Download - Gadar Pencernaan
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGISISTEM PENCERNAAN
Sistem pencernaan atau sistem
gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia
yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan
energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam
aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau
merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari
mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus
besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ
yang terletak diluar saluran pencernaan,
yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
A. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk
sistem pencernaan. Bagian dalam dari
mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di
permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang (molar,
geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan
membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai
mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah
protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut
secara otomatis.
B. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari bahasa yunani yaitu
Pharynk.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung
kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara
jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas
tulang belakang.
Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang bernama
koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut
ismus fausium
Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung, bagian media =
bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior = bagian yang sama tinggi dengan
laring.
Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang menghubungkan tekak
dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai
diakar lidah bagian inferior disebut laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring.
C. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan
mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan
menggunakan proses peristaltik.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
1. bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
2. bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
3. bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
D. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu Kardia, fundus, antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfinter), yang
bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi
lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur
makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
1. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap kelainan pada
lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak
lambung.
2. Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna
memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang
terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
3. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
E. Usus halus
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara lambung
dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke
hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan
sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan
otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum),
dan usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari
merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di
ligamentum Treitz.Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar
pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari
pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum
digitorum, yang berarti dua belas jari.
2. Usus Kosong (jejenum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua dari
usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada
manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus
kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium.Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot
usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan
dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula
dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara makroskopis.
3. Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem pencernaan
manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum,
dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa)
dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
F. Usus Besar (Kolon)
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Fungsi
utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari Kolon asendens (kanan), Kolon transversum, Kolon desendens (kiri), Kolon
sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan
membantu penyerapan zat-zat gizi.Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat
penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit
serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
G. Usus Buntu (sekum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu kantung
yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar.
H. Umbai Cacing (Appendix)
Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ ini disebut
apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat menyebabkan apendiks pecah
dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai cacing
berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks
selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis)
yang jelas tetap terletak di peritoneum.
I. Rektum dan anus
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan yang berawal dari
ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang
lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam
rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan
keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh.
Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan
dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi
(buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama anus.
J. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu menghasilkan
enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian
posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :
* Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
* Pulau pankreas, menghasilkan hormon
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam
darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim
proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan
dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas
juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan
cara menetralkan asam lambung.
K. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki berbagai fungsi,
beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi dalam tubuh
termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga
memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang
kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena
yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi
menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah.
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat
gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.Hati adalah organ yang terbesar di dalam badan
manusia.
L. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang dapat
menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Pada manusia,
panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap – bukan karena warna
jaringannya, melainkan karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan
dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
· Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
· Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb) yang berasal
dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN
TRAUMA ABDOMEN
A. DEFINISI
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 )
Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada daerah abdomen yang meliputi daerah
retroperitoneal, pelvis dan organ peritroneal.
Trauma
perutmerupakanlukapadaisironggaperutdapatterjadidenganatautanpatembusnyadindingperutdimana
padapenanganan/penatalaksanaanlebihbersifatkedaruratandapat pula dilakukantindakanlaparatomi
(FKUI, 1995).
Trauma abdomen adalahterjadinyacederaataukerusakanpada organ abdomen yang
menyebabkanperubahanfisiologisehinggaterjadigangguanmetabolisme ,kelainanimunologidangangg
uanfaalberbagai organ.
Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional ( Dorland, 2002 :
2111 )
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta
trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001 : 2476 )
B. ETIOLOGI
Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Trauma tumpul
- Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir
ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke
dalam karena tabrakan.
- Kecelakaan kendaraan bermotor
- Jatuh dan trauma secara mendadak
b) Trauma tajam
- Tusukan, tikaman atau tembakan senapan. (American College of Surgeon Committee of
Trauma, 2004 : 145).
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Laserasi, memar,ekimosis
2. Hipotensi
3. Penurunan bising usus
4. Hemoperitoneum
5. Mual dan muntah
6. Adanya tanda “Bruit”
7. Nyeri
8. Pendarahan
9. Penurunan kesadaran
10. Sesak
11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa.Tanda ini ada
saat pasien dalam posisi recumbent. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada
perdarahan peritoneal
12. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan
retroperitoneal.
13. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada fraktur pelvis
14. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan
perkusi pada hematoma limfe. (Scheets, 2002 : 277-278)
Pada hakikatnya gejala dan tanda yang ditimbulkan dapat karena 2 hal:
a. Pecahnya organ solid
Hepar atau lien yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang dapat bervariasi dari ringan
sampai berat, bahkan kematian.
Gejala dan tandanya adalah :
1. Gejala perdarahan secara umum
Penderita tampak anemis (pucat). Bila perdarahan berat akan timbul gejala dan tanda syok
hemoragik.
2. Gejala adanya darah intra-peritonial
a. Penderita akan merasa nyeri abdomen, bervariasi dari ringan sampai nyeri hebat
b. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun
c. Pada pemeriksaan abdomen nyeri tekan, ada nyeri lepas dan defans muscular (kekakuan
otot) seperti pada peritonitis
d. Pada perkusi akan dapat ditemukan pekak isi yang meninggi.
3. Pecahnya organ berlumen
Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat
sekali atau lebih lambat.
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. Pemeriksaan Diagnostik
b. Trauma Tumpul
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL adalah prosedur invasive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan
oleh team bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang
abnormal, terutama bila dijumpai :
a. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obat-obatan.
b. Perubahan sensasi trauma spinal
c. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis.
Salah satu kontraindikasi untuk DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi.
Kontraindikasi relative antara lain adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity,
shirrosis yang lanjut, dan adanya koagulopati sebelumnya.(American College of Surgeon
Committee of Trauma, 2004 : 150).
2. Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan
tingkat kerusakannya, dan mendiagnosa trauma retroperineal maupun (American College
of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 151).
c. Trauma Tajam
Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen
bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi,
laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.
Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT
dengan double atau triple contrast, maupun DPL.
Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian
menjadi simtomatik, terutama deteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka
dibelakang linea axillaries anterior. (American College of Surgeon Committee of Trauma,
2004 : 151).
2. Pemeriksaan Radiologi
1. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP
dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga
posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara
bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada
pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas
menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
2. Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal.
3. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a. Urethrografi
Urethrografi dilakukan sebelum pemasangan kateter urine bila curigai adanya ruptur
urethra.
b. Sistografi
Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan
pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi.
c. CT Scan/IVP
CT Scan untuk semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai
mengalami sistem urinari.Alternatif lain adalah pemeriksaan IVP.
3. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2. Penurunan hematokrit/hemoglobin
3. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat,SGPT,SGOT,
4. Koagulasi : PT,PTT
5. MRI
6. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatik
7. CT Scan
8. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan pneumothorax atau
fraktur tulang rusuk VIII-X.
9. Scan limfa
10. Ultrasonogram
11. Peningkatan serum atau amylase urine
12. Peningkatan glucose serum
13. Peningkatan lipase serum
14. DPL (+) untuk amylase
15. Penigkatan WBC
16. Peningkatan amylase serum
17. Elektrolit serum
18. AGD. (ENA,2000:49-55)
E. KOMPLIKASI
1. Trombosis Vena
2. Emboli Pulmonar
3. Stress Ulserasi dan perdarahan
4. Pneumonia
5. Tekanan ulserasi
6. Atelektasis
7. Sepsis (Paul, direvisi tanggal 28 Juli 2008)
8. Pankreas : Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan perdarahan.
9. Limfa : perubahan status mental, takikardia, hipotensi, akral dingin, diaphoresis, dan syok.
10. Usus : obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok.
11. Ginjal : Gagal ginjal akut (GGA) (Catherino, 2003 : 251-253)
F. PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN DAN TERAPI PENGOBATAN
Pengelolaan primary survery yang cepat dan kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya
terapi definitif. Proses ini merupakan ABC –nya trauma dan berusaha untuk mengenali keadaan
yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan berikut:
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervikal spine control)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi control (ventilation control)
C: Circulation dengan control perdarahan (bleeding control)
D: Disability : status neurologis (tingkat kesadaran/GCS, Respon Pupil)
E: Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermia
Tindakan keperawatan yang dilakukan tentu mengacu pada ABCDE.
1. Yakinkan airway dan breathing clear.
2. Kaji circulation dan control perdarahan dimana nadi biasanya lemah, kecil, dan cepat .
3. Tekanan darah sistolik dan diastole menunjukkan adanya tanda syok hipovolemik, hitung
MAP, CRT lebih dari 3 detik maka perlu segera pasang intra venous line berikan cairan
kristaloid Ringer Laktat untuk dewasa pemberian awal 2 liter, dan pada anak 20cc/kgg, bila
pada anak sulit pemasangan intra venous line bisa dilakukan pemberian cairan melalui akses
intra oseus tetapi ini dilakukan pada anak yang umurnya kurang dari 6 tahun.
4. Setelah pemberian cairan pertama lihat tanda-tanda vital. Bila sudah pasti ada perdarahan maka
kehilangan 1 cc darah harus diganti dengan 9cairan kristaloid 3 cc atau bila kehilangan darah 1
cc maka diganti dengan darah 1 cc (sejumlah perdarahan).
5. Setelah itu kaji disability dengan menilai tingkat kesadaran klien baik dengan menilai
menggunakan skala AVPU: Alert (klien sadar), Verbal (klien berespon dengan dipanggil
namanya), Pain (klien baru berespon dengan menggunakan rangsang nyeri) dan Unrespon
(klien tidak berespon baik dengan verbal ataupun dengan rangsang nyeri).
6. Eksposure dan environment control buka pakaian klien lihat adanya jejas, perdarahan dan bila
ada perdarahan perlu segera ditangani bisa dengan balut tekan atau segera untuk masuk ke
kamar operasi untuk dilakukan laparotomy eksplorasi.
7. Secondary survey dari kasus ini dilakukan kembali pengkajian secara head totoe, dan
observasi hemodinamik klien setiap 15 – 30 menit sekali meliputi tanda-tanda vital (TD,Nadi,
Respirasi), selanjutnya bila stabil dan membaik bisa dilanjutkan dengan observasi setiap 1 jam
sekali.
8. Pasang cateter untuk menilai output cairan, terapi cairan yang diberikan dan tentu saja hal
penting lainnya adalah untuk melihat adanya perdarahan pada urine.
9. Pasien dipuasakan dan dipasang NGT (Nasogastrik tube) untuk membersihkan perdarahan
saluran cerna, meminimalkan resiko mual dan aspirasi, serta bila tidak ada kontra indikasi
dapat dilakukan lavage.
10. Observasi status mental, vomitus, nausea, rigid/kaku/, bising usus, urin output setiap 15 – 30
menit sekali. Catat dan laporkan segera bila terjadi perubahan secra cepat seperti tanda-tanda
peritonitis dan perdarahan.
11. Jelaskan keadaan penyakit dan prosedur perawatan pada pasien bila memungkinkan atau
kepada penanggung jawab pasien hal ini dimungkinkan untuk meminimalkan tingkat
kecemasan klien dan keluarga.
12. Kolaborasi pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk melihat status hidrasi klien,
pemberian antibiotika, analgesic dan tindakan pemeriksaan yang diperlukan untuk mendukung
pada diagnosis seperti laboratorium (AGD, hematology, PT,APTT, hitung jenis leukosit dll),
pemeriksaan radiology dan bila perlu kolaborasikan setelah pasti untuk tindakan operasi
laparatomi eksplorasi.
ALGORITMA PENANGANAN PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
Gambar 2 ( http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/includes/images/abd_trau.gif )
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGAWATDARURATAN TRAUMA
ABDOMEN
1. PengkajianKeperawatan
A. primer
Airway
Pengkajian
Pastikan bahwa pasien memiliki jalan napas yang lancar
-Intervensi
1. Bersihkan jalan napas dan gunakan tambahan lain seperti yang dianjurkan
Breathing
Pengkajian
Evaluasi respirasi rate, kedalaman napas, keefektifan dalam bernapas, dan cara kerja dalam.
Bernapas mempertimbangkan kemungkinan terjadinya cedera toraks secara bersamaan
-Intervensi :
1.Berikan oksigen via NRFM atau ETT
2.Bantu ventilasi yang diperlukan dengan masker katup tas atau ventilasi mekanis
Circulation
Pengkajian
Kaji status peredaran darah : nadi, tanda-tanda pada kulit, tekanan darah. Pasien dengan Trauma
abdomen dapat kehilangan darah dalam jumlah yang banyak.
-Intervensi :
1.Pasang dua atau lebih bor besar (ukuran 14-16) kateter intravena
2.Beri infuse hangat, cairan isotonis kristaloid : cairan ringer laktat atau normal salin
3.Berikan transfuse darah yang diperlukan : sel darah merah atau komponen darah lainnya
4.Karena berpotensi, bolus cairan dapat digunakkan untuk menggantikan gumpalan baru yang
terbentuk. Resusitasi cairan pada pasien dengan trauma abdomen masih controversial.Kelola
cairan yang diberikan berdasarkan hasil dan status klinis pasien
5.Pertimbangkan central line (subklavia atau jugularis), penempatan pada pasien kadang tidak
stabil, ini bisa dilakukan untuk infuse dan pemantauan vena sentral.
B. Pengkajian Secondary
Identifikasi mekanisme dari trauma dan kejadian prehospital (kecelakaan, jatuhdariketinggian,
jenis dan ukuran senjata bila trauma diakibatkan oleh senjata, waktu semenjak terjadinya injury,
perkiraan kehilangan darah/perdarahan )
Tentukan riwayat kesehatan :
1.Inspeksi bagian anterior dan posterior abdomen untuk mengidentifikasi luka
2.Cek bagian injury mayor untuk bagian tubuh yang lain
-Intervensi :
1.Pasang orogastrik atau nasogastrik tube untuk dekompresi perut
2.Pasang folley kateter dan monitoring output
3.Tutup luka terbuka pada abdomen denganverban steril
Pengkajian secondary, pemeriksaan abdomen harus dilakukan teliti, secara sistematis dalam
urutan standar, inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpitasi. Temuan ini, baik positif positif atau
negatif, harus didokumentasikan secara hati-hati dalam catatan medis.
1. inspeksi
Pasien harus benar-benar telanjang. Perut bagian anterior dan posterior serta dada bagian bawah
dan perineum harus diperiksa untuk abrasi, luka gores luka memar, dan luka tembus. Pasien
dapat kontinyu bergulir untuk memfasilitasi pemeriksaan lengkap.
2. auskultasi
Abdomen harus diauskultasi untuk mengetahui ada atau tidak adanya bising usus. Darah
intraperitoneal bebas atau isi enterik dapat menghasilkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya
bising usus. Namun, ileus juga dapat terjadi dari cedera perut ekstra. Yaitu, tulang rusuk, tulang
belakang, dan patah tulang panggul.
3. Perkusi
Perkusi dari perut setelah cedera ini dilakukan terutama untuk elict kelembutan rebound yang
halus. Manuver yang menghasilkan gerak sedikit peritoneum dan menghasilkan hasil yang
serupa dengan meminta pasien untuk batuk.
4. palpitasi
Palpitasi pada trauma abdomen menghasilkan informasi subjektif dan objektif. Temuan meliputi
penilaian subjektif pasien dari lokasi pasien serta besarnya. Nyeri viseral awal biasanya di asal,
dan karena itu, buruk terlokalisasi. Menegang dengan sendirinya dengan hasil otot perut dari
ketakutan akan rasa sakit dan mungkin tidak mewakili cedera yang signifikan. Otot tak sadar
menjaga, di sisi lain adalah tanda yang dapat diandalkan iritasi peritoneal . nyeri yang berat yang
tegas menunjukkan didirikan peritonitis.
5. pemeriksaan rektal
Pemeriksaan dubur digital merupakan komponen penting dari penilaian perut. Tujuan penilaian
utama untuk luka penetrasi adalah untuk mencari darah yang banyak perforasi usus yang
ditunjukkan dan untuk memastikan integritas sfingter tulang belakang. Setelah trauma tumpul,
dinding rektum juga harus dipalpitasi untuk mendeteksi unsur-unsur tulang retak dan posisi
prostat. Sebuah prostat tinggi mungkin menunjukkan gangguan uretra posterior.
6. pemeriksaan vagina
Laserasi pada vagina dapat terjadi karena luka tembus atau fragmen tulang dari patah tulang
panggul.
Implikasi dari perdarahan vagina pada pasien yang sedang hamil dapat dilihat pada trauma
kehamilan
7. penis pemeriksaan
Laserasi uretra harus dicurigai jika darah hadir pada meatus uretra. Pemeriksaan positif adalah
tanda klinis yang paling dapat diandalkan trauma intra abdomen yang signifikan.
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa keperawatan
Tujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
1. Perdarahan
b.d trauma
abdomen.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 x 4 jam diharapkan perdarahan dapat dihentikan/teratasi
1. Tanda-tanda
perdarahan (-)
2. TTV normal
( Nadi = 60-
100 x/menit ;
TD = 110-
140/70-90
mmHg ; Suhu
= 36, 5 – 37,
50 C ; dan RR
= 16-24
x/menit)
3. CRT < 2 detik
4. Akral hangat
Mandiri :1. Pantau TTV
2. Pantau tanda-tanda
perdarahan.
3. Pantau tanda-tanda
perubahan sirkulasi ke
jaringan perifer (CRT dan
sianosis).
Kolaborasi :1. Pantau hasil laboratorium
(trombosit).
2. Kolaborasi pemberian cairan
IV (cairan kristaloid NS/RL)
sesuai indikasi.
3. Berikan obat antikoagulan,
ex : LMWH ( Low Molecul
1. Mengidentifikasi kondisi pasien.
2. Mengidentifikasi adanya perdarahan, membantu dalam pemberian intervensi yang tepat.
3. Mengetahui keadekuatan aliran darah.
1. Trombosit sebagai indicator pembekuan darah.
2. Membantu pemenuhan cairan dalam tubuh.
3. Mencegah perdarahan lebih lanjut.
With Heparin).
4. Berikan transfusi darah.
5. Lakukan tindakan
pembedahan jika diperlukan
sesuai indikasi
4. Membantu memenuhi kebutuhan darah dalam tubuh.
5. Membantu untuk menghentikan perdarahan dengan menutup area luka.
2. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d gangguan integritas kulit, menurunnya proteksi tubuh terhadap infeksi
Infeksi tidak terjadi / terkontrol
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
2. Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
3. Tanda-tanda vital dalam batas normal (TD 140-90/90-60 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR : 16-20 x/menit, suhu 36,50 – 37,50 oC)
Mandiri :1. Pantau tanda-tanda vital
2. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
3. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, darinase luka, dll.
Kolaborasi :1. Pemeriksaan darah, seperti
Hb dan leukosit.
2. Pemberian antibiotik
1. Mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutamabila suhu tubuh meningkat.
2. Mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
3. Untuk mengurangi
resiko infeksi
nosokomial.
1. Penurunan Hb dan
peningkatan jumlah
leukosit dari normal
bisa terjadi akibat
terjadinya proses
infeksi.
2. Antibiotik mencegah
perkembangan
mikroorganisme
patogen.
3. Nyeri akut b.d trauma / diskontinui-
Setelah dilakukan tindakan
1. Pasien melaporkan nyeri
Mandiri :1. Kaji nyeri secara
komprehensif meliputi lokasi, 1. Mempengaruhi
pilihan/ pengawasan
tas jaringan.
keperawatan selama 2 x 10 menit diharapkan nyeri yang dialami pasien terkontrol
berkurang2. Pasien
tampak rileks3. TTV dalam
batas normal (TD 140-90/90-60 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR : 16-20 x/menit, suhu 36, 5 – 37, 50 OC)
karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas
2. Berikan tindakan kenyamanan, misalnya perubahan posisi, masase.
3. Ajarkan menggunakan teknik non-analgetik (relaksasi progresif, latihan napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)
4. Berikan lingkungan yang nyaman.
Kolaborasi :1. Berikan obat sesuai indikasi :
relaksan otot, misalnya : dantren; analgesik
keefektifan intervensi.
2. Tindakan alternative untuk mengontrol nyeri
3. Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan dapat meningkatkan kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan kemampuan koping.
4. Menurunkan stimulus nyeri.
1. Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot.
4. Pola napas tidak efektif b.d hiperventi-lasi ditandai dengan sesak, dispnea, penggunaan otot bantu napas, napas cuping hidung
Setelah dilakukan askep selama 1 x 10 menit diharapkan pola nafas pasien kembali efektif
Pasien melaporkan sesak berkurangDispnea (-)Penggunaan otot bantu napas (-)Napas cuping hidung (-)
Mandiri 1. Pantau adanya sesak atau
dispnea.
2. Monitor usaha pernapasan, pengembangan dada, keteraturan pernapasan, napas cuping dan penggunaan otot bantu pernapasan
3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontraindikasi
4. Ajarkan klien napas dalamKolaborasi1. Berikan O2 sesuai indikasi2. Bantu intubasi jika
pernapasan semakin memburuk dan siapkan pemasangan ventilator sesuai indikasi
1. Mengetahui keadaan breathing pasien
2. Mengetahui derajat gangguan yang terjadi, dan menentukan intervensi yang tepat
3. Meningkatkan ekspansi dinding dada
4. Meningkatkan kenyamanan
1. Memenuhi kebutuhan O2
2. Membantu pernapasan
adekuat
3. Evaluasi
Evaluasi addalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian
tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi
keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan trauma
abdomen adalah:
1. Pendarahan dapat terhenti.
2. Infeksi tidak terjadi / terkontrol.
3. Nyeri dapat berkurang atau hilang.
4. Pasien memiliki cukup oksigen sehingga kebutuhan oksigen tercapai.
Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Kegawatan Saluran Cerna : Gagal Hepar
Penyakit hepar adalah suatu istilah untuk sekumpulan kondisi-kondisi, penyakit-penyakit dan infeksi-infeksi yang mempengaruhi sel-sel, jaringan-jaringan, struktur dan fungsi dari hati.
Kegagalan hati adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan/kemunduran fungsi hati yang sangat berat.
Etiologi
Gagal hepar dapat disebabkan oleh kerusakan-kerusakan bawaan sejak lahir atau kelainan-
kelainan hati yang hadir pada kelahiran, kelainan-kelainan metabolisme atau kerusakan dalam
proses dasar tubuh, suatu kondisi yang bervariasi termasuk infeksi virus, serangan bakteri, dan
perubahan kimia atau fisik didalam tubuh.
Penyebab yang paling umum dari kerusakan hati adalah kurang gizi (malnutrition), terutama
yang terjadi dengan kecanduan alcohol atau keracunan oleh racun, obat-obat terentu yang
merupakan racun bagi hati, trauma atau luka. Jika hati menjadi radang atau terinfeksi, maka
kemampuannya untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini jadi melemah. Pemicu terjadinya gagal
hati ini bisa jadi diakibatkan oleh virus hepatitis, sirosis, atau akibat konsumsi alkohol yang
berlebihan. Sebagian besar hati harus terlebih dahulu mengalami kerusakan sebelum terjadinya
kegagalan hati.
Perlemakkan hati disertai toksemia pada wanita hamil dapat menyebabkan timbulnya kegagalan
faal hati akut, terutama pada trimester terakhir.
Tanda dan Gejala Penyakit
Gejala-gejala sebagian tergantung dari tipe dan jangkaun penyakit hatinya. Pada banyak kasus,
mungkin tidak terdapat gejala. Tanda-tanda dan gejala-gejala yang umum pada sejumlah tipe-
tipe berbeda dari penyakit hati termasuk:
Ikterus atau kekuningan kulit akibat gangguan kemampuan mengkonjugasikan bilirubin.
Urin yang coklat seperti teh
Mual dan anoreksia dengan keengganan yang berlebihan terhadap makanan tertentu.
Rasa lelah dan kehilangan berat akibat defisiensi berbagai fungsi metabolisme hati.
Edema perifer akibat penurunan gaya yang mendorong reabsorpsi cairan ke dalam kapiler
dari ruang interstinum. Hal ini terjadi akibat penurunan pembentukkan protein-protein
plasma dan keluarnya albumin ke cairan asites.
Splenomegali
Asites
Kecenderungan mengalami perdarahan akibat trombositopenia (penurunan jumlah
trombosit) karena penimbunan darah di limpa dan memanjangnya waktu protrombin
karena gangguan pembentukkan beberapa faktor pembekuan.
Warna tinja (feces)yang pucat
Nyeri abdomen (perut) spontan pada bagian kanan atas perut akibat hati yang meradang.
Tidak enak badan (malaise) atau perasaan sakit yang kabur
Varises (pembesaran pembuluh vena) di esofagus, rektum, dan dinding abdomen akibat
hipertensi porta.
Gejala
Gejala yang nampak dari penderita gagal hati bisa berupa sakit kuning, mudah mengalami
pendarahan, asistes, gangguan fungsi otak, keadaan kesehatan yang menurun drastis, penurunan
air seni dan panas badan yang merupakan indikasi masuknya virus dalam tubuh.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Serologi virus
2. Skrining toksikologi (kadar asetaminofen tiap 1-2 jam hingga puncaknya di tentukan)
3. Pemeriksaan pencitraan(usg pada abdomen kuadran kanan atas atau CT abdomen,
pemeriksaan Doppler terhadap vena porta dan hepatica)
4. Uji lainnya: serologi autoimun,seruloplasmain dan tembaga dalam urin)
5. Biopsi hepar (kecuali ada koagulopati)
6. Perhitungan darah lengkap, yang melihat pada tipe dan jumlah dari sel-sel darah didalam
tubuh
7. Scan hati dengan radiotagged substances untuk menunjukan perubahan-perubahan struktur
hati
Penatalaksanaan :
Walaupun tidak ada penyembuhan bagi gagal hati kecuali transplantasi hati, masing-masing
gejala dan manifestasi klinis dapat diterapi. Tetapi sifatnya spesifik untuk berbagai manifestasi.
Asites diterapi sebagai berikut :
- Restriksi asupan garam dan diuretik hemat kalium untuk meningkatkan ekskresi air.
- Suplemen kalium mungkin diperlukan untuk melawan efek peningkatan aldosteron.
- Dapat dilakukan tindakan pengeluaran cairan asites untuk menghilangkan rasa tidak
nyaman antara lain dengan memasang suatu pirau di antara rongga peritoneum dan vena
kava atau paresentesis (drainase aspirasi cairan keluar dari rongga peritoneum dengan
jarum berlubang besar). Kedua tindakan tersebut meningkatkan resiko infeksi dan
parasentesis dapat menyebabkan hipotensi. Kedua terapi tersebut tidak menyembuhkan
asites, yang akan kambuh selama penyakit hatinya tetap ada.
Hipotensi porta diterapi sebagai berikut :
- Dapat dibuat suatu sambungan atau pirau antara vena porta dan vena sistemik lain untuk
menghilangkan pengalihan aliran darah ke esofagus dan pembuluh kolateral lain.
Tindakan ini tidak memulihkan fungsi hati tetapi dapat mengurangi aliran kolateral dan
komplikasi perdarahan varises. Salah satu contoh dari sambungan tersebut adalah pirau
transjugular intrahepatika portosistemik. Pemilihan dan pemantauan yang cermat pada
pasien yang menjalani prosedur ini amat penting.
Perdarahan varises diterapi sebagai berikut :
- Apabila terjadi perdarahan varises, maka dapat diberikan obat vasokontriktor untuk
mengurangi aliran darah. Tamponade baloinsersi suatu kateter balin yang dimasukkan ke
dalam esofagus untuk menimbulkan tekanan pada varises yang mengalami perdarahan
dapat dilakukan. Dapat diusahakan terapi bedah untuk mengikat pembuluh-pembuluh
kolateral yang tumbuh dari vena porta. Suplementasi vitamin K dapat membantu
mengontrol perdarahan.
Terapi untuk ensefalopati hepatika adalah :
- Dapat diberikan ventilasi dan sedasi untuk melindungi jalan napas dan mengurangi
agitasi psikomotor serta suntikan bolus manitol untuk mengurangi edema serebral.
Karena hipoglikemia dapat terjadi pada jantung, maka gula darah perlu dipantau dengan
ketat.
- Sebagian besar saran mengenai makanan dititikberatkan pada pembatasan protein dalam
diet dan konsumsi sumber karbohidrat tinggi.
- Pencegahan infeksi dan terapi dini perlu dilakukan.
- Dialisis hati (penyokong hati ekstrakorperal buatan) makin banyak digunakan.
- Transplantasi hati.
Pengkajian
Data Subjektif :
1. Keluhan : anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen
2. Kulit, selaput lendir, sclera : kekuning-kuningan, gatal, urine berwarna kuning tua dan
berbuih.
3. Kebiasaan : merokok, minum alcohol, obat-obatan terlarang.
Data objektif
1. Tanda vital : tekanan darah menunjukkan tekanan darah ortostatik
2. Status cairan dan elektrolit : deficit volume, muntah, pendarahan, dehidrasi akibat asites
dan edema dan kelebihan volume akibat retensi natrium dan air.
3. Abdomen : gerakan peristalsis (auskultasi), distensi abdomen, nyeri tekan, pembesaran
hepar dan limpa, asites, dilatasi vena pada abdomen (kaput medusa).
No. Diagnosa Intervensi Rasional1. Nyeri berhubungan
dengan perusakkan sel-sel hati.
- Kaji riwayat nyeri: lokasi, frekuensi, durasi dan intensitas (skala 0-10)
- Atur posisi tidur semiflower bagian kepala.- Berikan tindakan kenyamanan dasar, misalnya gosok
punggung dan aktivitas hiburan dengar musik atau nonton tv.
- Jelaskan pada klien agar menghindari minuman terlalu panas/dingin dan makanan pedas.
- Jelaskan agar klien menghindari aktifitas yang meregangkan area torakal.
- Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
- Identifikasi data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan atau ke efektifan intervensi.
- Untuk mencegah terjadinya refluk- Meningkatkan relaksasi dan membantu
memfokuskan kembali perhatian.
- Mengurangi rangsang spasme esophagus dan peningkatan sekresi asam hidroksida.
- Mengurangi peningkatan nyeri
- Analgesik bekerja mengurangi reseptor nyeri dalam mencapai sistem saraf sentral.
2. Perubahan proses pikir berhubungan dengan berhubungan dengan penurunan fungsi hati dan peningkatan kadar amonia darah.
Kaji tingkat kesadaran klien. Batasi masukan protein. Berikan makanan tinggi kalori porsi kecil tapi sering
. Cegah terjadinya infeksi.
Pertahankan lingkungan tetap hangat.
Pasang bantalan penghalang pada sisi tempat tidur.
Batasi pengunjung. Hindari penggunaan barbiturat dan opiat.
Sebagai dasar untuk intervensi. Mengurangi sumber amoniak. Mencukupi kebutuhan kalori tubuh dengan
karbohidrat dan mencegah produk akhir pemecahan protein (amoniak).
Mencegah peningkatan kebutuhan metabolisme tubuh.
Agar kebutuhan metabolisme tubuh tidak meningkat.
Melindungi klien dari cedera akibat kejang atau koma hepatikum.
Menurunkan aktivitas metabolisme. Menghindari tersamarnya tanda dan gejala
koma hepatikum dan menghindari intoksikasi hati akibat obat-obatan.
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi
1. Ukur masukkan makan dengan jumlah kalori. 1. Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukkan/defisiensi.
kurang dari kebutuhan berhubungan dengan diet tidak adekkuat, ketidakmampuan untuk memproses/ mencerna makanan, anoreksia, mual/muntah, tidak mau makan, asites sehingga mudah kenyang.
2. Timbang berat badan sesuai program.3. Bantu dan anjurkan klien untuk makan.4. Anjurkan klien untuk makan semua
makanan/makanan tambahan yang telah diprogramkan.
5. Berikan makanan sedikit tapi sering.
6. Batasi makanan yang menghasilkan gas, berbumbu, terlalu panas/ dingin.
7. Berikan makanan yang halus, hindari makanan yang kasar sesuai program.
8. Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.
9. Observasi hasil pemeriksaan laboratorium; glukosa serum, albumin, total protein.
10. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan diet.
11. Berikan makan dengan slang, hiperalimentasi, lipid sesuai program.
12. Berikan obat vitamin sesuai program.
13. Berikan obat antiemetik sesuai program.
14. Berikan obat enzim pencernaan sesuai program.
2. Untuk mengetahui penurunan berat badan.
3. Diet yang tepat penting untuk penyembuhan.
4. Klien mungkin hanya makan sedikit, karena kehilangan minat untuk makan.
5. Buruknya toleransi terhadap makan, mungkin berhubungan dengan asites.
6. Membantu dalam menurunkan iritasi gaster/ diare.
7. Perdarahan dari varieses esofagus dapat terjadi pada kanker hati.
8. Klien cenderung mengalami luka/perdarahan gusi dan rasa tidak enak pada mulut akan menambah anoreksia.
9. Glukosa menurun karena gangguan glikogenesis/ masukkan tak adekuat. Protein menurun karena gangguan metabolisme.
10. Makanan tinggi kalori dibutuhkan pada kebanyakan klien yang pemasukkannya dibatasi.
11. Untuk memberikan nutrien bila klien terlalu mual/anoreksia.
12. Klien biasanya kekurangan vitamin karena diet yang buruk.
13. Menurunkan mual/muntah dan meningkatkan masukan oral.
14. Meningkatkan pencernaan lemak dan cepat menurunkan diare.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KEGAWATDARURATAN
SALURAN CERNA : VARISES ESOFAGUS
Pengertian Varises esophagus
Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena porta yang
menetap diatas nilai normal yaitu 6-12 H2O (Sylvia, Loraine 2006).
Varises esophagus adalah pelebaran pembuluh darah dalam yang ada didalam
kerongkongan amakan (esofagus).
Tingginya angka kematian pada perdarahan varises esophagus tergantung dari
beberapa factor, antara lain :
Sifat dan lamanya perdarahan berlangsung
Beratnya penyakit sirosis hati yang mendasarinya
Tersedia atau tidaknya sarana diagnostic dan terapi dirumah
A. Etiologi
1. Kelainan esophagus : varises, esophagitis, keganasan
2. Kelainan lambung dan duodenum : tukak lambung dan duodenum,
keganasan dan lain-lain
3. Penyakit darah : leukemia, DIS, purpura trombositopenia
4. Penyakit sistemik lainnya : uremia
5. Pemakaian obat yang ulserogenik : golongan salisilat, kortikosteroid,
alcohol, dan lain-lain.
B. Manifestasi klinik
1. Melena
2. Hematemesis
3. Enselopati hepatic
4. Hipovolemia dan hipotensi (bergantung pada jumlah dan kecepatan
kehilangan darah)
C. Derajat varises esophagus
1) Tingkat I
Varises esophagus dengan diameter 1-2 mm terdapat pada lapisan
submukosa, boleh dikatakan penonjolan ke dalam lumen sukar
dilihat. Hanya dapat dilihat setelah dilakukan kompresi.
2) Tingkat II
Varises esophagus dengan diameter 2-3 mm masih di submukosa,
mulai terlihat penonjolan di mukosa tanpa kompresi.
3) Tingkat III
Varises esophagus dengan diameter 3-4 mm, panjang dan sudah
terlihat berkelok-kelok. Terlihat penonjolan sebagian dengan jelas
pada mukosa.
4) Tingkat IV
Varises esophagus dengan diameter 3-4 mm terlihat panjang dan
berkelok-kelok. Sebagian besar varises terlihat pada mukosa
esophagus.
D. Pemeriksaan penunjang :
1. laboratorium
a. hitung darah lengkap : penurunan Hb, Ht, peningkatan leukosit
b. elektrolit : penurunan kalium serum, peningkatan natrium,
glukosa serum dan laktat.
c. Profil hematologi : perpanjangan masa protrombin,
tromboplastin
d. Gas darah arteri : alkalosis respiratori, hipoksemia.
2. pemeriksaan radiologis
a. pemeriksaan esopagogram untuk daerah esophagus dan double
contrast untuk lambung dan duodenum dilakukan pada
berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esophagus, kardia dan
fundus lambung untuk mencari ada tidaknya varises, sedini
mungkin setelah hematemesis berhenti.
3. pemeriksaan endoskopi (Dilakukan sedini mungkin setelah
hematemisis berhenti)
a. untuk menentukan asal dan sumber perdarahan
b. keuntungan lain : dapat diambil foto, aspirasi cairan dan biopsy
untuk pemeriksaan sitopatologik.
c. Pemeriksaan esophagogastroduodenoskopi paling penting
karena dapat memastikan diagnostik pecahnya varises
esophagus atau penyebab perdarahan lainnya dari esophagus,
lambung dan duodenum. Untuk rumah sakit-rumah sakit di
daerah yang belum memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna
dapat memakai modalitas lain yaitu rontgen esophagus-
lambung-duodenum.
E. Penatalaksaaan
Penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas dibagi atas :
1. Penatalaksanaan kolaboratif
Intervensi awal mencakup 4 langkah yaitu :
(a) kaji keparahan perdarahan,
(b) gantikan cairan dan produk darah untuk mengatasi shock,
(c) tegakkan diagnose penyebab perdarahan dan
(d) rencanakan dan laksanakan perawatan definitive.
a. Resusitasi cairan dan produk darah
Pasang akses intravena dengan kanul berdiameter besar
Lakukan penggantian cairan intravena : RL atau normal
salin
Kaji terus tanda-tanda vital saat cairan diganti
Jika kehilangan cairan > 1500 mL membutuhkan
penggantian darah selain cairan. Untuk itu periksa
golongan darah dan cross-match
Kadang digunakan obat vasoaktif sampai cairan
seimbang untuk mempertahankan tekanan darah dan
perfusi organ vital, seperti : dopamine, epineprin, dan
norefineprin untuk menstabilkan pasien sampai
dilakukan perawatan definitive.
b. Mendiagnosa penyebab perdarahan
1) Diagnosis penyebab perdarahan saluran cerna bagian
atas dilakukan dengan melakukan anamnesis yang teliti,
pemeriksaan fisis yang baik dan teliti serta pemeriksan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan esofagogastro-uenoskopi. Anamnesis
dilakukan bila hemodinamik pasien telah stabil dan
memungkinkan, sehingga tidak mengganggu
pengobatan emergensi yang harus dilakukan.
2) Pemasangan selang nasogastrik untuk mengkaji tingkat
perdarahan (masih kontroversial).
3) Pemeriksaan barium (double contrast untuk lambung
dan duodenum). Pemeriksaan tersebut dilakukan pada
berbagai posisi terutama pada 1/3 distal esophagus,
kardia dan fundus lambung untuk mencari ada atau
tidaknya varises, sedini mungkin setelah hematemesis
berhenti.
2. Penatalaksanaan umum atau suportif
1) Resusitasi cairan dengan cara pemberian infuse untuk
memberikan cairan kristaloid (seperti NaCL 0,9% dan lainnya)
ataupun koloid (plasma expander) sambil menunggu darah
dengan/ tanpa komponen darah lainnya bila diperlukan.
2) Selang nasogastrik dipasang untuk memonitor apakah
perdarahan memang berasal dari SCBA, apakah masih aktif
berdarah/tidak dengan melakukan pembilasan lambung tiap 6
jam sampai jernih.
3) Pemeriksaan darah perifer (hemogoblin, hematokrit, leukosit
dan trombosit) tiap 6 jam untuk memonitor aktifitas
perdarahan. Curigai adanya kelainan pembekuan darah seperti
Disseminated intravascular coagulation (DIC), masa
pembekuan, masa protrombin, APTT, masa thrombin, Burr
cell, D dimmer,
4) Berikan somatostatin atau oktreotide. Pada perdarahan non
varises yang massif dapat juga diberikan somastostatin atau
oktroetide tetapi jangka pendek 1-2 hari saja.
5) Perhatikan pemberian nutrisi yang optimal sesegera mungkin
bila pasien sudah tidak dipuasakan lagi.
6) Mengobati kelainan kejiwaan/ psikis bila ada dan memberikan
edukasi mengenai penyakit pada pasien dan keluarga
7) Hal yang pertama dilakukan adalah memastikan patensi jalan
nafas, mencegah aspirasi, dan resusitasi cairan termasuk
transfusi bila diperlukan. Perlu diingat overtransfusi dapat
meningkatkan tekanan porta dan perburukan control
perdarahan, sehingga transfusi harus dievaluasi secara cermat.
8) Pemberian antibiotic berspektrum luas ternyata secara
bermakna mengurangi resiko infeksi dan menurunkan
mortalitas.
9) Jika memungkinkan, dapat dilakukan endoskopi segera untuk
menentukan sumber perdarahan dan memberikan terapi secara
tepat.
10) Apabila perdarahan masih berlangsung dan besar kecurigaan
adanya hipertensi portal, dapat diberikan obat vasopressin IV
dalam dosis 0,1-1 U/menit ditambah nittrogliserin IV 0,3
mg/mnt untuk mengurangi efek konstriksi pada jantung dan
pembuluh darah perifer.Octeotrid, suatu analog somatostatin,
dapat menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek
samping seperti vasopressin. Obat ini diberikan secara bolus
IV 50-100 mcg dilanjutkan dengan drip 25-200 mcg/jam.
11) Penatalaksanaan definitive yang utama adalah
dengan Dilakukan sedini mungkin setelah hematemisis
berhenti Apabila LVE sulit dilakukan karena perdarahan yang
massif dan terus berlangsung, atau teknik yang tidak
memungkinkan, maka dapat dilakukan skleroterapi
endoskopik (STE). STE adalah menyuntikan zat sklerosan
(1,5% sodium tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleat)
ke daerah varises dengan harapan pembuluh darah yang
melebar tersebut tertutup dan perdarahan berhenti.
Ligasi Varises
Sklerosing Varises
Apabila endoskopi tidak memungkinkan, maka obat-obat vasokonstriktor seperti
dijelaskan sebelumnya atau pemasangan Dilakukan sedini mungkin setelah
hematemisis berhenti dapat dikerjakan sampai terapi definitive dapat dilakukan.
Balloning
Pada kasus-kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan, jalan
terakhir adalah dilakukan tindakan bedah Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt (TIPS). Tindakan ini hampir pasti dapat mengatasi perdarahan, namun pada
penderita dengan penyakit hati lanjut dan kegagalan multiorgan dapat
menimbulkan bahaya ensefalopati sampai kematian.
Transjugular Intrahepatic Portocaval Systemic Shunt
Pengkajian Anamnesis
a. Riwayat penyakit dahulu: hepatitis, penyakit hati menahun, alkohlisme,
penyakitlambung, pemakaian obat-obat ulserogenik dan penyakit darah
seperti leuikemia, dan lain-lain.
b. Pada perdarahan karena pecahnya varises esophgaus, tidak
ditemukan keluhan nyeri atau pedih di daerah epigastrium
c. Tanda-gejala hematemesis timbul mendadak
d. Tanyakan prakiraan jumlah darah: misalnya satu gelas, dua gelas atau
lainnya.
b. Pemeriksaan Fisik:
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Nadi, tekanan darah
Diagnosa Keperawatan Prioritas
1) Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah akut
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perdarahan
gastrointestinal masif
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
KEGAWATAN SALURAN CERNA : OBSTRUKSI USUS
PENGERTIAN
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal
(Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya
aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Obstruksi usus
merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan
makanan dapat secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).
ETIOLOGI
Mekanis
Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
Karsinoma
Volvulus
Intususepsi
Obstipasi
Polip
Striktur
Fungsional (non mekanik)
Ileus paralitik
Lesi medula spinalis
Enteritis regional
Ketidakseimbangan elektrolit
Uremia
JENIS-JENIS OBSTRUKSI
Terdapat 2 jenis obstruksi :
Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang
mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai
darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3
hari.
Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik.
Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat
obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup ( paling sedikit 2 obstruksi). Karena
lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan
cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark(strangulasi).
Sehingga menimbulkan obstruksi strangulata yang disebabkan obstruksi mekanik
yang berkepanjangan. Obstruksi ini tidak mengganggu suplai darah, menyebabkan
gangren dinding usus.
MANIFESTASI KLINIK OBSTRUKSI USUS
1. Obstruksi Usus Halus
a. Gejala awal biasanya nyeri abdomen sekitar umbilicus atau bagian
epigastrium yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya
obstruksi dan bersifat intermitten. Jika obstruksi terletak di bagian tengah
atau letak tinggi dari usus halus maka nyeri bersifat konstan.
b. Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal dan
tidak terdapat flatus.
c. Umumnya gejala obstruksi usus berupa konstipasi, yang berakhir pada
distensi abdomen, tetapi pada klien dengan obstruksi parsial bias
mengalami diare.
d. Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi sangat
keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kea rah mulut.
e. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi.
Semakin kebawah obstruksi dibawah area gastrointestinal yang terjadi,
semakin jelas adanya distensi abdomen.
f. Jika obstruksi usus berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi shock
hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma, dengan
manifestasi klinis takikardi dan hipotensi. Suhu tubuh biasanya normal tapi
kadang-kandang dapat meningkat. Demam menunjukkan obstruksi
strangulate.
g. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan
peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstrusi terus berlanjut,
peristaltic akan menghilang dan melemah. Adanya feces bercampur darah
pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan
intususepsi.
2. Obstruksi Usus Besar
a. Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi
pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
b. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada klien
dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala
satu-satunya dalam satu hari.
c. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi
dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
d. Klien mengalami kram akibat nyeri
abdomen bawah.
2.1. Pemeriksaan Diagnostik Pada Obstruksi Usus
Halus
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada tahap awal ditemukan hasil
laboratorium yang sanagt normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukosiosis, dan nilai elektrolit
yang abnormal. Peningkatan serum amylase sering didapatkan. Leukositosis
menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38%
sampai 50% obstruksi strangulate dibandingkan 27%- 44% pada obstruksi non
strangulate. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu
ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu,
dengan alkalosis metabolic bila muntah berat, dan metabolic asidosis bila ada
tanda-tanda shock, dehidrasi dan ketosis.
2. Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dilatasi lengkung usus halus
disertai adanya batas anatara air dan udara atau gas yang membentuk pola
bagaikan tangga, terutama pada obstruksi bagian distal. Foto polos abdomen
mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan
sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Pada kolon bias saja tidak Nampak gas.
Jika terjadi stangulasi dan nekrosis maka akan terlihat gambaran berupa
hilangnya mukosa yang regular dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas
pada foto toraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan
kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis akaibat adanya
perforasi.
3. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai
adanya strangulasi. CT-Scan akan menunjukkan secara lebih teliti adanya
kelainan pada dinding usus, kelainan pada mesenterikus, dan peritoneum. CT-
Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh
darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
4. Pemeriksaan Radiologi dengan Barium Enema
Pemeriksaan ini mempunyai suatu peran terbatas pada klien dengan obstruksi
usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen.
Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidaklah
hanya sebagai diagnostic tetapi memungkinkan juga sebagai terapi.
5. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyakit dari obstruksi
6. Pemeriksaan MRI
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterikus kronis.
7. Pemeriksaan Angiografi
Angiografi mesenterika superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya
herniasi internal, intususepsi, vovulus, malrotation dan adhesi.
PENGKAJIAN
Umum :
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen,
kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal, peningkatan bising usus
(awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan dan leukositosis,
mual dan muntah (materi fekal).
Khusus :
Usus halus
Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
Distensi ringan
Mual
Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim;
selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
Dehidrasi
Usus besar
Ketidaknyamana abdominal ringan
Distensi berat
Muntah fekal laten
Dehidrasi laten : asidosis jarang
PENATALAKSANAAN MEDIS/BEDAH
Rehidrasi IV dengan ringer laktat atau normal saline
Terapi Na+, K+, komponen darah
Nasogastrik tube untuk suction intermiten
Pertahankan NPO status
Antibiotik, Implementasikan pengobatan untuk syok dan peritonitis.
Kateter urine
Rektal tube
Pembedahan, reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area
penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien
berbaring miring ke kanan.
Edukasi untuk keluarga/ pasien :
- Diet tinggi serta dengan air yang cukup
- Perhatikan infeksi setelah proses pembedahan
DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
Diagnose Keperawatan Tujuan Dan KiteriaHasil IntervensiKeperawatan Rasional1 2 3 4
Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan proses obstruksi atau malfungsi gastric atau selang drainase usus
Tujuan :Meningkatkan kenyamanan klien atau nyeri teratasi.
Criteria hasil :a. Klien melaporkan nyeri
berkurang atau hilang.b. Klien tampak rileksc. Klien dapat istirahat dan
tidur cukup.d. Skala nyeri 0-2
1.Kaji karakteristik nyeri, durasi, frekuensi, dan skala nyeri (0-10)
2.Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi pada klien.
3.Lakukan masa sepunggung klien, jika nyeri timbul
4.Berikan analgesic dan antiemetic sesuai program medic
5.Pertahankan sambungan pada penghisap intermiten rendah atau sesuai progarm
6.Irigasi selang dengan salin normal 30 ml sesuai program
7.Pertahankan selang gastric tepat posisinya dalam lambung dengan plester
8.Hindari oklusi dari lubang sisi selang penghisap
9.Masukkan selang usus dengan perlahan sampai mencapai lokasi yang diinginkan
10.Ubah posisi tidur klien; miring kanan, telentang, miring kiri
11.Pertahankan kepala tempat tidur 30-45
1. Dasar untuk melakukan intervensi keperawatan
2. Tehnik tersebut dapat mengalihkan rasa nyeri klien
3. Masase dapat merangsang pengeluaran endofin yang dapat mengurangi rasa nyeri
4. Menghilangkan rasa nyeri dan menghilangkan mual
5. Sebagai pertahanan kepatenan dan fungsi yang tepat dari selang gastric atau usus.
6. Menghilangkan sumbatan pada selang, sehingga drainase lancer.
7. Pada posisi selang yang tepat dapat menyebabkan distensi abdomen yang menyebabkan nyeri
8. Mempertahankan kepatenan selang gastric atau usus, sehingga dapat menghilangkan obstruksi.
9. Posisi selang yang tepat dapat mengurangi nyeri.
10.Dapat memudahkan pada selang gastric atau usus.
11.Meningkatkan kenyamanan dan
derajat sesuai program12.Anjurkan klien untuk mengubah posisi
tidur setiap 2 jam sesuai indikasi13.Berikan perawatan mulut :menyikat gigi,
mencuci mulut, dan berikan pelumas mulut dengan interval sering
14.Lakukan perawatan cuping hidung yang terpasang selang dan berikan pelumas larut air sesuai program
meningkatkan ventilasi paru.12.Perubahan posisi dapat
meningkatkan peristaltic usus.13.Perawatan mulut yang sering
menjaga kelembapan mukosa mulut dan meningkatkan kenyamanan faring.
14.Untuk mencegah iritasi dan memberikan kenyamanan pada klien.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah dan anoreksia.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam diharapkan nutrisi dapat terpenuhi.Kriteria hasil :Mual dan muntah hilang, nafsu makan bertambah, makan habis satu porsi.
- Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah
- Kolaborasi pemberian obat antiemetik.
- Untuk menilai keluhan yang ada yang dapat mengganggu pemenuhan nutrisi.
- Membantu mengurangi rasa mual dan muntah.
Resiko tinggi terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan akibat obstruksi dan muntah tahap lanjut dan penurunan masukan akibat pembatasan cairan
Tujuan: tidak terjadi kekurangan volume cairan.Kriteria hasil:
1. Turgor kulit baik2. Membran mukosa
lembab3. Pengeluaran urin
30ml/jam4. Klien tidak
1. kaji tingkat kekurangan cairan: turgor kulit, membran mukosa, mengeluh haus.
2. Observasi tanda-tanda vital.
3. Monitor intake dan output cairan selama 8jam
4. Timbang berat badan klien setiap
1. penyimpangan dari hasil pengkajian merupakan indikator kekurangan cairan
2. merupakan acuan untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
3. mengidentifikasi kekurangan cairan dan untuk menentukan jumlah koreksi cairan
4. BB yang turun derastis
mengeluh haus 5. TTV dalam batas
normal
hari
5. Catat jumlah dan karakter aspirasi gastrointestinal setiap hari
6. Siapkan spesimen untuk pemeriksaan cairan aspirasi gastrointestinal sesuai program
7. Monitor TTV setiap 8jam
8. Ukur lingkar abdomen setiap hari
9. Berikan cairan intravena sesuai program medik
merupakan suatu tanda kekurangan cairan dalam jumlah besar
5. Indikator kekurangan cairan
6. Untuk mengetahui kehilangan elektrolit dan Ph cairan gastrointestinal
7. Perubahan TTV merupakan indikasi kekurangan cairan
8. Evaluasi kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
9. Untuk pemenuhan kebutuhan cairan
Apendisitis Akut
A. Pengertian
Apendisitis akut adalah suatu radang yang timbul secara mendadak
pada apendik dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan
berbagai faktor, diantaranya adalah hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan.
Apendisitis akut merupakan kondisi kegawatan yang memerlukan
pembedahan. Apendiksitis lebih sering di derita oleh laki-laki daripada orang
dewasa. Menurut Brunner dan Suddarth (2002), apendiksitis dapat terjadi
pada semua usia dan tersering pada rentang usia 10-30 tahun. Komplikasi
yang dikhawatirkan terjadi adalah peritonitis umum, dan abses.
Apendiksitis adalah peradangan pada mukosa apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab penyebab akut abdomen paling sering (Mansjoer.A,
2000).
B. Etiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1. Faktor Obstruksi
Disebabkan oleh hiperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, stasis fekal,
dan oleh parasit dan cacing.
2. Faktor Bakteri
Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli, Bacteriodes fragililis,
Splanchicus, Lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter
dari organ apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik
dan
letaknya yang memudahkan terjadi apendisitis.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan
sehari-hari.
C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri.
2. Mual dan muntah dengan anoreksia akibat nyeri visceral.
3. Suhu tubuh meningkat (infeksi akut).
4. Pada infeksi, klien berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya
yang sakit, timbul kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut
kanan bawah terlihat pada abses apendiks. Posisi klien biasanya miring
kesisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena
setiap ekstensi meningkatkan nyeri.
D. Penegakan Diagnosa Apendisitis Akut
Gambaran klinis pada apendisitis akut yaitu :
1. Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan
anorexia. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C.
Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.
2. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya
defans muskuler.
3. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada
tekanan kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah
kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign) batuk atau mengedan.
4. Survei Primer dan Resusitasi Pada Pasien Apendiksitis
1. Airway (Jalan Nafas)
Airway diatasi terlebih dahulu, selalu ingat bahwa cedera bisa lebih
dari satu are tubuh, dan apapun yang ditemukan, harus
memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu. Jaw thrust atau
chin lift dapat dilakukan atau dapat juga dipakai naso-pharingeal
airway pada pasien yang masih sadar. Bila pasien tidak sadar dan tidak
ada gag reflex dapat dipakai guedel. Kontrol jalan nafas pasien dengan
airway terganggu karena faktor mekanik, atau ada gangguan ventilasi
akibat gangguan ventilasi akibat gangguan kesadaran, dicapai dengan
intubasi endotracheal, baik oral maupun nasal.
2. Breathing (Pernafasan)
Kaji pernafasan, apakah ventilasi adekuat atau tidak. Berikan oksigen
bila pasien tampak kesulitan untuk bernafas atau terjadi pernafasan
yang dangkal dan cepat (takipnue).
Pemberian oksigen nasal : pada fase nyeri hebat skala nyeri 3 (0-4),
pemberian oksigen nasal 3 L/menit dapat meningkatkan intake oksigen
sehingga akan menurunkan nyeri.
3. Circulation
Kaji sirkulasi dengan TTV, bila terjadi mual muntah yang berlebihan
sehingga intake cairan kurang, maka penuhi cairan dengan
pemasangan infus.
5. Survei Sekunder Pada Pasien apendisitis
1. Kaji nyeri
Perhatikan sifat, progrsivitas dan lokasi nyeri. Biasanya, nyeri yang
berlahan-lahan karakteristik untuk peradangan. Nyeri pada apendisitis
adalah termasuk nyeri primer atau nyeri viseral dimana nyeri yang
berasal dari organ itu sendiri artinya dapat terlokalisir. Nyerinya
seperti kram dan gas, nyeri ini makin intens kemudian berkurang.
2. Kaji adanya vomitus, anoreksia, nausea.
3. Kaji adanya diare, karena biasanya diare menyertai apendisitis.
4. Kaji adanya demam (pada pasien peradangan intra abdomen).
5. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
- Tidak ditemukan gambaran spesifik.
- Kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
- Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses
periapendikuler.
- Tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan.
Palpasi
- Nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
tekan lepas.
- Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale.
Perkusi
- pekak hati menghilang jika terjadi perforasi usus.
Auskultasi
- biasanya normal
- peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata.
Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 9 dan 12
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi
panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel di m. poas
mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak
dengan m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil.
Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang
akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks.
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi.
- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendicitis.
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen.
b. USG.
c. Barium enema.
d. CT-Scan
e. Laparaskopi
7. Penatalaksanaan Apendisitis Akut
Perawatan Kegawatdaruratan
Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis
dehidrasi atau septicemia.
Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan
pasien.
Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda
septicemia dan pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.
Antibiotik Pre-Operatif
Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan
dalam menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah.
Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif dan
anaerob diindikasikan.
Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya
pembedahan.
Tindakan Operasi
Bila diagnosis klinis sudah jelas, maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik.
Penundaan tindakan bedah sambil pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi.
Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika.
Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati dengan
antibiotika IV, massanya mungkin mengecil, atau abses mungkin
memerlukan drainase dalam jangka waktu beberapa hari.
8. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi apendiks.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemasukan cairan
yang tidak adekuat (mual, muntah, anoreksia).
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan tubuh, perforasi/ruptur pada apendiks.
Diagnosa keperawatan Tujuan dan hasil kriteria Intervensi keperawatan Rasional
1. Nyeri b.d inflamasi
pada apendiks.
T:Nyeri teratasi / hilang.
Kriteria hasil :
a. klien melaporkan rasa sakit atau
nyerinya berkurang/terkontrol.
b. wajah tampak rileks.
c. klien dapat tidur/istirahat dengan
cukup.
1.kaji nyeri, catat lokasi, karateristik,
beratnya (skala 0-10) selidiki dengan
laporan perubahan rasa nyeri dengan
tepat.
2.pertahankan istirahat dengan posisi
semifowler
3.anjurkan klien napas dalam, (hirup
udara dari hidung dan keluarkan melalui
mulut).
4.berikan aktifitas hiburan.
5.lakukan gate control.
1.untuk menilai keefektifan obat,
kemajuan penyembuhan.
2. gravitasi melokalisasi eksudat
inflamasi dalam abdomen bawah,
menghilangkan tekanan abdomen
sehingga menurunkan nyeri.
3. Napas dalam, otot-otot menjadi
relaksasi sehingga dapat
menurunkan nyeri.
4.meningkatkan relaksasi dan dapat
menurunkan nyeri.
5.dengan gate control ransangan
nyeri tidak diteruskan ke
6. Pertahankan puasa /penghisapan
NGT ada awal, sesuai program medik.
7. Berikan analgesik sesuai indikasi.
8.berikan kantong es pada abdomen.
hipotalamus.
6. Menurunkan ketidaknyamanan
pada peristaltik usus dan iritasi
gaster atau muntah.
7. Menghilangkan nyeri.
8. Menghilangkan atau mengurangi
nyeri.
2. kekurangan
volume cairan b.d
pemasukan cairan
tidak adekuat
(mual,muntah).
T : Pemasukan cairan adekuat.
Kriteria hasil :
a. cairan dan elektrolit dalam
keadaan seimbang.
b. turgor kulit baik, TTV stabil,
membran mukosa lembab.
c. pengeluaran urine adekuat dan
1.monitor TTV (suhu, nadi, napas, dan
tekanan darah).
2.observasi membran mukosa, kaji
turgor kulit dan pengisian kapiler.
3.awasi masukan dan keluaran, catat
1.mengidentifikasi fluktuasi
volume intravaskuler, indikator
secara dini tentang adanya
hipovolemi.
2. Perubahan dari normal tanda
tersebut indikasi tidak adekuatnya
sirkulasi perifer dan hidrasi seluler.
3.penurunan keluaran urine pekat
normal.
d. pengisian kapiler <3 detik.
warna urine, konsentrasi, BJ urine.
4.berikan cairan sedikit demi sedikit
tapi sering.
5.jelaskan agar menghindari
makanan/buah-buahan yang meransang
mual.
6.berikan perawatan mulut dan bibir
dengan sering.
7.berikan cairan IV (intravena) dan
elektrolit.
8.pertahankan penghisapan gaster atau
usus.
dengan peningkatan BJ urine
diduga dehidrasi.
4.Untuk meminimalkan kehilangan
cairan.
5.menghindari adanya pengeluaran
cairan peroral atau muntah.
6.meminimalkan terjadinya luka
pada mukosa mulut, bibir.
7.memenuhi kebutuhan cairan dan
elektrolit.
8.untuk dekompensasi usus,
meningkatkan istrirahat usus,
mencegah muntah.
9.mengetahui kondisi jumlah cairan
9.lakukan pemeriksaan cairan dan
elektrolit.
dan elektrolit tubuh.
3. Resiko tinggi b.d
tidak adekuatnya
pertahanan tubuh,
perforasi/ruptur
pada apendiks/post
operasi
T : tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :
a. bebas dari tanda-tanda infeksi.
b. tidak ada drainase purulen.
c. TTV dalam batas normal.
d. hasil lab : leukosit dalam batas
normal.
1.monitor tanda-tanda infeksi :
perhatikan adanya demam, perubahan
mental, meningkatnya nyeri abdomen.
2. Lakukan pencucian tangan sebelum
dan sesudah kontak dengan klien.
3. Lakukan pencukuran pada area
operasi (perut kanan bawah).
4. Anjurkan klien mandi dengan
sempurna sebelum operasi.
5.berikan antibiotik sesuai program
terapi.
1.mengidentifikasi adanya
peningkatan suhu sebagai indikator
adanya infeksi.
2. Menurunkan resiko terjadinya
kontaminasi mikroorganisme.
3.dengan pencukuran klien
terhindar dari infeksi post operasi.
4.Kulit yang bersih dapat mencegah
timbulnya mikroorganisme.
5.menyembuhkan infeksi/mencegah
penyebaran infeksi.
Daftar Pustaka
Newberry, Lorene. 2005. Sheehy’s Manual of Emergency Care ed.6. Oregon : Elsivier Mosby.
Smeltzer Suzanne C. 2001Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta : Trans Info Media.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroentrologi cet 2. Bandung : PT. Alumni
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Brunner, Suddarth. 2006. Keperawatan Medikal Bedah volume 2. Jakarta : EGC
Wilson, Iorraine dan Sylvia A. Prince. 2006. Patofisiologi volume 1, edisi 6 .
Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik ed.6 volume 2.
Jakarta : EGC
Aru W. Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 5 jilid 2. Jakarta :
Internal Publishing