HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN
EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
OLEH
DEVI WULAN SARI
80 2010 039
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN
EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
Devi Wulan Sari
Sutarto Wijono
Jusuf Tjahjo Purnomo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara workplace
well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha Universitas Kristen Satya
Wacana Salatiga. Ada sejumlah 45 staff diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan
menggunakan teknik sampel purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan
dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala workplace well-being yang
disusun oleh Page (2009), yang terdiri dari 14 pernyataan, dan skala employee
engagement yang disusun oleh Bakker & Schaufeli (2003), yang terdiri dari 16
pernyataan. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment
dari Pearson. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai
signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara
workplace well-being dengan employee engagement. Hal ini bermakna bahwa tingginya
workplace well-being pada staff tata usaha akan diikuti dengan employee engagement
yang tinggi.
Kata Kunci : Workplace Well-Being, Employee Engagement.
ii
Abstract
The purpose of this study is to determine the relationship between workplace
well-being with employee engagement on administrative staff at Satya Wacana
Christian University of Salatiga. There are amount of 45 staff sample done by using
purposive sampling technique. The research method which is used in data collection
methods was scale method; it was the scale of workplace well-being that compiled by
Page (2009), which consists of 14 statements, and employee engagement scale
developed by Bakker & Schaufeli (2003), which consists of 16 statements. Data
analysis technique used is a product moment correlation technique. From the data
analysis obtained correlation coefficient (r) 0.804; p = 0,000 (p <0,05), which means
there is a significant positive relationship between workplace well-being with employee
engagement. This means that high workplace well-being on the administrative staff will
be followed by high employee engagement.
Keywords: Workplace Well-Being, Employee Engagement.
1
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
organisasi, karena efektivitas dan keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung
kepadanya. Kinerja SDM yang tinggi dapat mendorong munculnya perilaku melebihi
apa yang telah distandarkan perusahaan (Krietner & Kinicki, 2004). Ada pergeseran
paradigma dalam kajian manajemen SDM. Saat ini manusia tidak lagi dipandang
sebagai sumber daya (resource) atau karyawan saja melainkan asset (capital). Sumber
daya yang dimiliki akan dihabiskan, lalu dibuang. Namun asset akan dikembangkan
secara berkesinambungan untuk mencapai level yang lebih tinggi, tanpa henti. Hal ini
berimbas terhadap kebijakan perusahaan. Jika dahulu paradigmanya adalah bagaimana
mendapatkan karyawan terbaik yang bekerja dengan baik dalam jangka waktu yang
lama, lalu dibuang (dipecat, diputus kontrak, dll). Tetapi pada saat kinerjanya menurun,
maka saat ini banyak perusahaan melakukan kebalikannya, mereka menciptakan
karyawan yang akan bekerja dengan baik secara konsisten, memberi mereka pelatihan,
coaching, insentif, fasilitas, dan banyak hal lain, agar karyawan merasa terikat
(employee engagement) dan ikut memiliki perusahaan tersebut (Lewis, 2012).
Bagaimana dengan di Indonesia? employee engagement masih menjadi topik yang
asing saat ini, terbukti dengan belum banyaknya penelitian atau referensi ilmiah yang
bisa ditemukan mengenai kajian employee engagement ini. Namun demikian, dengan
kondisi pengelolaan karyawan saat ini di Indonesia, nampak jelas bahwa sangat penting
untuk meneliti dan mengembangkan model keterikatan yang cocok dengan perusahaan
atau lembaga dan karyawan di Indonesia. Setiap tahunnya, dapat dilihat, membaca, atau
bahkan mengalami sendiri bagaimana karyawan atau buruh berdemonstrasi menuntut
2
upah layak, jaminan atas banyak hal, dan peningkatan kesejahteraan. Sementara itu di
sisi yang lain pengusaha (perusahaan) juga dihimpit situasi yang sulit (Wustari 2010).
Pada bulan Maret 2015 pukul 13.00 WIB, penulis melakukan observasi &
wawancara informal dengan dua staff tata usaha UKSW. Hasil observasi & wawancara
tersebut penulis menemukan bahwa untuk mencapai suatu kesuksesan lembaga yang
harus ditanamkan terlebih dahulu adalah rasa keterikatan terhadap pekerjaannya.
Dengan memiliki hal tersebut akan membuat karyawan menikmati pekerjaan yang
mereka lakukan, mereka berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka
mampu untuk dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja. Selain itu juga,
membuat karyawan lebih berkonsisten, bertanggungjawab. Rasa keterikatan ini juga
yang membuatnya semangat dalam bekerja, sehingga dapat memberikan waktu, tenaga,
serta inisiatif yang lebih untuk dapat berkontribusi pada kesuksesan organisasi atau
lembaga. Jadi tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi
agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/lembaga. Sementara itu, Leiter &
Bakker (2010) menembahkan bahwa ketika karyawan terikat, mereka merasa terdorong
untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka menginginkan
kesuksesan. Karyawan yang terikat juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara
antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris & Rhenen, 2008).
Sebaliknya, tanpa adanya employee engagement, inisiatif pengembangan dalam
bentuk apapun tidak akan membuahkan hasil, karena hal tersebut tidak disertai dengan
peran serta, komitmen, dan rasa keterikatan para karyawannya. Hal ini yang kemudian
membuka mata para manajer bahwa penting sekali untuk membuat para karyawan, yang
notabene adalah Sumber Daya Manusia bagi perusahaan/lembaga, untuk terikat pada
organisasi. Analogi sederhananya adalah employee engagement tidak dibangun dengan
3
cara yang sama seperti Firaun yaitu memperlakukan budak-budak Israel pada waktu dia
membangun piramidanya dulu. Tetapi manajer menciptakan lingkungan dan dunia kerja
yang kondusif dan menantang, sehingga mereka merasa sejahtera dan kemudian
memunculkan potensi optimal mereka (Lewis, 2012).
Fenomena karyawan yang terikat pada perusahaannya sehingga ikut merasa
memiliki ini disebut sebagai employee engagement dan menjadi „primadona‟ dalam
kajian tentang sumberdaya manusia di perusahaan (Albrecht, 2010). Mengapa begitu?
karena saat karyawan terikat muncul kemampuan lebih (enabled) dan juga antusiasme
(energized) yang secara langsung maupun tidak langsung mendongkrak performa kerja
si karyawan. Memang benar, bahwa masih menjadi perdebatan apakah employee
engagement ini memang benar-benar sebuah konsep strategis baru atau hanya menjadi
“baju baru” dari workaholism. Sementara itu, Bakker (dalam Albrecht, 2010)
menjabarkan bahwa ada perbedaan mendasar antara work-engagement dan workaholism
dari siapa yang menjadi tuan dan bawahan. Pada workaholism, karyawan menjadi budak
pekerjaan dan dikuasai hidupnya oleh pekerjaan tersebut (Vallerand, dalam Albrecht,
2008). Namun, karyawan yang terikat pada perusahaannya menguasai keadaan, dan
secara sadar sepenuhnya memberikan lebih dari 100% performanya tanpa mengabaikan
kehidupan di luar pekerjaannya (Schaufeli, 2006, dalam Albrecht, 2010).
Alasan yang mendasari bahwa pentingnya untuk meneliti employee engagement
pada staff tata usaha adalah karyawan staff TU memiliki kerentanan stagnansi kerja
yang cukup tinggi. Dalam bertugas/menyelesaikan tugas mereka sangat bersemangat,
antusias, inspirasi, konsentrasi penuh, serta memiliki perasaan senang sehingga hingga
apa yang menjadi pekerjaannya dapat diselesaikan dengan cepat, tepat pada waktunya.
Hal tersebut secara potensial membawa karyawan dapat mengalami perasaan burnout.
4
Di sisi lain jenjang karier seorang pegawai TU relatif pendek, sehingga secara afeksi
penghargaan akan pekerjaan tata usaha juga tidak setinggi rekan karyawan lain.
Karyawan TU hanyalah bagian pendukung dan bukan bintang utama dalam struktur
organisasi. Stakeholder mereka, dalam kasus ini mahasiswa UKSW. Hal tersebut tentu
saja tidak memberikan kadar penghormatan yang sama kepada staff TU dibanding
dengan staff pengajar. Namun, bila dilihat dari data karyawan yang peneliti dapatkan,
mayoritas staff TU di UKSW telah bekerja lebih dari 5 tahun yang dibuktikan dengan
status mereka sebagai pegawai tetap, dimana 68,87% dari total 106 orang pegawai TU
di UKSW telah berstatus pegawai tetap, dengan demografi 56,64% di antaranya adalah
pegawai laki-laki yang notabene menjadi tulang punggung keluarganya. Hal ini terbukti
bahwa cukup bayak karyawan staff TU yang memiliki employee engagement, yang
telah berkontribusi dalam kesuksesan lembaga.
Sementara itu, Albrecht (2010) mengemukakan bahwa apabila karyawan merasa
terikat (engaged) dengan perusahaannya, dia akan ikut merasa memiliki. Artinya,
pengusaha dan buruh akan memiliki visi yang sama akan kemajuan perusahaannya.
Namun jika dilihat ke banyak negara lain, employee engagement sudah menjadi agenda
utama di hampir seluruh perusahaan. Bakker (2010) dalam jurnal ketenagakerjaan
Kanada mengemukakan bahwa 69% dari 368 responden yang merupakan profesional di
bidang HR mengemukakan bahwa employee engagement menjadi solusi bagi masalah
di perusahaan mereka, dengan 82% menyetujui bahwa employee engagement esensial
untuk perkembangan perusahaan mereka, dan hanya 0,5% yang merasa bahwa tidak
penting untuk membuat karyawan terikat pada perusahaannya. Hasil yang tidak jauh
berbeda tercermin dari review yang dirilis oleh Harvard Business School (2013) dengan
568 responden yang merupakan karyawan di berbagai belahan dunia, hasilnya adalah
5
71% responden memandang employee engagement sebagai faktor penting bagi
kesuksesan perusahaan namun hanya 24% responden yang mengaku terikat (engaged)
dengan perusahaannya saat ini.
Dampak positif, atau manfaat yang langsung terasa dari adanya rasa terikat
(employee engagement) karyawan pada perusahaannya terbukti pada sebuah penelitian
yang dilakukan Fairhurst (2010) keterikatan (engagement) meningkatkan pendapatan
perusahaan sebesar 57%, meningkatkan nilai perusahaan 16%, dan meningkatkan
kesejahteraan karyawan itu sendiri sebesar 20% (Fairhurst, D; O‟Connor. 2010). Hal ini
sejalan dengan apa yang ditemukan Robinson dkk (2011) yang menyatakan bahwa
dalam kondisi yang sama, karyawan yang terikat memiliki performa lebih baik 21%
dibanding dengan karyawan yang tidak terikat.
Keterikatan tidak muncul begitu saja, ada banyak hal yang mendorong munculnya
rasa terikat seorang karyawan pada perusahaan/lembaganya. Salah satu adalah rasa
sejahtera (well-being). Rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan
mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai
intrinsik dan pekerjaan (workvalues) ini disebut sebagai Workplace Well-Being (WWB)
(Russell dalam Page, 2005). Pernyataan tersebut didukung oleh Page (2005) yang
mengemukakan workplace well-being didasari oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik
dari pekerjaan.
Workplace Well-Being (WWB) menjadi penting untuk diteliti karena WWB bisa
menjadi penyumbang utama terhadap peningkatan kinerja pada karyawan dan
menumbuhkan rasa employee engagement. WWB merupakan salah satu faktor yang
berperan besar menciptakan Employee Engagement pada tenaga kerja (Schmidt, Faye.
2004). Hal ini sejalan dengan penelitian Erin yang dilakukan pada pelayanan kesehatan,
6
dimana dalam kerangka yang disusun sebagai diskusi, menyatakan bahwa hasil ini
menjadikan WWB sebagai pondasi utama pelayanan kesehatan (kinerja) yang prima
dari pelayanan kesehatan di Kanada (LMCC, 2007). Hasil penelitian lain yang
diutarakan oleh Lilita (2013) pada karyawan staff dari Universitas Namibia,
menyatakan bahwa kesejahteraan itu dikonseptualisasikan sebagai proses yang saling
terkait dengan terikatan kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa lapangan kerja
memainkan peran penting dalam keterlibatan kerja, baik sebagai kontribusi. Kelebihan
beban kerja dan gaya manajemen dapat mempengaruhi keterlibatan dalam bekerja baik
secara emosional maupun fisik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wustari & Mangunwijaya (2010) ditemukan
bahwa pada karyawan pada umumnya (tidak dikhususkan pada perusahaan tertentu atau
bidang pekerjaan tertentu) workplace well-being memiliki hubungan positif yang
signifikan dengan employee engagement (r=0,551). Sementara itu workplace well-being
memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%) pada kemunculan employee
engagement. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Donny & Wing mengenai
kesejahteraan psikis dengan keterikatan karyawan pada PT. X menunjukkan bahwa ada
hubungan yang tidak signifikan.
Pendapat yang berlawanan dikemukakan oleh Leoni (2014) pada penelitiannya
yang dilakukan pada karyawan, menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan
yang signifikan antara pekerjaan dengan kesejahteraan karyawan. Hal ini menyebabkan
terjadinya trunover pada karyawan, karena karyawan tidak merasakan keterikatan pada
perusahaan tersebut.
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) merupakan lembaga yang bergerak di
bidang pendidikan. Didalam penelitian ini, penulis mengadakan penelitian pada
7
karyawan staff tata usaha perfakultas, dimana karyawan telah bekerja selama minimal 5
(lima) tahun atau telah diangkat menjadi karyawan tetap. Karyawan tersebut selalu
dihadapkan untuk berkontribusi dalam kesuksesan lembaga secara terus-menerus. Jika
hasil atau upah yang diterima tidak sesuai dengan harapan karyawan dengan kinerja
yang selama ini telah diberikan maka akan menimbulkan ketidak terikatan kerja atau
yang biasa disebut dengan employee engagement. Dari uraian diatas peneliti tertarik
untuk meneliti apakah ada hubungan antara Workplace Well-being dengan Employee
Engagement pada staff Tata Usaha Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Employee Engagement
Konsep Employee Engagement ini relatif baru dan muncul sekitar dua decade
belakangan ini (Rafferty, Maben, West dan Robinson, 2005; Melcrum Publishing, 2005;
Ellis dan Sorensen, 2007). Employee engagement merupakan pengembangan dari dua
konsep terdahulu, yaitu komitmen dan Organizational Citizenship Behavior
(OCB/Perilaku Organisasi Karyawan) (Robinson, Perryman & Hayday, 2004; Rafferty
dkk., 2005). Pada suatu kesempatan Robinson dkk. (2004) mengatakan bahwa kedua
konsep terdahulu yaitu komitmen dan OCB dirasa kurang lengkap, dan di dalam konsep
employee engagement, dimasukkan unsur kesadaran bisnis (business awareness).
Rafferty dkk (2005) juga membedakan antara konsep employee engagement dengan dua
konsep terdahulunya, dimana employee engagement lebih menunjukkan proses saling
memberi dan menerima yang menguntungkan antara karyawan dan organisasi.
Perrin (2003) mendefinisikan employee engagement sebagai kesediaan karyawan
dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan secara terus
menerus. Rasa keterikatan terhadap organisasi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai
8
faktor seperti faktor emosional dan rasional berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman
kerja secara keseluruhan.
Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai suatu
kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan berkaitan dengan pekerjaan yang
mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan penghayatan. Kondisi mental tersebut
melibatkan rasa afektif dan kognitif.
Britt, Dickinson, Greene-Shortridge, dan McKibben (2007) menjelaskan employee
engagement sebagai perasaan seseorang untuk bertanggung jawab dan peduli terhadap
performansi pekerjaannya.
Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi employee
engagement adalah perasaan seseorang untuk bertanggung jawab atau berkomitmen
terhadap pekerjaannya, yang didasari oleh kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan
berkaitan dengan pekerjaan yang mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan
penghayatan. Kondisi mental tersebut melibatkan rasa afektif dan kognitif.
Dimensi Employee Engagement
Employee Engagement tersusun atas tiga dimensi, yaitu semangat (Vigor),
dedikasi (Dedication), absorpsi (Absorption) (Schaufeh & Bakker 2004; Schaufeli dkk,
2001) yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Semangat atau vigor didefinisikan sebagai tingkat energi dan ketahanan mental yang
tinggi ketika individu menyelesaikan pekerjaan, keinginan untuk menanamkan
semangat pada pekerjaan, serta persisten dalam menghadapi kesulitan-kesulitan
yang ditemui saat bekerja (Schauteli & Bakker, 2004; Schaufeli dkk, 2001).
9
2. Dedikasi atau dedication adalah identifikasi yang kuat pada pekerjaan dan mencakup
perasaan yang meliputi, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan (Schauteli
& Bakker, 2004; Chunghtal & Buckley, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).
3. Absorpsi atau absorption dijelaskan sebagai konsentrasi penuh dan perasaan senang
yang dirasakan inidividu ketika sedang bekerja, dimana individu merasa waktu
berjalan dengan cepat dan sulit meninggalkan pekerjaan (Schaufeti & Bakker, 2004;
Bakker & Demerouti, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).
Definisi Workplace Well-Being
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari Page (2005) karena
pendekatan ini memaparkan dengan lengkap definisi dan dimensi-dimensi dari
workplace well-being. Definisi workplace well-being yang dikemukakan oleh Page
(2005), yaitu :
“The sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualised
as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”
(Page, 2005; hlm.3).
Dari penjelasan tersebut, workplace well-being didefinisikan sebagai rasa
sejahtera yang diperoleh pekerja dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan
pekerja secara umum (core affect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan
(work values).
Core affect didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rasa nyaman dan tidak
nyaman bercampur dan gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia (Russel
dalam Page, 2005). Untuk itu, core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu
secara umum. Nilai pekerjaan (work values), baik intrinsik maupun ekstrinsik,
10
didefinisikan sebagai derajat harga, kepentingan, dan hal-hal yang disukai oleh individu
di tempat kerja (Knoop, dalam Page, 2005).
Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi workplace
well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan mereka,
yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai intrinsik
maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values).
Page (2005) menjelaskan bahwa terdapat 13 aspek dari workplace well-being
yang dibagi ke dalam dua dimensi atau faktor besar yaitu 5 aspek dari faktor intrinsik
dan 8 aspek dari faktor ekstrinsik.
Dimensi Workplace Well-Being
Dimensi Workplace Well-Being menurut Page (2005) sebagai berikut:
1. Dimensi Intrinsik
Dimensi instrinsik terdiri dan aspek-aspek yang mengacu pada perasaan karyawan
terkait tugas yang dimiliki dari tempat kerja mereka. Dimensi intrinsik ini terdiri
dari lima aspek, yaitu:
a. Tanggungjawab dalam Kerja.
Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki karyawan terhadap
tanggungjawab kerja yang diberikan organisasi dan kepercayaan untuk
melakukan pekerjaan dengan baik.
b. Makna Pekerjaan.
Aspek ini didefinisikan sebagi perasaan karyawan bahwa pekerjaannya
memiliki arti dan tujuan baik secara personal, maupun untuk skala yang lebih
luas.
11
c. Kemandirian dalam Pekerjaan.
Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan individu bahwa dirinya dipercaya
untuk melaksakan tugasnya secara mandiri, tanpa petunjuk dari manajemen.
d. Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan dalam Bekerja.
Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan bahwa pekerjaan yang diberikan
memungkinkan mereka untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki.
e. Perasaan Berprestasi dalam Bekerja.
Aspek ini didefinisikan sebagai rasa memiliki pencapaian tertentu terkait
dengan tujuan yang berhubungan dengan kerja.
2. Dimensi Ekstrinsik
Dimensi ekstrinsik adalah dimensi yang mengacu kepada hal-hal di lingkungan
kerja yang dapat mempengaruhi karyawan dalam bekerja. Dimensi ini terdiri dan
delapan aspek sebagal berikut :
a. Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya.
Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan mengenal waktu kerjanya
merupakan hal yang penting karena memungkinkan karyawan untuk
membentuk keseimbangan antara waktu kerja dan kehidupan pribadi (work-life
balance).
b. Kondisi Kerja.
Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja
seperti ruang kerja dan budaya organisasi.
12
c. Supervisi.
Aspek ini didefinisikan sebagai karyawan terhadap perlakuan atasan, seperti
perlakuan baik, pemberian dukungan, pemberian bantuan ketika dibutuhkan,
umpan balik yang sesuai dan penghargaan dari atasan.
d. Peluang Promosi.
Aspek ini didefinisikan sebagai kondisi lingkungan kerja yang memberikan
kesempatan karyawan untuk berkembang secara profesional.
e. Pengakuan terhadap Kinerja yang Baik.
Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan bahwa di lingkungan kerja
mereka, mereka telah menghasilkan kinerja yang baik dan yang tidak
mendapatkan perlakuan yang berbeda.
f. Penghargaan sebagai Individu ditempat Kerja.
Aspek ini memiliki definisi sebagai perasaan karyawan bahwa mereka dihargai
dan diterima sebagai individu baik oleh keluarga maupun atasan mereka.
g. Upah (pay).
Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap upah, keuntungan
dan penghargaan berupa uang yang didapatnya dan lingkungan kerja.
h. Keamanan Pekerjaan.
Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan dengan rasa aman di posisi pekerjaan
mereka.
METODE
Partisipan
Penelitian ini dilakukan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, populasi
yang digunakan adalah Karyawan Staff Tata Usaha berjumlah 45 orang sebagai
13
responden yang akan di teliti. Menggunakan teknik purposive sampling, yang artinya
subyek diambil berdasarkan kriteria. Adapun kriteria yang digunakan adalah (1) Staff
Tata Usaha Perfakultas, (2) subyek telah bekerja selama minimal 5 (lima) tahun atau
telah diangkat menjadi karyawan tetap.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 bagian. Bagian
pertama berkaitan dengan workplace well-being. Workplace well-being diukur dengan
menggunakan "Workplace Well-Being Scale" yang disusun oleh Page (2009), yang
terdiri dari 16 pertanyaan. Dari jumlah tersebut, 5 pertanyaan yang mengacu pada
perasaan karyawan terkait tugas dalam bekerja contohnya “seberapa puaskah anda
terhadap tanggungjawab kerja anda”, dan 11 pertanyaan untuk hal-hal dilingkungan
kerja contohnya “seberapa puaskah anda dengan kenyamanan durasi jam kerja anda”.
Untuk kedua dimensi yaitu intrinsik dan ekstrinsik, mencakup 11 pilihan jawaban
berdasarkan frekuensi berikut: “nol berarti merasakan benar-benar tidak puas, dan 10
berarti merasakan benar-benar puas. Dan tengah skala adalah 5, yang berarti merasa
netral, tidak puas atau puas”.
Bagian kedua berkaitan dengan employee engagement, employee engagement di
ukur dengan menggunakan “employee engagement Scale" yang disusun oleh Bakker &
Schaufeli (2003), yang terdiri dari 17 pernyataan. Dari jumlah tersebut, 6 pertanyaan
yang mengacu pada semangat dalam bekerja contohnya “saat bekerja, saya merasa
energi saya meluap-luap”, selnjutnya 5 pertanyaan yang mengacu pada dedikasi
contohnya “saya melakukan pekerjaan saya dengan sepenuh hati”, dan 6 pertanyaan
yang mengacu pada absorpsi contohnya “waktu cepat berlalu saat saya bekerja”. Untuk
ketiga dimensi yaitu semangat (vigor), dedikasi (dedication) dan absorpsi (absorption),
14
mencakup 7 pilihan jawaban berdasarkan frekuensi berikut: “Tidak Pernah (TP),
Hampir Tidak Pernah (HTP), Jarang (J), Kadang (K), Sering, Sangat Sering (SS), dan
Selalu. Sehingga penilaiannya adalah nilai 0 diberikan untuk jawaban Tidak Pernah
(TP), nilai 1 diberikan untuk jawaban Hampir Tidak Pernah (HTP), nilai 2 diberikan
untuk jawaban Jarang (J), nilai 3 diberikan untuk jawaban Kadang (K), nilai 4 diberikan
untuk jawaban Sering, nilai 5 diberikan untuk jawaban Sangat Sering (SS), dan nilai 6
diberikan untuk jawaban Selalu”.
Bagian ketiga mencakup sejumlah pertanyaan demografis seperti jenis kelamin,
usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, merupakan karyawan tetap atau tidak,
jabatan, dan lama bekerja.
Prosedur Penelitian
Kuesioner dibagikan kepada karyawan staff tata usaha dan responden diminta
untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai dengan keadaan dari masing-masing karyawan.
Kuesioner yang telah diberikan, sebelumnya akan peneliti beritahu bahwa hasilnya akan
digunakan untuk tujuan penelitian saja dan akan merahasikan data-data yang dianggap
sangat pribadi dari karyawan-karyawan tersebut.
UJI ASUMSI
Hasil Uji Reliabilitas dan Seleksi Item
1. Skala Workplace Well-Being
Uji reliabilitas dan analisa seleksi item pada skala workplace well-being
dilakukan dengan dua kali putaran. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item
yang lolos (memenuhi konvensi item) dan mengeliminasi item yang gugur.
Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur reliabilitas pengukuran dan daya
diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.
15
Hasil uji reliabilitas dan daya diskriminan item pada putaran pertama dari
workplace well-being dengan 16 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar
0,911 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel, dan dari 16 item tersebut
tidak terdapat item yang gugur. Penentuan-penentuan item valid menggunakan
ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran
dapat dikatakan valid apabila > 0,30. Nilai korelasi item total bergerak antara
0,403-0,818 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar 0,30.
2. Skala Employee Engagement
Uji reliabilitas dan analisa seleksi item pada skala employee engagement
dilakukan dengan dua kali putaran. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item
yang lolos (memenuhi konvensi item) dan mengeliminasi item yang gugur.
Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur reliabilitas pengukuran dan daya
diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.
Hasil uji reliabilitas dan daya diskriminan item pada putaran pertama dari
employee engagement dengan 17 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar
0,848 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel. Jumlah item yang gugur
adalah 3, yaitu pada item 3, 6, dan 16. Penentuan-penentuan item valid
menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada
skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila > 0,30. Pada pengujian kedua
didapatkan perubahan koefisien reliabilitas sebesar 0,882. Nilai korelasi item total
bergerak antara 0,359-0,705 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar
0,30.
16
HASIL PENELITIAN
Uji Deskriptif
Tabel 1
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
WWB 45 83 159 121.07 18.206
Engagement 45 33 80 55.18 11.308
Valid N
(listwise) 45
1. Variabel Workplace Well-Being (WWB)
Variabel workplace well-being (WWB) memiliki skala yang berisi 16 item
dengan nilai berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 10, dan memiliki mean sebesar
121,07 dengan standar deviasi 18,206 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang
memperoleh nilai empirik minimum sebesar 83 dan maksimum 159 (lihat Tabel 1).
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti
menggunakan 4 (empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.
Maka skor hipotetik maksimum 10x16 item valid = 160 dan skor minimum 0x16
item valid = 0, maka intervalnya adalah 40 (diperoleh dari perhitungan Interval).
Norma kategorisasi hasil pengukuran Skala WWB dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.
Kategorisasi Pengukuran Skala Workplace Well-being
No. Interval Kategori Mean N Presentase
1. 0 < X < 40 Rendah 0 0%
2. 40 < X < 80 Sedang 0 0%
3. 80 < X < 120 Tinggi 21 46,67%
4. 120 < X < 160 Sangat Tinggi 121,07 24 53,33%
Jumlah 45 100%
SD = 18,20639 Min = 83 Max = 159
17
Berdasarkan Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa 24 orang memiliki skor WWB
yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 53,33%, 21 orang
memiliki skor WWB pada kategori tinggi dengan presentase 46,67%, dan tidak ada
staff tata usaha yang memiliki skor WWB yang sedang dan rendah dengan
presentase 0%. Berdasarkan rata-rata WWB staff tata usaha berada pada kategori
sangat tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 83
sampai dengan skor maksimum sebesar 159 dengan standar deviasi 18,206.
2. Variabel Employee Engagement
Variabel employee engagement memiliki skala yang berisi 14 item dengan nilai
berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 6. dan memiliki mean sebesar 55,18 dengan
standar deviasi 11,308 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang memperoleh nilai
empirik minimum sebesar 33 dan maksimum 80 (lihat Tabel 1). Untuk menentukan
tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti menggunakan 4
(empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Maka skor hipotetik
maksimum 6x14 item valid = 84 dan skor minimum 0x14 item valid = 0, maka
intervalnya adalah 21 (diperoleh dari perhitungan Interval).
Norma kategorisasi hasil pengukuran Skala WWB dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Kategorisasi Pengukuran Skala Employee Engagement
No. Interval Kategori Mean N Presentase
1. 0 < X < 21 Rendah 0 0%
2. 21 < X < 42 Sedang 4 8,89%
3. 42 < X < 63 Tinggi 55,18 29 64,44%
4. 63 < X < 84 Sangat Tinggi 12 26,67%
Jumlah 45 100%
SD = 11,30826 Min = 33 Max = 80
18
Berdasarkan Tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa 12 orang memiliki skor
employee engagement yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase
26,67%, 29 orang memiliki skor employee engagement yang berada pada kategori
tinggi dengan presentase 64,44%, dan 4 orang memiliki skor employee engagement
yang berada pada kategori sedang dengan prensentase 8,89%, serta tidak ada staff
tata usaha yang memiliki skor employee engagement yang rendah dengan presentase
0%. Berdasarkan rata-rata employee engagement staff tata usaha berada pada
kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 33
sampai dengan skor maksimum sebesar 80 dengan standar deviasi 11,308.
Uji Normalitas
Untuk uji normalitas sebaran skor digunakan uji Kolmogorof Smirnov.
Tabel 4.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
WWB Engagement
N 45 45
Normal Parametersa Mean 121.07 55.18
Std. Deviation 18.206 11.308
Most Extreme
Differences
Absolute .071 .128
Positive .071 .128
Negative -.064 -.061
Kolmogorov-Smirnov Z .477 .862
Asymp. Sig. (2-tailed) .977 .447
Berdasarkan hasil uji normalitas yang menggunakan Kolmogorof smirnov pada
tabel 4 diatas, dapat diketahui kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel
Workplace Well-Being memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,477 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,977 (p>0,05). Oleh karena nilai signifikansi p>0,05, maka distribusi data
berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variabel Employee Engagement yang
19
memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,862 dengan nilai signifikansi sebesar 0,477 (p>0,05),
dengan demikian data Employee Engagement juga berdistribusi normal.
Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel
bebas dan variabel terikat, untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan
dengan variabel terikat atau tidak.
Tabel 5.
Hasil Uji Linearitas antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Engage
ment *
WWB
Between
Groups
(Combined) 4873.244 29 168.043 3.346 .008
Linearity 3636.273 1 3636.273 72.404 .000
Deviation from
Linearity 1236.971 28 44.178 .880 .628
Within Groups 753.333 15 50.222
Total 5626.578 44
Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,880 dengan sig.= 0,628
(p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara workplace well-being dengan employee
engagement pada staff tata usaha adalah linear.
Uji Korelasi
Hasil korelasi antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff
tata usaha yang menggunakan analisis korelasi Pearson product moment dapat dilihat pada
tabel 6, berikut ini :
20
Tabel 6.
Hasil Uji Korelasi antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement
Correlations
WWB Engagement
WWB Pearson Correlation 1 .804**
Sig. (2-tailed) .000
N 45 45
Engagement Pearson Correlation .804**
1
Sig. (2-tailed) .000
N 45 45
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha, sebesar 0,804
dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05), yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif
antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi workplace well-being yang meraka
dapatkan maka semakin tinggi pula employee engagement pada mereka. Besarnya variasi
employee engagement staff tata usaha dengan workplace well-being dapat menjelaskan
bahwa workplace well-being memberikan kontribusi employee engagement staff tata usaha
64% dan sisanya 36% yang dipengaruhi oleh faktor lain diluar workplace well-being yang
dapat berpengaruh terhadap employee engagement staff tata usaha.
Hasil Demografis
Dari 45 responden yang diteliti, 24 adalah karyawan yang berjenis kelamin laki-laki
dengan usia rata-rata berkisaran 25 – 54 tahun dan 21 berjenis kelamin perempuan dengan
usia rata-rata berkisaran 26 – 55 tahun, merupakan karyawan tetap yang bekerja lebih dari
5 tahun bahkan sebagian besar telah bekerja selama puluhan tahun, dengan dasar kontrak
21
yaitu waktu penuh dengan rata-rata waktu perminggunya 37,5 - 40/jam, mayoritas
karyawan laki-laki dan perempuan telah berstatus sudah menikah, dan dari 45 karyawan,
15 karyawan merupakan tamatan S1, 8 karyawan merupakan tamatan D3, dan 22 karyawan
merupakan tamatan SMK/SMA.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara workplace well-being dengan
employee engagement pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga, di
dapat hasil uji korelasi yang sudah dilakukan oleh peneliti maka didapatkan nilai korelasi
sebesar 0,804 dengan signifikansi 0,000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa H1
diterima dan H0 ditolak, yang artinya bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara
workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas
kristen satya wacana Salatiga. Hal ini berarti semakin tinggi workplace well-being maka
semakin tinggi pula employee engagementnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
kemungkinan. Pertama, sebagai staff TU menganggap bahwa bekerja sebagai TU di UKSW
membuat mereka memperoleh nilai-nilai kerja yang dapat dinikmati untuk menoleh
pekerjaannya, sehingga membuat mereka berprilaku positif pada pekerjaannya. Kedua,
pada umumnya karyawan TU merasakan ada kenyamanan kerja yang dapat membuat
mereka sejahtera sehingga dapat membuat mereka bekerja lebih terikat untuk mendukung
tugas-tugasnya sebagai TU di UKSW.
Hasil penelitian ini mendukung yang diutarakan oleh Lilita (2013) pada karyawan
staff dari Universitas Namibia, menyatakan bahwa kesejahteraan itu dikonseptualisasikan
sebagai proses yang saling terkait dengan terikatan kerja. Hasil analisis menunjukkan
bahwa lapangan kerja memainkan peran penting dalam keterlibatan kerja, baik sebagai
kontribusi. Kelebihan beban kerja dan gaya manajemen dapat mempengaruhi keterlibatan
22
dalam bekerja baik secara emosional maupun fisik. Hal serupa diungkapkan oleh Wustari
& Mangunwijaya (2010) dalam penelitiannya ditemukan bahwa workplace well-being
memiliki hubungan positif yang signifikan dengan employee engagement (r=0,551), dan
lebih jauh lagi workplace well-being memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%)
pada kemunculan employee engagement. Schmidt, Faye (2004) bahwa workplace well-
being salah satu faktor yang berperan besar menciptakan employee engagement.
Berdasarkan hasil analisa deskriptif dalam peelitian ini, diperoleh data bahwa
workplace well-being sebesar 53,33% yang ada pada kategori sangat tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan staff TU memiliki workplace well-being
yang tinggi. Pada tingkat employee engagement yang dimiliki oleh staff tata usaha sebesar
64,44% yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian staff
tata usaha memiliki tingkat employee engagement yang berada pada taraf tinggi.
Rasa keterikatan atau employee engagement ini membuat karyawan semangat dalam
bekerja. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi
agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/organisasi. Sebaliknya, tanpa adanya
employee engagement, inisiatif pengembangan dalam bentuk apapun tidak akan
membuahkan hasil, karena tidak disertai dengan peran serta, komitmen, serta rasa
keterikatan para karyawannya (Lewis, 2012).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fairhurst (2010) keterikatan
(engagement) meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 57%, meningkatkan nilai
perusahaan 16%, dan meningkatkan kesejahteraan karyawan itu sendiri sebesar 20%
(Fairhurst, D; O‟Connor. 2010).
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas mengenai hubungan antara
workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas
kristen satya wacana Salatiga, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement
pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga. Dari hasil analisa data
diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai signifikansi 0,000(p < 0,05).
Sebagian besar subjek staff tata usaha memiliki tingkat workplace well-being dengan
rata-rata sebesar 1,2107 yang berada pada kategori sangat tinggi, dan rata-rata employee
engagement sebesar 55.1778 berada pada kategori tinggi. Sumbangan efektif workplace
well-being sebesar 64%, hal ini berarti bahwa 36% workplace well-being dipengaruhi
faktor lain.
Saran
Adapun saran peneliti berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagi karyawan staff tata usaha.
Setiap karyawan diberi kesempatan untuk mewujudkan nilai-nilai kerja akan
kesehariannya melalui pelayanan yang diberikan kepada dosen & mahasiswa sehingga
dapat lebih terikat dengan tugasnya sebagai TU di UKSW.
2. Bagi lembaga Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
UKSW perlu memberikan kesempatan kepada setiap TU untuk meningkatkan
keterampilan mereka dalam melayani dosen & mahasiswa melalui berbagai pelatihan
yang mengembangkan nilai-nilai kerja yang positif, untuk dapat melayani dengan baik
dan profesional.
24
3. Bagi penelitian selanjutnya.
a. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat meneliti faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi antara employee engagement pada staff tata usaha selain
workplace well-being, seperti faktor komitmen, dan lainnya.
b. Diharapkan populasi pada penelitian selanjutnya dapat diperluas, serta dapat
melihat perbandingan pada perbedaan antara jabatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adriana, M.L. (2013). Antecedents And Outcomes Of Work-Related Psychological
Well-Being Of Staff Members Of The University Of Namibia (Tesis). University
Of Namibia.
Albrecht, S. L. (2010). Employee engagement: 10 key questions for research and
practice (pp 3-19). In Albrecht, S.A. (Ed). Handbook of employee engagement:
perspectives, issues, research, and practices. Edward Elgar Publishing, Inc.:
Massachusets.
Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakker, A.B; M.P. Leiter (Eds.): Work engagement: A Handbook of Essential Theory
and Research. New York, Psychology Press.
Erin Research Inc. (2005). Building a better workplace – Joint pilot project; Results of
the 2005 PSHRMAC Employee Survey.
Fairhurst, D. J, O‟Connor (2010). Employee Well-Being: Taking Engagement and
Performance to Next Level. TowersWatson.
Finney, M.I. (2010). Engagement: cara pintar membuat karyawan mencurahkan
kemampuan terbaik untuk perusahaan. Penerjemah: Verawaty Pakpahan.
Jakarta. Penerbit PPM.
Gallup. (2004). Diunduh pada. Dari http:www.gallup.com/consulting/121535/Employee
Enggement-Overview-Brochure.aspx.
Gilbreth, Brad & Benson, Philip G. (2004). The Contribution of Supervisor Behaviour
to Employee Psychological Wellbeing. Work & Stress, July, 1 B, 3, 255-266.
25
Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset.
Haryanto, D & Ispurwanto, W. (2012). Hubungan Kesejahteraan Psikis Dengan
Keterikatan Karyawan Pada PT.X. jurnal Universitas Bina Nusantara.
Lewis, R. E. Donaldson-Feilder. (2012). Managing for Sustainable Employee
Engagement. London: Chartered Institute of Personnel & Development.
Luthans, F. Peterson., S.J. (2002). Employee engagement and manager self-efficacy:
implications for managerial effectiveness and development. Journal of
Management Development, 21, (5), pp: 276-287.
Macey, William H., Schneider, Benyamin., Barbera, Karen M., Young, Scott A, (2009)
Employee Engagement, tools for analysis, Practice, and Competitive Advantage,
Wiley‐ Blackwell, Chichester, West Sussex, United Kingdom.
McShane, Steven L. Glinow., Mary Ann von (2008) Organizational Behavior,
McGraw‐Hill Irwim, New York.
Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki. (2009). Statistik terapan: untuk penelitian ilmu-
ilmu sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Page, Kathryn. (2005). Subjective Wellbeing in the Workplace (Thesis). School of
Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University.
Page, Karthryn. (2010). Submitted in partial fulfillment of the requirements for the
degree of docktor of psychology (Thesis). School of Psychology and Psychiatry.
Australia: Monash University.
Robbins, S. & Judge, T. (2007), Organizational Behavior, 12th
edition, Prentice-Hall.
Schaufeli, W.B & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their
relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of
Organizational Behavior, 25, 293-315.
Schmidt, Faye. (2004). Workplace Well-Being in the Public Sector – A Review of the
Literature and the Road Ahead. Treasury Board of Canada Secretariat.
Vaart, DVL. Linde, B. Beer, DL. & Cockeran, M. (2014). Employee Well-Being,
Intention To Leave And Perceived. Journal Of Economic And Management
Sciences (Sajems), 1:32-44.
Wustari, LHM. (2010). Pengaruh Workplace Wellbeing terhadap Psychological Capital
dan Employee Engagement. Kumpulan karya tulis ilmiah konferensi APIO IV
Surabaya.