Download - g Protein Makalah Apokyn
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit parkinson pertama kali dikemukakan oleh James Parkinson pada
tahun 1817 dalam sebuah essai mengenai Shaking Palsy. Penyakit parkinson
(PD) tersebar luas dengan prevalensi antara 100 sampai 250 kasus per 100.000
orang di Amerika Utara dan 17 per 100 di Cina (pada umur lebih atau sama
dengan 65 tahun). Angka prevalensi berhubungan dengan sosial ekonomi dari
penderita. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan prevalensi berhubungan
dengan umur dan jenis kelamin di mana pada peningkatan umur terjadi
peningkatan risiko dan angka penderita laki-laki lebih besar dari perempuan, yaitu
2,55 kali lebih besar dibanding perempuan (penelitian di Spanyol) sedangkan di
Inggris risikonya sekitar 1,55 kali dibanding perempuan.
Penyebab PD ditemukan disemua umur walaupun jarang terjadi pada
orang-orang di bawah 40 tahun dan rata-rata gejala mulai muncul pada umur 58-
60 tahun. PD terjadi pada orang-orang di seluruh dunia, namun muncul biasanya
pada orang-orang Eropa dibanding orang-orang Afrika. Orang-orang Asia Timur
mempunyai risiko yang sedang untuk terkena parkinson. Risiko parkinson lebih
tinggi di daerah rural dibanding daerah urban dan laki-laki terkena lebih banyak
dibanding wanita. Studi serupa menunjukkan bahwa parkinson pada pasien
dibawah 40 tahun kebanyakan karena pengaruh genetik.
Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif, disebabkan oleh degenerasi
(disfungsi dan kematian) neuron dalam otak yang memproduksi dopamin. Gejala-
gejala parkinson mulai muncul saat neuron di substantia nigra mati atau rusak.
Normalnya, sel-sel ini memproduksi dopamin yang mengirimkan sinyal dalam
otak untuk menghasilkan gerakan. Penderita parkinson kehilangan 80% atau lebih
produksi dopamin sejalan dengan gejala yang timbul. Hal ini menyebabkan
komunikasi antara otak dan otot menjadi lemah sehingga otak tidak mampu
mengatur gerakan.
1
Penyakit parkinson berhubungan dengan kekurangan dopamin. Kerja dopamin
berhubungan dengan reseptor dopamin, suatu reseptor yang tergandeng protein G
(G-Protein-Coupled Reseptor (GPCR). Penyakit Parkinson disebabkan karena
terjadinya degerenasi saraf dopaminergik. Karena itu, salah satu pendekatan
pengobatannya adalah dengan mengaktivasi reseptor dopamin dengan agonisnya.
Dalam makalah ini akan dibahas suatu obat yaitu APOKYN, suatu apoorfin, yang
bekerja sebagai agonis reseptor dopamin. Akan dijelaskan pula mekanisme kerja
APOKYN sampai aras molekuler.
B. Perumusan Masalah
Dalam makalah hal yang dirumuskan adalah: Bagaimana mekanisme kerja
APOKYN sebagai obat pada penyakit parkinson sampai aras molekuler?
C. Tujuan Penulisan
Mengetahui mekanisme kerja APOKYN sebagai obat pada penyakit parkinson
sampai aras molekuler.
2
BAB II
RESEPTOR TERGANDENG PROTEIN G
Pada tahun 1969, Martin Rodlell, et al., menyampaikan hasil penelitiannya
bahwa satu seri hormon, yang semuanya mengaktifkan adenilat siklase, ternyata
beraksi dengan cara berikatan dengan suatu reseptor spesifik yang tergandeng
dengan adenilat siklase intraseluler dalam suatu sistem transduksi. Interaksi antara
reseptor spesifik tersebut dengan protein target diperantarai oleh suatu protein
ketiga yang kemudian dikarakterisir sebagai heterotrimeric guanine nucleotide
binding protein atau disebut G-protein. Reseptor spesifik tadi kemudian disebut
G-Protein-Coupled Reseptor (GPCR) atau disebut juga reseptor tergandeng
protein G.
Reseptor tergandeng protein G, disebut juga reseptor metabotropik,
merupakan famili terbesar dari reseptor membran sel. Reseptor ini menjadi
mediator dari respons seluler berbagai molekul, seperti hormon, neurotransmitter,
dan mediator lokal. Reseptor tergandeng protein G merupakan satu rantai
polipeptida tunggal, yang keluar masuk menembus membran sel sampai tujuh kali
sehingga dikatakan memiliki tujuh transmembran. Dari bentuknya, reseptor
tergandeng protein G merupakan suatu rantai polipeptida tunggal yang melewati
membran sebanyak tujuh kali. Reseptor ini terutama mengaktivasi rangkaian
peristiwa yang mengubah konsentrasi satu atau lebih suatu molekul signaling
intraseluler atau yang disebut second messenger untuk menimbulkan respons
seluler. Beberapa second messenger yang terlibat dalam transduksi signal melalui
reseptor ini adalah siklik AMP (cAMP), protein kinase A (PKA), Diasil gliserol
(DAG), Inositol trifosfat (IP3), protein kinase C (PKC), dan kalsium (Ca++).
Protein G sendiri adalah suatu protein yang terdiri dari 3 rantai polipeptida
yang berbeda, yang disebut subunit , dan . Rantai dan membentuk
kompleks yang kuat, yang membuat protein G tadi tertambat pada permukaan
sitoplasmik membran plasma.
Jalur transduksi signal pada GPCR ada dua, yaitu jalur adenilat siklase dan
jalur fosfolipase. Suatu aktivasi GPCR akan melalui jalur adenilat siklase atau
3
fosfolipase, tergantung pada macam protein G yang terlibat. Berdasarkan aksinya,
protein G ada tiga jenis, yaitu :
1. Gs (stimulatory G protein), yang bekerja mengaktifkan enzim adenilat
siklase.
2. Gi (inhibitory G protein), yang bekerja menghambat enzim adenilat
siklase, dan
3. Gq, yang bekerja mengaktifkan fosfolipase pada jalur fosfolipase.
A. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Adenilat Siklase
Rangkaian peristiwa molekuler yang terjadi pada aktivasi reseptor GPCR
melalui jalur adenilat siklase adalah sebagai berikut :
1. Pada bentuk inaktif, protein G berada sebagai suatu trimer dengan GDP
yang terikat pada subunit . Pada kondisi ini semua subunit berada dalam
satu kompleks.
2. Jika suatu ligan atau neurotransmitter atau hormon berikatan dengan
GPCR, maka dimulailah proses signaling yang diawali dengan perubahan
konformasi reseptor yang melibatkan daerah sitoplasmik reseptor, yang
menyebabkan daerah sitoplasmik reseptor menjadi aktif terhadap protein
G. Selanjutnya, subunit G akan melepaskan GDP dan akan mengikat
GTP (terjadi pertukaran GDP-GTP).
3. Penggantian GDP menjadi GTP menyebabkan perubahan konformasi pada
subunit G. Subunit G yang terikat dengan GTP tersebut kemudian
terdisosiasi dari subunit menjadi subunit yang aktif, yang akan
mengaktifkan adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP.
4. Selanjutnya cAMP akan mengaktifkan PKA (cAMP-dependent Protein
Kinase) yang akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein targetnya dan
menimbulkan aktivitas.
Aktivasi adenilat siklase harus segera dihentikan agar tidak terjadi
produksi cAMP yang berlebihan. Untuk itu, GTP harus dihidrolisis menjadi GDP
sehingga subunit kembali ke konformasi semula yang tidak aktif. Selain itu
cAMP juga bisa didegradasi dengan bantuan enzim difosfoesterase.
Proses menghentikan proses signaling ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
4
1. G menghidrolisis GTP menjadi GDP + Pi. Dengan terikat pada GDP,
maka G akan kembali berikatan dengan kompleks, , sehingga aktivasi
adenilat siklase terhenti.
2. Selain itu, cAMP akan dihidrolisis menjadi AMP oleh enzim
fosfodiesterase.
Perubahan GTP menjadi GDP dan sebaliknya dikatalisis oleh enzim yang
disebut GAPs (GTPase Activating Proteins) dan GEFs (Guanine Nucleotide
Exchange Factors).
Jika ada senyawa yang dapat mengubah konformasi subunit sehingga
tidak dapat menghidrolisis GTP, maka akan terjadi perpanjangan aktivitas adenilat
siklase dan memperlama peningkatan kadar cAMP, yang dapat menimbulkan
respons yang tidak diinginkan. Hal ini seperti yang terjadi pada pasien kolera
yang disebabkan oleh bakteri. Toksin kolera mengubah subunit menjadi tidak
mampu menghidrolisis GTP. Akibatnya subunit tetap dalam bentuk aktifnya,
memicu adenilat siklase membentuk cAMP. Peningkatan kadar cAMP yang
diperlama menyebabkan efluks besar-besaran ion Na+ dan air ke dalam usus, yang
bertanggung jawab terhadap gejala diare yang parah pada pasien kolera.
Hal yang serupa terjadi pada pasien batuk rejan. Pertussis toxin (kuman
penyebab batuk rejan) dapat mengikat protein G, sehingga menyebabkan G
tidak bisa mengubah GDP menjadi GTP. Akibatnya jalur penghambatan adenilat
siklase disekat, dan efeknya adalah pemicuan perpanjangan pemicuan adenilat
siklase, yang bertanggung jawab terhadap refleks batuk yang terus menerus.
Siklik AMP (cAMP) bekerja mengaktivasi Protein Kinase A (PKA) atau
A-kinase, yang selanjutnya akan memfosforilasi banyak jenis protein dan
mengaktifkannya. Disebut protein kinase A karena aktivasinya diregulasi oleh
adanya cAMP. PKA berperan dalam regulasi enzim metabolisme, misalnya
metabolisme glukosa, dengan menstimulasi peruraian glikogen dan menghambat
sintesis glikogen sehingga meningkatkan/memaksimalkan ketersediaan glukosa
dalam sel.
Efek cAMP tidak boleh terlalu lama, karenanya sel harus mampu
mendefosforilasi protein yang telah terfosforilasi oleh A-kinase. Caranya adalah
dengan mendefosforilasi serine dan threonine yang terfosforilasi. Proses ini
5
dikatalisis oleh serine/threonine phosphoprotein phosphatase. Ada empat
kelompok protein phosphatase: I, IIA, IIB, dan IIC.
a. Protein phosphatase-I: berespons terhadap cAMP.
b. Protein phosphatase-IIA: tidak spesifik, mendefosforilasi protein-protein
yang difosforilasi oleh A-kinase, berperan dalam regulasi cell cycle.
c. Protein phospatase-IIB: disebut calcineurin teraktivasi oleh Ca++, mdan
terdapat dalam jumlah besar di otak.
d. Protein phosphatase-IIC: tidak begitu berperan.
B. Aktivasi GPCR Melalui Jalur Fosfolipase
Reseptor tergandeng protein G akan teraktivasi melalui jalur fosfolipase
jika tergandeng dengan protein Gq. Peristiwa molekuler yang mengawali aktivasi
melalui jalur ini sampai terbentuknya subunit yang aktif adalah sama dengan
pada jalur adenilat siklase, tetapi pada jalur ini, subunit yang aktif akan
mengaktivasi enzim fosfolipase C.
Enzim fosfolipase C selanjutnya bekerja menguraikan fosfatidil inositol
bisfosfat (PIP2), suatu senyawa fosfolipid di membrane sel, menjadi inositol
trifosfat (IP3) dan diasil gliserol (DAG). Keduanya berperan dalam transduksi
signal sebagai second messenger. Selanjutnya, IP3 akan berikatan dengan reseptor
spesifik pada retikulum endoplasmik (RE) yang terkait dengan kanal Ca++
memicu pelepasan Ca++ dari RE ke sitosol sehingga meningkatkan kadar Ca++
intraseluler.
Dari aktivasi reseptor melalui jalur fosfolipase, diperoleh beberapa second
messenger, yaitu DAG, IP3 dan Ca++. DAG memiliki dua peran dalam signaling,
yaitu dapat diurai lebih lanjut menghasilkan asam arakidonat, dan bersama-sama
dengan calcium mengaktivasi protein kinase C (C-kinase atau PKC). PKC
sendiri disebut demikian karena aktivitasnya tergantung pada calcium. PKC
bekerja dengan cara memfosforilasi bagian serine dan threonin pada banyak jenis
protein target, tergantung pada tipe selnya. Aktivitas PKC juga dapat
meningkatkan transkripsi gen tertentu. Sedangkan Ca++ sangat penting untuk
kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan eksositosis.
BAB III
6
RESEPTOR DOPAMIN
Dopamin adalah senyawa katekolamin yang penting pada otak mamalia,
yang mengontrol fungsi aktivitas lokomotor, kognisi, emosi, re-inforcement
positif, dan regulasi endokrin. Di perifer, dopamin turut mengatur fungsi
kardiovaskuler, sekresi hormon, tonus pembuluh darah, fungsi renal dan motilitas
gastrointestinal. Sistem dopaminergik menarik perhatian sejak lebih dari 30 tahun
yang lalu karena banyak terlibat dalam patofisiologi berbagai penyakit seperti
penyakit Parkinson, skizoprenia, dan hiperprolaktinemia.
Laporan pertama keberadaan reseptor dopamin pada sistem saraf pusat
datang pada tahun 1972 dari suatu studi biokimia yang menunjukkan bahwa
dopamin dapat menstimulasi adenilat siklase. Sejak itu reseptor dopamin mulai
banyak diteliti dan pada awalnya ditemukan dua subtipe reseptor dopamin yaitu
reseptor D1 dan D2. Selanjutnya setelah studi tentang kloning gen diperkenalkan,
ditemukan tiga lagi subtipe reseptor, yang kemudian digolongkan berdasarkan
kemiripannya ke dalam dua golongan besar yaitu keluarga reseptor D1 dan D2.
yang termasuk keluarga D1 adalah reseptor D1, dan D5, sedangkan yang
digolongkan keluarga reseptor D2 adalah reseptor D2, D3, dan D4. Semuanya
merupakan reseptor metabotropik.
Tabel I Sifat dan Peranan Reseptor Dopamin.Reseptor Agonis Antagonis G Protein yang
Terkait
Peranannya dalam Sistem Biologi
D1 SKF82958 SCH23390,
haloperidol
Gs Aktivasinya menyebabkan mual
dan muntah
D2 bromokriptin rakloprid, sulpirid Gi Terlibat dalam penyakit Parkinson,
skizoprenia, dan hiperprolaktemia
D3 quinpirol rakloprid Gi Mungkin mirip D2
D4 -- klozapin Gi Mungkin mirip D2
D5 SKF38393 SCH23390 Gs Masih diteliti, mirip D1
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar obat dapat berikatan dengan
semua tipe reseptor dopamin, tetapi dengan kekuatan yang berbeda-beda. Obat-
obat golongan antipsikotik seperti haloperidol, klorpromazin, dan klozapin,
7
berikatan lebih kuat dengan reseptor D2, yang memang terlibat dalam penyakit
skizoprenia. Perlu diketahui bahwa skizoprenia adalah penyakit gangguan
kejiwaan yang ditandai dengan gejala halusinasi, delusi, dan pikiran-pikiran yang
tidak terorganisir, yang sebagiannya disebabkan karena hiperaktivitas dopamin
pada jalur mesolimbik di otak.
Sebaliknya, pada pengobatan penyakit Parkinson, diperlukan obat agonis
reseptor dopamin, seperti bromokriptin. Obat lebih baru untuk agonis reseptor
dopamin adalah pergolid, pramipreksol, dan ropinirol. Penyakit Parkinson
merupakan penyakit yang ditandai dengan tremor, bradikinesia dan
ketidakseimbangan tubuh, yang disebabkan karena terjadinya degerenasi saraf
dopaminergik. Karena itu, salah satu pendekatan pengobatannya adalah dengan
mengaktivasi reseptor dopamin dengan agonisnya.
BAB IV
PENYAKIT PARKINSON
8
A. Pengaturan Gerakan oleh Otak
Banyak daerah didalam otak yang diperlukan untuk mengatur hal-hal yang
kompleks bahkan untuk gerakan otot terkecil. Sebagai contoh ketika berjalan, otak
pertama-tama harus menggabungkan semua informasi yang diperlukan mengenai
posisi tubuh kita (duduk, berbaring, berdiri), dimana kaki kita, apakah kita
setimbang. Otak harus tahu kemana kita akan pergi, apakah ke lapangan rumput
terbuka atau jalan yang ramai (informasi ini dikirim oleh mata kita ke otak).
Apakah jalan tersebut mudah dilalui atau dapat menyebabkan kita kehilangan
kesetimbangan karena otak memperoleh informasi berdasarkan apa yang
dirasakan oleh kaki kita. Informasi ini disusun oleh otak di daerah pusat otak yang
disebut striatum, yang mengontrol banyak aspek gerakan tubuh. Stratium bekerja
dengan daerah lain di otak, termasuk bagian yang disebut substansia nigra (SN),
untuk mengirim perintah keseimbangan dan koordinasi. Perintah ini berasal dari
otak menuju saraf tulang belakang melalui jaringan saraf ke otot yang akan
membantu untuk bergerak.
Keseluruhan sistem saraf dibentuk dari unit-unit individu sel saraf. Sel
saraf berfungsi sebagai jaringan komunikasi dalam tubuh kita. Untuk
berkomunikasi satu sama lain, sel saraf menggunakan berbagai messenger kimia
yang disebut neurotransmitter. Neurotransmitter membawa pesan diantara sel
saraf dengan menyeberangi jarak diantara sel yang disebut sinaps.
Gambar 1 Proses mekanisme komunikasi sistem syaraf
Neurotransmiter juga menyebabkan sistem saraf berkomunikasi dengan
otot tubuh dan menggerakkannya. Salah satu messenger yang penting adalah
dopamin yang dibentuk di substansia nigra. Substansia nigra merupakan daerah
9
yang kecil di otak di atas spinal cord. Substansi nigra merupakan salah satu pusat
yang mengontrol pergerakan. Daerah target utama pelepasan dopamin dari
substansia nigra disebut caudate dan putamen.
Dopamin penting bagi pergerakan manusia dan neurotransmiternya
membantu mengirimkan pesan ke striatum sehingga menginisiasi dan mengontrol
pergerakan dan keseimbangan kita. Dopamin ini menyebabkan otot bergerak
pelan, dibawah kontrol yang ketat tanpa gerakan yang tidak dikehendaki.
Ketika dopamin dibutuhkan, sel saraf yang memproduksi dopamin
mengisi dopamine packet yang ada didalamnya untuk diisi dengan partikel
dopamin. Packet ini membawa dopamin bergerak ke ujung sel saraf, membuka
“jendela” dan melepaskan partikel dopamin ke sinaps. Partikel dopamin
menyeberangi sinaps dan bergabung dengan kantong disebelah luar yang
berdekatan. Sel penerima dopamin distimulasi untuk mengirim pesan sehingga
dengan jalan yang sama pesan dapat menuju ke sel saraf berikutnya.
Gambar 2. Proses produksi dopamin dan stimulasinya
Setelah sel penerima distimulasi untuk membawa pesan, kantong tersebut
kemudian melepaskan kembali dopamin ke sinaps. Untuk koordinasi pergerakan
yang baik memerlukan dopamine dan selama kelebihan dopamin yang tidak
berikatan dengan kantong di sel penerima dihancurkan oleh substansi kimia di
sinaps, yang disebut MAO-B. Ini merupakan langkah yang penting dalam
mengontrol gerakan otot. Terlalu banyak atau terlalu sedikit dopamin dapat
10
mengganggu keseimbangan yang normal diantara sistem dopamin dan sistem
neurotransmitter lainnya serta mengganggu gerakan yang kontinyu.
Asetilkolin adalah sistem neurotransmiter lainnya yang bekerja dengan
konjugasi sistem dopamin untuk menghasilkan gerakan yang pelan. Beberapa sel
saraf di otak secara khusus menggunakan dopamin ataukah asetilkolin untuk
mengirim pesan yang berbeda.
Gambar 3. Dopamin yang berlebihan akan dihancurkan oleh MAO-B
B. Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson, tidak diketahui penyebabnya secara jelas, sel saraf di
bagian otak memproduksi dopamin (substansia nigra) berkurang jumlahnya. Ini
meyebabkan berkurangnya jumlah dopamin yang tersedia. Selain itu, MAO-B
menghabiskan dopamin yang tersedia, sehingga tidak tersedia dopamin di otak.
Hal ini merusak keseimbangan normal dopamin-asetilkolin karena jumlah
asetilkolin normal tetapi jumlah dopamin tidak cukup untuk menjaga
keseimbangan dengan asetilkolin. Oleh karena itu, ganglia basal dijaga dari
modifikasi jalur saraf yang mengontrol kontraksi otot. Sebagai hasilnya, otot
tegag terus, menyebabkan tremor, joint rigidity, dan gerakan lambat. Kebanyakan
obat yang digunakan meningkatkan jumlah dopamin di otak atau melawan kerja
asetilkolin.
11
Gambar 4. Perbedaan sistem koordinasi yang normal dengan pada keadaan PD
Pasien yang mengalami “shaking palsy” menunjukkan hilangnya
pengaturan otot, peningkatan kekakuan otot, penghambatan gerakan, dan tremor.
Neuron dopamin pada otak tengah menyampaikan sinyal yang mengatur fungsi
motorik dan sedikit fungsi lain seperti mood dan motivasi. Oleh karena itu
hilangnya sel saraf tersebut dapat menyebabkan munculnya gejala-gejala
parkinson. Dopamin adalah neurotransmiter yang menstimulasi neuron motorik.
Kekacauan yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama semakin parah) dan
mempengaruhi berbagai daerah di otak termasuk substantia nigra yang mengatur
keseimbangan dan gerakan. Bila produksi dopamin berkurang, sistem saraf
motorik tidak mampu mengatur gerakan dan koordinasi. Oleh karena itu
parkinson digolongkan sebagai movement disorder atau motor system disorder.
12
C. Penyebab
Penyebab dari parkinson adalah kerusakan pada sel otak pada bagian
substansia nigra (SN). Substansia nigra mengontrol banyak tipe dari pergerakan
otot dengan melepaskan neurotransmitter yang disebut dopamin. Neurotransmiter
merupakan agen kimiawi yang menyampaikan sinyal elektrik antarsel otak.
Dopamin diperlukan untuk membawa sinyal saraf dari sel otak yang satu ke
lainnya.
Parkinson pada anak-anak muncul ketika saraf tidak sensitif terhadap
dopamin, karena kerusakan pada daerah SN di sel otak. Parkinson pada anak-anak
jarang terjadi. Ketika sel otak mengalami kematian di SN, dopamin yang
dilepaskan menjadi tidak cukup. Tanpa dopamin, sinyal tidak dapat disampaikan
dari SN di sel otak ke bagian lain di otak. Perintah dari otak yang digunakan untuk
menggerakkan otot menjadi tidak terlaksana. Kegitan berjalan, menulis, mencapai
objek, dengan gerakan dasar lainnya menjadi tidak dapat dilakukan dengan tepat.
Otot-otot untuk pergerakan menjadi lebih lemah.
Peneliti belum dapat menemukan penyebab utama dari penyakit
Parkinson. Mereka belum tahu mengapa SN di sel otak bisa kehilangan
kemampuannya untuk memproduksi dopamin. Beberapa peneliti berpikir bahwa
penyakit ini adalah keturunan. Mereka percaya bahwa penyakit parkinson dapat
diturunkan dari generasi ke generasi. Peneliti lain berpikir bahwa faktor
lingkungan mungkin berpengaruh. Mereka percaya bahwa beberapa senyawa
kimia tertentu di sekitar kita dapat masuk ke dalam tubuh dan merusak SN di sel
otak.
Walaupun dasar penyakit parkinson secara seluler telah diketahui dengan
baik, mekanisme molekuler yang bertanggung jawab untuk neurodegenerasi
dopamin masih belum diketahui. Ada bukti bahwa faktor genetik dan komponen
lingkungan ikut terlibat. Perkembangan penyakit Parkinson pada suatu individu
tidak jelas, penyebabnya adalah kemungkinan kombinasi genetik dan faktor
lingkungan dan mungkin bervariasi antarindividu, walaupun belum ada yang
mengetahui kombinasi seperti apa yang terjadi. Meskipun penyebab dari
parkinson belum diketahui, peneliti telah mengidentifikasi faktor yang
13
berpengaruh terhadap perkembangan parkinson pada beberapa pasien. Berikut
informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh sebagai penyebab parkinson:
1. Genetik
Sekitar 15 sampai 25 % orang dengan parkinson mempunyai hubungan
dalam penyakit tersebut. Dalam studi epidemiologi yang lebih luas (studi meliputi
kejadian, distribusi dan kontrol penyakit tersebut dalam populasi), peneliti
menemukan bahwa individu yang mempunyai hubungan dengan generasi
pertama yang terkena parkinson (orangtua atau saudara kandung) mempunyai
risiko yang lebih besar yaitu sekitar 2-3 kali lipat terhadap perkembangan
penyakit parkinson dibanding populasi pada umumnya. Ini berarti bahwa jika
orang tua kita mempunyai penyakit parkinson, kemungkinan kita untuk terkena
penyakit parkinson lebih besar dibanding populasi pada umumnya. Di antara
keluarga yang mempunyai kasus parkinson, pola warisan berbeda tergantung dari
gen yang termutasi.
14
Gen yang terkait dengan penyakit Parkinson
Pada 1997, di sebuah kota kecil di Italia selatan, dilakukan penelitian
terhadap sejumlah keluarga yang mewariskan penyakit parkinson dari orang tua
kepada anaknya (pewarisan dominan), Ditemukan gen yang menyebabkan
pewarisan penyakit parkinson dan mengkode protein yang disebut α-synuclein.
Pada studi terhadap otak penderita parkinson yang telah meninggal, ditemukan
akumulasi protein yang disebut Lewy Bodies. Penelitan menunjukkan bahwa ada
sejumlah protein α-synuclein di Lewy Bodies penderita parkinson tak terwariskan
sebaik pada otak penderita parkinson terwariskan. Hal ini menyatakan bahwa α-
synuclein berperan penting di semua jenis penyakit parkinson.
Sejak 1997, ditemukan empat gen lainnya yang dinamakan parkin, DJ1,
PINK1, dan LRRK2. Parkin ditemukan pada individu yang saudara kandungnya
menderita parkinson tetapi orang tua mereka tidak menderita parkinson
(pewarisan resesif). Dimungkinkan gen ini terlibat pada penyakit parkinson
dengan onset yang terlalu awal (sebelum usia 30 tahun) atau pada pewarisan
dominan penyakit parkinson tetapi ini belum dapat dipastikan. LRRK2 terdapat
pada keluarga dengan pewarisan dominan. Dari tes genetik, Parkin terdapat pada
penderita Parkinson sebelum umur 30 tahun. PINK1 jarang menyebabkan
penyakit Parkinson terwariskan.
Mutasi pada gen LRRK2, PARK2, PARK7, dan SNCA menyebabkan
Parkinson. Gen GBA, SNCAIP, dan UCHL1 berhubungan dengan Parkinson.
Kebanyakan kasus parkinson diklasifikasikan secara sporadis dan berlangsung
pada orang dengan riwayat disorder yang tidak nampak dalam keluarganya.
Meskipun kasus ini tidak jelas, kasus sporadis kemungkinan merupakan hasil
gabungan dari interaksi kompleks antara lingkungan dan faktor genetik. Sekitar
15 % dari orang yang terkena parkinson mempunyai riwayat keluarga atas
disorder tersebut. Kasus ini terjadi karena mutasi pada gen LRRK2, PARK2,
PARK7, dan SNCA, atau pada penggantian gen-gen tersebut sehingga tidak dapat
dikenali. Mutasi pada beberapa gen tersebut juga memainkan peranan penting
dalam munculnya kasus yang sporadis tersebut.
Ini tidak sepenuhnya dipahami bahwa mutasi pada gen LRRK2, PARK2,
PARK7, dan SNCA dapat menyebabkan parkinson. Beberapa mutasi muncul
15
untuk mengganggu pembuatan protein di mana terjadi panghancuran pada protein
yang tidak diinginkan. Sebagai hasilnya, protein yang belum masak terakumulasi,
menyebabkan perusakan atau kematian pada neuron yang memproduksi dopamin.
Mutasi lain mungkin melibatkan mitokondria yaitu organel dalam sel yang
memproduksi energi. Sebagai produk samping dari produksi energi, mitokondria
menghasilkan molekul yang tidak stabil disebut radikal bebas yang dapat merusak
sel. Secara normal, sel dapat menetralkan radikal bebas tetapi beberapa gen
termutasi mungkin mengganggu proses penetralan tersebut. Sebagai hasilnya,
radikal bebas akan terakumulasi dan merusak atau membunuh neuron penghasil
dopamin.
Pada beberapa keluarga, penggantian gen GBA, SNCAIP, atau UCHL1
nampak sebagai modifikasi dari faktor yang menyebabkan berkembangnya
parkinson. Peneliti telah mengidentifikasi beberapa perubahan genetik yang
mungkin mereduksi risiko dari perkembangan parkinson, sedangkan gen yang lain
terlihat meningkatkan risiko terjadinya parkinson.
Penyakit parkinson diwariskan dari pola pendesakan aotusomal jika gen
PARK2, PARK7, atau PINK1 terlibat di dalamnya. Tipe dari pewarisan ini adalah
masing-masing sel mempunyai dua kopi dari gen termutasi. Seringnya, orang tua
dari individu yang mengalami pendesakan autosomal adalah karier dari proses
satu pengkopian dari gen termutasi tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda dan
simptom dari peristiwa disorder ini. Peningkatan resiko dari penyakit parkinson
atau parkinsonism dihubungkan dengan mutasi pada gen GBA yang diwariskan
dari pola pendesakan autosomal.
Mutasi SNCAIP dan UCHL1 diidentifikasi pada sedikit individu. Ini
masih belum jelas apakah mutasi ini berhubungan dengan panyakit Parkinson, dan
pola pewarisan belum diketahui. Salah satu penelitian mengenai hubungan antara
faktor genetis dengan parkinson dilakukan oleh Dr. Caroline Tanner. Pada studi
monozigot dan dizigot pada kasus kembar, menunjukkan bahwa ketika salah satu
saudara kembar mempunyai penyakit parkinson, perkembangan penyakit
parkinson pada saudara kembar yang lain lebih dapat teridentifikasi.
16
Penyebab utama dari Parkinson bukan semata-mata karena warisan, tetapi
peneliti menemukan beberapa gen yang dapat menyebabkan Parkinson pada
sebagian kecil keluarga. Beberapa dari gen ini termasuk dalam protein yang
mempunyai peranan dalam fungsi sel dopamin.
Penelitian terbaru, penyakit Parkinson tidak hanya disebabkan karena
faktor pewarisan, dan penelitian sekarang lebih ditujukan pada faktor risiko dari
lingkungan seperti infeksi viral dan neurotoksin. Bagaimanapun, keluarga yang
mempunyai riwayat yang positif parkinson berisiko peningkatan faktor risiko dari
parkinson, sebuah pandangan yang telah diumumkan tahun sebelumnya ketika
beberapa gen yang menyebabkan parkinson terpetakan dalam kromosom empat.
Mutasi dari gen ini diketahui berhubungan dengan beberapa keluarga yang
terkena parkinson. Produk dari gen ini, sebuah protein yang disebut α-synuclein,
sebuah fragmen yang diketahui menjadi konstituen dari penyakit Alzheimer.
Mutasi protein α-synuclein, yang ditemukan beragregasi di otak pasien parkinson,
menimbulkan sindrom parkinsonisme. Mutasi pada gen kedua yang disebut DJ-1
sebelumnya telah dihubungkan dengan pestisida paraquat dalam penelitian yang
tidak berhubungan pada sel stress dan spesies oksigen reaktif (ROS = Reactive
Oxygen Species), dan telah dihubungkan dengan toksisitas neuron dopamin.
Spesies oksigen reaktif adalah hasil samping molekuler dari metabolisme oksigen
yang bereaksi dengan komponen sel yang rusak seperti protein dan DNA, dan ada
bukti dari studi postmortem bahwa spesies oksigen reaktif memiliki peranan
dalam penyakit parkinson.
Bagian dari tantangan menguraikan kontribusi relatif dari semua
komponen pokok dari kesulitan dalam menemukan sebuah model yang dapat
menirukan secara tepat hilangnya sel dopamin. Dalam dua paper yang
dipublikasikan PloS Biology mangemukakan kasus bahwa model berdasarkan sel
stem embrionik tikus memberikan hasil yang menjanjikan untuk membedah
mekanisme parkinson. Bekerja dengan sel-sel tersebut, para peneliti melaporkan
bahwa sel yang defisiensi DJ-1 khususnya neuron dopamin yang defisien DJ-1
menunjukkan sensitifitas yang tinggi untuk oxydative stress.
Dalam paper pertama, untuk membuktikan hipotesis bahwa DJ-1
memperbesar respon seluler karena oxydative stress, Abeliovich membuat sel
17
stem embrionik kakurangan DJ-1 yang fungsional dan memaparkannya dengan
hidrogen peroksida, sebuah oksidator kuat. Dibandingkan dengan sel normal,
mutan DJ-1 menunjukkan tanda toksisitas yang lebih besar dan level yang lebih
tinggi dari sel yang mati. Kerusakan ini diperbaiki saat peneliti memperkenalkan
lagi protein pada mutan, yang membentuk responsibilitas DJ-1 untuk kerusakan
tersebut.DJ-1 melindungi dari kerusakan oksidatf, hasilnya menunjukkan tidak
melalui penghambatan akumulasi spesies oksigen reaktif yaitu hidrogen
peroksida, tapi dengan meringankan kerusakan yang dibuat.
Abeliovich kemudian menyelidiki fungsi DJ-1 pada neuron dopamin
dengan menginduksi mutan dan mengatur sel stem embrionik untuk
berdiferensiasi dalam kultur sel. Produksi dopamin secara signifikan berkurang
dalam kultur yang kekurangan DJ-1 dibandingkan dengan kultur kontrol. Seperti
sel stem embrionik yang kekurangan DJ-1, mutan dopamin DJ-1 mudah diserang
oxydative stress. Kekurangan DJ-1 menyebabkan berkurangnya sel saraf dopamin
untuk survival. Penghambatan aktivitas DJ-1 pada neuron dari otak tengah tikus
embrionik memberikan hasil yang sama.
Pada paper kedua, Abielovich menggunakan probe, basis moleluker dari
DJ-1. Ada beberapa jalur berkenaan dengan bagaimana fungsi DJ-1. Berdasarkan
homologi gen yang berhubungan, termasuk peranan potensial sebagai protein
molekuler chaperon. Protein chaperon muncul saat pelipatan atau pelipatan ulang
protein rusak, jadi memiliki peranan utama dalam respon seluler terhadap
oxydative stress. Abeliovich menemukan bahwa DJ-1 berperan sebagai molekul
chaperon yang tidak biasa yang secara spesifik diinduksi di bawah kondisi
oksidatif, berperan untuk mencegah agregasi protein seluler. Yang menarik, para
peneliti meneruskan untuk menunjukkan bahwa satu substrat DJ-1 aktivitasnya
sebagai α-synuclein, jadi menyediakan mekanisme yang mungkin yang
menghubungkan dua molekul yang terlibat dalam penyakit parkinson. Akhirnya,
hasil yang didapat mendukung adanya hubungan antara toksin yang diinduksi
kerusakan oksidatif dan penyakit, dan menyediakan sebuah jalur model untuk
mempelajari mekanisme molekuler dari penyakit neurodegeneratif.
2. Faktor lingkungan
18
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penyakit Parkinson mungkin
merupakan hasil dari pemaparan neurotoksin dari lingkungan dan infeksi viral.
Penelitian epidemiologi telah mengidentifikasi beberapa faktor yang mungkin
berhubungan dengan penyakit parkinson, termasuk penggunaan herbisida,
pemaparan dari pestisida, dan kombinasi logam berat (contoh: kombinasi dari
tembaga dan besi). Orang yang terpapar senyawa ini, memiliki kemungkinan yang
besar untuk terkena parkinson. Pemaparan dari toksin lingkungan, seperti
pestisida yang menghambat produksi dopamin dan memproduksi radikal bebas
(Reactive Oxygen Species) dan mengoksidasi penyebab kerusakan mungkin
termasuk salah satu faktor risiko. Ini mungkin bahwa radikal bebas-molekul
perusak yang potensial dan tidak stabil yang kekurangan elektron-berperan dalam
degenerasi sel yang memproduksi dopamin. Radikal bebas menambah elektron
dengan bereaksi dengan molekul di dekatnya dalam proses yang disebut oksidasi,
yang dapat merusak sel saraf. Agen kimiawi yang disebut antioksidan secara
normal melindungi sel dari tekanan oksidasi dan kerusakan. Jika aksi antioksidan
gagal dalam melindungi sel saraf yang memproduksi dopamin, maka akan terjadi
kerusakan, dan sebagai konsekuensinya penyakit Parkinson dapat berkembang.
Disfungsional dari mekanisme antioksidasi berhubungan dengan
peningkatan usia, di mana akselerasi dari perubahan yang disebabkan karena usia
dalam memproduksi dopamin mungkin menjadi salah satu faktor. Risiko
meningkat seiring bertambahnya umur, di mana parkinson biasanya terdapat pada
pertengahan atau tahun-tahun terakhir kehidupan. Orang di atas usia 60 tahun
mempunyai risiko 2-4 % untuk terkena parkinson, dibandingkan dengan 1-2 %
risiko pada kebanyakan orang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki
mempunyai risiko yang lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan, namun
alasan mengenai hal ini belum dapat diketahui.
Sejauh ini hanya sedikit senyawa kimia yang ditemukan dapat
menyebabkan gejala parkinson. Penelitian mengenai pengaruh faktor lingkungan
yang menyebabkan Parkinson mulai berkembang sejak awal 1980-an ketika suatu
agen heroin sintetik dapat menyebabkan parkinsonism intermediet maupun
permanen (lebih sering parkinson permanen) ketika diinjeksikan secara intravena.
Senyawa pertama yang ditemukan dalam agen tersebut adalah MPTP (1-metil-4-
19
fenil-1,2,5,6-tetrahidropiridin), sebuah komponon yang strukturnya mirip dengan
beberapa herbisida atau pestisida. Toksisitas dari MPTP terjadi karena
pembentukan ROS melalui hidroksilasi tirosin. MPTP kadang-kadang
ditambahkan dalam obat ilegal. Orang yang secara mengkonsumsi MPTP mulai
menunjukkan gejala Parkinson dalam beberapa jam. Toksin yang lain yaitu
mangan dapat menyebabkan anoksia otak.
Toksin yang lain adalah paraquat (herbisida) kombinasi dengan maneb
(fungisida), rotenone (insektisida), dan pestisida organoklorin yang spesifik
termasuk dieldrin dan lindane. Banyak penelitian menemukan peningkatan
penyakit Parkinson pada orang yang mengkonsumsi air di daerah pedesaan, yang
secara teoretis air konsumsi tersebut telah terpapari pestisida. Ini sependapat
dengan hipotesis yang menunjukkan hubungan antara dose-dependent dengan
peningkatan parkinson pada orang yang terkena senyawa kimia untuk pertanian.
Faktor lingkungan tidak begitu berguna dalam diagnosis dari parkinson
pada individu. Faktanya, tidak ada kesimpulan yang menyakinkan yang
menyatakan bahwa hanya faktor lingkungan saja yang menjadi penyebab dari
Parkinson. Bagaimnapun faktor lingkungan hanya membantu studi model
laboratorium dari parkinson. Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk
menegakkan adanya hubungan yang lebih konkret.
Hal yang menarik adalah adanya faktor lingkungan yang mengurangi
resiko dari parkinson. Faktor pertama yang paling konsisten dalam hubungannya
dengan penurunan risiko dari penyakit parkinson adalah merokok sigaret, yang
sudah ditunjukkan dengan beberapa studi. Hal ini tidak diketahui mengapa
merokok mempunyai efek proteksi secara alami. Walaupun demikian, efek negatif
dari merokok terhadap kesehatan sangat berbahaya, walaupun kelebihannya
sebagai pengurang faktor risiko terjadinya penyakit parkinson. Merokok bukan
strategi yang direkomendasikan untuk menghindari parkinson.
Konsumsi kafein juga berhubungan dengan pengurangan resiko dari
penyakit parkinson. Pada wanita, terapi penggantian hormon nampaknya
berhubungan dengan pengurangan kejadian pada wanita yang mengkonsumsi
sejumlah kecil dari kafein, tetapi mungkin beresiko pada konsumsi lebih dari lima
cangkir kopi sehari.
20
3. Trauma dikepala
Risiko orang yang mengalami trauma di kepala untuk terkena parkinson
lebih besar di banding populasi pada umumnya. Penelitian menunjukkan bahwa
orang yang mendapat luka di kepala empat kali lebih besar resiko untuk perkinson
dibanding orang yang tidak pernah mendapat ;luka di kepala. Walaupun trauma
kepala jarang terjadi namun kontribusinya terhadap penyakit Parkinson sangat
berarti.
4. Induksi obat
Antipsikotik yang digunakan untuk pengobatan schizophrenia dan
psychosis, dapat menginduksi gejala parkinson dengan menurunkan aktivitas
dopaminergik. Karena feedback inhibition, L-dopa dapat menyebabkan gejala dari
parkinson yang pada awalnya menurunkan. Agonis dopamin juga dapat
berkontribusi terhadap gejala parkinson dengan meningkatkan sensitivitas dari
reseptor dopamin.
Parkinson dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pada umumnya,
parkinson terjadi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun (disebut late onset).
Bila tanda-tanda dan gejalanya muncul sebelum usia 50 tahun disebut early onset.
Dalam banyak kasus parkinson, deposit protein yang disebut Lewy muncul saat
neuron yang memproduksi dopamin mati. Akan tetapi masih belum jelas apakah
protein Lewy memiliki peranan dalam membunuh sel saraf atau bagian dari proses
untuk mempertahankan diri.
Penyakit parkinson adalah penyebab parkinsonisme, sejumlah gangguan
pada gerakan yang memiliki kesamaan bentuk dan gejala. Penyakit parkinson juga
disebut parkinsonisme primer atau penyakit parkinson idiopatik (idiopatik berarti
tidak ada yang mengetahui penyebabnya dengan pasti). Walaupun sebagian besar
parkinsonisme bersifat idiopatik, ada beberapa kasus dimana gejala yang muncul
disebabkan karena toksisitas, obat, mutasi genetik, trauma, dan lain-lain.
C. Gejala
Penyakit parkinson dapat dikenali melalui gejala-gejala yang
ditimbulkannya. Gejala awal dari parkinson terjadi secara bertahap dan hampir
21
tidak kelihatan. Orang yang mengalami parkinson merasakan adanya sedikit
getaran, mengalami kesulitan saat berdiri dari kursi, bicaranya terlalu pelan,
kemampuan menulisnya melambat dan tulisannya tampak kecil, merasa lelah,
ataupun depresi tanpa alasan yang jelas. Gejala-gejala ini dapat terjadi untuk
waktu yang lama sebelum gejala yang nyata tampak.
Sejalan dengan perkembangan penyakit parkinson, getaran mulai tampak
pada kegiatan sehari-hari yang dilakukan dan berkembang sedemikian rupa,
disebut parkinsonian gait yang meliputi kecenderungan untuk
condong ke depan, langkah cepat (festinasi), berkurangnya
ayunan lengan, kesulitan untuk memulai gerakan, dan berhenti
secara tiba-tiba saat berjalan.
Gejala yang dialami oleh tiap pasien tidaklah selalu sama.
Tremor bisa menjadi gejala utama oleh sebagian orang
sementara untuk orang lain tremor hanyalah gejala minor. Gejala
penyakit parkinson seringnya dimulai pada salah satu sisi dari
tubuh. Walaupun begitu, sejalan dengan perkembangannya,
dapat mempengaruhi kedua sisi dari tubuh, dimana pada salah
satu sisinya kurang nyata dibanding sisi yang lain.
Gejala yang ditimbulkan dapat berupa motor symptoms maupun non-motor
symptoms. Pada motor symptoms, ada empat gejala motorik utama yang muncul
pada penyakit parkinson, yaitu :
a. Tremor . Getaran yang dimulai di tangan, lengan, rahang, atau wajah.
Getaran ini dapat menyebar, kadang hanya mempengaruhi satu sisi dari
badan. Tremor tampak nyata saat otot relaksasi atau saat penderita
mengalami stress, dan menghilang selama tidur atau saat otot bergerak
dengan sengaja.
b. Rigidity . Rigiditas disebut juga peningkatan muscle tone, yang berarti
kekakuan dari otot. Normalnya otot merenggang saat bergerak, dan relaks
saat istirahat. Pada rigiditas, muscle tone dari anggota gerak selalu kaku
dan tidak mengalami relaksasi. Contohnya seorang yang mengalami
rigidity tidak dapat mengayunkan tangannya saat berjalan karena ototnya
terlalu kaku.
22
c. Bradikinesia. Bradikinesia adalah keadaan dimana seseorang kehilangan
kemampuan untuk bergerak secara spontan, semua gerakan menjadi sangat
lambat dan tidak sempurna, sulit untuk memulai gerakan, dan tiba-tiba
berhenti bergerak, dan festinasi (langkah yang pendek dan kaku saat
berjalan).
d. Postural instability . Keseimbangan dan koordinasi menjadi terganggu,
cenderung untuk condong ke depan atau ke belakang, badan menjadi
bungkuk. Gejala ini dikombinasikan dengan bradikinesia meningkatkan
frekuensi jatuh oleh karena itu biasanya berjalan cepat dengan langkah
kecil-kecil untuk mengurangi frekuensi jatuh.
Selain keempat gejala di atas, ada gejala motorik lain yang terjadi pada
penyakit parkinson seperti gangguan cara berjalan dan postur tubuh, gangguan
bicara dan menelan, kelelahan, sulit untuk berguling, micrographia (tulisan
tangan menjadi kecil), sulit berdiri dari kursi, dan lain-lain.
Sedangkan pada Non-motor symptoms meliputi:
a. Depresi. Depresi terjadi pada awal munculnya penyakit parkinson, bahkan
sebelum gejala lain tampak. Depresi dapat diatasi melalui pengobatan
antidepresan.
b. Perubahan emosi . Beberapa orang yang menglami parkinson merasa takut
dan gelisah. Mungkin mereka merasa tidak dapat mengatasi situasi yang
baru, mereka tidak mau keluar atau bersosialisasi dengan teman-temannya,
beberapa kehilangan motivasi dan menjadi pesimis.
c. Kesulitan menelan dan mengunyah. Otot yang berperan dalam menelan
makanan, kerjanya menjadi kurang efektif. Makanan dan saliva
dikumpulkan dalam mulut dan masuk ke dalam tenggorokan sehingga
menyebabkan tersedak dan juga mengeluarkan air liur (drooling).
d. Perubahan bicara . Separuh penderita penyakit parkinson memiliki masalah
dengan bicara. Mereka bicara terlalu lembut (pelan) atau monoton, sulit
untuk mulai berbicara, mengulang kata-kata, atau bicara terlalu cepat.
23
e. Gangguan pembuangan urin maupun konstipasi . Pada beberapa pasien,
bladder dan konstipasi dapat terjadi sehubungan dengan fungsi yang
abnormal dari sistem saraf otonom yang bertanggung jawab terhadap
regulasi aktivitas otot polos. Konstipasi dapat terjadi karena saluran
intestinal bekerja lebih lambat, atau kurangnya cairan yang diminum.
f. Gangguan pada kulit. Kulit di wajah menjadi berminyak, tepatnya pada
dahi dan kedua sisi hidung. Kulit kepala juga dapat berminyak sehingga
menyebabkan munculnya ketombe. Pada kasus lain kulit bisa menjadi
sangat kering. Masalah ini juga disebabkan karena sistem saraf otonom
tidak dapat berfungsi dengan baik.
g. Gangguan tidur . Gangguan tidur biasa terjadi pada penderita parkinson,
meliputi sulit tidur pada waktu malam, mimpi buruk, drowsiness atau
mendadak tidur seharian.
h. Demetia atau gangguan kognitif . Beberapa penderita parkinson memiliki
masalah memori dan lambat berpikir. Pada beberapa kasus, masalah
kognitif menjadi makin parah, menuju suatu kondisi yang disebut demetia
yang dapat mempengaruhi memori, kemampuan bersosialisasi, bahasa,
dan kemampuan mental lain. Hingga saat ini belum ada cara untuk
menghentikan demetia, tetapi rivastigmin dan donepezil dapat mengurangi
gejala yang timbul.
i. Hipotensi ortostatik . Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah
secara tiba-tiba saat orang berdiri dari posisi berbaring. Hal ini dapat
menyebabkan pusing dan bahkan kehilangan keseimbangan. Pada penyakit
parkinson, masalah ini disebabkan karena hilangnya akhir saraf pada
sistem saraf simpatik yang mengatur detak jantung dan tekanan darah.
j. Disfungsi seksual . Penyakit parkinson menyebabkan disfungsi erektil
karena efeknya pada sinyal saraf dari otak atau karena sirkulasi darah yang
buruk. Penggunaan antidepresan juga dapat menyebabkan penurunan
fungsi seksual.
D. Diagnosis
24
Diagnosis penyakit Parkinson biasanya didasarkan pada gejala dan
pemeriksaan fisik, antara lain tremor, ekspresi wajah, dan penurunan angka
kedipan spontan. Namun, gejala mungkn sulit untuk diukur. Sebagai contoh
tremor mungkin tidak teramati pada pasien yang duduk tenang dengan lengan
berada di pangkuan. Perubahan bentuk tubuh mungkin sama dengan osteoporosis
atau perubahan karena pertambahan umur. Kekurangan dalam ekspresi wajah
mungkin terjadi karena depresi. Pemeriksaan fisik mungkin menunjukkan
“cogwheel rigidity” (pergerakan yang kaku), dan tremor pada parkinson. Refleks
biasanya normal.
. Pemeriksaan parkinson biasanya dilakukan secara klinis. Bagaimanapun
teknik yang modern dibutuhkan di masa mendatang untuk membedakan sindrom
Parkinson yang berbeda atau untuk diagnosis pre-klinis dari Parkinson. Sebagai
contoh dengan menggunakan “fluoro-dopa PET imaging”, yang dapat secara jelas
melihat perbedaan pada pasien Parkinson yang ditandai dengan dirusaknya uptake
fluoro-dopa pada daerah caudate dan putamen. PET images ditemukan oleh Dr
Paul Morrish dan Prof David Brooks, MRC PET Neuroscience Group, MRC
Clinical Sciences Centre, Hammersmith Hospital, London
Diagnosis penyakit parkinson didasarkan pada data klinik mengenai
tremor, kekakuan dan bradikinesia. Respon yang positif terhadap levadopa
mendukung diagnosis utama. Patologi utama dari Parkinson adalah kehilangan
saraf dopaminergik di substansia nigra dengan pancantuman intrasitoplasmik yang
tersisa, lengkap dengan saraf nigral. Molecular genetic testing dapat
mendiagnosis keberadaan dari mutasi gen PARK2, PINK1, DJ-1, dan LRRK2
(mutasi gen ini dapat menyebabkan Parkinson) secara klinis.
E. TERAPI PARKINSON
1. Agonis Dopamin
Agonis dopamin seperti bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirole,
cabergoline, apomorphine, dan lisuride cukup efektif. Masing-masing memiliki
efek samping seperti somnolence, halusinasi, ataupun insomnia. Agonis dopamin
mulai beraksi melalui stimulasi beberapa reseptor dopamin. Akan tetapi mereka
25
menyebabkan reseptor dopamin menjadi kurang sensitif secara progresif, dengan
cara demikian dapat meningkatkan gejalanya.
Agonis dopamin berguna untuk pasien yang mengalami fluktuasi dan
diskinesis sebagai hasil dosis yang tinggi dari L-Dopa. Apomorfin dapat diberikan
melalui injeksi subkutan. Apomorfin termasuk D1 dan D2 agonis, diberikan
secara injeksi subkutan, penggunaan obat ini menghasilkan masalah dengan
fluktuasi motorik dan terjadi 'on-off' fluctuations yang tidak dapat dengan mudah
diatasi dengan obat lain. Karena itu penggunaan obat ini harus diawasi oleh
specialist Parkinson's clinic.
2. Inhibitor MAO-B
Selegiline and rasagiline mengurangi gejala yang timbul dengan
menghambat monoamin oksidase-B (MAO-B),sehingga menghambat pemecahan
dopamin yang disekresikan saraf dopaminergik. Produk samping dari selegiline
meliputi amfetamin dan methamphetamine, yang dapat menimbulkan efek
samping seperti insomnia. Kegunaan L-Dopa dalam konjungsi dengan selegiline
meningkatkan angka kematian yang belum dijelaskan secara efektif. Efek
samping lain yang dapat ditimbulkan dalam kombinasi tersebut adalah stomatitis.
3. Levodopa
Gambar 5. Stalevo untuk terapi parkinson
Karena dopamin tidak dapat menembus blood brain barrier, sedangkan
prekursornya yaitu levadopa dapat menembus, maka secara umum digunakan
banyak bentuk dari L-dopa untuk terapi kekurangan dopamin. L-dopa diubah
menjadi dopamin pada saraf dopaminergik oleh L-asam amino aromatis
dekarboksilase (dopa-dekarboksilase). Bagaimanapun hanya 1-5 % dari L-dopa
yang masuk ke saraf dopaminergik. Karena adanya feedback inhibition, L-dopa
menghasilkan pengurangan dalam formasi L-dopa endogen sehingga menjadi
26
counterproductive. Namun karena L-dopa mengalami metabolisme periperal
menghasilkan efek samping (mual dan muntah) dan menurunkan pengiriman L-
dopa, biasanya dikombinasikan dengan peripheral decarboxylase inhibitor.
Contoh obatnya adalah Carbidopa (contoh: Sinemet), dan benserazide (contoh:
Madopar) yang merupakan dopa decarboxylase inhibitors. Mereka mencegah
metabolisme dari L-dopa sebelum mencapai saraf dopaminergik dan biasanya
digunakan dalam kombinasi keduanya.
4. Antikolinergik
Kategori obat berefek pada neurotransmitter lain di tubuh untuk mengatasi
beberapa gejala dari PD. Sebagai contah, obat antikolinergik yang menurunkan
aktivitas dari neurotransmitter asetilkolin. Obat ini mengurangi tremor dan
kekakuan otot yang dapat dihasilkan dari pemasukan asetilkolin lebih banyak
dibanding dopamin. Obat ini mempunyai efek antiparkinson yang lemah dan lebih
efektif untuk tremor. Obat ini seharusnya dihentikan secara perlahan untuk
mencegah rebound worsening dari gejala Parkinson.Contoh obat: Benzhexol
5. Antidepresan
Kategori dari obat-obat yang diresepkan untuk PD termasuk pengobatan
yang menolong kontrol dari gejala non-motorik dari PD. Sebagai contoh, orang
dengan PD sering dihubungkan dengan depresi, sehingga diresepkan antidepresan.
6. COMT inhibitors
Contoh: Tolcapone, Entacapone. Termasuk obat baru dan di Inggris Tolcapone
tidak digunakan lagi karena menyebabkan kerusakan hati. Mereka termasuk
COMT inhibitors (catechol-O-methyltransferase inhibitors) dan digunakan untuk
memperlama degradasi L-dopa. Penelitian lain menunjukkan bahwa mereka
mempunyai pengaruh dalam pengurangan on-off fluctuations dan dyskinesias.
27
7. Operasi Pembedahan
Pada awalnya pembedahan (neurosurgery) merupakan hal yang biasa,
namun sejak ditemukannnya levodopa, pembedahan hanya dilakukan pada sedikit
kasus. Pembedahan dilakukan untuk ornag dengan PD yang terapi obatnya tidak
mencukui dalam waktu lama. Deep brain stimulation sekarang banyak digunakan
untuk metode pembedahan, namun terapi pembedahan yang lain yang lebih
menjanjikan antara lain pembedahan pada subthalamic nucleus dan pada bagian
internal dari globus pallidus, prosedurnya disebut palidotomi.
Namun banyak terapi parkinson yang sukses tidak hanya dengan
pengobatan. Terapi yang mempengaruhi keberhasilan dalam pengobatan adalah
kondisi perawatan pasien, fisioterapi, terapi bicara (dengan Lee Silverman Voice
Treatment (LSVT)), diet dan olahraga fisik seperti yoga, tai chi, dan menari dapat
menjaga dan meningkatkan mobilitas, flesksibilitas, keseimbangan, dan
pergerakan dari pasien PD. Faktor lain yang berpengaruh pada pasien PD adalah
adanya dukungan emosional untuk pasien PD dari orang-orang di sekitarnya.
BAB V
APOKYN (apomorphine hydrochloride injection)
A. Deskripsi
APOKYN™ (apomorphine hydrochloride) ialah sebuah agonis dopamin
non-ergolin. Apomorfin HCl secara khemis didesain sebagai 6aβ-aporfin-10,11-
diol hidroklorid hemihidrat dengan rumus molekul C17H17NO2 • HCl • 1/2 H2O.
Struktur kimia dan berat molekulnya ialah:
28
Gambar 6. Struktur molekul apomorphine hydrochloride
Apomorfin HCl tampak sebagai kristal putih atau putih-keabuan
mengkilap atau seperti serbuk putih yang larut dalam air pada suhu 80°C.
APOKYN™ 10 mg/mL adalah larutan steril, jernih, tidak berwarna untuk injeksi
subkutan dan tersedia dalam ampul 2 mL dan cartridge 3 mL. Setiap mL larutan
mengandung 10 mg apomorfin HCl (apomorfin HCl hemihidrat pada USP) dan 1
mg sodium metabisulfit, NF pada air untuk injeksi, USP. Sebagai tambahan,
setiap mL larutan mungkin mengandung NaOH, NF dan/atau asam hidroklorida,
NF untuk mengatur pH larutan. Selain itu, cartridge mengandung 5 mg/mL benzil
alkohol.
APOKYN digunakan untuk injeksi hanya jika dibutuhkan dan hanya untuk
mengobati hilangnya kontrol gerakan tubuh pada manusia sebagai kelanjutan dari
penyakit parkinson. Kondisi ini juga disebut hipomobilitas atau episode
“kelumpuhan”. Episode kelumpuhan ini merliputi gejala seperti kekakuan otot,
pergerakan yang lambat dan kesulitan untuk bergerak. APOKYN mungkin akan
meningkatkan kemampuan untuk mengontrol gerakan ketika digunakan selama
periode “kelumpuhan”. Ini mungkin akan membantu dalam berjalan, berbicara
atau bergerak dengan lebih mudah. APOKYN tidak digunakan untuk mencegah
periode kelumpuhan. APOKYN tidak dapat menggantikan pengobatan lain pada
penyakit parkinson.
B. Mekanisme Aksi
29
Gambar 7. Struktur reseptor dopamin terkait G-protein
Reseptor dopamin termasuk sub famili reseptor G protein. Dopamin terikat
pada ‘binding groove’ yang berada pada ekstraseluler reseptor yang mengaktifkan
protein G, yang mana akan menginisiasi second messenger signalling pathways.
Efek downstream bisa menghambat atau menstimulasi, tergantung pada protein G
yang berhubungan dengan reseptor, dopamin D1, D5 berhubungan dengan
stimulasi protein G (Gs), sedangkan dopamine D2, D3, D4 berhubungan dengan
penghambatan protein G (Gi).
30
Gambar 8. Pembagian reseptor dopamin
Gambar 9. Mekanisme kerja agonis dopamin
Apomorfin merupakan agonis reseptor D-2. Artinya, mengaktivasi
reseptor tersebut. Reseptor dopamine D2 terikat dengan Gi, yang berdisosiasi dari
reseptor pada sisi ikatan agonis dan menghambat melalui mekanisme sinyal
31
second messenger maka dimulailah proses signaling yang diawali dengan
perubahan konformasi reseptor yang melibatkan daerah sitoplasmik reseptor, yang
menyebabkan daerah sitoplasmik reseptor menjadi aktif terhadap protein G.
Selanjutnya, subunit G akan melepaskan GDP dan akan mengikat GTP (terjadi
pertukaran GDP-GTP). Penggantian GDP menjadi GTP menyebabkan perubahan
konformasi pada subunit G. Subunit G yang terikat dengan GTP tersebut
kemudian terdisosiasi dari subunit menjadi subunit yang aktif, dan
menghambat adenilat siklase (AC) memproduksi cAMP. Dengan jumlah cAMP
yang kecil
Apomorfin hidroklorida merupakan agonis dopamin non-ergolin dengan
afinitas ikatan tinggi secara in vitro pada reseptor D4 (Ki = 4,4 nM), afinitas
sedang pada D2, D3 dan D5 (Ki = 35-83, 26, and 15 nM) dan reseptor adrenergik
α1D, α2B, α2C (Ki = 65, 66, and 36 nM), dan afinitas lemah pada reseptor
dopamin D1, reseptor serotonin 5HT1A, 5HT2A, 5HT2B, and 5HT2C (Ki = 370,
120, 120, 130, and 100 nM). Apomorfin tidak menunjukkan afinitas pada reseptor
adrenergik β1 and β2 atau reseptor histamin H1 (Ki > 10,000 nM).
Mekanisme aksi yang pasti dari Apomorfin sebagai terapi untuk penyakit
parkinson tidak diketahui, walaupun dipercaya merupakan aksi dari stimulasi
reseptor dopamin D2 pada post-sinaptik dalam caudate-putamen di otak.
Apomorifn telah dibuktikan meningkatkan fungsi motorik pada hewan model
penyakit Parkinson. Secara spesifik, apomorfin menurunkan defisit motorik yang
terinduksi oleh lesi pada jalur dopaminergik nigrostriatal yang menaik dengan
neurotoksin 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP) pada primata.
C. Dosis dan Cara Pemberian
Dosis dari APOKYN sebaiknya selalu diekspresikan dalam mililiter untuk
menghindari kebingungan. Dosis dari APOKYN yang efektif dan dapat
ditoleransi adalah 0,2 ml (2 mg) sampai 0,6 ml (6 mg). APOKYN diindikasikan
hanya untuk pemberian subkutan. APOKYN sebaiknya diberikan bersama dengan
antiemetik. Antiemetika yang umumnya digunakan adalah Trimethobenzamide.
Trimethobenzamide dengan dosis 300 mg secara oral harus diberikan dimulai 3
32
hari sebelum dosis inisiasi dari apomorfin diberikan dan dilanjutkan paling tidak
1-2 bulan dari terapi.
D. Farmakokinetika
Absorpsi. Apomorfin HCl adalah substansi lipofilik yang diabsorpsi dengan cepat
(waktu hingga kadar puncak antara 10-60 menit) setelah pemberian subkutan pada
abdomen. Setelah pemberian subkutan, Apomorfin menunjukkan bioavailibilitas
yang sama dengan pemberian intravena. Apomorfin menunjukkan farmakokinetik
linear pada rentang dosis 2-8 mg setelah pemberian injeksi subkutan dosis tunggal
pada abdomen pasien dengan penyakit Parkinson idiopatik.
Distribusi. Rasio kadar Apomorfin plasma terhadap total darah ialah satu. Rata-
rata volume distribusi ialah 218 L (rentangnya 123 – 404 L). Kadar maksimum
pada cairan serebrospinal ialah kurang dari 10% kadar maksimum plasma dan
terjadi setelah 10-20 menit kemudian.
Metabolisme dan Ekskresi. Rata-rata harga clearence ialah 23 L/jam (rentangnya
125 – 401 L/jam) dan rata-rata waktu paruh eliminasi ialah 40 menit (rentangnya 30
– 60 menit). Jalur metabolisme pada manusia tidak diketahui. Jalur yang mungkin
meliputi sulfatasi, N-demetilasi, glukuronidasi, dan oksidasi. Secara in vitro,
apomorfin mengalami autooksidasi dengan cepat. Pada populasi khusus, harga
clearence apomorfin ditunjukkan tidak dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
berat badan, durasi penyakit Parkinson, kadar levodopa dan durasi terapi.
Kerusakan Hati. Pada sebuah studi pembandingan subjek dengan kerusakan hati
(dirusak secara sedang seperti yang ditunjukkan oleh metode klasifikasi Child-
Pugh) dan relawan sehat, harga AUC0-∞ dan Cmax meningkat sekitar 10% dan 25%
setelah pemberian apomorfin dosis tunggal secara subkutan pada abdomen. Studi
pada subjek dengan kerusakan hati parah belum dilakukan
Kerusakan Ginjal. Pada sebuah studi pembandingan subjek dengan kerusakan
ginjal (dirusak secara sedang seperti yang ditunjukkan oleh perkiraan clearance
kreatinin) dan relawan sehat, harga AUC0-∞ dan Cmax meningkat sekitar 16% dan
50% setelah pemberian Apomorfin dosis tunggal secara subkutan pada abdomen.
Waktu rata-rata hingga kadar puncak dan waktu paruh eliminasi apomorfin tidak
dipengaruhi keadaan ginjal. Studi pada subjek dengan kerusakan ginjal parah
33
belum dilakukan. Dosis pemberian awal untuk pasien dengan kerusakan ginjal
ringan atau sedang harus dikurangi.
D. Interaksi Obat.
Carbidopa/levodopa; farmakokinetik levodopa tidak berubah ketika
apomorfin dan levodopa diberikan bersama-sama secara subkutan pada pasien.
Tetapi, perbedaan respon motorik terlihat signifikan. Kadar awal levodopa yang
penting untuk respon motorik yang lebih baik turun secara signifikan,
menyebabkan peningkatan durasi efek tanpa perubahan pada respon maksimal
terapi levodopa. Interaksi obat:
a. Antagonis 5HT3. Dilaporkan bahwa terjadi hipotensi, dan kehilangan
kesadaran ketika apomorfin diberikan dengan ondansetron. Penggunaan
apomorfin dengan golongan antagonis 5HT3 (seperti) adalah
kontraindikasi.
b. Antagonis dopamin. Karena apomorfin merupakan agonis dopamin, maka
ada kemungkinan bahwa antagonis dopamin seperti neuroleptik
(phenothiazines, butyrophenones, thioxanthenes) atau metoklopramide
dapat menurunkan keefektifan dari Apokyn. Pasien dengan kelainan
psychotic yang berat, sebaiknya pengobatan dengan agonis dopamin hanya
jika potensi manfaatnya lebih besar dari resikonya.
c. Obat dengan interval Qt/Qtc yang panjang karena dapat berpotensi
terjadinya efek proaritmia
d. Interaksi dengan tes laboratorium. Belum diketahui adanya interaksi antara
apomorfin dengan uji laboratorium
e. Karsinogenesis, mutagenesis, gangguan pada fertilitas. Apokyn tidak
bersifat karsinogenik. Apomorfin bersifat mutagenik secara in vitro pada
bakteri menggunakan Ames test, pada mammalian mouse lymphoma assay
(in vitro), pada chromosomal aberration assay (in vitro), dan pada mouse
lymphoma assay (in vitro). Akan tetapi apomorfin tidak bersifat mutagenik
pada in vivo micronucleus assay pada mencit.
APOKYN jangan digunakan bagi pasien alergi terhadap APOKYN atau
pada beberapa bahan yang terkandung di dalamnya. APOKYN juga berisi suatu
34
sulfit yang disebut metabisulfit. Sulfit dapat menyebabkan efek yang hebat yaitu
reaksi alergi yang bisa mengancam hidup beberapa orang-orang terutama pada
penderita asma.
Sebelum menggunakan APOKYN, pasien wajib berkonsultasi dengan
dokter mengenai semua kondisi-kondisi medis, termasuk jika pasien sering
pusing, sering pingsan, mempunyai tekanan darah rendah, mempunyai asma,
alergi terhadap obat sulfit atau sulfa, mempunyai gangguan hati, mempunyai
gangguan ginjal, mempunyai gangguan jantung, pernah menderita stroke atau
gangguan lainnya pada otak, pernah mengalami gangguan jiwa atau disebut
penyakit asychatic, peminum alkohol, sedang hamil atau berencana untuk hamil
(diketahui bahwa APOKYN bisa menyebabkan janin anda terganggu), sedang
menyusui (diketahui bahwa APOKYN dikeluarkan lewat air susu dan bisa
membahayakan bayi). Mengenai semua obat yang pernah digunakan, termasuk
obat resep dan tanpa resep, vitamin, suplemen herbal. APOKYN dan obat-obatan
tertentu saling berinteraksi satu sama lain, dan meyebabkan efek samping yang
serius. Ini terjadi khususnya ketika pasien menggunakan obat tertentu yang
disebut “vasodilator” dengan beberapa obat lain yang menurunkan tekanan darah
atau pemakaian obat lain yang membuat mengantuk.
APOKYN digunakan harus diinjeksikan hanya di bawah kulit (subkutan)
dan bukan ke dalam vena. Jangan menginjeksikan APOKYN kecuali telah ada
diskusi antara pasien dan dokter dan keduanya paham akan semua petunjuknya.
Selama mengkonsumsi APOKYN, harus diperhatikan hal-hal berikut:
a. Jangan minum alkohol selama Anda menggunakan APOKYN. Alkohol
yang digunakan bersamaan dengan APOKYN dapat menyebabkan efek
samping yang buruk.
b. Jangan mengkonsumsi obat yang membuat mengantuk ketika memakai
APOKYN.
c. Jangan mengemudi kendaraan, mengoperasikan mesin, atau melakukan
apapun yang mungkin akan menyebabkan gangguan hati. APOKYN dapat
menyebabkan pusing atau pingsan.
d. Jangan mengubah posisi tubuh terlalu cepat. Jadi, ketika bangun dilakukan
secara perlahan dari posisi duduk atau berbaring. Ini karena APOKYN
35
dapat menurunkan tekanan darah dan menyebabkan kepeningan atau
pingsan.
Efek samping yang mungkin timbul karena APOKYN
a. Gangguan hati . Segera hububgi dokter atau bantuan gawat darurat jika
mengalami pernapasan yang cepat, detak jantung yang cepat, atau dada
sakit/sesak ketika memakai APOKYN.
b. Mual dan muntah . Mual dan muntah dapat terjadi selama pemakaian
APOKYN. Katakan kepada dokter mengenai obat yang biasa dikonsumsi
untuk mencegah mual dan muntah. Beberapa pasien ada yang tidak
mengalami mual dan muntah lagi setelah menggunakan Apokyn selama
beberapa kali. Namun ada juga beberapa pasien yang tetap merasa mual
dan muntah selama memakai Apokyn.
c. Mengantuk atau tertidur sepanjang hari . Beberapa pasien yang memakai
Apokyn mungkin akan mengantuk sepanjang hari atau tertidur tiba-tiba
ketika sedang melakukan aktivitas sehari-hari seperti berbicara, makan,
atau mengemudi kendaraan.
d. Jatuh . Perubahan yang terjadi pada PD dan pengaruh dari beberapa obat
penyakit parkinson, dapat meningkatkan risiko untuk jatuh. Apokyn dapat
juga meningkatkan risiko ini.
e. Gerakan tiba-tiba yang tak terkontrol ( dyskinesia s). Sebagian orang
dengan kasus PD secara tiba-tiba akan mengalami pergerakan yang tak
terkontrol setelah berobat dengan beberapa obat PD. Apokyn dapat
menyebabkan atau menambah buruk efek ini.
f. Kepeningan/Pusing . Apokyn dapat menurunkan tekanan darah dan
menyebabkan kepeningan. Efek ini biasa terjadi ketika pemakaian awal
obat Apokyn atatu ketika dosis Apokyn dinaikkan. Dengan pusing, akan
ada beberapa gejala lain yang terjadi, seperti mual, pingsan, dan kadang-
kadang berkeringat dingin. Jangan bangun terlalu cepat dari posisi duduk
atau posisi berbaring untuk sementara waktu.
g. Halusinasi . Apokyn menyebabkan halusinasi (melihat atau mendengar
sesuatu yang tidak nyata) pada beberapa orang.
36
h. Depresi . Beberapa orang mengalami depresi selama penggunaan Apokyn.
i. Sakit kepala.
j. Reaksi lokasi suntikan . Di lokasi suntikan bisa terjadi rasa sakit,
kemerahan, ngilu, lebam atau bengkak, atau gatal-gatal. Untuk membantu
pengurangan efek ini dilakukan dengan mengubah lokasi suntikan dengan
masing-masing suntikan dan meletakkan es sebelum dan setelah suntikan.
Apokyn dapat juga menyebabkan luka menjadi lebar, hidung berlendir,
pembengkakan pada tangan, lengan, paha, dan kaki
F. Studi Klinik
Efektivitas APOKYN pada terapi hipomobilitas akut simtomatis yang
berulang, dikaitkan dengan penyakit Parkinson dikembangkan melalui tiga uji
acak terkendali. Rata-rata, pasien yang berpartisipasi pada uji ini telah mengidap
Parkinson selama 11,3 tahun dan sedang diterapi dengan L-dopa dan setidaknya
satu obat lainnya, biasanya agonis dopamin oral. Satu dari tiga studi ini dilakukan
pada pasien yang tidak diterapi dengan apomorfin sebelumnya dan dua studi
lainnya pada pasien dengan terapi apomorfin setidaknya selama 3 bulan. Hampir
semua pasien tanpa terapi apomorfin sebelumnya mulai menggunakan sebuah
antiemetik (trimethobenzamide) tiga hari sebelum memulai terapi apomorfin.
Setelah terapi apomorfin, 50% pasien mampu menghentikan penggunaan
antiemetik secara bersama-sama, rata-rata 2 bulan setelah memulai terapi
apomorfin.
Perubahan pada Part III (Motor Examination) dari Unified Parkinson’s
Disease Rating Scale (UPDRS) menjadi tolak ukur utama pada tiap studi. Part III
dari UPDRS mengandung 14 item yang didisain untuk mengukur tingkat
keseriusan dari cardinal motor findings (tremor, kekakuan, bradikinesia,
instabilitas postur, dll) pada pasien dengan penyakit Parkinson. Uji pertama
menggunakan disain paralel, mengambil secara acak 29 pasien dengan penyakit
Parkinson serius untuk menggunakan apomorfin secara subkutan atau placebo
dengan rasio 2:1. Pasien tidak diterapi dengan apomorfin sebelumnya. Pada office
setting, hipomobilitas dibiarkan terjadi dengan tidak memberikan terapi penyakit
Parkinson pada pasien selama satu malam. Pagi berikutnya, pasien (pada keadaan
37
hipomobilitas) diberi placebo atau 2 mg apomorfin untuk studi terapi, dan diberi
dosis meningkat setelah setidaknya 2 jam, hingga sebuah respon terapi yang kira-
kira sama dengan respon pasien pada penggunaan levodopa dengan dosis biasanya
terlihat (atau hingga 10 mg apomorfin atau placebo ekivalen diberikan). Pada
setiap peningkatan dosis, kadar obat ditingkatkan 2 mg atau 0,2 mL (menjadi 4
mg, 6 mg, 8 mg, 10 mg apomorfin) atau placebo yang ekivalen. Dari 20 pasien
yang diberi apomorfin, 18 diantaranya memperoleh respon terapi yang ekivalen
dengan respon pada dosis biasa levodopa setelah 20 menit. Dosis rata-rata
apomorfin ialah 5,4 mg (3 pasien pada 2 mg, 7 pasien pada 4 mg, 5 pasien pada 6
mg, 3 pasine pada 8 mg dan 2 pasien pada 10 mg). Kontras dengan 9 pasien yang
diberi placebo, tidak ada satu pun yang mencapai respon tersebut. Harga rata-rata
perubahan untuk UPDRS Part III pada dosis terbaik ialah 23,9 dan 0,1 untuk
apomorfin dan placebo (p < 0,0001).
Uji kedua menggunakan disain crossover, mengambil secara aak 17 pasien
yang telah menggunakan apmorfin selama setidaknya 3 bulan. Pasien menerima
dosis pagi seperti biasanya dari terapi Parkinson dan dibiarkan hingga terjadi
hipomobilitas, dimana lalu diberikan dosis tunggal apomorfin atau placebo secara
subkutan (pada dosis biasanya). Harga UPDRS Part III lalu dievaluasi. Dosis
rata-rata apomorfin ialah 4 mg (2 pasien pada 2 mg, 9 pasien pada 3 mg, 2 pasien
pada 4 mg, 1 pasien masing-masing pada 4,5 mg, 5 mg, 8 mg dan 10 mg). Harga
rata-rata perubahan UPDRS Part III pada menit ke-20 ialah 20,0 dan 3,0 untuk
grup apomorfin dan placebo (p < 0,0001). Uji ketiga menggunaka disain paralel,
mengambil secara acak 62 pasien yang telah menggunakan apomorfin selama
setidaknya 3 bulan. Pasien diacak dengan rasio 2:1 (aktif : placebo) untuk satu
dari empat grup dan diberi sekali dosis. Grup-grup itu adalah: apomorfin paa dosis
biasa, placebo pada volume yang sesuai dengan dosis apomorfin biasa, apomorfin
pada dosis biasa + 2 mg (0,2 mL) atau placebo pada volume sesuai dengan dosis
apomorfin biasa + 2 mg. Pasien menerima dosis pagi biasa dari terapi Parkinson
dan dibiarkan hingga terjadi hipomobilitas, dimana pasien diberikan perlakuan
yang berbeda-beda secara acak. Harga rata-rata perubahan UPDRS Part III pada
ment ke-20 setelah pemberian ialah 24,2 dan 7,4 untuk grup apomorfin dan grup
placebo yang dibagi sebelumnya (p < 0,0001).
38
Grafik berikut menggambarkan harga perubahan rata-rata UPDRS motorik vs
waktu setelah pemberian apomorfin dan placebo (yang dikelompokkan)
sebelumnya
Grafik 1 Harga perubahan rata-rata UPDRS motorik vs waktu setelah pemberian apomorfin dan
placebo
Pada uji ke-3 ini, dibandingkan pasien yang secara acak diberi apomorfin pada
dosis biasa (dosis rata-rata sekitar 4,5 mg) dan pasien yang secara acak diberi
apomorfin + 2 mg (dosis rata-rata sekitar 6 mg). Harga rata-rata perubahan
UPDRS Part III pada menit ke-20 setelah pemberian ialah 24 dan 25. Ini
menggambarkan bahwa pasien yang diterapi dalam waktu lama pada dosis 4 mg
mungkin memperoleh sedikit keuntungan dari penambahan 2 mg dosis. Ada
sedikit peningkatan kejadian berbahaya pada pasien yang secara acak diberi
apomorfin + 2 mg.
Indikasi dan Penggunaan
APOKYN™ (injeksi apomorfin HCl) diindikasikan untuk hipomobilitas
akut atau berkala, “off” episodes terkait dengan penyakit Parkinson serius.
APOKYN telah diteliti sebagai sebuah kombinasi untuk terapi obat lainnya.
Kontraindikasi
Berdasarkan laporan ditemukannya kasus hipotensi dan kehilangan
kesadaran ketika apomorfin diberikan bersama-sama ondansetron, penggunaan
bersama apomorfin dan obat golongan antagonis 5HT3 (misal: ondansetron,
39
dolasetron, palonosetron dan alosetron) merupakan suatu kontraindikasi.
APOKYN juga tidak boleh digunakan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas terhadap obat dan kandungan lainnya (antara lain sodium
metabisulfit).
Peringatan
Hindari pemberian secara intravena. Efek berbahaya (seperti kristalisasi
apomorfin, menyebabkan pembentukan thrombus dan emboli paru-paru) telah
terjadi setelah pemberian apomorfin secara intravena. Jadi, apomorfin tidak boleh
diberikan secara intravena.
Efek berbahaya signifikan yang dijelaskan di bawah telah dilaporkan
dalam hubungannya dengan penggunaan apomorfin secara subkutan, tetapi
hamper semua terjadi pada studi tidak terkontrol. Pada program pengembangan,
data uji terkontrol melibatkan sedikit pasien dan utamanya memeriksa efek-efek
dari pemberian dosis tunggal. Karena banyaknya kejadian ini pada populasi pasien
dengan penyakit Parkinson tidak diketahui, sulit untuk memperkirakan peran
apomorfin dalam akibat berbahayanya.
Mual dan Muntah
Pada semua dosis apomorfin yang direkomendasikan, mual dan muntah
serius dapat terjadi. Karena itu, pada sudi klinik domestic, 98% pasien diterapi
dengan antiemetik, trimethobenzamide tiga hari sebelum penggunaan apomorfin
dan disarankan untuk diteruskan penggunaannya selama paling tidak enam
minggu. Dari 522 pasien yang diterapi, 262 (50%) berhenti menggunakan
trimethobenzamide selagi tetap menggunakan apomorfin. Waktu rata-rata hingga
berhenti menggunakan trimethobenzamide ialah dua bulan (berkisar antara 1 hari
-33 bulan). Dari 262 pasien yang berhenti menggunakan trimethobenzamide, 249
pasien tetap menggunakan apomorfin tanpa trimethobenzamide untuk durasi rata-
rata satu tahun (berkisar antara 0-3 tahun). Walaupun dengan penggunaan
trimethobenzamide pada uji klinik, 31% pasien tetap merasakan mual dan 11%
pasien mengalami muntah-muntah. Pada ujui klinik, 3% pasien berhenti
menggunakan apomorfin karena mual dan 2% berhenti karena muntah-muntah.
Pada pengembangan domestik apomorfin, tidak ada pengalaman dengan
antiemetik lainnya. Beberapa antiemetik dengan aksi antidopamin memiliki
40
potensi untuk memperburuk kondisi klinis pasien dengan penyakit Parkinson dan
harus dihindari.
Pingsan
Pada uji klinik, sekitar 2% dari pasien mengalami pingsan karena
penurunan tekanan darah.
Perpanjangan QT dan Pontesi Efek Proaritmia
Pada sebuah studi dimana pasien menerima apomorfin dosis tunggal
meningkat dari 2 hingga 10 mg (jika ditoleransi) atau placebo, perbedaan rata-rata
QTc antara apomorfin dan placebo seperti yang diukur oleh Holter monitor ialah
0 msec pada 4 mg, 1 msec pada 6 mg, dan 7 msec pada 8 mg. Terlalu sedikit
pasien yang menerima dosis 10 mg untuk dapat mengkarakterisasiperubahan
interval QTc pada dosis tesebut. Pada uji terkontrol dimana pasien diberikan
placebo atau apomorfin dosis tunggal (dosis rata-rata 5,2 mg; berkisar dari 2-10
mg dengan 30 dari 35 pasien menerima dosis 6 mg atau kurang), beda rata-rata
antara apomorfin dan placebo pada perubahan QTc sekitar 3 msec pada 20 dan 90
menit. Pada data total, 2 pasien (satu pada 2 dan 6 mg, satu pada 6 mg)
menunjukkan peningkatan QTc yang besar (> 60 msecs dari pre-dosis) dan
memiliki interval QTc lebih dari 500 msecs secara akut setelah pemberian. Dosis
6 mg atau kurang seperti yang telah dijelaskan, dikaitkan dengan peningkatan
QTc minimal. Dosis di atas 6 mg tidak memberikan keuntungan klinis dan tidak
direkomendasikan.
Beberapa obat yang memperpanjang interval QT/QTc dikaitkan dengan
terjadinya torsades de pointes dan dengan kematian tiba-tiba. Hubungan
perpanjangan QT dengan torsades de pointes paling jelas untuk peningkatan yang
lebih besar (20msec dan lebih), tetapi mungkin juga perpanjangan QT/QTc yang
lebih kecil juga dapat meningkatkan resiko, atau meningkatkannya pada individu
yang sensitive, seperti pada pasien dengan hipokalemia, hipomagnesemia,
bradikardia, penggunaan bersama obat yang memperpanjang interval QTc atau
predisposisi genetik. Walaupun torsades de pointes belum ditemukan terjadi
dalam kaitannya dengan penggunaan apomorfin pada dosis yang
direkomendasikan pada studi pre-pemasaran, pengalaman itu terlalu terbatas.
Palpitasi dan pingsan (karena penurunan tekanan darah) mungkin pertanda
41
terjadinya torsades de pointes. Pemberian apomorfin harus diperhatikan karena
adanya faktor risiko seperti yang telah dijelaskan di atas.
Obat Lain yang Tereliminasi melalui Metabolisme Hati . Berdasarkan studi in
vitro, enzim sitokrom P450 berperan penting pada metabolisme apomorfin. Studi
in vitro juga telah menunjukkan bahwa interaksi obat bukan karena peran
apomorfin sebagai substrat, inhibitor ataupun penginduksi enzim sitokrom P450.
Interaksi COMT. Sebuah interaksi farmakokinetik antara apomorfin dan
inhibitor catechol-O-methyl transferase (COMT) atau obat termetabolisme oleh
jalur ini adalah tidak mungkin karena apomorfin ditunjukkan tidak
termetabolisme oleh COMT.
Cara menyimpan APOKYN
Ampul dan botol obat disimpan pada suhu kamar yaitu 77 °F (25 °C). Alat
penyuntik dapat diisi dari ampul APOKYN malam sebelum penggunaan dan
disimpan di lemari es sampai keesokan harinya. Ketika bepergian, ampul, botol
obat, dan alat suntik yang belum terisi dijaga pada suhu 59 °C sampai 86 °F (15 –
30 °C). APOKYN dan semua obat harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.genetests.org/query?dz=parkinson-overviewhttp://ghr.nlm.nih.gov/condition=parkinsondiseasehttp://www.nlm.nih.gov/medlineplus/parkinsonsdisease.htmlhttp://en.wikipedia.org/wiki/Parkinson's_disease#Historyhttp://www.ninds.nih.gov/disorders/parkinsons_disease/parkinsons_disease.htm#Is_there_any_treatmenthttp://www.pdf.org/AboutPD/symptoms.cfmhttp://www.pdf.org/AboutPD/causes.cfmhttp://www.pdf.org/AboutPD/med_treatment.cfmhttp://www.pdf.org/AboutPD/roleofpatient.cfmhttp://www.wemove.org/par/par.htmlhttp://www.wemove.org/par/par_sym.htmlhttp://www.wemove.org/par/par_subn.htmlhttp://ms.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Parkinsonhttp://www.wemove.org/par/par_rfpf.htmlhttp://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=521182
42