PENDAHULUAN
(Oleh: Sarwiyono)
Latar belakang
Kebutuhan akan bahan pangan khususnya yang berasal dari susu dan
daging serta telur dari tahun ketahun selalu meningkatkan sejalan dengan
makin meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan, kesadaran
masyarakat akan peranan zat-zat makanan khususnya protein bagi
kehidupan.
Kebijaksanaan pemerintah untuk memacu peningkatan produksi
susu di dalam negeri antara lain melalui program pengembangan usaha
ternak sapi perah yang didukung oleh penyediaan dana
melalui paket kredit dan pembinaan pada petani peternak sapi perah. Sebagai
salah satu perwujudan dari kegiatan tersebut adalah pemberian paket kredit
untuk mendapatkan ternak bibit baik yang berasal dari dalam negeri
maupun yang berasal dari negeri serta digalakkannya program inseminasi
buatan dengan bibit unggul. Upaya-upaya tersebut diatas akan dapat
memberikan hasil yang memadai apabila didukung oleh kemampuan para
peternak dalam hal melakukan pengelolaan pada ternak peliharaannya, serta
dukungan penyediaan dan prasarana seperti pemasaran hasil, penyediaan
pakan yang bermutu dan pencegahan serta pemberantasan penyakit. Ketram-
pilan peternak didalam melakukan pengelolaan pada usaha ternak perah
tersebut perlu makin ditingkatkan agar dapat memberikan lingkugan yang
mendukung yang diperlukan oleh ternak untuk berproduksi sesuai dengan
potensi genetiknya. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar sapi perah yang
dipelihara oleh petani peternak berasal dari negara-negara yang mempunyai
suhu lingkungan sejuk dengan mutu pakan yang baik. Oleh karena itu,
upaya untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan ternak
perah tersebut sangat penting mengingat bahwa lingkungan pemeliharaan
sapi perah di Indonesia cukup beragam mulai lingkungan yang bersuhu udara
yang cukup panas di daerah sekitar pantai sampai ke daerah pegunungan
yang sejuk tetapi kelembaban udaranya masih cukup tinggi. Intensitas
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 1
terjadinya penyakit dan parasit pada kondisi lingkungan yang lembab dan
hangat tersebut cukup tinggi sehingga hal ini juga merupakan suatu
kendala di dalam upaya meningkatkan produksi susu. Keadaan ini menjadi
serius dengan adanya pasokan pakan yang kurang teratur ditinjau dari jumlah
maupun mutu yang dengan sendirinya akan berpengaruh ketahanan ternak
terhadap serangan penyakit dan parasit yang selanjutnya mempengaruhi
penampilan produksi ternak.
MASALAH LINGKUNGAN TERNAK DI DAERAH TROPIS
Usaha pengembangan ternak perah di daerah tropis umumnya
mengalami beberapa hambatan terkait dengan kondisi lingkungan di mana
ternak tersebut dipelihara (Lihat gambar 1).
Lingkungan tropis umumnya mempunyai ciri suhu udaranya hangat
dan lembab. Keragaman dari suhu udara lingkungan sangat rendah tetapi
makin menjauhi equator keragaman ini makin tinggi khususnya di daerah
yang lebih kering. Pada daerah yang letaknya cukup tinggi dari permukaan
laut maka suhu udaranya lebih dingin dengan perubahan yang lebih
nyata antara
SINAR MATAHARI JUMLAH DAN MUTU PAKAN
KONDISI SIFAT FISIK PAKAN
CURAH HUJAN KONSUMSI & EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN
ANGIN
PENYAKIT PANAS YG DIPRODUKSI ATAU YANG HILANG
PENAMPILAN TERNAK
Gambar 1. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada ternak.
[Type text] [Type text] [Type text]2
malam dan siang hari. Tempat dengan ketinggian antara 300 sampai 1520
meter diatas permukaan laut umumnya cocok untuk usaha sapi perah yang
umumnya berasal dari daerah tempe-rate (Bos taurus). Daerah tropis yang
terletak antara 7oC Lintang Utara dan Selatan umumnya mempunyai rataan
suhu udara lingkungan 27o C dengan curah hujan yang tinggi antara 2000
sampai 3000 mm/tahun dan kelemban udara yang tinggi, makin jauh dari
garis khatulistiwa maka curah hujannya makin rendah (Chamberlain, 1989).
Keadaan semacam ini dapat menimbulkan resiko yang cukup besar bagi
berjangkitnya berbagai penyakit dan parasit. Tingginya kelembaban udara
lingkungan dapat menghambat mekanisme pelepasan panas tubuh atau
penurunan beban panas yang dapat menimbulkan apa yang disebut heat
stress yang menurunkan produksi dan reproduksi ternak (Mc Dowell, 1972).
Produksi hijauan di daerah ini sekalipun cukup tinggi tetapi biasanya
kandungan serat kasarnya tinggi (termasuk di dalamnya kandungan ligninnya)
dan rendah kandungan energi dan proteinnya. Hal ini akan menurunkan
kemampuan ternak didalam mengkonsumsi ransum yang disediakan
peternak, yamg tentunya akan mempengaruhi pasokan zat-zat makanan untuk
menunjang produksi. Di daerah arid perubahan suhu lebih nyata dapat
berkisar antara 0 sampai 52o C dengan curah hujan yang sulit diprakirakan
dan tidak jarang hanya mencapai 50 mm/tahun. Persediaan pakan dan air
sangat terbatas demikian pula naungan untuk ternak (Chamberlain, 1989).
Hal-hal semacam ini kiranya perlu diketahui terlebih dahulu bagi mereka
yang akan berusaha dalam bidang ternak perah terutama yang menggunakan
bibit ternak dari daerah temperate yang mungkin menuntut yang sangat baik
dalam hal pakan, perkandangan dan pengelolaan lainnya. Peternak selaku
pengelola atau manajer dalam usaha peternakannya perlu memiliki
pengetahuan atau pengalaman dan ketrampilan yang cukup agar dapat
mengelola peternakan sapi perahnya secara bijaksana dalam arti dapat
memanfaatkan sumberdaya alam, modal, teknologi dan manusia yang ada
secara efesien dan efektif. Untuk itu peternak perlu mengetahui faktor apa
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 3
saja yang dapat mempengaruhi penampilan produksi susu baik ditinjau
dari jumlah maupun mutunya, sebagaimana yang diuraikan dibawah ini.
BAB 1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI TERNAK PERAH
(Oleh: Sarwiyono)
1.1. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu
yang diturunkan dari tetua ke generasi berikutnya dengan besaran (heritability)
yang berbeda untuk beberapa sifat produksi demikian pula hubungan antar
sifat tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat pada komposisi susu dan bangsa
berikut:
A. Komposisi susu:
Heritability Korelasi antar
% lemak 0.58 % Lemak dan % Protein r= .45 to .55
% Protein 0.49 % Lemak dan % SNF r= .40
% Laktose 0.55 % SNF dan % Protein r= .81
Prod. Susu 0.27 Prod. susu dan % Fat r= -.15 to -.30
Prod. susu dan % SNF r= -.10
Prod. susu dan % Protein r= -.10 to -.30
(SNF is Solids-Not-Fat)
B. Perbedaaan bangsa
– Lemak bervariasi kadarnya dalam susu sementara mineral dan lactose
relatif tetap. Perbedaan individu dalam bangsa kadang lebih besar dari
perbedaan antar bangsa .
C. Diameter globula lemak susu
– Diameter globula lemak susu bervarasi dari 1 sampai 10 microns. Sapi
Guernseys paling besar ukuran globulanya kemudian Holsteins dan
[Type text] [Type text] [Type text]4
Ayrshire paling kecil. Secara umum semakin tinggi kadar lemak susu
maka makin besar ukuran globulanya dan makin lanjut laktasinya makin
kecil ukuran globulanya.
D. Carotene
– Caroten merupakan precursor vitamin A, dan merupakan pigment
kuning. Sapi Guernsey dan Jersey mengkonversi carotene jadi vitamin
jauh lebih sedikit dari bangsa sapi perah lain. Jadi susu dari sapi
Guernsey dan Jersey berwarna kuning sebagai akibat excretion dari ß-
carotene dalam lemak susu. Holsteins lebih efisien dalam mengkonversi
carotene menjadi vitamin A. Jadi susu dari kedua bangsa tadi
menghasilkan vitamin A setara dengan susu dari bangsa sapi lain
1.2. Tingkat Laktasi dan Persistency
Colostrum vs. Milk
Colostrum itu dihasilkan dalam ambing segera setelah sapi beranak,
komposisinya sangat jauh berbeda dari susu normal. Tiga sampai 5 hari
setelah beranak terjadi perubahan komposisi dari colostrums menjadi susu
normal. Colostrum kandungan total solidnya tinggi demikian pula
immunoglobulins, sebagai pasif anti bodi yang dimanfaatkan pedet untuk
menanggulangi gangguan berbagai macam organisme penyakit. Pedet harus
mengkonsumsi colostrums segera setelah dilahirkan utamanya 24 jam pertama
dari kelahirannya sebab setelah waktu itu enzyme dalam alat pencernakan
pedet akan mendegradasi antibody dan permeabilitas dari usus terhadap
antibody tersebut turun. Lactose dalam colostrum lebih rendah dari yang ada
dalam susu normal sementara fat dan casein percentagenya bervariasi. Kadar
lactose yang tinggi dalam susu dapat menimbulkan mencret pada pedet oleh
karena itu rendahnya lactose dalam colostrum ini mungkin dalam rangka
mencegah terjadinya mencret pada pedet
Calcium, magnesium, phosphorus, dan chloride tinggi kadarnya dalam
colostrum, tetapi potassiumnya rendah. Zat besi (Iron) jumlahnya 10 sampai
17 lebih besar dalam colostrum dari susu normal. Zat besi yang tinggi
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 5
kadarnya tadi penting untuk mendukung peningkatan hemoglobin dalam butir
darah merah pedet yang baru dilahirkan. Colostrum merupakan sumber
vitamin A yang sangat baik bagi hewan yang baru lahir untuk menghadapi
berbagai tingkat serangan penyakit. Kadar vitamin A pada colostrums 10 kali
lebih banyak sedang vitamin D nya 3 kali lebih banyak dari susu normal.
Salah satu bangsa ternak perah yang cukup terkenal sebagai penghasil susu
segar di Indonesia adalah sapi Holstein Friesian.
Sapi ini berasal dari Eropa
yaitu negeri Belanda khususnya di North Holland dan Friesland di dekat
Zuider Zee. Ternak asli berwarna belang hitam putih dari Batavians dan
Friesians. Selama bertahun-tahun Holsteins diternakkan dan di seleksi untuk
mendapatkan ternak dengan kemampuan memanfaatkan rumput dengan baik
dan berproduksi susu tinggi. Sapi ini mulai masuk Indonesia sejak awal abat
19 pada zaman pendudukan Belanda, dimana pada waktu itu sangat
dibutuhkan tersedianya susu segar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Belanda, Cina dan bangsa pendatang lainnya. Lokasi peternakan sapi perah
tersebut umumnya didaerah dataran tinggi yang bersuhu lingkungan sejuk dan
dekat dengan aktivitas konsumen atau pasar misalnya Malang ( untuk Batu-
Pujon) dan Pasuruan (untuk Nongkojajar) serta Semarang-Surakarta-
Yogyakarta (untuk Ungaran Salatiga dan Boyolali), Jakarta (untuk Bandung-
Baturaden) .
[Type text] [Type text] [Type text]6
Mutu susu sapi mengalami perubahan pada saat beranak (colostrum) hingga
menjadi susu normal (segar) sebagaimana dapat dilihat di Tabel 1 berikut.
Produksi susu dari seekor ternak perah disamping dipengaruhi oleh faktor
genetik maka faktor lain yang tidak kecil peranannya adalah faktor
lingkungan. Penjabaran lebih lanjut dari kedua faktor tadi dapat pula disebut
sebagai faktor internal dan faktor eksternal dimana factor tadi dapat
berinteraksi untuk dapat menimbulkan pengaruh yang dapat kita amati.
Sebagai suatu contoh sinar matahari sebagai faktor eksternal dapat
menimbulkan pengaruh secara langsung pada ternak namun juga secara tidak
langsung misalnya sinar matahari tersebut berpengaruh pada mutu dan
SRW- hijauan yang dihasilkan oleh suatu wilayah maupun perkembangan
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 7
Tabel 1. Perubahan komposisi kolostrum dan susu segar
Pemerahan ke 1 2 3 Susu Normal
Berat jenis 1.056 1.040 1.035 1.032
Total Solids (%) 23.9 17.9 14.1 12.9
Protein, % 14.0 8.4 5.1 3.1
Casein, % 4.8 4.3 3.8 2.5
IgG, g/L 48.0 25.0 15.0 0.6
Lemak, % 6.7 3.9 4.4 5.0
Lactose, % 2.7 3.9 4.4 5.0
pada bibit penyakit ataupun parasit yang pada gilirannya nanti juga akan
berpengaruh pada kesehatan ternak dan ini dapat gangguan fisiologis yang
berpengaruh pada produksi ternak.
Kandungan atau komposisi dari susu itu sebagian adalah selalu tetap
setiap harinya tetapi beberapa bagian mengalami perubahan yang cukup
berarti. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan pengaruh pada komposisi
susu adalah jumlah produksi yang dihasilkan pada suatu pemerahan. Faktor
yang lain yang dapat mempengaruhi komposisi susu dapat berupa pengaruh
tak langsung yang dapat menimbulkan perubahan jumlah produksi susu.
Tetapi masih banyak pula hal-hal lain yang dapat mempengaruhi komposisi
susu yang belum dapat dijelaskan secara rinci apa yang menjadi
penyebabnya. Sebagai contoh terjadinya perubahan kadar lemak susu yang
kadang-kadang mencapai 30% dimana hal tersebut belum dapat dijelaskan
oleh para ahli. Namun para ahli sependapat bahwa jumlah dan komposisi
susu itu merupakan suatu interaksi antara elemen-elemen yang ada dalam
tubuh ternak dengan lingkungannya. Dengan kata lain penampilan produksi
ternak itu ditentukan oleh interaksi antara faktor internal (genetik) dan
lingkungan (Foley dkk.,1972). Uraian berikut akan menjelaskan tentang
beberapa faktor yang berpengaruh pada jumlah dan mutu produksi susu .
Telah diketahui bersama bahwa setiap bangsa atau species ternak perah
mempunyai kemampuan didalam menghasilkan sejumlah produksi susu
dengan kandungan lemak tertentu. Sapi yang memiliki bakat keturunan
[Type text] [Type text] [Type text]8
yang tinggi akan menurunkan sifat tersebut pada keturunannya. Besar
kecilnya sifat yang dapat diturunkan beragam untuk setiap sifat dan
umumnya hanya berkisar antara 20 sampai 30 prosen
Faktor genetik walaupun tidak cukup besar peranannya pada produksi yang
ditampilkan tetapi sifat ini diturnkan ke generasi berikutnya, selanjutnya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 70 sampai dengan 80 persen. Jadi
sapi-sapi yang mempunyai catatan produksi air susu yang tinggi ( baik sapi
betina maupun sapi jantan) berpeluang mempunyai keturunan dengan
kemampuan produksi yang tinggi pula, atau bangsa dari sapi perah yang
besar mempunyai kemampuan berproduksi air susu lebih banyak, jika
dibandingkan dengan bangsa sapi yang kecil serta untuk setiap individu pada
bangsa yang sama mempunyai perbedaan jumlah produksi air susu, serta
kualitas air susu terutama mengenai kadar lemaknya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Tabel 2. Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
kadar lemak mempunyai kisaran yang cukup besar sedangkan mineral
dan laktosa perubahannya sangat kecil. Perbedaan di dalam gene yang
mengontrol jumlah dan komposisi susu umumnya diperhitungkan dalam
rataan perbedaan antar bangsa ternak. Dalam suatu bangsa ternak masih
dapat dijumpai adanya perbedaan yang cukup besar dan hal inilah nantinya
memberikan peluang bagi pembibit (breeder) untuk melakukan seleksi
dalam satu bangsa ternak perah. Beberapa sapi FH (Friesian Holstein)
mungkin masih dapat dijumpai mampu menghasilkan produksi susu
dengan kadar lemak sampai 5 % dan beberapa ekor sapi Jersey hanya
menghasilkan susu dengan kadar lemak sebesar kadar lemak rata-rata dari
FH. Oleh karena itu diharapkan bahwa apabila kita menginginkan sapi-sapi
yang dapat memberikan keturunan yang mampu menghasilkan kuantitas
produksi susu yang tinggi maka bangsa sapi FH adalah pilihan
yang tepat, dan bila sasaran kita pada kadar lemak susu maka bangsa Jersey
paling sesuai. Selanjutnya bila kita ingin mendapatkan susu yang mempunyai
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 9
ukuran globula lemak yang kecil garis tengahnya maka pilihan kita paling
tepat adalah susu yang dihasilkan oleh bangsa sapi FH dan Ayrshire
demikian pula sebaliknya adalah sapi Guernsey. Dengan kata lain berlaku
Tabel 2. Rataan komposisi air susu dari berberapa bangsa sapi perah asal daerah temperate
Bangsa Lemak SNF Protein Laktose Abu Produksi susu2 x pemerahan
% % % % % (305 hari) (kg)
Jersey 5,2 9,6 3,7 4,7 77 4.010,4
Guernsey 4,8 9,2 3,5 4,8 75 4.363,3
Ayrshire 4,0 8,7 3,3 4,6 72 5.033,7
Brown Swiss 4,1 9,0 3,2 4,8 72 5.528,0
Holstein 3,6 8,5 3,1 4,6 73 6.316,2
Diolah dari Foley,et al (1972).
[Type text] [Type text] [Type text]10
Oleh karena itu kita perlu pula mempertimbangkan potensi sapi perah asal
daerah tropis seperti yang ditampilkan pada Tabel 3, dimana nampak
bahwa beberapa sapi daerah tropis mampu menunjukkan penampilan yang
cukup baik bila diberi lingkungan dan pakan yang baik, sehingga untuk
itu perlu dilakukan pengkajian lebih saksama dalam penentuan bibit ternak
yang akan dipelihara pada suatu lokasi. Hal ini mengingat bahwa
kelestarian suatu usaha peternakan sapi perah khususnya banyak
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dari pada faktor teknis produksinya.
Sebagai contoh di negara-negara Timur Tengah secara teknis pemeliharaan
ternak perah dari bangsa FH dapat dilaksanakan dengan baik tetapi apakah
secara ekonomis biaya produksinya dapat sepadan dengan harga jual dari
produk yang dihasilkan ?
Untuk itu kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila kita akan memelihara
exotic breed, tentunya harus telah dipertimbangkan kondisi yang bagaimana
Tabel 3. Rataan komposisi air susu dari beberapa bangsa sapi perah asal daerah tropis
Bangsa Lemak Lama Beranak Selang Produksi laktasi pertama Beranak Normal Maks. ( % ) (hari) (bulan) (bulan) (liter)Damascus 4,5 - - - 1500-3000 5000
Gir 4,5 240-380 31-51 14-16 1225-2270 3175
Red Sindhi 4,5 270-490 30-40 13-18 680-2270 5445
Sahiwal 5,0 290-490 30-43 13-18 1135-3175 4535
Jamaica Hope 5,2 250-305 27-33 12-14 2000-3000 9075
AFS 4,2 265 28 - 2405 5500
AIS 3,8 270 24-36 12-20 3030 11855
AMZ 4,5 275 28 - 2280 4850
Diolah dari Chamberlain,A. (1989).
yang dikehendaki oleh ternak tersebut untuk dapat berproduksi secara baik dan
ekonomis, agar peternak tidak mengalami kerugian dikemudian hari.
Misalnya sebagai akibat dari cekaman iklim yang tidak jarang dapat
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 11
berakibat cukup fatal. Untuk itu pertimbangan atas kemampuan adaptasi
dari bangsa ternak tertentu perlu mendapatkan perhatian yang layak.
1.4. Tingkat laktasi
Seperti telah diketahui pada hari hari pertama setelah sapi perah beranak
biasanya sampai 3-5 hari) maka ternak tersebut mengeluarkan susu yang
komposisinya berbeda dengan susu konsumsi (susu segar atau susu normal),
produk ini yang disebut Colostrum (lihat Tabel 1). Colostrum mengandung
bahan kering khususnya globulin yang merupakan bagian dari protein dalam
jumlah lebih banyak dari susu yang dihasilkan kemudian. Sebagian dari
globulin ini dalam bentuk gamma globulin yang mengandung antibodi) yang
sangat diperlukan oleh ternak muda yang
baru ahir agar dapat bertahan terhadap serangan bibit penyakit tertentu (yang
pernah menginfeksi induknya baik secara alamiah maupun vaksinasi). Kadar
laktosa agak rendah bila dibandingkan dengan susu murni atau konsumsi tetapi
kadar lemak dan proteinnya agak beragam. Kadar kalsium, magnesium dan
phosphor serta chlornya tinggi
tetapi pottasiumnya rendah. Zat besi pada colostrum sekitar 10 sampai 17 kali
lipat, untuk vitamin A 10 kali lipat dan vitamin D nya 3 kali lipat dari yang ada
pada susu konsumsi atau murni. Tingginya kadar vitamin A dalam colostrum
ini lebih kuning dari susu normal. Tingginya kandungan
atau kadar zat-zat makanan tadi memberikan peluang bagi ternak muda untuk
dapat tumbuh dengan cepat dan dapat memperkecil peluang terserang bibit
penyakit. Disamping itu colostrum bersifat laxantif atau pencahar sehingga
dapat mengeluarkan tahi gagak (muconeum) dan sekaligus
menggertak alat pencernakan untuk aktif setelah proses kelahiran berlalu. Oleh
sebab itu, colostrum ini tidak dapat dikonsumsikan ternak yang lebih tua
umurnya ataupun manusia tanpa melalui proses tertentu yang memadai.
Kandungan garam pada colostrum lebih tinggi terutama kandungan Na dan Cl
nya, sehingga rasanya lebih asin.
[Type text] [Type text] [Type text]12
Kandungan lemak susu dan abu dalam colostrum lebih tinggi bila dibandingkan
dengan air susu normal, perbedaan ini disebabkan karena total solid meningkat 2
kali dari air susu. Peningkatan kandungan lemak dan total solid dapat
dipergunakan oleh anak sapi (pedet) yang membutuhkan sumber energi tinggi,
dan proses ini merupakan salah satu jalan yang terjadi secara alami. Kadar
lemak susu secara bertahap akan mengalami penurunan sampai 2 atau 3 bulan
post partum (pasca kelahiran) selanjutnya akan meningkat pula secara bertahap
sementara itu produksi susu makin rendah dengan makin lanjutnya laktasi. Hal
yang serupa terjadi pada protein, laktosa dan mineral dengan kecepatan yang
agak berbeda. Bahan kering tanpa lemak (S.N.F) makin meningkat dengan makin
tuanya usia kebuntingan ternak dan kadar chlor meningkat dengan cepat hingga
mendekati kadarnya dalam darah. Bila ditinjau dari pola atau curva produksinya
maka sekitar 3 sampai 6 minggu laktasi jumlah produksinya selalu meningkat
kemudian setelah mencapai puncaknya pada laktasi yang bersangkutan) maka
produksi susu setelah mencapai puncak tersebut sering disebut sebagai
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH
Gambar 3. Kurva laktasi dari produksi susu dan % lemak susu dan % protein dari sapi Friesian Holstein
13
mulai menurun secara bertahap. Lama waktu untuk mencapai puncak
produksi tersebut berbeda, pada sapi yang produksi susunya lebih
tinggi maka perlu waktu yang lebih lama. Kemampuan ternak untuk
mempertahankan tingkat persistency. Kemampuan ternak untuk
memperta-hankan tingkat produksi susu yang tinggi atau
menghambat laju penurunan produksi air susu itu dapat digunakan
sebagai salah satu ukuran untuk menentukan pilihan didalan suatu
seleksi. Sapi yang mempunyai mampu memper-tahankan tingkat
produksi susu setelah mencapai puncak tersebut adalah lebih baik
dari pada sapi yang cepat turun produksi air susunya. Hal ini
umumnya dipengaruhi oleh kondisi ternak sebelum dan sesudah
melahirkan, tingkat pakan yang dikonsumsi (mutu dan jumlah),
adanya
Tabel 3. Hubungan antara tingkat laktasi dengan produksi susu.
25 sapi pada 35 sapi calving
official test within 12 bulan
Bulan laktasi ------------------------------------------------
Rataan produksi Rataan produksi
lbs/ hari lbs/ hari
1 47,5 32,9
2 54,5 33,0
3 53,0 30,3
4 48,7 28,4
5 45,5 27,0
6 43,7 24,7
7 41,0 23,4
8 38,5 22,7
9 36,7 21,1
10 34,7 17,1
11 32,5 11,3
12 29,8 3,8
Sumber: Eckles (1980).
gangguan kesehatan (milk fever, ketosis, mastitis dan lain-lain). Pada umumnya terjadi
korelasi negatif antara jumlah produksi air susu dengan kandungan protein dan lemak
[Type text] [Type text] [Type text]14
susu. Jadi dengan meningkatnya produksi air susu maka persentase komposisi dari
kedua bagian tersebut menurun. Persentase protein dan lemak susu menjadi rendah
selama puncak laktasi dan perlahan-lahan meningkat pada akhir laktasi.
Puncak produksi air susu dari sapi perah adalah tergantung dari kondisi tubuh pada
saat beranak, sifat yang dapat diturunkan, bebas dari gangguan metabolik dan infeksi
serta program pemberian pakan yang baik setelah beranak. Pada awal laktasi
umumnya rangsangan untuk menghasilkan jumlah produksi susu itu mampu mengatasi
hal-hal yang berkaitan dengan masalah
Tabel 4. Hubungan antara tingkat laktasi dengan % lemak susu.
Bulan 34 sapi 764 3763 3154laktasi calving Holstein Guernsey kedua bangsa
official official yang laktasi 12 bln test test1 4,07 3,55 4,63 4,31
2 3,94 3,36 4,59 4,28
3 4,06 3,25 4,71 4,35
4 4,00 3,29 4,85 4,44
5 4,10 3,27 4,97 4,54
6 4,10 3,29 5,08 4,62
7 4,17 3,34 5,16 4,69
8 4,20 3,38 5,22 4,76
9 4,20 3,47 5,29 4,85
10 4,50 3,52 5,39 4,88
11 4,59 3,56 5,49 4,96
12 4,70 3,63 5,60 5.00
Sumber: Eckles (1980).
tatalaksana atau lingkungan seperkekurangan pakan dan kurang tepatnya pelaksanaan
pemerahan. Namun bila laktasi makin lanjut maka kecepatan penurunan produksi
susu menjadi lebih besar dibandingan dengan sapi yang mendapatkan perlakuan yang
baik.
1.5. Kecepatan sekresi susu
Kecepatan sekresi susu paling tinggi terjadi setelah pemerahan dan paling rendah
menjelang saat pemerahan. Sehingga pada waktu antara suatu pemerahan dengan
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 15
pemerahan berikutnya dimana terjadi penimbunan air susu dalam ambing yang
berakibat makin tingginya tekanan di dalam ambing maka kecepatan sekresi air susu
menjadi makin rendah. Oleh sebab itu biasanya kapasitas ambing untuk menampung
susu dikaitkan dengan tekanan di dalam ambing. Sapi yang mempunyai kemampuan
produksi susu yang tinggi itu mempunyai ukuran atau kapasitas menampung air susu
yang lebih baik atau tekanan didalam ambingnya lebih rendah untuk sejumlah produksi
susu yang sama, sehingga laju sekresinya menjadi lebih baik dari pada sapi yang
kemampuan produksi susunya rendah. Oleh karena itu didalam praktek para peternak
berusaha untuk meningkatkan kecepatan sekresi susu ini dengan memperkecil
Gambar 4. Kurva hubungan waktu setelah pemerahan dengan tekanan dalam ambing dan kecepatan sekresi susu
tekanan dalam ambing yaitu dengan meningkatkan frekuensi pemerahan.
1.6. Pemerahan
Pemerahan pada sapi perah umumnya dilakukan 2 kali dalam sehari dan hal ini
biasanya dikaitkan dengan jumlah produksi susu yang dihasilkan dan atau tersedianya
tenaga yang cukup dengan biaya operasional yang memadai. Peningkatan frekuensi pemer-
ahan misalnya 3 kali dalam sehari dapat meningkatkan jumlah produksi yang dihasilkan
sekitar 10 sampai 25 % sementara bila dilakukan pemerahan 4 kali sehari maka
peningkatan tersebut menjadi 15 sampai 40 % bila diban dingkan dengan hasil 2 kali
pemerahan. Apakah hal tersebut dapat dicapai dalam praktek tergantung dari
tersedianya pakan yang cukup, tenaga kerja, peralatan dan tambahan dana yang mana
dapat berbeda antara peternakan yang satu dengan peternakan yang lain.
[Type text] [Type text] [Type text]16
Air susu yang dihasilkan pada awal pemerahan mengandung lemak yang lebih rendah
kadarnya (1 sampai 2 %) sementara pada akhir pemerahan kadarnya dapat mencapai 7
sampai 9 %. Apa yang menjadi penyebabnya secara rinci belum diketahui namun diduga
hal tersebut terjadi karena globula lemak yang dihasilkan tertahan pada saluran susu
yang lebih atas sementara cairan susu yang lain dapat langsung mencapai dasar ambing
sehingga dalam pemerahan awal akan dapat dikeluarkan terlebih dahulu. Kemungkinan
lain adalah berkaitan dengan berat jenis yang berbeda antara globula lemak dan komponen
protein, laktosa dan lainnya yang memiliki berat jenis yang lebih tinggi sehingga lemak
berada dibagian atas ambing pada saat pemerahan akan dimulai. Kemungkinan lain lagi
adalah pada awal pemerahan tekanan di dalam ambing cukup tinggi sehingga menghambat
laju pencurahan globula lemak ke dalam saluran susu dan manakala tekanan dalam
ambing makin rendah maka pencurahan globula lemak ini makin mudah, sehingga pada
akhir pemerahan diperoleh kadar lemak yang paling tinggi. Pendapat mana yang paling
tepat tentunya hal ini perlu pembuktian lebih lanjut.
Interval pemerahan atau lama waktu antara suatu pemerahan dengan pemerahan
berikutnya dilaporkan mempunyai pengaruh tersendiri terhadap jumlah dan komposisi air
susu yang dihasilkan. Sebagai contoh pada sapi yang diperah dua (2) kali sehari dimana
intervalnya antara 10 dan 14 jam menghasilkan air susu dalam jumlah yang sama bila
dibandingankan dengan interval 12 dengan 12 jam. tetapi pada sapi perah yang tinggi
produksi susunya dengan interval 8 dan 16 jam menghasilkan air susu dengan 1,3 %
lebih rendah selama laktasi yang bersangkutan bila dibandingkan dengan interval 12
dengan 12 jam. Sapi perah yang diperah dengan cepat selama 4 menit menghasilkan
produksi lebih rendah dibandingkan dengan yang 8 menit pemerahan, hal ini dikaitkan
dengan pelaksanaan pemerahan yang tidak lengkap. Seperti kita ketahui bahwa
umumnya pemerahan setiap ekor sapi perlu waktu sekitar 5 menit atau lebih untuk
mencapai hasil yang maksimal dalam pengeluaran susu. Selanjutnya bila dalam
pelaksanaan pemerahan selalu terjadi tersisanya susu dalam ambing (residual milk)
sekitar 2 liter selama 10 hari berturut-turut maka hal ini dapat menurunkan produksi
susu secara permanen selama laktasi.
1.7. Masa Birahi dan Kebuntingan
Produksi air susu dan kadar lemak bervariasi atau tidak tetap setiap harinya. Produksi
susu turun pada saat ternak mengalami birahi dan bunting. Turunnya produksi susu
pada saat birahi itu bersifat sementara dan jumlah turunnya produksi ini beragam atau
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 17
tidak konsisten. Pada saat kebuntingan memasuki bulan kelima maka penurunan
produksi susu mulai nampak nyata jika dibandingkan dengan ternak yang tidak bunting.
Pada bulan kebuntingan kedelapan produksi dapat turun sampai 20 % bila dibandingkan
dengan ternak lain yang tidak bunting yang mempunyai masa laktasi yang sama. Hal ini
dapat disebabkan karena adanya pengaruh hormon-hormon yang dihasilkan selama
kebuntingan, yang dapat menghambat kerja dari hormon-hormon laktogen dari kelenjar
pituitaria. Sedang pada bulan-bulan pertama dari masa bunting pengaruh itu tidak
begitu nyata, lebih-lebih kalau sapi mendapat pakan yang cukup baik sedang pada masa
birahi maka perubahan yang terjadi pada produksi dan kadar lemak susu hanya bersifat
sementara.
Sedang peningkatan kandungan solid non fat terjadi selama kebuntingan bulan ke 4
sampai 5.
Demikian pula sapi pada waktu birahi terdapat perubahan faal yang mempengaruhi
volume dan susunan air susu yang dihasilkan. Beberapa ekor sapi mungkin menunjuk-
kan tanda-tanda nervous dan mudah terkejut, sehingga tidak mau makan atau makannya
sedikit, yang mengakibatkan berkurangnya bahan baku susu dalam darah sehingga
produksi air susu turun. Sapi-sapi yang sangat aktif pada saat birahi penurunan produksi
susunya lebih besar dari pada sapi yang kurang aktif dalam hal ini level hormon dalam
darah mempunyai andil yang cukup besar dalam mempengaruhi tingkah laku ternak
dan penampilan produksi tersebut. Peningkatan aktivitas tersebut akan meningkatkan
penggunaan energi yang dalam keadaan normal akan diubah menjadi produksi susu, oleh
karena itu pada saat birahi ini terjadi penurunan produksi susu tetapi hanya bersifat
sementara.
1.8. Umur dan besarnya sapi
Sapi-sapi yang beranak pada umur lebih tua atau dewasa (sekitar 5 atau 6 tahun)
menghasilkan air susu (25 %) lebih banyak daripada sapi-sapi yang beranak pada
umur muda ( 2 tahun). Perbedaan bobot badan diperhitungkan menimbulkan
peningkatan produksi susu sebesar 5 sampai 20 % yang lain sebagai akibat dari
peningkatan ukuran atau perkembangan ambing. Produksi air susu akan konstant
sampai sapi tersebut berumur 7 tahun atau 8 tahun. Setelah umur tersebut, produksi air
susu akan menurun sedikit demi sedikit demikian pula mutunya. Seekor induk sapi yang
pertama kali beranak pada umur sekitar 24 bulan maka produksinya hanya mencapai
lebih kurang 75% dari induk yang telah dewasa. Induk yang berumur 3 tahun,
[Type text] [Type text] [Type text]18
produksinya 85% dari induk dewasa. Induk yang berumur 4 tahun, produksinya 92%
dari induk dewasa. Induk yang berumur 5 tahun, produksinya 98% dari induk dewasa.
Induk yang berumur 6 tahun telah mampu menunjukkan produksi maksimalnya (Foley
dkk., 1972). Peningkatan produksi air susu laktasi dari umur 2 tahun sampai dengan
umur 7 tahun disebabkan bertambah besarnya sapi karena pertumbuhan, meningkatnya
jumlah jaringan kelenjar susu dalam ambing juga bertambah banyak. Sedangkan
turunnya produksi air susu dari ternak sapi yang sudah tua, disebabkan
aktivitas kelenjar-kelenjar susu sudah berkurang. Kemampuan seekor sapi dara untuk
berproduksi air susu tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan badannya, namun juga
dipengaruhi oleh pertumbuhan ambingnya, hingga mencapai pertumbuhan yang
maksimal pada masa laktasi ke 3 atau ke 4. Secara umum ada hubungannya antara
berat badan induk dengan tingkat produksi air susu. Tubuh induk yang besar
mempunyai jaringan sekresi lebih banyak dan sistim jaringan pencernakan yang lebih
besar. Energi untuk maintainance dari ternak perah seimbang dengan kebutuhan
metabolisme pokoknya. Sedangkan jumlah energi untuk metabolisme tergantung dari
luas permukaan tubuhnya dan besarnya ukuran tubuh. Dua (2) ekor induk yang
masing-masing beratnya 375 kg secara umum memproduksi air susu lebih banyak dari
satu ekor induk yang beratnya 750 kg. Tetapi kebutuhan untuk maintainance dari
kedua ekor induk tersebut lebih besar dibandingkan dengan seekor induk yang
beratnya 750 kg, hal tersebut antara lain disebabkan luas permukaan tubuh pada 2 ekor
sapi yang kecil tersebut lebih luas dari pada satu ekor sapi yang besar. Sehingga
walaupun ukuran tubuh 2 kali lebih besar atau lebih berat tetapi produksi susunya
tidak berarti 2 kali lebih banyak tetapi hanya sekitar 70 % lebih banyak atau
sebagai rumus umum dipakai perhitungan bobot badan 0.7 (Foley dkk. 1972). Kadar
lemak dan SNF susu mengalami penurunan dengan semakin lanjutnya perioda laktasi.
Sebagai contoh kadar lemak 0,2 % dan SNF 0,4 % lebih rendah antara produksi susu
yang dihasilkan sapi laktasi pertama dibandingkan dengan kelima. Berkaitan dengan
masalah umumr ini maka sapi dara sebaiknya sudah dikawinkan bila telah mencapai
ukuran tubuh yang layak sehingga pada umur 2 tahun telah dapat beranak pertama
kali. Penundaan saat beranak pertama ini walaupun dapat meningkatkan produksi
susu tetapi akan menurunkan lama usia produktifnya. Ternak yang telah tua maka daya
tahan tubuhnya makin menurun demikian pula fungsi dari organ tubuhnya sehingga hal
ini tentunya dapat berpengaruh pada jumlah dan mutu susu yang dihasilkan.
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 19
1.9. Periode kering
Sapi perah yang sedang laktasi dan bunting hendaknya diberi kesempatan untuk
beristirahat bila usia kebuntingannya mencapai 7 bulan. Lama waktu istirahat ini
dikenal sebagai perioda kering atau masa kering kandang dimana biasanya berkisar
antara 6 sampai 8 minggu. Lamanya perioda kering ini tergantung dari baik buruknya
kondisi induk yang bunting tersebut. Bila kondisi induk kurang baik maka perlu
istirahat lebih lama agar mendapatkan kesempatan yang cukup untuk memperbaiki
kondisi tubuhnya. Lamanya kering kandang 6 atau 8 minggu keduanya akan
menurunkan produksi susu pada masa laktasi yang bersangkutan. Kesempatan ini
penting dalam upaya untuk memberikan istirahat pada ambing sebagai pabrik yang
mengolah bahan baku susu (asam-asam amino, glukosa serta asam lemak dsb) dari
dalam darah menjadi produksi susu yang dikeluarkan dari ambing tersebut. Waktu untuk
istirahat ini diperlukan untuk memperbaiki jaringan-jaringan ambing yang rusak selama
masa laktasi dan memperbaiki kondisi tubuh (BCS) induk agar cukup persediaan
makanan yang diperlukan untuk menunjang laktasi berikutnya dengan rataan 3,5 pada
saat beranak. Ternak perah yang perioda kering kandangnya sangat pendek akan
menghasilkan produksi susu yang lebih rendah dibandingkan ternak perah yang
mendapatkan kesempatan istirahat yang cukup. Dari suatu penelitian yang dilakukan
diperoleh informasi bahwa perioda kering 50 sampai 59 hari menghasilkan produksi
susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang diberikan kesempatan istirahat
dalam perioda kering kandang ini antara 40 sampai 49 hari atau 60 sampai 69 hari
(Schmidt dan Van Vleck, 1974).
1.10. Pakan
Jumlah produksi air susu tergantung dari pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak
tersebut serta banyaknya zat-zat makanan yang dapat dicerna dan dapat dimanfaatkan
secara baik oleh ternak. Davis (1962) menyatakan bahwa untuk sapi perah yang
kekurangan pakan akan tertekan produksi air susunya dan derajat penurunan produksi ini
dihubungkan dengan berapa besar kekurangan zat-zat makanannya dan berapa banyak
zat makanan yang dapat dilepas dari cadangan pakan yang ada dalam tubuh ternak
(Foley dkk.,1972; Schmidt dan Van Vleck, 1974; Chamberlain, 1989).
Kandungan lemak dari air susu dapat meningkat oleh karena pemberian pakan
walaupun peningkatan tersebut biasanya bersifat sementara dan agaknya para peternak
[Type text] [Type text] [Type text]20
sapi perah kurang dapat melaksanakan usaha mempertahankan ataupun meningkatkan
kadar lemak susu ini tanpa harus menurunkan produksi susunya. Pakan yang mengan-
dung lemak tinggi, seperti minyak biji rami, minyak biji kapuk dapat meningkatkan
kandungan lemak susu, sedang cod liver oil menyebabkan turunnya kandungan lemak
susu. Beberapa ransum yang dapat menyebabkan menurunnya kadar lemak air susu
antara lain (Schmidt, 1971; Foley dkk., 1972)) adalah:
Jumlah pemberian konsentrat yang terlalu banyak atau pemberian
roughage hijauan) yang terlalu sedikit jumlahnya dalam ransum.
Kandungan serat kasar yang sangat rendah dalam hijauan misalnya
yang terjadi pada awal musim penghujan dimana rumput atau hijauan baru
tumbuh atau hijauan terlalu muda untuk dipanen.
Penyajian pakan dalam bentuk pellet khususnya forage.
Ukuran pakan (particle size) yang terlalu kecil misalnya akibat pencin-
cangan atau "chopping" hijauan dalam ukuran yang terlalu pendek
ataupun hijauan yang digiling halus.
Konsentrasi dari pada pakan hijauan yang terlalu rendah atau karena
selang waktu antara pemberian konsentrat dan hijauan terlalu lama yang
berakibat turunnya pH rumen sehingga kecernaan serat kasar rendah.
Pemberian konsentrat secara liquid atau bubur dapat mempercepat
masuknya pakan kedalam perut bagian belakang omasum-abomasum)
tetapi memperkecil peranan air liur ternak dalam membantu proses
pencernaan pakan (Mc Dowell, 1989), termasuk di dalamnya pemanfaatan
urea dalam air liur ternak. Pemberian konsentrat dalam keadaan basah
(tidak harus berupa bubur) dapat memperkecil resiko masuknya debu (asal
pakan konsentrat) kedalam saluran pernafasan yang dapar menimbulkan
atau memperbesar resiko radang paru yang dapat menurunkan produksi.
Pemanasan pada pakan misalnya pada saat membuat pellet. Campuran
konsentrat biasanya diberikan dalam bentuk tepung tetapi bila diberikan
dalam bentuk pellet, maka produksi lemak susunya 0,1% lebih rendah. Bila
makanan yang diberikan mengandung serat kasar yang tinggi maka akan
diperoleh kadar lemak susu yang tinggi. Hal ini karena terjadinya perubahan
komposisi VFA dalam rumen. Produksi C2 lebih tinggi daripada C3 dan C4,
dengan demikian bahan baku untuk produksi lemak susu menjadi lebih
banyak bila dibandingkan ransum yang berkadar serat kasar yang rendah.
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 21
Kandungan lemak jenuh dan tidak jenuh didalam ransum juga akan
berpengaruh pada kadar lemak susu yang dihasilkan. Pemberian protein tinggi
didalam ransum akan meningkatkan sedikit kandungan protein dalam susu
yang dihasilkan. Ransum yang demikian ini dapat menekan produksi asam
asetat dan meningkatkan produksi asam propianat dalam rumen.
Pada umumnya prosentase molar dari asam lemak volatile dalam rumen (Foley
dkk., 1972) adalah :
- asam asetat 65%
- asam propianat 20%
- asam butirat 12%
- asam lainnya 3%
Sebab-sebab lain yang pasti dari turunnya kadar lemak susu belum diketahui.
Van Soest (1963) yang telah dikutip oleh Schmidt dan Van Vleck (1974) telah
menyimpulkan bahwa teori yang dapat digunakan untuk menerangkan turunnya
kandungan lemak susu adalah:
Teori l : Kurangnya produksi asam asetat dalam rumen sebagai bahan baku
lemak susu.
Teori ll: Adanya pengurangan sejumlah Hydroxybutyric acid dalam darah, yang
dapat mengakibatkan defisiensi dalam sejumlah 9 gugusan carbon tersebut, yang
berfaedah untuk mensintesa lemak air susu.
Teori III:Produksi asam propianat tinggi, yang menyebabkan respon
glocogenic dalam tubuh dan tertahannya mobilisasi lemak dari jaringan dan
karena itu menyebabkan turunnya lemak darah, yang berguna untuk sintesa lemak
susu.
Beberapa upaya untuk meningkatkan kadar lemak susu (Foley dkk., 1972)
antara lain dapat dilakukan melalui: Pemberian sodium dan potasium
bicarbonat, sodium bentonite, magnesium oksida, magnesium carbonate atau
calsium hydrosida. Bahan-bahan tadi dapat meningkatkan pH rumen dan
menurunkan produksi propionate tetapi meningkatkan produksi asetat dalam
rumen.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menyajikan pakan
ternak ruminansia dalam upaya untuk mencegah turunnya kadar lemak susu
adalah sebagai berikut:
1. Pemberian hijauan misalnya hay sedikitnya 1,5 % bobot badan
[Type text] [Type text] [Type text]22
/hari.
2. Ransum yang diberikan paling sedikit mengandung 17 % serat kasar.
3. Pemberian hijauan dan konsentrat secara terpisah.
4. Pemberian jagung dalam batas-batas tertentu yaitu 1/3 dari total
ransum.
Oleh karena itu penyusunan ransum bukanlah pekerjaan yang mudah sehingga
perlu pengetahuan dan pengalaman yang khusus untuk dapat mencapai hasil
yang menggembirakan.
Teknologi untuk meningkatkan produksi asam acetat diarahkan pada upaya
peningkatan produksi lemak susu dan sebaliknya dapat digunakan untuk upaya
penggemukan misalnya pada saat ternak dikeringkan untuk memperbaiki kondisi
tubuh menjelang partus.
1.11. Pemberian pakan dan pemerahan yang tidak teratur
Pelaksanaan pemberian pakan dan waktu pemerahan dalam usaha peternakan ternak
perah hendaknya dilakukan secara teratur, dengan baik maka akan diperoleh produksi
susu yang rendah. Hal ini dapat dihubungkan dengan tidak stabilnya pH rumen dan
tekanan didalam ambing yang sangat besar pengaruhnya pada kecepatan sekresi susu.
Disamping itu perubahan waktu tadi juga dapat menimbulkan stress pada ternak yang
pada gilirannya akan meningkatkan sekresi hormon adrenalin yang menekan kerja oxyto-
cin sehingga pemerahan tidak dapat dilaksanakan secara tuntas (Schmidt dan van
Vleck, 1974).
1.12. Perubahan tukang atau mesin perah
Perubahan tukang/mesin perah didalam pelaksanaan pemerahan sering menimbulkan
turunnya produksi susu dari sapi yang diperah. Hal ini antara lain disebabkan oleh
stress (Schmidt, 1971) yang ditimbulkan oleh hadirnya orang baru dalam kandang dan
ketrampilan tukang perah tersebut dalam melaksanakan pemerahan, disamping itu
tukang perah yang baru biasanya belum memahami tingkah laku dari sapi-sapi yang
diperahnya, sehingga hal ini dapat menimbulkan ketegangan atau ketakutan yang
mengakibatkan turunnya produksi susu. Lambat laun dengan semakin terampilnya
tukang perah serta semakin terjalinnya pengertian antara ternak yang diperah dengan
tukang perahnya maka akan diperoleh produksi susu yang lebih banyak. Mesin perah
yang tidak memenuhi standard (tekanan terlalu kuat atau frekuensinya tidak tepat atau
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 23
dinding dalam karet teat cup yang telah rusak) sering menimbulkan pengaruh pada
produksi susu baik melalui kenyamanan pada saat pemerahan dilakukan maupun
kesempurnaan proses pemerahan .
1.13. Suhu lingkungan dan musim
Pengaruh suhu lingkungan pada produksi susu dan komposisinya banyak tergantung
pada bangsa dari ternak. Sapi Holstein dan bangsa sapi yang mempunyai ukuran tubuh
yang besar yang berasal dari daerah temperate lebih mampu menyesuaikan diri pada
suhu rendah sementara bangsa sapi yang lebih kecil khususnya Jersey dan Brown
Swiss mampu menyesuaikan diri pada suhu yang lebih panas. Suhu yang rendah tidak
banyak berpengaruh pada produksi susu asalkan ternak mendapatkan extra energi
untuk mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap stabil. Pada lingkungan dengan
kelembaban relatif antara 60 sampai 80 % perubahan suhu dari 10 sampai 21 o C tidak
akan mempengaruhi produksi susu (Foley dkk.,1972). Pada kisaran susu ini ternak
mampu mengatur suhu tubuhnya tanpa banyak mempengaruhi produksi panas tubuh.
Kisaran suhu netral ini bervariasi antar bangsa sapi misalnya Jersey dan Brown Swiss
lebih tinggi dibandingkan dengan Holstein. Bila perubahan suhu lingkungan berada
diatas suhu netral ini maka produksi susu akan segera turun sebagai akibat dari antara
lain turunnya konsumsi pakan dan meningkatnya konsumsi air minum. Pada umumnya
bila suhu lingkungan mencapai 40,5 o C maka konsumsi pakan dan produksi susu
mencapai tingkat terendah yaitu nol. Kadar lemak susu umumnya meningkat bila suhu
lingkungan turun berada dibawah 23,9 o C, demikian pula SNF dan TS. Sebaliknya bila
suhu lingkungan meningkat maka kadar Chlor dalam susu meningkat dan kadar
laktosanya turun. Lebih lanjut dilaporkan oleh Cobble dan Herman (1951) yang dikutip
oleh Foley dkk., 1972) bahwa terjadi penurunan produksi susu yang sangat nyata pada
sapi Holstein pada suhu 26,6 oC, Jersey dan Brown Swiss pada suhu 29,4 oC, Brahman
pada suhu 32,2 o C serta pada suhu diatas 32 o C SNF makin turun kadarnya dalam susu
yang dihasilkan.
Musim mempunyai pengaruh tersendiri pada sapi perah karena hal ini tidak saja
berkaitan dengan suhu tetapi jumlah dan mutu pakan serta intensitas penyinaran
mungkin juga berpengaruh pada produksi susu. Sapi yang beranak pada musim
rontok, produksi susunya selama laktasi lebih banyak daripada sapi yang beranak pada
musim semi, perbedaan produksi susu tersebut sekitar 10-15%. Sapi-sapi Holstein yang
[Type text] [Type text] [Type text]24
melahirkan pada bulan Desember sampai Maret (musim dingin sampai awal semi)
mengahasilkan susu sekitar 600 kg lebih banyak dibandingkan dengan yang melahirkan
pada bulan Juli sampai Agustus. Di negara bagian New York Amerika Serikat sapi yang
melahirkan pada musim gugur menghasilkan susu 680 kg lebih banyak dari pada yang
melahirkan pada musin semi maupun panas. Di Indonesia umumnya sapi sapi yang
melahirkan anaknya pada akhir kemarau dan awal musim penghujan jumlah produksi
susunya lebih banyak dari yang melahirkan pada akhir musim penghujan dan awal
kemarau, hal ini juga terkait dengan jumlah dan mutu pakan yang ada pada saat itu.
Ternak yang mendapatkan hijauan segar dengan mutu yang baik pada saat berada awal
laktasi akan dapat menampilkan produksi lebih baik dari pada yang mendapatkan mutu
pakan yang jelek pada periode tersebut. Menurut Kalam (1990, personal komunikasi)
jumlah produksi susu di Koperasi SAE Pujon antara musim penghujan dan kemarau
tidak banyak berbeda, karena pada musim kemarau manakala hijauan berkurang
jumlahnya maka peternak meningkatkan penggunaan konsentrat dalam ransum
ternaknya. Hal ini mungkin karena konsentrat yang digunakan masih mengandung
serat kasar yang cukup demikian pula kadar proteinnya sehingga tidak banyak
berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Perbedaan produksi sebagai akibat dari
musim ini makin menjadi kecil karena program pemberian pakan yang menjadi makin
baik.
1.14. Exercise
Pada ternak yang dipelihara secara terikat atau menentap, maka exercise
mempunyai peranan yang penting. Hal ini mengingat bahwa gerakan otot pada
anggota gerak dapat membantu memperlancar peredaran darah yang mungkin
terganggu pada saat ternak berada pada ruangan yang terbatas. Dalam keadaan bebas
maka ternak dapat menampilkan tingkah laku birahi secara lebih nyata, sehingga
pemeriksaan birahi dapat dilakukan dengan mudah yang pada gilirannya akan dapat
memperkecil kerugian akibat tertundanya kebuntingan. Hal ini banyak dijumpai pada
pemeliharaan ternak perah dengan kandang system “loose housing”. Ternak-ternak
yang dapat bergerak bebas akan membantu dalam perawatan kuku, karena akibat
pergesekan kuku dengan lantai atau rumput dan tanah akan dapat mengurangi laju
perpanjangan kuku ternak. Pada ternak mendapatkan kesempatan exercise di luar
kandang di udara terbuka, maka dengan bantuan sinar matahari dapat menyebabkan
kelembaban kulit dapat diperkecil dan mikroorganisme penyebab penyakit yang
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 25
berada di luar tubuh ternak dapat diperkecil populasinya serta mebantu terjadinya
perubahan pro vitamin D menjadi vitamin D, dimana hal ini tentunya dapat
meningkatkan derajat kesehatan ternak. Peningkatan kesehatan ternak ini secara tidak
langsung akan dapat meningkatkan atau mempertahankan penampilan produksi
ternak.
Penjemuran ternak biasanya dilakukan apabila cuaca dalam keadan baik dan
penjemuran dilakukan sekitar 1-2 jam oleh para peternak sapi perah rakyat yang ada
di pedesaan. Ternak dijemur di bawah sinar matahari secara terikat di luar kandang
dan ini dilakukan pada pagi hari setelah penyetoran susu ke KUD atau pos
penampungan susu dan pada saat pembersihan kandang dilakukan hingga sekitar jam
11.00 siang. Beberapa peternak berpendapat bahwa dengan adanya penjemuran ini,
maka konsumsi air minum ternak akan meningkat dan dapat meningkatkan produksi
susu. Namun kita menyadari bahwa penjemuran yang terlalu lama dan pada saat
matahari bersinar dengan teriknya, tentunya kurang baik dampaknya terhadap
penampilan produktivitas ternak, karena hal ini dapat menimbulkan heat stress.
Ternak yang menderita sengatan sinar matahari yang serius pada umumnya frekuensi
pernafasannya meningkat, demikian pula air liurnya diproduksi secara berlebihan.
Hal semacam ini sebaiknya dihindari, karena dapat menyebabkan menurunnya
produksi ternak dan lebih–lebih bila ternak dalam kedaan birahi atau setelah
diinseminasi, maka suhu tubuh akan meningkat lebih tinggi lagi yang dapat
menurunkan angka konsepsi atau kematian embryo pada periode awal. Ternak yang
mengalami heat stress ini biasanya nafsu makannya turun dan hanya nafsu
minumnya saja yang meningikat, sehingga akan dapat menimbulkan kekurangan zat-
zat makanan di dalam tubuhnya bila hal ini berlangsung lama.
1.15. Penyakit dan obat-obatan
“Prevention is better than cure”, demikianlah kira-kira ungkapan dalam
bahasa Inggris yang mengingatkan kita agar berupaya untuk mencegah timbulnya
suatu penyakit atau keadaan sakit untuk menghindari kerugian yang lebih besar baik
dalam artian uang. Keseluruhan proses produksi dari sapi perah dapat terganngu
apabila ternak tersebut mengalami sakit yang antara lain dapat disebabkan oleh bibit
penyakit mapupun kelainan metabolis. Dalam uraian berikut tidak dimaksudkan untuk
mendidik mahasiswa menjadi ahli dalam bidang tersebut, tetapi untuk meningkatkan
wawasan agar lebih menyadari apa yang harus atau sebaiknya dilakukan dalam
menangani kasus-kasus dalam peternakan sapi perahnya manakala upaya untuk
[Type text] [Type text] [Type text]26
mendapatkan pertolongan dari petugas yang berkompeten secara kebetulan tidak
berhasil. Berikut dipaparkan beberapa upaya untuk menangani beberapa kelainan
metabolis yang sering dijumpai pada usaha peternakan sapi perah. Hal ini antara lain
terjadi karena sapi perah yang ada sekarang telah berkembang ke arah potensi genetik
yang lebih tinggi dalam produksi susu, sehingga apabila pengelolaannya tidak
memadai akan dapat timbul kelainan metabolic seperti ketosis atau acetonemia, milk
fever, malposition abomasums dan asidosis.
Obat
Ada beberapa obat yang sering digunakan dalam usaha untuk meningkatkan
produksi dan komposisi susu. Adapun obat-obatan yang berguna untuk menstimulir
produksi susu seperti Thyroprotein atau Iodinated Casein. Pemberian bahan tersebut
pada sapi perah dalam jumlah yang cukup, akan dapat mempercepat terjadinya
metabolisme dalam tubuh, sehingga produksi susu dan kadar lemak mungkin akan
meningkat. Sedang Thyroprotein yang ditambahkan di dalam pakan sapi perah dapat
meningkatkan produksi dan kadar lemak susu, demikian pula halnya dengan
penambahan Oxytocin, walaupun hal di atas bersifat sementara. Para petani di
pedesaan sering memberikan ramuan jamu tradisinal, misalnya empon-empon, atau di
daerah sekitar Malang ramuan ini dikenal dengan nama Palapah, yang umumnya
diberikan pada sapi perah setelah melahirkan anaknya, atau untuk mempertahankan
kesehatan ternak atau memacu nafsu makan pada ternaknya. Disamping itu pemberian
jamu tradisional ini dapat mempertahankan produksi susu dalam jangka waktu
tertentu bila diberikan secara teratur, misalnya 2 minggu sekali. Hal ini dapat diduga
atau dapat dihubungkan dengan meningkatnya nafsu makan dan meningkatnya jumlah
protein yang diabsorpsi pada usus halus, sebagai akibat matinya beberapa mikroba
rumen setelah pemberian ramuan tadi. Ramuan jamu tradisional tadi disamping
mengandung zat-zat makanan juga mengandung bahan disinfektan, misalnya yang
terdapat pada kunyit. Namun demikian, penelitian lebih lanjut tentang masalah ini
perlu dilakukan agar dapat memperjelas faktor apa sesungguhnya yang dapat
mempengaruhi produksi susu.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 27
Anonimus. 2000. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Malang. Malang.
Bath, D.L., F.N. Dickerson, H.A. Tucker and R.D. Appleman. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problem. Profit. Third Edition. Lea & Febiger. Philadelpihia.
Boulanger D., F. Bureau, D. Melotte, J. Mainil and P. Lekeux, 2003. Increased Nuclear Factor-B Aktivity in Milk Cells of Mastitis-Affected Cows. J. Dairy Science.86:1259-1267.
Bradkey A.J., and M.J. Green. 2001. Adaptation of Escherichia coli to the Bovine Mammary Gland. J. of Clinical Microbiology, May 2001,p.1845- 1849,Vol.39,No.5.
Fontaine, M., J.P. Casal, X.M. Song, J. Shelford, P.J. Willson and A.A. Potter. 2002. Immunisation of Dairy Cattle with Recombinant Streptococcus uberis GapC or Chemeric CAMP Antigen Confers Protection against Heterologous Bacterial Challenge. http://www.elsevier.com/locate/vaccine. J.Vaccine20:2278-2286.
Gibbons, J.M. 1963. Disease of Cattle. Second Ed. American Veterinay Publication Inc., Drawer KK.
Gonzales, R.N., 1996. Mycoplsma Mastitis In Dairy Cattle: If Ignored, It Can Be a Costly Drain On the Milk Producer. Quality Milk Promotion Services College of Veterinary Medicine, Cornell University Ithaca. New York.
Gill,R., W.H. Howard, K.E Leslie and K. Lissmore. Economic of Mastitis Control. J. Dairy Sci. 73:11:3340e-349.
Judge, L., 1997. Mycoplasma Mastitis:An Emerging Disease in Michigan Dairy Cattle. Michigan Dairy Review:2 (2):4, may, 1997.
Mellenberger R. and J. Kirk., 2004. Mastitis Control Program for Coliform Mastitis In DairyCows. http://www.uwex.edu/milkquality/PDF/coliform mastitis.pdf.
Novita, T., 1999. Manajemen Penanganan Susu Di Koperasi Unit Desa Wajak Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Soltys J. and T. Quinn. 2002. Selective Recruitment of T-Cell Subsets to the Udder During Staphylococcal and Streptococcal Mastitis: Analysis of Lymphocyte Subsets and Adhesion Molecule Expression. Infection and Immunity, December 202,p.6293-6302,Vol.67,No.12.
Surjowardojo. 1990. Hubungan Antara mastitis Berdasarkan CMT Terhadap Produksi Susu Pada peternakan Sapi Perah Rakyat di Wilayah Kecamatan Pujon. Malang.
[Type text] [Type text] [Type text]28
Schmidt, G.H., and L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. W.H Freeman and Company. San Francisco.
Taylor, R.E., 1992. Scientific Farm Animal Production. Macmillan Publishing Company. New York.
Wallace R.L., 2004. Mycoplasma Mastitis and Bulk Tank Screening. http://www.mycoplasma mastittis and Bulk Tank_.htm.
BAB 2
DAIRY CATTLE HOUSING AND EQUIPMENT
(Prepared by Sarwiyono and R. de Jong)
3.1. Introduction
Most farm livestock belong to the homoeothermic animals, that is, they have to
be able to keep their body temperature within a moderately narrow range to allow all
physiological processes to work efficiently. They have to maintain a balance between on
one side heat production (the energy coming from feed) and heat load (the energy from
environmental sources) and on the other side the heat loss for production or to the
environment. Figure 2.1. show some aspects of the physiology of the animal, and the air
humidity which have a number of very important influences on the heat balance. Heat
production of farm animals varies according to the size, level of production, number of
animals in the shed, feed intake, feed quality, physiological status of the animal and also
heat production and heat loss is important in order to achieve conditions which are
comfortable for the animals
The basic environmental requirements to ensure satisfactory production, health and
welfare in the livestock animals are :
1. Thermal and physical comfort
2. Hygiene
3. Behavioural satisfaction
4. Optimal productivity
These principles apply to all accommodation for livestock animals. In designing
accommodation for the livestock it is necessary to achieve the best possible compromise
between the animal's needs and those of the farmer for buildings and structures that are
reasonable priced and convenient to maintain and to operate. The other things that have
to be considered are that other aims of accommodation are also to protect animals
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 29
against predators or even theft, which may require special construction or facilities. In
hot and dry continental climates it may be necessary to accommodate cows close to the
milking parlour and bring food to them throughout the lactation. The exact design of
cattle accommodation is therefore influenced greatly by climate and by general
management and feeding strategies, although the general objectives are the same. The
term climate includes various factors such as air temperature, relative humidity, air
composition, air velocity, light, and dust. In the animal house, therefore, one has to be
able to maintain cleanliness, comfortable and reasonable shelter against the negative
effects of the weather, sufficient access to clean, wholesome food and water, sufficient
space to move around without any difficulty or interference from other cows. The animal
house should also provide sufficient space and opportunity to express essential patterns
of behaviour such as 'bulling' (oestrous behaviour). It should also be possible to
direct cows without difficulty to specific areas for milking, calving boxes, and to the
restraining stall for artificial insemination or special treatment by the veterinarian.
3.2. Space requirement
Space requirement per animal, in general, decrease as the degree of confinement
and environmental control increases. Animals are assigned according to body weight,
age or sex group. There are certain fundamental differences between ruminant animals
and pigs and poultry which makes the approach to environmental control quite different
forthe two groups of livestock. Air volume per animal is provided by mechanical or
natural ventilation and is discussed later. Table 2.1., gives a general guidelines as to
feedlot and floor area requirement for various animals in warm or cold confinement.
Space per animal in feedlots for beef cattle is highly dependent on the climatic
conditions. The minimum feedlot space per animal of 20 m2 is possible only in arid
climates having 25 cm or more moisture deficit per year (the deficit is annual lake
evaporation minus rainfall). In more humid climates where the feedlots become muddy
and the manure does not dry out from the sun and wind, up to four hour times as much
space may be necessary. In fact, it is in more humid and colder climates that partially or
all-surfaced feedlots and partially or totally sheltered feedlots become economically
feasible. Muddy feedlots can reduce beef cattle gains as much as 30 %. Under adverse
climaticconditions, open feedlots may increase feed requirements and lengthen feeding
periods. For example, in an area that has a moisture surplus and average coldest month
[Type text] [Type text] [Type text]30
temperature of 5oC , open feedlots increase feed requirement and lengthen feeding time
by 15 % as compared to the sheltered housing.
Table 3.1. Feedlot and shelter requirement for animals
--------------------------------------------------------------------------------------------------- Animal type Feeder space Floor space
(cm per head) (m2 /animal) Dairy cattle: Free-stall 40 6-7Stanchion type 100 6-8---------------------------------------------------------------------------------------Source : Esmay (1977).
The decision as to whether or not to provide sheltered confinement for beef cattle must
be based on economics. Important factor are rate of gain, feed conversion efficiency,
cost of feed and marketable animal. The shelter confinement space per animal may be as
low as one-tenth to one-fortieth of that for open feedlots. The cost are, however, that the
cost per animal for covered space with solid concrete floor is twice that for open lots,
and covered space with slotted floor is three times as high. These increased cost per
animal must be made up by increased gains, shorter feeding periods, better management
of animals, better pollution control and better working conditions.
The space requirement for dairy cattle ( see Table.3.1. and 3.2.) are about the same in
free-stall and stanchion barn housing. Management of cattle and feed handling is,
however, quite different for the two systems. In stanchion barns, feed and water must be
distributed to each stall as each animal is confined to that position, other than for
milking. Originally in stanchion-type barns the cows were milked in place. Today most
modern stanchion barns also have separate milking parlours. The free-stall arrangement
have appreciable feed and waste handling advantages for dairy herds larger than 100 or
200 milking cows. Stanchion barns are traditionally warm-type insulated structure with
mechanical ventilation. Free-stall shelters may be either warm or cold. If the free-stall
shelters are of the warm type, then the feeding facilities must also be enclosed in warm
environment. Dairy cows must either by confined completely in a warm environment or
they must be left completely in the cold environment so that they can become
acclimatised. The space requirements for cattle , swine and poultry indicated in Table 3.1
are for environmentally controlled housing for general guideline. The value from this
table slightly different to .
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 31
Table 3.2. Dimension and space requirements of cows and heifer----------------------------------------------------------------------------------------
Cow Heifers, Item Jersey Friesian Holstein Friesian
2 yrs----------------------------------------------------------------------------------------Body weight (kg) 350 600 700 450Height to withers (m) 1.15 1.35 1.50 1.25Body length (m) 1.40 1.62 1.72 1.45Reach of mouth (m)- at floor level 0.85 0.90 0.92 0.84- 30 cm above floor level 1.00 1.05 1.07 1.02Cubicle dimensions (m)- length to wall 2.00 2.20 2.40 2.40- length behind trough 1.40 1.60 1.80 1.60- width behind partitions 1.10 1.15 1.20 1.15- height of the neck rail 1.00 1.05 1.10 1.05Feeding face, width (m) 0.55 0.70 0.70 Loose housing (m)- bedded area/head 3.00 5.00 5.80 4.00- feeding, etc/head 1.30 1.80 2.00 1.50 ------------------------------------------------------------------------------------------Source : Webster, 1987
Concerning the space requirement of dairy cows, an example is given below in
which the size of the animal is taken into account in order to give comfortable
accommodation allowing maximum production performance.
In comparison the housing system in India dairy farming showed, that the cattle
shed should be located on well drained land with a space requirement for six cows
recommended at 5 x 7 meter. This place have to be protected again draft by applying
walls of 1.5 - 2 meters. The roof height should be 3-4 m high supported on pillars (Dairy
India, 1987).
More details of space requirements are given table 3.2 above for dairy cattle (Hubbel,
1965 )
Table 3.3. Space allowance for dairy cattle*-----------------------------------------------------------------------------
Cattle Cows Yearling Calves
-----------------------------------------------------------------------------Shed space (m2 ) 1.86-4.65 1.39-2.32 1.11-1.86Feedlot (paved)(m 2) 3.25-9.29 3.25-7.43 2.79-4.64Feed Storage (m3) 3.54-7.05 1.84-5.243 0.89-3.54
[Type text] [Type text] [Type text]32
(Baled hay with silage)-----------------------------------------------------------------------------* Modified from Hubbel (1965)
3.3. The ambient temperatureIt is important to maintain the ambient temperatures as required by groups of animals
which have per category a specific range of environmental temperature in which the
animals could live and produce comfortable ( Table 3.4). It is important to understand
that there are some variation between breed of cattle to be tolerant to such
environmental temperature (European cattle more tolerant to cold but intolerant to heat).
Concerning the upper critical temperature of cattle (as an example) is varies in
relation to the breed or the environmental where the animal originated. As an example
the upper critical temperature for Friesian and Jersey approximately 21 - 25 0 C, Brown
Swiss 30 - 32 0 C and in Brahman cattle as high as 32 0 C. Davison et. al. (1988),
reported that animals with access to shade had significantly higher (P<0.01) milk yield
than did animals without shade; however, there was a significant interaction between
yield and parity (P< 0,05) cows without shade incurred a significant (P< 0,05) decrease,
while heifer with out shade showed cows no significant (P>0.05), decrease. Sainsbury
and Sainsbury (1988) that when the temperature rise above 18 0 C in open field and 22 0
C in the open barns, some protection should be given. Provision of shade and sprinklers
in summer when maximum temperatures ranged from 30 to 33.3 0 C give up to 2.8 kg
more milk per day than shade alone.
3.4. Lay-out and construction
In designing and construction of livestock housing specialized knowledge is required
which is related to the need of the animal, the need of the farmer/human being and other
technical and socio-economic points of view. Every breed of animals have their own
behaviour and characteristic needs. Mature animals may be able to adapt at the lower
environmental temperature, while the young animal are growing better at the higher
environmental temperatures.
Table 3.4 Ambient temperatures required by livestock---------------------------------------------------------------------------------------Species Temperature range (o C) Lower
critical (o C) *) **)
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 33
----------------------------------------------------------------------------------------Mature Cattle - Milk production optimum 10 to 20 -26 -13 but temperature from - 6 to 25 have little effect on yield.
Calves - at birth 10 to 15 9 17 - for veal prod. 15 to 22 -14 -1
----------------------------------------------------------------------------------*) Lower air speed (0.2 m/s)*) Draught (2 m/s)Modified from Sainsbury and Sainsbury, 1988
When new lay-outs for milk production farms are planned, general considerations
arise regarding siting in relation to other farm buildings and the best possible access.
Essential features include a suitably sheltered site with infra-structure for an ample
supply of pure water and electricity, and facilities for drainage and dung slurry disposal.
Proximity to fodder storage, both bulk and concentrates, calf accommodation, good
access for wheeled traffic, space for movement routes of the cattle, which can be kept
clean and preferably separate, are all essential factors for a good design. On the other
hand it could be said that in the location of the buildings one should consider the
following aspects:
Topography and drainage, soil type, exposure to sun and protection again wind,
accessibility, durability and attractiveness, water supply, surroundings, labour facilities,
marketing channels, electricity and other facilities
The type of lay out will further be guided by the following considerations:
1. Farm size and system of husbandry
When the farm has plenty of bulk feeds and bedding, the design will probably
require a completely different system than the small all-grass farm, where skill in
stockmanship to encourage high yields could be more important than labour cost.
2. Soil and climate
Regions which have a high rainfall and humidity need special consideration
particularly in the requirements for animal health and soil management.
3. Size related to the potential of the farm and the possibility of extension or
adaptability to the other system of husbandry if the need arise.
4. Availability of skill of management of labour.
[Type text] [Type text] [Type text]34
5. Economy in construction, use and maintenance.
6. Limitation imposed due to difficulties of waste disposal.
7. The position and appearance in relation to the surrounding landscape.
3.5. Building Material
The farmer or manager of the farm should to be able to chose the building material
which has comparable advantages above other materials, in term of price, durability,
thermal insulation capacity, easiness of cleaning, waterproof, not slippery and the
materials have to be available at any time and at reasonable price. Local materials should
be used as much as possible in order to provide material which may be available at any
time and may be more economic (especially when transportation is very expensive). As
an example, the farmer may have the option of selecting building material for walls
either from: brickwork, concrete block work, concrete walls (either pre-cast or cast in
situ), timber, metal. plywood, hardboard, asbestos, plastic or bamboo etc. The choice of
the material usually will depend on a number of factors: personal preference, degree of
strength, degree of thermal insulation, and hygienic reasoning (see Table 3.5 as an
example).
Table 3.5. Reflection and emission of radiation (in percent) of some typical surfaces.
-------------------------------------------------------------------------------Surface Reflectivity Emissivity
--------------------------- to thermal To solar * To thermal ** radiation radiation radiation
------------------------------------------------------------------------------- Aluminium, polished 85 92 8White lead paint 75 5 95Light green paint 50 5 95Aluminium paint 45 45 55Wood, pine 40 5 95Brick, various colours 23-48 5 95Grey paint 25 5 95Black matte 3 5 95------------------------------------------------------------------------------- * Primarily shortwaves** Long waves Source : McDowell (1972).
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 35
3.6. Shelter material
The option of such material for the shelter purposes should not only be considered on
technical aspects but one should also have to take into account aspects as economics,
health, safety, harmless not only for the animals but also for the human being. Dry straw,
can be used as a shelter in the area where the solar radiation is very high and with low
humidity. This material may create some problem in the area where the rainfall or the
humidity and air temperature are very high partly due to the mouldiness, poor sanitation
or possibly fire problem. In the area where the humidity is high, where bamboo is
available at a reasonable price, bamboo may have special advantage compared with
straw. The use of tiles (for example baked soil tile) may be justified in the area where the
risk of fire is very high and ventilation has to be improved.
In the temperate climate the type of roof that is usually used by the farmer is of the
gable type, mono-pitch. They use materials such as tiles, slates, cedar shingles, thatch,
galvanised and protected steel, and aluminium and fibre-cement tiles and sheets. The
most popular are corrugated fibre cement, steel and aluminium sheets, which are
relatively cheaper, fire resistant, easy fixable and of reasonably long life. Both are
relatively light materials and thus do not require heavy roof structures. ( See Davison et.
al. 1988, Australian J. of Exp. Agric. 28: 149-154)
3.7. Floor surfaces
The design of the floor is critical to thermal comfort, physical comfort, health and
security, especially for cattle . The animal stands, exercises, moves around, lies down
and excretes on the floor so that it must, depending on the needs of the moment, be non
slippery, well-drained and comfortably soft, warm and dry, and also easy to clean either
by hand or mechanically. Of the various materials used, wooden slats, asphalt, rubber
mats or damp straw can be said to be of the neutral type of floor because total visible
heat loss from a calf or an adult would not differ significantly, according to weather she
is standing up or lying down. Concrete, weather wet or dry, has a very high thermal
conductivity, therefore, the farmer has to keep this in mind.
Floor material have to be able to withstand heavy wear, especially in stables and
cowsheds, a granolithic finish or fine sand is recommended. This is a finely graded
concrete with granite chipping as aggregate, the coarse aggregate forming the wear-
resistant surface. Cement hardeners producing a non-dusting surface will also improve
wear by sealing the pores and making the floor impervious. In the developed countries
[Type text] [Type text] [Type text]36
materials for this purpose include silicates of soda, and zinc- and magnesium- silicon-
fluorides, as well as proper hardeners. Before it is treated the floor should be not less
than two weeks old, and clean and dry. About 4.5 litres of commercial silicate of soda
added to 1.8 litres of water covers up to 90 m2. The solution is brushed well into the
floor and is washed off with water the day after application. Two or three applications
are needed. The finish given to the floor should be non-slippery and are, therefore,
lightly roughened at the surface apart from the gutters which are best trowelled up. A
suitable non-slippery surface can be made with a wood float or by 'bouncing' with a
broom or light stamping. The best result is usually given by sprinkling carborundum on
the finished floor at the rate of 1 kg/m2 (Sainsbury and Sainsbury, 1988).
It frequently happens that the existing floor is so smooth and slippery that the stock
cannot gain a proper foothold, and so easily fall and injure themselves; this make them
timid and frightened to use it. There are various remedies which can be applied to re-
texture slippery floor surfaces; most of these are best left to a specialist firm:
1. Surface scabbling. A machine chips away the surface of the concrete and
leaves an abrasive finish.
2. Surface grooving. A variety of machines will cut grooves in worn concrete
to provide a surface on which the animals can get a good grip without
causing sore feet.
3. Resin mortars can be applied to the surface of the concrete and allowed to cure.
4. Acid etching. This method uses chemicals which can be very dangerous in use,
and much care is needed during application.
Cracked and damaged concrete floors may also present a hazard to operators and
stock, causing foot and hoof problems of livestock. In the case of milking premises this
situation does not conform to statutory requirements. Most badly cracked or worn
concrete floors are best completely re-laid. There may, however, be small areas where
only patchy repairs can be made. The essential point is to provide a good 'key' between
the existing and the new concrete. This requires really clean surfaces and proper binding
agents incorporated into the cement grout used as a filler. In addition, it needs sufficient
curing time.
3.8. Type of dairy cattle housing
Cows not only needs to be protected against extreme temperatures but also against
too much wind, rain and/or sun. The animals need to have reasonable bedding which
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 37
should be clean, dry, soft and not slippery. In the area where the climatic conditions are
dry and hot, it is also possible to construct simple shelters for dairy cows, which will
protect the animals from extreme solar radiation. Dry straw for example could be used
for bedding or for the roof of shelter and every cow should be able to get sufficient lying
space.
In designing the livestock housing Zappavigna (1983) gave an example of the
specific case of feeding arrangements which have to be considered:
2.a. in connection with the animals:
1. easy access to feed and comfort during feeding
2. availability of the quantity and quality of feed desired or needed, and
3. a quiet and undisturbed meal
2.b. in connection with human work:
1. reduction in power consumption (human or mechanical) for feed distribution,
2. ability to control animals, movements and to restrain them if required, and
3. reduction in power consumption for cleaning.
2.c. in connection with management cost:
1. control of feed wastage, and
2. low capital cost.
The most widely prevalent practise in Indonesia is traditional type of small-
scale cattle production. In this system farmer have to tie the cows with a rope on a part
of manger or event pillar (under shelter), except for some organised dairy or beef cattle
farms belonging to government or private institution where more proper and complete
housing facilities do exist. It is quite easy to understand that unless cattle are provided
with good housing facilities, the animals will move too far in or out of the standing
space, defecating all round and even causing trampling and wasting of feed by stepping
into the manger. The animals will be exposed to extreme weather conditions which
could lead to bad health or lower production. The type of dairy cattle housing may vary,
partly due to climatic conditions. However, two type of dairy barns are in general use at
the present time.
1. The loose housing dairy barn in combination with some type of milking machine,
and,
2. Conventional dairy barn or tie-up housing system.
In the loose housing system, the animals are kept loose and are not tied-up
except during milking and at the time of treatment. The system is most economical in the
[Type text] [Type text] [Type text]38
area where labour cost are very expensive. Some feature of a loose housing system are
as follow:
1. Cost of construction is usually lower than conventional type.
2. It is possible to make further expansion without much changes.
3. Facilitate easy detection of animals in heat.
4. Animals feel free and therefore, are more profitable with even minimum grazing.
5. Animals get optimum exercise which is extremely important for better health and
production.
6. Overall better management could be rendered.
In this system, there is usually a loafing area and lying area, with a feeding area
separated from the lying area. The cows are allowed to walk frequently. The manure is
spread over a large floor area and can be collected by scraping by hand or automated
scraper into the manure pit or a channel. Manure from pit or channel can be pumped into
a put door silo or lagoon. Milking is usually done in the milking parlour attached to the
housing unit or in a separated building, in which the cows can be milked by hand or
milking machine. Feed may be given in a manger behind a feeding rack with one or
more cows per feeding place. Concentrate is usually given partly during milking and in
the manger or via an automatic feeding system which is connected with a computer
program. There are two type of loose housing system : loose housing with a common
lying area or cubicles houses. The size of cubicle depends on the size of cows to be
housed (see space requirement).
In the tie-up or conventional barn each cow is restrained per stand. Feed and
water is delivered in a manger or water bowl in front of the animal. Milking takes place
individually by hand in the stall or machine. Manure is collected in a gutter which can be
scraped into the pit.
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 39