BAB 1
PENDAHULUAN
Pribadi yang ada dalam setiap diri manusia timbul sebagai hasil dari proses
perkembangan. Pada setiap tahapan perkembangan terdapat beberapa aspek perkembangan
yang mengalami tumbuh kembang secara kompleks, memiliki karakterisitk yang berbeda
sesuai dengan tahapan usia masing-masing. Aspek-aspek tersebut meliputi perkembangan
fisik atau biologis, perkembangan kognitif, dan perkembangan sosio-emosional (Maramis
WF et al, 2009).
Bila salah satu aspek terganggu saat proses perkembangan maka tidak hanya
berdampak pada aspek tersebut namun juga dapat menghambat perkembangan aspek lainnya.
Dalam PPDGJ III gangguan perkembangan psikologis merupakan suatu gangguan pada diri
seseorang yang memiliki gambaran seperti onset munculnya gejala bervariasi selama masa
bayi atau anak, adanya hendaya atau keterlambatan perkembangan fungsi yang berlangsung
erat dengan kematangan biologis dari susunan sistem saraf pusat serta berlangsung secara
terus menerus tanpa remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak gangguan jiwa.
1
BAB 2
ISI
2. 1. Gangguan Perkembangan khas berbicara dan berbahasa (F80)
Gangguan ini adalah gangguan pola normal penguasaan bahasa sejak awal
perkembangan. Kondisi ini secara tidak langsung berkaitan dengan kelainan neurologis,
mekanisme bicara, gangguan sensori, retardasi mental, atau faktor lingkungan. Anak
mungkin lebih mampu berkomunikasi atau mengerti pada situasi tertentu yang sangat
dikenalnya daripada situasi lain, tetapi kemampuan berbahasa pada setiap keadaan sedikit
terganggu (Maslim, 2001).
Kesulitan utama diagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa adalah
membedakannya dengan variasi perkembangan anak normal. Anak dengan perkembangan
yang normal mempunyai variasi yang besar pada usia saat pertama kali belajar berbicara dan
berbahasa. Anak normal dengan keterlambatan berbicara (slow speaker) sebagian besar bisa
berkembang menjadi normal. Sebaliknya, anak dengan gangguan perkembangan khas bicara
dan berbahasa, meskipun pada akhirnya sebagian besar mencapai tingkat normal dari
keterampilan berbahasa, namun juga akan diikuti oleh masalah-masalah yang lainnya seperti
kesulitan dalam membaca dan mengeja, kelainan dalam hubungan interpersonal, serta
gangguan emosional dan prilaku. Terdapat empat kriteria utama yang digunakan untuk
menemukan terjadinya gangguan klinis yang nyata yaitu: a. Keparahan; b. Perjalanan
penyakit; c. Pola; d. Masalah yang menyertai (Maslim, 2001).
Kesulitan kedua dalam mendiagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan
berbahasa adalah membedakannya dengan retardasi mental atau kelambatan perkembangan
global. Kecurigaan pada gangguan perkembangan khas jika ditemukan bahwa kelambatan
perkembangan yang ditemukan tidak menyimpang dari tingkat rata-rata umum fungsi
kognitif. Pada umumnya, retardasi mental akan disertai dengan pola prestasi intelektual yang
tidak merata dan hendaya berbahasa yang lebih berat (Maslim, 2001).
Kesulitan ketiga dalam mendiagnosis gangguan perkembangan khas berbicara dan
berbahasa adalah membedakannya dari suatu gangguan sekunder akibat dari ketulian yang
berat atau beberapa kelainan neurologis atau struktur lain yang khas. Ketulian yang berat
pada awal masa kanak-kanak hampir selalu dapat menimbulkan keterlambatan perkembangan 2
bahasa yang menyolok. Kelainan artikulasi yang lansung disebabkan oleh langit-langit mulut
yang terbelah atau disatria yang diakibatkan oleh cerebral palsy juga dapat menyebabkan
gangguan berbicara. Gangguan berbicara dan berbahasa yang disebabkan oleh hal-hal ini
tidak termasuk dalam gangguan khas berbicara dan berbahasa (Maslim, 2001).
2.1.1 Gangguan Artikulasi berbicara Khas (F80.0).
Gangguan ini merupakan gangguan perkembangan khas dimana penggunaan suara
untuk berbicara dari anak, berada di bawah tingkat yang sesuai dengan tingkat mentalnya,
namun tingkat kemampuan bahasanya berada dalam batas normal. Perlu diperhatikan bahwa
usia penguasaan suara untuk berbicara dan cara suara berkembang, menunjukan variasi yang
cukup besar pada masing-masing individu. Pada perkembangan normal, anak berusia 4 tahun
biasanya akan terjadi kesalahan mengungkapkan suara bicara, namun kesalahan ini dapat
dimengerti dengan mudah oleh orang lain. Pada usia 6-7 tahun, sebagian besar suara untuk
berbahasa akan diperoleh. Meskipun kesulitan berbicara dapat menetap dengan kombinasi
suara tertentu, tetapi hal ini tidak menyebabkan masalah dalam komunikasi. Pada usia 11-12
tahun, penguasaan dari hampir semua suara untuk berbicara harus dicapai (Maslim, 2001).
Pada perkembangan yang abnormal, kemahiran suara bicara akan terlambat
dan/menyimpang sehingga hal ini dapat menimbulkan misartikulasi berbahasa anak dengan
kesulitan orang lain memahami, subtitusi suara bicara dan inkontinensi mengeluarkan suara
(anak dapat dengan benar mengucapkan beberapa kata tetapi tidak dapat untuk kata-kata yang
lainnya). Diagnosis ditegakkan hanya jika beratnya gangguan artikulasi diluar batas variasi
normal bagi usia mental anak. Pada gangguan ini, kecerdasan (intelegensia) non verbal anak
masih dalam batas normal. kelainan artikulasi tidak langsung diakibatkan oleh suatu kelainan
sensorik, struktural atau neurologis. Kesalahan ucap pada gangguan ini ditemukan tidak
normal dalam konteks pemakaian bahasa percakapan sehari-hari (Maslim, 2001).
Sebagian besar anak dengan gangguan artikulasi bahasa berespon baik pada
pengobatan. Kesulitan artikulasi bahasa bisa ditangani dengan baik dan tidak menetap hingga
dewasa. Namun, jika gangguan artikulasi ini juga diikuti dengan gangguan berbahasa
ekspresif, prognosis gangguan akan menjadi lebih buruk dan perlu terapi bicara yang lebih
spesifik untuk menanganinya (Maslim, 2001).
2.1.2 Gangguan berbahasa ekspresif (F80.1).
Gangguan berbahasa ekspresif adalah gangguan perkembangan khas dengan
kemampuan anak dalam mengekspresikan bahasa lisan/ucapan dibawah rata-rata usia
3
mentalnya, namun pengertian bahasa dalam batas normal, dengan atau tanpa gangguan
artikulasi (Sadock BJ et al, 2010).
1) Epidemiologi
Prevalensi gangguan bahasa ekspresif berada pada rentang 3-10% dari semua anak
usia sekolah, dengan sebagian besar perkiraan adalah 3 dan 5% lebih sering 2-3 kali pada
anak laki-laki (Sadock BJ et al, 2010).
2) Etiologi
Penyebab spesifik gangguan bahasa ekspresif tidak diketahui. Kerusakan otak
yang samar serta keterlambatan pematangan perkembangan otak dicurigai menjadi
penyebab yang mendasari gangguan ini. Faktor genetik diperkirakan memainkan peran
dalam gangguan ini. Terdapat bukti yang menunjukan bahwa gangguan bahasa terdapat
dalam frekuensi yang lebih tinggi pada keluarga tertentu. Beberapa studi juga
menunjukan bahwa pada anak kembar monozigot, ditemukan adanya kecenderungan
kejadian bersama mengalami gangguan komunikasi yang signifikan. Faktor lingkungan
dan pendidikan juga dicurigai turut berperan di dalam gangguan perkembangan bahasa
dan perkembangan pada anak (Sadock BJ et al, 2010).
3) Penegakan Diagnosis
Perlu diperhatikan bahwa pada umumnya terdapat variasi individu yang cukup besar
dalam tingkat perkembangan bahasa yang normal. Namun, pada anak berusia 2 tahun
yang ditemukan tidaknya ada kata yang terucap atau hanya kemunculan beberapa kata,
hal ini dapat menjadi tanda yang bermakna dalam mencurigai keterlambatan pada anak.
Tanda keterlambatan lain juga dapat diberikan pada anak berusia 3 tahun yang tidak
mampu mengerti kata majemuk sederhana. Tanda lain yang muncul belakangan dapat
berupa perkembangan kosakata yang terbatas, kesulitan dalam memilih dan mengganti
kata-kata yang tepat, penggunaan berlebihan dari sekelompok kecil kata-kata umum,
pemendekan ucapan yang panjang, struktur kalimat yang mentah, kesalahan kalimat
(syntactical), kehilangan awalan dan akhiran yang khas serta kesalahan/kegagalan dalam
menggunakan aturan tata bahasa seperti kata penghubung, kata ganti, artikel dan kata
kerja/benda yang mengalami perubahan. Dapat dijumpai generalisasi yang tidak tepat dari
aturan tata bahasa, seperti kekurangan dalam pengucapan kalimat dan kesulitan mengurut
kejadian yang telah lewat. Ketidakmampuan dalam bahasa lisan sering disertai dengan
kelambatan atau abnormalitas dalam bunyi kata yang dihasilkan (Sadock BJ et al, 2010).
4
Diagnostik ditegakan jika tingkat keparahan dari kelambatan perkembangan
berbahasa ekspresif telah melewati batas variasi normal dari umur mental anak, namun
kemampuan pengertian bahasa masih dalam batas normal. Penggunaan bahasa non verbal
(Senyum dan gerakan tubuh) dan bahasa internal yang tampak dalam imajinasi atau
dalam permainan khayalan tetap utuh. Dalam hal ini, kemampuan dalam komunikasi
sosial tanpa kata tidak terganggu. Anak sebagai kompensasi dari kekurangannya akan
berusaha berkomunikasi dengan menggunakan demonsterasi, gerakan tubuh, mimik atau
bunyi-bunyi non bahasa. Namun, anak sebagian besar akan menjumpai kesulitan dalam
hubungan dengan teman sebayanya, gangguan emosional, gangguan prilaku dan/atau
aktivitas berlebih serta kurang perhatian. Gangguan kehilangan pendengaran parsial
sering ditemukan dalam kasus ini, namun hal ini tidak harus menjadi penyebab dari
kelambatan bahasa. Gangguan dalam percakapan dapat dianggap sebagai penyebab
terbesar dalam gangguan perkembangan berbahasa ekspresif (Sadock BJ et al, 2010).
4) Perjalanan penyakit dan Prognosis
Prognosis pada umumnya baik. Kecepatan dan derajat pemulihan tergantung pada
keparahan gangguan, motivasi anak untuk berperan dalam terapi, dan pemberian bahasa
yang tepat waktu dan intervensi terapeutik lain (Sadock BJ et al, 2010).
5) Terapi
Berbagai tehnik telah digunakan untuk membantu seorang anak dalam memperbaiki
penggunaan kata pada pembicaraan. Intervensi langsung melibatkan ahli patologi bahasa
dan bicara yang langsung berhubungan dengan anak. Intervensi dengan melibatkan guru
atau orang tua yang telah terlebih dahulu dilatih terbukti efektif dalam meningkatkan
efektifitas terapi bahasa (Sadock BJ et al, 2010).
2.1.3 Gangguan berbahasa Reseptif (F80.2)
Gangguan berbahasa reseptif adalah gangguan perkembangan khas ditandai dengan
kemampuan anak untuk mengerti bahasa di bawah rata-rata usia mentalnya. Namun, dalam
hampir semua kasusnya dalam perkembangannya, kemampuan bahasa ekspresif juga akan
kemungkinan besar juga ikut terganggu dalam gangguan ini (Sadock BJ et al, 2010).
1) Epidemiologi
Prevalensi diperkirakan terentang dari 1 sampai 13% untuk gangguan bahasa reseptif
maupun ekspresif. Gangguan lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan (Sadock BJ et al, 2010).
2) Etiologi
5
Penyebab utama gangguan bahasa reseptif tidak diketahui secara pasti. Teori awal
menunjukan bahwa disfungsi perseptual, cedera serebral yang samar, keterlambatan
maturasi dan faktor genetik sebagai kemungkinan faktor penyebab gangguan ini.
Beberapa penelitian menemukan bahwa gangguan ini juga dapat disebabkan karena
adanya gangguan dasar pada diskrimanasi auditorik anak. Hal ini karena sebagian besar
anak dengan gangguan ini lebih responsif terhadap lingkungan dibandingkan suara bicara
(Sadock BJ et al, 2010).
3) Diagnosis
Gangguan ini perlu dicurigai jika ditemukan anak tidak mampu memberi respon
terhadap nama benda yang umum pada umur 1 tahun, anak ditemukan tidak mampu
mengidentifikasi beberapa objek sederhana dalam umur 18 bulan serta anak ditemukan
gagal mengikuti instruksi sederhana pada umur 2 tahun. Kesulitan yang ditemukan pada
massa lanjut seperti kesulitan dalam pengertian struktur tata bahasa (bentuk kalimat,
pertanyaan, perbandingan, dsb) dan pengertian kehalusan bahasa (nada suara, gerakan
tubuh, dsb) (Maslim, 2001).
Diagnostik gangguan berbahasa reseptif ditegakan jika tingkat kelambatan dalam
bahasa reseptif anak berada di luar batas normal rata-rata usia mental anak dan jika
kriteria gangguan perkembangan pervasif tidak dijumpai pada anak. Pada hampir semua
kasus, perkembangan bahasa ekspresif juga ditemukan terlambat. Gangguan berbahasa
reseptif mempunyai tingkat hubungan yang tinggi dengan gangguan sosio-emosional-
perilaku. Meskipun tidak khas, anak dengan gangguan ini menunjukan hiperaktivitas,
kurang perhatian, kecanggungan sosial, anxietas, sensitifitas dan malu yang tidak wajar.
Anak dengan gangguan berbahasa reseptif yang berat biasanya disertai dengan
kelambatan dalam perkembangan sosial, dapat mengulang kata yang tidak mereka
mengerti dan menunjukan pola perhatian yang terbatas. Meskipun demikian, anak dengan
gangguan berbahasa reseptif berbeda dengan anak autistik dalam hal interaksi sosial yang
lebih normal, pemanfaatan orang tua untuk berlindung normal, penggunaan gerak tubuh
yang hampir normal, dan ditemukan hanya sedikit kesulitan untuk berkomunikasi.
Kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi dapat ditemukan, tetapi tingkat
ketulian tidak cukup untuk menimbulkan hendaya berbahasa (Sadock BJ et al, 2010).
Pemeriksaan bicara dan bahasa yang lengkap, sebelum terapi bicara dan bahasa,
biasanya dianjurkan untuk anak-anak dengan gangguan bahasa reseptif, terlepas dari tidak
adanya penelitian yang terkendali mengenai terapi gangguan. Beberapa ahli terapi
6
menyukai lingkungan stimuli yang ringan, dimana anak diberikan instruksi linguistik
individual. Beberapa lainnya menganjurkan bahwa instruksi bicara dan bahasa
diintegrasikan ke dalam berbagai lingkungan dengan kelompok anak yang diajarkan
beberapa struktur bahasa secara bersama-sama. Banyak gejala yang terlibat dalam
gangguan, sehingga lingkungan pendidikan yang khusus dan kecil mungkin bermanfaat
dalam memaksimalkan hasil terapi (Sadock BJ et al, 2010).
4) Perjalanan gangguan dan prognosis
Prognosis keseluruhan untuk gangguan bahasa reseptif adalah kurang baik
dibandingkan gangguan berbahasa ekspresif. Jika ganggua ditemukan pada anak yang
masih kecil, prognosisnya menjadi semakin buruk. Hal ini disebabkan karena masa anak-
anak awal adalah waktu dimana bahasa berkembang paling cepat. Anak kecil dengan
gangguan mungkin akan tampak tertinggal dibandingkan dengan anak normal yang
sebaya. Selama jangka panjang, beberapa anak dengan gangguan berbahasa ini mencapai
fungsi bahasa yang mendekati normal. Secara keseluruhan, prognosis untuk anak-anak
yang mendapatkan gangguan bahasa resepetif sangat bervariasi tergantung pada sifat dan
keparahan kerusakan (Sadock BJ et al, 2010).
5) Terapi
Psikoterapi sering diperlukan karena anak-anak dengan gangguan ini sering memiliki
masalah emosional dan prilaku. Perhatian khusus harus diberikan untuk meningkatkan
citra diri anak dan keterampilan sosial. Konseling keluarga di mana orangtua diajarkan
pola interaksi yang sesuai dengan anak yang juga akan membantu pengobatan (Sadock BJ
et al, 2010).
2.1.4 Afasia yang didapat dengan Epilepsi/ Sindrom Landau-Kleffnerr (F80.3).
Sindrom ini merupakan suatu gangguan yang didahului terlebih dahulu dengan
perkembangan berbahasa yang normal, kemudian kehilangan kedua kemampuan berbahasa
reseptif dan ekspresif, namun intelegensia umum masih dalam batas normal. Onset gangguan
disertai dengan abnormalitas paroksismal pada EEG dan dalam banyak kasus disertai kejang
epileptik. Pada umumnya, onset gangguan ini berada pada rentang umur 3-7 tahun, tetapi
dapat juga muncul lebih awal atau lebih lambat. Pada seperempat jumlah kasus, akan terjadi
kehilangan berbahasa secara perlahan-lahan dalam beberapa bulan. Namun, pada kasus lain,
onset terjadi secara mendadak dalam beberapa hari atau minggu (Maslim, 2001).
Hubungan temporal antara onset kejang dengan kehilangan berbahasa bervariasi,
biasanya salah satu mendahului yang lain dalam beberapa bulan sampai 2 tahun. Khas pada
7
gangguan ini adalah ditemukannya hendaya berbahasa reseptif yang sangat berat., dengan
kesulitan dalam pengertian melalui pendengaran yang sering timbul pada manifestasi awal.
Beberapa anak menjadi membisu, mengeluarkan suara ulang yang tak berarti atau kekurang
lancaran berbahasa. Pada beberapa kasus, kualitas suara terganggu dengan hilangnya alunan
suara yang normal. Kadang-kadang gangguan berbahasa timbul-hilang dalam fase awal
gangguan ini. Gangguan emosional dan prilaku sering menyusul beberapa bulan setelah
gangguan berbahasa, tetapi hal itu cenderung membaik pada saat anak mampu berkomunikasi
(Maslim, 2001).
Penyebab kondisi ini tidak diketahui pasti, namun dengan ciri khas yang ditunjukan
diperkirakan disebabkan proses radang pada otak. Perjalanan penyakit ini cukup bervariasi:
kira-kira dua pertiga dari anak-anak ini akan tetap kurang mampu dalam bahasa reseptif
sedangkan satupertiganya mampu untuk sembuh sempurna (Maslim, 2001).
2.1.5 Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa lainnya (F80.8).
2.1.6 Gangguan perkembangan berbicara dan berbahasa YTT (F80.9).
Gangguan berbicara dan berbahasa kategori ini harus dihindarkan sejauh mungkin dan
hanya digunakan untuk gangguan yang tidak ditentukan dengan hendaya yang bermakna
dalam pengembangan bicara atau bahasa yang tidak termasuk retardasi mental dan kelainan
neurologis (sensoris atau fisik) (Maslim, 2001).
2.2 Gangguan perkembangan belajar khas (F81).
Gangguan perkembangan belajar khas adalah suatu gangguan pada pola normal
kemampuan penguasaan keterampilan yang terganggu sejak stadium awal dari perkembangan
yang bukan semata-mata akibat dari kurangnya kesempatan belajar atau pun berhubungan
dengan cedera otak yang didapat ataupun penyakit lainnya. Gangguan ini lebih banyak
berasal dari kelainan proses kognitif, khususnya beberapa tipe disfungsi biologis. Gangguan
ini lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Maslim, 2001).
Dalam mendiagnosis gangguan perkembangan belajar khas, terdapat 5 hal yang perlu
diperhatikan dalam menegakan diagnosis kasus yakni (Maslim, 2001):
a. Variasi normal dalam prestasi sekolah.
b. Perjalanan taraf perkembangan gangguan.
c. Keterampilan skolastik yang perlu pengajaran dan pembelajaran.
d. Penyebab dari kesulitan membaca.
e. Belum bakunya cara terbaik dalam penggolongan gangguan perkembangan khas
kemampuan skolastik.
8
Gangguan perkembangan belajar khas terdiri dari sekelompok gangguan yang
ditandai oleh adanya hendaya yang khas dan bermakna dalam belajar keterampilan skolastik.
Hendaya dalam belajar ini tidak merupakan hasil langsung dari gangguan yang lain (retardasi
mental, defisit neurologis yang besar, masalah visus dan daya dengar yang tidak terkoreksi,
atau gangguan emosiona), walaupun mungkin terdapat bersamaan dengan kondisi tersebut.
Gangguan perkembangan belajar khas seringkali terdapat bersamaan dengan sindrom klinis
lain (seperti gangguan pemusatan perhatian atau gangguan tingkah laku) atau gangguan
perkembangan lain (gangguan perkembangan motorik khas atau gangguan perkembangan
khas berbicara atau berbahasa). Etiologi dari gangguan perkembangan belajar khas tidak
diketahui, tetapi diduga hal ini disebabkan oleh faktor biologis yang berinteraksi dengan
faktor non biologis (seperti kesempatan belajar dan kualitas pengajaran) (Sadock BJ et al,
2010).
Terdapat syarat dasar dalam diagnosis gangguan perkembangan belajar khas
diantaranya adalah (Sadock BJ et al, 2010) :
a. Terdapat hendaya yang bermakna dalam keterampilan skolastik tertentu.
b. Hendayanya harus khusus dalam arti bahwa tidak semata-mata karena adanya retardasi
mental atau hendaya ringan pada intelegensia umum.
c. Hendaya harus dalam perkembangannya.
d. Tidak ada faktor luar yang menjadi alasan untuk kesulitan skolastik.
e. Gangguan perkembangan belajar khas tidak langsung disebabkan oleh hendaya visus
atau pendengaran yang tak terkoreksi.
2.2.1 Gangguan membaca khas (F81.0).
Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya yang khas dan bermakna dalam
perkembangan kemampuan membaca, yang tidak semata-mata dijelaskan dari usia mental,
masalah ketajaman pandangan, atau dari tidak adekuatnya pendidikan. Kemampuan
mengerti/memahami bacaan, mengenali kata pada bacaan, kemampuan membaca secara
lantang, dan pelaksanaan tugas/pekerjaan yang membutuhkan kemampuan membaca
mungkin semua akan terkena. Kesulitan mengeja seringkali dihubungkan dengan gangguan
membaca khas dan sering menetap sampai remaja walau kemampuan membaca sudah
sempurna. Anak-anak dengan gangguan membaca khas seringkali mempunyai riwayat
gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa dan pemeriksaan yang seksama
tentang fungsi berbahasa sering mengungkapkan kesulitan yang berada bersama. Selain
kegagalan akademik, absen dari sekolah dan masalah penyesuaian sosial merupakan kesulitan
9
yang sering dijumpai, terutama sekali pada akhir pendidikan dasar dan menengah pertama
(Sadock BJ et al, 2010).
1) Epidemiologi
Suatu perkiraan sebesar 4% anak usia sekolah di amerika serikat memiliki
gangguan membaca. Studi prevalensi menemukan angka yang berkisar antara 2% dan
8%. Anak laki-laki 3-4 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan, dilaporkan
memiliki ketidakmampuan membaca pada sampel yang merujuk secara klinis. Studi
epidemiologis yang teliti menemukan angka yang hampir sama antara laki-laki dan
perempuan yang memiliki gangguan membaca. Anak laki-laki dengan gangguan
membaca mungkin lebih sering dirujuk untuk evaluasi dibandingkan anak perempuan
karena masalah perilaku yang sering terkait (Sadock BJ et al, 2010).
2) Etiologi
Tidak ada penyebab tunggal yang diketahui menyebabkan gangguan membaca. Hal
ini dikarenakan penyebab gangguan membaca diduga disebabkan oleh multifaktorial.
Gangguan membaca diduga disebabkan karena beberapa faktor seperti faktor genetika,
gangguan defisit samar-samar visual dan verbal, serebral palsi, komplikasi kehamilan,
kesulitan prenatal dan pascanatal, prematuritas, BBLR, dan lain sebagainya. Gangguan
membaca berat sering kali diserat dengan masalah psikiatrik. Gangguan membaca
mungkin merupakan akibat gangguan psikiatrik yang telah ada sebelumnya atau
menyebabkan gangguan emosional dan perilaku. Namun, hubungan ini belum dapat
dipastikan dengan pasti (Sadock BJ et al, 2010).
3) Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis gangguan membaca khas, kemampuan membaca anak
harus secara bermakna lebih rendah tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan
pada usianya. Terdapat beberapa kesalahan dalam kemampuan membaca secara lisan
seperti yang digambarkan dengan (Maslim, 2001) :
a. Penghilangan (ommision), penggantian (Subtitution) dan distorsi pada imbuhan kata
atau suku kata.
b. Kecepatan membaca yang lamban.
c. Salah mengawali, keraguan yang lama atau kehilangan bagian dari teks dan
ketidaktepatan menyusun kalimat.
d. Memutar-balikkan kata dalam kalimat atau huruf dalam kata
10
e. Pada akhir masa kanak dan masa dewasa, biasanya kesulitan mengeja lebih parah
daripada kesulitan membaca.
Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh riwayat gangguan
perkembangan berbicara atau berbahasa. Pada beberapa kasus mungkin juga ada masalah
dalam proses penglihatan. Meskipun demikian, hal tersebut tak ada hubungan langsung
terhadap buruknya kemampuan membaca anak. Kesulitan dalam mempertahankan perhatian
juga ditemukan. Biasanya sering terlihat overaktivitas dan impulsivitas. Pola yang tepat dari
kesulitan perkembangan dalam massa prasekolah bervariasi dari satu anak ke anak yang lain
(Maslim, 2001).
Gangguan membaca biasanya tampak pada usia 7 tahun (kelas 2). Pada kasus berat,
bukti-bukti kesulitan membaca mungkin tampak pada umur 6 tahun (kelas satu). Kadang-
kadang gangguan membaca terkompensasi pada tingkat dasar awal, terutama jika disertai
dengan skor yang tinggi pada tes kecerdasan. Pada kasus tersebut, gangguan mungkin tidak
terlihat sampai umur 9 tahun (Maslim, 2001).
Gangguan emosional dan/prilaku yang menyertainya biasanya juga ada pada masa
usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih banyak pada masa tahun pertama sekolah,
tetapi gangguan perilaku dan sindrom hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa
kanak dan remaja. Perasaan rendah diri sering dijumpai dan kesulitan penyesuaian di sekolah
dan hubungan dengan teman sebaya (Sadock BJ et al, 2010).
4) Perjalanan gangguan dan prognosis
Banyak anak dengan gangguan membaca mendapatkan pengetahuan dari bahasa yang
dicetak pada masa 2 tahun pertama sekolah dasar, bahkan tanpa bantuan untuk
memperbaikinya. Jika dibetikan dini, pada kasus yang lebih ringan, tidak diperlukan lagi
terapi perbaikan di akhir kelas satu atau dua. Pada kasus yang berat dan bergantung pada
pola defisit dan kekuatan, terapi remidial dapat dilanjutkan hingga sekolah menengah atau
tingkat SMU (Sadock BJ et al, 2010).
5) Terapi
Seperti dalam psikoterapi, hubungan ahli terapi dengan dan pasien sangat penting
dalam meningkatkan keberhasilan terapi. Anak-anak dengan gangguan membaca harus
ditempak dalam kelas yang sedekat mungkin dengan tingkat fungsional sosialnya dan
diberikan beban khusus dalam membaca. Satu metoda terapi yang sering digunakan
adalah dengan mendorong perhatian anak untuk menguasai fonetik sederhana, diikuti
11
dengan mencampur unit tersebut menjadi kata dan kalimat. Suatu pendekatan yang secara
sistematis mendorong penggunaan indera sangat dianjurkan (Sadock BJ et al, 2010).
2.2.2 Gangguan mengeja khas (F81.1)
Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya yang khas dan bermakna dalam
perkembangan kemampuan mengeja tanpa riwayat gangguan membaca khas, yang bukan
disebabkan oleh rendahnya usia mental, masalah ketajaman penglihatan atau pendidikan
sekolah yang tidak adekuat. Kemampuan untuk mengeja secara lantang (lisan) dan
menuliskan kata secara benar keduanya terkena. Anak memiliki sebuah masalah seperti
kemampuan tulisan tangan tidak harus dimasukan ke dalam gangguan ini. Namun, dalam
beberapa kasus, kesulitan mengeja juga berhubungan dengan masalah kemampuan menulis.
Berlainan dengan pola gangguan membaca khas yang biasa, kesalahan mengeja ternyata
secara fonetik benar (Maslim, 2001).
Penegakan diagnosis gangguan mengeja khas harus melihat kemampuan mengeja
secara bermakna dibawah tingkat yang seharusnya sesuai dengan usianya. Penilaian
gangguan ini sebaiknya dinilai dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan mengeja yang
baku. Kemampuan membaca anak harus dalam batas normal dan harus tidak ada riwayat
sebelumnya yang bermakna tentang kesulitan membaca. Kesulitan dalam mengeja bukan
sebagai akibat cara pengajaran yang tidak adekuat atau karena kekurangan daya penglihatan,
pendengaran atau fungsi neurologis, dan bukan didapat sebagai akibat gangguan neurologis,
psikiatris atau lainnya (Maslim, 2001).
Meskipun diketahui bahwa gangguan mengeja murni berbeda dari gangguan
membaca yang berhubungan dengan kesulitan mengeja, ternyata sedikit sekali diketahui
tentang awal kejadian, perjalanan penyakitnya, hubungan atau akibat dari gangguan mengeja
(Maslim, 2001).
2.2.3 Gangguan berhitung khas (F81.2)
Gangguan berhitung khas adalah suatu ketidakmampuan dalam melakukan
keterampilan aritmetika yang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas intelektual dan
tingkat pendidikan seseorang. Kelemahan gangguan ini terletak pada kelemahan pada
penguasaan kemampuan dasar berhitung yaitu tambah, kurang, kali dan bagi (bukan
kemampuan matematika yang lebih abstrak seperti aljabar, trigonometri, geometri atau
kalkulus). Tidak adanya kemampuan matematika ini dapat mengganggu kinerja sekolah atau
aktivitas hidup sehari-hari (Maslim, 2001).
12
1) Epidemiologi
Prevalensi gangguan berhitung sendiri diperkirakan terjadi dalam kira-kira 1% anak-
anak usia sekolah, yaitu kira-kira 1 dari 5 anak dengan gangguan belajar. Studi
epidemiologi menunjukan bahwa hingga 6% anak-anak usia sekolah memiliki kesulitan
dalam berhitung. Gangguan matematika dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi
pada anak perempuan (Sadock BJ et al, 2010).
2) Etiologi
Timbulnya gangguan berhitung, serupa dengan gangguan belajar lain, cenderung
disebabkan setidaknya sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal mengajukan defisit
neurologis di hemisfer serebri kanan sebagai penyebabnya, terutama pada area lobus
oksipitalis. Regio ini bertanggung jawab untuk memproses stimulus visuospasial yang
selanjutnya bertanggung jawab untuk keterampilan matematis (Sadock BJ et al, 2010).
Saat ini, penyebab dianggap multifaktorial, sehingga faktor kematangan, kognitif,
emosional, pendidikan dan sosioekonomi turut berperan di dalam berbagai derajat dan
kombinasi untuk gangguan berhitung (Sadock BJ et al, 2010).
3) Diagnosis
Pada penegakan diagnosis, gangguan berhitung harus ditemukan. Kemampuan
berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah daripada tingkat yang seharusnya
dicapai sesuai umurnya. Gangguan ini dinilai dengan cara pemeriksaan untuk
kemampuan berhitung yang baku. Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam
batas normal sesuai dengan sesuai dengan umur mental anak (Maslim, 2001)
Sebagian besar anak dengan gangguan berhitung dapat diklasifikasikan selama kelas
dua dan tiga dalam sekolah dasar. Kinerja anak yang terkena dalam menangani konsep
angka dasar, seperti berhitung dan menjumlahkan mengalami gangguan meskipun
kemampuan keterampilan intelektual di bidang lain dalam batas normal. Selama dua atau
tiga tahun pertama sekolah dasar, seorang anak dengan gangguan berhitung tampak
mengalami kemajuan dalam matematika dengan menyandarkannya pada hafalan. Tetapi
dengan segera, saat aritmatika berkembang menjadi tingkat yang kompleks yang
memerlukan diskrriminasi dan manipulasi hubungan ruang dan numerik, adanya
gangguan dicurigai (Maslim, 2001)
Kesulitan berhitung ternyata beraneka ragam termasuk: sulit megerti konsep
perhitungan yang mendasari, tidak mengerti istilah dan lambang matematika, tidak
mengenal angka, kesulitan mengaksarakan upaya perhitungan dasar, kesulitan mengenal
13
angka yang terkait dengan soal berhitung, kesulitan dalam menjajarkan angka yang sesuai
atau meletakan titik desimal atau lambang berhitung, tidak pandai mengatur ruang dalam
perhitungan matematika dan tidak mampu untuk menghafal perkalian secara memuaskan
(Maslim, 2001)
4) Perjalanan gangguan dan prognosis
Aspek dengan gangguan berhitung biasanya dapat diidentifikasikan pada usia 8 tahun
(kelas 3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat terlihat pada usia 6 tahun (kelas 1).
Namun, pada kasus lain, gangguan bisa tidak terlihat hingga usia 10 tahun (Kelas 5) atau
lebih. Sejauh ini, sejumlah kecil data studi longitudinal tersedia untuk memperkirakan
pola jelas perjalanan perkembangan dan akademik pada anak yang digolongkan memiliki
gangguan berhitung pada kelas awal. Di sisi lain, anak dengan gangguan berhitung
sedang yang tidak mendapatkan intervensi bisa mengalami komplikasi, termasuk
kesulitan akademik yang berlanjut, rasa malu konsep diri yang buruk, frustasi dan
depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan keengganan untuk datang ke sekolah, bolos,
dan akhirnya putus asa mengenai keberhasilan akademiknya (Sadock BJ et al, 2010).
5) Terapi
Terapi yang paling efektif pada gangguan berhitung adalah terapi pendidikan
meskipun masih menjadi kontroversi hingga saat ini. MATH, suatu program mulitmedia
dalam “self-instructional/ group instructional” telah berhasil dalam mengatasi gangguan
berhitung pada anak (Sadock BJ et al, 2010).
2.2.4 Gangguan belajar campuran (F81.3)
Gangguan belajar campuran merupakan kategori sisa gangguan yang batasannya tidak
jelas. Pada gangguan ini, terdapat hendaya pada kemampuan berhitung, membaca atau
mengeja secara bermakna, tetapi tidak dapat diterangkan sebagai akibat dari retardasi mental
atau pengajaran yang tidak adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan,
pendengaran atau fungsi neurologis (Maslim, 2001).
2.2.5 Gangguan perkembangan belajar lainnya
Gangguan perkembangan menulis ekspresif termasuk dalam gangguan perkembangan
belajar lainnya (Sadock BJ et al, 2010).
2.2.6 Gangguan perkembangan belajar YTT (F81.9)
Kategori ini harus dihindarkan sebisa mungkin dan dipergunakan hanya untuk
gangguan yang tidak khas dengan disabilitas yang bermakna tentang belajar yang tidak
14
disebabkan oleh retardasi mental, masalaj ketajaman penglihatan atau pengajaran yang tidak
adekuat (Sadock BJ et al, 2010).
2.3 Gangguan perkembangan motorik khas (F82)
Gangguan koordinasi perkembangan merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
kinerja di dalam aktivitas harian yang memerlukan koordinasi berada dibawah tingkat yang
diharapkan untuk usia dan tingkat intelektual anak. Gangguan koordinasi perkembangan juga
dapat ditunjukan dengan keterampilan motorik halus dan kasar yang canggung sehingga
menimbulkan kinerja yang buruk di dalam olahraga dan bahkan tulisan tangan. Anak dengan
gangguan koordinasi perkembangan dapat lebih sering terbentur atau menjatuhkan barang-
barang dibandingkan saudara kandungnya (Maslim, 2001).
1) Epidemiologi
Prevalensi gangguan koordinasi perkembangan diperkirakan sekitar 5% anak usia
sekolah. Rasio laki-laki terhadap perempuan pada populasi rujukan cenderung
menunjukan peningkatan angka gangguan ini pada laki-laki. Laporan di dalam
literatur mengenai resiko rasio laki-laki dibandingkan perempuan berkisar dari 2:1
hingga 4:1. Angka ini dapat meningkat juga akibat bias berupa meningkatnya
pengawasan mengenai perilaku motorik laki-laki dibandingkan perempuan (Sadock
BJ et al, 2010).
2) Etiologi
Penyebab gangguan koordnasi perkembangan tidak diketahui dan diyakini
meliputi organik dan perkembangan. Faktor resiko yang didalilkan turut berperan di
dalam gangguan ini mencakup prematuritas, hipoksia, malnutrisi, perinatal dan berat
lahir rendah. Gangguan koordinasi perkembangan serta gangguan komunikasi
memiliki kaitan yang erat, meskipun agen penyebab spesifik untuk kedua tidak
diketahui. Masalah koordinasi juga lebih sering ditemukan pada anak dengan sindrom
hiperaktivitas dan gangguan belajar. Gangguan koordinasi perkembangan memiliki
penyebab multifaktorial (Sadock BJ et al, 2010).
3) Diagnosis
Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya berat dalam perkembangan
koordinasi motorik yang tidak semata-mata disebabkan oleh retardasi mental atau
gangguan neurologis khas baik yang didapat atau yang kongenital (selain dari yang
secara implisit ada kelainan koordinasi). Sesuatu yang biasa bahwa kelambanan
15
motorik dihubungkan dengan hendaya dalam kemampuan melaksanakan tugas
kognitif visuo-spasial (Maslim, 2001)
Pedoman diagnostik gangguan perkembangan motorik khas ditemukan koordinasi
motorik anak, dalam gerak halus atau kasar, harus secara bermakna di bawah rata-rata
kemampuan dari anak dalam usia mentalnya. Gangguan perkembangan motorik khas
dinilai dengan tes baku dari koordinasi motorik halus dan kasar. Kesulitan dalam
koordinasi haruslah tampak dalam fase perkembangan awal (bukan merupakan
hendaya yang didapat), dan juga bukan akibat langsung dari gangguan penglihatan
atau pendengaran atau dari gangguan neurologis lainnya (Maslim, 2001)
Tanda klinis yang mengarahkan adanya gangguan koordinasi motorik terlihat
paling awal pada massa bayi, saat anak yang terkena mulai berusaha melakukan
tindakan yang memerlukan koordinasi motorik. Gambaran klinis yang penting adalah
gangguan kinerja anak yang jelas terganggu pada koordinasi motorik. Kesulitan
dalam koordinasi motorik mungkin bervariasi menurut usia dan stadium
perkembangan anak (Maslim, 2001)
Pada massa bayi dan masa anak-anak awal gangguan mungkin bermanifestasi
sebagai keterlambatan kejadian perkembangan normal, seperti berputar, merangkak,
duduk, berdiri, berjalan, mengacingkan baju, dan mengunci retsleting celana. Antara
umur 2 dan 4 tahun, kecanggungan tampak pada hampir semua aktivitas yang
memerlukan koordinasi motorik. Anak yang terkena tidak dapat memegan benda dan
mereka mudah menjatuhkannya; Gaya berjalan mereka tidak mantap; mereka
seringkali tersandung pada kakinya sendiri; dan mereka mungkin menabrak anak-
anak lain saat berusaha mendekati mereka (Maslim, 2001)
Pada anak yang lebih besar gangguan koordinasi motorik mungkin terlihat dalam
permainan di meja, seperti mencocokan kepingan gambar atau membangun balok, dan
pada tiap jenis permainan bola. Walaupun tidak ada ciri spesifik yang patognomonik
untuk gangguan koordinasi motorik, kejadian perkembangan seringkali terlambat.
Banyak anak dengan gangguan juga memiliki gangguan bicara. Anak yang lebih tua
mungkin juga memiliki masalah kesulitan sekolah sekunder, termasuk masalah
perilaku dan emosional, yang memerlukan intervensi teraupetik (Maslim, 2001).
4) Perjalanan gangguan dan prognosis.
Sedikit data tersedia mengenai hasil perjalan gangguan secara longitudinal
prospektif pada anak dengan gangguan koordinasi perkembangan yang diterapi dan
16
anak yang tidak diterapi. Sebagian besar, meskipun kecanggungan dapat berlanjut
terus, beberapa anak dapat mengkompensasi dengan menumbuhkan minat pada
keterampilan lain. Kecanggungan umumnya berlangsung hingga remaja dan masa
dewasa. Gambaran yang lazim dikaitkan mencakup keterlambatan pencapaian
tonggak non motorik, gangguan berbahasa ekspresif dan gangguan campuran bahasa
reseptif-ekspresif (Sadock BJ et al, 2010).
5) Terapi
Terapi gangguan koordinasi motorik termasuk latihan motorik perseptual, teknil
latihan neurofisiologis untuk disfungsi motorik dan pendidikan fisik yang
dimodifikasi. Teknik Montessori mungkin berguna bagi banyak anak prasekolah,
karena menekankan perkembangan keterampilan motorik. Tidak ada latihan atau
metoda latihan tunggal yang tampaknya lebih menguntungkan atau efektif
dibandingkan dengan yang lainnya (Sadock BJ et al, 2010).
2.4 Gangguan perkembangan khas campuran (F83)
Keadaan ini merupakan sisa kategori gangguan yang batasannya tak jelas, konsepnya
inadekuat (tetapi perlu) dengan gangguan perkembangan khas campuran dari berbicara dan
berbahasa, keterampilan akademik, dan/atau fungsi motorik, tetapi tidak ada satu gejala yang
cukup dominan untuk dibuat sebagai diagnosis utama. Sering gangguan perkembangan khas
ini dihubungkan dengan hendaya dalam fungsi kognitif, dan kategori campuran ini hanya
digunakan jika terjadi tumpang tindih yang jelas. Jadi kategori ini harus digunakan jika
dipenuhi kriteria dari dua atau lebih F80, F81 dan F82 (Maslim, 2001)
2.5 Gangguan perkembangan pervasif (F84)
Kelompok gangguan ini ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial
yang timbul-balik dan dalam pola komunikasi, serta dan aktivitas yang terbatas, stereotipik,
berulang. Kelainan kualitatif ini menunjukan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi
individu dalam semua situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya (Sadock
BJ et al, 2010).
2.5.1 Autisme masa kanak (F84.0)
Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau
hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun dan dengan ciri fungsi yang
abnormal dalam tiga bidang yakni interaksi sosial, komunikasi dan prilaku yang terbatas dan
berulang. Gangguan ini dijumpai 3 sampai 4 kali lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan (Maslim, 2001).
17
Penyebab autisme tidak diketahui secara pasti. Diduga peranan genetika juga ikut
berpengaruh terhadap terjadinya autisme. Selain itu, kelainan temuan-temuan neurokimia
juga ikut terlibat dalam autisme dengan peningkatan jalur katekolamin dan serotonin pada
anak autisme. Penyebab-penyebab lainnya yang diduga juga ikut berpengaruh terhadap
kejadian autisme diantara adalah cedera otak, defisit retikulum, perubahan struktur
serebellum, lesi hipokampus dan lain-lain (Maslim, 2001).
Pada autisme pada massa kanak, biasanya tidak ada riwayat perkembangan normal
yang jelas. Tetapi jika dijumpai, abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun, sehingga
diagnosis sudah dapat ditegakkan meskipun gejala-gejalanya dapat ditemukan pada semua
kelompok umur (Maslim, 2001)
Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik (Reciprocal
interaction). Hal ini berbentuk apresiasi yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional,
yang tampak sebagai kurangnya respon terhadap terhadap emosi orang lain dan/atau
kurangnya modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial. Pada autisme masa kanak
ditemukan adanya hendaya kualitatif dalam komunikasi. Hal ini berbentuk dengan kurangnya
penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki di dalam hubungan sosial. Demikian juga
terdapat pola perilaku, minat dan kegiatan yang terbatas, berulang dan stereotipik pada anak
dengan autisme. Hal ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam
berbagai aspek kehidupan sehari-hari (Maslim, 2001)
Berbagai pendekatan terapeutik telah dianjurkan untuk menangani dan menatalaksana
anak-anak autis, namun keberhasilannya terbatas. Terapi perilaku dengan pemanfaatan
keadaan yang sedang berlaku dilaporkan meningkatkan kemahiran bicara. Perilaku
dekstruktif dan agresi sering dapat diubah dengan manajemen perilaku. antagonis opiat yang
kuat, baru-baru ini terbukti mengubah masalah-masalah perilaku, penarikan diri dan
stereotipik. Model penanganan harian dengan menggunakan permainan, terapi kemampuan
berbicara dan latihan antarperorangan terstruktur juga menampakan harapan (Maslim, 2001)
2.5.2 Autisme tidak khas (F84.1)
Gangguan perkembangan pervasif yang dibedakan dari autisme dalam usia awalnya
atau dari tidak terpenuhinya ketiga kriteria diagnostik. Jadi abnormalitas dan/atau hendaya
perkembangan baru timbul untuk pertama kalinya setelah berusia 3 tahun serta tidak cukup
ditunjukan abnormalitas dalam satu atau dua dari tiga bidang psikopatologi yang dibutuhkan
untuk diagnosis autisme (interaksi sosial timbal balik, komunikasi, serta prilaku terbatas,
stereotipik dan berulang-ulang) meskipun terpadat abnormalitas yang khas pada bidang lain.
18
Autisme tidak khas sering muncul pada individu dengan retardasi mental yang berat, yang
sangat rendah kemampuannya sehingga pasien tidak mampu menampakan gejala yang cukup
untuk menegakan diagnosis autisme. Ini juga tampak pada individu dengan gangguan
perkembangan yang khas dari bahasa reseptif yang berat. Jadi, autisme tak khas secara
bermakna merupakan kondisi yang terpisah dari autisme (Maslim, 2001)
2.5.3 Sindrom rett (F84.2)
Suatu kondisi yang belum diketahui sebabnya, sejauh ini hanya dilaporkan terjadi
pada anak perempuan. Secara khas ditemukan bahwa di samping suatu pola perkembangan
awal yang normal atau mendekati normal terdapat suatu kehilangan keterampilan gerakan
tangan yang telah didapat (sebagian/ menyeluruh) dan kemampuan berbicara bersamaan
dengan terdapatnya kemunduran/ perlambatan pertumbuhan kepala, yang biasanya terjadi
sekitar usia 7-24 bulan. Gejala yang khas adalah gerakan tangan seperti memeras sesuatu
yang stereotipik, hiperventilasi serta kehilangan kemampuan untuk gerakan tangan yang
bertujuan. Perkembangan fungsi sosialisasi dan bermain terhenti pada usia 2 atau 3 tahun
pertama, tetapi perhatian sosial cenderung untuk tetap dipertahankan. Pada usia menengah
kanak terdapat ataksia tubuh, apraksia, disertai skoliosis atau kifoskoliosis dan kadang
terdapat koreoatetosis. Selalu terjadi suatu dampak gangguan jiwa yang berat yang
berkembang pada masa kanak awal atau menengah (Sadock BJ et al, 2010).
Pada sebagian besar sindrom ini, onset penyakit terjadi pada usia 7-24 bulan. Gejala
khas yang paling menonjol adalah hilangnya kemampuan tangan yang bertujuan dan
keterampilan motorik manipulatif yang terlatih. Disertai kehilangan atau hambatan seluruh
atau sebagian kemampuan berbahasa, gerakan seperti mencuci tangan yang stereotipik
dengan fleksi lengan di depan dada atau dagu, membasahi tangan secara stereotipik dengan
saliva, hambatan dalam fungsi mengunyah makanan dan sering terjadi episode hiperventilasi.
Secara khas tampak anak tetap dapat tersenyum sosial dan melihat orang sekitar, tetapi tidak
terjadi interaksi sosial dengan mereka pada awal masa kanak (walaupun interaksi sosial dapat
berkembang kemudian). Cara berdiri dan berjalan cenderung untuk melebar, otot hipotonik,
koordinasi gerakan tubuh memburuk serta skoliosis atau kifoliosis yang berkembang
kemudian. Atrofi spinal spinal dengan hendaya motorik berat muncul kemudian pada saat
remaja dan dewasa pada 50% pasien. Kemudian muncul spatisitas dan rigiditas, yang
biasanya lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas. Serangan
epileptik yang mendadak biasanya dalam bentuk kecil, dengan onset serangan umumnya
sebelum usia 8 tahun dan hal ini terjadi pada sebagian besar kasus. Berbeda sekali dengan
19
autisme, disini jarang terjadi prilaku mencederai diri secara sengaja serta preokupasi
stereotipik kompleks atau rutin (Sadock BJ et al, 2010).
Pola perkembangan gejala gangguan ini akan menetap hingga dewasa dan kehilangan
kemampuan motorik umum secara progresif dan persisten. Dalam kebanyakan kasus,
perbaikan yang didapat cukup terbatas (Sadock BJ et al, 2010).
2.5.4 Gangguan desintegrasi masa kanak lainnya (F84.3)
Gangguan desintegtasi masa kanak lainnya adalah suatu gangguan perkembangan
pervasif yang ditandai oleh adanya periode perkembangan normal sebelum onset penyakit,
serta adanya kehilangan yang nyata dari keterampilan terlatih pada beberapa bidang
perkembangan, setelah bulan penyakit berlangsung, disertai dengan adanya abnormalitas
yang khas dari fungsi sosial, komunikasi dan prilaku. Kadang ada periode prodromal berupa
keadaan sakit yang samar-samar, anak menjadi gelisah, mudah tersinggung, cemas dan
overaktif. Hal ini juga diikuti dengan kemiskinan dan kehilangan kemampuan berbicara dan
berbahasa disertai dengan disintegrasi prilaku. Pada beberapa kasus hilangnya kemampuan
terjadi secara progresif dan menetap tetapi lebih sering bahwa penurunan yang terjadi
sesudah beberapa bulan akan menetap (plateau) dan kemudian terdapat perbaikan yang
terbatas. Prognosis biasanya amat buruk dan sebagian besar penderita akan mengalami
retardasi mental yang sangat berat. Terdapat ketidakpastian tentang perluasan kondisi ini
yang berbeda dengan keadaan autisme. Pada beberapa kasus gangguan ini terlihat sebagai
akibat dari ensefalopati, tetapi diagnosis harus dibuat pada gejala prilaku. Setiap keterkaitan
dengan kondisi neurologis harus diberi kode secara terpisah (Sadock BJ et al, 2010).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan suatu perkembangan normal yang jelas sampai usia
minimal 2 tahun, yang diikuti dengan kehilangan yang nyata dari keterampilan yang sudah
diperoleh sebelumnya disertai dengan kelainan kualitatif dalam fungsi-fungsi sosial. Biasanya
juga terjadi regresi yang berat atau kehilangan kemampuan berbahasa, regresi dalam
kemampuan bermain, keterampilan sosial dan prilaku adaptif dan sering dengan hilangnya
pengendalian buang air besar atau kecil, kadang-kadang disertai dengan kemorosotan
pengendalian motorik. Yang khas pada gangguan ini adalah terjadi bersamaan dengan
hilangnnya secara menyeluruh perhatian/minat terhadap lingkungan, adanya mannerisme
motorik yang stereotipik dan berulang serta hendaya dalam interaksi sosial dan komunikasi
yang mirip dengan autisme (Sadock BJ et al, 2010).
20
2.5.5 Gangguan aktivitas berlebih yang berhubungan dengan retardasi mental dan
gerakan stereotipik (F84.4).
Gangguan ini adalah suatu gangguan yang tak jelas batasannya dengan validitas
nosologis yang belum pasti. Kategori ini dibuat karena anak dengan retardasi mental berat
(iq<50) yang menunjukan masalah besar dalam hiperaktivitas dan gangguan pemusatan
perhatian sering memperlihatkan prilaku stereotipik, beberapa anak cenderung tidak responsif
terhadap obat stimulansia (tidak seperti penderita dengan IQ yang normal) dan mungkin juga
memperlihatkan suatu reaksi disforik berat (kadang dengan retardasi psikomotor) saat
mendapat stimulansia. Pada anak remaja gejala overaktif cenderung diganti dengan aktivitas
yang menurun (suatu gambaran yang tidak terjadi pada anak hiperkinetik dengan IQ normal).
Juga sering terdapat hubungan sindrom ini dengan perlambatan perkembangan yang
bervariasi, baik yang khusus maupu umum (Sadock BJ et al, 2010).
Diagnosis gannguan ini tergantung kepada kombinasi antara perkembangan yang
tidak serasi dari overaktivitas yang berat, streotipi motorik dan retardasi mental berat. Ketiga
hal ini harus ada untuk menegakkan diagnosis gangguan ini (Sadock BJ et al, 2010).
2.5.6 Sindrom asperger (F84.5)
Sindrom asperger adalah suatu gangguan dengan validitas nosologis yang belum
pasti, ditandai oleh abnormalitas yang kualitatif sama seperti pada autisme, yaitu hendaya
dalam interaksi sosial yang timbal balik disertai dengan keterbatasan perhatian dan aktivitas
yang sifatnya stereotipik dengan pengulangan pola yang sama. Gangguan ini berbeda dengan
autisme karena tidak adanya keterlambatan atau retardasi umum kemampuan berbahasa atau
perkembangan kognitif. Sebagian besar penderita mempunyai tingkat intelegensia rata-rata
normal, tetapi sering didapatkan mereka bersikap canggung/ kikuk. Kondisi ini banyak terjadi
pada anak laki-laki. Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa abnormalitas yang terjadi akan
berlangsung sampai massa remaja dan dewasa (Maslim, 2001)
Diagnosis gangguan ini berdasarkan kombinasi antara hambatan umum yang secara
klinik jelas berupa keterlambatan bahasa atau perkembangan kognitif, disertai gejala seperti
autisme yaitu defisiensi kualitatif fungsi interaksi sosial yang timbal balik dengan pola
prilaku perhatian dan aktivitas yang terbatas, berulang dan stereotipik. Mungkin terdapat
masalah komunikasi yang sama seperti pada autisme, tetapi terdapatnya retardasi kemampuan
bahasa yang jelas akan menyingkirkan diagnosis (Maslim, 2001)
21
2.5.7 Gangguan perkembangan pervasif lainnya (F84.8)
2.5.8 Gangguan perkembangan pervasif YTT (F84.9)
Diagnosis ini merupakan kategori diagnosis sisa yang harus dipergunakan untuk
gangguan yang tidak dapat memenuhi deskripsi umum gangguan perkembangan pervasif,
tetapi terdapat informasi yang tidak memadai atau adanya hal yang kontradiktif yang
memenuhi kriteria untuk kode F84 lainnya (Sadock BJ et al, 2010).
2.6 Jenis Asesmen dalam Psikologi Klinis
1) Asesmen Pemfungsian Intelektual
Asesmen kemampuan dan atau kekurangan intelektual merupakan salah satu tugas orisinal
yang dilakkan psikolog, karena ada sebagian psikolog dan ada masa dimana faktor inteligensi
dinilai dan atau dianggap paling berperan dalam perkembangan kepribadian dan pendalaman
disiplin seseorang dalam melakoni kehidupannya, di bidang apa pun (American Phsychiatric
Association, 1994).
2) Asesmen Kepribadian
Asesmen kepribadian merupakan istilah yg umum dalam upaya umtuk menemukan pola
perilaku dan pola pikiran atau penyesuaian diri seseorang secara khas terhadap
lingkungannya. Dalam asesmen kepribadian, pendapat psikoanalisis tentang adanya subtansi
yg direpresi, merupakan asumsi yang tidak dapat dihindarkan. Setiap gejala yg tampil dalam
perilaku, selain didasari oleh intensi yang sadar, juga sangat penting mengenai peran yang
tidak sadar. Dalam banyak kasus bisa dikemukakan, bahwa perilaku yang disadari atau
disengaja, sering dilatarbelakangi kebutuhan atau motivasi yang tidak sadar. Oleh karena itu,
sangat dianjurkan untuk memahami latar belakang itu, antara lain dengan melihat simbol atau
latar belakang motivasi dibalik tingkah laku sadarnya (Depkes, 2009)
Laporan kepribadian bersifat dinamis, dan berarti menggunakan teori-teori yang
menggunakan pendekatan psikodinamik, tetapi tidak harus selalu psikoanalisis dari Sigmund
Freud. Asesmen kepribadian pada dasarnya terdapat pembagian menjadi projective assesment
dan objective assesment (Depkes, 2009)
a) Asesmen Proyektif
Asesmen proyektif berkembang dari perspektif teoritis yang menampilkan karakterisitika
dinamis sebagai inti kepribadian (seperti teori psikoanalisis). Karena itu, metode dasarnya
melibatkan upaya menyiapkan subyek dalam suatu bentuk kisah, ambifus, dan hampir tanpa
isi terhadap mana untuk berespons bersama suatu minimum struktur atau instruksi. Secara
teoretis, pemeriksa menganggap bahwa bila semua alat tes berisikan suatu isi yang minimum
22
maka respons subyek hanya merupakan fungsi kepribadian subyek. Dapat dikatakan, makin
banyak kesempatan subyek harus berespons bebas idiosinkratis, makin personal dan
bermaknalah respons-respons itu. Berdasarkan pandangan teori psikodinamik mengenai
kepribadian, proyeksi dilihat sebagai alat yang sensitif bagi aspek tak sadar
perilaku.mekanisme pertahan diri dan kecenderungan laten disimpulkan dari data fantasi tak
terstruktur yang dihasilkan dalam konteks dimana tidak ada jawaban yang benar dan salah
(Lingam et al, 2012).
b) Asesmen Obyektif
Pendekatan asesmen obyektif kepribadian merupakan usaha yang secara ilmiah berusaha
menggambarkan karakteristika atau sifat-sifat individu atau kelompok sebagai alat untuk
memprediksi perilaku.Standarisasi sangat penting dalam tes obyektif. Secara singkat,
asesmen obyektif merupakan pendekatan yang terstruktur, ilmiah, dan non subyektif dalam
deskripsi individual (Wiramihardja, 2012)
3) Asesmen Pemfungsian Neuropsikologis
Asesmen neuropsikologis melibatkan pengukuran tanda-tanda perilaku yang mencerminkan
kesehatan atau kekurangan dalam fungsi otak. Terdapat tiga kegiatan psikolog klinis dalam
asesmen neuropsikologis, yaitu menyangkut fokus perhatian asesmen ini, sejumlah alat tes
neuropsikologis yang utama, dan bukti-bukti riset menyangkut reliabilitas dan validitas tes
untuk asesmen neuropsikologis (Lingam et al, 2012).
a) Pertanyaan-pertanyaan Asesmen Neuropsikologis yang Memerlukan Jawaban
Asesmen neuropsikologis berusaha untuk membujuk kehadiran, dan lokasi, dari cedera otak
dengan enam pertanyaan berikut (Lingam et al, 2012). :
Apakah gangguan otak itu jelas lokasinya atau kabur?
Apakah gangguan bersangkutan dengan pergeseran jaringan atau penyakit jaringan?
Apakah gangguan bersifat progresif atau non progresif?
Apakah gangguan akut atau kronik?
Apakah disfungsi itu organik atau fungsional?
Mungkinkah “Minimal Brain Dysfunction?”
b) Berbagai Tes Asesmen Neuropsikologis
Tes Persepsi Visual
Tes-tes Persepsi Pendengaran
Test of Tactile Perception
Test of Motor Coordination and Steadiness
23
Test of Sensomotor Construction Skill
Test of Memory
Test of Verbal (Kemampuan Bahasa)
Test of Conceptuan Reasoning Skill
4) Asesmen Perilaku
Asesmen perilaku merupakan pendekatan situasi spesifik, dimana variasi spesifik
dalam keadaan lingkungan dengan teliti dan periksa untuk menentukan peranan mereka
terhadap pemfungsian klien. Asesmen perilaku dapat juga dilihat sebagai pandangan
konseptual yang didalamnya, pengaruh resiprokal tindakan orang dan konteks-konteks
lingkungan, mendapat penekanan. Secara tipikal asesor perilaku akan berusaha untuk
mengidentifikasikan hubungan antara interpersonal klien dan lingkungan fisiknya dan
perilaku yang mencerminkan permasalahan klien dalam kehidupannya (Tanuwijaya, 2003).
Ada pun landasan penggunaan asesmen perilaku adalah perspektif perilaku dimana
pemfungsian manusia dilihat sebagai produk dari interaksi yang terus menerus antara pribadi
dan situasi. Orang membentuk kehidupannya sendiri melalui perilakunya, pemikiran dan
perencanaan, serta emosinya (Tanuwijaya, 2003).
a) Metode Asesmen Perilaku
Terdapat lima metode asesmen perilaku yang umumnya dikenal orang, yaitu observasi
naturalistik, pemantauan sendiri, laporan diri situasi spesifik oleh klien, observasi analog, dan
observasi dan rating oleh orang lain yang signifikan (Tanuwijaya, 2003).
b) Laporan Diri dalam Asesmen Perilaku
Kalau pusat perhatian dan observasi pada laporan diri adalah perilaku spesifik yang terjadi
dalam perangkat spesifik, maka laporan diri memiliki nilai akurasi yang tinggi. Pengukuran
laporan diri telah berkembang untuk mengakses aspek-aspek situasi seperti juga untuk
mengakses perilaku (Tanuwijaya, 2003).
c) Asesmen Analog
Asesmen analog bisa jadi dilaksanakan dengan cara berikut: paper-and-pencil test, audiotape
atau video tape test, enacment tests, role play test, dan stimulasi. Metode-metode ini berbeda
dalam alat yang mana situasi analog ditampilkan dalam partisipan klien dan dalam tipe
respons yang diminta dari klien (Tanuwijaya, 2003).
d) Observasi Perilaku dan Peringkatan Perilaku Orang Dekat
Teman bermain, orang tua, guru-guru, dan staf bangsal psikiatris diminta untuk melakukan
observasi langsung atau secara restospektif membuat peringkat atas perilaku klien. Metode
24
ini menampilkan sumber data yang menyeluruh karena cara di mana orang dipandang oleh
orang yang secara signifikan sangat kuat mempengaruhi perilaku dan persepsi diri orang
(American Psychiatric Association, 2013)
e) Wilayah Tambahan Asesmen Perilaku
Asesmen respons fisiologis dan asesmen kognitif spesifik menampilkan dua wilayah
tambahan area dalam asesmen kepribadian (Wiramihardja, 2012).
Asesmen Psikofisiologis
Pengukuran atau penilaian psikofisiologis, yang mengukur besarnya keadaan psikologi yang
ditampilkan dalam gejala-gejala fisiologis, fisik, atau organik, secara umum dapat
didefinisikan sebagai “kuantifikasi kejadian-kejadian biologis sebagaimana mereka
berhubungan dengan pengubah-pengubah psikologis” (Wiramihardja, 2012).
Asesmen Kognitif-Perilaku
Target dasar atau umum asesmen kognitif keperilakuan, adalah respons spesifik, tetapi
respons-respons ini adalah aktivitas kognitif klien atau subyek penelitian dan bukan kejadian
yang dapat diamati. Dalam hal ini, kejadian-kejadian kognitif bukan merupakan bagian
asesmen perilaku. Meskipun demikian, asesmen respons-respons kognitif yang spesifik
dalam situasi spesifik, baik sebagai bantuan untuk penanggulangan atau pengubah terikat
dalam penelitian, merupakan tambahan penting bagi asesmen perilaku (Soetjiningsih, 1998).
25
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam PPDGJ-III gangguan psikologis merupakan suatu gangguan pada diri
seseorang yang memiliki gambaran seperti onset munculnya gejala bervariasi selama masa
bayi atau kanak, adanya hendaya atau kelambatan perkembangan fungsi yang berhubungan
erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat serta berlangsung secara terus
menerus tanpa remisi dan kekambuhan yang khas bagi banyak gangguan jiwa. Pada sebagian
besar kasus, fungsi yang dipengaruhi termasuk bahasa, ketrampilan visuo-spasial dan/atau
koordinasi motorik. Gambaran yang khas adalah hendayanya berkurang secara progresif
dengan bertambahnya usia anak (walaupun deficit yang lebih ringan sering menetap sampai
masa dewasa). Masing-masing dari gangguan perkembangan psikologi mempunyai etiologi
spesifik tersendiri serta kriteria diagnostik yang berbeda sehingga diperlukan tatalaksana
yang berbeda untuk setiap gangguan tersebut.
26
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders.
5th ed. Washington DC: American Psychiatric Publishing 2013
Depkes RI. 2009. Pedoman Pelatihan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan dasar.
Lingam R, Jongmans MJ, Ellis M, et al. 2012. Mental health difficulties in children with
developmental coordination disorder. Pediatrics. Available
from: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22451706 [accessed on 22 April 2015]
Maramis WF, Maramis AA. 2009. Catatan Buku Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press
Maslim, R. 2001. Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III). Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayan Medik.
Sadock BJ and Sadock VA. 2010. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Hlm. 597-601. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC
Tanuwijaya, S. 2003. Konsep Umum Tumbuh dan Kembang. Jakarta: EGC
Wiramihardja, Sutardjo A., Prof, Dr. 2012. Pengantar Psikologi Klinis. Bandung: Refika
Aditama.
27