II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Fraktur
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan dan
lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma. Tidak
hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering
mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang
relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan
tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera, stres yang berulang,
kelemahan tulang yang abnormal atau disebut juga fraktur patologis
(Solomon et al., 2010).
2.1.2 Klasifikasi Fraktur
Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang
dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur tulang
terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka
dan fraktur yang terjadi, seperti yang dijelaskan pada tabel 1.
7
Tabel 1. Derajat fraktur terbuka menurut Gustillo
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <1 cm kerusakan jaringan tidak berarti relatif
bersih
II Laserasi >1cm tidak ada
kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi, ada
kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat atau hilangnya jaringan
disekitarnya. Kontaminasi
hebat
(Sumber: Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
Sederhana, dislokasi
fragen minimal
Dislokasi fragmen jelas
Kominutif, segmental,
fragmen tulang ada
yang hilang
Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis, fraktur
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :
a. Complete fractures
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang
dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan
yang harus dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur
transversal (gambar 1a), fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi,
sedangkan pada oblik atau spiral (gambar 1c) lebih cenderung
memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang telah dibidai. Fraktur
segmental (gambar 1b) membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur
impaksi fragmen menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur
tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen,
karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak
stabil (Solomon et al., 2010).
8
b. Incomplete fractures
Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas
periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur
hampir tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 1e
dan 1f), tulang melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak.
Hal ini dapat terlihat pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis
daripada orang dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa
tertekan kedalam (Solomon et al., 2010).
(a) (b) (c) (d) (e) (f)
Gambar 1. Variasi fraktur. Keterangan : Complete fractures: (a) transversal; (b)
segmental; (c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f)
fraktur greenstick (Solomon et al., 2010).
2.1.3 Proses Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur umumnya dilakukan dengan cara imobilisasi. Akan
tetapi, penyembuhan fraktur alamiah dengan kalus dan pembentukan kalus
berespon terhadap pergerakan bukan terhadap pembidaian. Pada umumnya
fraktur dilakukan pembidaian hal ini dilakukan tidak untuk menjamin
penyatuan tulang namun untuk meringankan nyeri dan menjamin penyatuan
9
tulang pada posisi yang benar dan mempercepat pergerakan tubuh dan
pengembalian fungsi (Solomon et al., 2010).
Fraktur disembuhkan dengan proses perkembangan yang melibatkan
pembentukan fibrokartilago dan aktivitas osteogenik dari sel tulang utama.
Fraktur merusak pembuluh darah yang menyebabkan sel tulang terdekat mati.
Pembekuan darah dibuang bersamaan dengan debris jaringan oleh makrofag
dan matriks yang rusak, tulang yang bebas dari sel di resorpsi oleh osteoklas
(Mescher, 2013).
2.1.3.1 Penyembuhan dengan kalus
Proses ini adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada tulang
tubular tanpa fiksasi, proses ini terdiri dari lima fase, yaitu (Solomon et
al., 2010) :
1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom
Pembuluh darah robek dan terjadi pembentukan hematom disekitar
fraktur. Tulang pada permukaan yang patah, kehilangan asupan darah,
dan mati (gambar 2a).
2. Inflamasi dan proliferasi selular
Dalam 8 jam, fraktur mengalami reaksi inflamasi akut dengan migrasi
sel inflamatorik dan inisiasi proliferasi dan diferensiasi dari stem sel
mesenkimal dari periosteum menembus kanal medular dan sekitar otot.
10
Sejumlah besar mediator inflamasi seperti sitokin dan beberapa faktor
pertumbuhan dilibatkan. Selanjutnya bekuan darah hematom diabsorbsi
perlahan dan membentuk kapiler baru pada area tersebut.
3. Pembentukan kalus
Diferensiasi stem sel menyediakan sejumlah sel kondrogenik dan
osteogenik. Pada kondisi yang tepat mereka akan mulai membentuk
tulang dan pada beberapa kasus, juga membentuk kartilago (gambar
2b). Di sejumlah sel ini terdapat osteoklas yang siap membersihkan
tulang yang mati. Massa seluler yang tebal bersama pulau‒pulau tulang
imatur dan kartilago, membentuk kalus atau rangka pada permukaan
periosteum dan endosteum. Saat anyaman tulang yang imatur
termineralisasi menjadi lebih keras (gambar 2c), pergerakan pada lokasi
fraktur menurunkan progresivitas dan fraktur menyatu dalam 4 minggu
setelah cidera.
4. Konsolidasi
Tulang anyaman terbentuk menjadi tulang lamelar dengan aktivitas
osteoklas dan osteoblas yang kontinyu. Osteoklas pada proses ini
melakukan pelubangan melalui debris pada garis fraktur, dan menutup
kembali jaringan tersebut. Osteoblas mengisi ruang yang tersisa antara
fragmen dan tulang baru. Proses ini berjalan lambat sebelum tulang
cukup kuat untuk menopang beban dengan normal.
11
5. Remodeling
Fraktur telah dijembatani dengan lapisan tulang yang solid. Pada
beberapa bulan atau bahkan tahun, dilakukan pembentukkan ulang atau
reshaped dengan proses yang kontinu dari resorpsi dan pembentukan
tulang (gambar 2d).
(a) Pembentukan hematom pada fraktur
(b) Pembentukan kalus fibrokartilago
(c) Pembentukan kalus yang keras
(d) Tulang yang mengalami remodeling
Gambar 2. Proses penyembuhan fraktur (Mescher, 2013).
2.1.3.2 Penyembuhan dengan penyatuan langsung (direct union)
Proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan proses pembentukan
kalus. Jika lokasi fraktur benar‒benar dilakukan imobilisasi dengan
menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus. Namun, pembentukan
tulang baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen.
Gap antar permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel
osteoprogenitor tumbuh dimulai dari pangkal dan tulang baru terdapat
pada permukaan luar (gap healing). Saat celah atau gap sangat kecil,
osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap yang lebar pertama‒
12
tama akan diisi dengan tulang anyaman, yang selanjutnya dilakukan
remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur
sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin
kadang ditemukan tanpa adanya fase pertengahan atau contact healing
(Solomon et al., 2010).
Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki
keuntungan antara lain dapat menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan
tulang, dengan peningkatan stres kalus berkembang lebih kuat sebagai contoh
dari hukum Wolff. Dengan penggunaan fiksasi metal, disisi lain, tidak
terdapatnya kalus berarti tulang akan bergantung pada implan metal dalam
jangka waktu yang cukup lama. Karena, implan akan mengurangi stress, yang
mungkin dapat menyebabkan osteoporotik dan tidak sembuh total sampai
implan dilepas (Solomon et al., 2010).
2.2 Penilaian Proses Penyembuhan Fraktur secara Histopatologi
Proses perbaikan tulang dimulai dari korteks perifer beberapa sentimeter dari
lokasi fraktur. Meskipun terdapat perubahan pada perbaikan lingkungan dan
jaringan hipoksia akibat dari kerusakan suplai darah, hal ini mengawali
pembentukan oleh lapisan dalam periosteum dan sel mesenkimal yang belum
berdiferensiasi dari massa kartilago baik di luar korteks disebut external callus
dan di dalam korteks disebut internal callus (Shapiro, 2008).
13
Kalus diawali dengan kartilago dan fibrokartilago untuk menstabilisasi lokasi
fraktur. Kemudian melalui peran vaskuler, kalus bertambah dari lapisan korteks
paling jauh dari lokasi fraktur dan dari periosteum yang terletak pada batas luar
external callus. Terlihat fase awal pembentukkan tulang endokondral, terdapat
external dan internal callus (gambar 3).
E
I
Gambar 3. Potongan longitudinal proses penyembuhan fraktur mid diafisis os
femur (Shapiro, 2008). Keterangan : E : external callus, I : internal
callus
External callus (gambar 4), terlihat jaringan fibrosa pada bagian atas dan awal
perbaikan kartilago pada bagian bawah gambar. Secara keseluruhan external
callus yang baru terbentuk ini dikatakan terdapat jaringan fibrokartilago.
Gambar 4. Memperlihatkan bagian external callus pada fraktur (Shapiro,
2008).
14
Setelah satu minggu terlihat pembentukkan periosteum tulang baru pada
sebelah kanan dari korteks dan pembentukkan kartilago pada sebelah kiri
korteks yang lebih mobile dan kurang stabil pada lokasi fraktur (gambar 5).
Dengan cara seperti ini tulang anyaman disintesis pada kartilago yang
terkalsifikasi dari kalus hingga perbaikan kartilago telah diubah dengan
sempurna oleh tulang melalui mekanisme endokondral (Shapiro, 2008).
Gambar 5. Pembentukkan periosteum tulang baru (Shapiro, 2008).
Proses selanjutnya adalah dengan melibatkan transformasi tulang anyaman
menjadi tulang kompak. Proses ini melalui resorbsi external callus yang tidak
lagi dibutuhkan sejak ujung patahan tulang telah mengalami bridging dan stabil
dengan pemulihan jaringan dan remodeling korteks tulang Havers. Pada fase
ini, external callus yang digambarkan secara mikroskopis terdapat tulang
anyaman yang telah dilapisi dengan proses sintesis tulang lamelar. Tulang
lamelar membesar dan berubah menjadi jaringan tulang kompak (gambar 6).
15
Gambar 6. Tulang anyaman (W) dan tulang lamelar (L) (Shapiro, 2008)
Setelah 6 minggu gap telah terisi dengan tulang baru. Terlihat (gambar 7) tulang
anyaman berwarna ungu gelap, dikelilingi dengan tulang lamelar berwarna
ungu terang dan osteoblas yang mengisi rongga kosong. Jaringan ini disebut
juga woven bone atau tulang anyaman (Shapiro, 2008)
Gambar 7. Tulang anyaman (ungu gelap), tulang lamelar (ungu terang) dan
osteoblas (Shapiro, 2008).
2.3 Open Reduction Internal Fixation (ORIF)
Meskipun konsep teknik internal fiksasi telah dikemukakan pada pertengahan
tahun 1800‒an, Lister mengenalkan ORIF fraktur patella pada tahun 1860.
16
Penggunaan plate, screw dan kawat pertama kali dilakukan pada tahun 1880
dan 1890. Awal mula dilakukan pembedahan fiksasi internal mengalami
berbagai macam rintangan seperti infeksi, sedikit pengetahuan tentang implant
dan tekniknya, metal allergic dan keterbatasan pengetahuan tentang proses
penyembuhan fraktur secara biologis. Pada tahun 1950, Dannis dan Muller
menetapkan prinsip dan teknik fiksasi internal. Setelah 40 tahun kemudian,
kemajuan ilmu biologi dan mekanikal saat ini telah mempermudah teori dan
teknik fiksasi (Lakatos, 2014).
ORIF merupakan reposisi secara operatif yang diikuti dengan fiksasi interna.
Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa plate and screw. Keuntungan
ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh
sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa
dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat &
Jong, 2010). Indikasi tindakan ORIF pada fraktur femur bagian distal antara
lain fraktur terbuka, fraktur yang dihubungkan dengan neurovascular
compromise, seluruh displaced fractures, fraktur ipsilateral ekstrimitas bawah,
irreducible fractures, dan fraktur patologis (Thomson & Jonna, 2014).
Prinsip umum dari fiksasi interna antara lain dengan menggunakan pin and
wire, plate and screw, tension‒band principle, intramedullary nails dan
biodegradable fixation (gambar 8). Pin and wires menggunakan metode
Kirschner wires (K‒wires) dan Steinmann pins memiliki beberapa kegunaan,
mulai dari traksi skeletal hingga fiksasi fraktur yang sementara dan definitif.
17
Metode ini juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur
yang melibatkan kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos,
2014).
Bone screw adalah bagian dasar dari metode fiksasi interna modern dan dapat
digunakan baik secara independen atau dengan kombinasi dengan tipe
implantasi lain. Kekuatan dipengaruhi oleh pemasangan pengencangan screw.
Seiring berjalannya waktu, sejumlah kekuatan kompresif menurun secara
lambat saat tulang mengalami remodeling terhadap tekanan. Namun, waktu
penyembuhan fraktur biasanya lebih singkat dibandingkan waktu yang
dibutuhkan dari substansi yang hilang akibat kompresi dan fiksasi (Lakatos,
2014). Metode lain dengan menggunakan plate memiliki berbagai macam
ukuran dan bentuk untuk tulang dan lokasi yang berbeda. Dynamic
compression plates (DCPs) tersedia dalam ukuran 3,5 mm dan 4,5 mm. Lubang
screw pada DCP membentuk sudut kemiringan pada satu sisi berlawanan dari
bagian tengah plate (Lakatos, 2014).
Pada tahun 1930 an, Küntscher memperbaiki nailing technique, sehingga
intramedullary (IM) nails menjadi teknik fiksasi standar untuk tulang femur.
IM nails memiliki keuntungan dari plate dan fiksasi eksternal karena lokasi
intramedular memungkinkan penjajaran sumbu aksis dan pengurangan beban.
Implantasi IM nails memberikan fiksasi yang stabil, akan tetapi penyembuhan
berlangsung secara primer melalui pembentukan dari kalus periosteum
(Lakatos, 2014).
18
Gambar 8. Variasi ORIF (Solomon et al., 2010)
2.4 Amnion Liofilisasi Steril Radiasi (ALS‒R)
Amnion liofilisasi steril radiasi (ALS‒R) adalah amnion yang dikeringkan
dengan cara liofilisasi kemudian dilakukan sterilisasi dengan mengggunakan
radiasi sinar γ. Proses pengeringan amnion di Bank Jaringan Riset Batan
dilakukan dengan dua metode yaitu dengan liofilisasi dan suhu ruangan (air
dried), liofilisasi adalah penghilangan air melalui sublimasi yakni perubahan
wujud padat (es) langsung menjadi wujud gas (uap) sehingga menghambat
aktifitas mikroorganisme dan enzim secara normal dapat mendegradasi
senyawa di dalam bahan biologi. Sehingga pengeringan dengan cara ini dapat
mengurangi kerusakan jaringan secara minimal (Suryani, 2013).
Proses pengawetan jaringan agar jaringan biologi dapat disimpan dalam waktu
lama, BJRB melakukan beberapa cara proses pengawetan, antara lain (Abbas,
2010) :
Liofilisasi, yaitu suatu proses pengeringan dari bahan biologi
dengan cara sublimasi. Bahan biologi dibekukan dan dikeringkan
19
tanpa melalui fase cair. Dengan cara ini tidak mengalami perubahan
kimia dan fisika.
Pembekuan pada suhu ‒80°C, dilakukan untuk menjaga keamanan
dari jaringan alograf agar tetap awet sebelum diproses. Disamping
itu juga digunakan untuk menyimpan jaringan autograf untuk
dipakai kembali oleh pasien yang sama di kemudian hari.
Penyimpanan jaringan pada suhu ‒80°C dapat digunakan sebelum 5
tahun.
Sterilisasi Radiasi, untuk menjaga keamanan dari jaringan biologi,
jaringan disterilkan dengan cara radiasi dengan sinar γ atau partikel
elektron. Sterilisasi radiasi sangat cocok untuk jaringan biologi,
karena prosesnya dingin sehingga tidak mengubah struktur jaringan,
tidak meninggalkan residu beracun, sangat ampuh membunuh
mikroorganisme dan juga virus sampai batas tertentu, sehingga
aman digunakan untuk implantasi pada manusia.
Jaringan yang telah diproses dengan cara liofilisasi hingga kadar air 5‒7%,
dikemas dalam kantung plastik poli etilen, dan diiradiasi dengan dosis 25kGγ.
Jaringan tersebut dapat disimpan pada suhu 4‒10°C dan terhindar dari cahaya
matahari langsung. Cara penyimpanan ini direkomendasikan hanya untuk 2‒5
tahun, tergantung dari jenis jaringannya. Untuk menjaga kualitas dan sterilitas
jaringan, kemasan yang rusak atau terbuka akibat pemakaian (jaringan sisa)
tidak boleh digunakan lagi (Abbas, 2010).
20
Proses liofilisasi tetap menjaga morfologi membran amnion seperti struktur
epitel yang terlihat kuboid selapis, beberapa lapisan stratifikasi dan stroma
edematosa yang diamati secara makroskopis. Perwarnaan dengan PAS
mengindikasikan terdapat membran dasar yang terlihat seperti pembatas
dibawah stroma pada membran amnion terliofilisasi (Rodriguez et al., 2009).
Kolagen IV terlihat pada membran amnion terliofilisasi membentuk selapis tipis
yang memmanjang pada membran dasar yang ditunjukkan secara
imunohistokimia.
Selain kandungan kolagen, membran amnion terliofilisasi tetap menjaga
kandungan growth factor yang berperan dalam bone healing antara lain
transforming growth factor‒β1 (TGF‒β1), fibroblast growth factor basic
(bFGF) (Rodriguez et al., 2009). Penelitian Grzywocz et al. (2014),
menunjukkan beberapa growth factor dari membran sel amnion manusia,
seperti FGF‒6, VEGF‒R3, M‒SCF‒R, IGFBP‒4, IGFBP‒6 dan PDGF‒AB
(Grzywocz et al., 2014). Membran sel amnion mengekspresikan bone
morphogenetic protein (BMP)‒2 dan ‒4 dan juga kolagen tipe 2 yang memiliki
potensi terapeutik sebagai terapi dari kerusakan atau penyakit kartilago (Toda
et al., 2007).
Growth factor adalah protein yang disekresikan oleh sel yang aktif pada sel
target atau sel yang memiliki aksi yang spesifik. Growth factor memiliki
kegunaan klinis yang potensial dalam meningkatkan perbaikan tulang, termasuk
21
mempercepat penyembuhan tulang, tatalaksana kejadian nonunion, dan juga
sebagai salah satu elemen dari strategi tissue‒engineering yang komprehensif
yang termasuk dalam terapi gen untuk tatalaksana permasalahan bone loss
dalam jumlah besar (Lieberman et al., 2002).
Transforming growth factor‒beta (TGF‒β) memiliki super family yang
termasuk kedalamnya adalah bone morphogenetic protein (BMPs), growth
differentiation factor (GDF), activins, inhibins dan Mullerian inhibiting
substance. Pada proses penyembuhan fraktur, TGF‒β berperan sebagai
mitogenik dan kemotaktik poten bagi sel pembentuk tulang, faktor kemotaktik
bagi makrofag. Sedangkan BMPs berperan dalam diferensiasi pada
undifferentiated mesenchymal cell menjadi kondrosit dan osteoblas, dan
osteoprogenitor menjadi osteoblas (Dimitriou et al., 2005).
Selain TGF‒β dan BMPs, growth factor lain yang terkandung dalam ALS‒R
adalah fibroblast growth factor (FGFs) berperan dalam angiogenetik dan
mitogenik pada sel mesenkimal dan epitel, osteoblas dan kondrosit. α‒FGF
memiliki efek terhadap proliferasi kondrosit, β‒FGF (lebih poten)
mempengaruhi maturasi kondrosit dan resorpsi tulang. Insulin‒like growth
factor‒I (IGF‒I) berperan dalam proliferasi dan melibatkan sel mesenkimal dan
osteoprogenitor yang diekspresikan pada penyembuhan fraktur. IGF‒I
mempromosikan pembentukkan matriks tulang (kolagen tipe‒1 dan matriks
protein non‒kolagen) oleh osteoblas yang telah berdiferensiasi. Sedangkan
IGF‒II aktif kemudian saat pembentukkan tulang endokondral dan
22
menstimulasi produksi kolagen tipe‒1, matriks kartilago dan proliferasi seluler.
Platelet‒derived growth factor (PDGF) memiliki peran yang sama seperti
TGF‒β dalam mitogenik bagi sel mesenkimal dan osteoblas, kemotaktik bagi
sel inflamatorik dan mesenkimal (Dimitriou et al., 2005).
Vascular endothelial growth factor (VEGF) diproduksi oleh sel endotel,
makrofag, fibroblas, sel otot polos, osteoblas dan kondrosit hipertrofik. VEGF
berperan dalam angiogenesis pada proses penyembuhan fraktur. Selain itu
secara tidak langsung VEGF menginduksi proliferasi dan diferensiasi dari sel
prekursor osteoblas. Hal ini dihasilkan dari sekresi faktor osteoanabolik seperti
endotelin‒I dan IGF‒I oleh sel endotel yang distimulasi VEGF (Beamer et al.,
2009).
Baik secara seluler, atau aseluler membran amnion memiliki fungsi dalam
penyembuhan fraktur. Penelitian menunjukkan human acellular amniotic
membran (HAAM) dapat memuat bone marrow mesechymal stem cell
(BMSCs) yang dapat memperbaiki jaringan kartilago sendi pada kelinci
percobaan pada lingkungan in vitro. Komponen utama dari tissue‒engineered
kartilago adalah seed cell, scaffold, dan growth factors. Seed cells adalah
elemen dasar dari perbaikan jaringan dan menjadi kandungan utama dalam
perbaikan defek kartilago. Sebagai sel pemicu (cell scaffold), human amniotic
membranes (HAM) memiliki komposisi sel yang mempromosikan proliferasi
dan diferensiasi dengan lebih banyak substansi adhesi (seperti kolagen dan
laminin) (Liu et al., 2014).
23
Growth factor memiliki peran dalam aktivitas molekuler masing‒masing
berdasarkan waktu dan proses penyembuhan seperti yang dijelaskan pada tabel
2.
Tabel 2. Waktu dan aktivitas molekuler pada penyembuhan fraktur
Hari Proses Aktivitas molekuler
Hari ke‒1 Pembentukan hematom,
inflamasi
Perekrutan sel mesenkimal
Diferensiasi osteogenik MSCs
dari sumsum tulang
Sitokin: IL‒1, IL‒6, TNF‒
α
PDGF, TGF‒ β
BMP‒2
Hari ke‒3 Proliferasi MSCs dimulai
Proliferasi dan diferensiasi dari
preosteoblast dan osteoblas di
lokasi oleh osifikasi
intramembranosa
Proses angiogenesis dimulai
Hari ke‒7 Puncak proliferasi sel pada
osifikasi intramembranosa
antara hari ke‒7 dan 10
Kondrogenesis dan osifikasi
endokondral dimulai (maturasi
kondrosit hari ke 9‒14)
Hari ke‒14 Penghentian proliferasi sel
pada osifikasi
intramembranosa, namun
aktivitas osteoblas tetap
berlangsung
Mineralisasi soft callus, resorpsi kartilago dan
pembentukkan tulang anyaman
Neo‒angiogenesis yang
diinfiltrasi bersamaan dengan
sel mesenkimal
Hari ke‒21 Remodeling tulang anyaman
dan mulai berganti menjadi
tulang kompak
(Sumber: Dimitriou et al., 2005)
Penurunan kadar sitokin
Ekspresi TGF‒β2, ‒β3,
GDF‒10, BMP‒5, ‒6
Induksi angiopoietin‒1
Puncak ekspresi TGF‒β2 dan –β3
Ekspresi GDF‒5 dan
mungkin GDF‒1
Penurunan ekspresi TGF‒
β2, GDF‒5 dan mungkin
GDF‒1
Ekspresi dari BMP‒3, ‒4,
‒7 dan ‒8
Ekspresi dari VEGFs
Penurunan ekspresi TGF‒
β1 dan TGF‒β3, GDF‒10
dan BMPs
24
Winanto et al., telah melakukan penelitian pada tikus Sprague Dawley yang
mengalami fraktur femur yang diberikan ALS‒R dan xenograf. Hasil yang
didapatkan meliputi ALS‒R memiliki skor radiologi yang sama dibandingkan
dengan kelompok kontrol, namun secara skor histopatologi lebih baik daripada
kelompok kontrol. Xenograf memiliki hasil yang sama dengan kelompok
kontrol baik secara radiologi maupun histopatologi. Kombinasi antara
pemberian membran amnion dengan xenograf lebih baik secara histopatologi
dibandingkan kelompok kontrol, dengan hasil yang sama pada skor radiologi
(Winanto et al., 2013).
25
2.5 Kerangka Teori
Penyembuhan fraktur dibagi menjadi direct union dan indirect union.
Penanganan operatif pada fraktur dilakukan ORIF dengan menggunakan
intramedullary nails akan melibatkan proses penyembuhan indirect union.
Terdapat beberapa tahapan proses penyembuhan fraktur indirect union seperti
inflamasi dan proliferasi seluler, pembentukan kalus, dan remodeling (Solomon
et al., 2010). Dengan penambahan ALS‒R yang mengandung beberapa growth
factor seperti PDGF, TGF, FGF, VEGF, IGFs, BMP‒2, BMP‒4 dan cell
scaffold seperti kolagen dan laminin diharapkan dapat mempercepat penyatuan
tulang atau union. Pengaruh growth factor dan cell scaffold tersaji pada gambar
9 (Dimitriou et al., 2005; Grzywocz et al., 2014; Rodriguez et al., 2009).
26
Gambar 9. Kerangka Teori Pengaruh ALS‒R terhadap perbaikan fraktur
(Dimitriou et al., 2005; Grzywocz et al., 2014; Rodriguez et al., 2009; Solomon et
al., 2010)
PDGF
ALS‒R
Growth
factor
Cell
Scaffold
TGF
IGFs
VEGF
Kolagen
Laminin
FGF
Fraktur
ORIF dengan intramedullary
nails
Proses penyembuhan
primer (indirect union)
Inflamasi dan
proliferasi seluler
Pembentukkan
kalus
Remodeling
Union
Proses
penyembuhan sekunder (direct
union)
BMP‒2,
dan BMP‒
4
27
2.6 Kerangka Konsep
Gambar 10. Kerangka konsep perbandingan penyembuhan fraktur femur yang
dilakukan ORIF dan ALS‒R dengan tanpa ALS‒R
2.7 Hipotesa Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Terdapat pengaruh ORIF terhadap penyembuhan fraktur femur
pada tikus Sprague Dawley secara histopatologi
b. Terdapat pengaruh penambahan ALS-R pada ORIF terhadap
penyembuhan fraktur femur pada tikus Sprague Dawley secara
histopatologi
ORIF dengan ALS‒R
(Variabel Independen)
Fraktur femur
ORIF
(Variabel Independen)
Union
(Variabel Dependen)
28
c. Terdapat pengaruh penambahan ALS-R pada ORIF terhadap
penyembuhan fraktur femur yang dilakukan ORIF pada tikus
Sprague Dawley secara histopatologi