FUNGSI KEPOLISIAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG
DAN JASA DI KOTA MAKASSAR
TESIS
BESSE SUKMAWATI YUSUF MANGANNI
NIM : 4616101048
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Magister Hukum
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR
2019
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
BESSE SUKMAWATI Y. M, 4816101048. Fungsi Kepolisian Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Di Kota
Makassar. (Dibimbing Oleh Marwan Mas dan Abdul Salam Siku).
Fungsi Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah di Kota Makassar (dibimbing oleh Said Karim dan Amir
Ilyas). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang peranan
Kepolisian dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa
pemerintah di Kota Makassar. Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris.
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar (Polres Pelabuhan Makassar,
Polrestabes Makassar dan Polda Sulsel).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Polri sebagai salah satu insitusi yang
diberikan wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan kasus tindak pidana korupsi termasuk dalam kasus korupsi pengadaan
barang dan jasa pemerintah berdasarkan pada peraturan yaitu Pasal 1 angka 4 jo
angka 5 KUHAP, Pasal 1 angka 1 jo angka 2 KUHAP, Pasal 14 ayat (1) huruf
f dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian. Penyidik Polri mengalami kendala-kendala dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Kota Makassar,
yaitu pertama adanya perbedaan perhitungan awal kerugian negara antara pihak
BPKP dan pihak Kepolisian yang melakukan proses penyidikan. Yang kedua
adalah ketika berkas perkara dilimpahkan ke Kejaksaan, Jaksa menganggap
bahwa kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan
untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice.
Kata Kunci :Polisi, Penyidikan, Korupsi Pengadaan Barang/Jasa.
vi
ABSTRACT
BESSE SUKMAWATI Y. M, 4816101048. The function of the police in
investigating corruption in the procurement og goods and services in the city of
Makassar. (Supervised By Marwan Mas dan Abdul Salam Siku).
The role of Police in Investigation of Corruption Procurement in
Makassar City Government (supervised by Karim Said and Amir Ilyas). This study
aims to identify and understand the role of the Police in the investigation of
corruption of government procurement of goods and services in Makassar. This
research is empirical normative. This research was conducted in the city of
Makassar (Regional Police of south Sulawesi and Makassar city police).
The results showed that the Police as one of the institutions authorized by
law to conduct an investigation and the investigation of cases of corruption,
including in the case of corruption in the procurement of goods and services the
government based on the rule that Article 1 paragraph 4 in conjunction with
paragraph 5 of the Criminal Procedure Code, Article 1 point 1 in conjunction
with item 2 Code of Criminal Procedure, Article 14 paragraph (1) f and Article
14 paragraph (1) letter g of Act 2 of 2002 on the Police. Police investigators
experienced constraints in the process of investigation of corruption of
government procurement of goods and services in Makassar, the first for the
initial calculation of the difference between the state losses BPKP and the police
are doing the investigation. The second is when the case file handed over to the
Attorney, the Attorney considers that the financial losses that the country needs to
be considered for a small value were not followed up or apply the principles of
restorative justice.
Keywords: Police, Investigation, Corruption Procurement of Goods / Services
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat serta hidayahNya sehingga Tesis Ini dapat terselesaikan
guna memenuhi sebagian pesyaratan mendapatkan gelar Magister Hukum dengan
judul “Fungsi Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan
Barang Dan Jasa Di Kota Makassar” Sholawat serta salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga beliau, para sahabat beliau
dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau sampai akhir zaman nanti.
Walaupun penulis mengalami berbagai hambatan akibat terbatasnya
kemampuan, namun berkat motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya
hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada terhormat:
1. Kedua orangtua tercinta. Ayahanda H. Yusuf Hamzah B,A dan Ibunda Hj.
Asmak Manganni S.Pd, Terima kasih Penulis haturkan atas segala dukungan,
bmbingan, dan limpahan kasih sayang kepada penulis selama ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng, selaku Rektor
Universitas Bosowa ;
3. Bapak Dr. Muhlis Ruslan, S.E., M.Si, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Bosowa ;
4. Bapak Dr. Baso Madiong, S.H., M.H, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Bosowa;
viii
5. Bapak Prof. Marwan Mas, S.H., M.H, selaku Dosen Pembimbing I yang tidak
pernah bosan dan lelah dalam membimbing, guna menyelesaikan Tesis ini ;
6. Bapak Dr. H. Abdul Salam Siku, S.H., M.H,. selaku Dosen Pembimbing II
yang selalu memberikan masukan, saran dan petunjuk dalam proses
menyelesaikan Tesis ini ;
7. Semua Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Bosowa yang telah mengajarkan dan memberikan banyak ilmu
dengan tulus. Semoga Ilmu yang di berikan dapat bermanfaat di dunia dan
akhirat
8. Seluruh Staff Program Pascasarjana Universitas Bosowa tanpa terkecuali yang
telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis terutama dalam hal
administrasi akademik.
9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum yang
telah membantu dan mendorong kami dalam penyelesaian Tesis ini.
10. Kepada Semua Pihak yang tidak sempat saya sebutkan namanya, saya
mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas motivasi dan bantuannya
sehinga terselesainya Proposal Tesis ini dengan baik.
Penulis hanya dapat berdoa semoga semua amal baiknya mendapatkan
imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan Tesis ini, masih banyak kekurangan dan banyak mengalami kendala,
oleh karena itu bimbingan, arahan, kritikan dan saran dari berbagai pihak yang
bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.
ix
Semoga Tesis ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi
pembaca umumnya serta mampu menjadi referensi untuk teman-teman yang lain
dalam penyusunan Hasil penelitian dikemudian hari. Atas bimbingan serta
petunjuk yang telah diberikan dari berbagai pihak akan memperoleh imbalan yang
setimpal dari ALLAH SWT.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Makassar, Februari 2019
Besse Sukmawati Y.M
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ........................................................... iii
ABSTRAK..................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................... 8
D. Manfaat Penelitian................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 9
A. Tindak Pidana Korupsi ......................................................................... 9
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................................. 9
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi .................................................... 11
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi ................................................. 17
4. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi ..................................................... 22
5. Ciri-ciri Tindak Pidana Korupsi ......................................................... 23
6. Penyebab Tindak pidana Korupsi ...................................................... 24
B. Pengadaan Barang dan Jasa ...................................................................... 41
xi
1. Pengertian Umum .............................................................................. 41
2. Ruang Lingkup Pengadaan Barang dan Jasa ....................................... 43
3. Organ Dalam Pengadaan Barang dan Jasa .......................................... 44
4. Prinsip pengadaan Barang dan Jasa........................................................ 50
5. Cara Pemilihan Seleksi Penyedia Jasa ................................................... 50
C. Kepolisian Republik Indonesia .................................................... ……… 51
1. Pengertian Kepolisian .......................................................................... 51
2. Tugas dan Fungsi Kepolisian ............................................................... 53
3. Pengertian Penyidikan ......................................................................... 55
4. Penyidikan tindak pidana Korupsi Oleh Kepolisian ............................. 59
D. Kerangka Pikir ...................................................................................... 62
E. Defenisi Operasional ............................................................................. 63
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 64
A. Lokasi Penelitian ................................................................................. 64
B. Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 64
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 64
D. Analisis Data ......................................................................................... 67
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ............................... 69
A. Peran Polri dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah di Kota Makassar ................................................. 69
B. Data Penyelidikan dan Penyidikan Dugaan Perkara Tindak Pidana Korupsi
Terhadap Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Kota Makassar .... 75
C. Faktor Penghambat Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan
xii
Barang dan Jasa Pemerintah di Kota Makassar ...................................... 82
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 90
A. Kesimpulan ........................................................................................... 90
B. Saran ..................................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengadaan barang dan jasa pada dasarnya adalah cara pemerintah”
berbelanja” untuk keperluan rumah tangganya sendiri, untuk penyediaan
fasilitas publik, pelayanan kepada masyarakat maupun diserahkan kepada
masyarakat. Istilah pengadaan barang dan jasa (procurement) sebagaimana
terurai dalam handbook curbing corruption in public procurement-
Transparency International.
Mencakup penjelasan dari tahap persiapan, penentuan dan pelaksanaan
atau administrasi untuk pengadaan barang lingkup pekerjaan atau jasa lainnya
juga tak hanya terbatas pada pemilihan rekanan proyek dengan bagian
pembelian (purchasing) atau perjanjianresmi kedua belah pihak saja, tetapi
mencakup seluruh proses sejak awal perencanaan, persiapan, perijinan,
penentuan pemenang tender hingga tahap pelaksanaan dan proses administrasi
dalam pengadaan barang, pekerjaan atau jasa seperti jasa konsultasi teknis jasa
konsultasi keuangan, jasa konsultasi hukum dan jasa lainnya.
Salah satu tujuan pengadaan adalah mendapat harga terbaik yang
dimaksudkan disini adalah harga serendah-rendahnya ataupun sepadan untuk
kualitas barang/jasa yang dibutuhkan baik dari kualitas, kepastian waktu
memperolehnya maupun volumenya dengan prinsip-prinsip efisien, efektif,
transparan, terbuka bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
2
Kesadaran semua pihak baik pejabat pembuat komitmen,
panitia/pejabat pengadaan barang dan jasa, penyedia jasa dan semua yang
terlibat dalam pengadaan barang dan jasa agar lebih transparan layak untuk
diapresiasi karena akan mengantar tercapainya cita-cita pengadaan barang dan
jasa pemerintah yang efisien, efektif, transparan, terbuka bersaing, adil/tidak
diskriminatif dan akuntabel.
Pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara kredibel melalui
pengaturan yang baik dan proses tertentu, independen dan tidak memihak serta
menjamin terjadinya interaksi ekonomi dan sosial antara para pihak terkait
secara adil, transparan, professional, dan akuntabel. Pengadaan yang kredibel
juga mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dikalangan pelaku usaha
dan mengandung unsur-unsur pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) antara pemerintah dengan pelaku usaha.
Sejarah pengadaan barang dan jasa pemerintah sejak dahulu hingga
sekarang telah menjadi lahan yang empuk bagi orang-orang yang ingin
mendapatkan keuntungan yang besar dengan cara yang mudah oleh karena
cukup dengan bermodalkan kemampuan “ KKN” dengan oknum pejabat
pemerintah dan bersedia membagi “ keuntungan”. Hal ini terbukti dari angka
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK masih didominasi oleh kasus-kasus
korupsi yang terjadi dalam bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah
Beberapa bentuk perbuatan yang digunakan sebagai sarana melakukan
tindak pidana korupsi dibidang pengadaan antara lain bentuk penyuapan
3
(bribery), pemerasan (extortion), pemalsuan (fraud), penyalahgunaan
kekuasaan(abuse of discretion), nepotisme, pilih kasih, sumbangan illegal atau
janji-janji, dan mark-up merupakan jenis-jenis kecurangan dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah
Didalam Pasal 9 dan Pasal 10 Keppres No.80/2003 tentang Pedoman
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Pasal 12 ayat (2) Perpres No.70
Tahun 2012 tentangPerubahankeduaatasperaturanpresidenNomor 54 Tahun
2010 TentangPengadaanbarang / jasapemerintah disebutkan mengenai
ketentuan penandatanganan fakta integritas tersebut tentunya bertujuan untuk
memberikan keyakinan kepada public bahwa proses pengadaan barang dan
jasa di lingkungan pemerintah dapat berjalan lancar dan transparan. Pertama,
mendukung sektor public untuk dapat menghasilkan barang dan jasa pada
harga bersaing tanpa adanya korupsi yang menyebabkan penyimpangan harga
dalam pengadaan barang dan jasa. Kedua, mendukung pihak penyedia
pelayanan dari swasta agar dapat diperlakukan secara transparan, dapat
diperkirakan, dan dengan cara adil agar dapat terhindar dari adanya upaya
“suap” untuk mendapatkan kontrak dan hal ini pada akhirnya akan dapat
mengurangi biaya-biaya dan meningkatkan daya saing.
Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) huruf a Perpres RI No.70 Tahun 2012
tentangPerubahankeduaatasperaturanpresidenNomor 54 Tahun 2010
TentangPengadaanbarang / jasapemerintah, yang melarang penyedia jasa
mempengaruhi ULP/ Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam
bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna
4
memenuhikeinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur
yang telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan/kontrak danatau ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22 Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pelaku Usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.
Korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah bukan saja melibatkan
pelaksana teknis dibawah tetapi telah melibatkan atasan pelaksana teknis
pengadaan barang dan jasa tersebut. Dalam pemberitaan banyak Kepala
Daerah, Sekretaris Daerah, pengguna anggaran yang terlibat kasus korupsi
pengadaan barang dan jasa dengan memberi disposisi atau pesan ataupun
perintah untuk memenangkan penyedia jasa tertentu.
Fungsi atasan yang seharusnya memberikan pengawasan malah telah
jauh mencampuri urusan panitia pengadaan, panitia/pejabat pengadaan atau
panitia penerima hasil pekerjaan. Fungsi pengguna anggaran yang seharusnya
dapat menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat/panitia pengadaan
lebih memilih orang-orang yang gampang diatur daripada orang-orang yang
memiliki integritas.
Perbuatan-perbuatan tersebut telah menjadi kebiasaan dan kesepakatan
yang tidak tertulis antara rekanan selaku penyedia barang/jasa dengan
pihakinstnasi/badan/lembaga pemerintah selaku pengguna barang/jasa
5
sehinggadalam pelaksanaannya untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi mereka yang terlibat dalam proses pengadaan
barang/jasa melakukan pengaturan lelang dan persengkongkolan sehingga
rambu-rambu yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa tidak ditaati
karena semua pihak yang terlibat sudah diatur sejak tahap perencanaan.
Kesalahan dalam proses pengadaan barang dan jasa tidak selalu dapat
diartikan melakukan tindak pidana korupsi. Pengadaan yang dimulai dengan
satu keinginan atau niat untuk semata-mata mencapai tujuan pengadaan (tidak
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain) pasti terhindar dari tuduhan
korupsi. Niat seperti itu masih tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya
kesalahan dalam proses pengadaan
Kecurangan-kecurangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah
atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah “ proyek” bukan hanya
terjadi pada saat lelang saja namun terkadang korupsi ini dimulai sejak
perencanaan. Kalangan profesi dan praktisi pengadaan sangat memaklumi
bahwa proses pelelangan bukanlah proses yang sederhana sehingga dituntut
dilaksanakan oleh Personil yang kredibel, memiliki integritas, motivasi,
kompetensi memadai dan kinerja yang baik.
Tuntutan yang tidak terpenuhi maka kemudian seringkali proses
penunjukan langsung (PL) menjadi sangat disukai karena prosesnya menjadi
sangat mudah, semua bisa diatur, semua kekurangan yang ada dapat
dinegosiasikan. Bahkan kalaupun pelelangan diumumkan secara terbuka
6
seringkali peserta dikumpulkan untuk diatur siapa yang akan dimenangkan
(lelang secara arisan).
Proses penunjukan langsung atau lelang arisan tersebut akan
menyebabkan tujuan pengadaan, yaitu mendapatkan penawaran yang terbaik
tidak tercapai, termasuk sesungguhnya tidakmudahnya mempertanggung
jawabkan hasil pengadaan dan harga. Proses penunjukan langsung ini mudah
ditunggangi oleh kepentingan untuk memperkaya diri.
Sehingga tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah
mendapatkan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan (volume, mutu, waktu
dll) dengan harga yang terbaik agar sasaran kinerja kegiatan atau organisasi
tidak tercapai. Meningkatnya pembangunan sarana dan prasarana di Kota
Makassar, membuat rentan terjadi praktek korupsi dalam pengadaan barang
dan jasa bagi pemerintah. Terilhat dalam temuan BPKP Perwakilan Sulsel
mengemukakan kasus korupsi yang terjadi di Kota Makassar masih di
dominasi masalah pengadaan barang dan jasa, setidaknya tercatat sekitar 80%
kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
menulis tesis dengan judul “ Peranan Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Kota Makassar.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut :
7
1. Bagaimanakah peranan Polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi
pengadaan barang dan jasa di Kota Makassar?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penyidikan tindak pidana
korupsi pengadaan barang dan jasa di Kota Makassar?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam rumusan masalah di atas,
maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis dan menjelaskan peranan Polri dalam penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di Kota Makassar.
2. Untuk menganalisis dan menjelaskan faktor penghambat dalam penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di Kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis
maupun praktis, sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk menghasilkan berbagai konsep ilmiah yang akan
memberikan sumbangan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa serta dapat dijadikan
sebagai bahan dasar untuk penelitian lanjutan yang lebih luas.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman dan
masukan bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa.
8
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KE RANGKA PIKIR
A. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana
Dalam memberikan pembahasan mengenai defenisi apa yang
dimaksud dengan tindak pidana,penulis akan mencoba memberikan
penguraian serta pemahaman awal tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan tindak pidana itu sendiri, dari berbagai Istilah
tindak pidana berasal dari bahasa Belanda strafbaar feit, juga delik
dari bahasa Latin Delictum. Dalam ilmu hukum Pidana masalah
tindak pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat
penting karena berbagai masalah dalam hukum pidana mempunyai
hubungan yang sangat erat satu sama lain dalam persoalan tindak
pidana,sehingga dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana
adalah hal yang bersifat penting sekali (Moeljatno, 1987 : 38).
Adapun pengertian tentang tindak pidana dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Hermien Hadiati Koeswadji( 1994:28 ) memberikan defenisi
tentang tindak Pidana itu sendiri sebagai perbuatan Pidana.
Defenisi yang dikemukakan oleh ahli hukum tersebut pada
dasarnya mengacu pada rumusan Undang-undang Dasar 1951
Nomor 1 Pasal 5 Ayat (3 b) sebagai berikut:
9
“Hukum materil sipil untuk sementara waktu materil Pidana
sipil, yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah
swapraja dan orang-orang dahulu diadili oleh pengadilan adat,
tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang itu, dengan
pengetian bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup harus dianggap perbuatan Pidana akan tetapi tiada
bandingannya dengan KUHP sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman”.
b. Moeljatno (Koeswadji,1994:29) tentang tindak Pidana, beliau
mengatakan :
Dari segi berbagai perkataan untuk menjalin, yang sekarang
masih bersaing ialah antara digunakannya “tindak Pidana” dan
“perbuatan Pidana” disini yang paling dipilih yang terakhir, oleh
karena perkataan “perbuatan” sudah lazim dipakai sedangkan
“tindak” tidak lazim,yang lazim adalah “tindakan”. Lagipula
bagi mereka yang memilih “tindak Pidana”.
c. Enschede (Koeswadji, 1999:29) merumuskan tentang tindak
pidana sebagai:
Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia,yang termasuk
dalam perumusan delik, melawan hukum dan kesalahan yang
dapat dicelakan padanya.
Dari ketiga pendapat pakar hukum di atas dapatlah
disimpulkan bahwa mereka cenderung menggunakan istilah
10
perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan karena akan
mendapat ancaman pidana.
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Marwan Mas(2014 : 5) Pemberentasan korupsi salah satu
agenda reformasi dibidang hukum sebagaimana ditegaskan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (disingakat Tap MPR)
Nomor XI/MPR/1998 tentang penlengaraan negara yang bersih dan bebas
korupsi, kolusi da nepotisme. Tap MPR sebagai ketentuan yang mengikat para
penyelenggara negara dan kalangan pengusaha. Begitu pula hakim sebagai
benteng terakhir penegakan korupsi, diharapkan memerankan fungsinya sebagai
pengadil yang betul-betul bijak dengan memperhatikan aspirasi warga
masyarakat dalam memeriksa dan memutuskan perkara korupsi, reformasi
hukum merupakan elemen penting dalam memberantas korupsi untuk
memulihkan kepercayaan public (dalam negeri maupun internasional) terhadap
supremasi hukumdan lembaga-lembaga penegak hukum. Fenomena yang
tampak saat ini jika berbicara hukum dan penegak hukum umumnya warga
masyarakat pesimis, mencibir, atau bahkan sisnis. Hanya kepolisian yang cepat
menungkap jaringan terorisme di Indonesia dan KPK yang berani menjerat
menteri Kabinet Indonesia Bersatu Kedua dalam pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2014, ketua umum partai politik, anggota
DPR, anggota kepolisian, kejaksaan, advokat, dan hakim. Langkah penegakan
hokum yang tidak memandang status dan kedudukan harus dijadikan rujukan
oleh kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi.
11
Definisi korupsi sangat beragam, tergantung pada latar belakang disiplin
ilmu orang yang mendefinisikannya.Oleh karena itu, definisi korupsi manurut
sosiolog, ilmuwan politik, ekonomi, ilmuwan hukum, birokrat dan lain-lain bisa
berbeda.Mereka mempunyai sudut pandang tersendiri dalam mendefinisikan
korupsi, sesuai dengan bidang masing-masing. Uniknya, tidak semua
Ensiklopedi maupun kamus yang dianggap sebagai referensi utama oleh berbagai
kalangan tidak mencantumkan entri corruption.
Berdasarkan hal tersebut, korupsi merupakan suatu tindakan
pengkhianatan terhadap amanah.Dalam konteks ini termasuklahperilaku
penyogokan atau penyuapan, memberikan upah tertentu untuk melindungi
diri dari hukum, nepotisme, dan lain-lain.
Menurut(Chaeruddin, Dinar, 2008 : 45), karakteristik korupsi adalah
sebagai berikut: (1). Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. (2)
Secara keseluruhan, korupsi melibatkan rahasia di antara mereka yang
terlibat. (3) Korupsi mempunyai unsur tanggung jawab bersama dan
keuntungan bersama. (4) Pelaku korupsi biasanya berusaha
mengkamuflasekan perbuatannya dengan justifikasi dari aspek hukum dan
perundang-undangan. Mereka tidak berani secara terbuka berkonfrontasi
dengan hukum. (5). Orang yang terlibat dalam korupsi adalah mereka yang
menginginkan keputusan yang pasti, dan ia mampu mempengaruhi keputusan
tersebut. (6). Perbuatan korupsi melibatkan penipuan atau muslihat. (7).
Korupsi melibatkan kontradiksi dua fungsi pelakunya, sebagai pemegang
12
jabatan publik dan sebagai individu. (8). Korupsi mengutamakan kepentingan
diri sendiri dan mengabaikan kewajiban tugas.
Terdapat empat tipe korupsi sebagaimana dikemukakan dalam
(Ermansjah Djaja, 2009, 23) yang sangat berkaitan erat dengan kekuasaan,
yaitu Political bribery, Political kickbacks, Election fraud, dan Corrupt
compaign practices.
Pengertian dari korupsi secara harfiah menurut John M.Echols dan
Hassan Shaddily, dalam Ermansjah Djaja berarti jahat atau busuk, sedangkan
menurut Gurnar Myrdal dalam Ermansjah Djaja yang menggunakan istilah
korupsi dalam arti luas, yaitu :
To include not only all forms of improper or selfish enxercise of power
and influence attached to a public office or the special position one
occupies in the public life but also the activity of the bribers.
Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang
berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-
usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan
lainnya seperti penyogokan.
Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal dalam
(Andi Hamzah, 2007 : 7-8) sebagai berikut :
“The problem is of vital concern to the government of South Asia,
because the habitual practice of bribery and dishonesty pavers the
way for an authoritarian regime which justifies itself by the
disclosures of corruption has regularly been advance as a main
justification for military take overs.”
Masalah itu merupakan suatu yang penting bagi pemerintah di Asia
Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka
jalan membongkar korupsi dan tindakan –tindakan penghukuman terhadap
13
pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama
terhadap kup militer.
Menurut (Baharuddin Lopa 2001 :7), pengertian korupsi adalah :
”Korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan
penyuapan, manipulasi, dan perbuatan-perbuatan lainnya sebagai
perbuatan melawan hukum yang merugikan atau dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan atau kepentingan rakyat umum”.
Menurut ( Laden Marpaun 1992 :149 ), Korupsi adalah :
“Defenisi yang dikemukakan oleh beliau hampir sama dengan
rumusan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai berikut :
Korupsi adalah perbuatan seseorang yang merugikan keuangan
negara dan membuat aparat pemerintah tidak efektif, bersih, dan
berwibawa”.
Dalam hukum positif anti korupsi khususnya dalam Pasal 1 angka 1
Bab Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002disebutkan
tentang pengertian tindak pidana korupsi :
“Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga
tahap yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih
menjadi patologi sosial yang khas dilingkungan para elit/ pejabat. Pada
tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas.
Lalu ditahap sistemik, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat
luas.
14
Kemudian pada tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik,
setiap individu di dalam sistem terjangkit yang serupa. Perbuatan korupsi
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa
(ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra
ordinary crimes), sehingga dalam upaya pemberantasannya tidak lagi
dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut” cara-cara yang luar biasa
(extra ordinary enfocement).
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crimes, menurut (Romli
Atmasasmitha, 2002 : 25)dikarenakan :
1) Masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita
berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program kabinet gotong
royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan
KKN.
2) Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan yang
sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu
binatang gurita yang mencengkram seluruh tatanan sosial dan
pemerintahan.
Melihat korupsi semakin merajalela dengan berbagai modus
operandinya, menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu
sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum
(kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan.
15
Hal Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan,
kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang
ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang
sangat menentukan.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Menurut Marwan Mas(2014 : 44) pentingnya pemahaman terhadap
pengertian unsur-unsur tindak pidana, meskipun bersifat teoretis,tetapi dalam
praktik sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian di
depan siding pengadilan. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat
diketahui dari doktrin (pendapat ahli hukum), dari yurisprudensi, bahkan
sering diurai dalam rumusan pasal undang-undang yang pada hakikatnya
memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak
jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan kehidupan sosial
masyarakat. Dari situlah para pelaksana hukum dapat memudahkan menarik
kesimpulan yang akan digunakan dalam menerapkan peraturan perundang-
undangan.
Pentingnya bagi jaksa penuntut umum untuk mengetahui dan
memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana karena hal berikut.
a. Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan dalam sidang pengadilan
secara objektif. Dengan demikian, dalil yang digunakan dalam pembuktian
akan dapat dipertanggung jawabkan secara objektif karena berlandaskan pada
teori ilmiah.
b. Untuk memudahkan menyusun surat dakwaan secara jelas dan cermat.
16
c. Setidaknya akan memudahkan menguraikan perbuatan terdakwa yang
menggambarkan unsur tindak pidana yang didakwakan, apakah sesuai dengan
pengertian atau penafsiran dari teori, doktrin, dan yurisprudensi.
d. Dapat memudahkan dalam mengajukan pertanyaan kepada saksi, ahli, atau
terdakwa dengan sasaran mengugkapkan fakta yang terungkap dalam sidang
pengadilan sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
e. Berguna pada pembuktian suatu alat bukti, sekaligus membuktikan unsur
tindak pidana yang didakwakan. Misalnya, pada suatu alat bukti yang hanya
berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tetapi tidak
digunakan untuk seluruh unsur tindak pidana.
Jaksa penuntut umum harus menyusun requisitoir, yaitu pada saat uraian
penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan. Hal tersebut biasa diuraikan dalam analisis hukum, sehingga
pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin, yurisprudensi, atau
melalui penafsiran hukum, harus benar-benar diuraikan sejelas-jelasnya
karena hal tersebut menjadi dasar atau dalil berargumentasi dalam membuat
tuntutan hukum.
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebenarnya dapat dilihat dari
pengertian korupsi atau rumusan delik yang ditegaskan dalam UU Korupsi.
Beberapa pengertian dan unsur-unsur korupsi yang terdapat dalam UU
Korupsi Tahun 2001 adalah sebagai berikut.
a. Perbuatan seseorang atau badan hukum melawan hukum.
b. Perbuatan tersebut menyalahgunakan wewenang.
17
c. Dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
d. Tindakan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara atau patut
diduga merugikan keuangan dan perekonomian negara.
e. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
g. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
h. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri
sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili.
i. Adanya perbuatan curang atau sengaja membiarkan terjadinya perbuatan
curang tersebut.
j. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
18
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut.
k. Sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya dan membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar tersebut.
l. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pembuat undang-undang begitu tegas mengatur unsur-unsur korupsi
dalam UU Korupsi, agar memudahkan bagi penegak hukum dalam
menerapkannya. Setiap perbuatan seseorang atau korporasi yang memenuhi
kriteria rumusan dan unsur-unsur korupsi akan dikenakan sanksi sesuai
dengan pasal-pasal UU Korupsi yang dilanggar. Di sinilah pentingnya bagi
penyidik, penuntut umum, advokat, dan hakim untuk tidak sekadar
mengetahui pengertian dan unsur-unsur korupsi, tetapi juga harus
memahaminya dengan baik. Sebab tidak terpenuhinya unsur suatu tindak
pidana, memungkinkan terdakwa dapat bebas dari segala tuntutan hukum.
Artinya, pengetahuan dan pemahaman terhadap teori hukum, wawasan
19
hukum yang luas, serta perkembangan kehidupan sosial masyarakat,
setidaknya dapat membantu pelaksana hukum dalam mengungkap korupsi.
Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka penulis
menguraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu (Ermansyah Djajah
2008 : 23) :
a. Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah
dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari
suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah,
orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan
modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. Selain pengertian
sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan
atau termasuk korporasi.
b. Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan.
Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan
ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang
berkompeten dalam organisasi tersebut. Kemudian menyangkut penjelasan
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.31 Tahun 1999. Mahkamah Konstitusi,
dalam putusannya No.003/PUU-IV/2006 berpendapat “ tidak sesuai dengan
perlindungan dan jaminan kepastian hukum karena ukuran kepatutan yang
20
memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan berbeda antara satu daerah
dengan daerah yang lain, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945. Dantidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
c. Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Undang-
undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun
belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika
dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur
dari melakukan perbuatan.
d. Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan
manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang
lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena memperkaya
diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti
surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di
dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh
dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi,
juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang
memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
e. Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat
sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur
21
perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah
perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada penambahan beberapa item yang
digolongkan tindak pidana korupsi, yaitu mulai Pasal 5 sampai dengan Pasal
12. Pada Pasal 5 misalnya memuat ketentuan tentang penyuapan terhadap
pegawai negeri atau penyelenggara negara, pasal 6 tentang penyuapan
terhadap hakim dan advokat. Pasal 7 memuat tentang kecurangan dalam
pengadaan barang atau pembangunan, dan seterusnya.
Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah:
a. Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan
dengan Pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu:
1) Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
2) Tindakan pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
22
4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain.
5) Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
a. Melawan hukum baik formil maupun materiil.
b. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.
c. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
d. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Kemudian unsur-unsur dari tindak pidana korupsi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi, yang
mempunyai kewenangan dalam jabatan baik jabatan struktural maupun
dalam jabatan fungsional dan lain-lain jabatan, yang bersifat penentu dalam
23
menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan kewenangan yang melekat pada
pejabat tersebut;
b. Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, dalam rumusan
menguntungkan diri sendiri, dalam praktik menurut penulis sangat sulit
dibuktikan oleh penuntut umum, oleh karena pelaku tindak pidana jabatan
hanya mempertanggungjawabkan di depan hukum terhadap adanya
penyimpangan atau penyalahgunaan jabatan, sebab hanya merupakan akibat
dari penyalahgunaan jabatan sehingga orang lain atau korporasi yang
diuntungkan. Orang lain atau korporasi yang diuntungkan tidak mempunyai
kedudukan atau kewenangan jabatan, oleh karena itu dalam dakwaan
penuntut umum selalu mencantumkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP agar
mengikat berbuatan pidana antara pemangku jabatan dengan peserta yang
diuntungkan;
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan, didalam rumusan unsur ini, merupakan
bentuk/wujud dari“perbuatan melawan hukum” baik secara formil maupun
dalam arti materil sebagaimana unsur yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pidana korupsi, sesuai putusan Mahkamah Agung RI No.572 K/Pid/2003
dalam perkara Akbar Tanjung;
d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, adalah dari tindakan
pelaku tindak pidana penyalahgunaan kewenangan jabatan sehingga timbul
24
akbibat kerugian Negara yang dapat dihitung berdasarkan prinsip-prinsip
akuntansi;
4. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi
Adapun menurut (Ermasnyah Djajah, 2008 : 8), korupsi didefinisikan
menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut :
a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya
bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para
anggota organisasi;
b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan
regulasi tertentu;
c. Mercenery corruption ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud
untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan, dan
d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary
yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
5. Ciri-ciri Tindak Pidana Korupsi
Menurut Alatas, tindak pidana korupsi mengandung ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari 1 (satu) orang;
b. Korupsi pada umumnya melibatkan kerahasiaan, kecuali dimana ia telah
begitu merajalela dan berurat akar sehingga individu yang berkuasa atau
25
mereka yang berada dalam lingkungannya tidak kuasa untuk
menyembunyikan perbuatan mereka;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang
tidak senantiasa berupa uang;
d. Koruptor berusaha menyelubungi perbuatan mereka dengan berlindung
dibalik pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat dalam korupsi menginginkan berbagai keputusan
yang tegas dan mampu mempengaruhi keputusan itu;
f. Korupsi adalah bentuk suatu pengkhianatan;
g. Setiap perilaku korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari
mereka yang melakukan perbuatan itu;
h. Korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawabkan dalam
tatanan masyarakat. Ia didasarkan atas niat kesengajaan untuk
menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan khusus.
6. Penyebab dan Akibat Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
a. Penyebab Tindak Pidana Korupsi
Menurut Marwan Mas (2014:8) praktik korupsi tidak hanya
melanda negara-negara berkembang, tetapi juga negara-negara maju,
seperti amerika serikat, hanya saja korupsi di negara-negara maju tidak
separah dengan korupsi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Instrument dan supremasi hokum pada negara-negara maju dalam
memberantas korupsi, betul-betul berjalan sebagaiman mestinya karena
adanya keseriusan apparat hukumnya yang didukung oleh kemauan
26
politik (political will) kepala pemerintahan. Kenyataan sebaliknya di
Indonesia, suburnya praktik korupsi terutama saat orde baru yang
dilanjutkan di era reformasi, kurang menyentuh perhatian pemerintah
(eksekutif) dan wakil rakyat yang ada di parlemen (legislatif). Secara
historical-struktural, suburnya perilaku korupsi di Indonesia yang
tampaknya sudah membudaya karena terjadi di hamper semua lini
kehidupan masyarakat, merupakan warisan dari zaman colonial. Adanya
paham kapitalisme telah melahirkan imperialism dan kolonilalisme
berupa penjajahan negara atas negara. Penjajahan yang berlangsung
begitu lama menyebabkan terjadinya pengaburan nilai-nilai social yang
dianut dalam masyarakat pribumi. Akibatnya, terjadi distorsi atas nilai-
nilai social masyarakat, yang kemudian berimplikasi pada dekadensi
moral masyarakat secara sistemik dan berulang-ulang. Pada akhirnya,
tidak dapat dihindari terbentuknya pola piker dan emosional secara
sistematis yang melahirkan norma baru dalam masyarakat yang disebut
kapitalistik.
Semakin merajalela dan meratanya korupsi di seluruh sendi
kehidupan di Indonesia karena; (Ermansjah Djaja, 2008 : 24)
8) Kurangnya Idealisme Keteladanan Pemangku JabatanDari sekian
banyak pemangku jabatan yang duduk di kursi pesakitan, untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang menyimpang dari
kewenangan yang dianugrahkan kepadanya berdasarkan sumpah/janji
jabatan, penyebabnya adalah “tidak mempunyai idealisme keteladanan”
27
yang kuat, jika pemangku jabatan tersebut mau bercermin kepada
pemangku jabatan yang bersih.Contohnya salah satu putra bangsa
Indonesia, baik terpublikasi maupun secara umum diketahui oleh
masyarakat luas seorang sosok Baharuddin Lopa yang memiliki
idealisme keteladanan, yang mengandalkan keyakinan 90,9%
memikirkan akhirat, sehingga ada perasaan takut dengan “sumpah
jabatan” dalam prinsip hidupnya, tidak merasa takut dengan badan
pengawas manusia melainkan takut kepada Tuhan Yang Maha Esa jika
mencederai anugrah yang diberikan padanya sebagai pemangku jabatan.
Ada beberapa fakta yang dapat ditiru bagi pemangku jabatan dari
sikap idealisme keteladanan Baharuddin Lopa antara lain, ketika
memangku jabatan sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi
Selatan, dua orang bawahannya yang bernama Morra Bilu dan Arifin
Sallatu berinisiatif membeli kursi tamu untuk digunakan di rumah
jabatan Baharuddin Lopa yang sumber dana pembeliannya berasal dari
sisa anggaran rutin kantor Kejaksaan, pada akhirnya kursi tamu tersebut
dikembalikan kepada penjualnya dan harganya dikembalikan ke Kas
Negara sebesar nilai anggaran rutin Kejaksaan yang menjadi saldo kas.
Kemudian adik bungsu dari Baharuddin Lopa yang bernama Arif Lopa,
sementara mengikuti testing calon hakim di Jakartadengan membawa
nomor test untuk tujuan agar dibantu meloloskan, namun yang terjadi
nomor test tersebut disobek oleh Baharuddin Lopa selanjutnya
menyampaikan kepada panitia penyelenggara test calon hakim agar tidak
28
meloloskan adiknya, dengan alasan tidak memenuhi kriteria menjadi
seorang hakim.
Lengkap tidaknya peraturan perundang-undangan bukan menjadi
alasan untuk menentukan baik buruknya pengelolaan keuangan negara.
Sepanjang adanya itikad baik dari pimpinan untuk membenahi
pengelolaan keuangan suatu institusi walaupun peraturan perundang-
undangan tidak lengkap dan tidak memadai akan selalu membuahkan
perbaikan. Karena itikad baik adalah modal dasar yang dilandasi oleh
asas-asas dan prinsip-prinsip yang telah diterima secara universal oleh
masyarakat dalam pergaulan hidup. Begitupula asas-asas dan prinsip-
prinsip dalam pengelolaan keuangan negara tidak seluruhnya telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan, tetapi lebih banyak tercipta dan
diperaktekkan dalam pengelolaan keuangan publik dan diterima serta
dijadikan tolak ukur/kriteria dalam pengelolaan keuangan pulik/negara.
9) Pengaruh Keluarga
Indikasi dimulainya korupsi, cenderung datangnya dari pihak
keluarga dekat dari pemangku jabatan, disebabkan karena adanya faktor
balas jasa atau keseganan kedudukan sosial yang menghendaki suatu
keinginan memanfaatkan kesempatan selama priode masa jabatan
tertentu. Dengan berbagai macam permintaan, baik berupa perbaikan
struktural jabatan maupun sebagai broker proyek. Pengaruh utama
cenderung bersumber dari Isteri/Suami dan anak dari pemangku jabatan
yang sangat berpengaruh untuk di jadikan jembatan penghubung yang
29
lebih awal mendapat upeti dari pengusaha yang akan mengajukan
penawaran proyek.
10) Sumber Daya Manusia (SDM)
Dalam era reformasi terdapat beberapa kepala daerah duduk di
kursi pesakitan dengan modus operandi perkara penyalahgunaan jabatan,
disebabkan atas pilihan rakyat yang didasarkan pada materi, ada yang
disebut serangan fajar untuk mempengaruhi masyarakat atas pemilihan
keesokan harinya sehingga cenderung masyarakat wajib pilih tidak lagi
melihat pemimpin yang benar-benar mempunyai latar belakang
pengalaman kepemimpinan dalam mengatur keuangan negara atau
daerah, melainkan dari kandidat mana mendapatkan materi.Dari
kenyataan yang dihadapi bangsa Indonesia seiring dengan reformasi,
peletakan pertama pemimpin bangsa Indonesia, dimulai dengan
dominasi politik yang luar biasa sehingga seluruh rakyat Indonesia
terkeco dan melupakan bahwa negara kesatuan republik Indonesia
adalah negara hukum, bukan negara kekuasan. Dengan terpilihnya
pasangan presiden dan wakil Republik Indonesia pertama reformasi,
dalam kenyataannyaditurunkan secara paksa atau mundur secara suka
rela,kemudiansecara otomatis diganti oleh wakilnya yang hanya dibekali
latar belakang pendidikan politik, dengan cara menampilkan foto Bung
Karno untuk mempengaruhi bangsa Indonesia, namun juga tidak mampu
bertahan untuk bersaing dalam periode berikutnya yang ditandai dengan
dua kali gagal dalam pemilihan presiden, karena bangsa indonesia mulai
30
menyadaripentingnya sumber daya manusia (SDM) yang berwawasan
luas, cerdas dan berpendidikan tinggi, negarawan, sehingga dapat
memenuhi kriteria sebagai pemimpin bangsa. Dari kenyataan yang
dihadapi bangsa Indonesia kemudian menjadi contoh kebawah dalam
pemilihan kepala daerah, sampai saat ini pemilukada cenderung kandidat
yang terpilih berasal dari pengusaha berpasangan dengan birokrasi atau
sebaliknya birokrasi berpasangan dengan pengusaha.Bahkan di salah
satu Kabupaten, Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat Bupati yang
terpilih adalah pimpinan preman yang mempunyai basis pendukung
berjumlah besar.Untuk menentukan pemimpin yang berkualitas
tergantung dari sumber daya manusianya yang ditunjang dengan faktor
utama adalah pendidikan yang berlatar belakang ilmu hukum dan politik,
agar dapat lebih memahami tugas dan tanggungjawabnya serta dapat
memberi contoh pemahaman norma-norma hukum kepada bawahannya
didalam melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan negara/daerah,
inisiatif kebijakan berjalan lancar karena memahami segala tindakan
yang mempunyai akibat hukum, mudah menghindari perbuatan korupsi,
dapat melindungi hak-hak negara/daerah dan masyarakat. Kebocoran
keuangan negara disebabkan karena pemegang kekuasaan umum dalam
menentukan kebijakan menjadi terbalik, cenderung bawahan yang
menjadi penentu kebijakan dengan modal paraf, atasan tinggal tanda
tangan, karena tidak mampu untuk menguji kembali konsideran
31
dokumen yang disodorkan, atau kebijakan bergantung pada bagian
hukum dalam suatu instansi pemerintah.
Menurut penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah
Hehamahua, berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada delapan
penyebab terjadinya korupsi di Indonesia:
1) Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru
Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru
berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan.
Tetapi, selama puluhan tahun, mulai dari Orde Lama, Orde Baru sampai
dengan Reformasi ini, pembangunan difokuskan di bidang ekonomi,
Padahal disetiap negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki
SDM, uang, management dan teknologi. Konsekwensinya, semuanya
didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan
penyebab korupsi yang kedua, yaitu:
2) Kompensasi PNS yang Rendah
Wajar saja negara yang baru tidak memiliki uang yang cukup
untuk membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya. sehingga
secara fisik dan kultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga
sekitar 90 % PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu,
melakukan kegiatan pungli maupun mark up kecil-kecilan demi
menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga.
3) Pejabat yang Serakah
32
Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem
pembangunan seperti di atas mendorong pejabat ingin menjadi kaya
secara Instant. Lahirnya sikap serakah di mana pejabat
menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan mark up
proyek-proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan pengusaha, baik
dalam bentuk menjadi komisaris maupun salah seorang shere holder dari
perusahaan tersebut.
4) Law Enforcement Tidak Berjalan
Disebabkan para pejabat serakah dan PNS-nya KKN karena gaji
yang tidak cukup, maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan
hampir di seluruh lini kehidupan baik di instansi pemerintahan maupun
di lembaga kemasyarakatan karena segala sesuatu diukur dengan uang.
Lahirnya kebiasaan plesetan kata-kata KUHP (Kasih Uang Habis
Perkara). Tin (Ten persen). Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang
Maha Kuasa), dan sebagainya.
5) Hukuman yang Ringan terhadap Koruptor
DisebabkanLaw Enforcement Tidak Berjalan di mana aparat
penegak hukum bisa dibayar, mulai dari polisi, jaksa, hakim dan
pengacara, maka hukuman yang dijatuhkan oleh para koruptor sangat
ringan sehingga tidak menimbulkan efek jerah bagi koruptor. Bahkan
tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat sehingga pejabat dan
pengusaha tetap melakukan proses KKN.
6) Pengawasan yang Tidak Efektif
33
Dalam sistem management yang modern selalu ada instrument
yang disebut internal control yang bersifat in build dalam setiap unit
kerja, sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini
dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal kontrol disetiap
unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait ber-KKN.
Konon, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang
bertugas melakukan internal audit. Malangnya, sistem besar yang
disebutkan di butir 1 di atas tidak mengalami perubahan, sehingga Irjen
dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN.
7) Tidak Ada Keteladanan Pemimpin
Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia
sedikit lebih baik dari Thailand. Namun, pemimpin di Thailand memberi
contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata
dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari
anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relatif singkat,
Thailand telah mengalami recovery teladan, maka bukan saja
perekonomian Negara yang belum recovery bahkan tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara makin mendekati jurang kehancuran.
8) Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN
Dalam Negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung
paternalistik. Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam
urusan sehari-hari, mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran
anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain-lain – karena
34
meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, toko masyarakat,
pemuka agama, yang oleh masyarakat diyakini sebagai perbuatan yang
tidak salah”.
Demikian juga oleh. Masyarakat Transparansi Internasional (MTI)
menemukan sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia, yaitu sebagai
berikut:
1) Absennya kemauan politik pemerintah.
2) Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah.
3) Dominannya peranan militer dalam bidang politik.
4) Politisasi birokrasi.
5) Tidak independennya lembaga pengawas.
6) Kurang berpungsinya parlemen.
7) Lemahnya kekuatan masyarakat sipil.
8) Kurang bebasnya media massa.
9) Oportunismenya sektor swasta.
Selain itu beberapa pendapat pakar lain tentang penyebab korupsi
di antaranya dari Klitgaar, Andi Hamzah, Baharuddin Lopa, World bank,
menyatakan bahwa penyebab korupsi adalah hal berikut: diskresi
pegawai publik yang terlalu besar, rendahnya akuntabilitas publik,
lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai publik di bawah kebutuhan
hidup, kemiskinan, moral rendah atau disiplin rendah. Disamping itu,
juga sifat konsumtif, pengawasan dalam organisasi kurang, atasan
memberi contoh, kesempatan yang tersedia, pengawasan ekstern lemah,
35
lembaga legislatif lemah, budaya memberi upeti, permisif (serba
membolehkan), tidak mau tahu, keserakahan, dan lemahnya penegakan
hukum. Di sisi lain juga probabilitas ditangkap dan dihukum,
konsekuensi (biaya) akibat ditangkap atau dihukum lebih rendah dari
pada keuntungan yang diperoleh, orang yang di tempat “basah” mesti
menghidupi pegawai di atas atau di bawahnya, untuk duduk di tempat
“basah” atau mendapat jabatan pegawai mesti membayar (korupsi untuk
cost of recovery), lingkungan tidak kondusif, para pegawai publik mesti
menjadi sumber dana organisasi, kondisi masyarakat yang lemah tidak
terorganisasi untuk melawan korupsi.
b. Akibat Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
Suracmin, Suhandi Cahaya (2011; 83-87) akibat dari tindak
pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Beberapa pakar
menggambarkannya di bawah ini (Andi Hamzah, 2007 : 7-8) :
1) Pendapat Sumitro Djojohadikusumo
a) Kebocoran mencapai 30 %
Di depan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
November 1993 di Surabaya. Begawan Ekonomi Indonesia. Sumitro
menyebutkan bahwa dana pembangunan selama Pelita V (1989 -1993)
mengalami kebocoran sekitar 30% dari total investasi. Jumlah tersebut
adalah sekitar Rp12 triliun. Dalam hal ini yang dimaksud kebocoran
adalah pemborosan (inefisiensi ekonomi) atas penggunaan sumber daya
36
ekonomi. Hanya saja, tidak seorangpun bisa menunjuk apa saja sumber
pemborosan itu.
Menurut Sumitri, ada beberapa penyebab kebocoran. Pertama,
karena investasi yang ditanamkan dalam infrastruktur dengan masa
pengembalian cukup lama. Kedua, lemahnya penggarapan dan
perawatan proyek investasi. Ketiga, adanya penyimpangan dan
penyelewengan.
b) ICOR Indonesia Tertinggi di ASEAN
Kurang efisiensinya perekonomian Indonesia dapat dilihat dari
angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yaitu angka
menunjukkan perbandingan antara jumlah investasi yang diperlukan
untuk menghasilkan suatu output. Lebih lanjut Sumitro, pada saat
memberikan sambutan dalam acara reuni Alumni FEUI dalam rangka
memperingati 45 tahun FEUI di Balai Sidang Senayan. Jakarta,
menyatakan bahwa tingkat produktivitas Indonesia masih rendah. Hal
tersebut disebabkan karena ICOR Indonesia masih sekitar 5 dan angka
tersebut adalah yang paling tinggi di lingkungan ASEAN yang sekitar
3,4 ASEAN memerlukan 5 unit investasi. Sumitro juga
mengkhawatirkan bahwa apabila perekonomian tidak di efisienkan,
maka utang luar negeri akan terus meningkat karena sumber dalam
negeri yang terbatas tidak cukup untuk menutup kebutuhan investasi
yang tinggi.
37
Sebagai perbandingan untuk menunjukkan bahwa perekonomian
Indonesia masih perlu diefisienkan dapat dilihat dari Filipina yang
perekonomiannya cukup lesu, memiliki ICOR sebesar 3,5.
2) Pendapat CIBA mengenai Dampak Penyimpangan Anggaran.
a) Menurunnya Kualitas Pelayanan Publik
Penyimpangan anggaran seperti korupsi dan penyalah gunaan
peruntukan mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap
kualitas pelayanan publik. Pemberian suap biasanya diambil dari bagian
dana proyek, sehingga anggaran riil yang digunakan untuk proyek
menjadi berada di bawah angka semestinya. Hal ini tentu berpengaruh
terhadap kualitas hasil dari pelaksanaan proyek. Contoh lainnya,
masyarakat miskin sulit memperoleh layanan kesehatan yang layak
sementarapejabat publik mendapatkan fasilitas asuransi di luar jumlah
yang wajar.
b) Terenggutnya Hak-Hak Dasar Warga Negara
Hak untuk hidup layak, hak untuk mengakses sumber daya, dan
hak-hak dasar lainnya, tidak dapat dipenuhi oleh negara. Penyebabnya
antara lain, karena banyaknya uang negara yang seharusnya bisa
digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, justru lari
ke kantong-kantong pribadi.
c) Rusaknya Sendi-Sendi Prinsip Dari Sistem Pengelolaan Keuangan
Negara
38
Undang-Undang termasuk konstitusi lainnya yang semestinya
dijadikan acuan dalam pengelolaan keuangan negara, justru diabaikan
prinsip-prinsip anggaran yang baik, seperti partisipasi, akuntabilitas,
disiplin, efektif dan efisien, serta memenuhi asas kepatutan yang
semuanya itu merupakan sendi prinsip pengelolaan keuangan negara
dilanggar tanpa Tedeng aling-aling.
d) Terjadinya Pemerintahan Boneka
Pemerintah tidak lagi memiliki kemerdekaan untuk menyuarakan
hati nurani rakyat. Kondisi tersebut terjadi sebagai konsekwensi dari
uang suap yang telah diterima. Akibatnya, mereka harus mengambil
keputusan sesuai dengan pesanan para pelaku penyuapan. Dalam kondisi
seperti itu, tidak ada tempat bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan. Bahkan nasibnya pun tidak menjadi bahan
pertimbangan bagi kebijakan.
e) Meningkatnya Kesenjangan Sosial
Kesenjangan sosial yang telah ada menjadi lebih kuat, bahkan
semakin parah karena kelompok miskin dan marginal tidak pernah
mendapatkan akses terhadap anggaran secara layak termasuk mengontrol
proses, karena ketiadaan ruang bagi transparansi dan partisipasi.
f) Hilangnya Kepercayaan Investor
Banyaknya korupsi dan tidak adanya kepastian hukum, telah
menyebabkan banyak investor merasa enggan menanamkan modalnya di
Indonesia. Bahkan investor yang ada pun hengkang. Akibatnya, di
39
samping iklim pertumbuhan ekonomi menjadi kurang kondusif, juga
meningkatnya angka pengangguran.
g) Terjadinya Degradasi Moral dan Etos Kerja
Memperoleh uang tanpa kerja keras telah mengakibatkan si pelaku
korupsi terbuai dan terpacu untuk bekerja keras. Bahkan, dalam
beberapa kasus yang ekstrim uang “panas” yang diperoleh tersebut
dihabiskan pula dengan mudah di meja judi, minum-minuman keras atau
narkoba.
3) Pendapat Evi Hartanti
a) Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Pemerintah
Akibat pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan
kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah tersebut. Di samping itu,
negara lain juga lebih mempercayai negara yang pejabatnya bersih dari
korupsi, baik kerja sama di bidang politik, ekonomi, ataupun dalam
bidang lainnya. Hal ini akan mengakibatkan pembangunan ekonomi
serta mengganggu stabilitas perekonomian negara dan stabilitas politik.
b) Berkurangnya Kewibawaan Pemerintah dalam Masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan
penyelewengan keuangan negara, masyarakat akan bersikap apatis
terhadap segala anjuran dan tindakan pemerintah. Sifat apatis
masyarakat tersebut mengakibatkan ketahanan nasional akan rapuh dan
mengganggu stabilitas keamanan negara. Hal ini pernah terjadi pada
tahun 1998 yang lalu, masyarakat sudah tidak mempercayai lagi
40
pemerintah dan menuntut agar presiden Soeharto mundur dari
jabatannya karena dinilai tidak lagi mengemban amanat rakyat dan
melakukan berbagai tindakan yang melawan hukum menurut kacamata
masyaraka.
c) Menyusutnya Pendapatan Negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua
sektor, yaitu dari pungutan bea dan penerimaan pajak. Pendapatan
negara dapat berkurang apabila tidak diselamatkan dari penyelundupan
dan penyelewengan oleh oknum pejabat pemerintah pada sektor-sektor
penerimaan negara tersebut.
d) Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara
Keamanan dan ketahanan negara akan menjadi rapuh apabila para
pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuatan asing yang hendak
memaksakan idiologi atau pengaruhnya terhadap bangsa Indonesia akan
menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan cita-
citanya. Pengaruh korupsi juga dapat mengakibatkan berkurangnya
loyalitas masyarakat terhadap negara.
e) Perusakan Mental pribadi
Seseorang yang sering melakukan penyelewengan dan
menyalahgunakan wewenang mentalnya akan menjadi rusak. Hal ini
mengakibatkan segala sesuatu dihitung dengan materi dan akan
melupakan segala yang menjadi tugasnya serta hanya melakukan
tindakan atau perbuatan yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya
41
ataupun orang lain yang dekat dengan dirinya. Yang lebih berbahaya
lagi, jika tindakan korupsi ini ditiru atau dicontoh oleh generasi muda
Indonesia. Apabila hal tersebut terjadi maka cita-cita bangsa untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur semakin sulit untuk dicapai.
f) Hukum tidak Lagi Dihormati
Negara kita merupakan negara hukum di mana segala sesuatu
harus didasarkan pada hukum. Tanggung jawab dalam hal ini bukan
hanya terletak pada penegak hukum saja namun juga pada seluruh warga
negara Indonesia. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak akan
terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan korupsi
sehingga hukum tidak dapat ditegakkan, serta tidak diindahkan oleh
masyarakat.
B. Pengadaan Barang dan Jasa
1. Pengertian Umum
Aspek hukum dalam pengadaan barang dan jasa perlu dipahami,
karena pemahaman terhadap aspek hukum akan dapat mewujudkan
penegakan prinsip-prinsip dasar sesuai kerangka peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pemahaman terhadap aspek hukum juga akan
mengetahui bahaya dan kelemahan dalam pelaksanaan pengadaan
barang dan jasa sektor public, ditinjau dari kerangka aturan perundang-
undangan yang akan berguna untuk lebih mengefisienkan dan
mengefektifkan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa sektor publik
(Ikak.G Triatomo, 2011 : 1).
42
Pengertian umum dalam Perpres RI No.70 tahun 2012 tentang
perubahan kedua Perpres RI no. 54 Tahun 2010 yang mencabut Kepres
RI No.80 Tahun 2003 dan perubahannya berbunyi dalam Pasal 1
berbunyi :
a. Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
barang/jasa oleh kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah/insitusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh barang/jasa.
b. Pengguna barang/jasa adalah pejabat pemegang kewenangan
penggunaan barang dan/atau jasa milik negara/daerah di masing-
masing K/L/D/I.
c. Lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah yang
selanjutnya disingkat LKPP adalah lembaga pemerintah yang
bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan
barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam peraturan Presiden
Nomor 106 Tahun 2007 tentang LKPP.
d. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalahPejabat
pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/
Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang
disamakan pada Institusi lain Pengguna APBN/APBD.
43
e. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah
pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau
ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.
f. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
g. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULPadalah unit
organisasi pemerintah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen,dapat berdiri sendiri
atau melekat pada unit yang sudah ada.
h. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan
yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa
Konsultansi/Jasa Lainnya.
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengadaan barang dan jasa menurut Pasal 2 Perpres
RI No.70 tahun 2012 tentang perubahan kedua Perpres RI No. 54 Tahun
2010, meliputi :
a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya
baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD;
b. Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkunganBank
Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan UsahaMilik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian
atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
44
Pengadaan barang/jasa pemerintah menurut Pasal 4 Perpres No.54
Tahun 2010 yang telah diperbaharui dengan Perpres No. 70 tahun 2012 ,
meliputi :
a. Barang;
b. Pekerjaan Konstruksi;
c. Jasa Konsultansi; dan
d. Jasa Lainnya.
3. Organ dan Wewenang/Tugas dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
a. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA, dalam Pasal 8,
Perpres No. 54 Tahun 2010 yang telah di perbaharuai dengan
Perpres No.70 tahun 2012 tentang perubahan kedua perpres No. 54
Tahun 2010
1) Menetapkan Rencana Umum Pengadaan;
2) Mengumumkan secara luas Rencana Umum Pengadaan paling
kurang di websiteK/L/D/I;
3) Menetapkan PPK;
4) Menetapkan Pejabat Pengadaan;
5) Menetapkan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
6) Menetapkan :
a) Pemenang pada Pelelangan atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk
paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan nilai
diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau
45
b) Pemenang pada Seleksi atau penyedia pada Penunjukan Langsung untuk
paket Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
7) Mengawasi pelaksanaan anggaran;
8) Menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
9) Menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/ Pejabat Pengadaan,
dalam hal terjadi perbedaan pendapat; dan;
10) mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh Dokumen Pengadaan
Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam hal diperlukan,PA dapat:
1) menetapkan tim teknis; dan/atau
2) menetapkan tim juri/tim ahli untuk pelaksanaan Pengadaan melalui
Sayembara/Kontes.
b. Kuasa Pengguna Anggaran pada Pasal 10, KPA memiliki kewenangan sesuai
pelimpahan oleh PA.
c. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK pada Pasal 11 ayat
(1) dan (2)Perpres No.70 tahun 2012 tentang perubahan kedua perpres No. 54
Tahun 2010.PPK memiliki tugas pokok dan wewenang sebagai berikut :
1) menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi:
a) spesifikasi teknis Barang/Jasa;
b) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); dan
46
c) rancangan Kontrak.
2) menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
3) menyetujui bukti pembelian atau menandatangani Kuitansi/Surat Perintah
Kerja (SPK)/surat perjanjian:
4) melaksanakan Kontrak dengan Penyedia Barang/Jasa;
5) mengendalikan pelaksanaan Kontrak;
6) melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Pengadaan Barang/Jasa kepada
PA/KPA;
7) menyerahkan hasil pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa kepada PA/KPA
dengan Berita Acara Penyerahan;
8) melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan
hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; dan
9) menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
Selain tugas pokok dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal diperlukan, PPK dapat:
1) Mengusulkan kepada PA/KPA:
a) Perubahan paket pekerjaan; dan/atau
b) Perubahan jadwal kegiatan pengadaan;
2) Menetapkan tim pendukung;
3) Menetapkan tim atau tenaga ahli pemberi penjelasan teknis untuk membantu
pelaksanaan tugas ULP; dan
47
4) Menetapkan besaran Uang Muka yang akan dibayarkan kepadaPenyedia
Barang/Jasa.
d. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP, tugas pokok dan
kewenangan pada meliputi :
1) Menyusun rencana pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
2) Menetapkan Dokumen Pengadaan;
3) Menetapkan besaran nominal Jaminan Penawaran;
4) Mengumumkan pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di websiteK/L/D/I
masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta
menyampaikan ke LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional
5) Menilai kualifikasi Penyedia Barang/Jasa melalui prakualifikasi atau
pascakualifikasi;
6) Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang
masuk;
7) Khusus untuk ULP:
a) Menjawab sanggahan;
b) Menetapkan PenyediaBarang/Jasa untuk: Pelelangan atau Penunjukan
Langsung untuk paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/ Jasa Lainnya
yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
atau Seleksi atau Penunjukan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa
Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah);
48
c) Menyerahkan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada
PPK;
d) Menyimpan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
8) Khusus Pejabat Pengadaan:
a) Menetapkan Penyedia Barang/Jasa untuk:
i) Penunjukan Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan
Barang/ Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp
200.000.000,00 (duaratus juta rupiah); dan/atau
ii) Penunjukan Langsung atau Pengadaan Langsung untuk paket Pengadaan Jasa
Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah);
b) menyampaikan hasil Pemilihan dan salinan Dokumen Pemilihan Penyedia
Barang/Jasa kepada PPK;
c) menyerahkan dokumen asli pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada
PA/KPA; dan
d) membuat laporan mengenai proses Pengadaan Pengadaan kepada PA/KPA.
9) memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada PA/KPA.
Tugas pokok dan kewewenangan ULP meliputi :
1) memimpin dan mengoordinasikan seluruh kegiatan ULP;
2) menyusun program kerja dan anggaran ULP;
3) mengawasi seluruh kegiatan pengadaan barang/ jasa di ULP dan melaporkan
apabila ada penyimpangan dan/atau indikasi penyimpangan;
49
4) membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan
Institusi;
5) melaksanakan pengembangan dan pembinaan Sumber Daya Manusia ULP;
6) menugaskan/menempatkan/memindahkan anggota Kelompok Kerja sesuai
dengan beban kerja masingmasing Kelompok Kerja ULP; dan
7) mengusulkan pemberhentian anggota Kelompok Kerja yang ditugaskan di
ULP kepada PA/KPA/Kepala Daerah, apabila terbukti melakukan
pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau KKN.
Selain tugas pokok dan kewewenangan ULP/Pejabat Pengadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal diperlukan ULP/Pejabat
Pengadaan dapat mengusulkan kepada PPK:
1) perubahan HPS; dan/atau
2) perubahan spesifikasi teknis pekerjaan.
3. Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa
Sebagaimana Dimaksud DalamPasal 5 Perpres RI No. 70 Tahun 12
tentang perubahan kedua Perpres RI No. 54 Tentang Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah yakni :
a. efisien;
b. efektif;
c. transparan;
d. terbuka;
50
e. bersaing;
f. adil/tidak diskriminatif;
g. dan akuntabel.
4. Pemilihan Seleksi Penyedia barang atau pekerjaan kontruksi atau jasa
lainnya.
Sebagaimana Dimaksud DalamPasal 35 Perpres RI No. 70 Tahun 12
tentang perubahan kedua Perpres RI No. 54 Tentang Pengadaan Barang / Jasa
Pemerintah yakni :
a. Pemilihan penyedia barang dilakukan dengan :
1) Pelelangan umum;
2) Pelelangan terbatas;
3) Pelelangan Sederhana;
4) Penunjukan langsung;
5) Pengadaan langsung; atau
6) Kontes.
b. Pemilihan penyedia pekerjaan kontruksi dilakukan dengan :
1) Pelelangan umum;
2) Pelelangan terbatas;
3) Pemilihan Langsung;
4) Penunjukan Langsung; atu
5) Pengadaan Langsung
c. Pemilihan Penyedia Jasa Lainnya dilakukan dengan
1) Pelelangan umum;
51
2) Pelelangan terbatas;
3) Penunjukan langsung;
4) Pengadaan Langsung
5) Sayembara
d. Kontes/sayembara dilakukan khusus untuk pemilihan penyedia barang/jasa
lainnya yang merupakan hasil industry kreatif, inovatif dan budaya dalam
negeri.
C. Kepolisian Negara Republik Indonesia
1 . Pengertian Kepolisian
Kata polis berasal dari bahasa Yunani “ Politeia” yang berarti
seluruh pemerintahan negara kota. Di Negara Belanda pada zaman
dahulu istilah polisi dikenal melalui konsep catur praja dan Van
Vollenhonen yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat) bagian,
yaitu Bestuur, Politie, Rechtspraak, dan Regelling (E. Utrech, 1953 : 5).
Dengan demikian polities dalam pengertian ini sudah dipisahkan dari
Bestuur dan merupakan bagian pemerintahan tersendiri. Pada pengertian ini
polisi termasuk organ-organ pemerintahan yang mempunyai wewenang
melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban.
Menurut Charles Reith, dalam bukunya The Blind Eye Of
Historymengemukakan pengertian polisi dengan terjemahan kedalam bahasa
Indonesia sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan
susunan kehidupan masyarakat. Didalam Encyclopedia and social science
dikemukakan bahwa pengertian polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang
52
luas, yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan
keseharian umum (STR John May Lam, 1986 : 4).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia W.J.S Poerwodarmita dikemukakan
bahwa istilah polisi mengandung pengertian merupakan badan pemerintahan
yang bertugas memelihara keamananan dan ketertiban umum, dan merupakan
pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Dalam pengertian ini, istilah polisi mengandung 2 (dua) pengertian ini makna
polisi tugas dan sebagai organnya.
Polisi adalah aparat penegak hukum dan menjaga kamtibmas yang
setiap saat harus berhubungan dengan masyarakat luas. Dalam hubungan
dengan masyarakat itu polisi mengharapkan kesadaran hukum dan sikap tertib
dari masyarakat. Sebaliknya, masyarakat menghendaki agar kepolisian selalu
bijaksana dan cepat dalam bertindak serta senantiasa berpegang teguh pada
hukum tanpa mengabaikan kepentingan dan perasaan masyarakat.
Kata Polri adalah singkatan dari Polisi Republik Indonesia. Sekarang
yang dikatakan polisi adalah badan pemerintahan yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum. Pembentukan Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau yang lazim disebut POLRI yaitu berdasarkan UU Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolsian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut UU Kepolisian. Dalam Pasal 1 ayat (1)
UU No.2 tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepolisian
adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
53
2. Tugas dan Fungsi Kepolisian
a. Tugas
Sebagaimana dalam Bab III UU No.2 Tahun 2002 tentang Tugas
dan Wewenang, dinyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah :
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum;
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002, menyatakan bahwa
dalam melaksanakan tugas pokoknya, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas :
1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.
Kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan;
4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
54
6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia;
10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Fungsi
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
55
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
Sebagaimana penetapan Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 bahwa “ fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara yaitu dalam hal
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum,
perlindungan, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Selain fungsi tersebut, terdapat juga tujuan pembentukan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pasal 4 UU No.2
Tahun 2002, yaitu mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 3 UU No.2 Tahun 2002 mengatur tentang pengembang fungsi
Kepolisian, dimana kepolisian dalam melaksanakan fungsinya dibantu oleh:
1) Kepolisian khusus;
2) Penyidik pegawai Negeri Sipil; dan/atau
3) Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Ketiga pengemban fungsi kepolisian tersebut dalam melaksanakan
fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing.
Guna mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsinya, Kepolisian
Negara Republik Indonesia diberi wewenang yang diatur dalam UU No.2
Tahun 2002, Pasal 15, yaitu :
56
Ayat (1)
1) Menerima laporan dan/atau pengaduan;
2) Membantu menyelesaikan perselesihan warga maasyarakat yang dapat
membantu ketertiban umum;
3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrative kepolisian;
6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9) Mencari keterangan dan barang bukti;
10) Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
11) Mengeluarkan surat izin dan/ atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Ayat (2)
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang :
57
1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3) Memberikan surat izin kendaraan bermotor;
4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan
senjata tajam;
6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan;
7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8) Melakukan kerjasama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi dengan instansi terkait;
10) Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
11) Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian.
Dalam rangka penyelenggaraan tugas dibidang proses pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002, Kepolisian
Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
58
2) Melarang setiap orang meninggalkan dan/atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam
keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana;
11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum;
12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam penyelenggaraan tugas dan wewenangnya, pihak kepolisian
harus senantiasa memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta kode
etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan juga bertindak
berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan,
59
kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, sebagaimana diatur
dalam Pasal 18-19 UU No.2 Tahun 2002.
3. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kepolisian
Pada umumnya pemeriksaan terkait kasus tindak pidana korupsi
dilakukan karena adanya informasi awal mengenai adanya penyimpangan
yang mengakibatkan kerugian keuangan/kekayaan negara dan/atau
perekonomian negara atau kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan.
Khusus untuk post audit, informasi awal terutama bersumber dari surat
persetujuan penunjukkan pemenang dan dokumen kontrak.
Untuk melakukan pemeriksaan terhadap instansi/proyek, ditunjuk suatu
tim pemeriksa yang biasanya terdiri dari seorang ketua dan dua orang
anggota. Ketua tim ini bertanggung jawab atas pelaksanaan pemeriksaan
terhadap instansi/proyek tersebut degan membuat audit program dan
membagi pekerjaan kepada anggotanya. Pokok-pokok program telah tersedia
dalam buku tata cara pemeriksaan yang disusun untuk seluruh aparat
pengawasan fungsional.
Apabila dalam pemeriksaan terdapat temuan-temuan yang
memberikan indikasi adanya kerugian negara maka pemeriksaan harus
diperluas dan diperdalam sehingga dapat diketahui secara pasti berapa
kerugian negara. Temuan-temuan yang diperoleh oleh tim segera dilaporkan
kepada pengawas pemeriksa untuk diteruskan langsung ke Kepala Perwakilan
BPKP yang bersangkutan. Kepala Perwakilan BPKP akan
mempertimbangkan perlu tidaknya segera dilaporkan kepada Kepala
60
Kepolisian setempat untuk dilakukan penyidikan bersamaan dengan
pemeriksa yang sedang dilakukan.
Penyidikan secara cepat ini perlu dilakukan untuk menghindarkan
bukti-bukti dan penyelesaian secepatnya. Berlakunya Undang-undang Nomor
8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
terjadilah perubahan yang fundamental dalam hukum acara pidana.
Perubahan fundamental tersebut antara lain di bidang penyidikan. Pada waktu
HIR (Het Herziene Inlandasch Reglement) masih berlaku, penyidikan dapat
dilakukan oleh banyak instansi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat ketentuan dengan pengaturan
secara khusus terkait tahap penyidikan jika dibandingkan dengan yang
terdapat dalam KUHAP. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 25 hingga Pasal 33
serta Pasal 39 yang terdapat di dalam Bab IV mengenai penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan, diantaranya :
Pasal 25:
“ Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan dalam
tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna
pemyelesaian secepatnya.”
Pasal26 :
“ Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan
terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.”
Penjelasan Pasal 26 :
61
“ Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk
melakukan penyadapan (wiretapping).”
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 dan penjelasannya dapat
disimpulkan, segala sesuatu yang terkait dengan penyidikan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jika terdapat pengaturan yang sama didalam KUHAP, maka
pengaturan Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dengan demikian berarti berlaku asas lex specialis derogate legi generalis.
Pasal 30 :
“ Penyidik behak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan
kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa.”
Penjelasan Pasal 30:
“ Ketentuan ini dimaksudkan untuk member kewenangan kepada
penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada
dasarnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk
membuka, memeriksa, atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih
dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.”
E. Kerangka Pikir
Berdasarkan dari rumusan masalah, tujuan penelitian, dan tinjauan
pustaka yang dikemukakan sebelumnya bahwa pengadaan barang dan jasa di
tiap insitusi pemerintahan menjadi lahan empuk praktik korupsi. Tidak
transparannya sistem pengadaan barang dan jasa di sebuah instansi, membuat
pihak-pihak tak bertanggungjawab dengan leluasa menggerogoti anggaran.
62
Polri dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan barang
dan jasa mengalami berbagai hambatan.
Secara garis besar kerangka pikir tersebut dapat dilihat, seperti bagan
sebagai berikut :
Keterangan
X : Variabel Bebas (Independent Variable)
Y : Variabel Terikat (Dependent Variable)
Undang-undang RI No. 2 Tahun 2002 Undang-undang RI No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang RI Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Perpres RI No. 54 Tahun 2010Tentang Pengadaan barang / jasa pemerintah
Perpres RI No. 16 Tahun 2018 tentang pengadadan barang / jasa Pemerintah
Terwujudnya Peranan Polri dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Secara Optimal.
Kewenangan dan Peran PolriDalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Faktor Penghambat dalam penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa
X1 X2
DASAR HUKUM
Y
63
BAB III
METODEPENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat sosial yaitu
hukumpenelitian empiris dengan menggunakan pendekatan Undang-undang
terhadap penjelasan peristiwa Pencucian uang yang terjadi di Indonesia (Peter
Mahmud Marzuki, 2005:93-94)
B. Lokasi Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian di Kantor Polres Pelabuhan
Makassar dan Kantor Instansi Pemerintah yang terkait.
C. Jadwal Penelitian
Proposal Penelitian akan dilaksanakan pada rentang waktu bulan Juni
2018 sampai dengan bulan Juli 2018. Adapun Jadwal Kegiatan Pokok adalah
Sebagai Berikut :
64
No Kegiatan Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan √
Konsultasi Judul √
Pengajuan Judul √
Penerbitan SK
Judul dan
Pembimbing
√
2 Pelaksanaan √
Penyusunan
Proposal
Bimbingan
Penulisan Tesis
√
Konsultasi,
Koreksi dan
Revisi Penulisan
Tesis
√
3 Tahap Akhir √
Pendaftaran
Ujian Proposal
Tesis
√
Ujian Proposal
Tesis
√
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
65
D. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
data primer dan data sekunder, adapun sumbernya diperoleh melalui cara
sebagai berikut :
1. Data Primer
Data primer bersumber dari pihak kepolisian dan pihak instansi
pemerintah.Pengambilan data primer tersebut dilakukan dengan
sosiologis/empiris, yakni melalui wawancara langsung dengan
narasumber.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang sumbernya diperoleh dari kajian
kepustakaan, referensi-referensi hukum, jurnal ilmiah hukum, peraturan
perundang-undangan dibidang hukum, dokumen bahan hukum yang
diperoleh dari Polda Sulselbar.
E. Definisi Operasional
1. Pada penelitian hukum, penulis menetapkan defenisi operasional sebagai
berikut :
2. Peranan adalah aspek dinamis dari suatu kedudukan, artinya apabila
seseorang badan telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
kedudukannya, maka seseorang / badan tersebut menjalankan suatu
peranan.
66
3. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap perbuatan yang melawan hukum
dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
4. Kepolisian Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
5. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindakan pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
6. Penyidik adalah pejabat penegak hukum yang diberi kewenangan khusus
oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.
7. Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan
barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan
secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa.
8. Barang adalah benda-benda yang berwujud, yang digunakan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya atau untuk menghasilkan benda lain yang
akan memenuhi kebutuhan masyarakat.
9. Jasa adalah suatu barang yang tidak berwujud, tetapi dapat memberikan
kepuasan dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
67
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian hukum ini,
terdiri dari :
1. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan sumber data primer, yaitu
dengan wawancara kepada responden, informan, dan narasumber.
2. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan sumber data sekunder
yaitu dengan studi documenter. Studi dikumenter merupakan studi
yang mengkaji dan mengumpulkan bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
G. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu, data yang
diperoleh dari datasekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersierakan disajikan secara deskriptif
terhadap variabel yang ada yaitu, menjelaskan,
menguraikan,menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang ada.
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah di Kota Makassar.
Korupsi merupakan satu diantara sekian banyak persoalan yang
menghambat pembangunan di Indonesia, berkaitan dengan upaya
pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang adil didalam kemakmuran
dan makmur dalam keadilan. Perbuatan korupsi nyata telah merugikan
keuangan dan perekonomian negara. Biaya yang semestinya digunakan
untuk mendukung jalannya pembangunan telah diselewengkan untuk
kepentingan pribadi maupun golongan. Hal tersebut tentunya menghambat
terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh karenanya itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan karena
korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan
menghambat pembangunan nasional.
Dalam proses peradilan tindak pidana korupsi yang paling utama
adalah pada proses penyidikan. Di Indonesia, insitusi yang diberi wewenang
oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
korupsi adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Dilibatkannya beberapa institusi dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi disebabkan korupsi sudah masuk dalam kategori extra
69
ordinary crime, sehingga penanggulangannya pun tentunya harus extra
ordinary (luar biasa).
Terkait institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri),
landasan hukum yang menjadi dasar bagi institusi Polri untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi adalah:
1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Sejatinya, KUHAP tidak mengatur secara khusus kewenangan
Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi, mengingat KUHAP hanya mengatur kewenangan penyelidikan
dan penyidikan Polri secara umum terhadap semua tindak pidana yang
terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali undang-
undang menentukan sebaliknya. Namun demikian, ketentuan tersebut
kiranya dapat menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi. Adapun ketentuan yang dimaksud
adalah:
1) Dalam Pasal 1 angka 4 jo. angka 5, disebutkan penyelidik adalah pejabat
polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penyelidikan, sedangkan penyelidikan
berdasarkan Pasal 1 angka 5 yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
70
2) Dalam Pasal 1 angka 1 jo. angka 2, disebutkan bahwa penyidik adalah
pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan. Selanjutnya, Pasal 1 angka 2 menyatakan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sekalipun dalam ketentuan di atas tidak secara eksplisit disebutkan
pejabat Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
korupsi namun secara implisit terkandung makna bahwa polisi
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 yang telah
dirubah dan diperbaharui dengan Undang-undang RI No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam undang undang RI No. 31 Tahun 1999, Bab IV yang
membahas tentang Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
Pengadilan, dibahas pada Pasal 26 undang-undang tersebut bahwa
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku kecuali di tentukan dalam undang-undang Ini. hal tersebut berarti
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi acara yang
digunakan adalah acara KUHAP yang mana Dalam Pasal 1 angka 4 jo.
angka 5, disebutkan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
71
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan dan Dalam Pasal 1 angka 1 jo. angka 2,
disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Sama halnya dengan ketentuan dalam KUHAP, dalam Undang-
undang No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang secara tegas menyebutkan
wewenang polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
korupsi. Ketentuan yang ada hanya menyatakan secara umum
kewenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan semua
tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (1) huruf f yang
menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf g menyatakan: Ketentuan
undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan
penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun
72
demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi
kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Dengan mengacu pada kedua undang-undang di atas, nampak
jelas bahwa dalam kasus korupsi, kedudukan aparat Polri adalah sebagai
aparat penyelidik dan penyidik, untuk selanjutnya dari tindakan tersebut
diserahkan kepada aparat kejaksaaan sebagai institusi Penuntut, yang
mana dalam kasus korupsi pun kejaksaan dapat memainkan perananan
sebagai penyelidik dan penyidik.
Salah satu lahan korupsi yang paling subur adalah sektor
pengadaan barang dan jasa. Data Indonesia Procurment Watch (IPW)
sejak tahun 2013 sampai dengan 2017 menunjukan bahwa setiap
tahunnya hampir 60% pengeluaran belanja negara, digunakan untuk
pengadaan barang dan jasa. Hasil pantauan dari IPW juga menemukan
tingkat “kebocoran” disektor pengadaan barang dan jasa mencapa 10% -
50%. Hasil pantauan dari IPW ini belum termasuk anggaran yang
dikelola oleh BUMN, parastatal, kontraktor kemitraan dan anggaran
Pemerintah Daerah.
Terkait peran Polri dalam penegakan hukum pengadaan barang
dan jasa pemerintah, beberapa tugas dan kewenangan yang diberikan
berdasarkan KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan terkait adanya kasus korupsi;
2. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
73
3. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
4. Membawa atau menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan
pemeriksaan;
8. Mengadakan penghentian penyidikan;
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Mengingat wewenang sebagaimana disebutkan di atas potensial
untuk disalahgunaan serta dalam rangka menjungjung tinggi supremasi
hukum serta hak asasi manusia, maka penyidik diwajibkan untuk
membuat berita acara pelaksanaan tindakan sebagaimana disyaratkan
oleh KUHAP, yaitu:
1. Pemeriksaan tersangka;
2. Penangkapan;
3. Penahanan;
4. Pengeledahan;
5. Pemasukan rumah;
6. Penyitaan benda;
7. Pemeriksaan surat;
8. Pemeriksaan ditempat kejadian;
9. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
10. Pelaksanaan tindakan lain sesuai ketentuan KUHAP.
Tindak pidana korupsi dibidang pengadaan barang dan jasa
pemerintah masih mendominasi. Modus suap dalam rangka
memenangkan tender proyek kerap terjadi, bahkan para kalangan pejabat
selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kerap terseret menjadi
tersangka akibat adanya kongkalikong dalam pemenangan proyek yang
nilainya miliaran rupiah.
74
B. Data Penyelidikan dan Penyidikan dugaan perkara tindak pidana
korupsi Terhadap Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Kota
Makassar
Berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokumen, yang
diperoleh oleh peneliti temukan tahapan-tahapan pengadaan barang dan
jasa pemerintah yang rawan penyelewengan pada setiap tahapan
pengadaan barang dan jasa pemerintah, dapat digambarkan dalam bentuk
tabel sebagai berikut :
Tabel 4.1.
Tahapan Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah
Beserta Modus Penyimpangannya
1 Perencanaan
Pengadaan
Penggelembungan anggaran, rencana pengadaan yang
diarahkan, rekayasa pemaketan untuk KKN, dll.
2 Pembentukan
Panitia Lelang
Panitia tidak transparan, integritas, panitia lelang
lemah,memihak, tidak independen, dsb.
3 Pra Kualifikasi
Perusahaan
Dokumen administrasi tidak memenuhi syarat, dokumen
administrasi “aspal”, legalisasi dokumen tidak dilakukan,
evaluasi tidak sesuai kriteria, dll.
4 Penyusunan
Dokumen Lelang
Spesifikasi yang diarahkan, rekayasa kriteria evaluasi,
dokumen lelang non standar, dokumen lelang yang tidak
lengkap, dsb.
5 Pengumuman
Lelang
Pengumuman lelang yang semu atau fiktif, pengumumang
lelang tidak lengkap, jangka waktu pengumuman terlalu
singkat, dll.
6 Pengambilan
Dokumen lelang
Dokumen lelang yang diserahkan inkosisten, waktu
pendistribusian dokumen terbatas, lokasi pengambilan
dokumen sulit dicari, dll.
75
7 Penyusunan Harga
Perkiraan Sendiri
(HPS)
Gambaran nilai HPS ditutup, penggelembungan harga (mark
up) atau KKN, penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan,
dll.
8 Penjelasan
(Aanwijzing)
Pree-bid meeting yang terbatas informasi dan deskripsi
terbatas, penjelasan yang kontroversial, dsb.
9 Penyerahan dan
Pembukaan
Penawaran
Relokasi tempat, penyerahan dokumen penawaran,
penerimaan dokumen penawaran yang terlambat,
penyerahan dokumen fiktif
10 Evaluasi
Penawaran
Kriteria evaluasi yang cacat, penggantian dokumen
penawaran, evaluasi yang tertutup dan tersembunyi,
pengumuman yang tidak sesuai ketentuan, dsb
11 Pengumuman
Calon Pemenang
Pengumuman yang terbatas, tanggal pengumuman yang
ditunda, pengumuman yang tidak sesuai dengan ketentuan,
dsb.
12 Sanggahaan
Peserta Lelang
Tidak seluruh sanggahan ditanggapi, substansi sanggahan
tidak di tanggapi atau dijawab, sanggahan untuk
menghindari tuduhan tender “diatur”, dll.
13 Penunjukan
Pemenang lelang
Surat penunjukan tidak lengkap, surat penunjukan yang
sengaja ditunda terbit, surat penunjukan yang dikeluarkan
dengan terburu-buru, surat penunjukan yang tidak sah, dll
14 Tanda Tangan
Kontrak
Penandatangan kontrak yang ditunda-tunda, penandatangan
kontrak secara tertutup, tidak sah, dsb
15 Penyerahan
Barang/Jasa
Volume yang tidak sama, mutu/kualitas aspek lebih rendah
dari spesifikasi teknik, mutu/kualitas pekerjaan tidak sama
dengan spesifikasi teknik, contrac change order, dll.
Berdasarkan Tabel 4.1. mengenai proses tahapan dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah dapat dilihat beberapa modus penyimpangan
dalam prosesnya, dimulai dari proes perencanaan pengadaan barang dan
76
jasa pemerintah sampai pada proses terakhir penyerahan barang dan jasa
pemerintah.
Pengadaan barang dan jasa memang sangat rawan dengan
penyelewengan. Tindakan korupsi pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan pada masa perencanaan, seperti mengadakan kegiatan yang
sebenarnya tidak dibutuhkan atau mengatur agar pemenang tender adalah
perusahaan tertentu merupakan modus awal terjadinya tindak pidana
korupsi.
Berdasarkan hasil wawancara dan telaah dokumen, beberapa kasus
korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ditangani oleh Polda
Sulselbar, Polrestabes Makassar dan Polres Pelabuhan Makassar.
Tabel 4.2.
Data Penanganan Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah Kota Makassaryang Ditangani oleh Polda
Sulsel,Polrestabes makassar dan Polres Pelabuhan Makassar ta 2015 - 2018
NO LP /LI/PENGADUAN URAIAN KETARANGAN
1 2 4 5
1 LP / 04 / I / 2015
Tanggal 22 Januari 2015
Pengadaan IPAL dan alat
Simulaor di Politeknik Ilmu
Pelayaran Makassar yang tidak
sesuai dengan spesifikasi
Polda Sulsel
2 LPA / 182 / XI / 2016/
SPKT, Tanggal 27 Nop
2016
Dugaan TPK Pengadaan
peralatan laboratorium TA.
2012 dengan nilai kontrak Rp.
38.456.451.000 yang
bersumber dari APBN.
Polda Sulsel
3
LPA / 15 / VII / 2016 / SPK
tangal 28 Juli 2016
Dugaan TPK Rumah Potong
Hewan bersumber dari APBD
Kota Makassar TA 2014
Polda Sulsel
77
4 LPA / 15 / II / 2016 / Polda
Sulsel / Ditkrimsus tanggal
29 Pebruari 2016
Dugaan TPK Pengembangan
Usaha pada RPH Kota
Makassar
Polda Sulsel
5 12 / III /2017 / POLDA
SULSEL tanggal 10 / 03 /
2017
Pengadaan tanah kampus 2
PNUP
Polda Sulsel
6 20 / VIII /2017 / POLDA
SULSEL tanggal 08 / 08 /
2017
Gantirugi tanah Negara Polda Sulsel
7 LP / 02 / II / 2018
Tanggal 9-2-2018
Tindak pidana korupsi
anggaran upt pada dinas
pendidikan dan kebuyaan kota
makassar 2015 yang
mengakibatkan kerugian
negara rp. 323.000.000.’
Polrestabes Makassar
8 LP / 31 / VIII/2016,
Tanggal 12 Desember
2016
Pengadaan tanah untuk
pembangunan kampus 2
PNUP
Polrestabes Makassar
9 LP / 12 / III / 2016 /
POLDA SULSEL
tanggal 10-03-2016
Selaku PPK pada pengadaan
tanah untuk pembangunan
kampus 2pnup telah
melanggar prosedur yang
mengakibatkan pembayaran
pada orang yang tidak berhak
menerima ganti rugi.
Polrestabes Makassar
10 LP / 041 / REG / GMPR /
SR-KLF / 16
Tanggal 08-8-2016
Adanya dugaan pungutan liar
di SMKN 4 Makassar bagi
siswa baru membayar Rp.
500.000, bentuk tidak jelas
Polrestabes Makassar
78
pembayaran pakaian seragam
Rp. 700.000.
11 LI / 59 / VI / 2016
Tanggal 27-6-2016
Tersangka membuat surat
diduga Fiktif sehingga
mengakibatkan kerugian
negara Tahun Angkatan 2012.
Polrestabes Makassar
12 LP / 10 / VIII / 2012
Tanggal 10-8-2017
OTT
Polrestabes Makassar
13 LP / 02 / II / 2018
Tanggal 9-2-2018
Tindak pidana korupsi
anggaran upt pada dinas
pendidikan dan kebuyaan kota
makassar 2015 yang
mengakibatkan kerugian
negara rp. 323.000.000.’
Polrestabes Makassar
14 LP / 105 / VIII / 2015/
SULSEL RESPEL
MAKASSAR, tanggal 22
April 2015
Pengadaan Instalasi
Pembuangan Air Limbah
(IPAL) Dinas kesehatan Kota
Makassar yang sesuai dengan
Spesifikasi
Polres Pelabuhan Makassar
15 LI / 45 / VI / 2016,
Tanggal 12 Juni 2016
Dugaan Penyalahgunaan
wewenang dalam pekerjaan
Rehabilitasi Fungsional PPI
Paotere Makassar Tahun
Anggaran 2014
Polres Pelabuhan Makassar
16 LI / 102 / X / 2016
Tanggal 13 Oktober 2016
Dugaan terjadinya Perkara
Tindak Pidana Korupsi dalam
pendistribusian Beras Miskin
(Raskin) di Pulau Kodingareng
kec. Ujung Tanah Kota
Polres Pelabuhan Makassar
79
Makassar
17 LI / 72 / VI / 2016/
Reskrim/Tipikor, Tanggal
22 Juni 2016
Dugaan TP Korupsi dalam
Pengadaan Kapal INKAMINA
Tahun 2011
Polres Pelabuhan Makassar
18 LI / 06 / I / 2017/
Reskrim/Tipikor, Tanggal
23 Januari 2017
Pekerjaan Single Cold Storage
di PPI Paotere Dinas
Perikanan Kota Makassar yang
tidak sesuai dengan spesifikasi
Polres Pelabuhan Makassar
19 LP / 33 / V / 2016/
SULSEL RESPEL
MAKASSAR, tanggal 30
Mei 2016
Dugaan TPK rehab Kantor
Otoritas Pelabuahn
Polres Pelabuhan Makassar
20 R-LI / 05 / III / 2016,
tanggal 14 Maret 2016
Dugaan TPK pengadaan
Container Crane dan RTG
Polres Pelabuhan Makassar
21 R-LI / 15 / VIII / 2016,
Tanggal 5 Agustus 2016
Dugaan TPK pembangunan
Dermaga Parkir Kapal Paotere
Polres Pelabuhan Makassar
22 LP / 65 / IX / 2017
Tanggal 15 September
2017
Dugaan Penyalahgunaan Dana
Infrastruktur INDI (PNPM)
dan dana kotaku di Pulau
Barrang Lompo
Polres Pelabuhan Makassar
23 LI / 18 / II / 2018
Tanggal 8 Februari 2018
Dugaan TP Korupsi dalam
pekerjaan Rekontruksi jalan
prontek dan pekerjaan Jalan
VVIP
Polres Pelabuhan Makassar
24 LI / 20 / II / 2018
Tanggal 27 Februari 2018
Dugaan Tindak Pidana
Korupsi dalam pekerjaan
Replacemen Rambu suap
Polres Pelabuhan Makassar
80
Tabel 4.3.
Jumlah Penyidik dan penyidik Pembantu Kepolisian yang
melakukanPenyelidikan dan PenyidikanTindak Pidana Korupsi Kota
Makassar
25 LI / 43 / IV / 2018
Tanggal 04 April 2018
Dugaan Penyimpangan dalam
pekerjaan pembangunan jalan
kampus Baru PIP Kota
Makassar
Polres Pelabuhan Makassar
26 LI / 57 / VI / 2018
Tanggal 4 Juni 2018
Dugaan Tindak Pidana
Korupsi dalam pekerjaan
pembangunan Puskesmas
Pembantu Barang Caddi
Tahun 2016
Polres Pelabuhan Makassar
81
NO SATUAN
RILL DSPP (daftar susunan personil)
Keterangan PENYIDIK
PENYIDIK
PEMBANTU PENYIDIK
PENYIDIK
PEMBANTU
1 POLDA SULSEL
8 10 12 20
Kurang 4 Penyidik
dan 10 Penyidik
pembantu
2 POLRESTABES
MAKASSAR 1 5 3 10
Kurang 2 Penyidik
dan 5 Penyidik
pembantu
3 POLRES
PELABUHAN
MAKASSAR
1 3 2 8
Kurang 1 Penyidik
dan 5 Penyidik
pembantu
Ket. Khusus POLDA SULSEL Melakukan penyidikan kasus korupsi di Provinsi SULSEL dan
ProvinsiSULBAR.
82
C. Faktor Penghambat Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Di Kota Makassar.
Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu aktivitas dari pemerintah
dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
sehubungan dengan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Pengadaan
barang dan jasa yang melalui proses tender dimaksudkan untuk diperoleh
barang dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan, baik itu dari
segi kualitas maupun kuantitas dengan harga yang lebih bersaing dan juga
barang dan jasa tersebut dapat diperoleh sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (effisien dan effektif)
serta karena keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert
Skills) dari pegawai pemerintah merupakan alasan juga dilakukan tender.
Dalam melaksanakan penanganan perkara oleh Penyidik dan penyidik
pembantu pada polres pelabuhan makassar, Polrestabes Makassar dan polda
Sulawesi sampai dengan tahun 2018 masih menggunakan Perpres 54 Tahun
2010 yang mengalami perubahan sebanyak empat kali yakni Perpres 35
Tahun 2011, Perpres 70 Tahun 2012, Perpres 172 Tahun 2014 dan Perpres 4
Tahun 2015 hal tersebut melihat bahwa pelaksanaan dari pada Perpres No. 16
Tahun 2018 baru dilaksanakan pada bulan juli 2018.
Untuk pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah metode yang menurut
perpres 54 Tahun 2010 boleh dipergunakan, yakni: metode lelang, metode
pemilihan langsung, metode penunjukan langsung, metode swakelola dan
metode seleksi dengan persaingan. Dalam perpes 54 Tahun 2010 dan
83
perubahannya, juga dikenal beberapa tahapan yang harus dilalui berkaitan
dengan pengadaan barangdan jasa. Namun ironisnya, dari beberapa tahapan
semua tahapannya sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
menyebabkan marak terjadinya korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa
(lihat table 4.1.).
Selain penyimpanan-penyimpangan tersebut, suap dan pemerasan
menjadi modus paling dominan yang terjadi dalam setiap tahapan. Hal ini
disebabkan karena nyatanya pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak
dan konsesi besar secara umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi
dan kontraktor.Penyuapan dan pemerasan dalam proses pengadaan barang
dan jasa dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber
daya kekuasaan dan uang. Untuk itu, memandang korupsi pengadaan barang
dan jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang
dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkanharus dipandang sebagai
bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi.
Tabel 4.4.
Matriks Perbedaan Antara Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan perubahannya, dengan Perpres 16
Tahun 2018 tentang pengadaan Barang / jasa pemerintah
NO TOPIK PERBEDAAN KET
1. Lebih
Sederhana
Perpres PBJ No. 16 Tahun 2018 memiliki 15 Bab
dengan 98 pasal, lebih sederhana dibandingkan
Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya
yang memiliki 19 Bab dengan 139 Pasal. Selain
jumlah pasalnya yang lebih sedikit, Perpres PBJ
Baru juga akan menghilangkan bagian penjelasan
dan menggantinya dengan penjelasan norma-
84
norma pengadaan. Hal-hal yang bersifat
prosedural, pelaksanaan tugas dan fungsi
organisasi akan diatur lebih lanjut dalam peraturan
Kepala LKPP dan peraturan kementerian sektoral
lainnya.
2. Agen
Pengadaan
Dalam Perpres 16 Tahun 2018 diperkenalkan
Agen Pengadaan yaitu Perorangan, Badan Usaha
atau UKPBJ (ULP) yang akan melaksanakan
sebagian atau seluruh proses pengadaan
barang/jasa yang dipercayakan oleh K/L/D/I.
Mekanisme penentuan Agen Pengadaan dapat
dilakukan melalui proses swakelola bilamana
pelakananya adalah UKPBJ K/L/D/I atau melalui
proses pemilhan bilamana dilakukan oleh
perorangan atau badan usaha.
Agen Pengadaan akan menjadi solusi untuk
pengadaan yang bersifat kompleks atau tidak biasa
dilaksakan oleh suatu satker, sementara satker
tersebut tidak memiliki personil yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan proses
pengadaan sendiri.
3 Swakelola
Tipe Baru
Bila pada Perpres No. 54 Tahun 2010 beserta
perubahannya kita mengenai 3 tipe swakelola,
maka pada Perpres PBJ no. 16 Tahun 2018
dikenal dengan 4 tipe swakelola. Tipe keempat
yang menjadi tambahan adalah Swakelola yang
dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti
ICW, dll.
4. Layanan
Penyelesaian
Sengketa
Kontrak
Melihat banyaknya masalah kontrak yang tidak
terselesaikan, bahkan sering berujung ke
pengadilan atau arbitrase yang mahal, maka LKPP
memberikan respon dengan membentuk Layanan
85
Pengadaan Penyelesaian Sengketa Kontrak yang akan diatur
lebih rinci didalam Perpres PBJ Baru. Layanan ini
diharapkan menjadi solusi untuk menyelesaikan
masalah pelaksanaan kontrak sehingga tidak perlu
harus diselesaikan di pengadilan
5. Perubahan
Istilah
Perpres PBJ Baru akan memperkenalkan istilah
baru dan juga mengubah istilah lama sebagai
penyesuaian dengan perkembangan dunia
pengadaan. Istilah baru tersebut diantaranya
adalah Lelang menjadi Tender, ULP menjadi
UKPBJ, Pokja ULP menjadi Pokja Pemilihan dan
K/L/D/I menjadi K/L/SKPD
6. Otonomi BLU
Untuk Mengatur
Pengadaan
Sendiri
Perpres PBJ Baru akan menekankan bahwa
BUMN/BUMD dan BLU Penuh untuk mengatur
tatacara pengadaan sendiri yang lebih sesuai
dengan karakteristik lembaga. Fleksilitas ini
dalam rangka untuk meningkatkan efisiensi dan
efektifitas pengadaan di BUMN/BUMD dan BLU
Namun demikian, hendaknya BUMN/BUMD dan
BLU dalam menyusun tatacara pengadaannya
tidak terjebak sekedar mengubah batasan
pengadaan langsung dan lelang dan secara
substansi tidak memiliki perbedaan yang
signifikan dengan Perpres Pengadaan Pemerintah
7. ULP menjadi
UKPBJ
Istilah ULP atau Unit Layanan Pengadaan yang
merupakan nama generic untuk menunjukan
organisasi pengadaan di K/L/D/I akan diubah
menjadi Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa.
8. Batas
Pengadaan
Langsung
Batas pengadaan langsung untuk jasa konsultansi
akan berubah dari Rp.50 juta menjadi Rp.100 juta,
sedangkan untuk pengadaan
barang/konstruksi/jasa lainnya tetap dinilai sampai
dengan Rp.200 juta
9. Jaminan
Penawaran
Jaminan penawaran yang dihapus oleh Perpres
No. 4 Tahun 2015 kembali akan diberlakukan
khusus untuk pengadaan konstruksi untuk
pengadaan diatas Rp.10 Milyar
86
10. Jenis Kontrak Jenis kontrak akan disederhanakan menjadi dua
jenis pengaturan saja, yaitu untuk
barang/konstruksi/jasa lainnya hanya akan diatur
kontrak lumpsum, harga satuan, gabungan, terima
jadi (turnkey) dan kontrak payung (framework
contract). Sedangkan untuk konsultansi terdiri dari
kontrak keluaran (lumpsum), waktu penugasan
(time base) dan Kontrak Payung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan IPDA RIDWAN, SH kanit
Tipikor Polres Pelabuhan Makassarmengatakan bahwa dalam pelaksanaan
penyidikan dan penyelidikan terkait dengan perkara korupsi yang ditangani
selama ini masih berpedoman kepada Perpres 54 Tahun 2010 yang telah
dirubah sebanyak empat kali hal tersebut berdasarkan ketentuan pasal 89
Perpres 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang / jasa pemerintah, untuk
pekerjaan persiapan yang dilaksanakan sebelum 1 juli 2018 tetap berpedoman
kepada Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahannya.
Menurut IPDA RIDWAN, SH, ada beberapa kendala yang kami
temukan dalam melakukan proses penyidikan kasus tindak pidana korupsi
pengadaan barang dan jasa pemerintah di Kota Makassar, yakni :
Dalam Dugaan Tindak Pidana Korupsi Rehabilitasi Kantor Otoritas Pelabuhan
Makassar berdasarkan laporan informasi Nomor : R –LI / 02 / II / 2016,
Tanggal 22 Februari 2016 dan telah dibuatkan Laporan Polisi Nomor : LP / 33
/ V / 2016/ SULSEL RESPEL MAKASSAR, tanggal 30 Mei 2016, atas nama
tersangka tersangka Sdr. “A” selaku PPK, Sdr. “TN”selaku Pemenang
Lelangdan Sdr. “AL” selaku Sub Kontrak, adapun kendala dari penanganan
kasus tersebut adalah :
87
1. Pihak BPKP PERWAKILAN SULAWESI SELATAN yang
melaksanakan Audit inversigasi dan perhitungan kerugian Negara yang
hanya melakukan perhitungan terhadap Kuantitas pekerjaan tanpa
memperhitungkan kwalitas barang yang di gunakan sehingga hasil
temuan kerugian negara hanya Rp. 5.005.909,12. Sebelumnya
berdasarkan hasil telaah BPKP Perwakilan Sulawesi Selatandiperoleh
temuan Rp.85.460.962.94,- disamping itu BPKP Perwakilan Sulawesi
Selatantidak menghitung Fee yang diserahkan oleh Sub Kontrak kepada
pemenang Lelang Rp. 25.000.000, serta pihak BPKP Perwakilan Sulawesi
Selatan tidak bersedia melakukan audit Ulang atau Audit tambahan.
2. Adanya pengembalian berkas perkara (P18) dan petunjuk (P19) dari
cabang kejaksaan negeri makassar pelabuhan yang berpendapat bahwa
kerugian Negara akibat dari pekerjaan sangat kecil yang mana
berpedoman kepada surat Edaran Jaksa Agung No. 1113 tertanggal 18
Mei 2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi yang berisi imbauan kepada
jajaran kejaksaan agar dalam kasus dugaan korupsi, kasus koruptor yang
dengan kesadarannya telah mengembalikan ”kerugian keuangan negara”
yang nilainya kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti
atau berlaku asas restorative justice.
Senada dengan Keterangan IPTU MUH SALEH, SE kanit Tipikor
Polrestabes Makassar menyampaikan bahwa dalam penanganan salah satu
Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Polrestabes Makassar atas pengadaan
tanah untuk pembangunan kampus II YPUP yang telah melanggar
88
prosedur yang mengakibatkan pembayaran pada orang yang tidak berhak
menerima ganti rugi yang mana telah menetapkan dua tersangka, BPKP
Perwakilan Sulawesi Selatan kembali dinilai lamban dalam melakukan
perhitungan kerugian Negara dan dalam melakukan Perhitungan Kerugian
Negara banyak berbeda dengan keterangan ahli yang telah di ajukan oleh
penyidik sehingga sehingga kasus tersebut belum rampung untuk diajukan
ke jaksa ponuntut umum.
Menurut KOMPOL SUPRIANTO, S.IKKasubdit IVTipikorPolda
Sulsel menyampaikan bahwa hal kendala yang hadapi oleh unit tipikor di
setiap Polres jajaran Polda Sulsel adalah Lambannya BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan dalam melakukan Audit Investigasi dan Perhitungan
kerugian Negara.
Disamping itu kendala lain Menurut KOMPOL SUPRIANTO,
S.IKyakni kurangnya pelaporan oleh masyarakat atas terjadinya suatu
tindak pidana korupsi meskipun peran masyarakat tersebut telah tertuang
pada pasal 41 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari hasil wawancara yang peneliti telah lakukan, ditemukan bahwa
kendala-kendala atau faktor penghambat dalam proses penyidikan tindak
pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Kota Makassar
adalah adanya perbedaan perhitungan antara pihak BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatandan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak Kepolisian
dalam proses penyidikan. Penyidik Polri berdasarkan hasil penyidikan dan
89
keterangan ahli serta alat bukti telah menemukan dugaan adanya kerugian
Negara yang kemudian meminta untuk melakukan perhitungan Kwalitas
dan kuantitas, namun oleh pihak BPKP Perwakilan Sulawesi
Selatanmelakukan perhitungan kuantitasnya saja sehingga temuan
kerugian Negara tergolong kecil. selain itu pihak BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan dinilai lamban dalam dalam melakukan audit Investigasi
serta adanya aturan kedalam BPKP Perwakilan Sulawesi Selatan yang
tidak membenarkan untuk dilakukan perhitungan ulang.
Selain itu pula hampir tidak adanya pelaporan oleh lembaga dan
masyarakat atas terjadinya tindak pidana korupsi serta jumlah personil
penyidik dan penyidik pembantu yang diberikan wewenang untuk
melakukan penyidikan dan penyelidikan Korupsi di kota makassar (table
3) terlihat masih sangat kurang dan belum memenuhi DSPP (daftar
susunan personil dan peralatan) sehingga berakibatkan kurang efektifnya
dalam melaksanakan penyelidikan dan penyidikan.
Hal lain yang juga turut menjadi kendala dalam proses penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik Polri adalah ketika berkas perkara
dilimpahkan ke Kejaksaan, namun oleh Jaksa menganggap bahwa
kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan
untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice. Hal
tersebut berpedoman pada surat Edaran Jaksa Agung bertanggal 18 Mei
2010 kepada seluruh Kejaksaan Tinggi. padahal telah secara gamblang di
bahas dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
90
pidana Korupsi pada pasal 4 yakni Pengembalian kerugian keuangan
Negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya pelaku
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertolak dari perumusan masalah dan uraian hasil penelitian dan
analisa yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dalam tesis ini
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Peluang besar terjadinya tindak pidana korupsi adalah di bidang
pengadaan barang dan jasa pemerintah, mulai dari tahap perencanaan
pengadaan sampai pada tahap penyerahan barang dan jasa pemerintah.
Di Indonesia, salah satu insitusi yang diberikan wewenang oleh
Undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
tindak pidana korupsi termasuk dalam kasus korupsi pengadaan barang
dan jasa pemerintah adalah Kepolisian. Hal ini berdasarkan pada Pasal
1 angka 4 jo angka 5 KUHAP, Pasal 1 angka 1 jo angka 2 KUHAP,
Pasal 14 ayat (1) huruf f dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang
No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
2. Penyidik Polri menemukan kendala-kendala dalam proses penyidikan
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah di Kota
Makassar, yakni :
a. Adanya perbedaan perhitungan antara pihak BPKP Perwakilan
Sulawesi Selatan dan saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak
Kepolisian yang melakukan proses penyidikan serta Lambanya
92
BPKP Perwakilan Sulawesi Selatan dalam melakukan audit
infestigasi dan perhitungan kerugian Negara dan adanya aturan
kedalam yang tidak memperbolehkan dilakukannya perhitungan
ulang.
b. Masih belum sesuainya penyidik dan penyidik pembantu yang
diberikan wewenang untuk melakukan penyidikan dan
penyelidikan korupsi di kota Makassar dengan Daftar susunan
personil dan peralatan (DSPP).
c. Hampir tidak adanya pelaporan tindak pidana korupsi oleh
masyarakat Kota Makassar.
d. Hal lain yang juga turut menjadi kendala dalam proses penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik Polri adalah ketika berkas perkara
dilimpahkan ke Kejaksaan, namun oleh Jaksa menganggap bahwa
kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu
dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas
restorative justice. Hal tersebut berpedoman pada surat Edaran
Jaksa Agung bertanggal 18 Mei 2010 kepada seluruh Kejaksaan
Tinggi.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan Peranan Polri Dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di Kota Makassar, Sebagai saran
dan rekomendasi dalam penulisan ini, penulis mempunyai pandangan sebagai
berikut :
93
1. Untuk mengoptimalkan proses penegakan hukum terhadap kasus
korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam proses
penyidikan, diharapkan agar Polri memiliki tim audit internal didalam
insitusinya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mencegah perbedaan
analisa audit kerugian negara oleh pihak BPKP Perwakilan Sulawesi
Selatan serta percepatan pemberantasan korupsi, selain itu perlunya
dilakukan penambahan personil penyidik dan penyidik pembantu di
setiap struktur komando (Polda dan Polresta/Polres).
2. Polri diharapkan melakukan Sosialisasi intensif ke masyarakat tentang
pentingnya informasi terjadinya tindak pidana korupsi serta koordinasi
sehat kepada Penuntut / kejaksaan guna menyelesaiakan dan
mempercepat kasus tindak pidana korupsi yang ditangani.
3. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah akan terus
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun sebagai
akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang ada. Oleh karena itu,
untuk mengatasinya diperlukan penguatan sistem pengawasan internal
dan eksternal, salah satunya melalui pengembangan sistem e-
procurement dan e-announcement, dimana semua proses
pelaksanaan pengadaan akan diinformasikan secara transparan dan
fair melalui pemanfaatan teknologi informasi, mulai dari
pengumuman rencana pengadaan, pengumuman lelang, peserta lelang,
dan pengumumam pemenang lelang, sehingga pihak-pihak terkait
dapat turut mengawasinya
94
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Achmad, 2008, Menguak Realitas Hukum, Kencana; Jakarta.
, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
Yarsif, Watampone, Jakarta.
, 2008, Menguak Tabir Hukum Edisi Kedua, Ghalia
Indonesia, Bogor Selatan.
Adji, Indriyanto Seno, 2009. Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana
Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : CV.Diadit Media,
Jakarta.
Adji, Indriyanto Seno dan Juan Felix Tampubolon.2001. Perkara HM Soeharto.
Multi Mediametri.
Adji, Oemar Seno. 1984. Hukum-Hakim Pidana. Cet.II. Jakarta: Erlangga.
, 1985. Hukum Pidana Pembangunan. Cet.I. Jakarta:
Erlangga.
, 1989. KUHAP sekarang.Cet.II. Jakarta: Erlangga.
Arief Barda Namawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Pidana
Dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta.
Amiruddin, 2010, Kompsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Gentar
Publishing, Yogyakarta.
Chaeruddin Dinar dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Aditama Bandung.
Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan humas, 2009 Buku Panduan Bagi KPPN
dan Bendahara Pemerintah Sebagai
Pemotong/Pemungut Pajak-pajak Negara. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan.
Indonesia Procerement Watch, 2005 Tool Kit Anti Korupsi Dalam Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah, Jakarta : Indonesia
Procerement Watch.
95
Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kristiana, Yudi, 2006, Independensi Kejaksaan Dalam Penyidikan Korupsi,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
Prodjodikoro,Wirjono, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco,
Bandung.
Sutedi, Adrian, 2008, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, Sinar Grafika; Jakarta.
Wiyono, R.2008, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Sinar Grafika; Jakarta.
Kuncoro, Agus, 2010, Cara Benar, Mudah dan Jitu Menang Tender Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah, PT. Wahyu Media; Jakarta.
Amirudin, 2010 Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Surachimin, 2011 Strategi dan Teknik Korupsi (mengetahui untuk mencegah),
Sinar Grafika; Jakarta.
Adolf Warouw. 1978. Pembinaan llmu Hukum Ekonomi Di PerguruanTinggi.,
Departemen Kehakiman. Badan Pembinaan
HukumNasional, Universitas Indonesia. Pusat Studi
Hukum dan Ekonomi.
PERUNDANG-UNDANGAN
Umbara, Citra 2002, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara”, Bandung.
UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.
UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209)
96
UU RINomor 20 Tahun 2001 atas perubahan UU RI No. 31 tahun 199 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PERATURAN PEMERINTAH
PP RI No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3250)
KEPMEN DAN PERKAP:
PeraturanKepalaKepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009
tentangPengawasan dan
PengendalianPenangananPerkaraPidana di
LingkunganKepolisian Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 429).
PeraturanKepalaKepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009
tentangPengawasan dan
PengendalianPenangananPerkaraPidana di
LingkunganKepolisian Negara Republik Indonesia (Berita
Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 429)
Kep. Menkeh. RI. No. M. 0l.PW.07.03 Tahun 1982
TentangPedomanPelaksanaan KUHAP
Kep. Menkeh. RI. No. M. 14.07.03. tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman
Pelaksanaan KUHAP
Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksaan Pengadaan Barang
dan Jasa Pemerintah.
Perpres RI No. 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa pemerintah.
Perpres RI No. 35 Tahun 2011 tentang perubahan atas Perpres RI No. 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa pemerintah.
Perpres RI No.70 Tahun 2012 tentang perubahan ke dua atas Perpres RI No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa
pemerintah.
Perpres RI No. 172 Tanum 2014 Tentang perubahan ke tiga atas Perpres RI No.
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang / Jasa
pemerintah.
97
Website :
Damang, SH,AliranUtilitarianisme, http://www.Negarahukum.com/hukum/aliran-
utilitarianisme.html, 2011, diakses Tanggal 05 April 2015
Pukul16.23 Wita
Deden Habibi AH Alfathimy, Sistem Negara Modern, 2010www. scribd.
com/doc/39960334/Sistem-Negara-Modem+ sistem+
negara+ moder, diakses Tanggal 6 April 2015Pukul 16.33
Wita
98
LAMPIRAN 1
99
LAMPIRAN 2
100
LAMPIRAN 3
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa di kota Makassar ?
2. Upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana korupsi pengadaan
barang dan jasa di kota Makassar?
3. Hambatan atau kendala kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana
korupsi pengadaan barang dan jasa di kota makassar?
4. Adakah penurunan atau peningkatan tindak pidana korupsi pengadaan barang
dan jasa di kota Makassar setiap tahunnya?
5. Sebutkan hukuman apa yang di dapatkan bagi pelaku tindak pidana korupsi
pengadaan barang dan jasa di kota makassar?
6. Apa yang di lakukan Penyidik polri untuk optimalisasi dalam memberantas
tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa di kota makassar?
101
LAMPIRAN 4
FOTO PENELITIAN
102
LAMPIRAN 5
BIODATA PENULIS
IDENTITAS PRIBADI
Nama : BESSE SUKMAWATI. Y.M.
JenisKelamin : Perempuan
Tempat/ TglLahir : Palopo, 1April 1994
Pekerjaan : AnggotaPolri
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
No HP : 085244304331
E-Mail : [email protected]
Alamat : Jl. Toa Daeng V No. 5. Makassar
ORANG TUA
Nama Ayah : H. Yusuf Hamzah, BA
Pekerjaan : Pelaut
Umur : 63 Tahun
Alamat : Jl. Anggrek Blok BB, No. 6. Palopo
Nama Ibu : Hj. AsmakManggani, S.Pd
Pekerjaan : A.S.N
Umur : 50 Tahun
Alamat : Jl. Anggrek Blok BB, No. 6. Palopo
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : SD 75Surutanga Palopo(2000-2006)
SMP : SMP Negeri 03Palopo(2006-2009)
SMA : SMA Negeri 04 Palopo(2009-2012)
Perguruan Tinggi : UniversitasSatria Makassar
S1 IlmuHukum (2013-2016)
UniversitasBosowa Makassar
S2 Ilmu Hukum (2017-2019)