Download - home visite
Klinik Dokter Keluarga FK UWKS No Berkas : 01
Berkas Pembinaan Keluarga No RM :
Puskesmas Trosobo,Sidoarjo Nama KK :Tn.m
Tanggal kunjungan pertama kali 12 Agustus 2013,
Nama pembina keluarga pertama kali : Faiqotul himmah S.Ked
Tabel 1. CATATAN KONSULTASI PEMBIMBING (diisi setiap kali selesai satu periode
pembinaan )
Tanggal TingkatPemahaman
ParafPembimbing
Paraf Keterangan
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Nama Kepala Keluarga : Tn.N
Alamat lengkap : Desa Bulu Sidokare RW 01/ RT 03 Kec. Sekardangan Kab.
Sidoarjo
Bentuk Keluarga : Nuclear Family
Tabel 2. Daftar Anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No Nama Kedudukan dalam keluarga
L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Pasien Klinik (Y/T)
Ket
1 Tn. M Kepala Keluarga
L 54 th SD Tidak bekerja
Y -
2 Ny. L Ibu/Istri P 47 th SD PRT Y -3 An. Anak
pertamaL 29 th SD Serabutan T -
4 An. R Anak kedua L 20 th SD Serabutan T -5 An. M Anak ketiga L 11 th SD Serabutan T -
Sumber : Data Primer, September 2013LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA
1
BAB I
STATUS PENDERITA
A. PENDAHULUAN
Laporan ini diambil berdasarkan kasus yang diambil dari seorang penderita
diabetes mellitus kasus lama, berjenis kelamin laki - laki dan berusia 54 tahun, dimana
penderita merupakan salah satu dari penderita diabetes mellitus yang berada di wilayah
Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo, dengan berbagai permasalahan yang dihadapi.
Mengingat kasus ini masih banyak ditemukan di masyarakat khususnya di daerah Puskesmas
Sekardangan Kabupaten Sidoarjo beserta permasalahannya seperti masih kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang diabetes mellitus terutama masalah mengenai kepatuhan
meminum obat penurun kadar gula dan kontrol rutin ke puskesmas. Oleh karena itu penting
kiranya bagi penulis untuk memperhatikan dan mencermatinya untuk kemudian bisa
menjadikannya sebagai pengalaman di lapangan.
B. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. M
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Bulu Sidokare RT 03/RW 01
Suku : Jawa
Tanggal periksa : 11 September 2013
C. ANAMNESIS
1.Keluhan Utama : rasa nyeri cekot – cekot pada kedua kaki, pasien
susah untuk berjalan sendiri dan penglihatan yang berkurang.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluh nyeri cekot – cekot pada kedua kaki. Keluhan ini dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Karena nyeri cekot – cekot itu pasien susah untuk berjalan. Untuk
kegiatan sehari – hari pasien merangkak. Kadang apabila dibantu anaknya pasien
mencoba untuk berjalan. Pasien sering merasa lemas pada seluruh badan. Pasien
mengeluh kedua telapak tangannya terasa menebal. Pasien juga mengeluh pandangannya
2
semakin kabur pada mata yang kiri sedangkan pada mata yang kanan sudah tidak bisa
melihat. keluhan ini bermula semenjak dua tahun yang lalu. Pasien mempunyai riwayat
penyakit DM dan pasien sudah tidak rutin berobat ke puskesmas Sekardagan sejak bulan
juli dan obatnya yang sudah ada pun tidak diminum sesuai aturan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tergores paku pada paha bagian luar sebelah kiri sebesar kurang lebih 4 cm pada bulan juli lalu. luka tersebut sulit sembuh dan malah mengakibatkan kakinya bengkak dan bernanah. Karena luka itu pasien dirawat 2 minggu di RS. Setelah itu pasien diberikan obat dan rawat jalan dirumah
- Riwayat DM : sejak 8 tahun yang lalu
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : (+)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluarga yang menderita DM disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok : disangkal
- Riwayat olah raga : tidak pernah
- Riwayat pengisian waktu luang dengan berbincang bincang dengan keluarga
sering, berekreasi jarang.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah seorang kepala keluarga yang juga tidak bekerja dan
mempunyai 3 orang anak. Untuk membiayai kehidupan sehari – hari bergantung pada
istrinya yang bekerja menjadi PRT dengan penghasilan sebulan Rp. 700.000 dan juga
dari anak pertamanya yang bekerja serabutan dengan penghasilan rata – rata Rp.
250.000 sebulan.
7. Riwayat Gizi.
Penderita makan sehari-harinya biasanya antara 2-3 kali dengan nasi sepiring,
terkadang disertai lauk pauk seperti telur, ikan, tahu-tempe kerupuk, dan jarang
dengan daging kadang ada sayuran. Penderita tidak ada keluhan dengan nafsu makan
3
bahkan nafsu makan tinggi. Sejak sakit pasien sudah mengurangi konsumsi makanan
atatu minuman yang manis. Kesan status gizi kurang.
C. ANAMNESIS SISTEM
1. Kulit : warna kulit sawo matang, kulit gatal (-)
2. Kepala : sakit kepala (-), pusing (+), rambut kepala tidak rontok, luka pada
kepala (-), benjolan/borok di kepala (-)
3. Mata : pandangan mata terasa gelap saat tiba-tiba bangun dari duduk
maupun tidur (-), penglihatan kabur (+), ketajaman menurun.
4. Hidung : tersumbat (-), mimisan (-)
5. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-)
6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit
7. Tenggorokan : sakit menelan (-), serak (-)
8. Pernafasan : sesak nafas (-), batuk lama (-), mengi (-), batuk darah (-)
9. Kadiovaskuler : berdebar-debar (-), nyeri dada (-).
10. Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-), nyeri
perut (-), meteorismus (-), BAB tidak ada keluhan
11. Genitourinaria : BAK sering, warna dan jumlah biasa
12. Neuropsikiatri : Neurologik : kejang (-) kelemahan otot (+) pada kedua kaki.
Psikiatrik : emosi stabil, mudah marah (-)
13. Muskuloskeletal : kaku sendi (-) pada kedua lutut, nyeri tangan (-), nyeri kaki kanan
dan kiri (+), nyeri otot (-)
14. Ekstremitas : Superior: bengkak (-), sakit (-), kesemutan (+)
Bawah : bengkak (+), sakit (+), kesemutan (+)
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak lema dan kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6),
2. Tanda Vital dan Status Gizi
Tanda Vital
Nadi : 70 x/menit, reguler, isi cukup, simetris
Pernafasan : 19x/menit
Suhu : 36,8 oC
Tensi : 160 / 100 mmHg
4
Status gizi:
BB : 63 kg
TB : 162cm
BMI= BB (kg)/ TB (m)2= 63/(1,6)2= 24,6
Status Gizi normal
3. Kulit
Warna : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, tidak ada luka, rambut tidak mudah dicabut, atrofi
m. temporalis(-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik
wajah/bells palsy (-)
4. Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek kornea (+/+),
warna kelopak (coklat kehitaman), katarak (-/-), radang/conjunctivitis/uveitis (-/-)
5. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
hiperpigmentasi (-), sadle nose (-)
6. Mulut
Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah
hiperemis (-), tremor (-)
7. Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga dalam
batas normal
8. Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-)
9. Leher
JVP kesan tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)
10. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-)
- Cor :I : ictus cordis tak tampak
P : ictus cordis teraba pada ICS V MCL S
P : batas kiri atas :SIC II 1 cm lateral LPSS
batas kanan atas :SIC II LPSD
batas kiri bawah :SIC V 1 cm lateral LMCS
5
batas kanan bawah :SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
A: S1 S2 tunggal, regular, bising (-)
- Pulmo: Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : sonor/sonor
A: suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan Rhonki (-/-), whezing (-/-)
Dinamis (depan dan belakang)
I : pergerakan dada kanan sama dengan kiri
P : fremitus raba kiri sama dengan kanan
P : sonor/sonor
A: suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan Rhonki (-/-), whezing (-/-)
11. Abdomen
I :dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, venektasi (-)
P :supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
P :timpani seluruh lapang perut
A :peristaltik (+) normal
12. Sistem Collumna Vertebralis
I :deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
P :nyeri tekan (-)
P :NKCV (-)
13. Ektremitas: palmar eritema(-/-)
akral dingin oedem deformitas
- - - - - -- - - - _ _
14. Sistem genetalia: dalam batas normal, fluor (-), gatal (-)
15. Pemeriksaan Neurologik
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi motorik :
6
KO 5 5 T N N RF + + RP - -
3 3 N N + + - -
16. Pemeriksaan Psikiatrik
Penampilan : sesuai umur, perawatan diri cukup
Kesadaran : kualitatif tidak berubah; kuantitatif compos mentis
Afek : appropriate
Psikomotor : normoaktif
Proses pikir : bentuk :realistik
isi :waham (-), halusinasi (-), ilusi (-)
arus :koheren
Insight : baik
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium :
Gula darah puasa : 263 mg/dl
F. RESUME
Pasien laki - laki, 54 tahun dengan keluhan utama rasa nyeri cekot – cekot pada kedua
kaki karena rasa nyeri itu pasien susah berjalan. Pasien juga merasa penglihatannya
menurun pada kedua mata. Pasien mempunyai riwayat penyakit DM sejak 8 tahun yang
lalu dan pasien sejak bulan juli 2013 sudah tidak pernah kontrol ke puskesmas Sekardangan.
Pasien juga meminum obat DM nya tidak teratur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah, compos mentis, status
gizi normal. Tanda vital: Nadi : 70 x/menit. Pernafasan : 19x/menit. Suhu : 36,8 0C .
Tensi : 160 / 100 mmHg. BB: 63 kg, TB: 162 cm. penglihatan kabur dan menurun pada
kedua mata, pada ekstremitas atas terdapat rasa kesemutan pada kedua telapak tangan
sedangkan pada ekstremitas bawah terdapat nyeri, bengkak dan kesemutan. Kekuatan
otot ekstremitas bawah kanan dan kiri adalah 3. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium didapatkan Gula darah puasa :263 mg/dl
G. PATIENT CENTERED DIAGNOSIS
7
Diagnosis Biologis
1. Diabetes mellitus kasus lama
2. Hipertensi grade II
Diagnosis Psikologis
-
Diagnosis Sosial Ekonomi dan Budaya
1. Status ekonomi kurang.
2. Penyakit mengganggu aktifitas sehari-hari.
3. Pola makan yang kurang baik.
H. PENATALAKSANAAN
Non Medika mentosa
1. Olah raga
Diharapkan penderita dapat melakukan latihan fisik setiap hari mulai dengan
latihan berjalan 30 - 40 menit sebanyak minimal 3 kali sehari. Sampai penderita
mampu berjalan sendiri lagi.
II. Mengurangi stress tertentu
Diharapkan penderita mendapat motivasi yang adekuat dari keluarga untuk
kesembuhan penderita salah satunya dengan cara lebih banyak memberikan
perhatian dan meluangkan waktu untuk berbincang-bincang atau bermain dan
lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
III. Perilaku
Perlunya diterapkan perilaku sehari-hari yang nantinya digunakan untuk
menghindari semakin beratnya penyakit dan komplikasi yang ditimbulkan dari
penyakit. Perilaku ini misalnya antara lain:
- Pemakaian alas kaki selama di luar rumah. Hal ini berguna untuk menghindari
terjadinya luka pada kaki.
- Menggosok gigi setelah sarapan dan sebelum tidur, dimaksudkan agar
kesehatan gigi dan mulut tetap terjaga.
- Menjaga kebersihan badan dengan mandi dua kali sehari, dimana hal ini akan
meminimalkan terpaparnya badan terhadap bakteri-bakteri pathogen penyebab
parahnya peradangan pada luka.
8
- Penderita tidak boleh menahan kencing ditujukan untuk menjaga kesehatan
organ kemih.
Medikamentosa
1. Oral Anti Dibetik (OAD) berupa Glibenclamid 1x sehari pada pagi hari
sebelum makan dan metformin 1x sehari pada siang harisetelah makan
2. Analgesik berupa Ibuprofen 500 mg. Diminum saat dirasakan nyeri
3. Obat anti hipertensi berupa Captopril 25 mg 2 x 1
A. FOLLOW UP
Tanggal 14 September 2013
S :penderita masih sulit berjalan dan merasa nyeri cekot – cekot pada kedua kakinya
O :KU sedang, compos mentis
Tanda vital :T : 140/100 mmHg R :19 x/menit
N : 80 x/menit S :36,7 0C
Status Generalis : Kepala/Leher dalam batas normal
Thorax dalam batas normal
Abdomen dalam batas normal
Ektremitas dalam batas normal
Status Neurologis : dalam batas normal.
Status Mentalis : dalam batas normal
A :DM Kasus Lama (dalam pengobatan). Huipertensi grade II
P :Terapi medikamentosa berupa OAD.analgesik berupa asam mefenamat dan
Ibuprofen.
FLOW SHEET
Nama : Tn. M Diagnosis : DM kasus lama (dalam pengobatan).
NO TGL
TensimmHg
BB
Kg
TB
Cm
Status Gizi
Test laboarato
rium
KET
1 11/09/
13
160/100
63 162 normal Gula darah
puasa = 263 mg/dl
OAD,suntik Insulin dan rawat luka
2 14/09/
13
140/10
0
63 162 normal
9
BAB II
IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI KELUARGA
1. Fungsi Biologis.
Keluarga terdiri dari penderita, istri penderita, anak – anak sebanyak 3
orang. Penderita tinggal serumah dengan istri dan anak – anaknya. Penderita sudah
tidak bekerja dan sehari – hari pasien beraktivitas dengan merangkak.
2. Fungsi Psikologis.
Hubungan keluarga mereka terjalin cukup akrab, terbukti dengan
permasalahan-permasalahan yang dapat diatasi dengan baik dalam keluarga ini.
Hubungan diantara penderita dan anak- anaknya cukup dekat antara satu dengan yang
lain.
Permasalahan yang timbul dalam keluarga dipecahkan secara musyawarah dan
dicari jalan tengah, serta dibiasakan sikap saling tolong menolong baik fisik, mental,
maupun jika ada salah seorang di antaranya yang menderita kesusahan.
3. Fungsi Sosial
Dalam masyarakat pasien beserta keluarga hanya sebagai anggota masyarakat
biasa, tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. Pasien dan isteri
tidak aktif dalam kegiatan sosial di masyarakat karena pasien selama 2 bulan ini
sudah tidak bisa berjalan sendiri. Hampir setiap harinya pasien hanya berada di dalam
rumah. Pada setiap pagi pasien hampir selalu didatangi tetangga sebelah rumahnya
untuk melihat keadaan pasien. Istri dan anak – anak pasien setiap paginya beraktivitas
di luar rumah sehingga tidak bisa bersosialisasi dengan tetangga. anggota masyarakat
Kegiatan-kegiatan yang harus mengeluarkan biaya terlalu tinggi merupakan faktor
penghambat lain bagi keluarga ini untuk aktif dalam kegiatan sosial, selain karena
merasa kurang mampu baik dari materi maupun status sosial.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Penderita tidak bekerja sehingga pengobatan dan kebutuhan sehari- hari yang
menanggung adalah istri dan anaknya yang pertama.Untuk kebutuhan air dengan
menggunakan sumur. Untuk memasak memakai kompor minyak atau kayu bakar. Makan
sehari-hari lauk pauk, jarang daging, buah dan frekuensi makan kadang-kadang 2-3 kali.
10
Kalau ada keluarga yang sakit biasa berobat ke puskesmas, dan penderita sudah
mempunyai kartu sehat.
5. Fungsi Penguasaan Masalah dan Kemampuan Beradaptasi
Penderita termasuk orang yang terbuka sehingga bila mengalami kesulitan
atau masalah penderita sering bercerita kepada isteri atau tetangga.
B. APGAR SCORE
ADAPTATION
Selama ini dalam menghadapi masalah keluarga, pasien selalu pertama kali
membicarakannya kepada istrinya. dan mengungkapkan apa yang diinginkannya dan menjadi
keluhannya. Baik keluhan tentang penyakitnya maupun tentang masalah lain. Penyakitnya ini
kadang mengganggu aktivitasnya sehari-hari sehingga selama kurang lebih 8 tahun pasien
menderita penyakit ini pasien tidak bekerja .Dukungan dari anak, keluarga dan petugas kesehatan
yang sering memberi penyuluhan kepadanya, memberinya motivasi untuk sembuh dan teratur
minum obat, karena penderita dan keluarga yakin penyakitnya bisa dibuat menjadi kondisi yang
lebih baik dan tidak mempercepat keparahan dan komplikasi bila ia mematuhi aturan pengobatan.
PARTNERSHIP
Tn. M mengerti bahwa ia adalah kepala keluarga dan bapak dari 3 anak, Selain itu anak dan
keluarganya meyakinkannya bahwa ia bisa sembuh kembali dari lumpuhnya , komunikasi antar
anggota keluarga masih berjalan dengan baik.
GROWTH
Tn. M sadar bahwa ia harus bersabar menghadapi penyakitnya walaupun kadang
mengganggu aktivitas sehari-harinya.
AFFECTION
Tn. M merasa hubungan kasih sayang dan interaksinya dengan istri dan anak – anaknya baik
meskipun sudah 8 tahun lebih menderita penyakit ini.. Bahkan perhatian yang dirasakannya
bertambah. Ia menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya.
RESOLVE
Tn. M merasa cukup puas dengan kebersamaan dan waktu yang ia dapatkan dari isteri dan
anak – anaknya walaupun terkadang ia sering ditinggal beraktivitas oleh istri dan anak –
anaknya.
11
APGAR Tn. M terhadap Keluarga Sering/selalu
Kadang-kadang
Jarang/tidak
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga saya bila saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama
√
Total poin = 10 fungsi keluarga dalam keadaan baik
Tn. M sudah tidak bekerja sebagai petani sampai sore, kadang-kadang bekerja,
pasien setiap hari hanya tidur dan untuk berjalan pasien tidak mampu dan hanya
mampu merangkakbaru pada sore hari biasanya pasien dapat berkumpul dan
berinteraksi dengan keluarganya lagi.
Total poin = 10, fungsi keluarga dalam keadaan baik.
C. SCREEMSUMBER PATHOLOGY KET
Sosial Interaksi sosial yang baik antar anggota keluarga juga dengan saudara partisipasi mereka dalam masyarakat cukup meskipun banyak keterbatasan.
_
Cultural Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari baik dalam keluarga maupun di lingkungan, banyak tradisi budaya yang masih diikuti. Sering mengikuti acara-acara yang bersifat hajatan, sunatan, pengajian dll. Menggunakan bahasa jawa, tata krama dan kesopanan
_
ReligiusAgama menawarkan pengalaman spiritual yang baik untuk ketenangan individu yang tidak didapatkan dari yang lain
Pemahaman dan penerapan agama cukup, hal ini dapat dilihat dari penderita menjalankan sholat lima waktu dan sering mengikuti pengajian. Sebelum maupun sesudah sakit penderita aktif dalam kegiatan pengajian di lingkungan desa.
-
12
Ekonomi Ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke bawah, untuk kebutuhan primer sudah bisa terpenuhi, meski belum mampu mencukupi kebutuhan sekunder rencana ekonomi tidak memadai, diperlukan skala prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidup
+
Edukasi Pendidikan anggota keluarga kurang memadai. Tingkat pendidikan dan pengetahuan penderita dan suami masih rendah.
+
MedicalPelayanan kesehatan puskesmas memberikan perhatian khusus terhadap kasus penderita
Tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang lebih baik. Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga ini biasanya menggunakan Puskesmas dan hal ini mudah dijangkau karena letaknya dekat.
_
Keterangan :
Ekonomi (+) artinya keluarga Tn. M masih menghadapi permasalahan dalam
hal perekonomian keluarga. Karena yang bekerja cuman istrinya sedangkan
anak –anak tidak memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan yang kecil.
Edukasi (+) artinya keluarga Tn.M juga menghadapi permasalahan dalam
bidang pendidikan, dimana penderita dan anak-anaknya hanya lulusan SD. Hal
ini akan mempengaruhi pengetahuan dan pola berpikir dari anggota keluarga
Tn. M .
D. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Alamat lengkap : desa Bulu sidokare Rt 01/Rw 03, Sekardangan - Sidoarjo
Bentuk Keluarga : Nuclear Family
Diagram 1. Genogram Keluarga tn. M
Dibuat tanggal 11 September 2013
13
- Ny. L- 47tahun- perempuan- PRT- etnis Jawa
- an. M- 11th- laki - laki- SD
- an. R - 20 th- laki - laki- serabutan
- Tn. M- 54 tahun- laki - laki- tidak bekerja- etnis Jawa
- an.P- 29 th- laki - laki- serabutan
Ny.L 47 thnTn. M, 54 th
An. P 29th An..M, 11th
An..R, 20th
Sumber : Data Primer, 12 agustus 2013
Keterangan :Tn. M : Penderita Ny. S : istriAn. P : anak pertamaAn.R : Anak keduaAn. M : Anak ketigaE. Informasi Pola Interaksi Keluarga
Keterangan : : hubungan baik
: hubungan tidak baik
14
Hubungan antara Tn. M , istri dan anak - anaknya baik dan dekat. Dalam keluarga ini tidak
sampai terjadi konflik atau hubungan buruk antar anggota keluarga.
F. Pertanyaan Sirkuler
1. Ketika penderita jatuh sakit apa yang harus dilakukan oleh anak?
Jawab :
Istri merawat penderita dan mengantarkan penderita ke balai pengobatan di
puskesmas.
2. Ketika istri bertindak seperti itu apa yang dilakukan anak ?
Jawab :
anak menjaga rumah dengan baik, karena rumah sedang ditinggalkan kedua orang
tuanya.
3. Ketika Istri (ibu) seperti itu apa yang dilakukan anggota keluarga yang lain?
Jawab :
Kadang-kadang menemani menjaga rumah.
4. Kalau butuh dirawat/operasi ijin siapa yang dibutuhkan?
Jawab :
Dibutuhkan ijin istri. Namun sebelumya melalui musyawarah dengan anggota
keluarga lainya atau mungkin juga melibatkan keluarga besarnya.
5. Siapa anggota keluarga yang terdekat dengan penderita?
Jawab :
Anggota keluarga yang dekat dengan penderita adalah istri. Karena hampir semua
kegiatan yang dilakukan suami dilakukan bersama – sama dengan istri
6. Selanjutnya siapa?
Jawab :
Selanjutnya adalah anak terakhir. Karena penderita sering dibantu berjalan untuk
melakukan aktivitas
7. Siapa yang secara emosional jauh dari penderita?
Jawab :
Anak yang kedua karena sudah menikah kemudian berpisah dari istrinya.
8. Siapa yang selalu tidak setuju dengan pasien?
Jawab :
Tidak ada, karena setiap permasalahan yang ada penderita selalu memusyawarahkan
pada keluarga.
15
9. Siapa yang biasanya tidak setuju dengan anggota keluarga lainnya?
Jawab :
Tidak ada, karena setiap permasalahan yang ada penderita selalu memusyawarahkan
pada keluarga.
BAB III
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN
A. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
1. Faktor Perilaku Keluarga
Tn. M adalah seorang suami dari seorang istri dan ayah bagi ketiga anaknya.
sudah kurang lebih 5 tahun tidak bekerja karena kesehatannya yang tidak
memungkinkan dan penderita yang sudah berusia lanjut Penderita maupun keluarga
penderita yang belum banyak memiliki pengetahuan tentang kesehatan khususnya
tentang diabetes mellitus sendiri dan pentingnya mengatur pola makan dan olahraga
yang berhubungan erat dengan penyakit penderita. Walaupun begitu mereka tetap
memandang pendidikan sebagai hal penting bagi anaknya.
Menurut semua anggota keluarga ini, yang dimaksud dengan sehat adalah
keadaan terbebas dari sakit, yaitu yang menghalangi aktivitas sehari-hari. Keluarga ini
menyadari pentingnya kesehatan karena apabila mereka sakit, mereka menjadi tidak
dapat bekerja lagi sehingga otomatis pendapatan keluarga akan berkurang dan menjadi
beban anggota keluarga lainnya. Keluarga ini meyakini bahwa sakitnya disebabkan oleh
faktor keturunan, pola hidup terutama pola makan, bukan dari guna-guna, sihir, atau
supranatural/ takhayul. Mereka tidak terlalu mempercayai mitos, apalagi menyangkut
masalah penyakit, lebih mempercayakan pemeriksaan atau pengobatannya pada mantri,
bidan, atau dokter di puskesmas yang terletak dekat dengan rumah.
16
Walaupun perabot rumah tidak tertata dengan rapi, namun keluarga ini berusaha
menjaga kebersihan lingkungan rumahnya misalnya dengan menyapu rumah dan
halaman paling tidak sehari dua kali, pagi dan sore.
Keluarga ini belum memiliki fasilitas jamban. Untuk melakukan kegiatan
mencuci dan mandi keluarga ini menggunakan air dari sumur yang ada di rumah.
2. Faktor Non Perilaku
Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga menengah ke
bawah. Keluarga ini memiliki dua sumber penghasilan yaitu dari istri sebagai
pembantu rumah tangga dan anak yang pertama yang bekerja serabutan. Dari total
semua penghasilan tersebut keluarga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari
walaupun belum semua kebutuhan dapat terpenuhi terutama kebutuhan sekunder dan
tertier.
Rumah yang dihuni keluarga ini kurang memadai karena masih ada kekurangan
dalam pemenuhan standar kesehatan. Lantai belum diubin, hanya sebagian dilapisi
semen, pencahayaan ruangan kurang, ventilasi kurang. Pembuangan limbah keluarga
belum memenuhi sanitasi lingkungan karena limbah keluarga tidak dialirkan melainkan
hanya dibiarkan keluar dari rumah ke belakang rumah dan dibiarkan meresap, serta
belum adanya got pembuangan limbah keluarga. Sampah keluarga dibuang ditempat
pembuangan sampah yang ada di belakang rumah. Fasilitas kesehatan yang sering
dikunjungi oleh keluarga ini jika sakit adalah Puskesmas Sekardangan.
B. Identifikasi Lingkungan Rumah
Gambaran Lingkungan
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah berukuran 5x12 m2 yang berdekatan
dengan rumah tetangganya dan menghadap ke Utara. Tidak memiliki pekarangan rumah
dan pagar pembatas. Terdiri dari ruang tamu yang sekaligus digunakan sebagai ruang
keluarga dan menonton TV, dua kamar tidur, satu kamar makan yang jarang digunakan,
dapur yang juga dijadikan sebagai gudang. Terdiri dari 2 pintu keluar, yaitu 1 pintu depan
dan 1 pintu belakang. Jendela ada 3 buah, berukuran 1x1 m di kamar tamu dan di setiap
kamar tidurnya. Di depan rumah terdapat teras yang berukuran 5x2 m2. Lantai rumah
sebagian besar terbuat dari bahan semen . Ventilasi dan penerangan rumah masih kurang.
Atap rumah tersusun dari genteng dan tidak ditutup langit-langit.. Dinding rumah terbuat
dari batubata. Perabotan rumah tangga minim. Sumber air untuk kebutuhan sehari-harinya
keluarga ini berasal dari sumur yang terdapat pada bagian belakang rumah. Kamar mandi
17
terletak di belakang masih bergabung dengan rumah.pada rumah ini tidak memiliki
jamban dan apabila ingin BAB penderita dan keluarganya meminjam WC milik tetangga
atau pergi ke WC umum di balai desa. Secara keseluruhan kebersihan rumah masih
kurang. Sehari-hari keluarga memasak menggunakan kompor gas dan kadang
menggunakan kayu bakar yang biasa disimpan di gudang dan belakang rumah.
Denah Rumah :
5M
Halaman belakang 1,5
K. Mandi
DAPUR S
K.TIDUR 12 M U
K.TIDUR R,MAKAN
R. TAMU
TERAS
18
Keterangan :
: Jendela
: Satu Pintu
: Tembok Bata
: Pagar teras
Gambaran tempat tinggal penderita
1. Tampak depan
19
2. Ruang Tamu
20
3. Kamar tidur
4. Dapur
21
.
5.kamar mandi
BAB IVDAFTAR MASALAH
1. Masalah aktif :
a. Diabetes Mellitus Lama
b. Kelumpuhan penderita
c. Kondisi ekonomi lemah
d. Pengetahuan penderita dan keluarga yang kurang tentang penyakit penderita
2. Faktor resiko :
a. Pengobatan yang tidak rutin
b. Pola makan yang kurang baik
c. Kurangnya olahraga
22
DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN
(Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang ada dengan faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)
23
1. Perilaku makan yang salah
2. Kondisi ekonomi lemah
6.Tingkat pendidikan keluarga masih rendah
Tn M,54 th .3. Pengetahuan penderita dan keluarga kurang tentang sakit penderita
BAB V
PATIENT MANAGEMENT
A. PATIENT CENTERED MANAGEMENT
1. Suport Psikologis
Pasien memerlukan dukungan psikologis mengenai faktor-faktor yang dapat
menimbulkan kepercayaan baik pada diri sendiri maupun kepada dokternya. Antara lain
dengan cara :
a. Memberikan perhatian pada berbagai aspek masalah yang dihadapi.
b. Memberikan perhatian pada pemecahan masalah yang ada. Memantau kondisi fisik
dengan teliti dan berkesinambungan.
c. Memantau kondisi fisik dengan teliti dan berkesinambungan.
d. Timbulnya kepercayaan dari pasien, sehingga timbul pula kesadaran dan
kesungguhan untuk mematuhi nasihat-nasihat dari dokter.
Pendekatan Spiritual, diarahkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
YME, misalnya dengan rajin ibadah, berdoa dan memohon hanya kepada Tuhan YME.
Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus
dilakukan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis dan evaluasi kondisi sosial, dapat
dijadikan titik tolak program terapi psikososial.
2. Penentraman Hati
Menentramkan hati diperlukan untuk pasien dengan problem psikologis
antara lain yang disebabkan oleh persepsi yang salah tentang penyakitnya,
kecemasan dan kekecewaan. Menentramkan hati penderita dengan memberikan
edukasi tentang penyakitnya bahwa penyakitnya dapat dikontrol menggunakan obat.
Faktor yang paling penting untuk kesembuhannya adalah ketekunan dalam menjalani
pengobatan sesuai petunjuk dokter. Selain itu juga didukung dengan mengatur pola
makan dan melakukan olahragu rutin setiap hari. Diharapkan pasien bisa berpikir
positif, tidak berprasangka buruk terhadap penyakitnya, dan membangun semangat
hidupnya sehingga bisa mendukung penyembuhan dan meningkatkan kualitas
hidupnya.
3. Penjelasan, Basic Konseling dan Pendidikan Pasien
Diberikan penjelasan yang benar mengenai persepsi yang salah tentang diabetes
mellitus. Pasien diabetes mellitus dan keluarganya perlu tahu tentang penyakit,
pengobatannya dan pencegahan. Sehingga persepsi yang salah dan merugikan bisa
24
4. tidak rutin minum obat
5. Kontrolke puskesmas
dihilangkan. Hal ini bisa dilakukan melalui konseling setiap kali pasien kontrol dan
melalui kunjungan rumah baik oleh dokter maupun oleh petugas Yankes (Ponkesdes).
Beberapa persepsi yang harus diluruskan yaitu :
a. Diabetes Melitus bisa disembuhkan
b. Penyakit diabetes mellitus selalu menimbulkan luka pada kaki yang tidak dapat
sembuh yang akhirnya dapat membusuk dengan cepat.
c. Penyakit diabetes mellitus cepat menyebabkan kematian.
Persepsi yang benar yaitu:
a. Penyakit diabetes mellitus tidak selalu menimbulkan luka pada kaki jika kadar
gula darah dapat terkontrol.
b. Penyakit diabetes mellitus bukan merupakan penyebab utama kematian.
Kematian akan terjadi apabila timbul komplikasi yang bermula dari tidak
terkontrolnya kadar gula darah.
Maka pasien harus diberi pengertian untuk terus mengupayakan
kesembuhannya melalui program pengobatan dan rehabilitasi yang dianjurkan oleh
dokter. Juga harus dilakukan pendalaman terhadap berbagai masalah penderita,
pemberian konseling jika dibutuhkan. Penderita juga diberi penjelasan tentang
pentingnya menjaga diet RKRP yang benar dalam rangka mencapai berat badan ideal,
pentingnya olah raga yang teratur dan sebagainya.
Penderita juga diberikan pengetahuan mengenai komplikasi terjadinya
hipoglikemi, dimana gejalanya antara lain badan tiba-tiba terasa lemas, keringat dingin,
pusing. Hal-hal tersebut dapat diatasi dengan segera minum satu gelas air yang ditambah
dengan dua sendok makan gula.
4. Menimbulkan rasa percaya diri dan tanggung jawab pada diri sendiri
Dokter perlu menimbulkan rasa percaya dan keyakinan pada diri pasien bahwa ia
bisa melewati berbagai kesulitan dan penderitaannya. Selain itu juga ditanamkan rasa
tanggung jawab terhadap diri sendiri mengenai kepatuhan dalam jadwal kontrol,
keteraturan minum obat, diet yang dianjurkan dan hal-hal yang perlu dihindari serta yang
perlu dilakukan.
5. Pengobatan
Medika mentosa dan non medikamentosa seperti yang tertera dalam
penatalaksanaan.
6. Pencegahan dan Promosi Kesehatan
25
Hal yang tidak boleh terlupakan adalah pencegahan dan promosi kesehatan
berupa perubahan tingkah laku (menjaga berat badan, pola makan dan olahraga
teratur), lingkungan (tempat tinggal yang tidak boleh lembab dengan penggunaan
ventilasi yang cukup, pemakaian genteng kaca sehingga pencahayaan cukup dan
kebersihan lingkungan rumah dan luar rumah yang bersih dengan disapu 2x/hari),
meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara diet makanan rendah kalori rendah
protein dan olah raga yang teratur. Dengan demikian paradigma yang salah tentang
penyakit diabetes mellitus di masyarakat dapat diluruskan.
B. PREVENSI BEBAS DIABETES MELLITUS UNTUK KELUARGA LAINNYA
(SUAMI, ANAK, DAN KELUARGA LAINNYA)
Pada prinsipnya secara umum prevensi untuk bebas diabetes mellitus adalah
sama dengan prevensi bebas diabetes mellitus untuk penderita. Misalnya dengan cara
sebagai berikut :
1. Makan 2-3 kali sehari dengan membatasi jumlah kalori dan protein.
2. Olah raga teratur.
Kesemuanya ini merupakan langkah-langkah untuk menjaga berat badan agar
tidak mengalami sakit yang sama dengan penderita.
26
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
A. LATAR BELAKANG
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang
melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut, apabila
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi
vaskuler jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati (Hastuti, 2008). Diabetes
Mellitus (DM) disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis
kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan daerah
yang paling banyak terkena DM. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita
diabetes ke-4 terbanyak di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat (Kusniyah dkk,
2010).
B. DEFINISI
Diabetes Mellitus, atau sering disingkat DM, adalah penyakit yang asal katanya
berasal dari bahasa Yunani, yakni diabetes yang berarti “melewati”, serta mellitus yang
berarti madu atau manis. Pada abad pertama, Aretaeus dari Kapadokia mendeskripsikan
penyakit ini sebagai suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan rasa haus berlebihan,
serta urin yang banyak serta manis seperti madu (Guven, 2003) (masih konsisten dengan
gejala DM saat ini, yakni poliuria, glukosuria, dan polidipsia).
Diabetes mellitus merupakan suatu gangguan metabolisme karbohidrat, protein, serta
lemak yang ditandai dengan gangguan ketersediaan serta kebutuhan terhadap insulin,
yang memiliki manifestasi khas berupa hiperglikemia (Powers, 2008). Menurut American
Diabetes Association (ADA) pada tahun 2010, DM merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang tejradi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni, 2011).
27
C. FAKTOR-FAKTOR RESIKO
Faktor risiko bagi DM tipe 1 antara lain:
Riwayat keluarga dan genetika.
Letak geografis. Insidens DM tipe 1 secara menarik meningkat semakin menjaui
ekuator, sehingga daerah Skandinavia memiliki insidens yang cukup tinggi, sektiar 2-
3 kali lebih tinggi daripada orang di Amerika Serikat dan Venezuela (Mayo Clinic,
2011)
Pajanan virus, seperti EBV, Coxsackie, Mumps, dan CMV yang mampu memicu
destruksi melalui aktivasi autoimunitas, atau virus mungkin langsung merusak pulau
Langerhans
Asupan vitamin D yang rendah, omega-3, serta meminum banyak nitrat
Dilahirkan oleh ibu saat usianya <25 tahun, memiliki riwayat preeklampsia
Lahir dengan riwayat jaundice dan mengalami infeksi saluran napas
Faktor risiko bagi DM tipe 2 terbagi menjadi dua, yakni dapat dimodifikasi dan tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain (Perkeni, 2011; Gardner,
2007)
Ras dan etnik
Riwayat keluarga dengan penderita diabetes
Usia. Risiko akan meningkat seiring dengan peningkatan usia. Oleh karena itu bagi semua
orang dengan usia di atas 45 tahun sangat dianjurkan untuk secara rutin melakukan
pemeriksaan gula darah
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir besar (>4000 gram), atau pernah menderita
DM gestasional
Riwayat dilahirkan dengan BB rendah (umumnya <2500 gram)
Sementara itu faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain:
Berat badan berlebihan (IMT di atas 23 kg/m2)
Rendahnya aktivitas fisik harian
Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
Dislipidemia (dengan HDL <35 mg/dl atau trigliserdia >250 mg/dl)
28
Diet yang tidak sehat, yakni diet dengan terlalu tinggi karbohidrat (khususnya karbohidrat
sederhana), tinggi lemak, serta rendah serat.
Faktor risiko lain yang berkaitan dengan DM tipe 2 adalah:
Wanita dengan penyakit ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome atau PCOS)
Penderita sindroma metabolik yang jelas memiliki toleransi glukosa terganggu(TGT /
impaired glucose tolerance/IGT), atau memiliki glukosa darah puasa yang tinggi
Penderita dengan riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, penyakit jantung
koroner, serta penyakit arteri perifer.
D. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI
Untuk menyeragamkan diagnosa dan terapi Diabetes Mellitus, pada tahun 1985 WHO
menetapkan 2 jenis diabetes yaitu kelas klinis dan kelas resiko statistik. Penjelasan lebih rinci
sebagai berikut :
2.3.1 Kelas klinis
a. DM tipe 1 (DMTI/DM tergantung insulin)
Tipe ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi kekurangan
insulin absolut. Biasanya diderita oleh orang-orang di bawah umur 30 tahun. Diduga kuat
disebabkan oleh infeksi virus yang menimbulkan autoimun yang berlebihan untuk menumpas
virus. Akibatnya, sel-sel pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus tetapi juga merusak
sel-sel langerhans. Faktor keturunan juga menjadi faktor penyebab DMTI. Penderita DMTI
sekitar 10-20% dari total penderita Diabetes (Tobing dkk, 2008).
b. DM tipe 2 (DMMTI/DM tidak tergantung insulin)
DM tipe 2 ini banyak timbul pada penderita berusia di atas 40 tahun. Penderita DM
inilah yang terbanyak di Indonesia. Data sementara hampir 90% penderita Diabetes di
Indonesia adalah penderita DMMTI dan umumnya disertai dengan kegemukan. Secara medis,
DM tipe ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif karena resistensi
insulin. Diduga disebabkan oleh faktor genetik dan dipicu oleh pola hidup yang tidak sehat
(Tobing dkk, 2008).
c. DM terkait malnutrisi
Biasanya terjadi di negara-negara berkembang di kawasan tropis yang sebagian
penduduknya masih berpendapatan perkapita rendah, sehingga terjadi gangguan atau
kekurangan makanan (malnutrisi) dan tidak didapati adanya ketosis (Tobing dkk, 2008).
29
DMTM terbagi lagi menjadi 2, yakni :
1. Fibrocalculous pancreatic DM (FCPD).
2. Protein deficient pancreatic DM (PDRD).
d. Diabetes mellitus tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindroma tertentu :
1. Penyakit pankreas
2. Penyakit hormonal
3. Penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, anti hipertensi, anti kolesterol atau
bahan kimia lain
4. Kelainan insulin atau reseptornya
5. Sindroma genetik tertentu
6. Penyebab lain yang belum diketahui (Tobing dkk, 2008).
e. Gangguan toleransi glukosa (GTG)
Ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi
glukosa oral (TTGO) yang nilainya berada di daerah perbatasan yaitu di atas normal, tetapi
di bawah nilai diagnostik untuk Diabetes Mellitus (Tobing dkk, 2008).
f. DM pada kehamilan (gestational DM)
Diabetes ini umumnya terjadi pada penderita yang sedang hamil. Diabetes Mellitus
tipe ini adalah sama dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dimana insulin tidak dapat bekerja
dengan baik. Kebanyakan penderita dari Diabetes Mellitus tipe ini akan kembali pada
keadaan normal setelah parturasi. Namun, sekitar 30-50% dari penderita Diabetes Mellitus ini
akan berkembang menjadi Diabetes Mellitus tipe 2 dalam waktu 10 tahun (Heriyanti, 2007).
2.3.2 Kelas resiko statistik
Kelas ini mencakup mereka yang mempunyai kadar glukosa dalam batas toleransi
normal, tetapi memiliki resiko lebih besar untuk mengidap Diabetes Mellitus. Orang-orang
yang termasuk dalam kelas ini antara lain :
1. Toleransi glukosa pernah normal
2. Kedua orang tua mengidap DM
3. Pernah melahirkan bayi dengan berat badan di atas 4 kg (Tobing dkk, 2008).
E. EPIDEMIOLOGI
Di banyak penelitian epidemiologi tentang DM menunjukkan adanya kecenderungan
untuk terjadi peningkatan insidensi dan prevalensi DM, terutama DM tipe 2 di berbagai
penjuru dunia, termasuk di Indonesia (Perkeni, 2011). Penderita DM diperkirakan
30
meningkat dari 30 juta orang (1985) menjadi 177 juta orang (2000). Melalui tren dan
pengolahan statistik, diperkirakan lebih dari 360 juta orang akan menderita DM di tahun
2030 (Powers, 2008). Kenaikan yang drastis ini terutama disumbang oleh DM tipe 2,
meskipun prevalensi DM tipe 1 juga cenderung meningkat.
Terdapat variasi geografis yang cukup nyata dalam hal insidens DM tipe 1 dan tipe 2.
Sebagia contoh, daerah Skandinavia (mencakup Denmark, Finlandia, Swedia, Norwegia)
memiliki insidens tertinggi untuk DM tipe 1 (35/100 000 per tahun di Finlandia). Hal ini
diduga oleh tingginya frekuensi alel HLA yang berisiko DM di antara etnis ini.Demikian
juga DM di Amerika Serikat berbeda untuk golongan ras di sana, dengan ras Amerika
asli (Indian dan Alaska) yang mencapai 15,1%, Afroamerika (13,3%), disusul orang
Amerika Latin (9,5%), dan relatif rendah di orang kulit putih keturunan Spanyol
(Hispanic), dan terendah di orang kulit putih. Perkembangan suatu negara juga
menentukan bagaimana prevalens dan insidens DM (terutama tipe 2) di negara tersebut.
Sebagai contoh, negara-negara yang ekonomominya sangat menonjol seperti Singapura
dan China menampilkan kenaikan insidensi DM dibandingkan dengan 10 tahun lalu.4
Hal ini semakin menekankan peranan lingkungan, disamping genetik, dalam menentukan
perjalanan DM.
Di Indonesia sendiri diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes
yang belum terdiagnosis. Selain itu, dari seluruh yang terdiagnosis, hanya 2/3 saja yang
menjalani pengobatan, baik farmakologis maupun non-farmakologis. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta (2000) hingga 21,3 juta
(2030). Penelitian yang dilakukan pada dekade 80-an dan dibandingkan dengan sekarang
juga cukup mengejutkan. Sebagai contoh di Jakarta (daerah urban), prevalensi DM
merangkak naik dari 1,7% (1982) menjadi 5,7% (1993), dan meroket hingga 12,8%
(2001). Pada tahun 2003, dari 133 juta penduduk Indonesia berusia 20 tahun, didapatkan
data prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban, dengan 7,2% pada daerah rural,
sekali lagi menegaskan betapa pentingnya faktor lingkungan pada DM khususnya tipe 2.
Melihat data-data yang sedemikian membelalakkan mata, peranan dokter umum menjadi
sangat penting sebagai ujung tombak di pelayanan kesehatan primer (Perkeni, 2011).
Sementara itu untuk data secara kasar, dari seluruh penderita diabetes di seluruh
dunia, hanya sekitar 5-10% yang didiagnosis sebagai DM tipe 1. 90-95% didiagnosis
sebagai tipe 2, dan hanya 1-5% terdiagnosis sebagai DM tipe lain. Di AS sendiri
didiagnosis 10.000 kasus baru setiap tahun dengan jumlah penderita mencapai 1 juta
orang. Sebagai salah satu gangguan metabolik yang cukup sering pada anak-anak, DM
31
tipe 1 dapat ditemukan dalam 15 anak setiap 100.000 anak berusia kurang dari 18 tahun
(Romesh, 2011).
F. GEJALA
Gejala klinis DM menurut Tobing dkk (2008), yaitu :
1. Sering buang air kecil
Tingginya kadar gula dalam darah yang dikeluarkan melalui ginjal juga disertai oleh air
atau cairan tubuh, maka buang air menjadi lebih banyak.
2. Haus dan banyak minum
Banyaknya urine yang keluar menyebabkan cairan tubuh berkurang sehingga kebutuhan
akan air (minum) meningkat.
3. Fatigue (lelah)
Muncul karena energi menurun akibat berkurangnya glukosa dalam jaringan/sel. Kadar
gula dalam darah yang meningkat tidak bisa masuk ke dalam sel disebabkan menurunnya
fungsi insulin sehingga kekurangan energi.
4. Rasa lelah, pusing, keringat dingin, tidak bisa konsentrasi
Disebabkan oleh menurunnya kadar gula. Setelah mengkonsumsi gula, reaksi pankreas
meningkat (produksi insulin meningkat) menimbulkan hipoglikemik/kadar gula
menurun.
5. Berat badan naik
Disebabkan terganggunya metabolisme karbohidrat karena hormon lain juga terganggu.
6. Gatal
Disebabkan oleh mengeringnya kulit (gangguan pada regulasi cairan tubuh) yang
menyebabkan kulit mudah luka dan gatal.
7. Gangguan imunitas
Meningkatnya kadar glukosa dalam darah menyebabkan pasien diabetes sangat sensitif
terhadap penyakit infeksi. Ini disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel darah putih.
8. Gangguan mata
Penglihatan berkurang disebabkan oleh perubahan cairan dalam lensa mata. Pandangan
akan tampak berbayang disebabkan adanya kelumpuhan pada otot mata.
9. Gangguan polyneuropathy
Gangguan sensorik pada saraf periferal (kesemutan/baal) di kaki atau tangan.
32
G. DIAGNOSA
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committe
Repport ADA, 2006):
1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
2. Obesitas BB (kg)> 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan: BB lahir bayi >4000 gram atau abortus berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL atau Trigliserida > 250 mg/dL)
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah terganggu (GDPT).
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai
berikut:
1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam
waktu 5 menit
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun
harus istirahat dan tidak merokok
8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional),
dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2 dan 3 jam sebelum dan sesudah
minum beban glukosa 75 gram tersebut.
Uji laboratorium
Darah
Orang normal : GDP (Glukosa Darah Puasa) < 100 mg/dL
2 JPP < 140 mg/dL
GDP antara 100 dan 126 mg/dL disebut Glukosa Darah Puasa Terganggu
Penderita DM : GDP (Glukosa Darah Puasa) 90-130 mg/dL
2 JPP < 180 mg/dL
Urin
33
Pada orang normal, reduksi urin : negatif
Pemantauan reduksi urin biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit
sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi dan yang 3x dilakukan
setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan
lembih hemat.
Kriteria diagnosis diabetes mellitus (konsensus Perkeni, 2002)
Dinyatakan DM apabila terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL, plus gejala klasik: poliuri,
polidipsia dan penurunan berat badan yang itdak jelas sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dL, atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75
gram pada TTGO.
Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain atau esok
harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi akut :
a. Hipoglikemia
Menurut Marpaung (2006), kadar gula darah puasa (true glucose) adalah 60 mg%.
Dengan dasar tersebut, maka penurunan kadar gula darah dibawah 60 mg% disebut sebagai
hipoglikemia. Pada umumnya gejala hipoglikemia baru timbul bila kadar gula darah < 45 mg
%. Pada pasien DM hipoglikemia dapat terjadi pada mereka yang menggunakan obat insulin
atau obat antidiabetes oral/sulfonilurea.
b. Hiperglikemia
Menurut Marpaung (2006), hiperglikemia dapat terjadi karena meningkatnya asupan
glukosa dan meningkatnya produksi glukosa hati. Glukosa yang berlebihan ini tidak akan
termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian dengan perantara
enzim aldose reduktase akan dirubah menjadi sorbitol, yang selanjutnya akan tertumpuk
dalam sel atau jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan dan perubahan fungsi.
Hiperglikemia ini terdiri dari :
1. Diabetes Keto Asidosis (DKA)
34
Merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit DM.
Gambaran klinis berupa pernapasan cepat dan dalam (kussmaul) dan dehidrasi (turgor kulit
bertambah, lidah dan bibir kering). Kadang-kadang disertai dengan tekanan darah rendah,
sehingga kesadaran dapat turun sampai koma.
2. Non Ketotik Hiperosmolar (NKH)
Secara klinis dari pemeriksaan fisik pada NKH ditemukan pasien dalam keadaan apatis
sampai koma, tanda-tanda dehidrasi, tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan, dan
tidak ada tanda pernapasan kussmaul (Marpaung, 2006).
Komplikasi kronik
Komplikasi kronik pada Diabetes Mellitus pada dasarnya terjadi pada semua
pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik), dibagi menjadi dua yaitu
makroangiopati dan mikroangiopati. Meskipun tidak berarti satu sama lain saling terpisah dan
tidak terjadi sekaligus bersamaan (Subiantoro, 2002). Berbagai komplikasi dapat timbul pada
bagian tubuh lain jika kadar glukosa darahnya tidak dikontrol, seperti :
a. Mata
Bila kadar glukosa di dalam darah mendadak tinggi, lensa mata menjadi cembung dan
penderita mengeluh kabur. Bila keadaan ini dibiarkan, penderita akan sering mengganti
kacamatanya dan tidak akan puas dengan kacamata yang telah diperolehnya. Tetapi bila DM
dirawat dengan baik, penglihatan akan terang kembali dalam 2-4 minggu. Penyakit DM dapat
menyebabkan lensa mata menjadi keruh, lensa keruh ini disebut katarak. Komplikasi
menahun pada mata yang lain adalah meningkatnya tekanan bola mata yang disebut
glaukoma. Keadaan yang akhirnya akan timbul dan biasanya sesudah 10-15 tahun mengidap
DM, adalah terganggunya alat penerima mata atau retina yang terletak di belakang lensa
mata. Gangguan pada retina mata akibat DM ini disebut retinopati diabetik. Dibandingkan
dengan NonDiabetes, penderita DM mempunyai kecenderungan 25 kali lebih mudah
mengidap kebutaan (Marpaung, 2006).
b. Jantung
Penderita DM lebih mudah menderita jantung koroner. Dibandingkan dengan orang
normal, penderita DM dua kali lebih mudah menderita infark jantung/serangan jantung.
Selain itu, karena keadaan DM yang kurang baik dan telah berlangsung lama, daya pompa
otot jantung sedemikian lemah dan penderita DM mudah sesak napas ketika berjalan atau
naik tangga, yang disebut payah jantung (Marpaung, 2006).
c. Ginjal
35
Dibandingkan dengan ginjal orang normal, penderita DM mempunyai kecenderungan
tujuh belas kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Semuanya ini disebabkan
oleh faktor infeksi yang berulang-ulang yang sering timbul pada DM, dan adanya
penyempitan pembuluh darah kapiler yang disebut mikroangiopati di dalam ginjal.
Manifestasi komplikasi mikroangiopati diabetik pada ginjal disebut nefropati diabetik
(Marpaung, 2006).
d. Paru
Penderita DM jika batuk biasanya berlangsung lama. Lama waktu untuk
penyembuhannya karena pertahanan tubuhnya menurun. Dibandingkan dengan orang normal,
penderita DM lebih mudah menderita TBC paru. Kurang lebih 12,8% penderita DM di
Surabaya pada tahun 1993 mengidap TBC paru. Agar cepat sembuh DM harus dirawat
dengan sempurna (Marpaung, 2006).
e. Angiopati Diabetik
Komplikasi DM yang paling berbahaya adalah komplikasi pada pembuluh darah.
Komplikasi pembuluh darah pada DM dapat dihindari jika penyakit tersebut dirawat dengan
baik. Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh
tubuh (angiopati diabetik). Untuk kemudahan, angiopati diabetik dibagi 2 yaitu
makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler). Walaupun tidak berarti
satu sama lain saling berpisah atau tidak terjadi sekaligus (Marpaung, 2006).
f. Gangren Diabetik
Merupakan komplikasi menahun dari DM, dengan kelainan pada tungkai bawah atau
pada ujung-ujung kaki dan tangan. Semua luka atau radang yang terjadi pada daerah mata
kaki harus segera diobati, bila terlambat akan menimbulkan gangren diabetik (luka kehitaman
karena sebagian jaringannya rusak dan berbau busuk). Tidak jarang pada akhirnya kaki harus
dipotong (diamputasi). Jika sudah terjadi gangren diabetik, penderita harus masuk rumah
sakit karena harus mendapat suntikan insulin, antibiotika dan perawatan luka secara intensif
(Marpaung, 2006).
I. PENANGANAN
Terapi non farmakologi
Terapi nutrisi medis direkomendasikan untuk semua pasien. Bagi pasien dengan DM
tipe 1, difokuskan pada pengaturan pemberian insulin dengan diet seimbang untuk
mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat. Pola makan dengan karbohidrat
kadar menengah dan rendah lemak jenuh, serta makanan seimbang juga dianjurkan.
36
Selain itu, pasien DM tipe-2 sering memerlukan pembatasan kalori untuk meningkatkan
penurunan berat badan (Dipiro, 2009).
Latihan aerobik dapat memperbaiki resistensi insulin, kontrol glikemik pada
kebanyakan pasien, mengurangi faktor risiko kardiovaskular, berkontribusi dalam
penurunan atau pemeliharaan berat badan, dan meningkatkan kesejahteraan/kesehatan.
Latihan harus dimulai perlahan-lahan pada pasien yang belum pernah melakukan. Pasien
yang lebih tua dan memiliki penyakit aterosklerosis harus memantau evaluasi
kardivaskular sebelum memulai program latihan (Dipiro, 2009).
Farmakoterapi Diabetes Mellitus Tipe 1
Semua pasien dengan tipe I DM membutuhkan insulin, tetapi jenis dan cara
penghantarannya sangat berbeda antara pasien dan pengobatan kliniknya
Strategi terapi harus berusaha untuk menyesuaikan asupan karbohidrat dengan proses
penurun glukosa (biasanya insulin) dan olahraga. Diet intervensi harus memungkinkan
pasien untuk hidup seperti biasa.
Waktu onset insulin, puncak, dan lamanya efek harus sesuai dengan pola makan dan
jadwal latihan untuk mencapai kadar glukosa darah yang mendekati normal.
Injeksi insulin dua kali sehari dapat digunakan untuk memperkirakan kondisi fisiologis
sekresi indulin. Injeksi dapat diawali dengan dosis 0.6 units/kg/hari diberikan 2/3 bagian
dipagi hari sebelum sarapan dan 1/3 bagian dimalam hari. Jika kadar glukosa puasa di
pagi hari terlalu tinggi, dapat dilakukan injeksi di waktu tidur, sehingga frekuensi
pemberian menjadi 3 kali injeksi sehari. Namun, kebanyakan pasien tidak cukup
diprediksi jadwal asupan makanan mereka untuk memungkinkan kontrol glukosa ketat
dengan pendekatan ini.
Konsep injeksi bolus basal dapat dilakukan untuk memperoleh kondisi fisiologi insulin
normal dengan memberikan insulin aksi menengah atau panjang sebagai komponen basal
dan insulin aksi pendek sebagai bagian bolus. Terapi intensif dengan menggunakan
pendekatan ini direkomendasikan untuk semua pasien dewasa untuk memperkuat
pentingnya kontrol glikemik dari awal pengobatan.
Komponen insulin basal dapat diberikan sekali atau dua kali sehari NPH/detemir, atau
sekali sehari insulin glargine. Kebanyakan pasien DM tipe 1 membutuhkan dua kali
37
injeksi dari semua jenis insulin kecuali insulin glargine. Semua insulin (kecuali insulin
glargine) memiliki beberapa derajat efek puncak yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan makan dan aktivitas. Insulin Glargine atau insulin detemir adalah suplemen
insulin basal untuk sebagian besar pasien.
Komponen insulin bolus diberikan sebelum makan dengan insulin reguler, insulin lispro,
insulin aspart, atau insulin glulisine. Onset yang cepat dan durasi pendek dari analog
insulin lebih cepat menormalkan fisiologi dibandingkan dengan insulin reguler, yang
memungkinkan pasien untuk memvariasikan jumlah insulin yang disuntikkan berdasarkan
tingkat SMBG preprandial, tingkat aktivitas yang akan datang, dan antisipasi asupan
karbohidrat. Kebanyakan pasien diberikan dosis insulin preprandial berdasarkan
algoritma insulin. Penghitungan karbohidrat adalah alat yang efektif untuk menentukan
jumlah insulin yang harus disuntikkan preprandial.
Sebagai contoh, pasien mungkin dengan dosis awal 0,6 unit/ kg /hari insulin, dengan
insulin basal 50% dari dosis total dan insulin prandial 20% dari total dosis sebelum
sarapan, 15% sebelum makan siang, dan 15% sebelum makan malam. Kebanyakan pasien
memerlukan dosis harian total antara 0,5 dan 1unit/kg/hari.
Semua pasien yang menerima insulin harus memiliki pendidikan yang luas dalam
pengenalan dan pengobatan hipoglikemia (Dipiro, 2009).
Farmakoterapi Diabetes Mellitus Tipe 2
Pasien dengan gejala (symptom) pada awalnya mungkin memerlukan insulin atau terapi
kombinasi oral untuk mengurangi toksisitas glukosa (yang dapat mengurangi sekresi sel β
insulin dan memperburuk resistensi insulin).
Pasien dengan A1C sekitar 7% atau kurang biasanya diobati dengan terapi gaya hidup
dengan atau tanpa perangsang insulin, sedangkan pasien dengan A1C > 7% tetapi <8%
pada awalnya diobati dengan pengobatan oral tunggal. Kebanyakan pasien dengan nilai
A1C> 9% sampai 10% memerlukan dua atau lebih insulin untuk mencapai tujuan
glikemik.
Pasien obesitas (> 120% berat badan yang ideal) tanpa kontraindikasi pengobatan harus
dimulai dengan metformin, sampai ditetapkan kadar sekitar 2.000 mg hari.
Thiazolidinedione (rosiglitazone, pioglitazone) dapat digunakan pada pasien toleran atau
memiliki kontraindikasi terhadap metformin.
Pasien dengan berat badan normal dapat diobati dengan insulin secretagogues
38
Kegagalan terapi awal harus dilakukan penambahan kelas lain dari obat. Pergantian obat
dari kelas lain harus disediakan untuk obat intoleransi. Metformin dan insulin
secretagogue sering digunakan sebagai terapi lini pertama dan kedua.
Terapi kombinasi awal harus dipertimbangkan bagi pasien dengan A1C > 9% sampai
10%, dan beberapa produk oral kombinasi yang tersedia.
Jika pasien tidak dapat diobati menggunakan kombinasi dua obat, dapat ditambahkan obat
ketiga (misalnya: glitazone, exenatide, penghambat dipeptidil peptidas IV , atau insulin
basal. Terapi harus dipandu oleh A1C, FPG,biaya, tambahan manfaat (misalnya,
penurunan berat badan), dan menghindari efek samping).
Hampir semua pasien akhirnya menjadi insulinopenic dan membutuhkan terapi insulin.
Pasien sering dialihkan pada penggunaan insulin waktu tidur dengan efek panjang atau
menengah untuk kontrol glikemik sepanjang hari. Hal ini mengakibatkan berkurangnya
hiperinsulinemia dan berat badan dibandingkan dengan strategi insulin yang lebih
tradisional. Perangsang insulin biasanya digunakan dengan insulin karena kebanyakan
pasien mengalami resisten insulin.
Karena variabilitas resistensi insulin, dosis insulin bisa berkisar 0,7-2,5 unit/kg/hari atau
lebih (Dipiro, 2009).
Pengobatan Pada Kasus Komplikasi
Retinopati
Retinopati diabetika adalah kerusakan pembuluh darah retina yang disebabkan oleh
Diabetes Melitus. Pasien dengan retinopati harus diperiksa oleh dokter mata setidaknya setiap
6 sampai 12 bulan (Dipiro, 2009). Retinopati diabetika merupakan salah satu komplikasi
Diabetes Melitus (DM) pada mata yang paling banyak menyebabkan kebutaan menetap.
Terjadinya seiring dengan lamanya menderita DM. Makin lama DM diderita makin tinggi
kemungkinan terjadinya retinopati. Resiko menderita retinopati DM tinggi yaitu 60% pada
penderita yang menderita DM > 15 tahun, resiko juga meningkat pada orang muda penderita
DM. Angka kebutaan retinopati diabetika adalah ±30% (Yap, 2009).
Retinopati diabetika ditandai dengan adanya gangguan pembuluh darah diretina berupa
kebocoran, sumbatan dan pada tahap selanjutnya timbul pembuluh darah abnormal yang
sangat rapuh dan mudah menimbulkan pendarahan dengan segala akibat yang merugikan
(Yap, 2009).
39
Kebutaan pada retinopati diabetika dapat dikurangi dengan deteksi dan penanganan yang
memadai termasuk kontrol teratur. Penganan dengan sinar Laser bertujuan meringankan
akibat kebocoran pembuluh darah serta menghilangkan pembuluh darah abnormal sehingga
kemungkinan terjadinya kebutaan dapat dikurangi. Sinar Laser tidak dapat mengembalikan
fungsi penglihatan yang sudah rusak akibat retinopati diabetika. Pasca penyinaran laser
penderita Retinopati Diabetika masih perlu di follow-up secara teratur, karena mungkin
diperlukan terapi laser tambahan (Yap, 2009).
Neuropati.
Neuropati perifer adalah komplikasi yang paling umum pada pasien DM tipe 2 rawat
jalan. Parestesia, mati rasa atau nyeri mungkin merupakan gejala dominan. Peningkatan
kontrol glikemik dapat mengurangi beberapa gejala (Dipiro, 2009).
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita
DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan
sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi
degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang
biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan
dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan
pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan
struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal (Permana, 2009).
Nefropati
Kontrol glukosa dan tekanan darah penting untuk mencegahan dan menghambat
perkembangan nefropati. Angiotensin-converting enzyme inhibitor dan angiotensin reseptor
blocker telah menunjukkan keberhasilan dalam mencegah perkembangan klinis penyakit
ginjal pada pasien DM tipe-2. Diuretik sering diperlukan dan direkomendasikan sebagai
terapi lini kedua (Dipiro, 2009).
Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab
terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke
dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal
yang progresif (Permana, 2009).
Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr /24jam),
terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah
kontrol metabolisme dan kontrol tekanan darah (Permana, 2009).
Penyakit pembuluh darah perifer dan borok kaki
40
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis yang dapat terjadi pada
seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan
meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung.
Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal.
Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes,
hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal
terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada
diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah
mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai
infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan
gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun
kematian (Permana, 2009).
.Klaudikasio dan borok kaki, sering terjadi pada di DM tipe 2. Berhenti merokok, kontrol
dislipidemia, dan terapi antiplatelet merupakan strategi pengobatan penting. Pentoxifylline
(Trental) atau Cilostazol (Pletal) dapat berguna pada beberapa pasien. Revaskularisasi juga
dapat dilakukan pada pasien tertentu. Debridement lokal, penggunaan alas kaki yang tepat
dan perawatan kaki penting dalam pengobatan lesi awal. Pengobatan topikal dapat
bermanfaat pada lesi lebih lanjut (Dipiro, 2009).
Penyakit Jantung Koroner
Risiko intervensi multiple-faktor (pengobatan dislipidemia dan hipertensi, berhenti
merokok, terapi antiplatelet) mengurangi kejadian makrovaskular (Dipiro, 2009).
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner.
Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada
koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pectoris (nyeri dada paroksismal serti
tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan
tangan) yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda seetlah beristirahat atau
mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, dimana
nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pemberian nitrat. Namun gejala-
gejala ini dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti
(Permana, 2009). The American Diabetes Association dan National Kidney Foundation
merekomendasikan tujuan tekanan darah <130/80 mmHg pada pasien dengan DM.
Angiotensin-converting enzyme inhibitor dan angiotensin reseptor blocker umumnya
direkomendasikan untuk terapi awal. Banyak pasien memerlukan beberapa agen, sehingga
41
diuretik, calcium channel blockers, dan β- blocker berguna sebagai agen kedua dan ketiga
(Dipiro, 2009).
Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita
diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering
timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya
aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia,
berupa: pusing, hemiplegia parsial atau total, afasia sensorik dan motorik, dan keadaan
pseudo-dementia (Permana, 2009).
BAB VII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
42
1. Segi Biologis :
Tn. M(54tahun), menderita penyakit diabetes mellitus Kasus lama (dalam
pengobatan)
Pasien menderita kelumpuhan dan penurunan penglihatan
Pasien tidak rutin kontrol ke Puskesmas
2. Segi Psikologis :
Hubungan antara anggota keluarga dan anggota masyarakat yang terjalin
cukup akrab, harmonis, dan hangat
Pengetahuan akan diabetes mellitus yang masih kurang yang berhubungan
dengan tingkat pendidikan yang masih rendah
Tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat yang kurang baik.
3. Segi Sosial :
Problem ekonomi menjadi kendala utama dalam keluarga ini yang
berpengaruh pada ketidakmampuan mendapatkan pelayanan dan informasi
tentang kesehatan keluarga juga untuk dapat mempunyai fasilitas sanitasi,
rumah yang sesuai dengan standart kesehatan
4. Segi lingkungan :
Rumah dan lingkungan sekitar keluarga Tn. M tidak sehat.
B. SARAN
1. Untuk masalah medis (Diabetes Mellitus) dilakukan langkah-langkah :
Preventif : mengatur pola makan dengan baik agar tidak sampai menimbulkan
kelebihan gizi
Promotif : edukasi penderita dan keluarga mengenai diabetes mellitus dan
pengobatannya oleh petugas kesehatan atau dokter yang menangani dan
memberi motivasi kepada keluarga untuk terus melakukan kontrol rutin ke
Puskesmas.
Kuratif : saat ini penderita memasuki pengobatan, sehingga diberikan
pengobatan berupa, Glibenclamid dan metformin
Rehabilitatif : mengembalikan kepercayaan diri Ny. S sehingga tetap memiliki
semangat untuk sembuh dan dapat hidup normal selayaknya orang sehat.
43
2. Untuk masalah komplikasi penyakit yang diderita pasien sekarang akibat Diabetes
Melituss
Promotif : edukasi penderita dan keluarga penderita mengenai penyebab
sampai terjadinya komplikasi tersebut dan meningkatkan motivasi dan
kepatuhan pasien untuk mengonsumsi obat diabetes melitus dan juga meminta
kerjasama dari anggota keluarga untuk mengawasi pasien dalam meminum
obat. Serta terus memotivasi pendeita agar mau melakukan aktivitas sendiri
seperti berjalan agar pasien diharapkan bisa berjalan sendiri lagi.
Kuratif : mengkonsumsi obat – obatan DM yang sudah didapat secara rutin
3. Untuk masalah lingkungan tempat tinggal dan rumah yang tidak sehat dilakukan
langkah-langkah :
Promotif : edukasi penderita dan anggota keluarga untuk membuka jendela
tiap pagi, penggunaan genteng kaca, dan menjaga kebersihan rumah dan
lingkungan rumah. Lantai hendaknya diplester atau diganti dengan ubin agar
mudah dibersihkan. Pengaliran limbah dengan tepat.
4. Untuk masalah problem ekonomi, dilakukan langkah-langkah :
Kepada penderita hendaknya mampu memperbaiki manajemen keuangan
keluarga.
5. Untuk masalah persepsi mengenai penyakit diabetes mellitus, dilakukan langkah-
langkah :
Promotif : Memberikan pengertian kepada penderita dan anggota keluarga
mengenai penyakit DM bahwa penyakit DM merupakan penyakit yang dapat
dikendalikan.
Apabila kondisi penderita membaik dan kadar gula darahnya terkontrol,
diharapkan penderita memberikan testimoni kepada penderita diabetes
mellitus yang lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J T., Dipiro, C V., Barbara, G W., and Terry, L S. 2009. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Hal 210-226.
44
Gardner DG, Shoback D. Greenspan’s basic & clinical endocrinology. Eighth edition. New York: McGraw Hill; 2007
Guven S, Kuenzi JA, Matfin G. Diabetes mellitus and the metabolic syndrome. In: Porth CM.
Essentials of pathophysiology. Concepts of altered health states. Philadelphia: Lippincott Williams & Wlikins; 2003
Hastuti, R.T. 2008. Faktor-faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus. Tesis. Semarang.
Heriyanti. 2008. Patogenesis Kandidiasis Oral Pada Penderita Diabetes Mellitus. Medan.
Kusniyah, Y; Siswati, N; Rahayu, U. 2010. Hubungan Tingkat Self Care Dengan Tingkat HbA1C Pada Klien Diabetes mellitus Tipe 2 Di Poliklinik Endokrin RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal. Bandung.
Marpaung, J.L.R. 2006. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Rawat Inap Di Rumah Sakit Pematang Siantar tahun 2003-2004. Medan.
Mayo Clinic. Type 1 diabetes. [Internet]. 2011 [updated 2011 May 24; cited 2011 October 6]. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/type-1-diabetes/
Perkeni. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia. Tahun 2011. Jakarta: Perhimpunan Endokrinologi Indonesia; 2011
Permana, H. 2009. Komplikasi Kronik Dan Penyakit Penyerta Pada Diabetesi. Tersedia di: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/kompilasi_kronik_dan_penyakit_penyerta_pada_diabetesi.pdf. [Diakses tanggal 15 September 2011].
Powers AC. Diabetes mellitus. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 17th edition. New York: McGraw Hill; 2008
Romesh K. Type 2 diabetes mellitus. [Internet]. 2011 [updated 2011 September 14; cited 2011 October 6]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/117739-overview
Subiantoro, B. 2002. Hubungan Antara Terkenalinya Kadar Gula Darah Dengan Berat Ringannya Polineuropati Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II. Tesis. Semarang.
Tobing, A; Mahendra, B; Krisnatuti, D; Alting, B.Z.A. 2008. Care Your Self Diabetes Mellitus. Penebar Plus : Jakarta.
Yap. 2009. Retinopati Diabetika. Tersedia di: http://www.rsmyap.com/content/view/9/43/. [Diakses tanggal 14 September 2011].
45
46