-
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelainan metabolik yang paling umum
dengan perkiraan prevalensi seluruh dunia antara 1-5 % (Susztak dkk., 2006). Secara
global, jumlah penderita DM terus meningkat. Menurut World Health Organization
(WHO) tahun 2003, memperkirakan 135 juta orang dari seluruh dunia terkena DM
pada tahun 1995 dan diperkirakan pada tahun 2025 sebanyak 300 juta orang akan
terkenan DM. Menurut Roglic dkk., (2005) setiap 10 kematian orang yang berusia
produktif yaitu antara usia 35–64 tahun di dunia, setidaknya satu orang disebabkan
oleh diabetes. Saat ini lebih dari 2,5 % atau 5,5 juta penduduk Indonesia menderita
diabetes. Bahkan di kota-kota besar di Indonesia prevalensi diabetes mencapai lebih
dari 12 % (Soegondo dkk, 2004). Jumlah orang yang mengalami obesitas atau
kegemukan di dunia mencapai 5 % dari jumlah penduduknya (Krawczyk, 2000).
Diabetes Melitus (DM) tebagi dalam dua jenis yaitu, DM tipe 1 dan DM tipe 2.
DM tipe 1 disebabkan oleh proses autoimun dimana sistem pertahan tubuh
menghancurkan sel beta pankreatik yang menghasilkan hormon insulin. Puncak
insiden DM tipe 1 adalah pada masa pubertas dan diperlukan injeksi insulin harian
untuk mencukupi kebutuhan hormon insulin pada tubuh penderitanya. DM tipe 2 erat
kaitannya dengan obesitas, dimana terjadi defisiensi insulin dan resistensi insulin.
Jenis diabetes ini terjadi pada masa dewasa dan merupakan penyebab epidemi
diabetes di dunia (Brown, 2008 dalam Ngaisyah, 2010). Kadar glukosa normal darah
-
5
kapiler pada waktu puasa tidak melebihi 120 mg/dl dan 2 jam sesudah makan kurang
dari 200 mg/dl (WHO, 1985). Untuk mengatasi masalah diabetes tersebut diperlukan
manajemen untuk menjaga level gula darah dalam kondisi normal. Salah satu cara
mengontrol kadar gula dalam darah adalah dengan mengkonsumsi makanan yang
memiliki indeks glisemik rendah. Menurut Cummings dan Stephen (2007), indeks
glisemik adalah klasifikasi fisiologis makanan yang mengandung karbohidrat yang
didasarkan pada sejauh mana makanan tersebut meningkatkan konsentrasi glukosa
darah setelah makan (postprandial) dibandingkan dengan karbohidrat acuan dengan
jumlah yang setara. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat,
memiliki indeks glisemik tinggi. Sebaliknya, pangan yang menaikkan kadar glukosa
darah dengan lambat, kandungan indeks glisemiknya rendah. Konsep indeks glisemik
disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita
diabetes dan atlet (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Waspadji (2003), nilai
indeks glisemik dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan
rentang IG 70.
Penderita diabetes mengalami defisiensi magnesium (Dong dkk, 2011) dan
defisiensi kromium (Anderson, 2008). Magnesium merupakan salah satu mikro-
mineral yang memegang peranan penting pada hemostasis glukosa dan kerja insulin.
Deplesit magnesium intraseluler dapat menyebabkan defek fungsi tirosin kinase pada
reseptor insulin dan berhubungan dengan penurunan kemampuan insulin untuk
menstimulasi ambilan glukosa pada jaringan yang sensitif insulin. Hal tersebut dapat
-
6
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, dan bila terjadi terus menerus dan kronis
dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus serta berkembangnya kompikasi
makro dan mikrovaskular diabetes melitus (Sales dan Pedrosa, 2006). Kromium
memiliki peran dalam metaboilisme karbohidrat dan lipid dalam tubuh. Kromium
bekerja sama dengan insulin dalam memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel.
Kekurangan kromium dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan toleransi terhadap
glukosa, walaupun konsentrasi insulin normal. Terapi nutrisi kromium (dalam bentuk
kromium pikolinat yang paling mudah diserap) yang dilakukan di Amerika dalam
bentuk tablet dengan dosis 200 µg/hr untuk orang dewasa sehat dan 400-1000 µg/hr
untuk penderita diabetes melitus terbukti memberikan dampak fisiologis antara lain
meningkatkan daya kerja insulin, menormalkan gula darah dan meningkatkan
kolesterol HDL (Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).
B. Beras Parboiled
Prinsip beras parboiled adalah memperoleh biji yang patinya sudah
tergelatinisasi sebelum digiling. Dalam suatu sistem klasik terdapat tiga tahap proses
beras parboiled yaitu : perendaman (steeping in water), pengukusan (steaming), dan
pengeringan (drying). Pemakaian air dan panas mengakibatkan terjadinya modifikasi
sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, biokimia, estetika dan organoleptik (Tjiptadi dan
Nasution, 1985 dalam Septriani, 2011). Sedangkan menurut Ali dan Ojha (1976)
dalam Arauillo, (1976) prinsip dasar dari proses parboiled padi adalah pembersihan
(cleaning), perendaman (soaking), pengukusan (steaming) dan pengeringan (drying).
-
7
Selain keempat tahap tersebut, penggilingan (milling) juga tahap yang sangant
penting dalam menghasilkan beras parboiled.
Keuntungan dari parboiling dapat menekan kerusakan, kehilangan protein,
vitamin dan mineral seminimal mungkin dan lebih resisten terhadap serangan
serangga selama penyimpanan karena bersifat keras, sedangkan kelemahannya adalah
memerlukan pemasakan yang lama dibandingkan dengan beras biasa dan prosesnya
memerlukan biaya yang lebih tinggi (Arauillo, 1976).
Menurut Widowati dkk. (2008), peningkatan nilai gizi pada beras parboiled
disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi
lainnya dalam endosperma. Beras parboiled memiliki kandungan vitamin B dan
mineral (terutama Na, K, Ca, Mg) yang lebih tinggi dibandingkan beras giling biasa.
Kandungan minyak dan protein sedikit lebih rendah, sehingga beras lebih tahan lama
untuk disimpan. Proses parboiled dapat meningkatkan kandugan serat pangan total
antara 50-80 %, sedangkan daya cerna pati in vitro menurun 30-50 % dan indeks
glisemik menurun 16-32 %. Pada Tabel 1 dapat dilihat terjadinya perubahan zat gizi
pada proses parboiled.
C. Fortifikasi Magnesium dan Kromium
Kandungan mineral dalam beras parboiled terutama magnesium dan kromium
dapat ditingkatkan dengan perlakuan fortifikasi. Fortifikasi adalah sebuah upaya yang
sengaja dilakukan untuk menambahkan mikronutrien yang penting yaitu vitamin dan
-
8
Tabel 1. Kandungan zat gizi beras (100 gram) hasil berbagai pengolahan.
Jenis Beras Air
(g)
Energi
(kkal)
Protein
(g)
Lemak
(g)
Karbohidrat
(g)
Beras pecah kulit 13
335 7.4 1.9 76.2
Beras setengah giling 13
353 7.6 1.1 78.3
Beras giling 13
360 6.8 0.7 78.9
Beras parboiled 12
364 6.8 0.6 80.1
Sumber : Damardjati (1988) dalam Akhyar (2009)
mineral ke dalam makanan, sehingga dapat meningkatkan kualitas nutrisi dari
pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat dengan resiko yang
minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Kandungan mineral dalam beras parboiled
per 100 g beras menurut USDA (2016) disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan mineral dalam beras parboiled per 100 g beras
Mineral Kadar Kebutuhan
Kalsium (Ca) 71 mg 1100 mg
Iron (Fe) 0,74 mg 13 mg
Magnesium (Mg) 27 mg 350 mg
Kromium (Cr) 0,7 µg 35 µg
Fosfor (P) 153 mg 700 mg
Potasium (K) 174 mg 4700 mg
Sodium (Na) 2 µg 150 µg
Seng (Zn) 1,02 mg 13 mg
Sumber : USDA (2016)
Fortifikasi pangan umumnya digunakan untuk mengatasi masalah gizi mikro
pada jangka menengah dan panjang. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan
tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi
populasi. Peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan defisiensi, dengan
demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan
-
9
manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortifikasi pangan juga
digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan
yang diakibatkannya (Darlan, 2012). Menurut Prihananto, (2004) ada beberapa hal
yang harus diperhatkan dalam fortifikasi pangan yaitu:
1. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk
termasuk penduduk miskin,
2. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat
aslinya,
3. Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap
kemungkinan efek samping negatif,
4. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang
terbatas jumlahnya,
5. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan
yang digunakan,
6. Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi,
7. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non-pemerintah dan
swasta,
8. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi,
9. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target,
10. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan.
Fortifikasi mineral dalam suatu produk pangan harus mempertimbangkan saran
asupan harian atau Recommended Daily Allowance (RDA) dari mineral tersebut,
-
10
karena jika berlebih akan menimbulkan efek toksik terhadap tubuh manusia yang
mengkonsomsinya. Magnesium dapat memiliki efek toksis yaitu diawali dengan
penurunan tekanan darah yang berlangsung sejalan dengan hipermegnesemia, hal ini
akan menghambat aliran kalsium dan aksi vasokonstriksi dari epinefrin dan
angiotensin II (Rude dkk., 1989). Efek selanjutnya adalah kelesuan, kebingungan dan
gangguan fungsi ginjal yang mungkin berhubungan dengan hipotensi. Pada tahap
akhir terjadi complete heart block dan cardiac arrest saat kadarnya mencapai 15
mEq/L (Shils, 1999).
1. Magnesium
Magnesium merupakan elemen kedelapan terbanyak yang terdapat di
lapisan bumi dan di alam dapat ditemukan berikatan dengan mineral lainnya
dalam mineral deposit, contohnya sebagai magnesite (magnesium karbonat
[MgCO3]) dan dolomite CaMg(CO3)2. Magnesium memiliki konfigurasi elektron
[Ne] 3s2, massa atom 24,3050 g/mol, titik lebur 650
oC dan titik didih 1107
oC
(Andriansyah, 2013)
Total magnesium dalam tubuh manusia adalah ~20 mmol/kg dari jaringan
tanpa lemak. Dengan kata lain, total magnesium rata-rata orang dewasa dengan
berat badan 70 kg dan 20 % lemak adalah ~1000 sampai 1120 mmol atau ~24 g
(Jahnen-Dechent dan Ketteler, 2012). Manusia perlu mengkonsumsi magnesium
secara berkala untuk menghindari defisiensi magnesium. Institute of Medicine
menganjurkan 310-360 mg untuk wanita dewasa dan 400-420 mg untuk pria
dewasa. Beberapa literatur merekomendasikan asupan harian yang lebih rendah
-
11
yaitu 350 mg untuk pria dan 280-300 mg magnesium untuk wanita (355 mg
selama masa kehamilan dan menyusui) (Jahnen-Dechent dan Ketteler, 2012).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa
Indonesia, asupan magnesium untuk anak usia 1-9 tahun berkisar antara 60-120
mg/hr, laki-laki usia 10-18 tahun berkisar antara 120-200 mg/hr dan laki-laki usia
18 sampai usia di atas 80 tahun adalah 350 mg/hr. Sedangkan untuk perempuan
usia 10-29 tahun berkisar antara 155-310 mg/hr, perempuan usia 30 sampai usia
di atas 80 tahun adalah 320 mg/hr. Untuk ibu hamil membutuhkan tambahan
asupan magnesium sesuai usia kandungannya. Usia kandungan trimester 1
sampai trimester 3 membutuhkan tambahan 40 mg/hr.
Magnesium merupakan mineral penting yang menstimulasi hormon insulin
dalam menyerap glukosa dalam darah Sehingga defisiensi mineral-mineral
tersebut dapat memicu penyakit diabetes melitus. Menurut Takaya dkk., (2004),
magnesium merupakan mikromineral yang memiliki peranan penting dalam
menstimulasi hormon insulin yang bekerja untuk menyerap glukosa dalam darah.
Magnesium sangat penting sebagai kofaktor pada semua reaksi trasnfer ATP. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa Mg memiliki peranan sangat penting dalam
phosphorilasi reseptor insulin, dimana suatu deplesi Mg interseluler dapat
menyebabkan defek fungsi tirosi kinase pada resepor insulin dan berhubungan
dengan penurunan kemmpuan insulin untuk menstimulasi ambilan glukosa pada
jaringan yang sensitif insulin.
-
12
2. Kromium
Kromium merupakan logam transisi yang mempunyai konfigurasi elektron
[Ar] 4s1
3d5
(Manahan, 1992), kromium memiliki nomor aton 24 dan massa atom
relatif 51,996 gram/mol, titik didih 2665oC, titik leleh 1875
oC dan jari-jari atom
128 pm (Sugiyarto, 2003). Kromium tidak larut dalam air dan asam nitrat, tetapi
larut dalam asam sulfat encer dan asam klorida. Kromium juga tidak dapat
bercampur dengan basa, halogen, peroksida dan logam (Vogel, 1985).
Kromium memiliki peran dalam metabolisme karbohidrat dan lipid dalam
tubuh. Kromium bekerja sama dengan insulin dalam memudahkan masuknya
glukosa ke dalam sel. Kekurangan kromium dalam tubuh dapat menyebabkan
gangguan toleransi terhadap glukosa, walaupun konsentrasi insulin normal.
Terapi nutrisi kromium (dalam bentuk kromium pikolinat yang paling mudah
diserap) yang dilakukan di Amerika dalam bentuk tablet dengan dosis 200 µg/hr
untuk orang dewasa dan 400-1000 µg/hr untuk penderita diabetes melitus
terbukti memberikan dampak fisiologis antara lain meningkatkan daya kerja
insulin, menormalkan gula darah dan meningkatkan kolesterol HDL
(Atmosukarto dan Rahmawati, 2004).
Rekomendasi asupan bagi orang dewasa sebesar 25-35 µg/hr. Defisiensi
mineral tersebut menyebabkan kadar gula darah tinggi (Smolin dan Grosvenor,
2007). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa
Indonesia, asupan kromium untuk anak usia 1-9 tahun berkisar antara 11-20
-
13
µg/hr, laki-laki usia 10-15 berkisar antara 25-30 µg/hr, laki-laki usia 16-49
adalah 35 µg/hr dan laki-laki usia 50 sampai usia diatas 80 tahun adalah 30
µg/hr. Sedangkan untuk perempuan usia 10-18 tahun berkisar antara 21-24 µg/hr,
perempuan usia 19-49 adalah 25 µg/hr dan perempuan usia 50 sampai usia diatas
80 tahun adalah 20 µg/hr. Perempuan yang mengandung membutuhkan
tambahan asupan sesuai usia kehamilannya, ibu hamil usia kandungan trimester 1
sampai trimester 3 membutuhkan tambahan 5 µg/hr dan usia menyusui 6 bulan
pertama hingga 6 bulan kedua membutuhkan tambahan 20 µg/hr.
Kelebihan mineral kromium dapat memberikan efek toksik bagi tubuh
manusia. Selain digolongkan sebagai logam essensial, kromium juga
digolongkan dalam kelompok logam berat dengan sifat sangat beracun dan dalam
kelompok senyawa yang beracun dan dalam senyawa yang karsinogen terhadap
manusia. Keracunan oleh kromium menyebabkan gangguan kesehatan yang tidak
pulih dalam waktu singkat (Sutamihardja, 2002).
D. Padi Varietas Ciherang
Padi Ciherang merupakan kelompok padi sawah varietas unggul hasil beberapa
kali persilangan, yaitu IR18349-53-1-3-1-3/ IR19661-131-3-1-3/ IR64. Padi Ciherang
memiliki karakteristik umur tanamannya cukup singkat yaitu 116 hingga 125 hari,
bentuk tanaman tegak, tingginya mencapai 107 hingga 115 cm, menghasilkan anakan
produktif 14 hingga 17 batang, warna kaki hijau, warna batang hijau, warna daun
hijau, posisi daun tegak, bentuk gabah panjang ramping, warna gabah kuning bersih,
-
14
tekstur nasi pulen, bobot 1000 butir 27 hingga 28 g, rata-rata produksi 5 hingga 8.5
ton/ha (Hermanto, 2006). Berdasarkan SNI 01-0224-1987 mengenai gabah, standar
mutu, persyaratan mutu gabah dibedakan menjadi persyaratan kualitatif, persyaratan
kuantitatif dan persyaratan fakultif. Persyaratan kualitatif diantaranya bebas hama dan
penyakit; bebas bau busuk, asam atau bau-bau lainnya; bebas dari bahan kimia seperti
sisa-sisa pupuk, insektisida, fungisida dan bahan kimia lainnya; dan gabah tidak
boleh panas. Persyaratan kuantitatif gabah dapat dilihat pada Tabel 3. Persyaratan
fakultif merupakan persyarata mutu yang dapat dipakai atau tidak dalam
pertimbangan menentukan tingkat mutu diantaranya bentuk gabah (gabah langsing,
gabah lonjong dan gabah bulat), varietas padi, berat biji, rendemen giling dan butir
retak.
Tabel 3. Persyaratan kuantitatif gabah
No.
Urut Komponen Mutu
Kualitas
I II III
1) Kadar air (% maksimum) 14,0 14,0 14,0
2) Gabah hampa (% maksimum) 1,0 2,0 3,0
3) Butir rusak + Butir kuning
(% maksimum) 2,0 5,0 7,0
4) Butir mengapur + Gabah muda
(% maksimum) 1,0 5,0 10,0
5) Butir merah (% maksimum) 1,0 2,0 4,0
6) Benda asing (% maksimum) - 0,5 1,0
7) Gabah varietas lain (%
maksimum) 2,0 5,0 10,0
Sumber : Standar Nasional Indonesia (2008)
Berdasarkan kadar amilosanya beras dikelompokkan menjadi beras
beramilosa rendah (10-20%), beramilosa sedang (20-25%), dan beramiosa tinggi (25-
-
15
33%) (Allidawati dan Bambang, 1989). Beras varietas Ciherang memiliki kandungan
amilosa sebesar 23,2% dan konsistensi gel 77,5 mm termasuk beras beramilosa
sedang. Beras beramilosa sedang umumnya mempunyai tekstur nasi pulen yang
digemari oleh konsumen pada umumnya (Damardjati, 1995).
Widowati dkk., (2008) melaporkan bahwa IG nasi dari beras berkadar amilosa
tinggi cenderung lebih rendah (48,7-86,5) dibanding dengan beras berkadar amilosa
rendah (91,0 - 129,9). Hasil penelitian menunjukkan beras varietas Ciherang
mempunyai nilai indeks glisemik rendah (54,5) sehingga sesuai untuk dikonsumsi
oleh penderita diabetes.
E. Atribut Mutu Fisik Beras
Sifat-sifat fisik dan kimia beras dan nasi sangat menentukan kualitas dari beras
dan nasi. Sifat beras yang digunakan sebagai kriteria mutu tanak dan pengolahan
beras adalah kadar amilosa, uji alkalie spreading value untuk menduga suhu
gelatinisasi, kapasitas penyerapan air pada suhu 70oC (Damardjati dan Purwani,
1991).
1. Ukuran dan bentuk beras
Ukuran dan bentuk beras parboiled berpengaruh terhadap mutu beras.
Berdasarkan ukuran panjang biji, beras dikelompokkan ke dalam beras sangat
panjang, panjang, sedang, dan pendek. Bentuk beras dikelompokkan
berdasarkan rasio ukuran panjang (P)/lebar (L) beras dibedakan menjadi beras
-
16
berbentuk lonjong, sedang, agak bulat, dan bulat. Klasifikasi beras berdasarkan
ukuran panjang dan bentuknya ditampilkan secara lengkap pada Tabel 4.
Tabel 4. Standar beras berdasarkan panjang dan bentuk biji
Ukuran Beras giling Beras pecah kulit
Panjang (mm)
Sangat panjang (extra long)
≥7,00
>7,50
Panjang (long)
Sedang (medium)
Pendek (short)
Bentuk (rasio panjang/lebar)
6,00-6,99
5,00-5,99
-
17
tingkat peneriman adalah warna beras. Beras giling yang diperoleh dari proses
penyosohan berwarna putih karena terbebas dari bagian dedaknya yang
berwarna coklat, makin tinggi derajat penyosohan yang dilakukan maka akan
makin putih warna beras giling yang dihasilkan (Koswara, 2009). Perlakuan
lama perendaman dan penambahan kromium mempengaruhi warna beras
parboiled fortifikasi kromium. Semakin lama waktu perendaman gabah beras
yang dihasilkan semakin gelap ini dikarenakan terjadinya karamelisasi gula
pada proses dilakukannya perendaman. Selama tahapan tersebut dapat
berlangsung efek Maillard-browning (pencoklatan), yaitu berlangsungnya
reaksi antara gula dan asam-asam amino.
4. Cooking time
Cooking time merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur
waktu penanakan beras menjadi nasi. Lamanya waktu penanakan tergantung
pada sifat beras dan banyaknya air yang digunakan. Lama penanakan
berkorelasi positif dengan kadar protein dari suhu gelatinisasi (IRRI, 1964
dalam Hubeis, 1984). Menurut Cagampang dkk., (1973), mengatakan bahwa
beras dengan protein tinggi (>8%) atau bersuhu gelatinisasi tinggi (>74%)
memerlukan air lebih banyak dan waktu penanakan yang lebih lama dari yang
bernilai sebaliknya.
5. Elongation
Elongation merpupakan perubahan panjang antar butir nasi setelah
dilakukan penanakan dibagi dengan panjang nasi sebelum dilakukan
-
18
penanakan. Menurut Darmadjati, (1991) nisbah pemanjangan biji selama
penanakan dari beberapa beras yang berasal dari Indonesia berkisar antara 1,3-
1,7.
Penyebab pemanjangan nasi beberapa varietas padi belum diketahui.
Menurut Juliano, (1979) penyebab terjadinya pemanjangan nasi diduga akibat
pecahnya dinding sel endosperma beras yang mengakibatkan nasi memanjang
tetapi tidak melebar. Varietas yang mempunyai kemampuan memanjang,
memiliki suhu gelatinisasi rendah (
-
19
7. Hardness
Tekstur merupakan sifat sensoris bahan pangan yang berhubungan
dengan indera peraba dan perasa yang dapat diukur secara obyektif dengan alat
mekanik yang dinyatakan dalam satuan unit dasar massa maupun gaya
(Kramer, 1973). Sifat-sifat nasi sangat dipengaruhi oleh kadar amilosanya (pera
dan pulen), misalnya beras susu (pulen) mempunyai sifat sangat mengkilat,
tekstur lunak dan agak basah, sangat lengket atau kerapuhan antara butir cukup
tinggi sehingga kurang menyerap air dan kurang mengembang (Del Mundo,
1979).
F. Atribut Mutu Kimia Beras
Bagian gabah yang dapat dimakan adalah kariopsis yang terdiri dari 75 %
karbohidrat dan 8 % protein pada kadar air 14 %. Penyusun lainnya adalah lemak,
serat, dan abu yang terdapat dalam jumlah sedikit. Bagian endosperm atau bagian
gabah yang diperoleh setelah penggilingan yang kemudian disebut beras giling,
mengandung 78 % karbohidrat dan 7 % protein (Haryadi, 2006).
1. Kadar air
Kadar air menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Kadar
air basis basah adalah jumlah air yang terdapat dalam suatu massa bahan basah
(Singh dan Heldman, 2009). Kadar air beras giling berdasarkan persyaratan
mutu beras menurut SNI 6128: 2008 adalah sebesar 14%. Menurut Widowati
dkk., (2009) kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya
-
20
terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat
memperpanjang umur simpan beras. Hal tersebut dikarenakan mikroba sulit
tumbuh pada kondisi kering. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama
pengukusan tidak mempengaruhi kadar air akhir beras setelah penggilingan.
Kadar air dari beras hasil penggilingan dipengaruhi oleh proses pengeringan.
2. Kadar pati
Pati merupakan homopolimer dari glukosa dengan ikatan α-glikosidik
yang terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang
larut air disebut amilosa (polimer linear), sedangkan polimer yang tidak larut
air disebut amilopektin (polimer bercabang) (Winarno, 1997). Komponen
utama yang ada dalam beras adalah karbohidrat. Karbohidrat tersebut terdiri
dari pati sebagian besar dan bagian kecilnya adalah gula, selulosa, hemiselulosa
dan pentosa. Pati yang ada dalam beras 85-90 % dari berat kering beras,
pentosa 2,0-2,5 % dan gula 0,6-1,4 % dari berat beras pecah kulit. Oleh karena
itu sifat-sifat pati merupakan faktor yang dapat menentukan sifat fisikokimia
dari beras (Haryadi, 2006).
3. Kadar amilosa
Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi 3 golongan
yaitu kandungan amilosa rendah (26%). Beras di Indonesia pada umumnya termasuk ke dalam golongan
menengah (Juliano, 1976 dalam Haryadi, 2006). Antara tekstur nasi dan kadar
amilosa terdapat hubungan yang nyata. Beras dengan kadar amilosa rendah
-
21
akan menghasilkan nasi yang pulen, lekat, empuk, enak dan mengkilat. Beras
beramilosa sedang akan menghasilkan nasi yang masih bersifat empuk
walaupun dibiarkan beberapa jam. Sedangkan beras yang beramilosa tinggi ,
nasinya keras (pera) dan berderai (Juliano, 1976 dalam Haryadi, 2006).
4. Kadar protein
Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur
karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen yang tidak dimiliki oleh lemak dan
karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis
protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein
berfungsi sebagai pengendalian pertumbuhan dan pemeliharaan sel-sel tubuh,
pembentukan antibodi dan ikatan-ikatan sesensial tubuh, sebagai media
perambatan impuls syaraf, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas
tubuh, mengangkut zat-zat gizi, sumber energi cadangan dan sebagai enzim
(Winarno, 1992). Beras adalah sumber protein yang baik dengan kandungan
protein 6,8 g/100 g. Itulah sebabnya, di Indonesia, dalam neraca makanan,
sumbangan beras terhadap energi dan protein masih sangat tinggi lebih dari
55%. Seseorang yang makan beras dalam jumlah cukup pasti tidak akan
kekurangan protein (Suhartiningsih, 2004).
5. Kadar lemak
Lemak merupakan gabungan antara gliserol dan asam lemak. Lemak
dapat berwujud padat maupun cairan yang tergantung dari jenis asam lemak
yang diikatnya. Lemak padat mengandung asam lemak jenuh, sedangkan lemak
-
22
cair (minyak) mengandung asam lemak tidak jenuh. Lemak termasuk ke dalam
kelompok senyawa lipida, yaitu lemak dan senyawa organik yang mempunyai
sifat fisika seperti lemak. Sifat fisika lipida, tidak larut dalam air, tetapi larut
dalam satu atau lebih pelarut organik, memiliki hubungan dengna asam-asam
lemak atau esternya, mempunyai kemungkinan digunakan oleh makhluk hidup
(Poedjiadi, 1994). Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif
dibanding karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan energi
sebanyak 9 kal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kal/g
(Winarno, 1992). Pengaruh lemak terutama muncul setelah gabah atau beras
disimpan. Kerusakan lemak mengakibatkan penurunan mutu beras (Haryadi,
2006).
6. Kadar vitamin
Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah
sangat kecil tetapi penting dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta
agar proses metabolisme dapat berlangsung dengan baik. Vitamin terbagi
menjadi dua jenis, yaitu vitamin larut lemak yitu vitamin A, D, E dan K dan
vitamin larut air yaitu vitamin C dan B kompleks. Vitamin B kompleks terdiri
dari tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin, asam pantotenat,
piridoksin (vitamin B6), biotin, folasin dan sianokobalamanin (vitamin B12)
(Almatsier, 2004). Lapisan katul merupakan lapisan yang paling banyak
mengandung vitamin B1. Selain itu katul juga mengandung protein, lemak,
vitamin B2 dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama dari butir beras.
-
23
Komposisi utamanya adalah pati. Selain pati, endosperm juga mengandung
protein dalam jumlah cukup banyak, serta selulosa, mineral dan vitamin dalam
jumlah kecil (Koswara, 2009).
7. Kadar mineral
Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ,
maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Selain itu, mineral juga berperan
dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor aktivitas enzim-
enzim. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro
Mineral makro merupakan mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih
dari 100 mg/hr, yang terdiri dari Na, Cl, K, Ca, P, Mg dan S. Sementara itu,
mineral mikro merupakan mineral yang dibutuhkan kurang dari 100 mg/hr,
yang terdiri dari Fe, I, Se, Cu, Mn, F, Cr, Mo, As, Ni, Si dan B (Almatsier,
2004). Sebagian besar bahan makanan (sekitar 95 %) terdiri dari zat organik
dan air. Sisanya, yaitu sekitar 5 % terdiri dari mineral (Dita, 2007). Dalam 100
g beras putih giling terkandung 27 mg magnesium dan 0,7 µg kromium.
Sebagian besar mineral dalam abu beras yang terdiri atas P, Mg, dan K terdapat
dalam jumlah cukup besar pada abu beras pecah kulit dan beras giling. Di
samping itu juga terdapat Ca, Cl, Na, Si, dan Fe. Fosfor dan K merupakan
mineral utama dalam beras pecah kulit, disusul oleh Si dan Mg (Damardjati,
1988).
-
24
G. Uji Kesukaan
Makanan disenangi jika memberikan kesan nikmat pada indera
penglihatan, mengenai warna, bentuk dan ketampakan lainnya seperti indera
pembau, pengecap, peraba di mulut mengenani tekstur dan bila mungkin juga
indera pendengaran pada saat penyajian dan penyantapannya (Haryadi, 2006).
Tingkat – tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Skala hedonik dapat juga
direntangkan atau dialirkan menurut rentangan skala yang akan dikehendakinya.
Skala hedonik juga dapat diubah menjadi skala numerik dengan angka mutu
menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik dapat dilakukan analisis secara
parametrik (Soekarto, 1985). Rentang skala hedonik berkisar dari sangat buruk
sampai sangat baik. Jumlah tingkat skala tergantung dari rentangan mutu yang
diinginkan dan sesisifitas antar skala. Jumlah tingkat skala juga tergantung dari
rentangan mutu yang diinginkan dari sensifitas antar skala. Prinsip uji mutu
hedonik ini mencoba suatu produk tanpa membandingkan dengan sampel lain
(Nuraini, 2013).
H. Hipotesa
Perlakuan konsentrasi fortifikan magnesium dan kromium yang ditam-
bahkan pada proses pembuatan beras parboiled terfortifikasi magnesium dan
kromium mempengaruhi sifat fisik, kimia dan tingkat kesukaan panelis.