Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
1
I
PENGERTIAN KONTRAK
Pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat
para pihak dalam kontrak. Esensi dari kontrak itu sendiri adalah perjanjian (agreement).
Atas dasar itu, Subekti1 mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang
berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu.
Janji sendiri merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang
lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan
suatu perbuatan tertentu.2 Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan
kepada pihak lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang
yang harus dipenuhi.3
Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji.
Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk
menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada
akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.4 Berlainan dengan itu, di dalam berbagai
definisi kontrak di dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi
serangkaian janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah
janji yang memiliki akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut
ke pengadilan.5
Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau persetujuan. Hal tersebut secara
jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni “Perikatan yang Lahir dari
Kontrak atau Persetujuan.”
1 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984, hlm 36. 2 A.G. Guest, (ed), Anson’s Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, 1979, hlm 2 3J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995, hlm 146. 4 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 110 5 Lihat A.G. Guest, loc. cit.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
2
Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan
yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang
lain. Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan
tersebut di bawah ini. 3
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada
perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.” Mengingat
kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan dirubah menjadi: atau di mana
kedua belah pihak saling mengikatkan diri.6
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat
mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena
perbuatan manusia dan sebagai akibatnya timbul suatu perikatan, yakni adanya
kewajiban untuk melakukan transaksi tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak
yang dirugikan perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari
perjanjian.7perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau perkawinan pun berdasarkan
rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dapat digolongkan sebagai
perjanjian.8
J. Satrio juga membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti
luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai
yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya
perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya
ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan perkawinan
saja sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.9
Untuk memperbaiki kelemahan definisi di atas, Pasal 6.213.I Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu
6 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1955, hlm 27 7 Ibid, hlm 24 8 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 18. 9 J. Satrio, op. cit,…Buku I, , hlm 28-30
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
3
perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada
satu orang atau lebih di mana keduanya saling mengikatkan dirinya.10
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak
adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang
memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang berwenang-dan dibuat bersesuaian dan
harus ada ungkapan niat dari satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling
bergantung satu sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan
akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.11
Kontrak merupakan golongan dari ‘perbuatan hukum’, perbuatan hukum yang
dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya
niat dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa
perbuatan hukum adalah kontrak.12
Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan
bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan
karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang
diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak
yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.13
Untuk menyesuaikan rumusan kalimat bahwa suatu kesepakatan haruslah
interdependent. Satu pihak akan setuju karena atau jika pihak lain setuju pula. Tanpa
adanya ketergantungan (interdependent) maka tidak ada kesepakatan (consent);
contohnya ketika dalam rapat pemilihan badan direksi suatu perusahaan, pemilihan ini
dipilih dengan persetujuan secara umum, hal ini bukan merupakan kontrak karena tidak
ada mutual interdependence.14
10P.P.P Haanappel and Ejan Mackaay menterjemahkannya dalam bahasa Inggris sebagai
berikut: “A contract in this sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties
assume an obligation toward one or more other parties”. Lihat P.P.P Haanappel and Ejan Mackaay,
Nieuw Nderlands Burgerlijk Wetbeek, Het Vermorgenrechts, Kluwer, Deventer, 1990, hlm 325 11 Arthur S. Hartkamp and Marianne M.M. Tillema, Contract Law in Netherlands, Kluwer Law
International, The Hague, London, Boston, 1995, hlm 33. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
4
Niat para pihak harus bertujuan untuk menciptakan adanya akibat hukum.
Terdapat banyak perjanjian yang menimbulkan kewajiban sosial atau kewajiban moral,
tetapi tidak mempunyai akibat hukum. Contohnya, janji untuk pergi ke bioskop tidak
menimbulkan akibat hukum, walaupun ada beberapa yang dapat menimbulkan akibat
hukum dalam situasi khusus tertentu. Maksud para pihak untuk mengadakan hubungan
hukum sangatlah menentukan dalam kasus ini.15
Pada akhirnya, akibat hukum harus dihasilkan untuk kepentingan satu pihak
dan pihak lainnya, atau, untuk kepentingan kedua belah pihak. Dalam Peraturan Umum
Hukum Kontrak Belanda menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak hanya dapat
untuk mengadakan perikatan terhadap satu sama lain.16
Di dalam sistem common law ada pembedaan antara contract dan agreement.
Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreements adalah kontrak.17
American Restatement of Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai ‘a promise
or set of promises for the breach of which the law give a remedy or the performance of
which the law in some way recognized a duty.’18
Salah satu kelemahan dari pengertian kontrak yang disebutkan dalam American
Restatement adalah tidak adanya elemen persetujuan (bargain) dalam kontrak. Tidak
adanya indikasi yang dibuat dalam definisi tersebut di atas adalah merupakan suatu ciri
khas perjanjian dua belah pihak (two-sided affair), sesuatu yang sedang dijanjikan atau
dilaksanakan dalam satu sisi merupakan pengganti untuk sesuatu yang sedang dijanjikan
atau dilaksanakan dalam sisi yang lain. Kemudian, berdasarkan pengertian di atas,
bahwa kontrak secara sederhana dapat menjadi ‘suatu janji’. Hal ini berarti untuk
melihat fakta yang secara umum merupakan beberapa tindakan atau janji yang diberikan
sebagai pengganti untuk janji yang lain sebelum janji itu menjadi sebuah kontrak. Di
samping itu, kontrak juga dapat merupakan’ serangkaian janji’. Hal ini tidak
memberikan indikasi bahwa beberapa janji biasanya diberikan sebagai pengganti untuk
15 Ibid. 16 Ibid, hlm 34. 17 Walter Woon, Basic Business Law in Singapore, Prentice Hall, New York, 1995, hlm 27 18 Ronald A. Anderson, Business Law, South-Western Publishing Co, Cincinnati, Ohio, 1987,
hlm 186.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
5
janji yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut bisa saja salah untuk mengasumsikan bahwa
semua kontrak adalah persetujuan asli di mana di satu sisi suatu hal yang ditawarkan
untuk suatu hal lain yang memiliki nilai sama dengan yang lainnya. Faktanya, seperti
yang kita lihat, ada beberapa kasus di mana sebuah janji diperlakukan sebagai pemikiran
kontraktual yang tidak ada persetujuan (bargain) yang nyata.19
Beberapa pengertian kontrak yang lain masih memiliki arti yang sama, tetapi
ada satu pengertian yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh Pollock yang
mendefinisikan kontrak sebagai ‘suatu janji di mana hukum dapat diberlakukan baginya’
(promises which the law will enforce).20
Substansi dari definisi-definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement
atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan
atau kewajiban yang memiliki kekuatan hukum.21
19 P. S. Atiyah, An Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press Oxford, 1981, hlm
29. 20 Ibid, hlm 28. 21 Ronald A. Anderson, loc.cit
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
6
II
SYARAT SAHNYA KONTRAK
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Adanya Kata Sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal
yang terdapat di dalam perjanjian.22 Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau
persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan
memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati.23
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anta pihak-pihak.
Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak
yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).24 Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk
menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam
berbagai cara, yaitu:
a. Secara lisan
b. Tertulis
c. Dengan tanda
d. Dengan simbol
e. Dengan diam-diam
22 Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm
76. 23 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1955, hlm 164. 24 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 24.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
7
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perjanjian, Mariam Darus
Badrulzaman mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian tersebut,
yaitu: 25
a. Teori kehendak of will (wilstheorie)
Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima
dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
b. Teori Pengiriman (verzentheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu
dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa
tawarannya sudah diterima; dan
d. Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap
layak diterima oleh pihak yang menawarkan .
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau kata sepakat dianggap
tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini:
a. Paksaan (dwang)
Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan
kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan
atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan
penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu
setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihak lain memberikan hak,
kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman
kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan
yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang
dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang,
25 Ibid
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
8
seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam
keadaan takut, dan lain-lain.26
Menurut Sudargo,27 paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental.
Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan
terhadapnya. Akan tetapi jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu
tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak
diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu
paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh
terhadap seseorang yang mempunyai kelainan mental.
b. Penipuan (Bedrog)
Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Pasal 1328
KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan
perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan
yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu,
sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang
seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan
gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain.
Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada
serangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkaian cerita yang
tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu.28
Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang
dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai
maksud untuk menipu pihak lain dan membuat mereka menandatangani perjanjian itu.
Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini harus disertai
dengan tindakan yang menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau
atas nama pihak dalam kontrak, seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah
26 See John D. Calamari and Joseph M. Perillo, Contracts, Second Edition, West Publishing
Co., 1977, hlm 262-264. 27 Sudargo Gautama, loc. cit 28 Read J. Satrio, op.cit, ….. Buku I, hlm 350-355.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
9
mempunyai maksud atau niat untuk menipu, dan tindakan itu harus merupakan tindakan
yang mempunyai maksud jahat – contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin
(kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu
benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan
hanya merupakan kelalaian belaka). Selain itu tindakan tersebut haruslah berjalan secara
alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya
unsur penipuan.29
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4
(empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus
kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum
perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani
perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.30
Kontrak yang mempunyai unsur penipuan di dalamnya tidak membuat kontrak
tersebut batal demi hukum (null and void) melainkan kontrak tersebut hanya dapat
dibatalkan (voidable). Hal ini berarti selama pihak yang dirugikan tidak menuntut ke
pengadilan yang berwenang maka kontrak tersebut masih tetap sah.
c. Kesesatan atau Kekeliruan (Dwaling),
Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang
salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian. Ada 2 (dua) macam
kekeliruan, yang pertama yaitu error in persona, yaitu kekeliruan pada orangnya,
contohnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis yang terkenal tetapi kemudian
perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai
nama yang sama. Yang kedua adalah error in substantia yaitu kekeliruan yang berkaitan
dengan karakteristik suatu benda, contohnya seseorang yang membeli lukisan Basuki
Abdullah tetapi kemudian setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan
yang dibelinya tadi adalah lukisan tiruan dari lukisan Basuki Abdullah.31
29 Sudargo Gautama, op.cit, hlm 77. 30 Ibid. 31 Mariam Darus Badrulzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm 75.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
10
Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang
lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan
dalam hal mengidentifikasi subjek atau orangnya.32
d. Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheiden)
Penyalahgunaan Keadaan (Undue influence) merupakan suatu konsep
yang berasal dari nilai-nilai yang terdapat di pengadilan. Konsep ini sebagai landasan
untuk mengatur transaksi yang berat sebelah yang telah ditentukan sebelumnya oleh
pihak yang dominan kepada pihak yang lemah. Penyalahgunaan Keadaan ada ketika
pihak yang melakukan suatu perbuatan atau membuat perjanjian dengan cara di bawah
paksaan atau pengaruh terror yang ekstrim atau ancaman, atau paksaan penahanan
jangka pendek. Ada pihak yang menyatakan bahwa Penyalahgunaan Keadaan adalah
setiap pemaksaan yang tidak patut atau salah, akal bulus, atau bujukan dalam keadaan
yang mendesak, di mana kehendak seseorang tersebut memiliki kewenangan yang
berlebihan, dan pihak lain dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang tak ingin
dilakukan, atau akan berbuat sesuatu jika setelahnya dia akan merasa bebas.33
Secara umum ada dua macam penyalahgunaan keadaan yaitu: Pertama di mana
seseorang menggunakan posisi psikologis dominannya yang digunakan secara tidak adil
untuk menekan pihak yang lemah supaya mereka menyetujui sebuah perjanjian di mana
sebenarnya mereka tidak ingin menyetujuinya. Kedua, di mana seseorang menggunakan
wewenang kedudukan dan kepercayaannya yang digunakan secara tidak adil untuk
membujuk pihak lain untuk melakukan suatu transaksi. 34
Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang
mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja, pihak yang
merasakan telah memberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat
memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, 1321 KUHPerdata
menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau
32 Sudargo Gautama, loc.cit. 33 John D. Calamari and Joseph M. Perillo, op.cit, hlm 273. 34 Ibid, hlm 274.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
11
penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terdapat cacat pada kesepakatan antar
para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.
Persyaratan adanya kata sepakat dalam perjanjian tersebut di dalam sistem
hukum Common Law dikenal dengan istilah agreement atau assent. Section 23
American Restatement (second) menyatakan bahwa hal yang penting dalam suatu
transaksi adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan persetujuannya sesuai dengan
pernyataan pihak lawannya.
2. Kecakapan untuk Membuat perikatan
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian, yakni:
a. Orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age)
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
c. Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah
berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan
pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan
seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai
dia berusia 18 tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak
melakukan perbuatan hukum
3. Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een
bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
12
(determinable).35 Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai
suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling
sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).
Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut
sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit,
tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek
perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.
Secara umum, suatu hal tertentu dalam kontrak dapat berupa hak, jasa, benda
atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat ditentukan jenisnya
(determinable). Perjanjian untuk menjual sebuah lukisan yang belum dilukis adalah sah.
Akan tetapi, suatu kontrak dapat menjadi batal ketika batas waktu suatu kontrak telah
habis dan kontrak tersebut belum terpenuhi.36
J. Satrio menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu
dalam perjanjian adalah objek prestasi (performance). Isi prestasi tersebut harus tertentu
atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).37
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus
disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.38 Sebagai contohnya perjanjian
untuk ‘panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya’ adalah sah.
American Restatement Contract (second) section 33 menyatakan bahwa pokok
perjanjian (term) menyatakan bahwa walaupun suatu pernyataan dimaksudkan untuk
dianggap sebagai penawaran, hal ini belum dapat diterima langsung menjadi perjanjian,
bila pokok perjanjian itu tidak tentu.
Black Law Dictionary mendefinisikan term sebagai persyartan, kewajiban, hak,
harga, dan lain-lain yang ditetapkan dalam perjanjian dan dokumen. American
35 Sudargo Gautama, op.cit, hlm 79. 36 Ibid, hlm 80. 37 J. Satrio, op.cit,….Buku II, hlm 41. 38 Lihat Pasal 1333 KUHPerdata.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
13
Restatement Contract (second) Section 33 Sub 2 menjelaskan bahwa bila pokok
perjanjian itu mencakup dasar untuk menyatakan adanya wan prestasi dan untuk
memberikan ganti rugi yang layak.
4. Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal.
Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian
untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini
tidak sah.39
Menurut Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa
dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di
dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang
berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut
sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang
lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian
orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
jaman.40
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang jika bertentangan dengan
ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan
juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan.41 Di dalam konteks Hukum Perdata
39 Sudargo Gautama, op.cit, hlm 80. 40 J. Satrio, op.cit,…Buku II, hlm 109. 41 Ibid, hlm 41.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
14
internasional (HPI), ketertiban umum dap[at dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas
hukum suatu negara.42
Kausa hukum yang halal di dalam sistem Common Law dikenal dengan istilah
legality yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak (illegal)
jika bertentangan dengan public policy. Walaupun, sampai sekarang belum ada definisi
public policy yang diterima secara luas, pengadilan memutuskan bahwa suatu kontrak
bertentangan dengan public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau
mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare)43
Syarat sahnya kontrak di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek
perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian dan
pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan
persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian dan pembatalan
untuk kedua syarat tersebut di atas adalah batal demi hukum (null and void).
Dapat dibatalkan (voidable) berarti bahwa selama perjanjian tersebut belum
diajukan pembatalannya ke pengadilan yang berwenang maka perjanjian tersebut masih
tetap sah, sedangkan batal demi hukum (null and void) berarti bahwa perjanjian sejak
pertama kali dibuat telah tidak sah, sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian
tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
42 Ridwan Khairandy, et.al, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII-Gamma Media, Yogyakarta, 1999, hlm 90. 43 Henry R. Cheseeman, op.cit, hlm 205.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
17
III
ASAS-ASAS KONTRAK
Henry P. Panggabean menyatakan bahwa pengkajian asas-asas perjanjian
memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang-undang mengenai
sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-
undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan
dengan masalah tersebut.45
Nieuwenhuis menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan
hukum (rechtsgels) sebagai berikut:46
1. Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak
hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan
suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
2. Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance.
Asas-asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya
menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena
menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang
mengekang, sehingga ada keseimbangan.
Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III
KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts
atau optional law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau
tidak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut.
Di dalam perjanjian, para pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari
ketentuan Buku III KUHPerdata.
45 Henry P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden)
sebagal Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda),
Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 7. 46 Ibid.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
18
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk
melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya;
2. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah
pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
3. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Ada beberapa asas hukum perjanjian yang dikandung Pasal 1338
KUHPerdata sebagai berikut:
1. Asas konsensualisme;
2. Asas facta sunt servanda;
3. Asas kebebasan berkontrak; dan
4. Asas iktikad baik.
Sudikno Mertokusumo mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci
sebagai berikut:47
1. Asas konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan
lahirnya suatu perjanjian);
2. Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat
perjanjian; dan
3. Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).
Asas yang sama juga dikemukakan Ridwan Khairandy. Menurut Ridwan
hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu
dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:48
1. Asas konsensualisme (the principle of consensualism);
2. Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3. Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
47 Ibid. 48 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 27.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
19
Berbeda dengan uraian di atas, Nieuwenhuis mengajukan tiga asas
perjanjian yang lain, yakni:
1. asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang
mereka pilih (asas kemauan bebas);
2. asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari perjanjian
itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
3. asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu
perjanjian untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah ada,
walaupun ada kebebasan berkontrak.
Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut di
atas, Nieuwenhuis memberikan penjelasan sebagai berikut:49
1. hubungan antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam keadaan
bahwa asas otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat perjanjian; dan
2. perbedaannya adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan kontraktual, asas
otonomi memainkan peranan dalam pembenaran mengenai ada tidaknya
keterikatan kontraktual. Suatu kekurangan dalam otonomi (tiadanya persetujuan
(toesteming), misbruik omstandigheiden) digunakan sebagai dasar untuk
pembenaran ketiadaan dan keterikatan kontraktual.
Menurut Henry P. Pangabean, perkembangan hukum perjanjian, misalnya
dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru)
Negeri Belanda. Perkembangan itu justeru menyangkut penerapan asas-asas hukum
perjanjian yang dikaitkan dengan praktik peradilan.50
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata,
khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut
Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada
49 Henry Panggabean, op.cit, hlm 8. 50 Ibid, hlm 9.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
20
asas kebebasan berkontrak.51 Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum
Indonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III
KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para
pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-
perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari
Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.52
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak sebagai berikut:53
1. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
3. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
4. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
6. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang
bersifat opsional (aanvullen, optional).
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam
berbagai sistem huk perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup
yang sama.54
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak
dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para
pihak sebagai undang-undang.
Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan
tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu
sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa
orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang
51 Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hlm 3. 52 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm 36. 53 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm 47.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
21
diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang.55
Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak.
Menurut Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak
cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian
jual beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah
(lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan
dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk
mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan
tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re).56
Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk
terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi
dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa
bentuk tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama
Nasrani yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap
dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum
Kanonik.57
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat
menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak
harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang.
Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai
adanya kedudukan posisi tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang
memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya.
Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti
kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah
atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak
54 Ibid. 55 Purwahid Patrik, op.cit, hlm 4. 56 Ibid. 57 Ibid.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
22
dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat
dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan
berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi
kondisi:
a. adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
b. kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. adanya objek tertentu; dan
d. ada kausa hukum yang halal.
Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga
dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian
Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal
dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi
terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa
hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:58
a. makin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada
pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian
dibuat; dan
b. makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam kontrak (misbruik
van omstandigheden, undue influence).
Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat
membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam
bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini
tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga
makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut
membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan
58 Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 3.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
23
mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat
ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang
sudah dikenal dalam hukum perjanjian.59 Contoh dari peraturan perundang-undangan
di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang-
Undang Konsumen.
3. Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-
pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan
telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang
membuat perjanjian tersebut.60
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber
kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau
konsensus para pihak yang membuat kontrak.61
4. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut
di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik
dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian
lahir prinsip pacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu
mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang
membuatnya.62
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling
berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual
tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak
tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak
59 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992,
hlm 179. 60 Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 27. 61 Ibid, hlm 82. 62 Ibid, hlm 28.
Hukum Kontrak Oleh
Ridwan Khairandy
24
secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah
yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar
kata sepakat.63
Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu
menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang
(pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan
menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya
perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang
pelaksanaannya wajib ditaati.64
63 Ibid, hlm 29. 64 Ibid.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
BELI SEWA1
A. Pengertian Perjanjian Beli Sewa
Prjanjian beli sewa berasal dari kata huurkop dalam bahasa Belanda atau hire
purchase dari bahasa Inggris). Para ahli berbeda pandangan tentang definisi atau
pengertian beli sewa, dari berbagai pandangan atau dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam
definisi yang membahas tentang beli sewa yaitu:
Definisi pertama berpendapat bahwa beli sewa sama dengan jual beli angsuran;
Definisi kedua berpendapat bahwa beli sewa sama dengan sewa menyewa; Definisi
ketiga berpendapat bahwa beli sewa sama dengan jual beli.
Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
34/KP/II/80 tentang perijinan beli sewa (hire purchase) jual beli dengan angsuran, dan
sewa (renting) disebutkan pengertian beli sewa. Beli sewa adalah jual beli barang
dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah
disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, suatu hak milik atas barang
tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh
pembeli kepada penjual.
Bila diperhatikan unsur atau elemen perjanjian beli sewa menurut keputusan
bersama tersebut adalah :
1. Adanya jual beli barang.
2. Penjualan dengan memperhitungkan setiap pembayaran.
3. Objek beli sewa diserahkan kepada pembeli.
4. Momentum peralihan hak milik setelah pelunasan terakhir.
Hire Purchase Act 1965 mengkonstruksikan beli sewa sebagai perjanjian sewa
menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya.
1 Naskah ini belum dilengkapi dengan catatan kaki. Belum ada editing baik bahasa maupun
substansi.
26
Menurut Wirjono Prodjodikoro beli sewa adalah pokoknya persetujuan
dinamakan sewa menyewa barang dengan akibat bahwa si penerima tidak menjadi
pemilik, melainkan pemakai belaka, baru kalau uang sewa telah dibayar, berjumlah
sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli yaitu barangnya
menjadi miliknya.
Berdasar definisi tersebut di atas, pengertian beli sewa dikonstruksikan sama
dengan perjanjian sewa menyewa barang, dalam arti bahwa si pembeli hanya pemakai
belaka, tetapi kalau harganya sama, maka si penyewa menjadi pembeli.
Definisi ketiga yang menyatakan bahwa beli sewa merupakan campuran jual
beli dan sewa menyewa. Pendapat ini dikemukakan oleh R. Soebekti. Menurut R.
Soebekti, beli sewa adalah sebenarnya suatu macam jual beli, setidak-tidaknya
mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran
keduanya dan karenanya diberi judul sewa menyewa.
Dengan demikian, beli sewa merupakan perjanjian jual beli, bukan konstruksi
sewa menyewa, dalam perjanjian beli sewa maka pembeli sewa hanya bertindak sebagai
penyewa belaka.
Sejak terjadinya kesepakatan barang itu dapat langsung menjadi hak milik dari
pembeli, kemudian barang tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain sebelum terjadinya
pelunasan terakhir, apabila barang tidak dialihkan oleh si pembeli sewa maka pembeli
sewa dapat digolongkan telah melakukan tindakan penggelapan barang.
Dengan demikian, dikatakan bahwa dalam undang-undang dihubungkan dengan
pendapat para ahli melihat beli sewa dalam konstruksi yuridis yang berbeda satu dengan
lainnya. Beli sewa merupakan gabungan dari 2 (dua) macam konstruksi hukum yaitu
konstruksi hukum sewa menyewa dan jual beli, apabila barang yang dijadikan objek beli
sewa tidak mampu dibayar oleh si pembeli sewa sebagaimana diperjanjikan, maka
barang itu dapat dibeli oleh penjual sewa.
B. Klausul-Klausul dalam Perjanjian Beli Sewa
Untuk lebih memahami makna perjanjian beli sewa harus dipelajari secara
mendalam apa saja klausul-klausul yang terdapat di dalam perjanjian (tertulis)-nya. Di
dalam perjanjian beli sewa terdapat beberapa klausul.
27
1. Klausula Penundaan Peralihan Hak
Dalam beli sewa, klausul penundaan peralihan hak, ini merupakan suatu
karakter utama, hal ini berhubungan langsung dengan proses peralihan hak milik. Dalam
proses peralihan hak milik tidak disyaratkan adanya suatu bentuk hukum, akan tetapi
peralihan hak milik tersebut berlangsung tanpa melalui proses apapun yaitu terjadi
dengan sendirinya. Hak milik beralih kepada pembeli bila ia telah memenuhi semua
kewajibannya berdasarkan persetujuan pembelian (uit hoofde van de
koopovereenkomst).
Saat peralihan hak milik dapat disepakati antara kedua belah pihak, dan dalam
praktek hak milik berakhir setelah pembayaran angsuran telah lunas.
Penyerahan barang biasanya dilakukan dengan suatu pernyataan saja, karena
barangnya sudah berada di dalam kekuasaan si pembeli dalam kedudukannya sebagai
penyewa cara penyerahan ini dinamakan traditio brevimanu.
2. Klausul Menggugurkan (Verval Clausule)
Pada umumnya syarat yang tercantum pada perjanjian beli sewa adalah syarat
menggugurkan atau jatuh tempo. Syarat ini merupakan akibat adanya syarat tentang hak
milik yang belum beralih kepada pembeli atau dengan kata lain adanya syarat
penundaan peralihan hak, sehingga keadaan demikian membawa akibat bahwa selama
masa pembayaran angsuran hak milik masih di tangan penjual.
Apabila pembeli tidak membayar sesuai kewajibannya penjual dapat menarik
kembali, karena status dari barang tersebut adalah sewa sehingga penjual dapat mudah
menarik kembali barangnya, keadaan ini merupakan ciri atau karakter beli sewa yaitu
syarat yang menggugurkan (verval clausule), dimana jika terjadi wan prestasi dari
pembeli, penjual dapat menarik barang dengan mudah karena status barang adalah sewa.
Adapun akibat dari perjanjian beli sewa, jika pembayaran macet maka
perjanjian menjadi putus dan penyewa harus mengembalikan barangnya sedangkan uang
pembayaran (angsuran) dalam jangka waktu tersebut tidak perlu dikembalikan baik
sebagian atau keseluruhan. Inilah yang disebut verval clausule atau syarat yang
menggugurkan.
28
Sebagai konsekuensi dari sewa menyewa, verval clausule tersebut masuk akal
(rasional). Pembayaran dalam jangka waktu sesuai dengan perjanjian sebagai tanda sewa
dan tanda ini berlaku sebanding dengan kenikmatan barang.
Pembayaran pembelian sebagai tanda sewa tidak dapat dilakukan, karena
kenikmatan barangnya tidak dapat dikembalikan.
Adanya verval clausule sangat merugikan penyewa atau pembeli, hal ini
disebabkan karena antara harga pembayaran dan kenikmatan tidak sebanding.
Bagi pihak penjual keadaan ini sangat menguntungkan, terutama jika angsuran
telah dibayar sampai pada waktu hampir selesai pembayaran terakhir.
3. Status uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual
Sepanjang pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran maka
uang tersebut telah dibayarkan kepada penjual apabila terjadi wanprestasi umumnya
tidak dikembalikan meskipun barang telah ditarik.
Dengan demikian status uang selama pembayaran angsuran dianggap hangus
atau hilang karena status barang sebagai barang yang disewa. Di lain pihak status uang
tersebut dapat dianggap pula sebagai uang ganti rugi pemakaian atas barang yang
dinikmati kegunaannya.
Apabila perjanjian beli sewa dikonstruksikan sebagai perjanjian jual beli, maka
sudah tentu status uang tersebut sebagai uang pembayaran atas pembelian barang objek
perjanjian tersebut. Dengan demikian uang yang telah dibayarkan sebelumnya
diperhitungkan sebagai pembayaran barang namun oleh karena ternyata uang yang
sudah dibayarkan adalah sebagai uang sewa, maka dengan demikian uang tersebut
dianggap hangus dan tidak dapat diminta baik untuk sebagian maupun seluruhnya.
Hal yang seperti ini dipandang sangat kurang memenuhi rasa keadilan karena
terlalu menguntungkan pihak penjual, sedangkan pihak pembeli sangat dirugikan.
Oleh karena itu, sebaiknya klausula yang mengenai status uang yang seperti ini
hendaknya ditiadakan, agar tidak semata-mata merugikan pihak pembeli.
Bagi penjual klausula tersebut dipandang sebagai perlindungan yang sangat
efektif, sebab jika status barang dalam perjanjian tidak sebagai sewa, maka penjual
sudah tidak mempunyai kekuasaan apapun terhadap barang atau dengan perkataan lain
29
penjual tidak memiliki hak istimewa (privilege) sebagaimana diatur dalam pasal 1144
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penjual barang-barang bergerak yang masih
belum dibayarkan, dapat melaksanakan hak istimewanya atas harga pembelian barang-
barang itu, jika barang-barangnya berada di tangan si berutang tidak peduli apakah ia
menjual barang-barang itu dengan penundaan waktu atau dengan tunai.
4. Klausul Larangan Memindahtangankan Objek Perjanjian (verreemdigs clausule)
Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih ada
ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik, oleh
karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa mengangsur,
pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau memindahtangankan barang (objek
perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindahtanganan objek perjanjian beli sewa
selama masa angsuran, maka dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu di dalam
masa angsuran pembeli juga diwajibkan untuk memelihara barang yang dibelinya dan
tidak boleh menyalahgunakannya ataupun mengubahnya.
Pitlo dalam salah satu bukunya memberikan pengertian tentang beli sewa atau
(huurkop), dia menyatakan bahwa beli sewa adalah salah satu bentuk pembelian dengan
pembayaran angsuran, dimana para pihak bersepakat bahwa si penjual membatasi hak
kepemilikan (walaupun sebenarnya hak milik berpindah). Pembatasan ini dapat dibuat
sampai sebelum waktu lunasnya pembayaran angsuran umpamanya sebagian dari harga
penjualan dilunasi.
Pitlo menegaskan pendapatnya bahwa untuk sahnya suatu pranata beli sewa
(huur koop) maka diperlukan sebuah akta, baik akta otentik maupun akta di bawah
tangan, tanpa akta semacam ini tidak dapat dibatalkan beli sewa, tetapi pembelian
dengan pembayaran cicilan atau jual beli dengan angsuran (koop op afbetaling). Apabila
kemudian ada perubahan atas isi akta berdasarkan kesepakatan keduabelah pihak, maka
perubahan tersebut harus pula diadakan dengan akta.
Jika perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan, maka akta atas permintaan
pembeli tersebut harus dibuat rangkap dua dan satu eksemplar diserahkan kepada
pembeli. Bilamana tidak dibuat rangkap dua, maka penjual harus menyerahkan copy
yang otentik atau copy yang ditandatangani oleh penjual.
30
5. Klausul Pemeliharaan
Dalam kurun waktu pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk
memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya.
Selama keadaan pembayaran angsuran pembeli dapat menggunakan objek
perjanjian dan tidak menyewakan kepada orang lain. Selain itu si pembeli bertanggung
jawab atas keselamatan barang objek perjanjian.
Bila suatu ketika barang yang sudah berada dalam penguasaan pembeli, musnah
atau hilang maka penjual tetap mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas barang
tersebut. Jika si pembeli tidak mau membayar angsuran dengan alasan barangnya sudah
tidak ada lagi, tentu si penjual berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dengan dasar
wanprestasi.
6. Klausul Risiko
Dalam perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak
penandatanganan kontrak, sehingga disyaratkan bahwa risiko ada pada pembeli. Dalam
kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan hak sehingga pembeli
pada saat itu belum menjadi pemilik. Dengan ketentuan adanya suatu syarat penundaan
peralihan hak, sehingga dengan demikian seharusnya risiko tentunya ada pada pemilik,
sesuai dengan asas bahwa risiko ada pada pemilik, tetapi umumnya dalam perjanjian
beli sewa risiko dibebankan kepada pembeli sejak saat penandatanganan perjanjian.
Umumnya dalam perjanjian beli sewa dalam point-point yang tertuang dalam
akta selalu disebutkan bahwa risiko ada pada pihak pembeli, karena hal tersebut sangat
rasional karena sejak penandatanganan perjanjian barang sudah diserahkan kepada
pembeli sekaligus berada dalam penguasaannya.
Apabila risiko dibebankan kepada penjual dengan alasan hak milik masih di
tangannya selama masa mengangsur, sedangkan barang telah di tangan pembeli,
keadaan yang demikian tentunya dapat menimbulkan kerugian pada penjual, apabila
pembeli kurang memperhatikan terhadap barang, dengan kurang pemeliharaan atau
perawatan mengakibatkan barang menjadi rusak keadaan demikian dianggap bahwa hal
tersebut sudah memberikan keuntungan bagi pembeli. Selain itu bila risiko dibebankan
kepada si penjual hal ini dapat memberikan kesempatan pada pembeli untuk bertindak
31
sesuka hati kepada barang atau dengan kata lain pengalihan risiko dapat mengakibatkan
rasa tanggung jawab atas pemeliharaan dan perawatan barang menjadi berkurang,
sedangkan bila risiko dibebankan kepada pembeli tentu ia akan penuh tanggung jawab
dan kehati-hatian dalam pemeliharaan dan perawatan barang tersebut.
C. Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak dalam Perjanjian Beli Sewa Kendaraan
Bermotor
Dari realita menunjukkan bahwa di dalam perjanjian yang memakai judul beli
sewa, jual beli angsuran, perjanjian kredit, ternyata hak dan kewajiban para pihak tidak
seimbang, dalam arti bahwa beberapa ketentuan menguntungkan kepada para pihak
pemilik atau penjual, umpamanya berkaitan dengan klausul jatuh tempo, penyerahan hak
gaji/upah, kewajiban membayar sekaligus, percepatan pembayaran, denda keterlambatan
pembayaran, asuransi pengambilan kembali barang oleh penjual, kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali, kekuatan perjanjian, pengakhiran perjanjian tanpa putusan hakim.
1. Klausul “Jatuh Tempo” atau Menggugurkan (Verval Clausule).
Salah satu ciri atau karakter dari perjanjian beli sewa yang menonjol selain
adanya penundaan peralihan hak adalah “klausul jatuh tempo atau menggugurkan
(Verval Clausule)” syarat ini sesungguhnya timbul akibat dari adanya karakter utama
dari beli sewa yaitu syarat penundaan peralihan hak.
Dalam kondisi hak milik masih ditangan penjual meskipun barang sudah beralih
ke tangan pembeli mengakibatkan status barang selama masa pembayaran angsuran
dianggap sebagai “sewa”. Keadaan demikian memberi peluang bagi pihak penjual untuk
melindungi diri sebagai pengamanan. Apabila terjadi manipulasi dari pembeli misalnya
pembeli tidak melaksanakan pembayaran angsuran sesuai dengan apa yang
diperjanjikan, oleh karena itu keadaan ini dipergunakan penjual untuk membuat syarat
“dapat menarik barang objek perjanjian” yang berakibat pula terhadap uang yang telah
dibayarkan sebelumnya.
Hampir semua perjanjian beli sewa mencantumkan klausul tentang jatuh tempo
tersebut. Klausul ini sehubungan dengan ketidakmampuan pembeli untuk melakukan
pembayaran angsuran tepat pada waktunya sebagaimana diperjanjikan. Pihak penjual
32
atau kreditur dapat menarik kendaraan dari tangan pembeli tanpa memperhatikan sebab
musabab keterlambatan pembayaran angsuran oleh debitur dan seketika itu pula kreditur
dapat membatalkan perjanjian.
Klausul atau syarat menggugurkan ini dianggap merupakan syarat yang tidak
seimbang, karena hanya menguntungkan pihak kreditur dan tidak pada debitur, hal ini
merupakan syarat yang tidak memberikan gambaran adanya bargaining power yang
sama bagi para pihak dan dapat dikatakan bahwa syarat menggugurkan ini merupakan
syarat yang tidak seimbang.
Adapun bunyi klausul jatuh tempo atau menggugurkan tersebut umpamanya
dalam perjanjian yang dibuat oleh PT.Sakura Motor sebagai berikut :
Pasal IV. “Dengan tidak disepakatinya pelaksanaan pembayaran sesuai dengan
tanggal jatuh waktu angsuran sewa pada pasal II di atas, telah cukup
membuktikan pihak kedua dalam keadaan lalai/wanprestasi, tanpa memerlukan
teguran terlebih dahulu dari pihak pertama, Pihak pertama berhak untuk menarik
kembali barang-barang yang telah diterima pihak kedua, dan pihak kedua tidak
berhak mempertahankan haknya dengan dalih apapun”.
Perjanjian yang dibuat oleh PT. Alexander sebagai berikut :
Pasal 7. “Pihak ke II tidak dibenarkan menunggak angsuran tiap-tiap bulannya,
apabila ternyata pihak kedua menunggak angsurannya, maka pihak ke I berhak
membatalkan perjanjian ini secara sepihak dan atau perjanjian ini dianggap batal
dengan sendirinya, uang yang telah disetorkan oleh pihak ke II kepada pihak ke I
menjadi hangus dan pihak ke I berhak dan dianggap disetujui/diberi kuasa untuk
menarik kendaraan tersebut dari pihak ke II tanpa ada tuntutan sesuatu apapun
juga kepada pihak I.”
Perjanjian yang dibuat oleh PT. Jaya Motor sebagai berikut :
Pasal IV. “Apabila pembayaran tidak dilakukan pada tanggal-tanggal yang telah
ditentukan, maka dengan ini pihak kedua memberi kuasa yang tidak dapat
dicabut kembali kepada pihak pertama untuk menarik dari pihak kedua,
kendaraan tersebut (pasal 1) dan jika dalam waktu 1 (satu) minggu setelah
kendaraan tersebut ditarik, pembayaran yang tertunda tidak dilunasi juga, maka
surat perjanjian ini dianggap batal dan dengan ini pihak kedua memberi kuasa
yang tidak dapat dicabut kembali kepada pihak pertama untuk menguasai
sepenuhnya mobil tersebut (bila perlu dengan bantuan polisi) ataupun menjual
atau menyerahkan kepada pihak lain, sedang pihak kedua kehilangan semua hak
atas uang cicilan yang telah dibayar tanpa kompensasi apapun juga.
33
Penarikan kembali barang tersebut tanpa memperhitungkan jumlah pembayaran
yang telah dilakukan, memberi hak yang lebih kepada kreditur secara tidak seimbang
dengan hak debitur.
2. Klausul Dapat Dituntut “Pembayaran Sekaligus dan Seketika (de Opeisboarheids
Clausule)”.
Mengenai klausul dapat dituntut pembayaran sekaligus dan seketika
dicantumkan dalam perjanjian, dimana kewajiban debitur untuk membayar sekaligus
dan seketika sisa pembayaran dendanya sehingga debitur kehilangan hak untuk
membayar angsuran manakala terjadi hal-hal tertentu.
Klausul tersebut berbunyi sebagai berikut :
Menyimpang dari apa yang ditentukan dalam syarat-syarat yang ditentukan
dalam pasal 2 di atas, maka penjual berhak menuntut dan menagih dengan
seketika dan sekaligus lunas, dari sisa harga yang belum terangsur, serta pembeli
wajib seketika dan sekaligus melunasinya atau mengembalikan kendaraan
tersebut kepada penjual, bilamana terjadi salah satu hal seperti di bawah ini :
a. Pembeli tidak atau lalai membayar angsuran-angsurannya yang telah jatuh
tempo 2 (dua) bulan berturut-turut.
b. Pembeli lalai atau tidak memenuhi kewajibannya, melanggar atau menyalahi
baik sebagian maupun seluruhnya dari isi perjanjian.
c. Kendaraan bermotor yang dijaminkan pembeli tersebut disita baik untuk
sebagian atau seluruhnya oleh pihak lain.
d. Pembeli jatuh pailit, atau keadaan keuangannya mundur sedemikian rupa
sehingga tidak lagi dianggap mampu untuk membayar atau sulit membayar
atau sulit membayar kewajiban angsurannya.
e. Pembeli dan atau usahanya bubar, dilikuidasi atau terhenti.
f. Pembeli meninggal dunia atau ditaruh di bawah pengampuan, kecuali
bilamana penjual menyetujuinya maka perjanjian ini dapat dilanjutkan oleh
para ahli warisnya atau pengampunya.
Klausul dapat dituntut pembayaran sekaligus dan seketika ada yang merumuskan
dalam perjanjian sebagai berikut :
Pasal 9. “Sejak barang yang disewabelikan tersebut diserahkan oleh pihak
pertama kepada pihak kedua, maka semua resiko yang mungkin timbul seperti
kerusakan, kehilangan, ditanggung sepenuhnya oleh pihak kedua, jika barang
tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagaimana mestinya ataupun hilang, maka
kewajiban sehubungan dengan perjanjian sewa beli ini menjadi batal.”
34
Kemudian dalam pasal 13 perjanjian yang dibuat oleh PT. Capella Dinamik
Nusantara berbunyi sebagai berikut :
Uang sewa beli yang tersisa dan belum dibayar oleh pihak kedua dapat ditagih
seluruhnya setiap waktu jika terjadi hal-hal sebagai berikut :
a. bilamana pihak kedua meninggal dunia.
b. Bilamana pihak kedua melalaikan kewajibannya sebagaimana bunyi pasal 3.
c. Bilamana pihak kedua menghadapi tuntutan pengadilan.2
Klausul ini sangat tidak adil karena penjual/kreditur tidak mempertimbangkan
alasan-alasan debitur tidak dapat membayar sebagaimana diperjanjikan, seperti hal-hal
yang terjadi di luar kemampuannya misalnya debitur diberhentikan dari pekerjaannya
secara tiba-tiba, debitur meninggal dunia, atau tidak dapat bekerja karena sakit.
Selain itu ketidakadilan juga berkaitan dengan tidak diperhitungkannya jumlah
angsuran yang telah dibayar sementara barang yang menjadi objek perjanjian yang
masih ada di tangan si debitur dapat diambil oleh kreditur.
Andaikata barang itu hilang, kreditur dapat minta ganti rugi pada perusahaan
asuransi karena adanya kewajiban mengasuransikan barang tersebut. Dalam hal ini
kreditur tidak dapat menuntut pembayaran lagi pada debitur.
3. Klausul “Percepatan Pembayaran” (Vervroeg de van betaling) oleh pembeli.
Salah satu syarat yang dicantumkan dalam perjanjian beli sewa adanya syarat
percepatan pembayaran. Syarat ini merupakan salah satu syarat yang berdasarkan teori
kesungguhan dan merupakan syarat yang menguntungkan bagi pembeli (debitur).
Perjanjian yang mencantumkan klausul percepatan pembayaran yang dicantumkan
dalam perjanjian terdapat berbagai variasi. Salah satu perjanjian menyebutkan :
“Apabila pihak kedua melunasi angsuran sewa kendaraan yang dimaksud dalam
pasal 1 sebelum waktunya, maka pihak pertama akan memberikan potongan
sebesar 1,5% perbulan menurun dari jumlah angsuran sewa perbulan”.
Pada PT. Capella Dinamika Nusantara dalam pasal 3 ayat 5 menyebutkan :
“Menyimpang dari ketentuan pembayaran pada ayat 1 tersebut di atas, penyewa
selalu berhak untuk membayar sekaligus beberapa uang sewa sebelum saat jatuh
2 Ibid, hal 253.
35
tempo pembayaran seperti yang telah ditetapkan di atas, dan saat penjual akan
memberikan potongan pembayaran uang sewa kepada penyewa sebesar 1,5%
(satu setengah persen) perbulan dari jumlah uang sewa yang dipercepat
pembayarannya tersebut.”
Pada perjanjian lain mencantumkan klausul percepatan pembayaran sebagai
berikut :
“Apabila angsuran sewa beli kendaraan tersebut di atas dilunasi sebelum
waktunya, untuk biaya provisi kredit dan uang jasa tidak dapat ditarik kembali”.
Percepatan pembayaran tersebut sebenarnya tidak menguntungkan kreditur,
karena pendapatan yang telah diperkirakan akan diperoleh dari bunga atas harga pokok
tidak terjadi.
Namun, tidaklah adil bila debitur yang membayar lebih cepat atau melunasi lebih
cepat, masih tetap dibebani beban bunga yang besarnya sama dengan bilamana ia
membayar secara angsuran. Adalah tepat apabila pembeli tidak dibebani bunga tetapi
dibebani denda yang masuk akal karena hilangnya keuntungan yang seharusnya
diperoleh oleh kreditur bila angsuran dibayar sesuai dengan yang direncanakan.
Mengenai perhitungan tersebut harus jelas dicantumkan dalam perjanjian dan tidak bisa
sesudah pembayaran dipercepat itu terlaksana, karena besarnya potongan tersebut akan
ditentukan secara sepihak oleh penjual saja.
Dengan demikian tidaklah cukup klausul perjanjian hanya berbunyi seperti
berikut ini :
“Apabila pembeli hendak melunasi sisa hutangnya sebelum perjanjian ini
berakhir seperti yang tersebut dalam pasal 2, maka penjual akan menghitung
kembali pelunasannya dengan prosentase tertentu secara menurun”.3
Dari perjanjian tersebut di atas, ternyata tidak semuanya memberikan keringanan
bagi debitur atas pembayaran yang dipercepat.
3 Ibid, hal 255.
36
4. Klausul “Denda atau boete beding atau boete Clausule”
Pada perjanjian beli sewa klausul atau syarat tentang denda (boetebeding atau
boete Clausule) hampir merupakan suatu kebutuhan utama, sebab kreditur di dalam
pembuatan perjanjian selalu mengantisipasi hal-hal atau keadaan seandainya nanti
terjadi keterlambatan pembayaran. Dalam hal demikian telah diantisipasi sebelumnya
oleh kreditur agar tidak menimbulkan kerugian baginya dengan mencantumkan syarat
denda tersebut diharapkan pembayaran dari debitur dapat lancar.
Ketentuan mengenai denda yang dibebankan pada debitur karena terlambat
membayar, menunjukkan ketidakadilan karena besarnya denda tersebut jauh di atas
bunga Bank yang normal. Beberapa perjanjian menunjukkan kecenderungan kreditur
mengambil keuntungan dari denda tersebut.
Pada prinsipnya klausul denda adalah dimaksudkan untuk menghindarkan agar
debitur tidak terlambat melakukan pembayaran. Sebagai contoh klausul tentang denda
adalah sebagai berikut :
“Apabila pembayaran termaksud dalam pasal 1 tersebut di atas tidak dapat
dilaksanakan pada waktunya, maka pihak kedua dikenakan/diharuskan
membayar denda sebesar Rp.1000,00/hari sampai batas waktu 30 hari secara
bertahap, dan apabila selama maksimum 30 hari pihak kedua masih juga
melalaikan pembayaran dan denda tersebut, pihak pertama berhak menarik
kembali hak/milik atas barang tersebut di atas dari pihak kedua dalam keadaan
terawat baik berikut STNK dan perlengkapannya.
Pada PT. Capella Dinamik Nusantara dalam pasal IV ayat 2 menyebutkan :
“Apabila penyewa lalai membayar uang sewa atau terlambat dari tanggal jatuh
tempo pembayaran uang sewa, penyewa dikenakan denda administrasi sebesar
0,5 % sehari terhitung mulai tanggal jatuh tempo pembayaran uang sewa tersebut
sampai dengan uang sewa yang bersangkutan dibayar lunas”.
Perjanjian lain memuat tentang denda sebagai berikut :
“Jika pihak kedua tidak memenuhi ketentuan untuk membayar uang sewa
bulanan tersebut dengan tertib sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 tersebut,
maka pihak kedua dianggap lalai, kelalaian mana dibuktikan dengan lewatnya
waktu yang telah ditentukan tersebut sehingga tidak diperlukan teguran dengan
surat juru sita atau yang semacam itu, maka untuk kelalaian itu, pihak kedua
dikenakan ganti rugi tiap-tiap hari Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) yang
37
tiap-tiap kali harus dibayar dengan seketika dan sekali lunas kepada dan di
kantor pihak pertama”.
Perjanjian lainnya mencantumkan ketentuan sebagai berikut ini :
“Apabila pihak kedua terlambat melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan
tanggal-tanggal yang ditetapkan, maka pihak pertama memberi waktu selama-
lamanya 7 (tujuh) hari terhitung dari tanggal jatuh tempo tersebut kepada pihak
kedua untuk melunasinya dengan ditambah denda tiap hari sebesar Rp.50.000,00
(lima puluh ribu rupiah).
Penentuan tentang jumlah denda yang harus dibayar debitur perhari, bilamana
debitur terlambat melakukan pembayaran sangat bertentangan dengan iktikad baik
dengan melaksanakan perjanjian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1338 ayat 3 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata bahwa “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik”.
5. Klausul “Asuransi”
Pada umumnya setiap perjanjian beli sewa mencantumkan syarat “asuransi”
yaitu ketentuan mengenai kewajiban mengasuransikan barang yang menjadi objek
perjanjian.
Asuransi ini diwajibkan oleh pihak kreditur, mengingat bahwa sejak
penandatanganan kontrak resiko telah beralih ke tangan pembeli (debitur). Sedangkan
resiko yang dibebankan kepada pembeli (debitur) terutama terhadap kendaraan bermotor
cukup tinggi atau berat.4
Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko yang tinggi, yang juga akan merugikan
penjual, apabila angsuran belum dilunasi, pembeli wajib mengasuransikan kendaraan
yang menjadi objek perjanjian, sehingga apabila terjadi sesuatu risiko tersebut dialihkan
kepada pihak perusahaan asuransi.
Pasal 6 perjanjian yang dibuat oleh Bank Universal :
“Selama perjanjian ini berlaku, peminjam dengan biaya sendiri wajib
mengasuransikan kendaraan bermotor/mobil yang dijaminkan dengan Bankers
Clause dan klausul minimal yang harus dipenuhi/ditutup untuk kerugian total
4 Sri Gambir Melati Hatta, op cit, hal 258.
38
loss dan polis asuransi tersebut wajib diserahkan pada Bank untuk dipergunakan
dimana perlu”.
Perusahaan Utama Jaya abadi mengatur tentang klausul asuransi ini sebagai
berikut :
“Perjanjian kendaraan bermotor wajib diasuransikan oleh pihak kedua dan
perusahaan asuransi yang akan ditunjuk oleh pihak pertama, biaya daripada
asuransi tersebut menjadi beban pihak kedua”.
Sedangkan Kharisma Setia Utama mencantumkan klausul asuransi sebagai
berikut :
“Pembeli wajib mengasuransikan kendaraan tersebut dengan kondisi yang
disetujui bersama dan premi asuransi menjadi beban pembeli”.
Dengan melihat bentuk perjanjian di atas hampir semua resiko serta beban
asuransi diserahkan kepada pembeli maka seharusnya sifat perjanjian beli sewa tersebut
adalah perjanjian jual beli bukan sewa menyewa.
Melihat kondisi persyaratan kewajiban asuransi perlu penulis tambahkan dalam
menghadapi pelimpahan atau pergeseran tanggung jawab kreditur kepada debitur yang
berhubungan dengan pembayaran premi. Dalam hal ini debitur selalu mengalihkan hak-
haknya (dari asuransi) kepada kreditur, kreditur sering menutup asuransi atas nama
kreditur tetapi atas tanggungan debitur (biaya dan premi). Banyak kreditur mengatur
perusahaan asuransi tertentu yang ditunjuk untuk itu. Dengan demikian penunjukkan
perusahaan asuransi juga merupakan hak kreditur meskipun yang membayar
debitur/pembeli.
Dalam hal pengasuransian ternyata Pemerintah Republik Indonesia telah
memberlakukan Undang-Undang No.2 Tahun 1992. Dalam pasal 6 Undang-Undang
tersebut disebutkan bahwa asuransi menganut prinsip “Kebebasan memilih” perusahaan
asuransi (free choice). Pembeli/debitur harus bebas menentukan asuransi yang
dipilihnya.
39
Pasal 6 Undang-Undang No.2 Tahun 1992 menyebutkan :
a. penutupan asuransi atas proyek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih
penanggung, kecuali bagi program asuransi sosial.
b. Penutupan objek asuransi sebagaimana dimaksud dalam asuransi harus dilakukan
dengan memperhatikan daya tampung perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi di dalam negeri.
c. Peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2
diatur dengan peraturan pemerintah itu.
Dengan berpedoman pasal isi pasal tersebut di atas maka penunjukkan suatu
perusahaan oleh pihak kreditur yang harus dituruti debitur adalah menyalahi ketentuan
undang-undang, hal itu merupakan pemakasaan kehendak. Klausul tersebut berdasarkan
pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang intinya bahwa perjanjian tidak
dapat melanggar ketentuan maupun undang-undang dan dengan demikian klausul seperti
ini dapat dikatakan batal demi hukum.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut penulis bahwa syarat tentang
penunjukkan perusahaan asuransi seperti tersebut di atas adalah batal demi hukum,
karena bertentangan dan melanggar undang-undang.
6. Klausul “Pengambilan Kembali (Inlossing recht)”
Bilamana pihak debitur wan prestasi karena keterlambatan pembayaran
angsuran, maka berlakulah syarat verval clasule. Dengan demikian barang ditarik
kembali oleh kreditur. Namun demikian debitur masih diberikan kesempatan oleh
kreditur untuk mengambil kembali barang objek perjanjian dalam jangka waktu
sebagaimana yang diperjanjikan dengan membayar seluruh tunggakan angsuran yang
belum dibayar ditambah denda. Di dalam praktek hak “pengambilan kembali” ini
disebut “hak penebusan”.
Dalam praktek tidak semua perjanjian beli sewa memuat hak bagi debitur untuk
memperoleh kembali barang yang telah ditarik kreditur, karena debitur tidak dapat
membayar angsuran. Perusahaan yang mencantumkan klausul ini contohnya :
Perusahaan Pelangi Mobilindo, mencantumkan dalam pasal 8 perjanjian.
40
“Jika pihak pertama mengambil kembali kendaraan tersebut atas kekuatan pasal
7 akta ini, maka pihak kedua dalam waktu 10 (sepuluh) hari sesudah
pengambilan itu, masih berhak menebus kembali kendaraan itu dengan
membayar sisa kekurangan harganya, dengan ketentuan bahwa hal ini hanya
mungkin terjadi jika batal atau putusnya perjanjian ini disebabkan karena
lalainya pihak kedua dalam pembayaran angsuran saja”.
PT. Capella Dinamik Nusantara mencantumkan perjanjian sebagai berikut :
“Apabila sepeda motor yang termaksud dalam pasal 1, surat perjanjian telah
ditahan atau ditarik kembali oleh pemilik dan penyewa karena salah satu sebab
yang termaktub dalam ayat 2 tersebut diatas, pemilik masih memberikan
tenggang waktu selama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penarikan
sepeda motor termasuk pada penyewa untuk menyelesaikan pembayaran seluruh
uang sewa (baik yang telah tertunggak maupun yang belum jatuh tempo) berikut
denda administrasi dan membayar biaya penarikan sebesar Rp.50.000,00
(limapuluh ribu rupiah) kepada pemilik”.
Perusahaan Sakura mencantumkan perjanjian sebagai berikut :
“Jika sekiranya pihak kedua hendak mengambil kembali barang-barang tersebut
yang telah ditarik oleh pihak pertama seperti termaksud dalam pasal VI diatas,
maka pihak kedua harus membayar lunas seluruh angsuran yang tertunggak dan
juga yang belum terbayar seperti disebutkan di dalam pasal II diatas serta
membayar semua biaya yang dikeluarkan pihak pertama sehubungan dengan
penarikan barang tersebut”.
Jika kita membandingkan klausul tersebut di Belanda, ternyata klausul
pengambilan kembali (In Lossing Recht) telah mendapatkan pengaturan dalam Undang-
Undang. Di Belanda seperti yang tercantum dalam pasal 1576 V. NBW yang berbunyi
sebagai berikut :
(1) Indien wegens niet betaling van verschenen termijnen de in huurkoop
afgleverde zaak is terugenoment zonder voorafgaande rechterlijke
tusscen comst kan de koopre gedurende veertien dagen na de
terugneming de zaak in lossen door betaling van de verschenen termijnen
ende verschuldigde rente, booten costen.
Terjemahan bebas dari Sri Gambir adalah sebagai berikut :
Dalam hal pembeli tidak membayar angsuran dalam beli sewa, pembeli dapat
mengambil kembali barang yang telah diambil dari penjual, dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari dengan membayar seluruh uang tunggakan dan denda.
41
Pada hakikatnya, dengan dicantumkannya syarat hak pengambilan kembali ini
merupakan perlindungan bagi pembeli meskipun ada wanprestasi yaitu pembeli tidak
melakukan pembayaran angsuran namun masih diberi hak untuk menebus kembali,
dalam hal barang sudah ditarik dari tangan pembeli oleh pihak penjual.
7. Klausul “Kuasa dengan Hak Substitusi atau Kuasa Mutlak Yang Tidak Dapat
Dicabut kembali”
Klausul ini merupakan syarat yang umumnya dicantumkan di dalam suatu
perjanjian beli sewa. Dalam perjanjian beli sewa, pemberian kuasa tersebut dilakukan
oleh debitur kepada kreditur dengan ketentuan bahwa kuasa tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari perjanjian beli sewa itu sendiri.
Pencantuman klausul kuasa khusus atau mutlak tersebut merupakan usaha
preventif dari kreditur atau pengamanan bagi dirinya apabila terjadi wanprestasi atau
hal-hal yang merugikan dari tindakan kreditur yang tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sebagai berikut:
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan”.
Ketentuan Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut
menunjukkan bahwa sifat pemberian kuasa tidak lain dari mewakilkan atau perwakilan
(vertegen woordiginj) pemberian kuasa sebagai wakil, yang dibuat melalui persetujuan
selalu dibuat kuasa atau volmacht.
Pada dasarnya kuasa atau volmacht inilah yang menjadi tujuan dari persetujuan
pemberi kuasa tersebut. Dengan kekuasaan atau volmacht dari pemberian kuasa tersebut,
maka penerima kuasa menjadi berwenang melakukan tindakan atau perbuatan hukum
untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa.
42
Klausul tentang kuasa ini dapat kita lihat dalam beberapa perjanjian beli sewa
yaitu :
Dalam hal klausul yang dibuat oleh PT. Prabu Mata pada pasal IX menyebutkan
:
“Dalam hal perjanjian ini batal demi hukum seperti diterangkan dalam pasal VII
di atas, maka pihak kedua harus dengan segera menyerahkan kembali kepada
pihak kesatu, mobil yang disewabelikan dengan perjanjian ini, pihak kesatu
dengan ini diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak kedua untuk
mengambil atau suruh mengambil mobil tersebut tanpa proses pengadilan
(Hakim) atau dengan perantaraan juru sita. Selain daripada itu, maka uang yang
telah diterima oleh pihak kesatu dari pihak kedua berdasarkan perjanjian ini,
pihak kedua tidak berhak memintanya kembali oleh karena ini telah menjadi
milik pihak kesatu.”
Pada perjanjian yang dibuat oleh PT. Hamparanion Hasil Optimal dalam pasal V
ayat 2 menyebutkan “Berhubung buku pemilik kendaraan bermotor sudah tertulis nama
penyewa, maka penyewa dengan ini memberi kuasa pada pemilik untuk menjual,
menyerahkan sepeda motor tersebut dengan harga dan syarat-syarat yang disetujui oleh
yang menerima kuasa, serta menentukan pembayaran dan lain-lain.”
Pada perjanjian yang dibuat oleh PT. Suara Mas Permai pada pasal 7
menyebutkan :
“Sehubungan dengan pasal 6, maka pihak kedua memberi kuasa mutlak, kuasa
mana merupakan bagian terpenting dalam perjanjian ini dan tanpa kuasa mana
perjanjian ini tidak akan dibuat, dan selanjutnya lewat perjanjian sewa beli ini
dinyatakan batal tanpa diperlukan penyelesaian lewat Pengadilan Negeri dan
berarti kedua belah pihak menyatakan melepaskan ketentuan pasal 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata “.
Sementara itu pada perjanjian yang dibuat oleh PT. Capella Medan dalam pasal
12 menyebutkan :
“Pemberi hak dan surat kuasa khusus tersendiri oleh pihak penyewa kepada
pihak pertama atau kepada orang yang ditunjuk oleh pihak penyewa merupakan
bagian terpenting dan tidak dapat dipisahkan dari perjanjian sewa beli karena
tidak adanya kuasa-kuasa tersebut, perjanjian ini tidak diperbuat dan sebab itu
kuasa-kuasa itu tidak akan dicabut kembali atau tidak akan batal atau dapat
dibatalkan dengan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang bagi
berakhirnya surat kuasa.”
43
Pasal 1813 KUHPerdata mengatur tentang berakhirnya pemberian kuasa
menyebutkan :
“Pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan
pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya,
pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan
perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”
Bilamana kita berpedoman atas isi pasal 1813 KUHPerdata bahwa pemberian
kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasa si kuasa, jika kita hubungkan dengan
klausul pemberian kuasa dalam perjanjian beli sewa yang tidak dapat dicabut kembali,
maka jelas klausul tersebut sangat bertentangan dengan undang-undang.
Undang-undang sebesarnya telah melindungi akan hak-hak pribadi dari para
pihak, terutama hak-hak pemberi kuasa bahwa berdasarkan ketentuan pasal 1813
KUHPerdata, ia berwenang untuk mengakhiri perjanjian pemberian kuasa yang
diberikan kepada penerima kuasa.
Kemudian pasal 1814 KUHPerdata menyebutkan bahwa, pemberi kuasa dapat
menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya dan jika ada alasan untuk itu,
memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya.”
Klausul pemberian kuasa yang ada dalam perjanjian beli sewa jika dihubungkan
dengan pasal 1814 KUHPerdata, maka jelas ini merupakan penyimpangan, disamping
itu adanya kemungkinan terjadinya perbuatan melawan hukum dari penerima kuasa
misalnya dengan melampaui batas-batas kuasa yang diberikan kepadanya maka dalam
keadaan demikian pun pemberi kuasa tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan klausul pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali menempatkan
posisi dan status pembeli (debitur) yang lemah karena adanya ketidakseimbangan antara
hak dan kewajiban para pihak.
Selain itu dalam perjanjian beli sewa ditemukan klausul pemberian kuasa dengan
hak substitusi antara lain :
Pada perjanjian yang dibuat oleh PT. Anaran Mobil dalam pasal V menyebutkan:
“Pihak kedua dengan ini memberikan kuasa dengan substitusi kepada pihak
kesatu, untuk menjual, menandatangani kwitansi dan mempergunakan uang hasil
penjualan mobil tersebut untuk pelunasan hutang sewa pihak kedua yang tersisa
44
apabila pihak kedua berhenti membayar sesuai dengan ketentuan pasal IV ayat 2
dan ayat 3 tersebut di atas.”
Klausul kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali dikaitkan dengan pasal-
pasal tersebut di atas diantaranya :
Gajah Mas Perkasa pasal XI :
“Pihak kesatu atau wakilnya berhak untuk setiap saat memasuki tempat pihak
kedua dimana mobil tersebut disimpan atau berada untuk melihat dan memeriksa
keadaan mobil tersebut dan lain-lainnya, apabila ada persoalan yang perlu
dikemukakan, pihak kedua sudah selayaknya membicarakan langsung pada
pimpinan pihak kesatu untuk diminta keputusannya dan membicarakan di luar
ketentuan tersebut tidak dapat diterima sebagai alasan pihak kedua.
Dalam klausul yang dimuat dalam perjanjian pada ketentuan pasal VII
menyebutkan bahwa pihak kedua mengijinkan pihak kesatu memasuki pekarangan,
bangunan dan ruangan tempat tinggal pihak kedua dimana barang tersebut diletakkan,
guna mengambil barang tersebut yang masih milik pihak kesatu, sedangkan pembayaran
DP dan angsuran-angsuran yang telah dibayar pihak kedua kepada pihak kesatu
dinyatakan sebagai sewa pemakaian selama barang-barang tersebut berada ditangan
pihak kedua dan bilamana barang tersebut tidak ada, maka pihak kedua bersedia ditarik
barangnya milik pihak kedua yang ada di rumahnya sebagai jaminan sampai adanya
penyelesaian, maka dengan demikian perjanjian sewa beli ini batal seketika, tanpa
diperlukan putusan pembatalan dari Pengadilan Negeri yang berarti kedua belah pihak
menyatakan setuju melepaskan ketentuan dalam pasal 1266 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
8. Klausul tentang “Ketentuan-ketentuan dalam kontrak mempunyai nilai dan
kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang telah berkekuatan
pasti/tetap.”
Dari beberapa klausul dari perjanjian beli sewa terdapat beberapa perjanjian yang
mencantumkan tentang ketentuan dalam kontrak mempunyai nilai dan kekuatan yang
sama dengan putusan hakim yang sudah berkekuatan tetap. Pada hakikatnya
45
pencantuman klausul tersebut di dalam suatu perjanjian merupakan suatu hal yang sudah
melanggar kewenangan para pihak.
Suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang pasti adalah
merupakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum pasti.5
Di Indonesia putusan lain yang kedudukannya sama dengan putusan Pengadilan
atau Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu putusan atau akta
perdamaian dan putusan arbitrase.6 Sebagai contoh perjanjian beli sewa yang memuat
klausul tersebut adalah sebagai berikut :
“Kedua belah pihak menyatakan, bahwa semua ketentuan yang ada dalam
perjanjian ini mempunyai nilai dan kekuatan yang sama dengan keputusan hakim tingkat
peradilan terakhir yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti/tetap.” Menurut
penulis klausul seperti ini adalah batal demi hukum, karena pihak-pihak yang membuat
klausul tersebut bukanlah pejabat atau orang yang diberi kewenangan untuk membuat
sesuatu akta atau ketetapan yang dipersamakan dengan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap.
9. Klausul “Pelepasan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata”
Walaupun perjanjian beli sewa bukan merupakan perjanjian nominat atau
Beroemde Overeenkomst, akan tetapi bukan berarti bahwa untuk perjanjian tersebut
tidak terikat pada peraturan-peraturan atau pasal-pasal tentang perikatan. Pasal 1266 dan
1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara khusus memberikan pengaturan
tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik. Dalam pasal 1266 ayat 1 KUHPerdata
dinyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu ada dalam perjanjian timbal balik.
Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa syarat batal tersebut tidak membatalkan
perjanjian dengan sendirinya tetapi harus dimintakan kepada Hakim.
5 Engel Brecht, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Internusa,
Jakarta, 1984, hal 717. 6 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Jakarta, Pustaka Kartini, 1991, hal 22-23.
46
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, hal itu untuk memberi kemungkinan
kepada Hakim menilai wanprestasi tersebut, apabila ada kesalahan penjual atau ingkar
janji sebelumnya, maka pembeli dapat mengajukan tangkisan.7
Dari ketentuan pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat
disimpulkan bahwa syarat pembatalan karena wanprestasi harus melalui Hakim
merupakan perlindungan bagi pembeli yang dianggap sebagai pihak yang lemah, baik
ekonomi maupun kedudukan hukumnya.
Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata intinya memberikan pilihan
kepada penjual untuk memaksa pembeli memenuhi persetujuan atau menuntut
pembatalan dengan ganti rugi, denda dan bunga. Dalam kenyataannya sebagian dari
perjanjian beli sewa penyimpangan dari 1266 dan 1267 KUHPerdata.
Perjanjian beli sewa yang memuat klausula tersebut misalnya perjanjian yang
dibuat oleh PT. Hamparanorion Hasil Optimal menyebutkan sebagai berikut : ”Dalam
kejadian tersebut di atas para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian ini
melepaskan ketentuan pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.”
Dalam perjanjian pada PT. Pelangi Mobilindo Perkasa pasal 7 ayat 3
menyebutkan :
“Dalam hal terjadi sesuatu yang tersebut di atas para pihak sepakat melepaskan
ketentuan dalam pasal 1266 dan 1267 Kitab undang-undang Hukum Perdata.
Sedangkan dalam perjanjian beli sewa pada PT. Cahaya Utama Abadi pasal IV
ayat 3 menyebutkan :
“Bila pihak kedua dalam ketentuan pasal ini tidak mengindahkan, maka demi
hukum yang berlaku, perjanjian yang telah disepakati tidak berlaku atau
dianggap batal, tanpa diperlukan menunggu keputusan hakim Pengadilan Negeri.
Menurut pasal 1266 dan 1267 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pihak kedua harus segera mengembalikan kendaraan bermotor tersebut kepada
pihak pertama”.
Dalam hal pencantuman pelepasan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata pada
sejumlah perjanjian beli sewa menunjukkan bahwa penjual berusaha untuk melindungi
7 Mariam Darus Badrulzaman, KUH.Perdata, Buku IV Hukum Perikatan dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, 1996, hal 56.
47
diri dengan menggunakan batal demi hukum seperti beberapa klausul yang dicantumkan
dalam beli sewa.
Dari klausul ini, penjual/kreditur menghendaki batalnya perjanjian, sebab atas
kebatalan tersebut justru menguntungkan bagi pihak kreditur, karena Kreditur dapat
menarik kembali kendaraan bermotor dari tangan debitur dan sejumlah angsuran yang
telah dibayar debitur dianggap hangus.
Dengan diterapkannya pasal 1266 dan pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka apabila terjadi wanprestasi pada pembeli, maka pembatalan perjanjian
serta akibat-akibatnya diselesaikan melalui Hakim, guna menghindari hal-hal yang
sangat merugikan pihak pembeli/debitur.
Pada kasus seperti ini tentu hakim dapat leluasa untuk meninjau isi perjanjian
yang bertentangan dengan undang-undang dan hak-hak para pihak sangat tidak
seimbang tersebut.
1
Franchisor sebagai Predator: Perlunya Iktikad Baik
dalam Pelaksanaan Kontrak Franchise
Oleh
Ridwan Khairandy
Pendahuluan
Salah satu alasan terbaik memulai bisnis franchise adalah tingkat
keberhasilan bisnis franchise dibandingkan dengan bisnis yang bukan franchise.
Dalam penerbitan the U.S Department of Commerce berjudul “Franchising in the
Economy, 1986-1988,” ditemukan bahwa hanya 1,1% dari bentuk bisnis franchise
yang gagal di tahun 1986. Dalam penerbitan The Royal Bank of Canada tahun
1987, “Buying a Franchise,” dinyatakan bahwa 90% lebih dari bisnis franchise
baru yang tetap melakukan bisnis lebih dari tiga tahun; dan dalam kurun waktu
yang sama kurang dari 25% bisnis mandiri saja yang dapat bertahan hidup. Suatu
franchise memiliki kemungkinan lebih besar mencapai profitabilitas dalam tahun
pertama atau sekitarnya, daripada suatu bisnis mandiri yang seringkali bahkan
merugi dalam tahun-tahun pertama operasinya.1
McDonald merupakan salah satu bisnis franchise paling besar saat ini.
Perusahaan yang didirikan oleh Dick dan Mac McDonald bersaudara tahun 1940
ini baru dikemas sebagai usaha franchise oleh Ror Kroc pada 1955. Dengan
sistem jaringan franchise, perusahaan yang bermula di kota kecil San Bernardino
berkembang ke 122 negara. Sampai tahun lalu McDonald memiliki 30.000
restoran dengan 18.000 franchisee.2
Franchisor yang memiliki sistem bisnis memiliki posisi tawar sangat yang
kuat dalam negosiasi kontrak franchise dengan franchisee. Dengan posisi tawar
yang demikian itu, franchisor mendikte isi kontrak. Isi atau klausul-klausul
kontrak itu sendiri sudah dibakukan dalam sebuah kontrak baku. Bagi franchisee
1 Douglas J Queen, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise-Tuntunan Langkah
Demi Langkah Menuju Keberhasilan Suatu Franchise, PT Elex Media Komputindo-Kelompok
Gramedia, Jakarta, 1993, hlm 3. 2Bisnis Indonesia, Sabtu, 19 November 2005.
2
hanya ada pilihan take it or leave it. Kontrak yang demikian dapat menghasilkan
suatu kontrak yang tidak fair dan tidak patut yang merugikan franchisee.
Menghadapi keadaan demikian, penerapan iktikad baik menjadi sangat
penting artinya. Iktikad baik menjadi super eminent principle dalam kontrak.
prinsip ini menuntut adanya suatu kontrak yang fair dan patut. Berdasar prinsip,
pengadilan memiliki kewenangan untuk membatalkan kontrak yang demikian itu.
Franchise
Pengertian “franchise” berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan,
diambil dari kata “franch” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara
umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa.3 Dengan demikian di dalam
franchise terkandung makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan untuk
menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu.
Pengertian franchise dalam Peraturan Pemerintah No 16 Tahun 1997 yaitu
suatu perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan
atau menggunakan kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang
dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan
pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa.
Selain itu menurut Peraturan Menteri Industri dan Perdagangan Indonesia
No 259/MPP/Kep/7/1997, franchise adalah suatu perikatan di mana pihak yang
satu diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain
dalam rangka untuk mempersiapkan dan atau menjual barang dan atau jasa.
Menurut Dov Izraeli, franchise berarti memberikan kebebasan untuk
melakukan sesuatu atau mempunyai hak atau menggunakan sesuatu dalam tempat
tertentu.4 Menurut Charles L Vaughn, istilah franchise dipahami sebagai bentuk
3 M. Udin Silalahi, “Kontrak Franchise Berdasarkan Hukum Persaingan Eropa,” Jurnal
Hukum Bisnis,vol 6, 1999, hlm 59. 4 Ridwan Khairandy, “Franchise dan Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu
Tinjauan Hukum,” Jurnal Hukum, No. 7, Vol. 4, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1997, hlm 28.
3
kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan memberikan
hak atau privilege untuk menjalankan bisnis secara tertentu dalam waktu dan
tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih kecil.5
Menurut Henry R. Cheeseman, franchise merupakan suatu kontrak di
mana satu pihak (franchisor) memberikan lisensi kepada pihak lainnya
(franchisee) untuk menggunakan nama perusahaan (trade name), merk dagang,
simbol komersial, paten, hak cipta dan barang-barang lainnya milik franchisor
dalam mendistribusikan dan menjual barang atau jasa.6
Dilihat dari perspektif bisnis, istilah franchise juga dapat dipahami sebagai
salah satu bentuk aktivitas pemasaran dan distribusi di mana perusahaan yang
besar memberikan hak-hak istimewa kepada perusahaan kecil atau individu untuk
menjalankan bisnis franchise tersebut di suatu tempat dan waktu tertentu.
Franchise juga dapat dipahami sebagai salah satu bentuk metode produksi dan
distribusi barang atau jasa kepada konsumen dengan menggunakan satu standar
dan sistem eksploitasi tertentu. Definisi dari standar dan sistem eksploitasi
tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama perusahaan, merek, sistem
produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan distribusinya.7
Jika dilihat dari segi hukum, menurut Henry Campbell Black8 franchise
bermakna:
“a license from owner of trademark or trade name permitting another to
sell product or service under that name or mark. More broadly stated, a
franchise has evolved into elaborate agreement under which the franchise
undertakes to conduct a business or a sell a product or service in
accordance with methods and procedures prescribed by the franchisor,
and the franchisor undertake to insist the franchisee through advertising,
promotion and other advisory service.”
5 Ibid. 6 Henry R. Cheeseman, “Business Law: The Legal, Ethical, and International
Environment,” Edisi Kedua, New Jersey, Engelewood Cliffs, 1995, hlm 112 7 Ridwan Khairandy, “Kontrak Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi”, Insan Budi
Maulana, et.al. ed., Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yayasan Klinik HAKI Jakarta-
PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2000, hlm 133 8 Bryan A. Garner, ed, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St Paul Minn, 1979,
hlm 592.
4
Definisi franchise yang dikemukakan oleh United Nations Centre on
Transnational Corporation (UNCTC) merupakan definisi yang lebih singkat
namun dapat menggambarkan apa yang ada dalam franchise, yaitu:9
“Franchise is a particular form licensing agreement implying a
continuing relationship in which the franchisor provide rights usually
including the use of trademark or brand name, plus service of
technical assistance, training, merchandising and management, in
return for certain payment”
Dalam bisnis franchise itu sendiri, program pemasangan iklan, pelatihan
karyawan, metode produksi, dan goodwill merupakan komponen yang secara
otomatis terdapat dalam kontrak franchise yang akan diterima oleh franchisee.
Misalnya Burger king, McDonalds, atau Wendy’s. Karena setiap perusahaan
memiliki merek tersendiri, memiliki cara menjalankan bisnisnya sendiri, dan
memiliki paten atau merek dagang atas produk mereka tersebut maka secara
teknik perusahaan tersebut mampu menjual hak untuk menggunakan metode
tersebut melalui kontrak franchise.10
Selain itu di dalam kontrak franchise, franchisor akan memberikan hak
untuk menggunakan merek dagang, merek jasa, dan metode untuk menjalankan
bisnis kepada franchisee, di sini franchisee secara otomatis akan membayar
dengan sejumlah biaya yang telah disepakati sebelumnya dan juga dilanjutkan
dengan adanya pembayaran royalti berdasarkan presentase dari total penjualan
kotornya.11 Distribusi franchise itu sendiri biasanya dilakukan melalui pembukaan
retail shop, supermarket atau jaringan-jaringan yang bertujuan untuk menjual
berbagai produk barang dan jasa sesuai dengan standar yang dimiliki franchisor.
Di samping itu, franchising adalah suatu bentuk dari dukungan bisnis. Para
franchisee akan mendapatkan kesempatan untuk belajar dari pengalaman orang
lain dengan mengikuti sistem yang telah dikembangkan oleh perusahaan yang
9 UNTCT, Transnational Corporation and Technology Transfer: Effects and Policy
Issues, United Nations, New York, 1987, hlm 4. 10 Bryce Webster, “The Insider’s Guide to Franchising,” AMACOM, American
Management Association, New York, 1986, hlm 4 11 W. Michel Garner, “The Implied Covenant of Good Faith in Franchising: A Model For
Discretion”, Oklahoma City University Law review 1995, Vol 20, hlm 306.
5
paling berhasil di bidangnya dan franchisee juga akan memperoleh dukungan baik
dari franchisor dan franchisee lainnya.
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bisnis franchise
merujuk pada sistem jual beli barang dan jasa baik secara langsung ataupun tidak
langsung dengan membayar biaya-biaya tertentu. Selain itu, di dalam franchise
melibatkan dua pihak, yaitu franchisor sebagai pihak yang memiliki sistem
franchise dan memberikan ijin untuk menggunakan franchise kepada pihak lain
melalui pembayaran royalti. Kemudian franchisee merupakan orang yang
mendapatkan ijin untuk menggunakan franchise tersebut dengan melakukan
sejumlah pembayaran tertentu. Kemudian pihak franchisor memberikan bantuan
teknik seperti, pelatihan karyawan, program periklanan, metode produksi, dan
goodwill kepada pihak franchisee untuk menjalankan bisnis franchise.
Dalam kebanyakan sistem franchise, sesuatu yang dimiliki oleh franchisor
yang kemudian disfranchise-kan meliputi hal-hal sebagai berikut yaitu: (a) merek
dagang atau nama dagang, (b) sebuah format bisnis, yaitu sebuah sistem yang
dicatat dalam manual operasi yang berisi elemen-elemen yang bersifat rahasia
(confidential), (c) formula, resep rahasia, spesifikasi, desain gambar dan dokumen
operasi, (d) hak cipta dan hak paten.12
Dari paparan di atas tersebut, dapatlah diketahui bahwa franchise merupakan
suatu format bisnis yang menyeluruh. Hal ini menyangkut pengembangan cara
untuk menjalankan bisnis secara sukses pada seluruh aspeknya yang dilakukan
oleh franchisor. Franchisor akan mengembangkan apa yang mungkin disebut
sebagai cetak biru untuk mengelola bisnis tersebut. Dengan adanya cetak biru ini:
(a) diharapkan akan melenyapkan sejauh mungkin risiko yang biasanya melekat
pada bisnis yang baru dibuka; (b) memungkinkan seseorang yang belum pernah
memiliki atau mengelola bisnis, mampu membuka bisnis dengan usahanya
sendiri, tidak hanya dengan format yang telah ada sebelumnya, tetapi juga dengan
12 Kelik Wardiono, “Franchise: Sebuah Media Pengalihan dan Penguasaan Kemampuan
Teknologi,” Jurnal Jurisprudence, Vol. 1, No. 1, Maret 2004, hlm 34.
6
dukungan sebuah organisasi (milik franchisor); (c) menunjukkan dengan jelas dan
rinci tentang bagaimana bisnis harus dijalankan.13
Mekanisme bisnis dengan menggunakan sistem franchise secara otomatis
akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak baik franchisor maupun
franchisee. Keuntungan franchise bagi pihak franchisor adalah:14
1. Pihak franchisor akan memiliki sumber modal baru yang berasal dari
pembayaran-pembayaran seperti uang muka (down payment), pelatihan
karyawan, iklan dan royalti;
2. Pihak franchisor tidak perlu menginvestasikan uang mereka dan hanya akan
mendapatkan resiko finansial yang kecil;
3. Perluasan pasar;
4. Adanya distributor yang bermotivasi.
Keuntungan franchise bagi pihak franchisee adalah:15
1. Franchisee mendapatkan akses produk dan pengalaman yang dimiliki oleh
franchisor;
2. Franchisee dapat menggunakan merk terkenal (well-known mark), trademarks
atau service marks dan standar kualitas franchisor yang populer;
3. Franchisee menerima semua rincian dokumen penting tentang bagaimana
sistem pemasaran yang sukses dan pembukuannya yang diterapkan oleh pihak
franchisor.
Pada dasarnya bisnis franchise yang berkembang selama ini dapat
digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu:16
1. Product Franchises atau Distributorship Franchises
Dalam product franchising, franchisee mendistribusian produk-produk
franchise yang diproduksi oleh franchisor dengan menggunakan lisensi yang
bersifat eksklusif maupun non eksklusif. Seringkali juga terjadi bahwa franchisee
13 Ibid, hlm 35. 14 Ridwan Khairandy, op.cit, hlm 88. 15 Bryce Webster, op.cit, hlm 10. 16 Ibid, hlm 6.
7
diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk franchisor di suatu wilayah
tertentu.17
Franchisor selain menerima pembayaran biaya franchise dari franchisee
juga akan menerima pembayaran dari produk yang dijual kepada franchisee. Di
dalam product franchising, franchisor berperan sebagai pembuat produk-produk
tersebut dan franchisee berfungsi sebagai distributor produk franchisor.
Selain franchisor mendapatkan pembayaran dari franchisee untuk biaya
franchise-nya, franchisor juga mendapatkan pembayaran untuk penjualan
produknya ke pihak franchisee. Di sini, franchisee berperan sebagai distributor
produk franchisor. Jenis franchise ini masih diwakili oleh industri otomotif yang
menjual produk-produk otomotifnya melalui dealer ke seluruh dunia.
2. Business format Franchises atau Chain-Style Franchises
Business Format Franchising adalah jenis franchise yang paling banyak
dikenal oleh masyarakat. Di sini, franchisor memberikan lisensi kepada individu
atau perusahaan untuk membuka gerai-gerai yang menjual berbagai macam
produk franchisor. Franchisor memberikan lisensi metode bisnis yang dibentuk
dan dibangun dengan menggunakan merek dagang tertentu. Franchisor juga
menyediakan bantuan kepada pihak franchisee dalam menjalankan bisnisnya
sesuai dengan manual pengoperasian bisnis yang diberikan franchisor.
Sebagai imbalan dari penggunaan merek dagang yang dimiliki franchisor,
maka franchisee wajib mengikuti metode-metode standar pengoperasian dan
berada di bawah pengawasan franchisor dalam yang berkaitan dengan bahan-
bahan, desain tempat usaha, persyaratan para karyawan, dan lain-lain.18 Selain itu,
franchisee juga wajib membayar biaya royalti kepada pihak franchisor. Contoh
Business Format Franchising adalah restoran siap saji dan hotel.
3. Manufacturing Plant Franchises atau Processing Plant Franchises
Untuk jenis franchise ini, franchisor memberitahukan know-how atau
formula rahasia (ingredient) yang digunakan dalam proses produksi serta tata cara
pembuatan produk. Selanjutnya franchisee akan memproduksi dan
17 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992,
hlm 157. 18 Ibid.
8
mendistribusikan produk tersebut sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
franchisor dan juga menggunakan merek yang sama dengan yang dimiliki oleh
franchisor.
Jenis industri yang bergabung dengan metode franchise ini adalah industri
minuman ringan, misalnya Coca Cola, Pepsi, menjual formula rahasianya dan
menyuplai produknya kepada industri lokal untuk memproduksi minuman ringan
yang sesuai dengan standar yang diberikan franchisor. Biasanya produk yang
mereka jual mempunyai bentuk dan rasa yang sama di seluruh daerah. Di dalam
franchise ini franchisor merupakan satu-satunya pemilik dari formula rahasia itu
(ingredient) dan franchisee akan membayar untuk mendapatkan formula rahasia
(ingredient) itu.
Secara umum kontrak franchise terdiri dari 6 subjek utama yang berisi
tentang:19
1. Hak-hak yang dimiliki oleh franchisee (The rights of the franchisee):
a Hak untuk menggunakan merek dagang, brand, dan nama baik franchisor.
b Hak untuk menggunakan layout, desain, paten, metode kerja, peralatan dan
produk-produk yang dikembangkan oleh franchisor.
c Hak untuk menggunakan semua pusat-pusat pelayanan operasional yang
dikembangkan untuk membantu pihak franchisee. Hal ini meliputi
Pelatihan, konsultasi, managemen, produksi, pemasaran, bantuan dalam
desain, pelaksanaan dan biaya atas konstruksi dan perlengkapan yang
diperlukan untuk melakukan bisnis, pusat pembelian dan penyaluran
barang/produk dengan harga relatif murah, periklanan, dan teknik lain
dalam promosi, pembukuan akuntansi, dan perencanaan asuransi.
d Hak eksklusif untuk menjalankan bisnis franchise dalam lokasi atau area
tertentu tanpa adanya kompetisi dari franchisor atau franchisee lainnya.
2. The Obligation and Restriction on the Franchisee.
a. Memajukan penjualan barang atau jasa milik franchisor;
b. Memelihara standar kualitas produk barang dan jasa;
19Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution System, Longman Gorup Ltd.,
London, 1972, hlm 32 – 36.
9
c. Bekerjasama dan ada koordinasi atas aktivitas franchisee dengan franchisor
atau dengan franchisee lainnya;
d. Menjaga image dan reputasi dunia bisnis;
e. Membuat kepastian pembayaran franchisor untuk dapat mandiri dalam
menjalankan usaha.
3. The Obligations of the Franchisor.
Franchisor berkewajiban untuk memasok semua jasa-jasa (services) pada
franchisee seperti yang telah diuraikan dalam prospektus kontrak tersebut;
4. The Distribution of Profits and Sources of Income to the Franchisor:
Franchisor mengharapkan suatu hasil yang menguntungkan dari
kewiraswastaannya dan program serta jasa yang ia berikan kepada franchisee.
Sehubungan dengan itu, franchisee setuju membayar:
a. Pembayaran pertama, yaitu penggunaan hak untuk bekerjasama dalam
sistem bisnis, lokasi yang eksklusif, bantuan konsultasi pencarian lokasi
atau desain lay-out, pelatihan bagi franchisee dan para karyawannya,
perlengkapan, dan investigasi lainnya.
b. Pembayaran yang kedua termasuk royalti, seperti persentase dari laba
franchisee atas harga dari hasil pembicaraan (premises) yang menyangkut
peralatan, pembayaran untuk pemasokan barang atau produk, pengepakan
barang, dan lain-lain.
5. Control Over the Franchised Business
Di sini franchisor mengadakan pemeriksaan terhadap bisnis yang dilakukan
dengan segera setelah penandatanganan kontrak:
a. Untuk menyakinkan seluruh pembayaran yang menjadi haknya;
b. Untuk menyakinkan, bahwa usaha yang dilakukan franchisee akan berhasil;
dan
c. Untuk melindungi franchisee dari bahaya yang mengancamnya, di dalam
kontrak ini terdapat dua macam pemeriksaan, yaitu:
1). Sistem Komunikasi
Hal ini antara lain meliputi laporan berkala dari franchisee mengenai
berbagai aktivitas bisnis. Di sini franchisor akan mendatangi
10
franchisee untuk melakukan pemeriksaan pembukuan, keadaan, dan
kualitas maupun hal-hal yang berkaitan dengan bisnis tersebut
2). Sistem Sanksi
Hal ini antara lain berkaitan dengan masalah pengurangan jasa atau
bantuan, atau penuntutan di muka pengadilan, dan tidak dapat
meneruskan kontrak yang telah berakhir.
6. Expiration and Termination of the Relationship
Kontrak franchise memiliki masa berlaku tertentu, dan biasanya dapat
diperpanjang dengan pembayaran fee kembali.
Di samping itu, Bryce Webster memberikan penjelasan yang lebih
mendetail tentang isi kontrak franchise yang terdiri dari:20
1. Term of contract
2. Contract renewal
3. Location selection
4. Territory and exclusively
5. Lease approval
6. Franchise fees, initial and cash requirements
7. Royalties or regular fees
8. Advertising policies
9. Trademark use restriction
10. Training offered by franchise company
11. On-site assistance and location preparation
12. Use of operations manual
13. Operating practices
14. Obligations to purchase
15. Equipment and premises maintenance
16. Right of inspection
17. Right to audit
18. Similar business or non competition clause
19. Trade secret
20 Bryce Webster, op.cit, hlm 98.
11
20. Cancellation clause
21. Franchisee termination
22. Accurate representation
23. Right to transfer or the right of first refusal
24. Right to inherit
25. Sale of equipment.
Franchisor sebagai Predator
Mengapa perkembangan franchise ini sangat dahsyat? Apa rahasianya ?
Pietra Sarosa, salah seorang pengamat franchise mengatakan keunggulan utama
franchise adalah karena sistem yang disediakan. “Dengan demikian seorang
pemodal yang akan menjalankan investasi tidak harus memulai lagi dari nol.”
Banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa 90 persen usaha bisnis itu gagal
dalam tiga tahun pertama. Dalam menjalankan bisnis yang sudah memiliki sistem
tertentu, seperti yang disediakan franchise para pebisnis atau investor bebas dari
risiko trial and error. Mungkin karena itu seorang penulis, Bob Brooke
mengatakan keuntungan utama dalam bisnis franchise adalah karena risikonya
yang sangat minimal.21
Namun demikian, tidak berarti franchise itu sama sekali bebas dari risiko.
Risiko terbesar franchise adalah karena pihak franchisee tidak memahami sistem
yang ditawarkan oleh franchisor. Kesalahan terbesar yang biasa terjadi yaitu
pihak franchisee tidak melakukan investigate before investing. Investigasi yang
dilakukan baik terhadap sistem maupun kisah usaha dari franchisor.
Karena itu di tengah menjamurnya franchise di Indonesia, investor atau
para calon franchisee harus tetap berhati-hati untuk menggandakan uangnya di
bisnis tersebut. Karena kendati memiliki sistem, data memperlihatkan bahwa
tingkat kegagalan bisnis franchise masih cukup tinggi. Tingkat keberhasilan
franchise dalam negeri masih sebesar 48 persen. Bandingkan dengan tingkat
keberhasilan usaha franchise di luar negeri yang mencapai 92 persen.22
21 Bisnis Indonesia, loc.cit. 22Ibid
12
Di dalam menjalankan bisnis franchise ini, kenyataannya masih banyak
terdapat ketidakadilan yang tertuang dalam kontrak franchise ini. Franchise tidak
berarti sama sekali bebas dari risiko. Dalam kenyataannya, kontrak franchise
seringkali merugikan pihak franchisee.
Selain franchisor memiliki posisi tawar yang lebih tinggi daripada
franchisee, banyaknya produk-produk menarik yang ditawarkan oleh franchisor
secara tidak langsung membujuk franchisee untuk menerima kontrak tersebut.
Posisi tawar yang tidak seimbang menciptakan kontrak “sepihak” (one sided
contract). Dalam kontrak franchise, biasanya franchisor telah mempersiapkan
terlebih dahulu syarat-syarat dan ketentuan kontrak dan kemudian ditawarkan
pada pihak franchisee berdasarkan take it or leave it. Jika franchisee merasa tidak
puas dengan isi kontrak tersebut maka mereka tidak mempunyai kekuatan untuk
menolaknya, karena seringkali sejak franchisee menandatangani kontrak tersebut
maka mereka harus merasa bahwa kontrak itu berlaku walaupun syarat dan
ketentuan kontrak tersebut hanya ditentukan oleh franchisor saja.23
Idealnya, baik franchisor maupun franchisee seharusnya menerima segala
sesuatu sesuai dengan apa yang mereka perjanjikan. Franchisor memiliki sumber
modal baru, ekspansi pasar, dan distributor-distributor yang bermotivasi. Di
samping itu, franchisee juga mendapatkan akses terhadap produk dan pengalaman
yang dimiliki oleh franchisor. Dalam kenyataannya pihak franchisor-lah yang
mendapatkan keuntungan dalam kontrak franchise. Biasanya kontrak ini dibuat
dalam bentuk kontrak baku, di mana sebelumnya franchisor telah mempersiapkan
isi kontrak tersebut dan kemudian ditawarkan pada franchisee. Hal tersebut
menyebabkan hubungan antara franchisor dan franchisee berpotensi untuk
munculnya konflik, karena tidak adanya keterbukaan antara satu sama lain.
Kesuksesan sistem franchise dapat dilihat dari kesuksesan individu yang
menjalankan sistem tersebut. Untuk memastikan sukses atau tidaknya franchisee
menjalankan bisnis franchise dalam lokasi tertentu, maka biasanya franchisor
telah menetapkan kontrol yang ketat terhadap pemilihan lokasi, tampilan,
23 James V. Jordan and Judith B. Gitterman, “Franchise Agreement: Contract Of
Adhesion?” Franchise Law Journal, Vol 16 No 1 summer 1996, hlm 15
13
supplier, pelatihan karyawan, metode produksi, dan pengiklanan. Penyebab
franchisor mendesak untuk menggunakan kontrol tersebut pada franchisee
dikarenakan kesuksesan franchisee secara tidak langsung akan menambah
pendapatan franchisor yang didapatkan dari pembayaran royalti, jasa-jasa, dan
sewa. Selain itu, sistem franchise yang sehat akan memungkinkan bagi franchisor
untuk menjual lokasi franchise yang baru berdasarkan kesuksesan franchise yang
telah ada.24
Karena kesuksesan individual franchisee berperan penting bagi franchisor,
maka tidak heran mengapa franchisor seringkali mengganggu atau melanggar
batas wilayah pemasaran franchisee dengan menempatkan franchise baru atau
membuka gerai baru yang letaknya berdekatan dengan gerai franchise yang telah
ada sebelumnya. Alasan pihak franchisor membuka gerai baru tersebut adalah
untuk memaksimalkan biaya royalti yang dibayarkan oleh franchisee. Biaya
royalti didasarkan pada penjualan kotor dari setiap lokasi franchise. Kesuksesan
franchisee merupakan ukuran pasar untuk menempatkan lokasi tambahan dalam
satu wilayah geografis yang sama. Franchisor berdalih bahwa dua lokasi
franchise akan meningkatkan penjualan produk tersebut daripada hanya membuka
satu gerai franchise saja. Tindakan franchisor ini dilakukan tanpa memperdulikan
bahwa tindakan franchisor tersebut akan mengurangi penjualan dan keuntungan
bersih franchisee yang telah ada sebelumnya.25
Alasan franchisor dalam menginvansi bisnis franchisee-nya dengan
merekrut franchisee baru dan membuka gerai baru yang letaknya berdekatan
dengan gerai yang telah ada sebelumnya dapat dijelaskan secara abstrak. Pada saat
menawarkan kontrak franchise, franchisor berperan sebagai sekutu (ally) akan
tetapi seiring berjalannya waktu franchisor berubah menjadi musuh franchisee
(enemy). Dalam proses negosiasi maupun dalam kontrak franchise itu sendiri,
franchisor berjanji akan melakukan yang terbaik untuk membantu franchisee.
Namun demikian, di kemudian hari franchisee mengetahui bahwa kontrak
24 Ibid. 25 Marc A. Wites, “The Franchisor As Predator: Encroachment And The Implied
Covenant of Good Faith,” University of Florida Journal of Law and Public Policy, Vol 7, 1996,
hlm 306.
14
franchise tersebut hanya mencakup lokasi spesifik bagi franchisee untuk
membuka gerai atau memberikan keleluasaan kepada franchisor untuk membuka
gerai berikutnya yang lokasinya sesuai dengan keinginan franchisor.26
Jika dalam kontrak franchise memberikan hak pada franchisor untuk
mendirikan (atau diijinkan untuk mendirikan) gerai lain di tepat yang lokasinya
berdekatan dengan gerai franchise yang telah ada sebelumnya, maka hal tersebut
harus diatur dengan lebih jelas supaya di kemudian hari franchisee tidak merasa
dirugikan. Jika hak franchisor sebagai predator tidak diatur dengan jelas maka
franchisee harus mempersiapkan diri untuk mempertahankan posisinya
berdasarkan prinsip iktikad baik.27
Kegagalan franchisor dalam memberikan keuntungan, sebagaimana yang
diharapkan franchisee, adalah salah satu sumber konflik. Biasanya masing-masing
pihak berusaha mencari celah untuk melakukan pemutusan kontrak franchise,
tanpa atau dengan alasan yang wajar. Tentu saja pengakhiran kontrak tanpa
adanya alasan yang wajar dan patut akan mengecewakan pihak franchisee dan hal
tersebut telah melanggar asas iktikad baik dan keadilan.28
Selain itu, hubungan kerjasama yang terjalin lama antara franchisee dan
franchisor sangat berpotensi untuk memunculkan adanya konflik. Banyaknya
perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu serta adanya
kompetisi usaha mendesak franchisor untuk merubah, memperbaharui dan
meluaskan gerai-gerai atau jasa franchise yang dimilikinya. Di sisi lain,
franchisor menuntut perubahan ini semuanya dilakukan oleh pihak franchisee
dengan tujuan untuk memajukan bisnis yang dimiliki oleh franchisor tersebut,
yang mungkin saja ide ini bertentangan dengan keinginan para franchisee-nya.29
Salah satu contoh kasus yang terjadi dalam bisnis franchise adalah antara
Western Chance No. 2, Inc. KFC Corp. (Western Chance II). Di mana pihak
26 Ibid, hlm 307. 27 Ibid, hlm 305. 28T. Mark McLaughlin dan Caryn Jacob-, “Termination of Franchise: Application of The
Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing,” Franchise Law Journal, Vol 7, No 1, Summer
1987, hlm 15. 29 W. Michael Garner, “The Implied Covenant of Good Faith in Franchising: A Model for
Discretion,” Oklahoma City University Law Review, 1995, Vol 20, hlm 307.
15
franchisee, Western Chance, mengklaim bahwa dirinya memiliki hak eksklusif
bisnis franchise ini di seluruh wilayah Tucson, Arizona. Hal ini sesuai dengan
kontrak franchise yang telah disepakati sebelumnya dengan pihak KFC Corp.
Dalam kasus ini Western Chance (Western Chance I) menuntut pihak KFC ke
pengadilan setempat ketika pihak KFC membuka gerai KFC baru di wilayah
tersebut yang lokasinya berjarak sekitar satu setengah (1,5) mil dari wilayah
eksklusif yang dimiliki oleh franchisee, tetapi masih berada dalam satu wilayah
kota Tucson. Western Chance menganggap bahwa hal tersebut telah tertuang
secara tertulis dalam kontrak franchise walaupun kontrak ini diproses secara lisan
(oral representation) dari KFC yang menyebutkan bahwa Western Chance
memiliki hak eksklusif yang meliputi seluruh wilayah Tucson.30
Contoh kasus lain yang terjadi yaitu antara Schubot v. McDonalds Corp.,
di mana kasus ini diajukan ke pengadilan negara bagian Florida. Kasus ini
bermula ketika Schubot, seorang franchisee yang memiliki dua gerai McDonalds,
menduga bahwa McDonalds akan membuka gerai franchise baru di wilayah
tersebut. McDonalds menyangkal bahwa dalam kontrak franchise yang telah
mereka buat mencantumkan bahwa franchisee mempunyai hak territorial
eksklusif. Schubot menyatakan bahwa kesepakatan mengenai pemberian hak
secara eksklusif dibuat secara lisan. Kemudian pengadilan menyatakan bahwa
“Pernyataan yang dibuat secara verbal antara para pihak dalam kontrak sebelum,
atau selama pelaksanaan kontrak ini akan digabungkan ke dalam kontrak tertulis
yang berikutnya.” Sehingga, pengadilan memutuskan bahwa kontrak yang dibuat
secara tertulis ini adalah final dan menyakinkan bagi kedua belah pihak tersebut.
Akhirnya franchisee Schubot memenangkan perkara ini dengan menegaskan
statusnya sebagai pemilik multiple-unit franchise.31
Penggunaan bahasa yang tegas dan jelas mengenai beberapa aspek dalam
kontrak yang menyangkut masalah teritorial, seperti radius geografis bagi gerai
individual baru yang akan dibuka, kemungkinan akan menciptakan ambiguitas
tentang apakah franchisee memang memiliki hak territorial eksklusif untuk
30 Marc A. Wites, op.cit, hlm 311. 31 Ibid, hlm 314
16
memiliki secara kolektif atas lokasi-lokasi franchise yang akan dibuka atau tidak.
Dalam kasus Western Chance II, franchisee dapat membantah bahwa gambaran
ekslusifitas teritori yang berubah menjadi pemilik multiple-unit franchise sama
sekali tidak bertentangan dengan klausul teritorial dalam kontrak franchise
individual untuk setiap lokasi. Franchisor sendiri seringkali melakukan kesalahan
dengan tidak menutupi kemungkinan-kemungkinan yang dapat menciptakan
ambiguitas dalam situasi yang tidak dapat diantisipasi dan mengijinkan adanya
bukti ekstrinsik.32
Di samping itu, dalam kontrak franchise biasanya terdapat dua klausul
yang berisi ketidakadilan bagi franchisee, yaitu:33
1. Explicit Territorial Clauses
Dalam kondisi di mana bahasa yang digunakan dalam kontrak franchise
telah secara jelas mengatur tentang hak teritori eksklusif bagi franchisee, masih
sangat diragukan bahwa franchisee secara wajar mengharapkan klausul tersebut
jika klausul tersebut nantinya akan mengurangi keuntungan yang akan diperoleh
selama pengoperasian bisnis franchise-nya. Selama proses negoisasi, franchisee
mulai mencari franchisor sebagai sekutu, di mana franchisee berperan sebagai
pedagang yang menjual semua jasa franchise yang disediakan oleh franchisor
seperti: pelatihan karyawan, on-site reviews, supplier yang berkualitas,
periklanan, dan keahlian dalam memilih tempat. Sebetulnya, tujuan franchisee
dan franchisor sama, kedua belah pihak ikut berperan aktif untuk mewujudkan
tujuan bersama. Sikap seperti ini akan memperbesar kebutuhan franchisor untuk
tetap menjaga kesehatan sistem bisnis franchise-nya yang dipastikan melalui
kesuksesan yang diperoleh oleh para franchisee-nya. Walaupun dalam semua
kasus di mana kontrak franchise memberikan keleluasaan atau kebijaksanaan
penuh bagi franchisor untuk menempatkan franchisee-nya yang lain, kadang
franchisee merasa bahwa penempatan franchisee lain yang dilakukan oleh
franchisor untuk saling berkompetisi dalam satu pasar melanggar iktikad baik
yang sebelumnya telah ada dalam hubungan mereka.
32 Ibid, hlm 314 – 315. 33 Ibid, hlm 317 – 320.
17
Sebagai contohnya, kasus Cohn v. Taco Bell Corp.. Dalam kasus ini
franchisee menyatakan bahwa penempatan gerai baru telah merugikan penjualan
bisnis franchise Cohn-nya sekitar 27% - 40%, dan hal ini telah melanggar asas
iktikad baik dalam kontrak franchise. Kontrak itu sendiri memberikan franchisor
hak tidak terbatas untuk membuka lokasi franchise baru. Pengadilan mengetahui
bahwa klausul dalam kontrak franchise yang memperbolehkan franchisor untuk
membuka lokasi franchise yang baru di manapun juga memang tidak dapat
dibantah. Pengadilan beralasan bahwa "Ketentuan umum (seperti kewajiban untuk
menerapkan iktikad baik) merupakan subjek pengecualian di mana para pihak
dapat, dengan ketentuan yang dinyatakan secara tegas dalam kontrak, memberikan
hak untuk melakukan tindakan dan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan asas
iktikad baik dan fair dealing." Walaupun pengadilan bersimpati pada franchisee,
tetapi hal ini dirasakan seperti memaksakan untuk menggunakan bahasa yang
jelas dalam kontrak. Pengadilan menyatakan bahwa "Pengadilan tidak dapat
dengan mudah merancang kembali kontrak dikarenakan salah satu pihak telah
membuat penawaran yang tidak bijaksana." Selanjutnya pengadilan Cohn
menolak untuk menerapkan iktikad baik dalam kontrak franchise yang terdapat
klausul territorial yang telah jelas diatur tanpa adanya preseden.
Hal yang sama juga terjadi dalam kasus Domed Stadium Hotel v. Holiday
Inns di mana dalam kontrak franchise mereka terdapat klausul territorial yang
memberikan hak kepada franchisor untuk mendirikan dan mengoperasikan gerai-
gerai yang lain di setiap tempat selain tempat yang telah dilisensikan kepada
franchisee-nya. Pengadilan menemukan bahwa pengoperasian Holiday Inns di
hotel lain yang masih dalam satu wilayah kota New Orleans tidak melanggar
ketentuan asas iktikad baik. Pengadilan memutuskan bahwa ketentuan tersirat
untuk menerapkan iktikad baik tidak dapat digunakan untuk mencegah the express
terms yang terdapat dalam kontrak franchise di mana dalam kontrak tersebut
memberikan hak kepada franchisor untuk membuka hotel lain di setiap tempat
yang mereka inginkan kecuali dalam lokasi yang telah ditentukan secara spesifik
oleh pihak franchisee-nya.
18
Dari kedua kasus di atas dapat diketahui bahwa pihak pengadilan enggan
untuk menerapkan iktikad baik dalam kontrak yang telah mengatur secara jelas
tentang klausul hak teritorial eksklusif. Pengadilan melakukan hal ini karena
ketentuan yang secara jelas tersebut merupakan bagian dari kontrak franchise, di
mana kedua belah pihak telah memiliki harapan dan keinginan yang sama terkait
dengan penerapan kontrak ini. Dalam kenyataannya, franchisee menganggap
bahwa keinginan franchisor untuk meluaskan sistem bisnisnya merupakan
tindakan kanibalisasi terhadap pasar franchisee yang telah ada sebelumnya.
2. Ambiguous Territorial Clauses
Penafsiran pengadilan terhadap klausul hak territorial menjadi lebih sulit
ketika kontrak franchise gagal untuk menjelaskan dengan spesifik hak-hak para
pihak dalam bahasa yang jelas dan tegas. Pengadilan Tingkat Banding the Seventh
Circuit, yang menangani kasus antara Photovest Corp v. Fotomat Corp, di mana
dalam kontrak franchise yang dibuat oleh para pihak tersebut tidak mengatur
mengenai wilayah eksklusif. Photovest sebagai franchisor melanggar batas dan
menganggu lokasi bisnis franchisee-nya yaitu Fotomat sebagai usaha untuk
memaksa pihak franchisee untuk mengakhiri kontrak franchise demi keuntungan
pihak franchisor. Gangguan yang dilakukan oleh franchisor yaitu, franchisor
memenuhi seluruh lokasi bisnis franchisee dengan gerai-gerai baru, mengurangi
pelayanan jasa yang diberikan pada franchisee, dan melarang franchisee untuk
mencari biaya pemprosesan foto yang lebih murah. Padahal berdasarkan kontrak
franchise yang mereka buat telah mengatur bahwa setiap lokasi pasar yang dibuka
akan bebas dari gangguan gerai-gerai baru yang akan dibuka dalam jarak radius 2
mil. Walaupun pernyataan tersebut tidak dimasukkan ke dalam kontrak franchise,
pengadilan memutuskan bahwa "the implied covenant melarang tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh franchisor yang kemungkinan akan menghalangi keuntungan
yang akan diperoleh selama pengoperasian bisnis franchise franchisee-nya.
Dengan demikian maka pengadilan the Seventh Circuit menyatakan bahwa
franchisor telah melanggar asas iktikad baik dalam kontrak.
19
Makna dan Fungsi Iktikad Baik dalam Kontrak
Walaupun iktikad baik menjadi asas yang paling penting dalam hukum
kontrak dan diterima dalam berbagai sistem hukum, tetapi hingga kini doktrin
iktikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial.34 Perdebatan utama
yang timbul di sini adalah berkaitan dengan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan iktikad baik.35 Dalam kenyataannya sangat sulit menemukan pengertian
yang jelas tentang iktikad baik tersebut. Allan E. Farnsworth bahkan menyatakan,
di mana doktrin iktikad baik diterima, maka di situ pasti timbul perbedaan dalam
mengartikan iktikad baik tersebut.36 Akibatnya tidak ada makna tunggal iktikad
baik dan berkembang banyak definisi iktikad baik.37
Hal itu dapat dipahami, karena pengaturan iktikad baik dalam hukum
kontrak sangat minim. Bahkan di negara-negara Civil Law yang memasukkan
ketentuan iktikad baik ke kitab undang-undang hukum perdata yang hanya
mengatur sedikit saja. Contohnya Pasal 242 GBG, Pasal 1134 ayat (3) Civil Code
Perancis, dan 1374 ayat (3) BW Belanda (lama) serta pasal 1338 ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia, hanya menyebutkan
bahwa semua kontrak dilaksanakan dengan iktikad baik. Tidak ada penjelasan
lebih lanjut apa yang dimaksud dengan iktikad baik tersebut. Kalaupun ada
ketentuan yang mencoba mendefinisikan ketentuan iktikad baik tersebut, tetapi
definisi itu pun masih juga menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, untuk
dapat memahami makna iktikad baik yang lebih jelas harus dilihat pada penafsiran
iktikad baik dalam praktik peradilan. Bahkan, menurut J. Satrio, ketentuan
pengaturan iktikad baik tersebut merupakan ketentuan yang ditujukan kepada
pengadilan.38 Dikatakan demikian karena sengketa mengenai iktikad baik dalam
prakteknya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya kepada pengadilan. Dengan
34 David Stack, The Two Standard of Good Faith in Canadian Contract Law:,
Saskatchewan Law Review, Vol 62, 1999, hlm 202. 35 Eric M. Holmes, “A Contextual Study of Commercial Good Faith: Good Faith
Disclosure in Contract Formation”, University of Pittsburgh Law Review, Vol 39 No. 3, 1978, hlm
400. 36 David Stack, loc.cit. 37Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia
Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2004, hlm 6-7. 38 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm 166.
20
demikian, perkembangan doktrin iktikad baik lebih merupakan hasil kerja
pengadilan daripada legislatif yang berkembang secara kasus demi kasus.39 Hakim
memegang peranan penting dalam menafsirkan atau memperluas ajaran iktikad
baik tersebut. Akibatnya, makna dan standar iktikad baik lebih disandarkan pada
sikap dan pandangan hakim yang berkembang secara kasus demi kasus. 40 Dalam
hukum kontrak Amerika Serikat akhirnya berkembang dua standar iktikad baik
yakni standar subjektif dan standar objektif.41 Akibat adanya perbedaan standar
ini, dalam kenyataannya penerapan iktikad baik dapat tidak konsisten atau selalu
berubah-ubah. Penafsiran makna iktikad baik dalam kenyataannya sangat beragam
yang bergantung pada sikap dan pemahaman hakim terhadap doktrin iktikad baik
itu sendiri.42
Dengan demikian penerapan iktikad baik dalam kontrak masih
menimbulkan sejumlah permasalahan. Ketentuan iktikad baik dalam kontrak
tersebut pengertiannya masih abstrak, sehingga dalam penerapannya masih
memerlukan penafsiran hakim yang berkembang secara kasus demi kasus.43
Di Negeri Belanda, penafsiran iktikad baik dalam kontrak oleh pengadilan
muncul dalam perkara Hengsten Vereniging v. Onderlinge Paarden en Vee
Assurantie (Artist de Laboureur Arrest), HR 9 Februari 1923, NJ 1923, 676.
menurut Hoge Raad, iktikad baik ini merupakan doktrin yang merujuk kepada
kerasionalan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid) yang hidup dalam
masyarakat. Hoge Raad menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan menurut
kerasionalan dan kepatutan (volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid).
Hoge Raad dengan tegas menyatakan bahwa memperhatikan iktikad baik pada
pelaksanaan kontrak tidak lain adalah menafsirkan kontrak menurut ukuran
39 Werner F. Ebke dan Bettina M. Steinhauer,” The Doctrine Good Faith in German
Contract Law”, Jack betason dan Daniel Friedman, eds, Good Faith and Fault in Contract Law,
Clarendon Press, Oxford, 1995, hlm 7. 40 Perhatikan Clayton P. Gillete, Limitation on the Obligation of Good Faith”, Duke Law
Journal, No. 4, September 1981, hlm 619 – 620. 41 Lebih lanjut lihat Steven J. Burton dan Eric G. Andersen, Contractual Good Faith,
Formation, Performance, Breach, Enforcement, Little Brown and Co, Boston, 1995, hlm 74. 42 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik … op.cit, hlm 7 - 8. 43 Nili Cohen, “Pre-Contractual Duties: Two Freedom and the Contract to Negotiate”,
Jack Beatson dan Daniel Friedman, eds, Good Faith and Fault in Contract Law, Clarendon Press,
Oxford, 1995, hlm 28 dan 30 – 31.
21
kerasionalan dan kepatutan. Dengan demikian lahir pandangan yang menyatakan
bahwa Hoge Raad telah menyamakan iktikad baik dengan kerasionalan dan
kepatutan. Penafsiran yang demikian itu erat kaitannya dengan ketentuan Pasal
1375 BW Belanda (lama) yang menyebutkan:44
"Overeenkomsten verbinden niet alleen tot datgene het welk uitdrukkelijk
bij dezelve bepaald is, maar ook tot al hetgeen dat, naar den aard van
dezelve overeenkomsten, door de billijkheid, het gebruik, of de wet, wordt
goverderd"
Kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan
di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Dengan penafsiran iktikad baik oleh Hoge Raad tersebut, telah ada rujukan
bahwa iktikad baik harus mengacu kepada kerasionalan dan kepatutan, tetapi
rujukan tersebut belum membuat kekaburan iktikad baik menjadi jelas. Pengertian
kepatutan sebagai salah satu bentuk keadilan masih sangat abstrak dan sarat
dengan perdebatan filosofis.
Keabstrakkan dan ketidakjelasan makna iktikad baik dirasakan pula di
Amerika Serikat. Section 1-203 UCC menentukan: "Every contract or duty within
this Act imposes an obligation of good faith in its performance or enforcement".
Kemudian Section 1-209 (19) mendefinisikan iktikad baik sebagai honesty in fact
or transaction. Section 2-103 (1) mendefinisikan iktikad baik dalam kasus suatu
perdagangan sebagai honesty in fact and the observance of reasonable
commercial standard of fair dealing in the trade. Section 205 The Restatement of
Contract (Second) menentukan: "Every contract imposes upon breach party a
duty of good faith and fair dealing in its performance and its enforcement".
Kewajiban iktikad baik yang dibebankan UCC dan diakui pula oleh The
Restatement of Contract (Second) dikaitkan dengan pelaksanaan kontrak.
Walaupun telah ada ketentuan yang memberikan penjelasan otentik iktikad baik
44P.L. Wery, Perkembangan tentang Hukum Iktikad Baik di Nederland, Percetakan
Negara, 1990, hlm 9.
22
tersebut, tetapi oleh banyak kalangan akademisi dan pengadilan masih dirasakan
belum jelas.45
Mengingat ketidakjelasan pengertian dan standar iktikad baik tersebut di
atas, H.G. van der Werf menyebutkan adanya pertentangan mengenai eksistensi
asas iktikad baik. Bagi mereka yang berpikir positif, iktikad baik berguna dalam
mempertahankan hak-hak perdatanya, karena iktikad baik dapat memberikan
penyelesaian atas pertikaian kontrak tidak melalui teknis yuridis. Artinya, iktikad
baik menjadi sarana atau jembatan antara hak perdata di satu pihak sebagai sistem
dogmatis yuridis, di lain pihak hak perdata sebagai sarana keadilan untuk
penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Sebaliknya, bagi yang berpikir skeptis,
iktikad baik tidak ada manfaatnya, yang digambarkan seperti kapal tanpa kemudi,
dia diombang-ambingkan oleh yurisprudensi. Lembaga hukum ini tidak memiliki
pedoman sebagai dasar untuk menguji hubungan yang timbul, juga tidak memiliki
arah dan tujuan. Implikasi lebih jauh dari kejadian di atas, mengakibatkan adanya
pendapat yang menyatakan bahwa makna iktikad baik itu dapat mengancam
prinsip kepastian hukum.46
Dalam hukum kontrak, iktikad baik memiliki tiga fungsi. Iktikad baik
dalam fungsinya yang pertama mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus
ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Fungsi kedua adalah fungsi menambah
(aanvullende werking van de goede trouw). Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi
membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking de goede
trouw).47
1. Penafsiran kontrak harus didasarkan pada Iktikad Baik
Suatu kontrak terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk
menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui
dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Menurut Corbin, penafsiran atau
45 A.F. Mason, “Contract, Good Faith and Equitable in Fair Dealing”, The Law Quarterly
Review, Vol 116, January 2000, hlm 69. 46 H.G. van der Werf, Redelijkheid en Billjikheid in het Contarctenrecht: Enkele
Beschouwingen over Goede Trouw, Redelijkheid en Billijkheid en het Komende Contractenrecht,
Gouda Quint BV, Arnhem, 1982, hlm 12 – 13. 47 Ibid, hlm 49. Lihat juga Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, Contract law
in the Netherlands, Kluwer, Deventer, 1993, hlm 48.
23
interpretasi kontrak adalah proses di mana seseorang memberikan makna terhadap
suatu simbol dari ekspresi yang digunakan oleh orang lain. Simbol yang lazim
digunakan adalah kata-kata, baik satu persatu maupun kelompok, oral atau
tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol yang dapat dilakukan
interpretasi.48 Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah
penentuan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat
oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.49
Asas iktikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak.
Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki ketentuan yang
mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik. Pasal
157 BGB menyatakan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan
iktikad baik. Dalam beberapa sistem hukum lainnya, seperti hukum kontrak
Belanda, peranan iktikad baik dalam penafsiran kontrak dibangun oleh
pengadilan.50 Jika kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik, maka
setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara fair dan patut.
Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik di kalangan sarjana maupun
peraturan perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk
sesuatu yang tidak jelas. Jika isi kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak
diperlukan penafsiran. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1378 BW (lama) Belanda
menentukan bahwa jika kata-kata suatu kontrak telah jelas, tidak diperkenankan
untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (indeen de bewoordingen
eener overeenkomst duidelijk zijn, mag men daarvan door uitlegging niet
afwijken). Sekarang ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi
dibedakan antara isi kontrak yang jelas dan yang tidak jelas, bahkan terhadap
kata-kata yang tampak jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya
48 Arthur Corbin, Corbin on Contract, West Publishing Co, St. Pull, Minn, 1952, hlm
487– 493. 49 Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, op.cit, hlm 96. 50 Martijn Hesslink, “Good Faith”, Arthur Hartkamp, et.al, eds, Toward European Civil
Code, Ars Aqeui Libri, Nijmegen, 1998, hlm 294.
24
kepada kehendak para pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan
makna yang mereka maksud.51
Selain ketentuan di atas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia masih
memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu kontrak. Misalnya
Pasal 1379 BW (lama) Belanda menentukan bahwa jika kata-kata suatu kontrak
dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilih penafsiran yang
meneliti maksud kedua belah pihak yang membuat kontrak itu daripada
memegang teguh kata-kata tersebut secara literal (letterlijk). Dengan demikian,
kontrak harus diberikan penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak atau
maksud para pihak, walaupun artinya harus menyimpang dari kata-kata dalam
kontrak. Di sini terlihat bahwa teori kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar
penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada
menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum. Dalam
kenyataannya ajaran ini menimbulkan berbagai kesulitan. Hal tersebut disebabkan
karena kehendak merupakan gejala psikologis yang tidak dapat dilihat dengan
panca indera. Hal ini berlainan dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang
aliran ini adalah bukan pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek
penafsiran. Penafsiran ini menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata
dan menetapkan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.
Pasal 1380 BW (lama) Belanda menentukan bahwa jika suatu janji dapat
diberikan dua macam, maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang
memungkinkan janji itu dilaksanakan. Ketentuan ini masih mendasarkan
penafsiran pada teori kehendak. Hanya di sini ada fokus perhatian diarahkan
kepada penafsiran yang menafsirkan kontrak sedekat mungkin dengan maksud
para pihak yang memungkinkan kontrak dapat dilaksanakan.
Pasal 1381 BW (lama) Belanda memberikan pedoman lain lagi. Menurut
ketentuan ini, kontrak harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga artinya paling
selaras dengan sifat kontrak tersebut. Setiap jenis kontrak mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Oleh karena itu, sangat logis jika kontrak-kontrak tertentu ditafsirkan
51 A. Joanne Kellerman, “Netherlands”, International Business Lawyer, October 1998,
hlm 422.
25
sesuai dengan ciri-ciri khas kontrak itu. Kesemuanya itu dilakukan dengan
memperhatikan kaitan janji satu dengan semua bagian kontrak lainnya. Tanpa
adanya ketentuan ini pun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena
kata-kata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau ia dikaitkan dengan
kata-kata atau tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi kontrak yang
bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat
berbeda dibanding jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian kata atau benda.
Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan
setempat. Demikian pedoman yang diberikan yang diberikan oleh Pasal 1382 BW
(lama) Belanda. Dengan demikian ukuran yang digunakan untuk menafsirkan
suatu kontrak, ukurannya tidak didasarkan hanya kepada orang yang
menafsirkannya saja, tetapi juga pandangan masyarakat dari tempat kontrak itu
dibuat.
Berlainan dengan BW (lama), BW (baru) Belanda tidak lagi memuat
ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak. Ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak
yang terdapat dalam BW (lama) tersebut telah dihilangkan karena sebagian telah
dianggap tidak diperlukan dan sebagian lagi dianggap terlalu umum rumusannya,
sehingga maknanya tidak tepat.52 Dengan demikian, penafsiran ini seluruhnya
diserahkan kepada dunia peradilan dan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan
ketentuan dan asas-asas dalam penafsiran kontrak.
Ada beberapa prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima pengadilan
di Belanda sebagai berikut:53
a. Maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar menafsirkan makna
literal kata-kata dalam kontrak;
b. Ketentuan-ketentuan kontrak harus dipahami dalam makna in which it would
have any effect rather than in a sense in which it would have no effect;
c. Kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan sifat kontrak;
d. Jika menafsirkan suatu kontrak harus mengingat aspek regional, lokal,
profesional, dan kebiasaan;
52 Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, op.cit, hlm 96. 53 Ibid, hlm 97.
26
e. In case of uncertainties (general) conditions drawn up by a professional party
are in principle construed in favour of other party, specially when the other
party is a consumer;
f. Persyaratan-persyaratan umum yang tertulis atau ketikan tambahan yang
dicetak mengalahkan persyaratan yang dicetak; dan
g. Suatu argumen a contrario harus digunakan dengan penuh hati-hati.
Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti bahwa daftar
tersebut sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-prinsip tersebut
memberikan beberapa pedoman umum penafsiran kontrak. Beberapa prinsip-
prinsip tersebut di atas sebenarnya diambil dari ketentuan penafsiran dalam BW
(lama).
Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang dianut di Amerika
Serikat. Jika di dalam sistem civil law, hakim dapat langsung menafsirkan kontrak
berdasarkan asas iktikad baik, sedangkan dalam sistem hukum common law,
penafsiran kontrak umumnya diarahkan kepada unsur yang mengacu kepada
maksud para pihak (intention the parties).54
Dalam penafsiran kontrak, Williston membedakan antara primary and
secondary rules of interpretation. Primary rules tersebut pengaturannya terdapat
dalam Section 230 Restatement of Contract (Second) yang menentukan:
a. The ordinary meaning of language throughout the country is given to words
unless circumstances show that a different meaning is applicable
b. Technical term and words of art are given their technical meanings unless the
context or a usage which is applicable indicates a different meaning
c. A writing is interpreted as a whole and all writings forming part of the same
transaction are interpreted together
d. All circumstances accompanying the transaction may be taken into
consideration, subject in case of integration to the qualification stated in
Section 230.
54 Arthur Linton Corbin, op.cit, hlm 506.
27
e. If the conduct of the parties subsequent to a manifestation of intention
indicates that all the parties placed a particular interpretation upon it, that
meaning is adopted if a reasonable person could attach it to the manifestation.
Menurut Section 235 The Restatement of Contract (Second), primary rules
ini diterapkan baik terhadap transaksi terintegrasi maupun tidak, dan semata-mata
hanya sebagai pedoman untuk mencapai hasil akhir, yakni the correct application
of the proper standard.
Secondary rules ditemukan dalam Section 236 The Restatement of
Contract (Second) yang menentukan: "Where the meaning to given to an
agreement or to acts relating to the formation of an agreement remain uncertain
after the application of the standard of interpretation stated in section 230, 233m
with the aid of rules stated 235, the following rules are application:
a. An interpretation which gives a reasonable, lawful and effective meaning to
all manifestations of intentions is preferred to an interpretation which leaves a
part of such manifestation unreasonable. Lawful, or of no effect.
b. These principle apparent purposes of the parties is given great, weight in
determining the meaning to be given to manifestations of intentions or to any
part of thereof.
c. Where there is an inconsistency between general provision and specific
provisions, the specific provisions ordinarily qualify the meaning of general
provisions.
d. Where words or other manifestations of intention bear more than one
reasonable meaning an interpretation is preferred which operates more
strongly against the party from whom they proceed, unless their use by him is
prescribed by law.
e. Where written provisions are inconsistent with the printed provisions, an
interpretation is preferred which gives effect to the written provisions.
f. Where a public interest is affected an interpretation is preferred which favour
public.
The secondary rules ini juga diterapkan baik terhadap transaksi yang
terintegrasi maupun bukan, tetapi tidak perlu didalilkan kecuali di mana arti kata
28
atau manifestasi kehendak tetap juga meragukan setelah menerapkan standar
interpretasi yang tepat, dibantu oleh primary rules dalam interpretasi.55
Corbin tidak membedakan antara primary rules dan secondary rules,
standar utama interpretasi yang dipilih Corbin adalah kehendak para pihak yang
tidak mensyaratkan bantuan dari primary rules. Dia juga tidak setuju bahwa
secondary rules hanya dapat diterapkan dalam hal terdapat arti ganda. Corbin
membuat hal itu jelas bahwa aturan interpretasi diambil hanya sebagai suggestive
working rules.56
Apa yang disebut Williston sebagai the secondary rules of interpretation
akan tampak memiliki sedikit sekali relevansi penentuan standar interpretasi yang
dapat diterapkan apakah suatu mutual standard atau suatu individual standard.
Menurut Williston, suatu standar bersama atau standar individual diterapkan jika
ada makna ganda dan para pihak memberikan penjelasan terhadap
pemahamannya. Menurut Corbin, hal itu dapat diterapkan dalam setiap kasus di
mana pihak memberikan penjelasan terhadap pemahamannya. Satu-satunya
relevansi interpretasi ini hanyalah berkaitan dengan permasalahan dari siapa
mengetahui atau hendak mengetahui ambiguitas (Williston) atau siapa mengetahui
atau akan mengetahui pemahaman pihak lainnya (Corbin).57
2. Fungsi Menambah
Dengan adanya fungsi ini, iktikad baik dapat menambah isi suatu kontrak
tertentu dan juga dapat menambah kata-kata ketentuan undang-undang mengenai
kontrak itu. Fungsi yang demikian dapat diterapkan apabila ada hak dan
kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam
kontrak.
3. Fungsi Membatasi dan Meniadakan
Dalam fungsi iktikad baik yang ketiga adalah fungsi membatasi dan
meniadakan. Beberapa pakar hukum sebelum perang berpendapat bahwa iktikad
baik juga memiliki fungsi ini. Mereka mengajarkan bahwa suatu kontrak tertentu
55 John D. Calamari dan Joseph M Perilo, Contract, West Publishing Co, St. Paul, Minn,
1977, hlm 122 – 123. 56 Ibid. 57 Ibid.
29
atau suatu syarat tertentu dalam kontrak atau ketentuan undang-undang mengenai
kontrak itu dapat dikesampingkan, jika sejak dibuatnya kontrak itu keadaan telah
berubah, sehingga pelaksanaan kontrak itu menimbulkan ketidakadilan. Dalam
keadaan yang demikian itu, kewajiban kontraktual dapat dibatasi, bahkan
ditiadakan seluruhnya atas dasar iktikad baik.
Jadi, iktikad baik di sini secara eksplisit memberikan kewenangan kepada
hakim atas dasar kepatutan dan keadilan untuk merevisi atau bahkan meniadakan
seluruh atau sebagian isi dari kontrak. Mengikuti yurisprudensi di Belanda, maka
kepatutan atau keadilan tersebut adalah kepatutan atau keadilan yang berkembang
dalam masyarakat.
Urgensi Penerapan Iktikad Baik
Asas iktikad baik perlu diterapkan dalam kontrak franchise. Hal ini
bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak dalam kontrak tersebut,
sehingga diharapkan dapat mengurangi kerugian yang akan terjadi pada masa
mendatang.
Mengapa franchisor disebut sebagai predator ? Hal ini dapat dilihat dari
perilaku franchisor. Pertama, saat negoisasi franchisor berperan sebagai sekutu
yang baik bagi franchisee dengan menjanjikan bahwa mereka akan menyediakan
bantuan dalam kegiatan bisnis yang akan dimulai oleh franchisee-nya. Kemudian,
seiring dengan berlalunya waktu sedikit demi sedikit bantuan yang mereka
berikan pada franchisee mulai berkurang.
Kedua, seringkali franchisor membuka atau merekrut franchisee baru
dengan tujuan untuk meluaskan pasar bisnis mereka dan memaksimalkan biaya
royalti yang mereka terima tanpa melihat bagaimana akibat yang akan dirasakan
oleh franchisee yang pertama. Hal tersebut secara langsung akan merugikan
franchisee karena penjualan mereka menurun akibat banyaknya gerai franchise
yang berada berdekatan dengan franchisee yang telah ada sebelumnya.
Ketiga, biasanya franchisor akan mencari celah untuk memutuskan
hubungan kontrak franchise tanpa adanya alasan yang patut dan wajar.
30
Keempat, di sini franchisor akan menuntut franchisee untuk
mengembangkan dan melakukan perubahan-perubahan bisnis yang telah mereka
jalankan dengan tujuan untuk memajukan bisnis yang dimiliki oleh franchisor
tersebut sesuai dengan keinginan franchisor, walaupun hal ini mungkin
bertentangan dengan rencana pengembangan bisnis franchisee-nya.
Untuk mengatasi konflik yang mungkin ada dalam kontrak franchise maka
kontrak tersebut harus didasarkan pada iktikad baik dan fair dealing. Franchisee
biasanya menggunakan kewajiban untuk menerapkan iktikad baik dalam kontrak
sebagai usaha untuk membatasi franchisor untuk membuka gerai baru yang
letaknya berdekatan dengan gerai franchise yang telah ada sebelumnya. Hal itu
juga dilakukan untuk mencegah terjadinya ancaman pengakhiran kontrak tanpa
adanya alasan yang baik dan wajar, dan juga untuk membendung atau mengatasi
tuntutan pengembangan bisnis dan tuntutan operasional yang dibebankan pada
pihak franchisee yang berada di luar kewajaran. Dapat dikatakan bahwa prinsip
iktikad baik ini dalam bisnis franchise berfungsi untuk mengekang dan membatasi
tingkah laku, dalam hal ini franchisor, di mana kontrak franchise ini banyak
memberikan keleluasaan kepadanya. Sehingga sangatlah penting asas iktikad baik
diterapkan dalam kontrak franchise.
Penerapan iktikad baik dapat diartikan bahwa pihak yang satu dan pihak
yang lainnya tidak akan saling mencurangi satu dengan lainnya. Makna iktikad
baik itu sendiri adalah honesty, di mana para pihak dalam melaksanakan setiap
kontrak haruslah tidak menyembunyikan fakta-fakta yang ada. Selain itu, iktikad
baik merefleksikan ide yang menuntut keadilan (fairness) bahwa seseorang tidak
akan mengecewakan pihak lain, sehingga sangat penting agar aturan yang dibuat
haruslah jelas sebagaimana juga tindakan yang dilakukan para pihak juga harus
jelas.58
Prase (Phrase) iktikad baik ini biasanya dikaitkan dengan konsep keadilan
(fairness). Seringkali pihak franchisee terburu-buru dalam mengadakan kontrak
franchise dengan franchisor sehingga mereka tidak melakukan investigasi terlebih
58 Hans Kelsen, Introduction to the Problems of legal Theory, Clarendon Press, Oxford,
1992, hlm 15-19.
31
dahulu terhadap substansi kontrak franchise, mereka langsung saja
menandatangani kontrak tersebut tanpa memikirkan akibat apa yang mungkin
akan muncul di kemudian hari.
Dalam menilai iktikad baik, hakim harus memperhatikan kepatutan. Setiap
kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity
yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi
kedua belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan
hukum itu sendiri, yaitu merealisasikan keadilan.
Kewajiban untuk menerapkan iktikad baik itu sendiri merupakan suatu
instrumen pelengkap di mana ruang lingkup hak dan kewajiban para pihak tidak
jelas sebagai akibat dari ambiguitas dan ketidakjelasan kontraktual. Kewajiban ini
merupakan suatu dasar bagi para pihak dalam kontrak franchise yang memberikan
hak kepada franchisor untuk bebas menentukan lokasi franchise baru, maka
franchisor harus mempunyai alasan yang wajar dan didasarkan pada iktikad baik
jika ingin mendapatkan ijin untuk merelokasi bisnisnya.
Asas iktikad baik melindungi kepentingan para pihak dalam hubungan
kontraktual. Asas ini menempatkan kewajiban bagi para pihak untuk tidak
melakukan tindakan destruktif terhadap pihak lain dengan memberikan hak
kepadanya untuk menikmati keuntungan yang didapat dari kontrak tersebut dan
berkewajiban untuk melakukan segala sesuatu agar tujuan dari kontrak tersebut
dapat terwujud sesuai dengan harapan mereka. Hal yang senada juga diungkapkan
dalam The Restatement of Contract (Second), section 205 yang menyatakan
bahwa “every contract imposes upon each party a duty of good faith and fair
dealing in its performance and its performance....(by emphasizing) faithfulness to
an agreed common purpose and consistency with the justified expectations of
other party.”
Kewajiban untuk menerapkan iktikad baik ini dapat juga berperan sebagai
larangan untuk melakukan tindakan-tindakan iktikad buruk karena iktikad baik itu
sendiri, sesuai dengan definisinya, “melarang berbagai jenis tindakan yang
mempunyai karakter yang termasuk dalam iktikad buruk karena tindakan ini
32
bertentangan dengan standar kesusilaan yang hidup dalam masyarakat, asas
keadilan atau kepatutan.59
Dengan menggunakan asas iktikad baik dalam membuat kontrak franchise,
dapat mencegah kerugian yang akan dialami oleh pihak lain. Seperti yang telah
kita ketahui bahwa keberadaan iktikad baik dalam hukum menjamin kemungkinan
bagi para pihak untuk sama-sama mendapatkan keuntungan di dalam kontrak
yang mereka buat. Iktikad baik berfungsi untuk melengkapi, di mana hak dan
kewajiban para pihak di dalam kontrak tidak jelas sebagai akibat dari ambiguitas
ataupun kebisuan (silence).60
Standar penerapan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu
kepada iktikad baik yang objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik
objektif adalah standar yang objektif yang mengacu kepada suatu norma yang
objektif. Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma
objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat.61
Selain itu, asas iktikad baik dalam kontrak franchise harus sudah ada sejak
fase pra kontrak di mana para pihak mulai melakukan negoisasi hingga mencapai
kesepakatan, dan fase pelaksanaan kontrak. Pembahasan iktikad baik tersebut
semestinya dimulai dari iktikad baik dalam fase pra kontrak lalu dilanjutkan
dengan iktikad baik pada saat pelaksanaan kontrak.62
Iktikad baik dalam fase pra kontrak franchise yaitu pada saat negoisasi, di
sini franchisor berkewajiban untuk memberitahukan seluruh informasi tentang
franchise tersebut kepada franchisee. Seluruh fakta material harus diberikan
kepada pihak franchisee untuk menghindari akibat kerugian bagi pihak franchisee.
Dalam proses negoisasi, franchisee juga harus menggunakan asas kecermatan
dalam menyusun kontrak yakni adanya kecermatan bagi franchisee untuk meneliti
dan memeriksa fakta-fakta material yang berkaitan dengan kontrak tersebut
apakah terdapat syarat-syarat dalam kontrak tersebut yang mengandung
ketidakadilan dan ketidakpatutan atau tidak.
59 Marc A. Wites., op.cit, hlm 308. 60 T. Mark McLaughlin and Cryn Jacobs, loc.cit. 61 Ibid, hlm 195. 62 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik … op. cit, hlm 190.
33
Iktikad baik dalam fase pelaksanaan kontrak, di sini baik franchisor
ataupun franchisee harus melaksanakan kontrak franchise dengan berdasarkan
iktikad baik. Iktikad baik di sini berarti bahwa para pihak harus menjalankan
kontrak sesuai dengan asas kerasionalan dan kepatutan
Penutup
Dalam kontrak franchise harus didasarkan pada asas iktikad baik. Karena
iktikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi kebebasan
berkontrak dan kekuatan mengikatnya kontrak. Selain itu juga dapat mencegah
kerugian yang dialami oleh salah satu pihak, karena tidak adanya posisi tawar
yang seimbang dalam kontrak franchise. Penerapan asas iktikad baik ini juga
berperan sebagai instrumen perlindungan hukum bagi para pihak lemah,
khususnya franchise dalam kontrak franchise.
34
Daftar Pustaka
Burton, Steven J. dan Eric G. Andersen, Contractual Good Faith, Formation,
Performance, Breach, Enforcement, Little Brown and Co, Boston, 1995
Calamari, John D. dan Joseph M Perilo, Contract, West Publishing Co, St. Paul,
Minn, 1977.
Cheeseman,, Henry R. “Business Law: The Legal, Ethical, and International
Environment,” Edisi Kedua, New Jersey, Englewood Cliffs, 1995.
Cohen, Nili, “Pre-Contractual Duties: Two Freedom and the Contract to
Negotiate”, Jack Beatson dan Daniel Friedman, eds, Good Faith and Fault
in Contract Law, Clarendon Press, Oxford, 1995.
Corbin, Arthur Corbin on Contract, West Publishing Co, St..Pall, Minn, 1952
Ebke, Werner F. damn Bettina M. Steinhauer,” The Doctrine Good Faith in
German Contract Law”, Jack betason dan Daniel Friedman, eds, Good
Faith and Fault in Contract Law, Clarendon Press, Oxford, 1995.
Garner, Bryan A, ed, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St Paul Minn,
1979.
Garner W. Micheal, “The Implied Covenant of Good Faith in Franchising: A
Model For Discretion”, Oklahoma City University Law review 1995, Vol
20.
Gillete, Clayton P, “Limitation on the Obligation of Good Faith”, Duke Law
Journal, No. 4, September 1981.
Hartkamp, Arthur S dan Marianne M.M. Tillema, Contract Law in the
Netherlands, Kluwer, Deventer, 1993.
Hesselink, Martijn “Good Faith”, Arthur Hartkamp, et.al, eds, Toward European
Civil Code, Ars Aqeui Libri, Nijmegen, 1998.
Holmes, Eric M, “A Contextual Study of Commercial Good Faith: Good Faith
Disclosure in Contract Formation”, University of Pittsburgh Law Review,
Vol 39 No. 3, 1978.
Izraeli, Dov, Franchising and The Total Distribution System, Longman Group
Ltd., London, 1972.
35
Jordan, James V. dan Judith B. Gitterman, “Franchise Agreement: Contract Of
Adhesion?” Franchise Law Journal, Vol 16 No 1 summer 1996.
Kellerman, A. Joanne “Netherlands”, International Business Lawyer, October
1998.
Kelsen, Hans, Introduction to the Problems of Legal Theory, Clarendon Press,
Oxford, 1992.
Khairandy, Ridwan, “Franchise dan Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi:
Suatu Tinjauan Hukum,” Jurnal Hukum, No. 7, Vol. 4, Yogyakarta,
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997.
_______, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Universitas Indonesia
Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2004.
Maulana, Insan Budi, et.al., eds, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I,
Yayasan Klinik HAKI Jakarta-PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
2000.
Mason A.F, “Contract, Good Faith and Equitable in Fair Dealing”, The Law
Quarterly Review, Vol 116, January 2000.
McLaughlin, T. Mark dan Caryn Jacobs, “Termination of Franchise: Application
of The Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing,” Franchise Law
Journal, Vol 7, No 1, Summer 1987.
Queen, Douglas J, Pedoman Membeli dan Menjalankan Franchise-Tuntunan
Langkah Demi Langkah Menuju Keberhasilan Suatu Franhcise, PT Elex
Media Komputindo-Kelompok Gramedia, Jakarta, 1993.
Silalahi, M. Udin, “Kontrak Franchise Berdasarkan Hukum Persaingan Eropa,”
Jurnal Hukum Bisnis, Vol 6, 1999.
Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung,
1992.
Stack, David, The Two Standard of Good Faith in Canadian Contract Law:,
Saskatchewan Law Review, Vol 62, 1999.
36
UNTCT, Transnational Corporation and Technology Transfer: Effects and Policy
Issues, United Nations, New York, 1987.
Wardiono, Kelik “Franchise: Sebuah Media Pengalihan dan Penguasaan
Kemampuan Teknologi,” Jurnal Jurisprudence, Vol. 1, No. 1, Maret 2004.
Webster, Bryce “The Insider’s Guide to Franchising,” AMACOM, American
Management Association, New York, 1986.
Werf, H.G. van der Redelijkheid en Billjikheid in het Contarctenrecht: Enkele
Beschouwingen over Goede Trouw, Redelijkheid en Billijkheid en het
Komende Contractenrecht, Gouda Quint BV, Arnhem, 1982.
Wery, P.L, Perkembangan tentang Hukum Iktikad Baik di Nederland, Percetakan
Negara, 1990
Wites, Marc A, “The Franchisor As Predator: Encroachment And The Implied
Covenant of Good Faith,” University of Florida Journal of Law and
Public Policy, Vol 7, 1996.
1
Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di Indonesia
terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
Dosen Fakultas Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
Abstrak Penelitian ini difokuskan pada persoalan makna, tolok ukur, dan
pemahaman dan sikap pengadilan terhadap iktikad dalam pelaksanaan
kontrak. Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan yuridis
normatif dan perbandingan hukum dengan data sekunder berupa
kepustakaan dan dokumen putusan pengadilan. Dari penelitian ini
ditemukan hasil : Pertama makna iktikad baik tidak universal, tetap
kecenderungannya mengacu kepada iktikad baik objektif. Kedua tolok
ukur atau standar iktikad baik tersebut adalah standar objektif yang
mengacu kepada kerasionalan dan kepatutan. Ketiga pengadilan di
Indonesia tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang iktikad
baik. Pada awalnya pengadilan lebih mengkedepankan asas facta sunt
servanda, namun belakangan iktikad baik lebih dikedepankan.
Kata Kunci: iktikad baik, kerasionalan, dan kepatutan.
This research focuses three legal issues deal to the meaning, legal tests,
and understanding and attitude Indonesian court about good faith on
contract performance. Using the descriptive analysis with normative
juridical approach and comaprative, and library data, this research
reveals: First of all, the meaning of good faith on contract performance
is not universal, but there is a tendency its meaning refers to objective
good faith. Second, legal test of that good faith uses objective tests,
namely reasonableness and equity. Lastly, Court in Indonesia does not
have deep understanding of good faith on contract performance
Keywords: good faith, reasonableness, and equity.
Pendahuluan
Iktikad baik (good faith) dalam pelaksanaan kontrak merupakan lembaga
hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh
Civil Law. Belakangan, asas ini diterima pula hukum kontrak di negara-negara yang
2
menganut Common Law, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Bahkan asas
ini telah diterima pula oleh hukum internasional seperti Artikel 1.7 UNIDROIT dan
Artikel 1.7 Convention Sales of Goods.1 Asas ini ditempatkan sebagai asas yang paling
penting (super eminent principle) dalam kontrak.2 Ia menjadi suatu ketentuan
fundamental dalam hukum kontrak, dan mengikat para pihak dalam kontrak.3
Walaupun iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah menjadi asas yang
paling penting dalam kontrak, namun ia masih meninggalkan sejumlah kontroversi.
Sekurang-kurangnya ada tiga persoalan yang berkaitan dengan iktikad baik tersebut.
Pertama, pengertian iktikad baik tidak bersifat universal. Kedua, tolok ukur yang
digunakan hakim untuk menilai ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak. Ketiga,
pemahaman dan sikap pengadilan di Indonesia berkaitan iktikad baik dalam pelaksanaan
kontrak. Ketiga persoalan itu menjadi permasalahan pokok permasalahan dalam
penelitian ini.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini adalah metode
penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif dan komparatif. Metode yuridis
normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis data yang
mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan. Metode yuridis normatif ini mengacu pula kepada penelitian yang
mengarah kepada dasar filosofis kontrak, khususnya berkaitan dengan landasan filosofis
1 Lihat Mary E. Histock, “The Keeper of the Flame: Good Faith and Fair Dealing in
International Trade”, Loyola of Los Angeles Law Review, Vol 25 April 1996, hlm 160 2 A.F. Mason, “Contract, good Faith and Equitable Standard in Fair Dealing”, The Law
Quarterly Review, Vol 116, January, 2000, hlm 66. 3 Jeffrey M. Judd, “The Implied Covenant of Gaood Faith and Fair Dealing: Examining
Employeee Good Faith Duties”, The Hasting Law Journal, Vol 39, January, 1998, hlm 483.
3
keberadaan doktrin iktikad baik. Dengan metode penelitian tersebut dilakukan pula
penelusuran sejarah hukum terbentuknya doktrin iktikad baik. Hal tersebut dilakukan
karena mengingat penelitian ini akan pula menelusuri perkembangan pemikiran dan
penerapan iktikad baik yang berakar dalam hukum Romawi hingga sampai pada bentuk
iktikad baik dalam kontrak yang berkembang saat ini. Untuk melihat iktikad baik dalam
konteks historis ini dilakukan penelusuran literatur, termasuk di dalamnya putusan-
putusan pengadilan.4 Dari literatur dan yurisprudensi tersebut dapat dilihat realitas masa
lampau.5
Karena penelitian ini menelusuri sejarah lahirnya dan berkembangnya
konsep iktikad baik, dan dilakukan komparasi iktikad baik yang berkembang dalam
Civil Law, khususnya hukum Belanda dan Common Law, khususnya Anglo American.
Metode tersebut digunakan mengingat penelitian ini bermaksud membandingkan norma
iktikad baik dalam peraturan perundang-undangan dalam Civill Law dan Common Law.
Perbandingan hukum dalam disertasi ini dilakukan dengan memperhatikan latar
belakang budaya, politik, dan ekonomi dalam kedua sistem hukum tersebut.6 Oleh
karena itu, perbandingan hukum di sini dilakukan dengan cara: Pertama,
membandingkan isi teks peraturan perundang-undangannya; Kedua, ditelusuri latar
belakang timbulnya norma tersebut; Ketiga, dilakukan perbandingan hukum melalui
putusan pengadilan. Jika tidak dijumpai kasus yang sama dalam putusan pengadilan,
4 Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, eds, Hanbook of Qualitative Research, Sage
Publication, London, 1994, hlm 205. 5 Ibid. 6 Bernard Grossfeld, The Strength and Weakness of Comparative Law, Clarendon Press,
Oxford, 1990, hlm 72 – 74.
4
maka putusan pengadilan di dalam suatu sistem hukum dapat dijadikan contoh
penerapan norma tersebut.
Metode penelitian hukum di atas dilakukan dengan pendekatan yang bersifat
kualitatif. Metode yang demikian mengingat penelitian tidak terlalu mementingkan
kuantitas datanya, tetapi lebih mementingkan kedalamannya. Hal ini dilakukan
mengingat terjadi perubahan pandang terhadap iktikad baik tidak digantungkan pada
banyaknya putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan
atau dokumen peraturan perundang-undangan, buku, jurnal hukum, dan berbagai
putusan pengadilan yang berkaitan dengan iktikad baik di Indonesia, Belanda, dan
Amerika Serikat. Hasil penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan dianalisis
secara kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif dan komparatif.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak Tidak Universal
Perkembangan iktikad baik dalam hukum Romawi tidak lepas kaitannya
dengan evolusi hukum kontrak itu sendiri. Pada mulanya hukum Romawi hanya
mengenal iudicia stricti iuris, yakni kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum
(negotium) yang secara ketat dan formal mengacu ke ius civile. Apabila hakim
menghadapi kasus kontrak semacam itu, ia harus memutusnya sesuai dengan hukum.
Hakim terikat kepada apa yang secara tegas dinyatakan dalam kontrak (express term).
Berikutnya berkembang iudicia bonae fidei. Perbuatan hukum yang didasarkan iudicia
bonae fidei disebut negotia bonae fidei. Konsep negotia berasal dari ius gentium yang
mensyaratkan pihak-pihak yang membuat dan melaksanakan kontrak harus sesuai
5
dengan iktikad baik.7 Dengan demikian, hukum kontrak Romawi mengenal dua macam
kontrak, yakni iudicia stricti iuris dan iudicia bonae fidei. Domat dan Pothier sebagai
penganut ajaran hukum alam Romawi yang mendominasi pemikiran substansi isi Code
Civil Perancis tidak setuju dengan kedua pembedaan tersebut. Dia menyatakan bahwa
hukum alam dan hukum kebiasaan menentukan bahwa setiap kontrak adalah bonae fidei,
sebab kejujuran dan integritas harus selalu ada dalam semua kontrak yang menuntut
pemenuhan kontrak harus sesuai dengan kepatutan.8
Doktrin iktikad baik dalam hukum Romawi berkembang seiring dengan
diakuinya kontrak konsensual yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual beli,
sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan mandat.9 Doktrin iktikad baik berakar pada
etika sosial Romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan ketaatan dan
keimanan yang berlaku bagi warganegara maupun bukan.10
Iktikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para
pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau
perkatannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan
yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi
7 P. van Warmelo, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co Ltd, Cape
Town, 1976, hlm 151. 8 Simon Whittaker dan Reinhard Zimmerman, “Good Faith European Contract Law: Surveying
the Legal Landscape”, Reinhard Zimmerman dan Simon Whittaker, eds, Good Faith in European
Contract Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2000, hlm 32. 9 Jill Pride Anderson, “Lender Liability for Breach of Obligation of Good Faith Performance”,
Emory Law Journal, Vol 36, 1987, hlm 919. Perhatikan pula Alan Watson, Roman Law & Commerce
University Of Georgia Press, Athens, 1995, hlm 60. 10 Martin Joseph Schermaier, “Bona Fides in Roman Contract Law”, Reinhard Zimmerman
dan Simon Whittaker, eds, op.cit, hlm 77.
6
kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban itu
tidak secara tegas diperjanjikan.11
Inti konsep bona fides adalah fides. Fides kemudian diperluas ke arah bona
fides. Fides merupakan suatu konsep yang pada mulanya merupakan sumber yang
bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang
lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang
lain.12
Pada era Kaisar Justianus (abad keenam masehi), doktrin iktikad baik sebagai
asas penting dalam hukum kontrak makin berkembang.13 Pengadilan-pengadilan di
Romawi mengakui akibat hukum kontrak konsensual.14 Pertumbuhan komersial dan
evolusi masyarakat menciptakan kebutuhan yang lebih praktis dan non ritualistik dalam
pembuatan kontrak, dan kekuatan mengikat kontrak semata-mata didasarkan pada
konsensus. Untuk melahirkan perjanjian cukup didasarkan pada kesepakatan para pihak,
tanpa harus dilaksanakan dengan ritual tertentu, atau ditentukan secara tegas dituangkan
dalam bentuk tertentu.15
Kecenderungan seluruh sejarah hukum kontrak Romawi bergerak dari
formalistik ke arah konsensual, dan pengakuan akan arti pentingnya iktikad baik dalam
kontrak yang dikembangkan melalui diskresi pengadilan.16 Konsep iktikad baik tersebut
11 James Gordley, “Good Faith in Contract Law in the Medieval Ius Commune”, Reinhard
Zimmerman dan Simon Whittaker, eds, ibid, hlm 94 12 Saul Latvinoff, “Good Faith”, Tulane Law Review, Vol 71 No. 6, January 2000, hlm 1646 –
1648. 13 Perhatikan Jill Pride Anderson, loc.cit. 14 Helmut Coing, “Analysis of Moral Values by Case Law”, Washington University Law
Quarterly, Vol 65, 1987, hlm 713. 15 Saul Latvinoff, loc.cit. 16 Carleton Kemp Allen, Law in the Making, Clarendon Press, Oxford, 1978, hlm 395.
7
diperluas sedemikian rupa melalui diskresi pengadilan Romawi. Diskresi tersebut
membolehkan orang membuat kontrak di luar formalisme yang telah ditentukan dan
mengakui ex fide bona, yakni sesuai dengan persyaratan iktikad baik. Di sini terlihat
bahwa pengadilan di Romawi selain mengakui keberadaan atau kekuatan hukum kontrak
konsensual, pada saat yang sama juga membebankan adanya kewajiban iktikad baik bagi
para pihak.17 Jika seorang tergugat melakukan wanprestasi dalam suatu kontrak
konsensual, dia langsung dapat digugat ke pengadilan oleh tergugat atas dasar
melanggar kewajiban iktikad baik.18 Dalam menghadapi keadaan demikian, menurut
Lawson, hakim harus melakukan:19
“Found to be due to ex bona fides, that is to say, in accordance with the
requirements of good faith; and this cast on the judge, or rather the jurists who
advised him, the burden of deciding what kind what the defendant ought in
good faith to have done, in other words what kind of performance the contract
called for. This meant that, in contrast to the stipulation, where all the term
had to be expressed, the parties would be bound not only by the terms they had
actually agreed to, but by all the terms that were naturally implied in their
agreement”.
Tidak seperti pengadilan Common Law yang secara tradisional memiliki
kewajiban untuk menafsirkan kontrak berdasarkan isi kontrak untuk menentukan
maksud para pihak, hakim dan sarjana hukum Romawi memiliki tanggung jawab untuk
menentukan apakah para pihak telah bertindak sesuai dengan iktikad baik.20 Dengan
17 Helmut Coing, loc.cit. 18 Jill Pride Anderson, op.cit., hlm 920. 19 E. Allan Farnsworth, “Good Faith Performance and Commercial Reasonableness under the
Uniform Commercial Code”, The University of Chicago Law Review, Vol 30 (1963), hlm 669. 20 Jill Pride Anderson, loc.cit.
8
demikian, para pihak tidak hanya terikat kepada isi perjanjian (term) yang secara jelas
telah disepakati, tetapi juga kepada semua isi yang tersirat dalam perjanjian mereka.21
Inti hukum Romawi kontrak adalah maksim pacta sunt servanda, yang
dijadikan ketentuan dasar iktikad baik. Menurut formulasi Justianus, pacta sunt
servanda mempertahankan prinsip: “What is so suitable to the good of mankind as to
observe those things which parties have agreed upon”.22
Dengan demikian, fides bermakna sebagai keyakinan akan perkataan
seseorang. Bona fides diterapkan untuk memastikan isi kontrak. Kepercayaan akan
perkataan seseorang merupakan prasyarat bagi suatu hubungan hukum, dan Cicero
menggambarkannya sebagai fundamentum iustitiae.23
Iktikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak,
tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab
iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan
standar keadilan atau kepatutan masyarakat.24 Dengan makna yang demikian itu
menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur
hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki kewajiban
untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara.25 Ini merupakan
konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini
sesuai dengan postulat Roscoe Pound yang menyatakan “men must be assume that those
21 Jason Tandal Erb, “The Implied Covenant of good Faith and fair dealing in Alaska: One
Court’s License to Override Contractual Expectation”, Alaska Law Review, Vol 11 (1994), hlm 38. 22 John Klein, “Good Faith in International Transaction”, The Liverpool Law Review, Vol XV
(2),1993, hlm 117. 23 Martin Joseph Schermaier, op.cit., hlm 78. 24 P. van Warmelo, loc.cit. 25 Eric M. Holmes, “A Contractual Study of Commercial Good faith: Good Faith Disclosure in
Contract Formation”, University of Pittsburg Law Review, Vol 39 No.3, 1978, hlm 402.
9
with whom they deal in general intercourse of society will act in good faith and will
carry out their undertaking according to the expectation of the community”.26 Dengan
demikian, jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif
yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang
serupa terhadap dirinya.27
Di dalam hukum Kanonik, kewajiban iktikad baik menjadi suatu moral yang
universal yang secara individual ditentukan oleh kejujuran dan kewajiban seseorang
kepada Tuhan.28 Setiap individu harus memegang teguh atau mematuhi janjinya. Para
sarjana hukum Kanonik mengkaitkan iktikad baik dengan good conscience. Mereka
memasukkan makna religius faith ke dalam good faith dalam pengertian hukum.29
Dengan demikian, konsep iktikad baik dalam hukum Kanonik menggunakan standar
moral subjektif yang didasarkan pada kejujuran individual.30 Konsep ini jelas berlainan
dengan konsep iktikad baik dalam hukum Romawi yang memandang iktikad baik
sebagai suatu universal social force.
Asas iktikad baik ini muncul kembali pada komunitas pedagang (mercantile
community) sepanjang abad ketujuh hingga keduabelas.31 Selain dipengaruhi oleh aspek
religius, perkembangan iktikad baik juga dipengaruhi pertumbuhan komunitas pedagang
pada abad duabelas yang memerlukan iktikad baik di dalam hubungan diantara mereka.
Ini berkaitan dengan iktikad baik dalam hubungan komersial yang diserap hukum
26 Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law (New Brunswick: Transaction
Publisher, 1999), hlm 237 – 238. 27 Eric Holmes, loc.cit. 28 Jason Randal Erb, loc.cit. 29 James Gordley, loc.cit. 30 Eric Holmes, op.cit, hlm 403. 31 Paul J. Powers, loc.cit.
10
merkantil (lex mercatoria) Eropa pada abad sebelas dan duabelas. Pada waktu itu
kelompok pedagang itu memerlukan seperangkat hukum merkantil baru yang
dikembangkan untuk kebutuhan mereka. Hukum merkantil yang berkembang saat itu
tidak hanya mengatur jual beli barang, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain dalam
transaksi komersial, seperti pengangkutan, asuransi, dan pembiayaan.32
Untuk memfasilitasi pertumbuhan sektor komersial tersebut, pedagang Eropa
tersebut meminta penekanan adanya suatu fokus baru bagi hak yang bersifat timbal
balik. Fokus resiprositas ini yang diinginkan adalah adanya suatu transaksi komersial
yang fairly exchange diantara para pihak yang dimanifestasikan oleh pembagian
keuntungan dan tanggung jawab yang seimbang.33 Prinsip resiprositas menjadi jantung
atau inti hukum merkantil pada abad sebelas dan duabelas.34 Resiprositas sendiri
dipahami dalam makna saling memberi dan menerima (take and give) dalam seluruh
transaksi komersial yang mencakup seluruh keuntungan dan tanggung jawab para pihak.
Penjual melepaskan barang dan pembeli melepaskan uangnya. Kreditor menyerahkan
dana dan debitor terikat untuk membayar pinjaman ditambah dengan bunga. Pengangkut
memiliki kewajiban untuk mengangkut barang dan pengirim barang wajib membayar
biaya angkutannya. Pada waktu itu fairness of exchange dimasukkan ke dalam iktikad
baik. Prinsip resiprositas diletakkan sebagai dasar iktikad baik dalam kontrak.
Prinsip iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa
para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan
karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma hukum. Unsur
32 Jill Pride Anderson, loc.cit. 33 John Klein, loc.cit. 34 Jill Pride Anderson, loc.cit.
11
moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi
suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum.35
Prinsip iktikad baik di negara-negara Civil Law banyak dipengaruhi tradisi
hukum Romawi dan Kanonik. Namun demikian, perumusan kewajiban iktikad baik
sangat berbeda antara negara yang satu dengan lainnya.
Pasal 242 BGB Jerman menentukan, “Der Schuldner ist verplictet, die leistung
so zu bewirken, wis True und Glauben mit Ructsicht auf die Verkehssite es erfoden.”
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ketentuan ini berbunyi, “the debtor is
bound to effect performance according to requirement of good faith, common habits
being dully taken into consideration.” 36
Dari ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa pembentuk undang-undang
berkehendak mempertahankan prinsip lama hukum Romawi di mana debitor harus
melaksanakan perikatannya, terutama yang lahir dari kontrak sesuai dengan iktikad
baik.37 Iktikad baik di dalam sistem hukum kontrak Jerman selain diatur dalam Pasal
242 BGB tersebut juga diatur dalam Pasal 157 BGB. Pasal 157 BGB tersebut
menentukan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik.
Hukum yang didasarkan pada yurisprudensi pengadilan Jerman ternyata
memberikan penafsiran yang berbeda. Mereka menjadikan iktikad baik sebagai prinsip
umum yang diterapkan dalam seluruh spektrum hukum perdata. Pada tahun 1914,
35 Bernard Dutoit, “Good Faith and Equity in Swiss Law”, Ralph Newman, ed, Equity in the
World’s Legal System, Establishment Emile Bruylant, Brussels, 1973, hlm 310. 36 Lihat E.J. Cohn, Manual of German Law, Volume I General Introduction Civil Law, The
British Institute of International and Comparative Law, London, 1968, hlm 96 – 97 37 Helmut Coing, op.cit, hlm 717.
12
Mahkamah Agung Jerman (Reichtsgerecht) menyatakan:38 “the system of Civil Code is
permeated by the bona fide principle (True und Glauben)... principle that all fraudulent
behavior must be repressed.”
Pencantuman kewajiban iktikad baik di dalam kontrak yang diatur di Pasal
1134 ayat (3) Civil Code Perancis yang menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan
dengan iktikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Makna umum iktikad
baik di sini mengacu kepada standar perilaku yang reasonable yang tidak lain bermakna
bahwa orang harus mematuhi janji atau perkataannya dalam segala keadaan. Domat
yang memformulasikan Pasal 1134 ayat (3) tersebut, dengan menterjemahkan prinsip
iktikad baik tersebut dari pandangan Jansenist-nya yang menyatakan bahwa manusia,
sebagai orang yang penuh dosa hanya mampu menerima divine grace dengan
melaksanakan janjinya bagaimana pun juga. Pandangan yang bersifat moral ini juga
dihubungkan dengan kecenderungan tertentu dan kebutuhan masyarakat, which avid for
security a century of civil and religious wars. Ajaran perilaku yang reasonable terus
berlanjut dan diimplementasikan dalam situasi normal di mana seseorang harus
memenuhi janji atau perkataannya.39
Pengaturan yang serupa juga terdapat di dalam Pasal 1374 ayat (3) Burgerlijk
Wetboek (lama) Belanda yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik. Menurut P.L. Wery, makna pelaksanaan iktikad baik (uitvoering te goeder
trouw) dalam Pasal 1374 ayat (3) di atas masih tetap sama dengan makna bona fides
dalam hukum Romawi beberapa abad lalu. Iktikad baik bermakna bahwa kedua belah
38 Ibid 39 Mathias Storme, “The Binding Character of Contracts – Causa and Consideration”, Arthur
Hartkamp, et.al., eds., Toward a European Civil Code, Ars Aequi Libri, Nijmegen, 1998, hlm 249.
13
pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa
mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga
kepentingan pihak lainnya.40
Seperti halnya Civil Code Perancis, BW (lama) Belanda juga tidak
memberikan pengertian atau definisi iktikad baik. Hoge Raad menafsirkan dan
memperluas ketentuan iktikad baik tersebut. Hoge Raad dalam putusannya dalam
Hengsten Vereniging v. Onderlinge Paarden en Vee Assurantie (Artist De Laboureur
Arrest), 9 Februari 1923, NJ 1923, 676, menyatakan bahwa dalam menafsirkan
ketentuan kontrak dilaksanakan dengan iktikad baik bermakna bahwa kontrak harus
dilaksanakan dengan volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid.41
Redelijk adalah reasonable atau sesuai dengan akal sehat. Billijkheid adalah
patut. Makna yang pertama berhubungan dengan penalaran, dan makna yang kedua
berkaitan dengan perasaan.42 Rumusan redelijkheid en billijkheid meliputi semua hal
yang ditangkap dengan akal pikiran (intelek) dan perasaan.
Doktrin ini bermakna bahwa tingkah laku para pihak dalam melaksanakan
perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis. Pasal 1374
ayat (3) BW (lama) di atas menunjuk kepada norma-norma hukum tidak tertulis, karena
petunjuk itu, ia menjadi norma-norma hukum tidak tertulis. Norma-norma tersebut tidak
40 P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland, Percetakan Negara,
Jakarta, 1990, hlm 9. 41 Ibid. 42 Setiawan, “Menurunnya Supremasi Azaz Kebebasan Berkontrak”, Newsletter No.
15/IV/Desember/1993, hlm 2.
14
hanya mengacu kepada anggapan para pihak saja, tetapi harus mengacu kepada tingkah
laku yang sesuai dengan pandangan umum tentang iktikad baik tersebut.43
Produk legislatif terbaru yang berkaitan dengan iktikad baik ini terdapat di
dalam Pasal 6.248.1 BW Baru Belanda. Menurut Hartkamp, pembentuk undang-undang
telah membedakan iktikad baik dalam makna ketaatan akan reasonable commercial
standard of fair dealing dari iktikad baik dalam makna honesty in fact. Untuk mencegah
kemungkinan timbulnya kebingungan, pembentuk undang-undang Belanda
menggunakan istilah iktikad baik dalam makna yang pertama saja di mana iktikad baik
kemudian dikarakteristikkan sebagai reasonableness (redelijkheid) dan equity
(billijkheid).44
Ketentuan tersebut menentukan bahwa para pihak dalam perikatan
mengikatkan dirinya atau dengan lainnya sebagai debitur dan kreditur sesuai dengan
redelijkheid en billijkheid. Dari keterikatan tersebut (yang juga mengatur perikatan yang
lahir dari kontrak), para pihak dalam kontrak tidak hanya terikat pada apa yang mereka
sepakati saja, tetapi juga kepada redelijkheid en billijkheid.45
Ketentuan yang dalam Pasal 6.248.1 BW (baru) di atas sebenarnya hanya
menguatkan atau menuangkan norma-norma iktikad baik yang dibangun pengadilan
melalui serangkaian yurisprudensi yang mereka buat.
43 P.L. Wery, loc.cit. 44 Arthur S. Hartkamp, “Judicial Discretion under the New Civil Code of the Netherlands”,
American Journal of Comparative Law, Vol 40 (1992), hlm 554-555. 45 The Netherlands Ministry of Justice, The Netherlands Civil Code, Book 6, The Law of
Obligation, Draft and Commentary (Leyden: Sijthoff, 1977), hlm 566.
15
Tolok Ukur Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak
Civil Code Perancis merupakan kitab undang-undang pada era modern yang
pertama kali mengatur iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Pasal 1134 ayat (3) Civil
Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik
(contract doivent etre executes de bonna foi). Isi pasal ini mengacu kepada konteks
iktikad baik (bonna foi) sebagai suatu sikap di mana para pihak diharapkan
melaksanakan kontrak mereka. Dengan ketentuan ini, berarti hukum Perancis menolak
pembedaan antara stricti iuris dan negotia bona fides dalam hukum Romawi. Dengan
penolakan yang demikian, maka pasal 1135 Civil Code Perancis mewajibkan keterikatan
para pihak untuk tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka perjanjikan,
tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan, atau hukum yang memberikan suatu
kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak mereka itu.
Kedua pasal itu diadopsi oleh BW (lama) Belanda. Pasal 1374 ayat (3) BW
(lama) Belanda (Pasal 1338 KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa kontrak harus
dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer
verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPerdata
Indonesia) yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang
secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut
sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Berkaitan
dengan kebiasaan, Pasal 1383 BW (lama) Belanda (Pasal 1374 KUHPerdata Indonesia)
menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap
secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas
diperjanjikan
16
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan
mengikatnya kontrak adalah sebagai berikut: (1). isi kontrak itu sendiri; (2).kepatutan
atau iktikad baik; (3). kebiasaan; dan (4). undang-undang
Dalam BGB, permasalahan perilaku kontraktual yang diharapkan dari para
pihak dalam pelaksanaan kontrak terdapat dalam Pasal 242 BGB. Pasal tersebut
menentukan: “Der Schuldner ist verplichtet, die Leistung so zu bewirken, wis Treu und
Glauben mit Ruchtsicht aud die Verkehssitte es erforden”. Di sini terlihat bahwa untuk
menyebut iktikad baik dalam kontrak, BGB menggunakan terminologi lain, yakni Treu
und Glauben. Istilah bona fides digantikan Treu und Glauben, sehingga memberikan
ekspresi yang lebih Jermanik. Penggantian istilah tersebut didasarkan pada alasan ketika
BGB dirancang dihubungkan dengan great respect for then prevailing nationalistic
feeling, which led to the abandonment of expression of Roman origin.46
Sumber utama “legislasi” yang berkaitan dengan iktikad baik dalam
pelaksanaan kontrak dalam hukum kontrak Amerika Serikat ditemukan dalam UCC.
UCC ini telah diterima atau diadopsi oleh hukum (legislasi) negara-negara bagian, dan
diterima pula oleh pengadilan. Selain terdapat dalam UCC, pengaturan iktikad baik
tersebut ditemukan dalam the Restatement of Contract (second). Khusus untuk negara
bagian Louisiana, legislasi kewajiban iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak yang
terdapat dalam the Louisiana Civil Code.47 Pengaturan kewajiban iktikad baik dalam
pelaksanaan kontrak dalam Louisiana Civil Code tersebut mengikuti isi Pasal 1134 ayat
(3) dan 1135 Civil Code Perancis.
46 Saul Latvinoff, op.cit, hlm 1645. 47 Hukum Negara Bagian Louisiana sangat dipengaruhi oleh tradisi Civil Law.
17
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu
perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak. Walaupun
ada kewajiban umum iktikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut tidak menyebutkan
atau menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan untuk menilai iktikad baik
tersebut. Sehingga penggunaan standar tersebut lebih banyak didasarkan kepada sikap
pengadilan dan doktrin-doktrin yang dikembangkan para pakar hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam beberapa sistem hukum
kontrak, seperti hukum kontrak Jerman dan hukum kontrak Belanda, iktikad baik
dibedakan antara iktikad baik subjektif dan iktikad baik objektif.
Standar atau tes bagi iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak tentunya adalah
standar objektif. Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai dengan iktikad baik
mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing, yang
menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid
(reasonableness and equity). Ini benar-benar standar objektif. Jika satu pihak tidak boleh
bertindak dengan cara tidak masuk akal dan tidak patut will not be a good defense to say
that honestly believed his conduct to be reasonable and inequitable.48
Iktikad baik subjektif (subjectieve goede trouw) dikaitkan dengan hukum
benda (bezit). Di sini ditemukan istilah pemegang yang beriktikad baik atau pembeli
barang yang beriktikad baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang
beriktikad buruk. Seorang pembeli yang beriktikad baik adalah seseorang yang membeli
barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang
48 Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, Contract Law in the Netherlands, Kluwer,
Deventer, 1993, hlm 48.
18
yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang
yang bukan pemiliknya. Ia adalah seorang pembeli yang jujur. Dalam hukum benda,
iktikad baik diartikan sebagai kejujuran. Pembeli yang beriktikad baik adalah orang
yang jujur yang mengetahui adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu.
Artinya cacat mengenai asal usulnya. Dalam hal ini, iktikad baik merupakan suatu
elemen subjektif.49 Iktikad baik yang subjektif ini berkaitan dengan sikap batin atau
kejiwaan (psychische gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau
mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak iktikad baik.
Iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang
objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik objektif adalah standar yang
objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif.50 Perilaku para pihak dalam
kontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang
di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak
tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri.
Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan
para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum
tentang iktikad baik tersebut.51
Standar tersebut sesungguhnya mengacu kepada standar yang berlaku dalam
hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, iktikad baik merupakan suatu norma sosial
universal yang mengatur social interrelationships, yakni setiap warga negara memiliki
49 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984), hlm 41. 50 Martin Willem Hessenlink, De Redelijkheid en Billijkheid in het Europease Privaatrecht,
Kluwer, Deventer, 1999, hlm 28. 51 P.W. Wery, op.cit., hlm 9.
19
suatu kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap seluruh warga negara. Ini
merupakan konsep objektif yang secara universal diterapkan terhadap seluruh transaksi.
Hal yang sesuai dengan yang dikatakan oleh Roscoe Pound yang menyatakan suatu
postulat: “Men must be able to assume that those with whom they deal in the general
intercourse of society will act in good faith”. Dengan demikian, kalau seorang seseorang
bertindak dengan iktikad baik menurut suatu standar objektif iktikad baik yang
didasarkan pada customary social expectation, kemudian orang yang lain akan bertindak
yang sama kepada dirinya.52 Hal ini berlainan dengan konsep iktikad baik yang dianut
hukum Kanonik yang lebih meletakkan iktikad baik sebagai suatu norma moral yang
universal daripada sebagai suatu norma sosial. Dengan pendekatan yang demikian itu,
maka makna kontekstual iktikad baik ditentukan oleh setiap individu karena, lest one
breach a duty to God by failing or refusing to keep’s promise, penting untuk bertindak
dengan cara yang masuk akal atau rasional (reasonable) terhadap yang lain. Ini
merupakan konsep iktikad baik subjektif yang mengacu kepada suatu standar moral
subjektif karena ia didasarkan pada kejujuran individu (individual honesty).53
Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia tentang Iktikad Baik dalam
Pelaksanaan Kontrak
Dalam perkara NV Jaya Autombiel Import Maatschappij v. Wong See Hwa,
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusannya No. 262/1951 Pdt, 31 Juli 1952,
menafsirkan iktikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata sebagai
kejujuran. Perkara ini berkaitan dengan kapan terjadinya jual beli yang berkaitan dengan
52 Eric M. Holmes, op.cit., hlm 402. 53 Ibid, hlm 403.
20
terjadinya perubahan harga yang berimplikasi terhadap kemungkinan penilaian kembali
(herwaardering) harga barang. Apakah terjadinya pada 13 Maret 1950 seperti yang
dikemukan tergugat – terbanding (Wong See Hwa sebagai pembeli) pada waktu ia
menyetor uang Rp 11.000,00 ataukah seperti yang dikatakan penggugat (NV Jaya
Autombiel Impor Maatschappij sebagai penjual) pada saat mobil itu diserahkan pada 13
Mei 1950.54Berkaitan dengan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak, Pengadilan
Tinggi Surabaya, dalam pertimbangannya menyatakan:
“Kedua belah pihak tersebut adalah tertunduk akan hukum perdata Barat,
sebagai teratur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (Burgerlijk
Wetboek, yang lazim disingkat BW), sehingga menurut hukum itulah harus
ditetapkan bilamanakah perjanjian jual beli itu telah sempurna, yaitu selain
benda, juga tentang harga benda tersebut telah ada persetujuan kehendak antara
keduabelah pihak, sehingga menurut pasal 1338 ayat (1) BW merupakan
undang-undang bagi keduabelah pihak itu harus secara jujur (te goeder trouw)
dilaksanakan menurut ayat (3) dari pasal tersebut”.
Dalam perkara ini hakim tinggi, menyamakan iktikad baik dalam konteks
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dengan kejujuran. Iktikad baik dalam konteks Pasal
1338 ayat (3) KUHPerdata tidak sama dengan kejujuran. Dalam KUHPerdata memang
tidak dijumpai ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut makna iktikad baik tersebut.
Memang jika dilacak kembali kepada makna bona fides dalam hukum Romawi berarti
kontrak harus dilaksanakan secara jujur dan para pihak harus memenuhi janji yang
mereka buat.
54 Sudargo Gautama, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek
Sehari-hari (Landmark Decissions) Berikut Komentar, Jilid 9 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm
264.
21
Dalam perkara Ny. Lie Lian Joun v. Arthur Tutuarima, No. 268 K/Sip./1971,
Pengadilan Tinggi Bandung mencoba menafsirkan makna iktikad baik dalam kontrak.
Mahkamah Agung tidak menyalahkan tafsiran tersebut, tetapi menyatakan bahwa
seharusnya dalam perkara ini harus mengacu kepada kausa yang halal dalam kontrak,
bukan pada penerapan iktikad baik
Dalam pertimbangannya, Pengadilan Tinggi Bandung antara lain menyatakan
bahwa pengadilan perlu menjelaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik, berarti perjanjian harus dilaksanakan dengan patut dan adil (naar
redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian, pengadilan harus mempertimbangkan
apakah yang dikemukakan kepadanya ada kepatutan dan keadilan ataukah tidak.
Oleh karena lembaga kepatutan dan keadilan merupakan ketertiban umum (van
openbare orde), maka apabila kepatutan dan keadilan tidak ada dalam perjanjian yang
bersangkutan, maka pengadilan dapat merubah isi perjanjian itu di luar apa yang secara
tegas telah diperjanjikan. Isi perjanjian tidak hanya ditentukan oleh rangkaian kata-kata
yang disusun oleh keduabelah pihak, tetapi ditentukan pula kepatutan dan keadilan.
Mahkamah Agung tidak menolak atau menyalahkan tafsiran pengertian iktikad
baik dalam pelaksanaan kontrak oleh Pengadilan Tinggi Bandung tersebut. Hal ini
tampak dari tidak adanya penilaian Mahkamah terhadap tafsiran Pengadilan Tinggi
tersebut. Namun demikian, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi
salah menerapkan hukumnya. Kesalahan tersebut terletak pada penerapan ketentuan
iktikad baik itu dalam perkara ini. Mahkamah Agung berpendirian bahwa dalam perkara
ini tidak relevan digunakan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 KUHPerdata, karena
ia tidak berkaitan dengan akibat hukum pelaksanaan kontrak. Perkara ini harus dikaitkan
22
dengan keabsahan kontrak. Untuk menentukan keabsahan kontrak yang dibuat para
pihak tidak dikaitkan dengan iktikad baik, tetapi salah satunya harus mengacu kepada
kausa halal dalam kontrak. Jadi, dalam perkara ini seharusnya yang dipertimbangkan
bukan masalah kepatutan dan keadilan dalam melaksanakan kontrak, tetapi seharusnya
melihat apakah kontrak memiliki kausa yang halal atau tidak.
Dalam yurisprudensi Indonesia ditemukan fakta yang menunjukkan adanya
tarik-menarik antara dua asas penting dalam hukum kontrak, yakni antara pacta sunt
servanda. Pada mulanya pengadilan memegang teguh asas pacta sunt servanda, tetapi
belakangan sikap ini bergeser ke arah kepatutan atau iktikad baik. Iktikad baik bahkan
kemudian digunakan hakim untuk membatasi atau meniadakan kewajiban kontraktual
apabila ternyata isi dan pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan keadilan.
Dalam perkara Ida ayu Surjani v. I Nyoman Sudirdja, No. 289 K/Sip/1972,
Mahkamah Agung berpandangan bahwa besarnya suku bunga pinjaman adalah
sebagaimana yang telah diperjanjikan.
Dari putusan ini terlihat sikap Mahkamah Agung yang memegang teguh ajaran
kebebasan berkontrak. Kesepakatan yang dibuat para pihak akan melahirkan kontrak (ex
nihilo). Apa yang telah disepakati bersama dalam sebuah kontrak akan menjadikannya
sebagai sesuatu yang mengikat bagi para pihak, dan ketentuan tersebut berlaku sebagai
undang-undang bagi keduabelah pihak (pacta sunt servanda). Dengan keadaan
demikian, tidak perlu diperhatikan apakah isi atau prestasi para pihak dalam kontrak
tersebut rasional dan patut ataukah tidak. Mereka tetap terikat kepada yang telah
disepakati atau diperjanjikan sejak semula.
23
Dalam perkara Tjan Thiam Song v Tjia Khun Tjai, No. 791 K/Sip/1972,
Mahkamah Agung tidak membenarkan judex factie untuk membatasi kewajiban
kontraktual atas dasar ajaran iktikad baik, dalam hal ini kepatutan. Di sini Mahkamah
Agung lebih mengkedepankan asas facta sunt servanda.
Dalam perkara Zainal Abidin v. A.M. Mohammad Zainuddin cs, No. 1253
K/Sip/1973, Hakim atau pengadilan mulai mengubah sikapnya, yakni tidak lagi
memegang teguh asas pacta sunt servanda, dan makin bergerak ke arah asas kepatutan
atau iktikad baik.
Dalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri Lhokseumawe menyatakan
bahwa agama Islam yang dianut keduabelah pihak sangat mencela perbuatan yang
membungakan uang. Selain itu, dalam kehidupan sosial bangsa Indonesia yang
berdasarkan Pancasila tidak melarang untuk mencari keuntungan, tetapi dibatasi oleh
nilai-nilai moral dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat.
Hal yang menarik dari perkara ini adalah pertimbangan yang dikemukakan
Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Walaupun pengadilan tidak secara eksplisit
mendasarkan putusannya pada ketentuan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak, tetapi
dari substansinya, pengadilan menerapkan doktrin iktikad baik dalam pelaksanaan
kontrak. Pengadilan Negeri mengkaitkan penurunan bunga tersebut dengan rasa
kepatutan. Ini adalah substansi doktrin iktikad baik sebagaimana yang berkembang
dalam yurisprudensi Negeri Belanda. Pengadilan juga mengkaitkan rasa kepatutan
tersebut dengan situasi atau kondisi masyarakat di sekitarnya yang umumnya beragama
Islam dan keduabelah pihak sendiri sama-sama beragama Islam. Dalam konteks hukum
Islam terdapat ajaran yang melarang orang membungakan uang. Perbuatan
24
membungakan uang masuk dalam kategori riba. Riba masuk dalam kategori perbuatan
yang diharamkan Allah. Pengadilan juga mengkaitkannya dengan nilai-nilai keadilan
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks ajaran iktikad baik,
kepatutan tersebut harus dikaitkan dengan kepatutan yang hidup dalam masyarakat.
Iktikad baik tidak hanya dinilai dari iktikad baik menurut anggapan para pihak saja,
tetapi iktikad baik menurut anggapan umum yang hidup dalam masyarakat.55 Dengan
demikian jika seseorang bertindak dengan iktikad baik, maka ia harus bertindak sesuai
dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial yang ada.56 Iktikad baik
merupakan suatu norma yang universal.
Dalam perkara RD Djuhana v. Go E Tji, No. 224 K/Sip/ 1973, pengadilan
tingkat pertama, menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Di lain pihak pengadilan juga
mengakui bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Dalam perkara ini,
pengadilan tingkat pertama lebih mengkedepankan asas iktikad baik daripada asas pacta
sunt servanda. Sikap ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam perkara ini terlihat bahwa walaupun hakim di Pengadilan Negeri telah
menyatakan dengan tegas bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik,
tetapi tidak jelas makna iktikad baik yang dimaksud. Pengadilan juga tidak jelas ke
mana mengkaitkan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dengan keadaan-keadaan
yang berkaitan dengan perjanjian yang menjadi sengketa di sini. Apakah iktikad baik
55 Perhatikan P.L. Wery, Perkembangan tentang Hukum Iktikad Baik di Nederland (Jakarta:
Percetakan Negara, 1990), hlm 9. 56 Eric M. Holmes, “A Contextual Study of Commercial Good Faith: Good Faith Disclosure
in Contract Formation”, University of Pittsburgh Law Review, Vol 39 No. 3 (1978), hlm 402.
25
dengan prestasi para pihak dalam perjanjian ? Jika dikaitkan dengan prestasi para pihak,
maka jika para pihak yang melaksanakan prestasi masing-masing sebagaimana telah
ditentukan dalam perjanjian, maka para pihak telah bertindak sesuai dengan iktikad baik.
Jika salah satu melakukan cidera janji atau wan prestasi, maka ia tidak melaksanakan
perjanjian dengan iktikad baik (beriktikad buruk). Tidak jelas apakah iktikad baik
semacam ini yang dimaksud oleh pengadilan. Dalam perkara Sri Setyaningsih v. Ny
Boesono dan R. Boesono, No. 3431 K/Pdt 1985 pengadilan telah pula meninggalkan
kesakralan asas pacta sunt servanda. Mahkamah Agung dalam putusannya antara lain
memberikan pertimbangan bahwa bunga 10% setiap bulan terlalu tinggi dan
bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan mengingat tergugat II adalah
purnawirawan dan tidak mempunyai penghasilan lain. Ketentuan di dalam perjanjian
untuk menyerahkan buku pembayaran pensiun sebagai jaminan adalah bertentangan
dengan kepatutan dan keadilan.
Dalam perkara Hetty Esther v. Anak Agung Sagung Partini cs, No. 1531
K/Pdt/1997, pengadilan judex factie secara tegas mendasarkan putusannya pada iktikad
baik dan telah menerapkan iktikad baik untuk membatasi atau meniadakan perjanjian,
pendirian itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Dalam pertimbangannya, tidak dijumpai alasan yang mendasari pendirian
Mahkamah Agung yang membenarkan judex factie menggunakan fungsi iktikad baik
yang mengurangi atau meniadakan untuk membatalkan kontrak yang bersangkutan.
Padahal dalam keberatan yang terdapat memori kasasi penggugat dinyatakan bahwa
penggunaan iktikad baik sebagai alasan untuk membatasi atau meniadakan perjanjian
tidak boleh dijalankan begitu saja kecuali di dalamnya terdapat alasan-alasan penting.
26
Di Negeri Belanda fungsi iktikad baik yang demikian itu memang diakui,
tetapi tidak boleh dilaksanakan begitu saja. Hanya diterapkan kalau ada alasan-alasan
yang amat penting (alleen in sprekende gevallen). Baik Hoge Raad maupun BW (Baru)
mengijinkan pembatasan perjanjian atau kewajiban kontraktual semacam itu hanya
dalam kasus-kasus di mana pelaksanaan perjanjian betul-betul tidak dapat diterima
karena tidak adil. Pendirian semacam ini dapat dipahami, karena fungsi membatasi
merupakan pengecualian terhadap asas pacta sunt servanda.57
Dari berbagai putusan di atas terlihat bahwa pengadilan belum memiliki
pemahaman yang mendalam dan konsisten tentang makna iktikad baik yang dimaksud
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Kemudian berkaitan dengan sikap pengadilan tentang
iktikad baik ini terlihat bahwa pada mulanya pengadilan lebih mengkedepankan asas
facta sunt servanda dan mengesampingkan iktikad baik. Belakangan, iktikad baik lebih
dikedepankan. Bahkan, dengan iktikad baik, penerapan sunt servanda dikesampingkan.
Simpulan
Pertama, dewasa ini dalam berbagai sistem hukum, iktikad baik dalam
pelaksanaan kontrak adalah mengacu kepada isi perjanjian yang harus rasional dan atau
patut. Iktikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata harus didasarkan
pada kerasionalan dan kepatutan.
Kedua standar yang dipakai dalam menilai iktikad baik dalam pelaksanaan
kontrak adalah standar objektif. Dengan standar ini maka perilaku para pihak dalam
melaksanakan kontrak dan penilaian terhadap isi kontrak harus didasarkan pada prinsip
kerasionalan dan kepatutan.
57 P.L. Wery, op.cit, hlm 13.
27
Ketiga, pengadilan belum memiliki pemahaman yang mendalam dan konsisten
tentang makna iktikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Pada
mulanya pengadilan lebih mengkedepankan facta sunt servanda dan mengesampingkan
iktikad baik. Belakangan, iktikad baik lebih dikedepankan.
Rekomendasi
Pertama, dalam KUHPerdata yang akan datang hendaknya makna iktikad baik
dalam pelaksanaan kontrak harus lebih mendapat perhatian serius. Pengertian iktikad
baik di sini harus diberi makna melaksanakan perjanjian dengan kerasionalan dan
kepatutan.
Kedua, untuk menghilangkan kesimpangsiuran standar iktikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian, Mahkamah Agung memberikan pedoman bahwa standar iktikad
baik dalam pelaksanaan kontrak adalah standar objektif.
Untuk meningkat pemahaman iktikad baik tersebut bagi para hakim, hakim
wajib melakukan pendalaman materi dalam melalui publikasi maupun pelatihan di
lingkungan peradilan.
28
DAFTAR PUSTAKA
Allen, Carleton Kemp, Law in the Making, Clarendon Press, Oxford, 1978.
Anderson, Jill Pride, “Lender Liability for Breach of Obligation of Good Faith
Performance”, Emory Law Journal, Vol 36, 198.
Cohn, E.J., Manual of German Law, Volume I General Introduction Civil Law, The
British Institute of International and Comparative Law, London, 1968.
Coing, Helmut, “Analysis of Moral Values by Case Law”, Washington University Law
Quarterly, Vol 65, 1987.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln, eds, Hanbook of Qualitative Research Sage
Publication, London, 1994.
Dutoit, Bernard, “Good Faith and Equity in Swiss Law”, Ralph Newman, ed, Equity in
the World’s Legal System, Establishment Emile Bruylant Brussels, 1973.
Erb, Jason Tandal, “The Implied Covenant of good Faith and Fair Dealing in Alaska:
One Court’s License to Override Contractual Expectation”, Alaska Law
Review, Vol 11, 1994.
Farnsworth, E. Allan, “Good Faith Performance and Commercial Reasonableness under
the Uniform Commercial Code”, The University of Chicago Law Review, Vol
30, 963.
Gautama Sudargo, Himpunan Yurisprudensi Indonesia yang Penting untuk Praktek
Sehari-hari (Landmark Decissions) Berikut Komentar, Jilid 9 (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1994.
Hartkamp, Arthur S., “Judicial Discretion under the New Civil Code of the
Netherlands”, American Journal of Comparative Law, Vol 40, 1992.
Hartkamp, Arthur S dan Marianne M.M. Tillema, Contract Law in the Netherlands,
Kluwer, Deventer, 1993.
Hessenlink, Martin Willem, De Redelijkheid en Billijkheid in het Europease
Privaatrecht, Kluwer, Deventer, 1999.
Histock, Mary E., “The Keeper of the Flame: Good Faith and Fair Dealing in
International Trade”, Loyola of Los Angeles Law Review, Vol 25, April 1996.
29
Holmes, Eric M., “A Contractual Study of Commercial Good faith: Good Faith
Disclosure in Contract Formation”, University of Pittsburgh Law Review, Vol
39 No.3 , 1978.
Grossfeld, Bernard, The Strength and Weakness of Comparative Law, Clarendon Press,
Oxford, 1990 .
Judd, Jeffrey M., “The Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing: Examining
Employee Good Faith Duties”, The Hasting Law Journal, Vol 39, January
1998.
Klein, John, “Good Faith in International Transaction”, The Liverpool Law Review, Vol
XV (2), 1993.
Latvinoff, Saul, “Good Faith”, Tulane Law Review, Vol 71 No. 6, January 2000.
Mason, F., “Contract, good Faith and Equitable Standard in Fair Dealing”, The Law
Quarterly Review, Vol 116, January 2000.
Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law, Transaction Publisher New,
Brunswick, 1999.
Setiawan, “Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak”, Newsletter No.
15/IV/Desember/1993.
Storme, Mathias, “The Binding Character of Contracts – Causa and Consideration”,
Arthur Hartkamp, et.al., eds., Toward a European Civil Code, Ars Aequi Libri
Nijmegen, 1998.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1984.
The Netherlands Ministry of Justice, The Netherlands Civil Code, Book 6, The Law of
Obligation, Draft and Commentary (Leyden: Sijthoff, 1977), hlm 566.
Watson, Alan Roman Law & Commerce University of Georgia Press, Athens, 1995.
Warmelo, P. Van., An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co Ltd,
Cape Town, 1976.
Wery, P.L., Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland, Percetakan
Negara, Jakarta, 1990.
Zimmerman, Reinhard dan Simon Whittaker, eds, Good Faith in European Contract
Law, Cambridge University Press, Cambridge, 2000.
92
KEPERANTARAAN DALAM DUNIA BISNIS
A. Pengaturan Keperantaraan
Di dalam praktek transaksi perdagangan atau bisnis dewasa ini, lembaga
keperantaraan dalam bidang perniagaan (agency) menunjukkan peran yang makin
meningkat. Bahkan, terkadang transaksi bisnis tersebut harus dilakukan melalui
perantara. Dengan kata lain, lembaga ini makin berkembang dalam praktik, sehingga
dikenal seperti Agen Asuransi, Broker Asuransi, Perantara Pedagang Efek di Pasar
Modal, dan Agen Tunggal berbagai produk tertentu.
Di lain pihak, peraturan perundang-undangan yang ada (dalam hal ini
KUHD) sangat minim sekali dan bahkan dalam beberapa hal tertentu sudah sangat
ketinggalan zaman, yang tentunya tidak dapat mengantisipasi perkembangan bisnis
dewasa ini. Selain itu, beberapa pakar hukum ekonomi atau hukum dagang di
Indonesia jarang sekali jika tidak dikatakan tidak ada yang memberikan perhatian
pada lembaga keperantaraan ini. Hal ini terlihat dari miskinnya literatur hukum
berbahasa Indonesia yang mengupas lembaga keperantaraan ini.
B. Peristilahan dan Pengertian
Pada dasarnya keperantaraan adalah perjanjian antara seorang perantara dan
prinsipal (principal). Perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan
suatu perbuatan hukum kepentingan prinsipal.
Oleh karena itu, maka sebaiknya pengertian keperantaraan tersebut
dirumuskan sebagai perjanjian antara seorang prinsipil dan seorang perantara, di
mana prinsipal memberikan kewenangan kepada perantara untuk mengadakan
perjanjian dengan pihak ketiga untuk kepentingan prinsipal.
Prinsipal adalah orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan
suatu perbuatan hukum dengan orang lain untuk kepentingannya, sedangkan
perantara adalah orang yang memegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan
hukum berdasarkan kuasa atau di bawah pengawasan prinsipal
93
C. Terjadinya Hubungan Keperantaraan.
Hubungan keperantaraan di dalam dunia bisnis dapat terjadi karena:
1. kewenangan yang diberikan prinsipal kepada perantara;
2. pengesahan prinsipal atas perikatan yang dibuat perantara; atau
3. ketentuan undang-undang
Ad. 1. Kewenangan
Kewenangan tersebut, dapat diberikan secara lisan, tertulis, atau diam-diam.
Kewenangan wajib diberikan secara tertulis dalam hal:
a. perikatan yang akan dibuat oleh perantara itu menurut hukum yang berlaku harus
dibuat secara tertulis.
b. kewenangan perantara dan pekerja atau jasa yang dilakukan akan ditetapkan
secara rinci.
Prinsipal dianggap memberi kewenangan secara diam-diam kepada
perantara untuk bertindak:
a. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku menurut tempat, waktu atau bidang usaha
tertentu;
b. dalam rangka melaksanakan tugas sebagai perantara;
Ad. 2. Pengesahan
Pengesahan dalam keperantaraan sebenarnya adalah persetujuan (approval)
atas perjanjian dilakukan seseorang perantara atau seorang yang mengaku bertindak
sebagai perantara dengan pihak ketiga tanpa izin (kewenangan) dari pihak
prinsipal.156 Secara hukum, bagi prinsipal tidak ada kewajiban hukum untuk terikat
pada perjanjian yang dibuat tanpa kewenangan tersebut, namun ia dapat terikat atau
bertanggungjawab atas perjanjian tersebut melalui proses pengesahan (ratification).
156 Michael B. Metzger, Law and the Regulatory Environment, Concepts and Cases
(Illinois: Homewood, 1986), hlm. 356 -357
94
Perjanjian keperantaraan itu dapat memuat ketentuan mengenai kewajiban
perantara untuk meminta pengesahan prinsipal atas setiap perikatan yang dibuatnya.
Adanya kewajiban perantara untuk meminta pengesahan itu kepada prinsipal itu tidak
wajib diberitahukan kepada pihak ketiga.
Selanjutnya pengesahan itu dapat diberikan secara lisan, tulisan, atau diam-
diam. Pengesahan tersebut berlaku sejak perikatan dibuat perantara dengan pihak
ketiga, jika prinsipal telah nyata-nyata ada dan cakap menurut hukum pada saat
perikatan dibuat.
Dalam kepustakaan common law system terdapat beberapa persyaratan yang
berkaitan dengan pengesahan itu, yaitu:157
a. perantara sudah menggunakan nama prinsipal, dan menuntut bertindak atas nama
prinsipal;
b. prinsipal sudah harus ada dan mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian
pada waktu perantara melakukan perjanjian dengan pihak ketiga,
c. prinsipal sudah mengetahui kejadian material pada waktu pengesahan;
d. prinsipal harus menyetujui atau menolak semua perjanjian yang dilakukan
perantara tersebut;
e. pengesahan tersebut harus diberikan atau terjadi sebelum pihak ketiga menarik
diri perjanjian yang ada.
Ad. 3. Ketentuan Undang-Undang
Dalam kepustakaan common law system biasanya disebutkan, bahwa
keperantaraan didasarkan pada perjanjian atau kesepakatan para pihak, namun dalam
keadaan tertentu, undang-undang dapat mewajibkan adanya keperantaraan.158
Keperantaraan yang demikian itu biasanya disebut Agency of Necessity atau Agency
157 Lihat Ralph C. Hobber, et.al., Contemporary Business Law, Principles and Cases (New
York: McGraw-Hill Book Co., 1986), hlm. 794, Lihat juga A.G. Guest (ed), Anson’s Law of contract
(Oxford: Clarendon, 1979), hlm. 596 – 597. 158 Ronald A. Anderson, et.al, Business Law, (Cincinnati, Ohio: South Western Publishing
Co., 1987), hlm. 683.
95
by Necessity.159 Contoh yang dapat diajukan dari keperantaraan yang demikian itu,
yaitu kewenangan yang sangat luas yang dimiliki nahkoda untuk membuat perjanjian
atas nama pemilik kapal, juga kewenangan yang dimiliki nahkoda untuk bertindak
atas nama pemilik barang.160 Kewenangan yang demikian ini juga telah ada
pengaturan dalam KUHD.
D. Hubungan antara Prinsipal dan Perantara
Prinsipal wajib memberikan komisi atau imbalan lain kepada perantara
sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila keperantaraan itu dilakukan tanpa
komisi atau imbalan lain, maka hal tersebut harus dinyatakan secara tegas. Komisi
atau imbalan lain tersebut jika tidak diperjanjikan akan diberikan sesudah perikatan
atau syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian keperantaraan dipenuhi.
Perantara memiliki kewajiban untuk menyimpan keterangan yang menurut
prinsipal atau menurut kepatutan harus dirahasiakan terhadap pihak ketiga
Perantara tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan rahasia atau
menerima suap, komisi, atau sejenisnya yang berasal dari perikatan yang dibuatnya
untuk kepentingan prinsipal, juga meskipun hal itu tidak merugikan kepentingan
prinsipal.
Tanpa izin prinsipal, perantara dilarang melakukan tindakan yang
menimbulkan pertentangan antara kepentingan sendiri dan kewajiban sebagai
perantara. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kepentingan prinsipal
tidak disimpangi untuk kepentingan pribadi perantara.
Tanpa izin prinsipal, perantara tidak diperkenankan melimpahkan lebih
lanjut pelaksanaan tugasnya kepada pihak lain. Pihak lain tersebut tidak mempunyai
hubungan langsung dengan prinsipal, kecuali jika prinsipal secara tegas memberikan
izin kepada perantara untuk melimpahkan lebih lanjut itu atau prinsipal kemudian
159 Lihat A.G. Guest (ed), Chitty on Contract, Volume II (London: Sweet & Maxwell,
1983), hlm. 2226 160 Ibid.
96
mengesahkan pelimpahan lebih lanjut itu, jika pelimpahan itu dilakukan tanpa izin
prinsipal.
E. Hubungan antara Prinsipal dan Pihak Ketiga
Prinsipal bertindak atas nama prinsipal, sehingga perantara dalam perikatan
itu tidak sebagai para pihak dalam perjanjian.
Prinsipal berhak menggugat pihak ketiga dan pihak ketiga berhak menuntut
prinsipal untuk memenuhi perikatan yang perantara yang bertindak untuk kepentingan
prinsipal atau di dalam ruang lingkup pelaksanaan tugasnya atau setelah prinsipal
mengesahkan perikatan itu telah dibuat perantara tanpa kewenangan yang diberikan
prinsipal.
Pihak ketiga dan prinsipal yang keberadaan dan namanya diketahui oleh
pihak ketiga itu wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh perantara, jika perikatan
itu dibuat oleh perantara berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada oleh
prinsipal.
Perikatan yang diadakan perantara untuk prinsipal yang keberadaan dan
namanya tidak diketahui tidak mengikat prinsipal, kecuali jika prinsipal secara
sukarela memenuhi perikatan itu atau jika prinsipal kemudian memberitahukan
identitasnya kepada pihak ketiga dan pihak ketiga menyatakan opsinya untuk
meminta prinsipal itu sebagai pihak yang harus memenuhi perikatan. Opsi yang
diajukan oleh pihak ketiga itu memberikan hak kepada prinsipal untuk menuntut
pemenuhan kepada pihak ketiga itu.
F. Berakhirnya Hubungan Keperantaraan
Hubungan keperantaraan dapat berakhir karena:
1. berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan;
2. terlaksananya tugas atau tujuan yang diperjanjikan;
3. kehendak bersama para pihak;
4. kehendak salah satu pihak; atau
5. ketentuan undang-undang.
97
G. Makelar Menurut KUHD
1. Pengertian dan Ruang Lingkupnya.
Di dalam KUHD dikenal dua macam keperantaraan dalam bidang bisnis,
yakni makelar dan komisioner. Pada pokoknya makelar adalah seorang perantara
yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan berbagai
perjanjian.161
Berdasarkan Pasal 62 KUHD, makelar harus mendapat pengangkatan resmi
dari pemerintah, dan sebelum melakukan kegiatannya terlebih dahulu harus
bersumpah di Pengadilan Negeri bahwa ia akan menjalankan kewajibannya dengan
baik.
Makelar yang menjalankan usahanya sebagai perantara mendapatkan upah
tertentu yang disebut dengan provisi atau courtage dari pihak prinsipal.
Pasal 46 KUHD secara enutiatif menyebutkan beberapa macam cakupan
perjanjian yang dapat dilakukan perantara, yakni membeli dan menjual untuk
kepentingan prinsipalnya barang-barang dagangan, efek, obligasi, wesel, surat
sanggup dan surat-surat berharga lainnya, asuransi, pengangkutan dengan kapal
pinjaman uang dan lain-lain.
2. Sifat Hubungan antara Makelar dan Pengusaha
Sebagai seorang perantara, makelar pada umumnya berbuat atau bertindak
atas nama prinsipal atau pemberi kuasa. Di dalam praktek sering terjadi seorang
makelar berbuat dengan tidak menyebutkan pemberi kuasanya. Dalam hal ini makelar
dianggap berbuat “untuk pemberi kuasa yang akan datang”.162
Bagi pengusaha, makelar sebagai pihak perantara merupakan pihak yang
mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha. Adapun sifat hubungan
hukum tersebut adalah campuran antara pelayanan berkala dan pemberian kuasa.163
161 H.M.N. Purwosutjipto, op.cit …,Jilid 1, hlm. 49. 162 Id., hlm. 51 163 Id., hlm. 49
98
3. Tanggung Jawab Makelar
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, oleh karena makelar merupakan jabatan
yang diakui oleh undang-undang dan tugasnya ditentukan undang-undang, maka dia
mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil. Tanggung jawab ini berkaitan dengan
kemungkinan timbulnya kerugian berdasarkan perbuatan makelar. Bila kerugian itu
timbul, makelar wajib bertanggungjawab dengan memberikan ganti rugi. Tanggung
jawab ini juga mengenai perbuatan makelar:164
a. dalam perjanjian jual beli dengan contoh, makelar diharuskan menyimpan contoh
itu sampai saat perjanjian telah selesai dilaksanakan seluruhnya (Pasal 69
KUHD);
b. dalam perjanjian jual beli wesel atau surat berharga lainnya, makelar harus
menanggung sahnya tandatangan penjual agar pembeli jangan merugi disebabkan
debitur wesel itu tidak mau membayarnya wesel karena tandatangan penjual
(endosan) itu palsu (Pasal 70 KUHD).
4. Makelar Tidak Resmi
Makelar tidak resmi di sini maksudnya adalah makelar yang di dalam
menjalankan perusahaannya tidak diangkat secara resmi oleh pemerintah dan tidak
mengucapkan sumpah di Pengadilan Negeri. Makelar tidak resmi tersebut dipandang
sebagai pemegang kuasa biasa sebagaimana diatur Pasal 63 KUHD jo Pasal 1792
KUHPerdata. Makelar tidak resmi memiliki perbedaan yang mendasar dengan
makelar resmi, yakni:165
a. Pemegang kuasa mendapat upah, bilamana hal tersebut ditetapkan dalam
perjanjian pemberian kuasa yang bersangkutan (Pasal 1794 KUHPerdata),
sedangkan makelar harus mendapatkan upah yang disebut provisi.
b. Pemegang kuasa harus membuat catatan-catatan menurut Pasal 6 KUHD,
sedangkan makelar harus membuat buku saku dan buku harian menurut Pasal 66
dan 68 KUHD.
164 Id., hlm. 51 165 Id, hlm. 52
99
c. Makelar berkewajiban untuk menyimpan contoh barang dalam jual beli dengan
contoh (Pasal 69 KUHD), sedangkan pemegang kuasa tidak memiliki kewajiban
demikian.
d. makelar harus menanggung sahnya tanda tangan penjual wesel atau surat berharga
lainnya (Pasal 70 KUHD), sedangkan pemegang kuasa tidak memiliki kewajiban
demikian.
H. Komisioner Menurut KUHD
1. Pengertian
Komisioner adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan membuat
perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri, mendapat provisi atas perintah dan
pembiayaan orang lain.166 Adapun ciri khas komisioner adalah sebagai berikut:167
a. tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana makelar;
b. komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas nama dirinya
sendiri;
c. di dalam membuat perjanjian komisioner tidak berkewajiban untuk menyebut
nama komitennya; dan
d. akan tetapi komisioner dapat juga bertindak atas nama pemberi kuasanya.
Pada umumnya komisioner membuat perjanjian atas nama dirinya sendiri
(Pasal 76 KUHD). Menurut Pasal 79 KUHD, komisioner dapat juga bertindak atas
nama pemberi kuasa. Dalam hal ini komisioner tunduk kepada peraturan pemberian
kuasa, yakni Pasal 1792 KUHPerdata dan seterusnya. Jadi, dapat dikatakan
komisioner berbuat atas nama dirinya adalah bersifat umum, sedangkan berbuat atas
nama pemberi kuasa adalah sifat khusus.168
166 Perhatikan Pasal 76 KUHD. 167 H.M.N. Purwosutjipto, op.cit., … Jilid 1, hlm. 53. 168 Ibid.
100
2. Sifat Hukum Perjanjian Komisi
Perjanjian komisi adalah perjanjian antara komisioner dan komiten, yakni
pemberian kuasa. Dari perjanjian ini timbul hubungan hukum yang tidak tetap
sebagaimana hubungan makelar dan pengacara dengan pengusaha.169
Menurut Polak, hubungan tersebut bersifat sebagai perjanjian pemberian
kuasa khusus, yakni perjanjian pemberian kuasa yang bersifat khusus. Adapun
kekhususannya terletak pada:170
a. Menurut Pasal 1792 KUHPerdata, seorang pemegang kuasa bertindak pada
umumnya atas nama pemberi kuasa, sedangkan wewenang komisioner pada
umumnya bertindak atas dirinya sendiri.
b. Pemegang kuasa bertindak tanpa upah, kecuali apabila diperjanjikan dengan upah,
sedang komisioner mendapat provisi apabila kewajibannya telah selesai;
c. Akibat hukum perjanjian komisi banyak yang tidak diatur dalam undang-undang.
3. Hubungan Komisioner dengan Pihak Ketiga
Hubungan komisioner dengan pihak ketiga adalah hubungan antara para
pihak dalam perjanjian (Pasal 78 KUHD). Dalam hal ini komiten berada di luarnya.
Jadi, komiten tidak dapat menggugat pihak ketiga, begitu pula sebaliknya. Pihak
ketiga tidak perlu tahu dengan siapa komisioner bertindak. Semua biaya yang
dikeluarkan komisioner untuk melaksanakan perjanjian harus ditanggung oleh
komiten.171
4. Tanggung Jawab Komisioner terhadap Komiten
Komisioner harus melakukan perjanjian komisi dengan sebaik-baiknya
(Pasal 1800 jo 1235 KUHPerdata). Dia bertanggungjawab kepada komiten apabila
pemberian kuasa itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bahkan, menurut
Pasal 1800 ayat (1) KUHPerdata, komisioner bertanggungjawab atas biaya, kerugian,
169 Id., hlm. 54. 170 Ibid 171 Id., hlm. 55
101
bunga yang mungkin timbul karena tidak terlaksananya prestasi debitur. Pasal 1800
KUHPerdata juga mengharuskan komisioner memberikan pertanggungjawaban
segera mungkin kepada pemberi kuasa, yakni komiten.172
5. Del Credere
Di dalam praktek seringkali terjadi seorang komisioner memberi jaminan
kepada pemberi kuasa (komiten) terhadap penyelesaian perjanjian dengan pihak
ketiga akan menguntungkan. Jaminan ini adalah penanggungan (borgtocht). Bila
perjanjian dengan pihak ketiga itu benar-benar menguntungkan pemberi kuasanya,
maka komisioner mendapat tambahan provisi dari pemberi kuasa. Baik jaminan
maupun tambahan provisi tersebut oleh Dorhout Mess disebut del credere. Del
credere ini merupakan janji khusus (beding) dalam perjanjian komisi antara
komisioner dan komiten, dan dapat diperjanjikan secara terang-terangan atau diam-
diam, berdasar kebiasaan hukum dalam praktek.173
I. Perantara Pedagang Efek di Pasar Modal
Salah satu lembaga keperantaraan dalam bidang bisnis yang berkembang
dewasa ini adalah perantara pedagang efek di pasar modal yang di dalam praktek
biasa disebut pialang atau broker.
Pasal 1 angka 12 UU NO. 8 Tahun 1995 mendefinisikan perantara pedagang
efek sebagai pihak yang melakukan kegiatan jual beli efek untuk kepentingan sendiri
atau pihak lain.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas sekali ada perbedaan yang mencolok
antara perantara pedagang efek dan perantara pada umumnya. Perantara umumnya
selalu bertindak untuk kepentingan prinsipalnya, sedangkan perantara pedagang efek
dalam menjalankan kegiatan usahanya, yakni jual beli efek, selain dapat bertindak
untuk kepentingan prinsipalnya (investor jual atau investor beli) juga melakukan
kegiatan jual beli efek untuk kepentingan dirinya sendiri.
172 Ibid 173 Id., hlm. 57.
102
Untuk dapat menjadi perantara pedagang efek di pasal modal menurut Pasal
30 UU No. 8 Tahun 1995 jo Pasal 31 PP No. 45 Tahun 1995 haruslah berbentuk PT
dan memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Pasal 33
PP No. 45 Tahun 1995 mensyaratkan modal minimal untuk modal yang disetor
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah) bagi perusahaan efek
nasional yang menjalankan kegiatan sebagai perantara efek dan manajer investasi.
Selain itu juga disyaratkan untuk memiliki Modal Kerja Bersih disesuaikan sekurang-
kurangnya sebesar Rp. 400.000.000,00 (Empat ratus juta rupiah).
J. Distributor
Produsen atau pemilik barang dapat memasarkan produknya kepada
konsumen melalui seorang distributor. Penunjukan seorang distributor dalam
memasarkan suatu produk didasarkan pada perjanjian distribusi (distributorship
agreement). Pada dasarnya perjanjian distribusi ini didasarkan pada perjanjian jual
beli.
Para pihak di dalam perjanjian distribusi ini adalah prinsipal dan distributor.
Prinsipal adalah penjual, sedangkan distributor adalah pembeli. Untuk dapat menjadi
seorang distributor harus didasarkan penunjukkan yang dilakukan penjual.
Penjual yang memiliki sejumlah barang tertentu menjual barang tersebut
kepada distributor. Dengan adanya jual beli ini, maka barang tersebut sekarang
menjadi milik distributor. Selanjutnya barang tersebut dijual kepada konsumen.
Distributor mendapat keuntungan dari selisih harga beli dengan harga jual.
Ketika distributor menjual barang dimaksud kepada konsumen, distributor
menjadi pihak dalam perjanjian. Ia menjadi pihak penjual, sedangkan konsumen
menjadi pihak pembeli.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
32
SEWA GUNA USAHA
A. Pengertian Sewa Guna Usaha
Istilah leasing mulia dikenal di Amerika Serikat pada 1950-an sebagai
pengembangan dari lease (sewa-menyewa). Dasar pengembangan ini dimaksudkan untuk
membantu meningkatkan penjualan dan mempermudah investasi bagi perusahaan-
perusahaan yang memerlukan dana pengembangan usahanya. Di Indonesia, leasing baru
dikenal sejak tahun 1973.
Sewa guna usaha merupakan padanan leasing. Leasing berasal dari kata lease yang
bermakna sewa. Walaupun berasal dari lease atau sewa, leasing tidak sama dengan sewa
atau perjanjian sewa-menyewa. Kemudian di dalam dunia bisnis berkembang leasing
sebagai bentuk khusus sewa-menyewa, yakni dalam bentuk pembiayaan perusahaan berupa
penyedian barang modal yang digunakan untuk menjalankan usahanya dengan membayar
sewa selama jangka waktu tertentu.1
The Equipment Leasing London mendefinisikan leasing sebagai perjanjian antara
lessor dan lessee dimana lessor menyewakan suatu barang modal tertentu yang ditentukan
lessee. Hak milik atas barang modal tersebut berada pada lessor. Lessee hanya memiliki
hak untuk menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang
telah ditentukan untuk jangka waktu tertentu.
Pasal 1 ayat (1) Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri
Perindustrian, dan Menteri Perdagangan Tanggal 7 Februari tentang Perijinan Usaha
Leasing mendefinisikan leasing sebagai:
“Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal
untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan
pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang
jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”
Kemudian Pasal 1 huruf a Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) mendefenisikan sewa guna sebagai:
1 Abdulkadir Muhammad dan Rida Murniati, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm 201.
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
33
“Kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa
Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak
opsi (operating lease) untuk digunakan lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala”.
Berdasarkan kedua aturan di atas dapat disimpulkan ada beberapa unsur yang
melekat di dalam sewa guna usaha. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Pembiayaan perusahaan.
2. Penyediaan barang modal.
3. Pembayaran sewa secara berkala.
4. Dengan atau tanpa hak opsi untuk membeli barang modal.
5. Nilai residu.
Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169 Tahun 1991 menentukan
bahwa setiap transaksi sewa guna usaha wajib diikat dalam perjanjian sewa guna usaha
(lease agreement). Perjanjian sewa guna usaha wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan
apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
B. Macam-Macam Sewa Guna Usaha
Berdasarkan keputusan kedua menteri di atas, sewa guna usaha dapat dibedakan
menjadi 2 (dua), yakni sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) dan sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease).
1. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease)
Di dalam sewa guna usaha semacam ini, perusahaan sewa guna usaha (lessor)
adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee)
biasanya memilih barang modal yang diperlukan dan atas nama perusahaan sewa guna
melakukan pemesanan kepada perusahaan pemasok (supplier). Selanjutnya barang
modal tersebut dibeli oleh perusahaan sewa guna usaha. Kemudian oleh perusahaan
sewa guna barang modal itu disewakan untuk jangka waktu tertentu kepada penyewa
guna usaha. Penyewa guna usaha melakukan pembayaran sewa secara berkala. Pada
akhir masa sewa perusahaan penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli
barang modal tersebut berdasarkan nilai sisa (residu value).
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
34
Pada akhir masa sewa itu, penyewa guna dapat mengembalikan barang yang
disewa tersebut. Penyewa guna usaha juga dapat melaksanakan hak opsinya untuk
membeli barang tersebut. Di dalam finance lease ini perjanjian jual beli akan terjadi
apabila penyewa guna usaha melaksanakan hak opsinya.
2. Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease)
Di dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha memiliki dan
menyediakan barang modal. Barang modal itu kemudian disewakan kepada penyewa
guna usaha sewa jangka waktu tertentu dan tanpa hak opsi pada akhir masa sewa.
Sewa guna usaha tanpa hak opsi ini sebenarnya sama dengan perjanjian sewa
menyewa.
Di dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi barang modal yang
disediakan dapat berbentuk benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang berumur
maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut. Adapun barang modal
yang disewakan di dalam sewa guna usaha tanpa hak opsi biasanya berupa barang yang
mudah dijual setelah masa sewa guna usaha berakhir.
Di dalam perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi, hal-hal yang berkaitan
dengan pemeliharaan, risiko kerusakan dan kehilangan, pajak, dan asuransi ditanggung oleh
penyewa guna usaha. Sedangkan di dalam perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi, hal-
hal tersebut di atas ditanggung oleh perusahaan sewa guna usaha.
C. Para Pihak
Para pihak di dalam perjanjian sewa guna usaha adalah perusahaan sewa guna
usaha (lessor) dan penyewa guna usaha (lessee). Penyewa guna usaha merupakan pihak
menyediakan barang modal dan menjadi pihak yang menyewakan barang modal. Penyewa
guna usaha adalah pihak yang dibiayai untuk pengadaan barang modal dan menjadi pihak
penyewa.
Di dalam sewa guna usaha yang berbentuk sewa guna usaha dengan hak opsi akan
melibatkan pihak lain lagi, yakni pemasok (supplier). Pihak pemasok ini adalah perusahaan
membuat atau memasarkan barang yang diperlukan perusahaan sewa guna dan penyewa
guna usaha. Perusahaan sewa guna usaha akan membeli barang yang dimiliki pemasok
Hukum Kontrak
Oleh
Ridwan Khairandy
35
tersebut. Penyewa guna usaha hanya memilih dan memesan barang modal dimaksud.
Barang modal yang telah dipilih dan dipesan penyewa guna usaha itu akan dibeli oleh
perusahaan sewa guna usaha. Jadi, hubungan hukum antara perusahaan sewa guna usaha
dan pemasok adalah hubungan perjanjian jual beli.
Para pihak di dalam perjanjian sewa guna usaha tanpa hak opsi adalah perusahaan
sewa guna sebagai pihak yang menyewakan barang modal dan penyewa guna usaha sebagai
penyewa. Ini adalah hubungan hukum perjanjian sewa menyewa.
Hak Cipta Ridwan Khairandy 1
Hak Cipta Ridwan Khairandy
2
Pihak Pihak
Negosiasi
Kesepakatan
PenerimaanPenawaran
Tawar-menawar
Lisan
Akte di bawah Tangan
Perjanjian atau Kontrak
Tertulis
Akte Otentik
Hak Cipta Ridwan Khairandy
3
Pengertian Kontrak dalam Hukum
Romawi
Contractus Contrahere
Membuat perikatan tanpa persetujuan
Conventio Convenire
Pertemuan atau ada satu pendapat
Contract Overeenkomst
Hak Cipta Ridwan Khairandy
4
Kontrak = Perjanjian Janji
Pernyataan yang dibuat seseorang kepada orang lain yang
menyatakan suatu keadaan, melakukan atau tidak
melakukan sesuatu
Kontrak merupakan suatu peristiwa di mana Seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling
berjanji
Pengertian Perjanjian atau
Kontrak
Hak Cipta Ridwan Khairandy
5
Makna KontrakContract Overenkomst
Perjanjian atau Kontrak
Kontrak merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji
Hak Cipta Ridwan Khairandy 6
Janji Tidak Sama dengan
Perjanjian
Menurut Sudikno Mertokusumo, janji tidak sama dengan perjanjian, walau janji itu didasarkan kata sepakat, tapi kata sepakat tersebut tidak untuk menimbulkan akibat hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy 7
Dasar Hukum
Kontrak
IndonesiaBuku III KUHPerdata;
Buku III KUHPerdata
bersifat pelengkap
Buku III KUHPerdata
bersifat terbuka
Hak Cipta Ridwan Khairandy 8
Pengertian Kontrak
dalam KUHPerdata
Judul Bab II Buku III
KUHPerdata: Perikatan yang
lahir dari perjanjian atau
kontrak
Pasal 1313 KUHPerdata:
“Suatu perbuatan yang
terjadi antara satu org atau
lebih mengikatkan dirinya
terhadap org lain”
Hak Cipta Ridwan Khairandy 9
Pendapat Pakar tentang
Definisi Kontrak Berdasar Pasal
1313 KUHPerdata
Tidak lengkap sekaligus terlalu luas
Tidak lengkap karena definisi
tersebut cenderung ke arah
kontrak sepihak, tidak mencakup
kontrak timbal balik
Terlalu luas karena mencakup
pula perbuatan dalam perbuatan
melawan hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy 10
American
Restatement of
Contract (Second)Contract is a promise or set of
promises for a breach of which
the law give a remedy or
performance of which the law in
some why recognizes a duty
The Substance of contract a
mutual agreement among
parties which create a legal
obligation which legally binding
Hak Cipta Ridwan Khairandy
11
Unsur-Unsur KontrakKontrak
Essensialia
Naturalia
Accidentalia
Hak Cipta Ridwan Khairandy 12
Unsur-Unsur
KontrakEssensialia: Unsur-unsur yang
selalu harus ada dalam suatu
kontrak
Naturalia: Unsur-unsur yang
oleh undang-undang diatur,
tetapi para pihak dapat
menyingkirkan atau
menggantinya
Accidentalia: Unsur-unsur
yang ditambahkan oleh para
pihak
Hak Cipta Ridwan Khairandy
13
Syarat Sahnya KontrakPasal 1320 BW
1. Adanya kata sepakat
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan
3. Harus ada suatu hal tertentu
4. Harus ada kausa hukum yang halal
Persyaratan
Subjek Objek
Bagaimana penerapan syarat-syarat di atas dalam kontrak melalui Electronic Commerce ?
14 Hak Cipta Ridwan Khairandy
Syarat Sahnya
Perjanjian (Syarat
Adanya Perjanjian) –
Pasal 1320
KUHPerdataAdanya kata sepakat
Kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian
Harus ada suatu hal
tertentu
Harus ada kausa hukum
yang halal
15 Hak Cipta Ridwan Khairandy
Klasifikasi
Persyaratan
Persyaratan tersebut oleh
doktrin diklasifikasikan
menjadi dua bagian, yakni
persyaratan yang bersifat
subjektif dan objektif
Persyaratan subjektif
berkaitan orang (subjek)
yang membuat perjanjian
Persyaratan objektif yang
berkaitan dengan objek
perjanjian
Hak Cipta Ridwan Khairandy
16
Electronic Commerce
Transaksi bisnis melalui Internet
E-Commerce
Transaksi melalui Chatting dan Video
Conference
Transaksi melalui E-Mail
Kontrak melalui Situs (Web)
Electronic Contract – Online Contract
Hak Cipta Ridwan Khairandy 17
Cacat
Kehendak
Kontrak
Kata Sepakat
Cacat Kehendak
Paksaan Penipuan
Kekhilafan
18
Hak
Cipta
Ridw
an
Khair
Penyalahgunaan Keadaan dalam
Kontrak
Pihak PihakKontrak
Posisi tawar tidak seimbang
Posisi Tawar Lebih Kuat
Posisi Tawar Lebih Lemah
Menyalahgunakan posisi tawar yang ia
miliki, sehingga dapat mendikte
kemauannya
Tidak dapat mengambil putusan yang bersifat
independen, harus mengikuti kemauan
pihak lawannya
Tidak ada:1. Paksaan2. Kekeliruan3. Penipuan
Hak Cipta Ridwan Khairandy 19
Keunggulan Posisi Tawar
Keunggulan Posisi Tawar
Keunggulan Ekonomis
Keunggulan Kejiwaan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
20
Tolok Ukur Penyalahgunaan
Keadaan
Posisi tawar pihak tidak seimbang
Salah satu pihak memiliki posisi tawar yang lemah
Pihak yang memiliki posisi tawar yang lemah tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang independen
Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat mengetahui kondisi tersebut
Pihak yang memiliki posisi tawar lebih
Hak Cipta Ridwan Khairandy
21
Indikasi Penyalahgunaan
Keadaan Ada syarat-syarat perjanjian yang sebenarnya tidak masuk
akal atau yang tidak patut
Tampak atau ternyata pihak debitor dalam keadaan
“tertekan”
Apabila terdapat keadaan tidak ada pilihan lain bagi debitor
selain mengikuti kemauan kreditor
Nilai dari hasil perjanjian sangat tidak seimbang jika
dibandingkan dengan prestasi timbal balik
Hak Cipta Ridwan Khairandy 22
Asas-Asas Perjanjian
Asas Konsensualisme
Asas Kebebasan
Berkontrak
Asas Kekuatan
Mengikatnya kontrak
Hak Cipta Ridwan Khairandy 23
Asas Konsensualisme
Kontrak harus didasarkan kata
sepakat dari para pihak yang
mengadakan kontrak
Kontrak dilahirkan dari kata
sepakat
Kata sepakat adalah sumber
hukum kewajiban kontraktual
Hak Cipta Ridwan Khairandy 24
Asas Kebebasan
BerkontrakKewajiban kontraktual hanya
dapat diciptakan oleh kehendak
para pihak
Kontrak adalah hasil pilihan bebas
individu
Kontrak adalah bertemunya
kehendak bebas para pihak
Kata sepakat harus didasarkan
pada kehendak bebas
Hak Cipta Ridwan Khairandy 25
Ruang Lingkup Kebebasan
Berkontrak
Kebebasan untuk mengadakan
atau tidak mengadakan kontrak;
Kebebasan dengan siapa
mengadakan kontrak
Kebebasan untuk menentukan isi
kontrak;
Kebebasan untuk menentukan
bentuk kontrak;
Kebebasan untuk menentukan
pilihan hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy 26
Asas Kekuatan Mengikat
KontrakSegala sesuatu yang telah
disepakati dalam perjanjian
menjadi suatu kewajiban
hukum bagi para pihak yang
membuat kesepakatan
tersebut;
Para pihak harus mematuhi
atau melaksanakan isi
perjanjian
Facta Sunt Servanda
Hak Cipta Ridwan Khairandy
27
Kebebasan Berkontrak
Kontrak adalah hasil pilihan bebas individu
Kewajiban kontraktual hanya dapat diciptakan
oleh kehendak para pihak
Autonomy of the will Concencus ad idem
Prinsip non
intervensiPacta sunt
servanda
Caveat emptor
Paradigma semacam ini sangat mempengaruhi
Pengadilan Legislasi
Hak Cipta Ridwan Khairandy
28
Ketidakadilan
Intervensi Pengadilan
Iktikad Baik
Menafsirkan kontrak
sesuai dengan iktikad
baik
Menambah Kewajiban
kontraktual
membatasi dan
meniadakan
kewajiban
kontraktual
Memberikan kewenangan kepada hakim
Redelijkheid en Billijkheid
Hak Cipta Ridwan Khairandy
29
Asumsi Kebebasan Berkontrak
Kontrak didasarkan pada kesejajaran posisi tawar para pihak
Dalam kenyataannya tidak selalu
ada kesejajaran posisi tawar para pihak
Iktikad baik menjadi instrumen
bagi hakim untuk membatasi kebebasan
berkontrak dan kekuatan mengikatnya kontrak
Ketidakadilan
Bahkan, pada akhirnya iktikad baik menjadi super eminent principle
dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
30
Abad 19
Individualisme
Politik
Liberalisme
Ekonomi
Laissez Faire
Ekspresi Hukum
Kebebasan Berkontrak
Ketidakadilan Kritik/Kelemahan
Berkembang:
1. Doktrin Iktikad Baik
2. Doktrin Penyalahgunaan Keadaan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
31
Syarat Sahnya Kontrak dalam Hukum Romawi
Causa Civilis Obligandi
VerbisLiteris
Re
Formalitas Tertentu
Belakangan
berkembang
Contractus Ex Consensu
Emptio
Venditio
Locatio
Conductio
Societas Mandatum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
32
Sumber Kewajiban Kontraktual
Convergence of the wills
Individual choiceConcensus Free choice
Caveat emptor
Volenti fit injuria
Kebebasan (sebanyak
mungkin) untuk
mengadakan kontrak
Kontrak harus
diperlakukan
sakral oleh pengadilan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
33
Iktikad Baik
Makna iktikad baik
sangat abstrak
Iktikad baik dalam
hukum Indonesia
terbatas pada
pelaksanaan kontrak
Tidak ada penjelasan pengertian iktikad
baik dalam peraturan perundang-undangan
Tafsiran iktikad baik diserahkan
kepada pengadilan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
34
Timbul
Permasalahan
Apa makna
iktikad baik ?Apa standar
iktikad baik?
Apa fungsi iktikad baik?
Timbul Pro-Kontra
Pandangan positif Pandangan negatif atau
skeptis
Hak Cipta Ridwan Khairandy
35
Iktikad Baik dalam Hukum Romawi
Bona Fides
Para pihak harus
memegang teguh janjiPara pihak tidak
boleh mengambil
keuntungan dengan
tindakan yang
menyesatkan kepada salah
satu pihak
Mematuhi
Kewajiban dan
berperilaku sebagai
orang terhormat atau
jujur, walaupun
kewajiban itu tak secara
tegas diperjanjikan
Universal Social Force
Hak Cipta Ridwan Khairandy 36
Iktikad Baik dalam
Hukum Romawi
Para pihak harus memegang teguh janji
Para pihak tidak boleh mengambil
keuntungan dengan tindakan yang
menyesatkan kepada salah satu pihak
Mematuhi Kewajiban dan berperilaku
sebagai orang terhormat atau jujur,
walaupun kewajiban itu tak secara
tegas diperjanjikan
Universal Social Force
Hak Cipta Ridwan Khairandy 37
Iktikad Baik dalam
Hukum Kanonik
Iktikad Baik
Norma moral individual
akan kejujuran dan kepatuhan
kepada Tuhan
Dimasukkan ke dalam hukum
sebagai kejujuran individual
Hak Cipta Ridwan Khairandy
38
Iktikad Baik dalam Lex MercatoriaLex Mercatoria
Transaksi komersial
harus
fairly exchange
Prinsip Resiprositas
Hukum kebiasaan yang berkembang di kalangan pedagang di Eropa pada abad pertengahan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
39
Iktikad Baik dalam Hukum Kontrak
Belanda dan Jerman
Redelijkheid en
BillijkheidTrue und Glauben
Iktikad Baik
Hukum Kontrak Belanda
Hukum Kontrak Jerman
Isi Perjanjian
Hak Cipta Ridwan Khairandy 40
Asas Iktikad
Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata:
”Perjanjian dilaksanakan dengan
iktikad baik”.
Tidak ada pengertian yang dimaksud
dengan iktikad baik
Dalam doktrin dan yurisprudensi,
iktikad baik dimaknai bahwa
melaksanakan perjanjian berarti
melaksanakan perjanjian secara
rasional dan patut
Isi perjanjian harus rasional dan patut
Hak Cipta Ridwan Khairandy
41
Standar Iktikad Baik
Di Belanda
Standar Objektif
Di Amerika Serikat
Standar Subjektif Standar Objektif
Hak Cipta Ridwan Khairandy
42
Fungsi Iktikad Baik
Iktikad Baik Pelaksanaan Kontrak
Kontrak harus
ditafsirkan sesuai
dengan iktikad baik
Aanvullende werking van de goede
trouw1. HR 10 Feb 1921, NJ 1921, 409
2. Los v. De Auto Financier, HR 13 Maret
1964, NJ 1964, 188
Beperkende en dererogerende werking
van de goede trouw1.Stork v. Haaarlemsche Katoen Maatschappij, HR 8 Jan 1926, NJ 1926, 203
2.Saladin V. HBU, HR 19 Mei 1976, NJ 1976, 261
3.Sperij Rand Arrest, HR 23 April 1983, NJ 1983, 627
Hak Cipta Ridwan Khairandy 43
Iktikad Baik Pra Kontrak
Di Indonesia belum ada
pengaturan hukumnya
dalam KUHPerdata
Di Belanda, walaupun
belum diatur dalam NBW,
tetapi telah diterima oleh
yurisprudensi
Hak Cipta Ridwan Khairandy 44
Tolok Ukur Iktikad Baik Pra
Kontrak
Contractuele Zorgvuldigheid(Asas Kehati-hatian dalam Berkontrak)
Onderzoekplicht (Kewajiban untuk
Meneliti)
Mededelingsplicht(Kewajiban untuk
Menjelaskan)
12
Hak Cipta Ridwan Khairandy
45
Perluasan Konsep Iktikad Baik
Dasar Hubungan Hukum
Pra kontrak ?
Kontrak ?Perbuatan melawan
Hukum ?
Hak Cipta Ridwan Khairandy
46
Iktikad Baik Pra Kontrak
Dikembangkan oleh
Doktrin
Culpa in Contrahendo
Putusan Pengadilan
Dalam Perkara Baris v. Riezenkampt, HR 15 Jan, NJ 1958, 67,
diputuskan bahwa hubungan hukum pra kontrak merupakan
suatu hubungan hukum yang dikuasai iktikad baik (van een
rechtsverhouding die door de goede trouw beheerst wordt)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
47
Iktikad Baik Pra Kontrak
Plas v. Valburg, HR 18 Juni 1982, NJ 1983, 723
Tiga Tahap Proses Negosiasi
1. Initial Stage
2. Continuing Stage
3. Final Stage
Putusan Pengadilan di Belanda sangat dipengaruhi Yurisprudensi Jerman,
diantaranya Linoleum Case, Reichsgericht 7 December 1911, RGZ 78, 239
Hak Cipta Ridwan Khairandy 48
Klasifikasi Kontrak
Kontrak
Kontrak Bernama(Typical Contract, Nominate
Contract,Contractus Nominati)
Kontrak Tidak Bernama(Atypical Contract, Innominate Contract, Innominati Contract)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
49
Kontrak Bernama
Kontrak Jual Beli
Kontrak Tukar Menukar
Kontrak Sewa Menyewa
Kontrak untuk melakukan pekerjaan
Kontrak Persekutuan
Kontrak Hibah
Kontrak Penitipan Barang
Kontrak Pinjam Pakai
Kontrak Pinjam Meminjam
Kontrak Bunga Tetap atau Bunga Abadi
Kontrak Untung-untungan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
50
Contoh Kontrak Tidak Bernama Kontrak Beli Sewa
Kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing)
Kontrak Franchising
Kontrak Kerjasama Patungan (Joint Venture)
Kontrak Keagenan
Kontrak Distribusi Barang
Production Sharing Contract
Hak Cipta Ridwan Khairandy
51
Kontrak Tidak Bernama
Kontrak Tidak Bernama
Diatur dalam UU
Di luar KUHPerdata
Diciptakan dan Berkembang
Dalam Praktik (Masyarakat)
Dan belum diatur UU
Kontrak Bagi
(Sharing Production
Contract) Migas
1. Beli Sewa2. Joint Venture3. Kontrak Keagenan4. Kontrak Distribusi
Hak Cipta Ridwan Khairandy
52
Klasifikasi Kontrak
Kontrak
Kontrak Timbal Balik
(Bilateral Contract,
Reciprocal Contract or
Synallagmatic)
Kontrak Sepihak
(Unilateral Contracts)
These contracts are characterized by their
reciprocal prestations which are
independent in that if one party fails to
perform the other party is not bound to
perform either
Unilateral contracts are those
which imposes an obligation to
perform upon one only of the
parties to the contract, e.g. the
contract of donation
Hak Cipta Ridwan Khairandy
53
Klasifikasi Kontrak
Contract
Consensual Contract Real Contract
This is a classification which ia based upon
the formation of contracts
Consensual contract are formed
upon a mere consensus of the
parties
Real contract are formed not only a
mere consensus of the parties, but also
require the delivery of the object for
their formation
Hak Cipta Ridwan Khairandy
54
Classification of Contract
Contract
Underlying Contract Auxiliary Contract
Main contract have an
independent reason for
existence
The characteristic off an auxiliary is
that it depends on external legal
relationship. e.g. a contract of
suretyship that strengthens a contract
of loan that changes the term on
another contract
Hak Cipta Ridwan Khairandy
55
Orang yang Tidak Cakap
Membuat Kontrak (Onbekwaam)
Anak di bawah Umur (Pasal 1330
KUHPerdata)
Orang yang Diletakkan di bawah
pengampuan (Pasal 1330 jo 433
KUHPerdata)
Perempuan yang Telah Menikah (Pasal
1330 jo 108 et.seq KUHPerdata)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
56
Kecakapan Untuk Membuat
Perjanjian21 tahun atau telah kawin (Pasal 330 ayat
(1) KUHPerdata)
18 tahun (UU No. 1 Tahun 1974)
18 Tahun atau telah kawin (UU No. 30 Tahun 2004)
Mana yang Berlaku ? Ingat asas-asas peraturan Perundang-undangan
Hak Cipta Ridwan Khairandy 57
Halangan Berprestasi
Perikatan
Para Pihak
Prestasi
Penghalang
Wanprestasi Keadaan Memaksa
Hak Cipta Ridwan Khairandy
58
Prestasi
Kewajiban seorang debitor untuk melaksanakan Sesuatu yang ditentukan dalam kontrak
Menyerahkan Sesuatu
Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu
Tidak Berbuat Sesuatu
Hak Cipta Ridwan Khairandy
59
Wan Prestasi
Tidak melaksanakan sama sekali apa yang
diperjanjikan; atau
Terlambat melaksanakan apa yang
diperjanjikan; atau
Melaksanakan, tetapi tidak seperti yang
diperjanjikan
Tidak memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam kontrak
Hak Cipta Ridwan Khairandy
60
Tuntutan terhadap Debitor yang
Melakukan Tindakan WanprestasiMeminta pelaksanaan perjanjian;
atau
Meminta ganti rugi; atau
Meminta pelaksanaan perjanjian
sekaligus permintaan ganti rugi;
atau
Meminta pembatalan perjanjian
sekaligus permintaan ganti rugi
Hak Cipta Ridwan Khairandy 61
Unsur-Unsur Keadaan Memaksa
(Overmacht atau Force Majeur)
Berdasar Pasal 1244 BW
Tidak memenuhi prestasi
Ada sebab di luar kesalahan debitor
Faktor penyebab itu tak terduga sebelumnya dan
tak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor
Hak Cipta Ridwan Khairandy 62
Unsur-Unsur Keadaan Memaksa
Berdasar Pasal 1244 dan Pasal 1444
KUHPerdata
Pelaksanaan perjanjian
dihalangi (Pasal 1244
KUHPerdata
Halangan tersebut tak dapat
dipertanggungjawabkan
kepada debitor (Pasal 1444
KUHPerdata)
Hak Cipta Ridwan Khairandy 63
Perjanjian Dihalangi
Agar dapat dibebaskan
dari kewajiban
memenuhi perjanjian
karena keadaan
memaksa, harus ada
keadaan yang
menghalangi debitor
untuk memenuhi
prestasinya
Hak Cipta Ridwan Khairandy 64
Halangan Tidak
Dapat
Diipertanggungjawa
bkanWalaupun ada halangan
untuk melaksanakan
perjanjian, tapi jika halangan
tersebut dapat
dipertanggungjawabkan
kepada debitor, maka tak
ada keadaan memaksa
Hak Cipta Ridwan Khairandy
65
Halangan Dapat
Dipertangungjawabkan
Kepada Debitor
Halangan itu terjadi
karena kesalahan debitor
Halangan dimaksud
tersebut memang wajar
menjadi risikonya
Hak Cipta Ridwan Khairandy
66
Risiko yang Berkaitan dengan
halangan yang
Dipertanggungjawabkan
Halangan terjadi dalam masa cidera dalam masa cidera janji
Adanya halangan berprestasi sudah diketahui lebih dahulu
Halangan terjadi kesalahan orang atau jasanya dipakai oleh
debitor untuk melaksanakan perjanjian
Halangan terjadi karena alat atau sarana yang dipakai
cacat atau tidak memadai
Hak Cipta Ridwan Khairandy
67
Macam-Macam
Ketidakmungkinan
Ketidakmungkinan logis (logische
onmogelijkheid)
Ketidakmungkinan praktis (practische
onmegelijkheid)
Ketidakmungkinan karena UU (wettelijke
onmegelijkheid)
Ketidakmungkinan moral (morele
onmogelijkheid)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
68
Alasan Pembenar
Keadaan memaksa menjadi
alasan pembenar
(rechtvaardigingsgrond)
untuk membebaskan
kewajiban pembayaran ganti
rugi
Hak Cipta Ridwan Khairandy
69
Akibat Hukum Keadaan
Memaksa
1. Kreditor tak dapat menuntut agar perikatan dipenuhi
2. Kreditor tak dapat menyatakan debitor berada dalam keadaan lalai
3. Kreditor tak dapat meminta pembatalan perjanjian
4. Dalam perjanjian timbal balik, gugur kewajiban untuk melakukan kontra prestasi
Hak Cipta Ridwan Khairandy
70
Bentuk-Bentuk Keadaan
Memaksa
Bentuk-Bentuk Keadaan Memaksa
Bentuk Umum Bentuk Khusus
1. Keadaan alam2. Kehilangan3. Pencurian
1. UU2. Tingkah laku pihak ketiga3. Pemogokan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
71
Pembuktian Keadaan Memaksa
Dia tidak bersalah
Dia tidak memenuhi kewajibannya dengan cara lain
Dia tidak menanggung risiko baik menurut ketentuan
UU, Perjanjian, atau iktikad baik
Debitor Harus Membuktikan:
Hak Cipta Ridwan Khairandy 72
Perikatan yang
Bersumber dari
Undang-Undang
Alimentasi
Zaakwaarneming
Pembayaran yang Tidak Terutang
Perbuatan Melawan Hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy 73
Pasal 1365
KUHPerdata
Setiap perbuatan
melawan hukum yang
menimbulkan kerugian
terhadap orang lain,
mewajibkan orang yang
karena kesalahannya
menimbulkan kerugian itu
untuk memberikan ganti
rugi
Hak Cipta Ridwan Khairandy
74
Perbuatan Melawan Hukum Perumusan norma dalam Pasal 1365 KUHPerdata lebih
merupakan struktur daripada substansi
Pasal 1365 KUHPerdata tidak mendefinisikan makna
perbuatan melawan hukum
Pasal ini menentukan unsur-unsur atau persyaratan yang
harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan ganti rugi
karena perbuatan melawan hukum
Menjadi ketentuan “abadi”
Hak Cipta Ridwan Khairandy 75
Implikasi Perumusan
Pasal 1365
KUHPerdata
Makna perbuatan
melawan hukum terus
berkembang;
Menjadi stimulan terjadinya
penemuan hukum secara
terus menerus
Hak Cipta Ridwan Khairandy
76
Unsur-Unsur
yang Terkandung dalam Pasal 1365
KUHPerdata
Harus ada perbuatan (baik positif maupun negatif);
Perbuatan itu harus perbuatan melawan hukum;
Ada kesalahan;
Perbuatan itu menimbulkan kerugian;
Ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum
dan kerugian;
Hak Cipta Ridwan Khairandy
77
Penafsiran Perbuatan
Melawan Berdasar Pasal 1365
KUHPerdata
Penafsiran makna perbuatan melawan
hukum berkembang
Mengikuti sikap dan penafsiran HR
Penafsiran sempit (sebelum tahun 1919)
Penafsiran luas (sesudah tahun 1919)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
78
Penafsiran Sempit
Hak subjektif di sini adalah hak subjektif seseorang yang diberikan oleh undang-undang;
Hak itu diatur oleh undang-undang;
Kalau seseorang akan menggugat berdasar perbuatan melawan hukum harus dapat menunjukkan undang-undang yang menjadi gugatannya
Perbuatan melawan hukum sama dengan perbuatan melanggar undang-undang
Hak Cipta Ridwan Khairandy
79
Penafsiran Sempit
Seseorang dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum jika:
1. melanggar hak subjektif orang lain
2. perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
Hak Cipta Ridwan Khairandy
80
Hak Subjektif
Hak perorangan, seperti
kebebasan, kehormatan, dan
nama baik
Hak atas harta kekayaan, hak
kebendaan, dan hak mutlak
lainnya
Hak Cipta Ridwan Khairandy
81
Penafsiran LuasPerbuatan melawan hukum tidak hanya diartikan sebagai
perbuatan melanggar hak orang lain atau bertentangan
dengan UU atau kewajiban hukum pelaku yang diatur UU,
tetapi juga perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan
ketentuan hukum tidak tertulis, yakni kesusilaan dan
kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta
orang lain dalam pergaulan masyarakat
Hak Cipta Ridwan Khairandy
82
Empat Perilaku yang Melawan
Hukum
yang melanggar hak orang lain;
yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
yang bertentangan dengan kesusilaan; dan
yang bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup
Hak Cipta Ridwan Khairandy
83
Melanggar Hak Subjektif
Melanggar hak subjektif berarti
melanggar wewenang khusus
yang diberikan oleh hukum
kepada seseorang
Yurisprudensi memberikan arti hak
subjektif sebagai berikut:
Hak Cipta Ridwan Khairandy
84
Hak Subjektif Suatu pelanggaran hak subjektif orang lain
merupakan perbuatan melawan hukum jika
perbuatan itu secara langsung melanggar hak
subjektif orang lain,
Menurut pandangan dewasa ini disyaratkan
adanya pelanggaran terhadap tingkah laku
berdasar hukum tertulis maupun tidak tertulis
yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku
dan tidak ada alasan pembenar menurut
hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
85
Bertentangan dengan Kewajiban
Hukum Pelaku
Kewajiban hukum diartikan
sebagai kewajiban yang berdasar
hukum, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang seharusnya tidak
dilanggar oleh pelaku
Hak Cipta Ridwan Khairandy
86
Bertentangan Kaidah Kesusilaan
Bertentangan dengan norma-
norma moral, sepanjang diakui
dalam kehidupan masyarakat
diakui sebagai norma hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
87
Bertentangan dengan
KepatutanDalam hal ini harus
diperhatikan kepentingan diri
sendiri dan orang lain dan
mengikuti apa yang menurut
masyarakat patut dan layak
Hak Cipta Ridwan Khairandy
88
Kesalahan
Pembentuk UU memiliki
kehendak yang menekankan
bahwa pelaku perbuatan
melawan hukum hanya
bertanggungjawab atas
kerugian apabila perbuatan
tersebut dapat dipersalahkan
kepada pelakunya
Hak Cipta Ridwan Khairandy
89
Kesalahan Istilah kesalahan juga digunakan dalam
kealpaan sebagai lawan kesengajaan
Kesalahan mencakup dua pengertian,
yakni kesalahan dalam arti sempit dan
dalam arti luas
Kesalahan dalam arti luas mencakup
kealpaan dan kesengajaan
Kesalahan dalam arti sempit hanya berupa
kesengajaan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
90
Istilah Kesalahan Menurut
Pembentuk UU Memiliki Arti: Tanggung jawab pelaku atas
perbuatan dan atas kerugian
yang ditimbulkan karena
perbuatan tersebut
Kealpaan sebagai lawan
kesengajaan
Sifat melawan hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
91
Ganti Rugi dalam
Perbuatan Melawan HukumUU tidak mengatur penentuan ganti
rugi dalam perbuatan melawan hukum
Pasal 1243 KUHPerdata memuat
ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi
Pasal 1243 KUHPerdata dapat
diterapkan secara analogi dalam
perbuatan melawan hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
92
Ganti Rugi dalam Perbuatan
Melawan Hukum
Dalam PMH, besarnya ganti rugi ditetapkan dengan taksiran sedapat mungkin dikembalikan kepada posisi atau keadaan sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum (restitutio in integrum)
Dalam wan prestasi, adakalanya jumlah ganti telah ditetapkan
Pasal 1243 KUHPerdata; Biaya yang dikeluarkan, kerugian, dan bunga
Pasal 1246 KUHPerdata: kreditor dapat menuntut kerugian yang dideritanya dan keuntungan yang diharapkan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
93
Hak Cipta Ridwan Khairandy 94
Pertanyaan dan
Permasalahan Penting
Sengketa atau gugatan ganti kerugian dalam
kontrak dalam sistem hukum perikatan
Indonesia dapat didasarkan pada wan
prestasi dan/atau perbuatan melawan hukum;
Persoalannya adalah : Kapan digunakan
wanprestasi kapan pula digunakan perbuatan
melawan hukum ?;
Dalam praktik di Indonesia, seringkali
membingungkan;
Di Common Law System, tort (PMH) tidak
dapat digunakan dalam kontrak.
Hak Cipta Ridwan Khairandy 95
Kontrak Standar (Kontrak
Baku,
Kontrak Adhesi)
Perjanjian yang hampir seluruh
klausulnya sudah dibakukan
oleh salah satu pihak dan pihak
lainnya hampir tak memiliki
peluang untuk merundingkan
atau meminta perubahan
Hak Cipta Ridwan Khairandy 96
Contoh Kontrak
Standar
Perjanjian Pengangkutan
Laut
Perjanjian Kredit
Perjanjian Pembiayaan di
Lembaga-Lembaga
Pembiayaan
Perjanjian Pengangkutan
Udara
Hak Cipta Ridwan Khairandy 97
Klausul Eksonerasi
(Klausul Eksemsi)
Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut
Hak Cipta Ridwan Khairandy
98
Klausul Eksonerasi = Klausul Eksemsi
(Exoneratie Clausule=Exemption Clause)
Pembebasan Tanggung jawab
PembatasanGanti Rugi
Jika ada wan prestasi
Perjanjian
Klausul
Hak Cipta Ridwan Khairandy
99
Pandangan Pakar terhadap
Keabsahan Kontrak Baku
Sluiter : Kontrak baku bukan perjanjian atau kontrak,
karena kedudukan pengusaha (yang menentukan
klausul kontrak) bertindak layaknya pembentuk UU
Swasta (legio particuliere wetgever)
Pitlo: Kontrak standar adalah kontrak paksa (dwangcontract)
Stein: Kontrak Baku dapat diterima berdasar fiksi adanya
kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen)
Hondius: Kontrak baku mengikat berdasar kebiasaan
(gebruik) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu
lintas bisnis
Hak Cipta Ridwan Khairandy
100
Sikap Pengadilan Common
LawSebelum 1960-an
Tak perduli karena hukum kontrak common law
masih dipengaruhi doktrin “Caveat Emptor” (let the
buyer beware)
Setelah 1960-an
Pengadilan melakukan intervensi berdasar doktrin
unconscionability
Sejak akhir 1970-an
Intervensi pengadilan berdasarkan doktrin iktikadbaik
Hak Cipta Ridwan Khairandy
101
Kontrak Baku
Keabsahan kontrak baku tidak perlu
dipermasalahkan lagi
Hal yang perlu dipermasalahkan adalah kewajaran klausul yang ada di dalamnya
Biasanya sangat berat sebelah
Keabsahan klausul atau keterikatan para pihak?
Hak Cipta Ridwan Khairandy
102
Aturan-Aturan Dasar yang Harus Diperhatikan
Para Pihak agar Isi Kontrak Baku Mengikat
Kontrak Baku
Dokumen
Dokumen yang ditandatangani
Dokumen yang tidak ditandatangani
Jika sudah ditandatangani menjadi mengikat, sehingga tidak dipermasalahkan apakah ia telah membaca atau memahami isi kontrak
Duty to Reada. Sifat dokumenb. Pemberitahuan yang layakc. Saat pemberitahuand. Course of dealinge. Perumusan harus jelas
Hak Cipta Ridwan Khairandy
103
Penerapan Penyalahgunaan dan Iktikad Baik
Kontrak Baku
Tidak Adil – Berat Sebelah
Iktikad Baik Pelaksanaan Kontrak
Kepatutan
Tolok Ukur ?
PenyalahgunaanKeadaan
Iktikad Baik pra kontrak
Tolok Ukur ?Tolok Ukur ?
Hak Cipta Ridwan Khairandy
104
Kontrak Baku dan UU Perlindungan Konsumen
Kontrak Baku
Kontrak Baku
Dikaitkan unsur kausa hukum yang halal
a. Pasal 18 ayat (1)b. Pasal 18 ayat (2)
Pasal 18 ayat (3)
Batal Demi Hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
105
Klausul-Klausul yang Dilarang(Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999)Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku
usaha;
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli;
Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang telah dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
Hak Cipta Ridwan Khairandy
106
Klausul-Klausul yang Dilarang(Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
Menyatakan tunduknya konsumen kepada aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau perubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
Hak Cipta Ridwan Khairandy 107
Pasal 18 ayat (2) UU No. 8
Tahun 1999
Pelaku usaha dilarang mencantumkan
klausul baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas, atau pengungkapannya sulit
dimengerti
Hak Cipta Ridwan Khairandy 108
Akibat Hukum
Pelanggaran Pasal 18
ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 8 Tahun 1999
Larangan tersebut dikaitkan
dengan kausa hukum yang
halal
Jika kontrak standar
melanggar ketentuan Pasal
18 ayat (1) dan Pasal 18 ayat
(2) di atas, kontrak batal
demi hukum
Hak Cipta Ridwan Khairandy
109
Beli Sewa (Hire Purchase = Huurkoop)
Pengertian Beli Sewa
Disamakan dengan Perjanjian Jual Beli
Angsuran
Disamakan dengan Perjanjian Sewa Menyewa
Disamakan dengan Perjanjian Jual Beli
Hak Cipta Ridwan Khairandy
110
Beli Sewa Disamakan
dengan
Jual Beli Angsuran Pengertian Beli Sewa dalam BW Belanda
Huurkoop is de koop en verkoop op afbetaling, waarbij partijen oveereenkomen, dat de verkochte zaak niet door enkele aflevering in eigendom oveergaat, maar pass door vervulling van de koopporrenkomst verschuldigds is (Art.6.1657h.1)
1. Jual beli dengan angsuran2. Pembeli tidak langsung memiliki barang yang dibeli3. Penyerahan hak milik dilakukan pembayaran angsuran terakhir
Unsur-Unsur Beli Sewa
Hak Cipta Ridwan Khairandy
111
Pengertian Beli Sewa berdasar Pasal
1 a Keputusan Menteri Perdagangan
dan Koperasi No. 34/KP/II/1980:
Jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang cara memperhitungkan setiap
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan harga yang disepakati bersama dan
diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh
pembeli kepada penjual
Hak Cipta Ridwan Khairandy 112
Unsur-Unsur Beli Sewa
Jual beli barang
Penjualan dengan
memperhitungkan setiap
pembayaran
Barang dalam beli sewa
diserahkan kepada pembeli
Penyerahan hak milik terjadi
pelunasan terakhir
Hak Cipta Ridwan Khairandy
113
Beli Sewa disamakan
dengan Sewa Menyewa
Beli sewa adalah perjanjian sewa menyewa dengan hak opsi dari penyewa untuk membeli barang yang disewanya (Hire Purchase Act 1965)
Perjanjian beli sewa pokoknya persetujuan dinamakan sewa menyewa barang, dengan akibat bahwa penerima tidak menjadi pemilik, melainkan
pemakai belaka. Baru kalau ada uang sewa dibayar, berjumlah sama dengan harga pembelian, si penyewa beralih menjadi pembeli, yaitu
barang menjadi miliknya (Wirjono Prodjodikoro)
Hak Cipta Ridwan Khairandy 114
Beli sewa adalah Campuran antara
Perjanjian Jual Beli dan Sewa
Menyewa
Sewa beli sebenarnya semacam jual beli, setidaknya mendekati
jual beli daripada sewa menyewa, meskipun ia merupakan
campuran keduanya dan kontraknya diberi judul sewa menyewa
Hak Cipta Ridwan Khairandy 115
Klausul-Klausul
Penting dalam
Kontrak Beli Sewa
Klausul penundaan peralihan
hak
Klausul menggugurkan (verval
clausule)
Klausul status uang yang telah
dibayar
Klausul larangan
memindahtangankan
Klausul pemeliharaan
Klausul risiko
Hak Cipta Ridwan Khairandy
116
Sewa Guna Usaha (Leasing)
Pembiayaan berbentuk penyediaan barang
modal baik sewa guna usaha dengan hak
opsi (financial lease) maupun sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease)
untuk dipergunakan lessee selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran
berkala
SK Menkeu RI No. 1169/KMK.01/
1991
Hak Cipta Ridwan Khairandy
117
Unsur-Unsur Sewa Guna Usaha
Suatu pembiayaan
perusahaan
Penyediaan barang modal
Jangka waktu
Pembayaran kembali secara
berkala
Hak opsi untuk membeli
barang modal
Nilai sisa (residu)
Hak Cipta Ridwan Khairandy 118
Tujuan
Leasing Memperoleh hak untuk memakai suatu
benda tanpa sekaligus memperoleh hak
milik atas benda tersebut
Memperoleh hak untuk memakai suatu
benda dengan sekaligus memperoleh hak
milik atas benda tersebut
Hak Cipta Ridwan Khairandy 119
Jenis-Jenis Leasing
Leasing
Financial Lease
Operating Lease
Hak Cipta Ridwan Khairandy
120
Hubungan Para Pihak dalam Leasing
Financial Lease
Dibeli
Disewakan
Uang Sewa
LesseeLessor
Supplier
Hak Cipta Ridwan Khairandy
121
Operating Lease
Lessor
Memiliki Barang
Lessee
Disewakan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
122
Perjanjian Keagenan
Prinsipal Agen
Kuasa
Komisi
Agen berfungsi menjualkan produk prinsipal kepada
konsumen dengan harga yang telah ditetapkan oleh
prinsipal. Untuk ia mendapatkan komisi dari prinsipal.
Hak Cipta Ridwan Khairandy 123
Anatomi Perjanjian
Keagenan
Judul (Titel)
Pembukaan
Komparisi
Premis
Penunjukkan Agen
Wilayah
Jangka Waktu
Hak Cipta Ridwan Khairandy 124
Anatomi Perjanjian
Keagenan
Hak dan Kewajiban Agen
Berakhirnya perjanjian
Hukum yang berlaku (jika
melibatkan orang atau BH asing)
Penyelesaian sengketa
Lain-lain
Penutup
Tanda tangan para pihak
Hak Cipta Ridwan Khairandy
125
Perjanjian Distribusi Barang
(Distributorship Agreement)
Prinsipal Distributor
Perjanjian Jual Beli
ProdukDijual
Konsumen
Dijual
Beli
Hak Cipta Ridwan Khairandy
126
Anatomi Perjanjian Distribusi
Judul
Pembukaan
Komparisi
Premis
Penunjukkan dan wilayah distribusi
Jangka waktu
Merek dan kemasan
Pembelian pertama
Kesesuaian program produksi
Penyerahan barang dan tanggung jawab
Hak Cipta Ridwan Khairandy
127
Laporan penjualan dan persediaan barang
Ketentuan dan syarat-syarat
Harga penjualan
Penjualan oleh pihak kedua
Promosi
Larangan
Sisa produksi
Hukum yang berlaku
Perselisihan
Penutup
Tanda tangan
Hak Cipta Ridwan Khairandy
128
Joint Venture Agreement
PT Perkapalan(Indonesia)
San Yang Ltd(Singapore)
Dong Hang Ltd(Korea)
Joint Venture Agreement
(Perjanjian Kerjasama Usaha Patungan
PT San Dong Indonesia
Joint Venture Company (Perusahaan Patungan)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
129
Joint Venture Agreement
Judul
Pembukaan
Komparisi
Premis
Definisi (jika ada)
Tujuan
Anggaran Dasar
Permodalan
Persetujuan Pemerintah
Penambahan Modal
Hak Cipta Ridwan Khairandy
130
Lanjutan Joint Venture AgreementRUPS
Dewan Direksi
Dewan Komisaris
Biaya-Biaya yang telah dikeluarkan
Bahasa
Amandemen
Keadaan memaksa
Wan prestasi
Pilihan hukum
Penyelesaian Sengketa
131
Hak
Cipta
Ridw
an
Khair
Production Sharing
Contract
Sumber Daya Alam
Minyak dan Gas Bumi
Eksplorasi
Eksploitasi
Hak Cipta Ridwan Khairandy 132
Production Sharing Contract
EksploitasiEksploitasi
Minyak dan Gas Bumi
Di Indonesia
Production Sharing Contract (PSC)
Hak Cipta Ridwan Khairandy 133
Production Sharing
Contract
Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara Badan Pelaksana dan badan usaha dan/atau badan usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksplotasi di bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil
Hak Cipta Ridwan Khairandy
134
Subjek
Production Sharing Contract
Production Sharing Contract
Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)
Kontraktor
Hak Cipta Ridwan Khairandy
135
Kontraktor
Production Sharing Contract
Kontraktor
Badan Usaha
Badan UsahaTetap
Hak Cipta Ridwan Khairandy 136
BP Migas
Suatu badan yang dibentuk
untuk melakukan
pengendalian kegiatan hulu
di bidang minyak dan gas
bumi
Melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha hulu
Hak Cipta Ridwan Khairandy
137
Badan Usaha
Perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan
usaha bersifat tetap atau terus menerus yang didirikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta bekerja dan berkedudukan di Indonesia
Hak Cipta Ridwan Khairandy 138
Generasi KPS
Generasi Pertama (1974 –
1977)
Generasi Kedua (1978 – 1987)
Generasi Ketiga (1988 – 2002)
Generasi Keempat (2002 –
Sekarang)
Hak Cipta Ridwan Khairandy
139
Badan Usaha Tetap
Badan usaha yang didirikan
dan berbadan hukum di luar
wilayah Indonesia yang
melakukan kegiatan di
Indonesia
Hak Cipta Ridwan Khairandy 140
Kontrak Karya (Contract of
Work)Sumber Daya Alam
Bukan Minyak dan Gas Bumi
Misal: Batu Bara, Tembaga, Emas, dan Nikel
Eksplorasi - Eksploitasi
Kontrak Karya
Hak Cipta Ridwan Khairandy 141
Kontrak KaryaKontrak karya adalah suatu
kontrak yang dibuat antara
Pemerintah dan Badan Usaha
Asing atau Badan Usaha
Patungan antara badan
usaha asing dengan badan
usaha Indonesia dalam
bidang pertambangan
bukan minyak dan gas bumi
untuk waktu tertentu
Dasar hukum: UU No. 11
Tahun 1967 tentang
Pertambangan
Hak Cipta Ridwan Khairandy 142
Para Pihak dan Kedudukan
HukumnyaKontrak Karya
Pemerintah Badan Usaha
Sumber Daya Alam
Pemilik Kontraktor
Hak Cipta Ridwan Khairandy 143
Hak Kontraktor
Mencari;
Eksplorasi;
Eksploitasi;
Mengolah, memurnikan,
menyimpan, dan
mengangkut
Memasarkan dan menjual
Hak Cipta Ridwan Khairandy 144
Kewajiban
Kontraktor
Menyetor iuran tetap;
Membayar iuran
ekpsloitasi atau produksi
(royalti);
Menyetor PPH;
Menyetor PPN’
Membayar; dan
Membayar pajak-pajak
lainnya
Hak Cipta Ridwan Khairandy 145
Hak Negara
Mendapat royalti;
Mendapat
pembayaran pajak-
pajak; dan
Mendapat
pungutan-pungutan
lainnya
Hak Cipta Ridwan Khairandy 146
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara
(PKP2B)Eksploitasi untuk
pertambangan batu
bara didasarkan padaPerjanjian Karya
Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara
(PKP2B)
Para pihaknya adalah
pemerintah dan badan
usaha
Hak Cipta Ridwan Khairandy 147
Kontrak Karya dan Perjanjian
Karya Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara
Sejak 2009 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan Kontrak Karya sudah tidak diterapkan lagi
Diganti dengan sistem perizinan
Kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B hanya melanjutkan kontrak yang ada.
Positioning Indonesian Lawyers in this
challenging transitional era
Business Contract Drafting
Arief Surowidjojo
FHUI, 11 September 2012
Alignment of understanding on Strategic Issues
The position taken by the Government of the RI in regards to free
trade, free trade zone, free trade organization, convention and
and agreements: full acceptance, partial acceptance, time
adjustment, etc
The influence of the Indonesian participation in the bilateral and
multilateral agreements, regional and international conventions
and agreements to national legislation
Indonesian positions adopted in the Constitution, laws and
regulations, local regulations, public policies, and actual positions being taken
The macro economic growth of RI in the next decades
The Indonesian strategic plan for economic development
The governance conditions, public and private
The natural resources, human capital conditions, infra structure
development and positioning in the emerging markets and other
competitive advantages and disadvantages
The Indonesian legal profession and its positioning
Litigation and commercial law practices
Bar Associations
Policies on foreign law firms and lawyers practicing in
Indonesia
Human capital in the Indonesian legal profession: legal education, continuing legal education, professional ethics
and responsibilities, the future trends
Foreign legal education
Association with foreign law firms or hiring foreign law
lawyers
Competition in the region and globally
The Indonesian lawyers: entering the market Mapping the trend of law practices
Mapping the competition in the international, regional
and local markets
Understanding the markets
Creating new focus and expertise of law practices
Profiling a new breed of lawyers
World standard professional capability
Integrity: governance, green and socially responsible
Creating new kind of legal services
Getting access to the highest quality legal education and
training
Combining local and foreign legal education
Choosing the training ground
A typical situation Nordic Bank, a bank established in Norway, through its
main branch in Hong Kong provides a syndicated loan
facility of 1 billion $ to Riau Papers Co., Ltd., a company
established in Singapore. The syndicated banks consist of
18 large and medium sized banks from the US and Europe.
Riau Papers issues convertible bonds to PT Riau Pulps and
Papers Tbk., a public company in Indonesia engaged in
pulp and papers business. PT Riau Papers also obtained
loan facilities from Bank Mandiri and Bank BNI amounting to 500 million $ secured by all immovable and movable
assets of PT Riau Papers. PT Riau Papers is wholly owned by
Riau Papers Co., Ltd. The ultimate controlling owner of
Riau Papers Co., Ltd., is Mr X, a famous Indonesian
businessman well connected politically. Mr. X issues a
personal guarantee to the syndicated banks for all
payment obligations of Riau Papers Co., Ltd. PT Riau
Papers produces pulps and papers with an access to
products of an industrial forest owned and managed by PT
Hutan Tanaman Industri, a state owned company
A typical situation PT Riau Papers is in default in its payment obligations to
Bank Mandiri and Bank BNI, and as such is in technical
default to Riau Papers Co., Ltd., under the Convertible
Bonds Subscription Agreement, and in turn Riau Papers
Co., Ltd., is threatened to be in default to its obligations to
the syndicated banks. Some of the banks are in trouble
because of the crisis in Europe and the US. The industrial
forests of PT Hutan Tanaman Industri overlaps with the
primary forest under the new local regulation on spatial, and conservation NGOs are promoting campaign to stop
the operations of PT Hutan Tanaman Industri because of
that, and in addition because of the new finding that the
products of PT Hutan Tanaman Industri contains elements
of products from the primary forests.
Nordic Bank comes to you and asks your opinion on how
to protect their interests in the deals with Riau Papers Co.,
The Principles of Business Contract Drafting
FHUI, Second Semester 2012
4 September 2012
Arief Surowidjojo
Historical Purposes of Business
Contract Drafting
Rules of business transactions are complied in written and even codified laws, court precedence, bilateral and multilateral agreements, international conventions, rules adopted by commerce organizations, written best practices, and others, depending on the legal system adopted by a country
Regardless how rigorous all such rules are defined, written, made applicable and enforced, business transactions are developed following changes in the laws, regulations, public policies, court precedence, politics, types of transaction, positioning of the parties, form of business organizations, moral and ethics, and influence from civil society and stakeholders, advancement in technology, market requirements, etc
Business sectors require meticulous protection due to the gap created by the fast-moving business practices and available legal tools and back-ups
Historical Purposes of Business
Contract Drafting
Business sectors require comprehensive and strong protection due
to the gap created by the fast-moving business practices and
available legal tools and back-ups
The protection required by business sectors needs to be obtained
in the forms of effective and enforceable exchange of intent and
communication, agreements, supporting documents, media
strategy, public communication, government supports, stakeholders
supports, changes in laws, regulations and government policies,
and in any other forms universally recognized
Catching up with the new trend
The new business models, forms of cooperation, models of
corporations, intervention of states in business sectors, geo-
politics, and new best practices require more adjustments in the
way people do business
Economic/monetary crisis, restructuring/reorganization, and how
the world reacts against the destruction in society, morals and
ethics complicate also rapid changes in the way people do
business
Environmental destruction, global warming, food scarcity, lack of
energy supplies, lack of capitals, and new technology, corruption
and bad governance add to the adjustments to be made to
positioning of people, corporations and states
Catching up with the new trend What needs to be done by the business
sectors
Mapping the region, country and corporate positioning
Mapping the market: whose market is it now
Financing availability
Resources availability: natural resources, human resources,
technology, infra structure, and legal, political, and social systems
Increasing governance level to world class
Ability to manage the process
Success rate in delivering the results
Catching up with the new trend What needs to be done by the business
sectors
Sample of new approach to contract drafting
A state-owned mining company that operates in Central Kalimantan holds
several coal mining licenses issued by the Central and Local Governments.
The coals, due to local geographic conditions, could only be transported to
the nearest ports only 8 months in a year. Some of the licenses are
threatened to be revoked by the Local Government due to lack of capacity
in commencing all mines at once. The Mines overlap with protected forests.
The banking industry in the developed countries have started limiting their
financial facilities due to European crisis. The Japanese markets, being its
traditional markets, started to buy the same products from Latin Americas.
The company is designed to produce electricity to business and public in
Central Kalimantan. The Bupati who issued the mining licenses is being
indicted by KPK.
Catching up with the new trend
Preparing for Negotiation &
Drafting Business Contracts
3rd Lecture , Contract Drafting
FHUI
18th September , 2012
Preparing for negotiation
Understand client’s business intention and goals
Measure positioning of your client and the opposite party: the purpose is to develop a bargaining position during negotiation and implementing stage
Understand the regulatory and legal framework of the proposed transaction
Understand all constraints that may be coming from the prevailing laws, regulations and government policies, and how to minimize or solve it effectively
Assessing constraints in negotiation process and project implementation
Understand the deal structure and alternatives of option
Setting up of a strong and effective negotiation team
Composing strategy and techniques of negotiation and
drafting
Utilization of database, R & D materials & studies
Applying best practices and authoritative precedence
Dealing with positioning and other gaps
Different business goals
Different country, local, and corporate cultures
Different level of governance: regulation, business and corporate values
Different legal systems and traditions, different political structure and financial systems
Different approach to stakeholders: government, law makers, contractors, suppliers, distributors, lenders, shareholders, management, employees, society, local community
Different best practices and precedence
Check list to watch prior to negotiation
Conflict of interests check
Business intention
Feasibility of the transaction from legal and commercial points of view: in papers and implementation
Finding alternative options for legal and commercial structure
Risks mitigation
Policy issues of the law firm you are working for: governance, ethics, and moral issues
Commercial considerations, issues and constraints
Commercial considerations, issues and
constraints
Conflict check in the industry
BKPM Negative List of Investments
Investment incentives, guarantees, and supports available (regulatory or
special treatment for industry or location)
Tariff barriers; export and import constraints
Regulatory issues (investment, industry, trade, anti monopoly,
environmental, labor, local regulations)
Competitors in the industry
Location of the projects: access to infrastructure
Non-regulatory issues (local community, politics, and social issues,
governance, etc)
Commercial considerations, issues and constraints
Choice of laws
Choice of jurisdiction/Dispute resolutions mechanics
Effective enforcement
Forms of assets; location of assets; liquidity of assets; using assets as security for financing purposes
Control: management, equity, technology, supply of goods and materials
Pricing policy of products and services
Protection of intellectual property rights, branding and company’s names
Technology licensing
Sharing of resources from the principal: IT, management, marketing, distribution, supplies, accounting and legal services, etc
Commercial considerations, issues and
constraints
Sources of financing: bank loans, capital markets, strategic investors,
government supports, factoring, venture capital, etc
Manufacturing facilities, export-processing zone, import and export
duties
Products: market requirements; purchasing power; marketing strategy
Land issues, types of rights, length of use and protection, local issues
affecting land rights and acquisition
Distribution systems: direct, requirement for using local vehicles, anti
monopoly issues, clean-break settlement
Expatriate employment: management and technical level, length of
employment, application of local labor laws, work permit issues, labor
union issues, types of employment for local labors, labor court systems,
etc
Others
Before entering into negotiation room
Prepare list of issues, constraints and options for solution
Prepare answers and solutions to differences
Risk factors, and mitigating the risks
Setting up positioning
It’s not about winning, but it’s about achieving business goals
Call for commercial, legal and operational judgments
Controlling egos and emotions
Limits of authorities
Choice of focus
Choices of transactions for this semester:
acquisition of natural-resources based company
joint venture in infra structure projects
debt restructuring
To access the teaching and other materials, please register at www.surowidjojo.com : it requires name, student number and email address. A student could only register one user name
Entering Negotiation &
Contract Drafting Process
3rd Lecture , Contract Drafting
FHUI
February 28, 2012
Preparing for negotiation
Understand client’s business intention and goals
Measure positioning of your client and the opposite party: the purpose is to develop a bargaining position
Understand the regulatory and legal framework of the proposed transaction
Understand all constraints that may be coming from the prevailing laws, regulations and government policies, and how to minimize or solve it effectively
Understand the deal structure and alternatives of option
Setting up of a strong and effective negotiation team
Composing strategy and techniques of negotiation and
drafting
Utilizing database, R & D materials & studies
Applying best practices and authoritative precedence
Dealing with positioning and other gaps
Different business goals
Different country, local, and corporate cultures
Regulation, business and corporate values: different level of governance
Different legal systems and traditions, different political structure and financial systems
Different approach to stakeholders: government, law makers, contractors, suppliers, distributors, lenders, shareholders, management, employees, society, local community
Different best practices and precedence
Check list to watch prior to negotiation
Conflict of interests check
Business intention
Feasibility of the transaction from legal and commercial points of view
Options for legal and commercial structure
Risks mitigation
Policy issues of the law firm you are working for: governance, ethics, and moral issues
Commercial considerations, issues and constraints
Commercial considerations, issues and constraints
Conflict check in the industry
BKPM Negative List of Investments
Investment incentives, guarantees, and supports available (regulatory or
special treatment for industry or location)
Tariff barriers; export and import constraints
Regulatory issues (investment, industry, trade, anti monopoly,
environmental, labor, local regulations)
Competitors in the industry
Location of the projects: access to infrastructure
Non-regulatory issues (local community, politics, and social issues,
governance, etc)
Commercial considerations, issues and constraints
Choice of laws
Choice of jurisdiction/Dispute resolutions mechanics
Effective enforcement
Forms of assets; location of assets; liquidity of assets; using assets as security for financing purposes
Control: management, equity, technology, supply of goods and materials
Pricing policy of products and services
Protection of intellectual property rights, branding and company’s names
Technology licensing
Sharing of resources from the principal: IT, management, marketing, distribution, supplies, accounting and legal services, etc
Commercial considerations, issues and
constraints
Sources of financing: bank loans, capital markets, strategic investors,
government supports, factoring, venture capital, etc
Manufacturing facilities, export-processing zone, import and export
duties
Products: market requirements; purchasing power; marketing strategy
Land issues, types of rights, length of use and protection, local issues
affecting land rights and acquisition
Distribution systems: direct, requirement for using local vehicles, anti
monopoly issues, clean-break settlement
Expatriate employment: management and technical level, length of
employment, application of local labor laws, work permit issues, labor
union issues, types of employment for local labors, labor court systems,
etc
Others
Before entering into negotiation room
Prepare list of issues, constraints and options for solution
Prepare answers and solutions to differences
Risk factors, and mitigating the risks
Setting up positioning
It’s not about winning, but it’s about achieving business goals
Call for commercial, legal and operational judgments
Controlling egos and emotions
Limits of authorities
Preparing for Negotiation &
Drafting Business Contracts
3rd Lecture , Contract Drafting
FHUI
18th September , 2012
Preparing for negotiation
Understand client’s business intention and goals
Measure positioning of your client and the opposite party: the purpose is to develop a bargaining position during negotiation and implementing stage
Understand the regulatory and legal framework of the proposed transaction
Understand all constraints that may be coming from the prevailing laws, regulations and government policies, and how to minimize or solve it effectively
Assessing constraints in negotiation process and project implementation
Understand the deal structure and alternatives of option
Setting up of a strong and effective negotiation team
Composing strategy and techniques of negotiation and
drafting
Utilization of database, R & D materials & studies
Applying best practices and authoritative precedence
Dealing with positioning and other gaps
Different business goals
Different country, local, and corporate cultures
Different level of governance: regulation, business and corporate values
Different legal systems and traditions, different political structure and financial systems
Different approach to stakeholders: government, law makers, contractors, suppliers, distributors, lenders, shareholders, management, employees, society, local community
Different best practices and precedence
Check list to watch prior to negotiation
Conflict of interests check
Business intention
Feasibility of the transaction from legal and commercial points of view: in papers and implementation
Finding alternative options for legal and commercial structure
Risks mitigation
Policy issues of the law firm you are working for: governance, ethics, and moral issues
Commercial considerations, issues and constraints
Commercial considerations, issues and
constraints
Conflict check in the industry
BKPM Negative List of Investments
Investment incentives, guarantees, and supports available (regulatory or
special treatment for industry or location)
Tariff barriers; export and import constraints
Regulatory issues (investment, industry, trade, anti monopoly,
environmental, labor, local regulations)
Competitors in the industry
Location of the projects: access to infrastructure
Non-regulatory issues (local community, politics, and social issues,
governance, etc)
Commercial considerations, issues and constraints
Choice of laws
Choice of jurisdiction/Dispute resolutions mechanics
Effective enforcement
Forms of assets; location of assets; liquidity of assets; using assets as security for financing purposes
Control: management, equity, technology, supply of goods and materials
Pricing policy of products and services
Protection of intellectual property rights, branding and company’s names
Technology licensing
Sharing of resources from the principal: IT, management, marketing, distribution, supplies, accounting and legal services, etc
Commercial considerations, issues and
constraints
Sources of financing: bank loans, capital markets, strategic investors,
government supports, factoring, venture capital, etc
Manufacturing facilities, export-processing zone, import and export
duties
Products: market requirements; purchasing power; marketing strategy
Land issues, types of rights, length of use and protection, local issues
affecting land rights and acquisition
Distribution systems: direct, requirement for using local vehicles, anti
monopoly issues, clean-break settlement
Expatriate employment: management and technical level, length of
employment, application of local labor laws, work permit issues, labor
union issues, types of employment for local labors, labor court systems,
etc
Others
Before entering into negotiation room
Prepare list of issues, constraints and options for solution
Prepare answers and solutions to differences
Risk factors, and mitigating the risks
Setting up positioning
It’s not about winning, but it’s about achieving business goals
Call for commercial, legal and operational judgments
Controlling egos and emotions
Limits of authorities
Choice of focus
Choices of transactions for this semester:
acquisition of natural-resources based company
joint venture in infra structure projects
debt restructuring
To access the teaching and other materials, please register at www.surowidjojo.com : it requires name, student number and email address. A student could only register one user name
Fulfillment of conditions
precedent in acquisition
contract
Business Contract Drafting
FHUI, April 17th, 2012
Arief Surowidjojo
CONDITIONS PRECEDENT
A provision used for ensuring that all pre-conditions of a contract
are agreed upon, and then fulfilled before a contract is declared
effective. It makes such a contract as a conditional one
It works as an effective mechanism to determine that all
requirements to make sure the contract is valid and enforceable
are agreed and fulfilled
It also works as an agreed mechanism to control the process as
to when the parties will be bound by and as such will have to
comply with the contract provisions
CONDITIONS PRECEDENT
The Conditions
Lapse of time
Occurrence of events
Delivery of certain agreed documents
CONDITIONS PRECEDENT
The
Conditions
Regulatory requirements
Corporate requirements
Contractual requirements : lenders, suppliers, contractors, joint
venture partners, others
Reporting and registration requirements
Class work
Global Resources Corp (GRC) plans to merge Inter Pacific Ltd., (IPL) in
their home country in France. Both are investment companies holding
equity in resources companies around the globe. The acquisition
process is a bit complex due to restructuring corporate actions of IPL in
France as required by its lenders. The crisis in Europe hit IPL in a
massive way. IPL has a subsidiary company in Indonesia, PT IPL
Energy Tbk., a company engaged in an integrated mining operations
from coal mining, mining services, logistics and transportation IPLE).
GRC owns a majority (76%) shares in PT Kalimantan Mining Integra
(KMI), a company engaged in mining services and engineering. GRC
and IPL are negotiating the structure of their operations in Indonesia
due to the merger plan in France.
(a) please assist the parties in structuring the transaction for their
Indonesian operations
(b) please prepare a conditions precedent clause in an agreement to be
Class work
This is an individual class work, please work alone; time for completion
is 45 minutes
Give one or more solutions to both parties re the most efficient structure
under the Indonesian law
You could choose drafting a condition precedent clause in a transaction
between the parties for GRC or for IPL
Structuring takeover
transactionsCommercial Contract Drafting
Arief Surowidjojo
May 1st, 2012
Structuring takeover transactions
the consideration
No or minimum legal constraints
Access to internal information and documents of the
target
Extensive due diligence coverage, exercise and timing
Speed of transaction
Effective control
Exit options
Ability to set up team work
Supports from the governments, executives, shareholders,
Structuring takeover transactions (1)
ABC Corp., an English private equity investment company owned operating from the British Virgin Islands with sub-holding companies all over the world wishes to invest in Indonesia in order to get a better margin in resources business. The objective is to acquire control in large potential resources companies, and sell the investment for a better margin to strategic investors or through capital market mechanics within approximately 5-year period.
ABC Corp., sees potentials in the following targets. Please help ABC Corp., in implementing such business plan.
(1) PT DEF Tbk., a state-owned company engaged in coal mining extractive business. Republic of Indonesia owns 80% of the issued shares, and the local government of Ogan Komiring Ilir (OKI) owns 8%), and the remaining shares are owned by the public. The Indonesian government offers to sell 20% of its equity, and OKI offers 3% of its shares in PT DEF Tbk. The mines are in commercial production stage of 2 million tons /annum, and will last for 15 years with a relatively good quality coals. If the take over is realized, ABC Corp., will have a representation in one director and one komisaris position out of respectively 5-members boards. OKI is a regency with a lot of potentials in coal mining resources, and there will be opportunities for PT DEF Tbk., to expand its operations, despite the fact that the Indonesian Government and OKI are not interested to spend cash injection to PT DEF Tbk. PT DEF Tbk., is a profitable company but not
Structuring takeover transactions (1)
(2) PT GHI Tbk., a general trading company, including
mining products, having a liquidity problem and has been
behind schedule for repayments of its loans to bankers
and suppliers, and is now struggling to prevent a
bankruptcy petition by its lenders, the total amount of its
debts is US$ 200 millions. It does not include corporate
income tax liabilities for the years 2009 and 2010 owing to
the Government. 80% of its shares are being offered for
sale.
(3) PT JKL, a green-field coal mining company with a
proven potential resources of 1 billion tons of high-calorie
coals extractable for 50 years. The mining side of this
company is overlapped with 30% of a palm oil plantation
covering an area of 7,000 ha, owned by a Dutch JV
Structuring takeover transactions (2)
The shareholders of PT MNO Tbk., a holding company in
various businesses, have decided to focus their business to
a service industry. PT MNO Tbk., has huge debts that have
been due and payable. Presently it has subsidiaries in the
following businesses: equipment manufacture, coal and
gold mining operations, oil, gas and mining contractors
and engineering consultants, retail mini-shops all over
Indonesia, stock piling and ports facilities, shipping and
land transportation, banking and micro finance, IT venture
capitals, and pharmaceutical industry and trading.
How could you help PT MNO Tbk., in implementing such
restructuring?
Acquisition and preparing for
indicative agreements
Business Contract Drafting
Arief Surowidjojo
October 9, 2012
Purposes and objective of acquisition Market entrance or expansion
Increase production capacity
Exploring market for new products
Cost reduction on production process, marketing, human resources, and access resources
Strengthening financial positions
Increasing bargaining positions in facing lenders, regulators, suppliers, distributors, and other stakeholders
Shorten the geographical distance to important resources
Acquiring products
Combine products or technology
Obtaining most tax efficient operations
Acquisition and corporate reorganizationHow it is done
Vertical integration
Horizontal integration
Conglomeration
Legal forms of corporate reorganization
Acquisition
Merger
Acquisition drafting process Gathering internal general interests
Facts finding process, selection of targets, desk studies, field research, feasibility studies, business planning, form of cooperation, determination of roles in the cooperation, recommendation to proceed
Exchange of interests with the targets
Prepare non-disclosure agreement
Prepare and negotiate MOU on indicative agreements between the parties
Due diligence process starts
Due diligence reports submitted
Legal, financial, business position are determined, list of issues prepared
Negotiation technique and strategy are determined
acquisition drafting process Issues in drafting MOU
Names do not matter: MOU, terms sheet, letter of intent, joint statement, etc, the purpose is more important – expressing interests to negotiate a business deal on a set of basic principles
Binding or not binding
Exclusive or not exclusive
Time limit or fulfillment of certain conditions
Sufficiency of facts and assumptions used to a closer commitment
Due diligence level
Cost distribution
Clear ideas on the form of cooperation or business relationship
Exit clause
Good faith as equally informed parties
Confidentiality
Enforcement level
Indemnity
acquisition drafting process
Structure and content of MOU
Parties involved
Conditions precedent: due diligence, studies, research, corporate and regulatory approvals, etc
Expression to be binding or not
Exclusivity
Term and termination
Basic reference for negotiation: subject, object, pricing, time frame etc
Cost sharing
Indemnity
Confidentiality
Dispute settlement
Governing law
MOU drafting exerciseSullivan Mining Company (SMC) , a coal mining company based in the UK decided to expand its operations in Asia Pacific. One of the purposes is to supply coals to Indian power companies with medium-high-ranked calorie coals. SMC has a long history of operation in India. SMC wishes to take over a couple of mining assets in Indonesia for implementing such business plan. SMC is negotiating with PT Kutai Energy (KE), a coal trading brokerage company that has access to several mining companies in Kalimantan area, including PT Intan Resources with 50 million tons of reserve with the average of 5.900 calorie coals, PT Bara Kalteng with 80 million tons of reserve with 6.200 calorie coals, and PT Daya Mitra with 25 million tons of reserve with average of 5.500 calorie coals. KE has a mandate to negotiate from Mr. Safiuddin, the majority legal owner of the 3 companies. Mr. Safiuddin, however, is holding the shares in the 3 companies under a nominee arrangement with beneficial owners of the 3 companies, one of them is Mr. Achmad Bahar, the regent of West Kutai, a regency where the mines are located. KE insists that SMC shall acquire the existing shares of the 3 companies, and Mr Saifuddin will remain holding at least 30% of equity in each company.
(a) as SMC’s counsel, please help them in identifying issues or problems if SMC decides to acquire the interests in the 3 companies, (b) please draft MOU between SMC and the owner of the target companies.
due diligence in mining transaction
purposes and processes
Business Contract Drafting
FHUI – March 20th, 2011
purposes Understanding the mining operations and business of the target
Understanding the potentials of the mining targets: mineral resources that are potentially valuable, and for which reasonable prospects exist for eventual economic extraction.
Mineral reserves or Ore reserves that are valuable and legally and economically and technically feasible to extract
Mineral reserves are resources known to be economically feasible for extraction. Reserves are either Probable Reserves or Proven Reserves.A Probable Ore Reserve is the economically minerable part of Indicated, and in some circumstances,a Measured Mineral Resource. It includes diluting material and allowances for losses which may occur when the material is mined. A Probable Ore Reserve has a lower level of confidence than a Proved Ore Reserve but is of sufficient quality to serve as the basis for decision on the development of deposit.A Proven Ore Reserve is economically minerable part of a Measured Mineral Resource. It includes diluting materials and allowances for losses which occur when the material is mined
purposes
A Proven Ore Reserve represents the highest confidence category of reserve
estimate. The style of mineralization or other factors could mean that proved Ore
Reserves are not achievable in some deposits
Understanding the future and going concern of the target
Understanding the regulatory, business, political and social environment of the
mining business
Assessing risks (hidden or exposed) and opportunities in mining business
purposes Understanding the strength and weakness of the branding of the target
Reviewing and assessing the assets and goodwill of the target
Reviewing and assessing the liabilities of the target, exposed and hidden
Understanding the stakeholders of the target
Obtaining the real value of the target
processes Sealing the meeting of business mind
Prepare and sign indicative agreement to include due diligence process; determine the scope of due diligence
Negotiate and sign non disclosure agreement
Determining access to data room
Setting up a solid team work: management, lawyers, accountants, financial advisers, technical experts, tax advisers, human resources experts, communication experts
Setting up programs, schedule, distribution of responsibilities, logistics, resources, support systems, reporting systems, decision making systems, etc
the coverage Corporate history, establishment, capital structure, sources of
capital, payment of capital, types of shares, legal and beneficial
ownership of shares, claims or potential dispute on company’s
ownership, pledge, encumbrance and attachment on the shares,
shareholders, commissioners and management material decisions
for the past 5-10 years
Investment, business and operational licenses; duration and ability
to extend licenses, dependency on certain licenses, risks of not
being able to extend licenses, regulatory trend on material licenses,
breach to requirements of the licenses, potential of revocation of
licenses, assignment of licenses, value of licenses, etc
The future of the target in the organization of the acquiring party;
how it would fit in
the coverage Review on the assets, quality of the assets, sustainability the assets,
risks that may affect quality of the assets, claims and liabilities
arising from the assets, mobility of the assets, valuation of the
assets, technology of the assets, ability to replace the assets to
support operations, ability to use assets for financing purposes, etc
Funding ability, access to financial markets, acceptability in the
financial industry, ability to refinance, alternative of financing
Review on the liabilities of the company, exposed or hidden; forms
of liabilities; ability to contain or limit liabilities;
the coverage
Review the systems, programs, SOP, governance adopted and applied
in the target company, and how it would fit in with the ones adopted and
applied by the acquiring party
Review the organizational structure of the target company and how it
would effectively carry out the mission and programs of the target
company
Review the management style of the target company and how it would
effectively bring it to the goals and targets of the company
Review conflict of interests and affiliated transactions
the coverage
Review all contracts, agreements, commitments, and statements to
public, customers, government and other stakeholders, and analyze
how it would affect the target company, its going concern, assets,
profitability and value
Review insurance and other protection coverage on the target
company, its assets, management, and employees
Review claims, potential claims, litigation, arbitration proceeding and
other dispute settlement that may involve or affect the target
company, management, shareholders, assets and value of the
target company
Review the intellectual proprietary rights owned or used by the
the coverage
Review the human resources condition, form of employment,
employment terms, collective labor agreement, relations with the
labor union, compliance of labor regulations, work safety and health,
etc
Review marketing and sales, marketing network, terms of
engagement with distributors, dealers, sellers; level of collections,
bad debts, etc
Review supplies and its engagement with suppliers, financing of
supplies, payment terms, procurement systems, etc
Financial performance, production and sales, profitability, risks
factors and assessment, cost of production, sales and operations,
the coverage
Review operations of the target company, manufacturing processes,
risk factors and how to deal with it
Review transportation issues, safety, liabilities, and outsourcing
Review sub-contracting, quality control, liabilities, insurance,
compliance
Others as maybe relevant or triggered from the on-going due diligence
Due diligence exercise
ABC Corp., a holding company in the US plans to expand due to limitation
of resources in its home country. It targets mining companies in Indonesia
for the purpose of supplying its customers in Japan (tin) and India (coal).
The contracts to supply its Japanese customers are for a long term supply,
and for the coals are one time contracts. For the tin resources, ABC Corp.,
targets Perusahaan Daerah DEF, a company operating in an offshore area
of Belitung Island, and for the coal resources, it targets CV GHI, a local
company owned and run by the family of local Bupati. The long-term
contracts with Perusda DEF are based on a price agreed 15 years ago,
and the mining licenses of Perusda DEF will expiry early 2014. Perusda
indicates that it wishes to extend the contracts only if the price is adjusted
with fair market price plus premium of 10%. It comes to the knowledge of
ABC Corp., that the premium will not booked as income of Perusda DEF,
but will be distributed to the directors and commissioners of Perusda DEF
as performance bonus. They are also public officials of Kabupaten where
the mines are located.
Please brief your client, ABC Corp., the focus of your due diligence!