصسه
اىصسوا الل
ممىىا ان ج ر
اها ال ي
ا أ
“Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan
kedudukanmu.” (QS. Muhammad, 47: 7)
Kaum muslim harus senantiasa bersiap siaga menjaga tegaknya agama dan syariat Allah
Ta‟ala di muka bumi. Diantara hal yang harus disiapkan itu adalah sarana dan prasarana
jihad, sebagaimana diperintahkan oleh-Nya,
م ومه وعدوا
اسهبىن به عدوا الل
يل ج
خ
زباغ ال ة وم ىا
ك عخم م
هم ما اطخؼ
وا ل عد
وأ
دونهم ل م س
خ
ي في طبيل ا
ش ىفلىا ممهم وما ج
عل
امىنهم الل
عل
مىن ح
لظ
ج
خم ل
هم وأ
يى
ال
اىف
الل
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya;
sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal,
8: 60)
Beberapa Ayat Tentang Jihad
Berikut ini beberapa ayat Al-Qur‟an yang memuat hukum tentang disyariatkannya qital.
Pertama, Allah Ta‟ala berfirman,
حب ن ج
ى أ م وعس
ىير ل
بئا وهى خ
سهىا ش
ىن ج
ى أ م وعس
ىسه ل
وهى ه لخا
م ال
يى
خب عل
م ه
ىس ل
بئا وهى ش
ىا ش
مىن عل
ح
خم ل
هم وأ
عل
ا والل
“Telah diwajibkan atas kalian berperang sementara ia begitu tidak disukai. Dan mungkin
saja engkau membenci sesuatu namun sesungguhna ia adalah baik bagi dirimu. Dan
mungkin saja engkau menyukai sesuatu namun sebenarnya ia adalah buruk bagi dirimu. Dan
Allah lebih mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui apa-apa.” (QS. Al Baqarah, 2:
216)
Penjelasan ringkas:
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, kaum muslimin bertambah
banyak dan kuat, maka Allah Ta'ala memerintahkan untuk berperang dan memberitahukan
bahwa yang demikian memang dibenci oleh jiwa karena berat, terlebih harus mengorbankan
jiwa dan raga serta penuh bahaya. Meskipun begitu, di dalamnya terdapat kebaikan,
30
seseorang bisa memperoleh kemenangan dan ghanimah atau memperoleh syahid dan pahala
yang besar. Jika mereka meninggalkan berperang, akibatnya musuh semakin berkuasa
sehingga mereka akan memperoleh kehinaan, kemiskinan, terhalangnya pahala dan
mendapatkan siksa.
Kedua, Allah Ta‟ala berfirman,
م ومه وعدوا
اسهبىن به عدوا الل
يل ج
خ
زباغ ال ة وم ىا
ك عخم م
هم ما اطخؼ
وا ل عد
دونهم ل وأ م س
خ
ا
مىنهم اللعل
مىن ح
لظ
خم ل ج
هم وأ
يى
ال
اىف
اي في طبيل الل
ش ىفلىا م
مهم وما ج
عل
“Dan persiapkanlah sebatas kemampuanmu untuk menghadapi mereka apa saja; dari
kekuatan dan kuda yang ditambatkan. Dengannya kalian menggetarkan musuh-musuh Allah
yang juga musuh-musuh kalian, dan kelompok lainnya selain dari mereka yang tidak kalian
ketahui namun Allah mengetahuinya. Dan setiap yang kalian infakkan di jalan Allah niscaya
akan dibalas, dan kalian tidak akan didzalimi sedikitpun.” (QS. Al-Anfal, 8: 60)
Penjelasan ringkas:
Ayat ini memerintahkan mu‟minin untuk mempersiapkan kekuatan, baik kepandaian,
keterampilan, kekuatan fisik , berbagai persenjataan dan perlengkapan lainnya yang dapat
membantu mengalahkan musuh, seperti berbagai macam senjata, meriam, senapan, pistol,
kendaraan, pesawat tempur, tank, kapal tempur, parit, benteng dan mengetahui taktik
berperang. Termasuk di antaranya memanah. Berkenaan dengan kekuatan yang disebut di
dalam ayat ini, 'Uqbah bin 'Amir Al Juhani berkata,
ع هم ما اطخؼ
وا ل عد
} وأ لى ىبر
ى اإلا
م وهى عل
ايه وطل
عل
اى الل
ا صل
ا الل انا طمعذ زطى
لة أ ىا
ك خم م
م الساة لىا
انا ال
لم أ السا
ة لىا
انا ال
لم أ السا
ة لىا
ال
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas mimbar berkata:
„Dan persiapkan untuk mereka apa yang kalian mampu berupa kekuatan. Ketahuilah bahwa
kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah
bahwa kekuatan itu adalah memanah!‟” (HR. Abu Daud No. 2153)
Mempersiapkan kekuatan ini dimaksudkan agar musuh-musuh Allah gentar. Inilah „illat
(alasan/tujuan)-nya, dan hukum (ketentuan) sesuatu itu berjalan bersama „illat-nya, sehingga
apa saja yang membuat mereka gentar, maka perlu dipersiapkan.
Ketiga, Allah Ta‟ala berfirman,
ىخ م ان ه
ىير ل
م خ
لى
ذ
ام في طبيل الل
فظى
هم وأ
مىالى
ال وجاهدوا بؤ
ا وثل
اف
فسوا خف
مىن اه
عل
م ح
“Berangkatlah baik ketika kalian merasa ringan ataupun berat untuk melangkah. Dan
berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Dan yang demikian itu adalah baik
bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” (QS. At-Taubah, 9: 41)
31
Pada ayat ini diterangkan bahwa berperang itu bukan lagi anjuran, tetapi wajib sehingga tidak
seorang muslim pun yang dibenarkan untuk tidak ikut berperang. Tiap-tiap orang yang sehat,
tua, kaya dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk membela Islam dan menegakkan
kebenaran.
Dalam Tafsir Jalalain, disebutkan bahwa surat At-Taubah ayat 41 di atas telah di-nasakh
(dihapus) oleh firman Allah Ta‟ala,
ا
صحىا للا ه
ىفلىن حسج اذ جدون ما
ل ر
اى ال
عل
ى ول سض
ى اإلا
عل
ا ول
عف ى الظ
بع عل
وزطىله ل
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang lemah, orang-orang sakit dan
orang-orang yang tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan apabila mereka berlaku
ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Q.S. At-Taubah, 9: 91)
Keempat, Allah Ta‟ala berfirman,
ا
ىن في طبيل اللاجل
ل
ت جىا
هم ال
نا ل
هم بؤ
مىال
فظهم وأ
همىين أ
ئ اإلا ري م
ت اش
اىن وعدا انا الل
لخل ىن و
يلخل
ف
لسمجيل وال
ىزاة وؤلاه ا في الخا يه حل
عل ل
عخم به وذ ري با
ام ال
اطخبشسوا ببيعى
ف
ا الل ى بعهده م
وف
أ ن وم
عظيم ىش ال
ف هى ال
“Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang beriman dengan
surga. Mereka berperang di jalan Allah hingga mereka berhasil membunuh ataupun
terbunuh. Janji yang selalu ditepati yang tertera di dalam Taurat, Injil, dan Al Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya selain dari Allah? Maka bergembiralah dengan
perdagangan yang telah kalian lakukan. Dan yang demikian itulah keberhasilan yang sangat
luar biasa.” (QS. At-Taubah, 9: 111)
Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah swt. membeli diri dan harta benda kaum mukmin yang
dibayar-Nya dengan surga Jannatunna'im. Artinya, Allah membalas segala perjuangan dan
pengorbanan yang telah diberikan kaum mukmin itu, baik jiwa raga maupun harta benda,
dengan balasan yang sebaik-baiknya, yaitu kenikmatan dan kebahagiaan di surga di akhirat
kelak. Ini merupakan ungkapan yang sangat indah dalam menimbulkan kegairahan bagi umat
manusia untuk berjihad, karena menggambarkan suatu ikatan jual beli yang sangat
menguntungkan manusia, sebab pengorbanan yang telah mereka berikan berupa harta benda
dan jiwa raga akan ditukar dengan sesuatu yang sangat berharga, yang tak pernah dilihat oleh
mata manusia, dan tak pernah didengar oleh telinga, dan nilainya jauh lebih tinggi daripada
harta benda dan apa saja yang telah dikorbankan.
Beberapa Hadits Tentang Jihad
Berikut ini tiga buah hadits yang menggambarkan kedudukan dan keutamaan jihad qital.
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
طىامه وذزوة
ة
ل م وعمىده الصا
طل
مس ؤلا
ض ألا
ـجهاد فـ طبيل هللا زأ
ال
32
“… Pokoknya perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fii
sabiilillaah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, „Abdurrazzaq, Ibnu Majah, dan yang lainnya).
طمعذ زطى ا عمس ك اب
س عبل
اب ال
هذم أ
جرخ
عيىت وأ
عخم بال با
ا ج
اذ لى م
ايه وطل
عل
اى الل
ا صل
االل
ى دى سجعىا ال
ى ج زعه حتا
ن
ل
ل
م ذ
يى
عل
ا الل
ؽ
اجهاد طل
خم ال
سه
زع وج م وزطبخم بالصا
ى
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila kalian telah berjual beli „inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan
pertanian serta meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan
(kehinaan). Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama
kalian.” (HR. Abu Daud)
: اجهاد في طبيل هللا عصا وجلا ؟ ك
ال عد م : ما
ايه وطل
ى هللا عل
ابي صل
ه » كيل للىاظخؼيعىه
ح
: «. ل ا
ك
: لى لل ذ
ا . و
ث
لو ث
ين أ
ج يه مسا
عادوا عل
ؤه » ف
ظخؼيعىه
ح
ت : «. ل
الث
ا في الث ا
جاهد في طبيل » وك
ل ال
مث
صيام ر مفت
اث هللا . ل اهذ بآ
لاتم ال
لاتم ال ل الصا
مث
جاهد في طبيل هللا هللا ه
سجع ال ى ة حتا
صل
ول
ىعال
. « ح
Ditanyakan kepada Nabi shallallahu „alaihi wa sallam: “Amalan apa yang setara dengan
jihad fii sabiilillah?” Nabi shallallahu „alaihi wa sallam berkata: “Kalian tidak bisa
(mengerjakan amalan yang setara dengan jihad).” Para shahabat mengulangi pertanyaan
tersebut dua kali atau tiga kali, dan Nabi tetap menjawab: “Kalian tidak bisa (mengerjakan
amalan yang setara dengan jihad).” Kemudian Nabi shallallahu „alaihi wa sallam bersabda
pada kali yang ketiga: “Perumpamaan orang yang berjihad di jalan Allah itu seperti orang
yang berpuasa, shalat, dan khusyu‟ dengan (membaca) ayat-ayat Allah. Dia tidak berhenti
dari puasa dan shalatnya sampai orang yang berjihad di jalan Allah Ta‟ala itu kembali.”
(HR. Muslim)