Download - Form I Rembang Bab III
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 1
BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN
SEKTOR SANITASI KABUPATEN REMBANG
3.1. ENABLING AND SUSTAINABILITY ASPECT
3.1.1. Kebijakan Daerah dan Kelembagaan
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis yang umumnya terjadi berkaitan dengan kelembagaan
antara lain:
1) Ketatalaksanaan penyelenggaraan program penanganan sanitasi.
Perlu adanya optimalisasi pelaksanaan fungsi organisasi atau SKPD terkait dengan
penanganan dan pembangunan sanitasi, meliputi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab instansi/ SKPD terkait. Tujuannya agar tidak terjadi overlapping atau
kebingungan dalam penanganan permasalahan sanitasi antar SKPD.
2) Sumber daya manusia yang terbatas di SKPD terkait.
Keterbatasan sumber daya manusia lebih disebabkan karena rendahnya kualitas
SDM yang memahami tentang penanganan sanitasi, dan kurangnya jumlah
personil.
3) Belum tersedia Perda yang mengatur khusus tentang Sanitasi dan air bersih.
Perda sanitasi akan memberikan arahan dan panduan dalam peningkatan kegiatan
sanitasi di Kabupaten Rembang. Perda tentang sanitasi juga akan memberikan
kekuatan hukum bagi stakeholder terkait dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan sanitasi.
4) Belum tersedia arah kebijakan yang jelas tentang pola relasi dengan pihak swasta
dalam pengelolaan sanitasi.
Banyak industri atau perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas usahanya di
Kabupaten Rembang menjadi salah satu potensi untuk melakukan kerjasama atau
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 2
hubungan kemitraan dalam kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan
kualitas lingkungan. Salah satu contohnya program CSR yang dilakukan oleh salah
satu lembaga keuangan swasta dalam pengelolaan sampah dari sumbernya.
Pemerintah Kabupaten Rembang belum memiliki ketentuan atau arahan untuk
mengarahkan kegiatan-kegiatan swasta pada pola yang selaras dengan kaidah
pengelolaan lingkungan hidup yang benar. Hingga saat ini masih belum ada
hubungan timbal balik yang jelas dan menguntungkan antara Pemerintah
Kabupaten dan swasta dalam kegiatan usaha yang terkait dengan pengelolaan
sanitasi di Kabupaten Rembang.
5) Keberadaan kelompok pengembangan sanitasi lokal masih terbatas.
Kesadaran masyarakat dalam penanganan dan pengembangan sanitasi di
Kabupaten Rembang masih kurang sehingga belum banyak kelompok-kelompok
yang dibentuk dalam kegiatan pengembangan sanitasi. Saat ini, hanya ada
kelompok-kelompok masyarakat dalam pengelolaan sampah (daur ulang sampah).
B. Tantangan
Beberapa tantangan yang mungkin terjadi berkaitan dengan kelembagaan antara
lain:
1. Perlu adanya kegiatan monitoring dan evaluasi setelah penyediaan sanitasi,
didukung dengan adanya personil yang mampu melakukan monitoring pada setiap
kegiatan yang telah dilakukan.
2. Perlu adanya pengawasan dan penegakan Perda terkait sanitasi yang telah
disusun.
3.1.2. Keuangan
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis terkait pembiayaan sanitasi di Kabupaten Rembang yaitu:
1. Prosentase belanja untuk pembiayaan sanitasi di Kabupaten Rembang relatif
sangat kecil. Proporsi belanja langsung sanitasi di Bappeda Rembang pada tahun
2010 hanya sebesar 4,53% dari total anggaran belanja langsung, karena
pembiayaan sanitasi di Bappeda bukan untuk pendanaan kegiatan fisik (hanya studi
atau perencanaan). Proporsi belanja langsung sanitasi di DPU Rembang pada
tahun 2010 hanya sebesar 24,78% dari total anggaran belanja langsung, anggaran
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 3
yang ada digunakan untuk pendanaan kegiatan fisik bidang sanitasi meliputi
pembiayaan sub bidang persampahan dan drainase.
2. Peran serta masyarakat dalam pendanaan bidang sanitasi masih sangat kecil,
terbatas pada lingkup keluarga, dan bila ada yang berskala lingkungan angkanya
juga relatif kecil (bila ada penyertaan dana dari masyarakat biasanya karena adanya
program pemerintah).
3. Pendanaan bidang sanitasi masih dari APBN atau APBD. Peran serta swasta (CSR)
masih rendah.
B. Tantangan
Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi terkait pembiayaan sanitasi di
Kabupaten Rembang yaitu:
1. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk akan menambah kebutuhan
penyediaan sanitasi. Peningkatan jumlah penduduk karena kelahiran maupun migrasi
perlu dipertimbangkan dalam tingkat pelayanan sanitasi.
2. Trend kebutuhan biaya untuk penyediaan sanitasi akan semakin meningkat setiap
tahunnya. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya harga-harga bangunan yang
dipengaruhi oleh fluktuasi kondisi perekonomian secara umum.
3.1.3. Komunikasi
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan komunikasi antara lain:
1. Media televisi merupakan media yang paling banyak dinikmati oleh masyarakat diikuti
oleh media radio. Hal ini menunjukkan bahwa media telivisi dan radio merupakan
media efektif untuk mengkampanyekan sanitasi, karena televisi merupakan media
masa yang dapat dinikmati secara audiovisual sehingga lebih menarik dan komunikatif.
Permasalahannya adalah kampanye sanitasi dan PHBS dinilai kurang menarik oleh
penonton televisi maupun pendengar radio sehingga seringkali diabaikan. Oleh
karenanya jika akan menggunakan televisi sebagai media kampanye sanitasi akan
efektif pada acara berita dan acara-acara infotainment di beberapa TV nasional, yang
menjadi acara televisi favorit sebagian besar masyarakat.
2. Belum ada stasiun televisi lokal yang menyiarkan langsung kampanye sanitasi dan
PHBS di Kabupaten Rembang. Respon penonton TV lokal pun relatif sedikit
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 4
dibandingkan penonton TV swasta yang notabene tidak menyiarkan kegiatan lokal di
Kabupaten Rembang.
3. Radio dapat dimanfaatkan sebagai media kampanye sanitasi dengan frekuensi sesuai
kebutuhan untuk memperluas cakupan kelompok sasaran promosi sanitasi
berdasarkan segmentasi yang dibutuhkan, misal kalangan ibu-ibu rumah tangga.
Permasalahannya materi sanitasi dan PHBS yang dibawakan melalui media radio
belum begitu banyak.
4. Surat kabar belum dapat dijadikan media utama untuk kampanye sanitasi, terutama
bagi ibu-ibu. Karena ibu-ibu jarang membaca surat kabar. Namun demikian, surat
kabar tetap dapat dimanfaatkan untuk kampanye sanitasi bagi kelompok sasaran
lainnya. Permasalahannya adalah jarang atau bahkan tidak ada rubrik khusus yang
membahasa sanitasi di surat kabar.
5. Sosialisasi mengenai sanitasi di masyarakat sudah cukup banyak dilakukan baik oleh
kader puskesmas, kader posyandu dan melalui pemerintah desa beserta jajarannya.
Sehingga untuk ke depannya kegiatan sejenis untuk lebih diperbanyak frekuensi dan
materinya sehingga kesadaran masyarakat mengenai sanitasi meningkat.
6. Peran aktif dari sektor kesehatan dalam hal ini sanitarian dan kader posyandu masih
dominan dalam memberikan informasi berkaitan dengan sanitasi, di sisi lain peran
serta kepala desa beserta jajarannya belum optimal. Peran serta kepala desa dan
stafnya, ketua RW serta ketua RT perlu ditingkatkan lagi. Dan dijadikan pihak pertama
yang harus dilibatkan dalam kegiatan kampanye sanitasi. Mereka penguasa wilayah
yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat merupakan faktor yang
menguntungkan bagi kampanye sanitasi. Harapannya adalah mereka dapat secara
obyektif memotret kondisi sanitasi di lingkungannya dan secara sadar dapat menjadi
agent perubahan (agent of change) bagi masyarakatnya.
7. Media pertemuan khususnya pengajian dan arisan cukup efektif untuk
mempromosikan sanitasi sebagai salah satu agenda/acara dalam pertemuan tersebut.
Namun hingga saat ini kampanye sanitasi melalui media below the liner seperti
pengajian, rapat RT, musyawarah desa belum banyak dilakukan. Jika ini dapat
dilaksanakan, maka pertemuan-pertemuan tersebut dapat menjadi media penyebaran
yang efektif bagi kampanye sanitasi.
8. Pada umumnya setiap sosialisasi/penyuluhan yang diadakan oleh instansi pemerintah,
hanya melibatkan sebagian anggota masyarakat saja, misalnya tokoh masyarakat,
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 5
kader PKK atau lainnya, pengurus lingkungan, dan warga terdekat dari lokasi kegiatan.
Hal ini terjadi karena terbatasnya anggaran sosialisasi/penyuluhan (termasuk dari
kelurahan) dan keterbatasan waktu penyelenggaraan. Di samping itu, ada kebiasaan
penyebaran informasi melalui dilakukan dengan pola ’getok tular’ melalui agen-agen
perubahan, seperti kader-kader atau tokoh-tokoh masyarakat.
9. Secara umum komedi/lawak merupakan suatu kesenian yang dapat menghibur
masyarakat. Oleh karena itu jenis media seperti ini tampaknya memang dapat
dijadikan salah satu media untuk menyampaikan berbagai program pembangunan
termasuk sanitasi. Pesan-pesan tersebut dapat disisipkan diantara lawakan/komedi.
10. Materi kampanye yang dikembangkan tentang sanitasi kurang tepat dan sesuai
dengan kondisi masyarakat. Setiap kelompok masyarakat memiliki karakter yang unik
dan kebiasaan (tradisi) berbeda dengan kelompok lainnya karena faktor sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat yang berbeda. Perbedaan karakter dan kebiasaan
ini, menuntut adanya kreativitas dalam pembuatan media kampanye yang tepat
sasaran sehingga mudah dipahami dan dimengerti masyarakat setempat.
11. Keberadaan rubrik sanitasi di media cetak belum ditemukan, hal ini menunjukkan
masih kurangnya perhatian media massa terhadap masalah sanitasi. Topik – topik
tentang sanitasi baru diangkat sebagai berita apabila sudah menimbulkan persoalan,
seperti wabah penyakit, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Komitmen
membangun sanitasi harus ditanamkan kepada semua pihak, termasuk media massa
sebagai agen dan sumber informasi bagi masyarakat. Media massa harus didorong
untuk lebih aktif lagi menyajikan berita tentang sanitasi (rubrik sanitasi).
12. Kapasitas SKPD dalam melakukan komunikasi program ke berbagai pihak masih
rendah. Keterbatasan sumber daya manusia SKPD terkait sanitasi dalam aspek
komunikasi dapat dilihat dari lemahnya upaya-upaya pemasaran sanitasi ke berbagai
pihak dengan memanfaatkan berbagai media. Dibutuhkan sumber daya manusia
(SDM) yang mengerti tentang komunikasi dan fungsi – fungsi kehumasan.
13. Kurangnya frekuensi sosialisasi tentang sanitasi ke masyarakat. Peningkatan
pengetahuan, pemahaman dan tindakan atau aksi masyarakat, dibutuhkan informasi
yang jelas dan disampaikan secara terus menerus. Masyarakat perlu terus menerus
diingatkan tentang pentingnya sanitasi dalam kehidupan sehari–hari dengan berbagai
bentuk sosialisasi yang direncanakan dan dilaksanakan secara rutin. Demikian juga
sebaliknya, pemangku (SKPD) terkait sanitasi mengupayakan ide kreatif dan rajin
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 6
melakukan sosialisasi dengan berbagai media. Bukan hanya melakukan sosialisasi
apabila terjadi masalah.
14. Terbatasnya efektifitas media dalam menyampaikan pesan (berkaitan dengan jam
tayang dan oplah). Tidak ada media yang bisa menjangkau seluruh lapisan
masyarakat. Setiap media memiliki spesifikasi dalam hal konten dan audiennya.
Sehingga untuk mencapai sasaran audien yang banyak, diperlukan strategi pemilihan
media yang tepat dengan menggabungkan berbagai media misalnya media cetak,
radio dan televisi dalam menyampaikan pesan.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan komunikasi antara lain:
1. Semakin maraknya acara telsvisi, radio maupun rubrik di surat kabar yang lebih
menarik daripada iklan layanan masyarakat terkait sanitasi. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi stakeholder untuk merancang materi dan muatan iklan layanan sanitasi
yang menarik dan mudah dipahami.
2. Biaya publikasi di media massa semakin mahal sehingga menghambat upaya
penyebarluasan menggunakan media massa.
3.1.4 Keterlibatan Pelaku Bisnis
3.1.4.1 Sub Sektor Limbah Domestik
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub
sektor limbah adalah:
1. Peran serta sektor swasta dalam pengelolaan limbah cair domestik di Kabupaten
Rembang adalah masih terbatas pada penyediaan jasa kuras WC. Akan tetapi di
Kabupaten Rembang sendiri belum ada perusahaan yang melayani jasa tersebut.
Perusahaan yang biasa melayani berasal dari luar Kabupaten Rembang yaitu dari
Blora dan Pati.
2. Di Kabupaten Rembang belum mempunyai IPLT baik yang dikelola oleh Pemerintah
maupun swasta sebagai tempat akhir pembuangan lumpur tinja. Perusahaan kuras
tangki septik yang beroperasi di Kabupaten Rembang membuang hasil pengurasan
lumpur tinja di luar wilayah Kabupaten Rembang.
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 7
3. Sebagian besar tangki septiktank yang ada di Kabupaten Rembang belum
menggunakan sistem yang aman/ merembes ke luar tanki. Hal ini berpengaruh
terhadap permintaan jasa layanan sedot tinja, sehingga di Kabupaten Rembang sendiri
tidak ada perusahaan yang bergerak di bidang tersebut.
4. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menguras tangki septik dan penggunaan
tangki septik yang aman masih kurang. Hal ini berpengaruh terhadap permintaan jasa
layanan sedot tinja, sehingga di Kabupaten Rembang sendiri tidak ada perusahaan
yang bergerak di bidang tersebut.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub sektor
limbah adalah:
1. Masuknya pelaku bisnis dari luar Kabupaten Rembang dalam pengelolaan limbah di
Kabupaten Rembang. Kabupaten Rembang belum memiliki perusahaan yang melayani
jasa sedot tinja. Perusahaan yang biasa melayani berasal dari luar Kabupaten
Rembang yaitu dari Blora dan Pati. Hal ini akan mengurangi peluang keterlibatan
pelaku bisnis lokal dalam pengelolaan limbah.
2. Penumbuhan minat swasta untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan limbah. Perlu
adanya insentif dan disinsentif agar pihak swasta mau mengelola limbahnya dengan
benar.
3. Pembuangan limbah sedot tinja tidak ke IPLT, hal ini menjadikan permasalahan baru
apabila tidak teridentifikasi sejak dini.
3.1.4.2 Sub Sektor Persampahan
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub
sektor persampahan adalah:
1. Peran pihak swasta masih sangat kecil dan tidak signifikan dalam pengelolaan sampah
di Kabupaten Rembang. Terdapat beberapa unit usaha pengepul barang bekas untuk
di jual lagi ke luar Kabupaten Rembang seperti Kudus, Surabaya dan lain-lain. Sampai
saat ini belum ada data mengenai jumlah pengusaha, jenis sampah yang dikumpulkan
maupun volume penjualannya, sehingga peran serta swasta dalam pengelolaan
sampah belum dapat terukur.
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 8
2. Pemilahan sampah plastik yang dilakukan saat ini masih dilakukan oleh pelaku daur
ulang yang pertama yaitu pemulung. Pemulung biasanya mulai memilah sampah
menurut jenisnya langsung di tempat sampah atau di TPS. Salah satu hal yang
menyulitkan pelaku daur ulang sampah adalah masih tercampurnya berbagai jenis
sampah sehingga tidak jarang terjadi kontaminasi terhadap sampah plastik. Hal inilah
yang menyebabkan adanya aktivitas tambahan di tingkat lapak maupun bandar dalam
melakukan daur ulang terhadap sampah plastik. Aktivitas tambahan ini berupa aktivitas
pencucian sampah plastik dari bahan/kotoran yang melekat. DPU mencatat sampai
dengan tahun 2009 jumlah pemulung yang terdata berjumlah 30 orang.
3. Belum tersedia arah kebijakan yang jelas tentang pola relasi dengan pihak swasta
dalam pengelolaan sampah. Banyak industri atau perusahaan-perusahaan yang
melakukan aktivitas usahanya di Kabupaten Rembang menjadi salah satu potensi
untuk melakukan kerjasama atau hubungan kemitraan dalam kegiatan yang
berhubungan dengan pengembangan kualitas lingkungan. Salah satu contohnya
program CSR yang dilakukan oleh Bank Danamon dalam pengelolaan sampah dari
sumbernya. Pemerintah Kabupaten Rembang belum memiliki ketentuan atau arahan
untuk mengarahkan kegiatan-kegiatan swasta pada pola yang selaras dengan kaidah
pengelolaan lingkungan hidup yang benar. Hingga saat ini masih belum ada hubungan
timbal balik yang jelas dan menguntungkan antara Pemerintah Kabupaten dan swasta
dalam kegiatan usaha yang terkait dengan pengelolaan sanitasi di Kabupaten
Rembang.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub sektor
persampahan adalah:
1. Masih banyaknya pelaku usaha yang menggunakan produk kemasan yang tidak
ramah lingkungan/ tidak dapat didaur ulang.
2. Pemilahan sampah oleh pemulung biasanya menyebabkan permasalahan baru karena
sampah menjadi berceceran dari tempat sampah, dan tidak dibersihkan kembali.
3. Penumbuhan minat swasta untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan sampah dari
sumbernya. Perlu adanya insentif dan disinsentif agar pihak swasta mau terlibat dalam
kegiatan pengelolaan sampah.
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 9
3.1.4.3 Sektor Drainase Lingkungan
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub
sektor drainase lingkungan adalah:
1. Peran serta swasta dalam pengembangan drainase lingkungan belum terlihat nyata di
Kabupaten Rembang. Drainase skala kota dan lingkungan masih diselenggarakan oleh
pemerintah baik untuk kegiatan pengembangan maupun pemeliharaan. Sedangkan
peran serta masyarakat masih dalam lingkup skala lingkungan perumahan atau desa.
2. Peran swasta dalam sektor darainase lingkungan baru terdapat di perumahan-
perumahan formal yang ada di Kabupaten Rembang. Penyediaan prasarana
lingkungan tersebut di lingkup perumahan juga hanya terbatas pada awal
pembangunan perumahan. Selanjutnya pengembangan dan pemeliharaan diserahkan
kepada penghuni perumahan yang biasanya diusulkan untuk mendapatkan pendanaan
dari Pemerintah Daerah.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan keterlibatan pelaku bisnis dalam sub sektor
drainase lingkungan adalah:
1. Perlu ada pengawasan dan monitoring terhadap pihak swasta yang membangun
saluran drainase agar membangun saluran drainase sesuai dengan standar pelayanan
minimal saluran drainase.
2. Penumbuhan minat swasta untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan saluran
drainase. Perlu adanya insentif dan disinsentif agar pihak swasta mau terlibat dalam
kegiatan pembangunan saluran drainase.
3.1.5 Partisipasi Masyarakat dan Jender
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan partisipasi masyarakat dan jender
adalah:
1. Partisipasi masyarakat dalam penanganan bidang sanitasi masih relatif kecil, karena
peran serta masyarakat khususnya perempuan masih terbatas dalam skala lingkungan
rumah tangga. Beberapa program Pemerintah melalui SKPD yang terkait mengajak
masyarakat untuk ikut berperan serta aktif dalam menangani permasalahan sanitasi
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 10
dan kesehatan lingkungan melalui pembentukan Pokmas atau kelompok kerja
setingkat desa/RT atau melalui pemberdayaan lembaga desa yang ada seperti PKK,
kelompok pengajian atau Dasawisma. Program pemerintah tersebut antara lain adalah
PAMSIMAS, PPIP (kesehatan dan BPMPKB). Akan tetapi kelemahan dari program
pemberdayaan tersebut adalah kurangnya keberlanjutan terutama untuk program yang
bersifat bantuan fisik, dimana ketika kegiatan fisiknya selesai dibangun maka peran
fungsi Pokmas juga berangsur berhenti.
2. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal, untuk turut serta dalam
pengelolaan air limbah domestik. Penanganan sub sektor limbah domestik khususnya
jamban keluarga menjadi urusan masing-masing individu atau keluarga. Selain itu
kurangnya sosialisasi mengenai penanganan limbah domestik yang benar yaitu
mengkondisikan pengelolaan air limbah domestik yang aman sebelum dibuang ke
media lingkungan sebagai kewajiban. Pola pengelolaan air limbah domestik
seharusnya dijalankan oleh berbagai pihak terutama untuk lingkungan yang
mempunyai kepadatan tinggi, karena sistem komunal untuk lingkungan berkepadatan
tinggi merupakan solusi yang paling tepat.
3. Pengelolaan sampah melalui pengurangan sampah dalam skala rumah tangga dengan
metode 3R (reuse, reuse, recycle) belum membudaya dimasyarakat disebabkan masih
kurangnya kesadaran masyarakat dan sosialisasi oleh instansi terkait.
4. Tanggung jawab masyarakat terhadap kebersihan di lingkungan masing-masing masih
kurang.
5. Pengadaan sarana kebersihan secara swadaya berupa alat kebersihan untuk
lingkungan masing-masing oleh masyarakat masih kurang.
6. Efektifitas usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah Kabupaten Rembang maupun
masyarakat di beberapa kelurahan dalam mengurangi timbulan/volume sampah yang
masuk ke TPA belum menunjukkan suatu hasil yang signifikan. Hal itu mendorong
perlunya suatu penanganan sanitasi yang terpadu antar berbagai pihak (pemerintah,
swasta, dan masyarakat), sehingga akan dihasilkan suatu pengelolaan persampahan
yang menyeluruh dan terintegrasi dengan melibatkan masyarakat (sumber penghasil
sampah) secara langsung dan lembaga-lembaga informal daur ulang yang terkait,
disertai dengan pemilihan teknologi dan fasilitas yang efisien dan ergonomis guna
meningkatkan pemberdayaan masyarakat, pada khususnya adalah rumah tangga
sebagai fokus utama.
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 11
7. Kesadaran masyarakat masih belum terbangun secara optimal, untuk
bertanggungjawab dalam hal pembangunan, dan pengelolaan drainase lingkungan.
Pola pembinaan pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan
kepatuhan terhadap aturan-aturan yang terkait dengan pengelolaan drainase
lingkungan belum efektif.
8. Belum adanya LSM (lembaga Swadaya Masayarakt) yang fokus dan bergerak dalam
pembangunan sanitasi. Keberadaan lembaga lokal dalam hal ini LSM dapat
mendorong pembangunan sanitasi dan mengisi kekosongan pembangunan yang
belum bisa dilakukan oleh pemerintah.
9. Perempuan sudah terlibat aktif dalam kepengurusan LPMK (Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan) serta proses perencaan partisipatif dalam musrenbang di
tingkat kelurahan sampai kota, meskipun masih perlu ditingkatkan dalam kualitas
keterlibatannya.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan partisipasi masyarakat dan jender adalah:
1. Sulitnya merubah pola perilaku atau budaya untuk hidup bersih dan sehat, misalnya
dalam hal buang air sembarangan. Oleh sebab itu perlu dididik sejak dini serta
disediakan fasilitas yang memadai.
2. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan menyebabkan masyarakat menjadi kritis
dalam setiap kegiatan pembangunan. Oleh sebab itu masyarakat perlu diberdayakan
sejak awal pembangunan hingga tahap pemeliharaan.
3. Perlunya pemicuan tingkat kesadaran masyarakat dalam perilaku hidup bersih dan
sehat dengan beberapa kasus KLB (Kejadian Luar Biasa). Sosial budaya masyarakat
yang terbentuk secara turun menurun memerlukan proses penyadaran yang dipicu
dengan kasus fatal penyakit akibat buruknya sanitasi, budaya ini dapat dirubah dengan
menyadarkan masyarakat tentang alur proses terjadinya penyakit.
3.1.6. Monitoring dan Evaluasi
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan monitoring dan evaluasi adalah:
1. Proses monitoring dan evaluasi dalam pengembangan sub sektor sanitasi belum
terlihat secara signifikan. Kurangnya keberlanjutan terutama untuk program yang
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 12
bersifat bantuan fisik, dimana ketika kegiatan fisiknya selesai dibangun maka
pengawasan setelah pasca konstruksi tidak ada lagi. Begitu pula dengan pemeliharaan
sarana prasarana fisik yang bersifat umum/ lingkungan. Masyarakat kurang memiliki
kesadaran untuk membersihkan dan memelihara sarana prasarana lingkungan. Oleh
sebab itu, partisipasi masyarakat harus ditingkatkan sejak dari tahapan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan (monitoring dan evaluasi) agar masyarakat merasa
memiliki atas sarana dan prasarana yang dibangun.
2. Belum tersedia format monitoring dan evaluasi khusus sektor sanitasi yang dapat
diterapkan, sehingga belum ada panduan atau arahan bagaimana melaksanakan
kegiatan monitoring dan evaluasi yang benar.
3. Lemahnya pendokumentasian data menjadi faktor kendala dalam proses Monitoring
dan Evaluasi (Monev). Data merupakan satu elemen penting dalam proses
perencanaan dan sangat menentukan terhadap berhasil tidaknya suatu kegiatan.
Dalam proses interaksi orang per orang atau lembaga dengan lembaga, keakuratan
data merupakan satu prasyarat yang dapat membawa orang atau lembaga dapat
senantiasa bertahan dan mampu mengikuti perkembangan teknologi serta informasi.
4. Keterlibatan aktif stakeholder kota (masyarakat, ormas, LSM, media, Perguruan Tinggi)
dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pembangunan
sanitasi masih kurang.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan monitoring dan evaluasi adalah:
1. Sudah ada dan diterapkannya LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah) sebagai sistem Monev kinerja SKPD. Penyusunan LAKIP SKPD
merupakan amanat dari Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Penyusunan dokumen
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. LAKIP secara substansi berisi
tentang Monev dari masing-masing SKPD termasuk didalamnya adalah Monev
kegiatan sanitasi bagi SKPD yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan sanitasi.
LAKIP yang diterapkan dapat menjadi acuan atau dasar dalam pengembangan format
monev sanitasi.
2. Belum diterapkannya sistem reward dan punishment sebagai indikator kinerja SKPD.
Didalam mendorong terwujudnya sistem keperintahan yang baik dan didukung oleh
seluruh warga masyarakat, Pemerintah Kabupaten Rembang perlu membuat satu
mekanisme pelaksanaan pekerjaan dan SKPD yang ada dengan didukung penerapan
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 13
pola Reward and Punishment. Dalam proses penetapan target kinerja SKPD
seharusnya hasil dari monev dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan target kinerja
tahun berikutnya, dimana unsur reward dan punishment akan diterapkan dalam proses
ini. Penerapan pola tersebut perlu untuk dilaksanakan agar SKPD lebih terpacu
meningkatkan kinerjanya dan hal ini dapat memacu kemampuan kerja para
pegawainya dalam rangka mewujudkan tercapainya pengakuan dari lingkungan
eksternal bahwa mereka mampu menjalankan pekerjaan sesuai SOP. Faktor penting
yang dicapai dari penerapan pola Reward and Punishment adalah adanya jaminan
bahwa sektor sanitasi akan ditangani secara lebih baik dan lebih bermanfaat Akan
tetapi proses ini membutuhkan hasil monev yang betul-betul konkrit dan dapat
dipertanggungjawabkan.
3. Diterapkannya sistem penilaian berbasis kinerja oleh Pemerintah Pusat. Pengawasan
pembangunan yang secara formal dilakukan oleh instansi pengawasan pemerintah
secara periodik akan menghasilkan suatu hasil audit kinerja pembangunan secara
menyeluruh termasuk didalamnya pembangunan sanitasi. Hasil audit ini dari sektor
sanitasi juga merupakan proses monitoring dan evaluasi dimana hasilnya dapat
digunakan acuan dalam pengambilan kebijakan. Sedangkan dengan penerapan sistem
anggaran berbasis kinerja yang mewajibkan semua SKPD untuk mengukur terlebih
dahulu kinerjanya berbarengan dengan proses penganggaran secara tidak langsung
juga telah memasukan unsur monitoring dan evaluasi didalam proses penganggaran.
Sehingga diharapkan penyusunan kebijakan anggaran bisa berjalan seiring dengan
proses kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai manisfestasi dari prose monitoring
dan evaluasi.
4. Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan yang baik dan dapat dipertanggung
jawabkan hasil kegiatannya kepada semua pihak, sangatlah dibutuhkan peranan
instansi kontrol diluar pemerintah kabupaten. Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan
pembangunan sektor sanitasi, kiranya tidak kita pungkiri bilamana pada kurun waktu
yang akan datang mendapatkan pengawasan dari instansi eksternal dikarenakan
semakin bervariasinya perolehan program kegiatan dan pembangunan sektor sanitasi.
3.2. SUB-SEKTOR DAN ASPEK UTAMA
Sub sektor dan aspek utama dalam perumusan strategi sanitasi Kabupaten
Rembang meliputi persampahan, drainase, air limbah, dan higienitas. Sub sektor tersebut
perlu dikaji lebih lanjut, terutama mengenai permasalahan-permasalahannya. Hal ini
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 14
diperlukan untuk merumuskan strategi penanganan permasalahan, maupun
pengembangan sanitasi di Kabupaten Rembang.
3.2.1. Air Limbah
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis terkait pengelolaan limbah cair di Kabupaten Rembang
adalah :
A. Teknis Operasional
1. Belum memiliki IPLT atau sarana pengelolaan air limbah domestik secara terpusat
(Off site).
Sampai dengan tahun 2010, Kabupaten Rembang belum memiliki IPLT atau
sarana pengelolaan air limbah domestik secara terpusat (Off site). Penanganan
limbah menggunakan sistem on site, penanganan limbah setempat 60%
menggunakan septik tank, sisanya menggunakan sistem cubluk/jumbleng. Namun,
penggunaan sistem on site di kabupaten ini kini berpotensi mencemari sumur gali
sebagai sumber air bersih masyarakat setempat karena dengan kepadatan tinggi
letak septik tank dengan sumur gali makin rapat. Selain itu, limbah industri masih
diolah secara sederhana dan belum diolah menggunakan IPAL komunal, sehingga
masih dimungkinkan memiliki zat kimia berbahaya yang mampu mencemari air
bersih dan tanah.
2. Jumlah penduduk yang terlayani jamban keluarga hanya sebesar 45,74%.
Masyarakat berpenghasilan rendah melakukan BAB di sungai.
Jumlah keluarga yang memiliki jamban pribadi hanya sebesar 45,74%. Keadaan ini
tentunya memaksa masyarakat terutama penduduk berpenghasilan rendah
melakukan BAB di sungai. Hal ini tentu menjadi kebiasaan dan pola hidup yang
kurang sehat, dan terkadang cukup sulit untuk mengubah pola hidup masyarakat
yang sudah terbiasa BAB di sungai.
3. Sebagian besar masyarakat masih menggunakan teknik pengelolaan air limbah
secara on site komunal pada lingkungan permukiman yang padat dan juga
dipengaruhi oleh kontur wilayah yang kurang dari 4%.
4. Belum adanya pembangunan sarana pengelolaan air limbah dalam skala komunitas
(kelompok masyarakat) melalui pendekatan masyarakat.
5. Banyak kegiatan industri yang belum memiliki IPAL
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 15
Masih buruknya pengelolaan limbah cair industri di Kabupaten Rembang tercermin
dari pengelolaan limbah cair di home industry batik, tahu dan tempe di Kabupaten
Rembang, dimana 80,95% industri tahu tempe belum memiliki IPAL sedangkan
industri batik 76,47% sistem IPAL yang dimiliki masih sederhana berupa saluran/
got. Pengumpulan, pengangkutan dan sistem pembuangan air limbah industri masih
buruk, dimana setelah diolah secara sederhana pembuangan akhir langsung
dialirkan ke sungai, pantai dan laut. Keadaan ini disebabkan karena kota belum
memiliki suatu sistem terpusat untuk skala kota (off site system) untuk mengolah
limbah cair. Dampaknya antara lain kerusakan ekosistem sungai dan laut akibat
limbah home industry yang langsung dialirkan ke sungai yang bermuara di laut.
Oleh karena, itu diperlukan adanya pengelolaan limbah industri secara terpusat
sehingga limbah tersebut dapat diolah secara optimal dan output yang dihasilkan
tidak mencemari lingkungan.
B. Manajemen/ kelembagaan
1. Sistem sanitasi belum terpadu dalam perencanaan induk sistem daerah,
dikarenakan belum adanya kegiatan masterplan rencana induk sistem pengelolaan
air limbah.
2. Belum optimalnya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup oleh
industri karena belum ada aturan wajib bagi tiap industri untuk wajib AMDAL.
3. Minimnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air limbah rumah tangga
Kesadaran masyarakat tentang pengelolaan saluran air limbah domestik (SPAL)
masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari masih kurangnya kesadaran masyarakat
di wilayah perdesaan dan pesisir untuk memiliki jamban pribadi atau komunal.
Terbatasnya lahan dan teknis untuk pembangunan jamban pribadi atau komunal
menjadi kendala utama masyarakat di wilayah pesisir Kecamatan Kaliori, Rembang,
Lasem, Sluke, Kragan dan Sarang. Sedangkan untuk diwilayah perdesaan kendala
utama masyarakatnya adalah pada kesadaran masyarakat dan kemampuan
ekonomi untuk membangun jamban keluarga atau komunal.
Pada penanganan grey water dan black water kesadaran masyarakat baik di
perkotaan maupun perdesaan masih rendah. Banyak masyarakat yang masih
membuang limbah cair domestik ke dalam saluran drainase dan sungai serta
pekarangan rumah, sehingga mengakibatkan fungsi saluran yang tidak optimal
(karena endapan lebih cepat terbentuk). Limbah Grey Water yang terdiri dari air
cucian dari dapur, air bekas mandi, dan air cucian pakaian di Kabupaten Rembang
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 16
hampir 95% dibuang ke badan air (sistem drainase), karena di Kabupaten Rembang
belum memiliki SPAL, baik SPAL skala perkotaan maupun skala lingkungan. Selain
itu, kurangnya kesadaran masyarakat untuk menguras tangki septik
mengindikasikan banyaknya tangki septik yang tidak aman atau diduga cubluk,
sehingga sangat berpotensi untuk mencemari tanah dan badan air sekitarnya.
Dengan demikian, diperlukan adanya SPAL skala perkotaan untuk mengelola air
limbah kota secara terpusat sehingga limbah cair kota dapat dikelola secara baik
dan meminimalisir timbulnya sumber penyakit. Selain itu, perlu disosialisasikan
pada masyarakat mengenai pengelolaan air limbah rumah tangga yang baik dan
pola hidup bersih sehat. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi citra kota dan
perkembangan kota.
C. Pembiayaan
1. Rendahnya kemampuan masyarakat untuk membangun jamban, terutama bagi
masyarakat di pesisir dan perdesaan.
2. Rendahnya kemampuan home industry untuk membuat IPAL yang mampu
mengelola limbah dengan benar, sehingga ketika dibuang ke saluran atau badan
sungai sudah ramah lingkungan.
B. Tantangan
Beberapa tantangan terkait pengelolaan limbah cair di Kabupaten Rembang
adalah:
1. Ancaman kerusakan dan keberlanjutan ekosistem sungai dan laut akibat pengelolaan
sederhana limbah home industry dan langsung dialirkan ke sungai yang bermuara di
laut.
2. Pencemaran sumber air bersih apabila pengelolaan air limbah yang buruk.
3. Adanya penyakit yang disebabkan karena pencemaran limbah.
4. Belum ada penerapan teknologi pengelolaan air limbah.
5. Semakin meningkatnya kegiatan industri akan meningkatkan jumlah limbah yang
dihasilkan.
6. Limbah cair yang dialirkan ke saluran drainase menjadi pencemar air sehingga perlu
dipertimbangkan untuk melakukan pemisahan antara saluran drainase (dari air hujan)
dengan saluran sewerage (khusus air limbah).
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 17
3.2.2. Persampahan
A. Isu Strategis
Beberapa hal yang menjadi isu strategis dalam pengelolaan sampah di Kabupaten
Rembang, baik dari segi teknis operasional, manajemen/ kelembagaan, dan pembiayaan
adalah :
A. Teknis Operasional
1) Di Kabupaten Rembang terdapat 1 TPA yaitu TPA Landoh Sulang belum dapat
melayani secara optimal karena layanan persampahan baru mencakup wilayah
perkotaan dan sebagian IKK.
Di Kabupaten Rembang terdapat 1 TPA yaitu TPA Landoh Sulang untuk melayani
wilayah Barat. TPA Landoh Sulang kini telah berfungsi dengan penggunaan lahan
sebesar 57 % atau 18.500 m². Namun, hingga saat ini TPA tersebut belum dapat
melayani secara optimal karena layanan persampahan baru mencakup wilayah
perkotaan dan sebagian IKK di Kabupaten Rembang sehingga masih terdapat
timbunan sampah kota, seperti pada tahun 2008 sampai dengan 2009 adalah
343,14 m³/ hari sedangkan jumlah sampah yang terangkut adalah 252 m³/ hari
(masih terdapat 1/3 bagian). Jumlah penduduk yang terlayani pun masih sebesar
54% atau sebesar 218.497 penduduk dari jumlah penduduk total. Keadaan ini
didukung dengan kurangnya jumlah sarana prasarana pendukung dan kondisi
TPA Sidomulyo Sedan yang rencananya mulai beroperasi tahun 2010 belum
dapat berfungsi secara optimal, sehingga pelayanan penampungan sampah masih
dibebankan sepenuhnya pada TPA Landoh Sulang. Timbunan sampah ini
tentunya berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan dan menjadi sumber
penyakit.
2) Timbulan sampah yang hanya terangkut 16,39% dari seluruh sampah. Timbulan
sampah yang tidak terangkut dibakar, dibuang ke sungai atau di tepi pantai.
Penyebab timbulan sampah yang tidak terangkut karena keterbatasan sarana
pengangkutan.
3) Dengan pertambahan penduduk dan bertambahnya luasan cakupan pelayanan
persampahan memerlukan dukungan parasarana-sarana pelayanan persampahan
yang lebih banyak, baik sarana pengangkutan, pengumpulan, maupun
pengolahan sampah.
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 18
4) Sudah ada embrio pelaksanaan pengelolaan sampah 3R oleh masyarakat. namun
masih mengalami kendala dalam hal penjualan produk yang dihasilkan. Lemahnya
daya saing penjualan pupuk kompos hasil pengolahan sampah organik oleh
masyarakat, akan menjadi ancaman keberlanjutan pengolahan sampah oleh
masyarakat. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana pemasaran produk jika
seluruh wilayah melakukan proses komposting.
B. Manajemen/ Kelembagaan
Permasalahan dari segi manejemen atau kelembagaan berkaitan dengan peran aktif
masyarakat dalam pengelolaan sampah. Minimnya kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan sampah terlihat dari adanya anggapan di masyarakat bahwa pengelolaan
persampahan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah serta kurangnya
partisipasi warga masyarakat dalam pengelolaan persampahan. Hal ini tercermin dari
kegiatan penanganan sampah ditingkat rumah tanggga yang belum menjadi budaya,
seperti melalui 3R (Reduce Reuse RecycleI), serta masih terdapat masyarakat yang
membuang sampah sembarang tempat dan ditimbun di pinggir laut.
C. Pembiayaan
Permasalahan pembiayaan akan dihadapi berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan
sampah 3R. Pengembangan 3R memerlukan biaya untuk pengadaan lahan,
pembuatan TPST dan pengadaan peralatan komposting.
B. Tantangan
Beberapa hal yang menjadi tantangan dalam pengelolaan sampah di Kabupaten
Rembang adalah :
1. Peningkatan jumlah penduduk baik dari kelahiran maupun migrasi akan meningkatkan
jumlah timbulan sampah.
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Rembang maka perlu
diantisipasi pula meningkatnya jumlah timbulan sampah, mengingat jumlah timbulan
sampah akan semakin meningkat dengan peningkatan jumlah penduduk. Penyediaan
sarana prasarana pelayanan persampahan pun akan semakin besar jumlahnya.
Sarana prasarana tersebut meliputi TPS, kontainer dan arm roll truck, gerobag
sampah, dan peralatan pengelolaan sampah di TPA meliputi alat berat, pemilah
sampah peralatan komposting dan prasarana pendukungnya.
Padahal disisi lain, TPA yang ada belum berfungsi secara maksimal karena masih ada
timbulan sampah yang tidak terangkut dan tidak terolah. Oleh sebab itu diperlukan
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 19
upaya lain untuk mengurangi timbulan sampah seperti penerapan program daur ulang
dan 3R (reduce, reuse, recycle) untuk mengurangi produksi sampah yang didukung
dengan Perda tentang pengelolaan persampahan di tingkat rumah tangga.
2. Lemahnya daya saing penjualan pupuk kompos hasil pengolahan sampah organik oleh
masyarakat, akan menjadi ancaman keberlanjutan pengolahan sampah oleh
masyarakat.
3. Adanya aturan dari pemerintah pusat untuk tidak membangun TPA baru.
4. Adanya penyakit yang disebabkan karena timbunan sampah yang tidak terangkut atau
tidak dikelola.
5. Perlu adanya studi mengenai pengolahan sampah menjadi sumber energi alternatif,
misalnya menjadi sumber energi listrik, namun kendalanya dalam hal pengumpulan
sampah dalam kapasitas yang besar.
6. Regionalisasi TPA antara Kabupaten Rembang dengan wilayah sekitarnya dapat
menjadi alternatif pengumpulan dan pengelolaan sampah terpadu. Kendala yang
mungkin dihadapi adalah penentuan lokasi TPA regional, serta sistem kerjasama
dalam pengelolaannya.
3.2.3. Drainase Lingkungan
A. Isu Strategis
Isu strategis dalam pengelolaan drainase di Kabupaten Rembang yaitu:
A. Teknis Operasional
1. Prasarana sarana drainase lingkungan yang sudah ada belum sesuai standar
pelayanan minimal pembangunan drainase sehingga masih menimbulkan
genangan dan banjir.
Sistem drainase Kabupaten Rembang masih menjadi satu antara pembuangan air
hujan (pematusan air hujan), dan saluran limbah rumah tangga (grey water). Hal
ini menyebabkan bercampurnya air hujan yang bersih dengan air limbah yang
telah tercemar. Sistem drainase yang terbangun belum sesuai dengan Kepmen
Kimpraswil No. 534/2001 tentang Standart Pelayanan Minimal Drainase.
Berdasarkan data DPU Kabupaten Rembang, kondisi ini diperparah dengan
pembuang sekunder yang sudah ada yaitu Saluran Pembuang Sekunder
Cokroaminoto, Saluran Pembuang Sekunder Sumberejo, dan Saluran Pembuang
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 20
Sekunder Kabongan Kidul yang memiliki kondisi buruk (rusak). Oleh karena itu,
diperlukan adanya penanganan dan perbaikan lebih lanjut terhadap saluran
drainase yang rusak serta pemisahan saluran air limbah dan air hujan sehingga
sistem pengetusan wilayah dapat berjalan optimal agar genangan air serta banjir
dapat dicegah.
2. Sistem drainase Kabupaten Rembang belum menyeluruh, terutama di daerah
pesisir pantai sehingga sering menimbulkan banjir. Selain itu keterbatasan sarana
drainase di permukiman pesisir pantai juga menyebabkan lingkungan menjadi
kumuh dan tidak sehat.
Sistem drainase perkotaan Kabupaten Rembang pada kondisi eksisting hanya
mencakup wilayah perkotaan Rembang, sedangkan wilayah lainnya belum
terlayani. Sistem drainase lingkungan yang sederhana dengan meresapkan air
hujan dan air limbah ke dalam tanah masih diterapkan di luar wilayah perkotaan
Rembang yang belum terlayani oleh sistem drainase kota. Keterbatasan sarana
sistem drainase lingkungan terutama terdapat di permukiman pantai dan
perkotaan kota Rembang, serta di utara Kecamatan Sale sehingga wilayah
tersebut rawan banjir. Keadaan ini, tentunya berpotensi menyebabkan genangan
air di wilayah yang belum terlayani jaringan drainase. Oleh karena itu, diperlukan
adanya perencanaan dan pembangunan sistem drainase perkotaan yang bersifat
menyeluruh dan terpadu bagi Kabupaten Rembang, baik di kota maupun di
pedesaan.
3. Perubahan TGL ke arah lahan terbangun menyebabkan semakin meningkatnya
volume air limpasan yang semakin besar.
Volume air limpasan yang semakin besar akan meningkatkan sarana-prasarana
drainase yang semakin besar pula. Peningkatan voluem air limpasan dapat
disebabkan karena perubahan fungsi lahan dari lahan non terbangun menjadi
lahan terbangun yang akan menyebabkan berkurangnya kawasan terbuka dan
daerah resapan air. Oleh sebab itu perlu penyusunan masterplan drainase
regional Kabupaten Rembang, serta konservasi daerah-daerah yang berfungsi
lindung dan resapan air.
4. Adanya gelombang dan pasang surut air laut di kawasan pesisir pantai.
Kondisi topografi di permukiman pesisir pantai adalah rendah dan landai kurang
dari 2%, sehingga sering terkena rob. Aktivitas gelombang dan pasang surut air
laut ini akan menyulitkan perencanaan sistim drainase lingkungan permukiman,
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 21
terutama di musim hujan. Selain itu, permukiman pesisir pantai di Kabupaten
Rembang cenderung kumuh dan padat bangunan, kondisi ini juga akan
menyulitkan dalam perencanaan sistem drainase, karena keterbatasan untuk
membangun saluran drainase sesuai dimensinya.
5. Kerusakan lingkungan dan tata guna lahan di daerah hulu, daerah aliran sungai
dan dataran tinggi akan memicu peningkatan run off air hujan dan menyebabkan
banjir di daerah hulu sungai serta zona pesisir yang merupakan dataran rendah.
6. Tidak ada keberlanjutan pembangunan drainase di permukiman oleh swasta/
developer. Hal ini sering terlihat di kawasan permukiman terencana yang dibangun
oleh developer. Setelah selesai membangun, umumnya developer tidak
menangani lagi permasalahan yang timbul berkaitan dengan pembangunan
prasarana lingkungan. Masyarakat penghuni di sekitarnya pun merasa tidak mau
terbebani dengan perbaikan prasarana lingkungan.
B. Manajemen/ kelembagaan
1. Kesadaran masyarakat untuk memelihara drainase lingkungan masih rendah.
Belum adanya peraturan daerah tentang pengelolaan drainase dengan prinsip
partisipasi masyarakat merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat
kemauan dan kesadaran masyarakat dalam mengelola drainase terutama di
tingkat lingkungan tempat tinggal. Selain itu, tingkat kesadaran masyarakat untuk
tidak membuang sampah di saluran drainase masih rendah. Masih ditemukan pula
kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah di sungai yang menjadi saluran
drainase primer. Kondisi ini tentunya mengakibatkan peningkatan sedimentasi
saluran drainase yang berpotensi menjadi penyebab genangan air dan banjir di
wilayah tersebut, yang kemudian menyebabkan sumber penyakit seperti DBD.
Oleh karena itu, diperlukan adanya sosialisasi pengelolaan drainase tingkat
lingkungan rumah tangga, seperti pembersihan saluran dengan cara kerja bakti di
setiap lingkungan, serta penerapan pembayaran retribusi sampah sebagai upaya
pencegahan masyarakat agar tidak membuang sampah pada saluran draianse.
2. Belum optimalnya keterpaduan perencanaan pembangunan saluran drainase kota
dengan perencanaan penataan ruang kota. Hal ini disebabkan karena belum
adanya dokumen perencanaan sistem drainase yang terpadu untuk seluruh
kabupaten.
C. Pembiayaan
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 22
1. Kemampuan masyarakat untuk membangun dan mengelola drainase lingkungan
secara swadaya masih relatif rendah.
2. Pembangunan dan pemeliharaan saluran drainase secara terpadu yang
menyeluruh di seluruh wilayah Kabupaten Rembang memerlukan biaya yang
cukup besar. Hal ini disebabkan karena seluruh saluran drainase yang dibangun
harus terpadu menjadi suatu sistem skala kota agar aliran air mengalir dengan
lancar tanpa menimbulkan genangan atau banjir di daerah sekitarnya. Oleh sebab
itu perlu diprioritaskan pada daerah yang harus segera/ mendesak untuk
ditangani.
Salah satu permasalahan pokok sektor permukiman di Kabupaten Rembang
adalah kondisi permukiman yang kumuh, hal tersebut terutama terlihat di wilayah
permukiman pantai. Kekumuhan itu terjadi karena kondisi sosial ekonomi masyarakat
nelayan yang umumnya rendah, juga adanya ancaman abrasi dan akresi, dan kondisi
lahan pantai yang sulit untuk dikembangkan sistem drainase yang memadai. Saat ini di
Kabupaten Rembang terdapat 6 wilayah Kecamatan yang berbatasan dengan garis
pantai dan 47 desa/kelurahan meliputi :
- Kecamatan Kaliori :
o Desa Tunggulsari
o Desa Tambakagung
o Desa Dresi Kulon
o Desa Tasikharjo
o Sesa Purworejo
o Desa Banyudono
o Desa Pantiharjo
- Kecamatan Rembang
o Kelurahan Gegunung Kulon
o Kelurahan Gegunung Wetan
o Kelurahan Pacar
o Kelurahan Tanjungsari
o Kelurahan Tasikagung
o Kelurahan Pandean
o Kelurahan Sukoharjo
o Kelurahan Kabongan Lor
o Kelurahan Tireman
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 23
o Kelurahan Pasarbanggi
o Kelurahan Triunggal
o Kelurahan Punjulharjo
- Kecamatan Lasem
o Desa Gedongmulyo
o Desa Bonang
- Kecamatan Sluke
o Desa Leran
o Desa Pangkalan
o Desa Jatisari
o Desa Manggar
o Desa Blimbing
o Desa Sendangmulyo
o Desa Labuhan Kidul
- Kecamatan Kragan
o Desa Sumbersari
o Desa Sumurtawang
o Desa Pandangan Kulon
o Desa Pandangan Wetan
o Desa Plawangan
o Desa Balongmulyo
o Desa Tegalmulyo
o Desa Kragan
o Desa Karangharjo
o Desa Karanglincak
o Desa Karanganyar
o Desa Kebloran
o Desa Tanjung
- Kecamatan Sarang
o Desa Sumbermulyo
o Desa Kalipang
o Desa Sendangmulyo
o Desa Bajingjowo
o Desa Karangmangu
o Desa Temperak
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 24
Walaupun tidak seluruh desa di bagian pantai berpenghuni namun sejumlah besar
merupakan permukiman nelayan. Seperti halnya di Kelurahan Tanjungsari, Desa
Bajingjowo dimana ada TPI, pasti disekitarnya ada permukiman berpenghuni dan akan
mempunyai permasalahan drainase.
B. Tantangan
Beberapa tantangan dalam pengelolaan drainase di Kabupaten Rembang yaitu:
1. Perubahan TGL ke arah lahan terbangun menyebabkan semakin meningkatnya
volume air limpasan yang semakin besar. Hal ini tidak sebanding dengan
pembangunan saluran drainase, akibatnya limpasan air meluap ke jalan. Perlu
dipikirkan alternatif upaya-upaya untuk mengurangi limpasan air, serta untuk
mengurangi tingkat kejenuhan air di dalam tanah sehingga kemampuan tanah untuk
menyerap air dapat ditingkatkan.
2. Penanganan gelombang dan pasang surut air laut di kawasan pesisir pantai yang
kurang tepat akan menambah kekumuhan kawasan.
3. Penanganan kawasan permukiman kumuh yang terpadu dari aspek fisik, sosial
maupun ekonomi. Dari aspek fisik dapat dilakukan dengan pembangunan saluran
drainase sesuai standar pelayanan minimal pembangunan saluran drainase.
4. Efek global warming yang mengakibatkan tingginya curah hujan, dan kenaikan muka
air laut di zona pesisir. Global warming merupakan fenomena alam secara makro
berkaitan dengan perilaku manusia yang tidak menjaga kelestarian alam. Oleh sebab
itu penanganannya harus dilakukan secara komprehensif dari berbagai sektor
lingkungan maupun perilaku masyarakat agar mulai ramah lingkungan.
5. Adanya penyakit yang disebabkan karena banjir maupun genangan akibat saluran
drainase buruk.
3.2.4. Hiegenitas
Hiegenitas lingkungan Kabupaten Rembang secara umum tergolong masih
rendah. Hal ini tercermin dari kasus penyakit DBD di Kabupaten Rembang hampir merata
di seluruh kecamatan, dimana kini 11 kecamatan telah menjadi endemis penyakit DBD,
sedangkan 4 kecamatan yang lainnya merupakan kecamatan seporadis. Jumlah kasus
penyakit diare, DBD dan malaria di Kabupaten Rembang selama 4 tahun terakhir masih
bersifat fluktuatif (naik turun). Tingkat kejadian penyakit diare, DBD dan malaria ini sangat
berkaitan erat dengan kondisi maupun pengelolaan sanitasi (meliputi drainase
Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK) Rembang III - 25
lingkungan, air limbah dan persampahan), selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat
kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan yang rendah. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa sanitasi di Kabupaten Rembang tergolong buruk. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pengoptimalan sosialisasi atau kampanye mengenai kesehatan
lingkungan, seperti Kampanye Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) oleh Dinas
Kesehatan.
A. Isu Strategis
Beberapa isu strategis berkaitan dengan higienitas di Kabupaten Rembang
adalah:
1. Kualitas lingkungan hidup yang masih rendah karena cakupan sanitasi dasar seperti
cakupan sarana air bersih, cakupan jamban keluarga, cakupan sarana pembuangan
air limbah dan persentase rumah sehat rendah.
2. Masih tingginya penyakit yang disebabkan karena kualitas sanitasi lingkungan yang
buruk
3. Rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat.
B. Tantangan
Beberapa tantangan berkaitan dengan higienitas di Kabupaten Rembang adalah:
1. Sulitnya merubah pola perilaku atau budaya untuk hidup bersih dan sehat, misalnya
dalam hal buang air sembarangan. Oleh sebab itu perlu dididik sejak dini serta
disediakan fasilitas yang memadai.
2. Kader penyuluhan sanitasi masih terbatas jumlahnya sehingga perlu adanya
kaderisasi dalam sosialisasi dan penyuluhan tentang sanitasi yang baik di tiap
kecamatan.