Implikasi Biaya Kepatuhan dari Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta
dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak Penghasilan Orang Pribadi
DESTIAN FUADI
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Program S1 Ekstensi
Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai biaya kepatuhan yang timbul dari peraturan Surat
Edaran DJP Nomor SE-29/PJ/2010 dimana untuk wajib pajak kawin pisah harta diatur khusus
dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi biaya kepatuhan dari perjanjian kawin pisah harta dan manajemen pajak untuk
wajib pajak kawin pisah harta dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi.
Menurut teori Sandford (1998) biaya kepatuhan terdiri atas biaya langsung, biaya waktu, dan
biaya psikologis. Hasil dari penelitian ini menjelaskan aspek biaya kepatuhan bagi wajib pajak
kawin pisah harta yang lebih besar daripada tidak pisah harta dan menjelaskan cara manajemen
pajaknya sesuai wawancara narasumber.
Kata Kunci : pisah harta, biaya kepatuhan, manajemen pajak penghasilan orang pribadi
Abstract. This study discusses the compliance costs arising from regulation No. SE-29/PJ/2010
where to split the treasure arranged marriage specifically in the fulfillment of personal income
tax liability. This study aims to identify the compliance costs of mating separation agreement and
management of property taxes for married taxpayers split the treasure in the fulfillment of
personal income tax liability. According to the theory Sandford (1998) compliance costs consist
of direct costs, time costs, and psychological costs. The results of this study describes aspects of
compliance costs for taxpayers mating separation greater treasure than not explain how to split
property and tax management according informant interviews.
Keywords : marital status separate assets, compliance costs, management income tax
PENDAHULUAN
Setiap tahunnya potensi pajak bagi
penerimaan negara terus meningkat. Hal ini
menyebabkan pajak menjadi sumber utama
pendapatan pemerintah. Salah satu jenis
pajak yang memiliki pendapatan besar
adalah pajak penghasilan, khususnya pajak
penghasilan yang berasal dari subjek pajak
orang pribadi. Dalam perhitungan pajak
penghasilan orang pribadi terdapat beberapa
komponen yang berpengaruh, seperti
komponen penghasilan dan komponen biaya
sebagai pengurang perhitungan pajak. Cara
menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)
untuk pajak penghasilan orang pribadi pun
bevariasi, dilihat dari kondisi maupun status
Wajib Pajak itu sendiri. Salah satunya
adalah apabila Orang Pribadi memiliki
perjanjian kawin pisah harta. Untuk
memberikan kepastian bagi wajib pajak
yang melakukan perjanjian kawin pisah
harta, Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan
peraturan mengenai cara pengisian SPT
Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi
bagi Wanita Kawin yang melakukan
perjanjian pisah harta dan penghasilan atau
wanita kawin yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri terpisah dengan
suaminya.Peraturan ini tertuang dalam Surat
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
29/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010.
Perjanjian kawin sendiri sebenarnya
bukanlah suatu hal baru di Indonesia.
Fenomena seperti pernikahan dengan warga
negara asing (WNA), kesetaraan gender,
hingga maraknya kasus perceraian yang
ujungnya mempermasalahkan harta bawaan
nikah sebagai salah satu penguat bahwa
perjanjian kawin khususnya pisah harta
sangatlah penting dilakukan bagi calon
pasangan suami isteri.
Meningkatnya fenomena perkawinan
disertai perjanjian pisah harta menunjukan
bahwa perjanjian tersebut kini menjadi tren
tersendiri untuk pasangan di Indonesia.
Perjanjian pisah harta bertujuan untuk
mengantisipasi perebutan harta apabila di
kemudian hari salah satu pasangan
meninggal atau bercerai.
Konsep penggabungan penghasilan
dalam keluarga ditekankan untuk melihat
kemampuan ekonomis sebuah keluarga. Hal
tersebut sesuai dengan penjelasan pasal 8
undang-undang tentang pajak penghasilan
yang terakhir dirubah dengan undang-
undang No. 36 tahun 2008. Penggunaan
keluarga sebagai taxable unit akan
mempengaruhi hak dan kewajiban
perpajakan bagi anggota keluarganya. Di
Indonesia, dengan digunakannya keluarga
sebagai taxable unit, maka pelaksanaan hak
dan kewajiban perpajakan dilakukan oleh
kepala keluarga. Pemberian pilihan bagi
wajib pajak wanita kawin untuk
menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri juga merupakan
upaya menyetarakan gender dalam
perpajakan. Wajib pajak diberikan
kesempatan yang sama dalam perpajakan
untuk menentukan status perpajakannya.
Berbeda dengan sistem individual
atau separate filing, bias gender secara
eksplisit ataupun implisit tidak terjadi. Hal
ini dikarenakan setiap wajib pajak memiliki
hak dan kewajiban perpajakannya sendiri
tanpa terkait dengan hak dan kewajiban
perpajakan pasangan menikahnya. Indonesia
menggunakan sistem separate filing bagi
wajib pajak wanita kawin yang memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri. Dalam perhitungan
pajak penghasilan terutang bagi wajib pajak
wanita kawin yang menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, masih
terkait dengan penghasilan milik suaminya.
Sehingga system separate filing yang
diterapkan Indonesia bagi wajib pajak
wanita kawin yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri tidak murni
(Anggarsari, hlm.4, 2010).
Peraturan mengenai wajib pajak bagi
wanita kawin yang memilih untuk
menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri merupakan salah satu
bentuk penerapan teknik pemungutan pajak
self assessment system. Dalam menentukan
pajak terutangnya, wajib pajak wanita kawin
dapat memilih ingin bergabung atau
berpisah perhitungannya dengan suaminya.
Pemilihan status ini ditentukan oleh wajib
pajak wanita kawin dan bukan ditentukan
oleh pemerintah ataupun pegawai pajak.
Sehingga wajib pajak wanita kawin
diberikan kebebasan dalam menentukan
status perpajakannya yang akan berpengaruh
terhadap perhitungan pajak penghasilan
terutangnya.
Penggunaan teknik pemungutan self
assessment system akan menimbulkan hak
dan kewajiban perpajakan yang lebih besar
bagi para wajib pajak. Hak dan kewajiban
perpajakan bagi wajib pajak wanita kawin
sama seperti hak dan kewajiban perpajakan
bagi wajib pajak orang pribadi lainnya. Hak
dan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak
orang pribadi terdapat dalam Undang-
undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana terakhir kali
diubah dengan Undang undang Nomor 28
Tahun 2007.
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Dalam hal ada perjanjian pemisahan
harta antara suami dan istri, maka NPWP
suami dan istri berbeda, dan mereka
dianggap sebagai individu (tax unit) yang
berbeda di muka pajak. Seperti yang telah
disebutan diawal, bahwa pajak merupakan
elemen penting bagi pendapatan negara
khususnya di Indonesia. Jadi sangatlah
diharapkan bagi seluruh masyarakat apabila
sudah memenuhi persyaratan sebagai wajib
pajak maka dapat menjalankan segala aspek
perpajakannya dengan baik dan benar.
Dalam kasus wajib pajak orang
pribadi yang memiliki perjanjian kawin
pisah harta, maka besarnya biaya yang harus
dikeluarkan bukan hanya sebesar hutang
pajaknya, namun biaya-biaya yang berkaitan
dengan pemenuhan kewajiban
perpajakannya salah satunya adalah
compliance cost. Peraturan Perpajakan di
Indonesia membedakan tata cara perpajakan
antara orang pribadi yang melakukan
perjanjian kawin pisah harta dan tanpa
perjanjian.
Biaya kepatuhan (compliance cost)
adalah biaya yang dibebankan secara
langsung dan tidak langsung kepada wajib
pajak. Beban yang ditanggung oleh wajib
pajak bukanlah beban secara terhitung
dalam rupiah, namun beban waktu yang
terbuang (timing cost) dan beban perasaan
memenuhi kepatuhan pajak (pschycological
cost). Prof Haula Rosdiana (2009) juga
menambahkan biaya administratif
(administrative cost), deadweight efficiency
loss from taxation, the excess burden of tax
evasion, and, avoidance cost. Maksud dari
teori diatas adalah akan terjadi biaya
diantaranya untuk pngadministrasian,
kerugian sebagai akibat dari ketidak
efisiensi, dan beban berlebih untuk
penghindaran pajak, dan penghindaran
biaya.
Di lain pihak, Sanford (1985)
membagi cost of taxation menjadi tiga yaitu
sacrifice of income, distortion cost, dan
running cost. Sacrifice of income merupakan
pengorbanan wajib pajak untuk meyisihkan
atau mengurangi penghasilan yang
seharusnya bisa digunakan untuk keperluan
lain bila tidak ada pungutan pajak.
Sedangkan distortion cost berhubungan
dengan dampak pemungutan pajak terhadap
proses produksi suatu entitas bisnis. Hal ini
menyangkut perubahan-perubahan dalam
proses produksi dan faktor-faktor produksi
karena adanya pajak tersebut. Lalu untuk
running cost adalah biaya-biaya ekstra yang
harus dikeluarkan akibat adanya
pemungutan pajak, dengan kata lain bila
tidak ada pungutan pajak maka biaya-biaya
tersebut tidak ada. Running cost mencakup
administrative cost bagi pemerintah sebagai
pemungut pajak, yang merupakan biaya
operasional pemungutan pajak. Termasuk di
antaranya adalah anggaran rutin pegawai
pajak ATK, transportasi, air, telepon, listrik,
dan lain-lain.
Running cost juga termasuk
compliance cost yang harus dikeluarkan
bagi masyarakat sebagai wajib pajak.
Sanford kemudian membagi compliance
cost menjadi tiga yakni direct money cost
yang merupakan biaya dalam bentuk uang
(jasa konsultan pajak, akuntan, transportasi,
dan lain-lain), time cost yang merupakan
waktu yang harus diluangkan oleh wajib
pajak untuk mengurus proses pembayaran
pajak (mengisi formulir, mengisi SPT
mengajukan banding dan lain sebagainya),
serta psychic cost yamg merupakan dampak
emosional yang dirasakan wajib pajak ketika
menjalankan proses pembayaran pajak.
Peneliti akan melakukan penelitian
yang difokuskan dalam implikasi biaya
kepatuhan dari perjanjian kawin pisah harta
dalam pemenuhan kewajiban pajak
penghasilan orang pribadi baik dari sisi
perbedaan dalam perhitungan pajak
penghasilan tahunan orang pribadi dan biaya
yang berkaitan dengan pelaksanaan
kepatuhan perpajakan (compliance cost)
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
yang berbeda dari wajib pajak tanpa
perjanjian kawin khususnya pisah harta.
METODE PENELITIAN
Dalam penulisan ini, penulis dalam
melakukan pendekatan penelitiannya dengan
metode kualitatif. Fokusnya adalah
mengetahui apa saja yang akan ditanggung
oleh wajib pajak yang memiliki perjanjian
kawin pisah harta dalam pemenuhan pajak
penghasilan orang pribadi dihitung dari total
biaya kepatuhan (compliance cost). Penulis
berfikir bahwa dalam menjelaskan dan
menjabarkan hal-hal apa saja yang akan
ditanggung wajib pajak dengan perjanjian
kawin pisah harta sangat cocok digunakan
metode kualitatif untuk menjadi pendekatan
penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat
Bogdan dan Taylor (1975) dalam Lexy J.
Moleong (2002: 3) yang menyatakan
”metodologi kualitatif” sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Jenis penelitian berdasarkan tujuan
deskriptif, berdasarkan manfaat murni
karena dengan inisiatif peneliti sendiri
dalam menentukan latar belakang dan tujuan
dan berdasarkan dimensi waktu cross
sectional yaitu “penelitian dimana data
dikumpulkan hanya sekali (yang dilakukan
selama periode hari, minggu, atau bulan)
untuk menjawab pertanyaan penelitian.”
(Sekaran, 2006, hal.315). Data yang diambil oleh peneliti berupa
data kualitatif dari wawancara dan studi
kepustakaan. Narasumber di dalam penelitian
ini antara lain :
a. Kepala Seksi Kepatuhan, Direktorat
Potensi dan Penerimaan Pajak Bapak
Drs. Moch. Faisol. Dari informan
terebut penulis mencari data berupa
potensi PPh OP yang mungkin
diperhitungkan oleh negara dengan
perhitungan penghasilan digabung
untuk pajak penghasilan orang
pribadi.
b. Pengajar Brevet dan Ekstensi FISIP
UI, Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si.
Penulis memilih untuk menjadikan
beliau sebagai narasumber karena
dianggap telah mahir dan menguasai
topik yang sesuai dengan penelitian
ini, yakni pajak penghasilan. Penulis
mencari penjelasan mengenai
perbedaan perhitungan antara
pasangan kawin dengan perjanjian
pisah harta dan tanpa pisah harta
c. Guru Besar Perpajakan FISIP UI
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak.
Penulis dapat mengetahui teori-teori
yang berkaitan dengan manajemen
pajak, peraturan perbedaan
penghitungan pajak penghasilan
antara perjanjian pisah harta dengan
tidak serta implikasi dari adanya
peraturan tersebut
d. Beberapa wajib pajak dengan
perjanjian kawin pisah harta, antara
lain:
Ibu Michaela Riani
Lina Cahyono
Ibu dr. Nina
Ibu Amira Wulandari
Penulis mewawancarai
beberapa wajib pajak dengan
status kawin perjanjian pisah
harta. Tujuannya adalah untuk
mengetahui apa yang menjadi
keluhan atau bagaimana
kewajiban perpajakannya
dijalankan.
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Implikasi Biaya Kepatuhan dari
Perjanjian Kawin Pisah Harta dalam
Pemenuhan Kewajiban Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Sesuai dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan Pasal 8 ayat (1) dan (2) secara
eksplisit bahwa Indonesia merupakan negara
yang secara konsep menggunakan keluarga
sebagai tax unit dalam pajak penghasilan.
Apabila keluarga dimasukan kedalam
konsep tax unit, ini berarti dalam
perhitungan pajak penghasilan berdasarkan
pada penghasilan yang dimiliki oleh seluruh
anggota keluarga. Pasal 8 ayat (1) dalam
penjelasannya menyebutkan bahwa
penghasilan anggota keluarga lain yang
menjadi tanggungan juga ikut digabungkan
dalam menghitung pajak penghasilan
terutang. Penghasilan bagi isteri atau wanita
kawin yang digabungkan adalah penghasilan
dari pekerjaan bebas ataupun dari
penghasilan yang belum dipotong pajak
penghasilan meskipun itu dari satu ataupun
lebih pemberi kerja.
Pengecualian konsep tax unit dalam
keluarga untuk menghitung Pajak
Penghasilan pasal 21 (PPh 21) terjadi
apabila wanita kawin (isteri) menerima
penghasilan yang sudah dipotong oleh satu
pemberi kerja. Maka konsep tax unit dalam
keluarga berubah menjadi orang pribadi. Tax
unit berupa orang pribadi ini akan terus
berlanjut dalam kondisi isteri hanya
memperoleh penghasilan dari satu sumber
dan telah dipotong PPh 21. Jikalau isteri
memperoleh penghasilan dari satu pemberi
kerja dan belum dipotong PPh 21, maka
konsep tax unit dalam keluarga sebagai
kesatuan ekonomis dapat terpenuhi.
Berlakunya orang pribadi sebagai tax
unit tentu akan menimbulkan perbedaan
dalam mengikuti aturan formal Undang-
undang Perpajakan khususnya dalam
pemenuhan kewajiban PPh 21. Suami dan
isteri akan menjalankan kewajiban
perpajakannya masing-masing atau
penghasilan isteri tidak digabung dalam
penghasilan keluarga (suami) dalam
perhitungan PPh 21. Dalam pertimbangan
biaya yang harus dipenuhi seseorang
ataupun keluarga ataupun siapa saja yang
dianggap sebagai tax unit, maka konsep
compliance cost dapat dijadikan acuan.
Pemenuhan kewajiban perpajakan pada
umumnya akan sebanding dengan besarnya
compliance cost yang harus ditanggung oleh
wajib pajak.
Selanjutnya pada Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 tentang Tata
Cara Pendaftaran NPWP bagi Anggota
Keluarga, bagi wajib pajak wanita kawin
diperbolehkan memiliki kedudukan sebagai
kepala keluarga dalam pajak penghasilan.
Diperbolehkannya peran sebagai kepala
keluarga bagi wajib pajak wanita kawin juga
perlu memperhatikan beberapa kondisi
diantaranya tidak adanya perjanjian pisah
harta antara suami dan isteri. Selain itu,
diperbolehkannya wajib pajak wanita kawin
menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri bahkan bertindak
sebagai kepala keluarga dalam aspek pajak
penghasilan apabila suami bukanlah wajib
pajak. Suami dikatakan bukan sebagai wajib
pajak apabila suami tidak bekerja atau dalam
keadaan penghasilan yang diterimanya tidak
melebihi PTKP setahun.
Dengan adanya peraturan ini, dengan
kata lain pemerintah seperti tidak melihat
perbedaan perlakuan pajak penghasilan
terutama dari jenis kelamin atau disebut bias
gender. Keadaan dalam keluarga dilihat
kemampuan ekonomis anggota keluarga
tersebut. Kesetaraan gender bahkan sangat
terasa dalam adanya perjanjian kawin pisah
harta. Segala urusan ekonomi diurus oleh
masing-masing individu yang bersangkutan.
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Pergeseran konsep tax unit yang
semula berada di kepala keluarga (suami)
yang mewakili keluarga, menjadi beban
masing-masing individu dalam keluarga
yang menerima keuntungan ekonomis dalam
tahun pajak tersebut. Tax unit yang telah
bergeser tersebut tidak sepenuhnya menjadi
tanggung jawab individu karena Indonesia
msaih berpegang kepada konsep keluarga
meskipun tidak secara utuh. Konsep
keluarga sebagai tax unit tidak seperti pada
Undang-undang tahun 1983 dimana suami
wajib menjadi kepala keluarga yang
menjalankan kewajiban perpajakan. Hal ini
dapat dilihat dari pembebanan kepada pihak
isteri yang dalam status perkawinannya
memiliki perjanjian kawin pisah harta.
Secara individu apabila sudah menjadi wajib
pajak baik itu secara objektif maupun
subjektif diharuskan mengerti pajak
terutama pajak penghasilan pasal 21. Seperti
kutipan wawancara dengan Bapak Tunas
Hariyulianto, S.E., M.Si. (28/5/20014,
KPDJP) selaku Akademisi Fiskal UI berikut
ini :
“Mungkin konsep taxable unit yang
semula ada pada keluarga terutama
suami bergeser kepada masing-
masing individu dalam keluarga
tersebut ada benarnya, namun tidak
terjadi secara utuh. Buktinya dalam
penghitungan PPh 21 dalam
menghitung penghasilan neto
masing digabung terlebih dahulu
dari pihak suami dan isteri. Dari
total penerimaan kedua belah pihak
lalu pajak yang terutang dihitung
secara proporsional.”
Pendapat ini juga didukung oleh akademisi
lainnya yaitu guru besar Fiskal UI, Prof. Dr.
Gunadi (21/5/2014, JakPus) :
“Saya masih setuju kalau
Indonesia masih menggunakan
konsep keluarga sebagai tax
unit. Penghasilan suami dan
isteri dihitung bersama dahulu.
Kembali kepada prinsip
kekeluargaan, gotong royong
dan lain-lain. Mungkin
alasannya agar memperkuat
komunikasi antar keluarga
sehingga meskipun pisah harta
tetap saja menghindari dari
perceraian.”
Mengenai hasil wawancara kedua
narasumber tersebut dapat kita ketahui
bahwa perubahan konsep pengenaan
kewajiban perpajakan dari satu entitas
keluarga terutama merujuk pada Undang-
undang tahun 1983 yang menekankan
kepada suami sebagai kepala keluarga untuk
menjalankan segala kewajiban perpajakan
keluarganya termasuk didalamnya
kewajiban pajak isteri.
Sebagai wajib pajak dengan status
kawin pisah harta, suami dan isteri terlebih
dahulu menggabungkan penghasilan
mereka, lalu membagikan jumlah pajak yang
terutang masing-masing sesuai dengan
proporsi penghasilannya. Berbeda dengan
wajib pajak dengan status kawin, terutama
yang tidak memiliki perjanjian kawin pisah
harta dan isteri memiliki NPWP dengan
menumpang NPWP suami. Pada saat
penghitungan pajak terutang keluarga di
akhir tahun, maka penghasilan isteri tidak
digabungkan bersama penghasilan suami.
Penghasilan isteri dikategorikan sebagai
penghasilan final (kasus untuk wajib pajak
wanita kawin dengan satu pemberi
penghasilan). Metode penghitungan pajak
penghasilan bagi wajib pajak pisah harta
dengan cara menggabungkan terlebih dahulu
penghasilan suami dan isteri, akan
menyebabkan kekurangan bayar di akhir
tahunnya meskipun penghsilan yang
diterima isteri dari satu pemberi penghasilan
dan telah dipotong PPh 21.
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Cedric Sandford (1993) membagi
compliance cost dalam tiga jenis biaya,
antara lain :
a. Direct Money Cost
Pengertian untuk istilah ini
adalah uang yang secara
langsung dikeluarkan dalam hal
pemenuhan kewajiban demi
usaha untuk memenuhi
kepatuhan (compliance).
b. Time Cost
Pengertian untuk istilah ini
adalah beban waktu yang secara
langsung ataupun tidak langsung
ditanggung oleh wajib pajak
dalam rangka pemenuhan
kewajiban perpajakan. Contoh
dari time cost adalah
pengorbanan waktu yang harus
ditanggung wajib pajak untuk
mendaftarkan diri, menghitung
pajak, membayar pajak, hingga
melaporkan pajak.
c. Psychic atau psychological cost.
Pengertian untuk istilah ini
adalah beban pikiran yang harus
dirasakan secara langsung
maupun tidak langsung oleh
wajib pajak dalam rangka
pemenuhan kewajiban
perpajakan. Contoh dari
psychological cost adalah beban
pikiran apabila saat jatuh tempo
penghitungan atau pembayaran
pajak, dan beban mental apabila
dilakukannya pemeriksaan pajak.
Beban ini semakin terasa apabila
wajib pajak tersebut kurang
memahami pajak atau tidak
mengetahui secara pasti
ketentuan dan peraturan pajak.
Akibat ketidaktahuan tersebut,
wajib pajak jadi merasa takut
atau bersalah apabila kewajiban
pajak dirinya kurang benar, salah
atau tidak sesuai ketentuan.
Ketidaktahuan hingga
mengakibatkan kesalahan
tersebut akan menimbulkan
sanksi berupa denda administrasi
atau bahkan pidana.
Implikasi biaya kepatuhan atas
pemenuhan kewajiban pajak penghasilan
orang pribadi wajib pajak apabila menlihat
teori Compliance Cost menurut Sandford
adalah pada 3 pokok, yaitu direct cost, time
cost, dan pscychological cost.
A.1. Implikasi Direct Money Cost dari
Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta
dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Implikasi yang terjadi bagi wajib
pajak kawin pisah harta khususnya beban
pajak terutang menjadi lebih besar karena
metode penghitungannya dengan
menjumlahkan penghasilan suami dan isteri
dalam satu tahun pajak tersebut. Metode
penggabungan penghasilan tersebut akan
menyebabkan kekurangan bayar pajak akhir
tahun dan semakin membesar jumlahnya
apabila penghasilan yang diterima suami
dan isteri tidak berbeda jauh jumlahnya.
Metode penggabungan penghasilan
suami dan isteri berdasarkan peraturan yang
tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor SE-29/PJ/2010. Dalam pasal 8 ayat
(3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
dikatakan bahwa :
“penghasilan neto suami-isteri
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dan huruf c dikenai
pajak berdasarkan penggabungan
penghasilan neto suami isteri dan
besarnya pajak yang harus
dilunasi oleh masing-masing
suami isteri dihitung sesuai
dengan perbandingan
penghasilan neto mereka”
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Dari metode penghitungan yang
digabung tersebut, maka jumlah kesatuan
ekonomis dalam keluarga menjadi
meningkat meskipun isteri menerima
penghasilan hanya dari satu pemberi kerja
dan sudah dipotong PPh 21. Dalam SPT
masing-masing mereka mencantumkan
jumlah penghasilan neto dengan
menggabung terlebih dahulu penghasilan
suami dan isteri. Pada penghasilan neto SPT
Tahunan isteri berjumlah total dengan
penghasilan suaminya. Begitu pula dengan
SPT Tahunan suami, pada jumlah
penghasilan neto berdasarkan jumlah
penghasilan bersama dengan isterinya.
Sependapat dengan pihak pejabat
negara, menurut Kasi Kepatuhan Direktorat
Potensi dan Kepatuhan Pajak, Bapak Drs.
Moch. Faisol (19/52014, KPDJP) dari hasil
wawancara mengatakan bahwa :
“Saya rasa untuk pisah harta
masih konsep keluarga mas.
Karena kan tadi penghasilannya
masih digabung. Suami dan isteri
menggabungkan dahulu
penghasilannya….”
Hal ini juga akan berlaku bagi wajib
pajak dengan perjanjian kawin pisah harta
meskipun isteri menerima penghasilan dari
satu pemberi kerja dan telah dipotong PPh
21 oleh pihak pemberi kerja tersebut.
Penghasilan yang digabung tersebut bisa
menyebabkan tarif pajak menembus lapisan
atasnya yang akan lebih menyebabkan pajak
kurang bayar semakin besar. Misalnya
terjadi total penghasilan neto digabung
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Pada total penghasilan tersebut,
maka sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dari total penghasilan yang
digabung tersebut akan masuk ke lapisan
tarif berikutnya.
Kejadian tersebut terjadi karena
lapisan dasar penghasilan tarif dibawahnya
adalah sebesar diantara lebih dari Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan RP 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dengan tarif
pajak 15% (lima belas persen). Pada
kejadian dimana penghasilan gabungan
sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah), maka sebesar Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) akan masuk
kedalam lapisan diatasnya yaitu sebesar
antara Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima
puluh juta rupiah) sampai dengan Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
dengan tarif 25% (dua puluh lima persen).
Padahal apabila tax unit ada pada individu
meskipun status mereka suami maupun
isteri, peningkatan tarif ke level diatasnya
tidak akan terjadi, atau bahkan kejadian
kurang bayar pajak mungkin tidak terjadi
pula karena pajak akhir tahunnya akan nihil
apabila telah dipotong PPh 21 oleh instansi
pemberi penghasilan.
Setelah mengetahui jumlah pajak
terutang untuk satu kesatuan keluarga yaitu
sebesar Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah), maka untuk masing-masing
individu selanjutnya dibebankan pajak
terutang secara proporsional dari
perbandingan pernghasilan yang di dapat
masing-masing individu baik isteri maupun
suami.
Penghitungan penghasilan suami
sendiri apabila tidak digabung dengan isteri
hanya sampai pada lapisan tarif pajak 15%
(lima belas persen), namun karena status
kawinnya dengan memiliki perjanjian pisah
harta dengan isteri maka lapisan tarif
pajaknya menjadi 25% (dua puluh lima
persen). Kenaikan tarif tersebut sangatlah
berpengaruh pada pajak terutang sebagai
implikasi status kawin perjanjian pisah
harta.
Pada keadaan seperti diatas, maka
pajak terutang bagi isteri adalah sebesar dari
proporsi penghasilan isteri dalam
penghasilan total isteri dan suami yaitu
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah). Hasil tersebut merupakan proporsi
80.000.000 (penghasilan isteri) dibagi
dengan 300.000.000 (penghasilan gabungan)
lalu dikalikan dengan total pajak terutang
gabungan yaitu sebesar 45.000.000.
Selanjutnya akan terjadi pajak yang masih
harus dibayar bayar bagi isteri secara
individu sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) apabila pengasilannya telah dipotong
PPh 21 sebesar Rp 7.000.000,00 (tujuh juta
rupiah) oleh pemberi kerja.
Keadaan kurang bayar ini sesuai
dengan pendapat narasumber yang
memastikan bahwa pasti akan terjadi kurang
bayar pada SPT Tahunan masing-masing
yaitu suami dan isteri apabila memiliki
perjanjian kawin pisah harta. Hal ini
didukung dengan pernyataan Drs. Moch.
Faisol (19/5/2014, KPDJP) Kasi Kepatuhan
Kantor Pusat Direktorat Potensi dan
Kepatuhan bahwa :
“Secara pasti ya. Coba mas
buktikan sendiri. Karena pajak
mereka yang seharusnya kecil
namun karena digabung maka
penghasilan tersebut semakin
besar. Oleh sebab itu pajak
penghasilannya pasti menjadi
lebih besar meskipun pada
akhirnya utang pajak sebenarnya
diambil dari rasio penghasilan
masing-masing pada
penghasilan gabungan”
Guru Besar Fiskal UI Prof. Dr.
Gunadi juga memberikan pernyataan yang
mendukung bahwa implikasi direct cost
status kawin pisah harta bahkan semakin
besar daripada status kawin tanpa pisah
harta dengan hasil penghitungan pajak akhir
tahunnya semakin membesar. Berikut
pernyataan Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014,
JakPus) adalah sebagai berikut :
“Itu memang sisi negatifnya.
Throw backs atau kekurangan
dari sistem NPWP sendiri tapi
penghitungan pajaknya
digabung memang seperti itu.”
Tabel 5.1 Simulasi Penghasilan Gabungan Suami Isteri Pisah Harta
Ph Isteri (Individu) Ph Gabungan Ph Suami (Individu)
5% 50.000.000 50.000.000 50.000.000
15% 30.000.000 200.000.000 170.000.000
25% 50.000.000
30%
Pajak
Terutang 7.000.000 45.000.000 28.000.000
Bagi wajib pajak dengan status
kawin pisah harta juga mengakui hal yang
demikian. Sebelum pelaporan SPT Tahunan,
wajib pajak masih harus membayarkan
pajak yang masih harus dibayar padahal
sudah pernah dipotong oleh pemberi
penghasilan. Salah satu narasumber yang
saya wawancarai yaitu Ibu dr. Nina
(23/5/2014, Depok) menyatakan bahwa :
“Setiap tahun saya selalu bayar
pajak. Masalah pelaporan juga
selalu melalui drop box yang
disediakan oleh kantor atau
pengelola. Padahal penghasilan
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
saya dari kantor juga sudah
dipotong pajak. Entah saya salah
atau benar dalam
penghitungannya yaitu dengan
perbandingan penghasilan saya
sendiri dengan jumlah saya
dengan bapak pokoknya selalu
saja masih harus bayar pajak
tambahan setiap tahunnya. ”
A.2. Implikasi Time Cost dari Pemilihan
Perjanjian Kawin Pisah Harta dalam
Pemenuhan Kewajiban Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Seperti kata pepatah di Indonesia
yang sering disebutkan khususnya untuk
orang-orang sibuk atau dengan waktu yang
sangat terjadwal setiap harinya, waktu
diibaratkan adalah sebagai uang. Semakin
banyak waktu yang terbuang diibaratkan
sebagai semakin banyak pula uang yang
sudah terbuang. Begitu pula dengan
sebaliknya, semakin banyak waktu yang
dimanfaatkan maka itu seperti keuntungan
bahkan dalam bentuk uang.
Dari kedua cara kepemilikan NPWP
Pribadi bagi calon wajib pajak, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa pada tahap awal
self assessment system yaitu pendaftaran
atau memiliki NPWP, wajib pajak memang
harus meluangkan waktu demi pajak. Hal ini
didukung dengan kewajiban bagi wajib
pajak untuk mendatangi kantor pajak
setempat dimana wajib pajak tinggal atau
berdomisili sesuai KTP bagaimanapun cara
pendaftaran baik dengan cara manual
ataupun online.
Kewajiban meluangkan waktu
bahkan dimulai dari pendaftaran menjadi
wajib pajak. Sebagai calon wajib pajak, saat
mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP
diwajibkan mendatangi langsung Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) sesuai dengan
domisili calon wajib pajak ditanda pengenail
yaitu KTP, ataupun SIM. Kewajiban
menjadi wajib pajak timbul salah satunya
karena subjek pajak tersebut sudah memiliki
penghasilan yang melebihi Penghasilan
Tidak Kena Pajak.
Pada saat mendatangi langsung KPP,
subjek pajak harus meniggalkan kegiatan
usahanya, bahkan tempat kegiatan usaha
atau tempat menerima penghasilan jauh dari
KPP subjek pajak yang dilihat melalui tanda
pengenal. Hal tersebut merupakan salah satu
tanda bahwa untuk medapatkan NPWP,
subjek pajak diharuskan mengurangi
waktunya untuk bekerja, demi mendapatkan
NPWP. Kegiatan yang seperti ini sepertinya
sangat cocok dengan pribahasa waktu adalah
uang, dimana waktu yang dikorbankan wajib
pajak untuk mendapatkan NPWP seperti
kehilangan kesempatan mendapatkan
keuntungan atau opportunity cost dalam
usahanya.
Pada kasus penghitungan pajak wajib
pajak penghasilan orang pribadi dengan
status kawin pisah harta, maka kewajiban
wajib pajak adalah menghitung
penghasilannya dengan metode digabung
dengan penghasilan pasangannya. Untuk
penghitungan digabung seperti ini, maka
pada saat penghitungan pajak diharuskan
saling berkomunikasi atau setidaknya
meluangkan waktu untuk menghitung pajak
agar sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Keadaan dimana membutuhkan
waktu untuk menghitung pajak seperti ini,
apabila wajib pajak isteri maupun suami
bekerja dan dalam kondisi yang sangat sibuk
maka terjadi pengorbanan waktu demi
melaksanakan kewajiban pajak. Sesuai
dengan pernyataan wajib pajak Ibu Lina
Cahyono (17/5/2014, Depok) dikatakan
bahwa :
“Setiap penghitungan SPT, saya
dan suami saling berkoordinasi.
Misalnya bisa saja melalui SMS,
e-mail ataupun apabila saat
ingat dikerjakan dirumah
bersama-sama. Kami berdua
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
sangat sibuk, tapi terkadang
saya menyuruh suami saja yang
menghitung. Saya hanya tinggal
SMS atau telpon jumlah
penghasilan saya tahun ini
berapa…”
Kejadian berbeda terjadi dari
pernyataan wajib pajak Amira Wulandari
(25/5/204, Depok) menyatakan bahwa :
“Sebenarnya saya tidak terlalu
concern mengenai penghitungan
pajak saya. Yang penting kata
teman saya sih pasti kurang
bayar jadi saya tulis saja
penghasilan saya yang ada 1721
nya atau berapa ya mas hahaha.
Paling 15 menit selesai
menghitung SPT”
Lebih lanjut, wajib pajak juga mengutarakan
bahwa ia tidak terlalu jujur mengisi SPT
setiap tahunnya seperti yang ditambahkan
berikut ini,
“……Iya sih ada penghasilan
lain yang belum dipotong
misalnya seminar, wawancara
dan lain-lain. Tapi bukannya
saya tidak jujur tapi lebih
tepatnya saya sendiri juga lupa
berapa uang yang saya terima
setiap tahunnya….”
Padahal apabila wajib pajak tersebut
mengerti mengenai peraturan pajak
Indonesia maka dengan sukarela meminta
bukti pemotongan bahwa mungkin saja
penghasilan yang ia terima dari seminar dan
wawancara sudah dipotong PPh 21. Dari
bukti potong yang dilakukan oleh pihak
pemberi penghasilan tersebut, maka jumlah
penghasilan yang sebenarnya diterima dan
juga jumlah pajak yang telah dipotong bisa
lebih tepat dan sesuai dengan keadaan
sebenarnya.
Biaya dalam memenuhi kewajiban
pajak bila dilihat dari beban pengorbanan
waktu sebenarnya pasti dirasakan oleh
seluruh wajib pajak yang taat. Maksudnya
taat disini adalah memenuhi seluruh kriteria
kepatuhan menurut teori dari Nasucha
(2004) yang telah disebutkan diatas.
Pengorbanan waktu memang sebenarnya
tidak semua orang bisa menghitungnya
(uncountable), bahkan menurut salah satu
narasumber saya di Kantor Pusat DJP,
Bapak Drs. Moch. Faisol
(19/5/2014,KPDJP) mengatakan bahwa :
“Menurut saya compliance cost
itu kurang substansi. Masalah
biaya kepatuhan tidak begitu
terhitung khususnya dari segi
biaya. Apalagi sudah banyak
fasilititas diberikan pemerintah
untuk mengurangi biaya-biaya
pajak yang tidak langsung
berkaitan dengan pembayaran
pajak.”
Maksud dari kalimat yang diutarakan
oleh Bapak Drs. Moch. Faisol tersebut
adalah bahwa keberadaan biaya pajak sudah
pasti terjadi (exist), namun besaran biaya
tersebut sangat sulit sekali dihitung terutama
pada aspek biaya waktu. Hal yang telah
diutarakan tersebut didukung dengan
beberapa fakta bahwa misalnya pada tahap
pendaftaran, waktu yang terbuang untuk
mendaftarkan diri menjadi wajib pajak
sudah mulai dipangkas oleh pemerintah
dengan salah satunya diberikan fasilitas
pendaftaran NPWP secara online.
Beberapa fasilitas yang diberikan
pemerintah dalam upaya untuk membuat
wajib pajak merasa nyaman dalam
melaporkan pajaknya turut didukung oleh
akademisi Fiskal FISIP UI, Bapak Tunas
Hariyulianto, S.E., M.Si. (28/5/2014,
KPDJP) bahwa :
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
“Ya. Itu tidak memberikan efek
yang besar. Untuk timing cost,
kan sekarang banyak fasilitas
pelaporan mulai dari drop box,
kantor pos, atau bahkan e-
filling”.
Fasilitas lain yang diberikan
pemerintah dalam upaya melayani
masyarakat khususnya wajib pajak yang
dianggap sebagai pahlawan negara salah
satunya yang sangat bermanfaat bagi wajib
pajak adalah fasilitas pelaporan pajak
melalui drop box, kantor pos, dan jasa
pengiriman lainnya. Semua itu diberikan
dengan tujuan untuk efisiensi waktu bagi
wajib pajak dalam melapor SPT ke KPP
dimana wajib pajak tersebut terdaftar.
A.3. Implikasi Pscychological Cost dari
Pemilihan Perjanjian Kawin Pisah Harta
dalam Pemenuhan Kewajiban Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Beban selanjutnya yang harus
ditanggung oleh subjek pajak setelah
menjadi wajib pajak adalah menanggung
beban psikis atau mental demi
melaksanakan kewajiban perpajakan dengan
baik dan benar sesuai dengan Undang-
undang dan peraturan perpajakan. Perasaan
bersalah ataupun gelisah biasanya terjadi
dalam memenuhi kewajiban perpajakan
sesuai aturan, misalnya perasaan bingung,
takut akan kesalahan penghitungan, takut
akan denda ataupun sanksi administrasi
dalam pelaporan, bahkan merasa takut
terjadi kesalahpahaman mengenai aturan
pajak yang apabila terjadi kesalahan dapat
menimbulkan hukuman pidana bagi wajib
pajak.
Menurut Henry R. Jex (1988)
mengenai pengertian beban mental atau
psikologis adalah beban kerja yang
merupakan selisih antara tuntutan beban
kerja dari suatu tugas dengan kapasitas
maksimum beban mental seseorang dalam
kondisi termotivasi. Sesuai dengan apa yang
terjadi pada wajib pajak dalam memenuhi
tuntutan peraturan mengenai perpajakan.
Beberapa contoh sanksi administrasi
tersebut akan menimbulkan beban pajak
yang meningkat dari beban pajak
sebenarnya yang terjadi sebagai akibat dari
beberapa kesalahan wajib pajak dalam
mengimplementasikan peraturan perpajakan
dengan baik dan benar. Seperti yang
diutarakan oleh Prof. Dr. Gunadi
(21/5/2014, JakPus) adalah sebagai berikut :
“oleh sebab itu sangatlah penting
mengetahui peraturan pajak up to date.
Itulah sebabnya banyak jasa konsultan,
karena bisa meminimalisir beban pajak
terutama denda karena kesalahan-
kesalahan yang semestinya tidak
dilakukan.”
Dari beberapa sanksi yang akan
diterima oleh wajib pajak yang pada intinya
tidak menjalankan kewajiban perpajakannya
dengan baik dan benar sesuai Undang-
undang perpajakan baik denda atau sanksi
administrasi maupun denda pidana penjara
ataupun kurungan, maka akan menimbulkan
kekhawatiran bagi wajib pajak apabila
terjadi kesalahan dalam SPT pribadinya.
Sesuai dengan salah satu narasumber
saya, wajib pajak status kawin pisah harta,
Ibu Amira Wulandari (25/5/2014, Depok)
memaparkan bahwa :
“ya sebenarnya ada
kekhawatiran dari saya dan
suami mengenai kewajiban pajak
kami berdua. Saya dan bapak
sering berdiskusi saat tiba
waktunya melaksanakan
kewajiban pajak. Mengenai
kabar bahwa terdapat sanksi
berupa denda, atau denda
lainnya bahkan denda Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah)
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
yang paling saya ingat apabila
tidak lapor SPT, namun yang
paling saya khawatirkan adalah
hukuman penjaranya mas….”
Sebagai wajib pajak pisah harta,
narasumber masih memiliki perasaan
bersalah apabila tidak melakukan kewajiban
perpajakannya dengan baik dan benar sesuai
peraturan perpajakan. Padahal keadaan
Indonesia saat ini dimana tingkat
pengawasan terhadap wajib pajaknya sangat
minim.
Minimnya pengawasan pemerintah
dalam upaya menegakan kepatuhan
perpajakan terutama disebabkan oleh masing
sedikitnya jumlah pegawai atau sumber daya
manusianya dalam mengawasi wajib pajak.
Seperti pemaparan oleh narasumber saya,
Bapak Drs. Moch. Faisol (19/5/2014,
KPDJP) bahwa :
“Sebagai alat kontrol negara ini
mau menguji WP sebagai
parameter.. Data mas.jadi di kita
itu data WP minim sekali mas.
Intinya di data mas. Misalnya
gini mas Destian lapor di SPT-
nya penghsilan 1000 (seribu).
Pas lapor self assessment yang
tau bener sendiri atau salah
siapa? Negara kita ini berapa
penduduknya? 200 juta
lebih.pegawai kita berapa? 30
juta. Jadi setiap satu pegawai
mengawasi 6 juta lebih warga
negara”
Akibat dari masih minimnya jumlah
pegawai pajak, maka pengawasan pada
wajib pajak di Indonesia khususnya wajib
pajak orang pribadi tidaklah terlalu ketat.
Peraturan yang dibuat mengenai besarnya
sanksi maupun denda hingga lamanya
kurungan bahkan penjara tidak akan berguna
apabila tidak dilakukannya pengawasan.
Rendahnya pengawasan terhadap wajib
pajak oang pribadi di Indonesia didukung
oleh pernyataan akademisi pajak di Fakultas
FISIP UI, Bapak Tunas Hariyulianto, S.E.,
M.Si. (28/5/2014, KPDJP) bahwa :
“Karena itu tadi mas kembali
kepada pengawasan yang sangat
kurang. Wajib pajak merasa
tidak diawasi. Banyak yang tidak
melapor pajak, atau bahkan
membayar pajak terutangnya di
akhir tahun tapi tidak apa-apa.”
Sebagai akademisi di bidang
perpajakan, narasumber saya Bapak Tunas
juga merasakan bahwa pengawasan fiskus di
Indonesia masih sangatlah rendah bahkan
cenderung tidak terasa terutama dalam
pemenuhan kepatuhan pajak penghasilan
orang pribadi. Hal ini juga diakui oleh salah
satu wajib pajak pisah harta yaitu Ibu dr.
Nina (23/5/2014, Depok) yang menyatakan
bahwa :
“sebenarnya saya juga merasa
bingung untuk hal itu ya. Banyak
teman saya yang mengakui tidak
melapor pajak. Dia punya
NPWP, namun tidak lapor SPT,
tidak membayar pajak akhir
tahun, pokoknya tidak peduli
mengenai pajak…”
Dari beberapa ulasan narasumber
diatas, mungkin saja bahwa sisi
pscychological cost tidak begitu berdampak
signifikan di Indonesia. Hal tersebut
disebabkan karena minimnya pengawasan
yang dilakukan pemerintah khususnya bagi
wajib pajak orang pribadi. Padahal
instrument berupa peraturan dan perundang-
undangan sudah sangat jelas mengatur
mengenai sanksi adminitrasi, denda sampai
dengan pidana yang menyebabkan wajib
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
pajak terkena hukuman kurungan atau
bahkan penjara.
Apabila membahas minimnya
pengawasan, guru besar Fiskal FISIP UI,
Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014, JakPus) juga
ikut menambahkan bahwa :
“Dimana orang gak jujur itu
juga melihat bagimana comply
atau tidak comply itu terpaksa.
Kita harus bisa menciptakan
great system. Sistemnya harus
dibuat bagaimana orang harus
comply. Dipaksa jujur. Seperti
dipaksa bagaimana orang tidak
bisa memalsukan. Itu
pelanggaran karena seharusnya
mengisi SPT secara jujur
mengenai hartanya. Tapi
kembali lagi ke pengawasan
apakah orang pajaknya bisa
tahu atau tidak.”
Pada intinya, apabila sistem di
Indonesia menganut self assessment, maka
konsekuensinya adalah pengawasan. Seperti
kutipan wawancara dengan Kasi Kepatuhan
Ditjen Potensi dan Kepatuhan Kantor Pusat
DJP, Bapak Drs. Moch. Faisol (19/5/2014,
KPDJP) berikut ini :
“Intinya di self assessment
system. Sebuah negara yang
menganut ini ya konsekuensinya
pada pengawasan mas”
Rendahnya pengawasan oleh
aparatur negara khususnya di Indonesia dan
secara khusus mengenai pajak penghasilan
orang pribadi, akan membuat masyarakat
menjadi tidak patuh. Peraturan mengenai
sanksi dan hukuman dari pelanggaran pajak
akan terasa tidak berguna. Oleh sebab itu,
kekhawatiran wajib pajak akan kewajiban
perpajakannya akan semakain berkurang.
B. Manajemen Pajak bagi Wajib Pajak
Kawin Pisah Harta
Melihat beberapa gambaran mengenai total
biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib
pajak dalam upaya pemenuhan kewajiban
perpajakannya bahwa dapat diketahui bahwa
beban yang harus dikeluarkan oleh wajib
pajak bukanlah hanya dari pajak terutangnya
saja secara langsung namun ada beberapa
aspek lain yaitu biaya waktu (time cost) dan
beban psikis (pscychological cost). Semua
biaya ataupun benda seperti direct cost, time
cost, dan pscychological cost dinamakan
dengan sebutan biaya kepatuhan
(compliance cost).
5.2.1. Melakukan Pencatatan Atas Setiap
Transaksi dan Penghasilan
Pada kewajiban pajak penghasilan
orang pribadi status kawin pisah harta,
semua beban atau biaya tersebut dapat
dirasakan atau ditanggung kedua belah
pihak baik suami dan isteri. Berbeda dengan
pemenuhan kewajiban pajak penghasilan
orang pribadi status kawin tanpa pisah harta
karena yang menanggung beban pajak selain
biaya langsung (direct cost) hanya pada
pihak suami.
Dari segi biaya langsung (direct
cost), sangat bergantung kepada
pengetahuan wajib pajak mengenai jumlah
penghasilan dalam satu tahun pajak tersebut.
Kesalahan dalam penggabungan jumlah
penghasilan bisa berdampak cukup besar
terhadap total beban pajak yang harus
ditanggung wajib pajak pisah harta.
Misalnya mengetahui penghasilan apa saja
yang masuk ke penghasilan final.
Pada penghasilan final misalnya
bunga deposito, tidak seharusnya
memasukannya kedalam komponen
penghasilan sesuai aturan pengisian SPT
Tahunan. Apabila wajib pajak lalai akan hal
ini, maka beban pajak langsung (direct cost)
yang harus ditanggung akan semakin besar.
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Ketentuan mengenai pentingnya
memisahkan objek pajak penghasilan final
didukung oleh narasumber guru besar Fiskal
FISIP UI, Prof. Dr. Gunadi (21/5/2014,
JakPus) :
“memang yang
terpenting adalah dalam
memanage pajak
penghasilan orang
pribadi dengan cara
mengetahui bagian-
bagian dari penghasilan.
Penghasilan mana yang
final, atau bahkan bukan
objek pajak.”
5.2.2. Mengetahui Fasilitas-Fasilitas yang
Diberikan DJP Beberapa poin diatas sangat
dibutuhkan dalam melakukan manajemen
pajak penghasilan orang pribadi khususnya
dengan status kawin pisah harta. Beberapa
biaya pajak yang timbul dari status kawin
pisah harta misalnya direct cost, time cost
dan pscychological cost dapat diminimalisir
atau setidaknya menanggulangi beban pajak
yang lebih besar atau yang seharusnya tidak
dikeluarkan dalam upaya mematuhi
kewajiban perpajakan pajak penghasilan
oang pribadi.
Untuk selanjutnya, biaya mengenai
waktu yang harus dikorbankan oleh wajib
pajak kawin pisah harta dalam pemenuhan
kewajiban pajak bisa diminimalisir dengan
banyak fasilitas yang telah diberikan oleh
pemerintah khususnya memanjakan wajib
pajak agar mematuhi peraturan perpajakan.
Seperti hail wawancara dengan narasumber
Ibu Lina Cahyono (17/5/2014, Depok)
menyatakan bahwa :
“Ya saya selalu menaruh SPT
saya di drop box. Semua orang
kantor juga begitu. Kita sih
ikutin arus aja mas dikira
memang sudah ketetapan
hahaha. Tapi ternyata memang
itu merupakan fasilitas ya? Saya
kurang tahu soalnya”.
Selain itu, wajib pajak juga dapat
menggunakan fasilitas lainnya yang sama-
sama tidak mewajibkan wajib pajak untuk
lapor langsung ke KPP tempat wajib pajak
terdaftar, misalnya kantor pos atau jasa
pengiriman surat lainnya. Didukung dengan
pendapat akademisi Fiskal FISIP UI, Bapak
Tunas Hariyulianto, S.E., M.Si.
(28/5/2014, KPDJP) yang menyatakan
bahwa :
“Untuk timing cost, kan
sekarang banyak fasilitas
pelaporan mulai dari drop box,
kantor pos, atau bahkan e-
filling”
Selanjutnya ada pendapat yang
dikemukakan oleh narasumber yaitu Bapak
Drs. Moch. Faisol (19/5/2014, KPDJP)
yang menyatakan bahwa :
“sudah banyak fasilititas
diberikan pemerintah untuk
mengurangi biaya-biaya pajak
yang tidak langsung berkaitan
dengan pembayaran pajak.”
KESIMPULAN
Beberapa poin penting yang dapat ditarik
dalam penelitian ini pertama implikasi biaya
kepatuhan (compliance cost) pemilihan
perjanjian kawin pisah harta dalam
memenuhi kewajiban pajak penghasilan
orang pribadi dilihat dalam beberapa aspek,
yaitu biaya pajak langsung (direct cost),
time cost, dan pscychological cost. Seluruh
implikasi biaya kepatuhan tersebut harus
ditanggung oleh masing-masing pihak baik
suami maupun isteri sesuai SE DJP No.
29/PJ/2010. Apabila dibandingkan dengan
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
biaya kepatuhan yang harus ditanggung oleh
wajib pajak tanpa perjanjian kawin pisah
harta, maka secara keseluruhan beban pajak
penghasilan orang pribadi pisah harta lebih
besar. Kedua, manajemen pajak yang dapat
dilakukan wajib pajak kawin pisah harta
adalah dengan melakukan pencatatan
terutama dari penghasilan agar mendapat
nilai penghasilan neto yang sesungguhnya.
Pencatatan tersebut juga dapat memberikan
fasilitas pajak lainnya seperti mendapat
perlakuan norma untuk mendapat nilai
penghasilan neto.
DAFTAR PUSTAKA
Anggarsari, Susi Diah.__.Analisis Perlakuan
Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak
Wanita Kawin Vol. 17. 2010
Bohari, Pengawasan Keuangan Negara,
Jakarta : Rajawali Pers. 1995
Bohari. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2006
Brotodihardjo, Santoso. Pengantar Ilmu
Hukum Pajak. Bandung: Eresco, 1993
Creswell, John W. Research Design:
Qualitative and Quantitatives
Approaches. California: SAGE
Publications. 1994
.
. Research Design
Qualitative and Quantitative And Mixed
Approach. Fourth Editon California:
Sage Publication. 2013
Emzir, Prof. Dr. Metodologi Penelitian
Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2012
Gunadi, Pajak Internasional, Jakarta :FEUI.
1999
. Perpajakan. Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. 1998
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu
Hukum Adat Indonesia. Bandung :
Bandar Maju. 1992
Hardy. Pemeriksaan Pajak, Jakarta: Penerbit
Kharisma. 2003
Haris, H. Benjamin. Corporate Tax
Incidence and Its Implications for
Progressivity. Urban Institute. 2009
Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta :
Penerbit Andi. 2008
Mansury, R. Kebijakan Fiskal. Tangerang:
YP4. 1999
_________. Pajak Penghasilan Lanjutan.
Jakarta: Ind-Hill Co. 1999
Mujono, Djoko. Pengantar PPh dan PPh
21. Yogyakarta: CV. ANDI. 2007
Nasucha, Chaizi. Reformasi Administrasi
Publik. Jakarta : Geamedia. 2004
Neuman, William Lawrence. Social
Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches (Forth Series),
New York: Pearson Education. 1999
Nurmantu, Prof. Safri. Pengantar
Perpajakan, Jakarta, Granit. 2003
__________________. Dasar-Dasar
Perpajakan. Jakarta: IND-HILL-CO.
1994
Robbin P. Stephen. Teori Organisasi,
Struktur, Desain dan Aplikasi, Practice
Hall International, Inc, Alih Bahasa
Yusuf Udaya. 1994
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014
Fuadi, Implikasi Biaya Kepatuhan… 2014
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan, Teori
Perpajakan dan aplikasi. Jakarta:
Rajawali Press. 2005
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto.
Panduang Lengkap Tata Cara
Perpajakan di Indonesia. Jakarta :
Visimedia. 2009
Sandford, Cedric. Successful Tax Reform.
1993
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata.
Jakarta : Intermasa. 2003
Suparmoko, M. Keuangan Negara: Dalam
Teori dan Praktek. Yogyakarta. 2000
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak Hak
Tanggungan. Jakarta: Sinar Grafika.
2011
Slemrod, Joel. Why Do People Pay Taxes :
Tax Compliance and Enforcement,
Michigan : The University Of Michigan
Press. 1995
Soemitro, Rochmat, Dasar – dasar Hukum
Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung.
1997
_______________. Pajak dan
Pembangunan, Bandung : Eresco. 1998
Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania. Asas
dan Dasar Perpajakan .Jakarta :
Gramedia. 2004
Satrio, J. dan Yunanto. Hukum Adat
Perkawinan. Bandung : Citra Aditya
Bhakti. 1993
Suand, Erly. Perencanaan Pajak Edisi 5.
Jakarta : Salemba Empat. 2006
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan
Indonesia : Berlaku Oleh Umat Islam.
Jakarta : Yayasan Penerbit UI. 1974
Waluyo dan Ilyas, Wirawan B. Perpajakan
Indonesia, Jakarta : Salemba Empat.
2000
Zain, Dr. Mohammad. Manajemen
Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat.
2005
Implikasi biaya..., Destian Fuadi, FISIP, 2014