INDIKATOR PERKEMBANGAN
BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDESA)
Penulis:
Sarjono Herry Warsono, S.Si., M.Si Slamet Rahmat TS, SS., M.Kesos
Ir. Danarti, Chalin Antinia Agustin, S.Si., MSE
Emma Rahmawati, SE Taufan Daniarta Sukarno, SP
Nurul Aldha Mauliddina Siregar, SP
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Badan Penelitian dan Pengembangan,
Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi
2018
i
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Kata Pengantar
Buku berjudul "Indikator Perkembangan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDEsa)" ini disusun mengacu pada amanah
perundang-undangan UU nomor 6/2014 tentang Desa, yang
dikaitkan pada pemahaman dalam konteks pembangunan desa
dengan menggunakan pendekatan dua sisi, yaitu Membangun
Desa dan Desa Membangun. Membangun desa adalah peran
pemerintah, secara hirarki untuk memberikan stimulant
kebijakan top-down, sedangkan desa membangun adalah cara
bagaimana agar masyarakat desa mampu berperan aktif dan
berinisiatif untuk menjadikan desanya lebih baik dari yang suda
ada, baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan fisik. Oleh
karena itu, mendirikan BUMDesa dalam peran sosial dan
ekonomi bagi setiap desa merupakan anjuran yang mengikat.
Klausul pasal demi pasal di dalam Undang-Undang nomor
6 tahun 2014 tentang desa dalam konteks mendirikan
BUMDesa, hanya sebatas "Desa dapat mendirikan Badan Usaha
Milik Desa yang disebut BUM Desa." sebagaimana tertuang pada
pasal 87 ayat (1), artinya bukan suatu kewajiban mengikat,
tetapi hanya dapat disebut sebagai anjuran. Meskipun
demikian, dalam konteks manajerial yang harus dikelola
dengan semangat kegotongroyongan, maka perlu secara
ii
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
profesional dan modern pengembangannya dikelola secara baik
dan benar, sehingga dalam perjalanannya dipandang perlu
secara akademisi untuk mempelajari bagaimana diterminan
faktor pembentukan BUMDesa baik dalam keberpihakan
berbasis kewilayahan, maupun generalisasi secara nasional.
Tim studi pada tahap awal (2018) telah selesai
melakukan eksplorasi sampling melalui diskusi intens kepada
semua pihak terkait, untuk menemukenali dan menentukan
diterminan faktor berbasis dimensional yang sebelumnya harus
dikaitkan dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen) nomor 4 tahun
2015 tentang Tujuan mendirikan BUMDesa. Sebagaimana
diketahui, salah satu klausul Permen 4 tahun 2015 tersebut
menjelaskan adanya delapan poin tujuan mendirikan BUMDesa,
yaitu: 1) Meningkatkan perekonomian desa; 2)
Mengoptimalkan asset desa agar bermanfaat untuk
kesejahteraan desa; 3) Meningkatkan usaha masyarakat dalam
pengelolaan potensi ekonomi desa; 4) Mengembangkan
rencana kerjasama usaha antar desa dan/atau pihak ketiga; 5)
Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung
kebutuhan dan layanan umum warga; 6) Membuka lapangan
kerja; 7) Meningkatkan kesejahteraan masyakarat melalui
perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan
ekonomi desa; dan 8) Meningkatkan pendapatan masyarakat
desa dan pendapatan asli desa.
Mengacu pada delapan poin tersebut, maka dapat dilacak
faktor-faktor pembentuk BUMDesa dengan terlebih dahulu
dirinci dalam empat dimensi, yaitu: 1) Dimensi Ekonomi; 2)
Dimensi Sosial; 3) Dimensi Lingkungan; dan 4) Dimensi
Manajemen. Pembagian atas beberapa dimensi tersebut juga
dengan memperhatikan beberapa teori, diantaranya yaitu teori
iii
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Sustainable Development Goals yang mengaitkan bahwa setiap
pemangunan selalu harus memperhatikan tiga faktor utama,
yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kemudian untuk masing-
masing dimensi tersebut dibagi ke dalam Indikator dan peubah
agar selanjutnya dapat dirangkum dalam indeks BUMDesa,
serta kategori perkembangan BUMDesa tersebut.
Kategorisasi BUMDesa dilakukan di dalam studi ini, yaitu
untuk dapat mempelajari dan mengetahui tingkatan masing-
masing BUMDesa di setiap desa yang diamati. Kategori
BUMDesa tersebut, ke depan juga dapat digunakan dalam
menentukan intervensi kebijakan apa yang diperlukan
berdasarkan indeks BUMDesa dan atas kelemahan-kelemahan
yang ditemukan pada dimensional masing-masing.
Indeks BUMdesa adalah angka, tetapi angka tersebut
akan memberikan arti yang bermanfaat ketika dapat
ditindaklanjuti dengan langkah kebijakan dan program sebagai
intervensi dalam upaya meningkatkan kategori BUMDesa yang
masih tergolong rendah ke sedang, dan sedang ke yang lebih
tinggi, serta berdasarkan kondisional yang valid sesuai dengan
faktor-faktor sosial, ekonomi, lingkungan, dan manajerial
kelembagaannya.
Kekurangan buku ini yang tadinya menyasar untuk
membuat model intervensi, tetapi model yang tersusun
nantinya tidak dapat digeneralisasikan antara BUMDesa satu
terhadap BUMDesa lainnya. Hal itu disebabkan karena
pencirian masing-masing BUMDesa sangat beragam,
bergantung pada kondisional BUMdesa yang sifatnya kasuistis
berdasarkan nilai-nilai peubah yang dideskripsikan di dalam
indeks.
iv
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tim penyusun buku ini telah merekomendasikan agar
seluruh BUMDesa (46 ribu unit secara nasional pada 2018)
dapat disampling ulang dengan cakupan yang lebih luas, agar
masing-masing karakternya dapat merepresentasikan
kewilayahan yang lebih luas, sehingga diterminan faktornya
bukan hanya menggambarkan keunggulan tetapi juga
kelemahannya, sehingga untuk melakukan intervensi program
bagi para pemangku kebijakan dapat dilakukan dengan tepat,
cepat, dan secara simultan atau menyeluruh.
Sekiranya tidak ada kekurangan yang tidak dapat
diperbaiki dalam penyajian buku ini tentunya masih terdapat
satu-dua kelemahan yang relevansinya bagi kepewntingan para
pembaca dan pemerhati perdesaan, juga utamanya untuk
pemangku kebijakan terkait dalam pembangunan dan
pengelolaan BUMDesa, maka dengan ini Tim sangat berterima
kasih jika para pemerhati berkenan memberikan masukan dan
saran yang membangun untuk memperbaikinya.
Jakarta, Desember 2018
Tim Peneliti
v
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Kata Sambutan
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT,
tersusunnya buku dengan judul Indikator Perkembangan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) pada 2018 ini
merupakan upaya yang sangat strategis dalam membangun
perdesaan. Konkritnya melalui pemberdayaan masyarakat
utamanya di dalam mendirikan, mengelola, dan
mengembangkan kelembagaan Badan Usaha Milik Desa.
Jumlah unit BUMDesa dewasa ini belum secara signifikan
mewakili dalam upaya pemberdayaan masyarakat desa pada
umumnya. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah BUMdesa yang
relatif masih sedikit dibandingkan dengan jumlah desa secara
nasional, yaitu masih sekitar 57 persen dari 75 ribu desa.
Padahal Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, tentang Desa,
mengamanatkan untuk setiap desa agar mampu mendirikan
BUMDesa.
Buku ini diakui oleh Tim Penulis, bahwa hasilnya baru
tahap studi kasus, artinya baru menggunakan BUMDesa secara
sampling, sehingga bagaimanapun tidak dapat disetarakan
tehadap BUMdesa secara nasional, kecuali jika dilakukan
sensus secara menyeluruh di tingkat nasional, sebagaimana
yang disarankan dalam akhir buku ini.
Puslitbang dalam hal ini bertekad untuk memberikan
kisi-kisi bagi pemangku kebijakan di unit teknis dalam
vi
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
perannya mengembangkan BUMDesa secara nasional. Bahwa
ke depan, keberadaan BUMDesa ini dapat dibangun dan
dikembangkan dengan menentukan diterminan faktor atas
kelebihan dan kelemahannya secara parsial kedaerahan,
maupun secara simultan dalam skala nasional.
Untuk itu, pada tahun depan akan dikembangkan model
bagaimana metode yang tepat dalam upaya mengintervensi
kebijakan terhadap setiap BUMDesa di manapun berada.
Intervensi, artinya adalah memberikan kebijakan yang tepat
guna dan hasil guna bagi perkembangan BUMDesa yang
muaranya bagi kesejahteraan masyarakat di setiap desa secara
nasional.
Jakarta, Desember 2018
Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Dr. Suprapedi, M. Eng
NIP. 19610926 1988031002
vii
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Daftar Isi
Hal.
KATA PENGANTAR i
KATA SAMBUTAN v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan, Sasaran, dan Manfaat 5
1.3. Metode 5
1.4. Alur Pikir Studi 8
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1. Teori Normatif 13
2.2. Teori Klasik 15
2.2.1. Teori Pembangunan Berkelanjutan 15
2.2.2. Teori Pembangunan Berpusat pada
Manusia
19
2.2.3. Teori Manajemen 20
BAB III INDIKATOR PERKEMBANGAN BUMDESA
3.1. Indikator Tahap I 24
3.2 Indikator Tahap II 25
BAB IV DESKRIPSI LOKASI
4.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 29
4.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah 35
4.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat 41
viii
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
BAB V MATRIKS INDIKATOR PERKEMBANGAN
BUMDESA
BAB VI HASIL DAN BAHASAN
6.1. Temuan Lapang 63
6.1.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
63
6.1.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah 64
6.1.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat 67
6.2. Nilai Indeks 70
6.2.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
70
6.2.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah 73
6.2.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat 75
6.2.4. Indeks Total 77
6.3. Kategorisasi BUMDesa 78
6.3.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta
79
6.3.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah 81
6.3.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat 82
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 85
7.2. Saran 87
DAFTAR PUSTAKA
ix
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Daftar Tabel Hal.
Tabel 4.1 Jumlah dan Nama BUMDesa yang Menjadi Sampel Menurut Desa dan Kecamatan di Kabupaten Bantul
32
Tabel 4.2 Jumlah, Nama, dan Jenis Usaha BUMDesa yang Menjadi Sampel Menurut Desa dan Kecamatan di Kabupaten Wonogiri
38
Tabel 4.3 Nama, Jenis Usaha BUMDesa, Menurut Desa dan Kecamatan di Kabupaten Bekasi
41
Tabel 5.1 Matriks Form Indikator BUMDesa 49
Tabel 6.1 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan Dimensi Di Kabupaten Bantul
72
Tabel 6.2 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan Dimensi di Kabupaten Wonogiri
74
Tabel 6.3 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan Dimensi di Kabupaten Bekasi
76
Tabel 6.4 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten Bantul (2018)
80
Tabel 6.5 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten Wonogiri (2018)
81
Tabel 6.6 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten Bekasi (2018)
83
x
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Daftar Gambar Hal.
Gambar 1.1 Alur Pikir Studi 11
Gambar 2.1 Prinsip Suistainable Dev, menurut Russian Doll
17
Gambar 2.2 Proses Sinerjitas Faktor Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan menuju Sustainable Development (Sumber: World Summit 2005)
18
Gambar 6.1 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Bantul (2018)
71
Gambar 6.2 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Wonogiri (2018)
73
Gambar 6.3 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Bekasi (2018)
75
Gambar 6.4 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Wonogiri, Bantul, dan Bekasi (2018)
77
Gambar 6.5 Persentase Kategori BUMDesa di Kabupaten Bantul, Wonogiri, dan Bekasi (n: 75, 2018)
79
Gambar 6.6 Persentasi Kategori BUMDesa di Kabupaten Bantul (n: 27, 2018)
79
Gambar 6.7 Presentasi Kategori BUMDesa Kabupaten Wonogiri (n: 34, 2018)
81
Gambar 6.8 Persentase Kategori BUMDesa di Kabupaten Bekasi (n: 14, 2018)
83
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab I
Pendahuluan
2.1. Latar Belakang
Badan usaha milik desa (BUMDesa), merupakan sebuah
lembaga usaha desa yang dikelola secara sinergitas oleh
pemerintah desa bersama-sama dengan masyarakat desa.
Tujuan mendirikan BUMDesa, yaitu memperkuat
perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan
potensi yang ada di desa. Melalui BUMDesa yang merupakan
sebuah badan usaha, diharapkan mampu membantu
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
menjadikan salah satu peluang usaha atau lapangan pekerjaan,
pengelolaan sumberdaya, serta dalam hal mengoptimalkan
pemberdayaan masyarakat desa.
Bentuk dan karakteristik keberadaan 32.249 BUMDesa
yang tersebar di 74.957 Desa secara nasional (IDM), sangat
beragam dan tidak dapat digeneralisasikan baik dalam hal SDM
pengelolanya, produk jenis usaha andalan, karakteristik
kelembagaan, lokus pengembangan pasar, serta kultur
masyarakat pendukungnya. Jumlah BUMDesa yang terdistribusi
di sejumlah desa tersebut menggambarkan bahwa tidak semua
desa teah (mampu) mendirikan dan mengelola BUMDesa,
kecuali hanya berkisar 43 persen dari seluruh desa secara
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
nasional, atau berkisar antara 32 ribu kelembagaan BUMDesa.
Untuk itu, ke-32 ribu lebih lembaga BUMDesa yang
teridentifikasi, perlu diinventarisasi menurut keberagaman
karakteristiknya, lebih khusus lagi perlu diidentifikasikan:
diterminant factor yang mendukung dan/atau menghambat
perkembangan kelembagaan BUMDesa, pola pengelolaan
(manajerial) kelembagaan, SDM pendukungnya, serta lokus
pasar, jenis usaha, dan lainnya yang diduga berpengaruh
dominan terhadap pengembangan keberadaan BUMDesa di
beberapa karakteristik wilayah.
Keberadaan BUMDesa dapat dikatakan berkembang, jika
sudah mampu memenuhi tujuan pendirian BUMDesa
sebagaimana tertuang dalam klausa Peraturan Menteri,
Kementerian Desa, Pembangunan daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Permen Desa) nomor 4 tahun 2015. Permen
Desa nomor 4 tahun 2015 tersebut menjelaskan 8 (delapan)
poin tujuan pendirian BUMDesa, yaitu: (1) Meningkatkan
perekonomian desa; (2) Mengoptimalkan asset desa agar
bermanfaat untuk kesejahteraan desa;(3) Meningkatkan usaha
masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa; (4)
Mengembangkan rencana kerjasama usaha antar desa dan/atau
pihak ketiga; (5) Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang
mendukung kebutuhan dan layanan umum warga; (6)
Membuka lapangan kerja; (7) Meningkatkan kesejahteraan
masyakarat melalui perbaikan pelayanan umum; pertumbuhan,
dan pemerataan ekonomi desa; dan (8) Meningkatkan
pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.
Delapan poin tujuan tersebut yang dijadikan tolok ukur
dalam menilai secara bertahap atau secara bersama-sama
3
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
(simultan), apakah BUMDesa yang bersangkutan telah atau
belum berhasil mencapai tujuan. Tujuan yang tertuang dalam
klausa Permen Desa tersebut kemudian diterjemahkan dalam
poin-poin dimensi, indikator, dan variabel masing-masing yang
lebih rinci dan terukur. Ukuran keberhasilan dan/atau
pengembangan BUMDesa tersebut secara dimensional
selanjutnya disebut sebagai Indikator Perkembangan
BUMDesa (IP-BUMDesa). Melalui IP-BUMDesa tersebut maka
masing-masing BUMDesa dapat diketahui perbedaan capaian,
perkembangan, maupun manajerialnya selama ini. Di dalam
kategorisasi perkembangan BUMDesa, maka melalui IP-
BUMDesa dicoba untuk mengelompokkan berdasarkan
karakteristiknya menjadi tiga kategori, apakah suatu BMDesa
masuk dalam kategori baru tumbuh yang disebut "BUMDesa
Bentukan", "BUMDesa Berkembang", dan "BUMDesa Maju".
Melalui kategorisasi tersebut, maka selanjutnya di tahun-
tahun mendatang dapat dilakukan langkah intervensi strategi
kebijakan penguatan suatu BUMDesa. Metoda yang
dikembangkan saat ini dengan mengamati dimensional
indikator yang ada berdasarkan karakteristik di desa masing-
masing dapat dilanjutkan, tetapi harus secara valid, realible dan
mudah ditemukan di lapang. Strategi intervensi yang
dikembangkan dalam manajerial melalui kelembagaan desa
secara struktural, ke depan tinggal melalui pengamatan nilai-
nilai yang mengalami kelemahan. Dalam konteks strategi
intervensi kebijakan tersebut, mutlak harus melibatkan
komponen masyarakat desa, baik dalam perannya menurut
ketokohan, struktural kelembagaan, maupun kultur dan kinerja
masyarakat di desa masing-masing.
4
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
Penyusunan IP-BUMDesa ini menggunakan beberapa
teori baik yang tertuang dalam perundang-udangan (UU, PP,
Permen) sebagai teori normatif, maupun teori-teori umum yang
mendukung dalam penurunan indikator secara dimensional. IP-
BUMDesa ini sebagaimana upaya mengembangkan peran dan
pemberdayaan masyarakat melalui BUMDesa. Sebagimana
diketahui, BUMDesa adalah kegiatan yang berbasis pada peran
dan aktivitas masyarakat di dalam upaya menumbuh-
kembangkankan peran perekonomian keluarga yang dampak
multiplier-nya, yaitu meningkatkan nilai tambah ekonomi
daerah, mengembangkan peran sosial masyarakat, serta tidak
menafikan batas-batas daya tampung, dan daya dukung
lingkungan.
Pemahaman teori yang merangkum hal tersebut,
diantaranya adalah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals), Pembangunan Berpusat pada Manusia
(Human-centered Development) dan Teori Management
(pengelolaan yang terdiri atas 6 M, yaitu Man, Money, Machines,
Methods, Materials dan Market).
Rumusan masalah dalam rancang bangun penyusunan IP-
BUMDesa ini, yaitu adanya keberagaman BUMDesa yang secara
proporsional mencapai 43 persen seharusnya dapat
dideskripsikan berdasarkan karakteristik, lokus, pola usaha,
pola kelola, dan SDM. Selama ini keberadaan BUMDesa, masih
digeneralisasi secara umum dalam konteks pertumbuhan dan
pengembangan dasar. Dalam hal ini, yang ditekankan adalah ke
depan memerlukan langkah riset dalam melakukan rumusan
strategi intervensi terhadap keberagaman BUMDesa
5
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
berdasarkan karakteristik kewilayahan serta kultur
pengembangannya.
1.2. Tujuan, Sasaran, dan Manfaat
Tujuan studi ini, yaitu:
1. Menyusun Indikator Perkembangan BUMDesa
2. Uji petik dan sinkronisasi indikator dengan kondisi
lapang (BUMDesa)
3. Mengklasifikasikan (kategorisasi) kondisional
BUMDesa.
Sasaran studi ini, yaitu:
1. Tersusunnya Model Indikator Perkembangan
BUMDesa,
2. Terpolakannya angka indeks BUMDesa per dimensi
3. Terpolakannya model klasifikasi BUMDesa
Manfaat studi:
1. Sebagai Rekomendasi awal kepada unit teknis di
bidang perdesaan, dalam hal kebijakan menyusun
regulasi mendirikan BUMDesa yang berbasis pada
eksisting perdesaan, tipologi wilayah, manajemen, dan
kultural masyarakat.
2. Dapat ditindaklanjuti dengan studi Staregi Intervensi
Pengembangan BUMDesa dengan eksplorasi data dan
informasi indikator BUMDesa secara nasional.
1.3. Metode
Studi ini bersifat Mix Method, data primer menggunakan
eksplorasi kualitatif, yaitu mempelajari hasil studi-studi yang
6
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
pernah dilakukan, mempelajari pendapat para pakar,
mempelajari pendapat para pelaku studi terdahulu, serta
mempelajari teori-teori yang relevansinya dengan
pembangunan BUMDesa, sedangkan pengolahan datanya
menggunakan pendekatan kuantitatif, yaitu kategorisasi
dengan skala nominal.
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder dan data
primer, data sekunder dengan eksplorasi publikasi tentang
BUMDesa, hasil studi terdahulu, dan kepustakaan yang relevan.
Data primer dengan melakukan wawancara dengan para
pejabat di daerah (Kabupaten, Kecamatan, dan Desa) yang
terkait dengan BUMDesa, serta melakukan FGD dengan para
direktur BUMDesa.
Untuk menentukan kategori BUMDesa secara kuantitatif,
menggunakan pendekatan Average Number dari masing-masing
indeks dimensi, dari rata-rata per dimensi, kemudian indeks
komposit juga dirata-ratakan, sehingga didapat nilai indeks
secara dimensi dan komposit. Untuk menentukan kategorisasi
menggunakan pendekatan Community Question Answering
(CQA), yaitu salah satu sarana aplikasi kuantitatif yang
menyediakan fasilitas tanya jawab dengan mudah dan gratis.
Dalam pendekatan tersebut, pemahaman yang dipakai yaitu
kategori Good and Bad, masing-masing sebesar 50 persen.
Menentukan indeks BUMDesa dalam studi ini disamping
dikelompokkan per dimensi, juga dihitung berdasarkan indeks
komposit, yaitu dihitung secara total. Metode menghitung
Indeks BUMDesa mengacu pada hitungan Indeks Desa
Membangun yang dikembangkan oleh Ditjen PPMD (2016).
7
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Dengan tidak memperhatikan skala yang ada di dalam indikator
dan/atau peubah, maka penjumlahan yang dilakukan semata-
mata hanya untuk menemukan nilai berdasarkan hasil hitung
secara matematika (kuantitatif).
Rumusan menentukan Indeks BUMDesa:
Untuk kategorisasi IP-BUMDesa, maka TIM perlu
menentukan kategori BUMDesa berdasarkan capaian nilai
indeks yang dihasilkan dari hitung bobot peubah yang
diperoleh dari lapang, yaitu: "BUMDesa Bentukan" jika hanya
mencapai nilai 50 persen, kategori "BUMDesa Berkembang" jika
nilainya mencapai 75 persen, dan kategori "BUMdesa Maju" jika
lebih dari 75 persen. Rentang nilai yang dipakai, yaitu 0 sampai
100 atau secara kuantitas menggunakan nilai persentil. Tiga
kategori tersebut, yaitu:
8
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
Pemilihan Lokus ditentukan secara purposif, dengan
mempertimbangkan adanya pertumbuhan BUMDesa yang telah
maju, yaitu di Kabupaten Bantul DIY; adanya pertumbuhan
BUMDesa di daerah “minus” yang sering mengalami fluktuasi
cuaca yang disebabkan daerah tandus dan kekeringan panjang,
yaitu Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, dan daerah yang
mewakili wilayah industri maju, yaitu Kabupaten Bekasi,
Provinsi Jawa Barat. Ketiga daerah tersebut dipandang layak
mendapat perhatian untuk mewakili karakteristik wilayah
secara nasional. Memang tidak dapat terwakili secara
signifikan, misalnya karakteristik tipologi daerah perbatasan,
daerah pesisir, daerah terpencil, dan daerah pinggiran, dan
sebagainya, tetapi upaya untuk mendiskripsikan ketiga
kabupaten tersebut sudah dapat dipertanggung-jawabkan.
1.4. Alur Pikir Studi
Studi ini didukung oleh tiga pilar teori, yaitu 1)
Sustainable Development Goals; 2) Human-Centered
Development; dan 3) Teori Management. Ketiga teori tersebut
guna memperkuat dalam menentukan indikator apa yang dapat
dikaitkan dengan penyelenggaraan setiap desa di dalam
mendirikan BUMdesa. Di samping itu, secara normatif
keberadaan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-
Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Desa, pasal 87, 88, dan 89
yang merekomendasikan agar setiap desa dapat mendirikan
BUMDesa,
Sedangkan untuk menentukan Dimensi, Indikator, dan
Peubah harus mengacu pada delapan poin tujuan mendirikan
BUMdesa sebagaimana dituangkan dalam klausul Permen
9
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
kementerian Desa nomor 4 tahun 2015 yang telah dijelaskan
pada bab latar belakang laporan ini.
Sebagaimana dijelaskan di atas, studi ini mengambil
sampel secara purposif sebanyak 75 BUMDesa dari tiga
Kabupaten, yaitu: Kabupaten Bantul, Kabupaten Wonogiri, dan
Kabupaten Bekasi. Jumlah BUMdesa yang tercatat secar5a
nasional, yaitu sebanyak 39 ribu Unit, tetapi tidak mungkin
dapat terakomodasi sebanyak yang ada di dalam menyusun
model atau draf indikator BUMDesa.
Pemilihan secara purposif BUMDesa di masing-masing
Kabupaten tersebut, diantaranya yaitu:
1. Kabupaten Bantul dipilih karena di Kabupaten tersebut
terdapat relatif banyak BUMDesa yang maju dan berjalan
secara normative.
2. Kabupaten Wonogiri, secara purposif dipilih karena
mempertimbangkan jenis usaha masyarakat yang hampir 87
persen adalah petani dan kebun, sedangkan kondisi
topografi daerah tersebut berupa perbukitan yang pada
umumnya mengandalkan system pengairan tadah hujan,
sehingga diperkirakan akan berpengaruh terhadap jenis
usaha BUMdesa di masing-masing desanya.
3. Kabupaten Bekasi dipilih dengan mempertimbangkan
daerah tersebut merupakan daerah sentra industri maju,
berupa pabrik-pabrik olahan, otomotif, industry manufaktur
dan lain-lain, sehingga jenis usaha dan matapencaharian
masyarakatnya sebagian besar adalah jasa, dan
10
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
perdagangan. Hal ini diperkirakan akan memberikan
pengaruh terhadap keberadaan BUMDesa.
Sesudah menentukan indikator BUMdesa berdasarkan
dimensional yang diturunkan dari delapan poin tujuan
mendirikan BUMDesa, maka langkah berikutnya, yaitu
mensinkronkan peubah di setiap indikator dengan kondisi
BUMDesa di lapang, sekaligus dilakukan uji kuesioner, apakah
peubah di dalam setiap indikator sudah sesuai dengan kondisi
lapangan atau masih ada peubah yang penting yang belum
dicantumkan di dalam indikator.
Langkah selanjutnya adalah menghitung Indeks per
dimensi, dan Indeks Komposit di setiap BUMdesa. Indeks
Dimensi dapat digunakan untuk menentukan langkah
intervensi kebijakan penguatan BUMDesa berdasarkan dimensi
masing-masing. Dimensi yang digunakan, yaitu Dimensi
Ekonomi, Dimensi Sosial, Dimensi Lingkungan, dan Dimensi
Manajemen Kelembagaan. Indeks Komposit BUMdesa, adalah
indeks untuk menentukan kategori kondisional BUMDesa yang
ada, apakah BUMDesa yang dimaksud secara eksisting
termasuk di dalam kategori Bentukan, Berkembang, atau Maju.
Kategori BUMDesa yang ditentukan oleh TIM Stusi, yaitu: 1)
BUMDesa Bentukan; 2) BUMDesa Berkambang; dan 3)
BUMdesa Maju.
Jika dideskripsikan dalam gambar, maka Alur Pikir Studi
sebagaimana Gambar 1.1 sebagai berikut.
11
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Gambar 1.1 Alur Pikir Studi.
12
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Pendahuluan
13
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab II
Tinjauan Teori
2.1. Teori Normatif
Teori normatif, yaitu dukungan teori yang telah diadopsi
menjadi perundang-undangan, diantaranya yang terkait dengan
tata kelola atau regulasi untuk mendirikan BUMDesa. Dukungan
teori normatif yang dimaksud, teridentifikasi menjadi dua, yaitu
(a) Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, serta (b)
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan
Transmigrasi (Permen Kementerian Desa) nomor 4 tahun 2015.
1. Undang-undang nomor 6 tahun 2014, Tentang Desa
Undang-undang nomor 6 tahun 2014 utamanya pada Bab X
pasal 87, pasal 88, dan pasal 89 yang pada intinya
merekomendasikan setiap desa dapat mendirikan BUMDesa
dengan beberapa regulasinya. Klausul pada pasal-pasal
tersebut, yaitu:
Pasal 87: (1) Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa
yang disebut BUM Desa. (2) BUM Desa dikelola dengan
semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. (3) BUM
Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau
pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
14
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tinjauan Teori
Pasal 88: (1) Pendirian BUM Desa disepakati melalui
Musyawarah Desa. (2) Pendirian BUM Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa;
dan
Pasal 89: Hasil usaha BUM Desa dimanfaatkan untuk: a.
pengembangan usaha; dan b. Pembangunan Desa,
pemberdayaan masyarakat Desa, dan pemberian bantuan
untuk masyarakat miskin melalui hibah, bantuan sosial, dan
kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa.
2. Permen Desa 4/2015 sebagai tataran operasional
Sebagaimana dalam Purbantara (2018), berdasarkan
Permen Desa nomor 4 tahun 2015, pasal 3, tujuan
didirikannya BUMDesa, yaitu:
1) Meningkatkan perekonomian desa;
2) Mengoptimalkan asset desa agar bermanfaat untuk
kesejahteraan desa
3) Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan
potensi ekonomi desa;
4) Mengembangkan rencana kerjasama usaha antar desa
dan/atau pihak ketiga;
5) Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang
mendukung kebutuhan dan layanan umum warga;
6) Membuka lapangan kerja;
7) Meningkatkan kesejahteraan masyakarat melalui
perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi desa;
15
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
8) Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan
pendapatan asli desa.
Guna mengukur keberhasilan BUMDesa, maka diperlukan
ukuran yang dapat menjawab tujuan di atas, serta
memenuhi khaidah, yaitu: valid, realible, dan mudah
diperoleh di lapangan (Up date) (Agung, 1992)
Delapan tujuan mendirikan BUMDesa sebagaimana
dijelaskan dalam Permen nomor 4 tahun 2015, merupakan
rujukan utama dalam menentukan ukuran capaian
perkembangan BUMdesa. Arti perkembangan BUMDesa,
adalah bahwa BUMDesa yang dibentuk di masing-masing
desa akan mengalami perubahan baik positif, maupun
negative. Ukuran perkembangan positif dan/atau
perkembangan negatif inilah yang akan dijadikan tolok ukur
untuk memberikan intervensi kebijakan. Intervensi
kebijakan tersebut berdasarkan peubah di tingkat lapang,
sehingga ketepatan dan kecepatan perkembangan yang
dimaksud sesuai dengan tujuan utama sebagaimana yang
tertuang dalam klausul Permen 04 tahun 2015.
2.2. Teori Klasik
2.2.1. Teori Pembangunan Berkelanjutan
Buku Tipologi Perkembangan Desa (Puslitbang
Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi-2015), menyebutkan
bahwa pembangunan berkelanjutan menemukan
momentumnya kembali setelah Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) ke 70 di New York pada bulan September
2015, menetapkan untuk mengadopsi Sustainable Development
16
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tinjauan Teori
Goals (SDGs) sebagai kelanjutan dari Millenium Development
Goals (MDGs). Seperti diketahui sejak KTT Bumi di Rio Janeiro
pada tahun 1992 dan KTT Pembangunan Berkelanjutan di
Johanesburg pada tahun 2012, PBB mendorong agar negara-
negara di dunia menerapkan konsep pembangunan
berkelanjutan. Dengan ditetapkannya SDGs ini akan
mempengaruhi aktivitas pembangunan untuk segala lini
kegiatan yang sifatnya spasial, termasuk pembangunan desa.
Pembangunan Berkelanjutan pada dasarnya mencakup
tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan
lingkungan (Munasinghe, 1992). Dimensi ekonomi, antara lain
berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan
konsumsi yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan
upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan
pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, dan
lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai
upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi,
pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi sumberdaya
alam.
Dengan demikian, tujuan Pembangunan Berkelanjutan
terfokus pada ketiga dimensi tersebut yaitu, keberlanjutan laju
pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth),
keberlanjutan kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social
progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan
yang serasi dan seimbang (ecological balance).
Pemahaman pembangunan berkelanjutan didasarkan
atas tiga pilar/dimensi yang satu sama lain saling terkait
17
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
(sinergi), yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan yang disebut
sebagai mobius triangle masih dianggap kurang memadai bagi
para pegiat lingkungan, karena pada kenyataannya bahwa
pembangunan ekonomi sosial hanya memperhatikan dimensi
lingkungan, yang seharusnya dimensi lingkungan merupakan
pembatas dari pembangunan ekonomi dan sosial. O’Riordan
(1998) kemudian mengembangkan konsep Russian Doll, yaitu
pembangunan ekonomi tidak boleh melebihi daya dukung
sosial dan pembangunan sosial tidak boleh melebihi daya
dukung lingkungan. Pada Gambar 2.1 disajikan konsep
pembangunan berkelanjutan dengan prinsip Russian Doll.
Gambar 2.1 Prinsip Suistainable Dev, menurut Russian Doll.
Diagram di atas, mempertegas adanya pengakuan
terhadap empat syarat utama dalam teori Pembangunan
Berkelanjutan dalam Warsono (2010), yaitu: 1) menempatkan
suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada suatu ekologis
yang benar secara terukur; 2) pemanfaatan sumberdaya
terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi
lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya tak-
terbarukan (non renewable resources); 3) pembuangan limbah
industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran; dan 4) perubahan fungsi ekologis tidak
18
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tinjauan Teori
boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying
capacity).
Pada prinsipnya Pembangunan Berkelanjutan adalah
proses pembangunan (meliputi lahan, kota, bisnis, masyarakat
dan sebagainya) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan masa
depan." Menurut Brundtland Report (dalam Warsono 2010),
salah satu faktor yang dihadapi untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan, yaitu bagaimana memperbaiki kehancuran
lingkungan, tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan
ekonomi, dan keadilan sosial.
Proses interaksi ke tiga elemen utama, yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan fisik dalam menuju pembangunan
berkelanjutan dapat digambarkan dalam diagram ven pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Proses Sinerjitas Faktor Sosial, Ekonomi, dan
Lingkungan menuju Sustainable Development (Sumber: World Summit 2005).
19
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Untuk itu dalam pemberdayaan masyarakat melalui
kegiatan BUMDesa, harus terukur dengan menggunakan
instrumen yang tertuang dalam pronsip-prinsip Pembangunan
Berkelanjutan, meliputi tiga elemen utama, yaitu ekonomi,
sosial, dan lingkungan fisik. ketiga unsur utama tersebut mutlak
perlu dimasukkan dalam indikator untuk mengukur
perkembangan BUMDesa dalam skala perdesaan.
2.2.2. Teori Pembangunan Berpusat pada Manusia
Pada awal munculnya teori pembangunan pada dekade
empat puluhan sampai dekade tujuh puluhan, pembangunan
identik dengan pertumbuhan ekonomi. Walaupun
pembangunan kemudian memiliki muatan pemerataan, tetap
saja belum menempatkan manusia sebagai subyek
pembangunan. Hal tersebut menjadi perhatian para ahli
pembangunan yang ingin menempatkan manusia sebagai pusat
pembangunan, yaitu disebut pembangunan berpusat kepada
manusia (people centered development). Korten and Klauss
(1984) mendefinisikan pembangunan berpusat kepada
manusia sebagai pendekatan yang mementingkan inisiatif
kreatif dari masyarakat sebagai sumber utama pembangunan
dan menekankan kesejahteraan material dan spiritual
masyarakat sebagai tujuan dari proses pembangunan.
Para ahli teori Pembangunan Berpusat kepada Manusia
juga memiliki konsepsi yang lebih luas tentang konsep
‘pembangunan’. Mereka tidak percaya bahwa pembangunan
harus berarti mereka menjadi seperti Barat dan pembangunan
tidak harus dilihat dari segi sempit seperti industrialisasi dan
pertumbuhan ekonomi. Proyek-proyek pembangunan harus
20
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tinjauan Teori
skala yang lebih kecil, dan jauh lebih beragam. Akhirnya, para
ahli teori PBM menolak definisi Barat tentang ‘keterbelakangan’
– hanya karena beberapa budaya ndeso, non-industri, dan tidak
dapat diperdagangkan, bukan berarti mereka lebih rendah dari
Barat.
Merujuk pada pendapat para pakar di atas, maka esensi
dari pendekatan ini terletak pada inklusivitas serta pendekatan
dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan bersama rakyat.
Dalam UU No. 6/2014 pendekatan pembangunan berpusat pada
manusia tersebut di antaranya tercermin pada tujuan
pembangunan dan prioritas program yang ditujukan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas hidup
manusia, serta penanggulangan kemiskinan. Selain itu juga
tergambarkan dari keterlibatan masyarakat dalam seluruh
proses pembangunan desa (perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan), termasuk di dalamnya dalam upaya
penyelenggaraan kegiatan BUMDesa. Dengan demikian
pembangunan desa melalui upaya mendirikan kegiatan
masyarakat dalam kegiatan BUMDesa merupakan upaya
perkuatan masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
2.2.3. Teori Manajemen
BUMDesa adalah kelembagaan yang mewadahi kegiatan
masyarakat desa dalam perannya mengelola potensi dan
produk-produk yang ada di perdesaan dan kawasan perdesaan
dari hulu hingga hilir. Pengelolaan kelembagaan inilah yang
harus diutamakan agar dalam kegiatan peningkatan nilai
tambah, baik sosial, ekonomi, maupun pengelolaan lingkungan
fisik dapat berjalan optimal. Melalui pemahaman manajerial
21
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
yang dilakukan oleh para pengelola dalam menjalankan
kelembagaan BUMDesa harus didasari dengan teori manejemen
yang dikembangkan secara aplikatif, dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, normatif dan akademis.
Kata manajemen berasal dari bahasa latin yaitu berasal
dari kata manus yang berarti tangan dan agere yang berarti
melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata kerja
managere yang berarti menangani. Managere diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage untuk
orang yang melakukan kegiatan manajemen. Manajemen belum
memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal.
Mary Parker Follet (Tahun2010), misalnya, mendefinisikan
manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui
orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas
mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan
organisasi. Ricky W. Griffin (Tahun2010), mendefinisikan
manajemen sebagai sebuah proses perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber
daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien.
Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan
perencanaan; sementara efisien berarti tugas dilaksanakan
secara benar, terorganisir dan sesuai dengan jadwal. Dalam
bahasa Indonesia management diistilahkan menjadi
manajemen/ pengelolaan. Pengelolaan (manajemen) adalah
seni melaksanakan dan mengatur(Wikipedia : 2010)
Unsur-unsur manajemen diistilahkan dengan 6 M (The Six
M), yaitu: pertama Man: manusia (pelaksana yang handal dan
terampil); kedua Money: keuangan (ketersediaan dana); ketiga
Machines: Perlengkapan mesin-mesin sebagai alat bekerja
22
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Tinjauan Teori
(apabila diperlukan); keempat Methods: Metode (cara) kelima
Materials: Sarana dan prasarana; keenam Market: Pemasaran
(pemasyarakatan dan pembudayaan). Adapun fungsi
manajemen adalah yang biasa disebut dengan istilah POAC,
yaitu: P: Planning (Perencanaan); O: Organizing
(Pengorganisasian) A: Actuating (Pengarahan dan
Penggerakan/ melaksanakan pekerjaan); C: Controlling
(Pengawasan).
23
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab III
Indikator Perkembangan BUMDesa
Indikator Perkembangan BUMDesa tersusun melalui 2
(dua) tahap. Pertama, tahap penyusunan indikator sebelum uji
petik, dan kedua, tahap penyusunan indikator sesudah uji petik
di lapangan. Pada prinsipnya kedua tahap tidak jauh berbeda,
karena tahap kedua merupakan penyempurnaan tahap I dan
tidak banyak mengalami perubahan dimensi, kecuali ada
beberapa dimensi yang mengalami penambahan indikator dan
peubah.
Kedua tahapan ini dipandang perlu dideskripsikan oleh
Tim, karena mempertimbangkan keruntutan proses dalam
menyusun dimensi dan peubahnya. Di samping itu, perubahan
dan/atau tambahan dalam menyusun indikator merupakan
legitimasi proses melalui diskusi dengan melibatkan berbagai
narasumber terkait.
Pada intinya, menyusun indikator dan/atau
variable/peubah harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu:
valid, realible, dan mudah diperoleh di lapangan untuk
keperluan updating selanjutnya. Tahapan penyusunan
Indikator yang dimaksud, yaitu:
24
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
3.1. Indikator Tahap I
Indikator Tahap I terdiri atas 39 Indikator yang terbagi
dalam 4 (empat) dimensi, yaitu Manajemen, sosial, ekonomi,
dan Lingkungan. Ke-39 Indikator tersebut, yaitu:
a. Dimensi Manajemen terdiri atas 22 Indikator, yaitu:
1) Pendidikan Pengelola BUMDes.
2) Pengetahuan dan Keterampilan Pengelola BUMDes.
3) Pelatihan BUMDes.
4) Regenerasi Pengelola.
5) Kelengkapan dokumen AD/ART.
6) Sistem (AD/ART. Perdes, aturan, analisis kelayakan
usaha, permodalan).
7) SOP (Standar, Operasional, dan Prosedur).
8) Rekrutmen Pengelola BUMDes.
9) Tunjangan Kinerja/Insentif.
10) Disiplin Pegawai.
11) Pengelolaan administrasi.
12) Komunikasi Pengelola.
13) Kemudahan mendapatkan bahan baku untuk usaha.
14) Pelaporan Keuangan.
15) Aplikasi Pelaporan Keuangan.
16) Pengawasan.
17) Keberlanjutan usaha.
18) Kantor BUMDes.
19) Kendaraan operasional.
20) Fasilitas Peralatan Kantor.
21) Fasilitas Peralatan Produksi.
22) Fasilitas Jaringan Internet.
25
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
b. Dimensi sosial terdiri atas 5 indikator, yaitu:
1) Pemberdayaan masyarakat PMKS.
2) Kontribusi untuk PMKS.
3) Kontribusi untuk kesehatan masyarakat.
4) Kontribusi untuk pendidikan masyarakat.
5) Partisipasi Masyarakat.
c. Dimensi ekonomi terdiri atas 10 indikator, yaitu:
1) Kontribusi untuk PADes.
2) Target Keuntungan.
3) Jaringan Pasar.
4) Kemitraan (Kerjasama BUMDes).
5) Keunikan Produk.
6) Laba/ keuntungan BUMDes.
7) Lama BUMDes memperoleh keuntungan.
8) Penambahan jumlah unit usaha.
9) Gaji Pengelola BUMDes.
10) Hutang BUMDes.
d. Dimensi Lingkungan terdiri atas 2 indikator, yaitu:
1) Pencemaran Lingkungan
2) Pelestarian Lingkungan
3.2. Indikator Tahap II:
Setelah melalui diskusi dengan narasumber (expert
judgement) guna penyempurnaan dan penambahan dengan
dukungan teori-teori baik normatif maupun klasik, serta setelah
melalui uji petik lapangan di tiga kabupaten secara purposif,
maka terpilih 4 (empat) dimensi, dengan 42 Indikator, dan 126
peubah. Deskripsi Indikator BUMdesa tahap II ini sebagai
berikut.
26
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
a. Dimensi Manajemen terdiri atas 6 Indikator dan 25
peubah, antara lain:
Indikator:
1. Man.
2. Money.
3. Machines.
4. Methods.
5. Materials.
6. Market.
Peubah:
1) Pendidikan Pengelola BUMDesa.
2) Pengetahuan dan Keterampilan Pengelola BUMDesa.
3) Pelatihan BUMDesa.
4) Regenerasi Kepengurusan/Pengelola.
5) Inisiator (Penggerak BUMDesa).
6) Kelengkapan dokumen AD/ART.
7) Sistem (AD/ART. Perdes, aturan, analisis kelayakan
usaha, permodalan).
8) Dukungan SOP (Standar, Operasional, dan Prosedur).
9) Rekrutmen Pengelola BUMDesa.
10) Tunjangan Kinerja/Insentif.
11) Disiplin Pegawai.
12) Pengelolaan administrasi (administrasi perkantoran,
absensi, pengarsipan, TU, dll).
13) Komunikasi Pengelola (rapat rutin terjadwal bulanan/
mingguan).
14) Kemudahan mendapatkan bahan baku untuk usaha.
15) Pelaporan Keuangan.
16) Asal Permodalan.
27
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
17) Aplikasi Pelaporan Keuangan.
18) Pengawasan.
19) Keberlanjutan usaha.
20) Keberadaan Kantor BUMDesa.
21) Status Lahan Usaha (tempat usaha).
22) Ketersediaan Kendaraan operasional.
23) Fasilitas Peralatan Kantor (komputer dan printer).
24) Fasilitas Peralatan Produksi.
25) Fasilitas Jaringan Internet.
b. Dimensi Sosial terdiri atas 4 Indikiator dan 5 peubah,
antara lain:
Indikator:
1. Kemiskinan.
2. Pendidikan.
3. Kesehatan.
4. Partisipasi Masyarakat.
Peubah:
1) Pemberdayaan masyarakat PMKS.
2) Kontribusi sosial untuk masyarakat PMKS.
3) Kontribusi untuk kesehatan masyarakat.
4) Kontribusi untuk pendidikan masyarakat.
5) Dukungan dan partisipasi masyarakat.
c. Dimensi Ekonomi terdiri atas 6 Indikator dan 10 peubah,
antara lain:
Indikator:
1. Kontribusi.
2. Efisiensi.
28
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
3. Daya saing.
4. Nilai tambah.
5. Pertumbuhan.
6. Stabilitas.
Peubah:
1) Kontribusi untuk PADesa.
2) Target Keuntungan.
3) Jaringan Pasar.
4) Kemitraan (Kerjasama BUMDesa).
5) Keunikan Produk.
6) Laba/ keuntungan BUMDesa.
7) Jangka Waktu BUMDesa memperoleh Keuntungan.
8) Penambahan jumlah unit usaha.
9) Gaji Pengelola BUMDesa.
10) Hutang BUMDesa.
d. Dimensi Lingkungan terdiri atas 2 peubah, yaitu:
1) Pencemaran lingkungan.
2) Pelestarian lingkungan.
29
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab IV
Deskripsi Lokasi
Dalam upaya penyempurnaan penyusunan Indikator,
maka perlu dilakukan uji petik (ground check) guna melihat
realisasi BUMDesa di daerah dalam sakala kabupaten. Hasil
kunjung lapang yang dilakukan terhadap tiga kabupaten,
meliputi Kabupaten Bantul, Kabupaten Wonogiri, dan
Kabupaten Bekasi, yaitu:
4.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Kabupaten Bantul memiliki bentang alam yang terdiri
dari daerah dataran dan daerah perbukitan. Secara geografis
letak Kabupaten Bantul disebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Gunungkidul, sebelah utara berbatasan dengan Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, sebelah barat berbatasan
dengan Kabupaten Kulon Progo, dan disebelah selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia.
Kabupaten Bantul secara administratif terdiri dari 17
Kecamatan, 75 Desa dan 933 Pedukuhan. Desa-desa di
Kabupaten Bantul kemudian terbagi lagi berdasarkan statusnya
menjadi desa pedesaan (rural area) dan desa perkotaan (urban
area). Kecamatan Dlingo mempunyai wilayah paling luas, yaitu
55,87 Km2. Sedangkan jumlah desa dan pedukuhan yang
30
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
terbanyak terdapat di Kecamatan Imogiri dengan delapan desa
dan 72 pedukuhan. Berdasarkan RDTRK dan Perda mengenai
batas wilayah kota, maka status desa dapat dipisahkan sebagai
desa perdesaan dan perkotaan. Secara umum jumlah desa yang
termasuk dalam wilayah perkotaan sebanyak 41 desa,
sedangkan desa yang termasuk dalam kawasan perdesaan
sebanyak 34 desa.
Jarak kota-kota kecamatan terhadap desa terjauh, ibukota
kabupaten, dan ibukota propinsi adalah Kecamatan Dlingo,
sedangkan jarak Kecamatan terdekat dengan ibukota
kabupaten adalah Kecamatan Bantul dan jarak Kecamatan
terdekat dengan ibukota propinsi adalah Kecamatan Sewon dan
Kasihan. Beberapa Kecamatan yang berada di perbatasan
langsung dengan Kota Yogyakarta menjadikan wilayah tersebut
maju dalam sektor perdagangan, hotel, restoran, serta jasa.
Selain itu, wilayah yang subur di bagian tengah merupakan
potensi pertanian yang menjanjikan. Bagian selatan Kabupaten
Bantul merupakan wilayah pesisir yang termasyur dengan
wisata baharinya. Dari sektor industri, Kabupaten Bantul
didominasi oleh industri kerajinan mikro dan kecil, seperti
kerajianan gerabah di Kasongan dan Pundong, kerajinan batik
di Imogiri dan Pandak, kerajinan wayang di Imogiri, serta
kerajinan topeng batik di Pajangan. Sektor industri di
Kabupaten Bantul mayoritas merupakan industri kecil. Jumlah
industri kecil sebesar 17.801 buah dengan mempekerjakan
77.600 orang, sementara industri besar/sedang sebesar 155
buah dengan tenaga kerja sebanyak 15.401 orang.
31
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Kabupaten Bantul dikenal salah satunya adalah karena
objek wisata yang memikat para wisatawan. Objek-objek
Kabupaten Bantul mempunyai potensi objek wisata yang cukup
besar, yang meliputi objek wisata alam, wisata budaya/sejarah,
pendidikan, taman hiburan dan sentra industri kerajinan.
Dengan keanekaragaman potensi wisata tersebut diharapkan
Kabupaten Bantul dapat secara optimal mendukung
pengembangan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah
tujuan wisata utama di Indonesia.
Dari lima kabupaten di DI Yogyakarta, Kabupaten Bantul
menempati urutan ke-3 dalam hal pencapaian indikator makro
ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun
2013. Perekonomian Kabupaten Bantul diwarnai tiga sektor
secara berimbang, yaitu pertanian, industri pengolahan dan
sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sumbangan ketiga
sektor itu terhadap PDRB jika diakumulasi mencapai 63,36
persen. Kabupaten Bantul merupakan produksi terbesar
bawang merah dan cabe di Propinsi DI Yogyakarta. Kegiatan
perdagangan internasional di kabupaten ini menghasilkan nilai
ekspor sebesar US $ 21.138.272,72. Komoditi andalan ekspor
daerah ini adalah mebel kayu, kerajinan kertas, kerajinan
pandan, kerajinan kulit, produk tekstil, dan kerajinan kayu.
32
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Tabel 4.1 Jumlah dan Nama BUMDesa yang Menjadi Sampel Menurut Desa dan Kecamatan di Kabupaten Bantul
NO KECAMATAN DESA NAMA BUMDESA 1 Bambanglipuro 1 Sidomulyo Sidomulyo Maju
2 Bambanglipuro Sumbermulyo Mandiri
3 Mulyodadi Mulyo Nugroho 2 Banguntapan 4 Bangun Tapan Bangun Sejahtera
5 Baturetno Retno Sembodo 6 Tamanan BUMDes
Tamanan 3 Dlingo 7 Dlingo Dlingo Giritama 4 Sanden 8 Murtigading Murtigading
Lestari 5 Piyungan 9 Srimartani Srimartani
makmur 6 Sewon 10 Panggungharjo Panggung Lestari 11 Pendowoharjo Pendowo Mulyo
5 Bantul 12 Bantul Karya Mandiri 13 Palbapang Pal Manunggal
14 Sabdodadi Dadi Sejahtera 6 Imogiri 15 Girirejo Mahanani
16 Kebon Agung Kebon Agung 17 Karangtengah Bumdes
Karangtengah 18 Selopamioro Mekar Jaya
7 Kasihan 19 Ngestiharjo Mukti Mandiri 8 Kretek 20 Tirto Mulyo Mulyo Rahayu
21 Tirtohargo Harum 22 Tirtosari Manunggal 9 Pajangan 23 Guwosari Guwosari Maju 10 Pandak 24 Triharjo Triharjo Maju 11 Pleret 25 Wonokromo Manembah
Wonokromo 11 Sedayu 26 Agrorejo Rejo Mukti 12 Srandakan 27 Trimurti Trimurti Lestari Sumber : Data Primer Diolah, 2018.
33
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
BUMDesa di Kabupaten Bantul banyak bergerak dibidang
usaha perdagangan dan jasa. Dari 48 BUMDesa yang sudah
berdiri, hanya 26 BUMDesa yang sudah aktif berjalan, yang lain
kondisinya baru terbentuk dan adapula yang tidak ada
kemajuan dari sejak berdiri. Minimnya pendampingan dari
Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa mengenai BUMDesa
menyebabkan BUMDesa belum paham betul tentang BUMDesa.
Pada FGD yang dilakukan Tim di Kabupaten Bantul dengan
mengundang para Ketua BUMDesa, mereka menyampaikan
bahwa belum pernah mendapatkan pelatihan dari Dinas
mengenai BUMDesa baik pelatihan manajerial maupun
pelatihan usaha. Terdapat Ketua BUMDesa yang belum
mengetahui tentang SOP. Hal tersebut dibenarkan oleh Dinas
terkait, untuk saat ini Dinas merubah pola dengan memberikan
fasilitasi dan sosialisasi untuk BUMDesa yang akan berdiri. Saat
Tim di lapangan, sedang berlangsung fasilitasi yang dilakukan
oleh dinas untuk pendirian 8 BUMDesa baru. Dinaspun mulai
melakukan pelatihan secara bertahap, dimana baru-baru ini
mengirim 10 BUMDesa untuk ikut pelatihan di BBLM
Yogyakarta Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi.
Walaupun belum pernah mendapatkan pelatihan selama
BUMDesa berdiri namun di Kabupaten Bantul terdapat
beberapa BUMDesa yang sudah maju dan memiliki omzet besar
seperti BUMDesa Panggunglestari di Desa Panggungharjo yang
menjadi BUMDesa percontohan tingkat nasional. Bahkan
pengakuan Ketua BUMDesa Panggunglestari, beliau belum
pernah mendapat pelatihan dari Dinas mengenai BUMDesa
malah justru lebih sering diundang keluar desa untuk menjadi
narasumber.
34
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Selain permasalahan minimnya pelatihan, sosialisasi
mengenai BUMDesa juga menjadi hal yang menimbulkan
kesulitan BUMDesa berkembang. Ketua BUMDesa mengeluhkan
mengenai Kepala Desa yang belum sadar mengenai pentingnya
posisi BUMDesa di desa. Terbukti BUMDesa yang berhasil maju
di Kabupaten Bantul adalah BUMDesa-BUMDesa yang
mendapat dukungan penuh dari Kepala Desanya. BUMDesa
mengharapkan adanya sosialisasi juga terkait BUMDesa untuk
para Kepala Desa.
Potensi yang dimiliki Kabupaten Bantul sebetulnya
sangat banyak yang dapat dikelola BUMDesa. Hasil kunjungan
Tim ke lapangan, Tim mendatangi BUMDesa Srigading Desa
Srigading. BUMDesa ini memiliki unit usaha pengelolaan
sampah dan rumah makan apung yang memperkerjakan para
istri nelayan, selain itu adanya pertumbuhan agrowisata seperti
bunga matahari yang saat ini sedang viral di media sosial
rencana Kepala Desa wilayah tersebut akan dikelola BUMDesa.
Sehingga dari salah satu contoh tersebut tidak dipungkiri
BUMDesa-BUMDesa di Kabupaten Bantul sebetulnya sangatlah
potensial dalam mengembangkan perekonomian desa.
Tidak semua BUMDesa di Kabupaten Bantul berjalan
dengan lancar. Ada beberapa BUMDesa yang baru terbentuk
namun masih belum mengetahui persis apa potensi usaha yang
bagus untuk dikembangkan. Modal awal yang diperoleh dari
Dana Desa baru digunakan untuk belanja modal perlengkapan
perkantoran. Pengelola BUMDesa nya pun masih minim
pengetahuan sehingga BUMDesa tersebut masih belum bisa
berjalan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu
35
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
membantu mengarahkan desa untuk menggali potensi yang
dimiliki serta memberikan masukan bagaimana mengelola
potensi desa tersebut menjadi suatu usaha yang mendatangkan
keuntungan serta memberdayakan masyarakat desanya.
Tentunya harus didukung oleh Kepala Desa agar BUMDesa
dapat berjalan dengan lancar. Dukungan kepala desa ini sangat
membantu keberhasilan BUMDesa karena selain adanya
dukungan dana baik dari Dana Desa maupun dari Alokasi Dana
Desa, juga dukungan dari asset desa, misal berupa tanah desa
yang digunakan untuk kantor BUMDesa maupun tempat usaha.
Kepala Desa yang juga berperan sebagai penasehat BUMDesa
harus turut serta dalam mendorong pengelola BUMDesa
bekerja dengan maksimal.
4.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah
Wilayah Kabupaten Wonogiri sebagian besar
bertopografi perbukitan, sedangkan lahan yang flat berupa
dataran sangat terbatas. Kabupaten Wonogiri yang merupakan
daerah perdesaan, sebagian besar masyarakatnya
mengandalkan mata pencaharian pertanian, sehingga lahannya
sebagian besar merupakan sawah, ladang, dan kebun.
Masyarakat pada umumnya memanfaatkan lahan kebun di
pekarangan rumah dengan menanam pohon singkong, oleh
karena masyarakat di Kabupaten Wonogiri rata-rata
mempunyai halaman rumah yang relatif luas, maka jenis
singkong dan turunannya merupakan hasil bahan pokok
terbesar, sehingga Kota Wonogiri memiliki julukan “Kota
Gaplek”.
36
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Keadaan topografi yang berupa wilayah berbukit di
bentangan Pegunungan Sewu yang memanjang di tengah-tengah
Pulau Jawa pada umumnya, menjadikan akses di Kabupaten
Wonogiri masih memiliki keterbatasan prasarana dan sarana
untuk mencapai setiap wilayah kecamatan. Beberapa wilayah di
Kabupaten Wonogiri seperti Kecamatan Batuwarno dan
Kecamatan Slogohimo diperlukan waktu tempuh yang relatif
lama untuk sekedar menuju ke kota Kabupaten Wonogiri dan
hanya dapat ditempuh dengan kendaraan umum. Selain akses
yang jauh, kondisi prasarana jalan juga masih rawan dengan
bahaya longsor dari kawasan sekitar jalan, meskipun sudah
relatif dalam kondisi perkerasan jalan beraspal. Sebagaimana
aksesibilitas jalan yang melewati daerah pegunungan, maka
wilayah Wonogiri selama ini terus berbenah untuk menambah
marka-marka jalan, rambu-rambu lalu lintas yang
keberadaannya sangat diperlukan, justru jika kondisi prasarana
jalannya reltif bagus dan beraspal. Kondisi topografi
pegunungan dengan melewati jurang-jurang di kiri dan kanan
jalan, dipandang masih berpotensi tinggi akan adanya
kerawanan kecelakaan berlalu lintas.
Kabupaten Wonogiri juga banyak berpotensi menjadi
objek wisata yang terkenal, seperti hutan pinus, view
pegunungan, waduk, dan daerah pesisir yang merupakan pantai
dengan batu kapur yang indah yang semuanya dapat dijadikan
spot selfie dan diviralkan ke dunia maya oleh masyarakat.
Semua potensi tersebut sesungguhnya nantinya dapat
dikembangkan melalui BUMDesa sebagai solusi kelembagaan
37
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
yang akan menjadi penopang ekonomi masyarakat, baik secara
kelembagaan, maupun secara asministratif kewilayahan.
Sebagaimana diketahui, Kabupaten Wonogiri terdiri atas
25 kecamatan, 201 desa, dari 201 yang memiliki BUMDesa
sebanyak 134 desa dan 2 BUMDesa Bersama (yaitu di
Kecamatan Girimarto dan Kecamatan Paranggupito). Sebanyak
134 BUMDes tersebut pada umumnya baru dalam tahap
pertumbuhan.
Dalam rangka pengembangn BUMDesa, pemerintah
Kabupaten Wonogiri telah menerbitkan Peraturan Daerah
(Perda) Kabupaten Wonogiri Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Badan Usaha Milik Desa. Perda ini mengatur tentang pendirian,
pengurusan dan pengelolaan, dan Hasil Usaha BUMDesa.
FGD pada Rabu, 5 September 2018 bersamaan waktu
dengan kegiatan Dinas PMD, yaitu Pelatihan Keterampilan
Manajemen BUMDesa Angkatan II (2018) yang dilaksanakan di
Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kabupaten
Wonogiri, melibatkan 40 direktur BUMDesa yang berasal dari 9
(sembilan) kecamatan, Sementara 4 (empat) BUMDesa yang
relatif telah maju dilakukan indepth wawancara, yaitu di Desa
Bulusulur, Desa Sendang, Desa Purworejo, dan Desa
Wonoharjo. Peserta Forum Group Diskusi yang memfokuskan
pada elemen-elemen Indikator BUMDesa dirangkum pada tabel
2, yaitu menjelaskan nama BUMDesa, Jenis Usaha BUMDesa dan
keberadaan BUMDesa di Kabupaten Wonogiri.
38
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Tabel 4.2 Jumlah, Nama, dan Jenis Usaha BUMDesa yang Menjadi Sampel Menurut Desa dan Kecamatan di Kabupaten Wonogiri
39
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 4.2 Lanjutan
Sumber: Data Primer Diolah, 2018.
40
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Untuk mendalami kasus per kasus yang terkait dengan
potensi daerah dilakukan uji petik ke-4 BUMDesa. Salah
satunya adalah BUMDesa Sendang Pinilih di Desa Sendang
Kecamatan Wonogiri. BUMDesa Sendang Pinilih memiliki unit
usaha Desa Wisata (Joglo) dengan destinasi wisata paragliding,
yaitu paralayang dan gantole yang padat even nasional. Selain
itu, usaha BUMDesa pendistribusian Air Bersih serta Kios
Elektronik. Keberhasilan BUMDesa Sindang Pinilih tidak dapat
dipisahkan dengan ketokohan Direktur BUMDesa Sukamto
yang ikut berkorban untuk kemajuan BUMDesa.
Kunci keberhasilan BUMDesa melalui semangat
keberhasilan dengan motto "Kebersamaan Berbasis Keiklasan",
yang menjadi penggerak masyarakat Desa Sendang. Ada
beberapa faktor menentukan keberhasilan yaitu kebesamaan,
dan dukungan pemerintah.
Menurut Mulyadi (Tenaga Ahli Bidang Pengembangan
Ekonomi Desa) keberhasilan BUMDesa ada tiga hal identifikasi
potensi, pengurus dan dukungan pemerintah desa. Potensi desa
(sesuatu yang akan dijual) syarat utama pendirian BUMDesa,
kemudian pengurus, untuk pengurus BUMDesa syarat adalah
kober (sempat atau ada waktu), pinter (pandai) dan bener
(benar). Kepengrusan BUMDesa diutamakan generasi muda.
Salah satu usulan yang mendasar, yaitu status lahan
untuk jenis usaha destinasi wisata di Bumdesa Sendang Pinilih
yang masih dalam status kepimilikan tanah negara, untuk
diusulkan menjadi kepemilikan tanah desa yang dapat
dioptimalkan sebagai lahan usaha desa.
41
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
4.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat
Kabupaten Bekasi merupakan daerah hinterland DKI
Jakarta dengan luas wilayah 127.388 Ha. Secara topografi
Kabupaten Bekasi terbagi atas dua bagian yaitu daratan rendah
yang meliputi sebagian wilayah utara dan dataran
bergelombang di wilayah bagian selatan. Kabupaten Bekasi
memiliki 44 BUMDesa yang sudah terbentuk dan 10 BUMDesa
yang sedang dalam proses pembentukan. BUMDesa tersebut
tersebar di 16 Kecamatan di seantero Kabupaten Bekasi.
Berikut tabel jumlah BUMDesa di Kabupaten Bekasi.
Tabel 4.3 Nama, Jenis Usaha BUMDesa, Menurut Desa dan
Kecamatan di Kabupaten Bekasi
42
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Tabel 4.3 Lanjutan
43
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 4.3 Lanjutan
Sumber : Data Primer Diolah, 2018.
Pendirian BUMDesa di Kabupaten Bekasi telah
dilaksanakan sebelum lahirnya UU 6 tahun 2014 tentang Desa.
Dari 180 desa yang ada hampir seluruh desa di Kabupaten
Bekasi telah memiliki BUMDesa. Berdasarkan hasil identifikasi
Dinas PMD Kabupaten Bekasi, BUMDesa di kabupaten Bekasi
dapat menggolongkan dalam 3 kategori: (1) BUMDesa yang
diakui sudah berdiri tapi tidak memiliki nama, (2) BUMDesa
yang sudah memiliki nama namun tidak ada pengurus dan (3)
ada nama BUMDesa, ada pengurus, namun tidak ada regulasi.
Mayoritas BUMDesa di Bekasi pada awalnya masuk dalam
kategori (1) dan (2). BUMDesa yang tergolong kategori (3)
hanya berjumlah 9 unit.
Namun data pada saat survey lapang dilakukan dari
tanggal 5, 6, dan 10 September 2018, jumlah BUMDesa yang
sudah teridentifikasi oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat
Kabupaten Bekasi dan sudah memiliki Perdes tentang BUMDesa
baru 44 desa dan 10 desa saat ini sedang dalam proses
penerbitan Perdes.
44
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Sebagian besar desa-desa di Kabupaten Bekasi secara
kriteria perwilayahan sudah tidak dapat dikategorikan lagi
sebagai Desa. Kondisi demikian, berdampak pada jumlah dan
keberhasilan BUMDesa. Selama ini BUMDesa tergolong tidak
populer di masyarakat Bekasi. Hal ini dilihat dari tidak
banyaknya masyarakat yang belum mengetahui apa itu
BUMDesa. Walaupun sudah sering dilakukan sosialisasi dan
pelatihan baik dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kabupaten Bekasi maupun Pendamping Desa.
Jenis usaha yang dikembankan BUMDesa di Kabupaten
Bekasi beragam baik bentuk dan sifatnya. Namun apabila
dilihat dari tipologinya, tren usaha yang dikembangkan dapat
dikelompokkan dalam tiga wilayah yaitu wilayah utara, tengah,
dan selatan. BUMDesa yang berada di wilayah selatan dan utara
cenderung mengembangkan jenis usaha produksi baik
pertanian, perikanan, pariwisata, maupun industri rumah
tangga. Sedangkan BUMDesa yang berada di wilayah tengah
atau dekat dengan perkotaan dan perkantoran cenderung
memilih jenis usaha jasa distribusi, simpan pinjam, dan
perdagangan.
Dalam pelaksanaan survey dilakukan pula FGD di dua
lokasi berbeda. FGD dihadiri oleh narasumber dan pengelola
BUMDesa. Narasumber berasal dari DPMD Kabupaten Bekasi,
Balitbangda, Tenaga Ahli (TA) Kabupaten Bekasi, Camat, Kepala
Desa, pendamping desa dan pendamping lokal desa. Sedangkan
pengelola BUMDesa terdiri atas direktur, bendahara, sekertaris
dan atau pengurus BUMDesa lain dengan jumlah partisipan
mencapai 20 orang pengurus BUMDesa secara keseluruhan.
45
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Dari hasil diskusi, sejumlah temuan/isu yang sedang
dihadapi oleh BUMDesa di Kabupaten Bekasi antara lain adalah
kepengurusan BUMDesa sangat bergantung kepada Kepala
Daerah (Kades) yang sedang berkuasa. Tidak sedikit BUMDesa
yang sudah mapan dan termasuk memiliki perkembangan yang
baik terpaksa dirombak susunan kepengurusannya
dikarenakan ketidaksukaan atau ketidak-berpihakan Kepala
Desa yang baru terhadap pengurus BUMDesa yang lama.
Kondisi demikian berakibat terhadap para pengelola menjadi
tidak nyaman dan berdampak pada jalannya BUMDesa.
Dari hasil survey lapang juga ditemukan bahwa, beberapa
BUMDesa di kabupaten Bekasi sudah mengalami penambahan
unit usaha dan pengembangan produk. Tingkat kemajuan
BUMDesa pada umumnya bergantung pada seorang pionir yang
mampu menggerakkan masyarakat untuk membentuk dan
menyusun organisasi BUMDesa. Melalui kelembagaan
BUMDesa, para pionir tersebut memiliki tempat untuk
menyalurkan ide dan kreatifitasnya untuk berkontribusi
terhadap perekonomian masyarakat, sehingga menimbulkan
dampak yang positif bagi Desanya.
Namun ada juga beberapa BUMDesa yang pendiriannya
bergantung pada perintah seseorang (umumnya Kepala Desa)
untuk tujuan tertentu yang sifatnya mementingkan suatu
golongan. Hal ini membuat orang-orang yang bekerja
dibawahnya tidak memiliki kreatifitas dan usaha untuk
menggerakkan BUMDesa, sehingga BUMDesa tidak dapat
berkembang baik. Sehingga bersandar dari fenomena diatas,
dalam penyusunan indikator perlu ditambahkan jenis
pekerjaan pokok pengelola BUMDesa dan lama menjabat.
46
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
Tujuannya untuk mengetahui apakah bekerja di BUMDesa
menjadi pekerjaan pokok atau sampingan. Diduga hal ini akan
mempengaruhi kinerja BUMDesa.
Kemudian, umumnya pengelola BUMDesa kebingungan
dalam mengembangkan usaha, terutama dari sisi permodalan.
Kecilnya alokasi modal yang diberikan oleh Pemerintah Desa
untuk membentuk BUMDesa mengakibatkan BUMDesa harus
mencari dana dari pihak lain untuk mengembangkan usaha.
Umumnya untuk menambah modal, BUMDesa bekerjasama
dengan pihak ketiga, atau meminjam dari Bank/perorangan,
namun tidak jarang juga pengurus BUMDesa yang
mengeluarkan uang pribadi dalam mengembangkan BUMDesa.
Sementara itu, masyarakat Bekasi memiliki stigma bahwa
bekerja mengembangkan BUMDesa tidak menguntungkan,
dikarenakan gaji yang diterima tidak sebanding apabila mereka
bekerja di pabrik/swasta. Hal ini dikarenakan sudah semenjak
lama Kabupaten Bekasi menjadi pusat dari industri
nasional/multinasional, sehingga secara tidak langsung
mengubah persepsi dan adanya kemudahan masyarakat dalam
mendapatkan pekerjaan. Sehingga dalam penyusunan indikator
perlu juga untuk diukur sejauh apa eksistensi BUMDesa dimata
masyarakat.
Sebenarnya keberadaan kawasan indutri menjadi satu
peluang bagi BUMDesa namun karena belum adanya kejelasan
status BUMDesa sebagai unit usaha yang disahkan secara
hukum, peluang ini sulit dimanfaatkan. Sebagai gambaran, saat
ini diperkirakan jumlah perusahan nasional dan internasional
yang tersebar di Kabupataen Bekasi + 3400 perusahaan. Selain
47
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
itu, BUMDesa juga mengalami hambatan untuk memperoleh
NPWP. Kendala legalitas badan hukum maupun NPWP
menghambat BUMDesa dalam melakukan pergaulan ekonomi
seperti mengajukan kerjasama usaha dengan pihak ketiga
(seperti perusahaan). Untuk mengatasi hal tersebut pengelola
BUMDesa (pribadi) berusaha memiliki NPWP dan meminjam
badan hukum untuk melaksanakan kerjasama. Oleh sebab itu,
dalam penyusunan indikator perlu ditambahkan jenis usaha
yang telah memiliki badan hukum.
Selain itu, tidak adanya aturan yang jelas mengenai
prosedur menjalankan BUMDesa juga dikeluhkan oleh
pengurus BUMDesa di Kabupaten Bekasi. Sehingga akhirnya
sering terjadi salah informasi antara pemerintah kabupaten,
pendamping desa, dan pengelola BUMDesa. Sehingga, untuk
studi indikator yang akan disusun perlu kiranya ditambahkan
parameter yang mampu mengukur integrasi antar pemerintah
kabupaten, desa, dan pengelola BUMDesa, seperti mengukur
sudahkah BUMDesa membentuk forum komunikasi lintas
stakeholder, bagaimana keterbukaan informasi terkait data
keuangan, dan seperti apa prosedur pelimpahan wewenang
dalam satu kepengurusan BUMDesa. Untuk itu perlu juga
disebutkan dalam indikator survey bagaimana keterbukaan
informasi terkait pelaksanaan BUMDesa.
48
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Deskripsi Lokasi
49
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab V
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Berdasarkan hasil ground check BUMDesa di lapangan
dengan memperhatikan masukan dari pelaku di tingkat lapang,
maka dalam penyempurnaannya dibuat contoh kuesioner
matrik Indikator Perkembangan BUMDesa yang disusun
berdasarkan dimensional, sebagaimana Tabel 4, yaitu: Dimensi
Ekonomi, Dimensi Sosial, Dimensi Lingkungan, dan Dimensi
Manajemen. Lembar kuesioner secara terstruktur ini disusun
dengan disertakan panduan untuk pengisian kuesioner tersebut
(pada kolom 4) yang strukturnya terdiri atas Data Umum
(secara agregat) dan Data Khusus BUMDesa (secara individu).
Tabel 5.1 Matriks Form Indikator BUMDesa
50
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
51
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
52
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
53
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
54
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
55
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
56
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
57
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
58
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
59
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
60
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
61
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
62
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Matriks Indikator Perkembangan BUMDesa
Tabel 5.1 Lanjutan
63
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab VI
Hasil dan Bahasan
6.1. Temuan Lapang
Secara umum pelaksanaan uji petik di lapangan tidak
mengalami kendala, beberapa hal yang perlu ditambahkan
untuk melengkapi elemen indikator, yaitu untuk kabupaten
Wonogiri usulan tambahan indikator kejelasan status lahan
usaha yang digunakan sebagai outlet produktivitas BUMDesa,
selain itu untuk DIY Bantul tidak ada tambahan, karena
sebagian besar jenis usaha BUMDesanya sudah relatif normatif
dan maju untuk pemasaran, maupun manajemennya. Untuk
Bekasi, mengusulkan manajemen kelembagaan
memprioritaskan ketokohan dan tenaga voluntir untuk
pendamping kelembagaan BUMDesa. Beberapa temuan lapang
tersebut, dapat dideskripsikan sebagai berikut.
6.1.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Jogyakarta
Kabupaten Bantul secara administratif terdiri atas 17
Kecamatan, 75 Desa dan 933 Pedukuhan. Dalam kaitan
pembentukan BUMDesa, hanya sebanyak 48 BUMdesa yang
sudah berdiri, dan sebanyak 26 BUMDesa yang normatif
berjalan aktif.
64
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
Peran Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dirasakan
kurang optimal dalam pendampingan eksistensi BUMDesa, hal
itu dapat diindikasikan dalam proses perkembangan BUMDesa,
banyak pengelolanya yang belum paham tentang mekanisme
BUMDesa itu sendiri. Selain itu, kebanyakan BUMDesa masih
kesulitan dalam pemilihan unit usaha yang ingin dijalankan.
Pada Kabupaten Bantul, terdapat satu BUMDesa yang
sudah sangat maju dan berhasil yaitu BUMDesa Panggungharjo.
Hasil pengamatan di lapangan keberhasilan BUMDesa ini tidak
terlepas dari adanya peran aktif person ketokohan masyarakat
sebagai local champion yang didukung secara proaktif oleh
kebijakan Kepala Desa.
FGD yang dilakukan terhadap 26 unit BUMDesa,
disimpulkan bahwa para pengelola atau direktur BUMDesa
belum pernah mendapatkan pelatihan dari Dinas mengenai
manajerial maupun pelatihan usaha. Bahkan beberapa Direktur
BUMDesa ada yang belum mengetahui tentang SOP pendirian
dan pengelolaan BUMDesa, sehingga dalam kesepakatan hasil
FGD untuk mengutamakan dilakukan perubahan pola dengan
memberikan fasilitasi dan sosialisasi yang harus dimulai untuk
BUMDesa yang akan berdiri.
6.1.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah
Pembentukan BUMDesa di Kabupaten Wonogiri
didukung atas tiga hal, potensi SDA, pengurus kelembagaan
(SDM), dan dukungan pemerintah desa. Secara umum beberapa
temuan di kabupaten wonogiri berdasarkan wawancara pada
pengurus BUMDesa sebanyak 40 unit dapat deskripsikan
menjadi 4 (empat) poin, yaitu:
65
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
1) Peraturan Daerah tentang BUMDesa di Wonogiri
BUMDesa se Kabupaten Wonogiri telah dibadan-
hukumkan melalui Peraturan Desa (Perdes) di masing-
masing desanya, Perdes yang diterbitkan tersebut sangat
mendukung secara yuridis dalam pengembangan
BUMDesa, sebagai tindaklanjutnya upaya manajerial di
tingkat desa untuk pengembangan BUMDesa sangat
tergantung kepada model dan jenis usaha yang ada di
masyarakat Pada umumnya BUMDesa tidak semata-mata
dalam tahap mencari bentuk jenis usaha, tetapi lebih
banyak "menemukan" jenis usaha yang telah
dikembangkan oleh masyarakat secara mandiri.
2) Dukungan pemerintah desa terhadap berdirinya
BUMDesa
Pemerintah Kabupaten proaktif mengadakan diskusi
dan pelatihan dalam kerangka memberikan pendidikan
dan pelatihan utamanya manajerial kelembagaan,
pengenalan administrasi dan ketatausahaan, dan
pemasaran produk. Kelembagaanb BUMDesa tidak dapat
berdiri sendiri tanpa dukungan pemerintah desa, meskipun
dalam regulasinya dapat dikembangkan secara mandiri
oleh pengurus BUMDesa.
3) Dukungan pendamping baik pada tingkat kabupaten,
kecamatan maupun desa
Peran pendamping utamanya di tingkat Kabupaten
sangat mendukung dalam kesinergian kelembagaan,
66
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
mereka berperan dan terlibat aktif dalam kegiatan
pelatihan dan pendampingan ketika BUMDesa baru dalam
tahap pembentukan. Para pendamping utamanya tingkat
Kabupaten juga proaktif untuk berkeliling dalam hal
memberikan pencerahan akan seluk-beluk pendirian
BUMDesa sekaligus memberikan motivasi terhadap peran
masyarakat dalam memajukan desanya, pebentukan
BUMDesa juga dapat diartikan untuk membangun
masyarakat dalam sisi sosial dan ekonominya, karena
prinsip BUMDesa adalah dari masyarakat, oleh masyarakat
dan untuk masyarakat di setiap desa masing-masing.
4) Masyarakat Wonogiri pada dasarnya mudah
digerakkan dan memiliki sifat paternalistik mengikuti
pimpinan atau tokoh masyarakat
Ketokohan masyarakat merupakan faktor kunci
dalam aktivitas kelembagaan BUMDesa. Hal itu dapat
ditengarai oleh beberapa sampel BUMDesa yang diamati
dan telah mengalami kemajuan yang signifikan, adalah jika
didukung oleh tokoh masyarakat yang dihormati. Peran
masyarakat paternalistik secara linier sangat klop dengan
person ketokohan dalam menggerakkan manajerial
kelembagaan BUMDesa.
Masyarakat di Kabupaten Wonogiri pada umumnya,
berbasis sebagai masyarakat petani dan pekebun yang
secara kultural sangat mudah untuk beradabtasi dengan
struktur kelembagaan secara vertikal, dengan pejabat
pemerintahan dan dengan tokoh-tokoh masyarakat,
artinya di dalam perannya sebagai petani sekaligus
67
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
masyarakat awam, karakter yang demikian itu
memudahkan untuk diberdayakan dalam upaya
memajukan daerahnya melalui pendampingan dan
pelatihan tertentu.
6.1.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat.
Di Kabupaten Bekasi, tidak ditemukan adanya BUMDesa
Maju, hal itu disebabkan oleh Pertama, rata-rata usia BUMDesa
relatif masih baru atau kurang dari lima tahun. Usia BUMDesa
yang tergolong muda ini juga disebabkan adanya pergantian
pengurus BUMDesa sebagai dampak dari pergantian kepala
Desa. Kedua, popularitas BUMDesa sebagai entitas bisnis skala
desa memang masih minim.
Kegiatan BUMDesa belum menjadi satu upaya dengan
swadaya masyarakat untuk meningkatkan perekonomiannya.
Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan BUMDesa di
Kabupaten Bekasi tidak dipengaruhi langsung oleh adanya
akses Prasarana dan sarana, keberadaan Pusat Industri, dan
kedekatan dengan pusat pemerintahan. Oleh sebab itu,
memandang perlu dilakukan intervensi kebijakan terkait
dengan manajerial kelembagaan BUMDesa, sehingga dapat
melakukan percepatan pengembangan dan peningkatan kinerja
dikaitkan dengan kondisi aksesibilitas geografis yang sangat
menguntungkan.
Tim studi mencirikan BUMDesa yang masing-masing
dapat menjelaskan kondisinya, yaitu: kategori “BUMDesa
Bentukan” pada umumnya sudah memiliki nama, pengurus dan
SK, namun belum ada kegiatan atau aktivitas ekonomi;
sementara kategori “BUMDesa Berkembang”, telah memiliki
68
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
nama, pengurus, SK, memiliki bangunan fisik, serta aktivitas
ekonomi, dan mempunyai keuntungan (omzet, net) dalam ratio
yang kecil sampai menengah; sedangkan “BUMDesa Maju”, pada
umumnya telah menunjukkan ada sistem manajemen yang baik,
aktivitas ekonomi skala luas, keuntungan menengah sampai
tinggi, dan memiliki impak sosial terhadap lingkungan
sekitarnya.
Hasil survey di tingkat lapang, yaitu dengan
mewawacarai forum terbatas sebanyak 18 unit BUMDesa,
setidaknya telah mencatat tiga hal yang mempengaruhi
keberadaan BUMDesa sehingga sejauh ini masih dalam tahap
atau kategori Bentukan. Hal-hal yang dpat dicatat, diantaranya:
1) Faktor Politis,
Kepala Desa sangat dominan terhadap keberadaan
kelembagaan BUMDesa, sehingga ketika terjadi pergantian
kepala desa, maka akan berpengaruh terjadi pergantian
kepengurusan BUMDesa. Kepala desa memiliki wewenang
mutlak dalam menguasai dan mengatur BUMDesa, dalam
hal ini, Kepala Desa menunjuk langsung warga desa, tokoh
masyarakat, atau bahkan relasi untuk mengelola BUMDesa.
Seluruh kegiatan BUMDesa diatur dan dilaksanakan atas
persetujuan Kepala Desa.
Ketika terjadi pergantian kepala desa, maka seluruh
pengurus BUMDesa juga akan diganti dengan pengurus
baru. Sementara kepengurusan baru tidak memiliki
pengalaman dalam pengelolaan BUMDesa. Hal ini terjadi di
hampir seluruh Desa di Kabupaten Bekasi.
69
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
2) Faktor Manajerial,
Adanya keluhan pengurus BUMDesa yang merasa
kebingungan dalam mengembangkan usaha, terutama dari
sisi permodalan. Hal ini disebabkan oleh kecilnya alokasi
modal yang diberikan oleh Pemerintah Desa untuk
membentuk BUMDesa, sehingga BUMDesa harus mencari
dana secara mandiri dari pihak lain untuk
mengembangkan usaha. Umumnya untuk menambah
modal, BUMDesa bekerjasama dengan pihak ketiga, atau
meminjam dari Bank atau lembaga keuangan lainya,
bahkan pengurus BUMDesa sering mengeluarkan uang
pribadi demi berkembangnya BUMDesa. Tidak adanya
aturan jelas mengenai prosedur menjalankan BUMDesa,
sehingga sering terjadi salah informasi antara pemerintah
Kabupaten, pendamping desa, dengan pengelola BUMDesa.
3) Faktor Sosio Kultural,
Letak geografis kabupaten Bekasi yang
keberadaannya di tengah-tengah kota Industri justru tidak
menguntungkan bagi pengelolaan BUMDesa. Stigma
masyarakat sejak lama telah terkondisi bahwa bekerja di
sektor industry dan jasa, akan lebih menguntungkan
dibandingkan jika bekerja untuk mengelola BUMDesa.
Waktu yang terbuang dan pendapatan (gaji) yang minim
jika “mengabdi” pada pengelolaan BUMDesa, menjadi
pertimbangan utama dari masyarakat utamanya pada
masyarakat kelompok usia produktif untuk apriori jika
harus menjadi pengurus BUMDesa.
70
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
Tetapi kasus di Kecamatan Tambun Selatan,
kepengurusan BUMDesa dipegang oleh local champion di
desanya yang mampu menginisiasi pembentukan
BUMDesa, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi,
melakukan inovasi dan terobosan dalam pelaksanaan
kegiatan, menentukan arah kegiatan ekonomi BUMDesa,
dan bahkan mengurusi seluruh kebutuhan BUMDesa
seorang diri secara proaktif. Hal ini merupakan sisi positif
terhadap eksistensi BUMDesa, salah satu Direktur di
BUMDesa Tambun Selatan merakit alat untuk pencacah
sampah yang akan digunakan sebagai sarana jenis usaha di
BUMDesanya.
6.2. Nilai Indeks
Nilai Indeks diperoleh dengan menghitung rata-rata nilai
yang diperoleh dari hasil pengumpulan bobot peubah per
dimensi (manajemen, Sosial, ekonomi, dan Lingkungan) di
setiap BUMDesa berdasarkan kuesioner terstruktur, kemudian
nilai indeks komposit diperoleh dari rata-rata angka peubah
per dimensi. Nilai Indeks dalam hal ini dideskripsikan
berdasarkan kabupaten masing-masing.
6.2.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Rata-rata nilai indeks BUMDesa di Kab. Bantul per
dimensi (Gambar 6.1), pada dimensi lingkungan menunjukkan
nilai terbesar, yaitu 55,56; Sedangkan dimensi sosial
mempunyai nilai terkecil, yaitu sebesar 22,22; sementara rata-
rata nilai Indeks Komposit, sebesar 41,69.
71
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Di Kabupaten Bantul, dapat diinterpretasikan bahwa
kontribusi terhadap pembentukan dan perkembangan
BUMDesa ke dua tertinggi adalah faktor lingkungan dan faktor
manajemen dengan indeks dimensi masing-masing sebesar
55,56 dan 49,16; Sementara yang terendah terhadap kontribusi
pembentukan dan perkembangan BUMDesa, yaitu faktor sosial
dengan indeks dimensi hanya sebesar 22,22.
Indeks Komposit perkembangan BUMDesa, sebesar 41,69
artinya bahwa dalam mengembangkan BUMDesa,
dimensionalnya secara bersama-sama hanya memberikan
kontribusi kurang dari separuhnya, yaitu tidak mencapai 50
dari angka persentil 100 persen.
Gambar 6.1 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks
Komposit BUMDesa di Kabupaten Bantul (2018).
Secara rinci, nilai Indeks yang diperoleh dari kompilasi data,
maka dapat dilihat pada Tabel 6.1.
72
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
Tabel 6.1 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan
Dimensi Di Kabupaten Bantul
Sumber: Data Primer, Diolah 2018.
73
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
6.2.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah
Nilai rata-rata indeks di Kab. Wonogiri per Dimensi
menunjukkan indeks dimensi lingkungan yang tertinggi, yaitu:
64,71; sementara nilai rata-rata yang terendah pada dimensi
sosial, yaitu: 27,65; sedang nilai rata-rata Indeks Komposit
mencapai 41,93.
Menilik angka-angka indeks yang dihasilkan dari
kompilasi peubah di tingkat lapang terhadap 40 BUMDesa,
maka dapat diinterpretasikan bahwa secara dimensional
kontribusi tertinggi dalam membangun dan meningkatkan
BUMDesa di Kabupaten Wonogiri adalah faktor lingkungan
dengan nilai indeks dimensi sebesar 64,71 (Gambar 6.2).
Gambar 6.2 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Wonogiri (2018).
Sedangkan dimensi lainnya masih relatif lebih rendah,
masing-masing dimensi manajemen sebesar 46,52; dimensi
ekonomi sebesar 28,82; dan dimensi sosial sebesar 27,65.
Kontribusi dimensional secara keseluruhan dapat
74
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
dideskripsikan dengan indeks komposit yang juga masih relatif
di bawah separuh dari target optimal, hanya sebesar 41,93 atau
di bawah 50 dari angka persentil 100 persen.
Tabel 6.2 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan Dimensi di Kabupaten Wonogiri
Sumber: Data Primer, Diolah 2018.
75
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
6.2.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat
Rata-rata nilai indeks di Kab. Bekasi per dimensi
BUMDesa (Gambar 6.3) pada dimensi lingkungan menunjukkan
yang tertinggi, atau sebesar 46,43; sedangkan indeks pada
dimensi ekonomi BUMDesa menunjukkan nilai terendah, atau
sebesar 29,29; sementara untuk rata-rata indeks kompositnya
sebesar 39,42.
Gambar 6.3 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Bekasi (2018).
Memperhatikan rata-rata angka indeks BUMDesa yang
dihasilkan dari ground check kondisi di tingkat lapang terhadap
18 unit BUMDesa, maka diindikasikan bahwa faktor
Lingkungan menunjukkan angka tertinggi dalam kontribusi
mendirikan BUMDesa, sementara yang terendah adalah faktor
ekonomi, hal ini mengindikasikan meskipun di kabupaten
Bekasi merupakan sentra industri maju, tetapi dalam hal
kontribusi ekonomi terhadap BUMdes justru menunjukkan
adanya korelasi negatif, yaitu indeks yang terendah. Faktor
76
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
manajemen mempunyai indeks kedua tertinggal, hal ini
mengindikasikan bahwa kontribusi kelembagaan dari sisi
manajemen juga relatif tinggi terhadap pembentukan BUMDesa.
Hal ini pantas diduga, di Kabupaten Bekasi kesadaran terhadap
kelembagaan BUMDesa sangat positif karena dukungan tingkat
SDM yang relatif tinggi sebagaimana masyarakat hinterland
metropolitan.
Indeks komposit hanya sebesar 39,42 menjelaskan
bahwa secara bersama-sama dimensionalnya hanya
memberikan kontribusi kurang dari setengahnya, jika diukur
dalam angka persentil tertinggi, yaitu 100 persen. Secara rinci,
nilai Indeks yang diperoleh dari kompilasi data, maka dapat
dilihat pada Tabel 6.3.
Tabel 6.3 Nilai Indeks BUMDesa, Menurut Nama Desa, dan Dimensi di Kabupaten Bekasi
Sumber: Data Primer, Diolah 2018.
77
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
6.2.4. Indeks Total
Secara total dari tiga Kabupaten (Bantul, Wonogiri, dan
Bekasi) menunjukkan tren atau kecenderungan yang sama
dengan masing-masing Kabupaten, nilai rata-rata indeks
BUMDesa per dimensi masing-masing berurutan dari yang
tertinggi, yaitu Lingkungan menunjukkan nilai 58,00, kemudian
nilai Manajemen sebesar 47,15; Ekonomi sebesar 32,87; dan
dimensi Sosial sebesasr 27,47; sementara rata-rata Indeks
komposit, mencapai 41,37 (Gambar 6.4).
Gambar 6.4 Rata-rata Nilai Indeks per Dimensi dan Indeks Komposit BUMDesa di Kabupaten Wonogiri, Bantul, dan Bekasi (2018).
Interpretasinya mendeskripsikan bahwa kontribusi
faktor lingkungan masih lebih tinggi dari faktor lainnya, yaitu
manajemen, ekonomi, dan sosial. Hal itu ditunjukan bahwa
indeks lingkungan 58,00 lebih tinggi dari separuh target
78
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
optimal angka persentil, yaitu 100 persen, sedangkan lainya
masing-masing dibawah angka 50 atau masih di bawah separuh
dari angka optimal 100 persen.
Indeks komposit, menunjukkan angka sebesar 41,37;
artinya kontribusi gabungan dimensional masih relatif rendah
dan masih di bawah target optimal, yaitu angka persentil 100
persen.
6.3. Kategorisasi BUMDesa
Hasil olah data dari 75 sampel BUMDesa yang terdiri dari
14 BUMDesa di Kabupaten Bekasi, 27 BUMDesa di Kabupaten
Bantul, dan 34 BUMDesa di Kabupaten Wonogiri (Gambar 9),
mendeskripsikan yang termasuk dalam kategori “BUMDesa
Bentukan” sebanyak 58 unit atau 77,33 persen; sedangkan yang
termasuk kategori “BUMDesa Berkembang” sebanyak 16 unit
atau 21,33 persen, dan yang termasuk kategori “BUMDesa
Maju” sebanyak 1 unit atau 1,33 persen.
Hal ini menunjukan bahwa saat ini BUMDesa- BUMDesa
yang ada masih pada tahap bentukan, masih mencari jati diri
atau bahkan mencari unit usaha yang sesuai. Sedangkan
BUMDesa yang sudah maju masih relatif sedikit. Pada
umumnya (dari sampel yang diperoleh) dapat dideskripsikan
bahwa BUMDesa yang maju tersebut dapat dijadikan contoh
atau panduan bagaimana penguatan BUMDesa yang belum
dapat mencapai kategori “berkembang” dan “Bentukan” dapat
meningkatkan status dengan memperbaiki kondisinya melalui
peubah-peubah berdasarkan dimensional yang ada.
79
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Gambar 6.5 Persentase Kategori BUMDesa di Kabupaten Bantul, Wonogiri, dan Bekasi (n: 75, 2018).
Hasil tersebut secara rinci, yaitu:
6.3.1. Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Sampel BUMDesa di Kab. Bantul sebanyak 27 Unit yang
termasuk ke dalam kategori BUMDesa Bentukan sebanyak 23
unit atau 85,19 persen, sedangkan yang termasuk kategori
“BUMDesa Berkembang” sebanyak 3 unit atau 11,11 persen,
dan yang termasuk BUMDesa maju sebanyak 1 unit atau 3,70
persen.
Gambar 6.6 Persentasi Kategori BUMDesa di Kabupaten Bantul (n: 27, 2018).
80
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
Di Kabupaten Bantul sudah ada BUMDesa yang termasuk
Kategori Maju, sehingga dapat menjadi contoh untuk BUMDesa-
BUMDesa lain, utamanya dijadikan ukuran dimensional dalam
intervensi kebijakan dalam memajukan pengelolaan BUMDesa
di setiap desa.
Tabel 6.4 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten Bantul (2018)
Sumber : Data Primer Diolah, 2018.
81
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
6.3.2. Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah
Sampel BUMDesa di Kab. Wonogiri sebanyak 34 unit yang
termasuk ke dalam kategori BUMDesa Bentukan sebanyak 25
unit atau 73,53 persen; kategori BUMDesa Berkembang
sebanyak 9 unit atau 26,47 persen; kategori BUMDesa maju
tidak ada. Gambar 6.7 menunjukkan jumlah unit dan presentasi
kategori sampel BUMDesa di Kabupaten Wonogiri.
Gambar 6.7 Presentasi Kategori BUMDesa Kabupaten Wonogiri (n: 34, 2018).
Tabel 6.5 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten Wonogiri (2018)
82
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
Tabel 6.5 Lanjutan Sumber : Data Primer Diolah, 2018.
6.3.3. Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat
Sampel di Kabupaten Bekasi sebanyak 14 Unit BUMDesa
yang termasuk dalam kategori BUMDesa Bentukan sebanyak 10
unit atau 71,43 persen, kategori BUMDesa berkembang
sebanyak 4 unit atau 28,57 persen, sementara kategori
BUMDesa Maju tidak ada (Gambar 6.8). Kondisi ini memerlukan
intervensi kebijakan Pemda, utamanya dalam hal manajerial
kelembagaan dan supporting motivasi SDM.
83
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Gambar 6.8 Persentase Kategori BUMDesa di Kabupaten Bekasi (n: 14, 2018).
Tabel 6.6 Nama BUMDesa dan Kategorinya di Kabupaten
Bekasi (2018)
Sumber : Data Primer Diolah, 2018.
84
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Hasil dan Bahasan
85
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Bab VII
Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
1) Studi ini menggunakan survey sampel untuk
menurunkan indikator perkembangan BUMDesa, uji
petik lapangan di tiga kabupaten secara purposive,
yaitu Kabuapten Bantul (DIY), Kabupaten Wonogiri
(Jawa Tengah) dan Kabupaten Bekasi (Jawa Barat),
telah tersusun 4 (empat) dimensi, dengan 42 Indikator,
dan 126 peubah.
2) Empat Dimensi yang dimaksud dideskripsikan pada
tahap II yang diperoleh setelah melakukan uji petik di
tiga Kabupaten, yaitu 1) Dimensi Manajemen, terdiri
atas 25 peubah; 2) Dimensi Sosial, terdiri atas 5
peubah; 3) Dimensi Ekonomi, terdiri atas 10 peubah;
dan 4) Dimensi Lingkungan, terdiri atas 2 peubah.
3) Nilai rata-rata Indeks sebagai dasar untuk
mengklasifikasikan atau kategorisasi BUMDesa,
berdasarkan setiap dimensi dan indeks komposit
secara berurutan dari yang tertinggi hingga paling
rendah, yaitu: indeks dimensi Lingkungan
menunjukkan nilai 58,00, kemudian nilai indeks
dimensi Manajemen sebesar 47,15; indeks dimensi
86
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Kesimpulan dan Saran
Ekonomi sebesar 32,87; indeks dimensi Sosial sebesasr
27,47; dan rata-rata Indeks komposit, sebesar 41,37.
4) Secara total dari Kabupaten Bantul, Kabupaten
Wonogiri, dan Kabupaten Bekasi, kontribusi
dimensional utamanya faktor lingkungan masih lebih
tinggi dari faktor lainnya, yaitu manajemen, ekonomi,
dan sosial. Hal itu ditunjukan bahwa indeks lingkungan
sebesar 58,00 lebih tinggi dari separuh target optimal
angka persentil, sedangkan lainya masing-masing
masih relatif dibawah angka 50 atau masih di bawah
separuh dari angka optimal 100 persen.
5) Nilai rata-rata indeks per dimensi ini, tidak dapat
digunakan untuk BUMDesa di desa-desa yang lain,
karena karakteristik dan ciri masing-masing desa
sangat beragam, tergantung pada perubahan atau
perbedaan nilai atau pilihan peubah di setiap
dimensional.
6) Deskripsi Kategorisasi BUMDesa berdasarkan sampel
75 unit BUMDesa yang terdiri atas 14 unit BUMDesa di
Kabupaten Bekasi, 27 unit BUMDesa di Kabupaten
Bantul, dan 34 unit BUMDesa di Kabupaten Wonogiri,
yaitu: kategori “BUMDesa Bentukan” sebanyak 58 unit
atau 77,33 persen; kategori “BUMDesa Berkembang”
sebanyak 16 unit atau 21,33 persen, dan kategori
“BUMDesa Maju” sebanyak 1 unit atau 1,33 persen.
87
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
7.2. Saran
1) Berdasarkan Studi tentang indikator perkembangan
BUMDesa perlu ditindaklanjuti dengan studi untuk
menyusun strategi intervensi pengembangan
BUMDesa, melalui eksplorasi data dan informasi
tentang BUMDesa secara sampling, mengacu pada
dimensional Indikator Perkembangan BUMDesa.
2) Eksplorasi data dan informasi tentang BUMDesa
sebagai tindak lanjut dari studi indikator
perkembangan BUMDesa, dapat dilakukan secara
sampling melalui keberpihakan kewilahan
berdasarkan 7 (tujuh) wilayah pembangunan (WP),
meliputi wilayah-wilayah: Papua, Maluku, Nusa
Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Jawa dan
Bali.
88
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Kesimpulan dan Saran
89
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Indikator Perkembangan BUMDesa
Daftar Pustaka
Agung. I Gusti Ngurah. Metode Penelitian Sosial Pengertian dan
Pemakaian Praktis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
1992.
Bappenas. 2017. Majalah Simpul Perencana. Volume
29/April/2017. Jakarta. 2017.
Cornel University Library. 2018. Social and Information
Networks. A Survey on Expert Recommendation in
Community Question Answering. https://arxiv.org/abs/
1807.05540.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi. Undang-Undang nomor 6 tahun 2015,
tentang Desa. Jakarta.
--------------. Indeks Desa Membangun (IDM). Ditjen PPMD.
Jakarta.
--------------. .Permendesa Nomor 4 tahun 2015 tentang Pendirian
Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa. Jakarta.
Korten, David C. dan R. Klaus. 1984. People Centered
Development. Kamarian Press. West Hatford.
O'Riordan. E.g. et al. 2001"Russian doll" model for sustainable
development. Economic capital is at the basis of wealth
creation, constrained by the environmental and social
dimensions.
--------------- 1998. Indicator for Sustainable Development.
Proceedings of the European Commission Advanced Studi
Course. Netherland; Delf University.
90
Pusat Penelitian dan Pengembangan, 2018
Daftar Pustaka
Purbantara. dkk. Kajian Pengembangan Kapasitas Untuk
Keberhasilan BUMDesa. PT. Sulaksana Watinsa Indonesia.
Jakarta. 2018
Ricky W. Griffin. Manajemen. Erlangga. 2005.
Warsono. Sarjono Herry. Transmigrasi Menata persebaran
Penduduk dan Lingkungan. Inti Prima Promosinda. Jakarta.
2011.
---------------- dkk. Tipologi Perkembangan Desa. PT Sulaksana
Watina Indonesia. Jakarta. 2016.