Download - Gangguan Somatisasi (1)
Gangguan Somatisasi
Edwinda Desy Ratu*
10.2010.229
Kelompok D4
Abstraksi
Alamat Korespondesi
*Edwinda Desy Ratu
UKRIDA 2010 Semester 5, Jl. Arjuna
Utara Nomor 6, Jakarta Barat, 11510,
E-mail : [email protected]
Pendahuluan
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma yang artinya tubuh. Gangguan ini
merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan
gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh-pikiran (body-mind).
Pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan adanya kaitan dengan keluhan pasien.
Revisi teks edisi keempat the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-
TR) memasukkan 5 gangguan somatoform spesifik, meliputi: (1) gangguan somatisasi, (2)
gangguan konversi, (3) hipokondirasis, (4) body dysmorphic disorder, (5) gangguan nyeri.[1,2]
Gangguan Somatisasi
Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatic yang tidak dapat dijelaskan
dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan ini biasanya
dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut DSM-IV-
TR, sebagai “kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”.
Gangguan somatisasi berbeda dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya
keluhan dan banyaknya sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis).
Gangguan ini bersifat kronis dan disertai pernderitaan psikologis yang signifikan, hendaya fungsi
sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.[1]
Wawancara Psikiatrik[3]
Wawancara psikiatri digunakan untuk pemeriksaan dan terapi. Bagi pasien ini,
menceritakan secara terinci dan jujur tentang kehidupan dan masalahnya dapat berefek terapi.
Pewawancara harus membangun suatu hubungan yang baik dengan pasien dan pada waktu
yang sama memeriksa keadaan pasien. Disamping mengamati setiap perkataan dan tingkah
laku pasien ia juga harus berpartisipasi aktif dalam wawancara tersebut. Teknisnya bervariasi
sesuai kepribadian dokter, dan hanya dapat dipelajari melalui praktek secara terus-menerus
dengan rentang pasien yang luas digabung dengan penelitian sendiri.
Mahasiswa harus bertujuan menemukan pola penyakit, sifat dan asal gejala serta
menempatkannya sesuai dengan personalitas dan riwayat kehidupan pasien. Riwayat
perjalanan penyakit bersifat deskriptif dan berkembang. Isi wawancara harus mencakup semua
pokok anamnesa, sehingga mungkin akan memerlukan serangkaian wawancara. Urutan yang
telah ditentukan tidak perlu dituruti secara kaku tetapi tetap harus dicatat secara lengkap.
Sebaiknya wawancara dimulai dari keluhan pasien saat ini, jangan Tanya tentang keluarga
dahulu. Wawancara dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung, tetapi
pada wawancara yang pertama harus ada keseimbangan antara bertanya langsung dan
membiarkan pasien menceritakan masalahnya dengan caranya sendiri. Hindari pertanyaan
yang mengarah dan selaan. Tetapi wawancara tetap harus dituntun dengan menanyakan
pertanyaan tentang kejadian tertentu, jangan terlalu banyak mengajukan pertanyaan yang
umum atau menyela atau mengomentari alur cerita yang sedang dibangun.
Mencatat Hasil Wawancara
Buatlah cacatan kasar tetapi menyeluruh pada saat wawancara, gunakan kata dan
ekspresi yang digunakan oleh pasien. Jangan sekali-sekali menulis waham atau depersonalisasi
atau istilah psikiatri lain; tulislah apa yang dikatakan pasien, sehingga orang lain dapat menarik
kesimpulan dari catatan tersebut. Berikan identifikasi dan diagnosis pada resume, yang
memisahkan observasi lanjutan dan interpretasi. Segera setelah wawancara, catatan ditulis
ulang sesuai skema yang telah ditetapkan. Hasil akhirnya harus terang dan jelas. Penting
mencatat informasi negative maupun positif. Keadaan mental seharusnya sesuai dengan
perilaku sewaktu wawancara dan biasakan membuat perumusan dan diagnosis sementara,
walaupun nantinya akan diperbaiki tindakan ini sangat berguna.
Dalam kasus apapun, wawancara dengan keluarga dan teman pernderita sangat penting
untuk mendapat informasi yang lebih lanjut. Catatlah informasi tentang: nama, alamat, nomor
telepon, apa hubungannya denganpasien, dan bagaimana impresi anda tentang informasi
tersebut. Apakah dapat dipercaya, acuh tak acuh, terlalu prihatin, dan sebagainya? Informasi
dari berbagai sumber ini harus dicatat secara terpisah.
Semua catatan harus ditandatangani atau paling kurang diparaf. Ingat kerahasiaannya.
Skema Pencatatan Medik
Untuk memperoleh catatan medic yang lengkap biasanya diperlukan beberapa kali wawancara.
Jika wawncara hanya dapat dilakukan sekali maka skema dapat dipersingkat. Catatan medic
terdiri atas : 1) riwayat penyakit sekarang, 2) riwayat social dan kepribadian, 3) pemeriksaan
fisik, 4) pemeriksaan psikiatri, 5)pemeriksaan lanjutan, 6)resume.
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Catat secara ringkas siapa yang merujuk , alasan masuk rumah sakit, dan keluhan pasien
(menggunakan kata-kata sendiri), dan lamanya keluhan tersebut. Sikap pasien terhadap
penyakit dan rujukan harus dicatat. Catat juga keluarga atau teman yang dating
mengantar. Berikan catatan koheren terinci dengan urutan kronologis dari awal
penyakit, dimana berbagai perubahan mulai timbul sampai keadaannya sekarang ini.
Catat kejadian pencetus dan berbagai gejala yang muncul kemudia diurutkan seakurat
mungkin berdasarkan waktu.
2. Riwayat Sosial
Riwayat keluarga
Ayah, Ibu, saudara kandung ( urutan dari yang tertua; nama; status perkawinan;
personalitas;pekerjaan;kesehatan), posisi social dan keadaan umum keluarga. Setiap
penyakit dalam keluarga, suka minum alcohol, kelainan kepribadian, pekerjaan,
gangguan mental, epilepsy. Apakah keadaan dalam keluarga ini sama dengan keadaan
penyakit pasien? Perluas investigasi ini dengan menanyakan keluarga dekat seperti
kakek, paman, bibi, dan saudara sepupu. Catat hal-hal penting yang mungkin harus
diselidiki lebih lanjut, misalnya nama rumah sakit dimana anggota keluarga pernah
diobati. Pengaruh dan suasana dalam keluarga: setiap peristiwa penting baik bagi
orangtua maupun bagi anggota keluarga lain. Hubungan emosi dengan orang tua,
saudara kandung dan family.
Riwayat Pribadi
- Tempat dan tanggal lahir: keadaan ibu sewaktu hamil. Komplikasi kehamilan atau
persalinan, jika ada. Berat badan lahir. Diberi ASI atau susu botol.
- Perkembangan anak: sehat atau sering sakit. Cepat atau lambat. Usia bicara,
berjalan, dan belajar buang air kecil sendiri.
- Gejala neurotic di masa kecil: mimpi buruk, tidur berjalan, kemarahan, enuresis,
gagap, rasa cemas.
- Kesehatan masa kanak-kanak : penyakit menular, korea, infeksi, konvulsi infantile.
- Sekolah : usia saat mulai dan tamat, nilai yang dicapai, kemampuan belajar,
kemampuan khusus atau ketidakmampuan khusus, hobi, hubungan dengan teman
dan guru.
- Masa remaja : sikap terhadap keluarga dan pemerintah, sifat suka melawan,
kemampuan bersahabat, angan-angan dalam hidup.
- Riwayat pekerjaan : usia mulai bekerja, urutan secara kronologis pekerjaan yang
pernah dilakukan, tanggal dan alasan pindah pekerjaan.
- Riwayat seksual:usia mulai puber, penyimpangan, kontrasepsi, keadaan sekaramg.
- Riwayat perkawinan : tanggal perkawinan, usia, kesehatan, kepribadian pasangan,
lama pacaran, hubungan dalam perkawinan.
- Anak-anak : daftar anak, catat nama dan usia anak, kepribadian, kesehatan, pernah
abortus atau tidak.
- Kebiasaan : makan, tidur, alcohol, tembakau, obat-obatan.
Riwayat penyakit terdahulu: penyakit yang pernah diderita, operasi, kecelakaan.
Riwayat penyakit psikiatri : tanggal, lamanya, gejala, masuk rumah sakit, pengobata yng
pernah dijalani, bagaimana reaksinya, dokter yang merawat.
Perilaku antisocial : terlibat kejahatan, kenakalan, perilaku criminal, pelanggaran yang
ernah dilakukan, denda, hukuman.
Keadaan hidup saat ini: catat secara ringkas, stress atau konfluk yang sedang terjadi.
Diagnosis Kerja[1]
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR member syarat awitan gejala
sebelum usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus minimal 4 gejala
nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta tak satu
pun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut criteria diagnosis
gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode beberapa tahun dan menyebabkan terapi yang dicari atau gangguan bermakna
dalam fungsi sosisalm pekerjaanm atau fungsi penting lain.
B. Tiap criteria berikut ini arus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada
sembarang waktu selama perjalanan gangguan:
1) empat gejala nyeri : riwayat nyeri yang berhunbungan dengan sekurangnya empat
tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya, kepala, perut, pumggumg, sendi,
anggota gerak, dada, rectum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau
selama miksi).
2) dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain dari
nyeri (misalnya, mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau
intolerans terhadap beberapa jenis makanan)
3) satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari
nyeri (misalnya, indiferensi seksual, disfungsu erektil atau ejakulasi, menstruasi
yang teratur, perdarahan menstruasi yang berlebihan, munath sepanjang kehamilan.
4) satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbata pada nyeri (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat,
sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia, retensi urin, halusinasi, hilangnya
sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketukian, kejang; gejala
disosiatif seperti amnesia, atau kesadaran selain pingsan.
C. Salah satu (1) atau (2):
1) Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam criteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dari
suatu zat (misalnya, efek cedera, medikasi, obat atau alcohol)
2) Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan
yang ditimbukkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakut,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (spereti pada gangguan buatan
atau pura-pura)
Diagnosis Banding[1]
Klinisi harus selalu menyingkirkan kondisi medis nonpsikiatrik yang dapat menjelaskan
gejala pasien. Sejumlah gangguan medis seringkali tampak dengan kelainan yang nonspesifik
dan sementara dalam kelompok usia yang sama. Gangguan medis tersebut adalah sklerosis
multipel, miastenia gravis, lupus eritomatous sistemik, sindroma imunodefisisensi didapat
(AIDS), porfiria intermiten akut, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, dan infeksi sistemik
kronis. Onset gejala somatic multipel pada seseorang pasien yang berusia lebih dari 40 tahun
harus dianggap disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik sampai pemeriksaan medis yang
luas telah dilakukan.
Banyak gangguan mental yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding, yang dipersulit
oleh pengamatan bahwa sekurangnya 50 persen pasien dengan ganggguan somatisasi
menderita gangguan medis yang meyertai. Gangguan depresif berat, gangguan kecemasan
umum, dan skizofrenia semuanya dapat tapak dengan keluhan utama yang terpusat pada gejala
somatik. Tetapi, pada semua gangguan tersebut, gejala depresi, kecemasan, atau psikosis
akhirnya menonjol di atas keluhan somatik. Walaupun pasien dengan gangguan somatic
mungkin mengeluh banyak gejala somatik yang berhubungan dengan serangan paniknya,
pasien tersebut tidak terganggu oleh gejala somatic di antara serangan panik.
Di antara gangguan somatoform lainnya, hipokondriasis, gangguan konversi, dan
gangguan nyeri perlu dibedakan dari gangguan somatisasi. Hipokondriasis ditandai oleh
keyakinan palsu bahwa sesorang menderita penyakit spesifik, berbeda dengan gangguan
somatisasi, yang ditandai oleh permasalahan dengan banyak gejala. Gejala gangguan konversi
terbata pasa satu atau dua gejala neurologis, bukannya berbagai gejala dai gangguan
somatisasi. Gangguan nyeri adalah terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.
Evaluasi Multiaksial[4]
Evaluasi multiaksial berguna untuk memahami pasien secara menyrluruh dari berbagai
segi:
- Ada tidaknya gangguan jiwa
- Kepribadian
- Kondisi medik/fisik
- Problem psiko-sosial dan lingkungan
- Fungsinya sebagai makhluk psikososial secara menyeluruh
Dengan begitu, penanganan terhadap pasien dapat dilakukan secara lebih komprehensif.
Aksis I disediakan untuk:
1. Semua gangguan jiwa yang terdapat dalam Blok F0-9, kecuali F60 (gangguan kepribadian
khas) dan F61 (gangguan kepribadian campuran)
2. Kode Z dan Kode V, yaitu problem kehidupan yang tidak memenuhi kriteria gangguan
jiwa tetapi membuat orang tersebut datang untuk minta pertolongan atau kondisi
medis yang memerlukan perhatian atau terapi.
Aksis II disediakan untuk:
1. Gangguan kepribadian (F60 dan F61) atau ciri kebribadian (tidak menggunakan kode
diagnostic)
2. Retardasi mental (F7)
Aksis III disediakan untuk kondisi medis umum
Aksis IV disediakan untuk problem psikososial dan lingkungan
Aksis V: Penilaian fungsi secara global (menyeluruh) dalam fungsi psikologis, sosial dan
okupasional. Aksis ini merupakan Skala Pengkajian Fungsi Global (Global Assesment of
Fungtional Scale) yang merupakan pengukuran fungsi umum saat ini, tetapi pada saat fungsi
tertinggi selama satu tahun sebelumnya (kisaran skala antara 1 sampai 100) dan digunakan
dalam merencanakan penatalaksanaan serta meramalkan hasil.[5]
Syarat-syarat yang diperlukan untuk pemastian diagnosis secara deskriptif fenomenologis
adalah sebagai berikut:
1. Gejala-gejala dikumpulkan menjadi sindrom yang bermakna
2. Urutan hirearkis harus dipikirkan dari F0-F5
3. Jangka waktu/berapa lama gejala itu termasuk ada tidaknya sifat dari awitan gejala
Contoh Penulisan Evaluasi Multiaksial (Perkiraan)
Axis I : Gangguan somatoform, somatisasi
Axis II : Tidak ada
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Masalah dengan keluarga (faktor terbesar)
Axis V : 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang
Stressor[1,2]
Faktor psikososial. Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunikasi
sosial, akibatnya adalah menghindari kewajiban (contohnya harus pergi ke tempat kerja yang
tidak disukai), mengekspresikan emosi (contohnya marah kepada pasangan), atau
menyimbolkan suatu perasaan atau keyakinan (contohnya nyeri di usus). Interpretasi gejala
psikoanalitik yang kaku bertumpu pada hipotesis bahwa gejala-gejala tersebut menggantikan
impuls berdasarkan insting yang ditekan.
Perspektif perilaku pada gangguan somatisasi menekankan bahwa pengajaran orang
tua, contoh dari orang tua, dan adat istiadat dapat mengajari beberapa anak untuk lebih
melakukan somatisasi dari pada orang lain. Di samping itu, sejumlah keluarga pasien dengan
gangguan somatisasi datang dari keluarga yang tidak stabil dan mengalami penyiksaan fisik.
Faktor Biologis dan Genetik. Sejumlah studi mengemukakan bahwa pasien memiliki perhatian
yang khas dan hendaya kognitif yang menghasilkan persepsi dan penilaian input
somatosensorik yang salah. Hendaya ini mencakup perhatian mudah teralih, ketidakmampuan
menghabituasi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi kognitif dengan dasar
impresionisktik, hubungan pasdial dan sirkumstansial, serta kurangnya selktivitas, seperti yang
ditunjukkan sejumlah studi potensial bangkitan. Sejumlah terbatas studi pencitraan otak
melaporkan adanya penurunan metabolisme lobus frontalis dan hemisfer nondominan.
Data genetik menunjukkan bahwa gangguan somatisasi cenderung menurun di dalam
keluarga dan terjadi pada 10 hingga 20 persen kerabat perempuan derajat pertama pasien
dengan gangguan somatisasi. Di dalam keluarga ini, kerabat laki-laki derajat pertama rentan
terhadap penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial. Satu studi melaporkan
bahwa angka kejadian bersama 29 persen pada kembar monozigot dan 10 persen pada kembar
dizigot, menunjukkan adanya efek genetic.
Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu neurologi dsar, dapat relevan dengan
gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul pembawa pesan
yang digunakan sistem imun untuk berkomunikaso di dalam dirinya dan dengan sistem saraf,
termasuk otak. Contoh sitokin adalah interleukin, faktor nekrosis tumor, dan interferon.
Beberapa percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa sitokin dapat berperan menyebabkan
sejumlah gejala nonspesifik oenyakit, terutama infeksi, seperti piersomnia, anoreksia, lelahm
dan depresi. Walaupun belum ada data yang menyokong hipotesis, pengaturan abnormal
sistem sitokin dapat mengakibatkan sejumlah gejala yang ditemukan dalam gangguan
somatoform.
Gejala Klinis[5]
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medis
yang rumit dan panjang. Mual dan muntah (selain selam kehamilan), kesulitan menelan, nyeri
di lengan dan tungkai, napas pendek tifak berkaitan dengan olah raga, amnesia, dan komplikasi
kehammilan serta menstruasi adalah gejala yang paling lazim ditemui. Pasien sering meyakini
bahwa mereka telah sakit selama sebagian besar hidup mereka. Gejala pseudoneurologis
mengesankan, tetapi tidak patognomonik, untuk adanya gangguan neurologis. Menurut DSM-
IV-TR, gejala pseudoneurologis mencakup gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis
atau kelemahan lokal, kesulitan menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang, atau hilag
kesadaran selain pingsan.
Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada gangguan ini; ansietas
dan depresi adalah keadaan psikiatri yang paling sering. Ancaman bunuh diri lazim ada tetapi
bunuh diri yang sesungguhnya jatang terjadi. Jika terjadi bunuh diri biasanya sering terkait
penyalahgunaan zat. Riwayat medis pasien sering berbelit-belit, samar, tidak pasti, tidak
konsisten, dan kacau. Pasien secara klasik, tetapi tidak selalu, menggambarkan keluhannya
fengan cara yang dramatik, emosional, dan berlebihan, dengan bahasa yang jelas dan
berwarna; mereka dapat bingung denganurutan waktu dan tidak dapat membedakan dengan
jelas gejala saat ini dengan yang lalu. Pasien perempuan dengan gangguan somatisasi dapat
berpakaian dengan cara yang ekshibisionistik. Pasien dapat dianggap sebagau seseorang yang
tidak mandiri, terpusat pada diri sendiri, haus pemujaan, dan manipulatif.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis[1]
Perjalanan penyakit gangguan somatisasi bersifat kronik. Diagnosis biasanya ditegakkan
sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi
biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan seksual seringkali
berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan berlangsung 9-
12 bulan, sedangkan gejala berat dan pengembangan dari keluhan-keluhan baru berlangsung
selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari pertolongan medis. Adanya
oeningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi gejala-gejala somatik.
Terapi[2]
Gangguan somatisasi paling baik diterapi ketika pasien memiliki satu dokter yang
diketahui sebagai dokter utamanya. Ketika lebih dari satu klinisi terlibat, pasien memiliki
kesempatan lebih untuk mengespresikan keluhan somatiknya. Dokter utama harus melihat
pasien selama kunjungan yang terjadwal teraltur, biasanya dengan interval satu bulan.
Kunjungan ini harus relatif singkat walaupun pemeriksaan fisik parsial harus dilakukan untuk
memberikan respons terhadap keluhan somatic baru. Prosedur laboratorium dan diagnostic
tambahan umumnya harus dihindari. Ketika diagnosis gangguan somatisasi telah ditegakkan,
dokter yang merawat harus mendengarkan keluhan somatic sebagai ekspresi emosi, bukan
sebagai keluhan medis. Meskipun demikian, pasien dengan gangguan somatisasi juga dapat
memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya; oleh sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala
mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa jauh. Strategi jangka panjang yang beralasan
utuk dokter di tempat pelayanan primer yang merwat pasien dengan gangguan somatisasi
adalah meningkatkan kesadaran pasien akan kemungkinan bahwa factor psikologis terlibat
dalam gejala sampai pasien mampu menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit
dengan banyak tampilan medis, psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi
medis atau operasi berdasarkan kammpuan medisnya; meskipun demikian, professional
kesehatan jiwa nonmedis juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dari gangguan
tersebut, terutama jika erat berkonsultasi dengan dokter.
Psikoterapi, baik individu maupun kelompok, menurunkan pengeluaran untuk
perawatan kesehatan pribadi pasien hingga 50 persen, sebagian besar dengan menurunkan
angka perawatan rumah sakit. Pada lingkungan psikoterapi, pasien dibantu beradaptasi dengan
gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari, dan membangun strategi alternative untuk
mengespresikan perasaannya.
Memberikan obat psikotropik ketika gangguan somatisasi timbul bersamaan dengan
gangguan mood atau gangguan ansietas selalu memiliki resiko, tetapi juga diindikasikan terapi
psikofarmakologis dan terapi psikoterapeutik pada gangguan yang timbul bersamaan. Obat
harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obatnya
dengan tidak teratur dan tidak dapat dipercaya. Pada pasien tanpa gangguan jiwa lain, sedikit
data yang tersedia menunjukkan bahwa terapi farmakologis efektif bagi mereka.
Kesimpulan
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis
yang adekuat. Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik,
pada mana tak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat
bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor
psikologis atau konflik.
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang
disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif
dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya.
Daftar Pustaka
1. Hadikusumo G. Gangguan somatoform. Dalam: Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI, 2010.h.265-8
2. Sadock BJ, Sadock VA. Buku ajar psikiatri klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2004.h.268-70
3. Mowbray RM. Psikiatri : Catatan kuliah = Notes on psychiatry. Jakarta: EGC, 2001.h.
4. Mangindaan L. Diagnosis psikiatrik. Dalam: Buku ajar psikiatrik. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2010.h.71-83
5. Tomb DA. Buku saku psikiatri: klasifikasi psikiatrik. Gangguan psikososial. Jakarta: EGC,
2004.h.3