IKHLAS DALAM AL-QUR’AN:
PERSPEKTIF SEMANTIK TOSHIHIKO IZUTSU
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh
Muflihun Hidayatullah
NIM: 1111034000064
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M./ 1438 H.
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
ṭ ط a ا
ẓ ظ b ب
‘ ع t ت
gh غ ts ث
f ف j ج
q ق ḥ ح
k ك kh خ
l ل d د
m م dz ذ
n ن r ر
w و z ز
h ه s س
ʼ ء sy ش
y ي ṣ ص
h ة ḍ ض
Vokal Panjang
ā آ
ī إى
ū أو
ABSTRAK
Muflihun Hidayatullah
IKHLAS DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF SEMANTIK TOSHIHIKO
IZUTSU
Studi ini membahas tentang makna ikhlas dalam al-Qur’an. Permasalahan
yang diangkat dalam skripsi ini menjawab relevansi penggunaan ikhlas yang
dikaitkan dengan musibah. Penulis menelusuri dengan perspektif semantik
Toshihiko Izutsu. Dalam menjawab permasalahan penelitian, penulis menggunakan
analisis deskriptif, yaitu dengan menggambarkan data-data yang ditemukan secara
apa adanya dan merekonstruksinya melalui kategorisasi sesuai data yang didapat.
Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan ikhlas dalam al-Qur’an
dengan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu bermakna ketauhidan, keselamatan
dan terpilih. Hal tersebut dibuktikan dengan pencarian makna dasar, makna relasi
serta analisis diakronis dan sinkronis untuk mendapatkan weltanschauung. Makna
dasar ikhlas adalah murni, sedangkan makna relasinya berkaitan dengan selamat,
terpilih, khusus, dan bersih. Atas dasar itulah membentuk weltanschauung ikhlas
dalam al-Qur’an berorientasi pada makna kemurnian agama (tauhid), keselamatan,
dan terpilih. Dengan demikian weltanschauung ketauhidan adalah konsepsi tentang
ketuhanan, sedangkan selamat dan terpilih kembali pada konsepsi manusia.
Hasil penelitian tersebut menjawab relevansi penggunaan ikhlas dalam al-
Qur’an tidak ada yang berkaitan dengan musibah sama sekali. Dengan demikian,
penggunaan ikhlas yang berkaitan dengan musibah menjadi tidak relevan.
Kata kunci
Ikhlas, Semantik, Toshihiko Izutsu, weltanschauung
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..............................................................
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................................................
KATA PENGANTAR .........................................................................................
ABSTRAK ...........................................................................................................
DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................. 4
D. Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
E. Manfaat Penelitian .................................................................................. 5
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 5
G. Kerangka Teori ...................................................................................... 11
H. Metodologi Penelitian ............................................................................ 12
I. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14
BAB II TAFSIR DAN ANALISIS SEMANTIK ................................................ 16
A. Tafsir dan Metode Tafsir ....................................................................... 16
1. Pengertian Tafsir .............................................................................. 16
2. Metode Tafsir ................................................................................... 17
3. Metode Tafsir Maudu’ī .................................................................... 18
B. Semantik ................................................................................................ 22
1. Pengertian Semantik ........................................................................ 22
2. Semantik Al-Qur’an ......................................................................... 26
BAB III GAMBARAN UMUM IKHLAS .......................................................... 30
A. Pengertian Ikhlas .................................................................................... 30
B. Ikhlas dalam Al-Qur’an .......................................................................... 33
C. Tema-Tema Ikhlas .................................................................................. 36
D. Ikhlas dalam Kitab Tafsir ....................................................................... 39
BAB IV ANALISIS IKHLAS PERSPEKTIF SEMANTIK IZUTSU ................ 44
A. Makna Dasar dan Makna Relasi ............................................................ 44
B. Analisis Diakronis dan Sinkronis ........................................................... 48
C. Welthanscauung Ikhlas .............................................................................. 61
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 67
A. Kesimpulan ............................................................................................. 67
B. Kritik dan Saran ..................................................................................... 68
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toshihiko Izutsu merupakan salah satu tokoh kesarjanaan non-Muslim
yang turut meramaikan khazanah kajian al-Qur‟an. Kehadirannya memberikan
aroma tersendiri bagi dunia kajian al-Qur‟an. Setidaknya ada dua alasan yang
menjadikan gagasannya amat menarik. Pertama, pendapat Izutsu berbeda dari arus
kebanyakan sarjana no-Muslim yang mengkaji al-Qur‟an. Sebagian sarjana non-
Muslim berpendapat bahwa al-Qur‟an bukan kalam Allah, melainkan perkataan
Muhammad.1 Sementara Izutsu berpandangan bahwa al-Qur‟an merupakan kalam
Allah yang diturunkan secara mutawatir kepada Nabi Muhammad melalui
perantara Jibril.2 Alasan kedua, kalangan sarjana non-Muslim yang mengkaji al-
Qur‟an kebanyakan muncul dari Barat, sementara Izutsu ialah sarjana penganut
Zen Buddism dari Jepang. Kedua alasan tersebut tentu memberikan suatu
perspektif baru tentang kajian al-Qur‟an, yakni perspektif non-Muslim sekaligus
non-Barat.3
Izutsu memberikan perhatian yang sangat besar dalam mengkaji al-Qur‟an
melalui pendekatan Semantik. Menurutnya, Semantik adalah suatu kajian analitis
atas istilah-istilah kunci dari suatu bahasa dengan maksud untuk menangkap
1 Mohammad Natsir Mahmud, Orientalisme; al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah Studi
Evaluatif), (Semarang, Dina Utama, 1997), h. 28. 2Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al
Quran, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 165. Hal ini disampaikan juga oleh
Faturrahman dalam Tesisnya yang berjudul al Quran dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko
Izutsu, h. 60. 3 Ahmad Sahidah Rahem, Tuhan Manusia dan Alam dalam al Quran; Pandangan
Thosihiko Izutsu, (Pulau Pinang, Universiti Sains Malaysia Press, 2014).
2
secara konseptual pandangan dunia (Weltanschauung)4 dari orang-orang yang
menggunakan bahasa tersebut. Dalam konteks ini, bahasa dipandang bukan hanya
sebagai alat berbicara dan berpikir, namun lebih penting lagi sebagai alat untuk
menangkap dan menerjemahkan dunia yang mengelilinginya.5
Melalui pendekatan Semanatik, Izutsu menganalisa partikel sederhana
dalam al-Qur‟an, namun sarat makna, yang diistilahkan oleh Izutsu dengan kata
kunci atau keyword. Keyword inilah yang dielaborasi dan diteliti secara
menyeluruh hingga mampu membentuk dan menemukan komponen dasar konsep-
konsep tertentu, seperti keyword Islam, Iman, Ihsan dan seterusnya.6 Menurut
Izutsu, pandangan dunia al-Qur‟an bersifat Teosentris, sebab tidak ada kata kunci
dalam al-Qur‟an yang tidak berkaitan dengan fokus tertinggi, yakni kata Allah.7
Hal tersebut tak terkecuali dengan kata Ikhlaṣ.
Kata ikhlas disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 31 kali dengan 14 derivasi.8
Di kalangan masyarakat umum, kata ikhlas sudah sangat familiar. Banyak
masyarakat yang menggunakan kata ikhlas saat memberikan nasihat kepada orang
yang sedang dilanda musibah, misalnya dengan ucapan "yang ikhlas ya". Si
Pengucap seolah-olah memberikan arahan kepada si Pendengar agar rela atas
musibah yang sedang menimpanya. Kata ikhlas dipandang memiliki makna rela
4 Secara sederhana, Weltanschauung diartikan sebagai filsafat hidup atan prinsip hidup.
Setiap agama (kepercayaan), bangsa, dan kebudayaan bahkan setiap orang mempunyai
Weltanscahuung masing-masing. Pada tataran wacana ilmiiah, term ini dìmaknai secara lebih
kompleks. Menurut Ninian Smart, Weltanschauung adalah kepercayaan, perasaan, dan apa saja
yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan atau
perubahan sosial dan moral. 5Dikutip dari Machasin dalam pengantar Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan
Semantik Terhadap al Quran, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1997), h. xiv. 6 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al
Quran, (Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 16. 7Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam al Quran, (Yogyakarta, Tiara
Wacana Yogya, 1993), h 21. 8 Muhammad Fuad Abd al Baqi, al Mu’jam al Mufahras li al Fazh al Quran, (Mesir,
Dar al Kutub, 1945).
3
atas sebuah musibah. Pandangan masyarakat ini terbukti dengan adanya judul
berita “Anggap Sabagai Musibah, Pihak Keluarga Shandy ikhlas” dalam sebuah
surat kabar elektronik Suara Jatim Pos.9
Ikhlas secara etimologis memang bisa diartikan rela,10
termasuk rela atas
musibah yang sedang melanda. Tapi istilah tersebut belum tentu memiliki arti
demikian secara teologis, apalagi jika penulusuran maknanya digali dari al-Qur‟an.
Faktanya, seluruh ayat al-Qur‟an tentang Ikhlaṣ sama sekali tidak ada yang
menjelaskan mengenai musibah.11
Tidak ada kata Ikhlaṣ yang bergumul dalam
satu ayat dengan kata muṣibah. Oleh karena itu, jika ada penafsiran al-Qur‟an
tentang ikhlas yang dikaitkan dengan musibah, maka perlu diteliti lebih jauh
lagi.12
Penulis melihat dalam Tafsir al-Kasyaf, penjelasan mengenai ikhlas hanya
berkaitan dengan tiga hal; shalat, ibadah, dan tauhid –tidak ada uraian tentang
musibah di dalamnya-. Akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh, maka kita akan
menemukan bahwa musibah dapat bersentuhan dengan konsep ikhlas saat ikhlas
dikaitkan dengan konsep tauhid; yakni percaya bahwa Allah adalah Tuhan Yang
Maha Esa dan bersikap hanya menyandarkan diri kepada Allah. Artinya,
manakala Ikhlas dikembangkan dari tataran teologis ke tataran etis, maka ikhlas
9
http://m.suarajatimpost.com/read/3937/20170110/110303/anggap-sebagai-musibah-
pihak-keluarga-shandy-ikhlas/ diakses pada tanggal 2 April 2017. Sandy Pratama Putra, anggota
DPRD Kota Batu yang meninggal gantung diri pada Minggu 8 Januari 2017. Mulyono, ayah
kandung Sandy menganggap kejadian itu murni musibah. Mulyono mengaku Ikhlas atas musibah
yang ditakdirkan kepadanya itu. 10
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Ikhlas memiliki salah satu arti rela.
Misalkan meng-ikhlas-kan; merelakan: kami telah ~ kepergiannya. 11
Dalam Tafsir Al Kasyaf, tidak ada penjelasan mengenai kaitan antara Ikhlas dengan
musibah di ayat-ayat tentang Ikhlas. 12
Sebagaimana penafsiran yang mengaitkan antara Ikhlas dan musibah berdasarkan al-
Qur’an yang tertulis dalam buku Kebeningan Jiwa 2 karya Budi Handrianto.
4
tidak hanya berbicara tentang tauhid atau keesaan Allah aja, tetapi juga dapat
diartikan sebagai suatu sikap rela menerima musibah.
Sedikit penggambaran ini merupakan latar belakang yang menjadikan
penulis ingin menggali makna kata ikhlaṣ dalam al-Qur‟an, sementara itu
pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan Semantik Toshihiko
Izutsu. Penelitian tersebut penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Ikhlaṣ
dalam al-Qur‟an Perspektif Semantik Toshihiko Izutsu".
B. Identifikasi Masalah
Penulis menemukan dan mengidentifikasi suatu permasalahan dari ulasan
singkat pada bab latar belakang di atas, yakni terkait makna ikhlas. Ada beberapa
fakta menyebutkan bahwa ikhlas diartikan sebagai “sikap rela”, sehingga kata
ikhlas sering digunakan oleh masyarakat untuk disandingkan dengan kata
Musibah. Ikhlas terhadap musibah, berarti bersikap rela terhadap musibah yang
sedang dialami. Bahkan ada seorang penulis buku berjudul Kebeningan Jiwa
bernama Budi Handrianto mengaitkan Ikhlas dengan Musibah berdasarkan ayat
al-Qur‟an.13
Padahal, tak ada satu ayatpun dalam al-Qur‟an yang menyebutkan
ikhlaṣ dengan Musibah secara bersamaan.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Uraian di atas tentang identifikasi masalah cukup menjelaskan posisi
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis ingin menggali
makna ikhlas dalam al-Qur‟an. Penulis membatasi penggalian tersebut
menggunakan pendekatan semantik Toshihiko Izutsu. Adapun rumusan masalah
13
Budi Hadrianto, Kebeningan Jiwa, (Gema Insani, Depok, 2007), h. 70.
5
dalam penelitian ini sebagaimana diungkapkan dalam pertanyaan berikut: apa
makna ikhlaṣ dalam al-Qur‟an perspektif semantik Toshihiko Izutsu?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan pemikiran Toshihiko Izutsu tentang semantik al-Qur‟an
2. Menguraikan makna ikhlas dalam al-Qur‟an
3. Menerangkan makna ikhlas dalam al-Qur‟an persektif semantik Toshihiko
Izutsu.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis. Penulis merangkumnya sebagaimana
berikut:
1. Penelitian ini dapat melengkapi karya Budi Hadrianto dalam buku
“Kebeningan Jiwa” yang mengulas tentang ikhlas dan Musibah.
2. Penelitian ini memperkuat Tesis karya Faturrahman berjudul “al-Qur‟an
dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu” tentang kelayakan
pemikiran Toshihiko Izutsu dalam kajian al-Qur‟an.
3. Penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar dalam matakuliah Semiotik
dan Hermeneutik di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi mereka yang
mengkaji tentang makna ikhlas dalam al-Qur‟an.
6
Dua poin pertama merupakan manfaat penelitian secara teoritis, sedangkan
dua poin terakhir merupakan manfaat praktis.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian berjudul “Makna Ikhlaṣ dalam al-Qur‟an Perspektif Semantik
Toshihiko Izutsu” ini mungkin bukanlah suatu wacana yang baru dan asing, sebab
sudah banyak karya ilmiah yang membahasnya baik berupa jurnal, skripsi, tesis,
ataupun disertasi. Jika dibagi secara tema – yakni tema ikhlas, semantik, ataupun
Thosihiko Izutsu-, maka kita akan dengan mudah menemukan kaya ilmiah yang
mengupasnya dari beragam sudut keilmuan. Misalkan tema ikhlas, ada yang
menguraikannya dari perspektif tafsir al-Qur‟an, pendidikan, psikologi, dan lain
sebagainya. Demikian juga dengan tema semantik; ada yang digunakan untuk
mengkaji bidang bahasa, budaya, komunikasi, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
penulis hanya menyinggung beberapa karya ilmiah saja untuk menjelaskan kajian
terdahulu yang berkaitan dengan judul penelitian ini, setidaknya ada 32 karya
ilmiah yang penulis baca dan simpulkan.
Selain membagi karya-karya tersebut berdasarkan tema, penulis juga
membandingkannya dengan menjelaskan sisi persamaan sekaligus perbedaan pada
masing-masing karya. Adapun penjelasan secara rincinya adalah sebagaimana
berikut:
1. Ikhlas
Terdapat beberapa karya ilmiah tentang tema ikhlas yang penulis
simpulkan. Pertama, ikhlas dari kacamata disiplin ilmu Psikologi. Adapun karya
ilmiah yang membahas tema ini di antaranya; karya Lu‟luatul Chizanah dan M.
7
Noor Rochman Hadjam14
, Lutpiyana Mardatillah15
, dan Fadli Rahman16
.
Persamaan dari semua karya ilmiah ini terletak pada tujuan penelitiannya, yakni
ingin membumikan konsep ikhlas. Mereka mencoba menarik konsep ikhlas dari
ranah pemahaman teoritis ke ranah pemahaman empiris. Sedangkan perbedaannya
terletak pada sumber data penelitian, dua penulis pertama (Chizanah dan Hadjam)
menyandarkan sumber penelitiannya pada data lapangan melalui hasil wawancara,
sedangkan dua penulis terakhir (Lutpiyana dan Fadli) menyandarkan
penelitiannya pada teks baik itu berupa buku atau ayat-ayat Alquran.
Kedua, tema ikhlas yang dikemas dengan pendekatan disiplin ilmu
Tasawwuf, beberapa karya ilmiah yang menyinggung tema ini di antaranya: karya
Lisa Fathiyana17
dan Khasan Sandili18
. Keduanya menggunakan metode penelitian
yang sama; yaitu teknik pengumpulan datanya menggunakan penelitian pustaka
(Library Reseach) dan menggunakan sumber data teks, hanya saja teksnya yang
berbeda, satunya berdasarkan teks kitab Ihya‟ Ulumuddin karya al Ghazali dan
satunya lagi kitab karya KH. Ahmad Asrori.
Ketiga, ikhlas perspektif pendidikan. Ada dua karya ilmiah yang
membahas tema ini, yakni karya Mambaul Ngadimah19
dan Vivin Yuliana20
.
14
Lu‟luatul Chizanah dan M. Noor Rochman Hadjam. “Penyusunan Instrumen
Pengukuran Ikhlas” dalam Jurnal Psikologika Vol. 18 No. 1 (2013), h. 39-49. Penulis yang sama
juga menulis dengan judul yang berbeda dan dalam jurnal yang berbeda pula, “Validitas Konstruk
Ikhlas; Ananlisis Faktor Eksploratori Terhadap Instrumen Skala Ikhlas” dalam Jurnal Psikologi
Vol. 38 No. 2 (2011), h. 199-214. 15
Lutpiyana Mardatillah. “Konsep Kecerdasan Emosional dan Spiritual dalam
Pendidikan Agama Islam Perspektif Quantum Ikhlas”. Skripsi S1: Fakultas Ilmu Tarbiyah, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016. 16
Fadli Rahman. “Quantum Ikhlas The Power of Positive Feeling (Teknologi Aktivasi
Kekuatan Hati)” dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Vol. 1 No. 1 (2007). h. 98-103. 17
Lisa Fathiyana. “Konsep Guru yang Ikhlas Menurut al Ghazali dalam Kitab Ihya‟
Ulumuddin”. Skrisi S1: Fakultas Tarbiyah, IAIN UIN Walisongo Semarang, 2011. 18
Khasan Sandili. “Analisis Materi Dakwah KH. Ahmad Asrori al Ishaqi tentang
Ikhlas”. Skrisi S1: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, IAIN Walisongo Semarang, 2011. 19
Mambaul Ngdimah. “Kontribusi Nilai Ikhlas dalam Pendidikan Akhlak Jama‟ah
Salawat Wahidiyah” dalam Jurnal al Izzah Vol. 12 No. 1 (2017). h. 74-84.
8
Kedua karya ini memiliki tujuan penelitian yang sama, yaitu menguraikan konsep
ikhlas sebagai landasan pendidikan. Sedangkan perbedaan keduanya terletak pada
metode analisis data, yang pertama menggunakan analisis wacana dan yang kedua
menggunakan analisis isi.
Keempat, ikhlas yang ditinjau dari bidang ilmu Tafsir. Karya ilmiah yang
menyinggung tema ini di antaranya: karya Shofaussamawati21
dan Hasiah22
.
Keduanya menggunakan metode analisis data yang sama, yaitu tematik. Caranya,
diawali dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang ikhlas dalam al-Qur‟an lalu
berusaha menyimpulkan makna ikhlaṣ dari keseluruhan ayat tersebut. Bahkan
secara umum, keseluruhan isi dari kedua karya tersebut hampir sama persis, hanya
sistematika penulisannya saja yang berbeda, yakni susunan bab-babnya saja yang
berbeda.
2. Semantik
Karya ilmiah yang membahas tema semantik, penulis batasi ke dalam dua
bagian saja; (1) pendekatan semantik dalam bidang Studi al-Qur‟an dan (2)
semantik dalam bidang ilmu Bahasa.
Pertama, karya ilmiah tentang Studi al-Qur‟an yang menggunakan
pendekatan semantik di antaranya: karya Ahmadiy23
, Hadinda Daeng Mawara
Doeni24
, Muhandis Azzuhri25
, Ainol Yaqin26
, Moh. Hasyim Abd. Qodir27
dan
20
Vivin Yuliana. “Ikhlas dalam Perspektif Pendidikan Islam (Kajian Tematik atas Ayat-
Ayat Ikhlas)”. Skripsi S1: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Antasari, Banjarmasin, 2010. 21
Shofaussamawati. “Ikhlas Persektif al Quran; Kajian Tafsir Maudhu‟i” dalam Jurnal
Hermeneutik Vol. 7 No.2 (2013). h. 331-356. 22
Hasiah. “Peranan Ikhlas dalam al Quran” dalam Jurnal Darul Ilmi Vol. 1 No. 2
(2013). h. 24-44. 23
Ahmadiy. “Konsep Ihsan dalam al Quran (Pendekatan Semantik)”. Tesis S2:
Konsentrasi Studi al Quran dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012. 24
Hadinda Daeng Mawara Doeni. “Pengungkapan Kata Bermakna “Istri” di dalam
Konteks al Quran (Suatu Kajian Semantik)”. Skripsi S1: Fakultas Ilmu Budaya, UNPAD, Bandung,
2012.
9
Muhammad Hilman28
. Metode analisis data dari semua karya tersebut sama, yakni
menggunakan metode tematik dengan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an
berdasarkan tema yang diangkat lalu menyimpulkan maknanya. Perbedaannya
terletak pada topik pembahasan.
Kedua, pendekatan semantik dalam bidang ilmu Bahasa tergambar dalam
karya Yuliani29
dan Ikhwan M Said30
. Kedua karya ini menggunakan tehnik
pengumpulan data yang sama, yakni penelitian lapangan dan kepustakaan.
Perbedaannya hanya terletak pada objek kajian, yang pertama objek kajiannya
bahasa Jawa dan yang kedua objek kajiannya bahasa hukum.
3. Toshihiko Izutsu
Karya ilmiah yang membincang tentang Thosihiko Izutsu sudah sangat
banyak sekali, baik itu dari segi ketokohan atau pemikiran semantiknya. berikut
ini penulis hanya menyinggung beberapa saja di antaranya; karya Faturrahman31
dan Lutfi Hamidi32
-dua orang yang penulis sangat kagumi karyanya dan sangat
representatif dalam menyoal Izutsu-, keduanya sama-sama mengupas tuntas
perihal Izutsu dari sisi ketokohannya dalam bidang semantik al-Qur‟an,
25
Muhandis Azzuhri. “Ayat-ayat Bias Gender dalam Surat an Nisa‟ (Kajian Semantik).”
dalam Jurnal Ying Yang Vol. 4 No.1 (2009). h. 52-70. 26
Ainol Yaqin. “Ulul Albab sebagai Potret Manusia Ideal (Studi Semantik al Quran).”
dalam Jurnal Okara Vol. 9 No.1 (2015). h. 18-34. 27
Moh. Hasyim Abd. Qodir. “Makna al Jannah dalam al Quran (Studi Perspektif
Semantik pada Kisah Adam).” Tesis S2: Ilmu al Quran dan Tafsir, UIN Sunan Amel, Surabaya,
2014. 28
Muhammad Hilman. “Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al Quran (Surat adh
Dhuha dan al Insyirah): Studi Komparatif Terjemahan Mahmud Yunus dan T.M. Hasbi ash
Shiddieqy”. Skripsi S1: Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010. 29
Yuliani. “Nilai Kearifan Lokal dalam Syair Lagu Dolanan Jawa (Kajian Semantik)”
dalam Jurnal Sasindo Vol. 3 No.3 (2014). h. 1-17. 30
Ikhwan M Said. “Kajian Semantik Terhadap Produk Hukum di Indonesia” dalam
Jurnal Mimbar Hukum Vol. 24 No. 2 (2012). h. 186-197. 31
Faturrahman. “al Quran dan Tafsirnya dalam Perspektif Toshihiko Izutsu” Tesis S2:
Pendidikan Bahasa Arab, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010. 32
Lutfi Hamidi. “Pemikiran Thosihiko Izutsu tentang Semantik al Quran.” Disertasi S3:
Ilmu Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
10
Faturrahman menegaskan bahwa Izutsu layak dijadikan rujukan dalam bidang
studi al-Qur‟an, betapapun Izutsu adalah seorang Non-Muslim. Begitu juga Lutfi
Hamidi, menilai bahwa cara pandang Izutsu mampu menjadikan al-Qur‟an
sebagai sesuatu yang dapat “disentuh”. Letak perbedaan antara Faturrahman dan
Lutfi hanya seputar titik tekan pembahasannya saja, Faturrahman lebih menyorot
tentang kedudukan Izutsu sebagai Non-Muslim yang justru memberikan cara
pandang unik tentang Alquran, sementara Lutfi lebih banyak mengurai tentang
metode serta aplikasi semantik al-Qur‟an Izutsu.
Selanjutnya, karya ilmiah yang menyoal sekaligus mengembangkan
pemikiran Izutsu perihal metode semantik al-Qur‟an, di antaranya: Muhammad
Arif33
, Unun Nashihah34
, Zachrotul Rochmah35
, Luthviyah Romziana36
,
Syaifullah37
, Fauzia Raziani Razak38
, Ahdiyat Mahendra39
, Ismatillah40
, Zuhadul
Ismah41
, Asep Saefuddin42
, dan Eka Syarifah43
. Kerangka teori dari semua karya
ilmiah ini sama, mulai dari pencarian makna dasar kata yang bersangkutan hingga
33
Muhammad Arif . “Konsep Wahyu dalam al Quran (Kajian Semantik).” Skripsi S1:
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2016. 34
Unun Nashihah. “Kajian Semantik Kata Libas dalam al Quran.” Skripsi S1: Fakultas
Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, 2013. 35
Zachrotul Rochmah. “Konsep Pewahyuan al Quran menurut Thosihiko Izutsu.”
Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Walisongo, Semarang, 2015. 36
Luthviyah Romziana. “Pandangan al Quran tentang Jahiliyyah Perspektif Semantik.”
Dalam Jurnal Mutawattir Vol. 4 No.1 (2014). h. 118-138. 37
Syaifullah. “Kata Khalifah dalam al Quran (Studi Analisis Semantik).” Tesis S2: Ilmu
Bahasa Arab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016 38
Fauzia Raziani Razak, “Analisis Semantik Kata Shidq dan Derivasinya dalam al
Quran.” Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Gunung Jati, Bandung, 2008. 39
Ahdiyat Mahendra. “Sultan dalam al Quran (Kajian Semantik Thosihiko Izutsu).”
Tesis S2: Ilmu Bahasa Arab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015. 40
Ismatillah. “Makna Wali dan Auliya dalam al Quran (Suatu Kajian dengan
Pendekatan Semantik Thosihiko Izutsu).” dalam Jurnal Dziya’ al Afkar Vol. 4 No. 2 (2016). h. 38-
64. 41
Zuhadul Ismah. “Konsep Iman menurut Thosihiko Izutsu.” dalam Jurnal
Hermeneutik Vol. 9 No.1 (2015), h. 205-228. 42
Asep Saefuddin. “Analisis Semantik Terhadap Kata Firqah dan Padanannya dalam al
Quran.” Skrisi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Gunung Jati, 2007. 43
Eka Syarifah. “Ifk dan Buhtan dalam al Quran (Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu).”
Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.
11
makna relasionalnya atau mulai dari pencarian makna Pra Quranik, Quranik,
hingga makna Pasca Quranik, dan seterusnya. Letak perbedaannya hanya pada
topik pembahasannya saja. Selain itu, ada satu lagi karya Ahmad Karomain44
yang
membandingkan Semantik al-Qur‟an Izutsu dengan Bint al-Syati.
G. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semantik Thosihiko Izutsu.
Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo tahun 4 Mei 1914 dan meninggal di Kakamura 7
Januari 1993. 45
Toshihiko Izutsu merupakan intelektual yang jenius, terutama
dalam bidang bahasa. Toshihiko Izutsu menguasai beberapa bahasa dunia, seperti
Arab, Yunani, Inggris, dan sebagainya. Kemampuan ini menunjukkan Toshihiko
Izutsu memiliki kapasitas yang kuat dalam menjelaskan persoalan bahasa.
Penyelidikannya terhadap kebudayaan dunia dapat dijelaskan secara spesifik
dalam mencari substansi berbagai sistem keagamaan maupun filsafat melalui
bahasa. Di antaranya filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan,
mistisisme Islam, Yahudi, India, Konfusianis, Taoisme, maupun filsafat Zen.46
Semantik menurut Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung atau pandangan dunia masyarakat yang
44
Ahmad Karomain. “Semantik al Quran Menurut Bint al Syati dan Toshihiko Izutsu.”
Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016. 45
Fatturahman, Konsep Semantik Al-Qur‟an Perspektif Toshihiko Izutzu” dalam Tesis
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN, 2013), h. 52. 46
Fatturahman, “Konsep Semantik”, h. 53.
12
menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang
lebih penting lagi, pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya. 47
Dalam semantik, Toshihiko Izutsu menekankan pentingnya makna dasar
atas kata atau term itu sendiri, terutama dalam memahami al-Qur‟an. Hal ini
mengarahkan „kata kunci‟ sebagai langkah pemaknaan diakronis terhadap term-
term pada al-Qur‟an. Toshihiko Izutsu memberikan tiga alasan mengenai
pentingnya kata kunci dalam analisis semantiknya. Pertama terdapat keterkaitan
antara term yang dipahami dengan kata kunci yang menjadi kunci pemaknaan
yang komprehensif. Kedua kata kunci menunjuk pada makna yang baru atau
keistimewaan makna atas term yang digunakannya. Ketiga semantik historis
memiliki kelebihan dibanding semantik statis dalam memahami kosakata dalam
al-Qur‟an.48
H. Metodologi Penelitian
Penelitian membutuhkan suatu metode49
agar mencapai hasil yang objektif,
sistematis dan ilmiah. Metode merupakan sarana yang amat penting untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah penelitian. Dalam
penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa kerangka metode
penelitian sebagaimana berikut:
1. Sumber Data
Secara umum, sumber data dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer
dan sumber data sekunder. Dalam penelitian ini, penulis mengambil sumber
47
Toshihiko Izutzu, God and Man in the Koran: Semantic of The Qur’anic
Weltanschauung, (Tokyo; Keio University Press, 2008), h. 2. 48
Izutzu, God and Man in The Koran, h. 32. 49
Adapun metode yang dimaksud disini adalah metode penelitian, hal ini mengacu pada
pengertian metode penelitian yaitu ilmu yang mempelajari metode-metode penelitian, lihat, Noeng
Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Reka Sarasih, 1996), h. 15.
13
primernya dari ayat-ayat ikhlas serta dengan berbagai derivasiannya yang terdapat
dalam al-Qur‟an. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah
menggunakan buku karya Toshihiko Izutsu berjudul God and Man in the Koran
untuk menggali pemikiran semantik al-Qur‟an Izutsu. Selanjutnya menggunakan
kitab Tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsyari untuk menggali makna Ikhlaṣ dalam al-
Qur‟an. Penulis memilih Tafsir al-Kasyaf karena kitab ini sangat cocok untuk
mengkaji al-Qur‟an secara kebahasaan. Selain itu juga mengambil dari karya-
karya ilmiah lainnya, jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi yang berkaitan dengan
tema ikhlas, Semantik, dan Thosihiko Izutsu.
2. Tehnik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang berupa buku dan karya ilmiah tertulis,
maka teknik pengumulan data dalam penelitian ini ialah tergolong dalam
penelitian kepustakaan atau Library Reseach. Data dicari dan dikumpulkan
melalui cara online dan offline. Cara online ditempuh dengan mengakses website
books.google.co.id, scholar.google.co.id, portalgaruda.org, onesearch.id, dan
Digital Library beberapa Universitas. Sedangkan cara offline, penulis
melakukannya dengan datang ke perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah dan
Universitas Indonesia.
3. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analis isi50
dan
semantik, dengan tahapan sebagai berikut :
50
Analisis Isi adalah tehnik penelitian khusus untuk melaksanakan analisis tekstual.
Analisis Isi termasuk mereduksi teks menjadi unit-unit dan membuat skema pengodean dalam
unit-unit tersebut. Lihat terjemahan Maria Natalia, Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan
Aplikasi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2008). h. 86.
14
a) Mendeskripsikan makna dasar kata Ikhlas yang terdapat dalam berbagai
kamus dan sumber lainnya, seperti puisi-puisi Arab klasik.
b) Melihat makna Ikhlas berdasarkan pendekatan sintagmatik, yaitu
menguraikan relasi makna ikhlas berdasarkan kata-kata yang
menyertainya.
c) Mencari hubungan asosiasi kata ikhlas secara secara paradigmatik
dengan melihat hubungan makna yang mendekati (similiarity) makna
kata ikhlas.
d) Menyusun jaringan asosiasi medan semantik ikhlas.
e) Mencari Weltanschaung ikhlaṣ dalam al-Qur‟an.
4. Tehnik Penulisan
Tehnik penulisan penelitian ini berdasarkan pada Pedoman Akademik
tahun 2011/2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu
pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin / Hipius (Himpunan Peminat
Ilmu Ushuluddin).
I. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis agar memperoleh hasil yang
terarah, skripsi ini diuraikan ke dalam beberapa bab dengan sub-subnya
sebagaimana berikut :
Bab pertama: pendahuluan, bagian ini menjelaskan latar belakang
permasalahan kemudian diteruskan dengan rumusan masalah sebagai bingkai
penentu arah, dengan ditunjang oleh tujuan serta manfaat penelitian. Kemudian
15
ada tinjauan pustaka sebagai penjelasan tentang penelitian terdahulu yang relevan,
disertai dengan metode penelitian untuk mendapatkan hasil yang optimal. Penulis
mengakhiri bab ini dengan sistematika penulisan. Bab pendahuluan disusun
dengan tujuan untuk memerkenalkan pokok-pokok penelitian ini.
Bab dua: membincang Toshihiko Izutsu, mulai dari biografi, pemikiran,
hingga respon dari beberapa sarjana muslim tentang pemikiran semantik al-
Qur‟an Izutsu. Biografi Izutsu perlu ditulis agar pembaca mengenal Izutsu dan
latar belakang pemikirannya. Lalu ada sub bab tentang respon sarjana muslim,
hal ini ditujukan untuk memperkaya wawasan tentang pemikiran Izutsu.
Bab tiga: membahas tentang pengertian Ikhlas dan tafsirnya. Posisi bab
ketiga adalah lanjutan dari bab kedua. Setelah kita memahami siapa Izutsu dan
apa pemikirannya, kita dihantarkan untuk memahami makna Ikhlaṣ dalam al-
Qur‟an dari beberapa kitab tafsir, dalam konteks ini penulis mengutip Tafsir al-
Kasyaf. Pengertian Ikhlas dalam karya tafsir perlu disampaikan sebelum kita
mencari makna kata Ikhlas menggunakan pendekatan semantik Izutsu, supaya kita
mengetahui makna dasar Ikhlas.
Bab empat: membahas tentang tehnik semantik Toshihiko Izutsu dan
penerapannya pada kata Ikhlaṣ. Bab ini merupakan pokok penelitian dalam skripsi
ini. Di akhir bab ini, penulis mencantumkan uraian tentang penggunaan praktis
kata Ikhlas di kalangan masyarakat serta relevansinya dengan pandangan al-
Qur‟an. Tujuannya, agar penelitian ini menemukan kegunaannya dan tidak hanya
menjadi wacana yang kosong.
Bab lima: kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban atas
batasan dan rumusan yang telah dibuat. Adapun saran berisi tentang saran kepada
16
peneliti selanjutnya yang akan meneliti baik ikhlas maupun semantik Toshihiko
Izutzu.
16
BAB II
TAFSIR DAN ANALISIS SEMANTIK
A. Tafsir dan Metode Tafsir
1. Pengertian Tafsir
Tafsir secara bahasa ada beberapa pendapat diantaranya yaitu: Pertama al-
Tafsirah, al-fasr yang berarti sebuah riset yang dilakukan oleh dokter pada urine
pasien untuk mengetahui penyakitnya. Kedua, fasartu al-faras yang berarti
melepaskan kuda. Ketiga safarat al-mar’ah yang berarti terbukanya cadar
perempuan. Kelima fusirat al-Naurah yang berarti memercikan air pada kapur
sehingga kapur teruarai.
Keenam, al-Iḍāḫ al-Ṭabyīn yang bermakna menjelaskan dan
menerangkan.1 Dari penelusuran ini menurut bahasa, tafsir adalah bermakna
terbuka dan jelas baik itu diterapkan pada benda yang abstrak maupun benda yang
terwujud.2 Bagi ahmad Warson,
3 mendefinisikan tafsir terdiri dari isim masdar
yang di derifasi menjadi kalimat fi’il yaitu: Fassara-yufassiru-tafsirān yang
berarti, pemahaman, menjelaskan, penafsiran4, menyingkap, menampakan
penjelasan makna yang abstrak5. Sedangkan Ali Ḥasan, mendefinisikan tafsir
sebagai ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur‟an,
makna-makna yang ditunjukan dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri
atau tersususn, serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan
1 Muhammad Sayyid Thantawi. Ulumul Qur’an: Teori & Metodologi. (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2013) h. 139. 2 Tim Raden 2011. Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. (Kediri:
Lirboyo Press, 2011), h, 187-189. 3 Ahmad Warson Munawir. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. (Surabaya: Progresif
1997) h, 878. 4 Edi Affanuriza. “An-Nafs Al-Mutmainnah dalam al-Qur‟an menurut Imam al-Mahalli
dan Imam al-Suyuti dalam Tafsir Jalalin”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, (Kudus: Sekolah
Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Kudus, 2015), h. 35. 5 Faizal Amin. “Metode Tafsir tahlili: Cara Menjelaskan al-Qur‟an dari berbagai segi
berdasarkan susunan Ayat.” Kalam, Vol. 11 No. 1 (Juni 2017), h. 235-266.
17
tersusun.6 Akan tetapi Lilik Umi Kaltsum mendefinisisikan tafsir adalah
penghubung antara teks dengan realita.7
Tafsir secara istilah dibagi menjadi dua bagian8 yaitu: tafsir sebagai
disiplin ilmu dan tafsir sebagai kegiatan. Adapun tokoh-tokoh yang berpendapat
tentang tafsir sebagai sebuah disiplin ilmu diantaranya adalah al-Zarkasyǐ9, al-
Suyūṭī, Abū Ḥayyān al-Ālūsī10
, mereka berpendapat bahwa tafsir sebagai disiplin
ilmu yang digunakan untuk mengkaji al-Qur‟an secara komprehensif. Sedangkan
tokoh yang menyatakn bahwa tafsir sebagai kegiatan adalah al-Jurjâni, al-
Dzahabī, al-Kilabī,11
dan al-Jazairi.12
2. Metode Tafsir
Kata metode berasal dari bahasa yunai methodos yang berarti cara atau
jalan.13
Diserap kedalam bahasa inggris menjadi method, sedangkan dalam bahasa
Arab menjadi manhaj atau thariqat, menurut KBBI kata metode bermakna cara
yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan sebaginya): cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
6 Ali Hasan al-„Aridl. Sejarah Metodologi tafsir. (Jakarta: Raja Grafindo, 1994) h. 3.
7 Lilik Umi Kaltsum. Metode Tafsir Tematis M. Bâgir al-Shadr: Mendialogkan Realitas
dengan Teks. (Surabaya: Cv Putra Media Nusantara, 2010) h. 26. 8 Tim Raden 2011. Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. (Kediri:
Lirboyo Press, 2011) h. 190. 9 Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna
kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum
dan hikamhnya. Lihat Rosihon Anwar. Ilmu Tafsir, h. 143. 10
Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata dalam al-Qur‟an serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hukum dan makna-makna yang terkandung
didalamnya. Lihat Rosihon Anwar. 11
Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an. (Bandung: Bulan Bintang,
1994) h. 178. 12
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar
sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalah-nya. Lihat Rosihon Aanwar. Ilmu Tafsir. h. 142. 13
Hujair A. H. Sanaky. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin) Al Mawardi Edisi XVIII, (2008), h. 263-284.
18
pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai suatau tujuan yang ditentukan.14
Dalam kaidah ilmu tafsir al-Qur‟an setidaknya terdapat dua metode yaitu: metode
tafsir dan metodologi tafsir.
Metode tafsir adalah cara-cara yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk
sampai kepada makna-makna al-Qur‟an15
sedangkan menurut Nasruddin metode
tafsir adalah sepeangkat pedoman dan aturan yang dipilih oleh mufassir untuk
melakukan pendekatan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an demi tujuan-tujuan tertentu
yang ingin dicapainya.16
Adapun metodologi tafsir adalah Ilmu tentang cara
tersebut, jadi metode tafsir adalah kerangka atau kaidah yang digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an sedangkan Metodologi tafsir adalah pembahasan
ilmiah tentang metode-metode tafsir.17
3. Metode Tafsir Maudū’i
Metode mauḍū’i ialah metode yang membahas ayat-ayat al- Qur‟an sesuai
dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti Asbāb al-Nuzūl, kosakata, dan sebagainya. Semua
dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari
al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.18
Jadi, dalam metode ini, tafsir al-
Qur‟an tidak dilakukan ayat demi ayat, melainkan mengkaji al-Qur‟an dengan
14
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Cet. Ke-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) h.
580-581. 15
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Kalsik-Modern.
(Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2011) h. 25. 16
Nasruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2000) h. 2. 17
Hujair A. H. Sanaky. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin) Al Mawardi Edisi XVIII, (2008), h. 263-284. 18
Amin Suma, h. 390.
19
mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan
kosmologis yang dibahas oleh al-Qur‟an.19
Prinsip utama dari metode tematik
adalah mengangkat isu-isu doktrinal kehidupan, isu sosial ataupun tentang kosmos
untuk dikaji dengan teori al-Qur‟an, sebagai upaya menemukan jawaban dari al-
Qur‟an terkait tema tersebut.20
Dari pengertian di atas, akan timbul dua pemahaman terkait metode
mauḍū‟i. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur‟an dengan
menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam
dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut,
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.21
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an
yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur‟an dan
sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur‟an
secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.22
Menurut al-Farmawī metode mauḍū‟i ada dua bentuk, mauḍū’i
berdasarkan surat dan berdasarkan tema.
a) Berdasarkan Surat
Yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi
kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan
menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga
19
Al-Hay al-Farmawy, h. 52. 20
Muhammad Baqr al-Sadr, h. 14. 21
Tim Sembilan, Tafsir Mauḍū’i al-Muntaha, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004),
jilid I, h. 20 22
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 74.
20
surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan
cermat.23
Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah:
1. Pengenalan nama-nama surat
2. Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an
3. Pembagian surat ke dalam beberapa bagian
4. Penyatuan beberapa tema ke dalam tema utama.24
Contoh kitab tafsirnya seperti Tafsir Qur’ān al-Karim karya Syaikh Maḥmud
Syaltut, Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū’i li suwar al-Qur’an al-karīm karya
Muhammad Ghazali, dan al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū’i
li al-āyāt al-Qur’āniyyah karya al-Ḥusain Abu Farhah.25
b) Mauḍū’i atau Tematik
Metode mauḍū‟i atau tematik, bentuk kedua ini menghimpun pesanpesan al-
Qur‟an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja.26
Tafsir dengan metode
mauḍū’i ialah menjelaskan konsep al-Qur‟an tentang suatu masalah/tema
tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Qur‟an yang membicarakan
tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut di kaji secara
komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari
segi asbāb al-nuzūl-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para
mufassir tentangr makna masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek
lainnya yang dipandang penting. Ayat-ayat tersebut dipandang sebagai satu
23
Al-Farmawy, h. 35 24
Muṣṭafā Muslim, Mabāḥiṡ fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), h.
28-29 25
Ahmad Syukri Saleh, op. cit., h. 53 26
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), h. xiii
21
kesatuan yang integral membicarakan suatu tema (mauḍū’i) tertentu didukung
oleh berbagai fakta dan data, dikaji secara ilmiah dan rasioanal.27
Langkah-langkah untuk menempuh metode ini adalah sebagai berikut:
1. Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara
tematik;
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang
ditetapkan, ayat makiyyah dan madaniyyah;
3. Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa
turunnya, disertai pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau
asbāb al-nuzūl;
4. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masingmasing suratnya;
5. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna, dan utuh (outline);
6. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan
cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang „ām dan khāṣ, antara yang
muṭlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya
tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nāsikh dan mansūkh, sehingga
semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
27
Acep Hermawan, Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung :Remaja
Posdakarya, 2011), h. 118-119.
22
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-maknab yang sebenarnya tidak tepat.28
Contoh kitab tafsir mauḍū‟i seperti Kitab Min Hadza al-Qur’an karya
Mahmud Syaltut, Al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas Mahmud al-„Aqqad,
Al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A‟la al-Maududi.29
B. SEMANTIK
1. Pengertian Semantik
Semantik merupakan teori untuk mendapatkan makna, atau teori arti.30
Secara etimologi, semantik berasal dari Yunani yang berupa seman yang berarti
tanda atau lambang. Adapun tanda merupakan objek yang memiliki memiliki
petanda dan penanda atau penunjuk.31
Arti atau makna inilah yang didapatkan dari
sebuah tanda melalui petunjuk-petunjuk dalam tanda tersebut.
Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian studi tentang
makna. Semantik berhubungan dengan simbol-simbol linguistik dengan mengacu
kepada makna sebenarnya yang dituju.32
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
semantik merupakan cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
Objek utama semantik adalah bahasa, sebab semantik secara definisi
mengungkap makna atas bahasa tersebut. Semantik adalah bagian dari struktur
bahasa (language structure) yang berhubungan dengan makna ungkapan dan
makna suatu wicara atau sistem penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa
pada umumnya. Semantik juga banyak membicarakan ilmu makna, sejarah
28
Al-Ḥayy Al-Farmawiy, op.cit., h. 45-46 29
Said Agil Husin al-Munawar dan Masykur Hakim, I‟jaz al-Qur‟an dan Metodologi
Tafsir, (Semarang: Dina Utama Semarang (Dimas), 1994), h. 40 30
Abdul Chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Renika Cipta, 2002), h.
2. 31
Abdul Chair, Pengantar Semantik, h. 4. 32
Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 981.
23
makna, bagaimana perkembangannya dan mengapa terjadi perubahan makna
dalam sejarah bahasa.
Makna bahasa beragam sesuai konteks penggunaannya dalam kalimat.
Karena itu, dalam analisis semantik harus disadari bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan erat dengan masalah budaya. Karenanya, analisis suatu
bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk
menganalisis bahasa lain.
Semantik terdiri dari dua komponen, Pertama komponen yang
mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa. Kedua komponen yang
diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini
merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangkan
adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut referen atau hal
yang ditunjuk.33
Dalam usaha mencari makna dalam bahasa, semantik memiliki tiga cara.
Pertama memberikan definisi hakikat makna kata. Kedua mendefinisikan hakekat
makna kalimat. Ketiga menjelaskan proses komunikasi. Pada cara yang pertama,
makna kata diambil sebagai konstruk, yang dalam konstruk itu makna kalimat dan
komunikasi dapat dijelaskan. Pada cara yang kedua, makna kalimat diambil
sebagai dasar, sedangkan kata-kata dipahami sebagai penyumbang yang
sistematik terhadap makna kalimat. Pada cara yang ketiga, baik makna kalimat
maupun makna kata dijelaskan dalam batas-batas penggunaannya pada tindak
komunikasi.34
33
Abdul Chair, Pengantar Semantik, h. 2. 34
Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Flores: Nusa Indah, 2001), h. 9.
24
Sebagai sebuah ilmu, semantik memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu
lain, baik ilmu-ilmu bahasa maupun nonbahasa. Di antara ilmu bahasa yang
berkaitan adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan sastra. 35
Pertama Fonologi merupakan ilmu tentang fonem (bunyi) yang
merupakan unsur terkecil dari bahasa. Perbedaan fonem yang dimiliki sebuah kata
dapat membuat perbedaan makna. Hubungan semantik dengan fonologi adalah
sebagai ilmu yang mempelajari kaidah bentuk dan pembentukan kata. Kedua
Morfologi memiliki hubungan erat dengan semantik. Hal ini dikarenakan
pembentukan kata yang salah akan mengakibatkan makna kata tersebut berbeda
atau bahkan tidak bermakna.
Ketiga Sintaksis merupakan cabang linguistik yang mempelajari struktur
kalimat dan bagian-bagiannya. Ramlan (1987: 21) menjelaskan sintaksis sebagai
cabang ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk wacana, kalimat, klausa, dan
frasa. Kalimat yang tersusun secara teratur akan lebih mudah dipahami maknanya
dibanding kalimat yang susunannya tidak teratur. Sebuah kalimat tersusun dari
beberapa fungsi sintaksis seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan. Fungsi
sintaksis tersebut harus tersusun secara logis agar makna kalimat mudah
dipahami. Keempat Sastra merupakan karya fiksi yang menggunakan bahasa
sebagai media penyampai pesannya. Karena penggunaan bahasa ini sastra
bersinggungan dengan semantik. Tetapi, berbeda dengan bahasa ilmiah dan
bahasa sehari-hari, bahasa sastra merupakan salah satu bentuk idiosyncratic, yaitu
kata-kata yang digunakan adalah hasil kreasi ekspresi penulisnya. Penggunaan
gaya bahasa yang tidak lazim dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah
35
Mohamad Jazeri, Semantik; Teori Memahami Makna Bahasa, (Tulungagung:
Tulunggagung Pres, 2012), h. 8.
25
banyak dijumpai dalam karya sastra. Bahasa metaforis dan alegoris menjadi
bagian yang membuat sebuah karya sastra menarik dibaca dan dimaknai.36
Adapun hubungan semantik dengan non-linguistik mencakup sosiologi,
psikologi, antropologi, dan filsafat. Hubungan dengan sosiologi sebagaimana
ungkapan bahasa menunjukkan bangsa menggambarkan hubungan antara
semantik dengan sosiologi. Kata atau kalimat yang digunakan masyarakat tertentu
dapat mengandung makna berbeda pada masyarakat lainnya. Dengan demikian,
kata tertentu dapat menandai identitas kelompok penuturnya. Hubungan semantik
dengan psikologi ini tampak pada sejumlah aliran dalam psikologi seperti
behaviorisme dan kognitivisme. Psikologi behavioris memahami makna berdasar
relasi stimulus dan respon sesuai dengan asosiasi dan hasil belajar yang dimiliki.
Psikologi kognitivisme beranggapan bahwa makna bahasa berkaitan dengan aspek
kejiwaan dalam kaitannya denga referen yang diacu dan konteks pemakaiannya.
Satu kata dapat memiliki makna berbeda sesuai konteks penggunaannya.37
Hubungan semantik dengan ilmu antropologi memiliki wilayah kajian
yang relatif sama dengan sosiologi, yakni masalah manusia dalam masyarakat.
Dengan kata lain, sosiologi dan antropologi sama-sama mengkaji fenomena sosial
dan kultural suatu masyarakat. Budaya yang berbeda menyebabkan ekspresi
bahasa yang berbeda pula meskipun realitas yang ingin diungkapkan sama.
Hubungan antara filsafat dan semantik terlihat dalam aktivitas berfilsafat yang
memerlukan bahasa sebagai media proses berpikir dan menyampaikan hasil
berpikir tersebut. Jika berfilsafat adalah aktivitas berpikir, maka bahasa dan
pikiran diyakini memiliki hubungan timbal balik. Pikiran mempengaruhi bahasa
36
Mohamad Jazeri, Semantik, h. 9-11. 37
Mohamad Jazeri, Semantik, h. 12.
26
dan bahasa mempengaruhi pikiran. Manusia tidak dapat berpikir atau menangkap
kesan dan membentuk sebuah gagasan tanpa bahasa. Tanpa bahasa, manusia tidak
akan memahami apa yang dibaca, apa yang dilihat, dan apa yang diamati. Oleh
karena itu, realitas hanya dapat terungkap ketika realitas tersebut terekspresikan
dalam bahasa.38
2. Semantik Al-Qur’an
Memahami al-Qur‟an dengan pendekatan semantik berarti memposisikan
al-Qur‟ab dari segi bahasa. Al-Qur‟an sebagai wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad bisa dipastikan menggunakan bahasa. Dengan demikian
menganalisis terhadap bahasa pada al-Qur‟an adalah langkah dasar dalam
semantik.
Menurut M. Nur Khalis salah satu hal yang disepakati oleh berbagai
mazhab semantik dalam keilmuan kontemporer adalah pembedaan antara makna
dasar dan makna relasional. Makna dasar yang dimaksud di sini adalah kandungan
kontekstual dari kosakata yang akan melekat pada kata tersebut, meskipun kata
tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat. Sementara itu, makna
relasional adalah makna konotatif, yang dalam prakteknya, sangat bergantung
pada konteks sekaligus relasi dengan kosakata lainnya dalam kalimat.
Salah satu bentuk penafsiran al-Qur‟an dengan pendekatan semantik
terdapat pada al-Asybāh wa al-Nazhā’ir fi al-Qur’ān al-Karim dan Tafsir Muqātil
ibn Sulaymān karya Muqātil ibn Sulaymān. Pada tahap ini Muqātil telah
membedakan antara makna dasar dan makna relasional. Contoh penafsirannya
adalah kata “yadd” yang menurutnya dalam konteks pembicaraan al-Qur‟an
38
Mohamad Jazeri, Semantik, h. 13-14.
27
memiliki tiga alternatif makna. Pertama, bermakna tangan secara fisik sebagai
anggota tubuh Kedua, bermakna kedermawanan, dan Ketiga bermakna
perbuatan.39
Luthviyah Romziana menjelaskan analisis semantik dengan empat elemen.
Pertama makna dasar (groundbedeutung) merupakan kandungan kontekstual dari
kosakata yang akan tetap melekat meskipun dipisahkan dari konteks pembicaraan.
Kedua makna relasional (relational bedeutung) adalah sesuatu yang konotatif
yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan
kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda
dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Ketiga struktur batin (deep structure) mengungkap fakta pada dataran
yang lebih abstrak dan riil, sehingga fakta tersebut menimbulkan kekaburan dalam
dataran manapun, dan semua ciri struktural dapat diungkap dengan jelas ke
permukaan. Keempat medan semantik (semantik field) Dalam bahasa ada banyak
kosakata yang memiliki sinonim, terlebih dalam bahasa Arab. Aspek budaya
terkadang juga masuk dalam aspek kebahasaan, meski kosakata itu sama, namun
penggunaannya berbeda.40
Menurut Toshihiko Izutsu, analisis semantik tidak lain untuk menemukan
pandangan dunia (weltanschauung). Menurutnya, semantik bukan hanya analisis
terhadap struktur kata maupun makna aslinya, akan tetapi juga analisis terhadap
istilah kata kunci dari satu bahasa. Sebab bahasa menurut Toshihiko Izutsu tidak
hanya alat untuk berkomunikasi saja, akan tetapi juga sebagai alat untuk
39
Saiful Fajar, “Konsep Syaithan dalam Al-Qur‟an; Kajian Semantik Izutzu” dalam
Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017, h. 25. 40
Luthviyah Romziana, “Pandangan Al-Qur‟an tentang Makna Jahiliyah Perspektif
Semantik” dalam Jurnal Mutawattir, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Vol. 4 No. 1 (Probolinggo;
Institut Agama Islam Nurul Jadid, 2014), h. 121-122.
28
menangkap dan menerjemahkan dunia sekelilingnya.41
Semantik dalam
pengertian ini, adalah semacam Weltanschauung-lehre, kajian tentang sifat dan
struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode
sejarahnya yang signifikan, dengan menggunakan alat analisis metodologis
terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan.
Menurut Izutsu, untuk memahami teks-teks al-Qur‟an dapat dilakukan
melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah dengan memilih istilah-istilah kunci (key
word) dari al-Qur‟an sesuai dengan bahasan yang dimaksud. Tahap kedua adalah
menentukan makna dasar (basic meaning) dan makna nasabi (relational
meaning). Tahap ketiga adalah menyimpulkan dan menyatukan konsep-konsep
tersebut dalam satu kesatuan.
Kata kunci merupakan konsep yang menjelaskan hubungan atau
ketergantungan satu kata dengan kata lain di dalam al-Qur‟an. Istilah kata kunci
menjelaskan hubungan yang kompleks dan memiliki arah yang beragam. Setiap
kata terdapat kata yang menjadi anggotanya.42
Adapun makna dasar merupakan
bentuk makna semantik yang tetap ada pada bentuk kata tersebut di posisi apapun.
Kata dasar dari sebuah kata tertentu akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun
kata itu diletakkan. Dalam konteks al-Qur‟an, kata dasar dapat diterapkan dengan
memberikan makna dasar atau kandungan kontekstualnya pada kata tertentu
dalam al-Qur‟an, walaupun kata dasar tersebut diambil dari luar konteks al-
Qur‟an.43
Kata dasar dapat diteliti dengan cara mencari makna kata tersebut secara
41
Izutzu, God and Man in The Koran, h. 3. 42
Izutzu, God and Man in The Koran, h. 20. 43
Izutzu, God and Man in The Koran, h. 12.
29
leksikal dan meneliti dengan pandangan historis perkembangannya, dengan cara
ini otomatis akan diketahui weltanschauung kata tersebut.44
Adapun makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan
dan ditambahkan pada makna yang sudah ada (makna dasar) dengan
meletakkannya pada posisi khusus dalam bidang yang khusus juga.45
Posisi dan
letak merupakan relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem
tersebut. Dalam studi al-Qur‟an, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal
dan konseptual kata fokus dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.46
44
Zuhadul Ismah, “Konsep Iman Menurut Izutzu”, h. 210. 45
Izutzu, God and Man in The Koran, h. 13. 46
Umma Farida, Pemikiran & Metode Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Yogykarta: Idea
Press, 2010), h. 69.
30
BAB III
GAMBARAN UMUM IKHLAS
A. Pengertian Ikhlas
Secara etimologi ikhlas diambil dari kata خالصب – خصب – خص yang
berarti murni, tiada bercampur, bersih, jernih.1 Ikhlas diambil dari bahasa Arab
merupakan bentuk masdar dan fi’ilnya adalah akhlaṣa, fi’il tersebut berbentuk
mazid. Adapun bentuk mujarradnya adalah khalāṣa. Makna khalāṣa adalah bening
(ṣafa), segala noda hilang darinya, jika dikatakan khalāṣa al-mā’a min al kadar
(air bersih dari kotoran) artinya air itu bening, jika dikatakan dhahaban khalis
(emas murni).2
Arti yang diambil dari bahasa Arab berbeda dengan arti yang terdapat
dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus bahasa Indonesia, ikhlas berarti (1) hati
yang bersih (kejujuran); (2) tulus hati (ketulusan hati) dan (3) Kerelaan.3
Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertian menurut asal
katanya (etimologi) maupun menurut penggunaan al-Quran atau istilah
keagamaan (terminologi).
Adapun pengertian ikhlas secara definisi adalah sebuah sikap kejiwaan
seorang muslim yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena
Allah SWT. hal itu ia lakukan demi meraih rida dan kebaikan pahala-Nya, tanpa
sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan
sebagainya.4 Namun menurut Erbe Sentanu ikhlas merupakan Defaul Factory
Setting manusia, yakni manusia sudah dilahirkan dengan fitrah yang murni dari
1Achmad Warson Munawir, Kamus Munawir; Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1999), h. 359. 2 Ibn Manẓûr, Lisân al-Arab, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1119 H), h. 976.
3 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 322. 4 Ramadhan, Muhammad, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Sofa (Solo: Abyan, 2009),
9.
31
Ilahi, hanya saja manusia itu sendirilah yang senang mengondisikannya sehingga
kesempurnaannya menjadi berkurang, ini akibat berbagai pengalaman hidup dan
ketidaktepatan dalam berfikir atau berprasangka, sehingga hidupnya pun menjadi
penuh kesulitan.5 Dengan kata lain ikhlas merupakan sikap dan pengelolaan diri.
Menurut Imam Al-Ghazāli ikhlas adalah sesuatu yang murni yang tidak
tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Seperti kalimat madu itu
murni jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran lain.6 Sedangkan
menurut Imam Nawawi ikhlas merupakan sikap yang gerakan dan diam yang
dilakukan, yang tersembunyi maupun yang tampak semuanya dipersembahkan
untuk Allah SWT semata tanpa dicampuri dengan kehendak diri dan hawa nafsu
serta tidak pula karena duniawi.7
Dengan merujuk pada pengertian yang dijelaskan di atas, maka ikhlas
dapat disimpulkan suatu sikap yang dilakukan sepenuhnya untuk Allah tanpa
harus ditunjukkan kepada yang lainnya. Dengan kata lain Ikhlas yaitu
melaksanakan perintah Allah dengan pasrah tanpa mengharapkan sesuatu, kecuali
keridhaan Allah. Dengan demikian pengertian ikhlas lebih dekat dengan
penjelasan dalam perspketif sufistik. Pada ajaran sufi keikhlasan adalah suatu
yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat
maupun tindakan.8
Pengertian ikhlas yang diorientasikan terhadap ketauhidan tercermin
dalam al-Qur‟an surat Al-Ikhlāṣ. Surat tersebut terdiri dari empat ayat, namun
5 Damanhuri, Akhlak Tasawuf (Banda Aceh: Penerbit Pena, 2010), h. 170.
6 Imam Al-Ghazali, Ikhtisar Ilhya Ulumuddin, Terj. Mochtar Rasidi dan Mochtar Yahya.
(Yogyakarta: PT. Al. Falah, 1966), h. 54. 7 Muhammad Nawawi, Maraqi al-Ubudiyah Fi Syarkhi Bidayatul Hidayah (Semarang:
Toha Putra, 2000), h. 9. 8 M. Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf
Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani (Jakarta: Pustaka Bulan Bintang, t.t), h. 94-95.
32
tidak ada satupun kata ikhlas di dalamnya. Dalam Lisān al-‘Arab juga ditegaskan
bahwa ikhlas adalah kalimat tauhid itu sendiri.9 Maka kesimpulan yang bisa
dipahami dalam ikhlas dan tauhid sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf
Qardlawi. Menurutnya yang dimaksud ikhlas di atas adalah membersihkan hak
ketuhanan sepenuhnya berupa pengagungan, kecintaan, kepatuhan yang mutlak.10
Dari penjelasan pengertian ikhlas, Solikhin memberikan empat tanda-tanda
mengenai ikhlas. Pertama, bersemangat dalam beramal dan beribadah karena
Allah dan untuk syiar islam. Kedua, Amal yang dilakukan secara rahasia lebih
banyak jumlahnya dari pada amal yang dilakukan secara terang-terangan. Ketiga,
bersegera dalam mengerjakan amal kebaikan dan menuai ridha Allah. Kempat,
sabar, bertahan, dan tidak mengeluh dalam mengerjakan amal kebajikan.11
Ikhlas merupakan sifat yang melekat dalam diri manusia. Pada penjelasan
lebih lanjut Nurkcholish Madjid membuat tiga tingkatan dalam ikhlas. Pertama
golongan al-Abrar (pelaku kebajikan) ialah dengan keikhlasan amalnya
menyelamatkan dirinya dari riya‟ baik yang nampak maupun tersembunyi dan
tujuannya memenuhi keinginan diri, yakni mengharap limpahan pahala dan
kebahagiaan di akhirat sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah untuk orang-orang
yang ikhlas, serta menghindarkan diri dari kepedihan azab dan perhitungan
(ḥisab) yang buruk sebagaimana diancamkan Allah kepada orang yang tidak
ikhlas. Kedua golongan Muhibbah yaitu orang-orang yang mencintai Allah ialah
beramal kepada Allah dengan maksud mengagungkan-Nya. Jadi dia beramal
bukan mengharap pahala dan bukan karena takut akan siksa-Nya. Ketiga,
9 Ibn Manẓûr, Lisân al-Arab, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1119 H), h. 976.
10 Yusuf Qardhawi, Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1992), 43. 11
M. Sholihin, Epistemologi Ilmu dalam Pandangan Imam Al-Ghazali, (Jakarta: Pustaka
Setia, 2001), h. 300.
33
golongan yang dekat kepada Allah (al muqarrabu) ialah orang meniadakan
penglihatan untuk peranan diri sendiri dalam amalnya, jadi keikhlasan ialah tidak
lain daripada kesaksiannya akan adanya hak pada Allah Yang Maha Benar
semata, untuk membuat orang itu bergerak atau diam, tanpa ia melihat adanya
daya kemampuan pada dirinya sendiri.12
B. Ikhlas Dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Quran, ikhlas dengan berbagai bentuknya secara menyeluruh
ditemukan sebanyak 31 kali, sedangkan jumlah kalimat yang berbeda ada 14
kalimat. Adapun perinciannya sebagaimana berikut:
-خصا ص -أصذا -أخصب ص -أسخخ خب صت -ا صب خب صب -خب خ - ص خ -
ص١ خ خصب - - خص١ ا
Adapun penggunaan ikhlas dalam ayat terdapat Yūsuf: 24-80-54, Ṣād:
46-47-83, Al-Nisā: 146, Al Zumar: 2-3-11-14, Al-Naḥl: 66, Al Baqarah: 94, Al-
An‟am: 139, Al-A‟raf: 32, Al-Aḥzab: 50, Al-Baqarah: 139, Al A‟raf: 29, Yūnus:
22, Al „ankabut: 65, Luqman: 32, Ghafir: 14- 65, Al Bayyinah: 5, Maryam 51,
Al-Hijr: 40, Al-Ṣāfāt: 40- 74-128,-160, -169. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di
bawah ini:
Tabel 2.1
Ayat-ayat ikhlas
No Surat Kata Makna Ayat
1 Yusuf: 80 خصا Menyendiri
atau
memisahkan
خصا ج١ب لبي ب اسخ١ؤسا ف
لذ أخز ع١ى أببو ا أ حع أ وب١ش
ف طخ ب فش لب الل ثمب ٠سف ف أبشح السض دخ ٠ؤر
١ ذبو خ١ش ا الل ٠ذى أب أ
2 Shad: 46 صت روش اذاس Terpilih أخصب بخب إب أخصب
3 Al Nisa‟: أصذا Memurnikan
(Berserah diri ا ببلل اعخص أصذا حببا إل از٠
12
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992), 48-49.
34
146 kepada Allah) ١ ؤ ع ا فؤئه لل أخصا د٠ ب أجشا عظ١ ١ ؤ ا ف ٠ؤث الل س
4 Yusuf: 54 ص Terpilih أسخخ ه ائخ ب لبي ا فس ص أسخخ
١ أ ى١ ذ٠ب ١ لبي إه ا ب و ف
5 Al Zumar: 3 ص خب Murni (agama) ا
احخزا از٠ ص خب ا ٠ اذ أل لل
بب ١مش إل ب عبذ ١بء أ د إ الل
ف١ ب ف ب١ ٠ذى الل ف إ ص
وبرة ذ ل ٠ الل إ ف ٠خخ
وفبس
6 Al Nahl: 66 صب خبSusu yang
murni/bersih
ب ف عبشة سم١ى عب ف ال ى إ صب سبئغب ب بب خب د فشد ب١ ط
شبسب١
7 Al Baqarah:
94
صت خب
dikhususkan
untuk mu
ذ الل اذاس ا٢خشة ع وبج ى إ ل
ث إ ا ا ابط فخ د صت خب
خ و صبدل١
8 Al An‟am:
139 Dikhususkan
untuk laki-laki
صت خب عب ال ز ب ف بط لبا ٠ى إ اجب ع أص ذش زوسب
إ صف ششوبء س١جض٠ ف١ ١خت ف ١ ع دى١
9 Al A‟raf: 32
Mengikhlaskan
ketaatanmu
(memurnikan
kepada Allah)
عببد اخ أخشج ص٠ت الل دش ل
ا آ ز٠ صق ل اش ١ببث اط ه ت وز م١ب ا صت ٠ ١ب خب ذ١بة اذ ف ا
٠ع م ا٠٢بث فص
10 Al Ahzab:
50
Pengkhususan
(untuk Nabi
Muhammad)
ح اجه اال ب ه أص إب أد ب اب ٠ب أ٠
ب أفبء ١ه ىج ٠ ب آح١ج أجس
ببث ع ع١ه بحه الل ببث ع ه
بجش ح ببث خبلحه اال ه ببث خب ب ب بج فس ت إ ؤ شأة ا عه صت ه ب خب ىذ ٠سخ أ أساد اب إ
ب ف ب لذ ع ١ ؤ ا د شضب ع١
ى١ال ٠ى ب ىج أ٠ ب اج ف أص
ب غفسا سد١ الل وب ع١ه دشج
11 Shad: 46 Diberikan
keistimewaan
(terpilih) صت روش اذاس بخب إب أخصب
12 Al Zumar: 2 صب خ Memurnikan
(taat kepada
Allah)
ذك فبعبذ الل ىخبة بب ب إ١ه ا ض إب أ
٠ صب اذ خ
13 Al Zumar:
11
Memurnikan
(taat kepada
Allah) ٠ صب اذ خ أعبذ الل شث أ إ أ ل
14 Al Zumar:
14
Memurnikan
(taat kepada
Allah) صب د٠ خ أعبذ الل ل
15 Al Baqarah:
139 ص خ
Kami
memurnikan
(ibadah kepada
Allah)
ب سبى ب سب ب ف الل أحذبج ل
ب أع ى بب أع ص خ ذ ى
16 Al A‟raf: 29 ص١ خ Kami ذ ع ى ج ا أل١ مسط ش سب بب أ ل
35
memurnikan
(ibadah kepada
Allah)
ب و ٠ اذ ص١ خ ادع سجذ و
حعد بذأو
17 Yunus: 22
Mengikhlaskan
(memurnikan
ibadahnya)
kepada Allah
بذش دخ إرا ا بش ف ا از ٠س١شو
بش٠خ ط١بت ب جش٠ ه ف ف ا خ و
جبء ب س٠خ عبصف ب جبءح فشدا ب ىب و ج ا أد١ط ب ا أ ظ
ج١خب أ ئ ٠ اذ ص١ خ ا الل دع
اشبوش٠ ى ز
18
Al
„ankabut:
65
Memurnikan
taatnya kepada
Allah
ص١ خ ا الل ه دع ف فئرا سوبا ف ا
٠ششو بش إرا إ ا ب ب ج ف ٠ اذ
19 Luqman: 32 Memurnikan
taatnya kepada
Allah
ا الل دع ج وبظ إرا غش١ بش إ ا ب ب ج ف ٠ اذ ص١ خ
مخصذ ف ب ٠جذذ بآ٠بحب إل و خخبس وفس
20 Ghafir: 14 Memurnikan
ibadah kepada
Allah
وش ٠ اذ ص١ خ فبدعا الل
ىبفش ا
21 Ghafir: 65 Memurnikan
ibadah kepada
Allah
ل إ إل ذ ا ص١ خ فبدع
١ عب سة ا ذ لل ذ ا ٠ اذ
22
Al
Bayyinah:
5
Memurnikan
ibadah kepada
Allah
ص١ خ ١عبذا الل شا إل ب أ وبة ٠ؤحا اض الة ا اص ٠م١ دفبء ٠ اذ
ت م١ ا ه د٠ ر
23 Maryam 51 خصب Orang yang
dipilih
خصب س إ وب ىخبة اروش ف ا ب١ب سسل وب
24 Yusuf: 24
خص١ ا
Hamba yang
terpilih
سأ ل أ ب ب ج ب مذ ب بش
فذشبء ا اسء صشف ع ه وز سب
خص١ عببدب ا إ
25 Al Hijr: 40 Hamba terpilih خص١ ا إل عببدن
26 Al Shaafaat:
40
Hamba yang
dibersihkan
(dari siksa dan
dosa)
إل خص١ ا عببد الل
27 Al Shaafaat:
74
Hamba yang
dibersihkan
(dari siksa dan
dosa)
خص١ ا إل عببد الل
28 Al Shaafaat:
128
Hamba yang
dibersihkan
(dari siksa dan
dosa)
خص١ ا إل عببد الل
29 Al Shaafaat:
160
Hamba yang
dibersihkan
(dari siksa dan
dosa)
خص١ ا إل عببد الل
30 Al Shaafaat:
169
Hamba yang
dibersihkan
(dari siksa dan خص١ ا ىب عببد الل
36
dosa)
31 Shad: 83 Hamba yang
terpilih إل عببدن خص١ ا
Shofaussamawati mengelompokkan ikhlas dalam tiga bentuk fi‟il, yakni:
khalaṣa sebanyak 8 kali, akhlaṣa sebanyak 22 kali, dan istakhlaṣa 1 kali.
Kemudian Shofaussamawati mengelompokkan ayat berdasarkan bentuk kata.
Pertama Dari bentuk khalaṣa terdapat 1 ayat yang menunjukkan pada al-Dīn dan
terdapat 11 ayat bermakna memurnikan peribadatan atau ketaatan kepada Allah
atau tulus ikhlas (mengerjakan) agama karena Allah. Sebagaimana terdapat pada
ayat Al-Nisā‟: 146, al-A‟rāf: 29, Yunus: 22, al-„Ankabūt: 65, Luqmān: 32, al-
Zumar: 2-11-14, al-Ghafir: 14-65, dan al-Bayyinah: 5. Kedua dari bentuk
akhlaṣna terdapat pada Ṣād: 46 yang berarti proses selalu dibarengi dengan
pengingatan dār-akhirat. Ketiga bentuk mukhliṣān terdapat pada ayat az-Zumar:
2,14, al-„Ankabūt: 65, Luqmān: 32, al-Ghafir: 14-65, al-Baqarah: 92.13
C. Tema-Tema Ikhlas
Kata ikhlas dalam al-Qur‟an secara umum mengarahkan pada kemurnian
dalam bentuk ketauhidan. Murni mencakup akidah yang tanpa syirik dan murni
semata taat kepada Allah. Selain itu makna ikhlas menunjukan murni adalah
karakteristik ajaran Islam.14
Oleh karena itu ikhlas merupakan pondasi penting
dalam membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah
penting, antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya
demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara kata nasihat
dalam bahasa Arab adalah tulus atau kemurnian. Ikhlas dalam agama atau akidah,
13
Shofaussamawati, “Ikhlas Perspektif Al-Qur‟an Kajian Tafsir Maudhu‟i” dalam Jurnal
Hermeneutik Vol. 7 No. 2 (Kudus: STAIN Kudus, 2013), h. 333-340. 14
Shofaussamawati, “Ikhlas Perspektif Al-Qur‟an”, h. 353.
37
adalah hakikat Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang
mutlak hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya, hal itu semua merangkum dalam
redaksi kalimat tauhid.15
Dari derivasi kata ikhlas di atas, penulis kemudian mengelompokkan
derivasi Ikhlas berdasarkan makna dalam tiga tema, terpilih, dibersihkan dan
dimurnikan. Berikut rinciannya:
1. Terpilih
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an terdapat satu kesatuan makna
yang berhubungan. Sebagaimana dalam surat Shad; 46, Yusuf; 54,
Maryam; 51, Yusuf; 24, Al-Hijr; 40, Shad; 83 terdapat kesamaan makna
berupa terpilih. Sebagai contoh, penulis mengambil ayat dalam Surat Ṣād;
46 berikut ini:
صت روش اذاس بخب إب أخصب
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.”
Dalam ayat tersebut terdapat dua derivasi kata ikhlas berupa أخصب dan
صت أخصب Keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda. Penggunaan .بخب
memiliki arti mensucikan. Akan tetapi pada derivasi صت berarti بخب
menganugerahkan dengan akhlak yang baik. Pada pemaknaan ini tidak
nampak apa dimaksud penganugerahan, namun jika melihat ayat
sebelumnya tentang Ibrahim, Isḥaq dan Ya‟qub adalah orang-orang yang
mulia. Dengan kata lain, penganugerahan dengan perbuatan baik berarti
Allah memilih mereka dengan memberikan akhlak yang baik.
15
Ramadhan, Muhammad, Quantum Ikhlas, h. 31-32.
38
Derivasi lain yang berkaitan dengan tema terpilih juga terdapat pada surat
al-Baqarah; 94, Al-An‟am; 139, Al-Ahzab; 50. Sebagaimana contoh dalam
surat al-Ahzab; 50 sebagai berikut:
١ ؤ ا د صت ه ب خب ىذ ٠سخ أ أساد اب إ
“…kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin”
Ayat di atas menunjukkan bahwa derivasi ikhlas bermakna dikhususkan.
Khusus yang dimaksud berarti mengistimewakan, kemudian konteks
diistimewakan dikarenakan telah dipilih. Dengan demikian penggunaan
derivasi ikhlas dalam ayat-ayat di atas bertemakan orang-orang yang
terpilih oleh Allah.
2. Dibersihkan (dari dosa dan siksa)
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an kerap ditemui dalam ayat
yang sama dengan redaksi dan makna yang sama. Sebagaimana dalam
surat As-Shafat; 169; 160; 128; 74; 40. Sebagaimana ayatnya berikut ini:
خص١ ا إل عببد الل
“Tetapi hamba-hamba Allah yang bersihkan (dari dosa tidak akan diazab)”
Redaksi ayat di atas terdapat pada surat Shafat; 169; 160; 128; 74; 40.
Makna leksikal derivasi ikhlasnya adalah orang yang disucikan atau
dibersihkan. Yang dimaksud dibersihkan adalah orang tersebut dibebaskan
dari dosa maupun siksa. Dengan demikian, penggunaan derivasi ikhlas
pada ayat-ayat tersebut bertemakan dibersihkan dari dosa dan siksa.
3. Memurnikan Agama (Taat Kepada Allah)
39
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an selanjutnya banyak ditemui
berhubungan dengan agama, seruan atau perintah. Sebagaimana derivasi
ikhlas pada surat al-Bayyinah; 5, Al-Mu‟min; 14; 65, Luqman; 32, al-
„Ankabut; 65, Yunus; 22, Al-A‟raf; 29, Al-Baqarah: 139, Az-Zumar; 2; 3;
11; 14, Al-A‟raf; 32, An-Nisa; 146, An-Nahl; 66. Secara umum pada surat
tersebut, derivasi ikhlas dimaknai memurnikan agama Allah. Sebagaimana
contoh ayat berikut ini:
ىبفش وش ا ٠ اذ ص١ خ فبدعا الل
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya,
meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS: Al-Mu‟min; 14)
Ayat di atas menunjukkan bahwa derivasi ikhlas berhubungan erat dengan
persoalan agama, yakni perintah untuk memurnikannya. Ayat tersebut
didukung dengan surat Az-Zumar ayat 3 berikut ini:
ص خب ا ٠ اذ أل لل
“Ingatlah, hanya milik Allah lah agama yang murni (dari syirik)”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penggunaan derivasi ikhlas pada
ayat-ayat tersebut bertemakan memurnikan agama Allah.
Tema-tema memurnikan agama Allah dapat ditandai dengan kemunculan
derivasi kata ikhlas diawali dengan فبدعا atau kata perintah seperti شا أ
(dalam Surat Al-Bayyinah: 5) kemudian disambung dengan term ٠ .اذ
Dengan petunjuk tersebut dapat dipastikan penggunaan derivasi ikhlas
bertemakan pemurnian agama (taat kepada Allah).
40
D. Ikhlas Dalam Kitab Tafsir
Setelah mengelompokkan derivasi ikhlas pada beberapa tema, selanjutnya
penulis mengambil beberapa tafsir atas untuk menjelaskan konteks ayat dan
makna yang relevan. Dalam hal ini penulis mengambil dari dua kitab tafsir, yakni
tafsir Ibn Katsir dan Tafsir al-Zamakhsyarī dengan tema-tema yang telah
ditentukan berupa; ikhlas sebagai makna khusus, ikhlas dengan makna terpilih,
dan ikhlas sebagai makna tauhid. Berikut rinciannya;
1. Ikhlas Sebagai Makna Khusus
Dari derivasi ikhlas dengan tema-tema di atas, penulis menemukan
beberapa tafsir mengenai derivasi ikhlas sebagai berikut. Pertama derivasi ikhlas
dengan makna dikhususkan, sebgaimana tertera dalam surat Al-An‟ām; 139
berikut ini:
ل ١خت ف ٠ى إ اجب أص ع ذش زوسب صت خب عب ال ز ب ف بط ششوبء با ف١
١ ع إ دى١ صف س١جض٠
Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini
adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika
yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama
boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap
ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui.
Zamakhsyari dalam Tafsīr al-Kasyāf menafsirkan Khusus untuk laki-laki,
tidak untuk perempuan. Kata صت menyatakan kepemilikan dan kedudukannya خب
menjadi masdar muakkad. Azamakhsyari menyatakan صت sebagai maṣdar dan خب
زوسب merupakan khabar yang menunjukkan arti khusus kepada yang
ditunjuknya.16
Dengan kata lain, derivasi ikhlas dalam ayat tersebut bermakna
khusus. Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat di atas dalam konteks minuman
16
Abu Qāsim Maḥmūd Ibn „Umar al-Zamakhsyarī, Tafsīr al-Kasyāf, (Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, 2009), h. 321.
41
atau anak hewan yang lahir khusus untuk para laki-laki, dan dilarang untuk
perempuan.17
Dari dua tafsir di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa derivasi ikhlas
dengan kata صت .bermakna dikhususkan خب
2. Ikhlas Dengan Tema Terpilih.
Derivasi ikhlas dengan makna terpilih terdapat dalam surat Yusuf; 54.
Berikut ayatnya:
أ ى١ ذ٠ب ١ لبي إه ا ب و فس ف ص أسخخ ه ائخ ب لبي ا ١
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang
yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia
berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”.
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan arti “bawalah dia kepadaku,
agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat”. Dengan kata lain, Yusuf adalah
orang yang dipilih oleh raja. Penggunaan derivasi ikhlas berupa ص menjadi أسخخ
bermakna dipilih. Yusuf dipilih oleh Raja untuk dijadikan penasihat.18
Adapun
Az-Zamakhsyari menafsirkan ke dua ayat tersebut dengan makna dua, dipilih dan
khusus. untuk dirinya (Yusuf).19
Dengan kata lain penggunaan derivasi ikhlas
pada dua ayat di atas berkaitan dengan tema khusus orang-orang yang dipilih.
Terdapat perbedaan antara Ibn Katsir dan al-Zamakhrasi dalam
mengartikan ص berupa khusus dan terpilih. Khususnya al-Zamakhrasi أسخخ
memberikan makna „khusus‟ pada kata ص Akan tetapi terdapat persamaan .أسخخ
makna berupa „dipilih‟. Al-Zamakhrasi menegaskan bahwa konteks dipilihnya
17
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Terj. Abdul Ghofur, Jilid 3, h. 306 18
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 4, h. 433. 19
Az-Zamakhsyari, h. 520.
42
Yusuf adalah khusus ditujukkan kepada Yusuf, bukan kepada yang lainnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan terpilih berarti istimewa.
Pemaknaan khusus menjadi terpilih (diistimewakan) juga tergambar dalam
tafsir Ibn Katsir dalam menafsirkan surat Maryam; 51. Menurut Ibn Katsir,
konteks dipilihnya Musa sebagai Nabi dan Rasul adalah Musa dilebihkan dari
orang lain, dengan demikian bermakna Musa dipilih karena Istimewa.20
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa konteks terpilihnya karena dikhususkan yang
berarti diistimewakan.
3. Ikhlas Sebagai Makna Tauhid
Makna lain dari derivasi ikhlas adalah memurnikan, yang berarti juga
mengesakan atau mentauhidkan kepada Allah. Memurnikan agama Allah berarti
memurnikan segala ajaran serta kembali kepada Allah itu sendiri. Sebagaimana
penggunaan derivasi ikhlas dalam surat al-Baqarah; 139 berikut ini:
ذ بى أع ى بب ب أع سبى ب سب ب ف الل أحذبج ل ص خ
“Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah,
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, dan
bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”
Ayat di atas menjelaskan mengenai perdebatan keeasaan Allah dengan
orang-orang musyrik. Ibn Katsir menjelaskan Penggunaan derivasi ikhlas ص خ
dalam ayat tersebut dengan arti memurnikan berarti mengesakan kepada Allah.21
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibn Atsir tentang alasan penamaan surat
al-Ikhlas. Menurutnya, ikhlas merupakan memurnikan Allah dari segala persifatan
20
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 3, h. 341. 21
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, terj. Abdul Ghofur, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2003),
h. 284.
43
yang ada. Surat al-Ikhlas menegaskan tidak ada satupun menggunakkan derivasi
ikhlas, akan tetapi makna yang terkandungnya adalah tentang memurnikan Allah.
dengan kata lain memurnikan berarti mengesakan Allah, yang berarti kalimat
ikhlas adalah kalimat tauhid.22
Az-Zamakhsary menafsirkannya dan kami orang-
orang yang mengesakan Allah adalah orang-orang yang memurnikan agama
dengan iman.23
Dengan kata lain penggunaan derivasi ikhlas pada ayat tersebut
berarti memurnikan yang berarti juga mengesakan atau beriman kepada Allah.
22
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, h. 1228. 23
Az-Zamakhsyary, h. 100
44
BAB IV
ANALISIS IKHLAS DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF SEMANTIK
IZUTSU
A. Makna Dasar dan Makna Relasional
Menurut Toshihiko Izutsu analisis semantik mengacu pada kosakata al-
Qur‟an.1 Langkah yang perlu ditempuh dalam analisis semantik Izutsu adalah
mengambil kosakata yang akan dianalisis, selanjutnya menentukan makna dasar
(basic meaning) dan makna relasi (relational meaning). Makna dasar dalam
analisis semantik Izutsu merupakan makna tetap dalam kata tersebut.2 Dimanapun
dan bagaimanapun kata tersebut digunakan akan memiliki makna yang sama.
Adapun makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada (makna dasar) dengan meletakkannya
pada posisi khusus dalam bidang yang khusus juga.3 Posisi dan letak merupakan
relasi tertentu dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Dalam
studi al-Qur‟an, makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan konseptual
kata fokus dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.4 Berikut uraiannya;
1. Makna Dasar Ikhlas
Penggunaan kata ikhlas dengan makna yang sama dapat dilihat di
berbagai tempat serta kondisi. Seperti dalam bahasa Arab sendiri kata ikhlas
berarti murni atau bersih. Dalam Lisān al-„Arāb sendiri kata ikhlas diartikan
memurnikan atau dibersihkan.5 Dalam kamus Munawir juga diartikan
1 Toshihiko Izutsu, God and Man In The Qur‟an, (Tokyo: Keio University, 1964), h. 2.
2 Izutsu, God and Man, h. 11.
3 Izutsu, God and Man, h. 13.
4 Umma Farida, Pemikiran & Metode Tafsir al-Qur‟an Kontemporer (Yogykarta: Idea
Press, 2010), h. 69. 5 Ibn Manẓūr, Lisān al-Arab, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1119 H), h. 1229.
45
memurnikan atau dibersihkan,6 begitu juga dalam penggunaan bahasa
Indonesia ikhlas diartikan bersih atau murni.7
Dengan makna dasar murni atau bersih, kata ikhlas tersebut merupakan
element semantik dasar yang mengakuisisi konsep-konsep lain yang
ditanggungnya.8 Dengan makna murni, kata ikhlas mengakuisisi beberapa
makna yang berkaitan dengan makna tersebut. Misalkan murni berarti bersih
dari kotoran/campuran, murni berarti suci, murni berarti baik, murni juga
bermakna tulus (semurni-murninya).
Derivasi kata ikhlas memiliki makna dasar yang tidak berubah di
berbagai kamus. Sebagaimana dalam kamus Lisan al-Arab, Kamus Munawir,9
juga kamus Indonesia.10
Secara umum ikhlas berarti murni. Murni merupakan
makna dasar dari kata ikhlas.
2. Makna Relasi Ikhlas
Dalam beberapa derivasian, kata ikhlas memiliki beberapa makna yang
saling berkaitan. Dalam lisan al-Arab misalkan, Ikhlas memiliki makna-makna
seperti al-Najā (selamat), al-Ṣafā (bersih), waṣal (sampai pada tujuan), maupun
ṭayib (bersih). Berikut rinciannya:
6 A.W Munawir, Kamus Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap, (Semarang: Toha Putra,
1996), h. 359. 7 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
DEPDIKNAS, 2007), h. 542. 8 Izutsu, God and Man, h. 12.
9 Dalam kamus Munawir, Ikhlas diambil dari kata khalasa yang diartikan dengan makna
“murni” h. 359. 10
Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, h. 542.
46
1. Hubungan ikhlas dengan memurnikan memunculkan makna keselamatan.11
Relasi yang terbentuk adalah dengan memurnikan kepada agama Allah
maka akan mendapatkan keselamatan.
2. Hubungan ikhlas dengan tauhid. Relasi yang terbentuk adalah memurnikan
agama Allah berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang
suci dari segala persifatan.12
3. Hubungan ikhlas dengan Ihtār (memilih). Relasi yang terbentuk adalah
dengan memurnikan maka memunculkan makna terpilih atau dipilih.
4. Hubungan ikhlas dengan makna waṣal (sampai pada tujuan yang dituju;
bersifat khusus). Relasi ikhlas dengan wasal adalah penggunaan kata ikhlas
berarti telah sampai. Telah sampai yang dimaksud secara spesifik, yakni
kepada tujuan yang dimaksud.13
5. Hubungan ikhlas dengan al-Ṣafā (bersih/baik). Makna relasi yang terbentuk
adalah dengan memurnikan maka menjadikan bersih. Sebagaimana makna
dasar, murni berarti tanpa campuran/kotoran.14
Kemudian pada penggunaan
di tempat lain juga membentuk makna baik.
Kelima relasi makna ikhlas di atas terdapat juga dalam al-Qur‟an.
Sebagaimana hubungan ikhlas dengan keselamatan terdapat dalam surat al-
Ṣāffāt ayat 40; 74; 128 berikut ini:
خيص اى إلا عجبد اللا
11
Keselamatan juga berarti dibebaskan dari siksa atau dosa. 12
Ibn Atsir menegaskan alasan penamaan surat al-Ikhlas di dalam al-Qur‟an dikarenakan
memurnikan dari sifat-sifat Allah. Memurnikan berarti bertauhid kepada Allah. Kalimat ikhlas
berarti kalimat tauhid. Lihat Ibn Mandzur, lisan al-Arab, h. 1229. 13
Sebagaimana pernyataan “خيص فال اى فال ا صو اى” telah sampai seseorang kepada
seseorang (yang dituju), maksudnya adalah telah sampai kepadanya (yang dituju). 14
Biasanya digunakan untuk menjelaskan susu. Lihat Ibn Mandzur, lisan al-Arab, h.
1229.
47
“Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari dosa”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang-orang yang memurnikan agama
Allah maka akan selamat dari dosa atau azab Allah.15
Ayat yang menunjukkan relasi ikhlas dengan tauhid tertera dalam QS
al-Baqarah; 139 berikut ini:
خي ى ح بىن أع ىن بىب ىب أع سثن ب سث ب ف اللا قو أتحبج ص
“Katakanlah; “Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah,
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami,
dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan
hati”
Ayat yang menjelaskan makna ikhlas berelasi dengan ikhtār sebagaimana
dalam surat Maryam; 51. Ayat yang menjelaskan relasi ikhlas dengan makna al-
Ṣafā terdapat pada surat al-Naḥl; 66 dan al-Nisā; 146. Adapun makna ikhlas
berelasi dengan wasal dan bersifat khusus sebagaimana terdapat pada Al-An‟ām;
139 dan Al-Aḥzāb; 50. Dan relasi ikhlas dengan sesuatu yang baik atau bersih
dalam al-Qur‟an terdapat pada QS al-Naḥl; 66.
Kelima makna relasi di atas berelasi langsung dengan makna ikhlas.
Dengan kata lain makna relasi merupakan makna konotasi yang melekat juga pada
makna dasarnya (basic meaning). Contoh makna relasi ikhlas tentang keselamatan
memuat makna memurnikan sebagai makna dasar. Akan tetapi pada kemudian
maknanya menjadi keselamatan. Bentukkan makna tersebut berelasi secara
langsung dikarenakan dengan memurnikan maka menjadi keselamatan.
Sebagai bentuk sistem, penggunaan ikhlas dengan makna relasi
keselamatan terdapat di beberapa ayat dengan konteks yang sama. Relasi makna
15
Lihat Qur‟an Terjemah Depag.
48
ikhlas tentang memurnikan ajaran Allah misalkan seiring dengan kata agama,
dengan demikian dapat dipahami bahwa derivasi ikhlas bertemu dengan kata اىذ
maka menghasilkan makna memurnikan, yang berarti taat kepada Allah.
Sebagaimana tertera dalam al-Nisā; 146, Luqman; 32, Al-Mu‟mīn; 14, Al-
Bayyinah; 5, al-Zumar; 2, 11, 14 dan Al-A‟raf; 29. Bahkan dalam redaksi ayatnya
pun sama, seperti berikut ini:
خيص اى إلا عجبد اللا
“kecuali hamba-hamba Allah yang memurnikan (taat kepada Allah)”
Dengan demikian dapat disimpulkan memurnikan merupakan makna relasi
dari ikhlas. Sebagaimana pernyataan Izutsu;
“And also out of the various relations it is made to bear to other
major concepts of that system. And, as happens very often, the new
elements tend gravely to affect and even modify essentially the original
meaning structure of the word”.
“Dan juga dari berbagai hubungan itu dibuat untuk menanggung
konsep-konsep utama lainnya dari sistem itu. Seperti yang sering terjadi,
unsur-unsur baru cenderung serius mempengaruhi dan bahkan
memodifikasi secara esensial struktur makna kata aslinya.”16
B. Analisis Diakronis dan Sinkronis
Permasalahan mendasar dalam semantik adalah persoalan perubahan
makna pada setiap kata. Untuk mengatasi problem tersebut, Izutsu menawarkan
dua hal; pertama memeriksa dengan dua perbedaan atau lebih tetapi dengan kata
yang saling berkaitan. Kedua mengikuti perkembangan semantik dengan cara
mengambil kata kunci al-Qur‟an dari sistem non-Qur‟an.17
16
Izutsu, God and Man, h. 12. 17
Izutsu, God and Man, h. 32-33.
49
Dengan sederhana Izutsu menekankan pada makna dasarnya dengan cara
mengambil kata dalam al-Qur‟an yang dapat ditemukan pada kata yang digunakan
pada pra-Qur‟an (pra-Islam). Untuk mendapatkan sudut pandang yang tepat,
Izutsu mengadopsi linguistik modern berupa diakronis dan sinkronis. Diakronik
merupakan jangkauan makna yang terjadi dalam sebuah kata. Adapun Sinkronik
merupakan sudut pandang yang memotong garis-garis historis kata untuk
mendapatkan sistem kata-kata statis.18
1. Analisis Diakronis
Dalam melihat perkembangan makna dalam derivasi kata ikhlas, penulis
mengelompokkan menjadi tiga jangkauan makna derivasi ikhlas. Ketiganya
adalah masa nabi, masa tafsir klasik dan tafsir kontemporer. Berikut rinciannya:
a. Diakronis Ikhlas Masa Nabi
Penggunaan derivasi ikhlas pada masa Nabi mencakup pada beberapa
ungkapan atau sya‟ir arab. sebagian di antaranya juga mengutip ayat-ayat al-
Qur‟an. Hal ini disebabkan literatur yang menjelaskan penggunaan derivasi
ikhlas tidak sepenuhnya terdapat pada sya‟ir atau penggunaan sehari-sehari
dalam kamus. Sehingga penulis mengkategorikan penggunaan pada masa Nabi.
Berikut rinciannya:
1. Penggunaan derivasi ikhlas dengan makna selamat. Hal ini dapat dilihat
dalam ungkapan sehari-hari sebagai berikut:
اتخيص : خيصت مزا تخيصب ا جت تجخ فتخيص
“Saya menyelematkan dengan penyelematan maka selamatlah dia”
18
Izutsu, God and Man, h. 34.
50
2. Kedua, penggunaan derivasi ikhlas dimaknai telah sampai (wasala).
Sebagaimana ungkapan berikut ini:
خيص فال اى فال ا صو اى, خيص ارا سي جب
Telah sampai seseorang kepada orang lain. Maksud dari خيص adalah sampai
dengan selamat. Dengan demikian makna derivasi ikhlas adalah selamat.
Selain bermakna sampai dengan selamat, derivasi ikhlas pada makna sampai
juga menunjukkan arti kekhususan. Sebagaimana ungkapan berikut ini:
زا اىش حيصخ ىل ائ خبىص ىل خبصخ
Sesuatu ini khusus untuk mu. Maksudnya sesuatu ini disampaikan hanya
untuk orang yang telah dituju secara khusus.
3. Ketiga penggunaan derivasi ikhlas dengan makna murni. Pada derivasi ini
terdapat makna murni atau bersih yang merujuk pada benda, khususnya
susu. Menurut al-Azhari Ikhlas ini biasanya digunakan merujuk pada susu
murni tanpa campuran air ataupun lainnya. Sebagaimana terdapat pada
sya‟ir berikut ini:
مب ىق اىح ىعش ىع
حب خ غشتا اىجع ح عش
ن خيص سثع اىس
ثأثعبس آسا عد ثشب
Selanjutnya derivasi ikhlas juga bermakna murni tanpa campuran, derivasi
ikhlas juga biasa dimaknai dengan bersih atau putih, sebagaimana syair di
bawah ini:
51
أشج ثقش اىخيصبء اعب
احس صشاب صسا
Dari pernyataan di atas dapat dipahami derivasi ikhlas memiliki makna
selamat, sampai dan murni atau bersih.
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an memiliki perbedaan makna
dengan penggunaan pada sehari-hari. Pada penggunaan sehari-hari hanya
menunjukkan arti keselamatan, akan tetapi dalam al-Qur‟an dijelaskan lebih
komprehensif sehingga bermakna selamat. Makna selamat dalam derivasi
ikhlas didapatkan dari memurnikan agama. Makna selamat dalam derivasi
ikhlas berkaitan langsung dengan memurnikan agama. Dengan memurnikan
agama maka menjadi selamat. Selain selamat juga menjadi terpilih. Dengan
kata lain, derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an bermakna keselamatan,
memurnikan agama, dan terpilih. Sebagaimana makna derivasi ikhlas
dengan makna selamat dijelaskan pada surat Al-Hijr; 40.
خيص اى إلا عجبدك
“Kecuali hamba-hamba Engkau yang terpilih”
Tsa‟lab menjelaskan derivasi ikhlas yang digunakan pada ayat tersebut
bermakna orang-orang yang diselamatkan. Konteks diselamatkannya
disebabkan orang-orang memurnikan agama Allah. dengan memurnikan
maka orang tersebut kemudian diselamatkan dari dosa dan siksa.
Dengan demikian, derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an dengan makna selamat
berkaitan dengan memurnikan agama Allah, dibersihkan (diselamatkan) dan
terpilih. Selain berorientasi pada makna-makna tersebut, terdapat hubungan
langsung dengan makna ketauhidan. Memurnikan agama berarti
52
mengesakan Allah. sebagaimana dalam surat al-Ikhlas. Surat al-Ikhlas
merupakan surat yang menjelaskan ketauhidan. Di dalamnya menjelaskan
kemurnian Allah dari segala sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, kata ikhlas
berarti juga tauhid. Orang yang memurnikan agama Allah adalah orang-
orang yang diselamatkan, orang yang diselamatkan adalah orang-orang yang
terpilih, dan orang terpilih adalah orang-orang yang mentauhidkan Allah.
Derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an juga memiliki makna spesifik.
Sebagaimana dalam surat al-An‟am; 139 berikut ini:
تخ ف ن إ اجب عي أص حشا خبىصخ ىزمسب عب ال ز ب ف ثط قبىا ششمبء ف عي إا حن صف سجض
Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini
adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami," dan jika
yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama
boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Derivasi ikhlas خبىصخ bermakna pengkhususan. Khusus berarti ditujukkan
kepada yang laki-laki. Dalam Lisan al-Arab juga ditegaskan, penggunaan
derivasi ikhlas tersebut bermakna khusus. Perbedaan dalam penggunaan
keseharian adalah makna wasal (telah sampai). Sedangkan dalam al-Qur‟an
derivasi ikhlas langsung bermakna khusus dan bersifat spesifik.
Makna khusus dalam derivasi ikhlas juga tertera dalam surat Sad; 46 berikut
ini:
ثخبىصخ رمش اىذااس إاب أخيصب
Penggunaan ثخبىصخ merujuk pada sesuatu yang khusus. Term اىذااس
merupakan badal19
dari derivasi ikhlas sebelumnya. Dengan kata lain
19
Badal adalah pengganti dalam sistematika bahasa Arab.
53
derivasi ikhlas bermakna spesifik, atau dikhususkan pada makna yang
dituju.
Dengan demikian dapat disimpulkan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an
berorientasi pada makna diselamatkan, memurnikan, terpilih dan khusus.
Derivasi ikhlas dengan makna diselamatkan berkaitan dengan memurnikan.
Adapun kemurnian yang dimaksud adalah memurnikan agama Allah atau
juga disebut dengan ketahudian. Oleh karena itu kata ikhlas adalah kalimat
tauhid itu sendiri.20
Selanjutnya, dengan mentauhidkan kepada Allah maka
orang-orang tersebut menjadi diselamatkan dari dosa dan sika. Selain
diselamatkan, orang yang mentauhidkan menjadi orang yang diberi
kekhususan dan terpilih. Orang-orang yang dimaksud adalah para Nabi.
b. Diakronis Ikhlas Dalam Tafir Klasik
Penulis mengambil dua kitab tafsir klasik berupa Tafsir Ibn Katsir dan
Tafsir Kasyaf karya al-Zamakhsyari. Sebagaimana derivasi ikhlas dengan
makna terpilih dijelaskan oleh Zamakhsyari pada surat Yusuf; 54 berikut ini:
أ ن ب ىذ قبه إال اى ب ميا ا أستخيص ىفس في يل ائت ث قبه اى
Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai
orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap
dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”.
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan arti “bawalah dia kepadaku,
agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat”. Dengan kata lain, Yusuf
adalah orang yang dipilih oleh raja. Penggunaan derivasi ikhlas berupa أستخيص
menjadi bermakna dipilih. Yusuf dipilih oleh Raja untuk dijadikan penasihat.21
20
Lisan al-Arab, h. 1228. 21
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 4, h. 433.
54
Adapun Az-Zamakhsyari menafsirkan ke dua ayat tersebut dengan makna dua,
dipilih dan khusus. untuk dirinya (Yusuf).22
Dengan kata lain penggunaan
derivasi ikhlas pada dua ayat di atas berkaitan dengan tema khusus orang-orang
yang dipilih.
Terdapat perbedaan antara Ibn Katsir dan al-Zamakhrasi dalam
mengartikan تخيص أس berupa khusus dan terpilih. Khususnya al-Zamakhrasi
memberikan makna „khusus‟ pada kata أستخيص. Akan tetapi terdapat
persamaan makna berupa „dipilih‟. Al-Zamakhrasi menegaskan bahwa konteks
dipilihnya Yusuf adalah khusus ditujukkan kepada Yusuf, bukan kepada yang
lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan terpilih berarti istimewa.
Pemaknaan khusus menjadi terpilih (diistimewakan) juga tergambar dalam
tafsir Ibn Katsir dalam menafsirkan surat Maryam; 51. Menurut Ibn Katsir,
konteks dipilihnya Musa sebagai Nabi dan Rasul adalah Musa dilebihkan dari
orang lain, dengan demikian bermakna Musa dipilih karena Istimewa.23
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konteks terpilihnya karena
dikhususkan yang berarti diistimewakan.
Selain itu derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an ditafsirkan sebagai ketauhidan.
Tercermin dalam al-Baqarah; 139 berikut ini:
خي ى ح بىن أع ىن بىب ىب أع سثن ب سث ب ف اللا قو أتحبج ص
“Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah,
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami,
dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan
hati”
22
Az-Zamakhsyari, h. 520. 23
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Jilid 3, h. 341.
55
Ayat di atas menjelaskan mengenai perdebatan keeasaan Allah dengan
orang-orang musyrik. Ibn Katsir menjelaskan Penggunaan derivasi ikhlas
خيص dalam ayat tersebut dengan arti memurnikan berarti mengesakan
kepada Allah.24
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibn Atsir tentang
alasan penamaan surat al-Ikhlas. Menurutnya, ikhlas merupakan memurnikan
Allah dari segala persifatan yang ada. Surat al-Ikhlas menegaskan tidak ada
satupun menggunakkan derivasi ikhlas, akan tetapi makna yang terkandungnya
adalah tentang memurnikan Allah. dengan kata lain memurnikan berarti
mengesakan Allah, yang berarti kalimat ikhlas adalah kalimat tauhid.25
Az-
Zamakhsary menafsirkannya dan kami orang-orang yang mengesakan Allah
adalah orang-orang yang memurnikan agama dengan iman.26
Dengan kata lain
penggunaan derivasi ikhlas pada ayat tersebut berarti memurnikan yang berarti
juga mengesakan atau beriman kepada Allah.
c. Diakronis Ikhlas dalam Tafsir Kontemporer
Secara umum memiliki persamaan makna derivasi ikhlas dalam tafsir
kontemporer dan klasik. Penulis mengambil satu ayat surat al-Baqarah ayat
139 dalam Tafsir al-Manar karya M. Rasyid Ridha. Rasyid Ridha menjelaskan
kata ikhlas dalam surat al-Baqarah 139 merupakan ketetapan dan kebenaran
iman dalam hati. Ikhlas merupakan ruh atas perbuatan (amal) maupun ibadah
manusia. adapun ruh agama adalah ketahuidan. Ikhlas selalu bersamaan dengan
keselamatan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa antara agama dan ikhlas
24
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, terj. Abdul Ghofur, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2003),
h. 284. 25
Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, h. 1228. 26
Az-Zamakhsyary, h. 100
56
saling berhubungan satu sama lain. Ikhlas adalah tujuan yang menjadikannya
keselamatan.27
Selain berorientasi pada ketahuidan, Rasyid Ridha juga menjelaskan
mengenai kedudukan para Nabi sebagai orang-orang yang mentauhidkan
Allah. Sebagaimana Nabi Ibrahim ditunjuk sebagai pemimpin para Nabi
dikarenakan keagamaannya dan keikhlasannya.28
Dengan kata lain derivasi
ikhlas disini memiliki makna terpilih.
Perbedaan mendasar pemaknaan derivasi ikhlas dalam tafsir klasik dan
modern adalah ruang lingkup ikhlas itu sendiri. dalam tafsir klasik (Ibn Katsir
dan Zamakhsyari) menunjukkan penggunaan derivasi ikhlas merupakan makna
dari tauhid itu sendiri. Dengan kata lain ikhlas adalah tauhid. Sedangkan
Rasyid Ridho membedakan antara agama dan ikhlas. Ruh agama adalah tauhid,
dan ikhlas mengikuti pada agama itu dan menjadikannya keselamatan. Hasil
tafsir Rasyid Ridha dapat disimpulkan bahwa antara tauhid dan ikhlas
dihubungkan dengan ketauhidan, kemudian ikhlas berhubungan erat dengan
amal perbuatan sebagai pondasi atau ruh untuk mencapai tujuan utama, yaitu
tauhid.
2. Analisis Sinkronis Ikhlas
Sinkronis merupakan sudut pandang untuk melihat kata-kata dalam
mendapatkan sistem yang statis. Derivasi kata ikhlas menghasilkan beberapa
27
Rasyid Ridha, Tafsir Qur‟an al-Karim: Tafsir Al-Manar, (Mesir: An-Nadiroh, 1947), h.
487-489 28
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur‟an al-Karim, h. 488.
57
makna seperti al-Naja, al-Ikhtar, Wasal, dan Al-Shafa. Setiap masing-masing
memiliki relasi serta sistem yang berdiri sendiri tetapi berkaitan satu sama lain.
Dalam membuat analisis sinkronis, penulis menemukan derivasi ikhlas
dalam al-Qur‟an berkaitan dengan terma-terma yang tetap, seperti ,اىذ شد ,د ,أ
ادع , dan عجبد. Derivasi ikhlas yang berkaitan dengan salah satu terma tersebut
dapat ditemui di berbagai ayat lain dengan konteks yang secara umum sama.
Seperti derivasi ikhlas berkaitan dengan عجبد terdapat pada beberapa ayat di Shafat;
169; 160; 128; 74; 40. Atas dasar tersebut penulis membuat tiga kelompok dalam
analisis sinkronis derivasi ikhlas. Berikut rinciannya:
1. Ikhlas Bermakna Terpilih
Sinkronis makna terpilih dalam derivasi al-Qur‟an yang terdapat pada al-
Qur‟an memiliki dua pola. Pola pertama terpilih secara makna tegas, dan kedua
terpilih dalam konteks dikhususkan atau diistimewakan. Pada pola terpilih sebagai
makna tegas berarti secara tegas dalam ayat tersebut derivasi ikhlas langsung
bermakna terpilih. Sedangkan pola pemaknaan derivasi ikhlas sebagai makna
pengkhususan berarti diistimewakan dan berbeda dengan yang lain, dengan kata
lain juga bermakna dipilih khusus untuk seseorang. Lebih jelasnya lihat tabel di
bawah ini
Tabel IV.1
Ikhlas dengan Makna Terpilih
Surat Derivasi
ikhlas
Hubungan Sistem
Sad; 46 اىذااس ثخبىصخ Makna ikhlas menjadi spesifik;
Makna terpilih, merujuk pada
Ishaq dan Ya‟kub pada ayat
sebelumnya yang terpilih sebagai
Nabi dan diberi akhlak yang baik
Yusuf; 54 ىفس أستخيص (kata
Li)
Dipilih (makna secara tegas)
58
Maryam; 51,
Al-Hijr; 40,
Shad; 83
خيصب Musa dipilih sebagai nabi (dengan سسل
makna yang tegas)
Al-Hijr; 40 خيص Kedudukan sebagai maf‟ul dan عجبدك اى
terdapat makna pengecualian
Sad; 83 خيص Kedudukan sebagai maf‟ul dan عجبدك اى
terdapat makna pengecualian
Al-Ahzab;
50
خبىصخ ؤ اى Pengkhususan untuk Nabi د
Muhammad; Nabi sebagai orang
yang terpilih
Al-Baqarah;
94
اىابط خبىصخ ;Pengkhususan untuk orang-orang د
orang-orang terpilih
Al-An‟am;
139
ىزمسب خبىصخ
(kata Li)
Pengkhususan untuk laki-laki;
Laki-Laki adalah orang yang
terpilih
Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an ketika
bertemu dengan huruf Jar ى atau د menunjukkan makna khusus. Akan tetapi
kekhususan yang dimaksud adalah disebabkan sebagai orang-orang yang terpilih.
Sebagaimana dalam surat Ṣād; 46 berikut ini:
ثخبىصخ رمش اىذااس إاب أخيصب
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.”
Dalam ayat tersebut terdapat dua derivasi kata ikhlas berupa أخيصب dan
memiliki أخيصب Keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda. Penggunaan .ثخبىصخ
arti mensucikan. Akan tetapi pada derivasi ثخبىصخ berarti menganugerahkan
dengan akhlak yang baik. Pada pemaknaan ini tidak nampak apa dimaksud
penganugerahan, namun jika melihat ayat sebelumnya tentang Ibrahim, Isḥaq dan
Ya‟qub adalah orang-orang yang mulia. Dengan kata lain, penganugerahan
dengan perbuatan baik berarti Allah memilih mereka dengan memberikan akhlak
yang baik.
59
2. Ikhlas Dengan Makna Taat
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an selanjutnya kerap ditemui
pada satu sistem yang sama. Sebagaimana derivasi ikhlas bertemu dengan terma
memiliki pola sebagai perintah untuk memurnikan agama. Hal tersebut اىذ
ditunjukkan dengan rata-rata diawali dengan terma شد ادع atau أ . Pada tahap
selanjutnya ditemukan makna memurnikan, yang berarti memurnikan agama
Allah. atas dasar ini dapat disimpulkan derivasi ikhlas bermakna memurnikan
yang berarti taat atau tauhid. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini:
Tabel IV.2
Ikhlas Dengan Makna Taat
Surat Derivasi
ikhlas
Hubungan Sistem
al-Bayyinah;
5
خيص dan اىذ
شا أ
Perintah untuk memurnikan
agama Allah (Taat
Al-Mu‟min;
14
خيص dan اىذ
فبدعا
Seruan untuk beribadah secara
murni kepada Allah (Taat)
Al-Mu‟min; خيص dan اىذ
فبدعا
Seruan untuk beribadah secara
murni kepada Allah (Taat)
Luqman; 32 خيص dan اىذ
ا دع
Seruan untuk beribadah kepada
Allah
al-„Ankabut;
65
خيص dan اىذ
ا دع
Seruan untuk beribadah kepada
Allah
Yunus; 22 خيص dan اىذ
ا دع
Seruan untuk beribadah kepada
Allah
Al-A‟raf; 29 خيص ش ادع , أ
dan اىذ
Perintah dan seruan memurnikan
kepada Allah
Al-Baqarah:
139
خيص ب ;Tentang perdebatan ketauhidan أتحبج
untuk memurnikan agama Allah
Az-Zumar;
2; 3; 11; 14
خيصب ,فبعجذ اىذ
dan شد أ
Perintah untuk menyembah Allah
Al-A‟raf; 32 و خبىصخ dan فص
خ اىقب
Mengingatkan tentang hari akhir,
agar senantiasa memurnikan
agama Allah
An-Nisa;
146
ا أصيحا اعتص
dan
Perintah untuk berserah diri
kepada Allah dengan memurnikan
60
أصيحا agama
An-Nahl; 66 ىعجشح خبىصب Susu murni sebagai ibrah kepada
kaum yang menolak.
Dari tabel di atas dapat disimpulkan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an berkaitan
dengan kerap diawali dengan Amr (perintah) menunjukkan pada makna untuk اىذ
memurnikan agama Allah. adapun yang dimaksud dengan memurnikan adalah
mentauhidkan kepada Allah. sebagaimana tertera dalam surat Az-Zumar ayat 3
berikut ini:
اىخبىص اىذ أل للا
“Ingatlah, hanya milik Allah lah agama yang murni (dari syirik)”.
Ayat di atas menunjukkan bahwa agama yang ada disisi Allah (Islam) adalah
agama yang murni. Agama murni berarti menunjukkan keselamatan, serta bersih
dari cacad atau kekurangan. Oleh karena itu Islam menunjukkan agama yang
membawa keselamatan.
3. Makna Selamat
Penggunaan derivasi ikhlas dalam al-Qur‟an selanjutnya sering ditemui bertemu
dengan terma-terma عجبد. Secara umum derivasi ikhlas yang bertemu term tersebut
hanya terdapat pada surat al-Shaffat, namun tertera pada beberapa ayat, seperti
ayat ; 169; 160; 128; 74; 40. Secara umum redaksi ayatnya sama, sebagaimana
berikut ini:
خيص اى إلا عجبد اللا
“Tetapi hamba-hamba Allah yang bersihkan (dari dosa tidak akan diazab)”
Redaksi ayat di atas terdapat pada surat Shafat; 169; 160; 128; 74; 40.
Makna leksikal derivasi ikhlasnya adalah orang yang disucikan atau dibersihkan.
61
Yang dimaksud dibersihkan adalah orang tersebut dibebaskan dari dosa maupun
siksa. Dengan demikian, penggunaan derivasi ikhlas pada ayat-ayat tersebut
bertemakan dibersihkan dari dosa dan siksa. Derivasi ikhlas dengan makna
dibersihkan ini berkaitan dengan kata عجبد. Disimpulkan derivasi ikhlas bertemu
dengan عجبد bermakna dibersihkan dari dosa dan siksa. Adapun yang dimaksud
dibersihkan berarti diselamatkan. Diselamatkan dari dosa dan siksa. Dengan
demikian makna yang terkandung di dalamnya adalah keselamatan.
C. Welthanscauung Ikhlas
Setelah menemukan makna dasar dan makna relasi serta analisis diakronis
dan sinkronis tahap selanjutnya adalah mencari pandangan dunia atas penggunaan
kata ikhlas. Izutzu menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pandangan dunia perlu
memahami secara utuh konsep kosa-kata (vocabulary). Izutzu menyatakan:
“Kosa kata merupakan jumlah keseluruhan dari sisi semantik kemudian
akan dilihat sebagai jaringan yang rumit atau relasi yang banyak itu
menahan antara kata, korespondensi pada seluruh organisasi pada konsep
yang berhubungan pada setiap yang lainnya dalam hubungan interkoneksi.
Komunitas disimbolkan dengan kosa kata”.29
Welthanschauung kata ikhlas dalam al-Qur‟an membentuk sistem kosa
kata yang keseluruhannya berkaitan dengan Allah. Sebagaimana derivasi ikhlas
dengan makna „dikhususkan‟dalam surat Al-An‟am; 139, Al-A‟raf; 139, dan Al-
Ahzab 50 menunjukkan hubungannya dengan sistem baru dalam Islam. Contoh
dalam QS Al-An‟am; 132 berikut ini:
اجب أص عي حشا خبىصخ ىزمسب عب ال ز ب ف ثط قبىا
“Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada dalam perut binatang ternak ini
adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami”.
29
Izutsu, God and Man, h. 25.
62
Ayat di atas menjelaskan tentang dilarangnya perempuan meminum susu.
Bagi masyarakat jahiliyah, sesuatu yang keluar dari perut hewan ternak (susu)
adalah khusus bagi laki-laki dan haram untuk perempuan. Akan tetapi dalam ayat
tersebut ditegaskan bahwa ketetapan tersebut akan dibalas oleh Allah. Dengan
kata lain sistem atau ketetapan pada masa jahiliyah tersebut dihapuskan, diganti
dengan dibolehkannya untuk semua manusia. sebagaimana dalam Qur‟an surat
Al-Nahl; 66 berikut ini:
ف ال ا ىن إ ىجب خبىصب سبئغب ىيشابسث د فشث ث ب ف ثط ا ىعجشح سقن عب
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada
dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang
mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya”.
Dari ke dua ayat di atas dapat dipahami bahwa sistem dilarangnya meminum susu
bagi perempuan diganti dengan dibolehkannya meminum susu untuk semua
orang. Hal tersebut merupakan ibrah (pelajaran) dari Allah untuk semua manusia.
Selanjutnya derivasi ikhlas dengan makna dibersihkan atau diselamatkan
berhubungan dengan ,Sebagaimana terkandung dalam surat Al-Saffat; 40 .عجبد اللا
Al-Saffat; 74, Al-Saffat; 128, Sad; 46, Al-Nisa; 146 dan Al-Nahl; 66. Di dalam
ayat-ayat tersebut secara umum berhubungan dengan Secara umum makna .عجبد اللا
yang terkandungya adalah orang yang dibersihkan dari dosa. Seperti ayat di
bawah ini:
إلا عجبد اللا خيص اى
“Tetapi hamba-hamba Allah yang bersihkan (dari dosa tidak akan diazab)”
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa penggunaan derivasi ikhlas berupa
خيص berkaitan langsung dengan sistem orang yang disucikan atau dimurnikan اى
63
dari dosa sehingga tidak diazab. Dengan kata lain, sistem yang terbentuk adalah
orang-orang yang selamat dari siksaan.
Pada derivasi ikhlas dengan makna memurnikan berhubungan langsung
dengan konteks menunjukkan sistem orang yang memurnikan (agama Allah) اىذ
agama Allah. Tertera dalam surat Al-Baqarah; 139, Hijr; 40, Al-Nisa; 146,
Luqman; 32, Al-Mu‟min; 14, Al-Bayyinah; 5, Az-Zumar; 2, Az-Zumar; 11, 14,
Al-A‟raf; 29, Yunus; 22 dan Al-„Ankabut; 65. Berikut bentuk ayatnya:
ى اىذ خيص
“Menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus”.
Sistem lain yang berkaitan dengan ketaatan (memurnikan agama Allah) adalah
terpilih. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Maryam; 51 berikut ini:
سسل جب مب خيصب إا مب س ارمش ف اىنتبة
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam
Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan
seorang rasul dan nabi”
Dapat dipahami bahwa dengan ketaatan seseorang kepada Allah maka
menjadikannya dia terpilih (sebagai nabi dan rasul). Dengan demikian, konsep
ikhlas dengan makna memurnikan (taat kepada Allah) adalah terpilihnya
seseorang menjadi baik.30
Pada konteks ayat di atas secara umum menegaskan tentang ketaatan.
Ketaatan yang dimaksud adalah orang-orang yang memurnikan agama Allah.
30
Terdapat juga pada surat Sad; 46 dan An-Nisa; 146 dengan arti bahwa orang yang
dibersihkan juga diberikan akhlak yang baik. Dengan kata lain orang-orang yang suci berarti
dipilih oleh Allah.
64
akan tetapi pada sisi lain menunjukkan terdapat sistem yang berkaitan berupa
keselamatan. Sebagaimana dalam surat Al-Ankabut; 65 berikut ini:
اىشابمش ا ىن ز تب ج أ ىئ ى اىذ خيص ا اللا دع
“Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan
kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau
menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-
orang yang bersyukur”.
Dari ayat di atas semakin jelas dengan melakukan ketaatan maka akan diberikan
keselamatan.
Dari keseluruhan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa derivasi ikhlas
berhubungan dengan khusus, keselamatan dan memurnikan (ketaatan). Namun
dari setiap penjelasan ayat di atas menunjukkan satu sistem yang kompleks berupa
derivasi ikhlas bermakna khusus menunjukkan Islam datang membentuk sistem
yang baru menghapuskan sistem lama (jahiliyah). Adapun Islam yang dimaksud
adalah ajaran yang lurus yang berarti benar dan menunjukkan pada keselamatan.
Untuk mencapai keselamatan maka dibutuhkan ketaatan atau memurnikan agama
Allah.
Maka dapat disimpulkan terdapat gambaran mengenai weltanshcaung
derivasi ikhlas berupa keselamatan. Seluruh ayat yang menggunakan derivasi
ikhlas merupakan sistem atau konsep tentang keselamatan, baik dari dosa maupun
dari siksaan.
Memurnikan agama Allah berarti memurnikan segala ajaran serta kembali
kepada Allah itu sendiri. Sebagaimana penggunaan derivasi ikhlas dalam surat al-
Baqarah; 139 berikut ini:
ى ح بىن أع ىن بىب ىب أع سثن ب سث ب ف اللا قو أتحبج خيص
65
“Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah,
padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami,
dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan
hati”
Ayat di atas menjelaskan mengenai perdebatan keeasaan Allah dengan
orang-orang musyrik. Penggunaan derivasi ikhlas dalam ayat tersebut dengan arti
memurnikan berarti mengesakan kepada Allah.31
Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Ibn Atsir tentang alasan penamaan surat al-Ikhlas. Menurutnya,
ikhlas merupakan memurnikan Allah dari segala persifatan yang ada. Surat al-
Ikhlas menegaskan tidak ada satupun menggunakkan derivasi ikhlas, akan tetapi
makna yang terkandungnya adalah tentang memurnikan Allah. dengan kata lain
memurnikan berarti mengesakan Allah, yang berarti kalimat ikhlas adalah kalimat
tauhid.32
Dari pemaparan keseluruhan dapat diambil kesimpulan bahwa
welthanscauung ikhlas terdiri dari dua world view, Pertama kembali kepada
konsep manusia dan kedua kembali pada konsep ketuhanan. Bentuk konsep pada
manusia adalah ketaatan; dengan ketaatan maka akan memunculkan konsepsi
tentang terpilih. Adapun konsepsi yang kembali pada aspek ketuhanan berupa
ketauhidan. Dengan memurnikan agama Allah berarti sama halnya mengesakan
Allah (tauhid). Dengan tauhid maka akan diberikan keselamatan.
Dari konsep yang kembali pada manusia dan ketuhanan berujung pada satu
paradigma ikhlas berupa keselamatan. Baik terpilih maupun selamat itu sendiri
merupakan sistem yang terkandung dalam keselamatan pada derivasi kata ikhlas.
31
Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, terj. Abdul Ghofur, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2003),
h. 284. 32
Ibn Manẓūr, Lisān al-Arab, h. 1228.
66
Pada konsep terpilih (manusia terpilih), pada dasarnya konteks terpilih berarti
dipilih untuk diselamatkan. Dengan kata lain dipilih untuk diselamatkan.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian mengenai makna ikhlas dalam al-Qur’an perspektif semantik
Toshihiko Izutzu menghasilkan weltanschauung (paradigma) yang kembali pada
konsepsi ketuhanan dan konsepsi manusia. Untuk mendapatkan weltanschauung
terdapat makna dasar, makna relasi, analisis diakronik dan analisis sinkronik.
Weltanschauung ikhlas dalam al-Qur’an berorientasi pada dua hal,
konsepsi ketuhanan dan konsepsi manusia. Dalam konsepsi ketuhanan, derivasi
ikhlas dalam al-Qur’an berhubungan dengan persoalan agama ( ين dan perintah ,(الد
untuk taat. Makna yang mendasar dalam konsepsi ketuhanan adalah memurnikan.
Memurnikan berarti mensucikan Allah dari segala persifatan-Nya. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah mengesakan Allah. atas dasar tersebut, weltanschauung
ikhlas dalam konsepsi ketuhanan adalah mentauhidkan Allah.
Pada konsepsi manusia, derivasi ikhlas dalam al-Qur’an berhubungan
dengan harapan, terpilih, dibersihkan serta diselamatkan. Makna mendasar
derivasi ikhlas dalam al-Qur’an adalah suci atau bersih, baik dalam konteks
penghambaan ( ب اد maupun dalam konteks terpilih (menjadi Nabi). Makna ,(ع
mendasar derivasi ikhlas dalam konsepsi manusia adalah dibersihkan. Dibersihkan
dalam konteks dibebaskan dan diselamatkannya dari dosa maupun sika. Atas
dasar ini, weltanschauung derivasi ikhlas dalam konsepsi manusia berarti
keselamatan.
Atas dasar weltanschauung di atas menunjukkan penggunaan kata ikhlas
dalam keseharian bersifat kontradiktif. Sebagaimana dalam perspektif umum
68
ikhlas diartikan dengan kerelaan yang konteksnya pada ranah musibah, akan tetapi
ikhlas dalam al-Qur’an tidak menyinggung sama sekali persoalan musibah. Dari
perspektif al-Qur’an, ikhlas tidak bisa digunakan untuk konteks musibah. Adapun
kerelaan dalam makna ikhlas seharusnya dikaitkan dengan konteks ketaatan dalam
hal ibadah kepada Allah.
B. Kritik dan Saran
Pada penelitian ini terdapat beberapa kekurangan seperti pemahaman
mengenai pra-Qur’anic-Qur’anic dan post Qur’anic kurang mendapatkan ruang,
sebab kurangnya data menjelaskan penggunaan kata ikhlas pada masa pra-
Qur’anic. Dengan demikian, saran untuk penelitian selanjutnya adalah
menegaskan kembali penggunaan kata (khususnya bahasa Arab) pada masa pra-
Qur’anic. Sebab dalam semantik Izutzu, salah satu pembahasannya adalah
penggunaan kata dalam sepanjang waktu.
Selanjutnya pada tataran relevansi penggunaan kata ikhlas dalam bahasa
keseharian terdapat keganjilan. Seperti di Indonesia, ikhlas biasa digunakan dalam
konteks menghadapi bencana, kehilangan sesuatu, atau melepas sesuatu. Padahal
dengan pendekatan semantik Izutzu menunjukkan konteks berbeda. Ikhlas berarti
memurnikan agama atau taat kepada Allah yang berimbas pada keselamatan.
Dengan demikian, untuk peneliti selanjutnya dapat meneliti tentang relevansi
ikhlas dalam penggunaan bahasa keseharian, baik digunakan dalam bahasa sehari-
hari, maupun dalam konteks pemahaman (belajar-mengajar atau dakwah).
69
Daftar Pustaka
A.W Munawir, Kamus Munawir: Arab-Indonesia Terlengkap. Semarang: Toha
Putra, 1996.
Ahmad Warson Munawir. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Surabaya:
Progresif, 1997.
al-„Aridl, Ali Hasan. Sejarah Metodologi tafsir. Jakarta: Raja Grafindo, 1994.
Al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al Mu’jam al Mufahras li al Fazh al Quran.
Mesir: Dar al Kutub, 1945.
Al-Ghazali, Imam. Ikhtisar Ilhya Ulumuddin. Terj. Mochtar Rasidi dan Mochtar
Yahya. Yogyakarta: PT. Al. Falah, 1966.
al-Zamakhsyarī, Abu Qāsim Maḥmūd Ibn „Umar. Tafsīr al-Kasyāf. Beirut: Dār al-
Ma‟rifah, 2009.
Ash-Shidieqy, Hasbi. Sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an. Bandung: Bulan
Bintang, 1994.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
Chair, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Renika Cipta,
2002.
Damanhuri. Akhlak Tasawuf. Banda Aceh: Penerbit Pena, 2010.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa DEPDIKNAS, 2007.
Farida, Umma. Pemikiran & Metode Tafsir al-Qur’an Kontemporer. Yogykarta:
Idea Press, 2010.
Hadrianto, Budi. Kebeningan Jiwa. Gema Insani: Depok, 2007.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung:
Remaja Posdakarya, 2011.
Izutsu, Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam al Quran. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1993.
Izutzu, Toshihiko. God and Man in the Qu’an: Semantic of The Qur’anic
Weltanschauung, (Tokyo; Keio University Press, 2008), h. 2.
70
Jazeri, Mohamad. Semantik; Teori Memahami Makna Bahasa. Tulungagung:
Tulunggagung Pres, 2012.
Kaltsum, Lilik Umi. Metode Tafsir Tematis M. Bâgir al-Shadr: Mendialogkan
Realitas dengan Teks. Surabaya: Cv Putra Media Nusantara, 2010.
Katsir, Ibn. Tafsir Ibn Katsir, terj. Abdul Ghofur. Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i,
2003.
M. Sholihin. Epistemologi Ilmu dalam Pandangan Imam Al-Ghazali. Jakarta:
Pustaka Setia, 2001.
Machasin. “Kata Pengantar” dalam Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan
Semantik Terhadap al Quran. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992.
Mahmud, Mohammad Natsir. Orientalisme; al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah
Studi Evaluatif). Semarang: Dina Utama, 1997.
Manẓūr, Ibn. Lisān al-Arab. Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, 1119.
Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Reka Sarasih, 1996.
Munawar, Said Agil Husin. dan Hakim, Masykur. Ijaz al-Qur‟an dan Metodologi
Tafsir. Semarang: Dina Utama Semarang (Dimas), 1994.
Muslim, Muṣṭafā. Mabāḥiṡ fī al-Tafsīr al-Mauḍu’ī. Damaskus: Dār al-Qalam,
2000.
Natalia, Maria. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta:
Salemba Humanika, 2008.
Nawawi, Muhammad. Maraqi al-Ubudiyah Fi Syarkhi Bidayatul Hidayah.
Semarang: Toha Putra, 2000.
Pateda, Mansur. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah, 2001.
Qardhawi, Yusuf. Tauhidullah dan Fenomena Kemusyrikan. Surabaya: Pustaka
Progressif, 1992.
Quzwain, M. Khatib. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran
Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta: Pustaka Bulan
Bintang, t.t.
Rahem, Ahmad Sahidah. Tuhan Manusia dan Alam dalam al Quran; Pandangan
Thosihiko Izutsu. Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia Press, 2014.
71
Ramadhan, Muhammad. Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Sofa. Solo: Abyan,
2009.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Maudu’i Atas Masalah Umat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997.
Syibromalisi, Faizah Ali. dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Kalsik-
Modern. Jakarta: Lemlit UIN Jakarta, 2011.
Thantawi, Muhammad Sayyid. Ulumul Qur’an: Teori & Metodologi. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2013.
Tim Raden 2011. Al-Qur’an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah.
Kediri: Lirboyo Press, 2011
Tim Sembilan. Tafsir Mauḍū’i al-Muntaha. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Skripsi dan Tesis
Affanuriza, Edi. “An-Nafs Al-Mutmainnah dalam al-Qur‟an menurut Imam al-
Mahalli dan Imam al-Suyuti dalam Tafsir Jalalin”. Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, (Kudus: Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri Kudus,
2015), h. 35.
Ahmadiy. “Konsep Ihsan dalam al Quran (Pendekatan Semantik)”. Tesis S2:
Konsentrasi Studi al Quran dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2012.
Arif, Muhammad. “Konsep Wahyu dalam al Quran (Kajian Semantik).” Skripsi
S1: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga,
2016.
Doeni, Hadinda Daeng Mawara. “Pengungkapan Kata Bermakna “Istri” di dalam
Konteks al Quran (Suatu Kajian Semantik)”. Skripsi S1: Fakultas Ilmu
Budaya, UNPAD, Bandung, 2012.
Fajar, Saiful. “Konsep Syaithan dalam Al-Qur‟an; Kajian Semantik Izutzu” dalam
Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Fathiyana, Lisa. “Konsep Guru yang Ikhlas Menurut al Ghazali dalam Kitab Ihya‟
Ulumuddin”. Skrisi S1: Fakultas Tarbiyah, IAIN UIN Walisongo
Semarang, 2011.
Fatturahman, Konsep Semantik Al-Qur‟an Perspektif Toshihiko Izutzu” dalam
Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN, 2013), h. 52.
72
Hamidi, Lutfi. “Pemikiran Thosihiko Izutsu tentang Semantik al Quran.” Disertasi
S3: Ilmu Agama Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009.
Karomain, Ahmad. “Semantik al Quran Menurut Bint al Syati dan Toshihiko
Izutsu.” Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2016.
Mahendra, Ahdiyat. “Sultan dalam al Quran (Kajian Semantik Thosihiko Izutsu).”
Tesis S2: Ilmu Bahasa Arab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2015.
Mardatillah, Lutpiyana. “Konsep Kecerdasan Emosional dan Spiritual dalam
Pendidikan Agama Islam Perspektif Quantum Ikhlas”. Skripsi S1:
Fakultas Ilmu Tarbiyah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 2016.
Nashihah, Unun. “Kajian Semantik Kata Libas dalam al Quran.” Skripsi S1: Fakultas
Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga,
2013.
Qodir, Moh. Hasyim Abd. “Makna al Jannah dalam al Quran (Studi Perspektif
Semantik pada Kisah Adam” Tesis S2: Ilmu al Quran dan Tafsir, UIN
Sunan Amel, Surabaya, 2014.
Razak, Fauzia Raziani.“Analisis Semantik Kata Shidq dan Derivasinya dalam al
Quran.” Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Gunung Jati, Bandung,
2008.
Rochmah, Zachrotul. “Konsep Pewahyuan al Quran menurut Thosihiko Izutsu.”
Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Walisongo, Semarang, 2015.
Romziana, Luthviyah. “Pandangan Al-Qur‟an tentang Makna Jahiliyah Perspektif
Semantik” dalam Jurnal Mutawattir, Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Vol.
4 No. 1. Probolinggo; Institut Agama Islam Nurul Jadid, 2014.
Saefuddin Asep. “Analisis Semantik Terhadap Kata Firqah dan Padanannya
dalam al Quran.” Skrisi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Gunung Jati,
2007.
Sandili, Khasan. “Analisis Materi Dakwah KH. Ahmad Asrori al Ishaqi tentang
Ikhlas”. Skrisi S1: Fakultas Dakwah dan Komunikasi, IAIN Walisongo
Semarang, 2011.
Syaifullah. “Kata Khalifah dalam al Quran (Studi Analisis Semantik).” Tesis S2:
Ilmu Bahasa Arab, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2016
Syarifah, Eka. “Ifk dan Buhtan dalam al Quran (Aplikasi Semantik Toshihiko
Izutsu).” Skripsi S1: Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2016.
73
Yuliana, Vivin. “Ikhlas dalam Perspektif Pendidikan Islam (Kajian Tematik atas
Ayat-Ayat Ikhlas)”. Skripsi S1: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, IAIN
Antasari, Banjarmasin, 2010.
Jurnal-Jurnal
Azzuhri, Muhandis. “Ayat-ayat Bias Gender dalam Surat an Nisa‟: Kajian
Semantik.” dalam Jurnal Ying Yang Vol. 4 No.1: 2009.
Chizanah, Lu‟luatul. dan Hadjam, M. Noor Rochman. “Penyusunan Instrumen
Pengukuran Ikhlas” dalam Jurnal Psikologika Vol. 18 No. 1: 2013.
Hasiah. “Peranan Ikhlas dalam al Quran” dalam Jurnal Darul Ilmi Vol. 1 No. 2:
2013.
Ismah, Zuhadul. “Konsep Iman menurut Thosihiko Izutsu.” dalam Jurnal
Hermeneutik Vol. 9 No.1 (2015), h. 205-228.
Ismatillah. “Makna Wali dan Auliya dalam al Quran (Suatu Kajian dengan
Pendekatan Semantik Thosihiko Izutsu).” dalam Jurnal Dziya’ al Afkar
Vol. 4 No. 2:2016.
Ngdimah, Mambaul. “Kontribusi Nilai Ikhlas dalam Pendidikan Akhlak Jama‟ah
Salawat Wahidiyah” dalam Jurnal al Izzah Vol. 12 No. 1: 2017
Rahman, Fadli. “Quantum Ikhlas The Power of Positive Feeling (Teknologi
Aktivasi Kekuatan Hati)” dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 1 No. 1: 2007.
Romziana, Luthviyah. “Pandangan al Quran tentang Jahiliyyah Perspektif
Semantik.” Dalam Jurnal Mutawattir Vol. 4 No.1 2014.
Sanaky, Hujair A. H. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti
Warna atau Corak Mufassirin) dalam Jurnal Al Mawardi Edisi XVIII.
2008.
Shofaussamawati. “Ikhlas Persektif al Quran; Kajian Tafsir Maudhu‟i” dalam
Jurnal Hermeneutik Vol. 7 No.2. 2013.
Yaqin, Ainol. “Ulul Albab sebagai Potret Manusia Ideal: Studi Semantik al
Quran.” dalam Jurnal Okara Vol. 9 No.1: 2015.
DIAGRAM MAKNA RELASI
DIAGRAM DIAKRONIK
IKHLASSAMPAI
SELAMAT
MURNI
TERPILIH
KHUSUS
MASA NABI
1. SELAMAT
2. BERSIH ATAU MURNI
1. TAUHID
2. KESELAMATAN
3. TERPILIH
TAFSIR KLASIK
1. MEMURNIKAN AGAMA
(TAUHID)
2. DIBERSIHKAN (SELAMAT DARI
DOSA DAN SIKSA)
3. TERPILIH (SEBAGAI NABI)
4. KHUSUS
TAFSIRKONTEMPORER
MEMURNIKAN DALAM AMAL
ISLAM/SELAMAT
TAUHID