27
IDENTIFIKASI JENIS KARANG BATU DI RATAAN TERUMBU KARANG PANTAI
WAIPARE DESA WATUMILOK KABUPATEN SIKKA
Mariana Sada1), Agustina Lande2)Sri Astuti3)
Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Maumere
Alamat: Jl. Jenderal Sudirman Waioti Maumere Nusa Tenggara Timur
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis–jenis karang batu yang terdapat pada zona
intertidal pantai Waipare. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya sebagai bahan
informasi bagi pihak yang berhubungan dengan perlindungan dan pelestarian ekosistem pesisir
dan bagi penelitian selanjutnya. Penelitian ini dilakukan di zona intertidal pantai Waipare Desa
Watumilok Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka Propinsi Nusa Tenggara Timur Jenis penelitian
bersifat deskriptif dengan menggunakan metode survei di sepanjang pantai Waipare dan diambil
sampelnya untuk diidentifikasi. Hasil peneltian menunjukan bahwa karang batu yang terdapat di
zona intertidal pantai Waipare adalah 13 jenis. Acropora nobilis, Acropora yongie,Acropora
aspera, Acropora gemmifera, Acropora palifera dan Acropora donie merupakan jenis karang
batu yang paling besar populasinya dan menempati areal yang paling luas.
Kata kunci: Karang Batu, zona intertidal
PENDAHULUAN
Terumbu karang (Coral reaf) merupakan ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis .
Ekosistem ini mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi. Komponen yang paling
utama dalam membentuk terumbu karang adalah hewan–hewan karang diantaranya adalah jenis
Molusca, Crustacea, Echinodermata, Polykhaeta, Porifera dan Tunicata. Disamping hewan
karang ada juga hidup biota lain yang berkaitan erat dengan karang yang semuanya terjalin
dalam hubungan yang dikenal dengan ekositem terumbu karang (Anonimous dalam Linta,
1996). Menurut Nontji (2002) bahwa terumbu karang merupakan pelindung fisik terhadap
pantai, bagaikan benteng yang kokoh. Apabila terumbu karang dirusak, dihancurkan atau diambil
karang serta pasirnya secara berlebihan maka benteng pertahanan pantai pun akan jebol,
sehingga pantai akan terus terkikis oleh pukulan ombak. Terumbu karang sebagai sumber daya
hayati dapat pula menghasilkan produk yang menempati nilai ekonomi yang sangat penting.
Untuk dapat membentuk terumbu, karang batu.
Terumbu karang juga merupakan keunikan asosiasi atau komunitas lautan yang
seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Terumbu karang mempunyai nilai dan arti yang
sangat penting baik dari segi sosial ekonomi dan budaya, karena hampir sebagian penduduk
Indonesia yang tinggal di daerah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari perikanan laut
dangkal tersebut Terumbu terbentuk dari endapan massif terutama kalsium karbonat yang
dihasilkan oleh hewan karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, bangsa Scleractina), alga
28
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
Pembentukan karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan
pembentukan terumbu karang terbagai atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk
terumbu atau disebut hermatypic coral dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu atau
ahermatypic coral. Kelompok hermatypic coral dalam prosesnya bersembiosis dengan
zooxentellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang
dikenal dengan reef building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk
bangunan kapur sehingga dikenal dengan non-reef building corals yang secara normal hidupnya
tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).
Terumbu karang (Coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil
yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang
mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan
dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan
berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Karang yang terdiri dari beberapa jenis diantaranya dapat ditemukan di daerah Kecamatan
Kangae khususnya di pantai Waipare. Ekosistem terumbu karang yang ada di pantai Waipare
merupakan salah satu tempat yang baik untuk dilaksanakan penelitian. Pada pantai ini terdapat
berbagai karang batu. Jenis karang batu tersebut belum banyak diketahui, hal ini di karenakan
kurangnya data yang menyangkut jenis karang batu tersebut. Berdasarkan hal–hal tersebut di
atas, perlu dilakukan penelitian tentang Identifikasi jenis–jenis karang batu di rataan terumbu
karang pantai Waipare Desa Watumilok Kecamatan Kangae Kabupaten Sikka.
METODE
Metode yang digunakan adalah survey. survey dilakukan untuk mengumpulkan data atau
informasi tentang populasi yang besar dengan menggunakan sampel yang relatif kecil. Selain
metode survey digunakan juga metode transek. Jenis metode transek yang digunakan adalah
transek garis. Dalam metode ini garis-garis merupakan petak contoh (plot). Pada setiap plot
melakukan pendataan dan mengindentifikasi jenis-jenis spesies karang batu yang berada tepat
pada garis atau di dalam plot dicatat jenisnya untuk diidentifikasi. Dalam penelitian ini dibuat
sebanyak dua transek dan masing-masing transek mempunyai ukuran 50 m2, dengan luas
intertidal 100 m2.
Teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah observasi dan
dokumentasi. Observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengamati dan mencatat segala fenomena
yang terjadi di lapangan selama penelitian berlangsung. Observasi awal sebelum penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah mendatangi secara langsung lokasi yang akan dijadikan tempat
penelitian dan melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan sehubungan dipilihnya sebagai lokasi
penelitian, yaitu pasang tertinggi, surut terjauh dan tempat kehidupan karang batu. Teknik
observasi dilakukan dengan cara identifikasi dan klasifikasi terhadap data yang diperoleh. Untuk
memperkuat bukti penelitian dan memudahkan peneliti data menganalisis data, peneliti
mendokumentasikan segala kejadian yang berlangsung sehingga mempermudah peneliti untuk
mendapatkan data yang tidak tercatat ketika observasi. Penggunaan teknik dokumentasi dalam
penelitian ini yaitu dengan mengambil gambar (foto) pada jenis-jenis terumbu karang yang
ditemukan di tempat penelitian.
29
Sebelum dilakukan identifikasi ,karang batu diambil sedikit untuk di jadikan
sampel.Sampel yang di ambil di rendam di air tawar yang telah di campuri dengan pemutih
(bayclin) selama 12 jam atau lebih. Tujuan perendaman adalah untuk mematikan alga yang
bersimbiosis dalam polip-polip pada karang dan mempermudah lepasnya lendir yang melekat
pada permukaan karang batu. Setelah perendaman , sampel di keluarkan dari wadah untuk di
cuci dengan air tawar. Untuk mempermudah pencuciannya, di gunakan alat bantu berupa hand
sprayer (semprotan air) sehingga bagian-bagian tertentu dari karang batu dapat di
bersihkan.Apabila semua sampel telah di bersihkan , selanjutnya dilakukan penjemuran di bawah
terik matahari . Lamanya penjemuran kurang lebih tiga hari. Kegiatan penjemuran di lakukan
sampai karang batu tersebut kering agar tidak tumbuh jamur. Dengan demikian akan
mempermudah dalam proses identifikasi. Jika seluruh sampel telah kering , kegiatan selanjutnya
di lakukan identifikasi. Sampel atau karang batu di indentifikasi dengan cara mencocokkan
jenisnya atau ciri-cirinya pada buku penuntun yang di gunakan. Penuntun yang di gunakan untuk
melakukan identifikasi adalah menurut Veron (1986), Allen dan Steene (1994).
Teknik analisis data deskriptif yang digunakan adalah dengan membandingkan hasil (bagian-
bagian morfologi) yang didapatkan dalam pengamatan di lapangan dengan literatur yang
digunakan. Kunci determinasi ini dapat dilihat dari petunjuk mengenai jenis-jenis terumbu
karang berdasarkan bentuk dan warna tubuh terumbu karang. Selain itu, data untuk mendukung
kunci determinasi dari morfologi terumbu karang yang ditemukan dapat dibantu dengan melihat
ukuran tubuhnnya yang dalam hal ini berkenaan dengan system refroduksi dari terumbu karang
itu sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pantai Waipare berada di tengah-tengah dengan berbatasan sebelah timur Dusun Waipare
B dan sebelah barat Desa Tanah Duen. Panjang Pantai Waipare ±1500 m sedangkan panjang
mulai dari pasang tertinggi sampai surut terjauh ±100 m. Berdasarkan hasil identifikasi jumlah
spesies karang batu yang di temukan dalam penelitian ini adalah 13 jenis karang batu. Jenis-
jenis karang batu yang di temukan di Pantai Waipare secara umum termaksud dalam lima family
yaitu Acroporidae, Agariciidae, Faviidae, Fungiidae, Pocilloporidae sebagaimana pada tabel 1.
Tabel 1. Jenis–jenis karang batu yang ditemukan di Pantai Waipare Kabupaten Sikka
No Genus Spesies Literatur
1. Acropora Acropora
nobillis
Acropora
yongie
Acropora
pelifera
Acropora
aspera
Acropora
gemmifera
Acropora
donie
Suharsono(2
008)
Suharsono
(2008)
Suharsono
(2008)
Suharsono
(2008)
Suharsono
(2008)
Suharsono (
2008)
2. Montipora Montipora
tuberculosa
Suharsono
(2008)
30
Berdasarkan hasil observasi, idenetifikasi dan dokmentasi diperoleh 13 spesimen dengan
ciri-ciri morfologi masing-masing specimen yang dicocokan dengan literature disajikan pada
tabel 2 di bawah ini.
3. Coeloserie
s
Coeloseries
mayeri
Suharsono
(2008)
4. Gardineros
eries
Gardinerose
ries
planulata
Suharsono
(2008)
5. Goniastrea Goniastrea
retiformis
Suharsono
(2008)
6. Leptastrea Leptastrea
purpurea
Suharsono
(2008)
7. Cycloserie
s
Cycloseries
costulata
Suharsono
(2008)
8. Pocillopor
a
Pocillopora
domicarnis
Suharsono
(2008)
31
Tabel 2. Ciri-Ciri Morfologi Spesimen Terumbu Karang yang Ditemukan Di Pantai Waipare
No
.
Nama
Spesimen
Deskripsi Spesimen Jenis Karang
Batu Hasil Penelitian Literatur (Suharsono,2008)
1. Spesimen 1
Bentuk percabangan spesimen 1 ini
melebar dengan percabangan tegak yang
pendek, berwarna coklat, percabangan
lebih dari 2 cabang, pada ujungnya
berbentuk gepeng dan menempel pada
batu karang.
Bentuk percabangan arboresen, radial
koralit terdiri dua ukuran besar dan kecil
dengan bukaan demidiate. Jenis ini biasa
hidup ditempat dangkal. Karang ini
berwarna coklat muda sampai coklat
keabu-abuan.
Acropora
nobilis.
2. Spesimen 2
Bentuk percabangan specimen 2 ini
melebar dengan percabangan yang tebal
dan merapat, berwarna coklat, memiliki
lebih dari 2 cabang dan cabangnya
pendek, pada ujung cabang berbentuk
gepeng dan menempel pada batu karang.
Koloni dengan percabangan arboresen
yang tebal dan rapat, cabang relatif
pendek-pendek dengan axial koralit
berbentuk tabung. Radial koralit dengan
ukuran seragam berbentuk tabung. Jenis
ini biasa hidup di tempat yang dangkal
Acropora yongei
32
dan relative tenang. Karang ini berwarna
coklat atau kekuningan
3. Spesimen 3
Bentuk morfologi specimen 3 bercabang ,
berwarna coklat , menempel pada tepian
karang dan percabangan tumpul di setiap
ujung.
Percabangan koloni berupa lempengan-
lempengan atau pilar-pilar yang tegak
lurus. Jenis ini sangat khas yaitu tidak
mempunyai axial koralit sedangkan radial
koralit tersebar tidak beraturan. Pada
umumnya karang ini berwarna coklat
muda dengan ujung memutih
Acropora
palifera
4. Spesimen 4
Bentuk percabangan spesimen 4 ini
bercabang dengan ukuran cabang yang
sangat sedang, percabangannya lebih dari
2 cabang, memiliki ukuran yang
bervariasi, berwarna coklat .
Koloni korimbosa, cabang dengan ukuran
yang sedang. Ukuran cabang bervariasi
tergantung dari tempat hidupnya. Axial
koralit kecil dan radial, koralit dengan
ukuran besar dan kecil, bercampur
dengan bentuk seperti sisik ikan.
Acropora aspera
33
Berwarna coklat gelap atau keabu-abuan.
5. Spesimen 5
Bentuk percabangan spesimen 5 melebar ,
dengan percabangan yang gemuk dan
kokoh, berwarna coklat , memiliki lebih
dari 2 cabang dan cabangnya kadang
berbentuk pyramid.
Koloni dengan bentuk percabangan
digitata, cabang gemuk, kokoh, kadang
berbentuk pyramid, Di temukan berwarna
kuning muda, coklat, ungu. Biasanya
tumbuh ditubir ditempat yang jernih.
Acropora
gemmifera
6. Spesimen 6
Bentuk percabangan spesimen 6 ini
melebar dengan percabangan tegak dan
pendek , berwarna coklat, percabangannya
lebih dari 2 cabang, pada ujung cabangnya
berbentuk gepeng , dan menempel pada
batu karang.
Bentuk percabangan arboresen. Radial
koralit berbentuk kepingan yang melebar
pada bagian tepi. Jenis ini biasa hidup di
daerah rataan terumbu tepi. Berwarna
Coklat muda sampai kuning pucat.
Acropora donie
34
7. Spesimen 7
Bentuk morfologi spesimen 7 ini adalah
pada umumnya berbentuk seperti piring,
berwarna coklat muda, tumbuh di tempat
yang berarus.
Koloni umumnya submassive, kadang
merayap, korolit campuran, ada yang
tenggelam dan ada yang di permukaan .
Seluruh permukaan ditumbuhi papilla
yang rapat, berwarna coklat muda kadang
– kadang kehijauan. Tumbuh diantara
koloni karang di tempat yang berarus.
Montipora
tuberculosa
8. Spesimen 8
Spesimen 8 berbentuk karang massive
membulat , berwarna kuning, terdapat
rongga berbentuk seperti persegi 6,
memiliki permukaan kasar dan keras dan
hidup di rataan terumbu.
Koralit cerioid dengan ukuran seragam
dan tanpa kolumela, septa hampir sama
ukurannya. Septokosta saling menyatu
antara koralit yang berdekatan. Di
temukan berwarna kuning pucat atau
keputihan.
Coeloseries
mayeri
35
9. Spesimen 9
Spesimen 9 berbentuk karang massive ,
memiliki permukaan kasar dan keras,
karang tumbuh merayap dan kadang
berupa lembaran, terdapat rongga seperti
persegi 6, berwarna coklat muda.
Koloni massive, merayap kadang-kadang
dengan tepi berupa lembaran, koralit
cerioid dengan dinding dengan sudut-
sudut lancip dan tajam. Septa halus
tersebar merata dengan kolumela kecil.
Ditemukan berwarna abu–abu atau coklat
muda.
Gardineroseris
planulata
10. Spesimen 10
Spesimen 10 berbentuk seperti kubah ,
memiliki permukaan yang kasar dan
keras,terdapat garis tebal yang
membentuk kolom kecil seperti persegi 5,
tumbuh membulat di daerah rataan
terumbu, berwarna hijau muda.
Koloni massive membentuk kubah.
Koralit umumnya bersudut empat sampai
lima, cerioid. Septa berselang seling
antara yang panjang dan pendek.
Kolumela membentuk mahkota. Di
temukan berwarna hijau muda, coklat tua,
Goniastrea
retiformis
36
atau kuning pucat.
11. Spesimen 11
Bentuk morfologi spesimen 11 karang
merayap, menutupi rataan terumbu,
terdapat rongga – rongga berbentuk
persegi 5, karang tumbuh merambat
menutupi permukaan dasar terumbu ,
memiliki permukaan kasar dan keras ,
berwarna coklat
Koloni massive atau merayap. Koralit
cerioid dengan ukuran yang bervariasi.
Septa mempunyai ketebalan yang relatif
sama tersusun rapi dengan dinding yang
lebih tebal. Di temukan berwarna coklat,
abu-abu atau keputihan
Leptastrea
purpurea
12, Spesimen 12
Bentuk morfologi spesimen 12 ini adalah
memiliki bentuk yang membulat,
memiliki permukaan atas yang cembung,
umumnya di jumpai di jumpai di dasar
laut yang berpasir, berwarna keputihan.
Koloni soliter membulat, permukaan atas
cembung. Septa pertama besar dan tebal
mengelilingi mulut. Berwarna kuning
pucat atau keputihan. Jenis berpasir
sedikit berlumpur.
Cycloseris
costulata
37
13. Spesimen 13
Bentuk morfologi spesimen 13 bercabang
dengan percabangan yang pendek,
berwarna coklat, memiliki bintik–bintik
pada setiap cabangnya dan ujung
percabanganya tumpul.
Koloni bercabang dengan ukuran cabang
yang kecil sehingga bintil seolah menyatu
dan membentuk percabangan itu sendiri.
Adanya tonjolan kecil diseluruh
percabangan memberi kesan percabangan
berlekuk-lekuk, ujung percabangan
tumpul. Koralit tidak tersebar merata,
dengan ukuran yang relatif seragam.
Warna kuning muda sampai coklat, pada
pangkal koloni biasanya berwarna coklat.
Pocillopora
damicornis
38
Pertumbuhan karang dan penyebarannya tergantung pada kondisi lingkungan dari tempat
penelitian tersebut. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tepat , akan tetapi sering kali
berubah karena adanya gangguan baik berasal dari alam maupun aktivitas manusia. Faktor – factor
lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang antara lain
:
1. Kondisi Fisik
Kondisi fisik pantai Waipare dari bibir pantai sampai batas surut terjauh masih layak untuk dilakukan
penelitian. Pada jarak 100 m2 surut terjauh kondisi fisik tersebut memungkinkan semua spesies karang
bisa bertahan hidup sedangkan pada kondisi fisik dengan jarak 50 m2 banyak spesies terumbu karang
yang tidak mampu bertahan hidup dan akan menyebabkan organisme akan mati, sehingga spesies
tersebut akan mengalami adaptasi untuk mempertahankan hidup.
2. Cahaya
Intensitas cahaya berhubungan erat dengan kedalaman . Di tempat yang dalam dengan intensitas
cahaya yang rendah tidak di temukan terumbu karang, sehingga menyebabkan laju fotosintesis akan
berkurang dan pada akhirnya kemampuan terumbu karang juga akan berkurang. Jika karang berada
pada tempat yang teduh atau di hindarkan dari cahaya , pertumbuhannya akan berhenti dan jika
cahaya yang di berikan tidak cukup, maka akan mati.
Pada saat di lakukan pengambilan sampel, tepat pada batas surut terjauh, banyak hidup berbagai jenis
karang karena cahaya yang masuk cukup baik sehingga dapat membedakan berbagai jenis karang yang
hidup, dan mempercepat proses fotosintesis. Karang tidak memperoleh makanan tetapi apabila tetap
terkena cahaya, akan mengalami perkembangbiakan bertambah banyak, hal ini dapat terjadi karena
Zooxantellae menyediakan makanan bagi mereka. Kebutuhan akan cahaya tersebut bermanfaat untuk
kepentingan Zooxanthellae yaitu alga uniseluler, berwarna kuning coklat dan hidup sebagai simbion
karang.
3. Suhu
Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan bentuk luar dari karang.
Suhu paling optimal bagi pertumbuhan karan berkisar antara 23-30ºC. Pada suhu di bawah 18º C dapat
menghambat pertumbuhan karang bahkan dapat mengakibatkan kematian karang. Pada suhu 33º C
dapat menyebabkan pemutihan (bleaching) yaitu keluarnya Zooxanthella dari polip karang dan akibat
selanjutnya dapat mematikan karang tersebut. Sedangkan pada saat pengambilan sampel suhu rata-rata
25℃− 27℃. Pada suhu tersebut perkembangan pertumbuhan karang sangat baik sehingga
memungkinkan karang dapat bertahan hidup.
4. Kekeruhan Air
Pada saat pengambilan sampel, air tidak mengalami kekeruhan dan faktor cahaya juga tidak
menghambat proses pengambilan sampel. Kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan terhambatnya
intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, selain mengganggu proses fotosintesis Zooxanthellae,
sedimentasi yang tinggi dapat juga menutupi dan akhirnya akan mematikan polip karang
5. Substrat
Planula karang membutuhkan substrat yang keras dan bersih dari lumpur. Substrat ini berperan sebagai
tempat melekatnya planula karang yang kemudian tumbuh menjadi hewan karang dan membentuk
komunitas yang kukuh. Dasar perairan yang berupa bantuan atau cangkang kerang dapat di pakai
sebagai substrat awal seperti yang terjadi pada proses pembentuka pulau karang.
6. Oksigen terlarut
Dalam proses respirasi ketersediaan oksigen sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan
makhluk hidup termaksud karang batu.
39
Selain itu juga terdapat faktor – faktor biotik diantaranya meliputi: individu, populasi, komunitas dan
ekosistem.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah spesies karang batu yang di temukan di pantai Waipare A Desa Watumilok Kecamatan
Kangae Kabupaten Sikka sebanyak 13 spesies yakni Acropora nobilis, Acropora yongie, Acropora
palifera, Acropora aspera, Acropora gemmifera, Acropora donie, Montipora tuberculosa,
Coeloseries mayeri, gardineroseris planulata, Goniastrea retiformis, Leptastrea purpurea.
2. Spesies-spesies yang di temukan dominan antara lain : Acropora nobillis, Acropora yongie,
Acropora aspera, Acropora gemmifera, Acropora palifera, dan Acropora donie.
3. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang antara
lain : Kondisi fisik, Cahaya, Suhu, kekeruhan air, Substrat, Oksigen terlarut dan faktor – faktor
biotic antara lain Individu, Populasi, Komunitas dan Ekosistem.
DAFTAR PUSTAKA
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia: Jakarta.
Soemarwoto, O. 2003. Kehidupan Terumbu Karang. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suharsono. 2008. Jenis – Jenis Karang Di Indonesia. Jakarta: LIPI Press
Sukarno, M., Hutomo, M. K., Moosa dan P. Darsono. 1981. Terumbu karang di Indonesia. Lembaga
Oceanologi Nasional. Jakarta: Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan.
Tomascik, T.,A.J. Mah., A., Nontji and M.K. Moosa.1997. The Ecology of Indonesia Series; Vol VII
:The Ecology of Indonesia Seas. Republic of Singapore : Periplus Editions (HK) Ltd.
Veron, J.M. 1986. Corals of Australia And Indopasific. Australia Institute Of Marine Sciene.
Singapore: Angus And Rebertson Publisher