5
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul dan Penyebaran Sapi Lokal Indonesia
Keanakeragaman ternak yang terdapat di Indonesia khususnya pada ternak
sapi berasal dari sumber daya genetik ternak asli dan ternak impor. Impor ternak
sapi Ongole dan Zebu (Bos indicus) yang dimulai pada awal abad ke-20
memegang peranan penting dalam upaya pengembangan peternakan sapi di
Indonesia. Ongole murni pertama kali dibawa ke Pulau Sumba yang kemudian
dikenal dengan sebutan Sumba Ongole (SO) dan selanjutnya dibawa ke wilayah
lain di Indonesia untuk disebarkan. Penyebaran tersebut dimaksudkan untuk
dapat disilangkan dengan sapi asli Jawa dan akhirnya membentuk suatu bangsa
sapi peranakan Ongole dan sapi Madura (Utoyo 2002). Proses perkembangan
sapi di Indonesia telah menghasilkan sumber daya genetik ternak yang lebih
beragam, yaitu mulai dari sapi asli seperti sapi Bali, juga sapi hasil silangan yang
telah menjadi sapi lokal seperti sapi Pesisir, sapi Aceh, sapi Madura, sapi Sumba
Ongole (SO) dan sapi Peranakan Ongole (PO) (Utoyo 2002; Martojo 2003).
Sapi Bali (Bibos sondaicus) yang ada saat ini diduga berasal dari hasil
domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Menurut Rollinson (1984) proses
domestikasi sapi Bali itu terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia atau Indochina.
Banteng liar saat ini bisa ditemukan di Jawa bagian Barat dan bagian Timur, di
Pulau Kalimantan, serta ditemukan juga di Malaysia (Payne & Rollinson 1973).
Hardjosubroto dan Astuti (1993) mengemukakan bahwa di Indonesia saat ini,
banteng liar hanya terdapat di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung
Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Pada keadaan liar, habitat
asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Baluran) dan di Jawa Barat
(Ujung Kulon), selain itu banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan
Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf
1995).
Penyebaran sapi Bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927. Pada tahun 1927 sapi Bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi)
sebanyak 5 ekor dan pada tahun 1940 jumlahnya telah mencapai 80 ekor. Pada
6
tahun 1947 sapi Bali disebarkan ke propinsi ini secara besar besaran. Sapi-sapi
inilah bersama dengan pendahulunya menjadi cikal bakal sapi Bali di Sulawesi
Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi Bali
terbanyak di Indonesia. Pada tahun 1964 di Bali terjadi musibah penyakit
jembrana secara besar-besaran yang menyebabkan sapi Bali tidak boleh
dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai periode inilah sumber
bibit sapi Bali bagi daerah lain di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi
Selatan dan NTB (Talib 2002).
Gambar 1. Penyebaran dan tipe–tipe sapi domestikasi yang terdapat di
Asia, Afrika dan Eropa (MacHugh 1996).
Gambar 1 terlihat dengan jelas bahwa penyebaran sapi yang secara
tertutup (warna hijau), hal ini terkait dengan spesies Bos (Bibos) seperti banteng,
gaur dan kouprey (MacHugh 1996). Hasil domestikasi spesies liar Bos (Bibos)
banteng adalah sapi Bali (Bos sondaicus) atau Bos javanicus (Talib et al. 2002).
Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng
liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum
diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia
sebagai sapi Bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar
8
dipertimbangkan untuk dijadikan kriteria seleksi, mengingat produksi susu sapi
Bali yang baik hanya dalam 4 bulan pertama (Talib et al. 1999). Korelasi genetik
bobot umur 120 hari dengan sifat-sifat ekonomis seperti bobot potong dan
pertambahan bobot badan pada bangsa sapi Bali cukup tinggi (Talib 2002).
Cara lain untuk meningkatkan produktivitas sapi adalah dengan
memanfaatkan banteng yang memiliki bobot dewasa yang besar (pejantan sapi
Bali dengan bobot sekitar 600−800 kg terdapat di luar pulau Bali) ataupun sapi
Mithan yang memang masih satu tetua dengan sapi Bali (Scherf 1995; Talib et al.
1997). Sapi Bali umur sekitar 2 tahun dengan bobot 400 kg atau umur 4 tahun
dengan bobot badan sekitar 600–800 kg dapat ditemukan di Bali. Kasus penyakit-
penyakit yang menjadi khas sapi Bali seperti Jembrana, mengakibatkan potensi
yang baik ini belum dapat digunakan dengan semestinya di luar Pulau Bali. Pada
umumnya di Sulawesi Selatan pemeliharaan sapi Bali dengan digembalakan,
sehingga penampilan produksi lebih rendah. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
batas bawah dari performan sapi Bali di NTT, tetapi pada pemeliharaan intensif
terlihat bahwa sapi Bali baik di Bali ataupun di NTT menunjukkan performan
yang sama baiknya (Talib 2002).
Sapi Bali merupakan salah satu penyumbang daging terbesar dari kelompok
ruminansia khususnya dari ternak sapi, terhadap produksi daging nasional
sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang
menguntungkan. Sapi Bali telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat di
Indonesia, seperti di wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, dan beberapa wilayah di pulau Jawa, sebagai tabungan dan
tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara
tradisional. Pola usaha ternak sapi Bali sebagian besar berupa usaha rakyat untuk
menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secara terintegrasi
dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Pengembangan usaha
ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan pola kemitraan merupakan salah
satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak (Suryana 2009).
Pada pemeliharaan intensif maupun ekstensif sapi Bali menunjukkan
kemampuan adaptasi yang baik terhadap lingkungan khusus tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari laporan Siregar et al. (2000) bahwa walaupun sapi Bali di
9
Ujung Pandang berukuran kecil tetapi mempunyai body condition score yang
baik, artinya sapi-sapi tersebut tidak kurus. Kemampuan adaptasi ini merupakan
salah satu keunggulan sapi Bali tetapi juga sekaligus merupakan kelemahannya.
Keadaan lingkungan hidup sapi Bali yang kurang baik (pakan jelek) maka
adaptasi sapi Bali adalah dengan menurunkan ukuran tubuh, sehingga akan
menghasilkan jumlah edible meat sedikit dan kecil-kecil. Kondisi ini akan
menyebabkan pasarannya sapi Bali hanya dapat menjangkau kalangan bawah
sampai menengah.
Sapi Pesisir
Sapi di Sumatera Barat, menurut catatan sejarah terdiri atas sapi lokal, sapi
Zebu dan sapi Eropa. Sejak tahun 1907 telah dimasukkan sapi-sapi Zebu (Ongole
dan Hissar) untuk meningkatkan mutu genetik sapi lokal. Setelah kemerdekaan,
kembali dimasukkan sapi Ongole di Sumatera Barat dalam rangka Program
Ongolisasi. Terbatasnya sarana perhubungan di bagian selatan Sumatera Barat
terutama di Kabupaten Pesisir Selatan, Program Ongolisasi tidak berjalan sebaik
di daerah bagian utara dan tengah, seperti di Kabupaten Agam, Kabupaten Lima
Puluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar (Sarbaini 2004).
Ciri-ciri sapi lokal Sumatera Barat adalah tubuh kecil, badan pendek dan
kaki kecil. Sapi Pesisir memiliki pola warna bulu tunggal yang dikelompokkan
atas lima warna utama, yaitu merah bata (34.35%), kuning (25.51%), cokelat
(19.96%), hitam (10.91%), dan putih (9.26%) (Sarbaini 2004). Selain itu, sapi
Pesisir juga dikenal bertemperamen jinak sehingga mudah dikendalikan dalam
pemeliharaan (Saladin 1983).
Sapi Pesisir Sumatera Barat khususnya sapi Pesisir Selatan yang terdapat
di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu sapi terkecil di dunia. Contoh
sapi terkecil di dunia yang lainnya berdasarkan bobot badannya adalah sapi dwarf
West Afrika shorthorn yang berasal dari Wilayah Pantai Afrika Barat dan Bonsai
Brahman dari Meksiko (Sarbaini 2004).
Sapi Madura
Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos
indicus. Daerah atau lokasi penyebaran terutama di pulau Madura, Jawa Timur.
Sapi ini termasuk tipe pedaging dan pekerja, dengan memiliki karakteristik warna
10
merah bata baik pada jantan maupun betina. Sapi jantan memiliki tanduk yang
pendek dan beragam lebih kurang 15 – 20 cm, sedangkan pada betina, tanduk
lebih kecil dan pendek lebih kurang 10 cm. Panjang badan lebih mirip seperti sapi
Bali tetapi berpunuk kecil, dengan tinggi badan kira 118 cm dengan berat badan
rata–rata 350 kg (Arbi 2009). Saat ini breed sapi lain dilarang masuk ke pulau
Madura, tetapi sapi Madura disebarkan ke berbagai daerah seperti Jawa Timur,
Flores, Kalimantan dan Sumatra, walaupun perkembangannya tidak sebaik di
Pulau Madura. Berdasarkan bentuk fenotipe, sapi Madura menyerupai sapi Bali,
yakni bentuknya yang uniform, ukuran tubuhnya sedang sampai kecil, bertulang
dan berotot yang bagus, terutama sapi jantan (karapan) dan mempunyai kaki
yang cukup kuat untuk bertahan terhadap kerja tarik yang berat. Sapi Madura
umumnya berwarna coklat medium dan coklat merah. Warna putih seperti pada
kaki (white stocking) juga sering ditemukan di daerah abdomen dan bagian paha
dalam. White stocking yang ditemukan pada kaki sapi Madura berwarna lebih
muda dan tidak sejelas yang ditemukan pada sapi Bali (Suwiti et al. 2008).
Sapi Madura merupakan salah satu jenis sapi potong lokal dari Indonesia
yang berkembang pesat di Pulau Madura serta pulau–pulau disekitarnya. Asal
domestikasi sapi Madura juga hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Secara morfologi, sapi Madura memiliki karakter yang hampir sama dengan sapi
Bali, kecuali ukuran tubuh dan tanduknya yang lebih kecil (Setiadi 2010). Sapi
Madura mempunyai keunggulan yang patut dibanggakan dan diberdayakan.
Keunggulan itu antara lain, memiliki kemampuan daya adaptasi yang baik
terhadap stres pada lingkungan tropis, mampu hidup dalam keadaan pakan yang
kurang baik, tumbuh dan berkembang dengan baik, serta tahan terhadap investasi
serangan caplak dan memiliki kualitas karkasnya yang tinggi dan ketahanannya
terhadap parasit tertentu. Beberapa sumber hingga kini menyebutkan bahwa sapi
Madura telah mengalami degradasi produktivitas karena seleksi negatif dan
inbreeding (Leasa 2009).
Sapi Katingan
Sapi Katingan adalah salah satu plasma nutfah yang ada di Kalimantan
Tengah yang secara umum dapat dimanfaatkan dalam berkontribusi dalam
pembangunan peternakan nasional. Hasil karakterisasi fenotipik yang menjadi
11
ciri umum sapi Katingan adalah bergelambir, berpunuk, bertanduk dan
mempunyai banyak variasi warna. Keberadaan sapi katingan yang unik ini
dipelihara di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Katingan dan Kahayan secara
ekstensif dalam bentuk ranch-ranch. Sapi-sapi tersebut hanya dipelihara oleh
masyarakat lokal setempat atau yang dikenal dengan sebutan suku Dayak,
sedangkan sapi-sapi lokal lainnya seperti sapi Bali (dominan), sapi Madura dan
sapi PO kebanyakan dipelihara oleh masyarakat pendatang (transmigran). Tidak
seperti sapi lokal lainnya yang sudah banyak dilakukan penelitian, informasi
mengenai sapi lokal dari Kalimantan Tengah ini masih sangat minim, mulai dari
informasi tentang reproduksi, pertumbuhan bahkan dari genetika. Keberadaan sapi
tersebut sudah puluhan bahkan ratusan tahun dan sudah beradaptasi dengan
lingkungan sekitar yang lahannya tergolong asam dan rawa (Utomo 2011).
Penciri pada sapi Katingan ditunjukkan pada sapi betinanya, yaitu adanya
variasi pertumbuhan tanduk seperti melengkung ke depan, melengkung ke
samping, dan melengkung ke bawah, sedangkan pada sapi jantan, hanya terdapat
variasi tanduk melengkung ke atas dan menyamping ke atas. Pola warna bulu
pada sapi Katingan juga sangat bervariasi baik pada jantan maupun betina mulai
dari pola warna coklat kemerahan, coklat keputihan, hitam hingga putih keabuan.
Hal menarik yang terdapat pada sapi Katingan adalah adanya tonjolan kecil pada
bagian kepala yang kemungkinan dapat mejadi penciri morfologi dari sapi
Katingan. Tonjolan yang terdapat pada bagian tengah (diantara dua tanduk) dari
kepala sapi Katingan hanya ditemukan pada sapi betina saja. Berdasarkan bobot
badan, sapi Katingan jantan memiliki rata-rata bobot badan sebesar 250-299.9 kg,
sedangkan betina memiliki rata-rata bobot badan sebesar 201-217 kg, hal ini dapat
menyatakan bahwa sapi Katingan tergolong bangsa sapi tipe kecil dan sedang
(Utomo 2011).
Pertumbuhan Sapi
Pertumbuhan bagi ternak merupakan suatu proses perubahan bentuk atau
ukuran seekor ternak yang dapat dinyatakan dengan panjang, volume ataupun
massa Pertumbuhan ternak menunjukkan peningkatan ukuran linear, bobot,
akumulasi jaringan lemak dan retensi nitrogen dan air. Terdapat tiga hal penting
dalam pertumbuhan seekor ternak, yaitu proses-proses dasar pertumbuhan sel,
12
diferensiasi sel-sel induk menjadi beberapa lapisan yaitu ektodermis, mesodermis
dan endodermis dan mekanisme pengendalian pertumbuhan dan diferensiasi.
Pertumbuhan sel meliputi perbanyakan sel, pembesaran sel dan akumulasi
substansi ekstraseluler atau material-material non protoplasma. Pertumbuhan
dimulai sejak terjadinya pembuahan dan berakhir pada saat dicapainya
kedewasaan. Pertumbuhan ternak dapat dibedakan menjadi pertumbuhan sebelum
kelahiran (prenatal) dan pertumbuhan setelah terjadi kelahiran (postnatal) (Aberle
et al. 2001).
Pertumbuhan merupakan indikator yang utama dan terpenting dalam
produksi daging pada sapi pedaging, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi
dalam budidaya sapi pedaging. Sapi Bali merupakan salah satu sapi pedaging
lokal Indonesia yang memiliki kelebihan berupa kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan Indonesia baik terhadap iklim, ketersediaan makanan alami,
ketersediaan air dan juga ketahanan terhadap bakteri maupun parasit yang ada di
lingkungan Indonesia. Meskipun sapi Bali ini mampu berkembang biak dengan
baik di Indonesia, namun kualitas dan kuantitas produksinya masih kalah dengan
sapi impor (Talib 2002). Peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi daging
bagi sapi lokal Indonesia akan lebih tepat bila dilakukan melalui seleksi yang
tidak hanya berdasarkan pada penampakan luar (fenotipe), melainkan melalui
seleksi langsung pada tingkat DNA yang mengkodekan fenotipe yang ingin
diperbaiki kualitasnya (Martojo 2003).
Pertumbuhan sapi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetis.
Faktor lingkungan meliputi pakan, baik hijauan maupun konsentrat, air, iklim dan
fasilitas pemeliharaan yang lain. Pengaruh pertumbuhan yang disebabkan faktor
lingkungan ini tidak diturunkan kepada anakan. Faktor genetis yang dikendalikan
oleh gen akan diturunkan kepada keturunannya. Pertumbuhan dikendalikan oleh
beberapa gen, baik yang pengaruhnya besar/utama (major gene) sampai yang
pengaruhnya kecil (minor gene). Salah satu gen yang diduga merupakan gen
utama dalam mempengaruhi pertumbuhan adalah gen pengkode hormon
pertumbuhan yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan (Carnicella et al.
2003)
13
Salah satu faktor genetik yang mempunyai peranan dalam pertumbuhan
suatu individu adalah gen GH (hormon pertumbuhan). Gen GH memiliki peranan
yang sangat penting dalam pengaturan regulasi pertumbuhan dan matabolisme
dari tubuh ternak (Carnicella et al. 2003). Fungsi dari gen GH pada suatu
individu khususnya ternak menjadi hal yang penting dikarenakan gen GH
mengatur sifat-sifat yang bernilai ekonomi yang tinggi.
Menurut Silveira et al. (2007), GH merupakan kandidat gen yang sangat
mendasar dan berperan dalam pertambahan dan pertumbuhan bobot badan pada
ternak. Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas
dan respon immun (Ge et al. 2003). Selain itu, gen GH juga diperlukan dalam
pertumbuhan jaringan, metabolisme lemak dan reproduksi (Burton et al. 1994).
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak adalah gen yang
termasuk dalam famili POU atau transcription factor family yaitu gen Pit-1
(pituitary specific transciptation factor-1) yang berfungsi sebagai faktor pengatur
(regulator) hormon pertumbuhan, hormone prolaktin dan hormon tirotropin β-
subunit (Tuggle & Trenkle 1996). Selain itu gen Pit-1 juga berperan dalam
diferensiasi dan proliferasi sel kelenjar pituitary (Hoggard et al. 1993).
Mengingat peran penting gen tersebut dalam mengatur gen-gen lain dalam proses
pertumbuhan khususnya pada ternak sapi, maka gen Pit-1 dipilih sebagai salah
satu gen kandidat yang perlu dicari hubungan atau keterkaitannya dengan
performa pertumbuhan, kualitas karkas dan juga performa laktasi pada beberapa
bangsa sapi seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya
(Woollard et al. 1994; Moody et al. 1995; Zwierzhowski et al. 2001; Dybus et al.
2003; Oprzadek et al. 2003; Zhao et al. 2004; Viorica et al. 2007).
Gen lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pada ternak adalah gen
Insulin-like growth factor I (IGF-I) yang merupakan faktor utama peningkatan
polipeptida hormon pertumbuhan pada hewan. Gen IGF-I mengatur pertumbuhan
somatik dari rangsangan perkembangan dan penghambatan beberapa tipe sel
apoptosis, termasuk otot, tulang, epitel dan sel fibroblast (Wu et al. 2008).
Gen Insulin-like growth factor I (IGF-I) merupakan kandidat gen untuk
pertumbuhan pada ternak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan. Gen IGF-I memediasi rangsangan aksi pembelahan sel dan proses
14
metabolism yang berhubungan dengan deposisi protein. Gen IGF-I menstimulasi
metabolisme protein dan berperan penting terhadap fungsi beberapa organ
(Pereira et al. 2005).
Hormon Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diterapkan pada suatu sel, organ, jaringan, seekor
ternak maupun populasi ternak. Pertumbuhan secara umum adalah adanya
perubahan bentuk atau ukuran serta penampilan seekor ternak yang dapat
dinyatakan dengan panjang, volume ataupun massa dengan satuan berat maupun
satuan panjang. Menurut Aberle et al. (2001) pertumbuhan dapat dinilai sebagai
peningkatan tinggi, panjang, ukuran lingkar dan bobot yang terjadi pada seekor
ternak muda yang sehat serta diberi pakan, minum dan mendapat tempat
berlindung yang layak. Secara lanjut, Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan
bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-
sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah pada tingkat dan titik berbeda dalam
suatu waktu tertentu.
Gambar 3. Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dalam pengaturan
pertumbuhan otot dan tulang (Roith et al. 2001).
Pada hewan yang sedang tumbuh, hormon pertumbuhan dapat
meningkatkan efisiensi produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang
15
pertumbuhan otot, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan
pertumbuhan organ, dan meningkatkan pertumbuhan tulang (Roith et al. 2001)
(Gambar 3). Pertumbuhan secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu
hormon yang penting dalam mengatur proses pertumbuhan adalah hormon
pertumbuhan. Hormon pertumbuhan pada sapi (bovine growth hormone)
mempunyai peran utama pada pertumbuhan, laktasi dan perkembangan kelenjar
susu (Cunningham 1994; Hoj et al. 1993). Menurut Sellier et al. (2005),
pertumbuhan pada ternak dikontrol oleh suatu sistem yang kompleks, salah satu
yang memiliki peranan penting dalam proses ini adalah somatotropin. Gen yang
mengatur dari somatotropin ini dalam menjalankan fungsinya dalam masa
pertumbuhan postnatal adalah GH yang berperan penting dalam pertumbuhan
tulang dan otot, dan gen yang membantu GH dalam proses tersebut adalah IGF-1.
Hormon pertumbuhan menyebabkan perubahan yang luar biasa di dalam
tubuh hewan dan mempengaruhi banyak proses fisiologis di dalam jaringan dan
organ tubuh (Gambar 4). Selain itu, aksi biologis hormon pertumbuhan selama
pertumbuhan akan berpengaruh secara fisiologis pada pengeluaran dan sintesis
protein, pengambilan asam amino, glukosa, dan efisiensi penggunaan asam amino
(Bauman & Vernon 1993).
Hormon pertumbuhan adalah hormon peptida yang reseptornya terdapat di
permukaan sel, superfamili dari reseptor sitokinin. Ikatan antara hormon
pertumbuhan dengan reseptornya mengakibatkan terjadinya aktivasi enzim
fosforilase yang dilakukan oleh enzim kinase dengan cara menambah gugus
fosfat. Hal ini menyebabkan timbulnya reaksi intrasel yang dapat berpengaruh
pada metabolisme dan fungsi sel (Granner 2003). Pengikatan hormon
pertumbuhan akan menyebabkan dimerisasi dua buah reseptor hormon
pertumbuhan (GHR).
Reis et al. (2001) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan pada
kelompok bovine (bGH) adalah hormon peptida (protein) yang secara alami
dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic yang terletak
dalam kelenjar hipofisa bagian depan. Hormon pertumbuhan pada sapi memiliki
ukuran sebesar 22 kilo Dalton (kDa) (Vukasinovic et al. 1999; Dybus 2002) yang
16
disusun oleh 190-191 asam amino sebagai produk dari gen hormon pertumbuhan
pada kelompok bovine (Gordon et al. 1983).
Keterangan :
TRH = thyrotrophin releasing hormone, GRF = growth hormone releasing
factor, SRIF = somatostatin inhibitory releasing factor, T3 = triidothyronine,
T4 = thyroxine, NA = Non adrenaline, A = Adrenaline, 5HT = 5-
hydroxytryptamine, = meningkat, = menurun.
Gambar 4. Diagram pengaturan sekresi hormon pertumbuhan dan kerjanya
pada ternak domestik (Lawrence & Fowler 2002)
17
Gen Hormon Pertumbuhan
Gen adalah unit pewarisan sifat yang terdapat pada organisme dan terdiri
dari dua bentuk, yaitu DNA (yang berfungsi sebagai penyandi protein) dan RNA
(yang berfungsi dalam rantai kehidupan organisme dalam bentuk protein). Semua
gen terdiri atas rangkaian DNA, namun tidak semua rangkaian DNA identik
dengan gen atau dengan kata lain ada bagian DNA yang bukan merupakan gen.
DNA yang bukan gen dapat diidentifikasi, dikarakterisasi dan ditentukan
posisinya pada genom. Analisis genetik untuk lokus penyandi sifat-sifat
kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan gen kandidat
(candidate gene) yang dieksplorasi menggunakan penciri DNA (Muladno 2002).
Gen hormon pertumbuhan sapi telah dipetakan terletak pada kromosom 19
dengan lokasi q26-qtr (Hediger et al. 1990). Sekuen gen ini terdiri atas 2856 pb
yang terbagi dalam lima exon dan dipisahkan oleh empat intron (Gambar 5).
Intron 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut terdiri atas 248 pb, 227 pb, 227 pb dan 274 pb.
Woychick et al. (1982) dan Gordon et al. (1983) menyatakan bahwa gen hormon
pertumbuhan (GH) pada sapi Bos taurus memiliki panjang sekuens nukleotida
2856 pb (Gambar 6). Variasi gen pengkode hormon pertumbuhan telah
dilaporkan pada sapi Eropa, misalnya sapi perah jenis Red Danish (Hoj et al.
1993), serta sapi pedaging Hereford dan komposit (Sutarno 1998; Sutarno et al.
1996).
Lokus = BOVGH
Panjang = 2856 bp Gen = 649 – 723, 971 – 1131, 1359 – 1475, 1703 – 1864, 2138 – 2439
Sekuen depan = 648 = 648
Exon 1 = 649 – 723 = 75 bp Intron 1 = 724 – 970 = 247 bp Exon 2 = 971 – 1131 = 161 bp Intron 2 = 1132 – 1358 = 227 bp
Exon 3 = 1359 – 1475 = 227bp Intron 3 = 1476 – 1702 = 227 bp Exon 4 = 1703 – 1864 = 162bp Intron 4 = 1865 – 2137 = 273 bp
Exon 5 = 2138 - 2439 = 302bp Sekuens ujung = 2440 - 2865 = 382 bp
Gambar 5. Rekonstruksi struktur gen GH berdasarkan sekuens gen GH di
GenBank (Gordon et al. 1983).
Coding sequence (CDS)
Flanking Region 5’
Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4
5’ 3’
Exon 1 Exon 2 Exon 3 Exon 4 Exon 5
Flanking Region 3’
Kodon awal ATG Kodon akhir TAG
18
Penelitian yang dilakukan pada sapi Hereford dan komposit di Wokalup
Research Station Australia Barat oleh Sutarno et al. (1996) dan Sutarno (1998)
menunjukkan bahwa variasi pada lokus gen hormon pertumbuhan secara
signifikan berhubungan dengan terjadinya variasi rerata pertumbuhan. Penelitian
yang telah dilakukan Schlee et al. (1994) menemukan bahwa perbedaan genotipe
dari gen hormon pertumbuhan mempengaruhi konsentrasi sirkulasi hormon
pertumbuhan dan IGF-I pada sapi Eropa jenis Simmental. Rocha et al. (1991)
juga telah menemukan hubungan signifikan antara alel hormon pertumbuhan
dengan berat badan waktu lahir serta lebar punggung saat lahir pada sapi jenis
Brahman.
Gen GH terkait dengan beberapa ekspresi gen yang mempengaruhi
pertumbuhan salah satunya adalah gen Pit-1. Gen Pit-1 mengatur ekspresi gen
Growth Hormone (GH), prolaktin (PRL) (Tuggle et al. 1993) dan thyroid-
stimulating hormone β (TSH-β) (Pan et al. 2008) pada pituitary anterior. Menurut
McCormick et al. (1990) defisiensi dari gen Pit-1 mengurangi ekspresi GH,
disebabkan penurunan proliferasi lapisan sel dalam memproduksi GH.
Keragaman Genetik Gen GH
Sifat polimorfisme gen GH sudah banyak diidentifikasi, baik dengan
menggunakan enzim restriksi MspI dan AluI, bahkan Yardibi et al. (2009)
mengidentifikasi gen GH yang bisa digunakan sebagai selection marker untuk
penyeleksian sifat kadar lemak susu pada ternak sapi lokal di Turki. Dybus et al.
(2004), mengidentifikasi bahwa kombinasi penggunaan enzim restriksi MspI–AluI
dapat digunakan sebagai marker selection pada ternak perah, terutama pada ternak
Polish black – white dengan sifat kadar lemak pada susu.
Sutarno et al. (2005) menunjukkan terjadinya polimorfisme pada situs
restriksi oleh enzim restriksi MspI yang disebabkan oleh adanya substitusi antara
Leusin/Valin pada posisi 127 pb pada sapi PO. Polimorfisme yang terjadi pada
gen GH secara intensif telah diteliti karena diduga mungkin berpengaruh pada
ekspresi fenotipe. Beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa genotipe +/+ dan
+/- fragmen gen GH MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan kualitas
19
daging (Unanian et al. 2000; Garcia et al. 2003; Di Stasio et al. 2005). Schlee et
al. (1994) menyatakan bahwa polimorfisme fragmen gen GH AluI yang
bergenotipe LL diduga kuat berhubungan dengan tingkat plasma hormon
pertumbuhan. Genotipe VV menurut Growchowska et al. (1997) memiliki
konsentrasi GH yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV dan LL.
Sebaliknya Reis et al. (2001) menyatakan bahwa genotipe LL berhubungan
dengan konsentrasi sirkulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe LV
pada hormon pertumbuhan.
Gambar 6. Sekuens gen hormon pertumbuhan (bGH) pada sapi Bos taurus yang
diakses di GenBank (Gordon et al. 1983).
1 gtactggggt gggttgcctt tctcttctcc aggggattta tctgacccag ggattgaacc
61 tgagtctcct gcatttgcag ctagattctt tacggctgag ccacctggga agcccattcg
121 cttctgctgc tgctgctgct gctaagttgc ttcagtcgtg tccgacctgt gcgacgccat
181 agacagcagc ccaccaggtc cccgtccctg ggattctcca ggcaagaaca ttggagtggg
241 ttgccatttc ctcctccaat gcatgaaagt gaaaagtgaa agtgaagtca ctcagttgtg
301 tccgaccctc agcgacccca tggactgcag ccttccagaa tggggtgcca ttgccttctc
361 ctcgcttctg ctacctcccc tttaaaaaga aaacctatgg ggtgggctct caagctgaga
421 ccctgtgtgc acagccctct ggctggtggc agtggagacg ggatgatgac aagcctgggg
481 gacatgaccc cagagaagga acgggaacag gatgagtgag aggaggttct aaattatcca
541 ttagcacagg ctgccagtgg tccttgcata aatgtataga gcacacaggt ggggggaaag
601 ggagagagag aagaagccag ggtataaaaa tggcccagca gggaccaatt ccaggatccc
661 aggacccagt tcaccagacg actcagggtc ctgtggacag ctcaccagct atgatggctg
721 caggtaagct cgctaaaatc ccctccattc gcgtgtccta aaggggtaat gcggggggcc
781 ctgccgatgg atgtgttcag agctttgggc tttagggctt ccgaatgtga acataggtat
841 ctacacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt ccctggaggg aagggtaggt
901 ggggctggca ggagatcagg cgtctagctc cctggggccc tccgtcgcgg ccctcctggt
961 ctctccctag gcccccggac ctccctgctc ctggctttcg ccctgctctg cctgccctgg
1021 actcaggtgg tgggcgcctt cccagccatg tccttgtccg gcctgtttgc caacgctgtg
1081 ctccgggctc agcacctgca tcagctggct gctgacacct tcaaagagtt tgtaagctcc
1141 cgagggatgc gtcctagggg tggggaggca ggaaggggtg aatccacacc ccctccacac
1201 agtgggagga aactgaggag ttcagccgta ttttatccaa gtagggatgt ggttagggga
1261 gcagaaacgg gggtgtgtgg ggtggggagg gttccgaata aggcggggag gggaaccgcg
1321 caccagctta gacctgggtg ggtgtgttct tcccccagga gcgcacctac atcccggagg
1381 gacagagata ctccatccag aacacccagg ttgccttctg cttctctgaa accatcccgg
1441 cccccacggg caagaatgag gcccagcaga aatcagtgag tggcaacctc ggaccgagga
1501 gcaggggacc tccttcatcc taagtaggct gccccagctc ccgcaccggc ctggggcggc
1561 cttctccccg aggtggcgga ggttgttgga tggcagtgga ggatgatggt gggcggtggt
1621 ggcaggaggt cctcgggcag aggccgacct tgcagggctg ccccagaccc gcggcaccca
1681 ccgaccaccc acctgccagc aggacttgga gctgcttcgc atctcactgc tcctcatcca
1741 gtcgtggctt gggcccctgc agttcctcag cagagtcttc accaacagct tggtgtttgg
1801 cacctcggac cgtgtctatg agaagctgaa ggacctggag gaaggcatcc tggccctgat
1861 gcgggtgggg atggcgttgt gggtcccttc catgtggggg ccatgcccgc cctctcctgg
1921 cttagccagg agaatgcacg tgggcttggg gagacagatc cctgctctct ccctctttct
1981 agcagtccag ccttgaccca ggggaaacct tttccccttt tgaaacctcc ttcctcgccc
2041 ttctccaagc ctgtagggga gggtggaaaa tggagcgggc aggagggagc tgctcctgag
2101 ggcccttcgg cctctctgtc tctccctccc ttggcaggag ctggaagatg gcaccccccg
2161 ggctgggcag atcctcaagc agacctatga caaatttgac acaaacatgc gcagtgacga
2221 cgcgctgctc aagaactacg gtctgctctc ctgcttccgg aaggacctgc ataagacgga
2281 gacgtacctg agggtcatga agtgccgccg cttcggggag gccagctgtg ccttctagtt
2341 gccagccatc tgttgtttgc ccctcccccg tgccttcctt gaccctggaa ggtgccactc
2401 ccactgtcct ttcctaataa aatgaggaaa ttgcatcgca ttgtctgagt aggtgtcatt
2461 ctattctggg gggtggggtg gggcaggaca gcaaggggga ggattgggaa gacaatagca
2521 ggcatgctgg ggatgcggtg ggctctatgg gtacccaggt gctgaagaat tgacccggtt
2581 cctcctgggc cagaaagaag caggcacatc cccttctctg tgacacaccc tgtccacgcc
2641 cctggttctt agttccagcc ccactcatag gacactcata gctcaggagg gctccgcctt
2701 caatcccacc cgctaaagta cttggagcgg tctctccctc cctcatcagc ccaccaaacc
2761 aaacctagcc tccaagagtg ggaagaaatt aaagcaagat aggctattaa gtgcagaggg
2821 agagaaaatg cctccaacat gtgaggaagt aatgag
20
Curi et al. (2010), melaporkan bahwa polimorfisme GH1, dapat digunakan
sebagai tanda dalam seleksi sifat karkas dan daging pada ternak persilangan Bos
taurus– Bos indicus, polimorfisme ini terjadi pada intron 3. Adanya polimorfisme
pada gen GH AluI juga berhubungan dengan sifat produksi daging (Chrenek et al.
1998), deposisi daging (Oprzadek et al. 2003) dan bobot karkas (Growchowska et
al. 1999).
Reis et al. (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara
genotipe LL dan LV gen GH dengan rataan bobot badan hidup ternak dari bangsa
sapi Alentejana, Marinhoa, dan Preta asal Portugis. Unanian et al. (2000),
melaporkan bahwa adanya polimorfisme GH AluI dan GH MspI mungkin dapat
dijadikan sebagai penciri genetik yang potensial untuk sifat pertumbuhan bobot
badan pada sapi pejantan muda. Beauchemin et al. (2006) menyatakan bahwa gen
GH merupakan gen kandidat untuk program seleksi yang dibantu penciri pada
ternak sapi. Namun, tidak semua polimorfisme dari gen GH dapat digunakan
sebagai marker dalam seleksi, menurut Balogh et al. (2009), polimorfisme gen
GH-AluI tidak memiliki efek terhadap calving interval pada ternak yang
mengalami ovulasi pertama kali dan tidak berpengaruh secara langsung pada
produksi susu dan body condition score (BCS) dari ternak perah yang telah
beranak setelah satu bulan (bulan pertama setelah beranak).
PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation
Polymorphism)
Salah satu metode sederhana dalam genetika molekuler dan paling banyak
digunakan untuk mendeteksi mutasi dari runutan DNA adalah PCR-SSCP
(Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation Polymorphism). Teknik
ini mulai diperkenalkan pada tahun 1989. PCR-SSCP digunakan untuk
mengasumsikan bahwa perubahan atau mutasi yang terdapat pada fragmen DNA
akan mempengaruhi konformasi fragmen DNA untai tunggal (Bastos et al. 2001)
walaupun perbedaannya hanya satu nukleotida. Mutasi ini terdeteksi dalam bentuk
pita atau band-band baru yang terlihat setelah dilakukan pewarnaan dengan
pewarnaan perak. Mutasi deteksi untuk PCR-SSCP umumnya tinggi > 80% dalam
menentukan DNA untai tunggal untuk fragmen pendek dari 300 pb (Hayashi
21
1991). Sensitivitas dari teknik SSCP ini tergantung oleh beberapa faktor yaitu
komposisi gel yang digunakan (gel yang sering digunakan berbahan acrilamide),
ukuran fragmen DNA, komposisi buffer yang digunakan termasuk jumlah ion
(konsentrasi) dan pH, suhu pada saat elektroforesis, dan konsentrasi dari DNA
tersebut (Nataraj et al. 1999; Hayashi et al. 1991).
PCR-SSCP terdiri atas beberapa tahapan dalam prosesnya, yaitu tahapan
amplifikasi fragmen DNA dengan proses PCR, tahapan denaturasi produk PCR
yang sudah diberi formida dye pada suhu 930-95
0C selama 5 menit. Tahapan
terakhir elektroforesis pada gel polyacrilamide adalah proses dilakukan pada
kondisi temperatur tertentu (Hayashi 1991 ; Nataraj et al. 1999).
Kelebihan dari metode PCR-SSCP ini antara lain teknik penentuan mutasi
DNA yang sederhana, tidak memerlukan peralatan yang rumit, visualisasinya
tidak menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al. 1999; Bastos et al. 2001) dan
lebih banyak mutasi yang dapat dideteksi (sampai ratusan mutasi) dibandingkan
teknik yang lain yang sedikit (± 20 basa) (Hayashi 1991). Namun, terdapat juga
kekurangan dalam metode ini, yaitu kurangnya landasan teori untuk mendukung
terjadinya mutasi yang dideteksi dari metode ini sehingga harus dilanjutkan
dengan analisa sekuensing (Hayashi 1991). Kelemahan yang sering didapatkan
pada PCR-SSCP adalah kesulitan terhadap interpretasi pita-pita yang muncul pada
gel, tidak dapat memberikan informasi yang jelas terhadap posisi mutasi yang
terjadi pada fragmen DNA (Nataraj et al. 1999), dan pola migrasi SSCP tidak
dapat dikonversi atau dinotasikan menjadi alel yang definitif (sebelum analisis
lanjut seperti sekuensing) sampai posisi mutasinya dapat ditemukan (Prizenberg et
al. 2005). Nataraj et al. (1999) juga mengungkapkan kekurangan PCR-SSCP
yaitu ukuran fragmen DNA yang dapat dianalisis terbatas, membutuhkan kondisi
yang beragam untuk mendeteksi semua kemungkinan mutasi, kadang-kadang sulit
untuk menginterpretasikan pita-pita yang dihasilkan, tidak efisien untuk fragmen
DNA yang tidak diketahui urutan nukloetidanya.