HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DIATAS NORMAL TERHADAP
PREMENSTRUAL SYNDROME PADA WANITA USIA REPRODUKTIF DI
KELURAHAN LOA IPUH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana Kedokteran
Diajukan Oleh:
Sandra Aulia Rahman
J500110045
Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
2015
Hubungan Indeks Massa Tubuh Diatas Normal Terhadap Premenstrual
Syndrome Pada Wanita Usia Reproduktif Di Kelurahan Loa Ipuh Kabupaten
Kutai Kartanegara
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sandra Aulia Rahman, Retno Suryaningsih, Devi Usdiana Rosyidah
Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara Indeks Massa
Tubuh (IMT) diatas normal terhadap premenstrual syndrome (PMS) pada wanita usia
reproduktif di kelurahan Loa Ipuh Kabupaten Kartanegara. Metode penelitian yang
digunakan adalah non eksperimen dengan desain observasional analitik,
menggunakan analisis korelasi dengan desain cross sectional. Variabel bebas yang
digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas normal dan variable terikatnya
adalah premenstrual syndrome (PMS). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 86 responden. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan IMT diatas normal yang
mengalami PMS adalah sebanyak 25 sampel (29,0%), IMT diatas normal yang tidak
mengalami PMS adalah sebanyak 17 sampel (19,7%). Kemudian didapatkan juga
data wanita dengan IMT normal yang mengalami PMS adalah sebanyak 5 sampel
(5,8%), sedangkan wanita dengan IMT normal yang tidak mengalami PMS adalah
sebanyak 39 sampel (45,3%) dan nilai p < 0,05 yang berarti terdapat hubungan
bermakna antara Indeks Massa Tubuh (IMT) diatas normal dengan kejadian
premenstrual syndrome (PMS) dengan nilai r = 0,488 yang artinya arahnya positif (+)
dan kekuatannya sedang. Dapat disimpulkan bahwa wanita yang memiliki IMT diatas
normal memiliki kecenderungan untuk terjadi PMS.
Kata Kunci: Indeks Massa Tubuh, premenstrual syndrome, sindrom pramentruasi
Pendahuluan
Indeks Massa Tubuh (IMT)
atau Body Mass Index (BMI) adalah
cara sederhana untuk memantau status
gizi orang dewasa, yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan
berat badan (obesitas) khususnya. Pada
berat badan yang kurang, risiko
terhadap penyakit infeksi akan
meningkat, sedangkan pada berat
badan berlebih maka risiko penyakit
degeneratif akan meningkat. Oleh
karena itu, mempertahankan berat
badan normal memungkinkan
seseorang dapat mencapai usia harapan
hidup yang lebih panjang
(Ristianingrum et al., 2010).
Indeks Massa Tubuh (IMT)
merupakan indeks yang dihitung
dengan membagi berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan dalam
meter dikuadratkan. Seseorang
dikategorikan dalam kelompok berat
badan kurang (underweight) bila
memiliki indeks massa tubuh <19,8
kg/m2, berat badan normal
(normoweight) 19,8-26 kg/m2 dan
berat badan berlebih (overweight) >26
kg/m2 (Supriyono, 2003).
Meningkatnya industrialisasi,
urbanisasi dan mekanisasi pada negara
akan membawa dampak perubahan
pola diet dan tingkah laku. Perubahan
ini misalnya konsumsi makanan tinggi
lemak, tinggi energi dan cara hidup
santai atau aktivitas kurang sehingga
akan meningkatkan prevalensi berat
badan berlebih dan obesitas (WHO,
2003).
Prevalensi berat badan berlebih
dan obesitas telah meningkat secara
signifikan di seluruh dunia selama
beberapa dekade terakhir dan dianggap
sebagai masalah kesehatan masyarakat
yang penting. Di Indonesia prevalensi
obesitas terus meningkat. Prevalensi
berat badan berlebih dan obesitas pada
orang dewasa di Indonesia mencapai
21,7% (Riskesdas, 2010).
Premenstrual Syndrome (PMS)
merupakan gangguan yang secara
medis tidak bisa dijelaskan,
ditunjukkan dengan perilaku dan
gejala somatik selama fase luteal dari
siklus menstruasi, biasanya berakhir
setelah fase menstruasi selesai
(Johnson et al., 2014).
Sebanyak 80% wanita usia
reproduktif mengalami perubahan
emosional dan gangguan fisik pada
periode premenstrual yang
mengganggu aktivitas sehari-hari.
Kurang lebih 30% wanita merasa
memerlukan pengobatan dan 3% - 8%
wanita dilaporkan mengalami tanda-
tanda yang berat (Tschudin et al.,
2010). Angka prevalensi PMS hingga
saat ini mencapai 85% populasi wanita
usia reproduksi, dan hampir
separuhnya tidak berupaya mencari
pertolongan medis. Hanya sekitar 5 %
dari mereka yang tercatat sebagai
penderita PMS berat (Suparman,
2011).
Angka kejadian PMS di
Indonesia menurut Pujiastuti (2007)
dialami 70%-90% oleh wanita usia
reproduktif dan 2%-10% mengalami
gejala Premenstrual Syndrome berat
(Lestari, 2013). Gejala yang timbul
pada PMS terutama pada wanita usia
reproduktif misalnya kecemasan,
depresi, sakit kepala, dan perut sebah.
Lebih dari 85 % wanita yang sedang
menstruasi mengalami satu atau lebih
gejala premenstrual syndrome
(Brigitta, 2010). Premenstrual
syndrome cukup berbahaya karena
menandakan suatu ketidakseimbangan
yang dapat disebabkan pola makan dan
gaya hidup, ketidakseimbangan kronik
bisa menyebabkan kanker, stroke, dan
penyakit jantung. Premenstrual
syndrome dapat dicegah dengan
perubahan pola hidup seperti olahraga,
tidur cukup, juga dengan pola makan
yang sehat (Hapsari, 2010).
Perubahan hormonal menjelang
haid merupakan salah satu faktor
pencetus PMS. Beberapa sumber
mengatakan bahwa PMS terjadi karena
peningkatan kadar estrogen pada
periode sebelum menstruasi datang.
Sumber pembuatan estrogen adalah
lemak di jaringan perifer yang
kemudian dikonversi menjadi
androstenedion yang merupakan
prekursor estrogen. Konversi
androstenedion menjadi estrogen
meningkat dengan peningkatan berat
badan (Supriyono, 2003).
Metode
Penelitian ini menggunakan
desain penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross
sectional yaitu variable bebas dan
variable terikat diukur dalam periode
yang sama dan dilakukan pengukuran
hanya satu kali saja, pada satu waktu.
Dilakukan di Kelurahan Loa Ipuh
Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi
Kalimantan Timur. Waktu penelitian
dilaksanakan pada Desember 2014
sampai Januari 2014. Populasi dalam
penelitian ini adalah pasien usia
reproduktif yang memeriksakan diri di
Kelurahan Loa Ipuh Kabupaten Kutai
Kartanegara Provinsi Kalimantan
Timur. Sampel merupakan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi. Dalam penelitian ini sampel
yang digunakan adalah wanita usia
reproduktif yang memeriksakan diri di
Puskesmas Loa Ipuh serta memenuhi
kriteria restriksi. Sedangkan teknik
sampling yang digunakan adalah
purposive sampling dan jumlah
sampelnya adalah 86 orang.
Untuk menentukan Indeks Massa
Tubuh (IMT) maka diukur berat badan
dengan menggunakan timbangan
pegas dan tinggi badan menggunakan
stature meter. Sedangkan untuk
mengukur PMS, peneliti menggunakan
kuesioner Shortened Premenstrual
Assessment Form (SPAF) yang berasal
dari Premenstrual Assessment Form
(PAF) yang dipersingkat. Kuesioner
ini merupakan kuesioner yang telah
divalidasi dan teruji reabilitasnya,
berisi 10 poin yang merupakan hasil
singkatan dari 95 poin PAF.
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan data primer dimana data
diperoleh secara langsung dari pasien.
Data primer yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi: data identitas
pasien, data Indeks Massa Tubuh
(IMT), dan data dari Shorterned
Premenstrual Assessment Form
(SPAF) untuk menegakkan diagnosa
PMS. Pengambilan data dilakukan di
Kelurahan Rapak Mahang Kabupaten
Kutai Kartanegara Provinsi
Kalimantan Timur dengan cara
membagikan kuesioner berisi
persetujuan menjadi responden,
kemudian pasien dihitung indeks
massa tubuhnya dan diminta untuk
mengisi kuesioner PMS. Setelah data
dikumpulkan baru akan dilakukan
analisis data menggunakan uji korelasi
Spearman.
Hasil
Tabel 1 menunjukkan bahwa
wanita yang mengalami PMS dalam
rentang usia 18-27 ada sebanyak 7
orang, dalam rentang usis 28-37 ada
sebanyak 14 orang, dalam rentang usia
38-47 tahun ada sebanyak 10 orang
dan usia diatas 47 tahun ada 2 orang.
Sedangkan wanita yang tidak
mengalami PMS dalam rentang usia
18-27 tahun ada sebanyak 14 orang,
dalam rentang usis 28-37 ada sebanyak
16 orang, dalam rentang usia 38-47
ada sebanyak 18 orang dan usia diatas
47 tahun ada sebanyak 5 orang.
Tabel 1. Distribusi Sampel
Berdasarkan Rentang Usia
Usia
PMS Tidak PMS
F % F %
18-27 7 8,1% 14 16,3%
28-37 14 16,3% 16 18,6%
38-47 10 11,7% 18 20,9%
>47 2 2,3% 5 5,8%
Total 33 38,4% 53 61,6%
Tabel 2 Hubungan antara Indeks Masa
Tubuh (IMT) dengan Premenstrual
Syndrome (PMS)
IMT Diatas
Normal IMT Normal
F % F %
PMS 25 29,0% 5 5,8%
Tidak
PMS 17 19,7% 39 45,3%
Jumlah 42 48,7% 44 51,1%
Pada tabel 2 didapatkan bahwa
wanita dengan IMT diatas normal
yang mengalami PMS adalah sebanyak
25 sampel (29,0%), sedangkan wanita
dengan IMT diatas normal yang tidak
mengalami PMS adalah sebanyak 17
sampel (19,7%). Wanita dengan IMT
normal yang mengalami PMS ada
sebanyak 5 sampel (5,8%), sedangkan
wanita dengan IMT normal yang tidak
mengalami PMS ada sebanyak 39
orang (51,1%).
Tabel 3 Hasil Uji Korelasi Spearman
IMT
diatas
Normal
IMT
Normal Total p r
F F
PMS 25 5 30
0,000 0,448 Tidak
PMS 17 39 56
Tabel 3 menunjukkan hasil
analisis data menggunakan uji korelasi
Spearman maka didapatkan hasil p = <
0,05 yang berarti terdapat hubungan
antara Indeks Massa Tubuh (IMT)
diatas normal dengan kejadian
premenstrual syndrome (PMS).
Kemudian didapatkan juga kekuatan
dua variabel yang diukur adalah
“sedang” yang ditunjukkan dengan
nilai r = 0,448 dengan arah korelasi
positif (+) yang berarti searah.
Pembahasan
Tabel 1 menunjukkan bahwa
distribusi responden terbagi mejadi
beberapa rentang usia. Wanita yang
mengalami PMS dalam rentang usia
18-27 ada sebanyak 7 orang, dalam
rentang usis 28-37 ada sebanyak 14
orang, dalam rentang usia 38-47 tahun
ada sebanyak 10 orang dan usia diatas
47 tahun ada 2 orang. Sedangkan
wanita yang tidak mengalami PMS
dalam rentang usia 18-27 tahun ada
sebanyak 14 orang, dalam rentang usis
28-37 ada sebanyak 16 orang, dalam
rentang usia 38-47 ada sebanyak 18
orang dan usia diatas 47 tahun ada
sebanyak 5 orang. Hal ini memperkuat
pendapat Moreno (2009) bahwa PMS
cenderung banyak dialami oleh wanita
pada dekade kedua sampai keempat.
Berdasarkan tabel 2 didapatkan
bahwa wanita dengan IMT diatas
normal yang mengalami PMS adalah
sebanyak 25 sampel (29,0%),
sedangkan wanita dengan IMT diatas
normal yang tidak mengalami PMS
adalah sebanyak (19,7%). Kemudian
didapatkan juga data wanita dengan
IMT normal yang mengalami PMS
adalah sebanyak 5 sampel (5,8%),
sedangkan wanita dengan IMT normal
yang tidak mengalami PMS adalah
sebanyak 39 sampel (45,3%). Disini
wanita dengan IMT diatas normal
yang mengalami PMS jumlahnya lebih
banyak daripada wanita dengan IMT
diatas normal yang tidak mengalami
PMS. Wanita dengan IMT normal
yang tidak mengalami PMS jumlahnya
lebih banyak daripada wanita dengan
IMT normal yang tidak mengalami
PMS. Berdasarkan teori yang telah
dijabarkan, hal ini disebabkan karena
wanita yang memiliki IMT lebih tinggi
cenderung akan memproduksi hormon
estrogen yang lebih tinggi pula
sehingga akan menimbulkan gejala-
gejala PMS (Supriyono, 2003).
Pada tabel 3 didapatkan hasil
berdasarkan uji korelasi Spearman
yang menunjukkan P < 0,05 maka
hipotesis peneliti terbukti bahwa
terdapat hubungan yang bermakna
antara Indeks Massa Tubuh (IMT)
diatas normal terhadap premenstrual
syndrome pada wanita usia reproduktif
di Kelurahan Loa Ipuh Kabupaten
Kutai Kartanegara. Hal ini sesuai
dengan teori yang di kepustakaan yang
menjelaskan bahwa semakin tinggi
kadar lemak akan semakin meningkat
pula produksi hormon estrogen yang
bisa menimbulkan gejala-gejala PMS
pada wanita dengan IMT diatas normal
baik overweight maupun obesitas
(Supriyono, 2003).
Pada orang dengan berat badan
berlebih terutama obesitas maka
kolesterol akan cenderung meningkat
yang disebabkan oleh gangguan
regulasi asam lemak dan ester
kolesterol. Sumber pembuatan hormon
steroid adalah kolesterol yang berasal
dari diet yang dibawa LDL dalam
pembuluh darah. Maka seiring dengan
meningkatnya IMT yang menunjukkan
presentasi lemak tubuh akan
meningkat pula produksi hormon
steroid estrogen (Harahap, 2012).
Hormon insulin juga ikut
berperan dalam hubungan antara IMT
dan PMS. Presentase lemak dalam
tubuh yang mengakibatkan perubahan
sensitivitas dan sekresi insulin
sehingga kadar insulin dalam darah
jadi meningkat. Kadar insulin yang
meningkat ini secara langsung
menurunkan sex-hormone binding
globulin (SHBG) dimana SHBG ini
berfungsi untuk menekan hormon
androgen. Jika SHBG turun maka
fungsinya untuk menekan androgen
juga turun, yang mengakibatkan kadar
androgen dalam tubuh akan tinggi
sehingga akan timbul gejala-gelaja
PMS (Supriyono, 2003).
Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Supriyono yang mana penelitiannya
menghasilkan kesimpulan bahwa
wanita dengan IMT berlebih
cenderung akan mengalami PMS,
dibuktikan dengan mempunyai resiko
43,432 kali terjadi PMS, sedangkan
berat badan normal cenderung
mempunyai proteksi terhadap kejadian
PMS (Supriyono, 2003).
Kekurangan penelitian ini
adalah pada pengambilan sampel yang
hanya pada sekelompok wanita usia
reproduktif sehingga kurang bisa
mewakili populasi wanita usia
reproduktif yang ada.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian,
dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna
antara Indeks Massa Tubuh (IMT)
diatas normal terhadap kejadian
premenstrual syndrome di Kelurahan
Loa Ipuh Kabupaten Kutrai
Kartanegara Provinsi Kalimantan
Timur.
Daftar Pustaka
Allen, S. 1991. The Shortened
Premenstrual Assessment
Form. J Reprod Med. Vol 36
(11): 769-72.
Bekele, L.M., Tolossa, F.W. 2014.
Prevalence, Impacts and
Medical Managements of
Premenstrual Syndrome
Among Female Students:
Cross-Sectonal Studies in
College of Health Science,
Mekelle University, Makelle,
Northern Ethiopia. BMC
Women’s Health. 14:52 Pp 2-
9.
Bloch, Miki., Schmidt, P.J., Rubinow,
D.R. 1997. Premenstrual
Syndrome, Evidence for
Symptom Stability Across
Cycles. The American
Journal of Pshchiatry.
CDC. 2009. Body Mass Index:
Considerations for
Practitioners.
http://www.cdc.gov/obesity/do
wnloads/bmiforpactitioners.p
df. Diakses tanggal 1
September 2014.
CORE, 2007. Body Mass Index: BMI
Calculator.
http://www.core.monash.org/
bmi-calculator.html. Diakses
tanggal 1 September 2014.
Dahlan, M. S. 2013. Besar Sampel dan
Cara pengambilan Sampel
Dalam Penlitian Kedokteran
dan Kesehatan. Jakarta:
Salemba Medika. Pp: 35-76
Dahlan, M. S. 2013. Statistik untuk
Kedokteran dan Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika. Pp:
10-22.
Dickerson L.M., Pharm D., Mazyck
P.J., Hunter M.H. 2003.
Premenstrual syndrome.
AAFP. 67 : Pp 1743-52.
Dorland, W.A.N. 2007. Kamus
Kedokteran Dorland. 29th ed.
Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Pp: 1051,
2147.
Elvira, S.D. 2012. Sindrom
Pramenstruasi, Normalkah?.
Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Garcia, L., N, P., Ascaso, C., T, A.,
Aguado, J., Gelabert, E.,
Santon, R.M. 2008. Family
Caregiver Role and
Premenstrual Syndrome as
Associated Factors for
Postnatal Depression. Arch
Womans Ment-Health.
Guyton, A. C., Hall, J. E. 2011. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran.
Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hapsari, B. D.A. 2010. Pengaruh
Hipertensi Primer terhadap
Timbulnya Premenstrual
Syndrome pada Wanita di
Kelurahan Jati Kecamatan
Jaten Karanganyar.
eprints.uns.ac.id/22/1/170302
311201011291.pdf. Diakses
tanggal 10 September 2014.
Hirokawa, K. 2011. Premenstrual
Symptomps in Young
Japanese Women Agency,
Communion and Lifestyle
Habits.
Idapola, S. S.J. 2009. Hubungan
Indeks Massa tubuh dengan
Biokimia Darah pada
Karyawan PT. Asuransi Jiwa
Bumi Asih Jaya Jakarta.
http://lib.ui.ac.id/file?file=dig
ital/126760-S-5637-
Hubungan%20indeks-HA.pdf.
Diakses tanggal 28 September
2014.
Inoue, Y., Terao, T., Iwata, N.,
Okamoto, K., Kojima, H.,
Okamoto, T., Yoshimura, R.,
Nakamura, J. 2007.
Fluctuating Serotonergic
Function in Premenstrual
Dysphoric Disorder and
Premenstrual Syndrome:
Findings from
Neuroendocrine Challenge
Tests. Department of
Psychiatry, University of
Occupational and
Environmental Health Japan.
Johson, E.R.B., Hankinson, S.E.,
Forger, N.G., Powers, S.I.,
Willet, W.C., Johson, S.R.,
Manson, J.E. 2014. Plasma
25-hydroxyvitamin D and
Risk of Premenstrual
Syndrome in a Prospective
Cohort Study. BMC Woman’s
Health.
Lestari, T. 2013. Hubungan Aktifitas
Olahraga Remaja dengan
Kejadian Premenstrual
Syndrome pada Siswi MAN 1
Bukit Tinggi. Prima
Nusantara Jounals.
Moran, L.J., Norman, R.J,. 2002. The
Obese Patient with Infertility:
a practical Approach to
Diagnosis and Treatment.
Nutr Clin Care. Pp: 290– 97.
Moreno, AM., Giesel, A.E., Alderman,
E., Wolfram, W. 2009.
Premenstrual Syndrome:
Treatment and Management.
http://emedicine.medscape.co
m/article/953696-treatment.
Diakses tanggal 30 September
2014.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi
Penelitian Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta. Pp
124-130.
Oliver, K.L., Davies, G.J. 2005. Diet,
Lifestyle Factors and
Symptoms of Premenstrual
Syndrome. Nutrition and
Food Science. Pp: 330
Pilver, S., Levy, B.R., Libby, D.J.,
Desai, R.A. 2011. Post
Traumatic Stress Disorder
and Trauma Characteristics
are Correlates of
Premenstrual Dysphoric
Disorder. Arc Womans Ment
Health.
Pujiastuti, A. 2007. Pengaruh
Premenstrual Syndrome
terhadap Produktivitas
Tenaga Kerja Wanita di
Pabrik Korek Api Pematang
Siantar. Tesis.
http://repository.usu.ac.id/bits
tream/123456789/7037/1/050
710002.pdf. Diakses tanggal 9
September 2014.
Puspitorini, M.D., Hakimi,
Mohammad., Emilia, Ova.
2007. Obesitas Sebagai
Faktor Resiko Terjadinya
Premenstrual Syndrome pada
Mahasiswa Akademi
Kebidanan Pemerintah
Kabupaten Kudus. Berita
Kedokteran Masyarakat.
Riskesdas, 2010. Riset Kesehatan
Dasar.
http://www.riskesdas.litbang.
depkes.go.id/download/Tabel
Riskesdas2010.pdf. Jakarta:
Badana Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Kementrian RI
Ristianingrum, I., Rahmawati, I.,
Rujito., L. 2010. Hubngan
Antara Indeks Massa Tubuh
(IMT) dengan Tes Fungsi
Paru. Mandala of
Health.Vol.4:2 Pp 105-6.
Rosenfeld, R., Livne, D., Nevo, O.,
Dayan, L., Milloul, V., Lavi,
S., Jacob, G. 2008. Hormonal
and Volume Dysregulation in
Woman with Premenstrual
Syndrome. Pubmed US
National Library of Medicine
National Institute od Healt.
Pp: 1225-30.
Sassoon, S.A., Colrain, I. M., Baker, F.
C. 2011. Personality
Disorders in Woman with
Severe Premenstrual
Syndrome. Arch Woman
Mental Health.
Seedhom A.M., Mohammed E.S.,
Mahfouz E.M. 2013. Life
Style Factors Associated with
Premenstrual Syndrome
among El-Minia University
Students, Egypt. ISRN Public
Health Journals. Vol 13: Pp
1-3.
Siswanto., S., Suyanto. 2014.
Metodologi Penelitian
Kesehatan dan Kedokteran.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Pp:231-32.
Stang. 2014. Cara Praktis: Penentuan
Uji Statistik dalam Penelitian
Kesehatan dan Kedokteran.
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Pp: 1-11
Steiner, M. 2000. Premenstrual
Syndrome and Premenstrual
Dysphoric Disorder:
Giudelines for Management.
Journal of Psychiatry and
Neuroscience.
Sctheingart, D. E. 2007. Patofisiologi
Konsep Klinis dan Proses-
Proses Penyakit Volume 2. 6th
ed. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC. Pp: 1279-83.
Suparman, E. 2011. Premenstrual
Syndrome. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Supriyono, B. 2003. Hubungan Indeks
Massa Tubuh dengan
Sindroma Prahaid. Tesis.
http://eprints.undip.ac.id/122
80/1/2003FK140110342.pdf.
Diakses tanggal 9 September
2014.
Tschudin, S., Bertea, PC., Zemp, E.
2010. Prevalence and
Predictors of Premenstrual
Syndrome and Premenstrual
Dysphoric Disorder in a
Population-Based Sample.
Arch Womens Met-Health.
Wahyuningsih, N. A.S. 2009.
Hubungan Obesitas dengan
Osteoartritis Lutut pada
Lansia di Kelurahan
Pucangsawit Kecamatan
Jebres Surakarta.
http://eprints.uns.ac.id/8368/1
/144851308201011141.pdf.
Diakses tanggal 23 Agustus
2014.
Winkel, S., Einsle, F., Wittchen, H.U.,
Martini, J. 2013. Premenstrual
Symptomps are Associated
with Psychological and
Physical Symptoms in Early
Pregnancy. Arch Womens
Ment-Health
WHO. 2003. Obesity: Preventing and
Managing the Global
Epidemic, Report of a WHO
Consultation (WHO
Technical Report Series 894).
http://www.who.int/nutrition/
publications/obesity/WHO_T
RS_894/en/. Diakses tanggal
9 September 2014.