Download - Hari Raya Siwaratri
Hari Raya Siwaratri
Oleh : Drs. I Ketut Nuasa, M.Ag
Disampaikan di : Pura Manik Galih, BTN Pagesangan Indah
Rabu, 29 Januari 2014
Hari Raya Siwaratri
Hari Raya Siwaratri hari suci untuk melakukan pemujaan terhadap Hyang Widhi (Tuhan
Yang Maha Esa) dalam wujud Dewa Siwa. Siwaratri juga mengandung pengertian malam
renungan suci atau malam pengampunan dosa. Peringati Hari Siwaratri di lakukan setahun sekali
kira kira pada bulan Januari sehari sebelum bulan mati.
Kata “Siwaratri” berasal Siwa dan Ratri. Siwa artinya Tuhan/Puncak dan dalam bahasa
sangsekerta bisa juga mengandung pengertian baik hati, memaafkan, harapan dan kebahagian
dan Ratri artinya malam atau kegelapan. Siwaratri berarti puncak malam. Saat hari raya
Siwaratri ini dilaksanakan tidak diperbolehkan tidur, harus dalam keadaan keterjagaan dan
diwajibkan melaksanakan serangkaian kegiatan.
Adapun Kegiatan tersebut :
1. Monabrata(berdiam diri dan tidak berbicara) Pelaksaaan Monabrata ini berlangsung dari
pagi dan dilakukan selama 12 jam ( dari jam 06:00 s/d jam 18:00 waktu setempat).
2. Upawasa/puasa(tidak makan dan minum) Pelaksaaan puasa ini berlangsung dari pagi dan
dilakukan selama 24 jam ( dari jam 06:00 s/d 06:00 waktu setempat ) apa bila waktu
sudah 12 jam boleh makan & minum namun yang diperbolehkan hanya nasi putih dengan
garam dan air putih saja
3. Mejagra(terjaga/tidak tidur).pelaksanakan Mejagra ini berlangsung dari pagi sampai pagi
besoknya lagi dilakukan selama 36 jam ( dari jam 06:00 s/d 18:00 waktu setempat )
sampai keesokan harinya
Bila melakukan Monabrata dan puasa akan mendapatkan pahala/berkah, namun bila hanya
melakukan mejagra/terjaga tidak mendapatkan pahala/berkah apa apa
Akhir dari kegiatan, dilaksanakan sembahyangan, dan memohon pada Sang Hyang Siwa ( Tuhan
Yang Maha Esa ) agar diberikan berkah dan ampunan dari segala dosa yang telah diperbuat
selama ini dan dikembaliakn suci seperti bayi yang terlahir kedunia. Dari seluruh rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan diatas adalah untuk peningkatan kwalitas keimanan. Saat
melaksanakan Siwaratri ini diharapkan seluruh umat Hindu dapat mengisi dengan kegiatan
kegiatan yang bersifat kerohanian seperti mengadakan diskusi tentang keagamaan, mendalami
ajaran agama dan membaca kitab Weda
Hari Raya Siwaratri adalah hari raya peleburan dosa yang tujuan untuk melakukan perenungan
atas diri dari segala dosa yang telah diperbuat dan memohon kepada Sang Hyang Siwa ( Tuhan
Yang Maha Esa )agar diberikan pencerahan kebersihan hati kembali.
Untuk anda yang ingin kembali fitri atau suci sebaiknya anda datang ke bali dan menyaksikan
keadaan upacara peleburan/pengampunan dosa ini, dimana disitu anda akan menemukan
perbedaan yang benar benar lain dari yang pernah anda alami dan jalani dikehidupan sehari hari.
Dari rangkaian pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Hari Raya Siwaratri adalah hari raya
yang bertujuan memberikan pengajaran kepada manusia dan umat Hindu Khususnya agar
kembali membersikan dan memperbaiki diri dengan melakukan serangkain upacara atau
petunjuk yang telah diajarkan oleh Sang Hyang Siwa ( Tuhan Yang Maha Esa ), di hari ini juga
diharapkan segala perbuatan yang tidak baik yang pernah di lakukan agar di tinggalkan dan
kembali keajaran agama dan juga lebih mendekatkan diri ke Sang pencipta, agar benar benar
dapat di pahami dan dijalankan dikehidupan sehari hari. selalu berusaha melakukan kebaikan dan
menjauhi segala larangannya agar tercapai apa yang kita inginkan dan harapkan.
KISAH LUBDAKA
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di suatu desa menghidupi keluarganya
dengan berburu binatang di hutan. Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang
kebutuhan keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat rajin
bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu pulang membawa banyak hasil
buruan.
Hari itu Lubdaka berburu sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh
pikirnya kenapa hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan berburu
digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki hutan. Kalo sampe aku
pulang gak membawa hasil buruan nanti apa yang akan dimakan oleh keluargaku..?,
semangatnya semakin tinggi, langkahnya semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari
binatang buruan, namun hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan,
hari telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah cukup larut jika
hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari
ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam gelapnya malam guna
menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan
situasi ini. Tak perlu lama baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang
cukup tua dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera menjadi
pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat
sekeliling sekejap, ia pun melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya,
sebuah dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan buas kiranya
akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup rimbun, sehingga ia dapat
bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun merebahkan dirinya, tersembunyikan dengan rapi
di antara rerimbunan yang gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang diberikan oleh tempat yang
telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan
jatuh tentu binatang buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan badannya bisa
lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang yang dalam persembunyian. Namun
nyatanya, badan ini bergerak tak menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau
sedesah napas panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya yang
rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang terjatuh ke mata air itu.
Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun itu menyentuh ketenangan yang terdiam
sebelumnya. Ia memperhatikan riak-riak itu, namun ia tak dapat memikirkan apapun. Beberapa
saat kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan bayang gelombang yang semakin
tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik sehelai daun lagi dan
menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah kenapa ia begitu ingin menatap. Ia
memperhatikan dirinya, bahwa ia mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali
menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan ketakutannya, setidaknya karena
ia akan tetap terjaga, itulah yang terpenting saat ini.
Lubdaka – si pemburu, kini menjadi pemetik daun, guna menyelamatkan hidupnya. Ia
memperhatikan setiap kali riak gelombang terbentuk di permukaan air akan selalu riak balik,
mereka saling berbenturan, kemudian menghilang kembali. Hal yang sama berulang, ketika
setiap kali daun dijatuhkan ke atas permukaan air, sebelumnya ia melihat itu sepintas lalu setiap
kali ia berburu, baru kali ia mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa gerak
ini, gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali, ketika ia berburu, yang
selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si mara bahaya, namun tak sekalipun ia sempat
memperhatikan hal-hal sederhana yang ia lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di
rumahnya, ada keluarga yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya bisa berburu, itulah
kehidupannya, itulah keberadaannya.
Ia terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya… sesaat ia menyadari bahwa hidup ini seakan
berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan sang kehidupan, karena ia selalu
sbuk lari dari si kematian, ia berpikir apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan
menyambanginya, ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya
ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan hidup. Ia tak tahu apapun
selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode etik sebagai seorang pemburu, dan aturan
moralitas atau agama, namun semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia melihat,
bahwa dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini, adalah
identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan penuh, kenapa ia tak
menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya
telah terlalu menyita perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa
mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh sang angin, ia pun
terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan suara malam seperti saat ini, biasanya ia telah
terlelap setelah membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar lolongan srigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara tiba-
tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai berdegup kencang, Lubdaka
tahu, pikirannya berkata bahwa jika ia membuat sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa
saja menghampirinya, dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya
untuk menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali di ufuk
Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan pikirannya. Walau ia dapat
memelankan napasnya, namun pikirannya telah melompat ke beberapa skenario kemungkinan
kematiannya dan bagaimana sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu. Beberapa saat
kemudian, ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa suara
serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu ketakutan sehingga sekali lagi
tak memperhatikan. Sebuah helaan napas yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan
kembali bagaimana ia berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun tersenyum
sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat sesuatu dalam dirinya,
yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang yang ia sebut ketakutan. Lubdaka menyadari
bahwa ia memiliki rasa takut ini di dalam dirinya, sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia
mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa hewan buas, bahkan ia takut
jika tempat persembunyiannya disadari oleh hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi
dengan keluarganya. Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini, karena takut akan tempat
yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan memberikan padanya apa yang disebut
kematian. Dan ketakutan ini begitu mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya ke mata air, namun secara tak
sadar oleh kegugupannya, ia memetik sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar
bahwa tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi helaian daun itu, di
sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas
sesuatu pada daun itu, sesuatu yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya kini
mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa bersuara untuk
menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak atau menangis kesakitan, ia hanya …
hanya mati, dan itulah apa yang si pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang
menjerit kesakitan ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka
telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan kengerian yang timbul dari
pengalamannya akan saksi kematian, telah menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat
ia sendiri telah menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat bentuk kematian di
luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk ke dalam dirinya, dan
ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun semua yang ia temukan hanyalah ketakutan
akan kematian, ketakutan yang begitu banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata
kecuali bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu kematian,
yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu menggangguku, aku tak memerlukan
semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata bahwa ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua
itu, kini ia telah membebaskan dirnya dari ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati itu
dari genggamanannya, dan jatuh dengan begitu indah di atas permukaan air. Diapun tidak
menyadari bahwa malam itu adalah malam Siva (Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan
tapa brata yoga semadi. Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak
berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka mereka akan dibebaskan
dari ikatan karma oleh Siva.
Lubdaka begitu senang ia dapat tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan
kekalutan dan ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya, keberadaannya
begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa yang ia rasakan, begitu hening,
sehingga ia bisa merasakan setiap gerak alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang
dibuat oleh angin, dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai
perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi
keluarganya. Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul dalam
dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam, bertani hingga ajal datang
menjemputnya.
Saat dia meninggal, Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma
(Malaikat yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah
menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa Karma (memati-
mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang menjemput Atma Lubdaka. Mereka
menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang
Suratma maupun pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan Siva. Keduanya kemudian
bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka
telah melakukan banyak sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang
yang telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul selama hidupnya banyak melakukan
kegiatan pembunuhan, tapi semua itu karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi
keluarganya. Dan dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa) salam
Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma sebelumnya. Dan sejak
malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu
Sang Lubdaka sudah sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma
melepaskan Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan Karya
Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan Malam Siva Ratri).