Download - HARUT DAN MARUT DALAM AL- QUR’AN
HARUT DAN MARUT DALAM AL- QUR’AN
(Studi Komparatif antara Imam al-Thabari dengan Wahbah al-Zuhaili)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh :
Bahagia Tanjung
1112034000085
JURUSAN TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
iii
ABSTRAK
Bahagia Tanjung
HARUT DAN MARUT DALAM AL- QUR’AN: (STUDI KOMPARATIF ANTARA
IMAM AL-THABARI DAN WAHBAH AL-ZUHAILI).
Hārūt dan Mārūt adalah figur sejarah yang fenomenal. Darinya muncul
beberapa persoalan apakah mereka unsur dari manusia atau malaikat sampai tujuan
mereka di turunkan ke muka bumi, dengan adanya sihir yang mampu mencerai
beraikan hubungan suami istri. Menurut penafsiran Imam al-Thabari bahwa Hārūt
dan Mārūt adalah malaikat yang diturunkan oleh Allah sebagai ujian dan cobaan bagi
manusia saat itu. Hārūt dan Mārūt dikatakan dari unsur malaikat adalah disandarkan
pada pemahaman bahwa kata malakain, dibaca fathah, sehingga membawa pengaruh
dari penafsiran bahwa keduanya memang unsur dari malaikat.
Sedangkan menurut penafsiran Wahbah al-Zuhaili, bahwa Hārūt dan Mārūt
adalah dua orang yang mempunyai kewibawaan dan keagungan di mana manusia
memuliakan dan menghormatinya. Hārūt dan Mārūt dikatakan dari unsur manusia.
Ini berdasarkan pembacaan malikain yang bererti dua raja atau orang yang dengan
kekuatan batin serta amal shalehnya seolah-olah mereka adalah malaikat, karena
dilihat dari prilaku dan pengetahuannya akan hal-hal yang gaib yang bersifat
metafisika.
Sihir tidak bisa dilepaskan peran Hārūt dan Mārūt yang mengajarkannya
kepada manusia. Keduanya sebagai pembeda dan penjelas bahwa Nabi Sulaiman
tidaklah memperoleh kekuatan dan kenabiannya dengan sihir, melaikan murni
karunia dari Allah yang berupa mukjizat. Dalam perkembangannya sihir memang
mendapat tempat dalam hati manusia, karena ia bisa membuat dari sesuatu yang tidak
mungkin menjadi mungkin, karena sifat sihir itu sendiri adalah memalingkan sesuatu
dari hakekatnya. Semisal fungsinya untuk menceraikan suami istri. Sehingga melihat
fungsinya menjadikan manusia banyak terobsesi untuk berburu terhadap sihir itu
sendiri.
iv
KATA PENGANTAR
حيم ن ٱلره حم ٱلره بسم ٱلله
Segala puji tiada lain yang paling berhak kecuali kepada Allah SWT.
Karena atas kehendaknya kita dapat hidup berbarengan dengan makhluk-Nya
yang lain di muka Bumi ini dan menjalankan aktifitas masing-masing. Atas
kehendaknya pula akhirnya penulis berhasil menyelesaikan tugas akhir kuliah
berupa skripsi ini. Maka apakah ada yang bisa menolak kehendak-Nya jika Dia
sudah berkehendak?.
Shalawat serta salam selalu saja tercurahkan kepada Makhluk terbaik-Nya
bernama Muhammad Saw. yang telah menunjukkan kepada kita Tuhan itu Allah
dan mengajarkan Syariat-Nya kepada seluruh umat untuk bisa tetap di jalan yang
dikehendaki-Nya hingga akhirnya sampai ketempat yang abadi. Semoga semua
orang yang mengenal dan mengaguminya mendapatkan syafa’atnya, di hari saat
Matahari hanya beberapa senti dari ujung rambut.
Kalau saja skripsi ini ditakdirkan kun, fayakûn maka penulis tak akan
mengetikkan kata pengantar ini. Namun Tuhan ternyata lebih mementingkan
proses daripada hasil. Buktinya penulis mengetikkan kata pengantar ini, yakni
sebagai salah satu wujud syukur kepada-Nya.
Berbagai cobaan tentunya dihidangkan Tuhan dalam penyusunan skripsi
ini, tentunya tak akan disebutkan apa saja cobaanya, mengingat disini bukan
tempat untuk curcol (curhat colongan), yang jelas ucapan terima kasih
seyogyanya penulis utarakan sedalam-dalamnya kepada semua fihak yang
membantu dalam penyusunan skripsi ini:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Ibu Dra.
Banun Binaningrum, selaku Sekertaris Jurusan Tafsir Hadis.
v
4. Bapak Drs. A. Rifki Mukhtar. M.A selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan arahan, bimbingan, kritikan, pelajaran, dan lain-
lain.Semoga selalu dinaungi Rahmat Allah, sehat selalu, dimudahkan segala
urusannya, Amin.
5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen Tafsir Hadits
yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, Sehingga berkat merekalah
penulis mendapat setetes dari samudra ilmu yang sangat bermanfaat.
6. Pimpinan dan segenap citivitas akademika fakultas Ushuluddin Uin sarif
hidayatullah Jakata yang telah menyediakan referensi-referensi yang
diperlukan dalam penulisan skrifsi ini
7. Ibunda Wahyuni Ritonga dan ayahanda Radat Tanjung yang tercinta yang
sangat besar jasanya dalam mendidik dan memeberikan kasih sayang kepada
penulis dari kecil hingga kini, abang-abagku Sobaruddin Tanjung, kakak-
kakakku Tetti Tanjung, Nur Laila Tanjung, Kramat Tanjung, Ali Syahbana
Tanjung dan yang tersayang adik-adikku ( Mariam Tanjung, Asra Tanjung)
yang telah memberikan segala dukungan baik materil maupun immateril serta
doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan masa studi S1.
8. H. Hasan Mahmud dan Siti Aisyah, yang telah memberikan segala dukungan
baik materil maupun immateril serta doanya sehingga penulis dapat
menyelesaikan masa studi S1
9. Seluruh Himpunan Mahasiswa Labuhan Batu Raya Jakarta, Teman se-Kost,
Yaitu: Ahmad Suheri Harahap, Janri Panjaitan yang selalu saling support
demi kebaikan bersama, dan Sahabat sejatiku Manja Ali Taat siregar.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Program Studi Tafsir Hadis angkatan
2011, khususnya Muhammad Zahir, Sri Handayani, Ilham Saragih, Hujjatul
Islamiyyah, dll. Terimakasih atas obrolannya guys.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini,
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.
Amin.
vi
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini. Disamping itu,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada yang tak mengenakkan di
hati dalam skripsi ini, kiranya dimaafkan.
Jakarta, 10 Januari 2016
Penulis
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
No. Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا .1
B be ب .2
T te ت .3
Ts te dan es ث .4
J je ج .5
Ḥ h dengan titik bawah ح .6
Kh ka dan ha خ .7
D de د .8
Dz de dan zet ذ .9
R er ر .10
Z zet ز .11
S es س .12
Sy es dan ye ش .13
Ṣ s dengan titik bawah ص .14
Ḍ d dengan titik bawah ض .15
Ṭ t dengan titik bawah ط .16
Ẓ z dengan titik bawah ظ .17
Koma terbalik ke atas, menghadap „ ع .18
ke kanan
Gh ge dan ha غ .19
F ef ف .20
Q Ki ق .21
K Ka ك .22
L El ل .23
M Em م .24
N En ن .25
W We و .26
H Ha ه .27
Apostrof „ ء .28
Y Ye ي .29
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah ـــــــــ
i Kasrah ـــــــــ
u ḍummah ـــــــــ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ____ ي
au a dan u ____ و
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas ــا
ī i dengan garis di atas ــي
ū u dengan garis di atas ــو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dalam bahasa Indonesia dialih aksarakan menjadi huruf
“l”, baik diikuti oleh huruf syamsiyah maupun qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan
ar-rijāl, al-dīwān bukan ad-dīwān.
Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya yang secara lisan
berbunyi aḍ-ḍaruurah, tidak ditulis “aḍ-ḍarūrah”, melainkan “al-ḍarūrah”,
demikian seterusnya.
Ta’ Marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta’ marbūṭah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”
(lihat contoh 1 di bawah), hal yang sama juga berlaku jika ta’ marbūṭah tersebut
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta’ marbūṭah
tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan
menjadi huruf “t” (lihat contoh 3).
Contoh:
No. Kata Arab Alih Akasara
ṭarīqah طريقة .1
لإسلاميةالجامعةا .2 al-jāmi’ah al-islāmiyyah
waḥdat al-wujūd وحدةالوجود .3
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat atau nama bulan, nama orang,
dan lin-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal pada kata sandangnya. Contoh: Abū Ḥamīd al-Ghazāli bukan Abu Ḥamīd Al-
Ghazāli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………………… iii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. iv
PEDOMAN TRANSLITERISASI…………………………………………………………...vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….......x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………… 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………………. 7
D. Tinjuan Kepustakaan………………………………………………………. 8
E. Metode Penelitian………………………………………………………….. 10
F. Sistematika Penulisan……………………………………………………….13
BAB II : PANDANGAN UMUM TENTANG IMAM AL-THABARI IMAM DAN
WAHBAH AL-ZUHAILI
A. Biografi Imam al-Thabari...………………………………………………… 15
1. Kelahirannya……………………………………………………………. 15
2. Perjalanan Intelektual Karirnya………………………………………….16
3. Metode dan corak penafsirannya………………………………………...21
B. Biografi Wahbah al-Zuhaili………………………………………………….24
1. Kelahirannya……………………………………………………………..24
2. Perjalanan Intelektual dan Karirnya……………………………………..25
xi
3. Metode dan corak penafsirannya………………………………………...29
BAB III : SEKILAS TENTANG SURAT AL-BAQARAH AYAT 102
A. Telaah Kebahasaan………………………………………………………….31
B. Asbabul al-Nuzul dan Komentar Para Ulama………………...………………37
C. Berbagai pandangan Para Ulama tentang Harut dan Marut………………..40
a) Kisah Harut dan Marut menurut para Ulama…………………………….43
b) Sihir menurut paraUlama…………………………………………………49
BAB IV : ANALISA KOMPARATIF IBN KATSIR DAN WAHABAH az-ZUHAILI
A. Penafsiran Imam al-Thabari tentang Harut dan Marut……………………..58
B. Penafsiran Wahbah al-Zuhaili tentang Harut dan Marut…………………...77
C. Analisis komparatif tentang Harut dan Marut………………………………83
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..88
B. Saran-Saran…………………………………………………………………..89
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitabullah yang dijadikan pedoman oleh umat manusia
dalam kehidupannya. Al-qur’an diturunkan dalam bentuk global dan umum yang
perlu penjelasan dan penjabaran. Oleh karena itu tafsir menduduki tempat yang tinggi
didalam upaya memahami al-Qur’an sebagai pedoman hidup.1 Al-Qur’an diturunkan
Allah bukan hanya sekedar dokumen historis atau pedoman hidup dan tuntunan
spiritual bagi umat manusia tetapi juga mitra dialog.2
Dari ayat-ayatnya terkandung dialog langsung dengan pembacanya agar
menuntun, memperhatikan, merenungkan, dan menekuni kandungannya, kemudian
menarik sebagai pelajaran untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.3 Di antara kandungan al-
Qur’an adalah perintah untuk mengimani kepada makhluk yang ghaib yang tidak
dapat dilihat oleh mata, tidak dapat dirasakan oleh panca indera, yaitu jin, setan dan
1 Ahmad Mosthafa Adnan, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an, CV. Toha Putra,
Semarang, Cet. I, 1993, hlm. 19. 2 M. Nastur Arsyad, Seputar Al-Qur’an, Hadits dan Ilmu, Al-Bayan, Bandung, 1992,
hlm.13 3 Ahmad Mosthafa Adnan, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an, CV. Toha Putra, Semarang,
Cet. I, 1993, hlm. 9
1
2
malaikat.4 Jin, setan dan malaikat merupakan makhluk halus yang hidup di alam
ghaib.
Sumber pengetahuan manusia tentang makhluk-makhluk ghaib itu adalah
petunjuk dari Allah melalui para Rasul-Nya oleh karena itu dasar yang pertama bagi
usaha dalam mempelajari makhluk-makhluk ghaib itu adalah percaya kepada Allah
dan Rasul-Nya.5 Keimanan kepada makhluk-makhluk ghaib akan menimbulkan
kewaspadaan dan kehati-hatian yang tinggi, walaupun tidak ada manusia lain yang
menyaksikan karena malaikat petugas Allah yang setia selalu mencatat dan merekam
setiap amal perbuatan manusia serta iblis dan setan selalu pula berusaha
menjerumuskan manusia kepada keinginannya dan kekafiran.
Di antara makhluk ghaib yang penting untuk dikaji adalah malaikat. Bukan
saja karena makhluk ini secara khusus disebut sebagai salah satu dari rangkaian rukun
iman, tetapi juga kerena malaikat memiliki keterlibatan dengan seluruh manusia tanpa
kecuali, taat atau durhaka, sejak lahir hingga wafat, bahkan hingga kehidupan di
akhirat kelak.
Beriman kepada malaikat merupakan salah satu rukun iman yang wajib
diimani oleh setiap mukmin. Meyakini bahwa para malaikat adalah hamba-hamba
Allah yang dimuliakan. Mereka tidak pernah melakukan kemaksiatan
4 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Islam I, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
1999, hlm. 196 5 H.S. Zuardin Azzaino, Aqidah Ilahiah Ilmiah, Pustaka Hidayah, Jakarta, Cet. II, 1991,
hlm. 102
3
(membangkang) kepada Allah dalam segala perintah yang diberikan kepada mereka,
dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya dan bahwasanya mereka adalah
perantara-perantara yang menghubungkan antara Allah dengan para Rasul yang
diutusnya kepada manusia. Allah menjadikan malaikat agar mereka mempunyai
hubungan erat dengan manusia secara rohani maupun jasmani.
Para malaikat adalah bala tentara dan pembantu Allah yang mengatur
kerajaan-Nya menurut kehendak dan kebijaksananya. Menurut al-Qur’an secara
umum malaikat di dunia mempunyai dua fungsi yaitu menggerakan kekuatan alam
untuk melaksanakan tugas masing-masing dan membimbing manusia untuk berbuat
baik.
Ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui oleh umat Islam yaitu Jibril
(penyampai wahyu yang terpercaya), Mikail (pembagi rizqi dan hujan) Israfil (peniup
terompet) Izrail (pencabut nyawa), Ridwan (penjaga surga) Malik (penjaga neraka),
Munkar dan Nakir (penanya dalam kubur), Rakib dan Atib (penulis amal baik dan
buruk setiap mukalaf).6 Lafadz malaikat disebutkan dalam al-Qur’an 68 kali bila
dihitung dengan bentuk perubahan kata-kata malāikat, malakun, malakaini, malakan,
6 Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman,
Rukun Ihsan Secara Terpadu, Terj. Dr. Afif Muhammad M.A., Al-Bayan, Bandung, Cet. I, 1998,
hlm. 114
4
malakin, seluruhnya: 88 kali.7 Tetapi para mufasir berbeda pendapat berkaitan dengan
kata malakaini dalam surat al-Baqarah ayat 102 yaitu:
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal
Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir) hanya syaitan-syaitanlah yang kafir
(mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
"Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka
mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa
yang menukarnya kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat
dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka
mengetahui.”8
7Departeman Agama Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam di Indonesia, CV.
Anda Utama, Jakarta, 1992, hlm. 687 8 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, CV. Adi Grafika,
Semarang, 1994, hlm. 28
5
Para mufassir dalam membaca kata malakaini berbeda pendapat, ada yang
membaca dengan kasrah lamnya yang berarti dua raja, ada yang membacanya dengan
fathah lamnya yang berarti dua malaikat, sehingga dalam menafsirkan surat al-
Baqarah ayat 102 pun berbeda. Ada 2 pendapat para mufasir tentang yang dimaksud
dengan dua malaikat itu Ada yang berpendapat mereka betul-betul malaikat seperti
pendapatnya Abdurrahman Ibn Kamal Jalal al-Din as-Suyuti dalam tafsir Durr al-
Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Abi Qasim Jarullah Mahmud Ibn Umaar al-
Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf dan al- Alamah al-Sayyidi Muhammad Husain
At-thabari dalam tafsir Jami al-Bayān an Ta’wil Ayi al-Qur’an, Mufasir yang
berpendapat bahwa manusia yang memiliki sifat mulia sehingga diserupakan dengan
malaikat seperti pendapatnya Wahbah Zuhaili dalam tafsir Munir, Muhammad
Abduh dalam tafsir al-Manar dan Abdullah Yusuf Ali dalam tafsir Qur’an
Terjemahan.9
Sedangkan mengenai mempelajari ilmu sihir, ada sebagian ulama yang
membolehkan mempelajarinya dengan tidak menggunakannya, dan ada juga ulama
yang mengharamkan mempelajari sihir apalagi mengamalkannya. Adanya perbedaan
pendapat tentang penafsiran Harut dan Marut menjadikan persoalan bahwa: kalau
memang benar Harut dan Marut itu malaikat maka ia merupakan malaikat yang
mempunyai fungsi yang unik, di mana mereka mengajarkan sihir kepada manusia
9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ictiar Baru Van Voeve,
Jakarta, 1993, hlm. 89
6
yang dapat menyebabkan madharat bagi manusia. Namun mereka mengajarkan sihir
berdasarkan izin dari Allah.
Padahal malaikat sendiri selalu mengerjakan perintah Tuhan dan tidak pernah
durhaka dan selalu dihubungkan dengan hal-hal manfaat bagi manusia. Tetapi apabila
Harut dan Marut itu bukan malaikat, mengapa al-Qur’an menggunakan lafadz
malakaini yang mempunyai arti dua malaikat. dan salah satu bentuk petunjuk al-
Qur’an di antaranya adalah cerita tentag masa lalu, diantara kisah masa lalu yang
belum ditemukan bukti kongkritnya adalah Harut dan Marut .
Alasan Penulis memilih penafsiran Imam al-Thabari adalah: Beliau seorang
yang alim , Syaikh al-Mufassirun (guru para ahli tafsir) ahli hadits, ahli fiqih, ahli
sejarah, dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Orang-orang eropa sendiri menyebutnya
sebagai “Bapak sejarah islam”.10
Beliau adalah amat termashur ke ilmuannya
sehingga tiada bandingan di zamannya. dan Wahbah al-Zuhaili adalah seorang Ulama
paling produktip melahirkan karya pada abad ini Salah satunya adalah Tafsir al-
Munir, sehingga dapat disamakan dengan al-Imam al-Syuyuti.11
Penulis akan
membandingkan penafsiran klasik Imam al-Thabari yang menggunakan sumber
Riwayah dengan penafsiran Modern Wahbah al-Zuhaili yang menggabungkan antara
10
Ahmad asy-Syirbasi, Sejarah Tafsir Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), terj. Pustaka
Firdaus, Cet. Ke-4,hlm. 81 11
Ardiyansyah . Pengantar penerjemah, dalam badi’ as-Sayyid al-Lahham, Syeikh prof. Dr.
Wahbah a-Zuhaily: Ulama kharismatik kontemporer-sebuah Biografi, Bandung: Cita Pustaka, Media
Perintis, 2010, hlm. 71
7
Riwayah (Ma’tsur) dan pemikiran (ra’yi) dan bagaimana penafsiran Imam al-Thabari
dan Wahbah al-Zuhaili tentanh Harut dan Marut.
Uraian di atas menunjukkan adanya perbedaan pendapat di kalangan para
mufasir dalam menafsirkan Harut dan Marut dalam surat al-Baqarah ayat 102.
Berawal dari perbedaan dan ingin mengetahui siapa sebenarnya Harut dan Marut.
Penafsiran tersebut penulis menganggap perlu menggali ulang petunjuk dan semangat
al-Qur’an. Serta ingin mengetahui perbandingan penafsir klasik Imam al-Thabari
dalam Tafsir al-Thabari, dengan penafsir modern Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-
Munir.
B. Pembatasan Masalah dan perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas supaya pembahasan dalam tulisan ini bisa
terarah maka penulis membatasinya dengan pembahasan pokok di bawah ini:
1. Bagaimana penafsiran al-Qur’an tentang Harut dan Marut yang terdapat
dalam surah al-baqarah ayat 102 menurut Wahbah Zuhaili dan Imam al-
Thabari?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Skripsi
Penelitian skripsi ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu:
a. Untuk Mengetahui perbandingan penafsiran modern Wahbah Zuhaili
dengan penafsir klasik Imam al-Thabari.
8
b. Untuk penulisan skripsi yang merupakan syarat memproleh gelar sarjana
S1.
2. Manfaat Penelitian Skripsi
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian skripsi ini adalah
a. Peneliti dapat lebih meningkatkan apresiasi intelektual dan sikap kritis
Terhadap hasil-hasil pemikiran terhadap para mufassir sehingga mampu
memformulasikan sistensis baru.
b. Menambah khasanah keilmuan dalam bidang pemikiran Islam dan tafsir
al-Qur’an di Fakultas Ushuluddin.
D. Tinjauan Pustaka
Malaikat merupakan makhluk ghaib yang wajib diimani oleh umat Islam
dengan percaya bahwa Allah itu mempunyai makhluk yang dinamakan malaikat
yang tidak pernah durhaka dan senantiasa taat menjalankan tugas yang dibebankan
kepadanya. Disamping merupakan penelitian ilmiah, skripsi inipun melakukan kajian
pustaka, terhadap skrifsi-skrifsi yang pernah dahulu dibahas, penulis menemui topik
yang membahas tentang Malāikat, yaitu:
1) Penafsiran Malaikat dalam Tafsīr al-Manār (Study atas Tafsir Q.S. al-Baqarah:
30- 34.)
Yang ditulis oleh: Susilo, yang mengutarakan bahwa menurut Tafsir al-Manar,
arti penting pembahasan tentang hakikat Malaikat adalah hikmah yang ada di balik
9
dialog antara Tuhan dan Malaikat dalam penciptaan Adam. Ia lebih memaknai
Malaikat sebagai potensi alamiah (al-quwā al-tabī’iyyah) daripada sebuah person
atau makhluk yang terbuat dari cahaya. Jika Malaikat diartikan sebagai potensi dan
hukum alamiah, maka hal ini Manusia bahwa diberikan kemampuan untuk
memeberdayakan, potensi-potensi tersebut, sebagaimana disimbolkan sujudnya
Malaikat kepada Adam. Dengan demikian arti penting iman kepada Malaikat dalam
perspektip baru ini adalah memaksimalkan sinergitas antara manusia dan potensi
serta hukum alamiah.
2) Malaikat dalam Perspektip al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Muhammad
Husain Thabathaba’I dalam Tafsir al-mizan dan Fakhr al-Razy dalam Tafsir
Mafatih al-Ghaib).
Yang ditulis oleh: Khairun Nasikin, Yang mengutarakan bahwa pada hakikatanya
malaikat adalah esensi nur begitu menurut Thabathaba’i meskipun mereka tetap
menjadi satu ciptaan yang memiliki fungsi dan tugas prantara Allah dan alam semesta
(alam musyahadah). Dengan kata lain penafsirannya tentang malaikat ditafsirinya
dengan satu bentuk yang non materi (personal immaterial) Dan menurut ar-Razi
malaikat bukanlah esensi yang bersifat ruhani bukan pula esensi jasmani atau bukan
pula kedua-duanya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ar-Razi memberikan
pengertian tentang malaikat sebagai satu watak/ keadaan/ atau karakter yang non
materi (impersonal imaterial).
10
Kekhususan dari skripsi ini adalah mengkaji perbandingan penafsir klasik
Imam al-Thabari dan penafsir Wahbah al-Zuhaili terhadap Harut dan Marut. Selain
Skrifsi diatas, belum ditemukan tulisan ilmiah lainnya yang khusus membahas
tentang Harut dan Marut. Perbedaan kajian ini, dengan skrifsi-skrifsi yang sudah ada
tentang pembahasan malaikat menurut hemat penulis terletak pada ruang lingkupnya.
Dimana kajiannya lebih difokuskan pada surat al-Baqarah ayat 102 tentang
penafsiran Harut dan Marut studi analisis. Maka penulis merasa perlu meneliti dan
berupaya mengungkap tentang Harut dan Marut dalam AlQur’an yang masih
diperdebatkan oleh para mufasir. Khususnya perbandingan penafsir modern dan
klasik.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini berusaha mengungkap Harut dan Marut dalam Qur’an menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Imam al-Thabari. Agar memperoleh karya ilmiah yang
memenuhi kualitas dan kriteria yang ada maka penulis menggunakan metode sebagai
berikut :
1. Sumber Data
Penelitian ini bercorak (Library research) atau riset kepustakaan, dalam arti
semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan topik
yang dibahas. Adapun sumber data tersebut dibedakan menjadi dua yaitu sumber
primer dan sumber sekunder.
11
Sumber primer adalah sumber-sumber yang memberikan data langsung dari
tangan pertama. Dalam penelitian ini sebagai sumber primernya adalah: Kitab tafsir
al-Muniir Karya Wahbah al-Zuhaili dan Kitab tafsir al-Thabari karya Abu Jakpar
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Thabari.
Sumber sekunder adalah sumber yang mengutip dari sumber lain, tidak
langsung merupakan dokumen historis yang murni ditinjau dari kebutuhan
penyidikan.12
sumber sekunder merupakan sumber yang dapat melengkapi sumber
primer. Adapun sumber data sekunder adalah buku-buku atau karya ilmiah lain yang
terkait dengan tema yang akan dikaji dalam skripsi ini yaitu Tafsir surah al-Baqarah
Ayat 102 penafsiran modern Wahbah al- Zuhaili dalam Tafsir Al- munir dan penafsir
klasik Imam al-Thabari dalam Tafsir al-Thabari. Baik berupa buku-buku, jurnal,
Mengumpul data dari internet, dan ensiklopedia.
2. Metode Pengumpulan data
Obyek studi penelitian ini termasuk riset kepustakaan yaitu penelitian data,
sehingga cara yang ditempuh adalah menggali dan mengumpulkannya. Oleh karena
itu, metode pengumpulan data yang diterapkan adalah dengan membaca sumber-
sumber tersebut.
12
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Dasar Metode dan Tekhnik, Tarsito, Bandung,
1980, hlm. 134
12
3. Metode Analisis Data
1. Metode Tahlili (Analitis)
Yang dimaksud dengan metode tahlili (analitis) ialah menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang
ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.13
2. Content Analisis
Yaitu analisis isi berdasarkan fakta dan data-data yang menjadi isi atau materi
suatu buku/ (kitab).14
Dalam konteks ini penulis mengumpulkan data-data dari
kitab-kitab tafsir kemudian penulis analisis secara obyektif.
3. Tehnik Penulisan
Tehnik penulisan skripsi ini mengacu kepada tehnik makalah dan skripsi di
dalam pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin Tahun 2011/2012 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
13
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar, (yogyakata), cet.
II, 2000, hlm. 151 14
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, UGM Press, Yogyakarta, cet. V,1991.
Hlm. 63.
13
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika penulisan skripsi yang dibagi
dalam tiga bagian yaitu; pertama bagian formalitas, kedua isi skripsi dan ketiga
bagian akhir skripsi atau pelengkap. Masing-masing bagiannya adalah sebagai
berikut: Bagian pertama berisi halaman judul, nota pembimbing, lembar pengesahan,
kata pengantar, daftar isi, dan transliterasi.
Bagian kedua yang merupakan isi skripsi yang terdiri dari empat bagian yang
terbagi dalam lima bab yaitu bab pertama dalam skripsi ini adalah pendahuluan yang
terdiri penelusuran masalah dan metodologi penulisan skripsi sebagai acuan dalam
melakukan penelitian. Untuk sub-sub bab pembahasan dalam pendahuluan ini
meliputi latar belakang masalah, sebagai kajian awal dalam penelusuran masalah.
Pokok pembahasan menjadi sub bab selanjutnya untuk mempertegas paparan
dalam latar belakang, tujuan dan manfaat penulisan skripsi merupakan hasil yang
diharapkan dapat diambil dari skripsi ini yang dilanjutkan dengan tinjauan pustaka
dan metode penulisan skripsi sebagai acuan penulisan dalam mengkaji skripsi, bab ini
diakhiri dengan pengaturan tentang sistematika penulisan skripsi.
Setelah penelusuran pada bab pertama, selanjutnya pada bab kedua berisi
pandangan umum tentang kedua mufassir. Pandangan umum ini meliputi, kelahiran,
perjalanan intelektual dan karirnya, metode dan corak penafsiran Wahbah al-Zuhaili
dan Imam al-Thabari.
14
Selanjutnya pada bab ketiga, berisi tentang sekilas tentang surat al-baqarah
ayat 102. sekilas tentang surat al-baqarah ayat 102 ini meliputi telaah kebahasaan,
latar belakang turunnya ayat, berbagai pandangan ulama tentang harut dan marut.
Selanjutnya pada bab keempat, Analisa komparatif penafsiran Imam al-
Thabari dan Wahbah Zuhaili analisa komparatif ini meliputi pandangan dua
pengarang tentang tafsir surat: al-baqarah ayat 102. Analisis komparatif tentang Harut
dan Marut.
Selanjutnya pada bab kelima, bagian ini merupakan dari kajian penulis seputar
tafsir terhadap kajian penafsiran dalam pandangan Wahbah Zuhaili dan Imam al-
Thabari yang berisikan kesimpulan dan saran-saran yang dapat disampaikan oleh
penulis. Selanjutnya adalah bagian ketiga yang merupakan pelengkap dari skripsi
yang berisi, daftar pustaka.
15
BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG KEDUA MUFASSIR
A. Biografi Imam al-Thabari
1. Kelahiran Imam al-Thabari
Imam al-Thabari Nama lengkapnya adalah Abu Jakpar Muhammad
bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib ath-thabari.1 Beliau dilahirkan di
Amil Ibu kota Tabaristan pada tahun 224 hijriah.2 Beliau adalah seorang
ilmuan yang sangat mengagumkan dalam kemampuannya mencapai tingkat
tertinggi dalam berbagai disiplin ilmu, antara lain Fiqih (hukum islam)
sehingga pendapat-pendaptnya yang terhimpun dinamai madzhab al-
Jaririyah.3 Dan beliaupun telah hapal al-Qur‟an ketika usianya sangat muda
yaitu dalam usia tujuh tahun.
Hal ini sebagaimana yang telah dikatakannya: “Aku telah menghapal
al-Qur‟an ketika berusia tujuh tahun dan menjadi Imam shalat ketika aku
1 Abu Ja‟par Muhammad bin Jarir ath-thabari, Jami‟ al-Bayan An-ta‟wil al-Qur‟an, Dar al-
Fikri, Beirut, Libanon, 1998 hlm .3 2 M. Husain az-Dhahabi, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Dar al-Kutub, Cairo, 1976, hlm.205
3 M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hlm. 41
15
17
Kota yang pertama kali ditujunya adalah Ray dan daerah sekitarnya.
Di sana ia mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid al-Razi dan al-
Musanna bin Ibrahim al-Ibili. Di daerah ini pun, ia berkesempatan belajar
sejarah kepada Muhammad bin Ahmad bin Hammad al-Daulabi. Selanjutnya
ia menuju ke Baghdad untuk belajar kepada Imam Ahmab bin Hanbal, tetapi
ketika sampai disana Imam Ahmad bin Hambal sudah wafat pada tahun 241
H. Di sana ia sempat belajar kepada murid-murid Imam Ahmad bin hambal.
Pengaruh pemikiran Teologi imam Ahmad ibn Hambal dan murid-muridnya
yang menganut faham sunni rupanya mendominasi pemikiran Imam al-
Thabari yang sangat tidak setuju dengan pola pemikiran rasional Mu‟tazillah.6
Di kufah beliau belajar qira‟ah kepada Sulaiman al-Tulhi dan Hadits
kepada Ibrahim Abi Kuraib Muhammad bin al-A‟la al-Hamdani, Hannad Ibn
as-Sairi, dan Ismail ibn Musa. Setelah lama tinggal di Basrah dan Kufah ia
kembali ke Bagdad dan belajar qira‟ah kepada Ahmad bin Yusuf at-Taglibi.
Dalam bidang fiqh, khususnya madzhab Syafi‟iyyah, Imam al-Tabari belajar
kepada al-Hasan ibn as-Sabbah al-Za‟farani dan Abi Salid al-Astakhari.7
Pada 253 H, Abu Ja‟par sampai di mesir. Namun sebelumnya beliau
singgah di Beirut untuk belajar dan memperdalam qiraah kepada al-Abbas ibn
6Yaqut al-Hamawi, “ath-Tabari”, Mu‟jam al-Udaba, Beirut Dar al-Fikr, 1980, Jilid 18. Hlm.
50 7 Rassihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Tabari dan Tafsir Ibn
Katsir,( Bandung : CV, Pustaka Setia, 1999), Cet I hlm.3
18
al-Walid al-Bairuni. Dimesir ia menyempatkn diri mempelajari mazhab
Maliki di samping mempelajari Mazhab Syafi‟i dari murid-murid Imam
Syaffi‟i sendiri, di anatara ar-Rabi ibn sulaiman al-Muradi, Muhammad ibn
Abddullah ibn al-Halim, dan Isma‟il bin Ibrahim. Di sini aia juga bertemu
dengan Yunus ibn Abdil al-A‟la al-Sadafi dan belajar qira‟ah Hamzah dan
Waras kepadanya.8 Dan di Mesir pula ia bertemu dengan sejarawan
Kenamaan Ibn Ishak. Dan atas jasanya Imam ath-Thabari mampu menyusun
karya sejarahnya yang terbesar yaitu Tarikh al-Umam Wa al-Mulk. Selama di
mesir semua ilmuan datang menemuinya sambil menguji kemampuannya
sehingga Imam al-Thabari menjadi sangat terkenal di klangan intelektual pada
masa itu.9
Berkat kecerdasan dan ketinggian Ilmunya, imam al-Thabari dapat
menguasai dan menghapal ratusan ribu hadits. Hadits-hasits itu ada yang
berkaitan dengan tafsir, fiqih, tauhid, sejarah, dan lain sebagainya. Dengan
demikian imam al-Thabari adalah seorang ilmuan yang menguasai Multi
disiplin ilmu. Pada awalnya ia menganut madzhab Syafi‟I, ia membentuk
mazdhab sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan madzhab fiqih jaririyah
8Rassihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Tabari dan Tafsir Ibn
Katsir,( Bandung : CV, Pustaka Setia, 1999), Cet I hlm. 18
9 Mahmud as-Syarif , at-Thabari wa Manhajuh FI at-Tafsir, (Jeddah: Dar al -Ukaz, 1984), hlm
45
19
yang diambil dari nama ayahnya.10
Hal itu terjadi sepuluh tahun setelah ia
kembali dari Mesir. Akan tetapi madzhabnya kemudian kehilangan pamor dan
akhirnya dilupakan orang karena dianggap bertentangan Madzhab Syafi‟I dan
Madzhab al-Hambali.11
Beliau memilih Bagdad sebagai tempat pengabdiannya di bidang
intelektual, dan Wafat di tempat yang sama pada tahun 310 H/ 924 M dalam
usia 85 tahun dan keadaan masih membujang.12
Keluasan Ilmu yang dimiliki
Imam ath-Thabari diakui oleh para ulama. Berikut komentar mereka:
a. Az-Zahabi : “ath-Thabari adalah seorang terpercaya, shadiq,
hafiz, bapak tafsir, imam dalam bidang fiqih, banyak mengetahui
sejarah dan peritwa-peristiwa yang terjadi pada ummat manusia,
mengetahui qiraah, bahasa, dan sebagainya”.13
b. Jalaluddin as-Suyuti: “ath-Thabari pemimpin mufassirin secara
mutlak, seorang ulama multidisipliner yang tidak dimiliki para
ulama semasanya, Ia hafal al-Qur‟an mengetahui makna-
maknanya, faham hukum al-Qur‟an, mengetahui Sunnah dengan
10
Abdul Hamid Yunus , “ath-thabari” Dairatul Ma‟arif al-Islamiyyah, Juz 13, hlm. 68
11
Prof. Dr. Harun Nasution, “al-Thabari”. Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 1993), hlm. 1233
12 Rassihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Tabari dan Tafsir Ibn
Katsir, (Bandung : CV, Pustaka Setia, 1999), Cet I hlm. 58 13
Abi al-Falah Abd al-Hafi bin al-Imad al-Hanbali, Syazarat az-Zahabi Fi Akhbar man
Zahab, (Beirut: Dar al-Fikr,) JIlid 3, hlm.332
20
berbagai aspeknya, mengethui sejarah sahabat,thabi‟in dan
perjalanan ummad manusia lainnya”14
b) Karya-Karya Imam al-Thabari
Mengenai karya-karya imam al-Thabari, tidak semuanya sampai
ketangan kita sekarang dan tidak banyak diperoleh informasi yang pasti
berapa banyak buku yang pernah ditulisnya. Katsir banyak menulis karya
terutama dalam bidang tafsir, bidang Qira‟ah, bidang hadits, bidang sejarah
dan bidang fiqh, bidang ushuluddin. Al-tabari menulis karya dalam bidang
tafsir Yaitu Tafsir Jami‟ al-Bayān Fi tafsir al-Qur‟an.15
Dalam bidang hadits
menulis Kitab Tahzib Al-asar wa Tafsil as-Sabit‟an Rasūlillah min al-Akhbar
Dalam bidang sejarah al-Thabari menulis Kitab Tarikh al-Umam wa
wa al-Mulk. Kitab ini dipandang puncak prestasi ilmiah Imam al-Thabari
dalam menulis sejarah, dan selesai ditulis pada tahun 302 H. Dan kitab Zail
al-Muzayyal. Kitab ini selesai ditulis beliau pada tahun 300 H, yang berisikan
sejarah sahabat, tabi‟in dan pengikut-pengikut mereka sampai al-Thabari. Di
dalamnya pun disebutkan sejarah para sahabat yang terbunuh dan semasa
rasulullah. Selanjutnya Kitab Fadā‟il „Ali bib abi Thalib. Bagian awal kitab
ini membeberkan berita-berita yang shahih di sekitar peristiwa Ghadir Khum.
14
Jalaluddin as-Suyuti, Thabaqat al-Mufassirin, (Beirut Dar Al-Kutub al-Ilmiya, 1982). Hlm.
82 15
Ath-thabari, Tafsir Jami‟ al-Bayan Fi tafsir al-Qur‟an, Dar al-Fikr, 1988, hlm.16
21
Setelah itu diikuti keutaman-keutamaan Imam „Ali abi Thalib. Selanjutn Kitab
Fadā‟il Abu Bakr wa „Umar, dan Kitab Fadāi‟il al-„Abbas.16
3. Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan
kandungan ayat-ayat al-Qur‟an, telah mengalami perkembangan yang cukup
bervariasi, sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekaragaman dalam
corak dan metode penafsiran adalah hal yang tidak dapat dihindarkan.
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya keragaman tersebut , antara
lain: perbedaan kecendrungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang
diemban, perbedaan kedalaman ilmu yang dikuasainya, perbedaan masa dan
lingkungan yang mengitari, perbedaab situasi dan kondisi yang dihadapi dan
lain sebagainya. Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya diketahui
metodologi al-Thabari dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Metode penafsiran yang paling utama ialah penafsiran al-Qur‟an
dengan al-Qur‟an. Ayat yang bersifat mujmal (general) pada suatu tempat
akan diperinci pada tempat lain. Apabila metode itu tidak dapat dilakukan,
maka dengan al- Sunnah karena ia merupakan penjelasan bagi al-Qur‟an. Hal
ini sesuai dengan uangkapan al-Syafi‟i yang mengatakan bahwa semua
16
Drs. Rosihan Anwar, M.ag. Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Thafsir ath-Thabari
dan Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV Pustaka Setia,1999), hlm 62-63
22
perkara yang ditetapkan Rasulullah Saw merupakan bagian dari apa yang
dipahaminya dari al-Qur‟an.” Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS.AL-
nisa‟ 4, 105).
Oleh karena itu, Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya
aku diberi al-Qur‟an dan sesuatu yang serupa dengannya (yaitu as-Sunnah).”
Apabila tidak menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Sunnah maka penafsir biasa
merujuk kepada pendapat para sahabat. Mereka lebih mengetahui hal itu
sebab mereka melihat fakta dan kondisi kejadian Sunnah. Mereka memiliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal shaleh. Apabila tidak
menemukan penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, as-Sunnah, dan pendapat
para sahabat, maka seorang penafsir itu mencari penafsiran itu dealam
pendapat para tabi‟in.17
Apabila dibaca dan dikaji kitab tafsir Jami al-bayān fi tafsīr al-Qur‟an
ini menunjuk kepada metode tahlili.18
sesuatu metode tafsir yang bermaksud
17
Muhammmad Nasin ar-Rifa‟i, Kemudahan dari Allah ringkasan tafsir Ibn Katsir, jilid I,
(Jkarta; Gman Insani Pres, Juni 1999) Jilid I, hlm.42. 18
Manna‟ Khalil al-Qaththan, study ilmu al-Qur‟an, Pt. Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta,
1994, hlm 526-527
23
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dan seluruh aspeknya. Ia
menuntut ayat sesuai susunan dalam mushaf, mengemukakan arti kosa-kata,
penjelasan arti global ayat, mengemukakan munasabah dan membahas
asbābul al-Nuzūl, disertakan sunnah rasul, pendapat sahabat, tabi‟in dan
pendapat penafsir itu sendiri sesuai latar belakang pendidikannya, dan sering
juga bercampur baur dengan pembahasan lain yang membantu dalam
memahami al-Qur‟an tersebut.19
Al-Thabari menggunakan aspek kosa-kata dan penjelasan global.
Aspek tersebut digunakan untuk menjelaskan satu ayat atau menjelaskan
kosa-kata sedangkan yang lain dijelaskan arti global karena mengandung
suatau istilah, bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan
penggunaan istilah itu pada ayat-ayat yang lainnya. Tafsir al-Thabari
disepakati termasuk dalam tafsir al-Ma‟tsur. Corak al- Ma‟tsur yaitu
menggunakan penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat demgan hadits
Nabi, yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit untuk
ditafsirkan, atau penafsiran dengan cara ij‟tihad para sahabat, atau ijtihad para
tabi‟in.20
19
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode tafsir maudhui‟y, Penerjemah suryan A. Jamrah, (
Jakarta, Rajawali Pers, 1994). Hlm. 10-11. 20
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode tafsir maudhui‟y, Penerjemah suryan A. Jamrah, ( Jakarta,
Rajawali Pers, 1994). Hlm. 10-11.
24
B. Biografi Wahbah al-Zuhaili
1. Kelahiran Wahbah al-Zuhaili
Nama lengkapnya adalah Wahbah Mustafa al-Zuhaili, namun bisa
dipanggil wahbah al-Zuhaili. Beliau dilahirkan di desa Dir „Athiyyah, daerah
Qalmun, Damaskus, Suriah pada tanggal 6 bulan Maret tahun 1932 M/ 1351
H.21
Bapaknya bernama Mustafa Zuhaili, seorang yang terkenal dengan
kesalehan dan ketakwaannya serta hafiz al-Qur‟an. Dan Wafat pada tanggal 8
agustus tahun 2015 M / 1436 H.22
Beliau juga seorang petani yang mendorong
putranya untuk menuntut ilmu.
Wahbah al-Zuhaili dibesarkan di lingkungan ulama-ulama mazhab
Hanafi, yang membentuk pemikirannya dalam mazhab fiqih. Walaupun
bermazhab Hanafi, namun beliau tidak fanatik terhadap fahamnya dan
senantiasa menghargai pendapat-pendapat mazhab lain. Hal ini, dapat dilihat
dari bentuk penafsirannya ketika mengupas ayat-ayat yang berkaitan dengan
fiqih.23
21
Wahbah Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr fi al-„Aqīdat wa al-Syari‟at wa al-Manhāj. Juz xv
(Damaskus: Dar al-fikr, 2005) hlm. 888. 22
http://m.hidayatullah.com/berita/internasional di akses 21 oktober 2015, jam 16.00 wib. 23
Muhammad „Ali Ayazi, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manāhijuhum (Teheran Wizanah al-
Tsaqafah wa al-Insyaq al-Islam, 1993) hlm. 684.
25
2. Perjalanan Intelektual dan Karir
a) Pendidikan dan karir Wahbah al-Zuhaili
Wahbah al-Zuhaili mendapat pendidikan dasar di desanya, pada tahun
1946. Pada tingkat menengah, beliau masuk pada jurusan syariah di damaskus
selama 6 tahun. Pada tahun 1952, beliau mendapat ijazah menengahnya, yang
di jadikan modal awal masuk pada fakultas Syari‟ah dan Bahasa Arab di
Azhar dan fakultas Syariah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang
bersamaan.24
Ketika itu Wahbah Zuhaili memperoleh tiga ijazah antara lain:
1) Ijazah B.A dari fakultas Syari‟ah Universitas al-Azhar pada tahun
1956.
2) Ijazah Takhassus pendidikan dari fakultas Bahasa Arab Universitas
al-Azhar pada tahun 1957.
3) Ijazah B.A dari fakultas Syari‟ah Universitas „Ain syam pada
tahun 1957.
Setelah mendapatkan tiga ijazah, beliau meneruskan jenjang
pendidikannya ke tingkat pasca sarjana di Universitas kairo yang di tempuh
selama dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis yang berjudul: “ al-
Zira‟i fi al-Siyasat al-Syar‟iyyāt wa al-Fiqh al-Islām”. Beliau belum merasa
24
Muhammad „Ali Ayazi, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manāhijuhum (Teheran Wizanah al-
Tsaqafah wa al-Insyaq al-Islam, 1993) hlm. 684-685.
26
puas dengan pendidikannya, sehingga melanjutkan pendidikannya ke doktoral
yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul desertasi “Atsar al-Harb
fi al-Fiqh al-Islami” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
Pada tahun 1963, beliau di angkat sebagai dosen di fakultas Syariah
universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi wakil dekan,
kemudian dekan dan ketua jurusan fiqh al-islami wa madzāhibīn fakultas
yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim
dalam bidang fiqih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah.25
b) Para Guru Wahbah al-Zuhaili
Adapun guru-gurunya ialah Muhammad Hasyim al-khatib as-Syafi‟i,
(w. 1958) seorang khatib di masjid Umawi. Beliau belajar darinya fikih imam
Syafi‟i, mempelajari ilmu fiqih Abd. Al-Razaq al-Hamasi (w. 1969 M), ilmu
Hadits dari Mahmud Yassin (w. 1948 M), ilmu Faraid (waris) dan wakaf dari
Judad al-Mardini (w. 1957 M), Hassan ash-shati (w. 1962 M), ilmu Tafsir dari
Hassan Habnakah al-madani (w. 1978 M), ilmu Bahasa Arab dari Muhammad
Shaleh Farfur (w. 1986 M), ilmu Ushul Fiqh dan Musthalah Hadits dari
Muhammad Lufi al-Fayumi (w. 1990 M), ilmu Akidah dan Kalam dari
Mahmud al-Rankusi.
25
http://suryaningsih.wordpress.com di akses 22 oktober 2015 jam 17.00 wib.
27
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu
Zuhrah, (w. 1395), Mahmud Shaltut (w.1963), Abdul Rahman Taj Isa Manun
(1379) Ali Muhammad Khafif (w.1978 M), Jada ar-Rabb Ramadhan (w.1994
M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983) dan Muhammad Hafidz Ghanim.
Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul
Rahman „Azam, seperti, “al-Risalat al-Khalidat” dan buku karangan Abu
Hassan al-Nadwi yang berjudul “madza khasira al-„Alam bi Inkhithat al-
Muslimin”.26
c) Karya-Karya Wahbah al-Zuhaili
Wahbah al-Zuhaili menulis buku, paper, dan artikel dalam berbagai
ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika di campur
dengan risalah-risalah kecil lebih dari 500 makalah. Satu usaha yang jarang di
lakukan oleh ulama masa kini, seolah-olah dia merupakan imam as-suyuti
kedua (as-suyuti al-Tsani) pada zaman ini. Diantara buku-bukunya/ karya-
karyanya yang terpenting adalah sebagai berikut:
Al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, (16
jilid), Dar al-Fikr, Damsiyq, 1991. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami, Dirasat
muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963, îAl-Wasit fi usul al-Fiqh, Universitas
Damsyiq, 1966. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Haditshah,
26
http://www.abim.org.my/minda_madani/user info.php?uid, di akses 21 oktober 2015 jam
18.00 wib.
28
Damsyiq, 1967. Al-Nazhariat al-Darurat al-Syar‟iyyah, Maktabah al-Farabi,
Damsyiq, 1969. Al-Nazhariat al-Damman, Dar al-Fikr, Damsyiq 1970.Al-
Usul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-Abassiyah, Damsyq,
1972 . Al-„Alaqat al-Dauliah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1981.
Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1984. Ushui al-
Fiqh al-Islami, (dua jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1986.
Mayoritas kitab menyangkut fikih dan ushul fikih. Tetapi, ia juga
banyak menulis kitab tafsir seperti: al-Qur‟an syari‟ah al-mujtama‟.27
Tafsir
al-Wajiz.28
Al-Qissat al-Qur‟aniyyat: al- Hidayāt wa al-Bayān, Dar al-Khair,
Damsyq, 1992.29
Hal ini menyebabkan Syaikh Wahbah layak disebut ahli
tafsir. Bahkan ia juga menulis tentang akidah, sejarah, pembaharuan
pemikiran islam, ekonomi lingkungan hidup dan bidang lainnya. Jadi, Syaikh
Wahbah bukan hanya seorang ulama fikih, tetapi ia juga seorang ulama dan
pemikir Islam peringkat dunia.30
27
Saiful Amin Ghafur, profil para mufassir al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.) hlm. 175. 28
Ahmad al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu menurut al-Qur’an kajian Tafsir al-Munir, 2006, hlm.14
29 Ayurahayu2010.wordpress.com/tafsir al-munir-fi-al-„aqidah-wa-asy-syari‟ah-wa-al-
manhaj-Wahbah-az-zuhayli, di akses 21 oktober 2015 jam 20 wib 30
Syabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh Wahbah al-Zuhaili” di http://www.fimadani.com/syaikh-wahbah az-zuhaili/, diakses 22 oktober 2015 jam 15 wib.
29
3. Metode dan Corak Penafsirannya
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa
kitab „Ulum al-Qur‟an‟ secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat,
Wahbah al-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan
tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang
terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas
mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang termaktub
dalam sebuah ayat, dengan menerangkan dari segi-segi balaghat dan gramatika
bahasanya.
Sehingga dengan demikian metode penafsiran yang dipakai adalah
metode Tahlilli.31
karena beliau menafsirkan al-Qur‟an dari surat al-Fatihah
sampai surat an-Nas dan memberi tema dalam setiap kajian ayat yang sesuai
dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu
sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balsan bagi
orang-orang yang bertakwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu
memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.
Dan corak penafsirannya adalah al-Adabi, al-„Ijtima‟i (sastra dan
sosial kemasyarakatan) serta al-Fiqh (hukuk-hukum islam). Hal ini
dikarenakan Wahbah al-Zuhaili mempunyai basic keilmuan dalam bidang
31
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Muniir fi al- aqadat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, juz I
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 6.
30
fiqh. Namun, dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan
redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga sangat disesuaikan dengan situas
yang berkembang dan dibutuhkan ditengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali
dia menyebutkan tafsir al-„Ilmi, karena sudah disebutkan Dalam penulisan
tafsirnya bahwa dia akan mengcounter beberapa penyimpangan tafsir
kontemporer.
31
BAB III
SEKILAS TENTANG SURAT AL-BAQARAH AYAT 102
A. Telaah Kebahasaan
Surat Al-Baqarah ayat 102 berisi tentang kisah hārūt dan mārūt. Hārūt berasal
dari kata harata yang berarti mencela, dan mencerca, menjadi luas, orang yang tak
dapat menyimpan rahasia, dan berkata keji serta yang lebar sudut bibirnya.
Sedangkan mārūt berasal dari kata al-Martu yang berarti tanah lapang yang tak
bertumbuh-tumbuhan, tanah yang tak bertumbuh-tumbuhan serta badan yang tak
berambut.1 Al-Quran menyebut hārūt dan mārūt hanya dalam surat Al-Baqarah ayat
102, yaitu:
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif,
Surabaya, 1997, hlm. 1322 & 1499
31
32
“Dan Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal
sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka
mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) denga istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka memperlajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa
yang menukarnya ( kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di
akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau
mereka mengetahui.
Ibnu Saiyidah menyatakan bahwa kata hārūt dan mārūt mengandung makna
kehormatan. Ibnu Muqbal menambahkan bahwa ketika membentuk kata hurta
mempunyai makna manusia yang lebar mulutnya. Ketika membentuk kata harit
mempunyai makna orang yang tak dapat menyimpan rahasia serta berkata jelek.
Sedangkan kata Harut sendiri ada dua kemungkinan, yaitu nama suatu malaikat dan
raja Adapun pendapat yang lebih popular adalah malaikat.
Adapun kata mārūt sendiri dari kata al-martu yang berarti kebahagiaan tanpa
hasil atau tanah gersang (tanah yang tidak ada tumbuh-tumbahan sama sekali) maupun
badan yang tak berambut/berbulu. Sedangkan kata Marut sendiri termasuk nama non
Arab. Kata al-Marmarit sendiri mempunyai arti bala’, musibah atau bencana yang
hebat. Artinya Marut adalah orang yang membawa bencana yang besar.2
2 Fairuz Abadi, Qamus al-Muhith, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th., hlm 89.
33
Al-Ashfahani sendiri mengemukakan bahwa hārūt dan mārūt terdapat dua
pendapat, yaitu dua malaikat, sedangkan mufasir lainnya mengatakan sebagai suatu
nama setan. Pendapat terakhir didukung oleh Abu Muslim al-Ashfahani serta al-
Qurthubi. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan orang-orang Yahudi yang
mengemukakan bahwa Allah telah menurunkan Jibril dan Mikail dengan membawa
sihir, akhirnya Allah menampik tuduhan tersebut.
Dilihat dari struktur kalimat ayat tersebut susunannya adalah dan tidaklah
Sulaiman kafir serta apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut, akan tetapi yang kafir
adalah setan yang mengajarkan manusia tentang sihir di Babil. Adapun hārūt dan
mārūt adalah pengganti (substitute) dari setan.3
Berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad Ali sebagaimana yang dikutip
oleh Umar Hasyim menyatakan bahwa dhamir (kata ganti) huma kepada dua masalah,
yaitu pertama kepada Nabi Sulaiman dan Jin „ifrit dan kedua kembali kepada malaikat
Harut dan Marut. Sedangkan huruf mā, adalah mā nāfi, jadi berarti bahwa “ilmu sihir
itu tidak diturunkan kepada kedua malaikat Harut dan Marut”.4
Hal senada juga disampaikan Muhyiddin al-Darwisyi bahwa “wa mā unzila
‘ala al-malakain” adalah athaf (mengikuti) obyek “yu’allimūna‟, yaitu sihir.
Sedangkan Babil adalah suatu kota lama di sebelah timur Baghdad. Adapun Harut
Marut merupakan badal (kata ganti) dari kata al-malakain. Lebih lanjut ia mengatakan
3 Al-Ashfahani, Mufradat Alfadh al-Qur’an, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat,
t.th., hlm 145. 4 Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan dan
Azimat, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 176.
34
bahwa ayat 102 dari surat al-Baqarah merupakan bagian dari ragam balaghah yang
menunjukkan kepastian suatu ilmu, yaitu sihir serta adanya jimat-jimat, walaupun
pada akhirnya Allah menegaskan Sulaiman serta melarang beredarnya ilmu tersebut.
Artinya pada dasarnya. semua ilmu adalah Allah yang menurunkan dan boleh
dilaksanakan, kecuali sihir yang sudah mendapatkan perintah sebagai suatu ilmu yang
dilarang.5
Oleh karenanya apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut (Harut dan
Marut) adalah benar-benar sihir yang telah diajarkan kepada manusia di mana
kegunaannya telah dibuktikan. Artinya kedatangan Nabi adalah untuk membersihkan
praktek-praktek sihir tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan al-Qur‟an
yang mengatakan bahwa Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi yang ingkar adalah
setan (dalam hal ini sebagai kata ganti setan tersebut adalah kedua orang yang disebut
Qur‟an, yaitu Harut dan Marut).
Adapun wujud sihir sendiri tidak terbantahkan oleh akal sehat manusia karena
dilihat dari kenyataanya memang orang banyak mengatakan ada. Hal tersebut tidak
lepas dari peran Harut dan Marut yang mengajarkan sihir kepada manusia, terutama
pada masa Sulaiman yang sampai pada masa kejayaan Paris dan Rum banyak
menganut serta mempraktekkan sihir, terutama dari masyarakat Kildanin serta
Suryani.
5 Muhyiddin al-Darwisyi, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu, Dar al-Irsyad li al-Syu’un
al-Jami’iyah, Suriyah, 1994, hlm. 159-160.
35
Sihir lebih detail dijelaskan bahwa ia dapat diperoleh dengan melakukan
latihan-latihan, yaitu dengan memusatkan perhatian pada bintang, setan dengan
segenap upacara-upacara agung, ritual, merendahkan diri serta sujud kepada selain
Allah. Oleh karenanya perilaku sihir adalah termasuk kufur atau ingkar.6
Adapun cerita yang menerangkan bahwa ada keterlibatan seorang wanita
yang menjerumuskan kedua orang yang taat beribadah yaitu Harut dan Marut dengan
cara menggoda serta berzina yang pada akhirnya kedua orang tersebut mengucapkan
ism al-a’dham kepada wanita tersebut. Akhirnya wanita tersebut membacanya dan
langsung dapat terbang serta menjadi bintang yang gemerlapan di langit adalah hasil-
hasil dari cerita Israiliyat yang tidak diketahui otentisitasnya. Karena dari banyak
kritikus hadits menyatakan bahwa dari jalur periwayatan hadits banyak kelemahan,
sehingga riwayat yang menerangkan keberadaan serta keterlibatan wanita tersebut
masih dipertanyakan dan lebih mengarah pada lemahnya hadits.7
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa lafadh harut marut adalah mengikuti
(athaf) lafadh sebelumnya, yaitu sihir, sehingga keduanya merupakan badal
(pengganti) dari lafadh al-malakain. Ada juga yang menyatakan bahwa al-malakain
6 Al-Qanuji, Abjad al-Ulum, Abu al-Nur, Damaskus dalam Dar al-Hadits, Washington
Amerika Serikat, t.th., hlm 120. 7 Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th.,
hlm 85.
36
adalah athaf pada wa ittaba’u. Ini artinya mempelajarinya akan tetapi tidak untuk
diamalkan, maka orang tersebut masuh dalam kondisi mukmin.8
Al-Thaba‟thabai juga berpendapat bahwa lafadh mā unzila terdapat dua
pemahaman. Pertama: kata mā merupakan isim maushul serta athaf, yaitu kata benda
yang menghubungkan antara satu obyek dengan obyek yang lain. Ini berarti kedua
orang tersebut (Harut dan Marut) memang mengajarkan sihir kepada manusia. Kedua:
kata ma adalah nafi/ negasi (ingkar), yang berarti dan tidak diturunkan sihir kepada
kedua orang tersebut.
Lebih lanjut al-Thaba‟thabi lebih cenderung kepada pendapat bahwa lafadh
al-malakain dibaca fathah. Hal tersebut disandarkan pada kalimat sesudahnya, yaitu
innamā nahnu fitnatun falā takfur. Jadi kedua malaikat tersebut hanya menjalankan
tugas dari Allah, yaitu sebagai ujian kepada manusia.9
Itulah keragaman pemahaman lafadzh harut dan marut, yang tidak terlepas
dari kata sebelumnya yaitu al-malakain. Pemahaman inilah yang melandasi
perbedaan dalam menafsirkan harut dan marut, apakah keduanya merupakan dari
jenis manusia, atau malaikat.
8Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizy, al-Kasysyaf, Dar al-Fikr,
Beirut, t.th., hlm. 301 9 Muhammad Husain, al-Thaba‟thab‟i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, tp., Beirut, t.th., Juz I,
hlm. 230-231 16
37
B. Asbab al-Nuzul dan Komentar Para Ulama
Islam dalam menanggapi permasalahan klasik yang selalu mencuat baik
dalam agama Yahudi maupun Nasrani yang dikatakan bahwa mereka adalah
malaikat yang durhaka dan mengajarkan sihir kepada manusia adalah dengan adanya
ayat yang telah diturunkan Allah dalam surat al-Baqarah: 102.
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa posisi dan tugas dari kedua
malaikat yang diturunkan ke negeri Babil adalah sebagai ujian belaka, yang
membawa pengetahuan akan ilmu sihir, yang di antara fungsinya adalah mampu
mencerai-beraikan hubungan suami istri. Sehingga dengan adanya cerita yang
mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah malaikat yang memberontak, adalah
tidak berdasar sama sekali.10
Hal ini disebabkan malaikat tidak diberi nafsu syahwat dan karena manusia
dikaruniai kemauan (syahwat) serta pengetahuan di mana malaikat tidak
memiliknya, maka manusia lebih tinggi dari pada malaikat, keunggulan manusia ini
dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa malaikat disuruh bersujud kepada
manusia.
Al-Qur‟an menyebut kata Harut dan Marut hanya pada satu tempat, yaitu pada
surat al-Baqarah ayat 102. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Syahr
bin Hausab, ayat tersebut turun berkaitan dengan pertanyaan orang-orang Yahudi
yang menuduh Nabi Muhammad yang mencampur-baurkan antara yang hak dan
10
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Din al- Islam), Terj R. Kaelani & Bachrun.,Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 1977, hlm. 120
38
yang batil yaitu menerangkan Nabi Sulaiman digolongkan sebagai Nabi dimana
anggapan mereka bahwa sulaiman seorang ahli sihir yang mengendarai angin. Maka
Allah menurunkan ayat 102 Surat al-Baqarah yang menegaskan bahwa kaum yahudi
lebih mempercayai syaitan dari pada iman kepada Allah.11
Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber
dari Abul „Aliyah, dikemukakan bahwa kaum yahudi bertanya kepada Nabi SAW.
tentang beberapa hal dalam Taurat . Semua pertanyaan mengenai isi taurat, dijawab
oleh Allah dengan menurunkan ayat. Ketika itu mereka menganggap bahwa ayat
tersebut dirasakan sebagai bantahan terhadap mereka. Diantara masalah yang
ditanyakan kepada Nabi SAW. ialah tentang sihir dan mereka berbantah-bantahan
dengan Rasulullah tentang masalah tersebut.12
Kaum Yahudi didalam upaya memojokkan posisi Nabi, mereka menciptakan
gerakan yang menghalangi agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Mereka
meminta pertolongan kepada setan dan jin untuk melakukan sihir, jampi-jampi dan
klenik yang mereka nisbatkan kepada Nabi Sulaiman. Mereka menduga bahwa
kerajaan Nabi Sulaiman dibangun berdasarkan hal-hal tersebut.
Kebatilan-kebatilan yang mereka lakukan ini digunakan untuk mengelabuhi
kaum muslimin, sehingga ada sebagian mereka yang percaya dan menolak tuduhan-
tuduhan yang mengkafirkan mereka.
11
Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis
Turunnya ayat-ayat al-Qur’an, CV.Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000, hlm. 27 12
Abdurrahman al-Kamal Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Dar
al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 234
39
Al-Qur‟an menyajikan cerita ini agar dijadikan sebagai peringatan bagi umat
Islam. Disamping itu juga merupakan penjelasan tentang apa yang dilakukan oleh
budak-budak nafsu terhadap diri Nabi Sulaiman. Mereka justru menggunakn sihir
yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman sebagai alasan untuk tidak mengamalkan
agama dan hukum-hukumnya. Dan karenanya, tidaklah mengherankan jika mereka
tidak mau menggunakan petunjuk Nabi Muhammmad SAW. yang telah diberikan
didalam kitab mereka. Maka Allah menurunkan ayat 101 dan 102.13
Ini artinya ayat di atas yang berkaitan dengan orang Yahudi serta orang munafik
yang menyatakan keingkarannya atas kenabian Sulaiman, akhirnya Allah menolak
alibi yang disampaikan orang-orang Yahudi serta orang Munafik dengan menurunkan
ayat tersebut. Hal tersebut berawal dari berkataan para pendeta Yahudi yang
menyatakan bahwa Sulaiman ibn Dawud bukanlah Nabi, demi Allah dia adalah
seorang penyihir. Inilah yang melatarbelakangi ayat tersebut.14
C. Berbagai pandangan para Ulama tentang Harut dan Marut
Adanya dua pendapat yang berlawanan berangkat dari pemahaman akan kata al-
malakain, karena bacaan ini ada dua macam qira’ah. Ibnu Abbas membacanya
dengan kasrah, yaitu al-malikain yang berarti dua raja dan ahli qira‟ah yang lain
membaca dengan fathah, yaitu al-malakain yang berarti dua malaikat.
13
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang,
1992, hlm.327-328 14
Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th.,115.
40
Adanya beberapa pendapat di kalangan ulama Islam berkaitan dengan
Harut dan Marut, yaitu:
a. Harut dan Marut adalah benar-benar malaikat dan taat kepada Allah
seperti malaikat yang lain. Pendapat inilah yang paling masyhur di
kalangan mufasir. Hal ini disandarkan pada dua bacaan dalam kalimat
al-malakain, yaitu dibaca fathah pada huruf lam-nya (jumhur ulama)
serta dibaca kasrah.
b. Harut dan Marut adalah manusia biasa, bukan malaikat dan bukan raja.
Tetapi kedua-duanya dipandang oleh masyarakat pada waktu itu sebagai
malaikat karena kesalehan dan ketakwaannya atau dipandang sebagai
raja, karena pengaruh dan wibawanya sehingga kedua-duanya sangat
dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Pendapat ini disandarkan pada
pembacaan al-malikain, yaitu dengan dibaca kasrah pada huruf lamnya.
Bacaan ini dipelopori oleh Ibnu Abbas, Hasan, Abu Aswad dan al-
Dhahak.15
Malaikat pada dasarnya adalah immateri, terkadang juga menampakkan
dirinya sebagimana manusia biasa. Sebagaimana contoh ketika Nabi Ibrahim
didatangi tamu yang ketika disuguhi makan mereka tidak mau. Dengan demikian,
karena manusia juga mempunyai unsur immateri, yaitu roh, maka pada dasarnya di
15
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz I t.p, Mesir, 1998, hlm 401-403.
41
balik bentuk fisik manusia, unsur ke-Ilahi-an (immateri) adalah sangat mungkin
untuk bisa bertemu dengan unsur malaikat yang sama-sama immateri.16
Akhirnya untuk menjaga ke-ma’shum-an inilah banyak para ulama‟ lebih
cenderung bahwa Harut dan Marut adalah bukan malaikat dan bukan raja, karena
termasuk lafadh tasybih17
atau majaz, seperti pendapatnya Muhammad Nasib Ar-
Rifa‟i yang berada satu jalur dengan penakwilan Al-Qurthubi kecuali dalam
pendapatnya yang mengatakan bahwa Harut dan Marut merupakan pengganti setan.
Ketidaksejalanan itu dikarenakan, menurut Muhammad Nasib Al-Rifa‟i, setan tidak
memiliki naluri yang mendorong untuk menasihati manusia sehingga ia berkata
kepada manusia : “Sesungguhnya kami merupakan fitnah, maka janganlah kamu
kafir.” Bahkan kepentingan dan naluri setan ialah menguji manusia dan
menyesatkannya. Oleh karena itu, ia lebih cenderung untuk mengatakan bahwa Harut
dan Marut itu merupakan pengganti manusia. Jika pendapat ini yang dipegang, maka
penakwilan ayat akan berbunyi: “Sulaiman tidaklah kafir dan tidak di turunkan sihir
kepada dua malaikat, namun setanlah yang kafir karena mereka mengajarkan sihir
kepada manusia.” Yakni, setan mengajarkan sihir kepada Harut dan Marut yang
keduanya adalah dua orang manusia. Kemudian kedua orang ini mengajarkan sihir
16
Maspuk Zuhdi, Studi Islam, CV. Raja Wali, Jakarta,1998, hlm. 37 17
Ayat-ayat tasybih atau majaz adalah ayat-ayat yang mengandung makna yang samarsamar
dan tidak ada konotasinya. Dengan kata lain ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung
beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat yang
berhubungan dengan yang gaib-gaib, semisal ayat-ayat yang berbicara mengenai hari kiamat, surga
dan sebagainya. Baca dalam end noot, Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 28
42
kepada manusia lainnya. Keduanya tidak mengajarkan sihir kepada khalayak sebelum
mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya kami adalah fitnah maka janganlah
kamu kafir.” Jadi, Harut dan Marut itu merupakan badal dari manusia yang memiliki
fitrah memberi nasihat. Dalam ayat ini Allah menyucikan penurunan sihir kepada dua
malaikat, kemudian mensucikan keduanya dari perbuatan mengajarkan sihir kepada
khalayak. Pada prinsipnya sihir itu adalah kekafiran. Maka seseorang tidak dapat
mengajarkan sihir tanpa masuk ke dalam kekafiran, dan yang mempelajari tidak akan
dapat mempelajari ilmu sihir tanpa masuk kedalam kekafiran. Pada malaikat itu
disucikan dari kekafiran, mempelajarinya, dan mengajarkannya. Dan sesungguhnya
Allah tidak menyukai kekafiran kepada hamba-hamba-Nya.
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kisah Harut dan Marut diceritakan dari
berbagai jalan hingga mencapai 20 jalan. Walaupun jalan itu banyak, namun tidak
ada satupun yang sampai kepada Rasulullah SAW. Kisah itu ditolak oleh mayoritas
ahli hadits, para hafidz dan mufasirin. Singkatnya, kisah itu bermuara pada dongeng
Israiliyat, sebab tidak ada sebuah hadist pun yang marfu‟ dan sahih yang sanadnya
bersambung kepada Nabi SAW. Orang yang benar, dipercaya, dan maksum yang
tidak akan pernah bertutur berdasarkan hawa nafsu beliau.
43
a) Kisah Harut dan Marut Menurut Para Ulama
Banyak ilmuan yang meriwayatkan kisah Harut dan Marut dalam versi
israiliyyat para mufassir mengambil riwayat itu, sebagai nara sumber dan menjadikan
referensi dalam tafsir-tafsir mereka, bahkan mereka menafsirkan kalam Allah
dengannya.18
Berikut adalah ringkasan cerita Harut dan Marut dalam versi
Israiliyyat.19
Para malaikat menghalang-halangi manusia untuk dipilihnya manusia
untuk menjadi khalifah di muka bumi dan mengutamakan manusia yang beriman di
atas derajat malaikat.
Allah menerangkan kepada mereka bahwa manusia yang beriman lebih utama
karena pada dirinya ada syahwat dan kecendrungan untuk berbuat maksiat, tapi dia
bersungguh-sungguh untuk mengendalikan hawa nafsunya dan menahannya sehingga
dia dapat beristiqamah dalam ketaatan kepada Allah.
Maka mereka (malaikat-malaikat) berkata, “Jika Engkau jadikan syahwat dalam
diri kami maka kami tidak akan berbuat maksiat”. Maka dipilihlah dua malaikat
diantara mereka untuk menjalani ujian itu, yaitu Harut dan Marut. Allah menjadikat
syahwat pada diri mereka lalu mereka diturunkan ke bumi. Allah melarang mereka
berbuat keji dan maksiat.
18
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-Orang
Dahulu”, jilid III, ter. Setiawan budi Utomo, Gema insani Press, 1996, hlm. 18 19
19 Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah al-Qur’an Pelajaran dari Orang-
Orang Dahulu”, jilid III, ter. Setiawan budi Utomo, Gema insani Press, 1996, hlm. 19-20
44
Akhirnya, turunlah keduanya di kota Babil dan mereka beribadah kepada Allah.
Hingga suatu hari, mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik di kota itu,
bahkan mungkin dialah wanita tercantik. Maka terbesitlah dalam hati keduanya hasrat
dan keinginan terhadap wanita itu.
Mereka merayu wanita itu yang belum menjawab saat pertama kalinya, tetapi
wanita itu memberikan pilihan kepada mereka antara menyembah berhala,
membunuh anak kecil, atau meminum khamar sebelum mereka memiliki wanita itu.
Maka berkatalah mereka, “menyembah berhala adalah perbuatan kufur, memebunuh
anak kecil termasuk dosa besar, sedangkan meminum khamar adalah dosa yang
sangat kecil.” Maka mereka memilih meminum khamar. Setelah meminum khamar
itu, merekapun mabuk, akibatnya mereka lalu membunuh anak kecil dan menyembah
berhala. Kemudian terjerumuslah mereka dalam kekejian bersama wanita itu.
Maka dicabulah ismul a’zam (sifat kemalaikatan) dari mereka yang dulunya
dengan asma itu mereka dapat naik dan terbang ke langit. Kemudian Allah mengubah
wanita itu menjadi bintang yang terang dilangit, dikenal dengan nama al-Zahra,
sebuah bintang yang beredar yang merupakan salah satu dari kumpulan bintang-
bintang di sekitar matahari.
Adapun Harut dan Marut, Allah murka kepada mereka. Karena mereka
terjerumus ke dalam dosa, lalu memberikan pilihan antara azab di dunia dan azab di
akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia karena azab di dunia adalah sementara
45
dan mereka bisa selamat pada hari kiamat nanti. Kemudian digantunglah mereka di
angkasa Babil, yaitu antara langit dan bumi. Mereka tergantung disana sejak saat itu
samapai hari kiamat. Di babilonia, masih saja mereka mengajarkan sihir kepada
manusia walaupun mereka tengah di azab dan digantung dilangit. Setiap orang yang
ingin mempelajari sihir dan mendalaminya akan menemui mereka di kota itu dan
belajar dari kedua malaikat itu.
Kisah Harut dan Marut tidak punya dasar kesahihan, sebagaimana dikatakan
oleh para ahli hadist dan tafsir, sebab tidak ada sebuah hadist yang sampai kepada
Rasulullah SAW, yang mengemukakan hal itu. Kisah itu lemah baik dilihat dari segi
sanad maupun matannya, dan tidak sahih ditinjau dari beberapa segi berikut :
1. Orang-orang beranggapan bahwa Allah menurunkan sihir kepada dua
malaikat, dan sihir itu merupakan kekafiran. Jadi, bagaimama mungkin
Allah mengizinkan para malaikat-Nya yang maksum untuk berbuat kafir
dan mengajarkan sihir dan kekafiran kepada manusia?
2. Sesungguhnya pengalihrupaan manusia menjadi planet merupakan
kejadian yang mustahil dan tidak sejalan dengan Sunnatullah.
3. Kisah tersebut memastikan bahwa Harut dan Marut memilih azab dunia.
Hal ini memastikan bahwa keduanya terus hidup hingga hari kiamat,
sebelum azab dunia terealisasikan dan tuntas dirasakan oleh keduanya.
Dan memastikan bahwa keduanya tetap berada di sumur Babil serta
46
mengajari manusia sihir bersinambungan. Kesalahan ini dapat ditinjau
dari beberapa sumber berikut:
a. Tidak ada lagi di muka bumi, setelah seratus tahun, orang yang
hidup dipermukaannya pada masa sekarang. Jika berasumsi bahwa
keduanya masih hidup hingga zaman Rasulullah SAW., maka
pastilah bahwa keduanya telah mati setelah seratus tahun. Hal ini
kontradiksi dengan kesenimbungan penyiksaan keduanya yang
berlangsung hingga hari kiamat seperti dikemukakan oleh kisah.
b. Jika tempat keduanya itu menjadi tujuan manusia untuk mempelajari
sihir, niscaya hal itu akan dikenal di Babil yang terletak di Irak.
Namun, hingga sekarang belum ada berita yang sampai kepada umat
Islam ihwal penemuan sumur tersebut atau sekedar beritanya.
4. Kisah ini bersumber dari cerita-cerita Israiliyat dan diri kumpulan cerita
mereka yang paling dusta, sudah sepantasnya kisah seperti ini
ditinggalkan. Para ulama yang konsisten dan mufassirin mengatakan
bahwa kisah ini diceritakan dari para pendeta Yahudi yang harus
didustakan. Boleh jadi, kisah itu sebagai kaum terdahulu, sebagaimana
dikemukakan oleh al-Khatib. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki
dalam bukunya yang berjudul al-Zawajir, memandangan kisah itu ganjil
tanpa dilebih-lebihkan. Al-Qurthubi mengatakan bahwa keseluruhan
kisah itu dhaif. Ibnu umar juga memandangnya ganjil dan tidak
membenarkan satu bagian pun darinya. Al-Khafaji mengatakan bahwa
47
menurut para ahli hadits, semua sanad kisah itu tidak dapat dipercaya.
Adalah layak bila kisah yang bohong, palsu, batil, dan mengada-ada ini
untuk tidak dihiraukan, dicerikatakan, atau ditulis kecuali untuk tujuan
memperingatkan kepalsuan isinya. Dan ini telah kami lakukan.20
Para penulis barat umumnya, dan misionaris Kristen khususnya, meletakkan
tekanan khusus kepada masalah ini dan kesimpulan yang mereka tarik dari apa yang
diriwayatkan oleh Qur‟an suci tentang Harut dan Marut ialah, bahwa malaikat itu
bukanlah makhluk niskala (immaterial), dan bahwa malaikat itu mempunyai
keinginan seperti manusia. Mereka berusaha untuk membantah seluruh ajaran Qur‟an
tentang malaikat. Sebuah cerita yang tak berlandaskan al-Qur‟an maupun Hadits
sahih. Sebenarnya, al-Qur‟an menyangkal adanya cerita tentang dua malaikat yang
banyak beredar di kalangan kaum Majusi dan kaum Yahudi.
Al-Qur‟an suci menyatakan dengan tegas bahwa Nabi Sulaiman, suci dari
praktek-praktek jahat semacam itu, dan bahwa dongeng tentang dua malaikat
hanyalah isapan jempol belaka. Semua mufasir kenamaan, sama pendapatnya tentang
pernyataan Qur‟an itu. Hadits yang dianggap menguatkan dongeng itu, tak termuat
dalam sunah sittah (enam kitab hadits sahih), melainkan hanya terdapat dalam
Musnad Imam bin Hanbal, dan Musnadnya banyak memuat hadits yang tak sahih.
20
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani Press, Jakarta
1999, hlm. 184-186
48
Selain itu, hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Qur‟an suci, tak mungkin
diterima begitu saja, hanya dikarenakan adanya dalil yang lemah.21
Beberapa pendapat ulama‟ tentang Harut dan Marut adalah sebagai berikut
sebagaimana yang dikutip oleh Umar Hasyim22
yaitu:
1. Imam Baidlawi, ia berpendapat bahwa cerita Harut dan Marut ini bersumber
dari cerita-cerita Yahudi atau Israiliyat. Padahal menurut sabda Nabi
Muhammad, bahwa bila kita mendengar cerita-cerita Israiliyat, janganlah
kita percaya atau menolak. Karena cerita itu dahulu tidak berdasar dari
wahyu Tuhan kepada Nabi Musa atau kepada Nabi Isa, tetapi hanyalah
cerita dari pendeta jaman Nabi Musa dan Nabi Isa saja.
2. Imam Abu Su‟ud, ia mengatakan bahwa cerita Harut Marut itu tidak dapat
dibenarkan sama sekali, cerita palsu dan sebangsa dongeng saja.
3. Imam Qadli „Iyadl, ia mengatakan bahwa cerita Harut Marut ini tidak ada
keterangan hadits atau sabda Nabi Muhammad, walaupun satu hadits palsu-
pun tidak ada. Apalagi yang menceritakan tentang wanita Persi itu, tidak ada
walaupun satu hadits yang dha‟if sekalipun.
4. Imam Razi, ia mengatakan bahwa wanita Persi juga tidak ada keterangan
sama sekali. Pada umumnya para ulama‟ tidak setuju akan adanya cerita
21
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Din al- Islam), Terj R. Kaelani & Bachrun.,Ichtiar
Baru Van Hoeve, hlm. 119 22
Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan dan
Azimat, hlm. 175-176
49
Harut Marut yang disiksa karena keduanya berbuat salah. Hal ini tidaklah
benar.
5. Maulana Muhammad Ali, ia menceritakan bahwa ada cerita yang telah
diketahui dan dipercayai menjadi cerita rakyat, yaitu tentang adanya dua
orang malaikat yang bernama Harut dan Marut yang durhaka kepada
Tuhannya (sesuai dengan cerita ayat 102 surat al-Baqarah). Kemudian
kedua malaikat itu ditendang, sehingga kakinya berada di atas dan
kepalanya berada di bawah, yaitu di tanah Babil.
Ini artinya adanya cerita malaikat Harut dan Marut adalah dongeng yang
disertakan di dalam kitab-kitab tafsir saja dan sebenarnya dongeng tersebut berasal
dari cerita Israiliyat atau cerita pada zaman Majusi dari bangsa Parsi yang
menyembah api, lantas dongeng in dimasukkan ke dalam cerita Islam. Oleh
karenanya al-Qur‟an menyitir adanya cerita ini adalah bohong serta menjelaskan
bahwa bahwa Harut dan Marut tidak mengajarkan ilmu sihir kepada rakyat.
b) Sihir Menurut Para Ulama
Sebenarnya Islam dalam kaitannya dengan ilmu sihir23
adalah sangat hati-hati
dan memperingatkan kepada umat manusia untuk tidak menyentuhnya karena ia
merupakan praktek dari jin dan setan.
23
Sihir memang mempunyai fungsi memalingkan sesuaatu dari hakekatnya kepada selainnya.
Dalam pengertian syara‟ sihir adalah perkara-perkara luar biasa atau supra natural yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu (para tukang sihir) dengan bantuan jin-jin jahat, kafir dan setan, sehingga jin dan
50
Hal ini dapat dilihat dari hakekat sihir, yang mempunyai banyak pemahaman,
yaitu:
1. Sihir berarti tipuan-tipuan dan khayal-khayal atau gambaran-gambaran yang
hakekatnya tidak ada sama sekali, sebagaimana yang biasa dikerjakan oleh
para tukang sulap saja.
2. Sihir berarti sesuatu yang dihasilkan oleh para hasilnya dengan pertolongan
atau bantuan setan-setan dengan jalan memuaskan maksud setan, atau
dengan jalan menyembah, merendahkan diri atau menghanturkan sesaji
yang menjadi syarat-syarat setan.
3. Sihir berarti tiap sesuatu yang halus dan tersembunyi tempat
pengambilanya.
Setan menipu kepada pandangan mata manusia, seakan-akan sihir itu nyata
adanya, tetapi sebenarnya hanyalah tipuan pandangan mata saja. Atau memang benar
ada sesuatu kekuatan yang bernama sihir itu, tetapi hal ini tidak lain adalah sebagai
bantuan tenaga dan bantuan kekuatan dari setan kepada kekasihnya saja, yaitu
manusia yang menginginkan akan ilmu tersebut.
Adapun hubungan nabi sulaiman dengan sihir, sehingga orang yahudi menuduh
Nabi Sulaiman yang mempraktekkan ilmu sihir, dan semua kerajaan Nabi Sulaiman
setan merupakan faktor utama dalam sihir. Lihat dalam Asyharie & Anwar Nuris, Bersahabat Dengan
Makhluk Halus, Putra Pelajar, t.tp., 2001, hlm. 171 Dan untuk melihat perkembangan sihir dan
sejenisnya dapat dibaca dalam Firmansyach Maulana H, Merambah Dunia Ghaib, Putra Pelajar,
Surabaya, 2003, hlm. 104-106
51
dipeoleh berkat ilmu sihir tersebut. Imam al-Thabari meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain al-
Hajjaj, dari Abu Bakar, dari Syahr ibn Hausab yang menceritakan ketika kerajaan
Nabi Sulaiman, syaitan-syaitan mencatat ilmu sihir. Syaitan-syaitan tersebut mencatat
bahwa barang siapa yang hendak melakukan anu dan anu, hendaklah ia
memebelakang matahari dan mengucapkan mantra ini dan itu. Syaitan-syaitan itu
mencatat semua dan menamakan catatannya itu dengan suatu judul, yaitu: “Inilah
yang dicatat oleh Asif ibn Barkhia24
buat raja Sulaiman.
Ketika nabi sulaiman mengetahiu kitab catatan itu, maka ia menguburkannya di
bawah kursi singgasanya. Setelah Nabi Sulaiman meninggal dunia, kitab catatan itu
ditemukan oleh orang yahudi. Maka mereka berkata, “Demi Allah, sesungguhnya
Sulaiman itu seorang penyihir. Inilah sihirnya. Dengan sihir ini kita dikalahkan dan
dengan sihir ini kita diperbudak. Orang-Orang yang beriman mengatakan, “Tidak,
bahkan dia seorang nabi lagi mukmin.
Beberapa ayat Al-Qur‟an disebutkan, bahwa orang-orang kafir juga menuduh
kepada Rasulullah SAW. sebagai seorang pendusta. Tuduhan orang kafir kepada
Rasul, bahwa beliau sebagai seorang pendusta itu dinyatakan didalam Al-Qur‟an
dengan kata-kata ejekan terhadap Rasul yang sangat sinis, sebagai sahir yakni tukang
tenung atau tukang sihir. Artinya, orang kafir. yang mengejek Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau seorang sahir, padahal artinya sahir itu adalah tukang sihir atau tukang
24
Adalah sekretaris Nabi Sulaiman
52
tenung, yang pada waktu itu, sebutan sahir adalah merupakan sebutan yang hina,
karena dibangsakan sebagai pembohong, tukang pembuat kepalsuan dan pendusta
artinya sebutan yang amat jelek sekali.
Jadi kesimpulannya, di dalam kalangan orang-orang kafir sendiri, sihir itu sudah
dikatakan atau dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik, dibuat bahan ejekan yang
dialamatkan kepada Nabi Muhammad saw.25
Berkaitan dengan sihir ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa tukang sihir itu
harus dibunuh, hal ini bila diketahui bahwa ia benar-benar melakukannya sebagai
tukang sihir, baik menurut pengakuannya sendiri ataupun dari beberapa saksi yang
menyatakan bahwa dia adalah tukang sihir, dengan mengemukakan sifat-sifat yang
munjukkan identitasnya sebagai bukti bahwa dia benar-benar tukang sihir. Tukang
sihir yang mengikrarkan bahwa dirinya telah bertaubat dan tidak akan melakukan
perbuatan itu lagi tidak dapat diterima, sehingga dia harus dijatuhi hukuman atau
sanksi. Tetapi kalau dia pernah mempraktekkan sihirnya hanya sekali saja, kemudian
ia telah meninggalkan bertahun-tahun lamanya, maka pernyataan dan pengakuannya
itu dapat diterima sehingga tidak boleh dibunuh.26
25
Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan dan
Azimat, hlm. 141-142 26
Firmansyach Maulana H, Merambah Dunia Ghaib, Putra Pelajar, Surabaya, 2003, hlm.
227-228
53
Dalam menanggapi masalah mempelajari ilmu sihir, ada beberapa pendapat
para ulama sebagaimana yang dikutip oleh M.A. Asyharie dan Anwar Nuris MS27
antara lain:
1. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata bahwa mempelajari ilmu sihir itu adalah suatu
kekafiran. Karena berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat
102 yang artinya: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab
itu janganlah kamu kafir.”
2. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa mempelajari sihir dan mengajarkannya
adalah haram,sebagaimana pendapat para ulama madzhab Hambali yang
mengatakan bahwa tukang sihir itu kafir karena dia mempelajari dan
melakukannya, baik ia meyakini keharamannya atau kebolehannya.
3. Abu Abdullah al-Razi menjelaskan bahwa mengetahui sihir itu tidak buruk
dan juga tidak dilarang. Para ulama sepakat dalam masalah ini karena dzat
ilmu sendiri adalah mulia, seandainya sihir itu tidak diketahui niscaya tidak
dapat dibedakan antara sihir dan Mukjizat, sedangkan mereka mengetahui
bahwa Allah merupakan pemberi Mukjizat adalah wajib. Sementara itu juga
ada kaidah yang mengatakan : “Apa yang menjadi suatu kewajiban
tergantung kepadanya maka sesuatu itu menjadi wajib.” Ini berarti bahwa
mendapatkan ilmu pengetahuan tentang sihitr adalah wajib. Jika ia
27
M.A. Asyharie dan Anwar Nuris MS., Bersahabat dengan Makhluk Halus (Malaikat dan
Jin), Putra Pelajar, Surabaya, 2001, hlm 178-181
54
merupakan suatu yang wajib maka bagaimana bisa dikatakan haram dan
buruk.
4. Al-hafizh Ibnu Katsir menanggapi pendapat yang dikemukakan Abu
Abdullah al-Razi, dimana pendapatnya perlu ditinjau dari beberapa aspek :
Pernyataanya bahwa mengetahiu sihir itu tidak buruk, jika yang dimaksud
tidak buruk itu menurut akal. Para penentang dari kaum Mu‟tazilah telah
menyanggah hal ini, jika yang dimaksud tidak buruk itu menurut syariat.
Kemudian Al-Razi berpendapat bahwa mempelajari sihir wajib hukumnya
dengan dalih tidak bisa diketahui Allah sebagai pemberi Mukjizat kecuali
dengan mengetahui sihir. Menurut Ibnu Katsir ini adalah dalih yang sangat
lemah bahkan rusak, karena kebanyakan mukjizat Rasulullah SAW. adalah
Al-Qur‟an yang tidak dapat dimasuki oleh kebatilan baik dari arah depan
maupun arah belakangnya. Ia diturunkan dari yang Maha Bijaksana Lagi
Maha Mulia. Kemudian mengetahui bahwa Allah adalah Pemberi Mukjizat
tidak tergantung sama sekali terhadap pengetahuan tentang sihir.
5. Abu Hayan, menurutnya hukum mempelajarinya ialah jika diantara sihir itu
mengagungkan selain Allah seperti bintang-bintang dan setan-setan
menambahkan kepada apa yang telah diberitakan oleh Allah maka secara
ijma dinyatakan kafir, tidak boleh dipelajari dan tidak beleh diamalkan.
Demikian pula jika tujuan mempelajarinya adalah untuk menumpahkan
darah dan meceraikan suami istri atau merusak hubungan persaudaraan. Jika
tidak diketahui adanya sesuatu dari apa yang disebutkan diatas tetapi ada
55
kemungkinannya, maka jelas tidak dibolehkan mempelajarinya dan
mengamalkanya. Jika termasuk jenis sihir pengelabuan, kejahatan dan
pendukunan maka tidak dibenarkan mempelajarinya, karena termasuk
kebatilan. Jika tujuannya bermain-main dan menghibur orang melalui
kecepatan sulapnya maka yang demikian dinyatakan makruh.
Manusia akan mengetahui hakikat sihir dan mukjizat, yang sama-sama
mempunyai kekuatan supranatural. Harut dan Marut tidaklah mengajarkan sihir
kepada seorangpun, demikian juga ciri-ciri dan tidak membuka identitas dari sihir itu
sendiri sebelum mereka mengatakan ini semua adalah hanya cobaan bagi kalian
semua, sehingga jika dipergunakan untuk maksiat dan berbuat kerusakan maka
jauhilah.28
Menurut Penulis dari berbagai pendapat ulama tentang sihir, Penulis lebih
cendrung ke pendapat Abu Hayyan, yang menjelaskan bahwa hukum.mengetahui
sihir itu tidak buruk dan juga tidak dilarang.
Para ulama sepakat dalam masalah ini karena dzat ilmu sendiri adalah mulia,
seandainya sihir itu tidak diketahui niscaya tidak dapat dibedakan antara sihir dan
mukjizat, sedangkan mereka mengetahui bahwa Allah merupakan pemberi Mukjizat
adalah wajib.
28
Fakhruddin al-Razy, Tafsir al-Kabir, Jilid III., Dar ll-Fikr, Beirut, t.th hlm.239
56
BAB IV
ANALISA KOMPARATIF IMAM ATH-THABARI DAN WAHBAH AL-
ZUHAILI
Al-Qur‟an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan
syimbol yang tampak. Namun, simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu
yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat dan hubungan antara keduanya terjadi
sedemikian rupa, sehingga bila tanda dan symbol itu difahami oleh pikiran, maka
makna yang tersirat insya Allah akan dipahami oleh pikiran, maka makna yang
tersirat insya Allah akan dipahami pula jiwa seseorang,
Disini penulis akan membandingkan penafsiran kedua mufassir yaitu Imam
al-Thabari dan Wahbah al-Zuhaili. sebelum mengetahui perbandingan antara kedua
mufassir, penulis harus terlebih dahulu mengetahui penafsiran keduannya tentang
Harut dan Marut dalam Surah al-Baqarah ayat 102 yang akan dibahas dibawah ini:
56
57
“Dan Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir),
padahal sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan
apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) denga istrinya. Dan
mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang
pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka memperlajari sesuatu yang memberi
mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka
telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya ( kitab Allah) dengan sihir
itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Q.S: al-Baqarah ayat
102).1
1 Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pustaka Magfirah,
Jakarta ,2006, hlm. 16.
58
A. Penafsiran Imam al-Thabari tentang Harut dan Marut dalam Surat al-
Baqarah Ayat 102
Dalam tafsirnya Imam Al-Thabari menjelaskan bahwa “maa" dalam firman
Allah wamā unzila ala al malakaini adalah memiliki arti alladzi (yang) keduanya
merupakan kata penjelas dari dua malaikat. Pendapat ini dinisbahkan al-Thabari
kepada Abdullah bin Mas‟ud, Qatadah, al-Zuhri al-Suddi, yunus dan yang lainnya.2
Jika dikatakan kepada kami: apakah boleh bagi Allah untuk menurunkan sihir atau
apakah boleh bagi malaikat untuk mengajarkan sihir kepada manusia?
Maka kami akan katakan: Allah telah menurunkan yang baik dan buruk secara
keseluruhan, dan Allah menjelaskan semuanya kepada hamba-hamanya, Allah
menurunkan wahyu kepada rasul-rasulnya, dan memerintahkan kepada mereka untuk
mengajarkan kebenaran kepada makhluk-Nya, dan memberitahukan apa yang
dihalalkan dan diharamkan atas mereka , seperti zina, mencuri dan semua maksiat
yang telah diberitahukan kepada mereka dan dilarang untuk melakukannya, maka
sihir adalah salah satu maksiat yang telah Allah beritahukan kepada mereka dan
dilarang untuk dikerjkan.
Mengetahui ilmu sihir tidak berdosa, sebagaimana tidak berdosa jika kita
mengetahui cara membuat khamer atau memahat patung dan membuat tabuh-tabuhan
serta mainan, akan tetapi adalah dosa bagi yang mengerjakannya. Demikian halnya
2 Abu Jakpar Muhammad ibn Jarit Ath-tabari, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam,
2007, hlm. 305.
59
tidak berdosa mengetahui ilmu sihir, akan tetapi yang berdosa adalah yang
mengerjakannya dan mempergunakannya untuk mencelakakan manusia tanpa hak.
Dan tidaklah Allah menurunkannya kepada malaikat dan juga pengajaran malaikat
kepada manusia sebagai perbuatan dosa, karena pengajaran mereka kepada mereka
yang belajar adalah dengan izin Allah kepada keduanya untuk mengerjakannya
setelah mereka memberitahukan bahwa ini adalah fitnah belaka.
Dan melarang sihir serta mengamalkannya dan melarang kekafiran dan bahwa
yang berdosa adalah yang belajar dari keduanya dan mengamalkannya karena Allah
telah melarang mempelajarinya dan mengamalkannya, dan seandainya Allah
membolehkan kepada keturunan adam untuk mempelajarinya, maka mempelajarinya
bukanlah suatu kesalahan, sebagaimana tidak menjadi dosa bagi kedua malaikat itu
mengetahuinya, karena ilmu keduanya tentang sihir adalah melalui wahyu yang
diturunkan kepada keduanya.3
Dan Abu Ja‟far juga menambahkan jika apa yang kami katakan belum jelas
kemudian mengatakan: Bagaimana dapat dipahami bahwa malaikat dapat
mengajarkan manusia untuk memisahkan antara suami dan istri? Atau bagaimana
diperbolehkan menisbatkan kepada Allah bahwa Allah menurunkan sihir kepada
kedua malaikat?
3Abu Jakpar Muhammad ibn Jarit Ath-tabari, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam,
2007, hlm. 305.
60
Jawabannya: sesungguhnya Allah Azza wa jalla memberitahukan kepada
hambanya segala apa yang diperintahkan kepadanya dan yang dilarang, kemudian
memerintah dan melarang, setelah mereka mengetahui apa yang diperintahkan dan
apa yang dilarang kepada mereka. Jika tidak seperti itu, maka perintahnya dan
larangan itu tidak akan bisa difahami, dan sihir termasuk apa yang dilarang dari
hambanya dari keturnan adam, maka tidak dipungkiri bahwa Allah ta’ala
mengajarkan kepada kedua malaikat yang namanya tercantum di dalam al-Qur‟an dan
menjadikan keduanya cobaan bagi manusia sebagaiman diberitahukan tentang
keduanya berkata kepada yang mempelajari sihir: innamā nahnu fitnatun falā takpur
untuk menguji hambanya dengan keduanya dari apa yang Allah larang tentang
memisahan antara suami dan istrinya dan perbuatan sihir, untuk membersihkan orang
yang beriman dengan meninggalkannya belajar dari keduanya, dan untuk
menghinakan orang kafir karena mempelajari sihir dan kekafiran dari keduanya.
Maka kedua malaikat itu ketika mengajarkan kepada orang yang mereka ajar karena
ketaatanya kepada Allah, karena keduanya mempelajari dan mengajarkannya dengan
izin dari Allah.4
Harut dan Marut adalah malaikat yang diturunkan oleh Allah sebagai ujian
dan cobaan bagi manusia saat itu. Keduanya mengajarkan sihir, dengan maksud agar
orang-orang dapat membedakan mana sihir dan mana mukjizat. Hal ini penting
4Abu Jakpar Muhammad ibn Jarit Ath-tabari, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam,
2007. Hlm. 309.
61
mengingat sihir di daerah Babil saat itu sudah sangat membudaya dan membesar,
sehingga mereka tidak dapat lagi memebedakan yang mana mukjizat dan sihir.
Mereka menganggap para nabi yang diutus bukan sebagai nabi akan tetapi
tukang sihir. Allah lalu menurunkan dua Malaikat Harut dan Marut sebagai ujian bagi
manusia saat itu. Mereka yang beriman akan tetap kokoh dengan keimanannya, dan
mereka tidak beriman akan terperdaya dalam sihir tersebut. Pendapat ini mengatakan,
bahwa kata Harut dan marut merupakan badal dari kata Malakain, yang berarti dua
malaikat dalam pengertian sebenarnya. Ibn katsir dalam tafsirnya juga mengatakan,
pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama salaf, termasuk juga sebagian besar
mufassirin, baik dahulu maupun yang belakangan.5
Turunnya kedua malaikat tersebut yang sudah diberi nafsu syahwat, maka
pada hakekatnya adalah sudah mempunyai sifat kemanusiaan. Walaupun di satu sisi
mereka masih mempunyai kekuatan alam malaikat, karena ia diciptakan dari unsur
malaikat (nur/cahaya), akan tetapi karena keduanya sudah turun ke dunia yang
merupakan alam materi, mau tidak mau mereka harus bermetamorfosis menjadi
manusia pada umumnya.
5 Abi Fida‟ al-Hafidh Ibn Katsir al-Dimisyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz I, al-Nur al-
„Alamiyah, Beirut, t.th., hlm. 131
62
Hal ini mengandung konsekwensi bahwa mereka juga butuh makan, minum,
pemenuhan kebutuhan rohani, dan tak kalah penting pemenuhan kebutuhan biologis.
Dengan demikian sifat-sifat basyariyah yang ghaib dimiliki oleh manusia pada
umumnya, mereka harus sudah memilikinya. hārūt dan mārūt di satu sisi mempunyai
sifat kemalaikatan (karena dibuat dari unsur nur) akan tetapi juga mempunyai unsur
manusia, sehingga ketika mereka membutuhkan untuk berkonsultasi atau meminta
informasi tentang dunia malaikat maka mereka bisa mendapatkannya, karena sifat
kemalaikatannya menyatu (inheren) dalam dirinya.
Al-Razi dalam hal ini menyatakan sebagaimana yang disitir oleh Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqi bahwa karena tukang-tukang sihir itu telah membuka beberapa
pintu sihir yang ganjil, bahkan mereka mengaku dan mendakwakan dirinya menjadi
Nabi, dengan mengatakan bahwa pekerjaan aneh yang mereka buat dengan kekuatan
sihir adalah mukjizat. Maka Allah mengutus dua orang malaikat (hārūt dan mārūt.)
untuk mengajari manusia tentang hal sihir dan macamnya. Maksud pengajaran itu
adalah untuk melawan dan meruntuhkan pendakwaan tukang sihir yang telah
mangaku sebagai Nabi dan untuk menegaskan kepalsuan mereka yang telah
merajalela di muka bumi.
Kedua malaikat tersebut apabila hendak mengajari ilmu sihir selalu memberi
nasihat, dan mengatakan bahwa mereka ditugaskan untuk menguji mana manusia
63
yang baik dan tidak serta mengingatkan kepada murid-muridnya bahwa janganlah
sekali-kali kalian pergunakan sihir untuk keburukan.6
Al-Qur‟an menyebut kata hārūt dan mārūt hanya pada satu tempat, yaitu pada
surat al-Baqarah: ayat :102. Harut dan Marut sebagaimana yang disebut dalam ayat
tersebut adalah bagian dari malaikat langit, dimana keduanya diturunkan kedunia ini
berkaitan dengan maraknya praktek sihir pada zaman Nabi Sulaiman. Mereka berdua
tidaklah mengajarkan amalan sihir, melainkan mereka turun memberikan peringatan.
At-Thabathabai menjelaskan bahwa keberadaan dua malaikat tersebut adalah
untuk menepis bahwa apa yang terjadi pada Sulaiman yang menguasai jin, manusia,
angin dan sebagainya adalah karena sihir. Padahal apa yang terjadi pada Nabi
Sulaiman adalah mukjizat yang telah diberikan Allah kepadanya. Sedangkan
turunnya hārūt dan mārūt adalah untuk mengajarkan ilmu sihir, sehingga masyarakat
tahu mana yang disebut mukjizat dan mana yang disebut dengan sihir. Bagaimana
mungkin Sulaiman melakukan sihir, yang mana sihir tersebut merupakan bentuk
kekufuran kepada-Nya. Hal ini disebabkan bahwa Sulaiman adalah ma‟shum atau
terjaga. Demikianlah mengapa Harut dan Marut diutus ke muka bumi ini, yaitu hanya
sebagai ujian bagi manusia dengan statusnya sebagai guru dalam ilmu sihir.7
6 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, al-Islam II, Pustaka Rizki, Semarang, 2000, hlm. 203
7 Muhammad Husain at-Thabathabi, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I, t.tp., Beirut, t.th. hlm.
232
64
Al-Maraghi berpendapat bahwa ayat di atas berbicara tentang tuduhan
terhadap Sulaiman yang dalam memperoleh kekuasaannya melalui sihir serta sihir
pada mulanya diajarkan oleh dua malaikat hārūt dan mārūt.. Hal ini karena orang-
orang pada waktu Nabi Sulaiman mengira bahwa apa yang diperolehnya adalah hasil
dari sihir, padahal apa yang diberikan Allah kepadanya adalah mukjizat.
Kecurigaan masyarakat diperparah pasca meninggalnya Nabi Sulaiman
dengan isu dari tukang sihir yang mendapatkan informasi dari setan bahwa semasa
Nabi Sulaiman hidup, sihir adalah dilarang, demikian juga dengan karya-karya yang
menunjukkan praktek sihir dikumpulkan atau disita dan ditanam dalam singgasana
Sulaiman. Dari peristiwa tersebut setan menghembuskan berita bahwa Nabi Sulaiman
tempo dulu adalah belajar dari sihir ini, dan buktinya adalah di bawah singgasananya
ada beberapa karya yang berkaitan dengan sihir. Dengan datangnya Harut dan Marut
yang membawa sihir adalah sebagai ujian kepadanya dan kepada yang mereka ajari.
Ia menyatakan sesuai dengan pengertian lahiriyah, ayat 102 surat al-Baqarah
menunjukan bahwa apa yang diturunkan kepada Harut dan Marut bukanlah ilmu sihir
tetapi sejenis ilmu sihir.
Keduanya mendapat ilham dan petunjuk tentang ilmu sihir tanpa seorang pun
mengajar. Hal ini untuk menjaga kemuliaan malaikat. Malaikat yang diturunkan ke
muka bumi dengan pakaian manusia yang shaleh serta penuh wibawa adalah untuk
mentransformasikan sifat ruhaniyahnya malaikat supaya dapat dicerna oleh indera
(kondisi manusia yang materi) manusia. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dengan
65
adanya sihir ini manusia tidak boleh kufur atau ingkar demikian juga dengan
mengamalkannya adalah larangan keras, kecuali dalam keadaan terpaksa demi
keselamatan jiwa.8
Muhammad Quraish Shihab berpendapat didalam tafsirnya bahwa setelah
kematian Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil terbagi dua. Yang pertama adalah
kerajaan putra Nabi Sulaiman bernama Rahbi‟am dengan ibu kota Yerusalem.
Sedangkan kerajaan kedua dipimpin oleh Yurbiam putra Banath, salah seorang anak
buah Nabi Sulaiman yang gagah berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan yang
berpusat di Samirah. Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran
agama.
Terjadi persaingan antara kedua kerajaan itu, tentu saja putra Sulaiman
mengandalkan dirinya sebagai anak seorang Nabi yang memiliki nama yang sangat
harum dimasyarakat. Sedangkan musuh-musuhnya berusaha memperkecil keutamaan
ini dan menyebarkan isu negatif dan kebohongan atas Nabi Sulaiman seperti bahwa
dia telah kafir dan kekuasaan yang sedemikian besar adalah karena sihir, agar nama
baik Nabi Sulaiman dan anaknya ikut tercemar. Mereka itulah yang dimaksud oleh
ayat 102 surat al-Baqarah ketika menyatakan bahwa mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman, yakni kitab Allah mereka
tinggalkan, lalu mereka membaca kitab setan. Mereka menuduh Nabi Sulaiman yang
8 Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, CV. Toha Putera, Semarang, 1992, hlm.
181
66
mendapat anugerah kekuasaan dari Allah dengan mengatakan bahwa Nabi Sulaiman
telah kafir dan mengajarkan sihir, padahal Nabi Sulaiman tidak kafir juga tidak
menggunakan sihir tetapi setan-setan yang kafir dan menggunakan sihir serta mereka
mengajarkan manusia tentang sihir.
Orang-orang Yahudi juga mengikuti sihir yang diajarkan oleh dua malaikat
yang merupakan hamba-hamba Allah yang tercipta dari cahaya dan hanya taat
kepada-Nya. Mereka berdua adalah Harut dan Marut, yang ketika itu di negeri Babil,
satu kota populer pada masa lampau di wilayah timur sekitar dua ribu tahun sebelum
masehi. Keduanya memang mengajarkan sihir, tetapi berbeda dengan setan dan juga
berbeda dengan orang-orang yahudi yang mengikuti setan. Keduanya tidak
mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum mengatakan : “Sesungguhnya
kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kafir”.9
Dari ayat 102 surat al-Baqarah diatas dapat difahami bahwa asal usul sihir itu
bermula dari Harut dan Marut. Keduanya tahu tentang sihir, dan mengajarkannya
kepada manusia, tetapi mereka tidak mengajarkannya, kecuali setelah memberitahu
sisi positif dan sisi negatifnya. Perhatikan bagaimana mereka berkata: “sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Ini berarti, ia tidak
menganjurkan mempelajarinya berbeda dengan setan karena itu pula sangat
diragukan kebenaran siapa yang berkata: “saya mempelajari sihir untuk
9 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an),
Lentera Hati, Jakarta, cet. I, 2000, hlm. 266-267.
67
menggunakannya dalam kebaikan”. Boleh jadi ia tulus saat mengucapkan, tetapi
setelah menguasainya, setan akan datang untuk menggoda. Seorang yang memiliki
senjata, lebih mudah menganiaya daripada yang tidak memilikinya. Begitulah
keadaan manusia yang mengetahui sihir, dan karena itu, Harut dan Marut
mengingatkan, bahwa mereka adalah cobaan. Cobaan menyangkut mempelajarinya
dan cobaan pula ketika telah menguasainya, apakah digunakan dalam kebaikan atau
sebaliknya.10
Cobaan itu juga bertujuan untuk membedakan yang taat dan yang durhaka,
serta untuk membuktikan bahwa sihir berbeda dengan mukjizat. Karena itu para
penyihir bukanlah Nabi, dan karena itu pula jangan gunakan sihir yang dapat
menyesatkan dan merugikan kalian, Demikian nasehat hārūt dan mārūt.. Tetapi
diantara yang diajarkan itu ada yang membangkang dan enggan mengikuti nasehat.
Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka
dapat menceraikan antara seseorang dengan pasangan suami isteri.11
Al-Zamakhsyari menegaskan bahwa datangnya kedua malaikat yang
mengajarkan sihir adalah ujian dari Allah bagi manusia, barang siapa yang yang
mempelajarinya dan mengamalkannya, maka orang tersebut termasuk dalam
golongan orang kafir. Demikian sebaliknya jika ada orang yang menjauhi atau
10
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an),
Lentera Hati, Jakarta, cet. I, 2000, hlm 267 11
Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-
Qur’an As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, Lentera Hati, Jakarta,
2000, hlm 163
68
mempelajari sihir dan tidak mengamalkannya maka orang tersebut masuk kategori
muslim. Lebih lanjut al-Zamakhsyari menyatakan dengan mengutip qira‟ah Hasan
bahwa jika kata al-malakain dibaca kasrah lamnya, maka artinya adalah kedua orang
yang datang dari negeri Babil, sehingga ia lebih cenderung mengomentari eksistensi
sihir dari pada Harut dan Marut, karena apa yang dibawa (sihir) oleh kedua malaikat
adalah lebih penting dan berpengaruh terhadap kehidupan manusia.12
Turunnya kedua malaikat yang mengajarkan sihir, maka yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana mungkin Allah memerintahkan malaikat untuk
mengajari manusia ilmu sihir ?. Menanggapi hal tersebut, al-Thabari menyatakan
bahwa Allah menurunkan kebaikan dan kejahatan adalah bersama-sama, akan tetapi
Allah tetap menjelaskan dengan diutusnya para Rasul yang menunjukkan mana yang
halal dan mana yang haram, semisal: zina, mencuri dan sejenisnya. Dan sihir adalah
satu di antara yang dilarang Allah dan telah diberitahukan bahwa larangan keras bagi
yang melaksanakannya.
Hal tersebut berangkat dari asumsi bahwa ilmu sihir adalah tidak berdosa,
adapun yang menyebabkan dosa adalah dengan mengamalkannya. Sehingga benar
apa yang dilakukan oleh kedua malaikat tersebut sebelum mengajarkan ilmu sihir,
mereka mengatakan dengan: innamā nahnu fitnatun falā takfur. Inilah bentuk dari
ketaatan malaikat bahwa dengan diturunkannya di dunia adalah sebagai ujian.
12
Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizy, al-Kasysyaf, Dar alFikr,
Beirut, t.th., hlm. 301
69
Pertentangan antara kebaikan dan kejelekan seseorang dalam berprilaku dapat
bercermin dari argumen tentang eksistensi makhluk halus, di antaranya adalah
malaikat dan setan, dua simbol yang bertentangan. Di satu sisi malaikat adalah
makhluk gaib yang murni mewakili aspek kebaikan murni dari eksistensi, sementara
setan dan kaki tangannya mewakili aspek kejahatan murni. Tuhan itu tunggal dan tak
terbatas, tidak memiliki sifat yang berlawanan, semua makhluk lainnya memiliki sifat
kebalikan, karena itu malaikat mewakili aspek baik manusia sementara setan
mewakili aspek buruk manusia. Malaikat mengajak manusia menuju aspek spriritual
murni atau kemalaikatan manusia, sementara setan menggoda menuju kejahatan.
Pertentangan hal itu, baik dalam diri manusia dan di alam semesta, terus berlangsung
sejak adanya eksistensi. Setiap orang merasakan stimulus ke arah baik dan buruk
pada waktu yang bersamaan. Stimulus ke arah kebaikan berasal dari malaikat atau
jiwa manusia yang bersih, sedangkan stimulus ke arah kejahatan berasal dari setan
yang bersama dengan jasmani manusia, yang mewakili aspek binatangnya.13
Oleh sebab itu manusia harus berjuang keras dengan jiwa yang mendorong
kepada kejelekan. Kalau malaikat memberi petunjuk yang benar dan memberi
inspirasi kepada manusia dengan keimanan, tingkah laku yang baik serta kebajikan.
Dan mengajak manusia melawan godaan setan. Begitu juga nafsu jelek berusaha
membujuknya untuk berbuat keburukan. Bukankah kehidupan seseorang merupakan
sejarah pertentangan terus menerus antara inspirasi malaikat dan godaan setan ?.
13
Muhammad Fethullah Gulen, Menghidupkan Iman dengan Mempelajari Tanda-Tanda
Kebesaran-Nya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 39
70
Inilah sebabnya manusia bisa berangkat kepada ke tempat yang paling tinggi atau
terbuang ke tempat yang paling rendah. Juga, inilah sebabnya mengapa posisi
manusia, para Nabi dan orang suci besar, berada di tingkatan yang lebih tinggi
daripada malaikat terbesar. Juga, walaupun malaikat memiliki pengetahuan tentang
Allah dan Asmaul Husna serta sifat-sifat-Nya melebihi manusia, tetapi manusia bisa
bercermin atas Asmaul Husna dan sifat-sifat-Nya yang lebih komprehenship karena
ada indera-indera manusiawi yang lebih maju, kemampuan berefleksi dan bawaan
manusia yang kompleks.14
Allah mempunyai kekuasaan yang tak terhingga dan tak terdeteksi
sebelumnya, maka membuat suatu yang tidak mungkin menjadi mungkin adalah
sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan secara dalil rasionalitas, mereka tidak akan
menolak sesuatu yang telah terjadi pada mereka yaitu perbuatan maksiat kepada
Allah, karena Dia telah telah menjadikan apa-apa yang berlawanan dengan tugas
mereka (dengan ketaatan malaikat untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan
tidak melaksanakan larangan-Nya) dengan pemberian nafsu syahwat, karena
kekuasaan Allah mampu berbuat apa saja yang diperkirakan manusia, akan tetapi
terjadinya hal yang mungkin seperti itu adalah rahasia-Nya.15
14
Muhammad Fethullah Gulen, Menghidupkan Iman dengan Mempelajari Tanda-Tanda
Kebesaran-Nya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 . 70-71 15 Muhammad Bayumi, Malaikat Langit dan Bumi, Terj. FSI Himaka, Cendekia Sentra
Muslim, Jakarta, 2000, hlm. 49
15 Abi Fida‟ al-Hafidzh Ibn Katsir al-Dimisyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz I, al-
Nur al-‘Alamiyah, Beirut, t.th., hlm. 131
71
Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Ibnu Katsir bahwa malaikat adalah
terjaga dari hal-hal yang tercela dan dosa (ma’shum), akan tetapi berkaitan dengan
peristiwa Harut dan Marut adalah suatu pengecualian dari kekuasaan Allah. Hal
tersebut sama sebagaimana yang terjadi pada Iblis yang disuruh untuk menghormat
kepada Adam, akan tetapi tidak mau melaksanakannya, sehingga akhirnya dilaknat.16
Dari keterangan ayat 102 Surat al-Baqarah tersebut dapat diambil makna
tersurat dan tersirat yaitu:
1. Sihir adalah memang ada, bukan suatu khayalan yang benar-benar terjadi. Sihir
dihasilkan oleh jampi-jampi dan mantra atau sumpah-sumpah yang dibacakan
oleh setan pada masa kerajaan Sulaiman, sedangkan Sulaiman adalah Nabi dan
bukan sekedar raja. Dia bukanlah seorang yang kafir dan bukan seorang tukang
sihir (sebagimana yang didakwakan setan kepadanya). Segala binatang yang
tunduk dan patuh kepada Sulaiman bukan karena kepandaiannya dalam sihir,
tetapi karena Allah telah memberi mu‟jizat.
2. Orang-orang Yahudi yang menentang ajaran Sulaiman berkata bahwa Sulaiman
bukanlah Nabi melainkan hanya seorang raja belaka, raja segala makhluk.
Sulaiman dianggapnya dapat menjinakkan jin dan dari jin serta setan itulah
Sulaiman berguru sihir. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hal ini disangkal
72
dalam firman Allah yang artinya bahwa setan-setan itulah yang kafir dan mereka
yang mengajarkan sihir kepada manusia.
3. Bahwa sesungguhnya setan telah mengajarkan ilmu-ilmu sihir kepada manusia,
dan mengajarkan pula ajaran-ajaran untuk mencerai-beraikan suami-istri yang
diturunkan kepada dua malaikat Harut dan Marut. Adapun diturunkan dua
malaikat ialah untuk mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, bukan mengajarkan
amalan sihir. Ilmu adalah sebuah teori belaka sedangkan amalan adalah
prakteknya.17
Adanya kisah Harut dan Marut dapat dipahami sebagai kisah simbolik. Hal
ini dapat diambil pelajaran bahwa manusia biasanya menduga dirinya lebih pandai
dan lebih benar dari pihak lain yang sedang melaksanakan satu tugas dalam satu
arena, misalnya pemerintahan atau lapangan permainan. Bukankah pemain seringkali
dinilai salah dan keliru oleh penonton?. Bukankah kelompok oposisi seringkali
menganggap kebijaksanaan pemerintah keliru?, tetapi penilaian mereka tidak selalu
benar. Persilahkan penonton bermain, berilah kendali pemerintahan kepada
penentang, tidak jarang terbukti bahwa dugaan mereka tentang kemampuannya dan
ketidakmampuan pihak lain, ternyata sangat meleset. Tidak berbeda dengan para
malaikat yang diwakili oleh Harut dan Marut tersebut.18
17
Firmansyah Maulana, Merambah Dunia Ghaib, Pustaka Pelajar, Surabaya, 2003, hlm. 218-
219 18
Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-
Qur’an As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, Lentera Hati, Jakarta,
2000, hlm. 167-168
73
Pelajaran penting lain yang dapat diambil dari cerita simbolik (hal ini penulis
sampaikan karena mengingat ke-ma’shum-an para malaikat) Harut dan Marut adalah
dengan adanya sihir.19 Memang dampak dari sihir sendiri mampu membuat cerai berai
hubungan suami istri sehingga menjadi sesuatu hubungan yang jahat dan rusak.
Demikian juga sebagai akibat dari sihir itu sendiri adalah aspek negatifnya tinggi,
karena ia merupakan tipuan belaka dengan bantuan atau bisikan setan.20
Hal tersebut dapat dimaklumi bahwa apa yang menjadi ritual dari sihir sendiri
adalah dengan melakukan alat-alat kotor, berbau bahkan mengotori kitab suci dengan
darah dan aneka najis. Hal ini mempunyai tujuan untuk memuaskan sang guru, yaitu
setan yang dipercaya dapat membantu mewujudkan keinginan penyihir atau
kliennya.21
Padahal setan adalah makhluk durhaka dan musuh Allah. Dengan
demikian sihir adalah ujian bagi manusia selamanya, sebagaimana pesan Harut dan
Marut ketika mengajarkan sihir bagi mereka yang meminta, kalau ia meninggalkan
19
Sihir sendiri didefiniskan sebagai pengetahuan yang dengannya seseorang memiliki
kemamapuan kejiwaan yang dapat melahirkan hal-hal aneh dan sebab-sebab tersembunyi. Pendapat
lain menyatakan bahwa sihir adalah uacapan-ucapan yang mengandung pengagungan kepada selain
Allah yang dipercaya oleh pengamalnya dapat menghasilkan sesuatu dengankadarkadarnya. Untuk
melihat seberapa jauh pembahasan sihir dan pendapat-pendapat ulama tentang sihir dapat dibaca dalam
Muhammad Quraish Shihab, op.cit., hlm. 166 20 Muhammad, Husain al-Thaba‟thab‟i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz I, t.tp., Beirut, t.th.
hlm. 232
21 Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-
Qur’an As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini, Lentera Hati, Jakarta,
2000, hlm. 165
74
dan berpaling kepada Allah maka akan selamat. Begitu sebaliknya jika menjadikan
berpaling kepada setan maka akan merugi.22
Harut dan Marut dapat diambil pelajaran, bahwa dengan tingginya sebuah
kedudukan suatu saat bisa jatuh, terkecuali jika seseorang itu mampu akan
mengekang hawa nafsu dan keinginan duniawi yang dapat menjerumuskan manusia
ke dalam jurang kehinaan. Demikian juga dengan ajarannya, sihir dalam
perkembangannya selalu mendapat tempat mulai dari zaman Nabi Musa sampai
sekarang, sihir selalu menjadi perhatian yang menarik dan banyak disukai manusia.
Hal lain yang dapat diambil dari kisah Harut dan Marut adalah
kerterlibatannya sebagai malaikat, bahwa mempercayai hal-hal yang diinformasikan
agama dalam bidang metafisika, walaupun tidak difahami akal sama sekali tidak
berarti merendahkan akal atau mengabaikan peranan nalar, karena kepercayaan yang
dituntut Islam, bukanlah hal-hal yang bertentangan dengan akal. Agama tidak
menuntut untuk percaya, bahwa dua tambah dua sama dengan lima, karena ini
bertentangan dengan akal. Yang dituntutnya untuk diimani adalah sesuatu yang tidak
22 Walaupun di satu sisi sihir dikecam untuk tidak diamalkan (karena di antara fungsinya
adalah memisahkan suami dan istrinya, kawan, saudara lelaki dan saudara perempuan atau yang
menghasilkan kejadian buruk bagi orang lain) tetapi dalam prakteknya ditemukan dalam manifestasi
kehidupan manusia, di antaranya adalah seni menarik penikmatnya dengan sesuatu yang sama dengan
sihir. Musik juga berisi sentuhan yang mengguncang rasa dan mengantar seseorang pada dimensi
kegembiraan atau euforia. Dimensi inilah dikatakan sebagai sihir yang berguna. Oleh karenanya sihir
sendiri juga terbagi dalam dua kategori, yaitu black magic dan white magic. Baca dalam Syaykh
Muhammad Hisham Kabbani, Dialog dengan Para Malaikat Perspektif Sufi, Terj. Nur Zain Hae.,
Hikmah, 2003, hlm. 193
75
dapat dimengerti oleh akal. Ini beralasan, karena objek iman adalah sesuatu yang
berada di luar wilayah nalar. Anda keliru bila menuntut telinga menginformasikan
rasa manis atau kecut suatu buah. Dan keliru pula jika mengharapkan lidah untuk
menyelesaikan persoalan matematika, bukan wilayah kerja atau fungsi kedua indera
itu.
Agama ketika menuntut untuk mempercayai hal-hal yang bersifat metafisika,
walau tidak difahami oleh akal, pada hakekatnya hanya menuntut manusia untuk
memfungsikan alat yang dianugerahkan untuk digunakannya, yaitu qalbu. Iman
bukannya pembenarannya akal, tetapi pembenaran hati, sama halnya dengan cinta.
Sekali lagi ketika agama menuntut iman terhadap hal-hal yang tidak dimengerti oleh
akal, pada hakekatnya hanya menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar serta
memfungsikan sesauatu itu sesuai dengan fungsi yang harus diembannya.
Yang mengingkari persoalan-persoalan metafisika yang diinformasikan Allah,
walau berada di luar jangkauan akal, sungguh telah menganiaya dirinya sendiri,
karena ia mengabaikan potensi qalbu, yang dapat mengantarkannya untuk percaya
dan beriman. Bahkan dengan pengingkarannya, ia-pun telah menganiaya akalnya,
karena ia telah mengatasnamakannya menolak apa yang berada di luar wilayah
jangkauannya.
Percaya kepada malaikat paling tidak mempunyai pengaruh kepada diri
pribadi yang beriman, yaitu:
76
1. Percaya tentang wujud malaikat, mereka mempunyai eksistensi, mereka adalah
makhluk yang diciptakan Allah mereka bukan maya, bukan ilusi dan bukan pula
sesuatu yang menyatu dalam diri manusia
2. Percaya bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang taat, yang diberi tugas-
tugas tertentu oleh-Nya seperti membagi rizqi, memikul ‘arsy (singgasana) Ilahi,
mencatat amal-amal manusia, menjadi utusan Allah kepada manusia dan lain-lain.
Tetapi bagaimana cara mereka melakukan tugasnya, tidaklah termasuk dalam
kewajiban mempercayainya.23
3. Mengakui bahwa diantara mereka ada yang merupakan utusan Allah yang
diutusnya kepada manusia yang dikehendakinya, dan terkadang diutus pula
kepada sesama mereka sendiri. Pengakuan selanjutnya bahwa diantara mereka
ada yang memikul arsyi, yang bershaf-shaf, yang menjaga surga, yang menjaga
neraka yang mencatat segala perbuatan, dan yang menggiring awan, yang hal itu
telah disebutkan AlQur‟an, baik semuanya maupun sebagian besarnya.24
23 Muhammad Quraish Shihab, Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan dan Malaikat
dalam Al-Qur’an As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini,
Lentera Hati, Jakarta, 2000 hlm. 251-252.
24 Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Menjelajah Alam Malaikat, Pustaka Hidayah, Bandung,
2003, hlm. 19-20
77
B. Penafsiran Wahbah al-Zuhaili tentang Harut dan Marut dalam Surat al-
Baqarah Ayat 102
Wahbah al-Zuhaili25
menjelaskan dalam Tafsir al-Munir menyatakan bahwa
kedua orang tersebut adalah dua orang yang mempunyai kewibawaan dan keagungan
di mana manusia memuliakan dan menghormatinya. Ia memandang sihir sebagai
sesuatu yang pengambilannya sangat lembut atau halus dan sebab (akibat) yang
ditumbulkannya adalah samar, sedangkan Babil adalah kota di Irak, tepatnya daerah
Kufah yang terkenal dengan sejarahnya. Ia lebih cenderung pada pendapat Hasan al-
Bashri bahwa kata malakain dibaca malikaini (dengan huruf lam berharkat kasrah),
yang mempunyai pemahaman bahwa kedua orang tersebut adalah dua manusia yang
shaleh dan taat. Mereka mempunyai tugas untuk menjelaskan kepada manusia antara
sihir dengan mukjizat, dan menjelaskan bahwa orang-orang (tukang sihir) yang
mengaku diri mereka nabi secara dusta sebenarnya adalaah ahli sihir , bukan nabi.
Kedua orang ini mempelajari sihir melalui ilham, tanpa guru, dan inilah yang
dimaksud dengan al-inzāl yang disebutkan pada ayat 102.26
Sehingga kehadirannya
menjadikan peringatan kepada manusia supaya berhati-hati berkenaan dengan sihir.
Ia mengancam penggunaan sihir yang mengarah pada kerusakan tatanan umat
Akan tetapi al-Zuhaili lebih lanjut memaparkan beberapa pendapat tentang
eksistensi Harut dan Marut. Jumhur ulama‟ menyatakan bahwa keduanya adalah
25
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz I, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 242-246 26
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz I, Dar al-Fikr, Damaskus. 2005. hlm.197
78
malaikat yang diutus Allah untuk menguji manusia dengan kebatilannya dan
mengajarkan sihir, akan tetapi sebelum mereka mengajarkan kepada manusia,
keduanya mengatakan bahwa kami berdua adalah ujian bisa jadi kafir maupun iman.
Hal ini berangkat dari asumsi bahwa malaikat mempunyai sifat tidak pernah
melanggar perintah Allah dan selalu taat terhadap perintah-Nya. Sedangkan pendapat
yang kedua mengatakan bahwa kedua orang tersebut adalah dua manusia dari Babil.
Begitu juga beberapa pendapat mufassir yang menyatakan hārūt dan mārūt.
sebagai manusia seperti pendapatnya Abdullah Yusuf Ali didalam tafsirnya bahwa
kata dua malaikat yang di terapkan kepada hārūt dan mārūt ialah kata kiasan yang
berarti orang-orang baik, berpengetahuan, berilmu (arif bijaksana), dan mempunyai
kekuatan.
hārūt dan mārūt hidup di Babilonia sebagai manusia yang baik, hārūt dan
mārūt sudah tentu tidak mau menceburkan diri kedalam kejahatan dan mereka bersih
dari segala penipuan, tetapi ilmu dan seni jika dipelajari oleh orang yang memang
jahat, dapat digunakan untuk maksud-maksud jahat pula. Disamping praktek sihirnya
yang keji, setan akan mempelajari juga ilmu yang benar itu sedikit-sedikit akan
digunakannya untuk maksud-maksud jahat. hārūt dan mārūt. pun tidak
menyembunyikan ilmu, namun mereka belum pernah mengajarkan kepada siapapun
tanpa memberikan peringatan seperlunya mengenai bahaya dan godaannya apabila
berada di tangan orang jahat. Sebagai manusia yang mempunyai tinjauan yang dalam,
mereka melihat bukan tidak mungkin kekufuran akan keluar dari lidah orang-orang
79
jahat dan mereka akan membusungkan dada karena ilmunya, dan karena itulah
mereka diberi peringatan. Ilmu sihir memang merupakan cobaan dan godaan, kalau
manusia sudah diberi peringatan maka akan tahu bahayanya. Kalau Allah sudah
menganugerahkan kepada manusia suatu kebebasan berkehendak, manusia harus
bebas memilih mana yang memberi manfaat dan mana yang membawa mudarat.27
M. Hasbi As-Shiddiqi yang mengatakan bahwa hārūt dan mārūt. dari unsur
manusia, ia menguraikan dalam tafsirnya dimana ada seorang pendeta Yahudi yang
telah membelakangi Taurat dan al-Qur‟an, ia mengajarkan sihir, kemudian diajarkan
oleh orang-orang yang berprilaku jahat dan buruk pada masa Nabi Sulaiman. Orang-
orang yang berprilaku jahat itu mengatakan bahwa Nabi Sulaimanlah yang telah
mengumpulkan kitab-kitab sihir dan menyembunyikan dibawah kursinya. Dengan
sihir itulah Nabi Sulaiman memperoleh kekuasaannya kemudian kitab-kitab sihir itu
dikeluarkan oleh orang-orang yang menemukannya, lalu mempelajari dan
mengajarkannya kepada orang lain.
Mereka menyandarkan kitab-kitab sihir itu kepada Nabi Sulaiman padahal ia
terbebas dari tuduhan yang demikian itu Orang-orang Yahudi mengajarkan apa yang
diajarkan oleh setan dimasa pemerintahan Sulaiman dan apa yang diajarkan oleh dua
orang Babil yaitu hārūt dan mārūt. yang bersikap saleh dan takwa. Kedua orang itu
oleh masyarakat dipandang sebagai malaikat yang turun dari langit. Mereka
27
Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, Juz I-XV, Pustaka Firdaus, cet.I,
Jakarta, 1993, hlm. 45
80
mengatakan bahwa Harut dan Marut menerima sihir dari Tuhan, padahal sama sekali
Tuhan tidak menurunkan sihir kepada mereka.
Harut dan Marut apabila hendak mengajarkan sihir kepada seseorang terlebih
dahulu mereka memberi nasehat dan menerangkan, bahwa mereka adalah cobaan
(fitnah) bagi manusia. Mereka berbuat demikian adalah untuk menambah keyakinan
murid-muridnya, bahwa mereka benar-benar orang baik. Dari kedua orang itulah
mereka mempelajari ilmu yang dapat dipergunakan untuk menceraikan suami isteri
yang saling mengasihi, yang dalam bahasa sekarang disebut guna-guna pembenci
lawan dari guna-guna pengasih. Sebenarnya kedua orang itu (Harut dan Marut)
tidaklah diberi kekuatan ghaib, semua yang mereka lakukan tidak terlepas dari hukum
sebab akibat yang diciptakan Allah. Mereka sebenarnya membuat sebab-sebab yang
menimbulkan akibat yang membuat orang-orang mempercayai bahwa apa yang
diperbuatnya itu diluar kesanggupan manusia biasa.28
Hamka berpendapat bahwa adanya dua malaikat yang turun dari langit,
sengaja mengajarkan sihir kepada orang. Setiap orang yang belajar mereka katakan
bahwa datang hanyalah sebagai fitnah, percobaan atau ujian Tuhan bagi mereka.
Tetapi kemudian diajarkan juga sihir itu, yakni sihir yang berbahaya yaitu ilmu
bagaimana supaya suami isteri yang saling mengasihi bercerai karena pengaruh ilmu
itu. Cara mengajarkan sihir yang demikian itu, bukanlah layak perbuatan malaikat,
28
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqi, Tafsir al-Qur’anul Majid (An-Nur), Pustaka Rizki
Putra, Semarang, cet. II, 1995, hlm169-171
81
tetapi perbuatan penipu halus. Oleh sebab itu mustahil malaikat Allah menjadi
penipu, tentu maksud malakaini, dua malaikat disini adalah dua orang yang
dipandang masyarakat sebagai orang saleh di negeri Babil yaitu Harut dan Marut,
sehingga karena terkenal salehnya disebut malaikat.
Hārūt dan Mārūt adalah orang baik-baik sampai dikatakan orang seperti
malaikat. Mereka mengajarkan bermacam-macam ilmu. Ada juga yang meminta
diajarkan sihir, merekapun tahu ilmu itu, tetapi siapa yang hendak belajar diberinya
nasehat terlebih dahulu, supaya jangan digunakan untuk kejahatan. Orang yang
belajar berjanji dihadapan keduanya tidak akan mempergunakan untuk kejahatan,
tetapi setelah mereka keluar dari tempat gurunya, mereka pergunakan untuk
kejahatan, sehingga dapat menceraikan suami dengan isterinya.29
Oleh karenanya dengan sihir yang diajarkannya adalah setara manfaat dan
mudharatnya, ketika ia masuk ke dalam pikiran. Dualitas sihir ini tercerminkan dalam
cerita dua manusia dan malaikat sekaligus, yang dimensi manusianya melupakan dan
dimensi malaikatnya mengingatkan dan mengajarkan. Orang-orang yang berurusan
dengan kekuatan batin sekarang ini dengan cara yang sama terbagi menjadi dua
kelompok. Ada yang membawa orang pada keuntungan material semata dan tidak
menghentikan mereka dari kerugian orang lain. Hal tersbut harus dihindari, karena
mereka membahayakan diri mereka sendiri dan orang-orang yang berkonsultasi pada
mereka. Dan yang kedua adalah orang yang menolong untuk membangun hidupnya
29
Hamka, Tafsir al-Azhar, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, cet.II, 1970, hlm. 241
82
dengan cara yang berguna dan spiritual. Jenis kerja terakhir inilah untuk kebaikan dan
mereka menikmati bantuan terhadap kekuatan kemalaikatan.30
Hārūt dan Mārūt memang tidak bisa dilepaskan dari isu sihir yang merebak
pada waktu itu. Dalam surat al-Baqarah 102 diterangkan bahwa Sulaiman dituduh
oleh orang-orang kafir serta betapa sedih tukang sihir atau ahli sihir. Di mana ilmu-
ilmu sihir itu di dapat atau diajarkan setan kepada Sulaiman. Padahal sesungguhnya
Sulaiman bukanlah seorang tukang sihir. Hanya setan-setan itulah yang kafir
(mengerjakan sihir). Merekalah yang mengajarkan sihir kepada manusia.
Setan memang kafir, karena ajaran sihirnya, sehingga logikanya adalah
sebagai berikut apabila seseorang mempunyai ilmu sihir kemudian mengamalkannya
ia termasuk setan. Dan setan termasuk kafir, maka orang yang mengikuti setan
termasuk dianggap kafir terhadap Allah.
Hal tersebut dapat dilihat bahwa sesungguhnya setan telah mengajarkan ilmu-
ilmu sihir kepada manusia, dan mengajarkan pula ajaran-ajaran untuk mencerai
beraikan suami-istri yang diturunkan kepada Harut dan Marut. Adapun diturunkan
keduanya ialah untuk mengajarkan ilmu sihir kepada manusia, bukan mengajarkan
amalan sihir. Hal itu sesuai dengan keterangan-keterangan sebagai berikut:
a. Banyak tukang sihir dan peminat sihir yang mengaku dirinya sebagai seorang
wali atau Nabi lalu memecah belah umat manusia, sebab itu Harut dan Marut
30
Syaykh Muhammad Hisham Kabbani ,Dialog dengan para Malaikat Perspektip Sufi, terj.
Nur Zain Hae., Hikmah, Jakarta, 2013, hlm. 190-193
83
diturunkan untuk mengajarkan ilmu sihir (teori) terhadap tujuan untuk menentang
keburukan-keburukan pembohong yang mengakui dirinya sebagai Nabi.
b. Pengetahuan mukjizat dengan sihir sangatlah berbeda sebab itu Harut dan Marut
diturunkan untuk memberi ajaran tentang ilmu sihir agar orang-orang menyadari
kalau antara mukjizat Nabi Sulaiman dengan sihir sangat jauh berbeda.31
C. Analisis Komparatif tentang Harut dan Marut
Al-Qur‟an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda dan
syimbol yang tampak. Namun, symbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari sesuatu
yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat dan hubungan antara keduanya terjadi
sedemikian rupa, sehingga bila tanda dan symbol itu dipahami oleh pikiran, maka
makna yang tersirat Insya Allah akan dipahami pula jiwa seseorang.
Setelah mengamati penafsiran tentang Harut dan Marut oleh kedua mufassir,
yakni Abu Ja,far Muhammad dan Wahbah al-Zuhaili yang terdapat dalam surat al-
Baqarah ayat 102, penulis mencoba menganalisa permasalahan tersebut dengan
membandingkan kedua penafsir yang akhir membuat suatu kesimpulan, apakah ada
perbedaan atau persamaan antara kedua mufassir tersebut? apabila ada, maka dalam
mengkoparatifkan kedua tokoh itu, penulis menggabungkannya dalam konteks
perbedaannya.
31
Firmansyah Maulana, Merambah Dunia Ghaib, Pustaka Pelajar, Surabaya, 2003, hlm. 219-
220
84
1. Perbedaan penafsiran Imam al-Thabari dan Wahbah al-Zuhaili
Setiap mufassir dalam menafsirkan al-Qur‟an mempunyai perbedaan dengan
tujuan memperkaya khazanah pengetahuan kita dalam memhami pesan-pesan yang
ada dalam al-Qur‟an. Walaupun tidak jarang perbedaan ini menimbulkan perpecahan
akibat perbedaan yang ditimbulkan.
Dalam tafsir Al-Tabari menjelaskan bahwa “maa" dalam firman Allah wamā
unzila ala al malakaini adalah memiliki arti alladzi keduanya merupakan kata
penjelas dari dua malaikat. Jika dikatakan kepada kami: apakah boleh bagi Allah
untuk menurunkan sihir atau apakah boleh bagi malaikat untuk mengajarkan sihir
kepada manusia?
Maka kami akan katakan: Allah telah menurunkan yang baik dan buruk secara
keseluruhan, dan Allah menjelaskan semuanya kepada hamba-hamanya, Allah
menurunkan wahyu kepada rasul-rasulnya, dan memerintahkan kepada mereka untuk
mengajarkan kebenaran kepada makhluk-Nya, dan memeberitahukan apa yang
dihalalkan dan diharamkan atas mereka , seperti zina, mencuri dan semua maksiat
yang telah diberitahukan kepada mereka dan dilarang untuk melakukannya, maka
sihir adalah salah satu maksiat yang telah Allah beritahukan kepada mereka dan
dilarang untuk dikerjkan.
Mengetahui ilmu sihir tidak berdosa, sebagaimana tidak berdosa jika kita
mengetahui cara membuat khamer atau memahat patung dan membuat tabuh-tabuhan
85
serta mainan, akan tetapi adalah dosa bagi yang mengerjakannya. Demikian halnya
tidak berdosa mengetahui ilmu sihir, akan tetapi yang berdosa adalah yang
mengerjakannya dan mempergunakannya untuk mencelakakan manusia tanpa hak.
Dan tidaklah Allah menurunkannya kepada malaikat dan juga pengajaran malaikat
kepada manusia sebagai perbuatan dosa, karena pengajaran mereka kepada mereka
yang belajar adalah dengan izin Allah kepada keduanya untuk mengerjakannya
setelah mereka memberitahukan bahwa ini adalah fitnah belaka.
Dan melarang sihir serta mengamalkannya dan melarang kekafiran dan bahwa
yang berdosa adalah yang belajar dari keduanya dan mengamalkannya karena Allah
telah melarang mempelajarinya dan mengamalkannya, dan seandainya Allah
membolehkan kepada keturunan adam untuk mempelajarinya, maka mempelajarinya
bukanlah suatu kesalahan, sebagaimana tidak menjadi dosa bagi kedua malaikat itu
mengetahuinya, karena ilmu keduanya tentang sihir adalah melalui wahyu yang
diturunkan kepada keduanya.32
Dan Abu Jakpar juga menambahkan jika apa yang kami katakan belum jelas
kemudian mengatakan: Bagaimana dapat dipahami bahwa malaikat dapat
mengajarkan manusia untuk memisahkan antara suami dan istri? Atau bagaimana
diperbolehkan menisbatkan kepada Allah bahwa Allah menurunkan sihir kepada
kedua malaikat?
32
Abu Jakpar Muhammad ibn Jarit Ath-tabari, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam,
2007. hlm. 305.
86
Jawabannya: sesungguhnya Allah Azza wa jalla memberitahukan kepada
hambanya segala apa yang diperintahkan kepadanya dan yang dilarang, kemudian
memerintah dan melarang, setelah mereka mengetahui apa yang diperintahkan dan
apa yang dilarang kepada mereka. Jika tidak seperti itu,maka perintahya dan larangan
itu tidak akan bisa difahami, dan sihir termasuk yang dilarang dari hambanya dari
keturnan adam, maka tidak dipungkiri bahwa Allah ta’ala mengajarkan kepada kedua
malaikat yang namanya tercantum di dalam al-Qur‟an dan menjadikan keduanya
cobaan bagi manusia sebagaimana diberitahukan tentang keduanya berkata kepada
yang mempelajari sihir: innamā nahnu fitnatun falā takpur untuk menguji hambanya
dengan keduanya dari apa yang Allah larang tentang memisahan anatara suami dan
istrinya dan perbuatan sihir, untuk membersihkan orang yang beriman dengan
meninggalkannya belajar dari keduanya, dan untuk menghinakan orang kafir karena
mempelajari sihir dan kekafiran dari keduanya. Maka kedua malaikat itu ketika
mengajarkan kepada orang yang mereka ajar karena ketaatannya kepada Allah,
karena keduanya mempelajari dan mengajarkannya dengan izin dari Allah.33
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili34
dalam Tafsir al-Munir menyatakan bahwa
kedua orang tersebut adalah dua orang yang mempunyai kewibawaan dan keagungan
di mana manusia memuliakan dan menghormatinya. Ia memandang sihir sebagai
sesuatu yang pengambilannya sangat lembut atau halus dan sebab (akibat) yang
33
Abu Jakpar Muhammad ibn Jarit Ath-tabari, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam,
2007. hlm. 309. 34
Wahbah al-Zuhaili, Tafsir Munir, Juz I, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 242-246.
87
ditumbulkannya adalah samar, sedangkan Babil adalah kota di Irak, tepatnya daerah
Kufah yang terkenal dengan sejarahnya. Ia lebih cenderung pada pendapat Hasan al-
Bashri bahwa kata malakain dibaca malikain, yang mempunyai pemahaman bahwa
kedua orang tersebut adalah dua manusia yang shaleh dan taat. Mereka mempunyai
tugas untuk menjelaskan kepada manusia antara sihir dengan mukjizat, sehingga
kehadirannya menjadikan peringatan kepada manusia supaya berhati-hati berkenaan
dengan sihir. Ia mengancam penggunaan sihir yang mengarah pada kerusakan tatanan
umat.
88
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mempelajari penafsiran Imam al-Thabari dan Wahbah al-Zuhaili
tentang hārūt dan mārūt. dapat disimplkan bahwa:
Hārūt dan Mārūt adalah figur sejarah yang fenomenal, darinya muncul
beberapa persoalan, mulai dari permasalahan apakah mereka unsur dari manusia atau
malaikat sampai tujuan mereka di turunkan ke muka bumi, dengan adanya sihir yang
mampu mencerai beraikan suatu hubungan suami istri. Menurut penafsiran al-Thabari
bahwa Hārūt dan Mārūt adalah malaikat yang diturunkan oleh Allah sebagai ujian
dan cobaan bagi manusia saat itu. Harut dan Marut dikatakan dari unsur malaikat
adalah disandarkan pada pemahaman bahwa kata malakain, dibaca fathah, sehingga
membawa pengaruh dari penafsiran bahwa keduanya memang unsur dari malaikat.
Sedangkan menurut penafsiran Wahbah al-Zuhaili bahwa Hārūt dan Mārūt.
adalah dua orang yang mempunyai kewibawaan dan keagungan di mana manusia
memuliakan dan menghormatinya. Hārūt dan Mārūt dikatakan dari unsur manusia.
Ini berdasarkan pembacaan malikain yang bererti dua raja atau orang yang dengan
88
89
kekuatan batin serta amal shalehnya seolah-olah mereka adalah malaikat, karena
dilihat dari prilku dan pengetahuannya akan hal-hal yang gaib yang bersifat
metafisika.
Sihir tidak bisa dilepaskan keberadaan serta peran Hārūt dan Mārūt yang
mengajarkannya kepada manusia. Keduanya sebagai pembeda dan penjelas bahwa
Nabi Sulaiman tidaklah memperoleh kekuatan dan kenabiannya dengan sihir,
melaikan murni karunia dari Allah yang berupa mukjizat. Dalam perkembangannya
sihir memang mendapat tempat dalam hati manusia, karena ia bisa membuat dari
sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, karena sifat sihir itu sendiri adalah
memalingkan sesuatu dari hakekatnya. Semisal fungsinya untuk menceraikan suami
istri. Sehingga melhat fungsinya menjadikan manusia banyak terobsesi untuk berburu
terhadap sihir itu sendiri.
B. Saran-Saran
Dari kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis sampaikan
adalah sebagai berikut:
1. Kepada para pakar keilmuan ahli tafsir untuk selalu meneliti dan mengkaji
serta mengungkap Harut dan Marut dalam al-Qur’an yang kontroversial
tersebut supaya dapat menambah khazanah keilmuan Islam dalam bidang
tafsir.
90
2. Kepada Umat Islam jadikanlah penafsiran Harut dan Marut dalam al-Qur’an
sebagai pelajaran petunjuk dan pemahaman dalam kehidupannya.
3. Untuk lebih menyempurnakan skripsi ini penulis sangat mengharapkan saran
dan masukan yang konstruktif dari semua pihak sehingga lebih dirasakan
kemanfaatannya
91
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Fairuz, Qamus al-Muhith, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th.
Abdullah Yusuf Ali, Qur‟an Terjemahan dan Tafsirnya, Juz I-XV, Pustaka Firdaus,
cet.I, Jakarta, 1993.
Adnan, Ahmad Mosthafa, Problematika Menafsirkan Al-Qur‟an, CV. Toha Putra,
Semarang, Cet.I, 1993.
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi (Din al- Islam), Terj R. Kaelani &
Bachrun.,Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1977.
Anwar, Rassihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat dalam Tafsir ath-Tabari dan
Tafsir Ibn Katsir, Bandung : CV, Pustaka Setia, 1999.
Ardiyansyah . Pengantar penerjemah, dalam badi‟ as-Sayyid al-Lahham, Syeikh
prof. Dr. Wahbah a-Zuhaily, tth.
Arsyad, M. Nastur, Seputar Al-Qur‟an, Hadits dan Ilmu, Al-Bayan, Bandung, 1992.
Al-Ashfahani, Mufradat Alfadh al-Qur‟an, Dar al-Hadits, Washington Amerika
Serikat, t.th.
Ayazi, Muhammad „Ali, al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manāhijuhum, Teheran
Wizanah al-Tsaqafah wa al-Insyaq al-Islam, 1993.
Azzaino, H.S. Zuardin, Aqidah Ilahiah Ilmiah, Pustaka Hidayah, Jakarta, Cet. II,
1991.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, cet. II. Yogyakata: Pustaka
Pelajar, 2000.
Bayumi, Muhammad, Malaikat Langit dan Bumi, Terj. FSI Himaka, Cendekia
Sentra Muslim, Jakarta, 2000.
Dahlan , Q. Shaleh, M.D, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-
ayat al-Qur‟an, CV.Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000.
Al-Dhahabi, M. Husain, al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Dar al-Kutub, Cairo, 1976.
92
Al-Darwisyi Muhyiddin, I‟rab al-Qur‟an al-Karim wa Bayanuhu, Dar al-Irsyad li
alSyu‟un al-Jami‟iyah, Suriyah, 1994.
Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, CV. Adi
Grafika, Semarang,1994.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ictiar Baru Van Voeve,
Jakarta, 1999.
Al-Dimisyqi, Abi Fida‟ al-Hafidzh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, Juz I, al-
Nur al-„Alamiyah, Beirut, t.th.
Al-Farmawi, Abd al-Hayy, Metode tafsir maudhui‟y, Penerjemah suryan A. Jamrah,
( Jakarta, Rajawali Pers, 1994.
Ghafur, Saiful Amin, profil para mufassir al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.
Gulen, Muhammad Fethullah, Menghidupkan Iman dengan Mempelajari Tanda-
Tanda Kebesaran-Nya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Gulen, Muhammad Hasbi, al-Islam II, Pustaka Rizki, Semarang, 2000.
Al-Hamawi, Yaqut, “al-Tabari”, Mu‟jam al-Udaba, Beirut Dar al-Fikr, 1980.
Hamka, Tafsir al-Azhar, PT. Pembimbing Masa, Jakarta, cet.II, 1970.
Al-Hanbali, Abi al-Falah Abd al-Hafi bin al-Imad, Syazarat az-Zahabi Fi Akhbar
man Zahab, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Hudaya, Ahmad al-Kaf, Hawa dan Nafsu menurut al-Qur‟an kajian Tafsir al-Munir,
2006.
Al-Jawi, Imam Muhammad Nawawi, Murah Labid Tafsir al-Nawawi, Dar Ihya‟ al-
Kutub al-Arabiyah, Indonesia, t.th.
Kabbani, Syaykh Muhammad Hisham, Dialog dengan para Malaikat Perspektip
Sufi, terj. Nur Zain Hae. Hikmah, Jakarta, 2013.
Al-Kalidy , Shalah Abdul Fattah,“Kisah-Kisah al-Qur‟an Pelajaran dari orang-
orang dahulu” Jilid III, terj. Setiawan budi tomo, Gema insani Press, 1996.
93
Al-Khawarizy, Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, Dar
alFikr, Beirut, t.th.
Al-Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab,Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat,
1883.
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra,
Semarang, 1992.
Maulana, Firmansyah , Merambah Dunia Ghaib, Putra Pelajar, Surabaya, 2003.
Nasution, Harun “al-Thabari”. Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI,
1993.
Nuris, Asyharie dan Anwar., Bersahabat dengan Makhluk Halus (Malaikat dan Jin),
Putra Pelajar, Surabaya, 2001.
Al-Qanuji, Abu Abjad. al-Ulum al-Nur, Damaskus dalam Dar al-Hadits,
Washington Amerika Serikat, t.th.
Al-Qaththan Manna‟ Khalil, study ilmu al-Qur‟an, Pt. Pustaka Litera Antar Nusa,
Jakarta, 1994.
Ridha , Rasyid. Tafsir al-Manar, Juz I t.p, Mesir, 1998.
Al-Rifa‟i Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani Press,
Jakarta 1999.
_____________, Kemudahan dari Allah ringkasan tafsir Ibn Katsir, jilid I, Jakarta;
Gema Insani Pres, 1999.
Al-Shiddieqi Tengku Muhammad Hasbi, Al-Islam I, PT. Pustaka Rizki Putra,
Semarang, 1999.
______________, Tafsir al-Qur‟anul Majid (An-Nur), Pustaka Rizki Putra,
Semarang, cet. II, 1995.
_____________, Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, Bulan Bintang, Jakarta, 1972.
Al-Sharif , Mahmud, al-Thabari wa Manhajuh Fi al-Tafsir, Jeddah: Dar al Ukaz,
1984.
94
Al-Shirbasi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur‟an, terj. Pustaka Firdaus, Cet. Ke-4,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian
alQur‟an), Lentera Hati, Jakarta, cet. I, 2000.
Shihab, Muhammad Quraish, Yang Tersembunyi, Jin, Iblis, Setan dan Malaikat
dalam Al-Qur‟an As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan
Masa Kini, Lentera Hati, Jakarta, 2000
Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Dasar Metode dan Tekhnik, Tarsito,
Bandung, 1980.
Al-Thabari, Abu Ja‟par Muhammad bin Jarir, Jami‟ al-Bayan An-ta‟wil al-Qur‟an,
Dar al-Fikri, tth.
______________, Tafsir ath-Tabari, Jakarta pustaka Azzam, 2007.
______________, Tafsir Jami‟ al-Bayan Fi al-Tafsir al-Qur‟an, Beirut: Dar al-Fikr,
1988.
______________, al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, Juz I, t.tp., Beirut, t.th.
Umar, Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan
dan Azimat, Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Yunus, Abdul Hamid, “ath-thabari” Dairatul Ma‟arif al-Islamiyyah, Juz 13, t.th.
Zuhaili, Wahbah, al-Tafsīr al-Munīr fi al-„Aqīdat wa al-Syari‟at wa al-Manhāj. Juz
xv Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.
Zuhdi, Maspuk, Studi Islam, Jakarta: CV. Raja Wali,1998.
Ayurahayu2010.wordpress.com/tafsir al-munir-fi-al-„aqidah-wa-asy-syari‟ah-wa-al-
manhaj-Wahbah-az-zuhayli, di akses 21 oktober 2015 jam 20 wib
http://m.hidayatullah.com/berita/internasional di akses 21 oktober 2015, jam 16.00
wib.
http://suryaningsih.wordpress.com di akses 22 oktober 2015 jam 17.00 wib.
95
http://www.abim.org.my/minda_madani/user info.php? uid, di akses 21 oktober 2015
jam 18.00 wib.
Sabra Syatila dalam artikel SyaikhWahbaha Zuhaili http://www.fimadani.com/syaikh
wahbah az-zuhaili, diakses 22 oktober 2015 jam 15 wib