Nama : Nuning Utami
NIM : 06413241037
Prodi : P.Sosiologi (R)
MAKALAH
INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS CINA DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Konflik bernuansa rasial merupakan suatu fenomena penting dan menarik
dalam perjalanan sejarah kota Solo. Dari 15 konflik sosial besar yang terjadi selama
hampir seabad yang melanda kota Solo, sekitar separuh secara langsung diwarnai
dengan konflik rasial sementara sissanya menunjukkan sifat tidak langsung yang
terkait dengan konflik ini. Konflik rasial yang terjadi di Solo merupakan peristiwa
kompleks yang khususnya melibatkan suatu kelompok etnis tertentu sebagai
pendatang dan kelompok etnis lain sebagai penduduk asli, khususnya antara etnis Cina
dan etnis pribumi. Meskipun dikotomi demikian belum bisa menjamin kepastian dan
kebenaran paradigma polarisasi yang berlaku sejauh ini, yakni adanya sifat
permusuhan yang melandasi pandangan antar etnis ini, namun pandangan umum yang
merebak ke permukaan adalah konflik Cina versus pribumi.
Dari hasil penelitian berbagai sumber sejauh ini agaknya perlu dibedakan
kelompok pribumi mana yang mengambil peranan utama dalam ledakan konflik rasial
dengan dampak kerusuhan massal sebagai akibatnya. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut
mengingat tidak semua elemen dalam masyarakat pribumi di Solo berperan aktif
dalam konflik, bahkan tidak semua unsur kelompok pribumi ini yang mudah
terpengaruh oleh pandangan anti pendatang. Di sisi lain faktor-faktor apa yang
menyebabkan etnis Cina selalu menjadi sasaran tembak dari kerusuhan yang terjadi.
Etnis Cina sebagai suatu pendatang hidup di kota Solo dalam kelompok khusus
bersama dengan etnis Eropa, Arab dan bila ada juga kaum pendatang lain, baik
domestik maupun asing.
Meskipun mengambil posisi yang sangat menentukan dalam perkembangan
sejarah kota Solo, kelompok penduduk Eropa hampir tidak pernah terlibat dalam
kasus konflik rasial dengan penduduk pribumi. Mungkin saja ini terjadi berkat posisi
mereka yang strategis sebagai penguasa politis sehingga mampu mengerahkan
kekuatan untuk menindas setiap gerakan yang melawan mereka, meskipun tidak
tertutup kemungkinan adanya ledakan konflik yang bermotivasi individu. Namun
demikian garis batas pemisah yang dilandasi oleh sistem kekuasaan yang ada tidak
memungkinkan adanya benturan dan hubungan langsung antara masyarakat Eropa
baik para pejabat negara maupun swasta di kota Solo cenderung membatasi diri pada
hubungan dengan kalangan elit pribumi terutama keluarga Susuhunan dan
Mangkunegaran. Mereka bahkan tidak banyak berhubungan dengan elit cendekiawan
pribumi yang banyak melakukan aktivitas di kalangan masyarakat menengah ke
bawah di Solo.
Pada bagian lain terdapat kelompok Timur Asing selain Cina, yakni
masyarakat keturunan Arab. Meskipun dikelompokan sebagai golongan Timur Asing,
orang Arab lebih banyak berhubungan dengan orang pribumi. Kesamaan agama dan
kepentingan ekonomi yang melandasi kehidupan masyarakat Arab lebih mendekatkan
mereka dengan kalangan penduduk pribumi daripada dengan penguasa Eropa maupun
kelompok Cina. Sejauh perjalanan sejarah sosial Solo diamati, tidak pernah terdengar
adanya konflik antara orang Arab dan masyarakat pribumi yang meledak selama masa
kolonial. Kecilnya jumlah orang Arab yang bermukim di kota juga mengakibatkan
peranan mereka kurang menonjol dari kehidupan sosial kota Solo. Selain itu
keterbatasan tinggal yang ditunjuk sebagai daerah pemukiman mereka membuat
masyarakat Arab ini ikut tercampur dalam dinamika aktivitas sosial ekonomi
masyarakat pribumi.
Dengan melihat penjelasan di atas, sungguh menarik untuk dicermati peranan
kelompok minoritas Cina dalam hubungan sosial di kota Solo. Dibandingkan dengan
kelompok penduduk Eropa dan Arab, kelompok masyarakat Cina merupakan suatu
golongan asing yang banyak bergaul dan berhubungan dengan masyarakat pribumi
secara sosial dan ekonomi. Untuk itu dalam hal ini perlu diperhatikan bagaimana pola
perkembangan peran kehidupan kelompok Cina ini dalam sejarah kota Solo sampai
awal masa pemerintahan Sunan Pakubuwono X, yang diakui sebagai puncak sekaligus
akhir dari masa kejayaan pemerintahan Kasunanan Surakarata.
B.RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, rumusan masalah yang dapat digunakan antara lain :
1. Bagaimana Integrasi masayrakat Cina ?
2. Mengetahui aktivitas ekonomi masayarakat Cina zaman dulu?
3. Bagaimana pasang surut Etnis cina di Surakarta?
C.TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun dengan tujuan :
Untuk mengetahui mengetahui sejarah etnis Cina di Indonesia
Untuk mengetahui perekonomian etnis Cina di Solo dan Sekitarnya
Dapat menambah wawasan bagi kita
Untuk memngetahui Interaksi social yang ada di Cina Solo,Surakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.ETNIS CINA ZAMAN VOC
Setelah berakhirnya geger Pacina (pemberontakan orang-orang Cina terhadap
Kompeni Belanda) pada tahun 1742, orang-orang Cina diijinkan kembali berkumpul
dan tinggal di Batavia. Mereka datang tersebar di sekitar kota ini, dan oleh Gubernur
Jenderal Van Imhoff diberi daerah Glodok sebagai tempat pemukiman pertama bagi
orang-orang Cina ini. Dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya
pemberontakan itu, orang-orang Cina kini lebih ditertibkan dalam hal pemukiman.
Mereka kemudian diberi tempat yang bebas untuk dihuni dengan batas-batas daerah
yang telah ditetapkan. Pemukiman khusus bagi orang Cina ini dimaksudkan oleh
pemerintah kolonial agar bisa lebih mudah mengawasi aktivitas ekonomi dan segala
tindakan sosial komunitas tersebut.
Tindakan Belanda ini segera diikuti dengan penunjukan para pejabat Cina
yang diangkat dari kalangan masyarakat tersebut serta dikukuhkan oleh penguasa
VOC. Tugas dari pejabat Cina ini adalah bertanggungjawab untuk menyampaikan
semua kebutuhan yang diperlukan dari warganya kepada pemerintah Belanda dan
sebaliknya menyebarkan keputusan dari pimpinan Belanda yang berhubungan dengan
masyarakat Cina kepada warganya. Dengan demikian pejabat Cina di kampung
Pecinan ini tidak bisa dianggap sebagai pejabat pimpinan dalam arti birokrat,
mengingat mereka tidak digaji dan tidak memiliki wewenang memerintah warganya.
Para pejabat Cina tersebut lebih tepatnya bila disebut sebagai koordinator.
Sistim yang diterapkan oleh VOC untuk mengatur orang-orang Cina dalam hal
pemukiman dan mobilitas ini diterapkan juga di daerah lain yang telah dikuasai
olehnya, seperti kota-kota besar utama di Semarang, Surabaya, Malang, dsb. di kota-
kota ini VOC juga menunjuk daerah sebagai tempat pemukiman bagi orang-orang
Cina berikut dengan para pejabat dan peraturannya yang mirip dengan di Batavia. Hal
serupa juga terjadi di kota-kota menengah lainnya di sepanjang pantai utara Jawa yang
dikuasai oleh VOC.
Dalam penerapan pengaturan di Vorstenlanden khususnya Surakarta, kondisi
yang dijumpai agak berbeda. Mengingat di wilayah projokejawen ini Belanda tidak
mempertahankan kekuasaan secara langsung, melainkan masih terbatas pada kontrak-
kontrak politik dan mencegah campur tangan langsung terhadap urusan intern raja-raja
Surakarta. Oleh karena itu dalam mobilitas sosial warga khususnya orang-orang Cina,
VOC tidak bisa memaksakan peraturan yang berlaku di kota-kota wilayahnya untuk
diterapkan di kota Solo. Setelah berakhirnya perang Cina itu, masyarakat Cina
diijinkan bermukim di kota Solo sebagai ibukota baru yang dipindahkan dari pusat
pemerintahan lama Kartasura. Mereka diberi tempat oleh Susuhunan untuk tinggal di
sebelah utara sungai Pepe dekat dengan pasar Besar dan diijinkan untuk melakukan
aktivitas sosial ekonomi.
Dengan pemukiman yang tumbuh di sana, kehidupan sosial juga ikut
berkembang. Interaksi sosial yang terjadi dengan masyarakat pribumi memberi
kesempatan bagi orang-orang dan para pedagang Cina untuk mengenal lebih jauh
budaya Jawa. Mereka banyak yang meniru pola pemukiman dan pergaulan hidup
orang Jawa. Pada kalangan elit ini orang-orang Cina juga banyak berhubungan dengan
para bangsawan dan kerabat kraton di Surakarta. Kehidupan para bangsawan kraton
yang sering menuntut pengeluaran melebihi pendapatannya, yang memerlukan tingkat
kebutuhan tinggi, menemukan penyelesaian pada beberapa orang Cina kaya yang
tinggal di Surakarata. Beberapa orang pangeran dan pejabat istana bahkan banyak
terjebak dalam hutang dengan orang-orang Cina ini sehingga harus melepaskan
tanahnya atau meminta bantuan kepada Susuhunan untuk menebusnya.
B.INTEGRASI MASYARAKAT
Berangkat dari kegelisahan komunitas sosial masyarakat Surakarta yang terangkat
dalam forum–forum, dialog dan diskusi intersubyektif, agenda permasalahannya
senantiasa menempatkan persoalan konflik perkotaan di Solo yang bersifat laten dan
endemic. Wacana dialog dilandasi ketidakpercayaan dan ketidakniscayahan, bahwa
lembaran sejarah konflik di Solo menorehkan lembaran hitam, sampai kurang lebih
sampai 17 kali amuk massa.
Pusat studi budaya dan perubahan sosial UMS ikut gelisah untuk mengangkat
persoalan konflik yang berakar pada masalah laten pri vs nonpri diangkat dalam
penerbitan Buletin Kalimatun Sawa edisi ke 4 tahun ini. Topik yang menarik adalah
“Pasang Surut Integrasi Sosial Masyarakat Etnis Cina di Surakarta”
Boleh jadi, topik ini sangat menarik untuk dikaji dari sisi sosiologis dengan
menerapkan konsep integrasi sosial berdasarkan kepentingan ekonomi perdagangan di
kota. Dalam eskalasi yang panjang yang panjang dan bersifat linier maka sejarah
integrasi sosial masyarakat Cina di Solo keberadaannya senantiasa terikat pada
kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat ekskusif menciptakan pemukiman yang
menyatu dengan basis perdagangan mereka, yaitu Rumah dan toko (ruko).
Potret sosial pemukiman masyarakat Cina di Solo, tidak ubahnya dengan
komunitas etnik yang memiliki kepentingan perdagangan (Madura–Sampangan, Bali-
Kebalen, Arab-Pasar Kliwon, Cina-Pecinan , Banjarmasin-Banjar di Serengan, komunitas
dagang Belanda di Loji Wetan, Komunitas Pedagang Batik Jawa di Laweyan), juga
bersifat eksklusif dalam potret segregasi sosial yang bersifat etnisitas. Sementara etnik
Jawa lebih menampakan pemukiman yang menyebar mengikuti alur stratifikasi sosial
wong cilik vs wong gedhe, yaitu berada dalam konsep: mbatur tapi lancur, mlincur golek
pitutur.
Berangkat dari kegelisahan komunitas sosial masyarakat Surakarta yang terangkat
dalam forum–forum, dialog dan diskusi intersubyektif, agenda permasalahannya
senantiasa menempatkan persoalan konflik perkotaan di Solo yang bersifat laten dan
endemic. Wacana dialog dilandasi ketidakpercayaan dan ketidakniscayahan, bahwa
lembaran sejarah konflik di Solo menorehkan lembaran hitam, sampai kurang lebih
sampai 17 kali amuk massa.
Pusat studi budaya dan perubahan sosial UMS ikut gelisah untuk mengangkat
persoalan konflik yang berakar pada masalah laten pri vs nonpri diangkat dalam
penerbitan Buletin Kalimatun Sawa edisi ke 4 tahun ini. Topik yang menarik adalah
“Pasang Surut Integrasi Sosial Masyarakat Etnis Cina di Surakarta”
Boleh jadi, topik ini sangat menarik untuk dikaji dari sisi sosiologis dengan
menerapkan konsep integrasi sosial berdasarkan kepentingan ekonomi perdagangan di
kota. Dalam eskalasi yang panjang yang panjang dan bersifat linier maka sejarah
integrasi sosial masyarakat Cina di Solo keberadaannya senantiasa terikat pada
kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat ekskusif menciptakan pemukiman yang
menyatu dengan basis perdagangan mereka, yaitu Rumah dan toko (ruko).
Potret sosial pemukiman masyarakat Cina di Solo, tidak ubahnya dengan
komunitas etnik yang memiliki kepentingan perdagangan (Madura–Sampangan, Bali-
Kebalen, Arab-Pasar Kliwon, Cina-Pecinan , Banjarmasin-Banjar di Serengan, komunitas
dagang Belanda di Loji Wetan, Komunitas Pedagang Batik Jawa di Laweyan), juga
bersifat eksklusif dalam potret segregasi sosial yang bersifat etnisitas. Sementara etnik
Jawa lebih menampakan pemukiman yang menyebar mengikuti alur stratifikasi sosial
wong cilik vs wong gedhe, yaitu berada dalam konsep: mbatur tapi lancur, mlincur golek
pitutur.
Mencoba untuk mengamati kedudukan wong cilik di kota Solo dalam struktur
masyarakat feodal maka potret pemukiman wong cilik pribumi Jawa menunjukkan
fenomena pemukiman ngindung, magersari , kuli kendho, kuli kenceng dan kuli gladhag.
Itulah potret sinkronik segregasi sosial wong Solo yang berada dalam fenomena
pemukiman eksklusif berdasarkan lintas etnik, bersifat pengelompokan pemukiman
dagang dan terciptanya struktur sosial feodal yang tajam antara pemukiman wong gedhe
vs wong cilik. Unsur-unsur konflik dikota akan meletus ketika terjadi interest group
kalangan enteprenur bergesekan secara politis dengan komunitas feodal dan kolonial.
C. AKTIVITAS EKONOMI ORANG CINA
Pada hari Senin tanggal 18 Januari 1819 orang Cina Lolie pengelola gerbang
tol dari Pangeran Prangwedono di kota Solo, diadukan karena telah memeras orang-
orang pribumi secara sewenang-wenang. Akibat tindakan ini Pangeran Prangwedono
mengambil kembali hak sewa gerbang tol (tol porten), dimulut jembatan “jurug”
Bengawan Solo meskipun sebenarnya Lolie masih mempunyai hak tersebut selama
dua tahun.
Peristiwa tersebut di atas merupakan salah satu contoh dari banyak kasus
serupa yang terjadi di wilayah Surakarta, khususnya di kota Solo. Pemborongan
sarana umum dari para bangsawan pribumi kepada orang-orang Cina mewarnai
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Cina ini di Solo setelah palihan nagari .
Gerbang tol merupakan salah satu pilihan yang paling menguntungkan untuk
dieksploitasi oleh orang-oarang Cina karena mereka bisa menetapkan bea lewat tol
tersebut tanpa standard yang berlaku. Sebagai akibatnya setiap tol memiliki nilai yang
berbeda-beda, tergantung pada tujuan yang akan dicapai dari jalur tersebut. Misalnya
tol yang mengarah ka pasar besar memiliki standard nilai tertinggi dibandingkan tol
tol di jalan biasa, sementara pada jalur yang mengarah ke pasar ini terdapat bebrapa
buah gerbang tol masing-masing diborongkan. Dengan demikian kasus pemerasan
seperti yang disebutkan dalam contoh di atas bukan merupakan hal langka.
Dengan kondisi tersebut tidak perlu diragukan lagi bahwa pemasukan luar
biasa akan dicapai dari pengelolaan gerbang tol ini, karena tanpa standard harga baku
eksploitasi bisa berlangsung tanpa pengawasan yang memadai dari penguasa pribumi
yang telah memborong haknya. Korbannya jelas penduduk pribumi yang menjadi
konsumen utama dari gerbang tol. Tingginya cukai yang dipungut di tol ini
disebabkan oleh pemborongan berlipat ganda bukan hanya oleh satu orang namun bisa
satu gerbang tol diborongkan kepada beberapa orang. Sebagai akibatnya pemborong
terakhir menerima kewajiban membayar tertinggi, sehingga dia harus menerapkan
harga yang tinggi agar bisa menutup semua pengeluarannya.
Pemborongan tol juga diikuti dengan pemborongan berbagai sarana lain seperti
pasar, tempat pemotongan hewan, rumah judi, syahbandar pelabuhan sungai,
penambangan perahu, tempat penjualan dan pemadatan candu, bahkan termasuk ijin
berburu di hutan. Sejauh ini pasar merupakan pilihan strategis setelah tol, mengingat
pasar merupakan sentra aktivitas ekonomi yang tumbuh di daerah itu. Ada banyak
pungutan di pasar ini seperti beya plingsan bagi penjual kain, beya metu bila akan
meninggalkan pasar, beya pesapon dan beya jaga bagi kebersihan dan keamanan, dan
beya bango untuk menyewa sebuah tempat di pasar. Setiap biaya ini bisa diborong
oleh satu orang, namun kadang kala juga diborong oleh masing-masing individu.
Apabila terdapat lebih dari satu pemborong, maka harga yang ditetapkan akan naik.
Sektor persewaan lain yang akan menjadi sasaran orang Cina ini adalah
agrobisnis. Dalam bidang ini orang-orang Cina menyewa tanah-tanah apanase milik
para bangsawan Jawa untuk memasok pasar-pasar lokal dengan barang-barang hasil
bumi domestik. Meskipun masih jauh dibandingkan dengan para pengusaha Eropa
yang cenderung mengelola tanah sewaan ini sebagai onderneming, para pengusaha
Cina ini memiliki kekuasaan yang luas di tanah-tanah sewaannya. Beberapa dari
mereka tampil sebagai tuan tanah (lanlord) model manor Eropa dengan wewenang
otonominya yang luas sebagai pengganti para pemegang apanase. Di sini mereka
membentuk pasukan sendiri, memungut pajak atas tanahnya, memungut upeti dalam
bentuk hasil bumi dari warganya dan menetapkan harga bagi penjualan produk oleh
penduduk kepadanya. Namun kadang-kadang ada juga orang Cina yang
memborongkan tanah berikut penduduknya yang mereka sewa dari pemegang apanase
itu kepada orang Cina yang lain sementara dia sebagai penyewa tetap tinggal di kota
Solo.
Semua hasil persewaan dan pemborongan ini berlangsung cukup lama sejak
akhir abad XVIII. Meskipun terjadi bencana besar yaitu perang Jawa antara 1825-
1830, sampai pertengahan kedua abad XIX pemborongan ini masih terus terjadi.
Bahkan pada masa Taman Paksa, ketika monopoli produksi agraria diterapkan oleh
pemerintah di wilayah yang langsung dikuasai, posisi orang-orang Cina sebagai
pemborong hasil bumi di Vorstenlanden semakin kuat. Mereka kemudian digunkana
oleh para pengusaha swasta Eropa yang sulit memperoleh produk komoditi ekspor
Eropa akibat tekanan monopoli pemerintah, unutk menutup kekurangan ini dari
pemborongan hasil bumi di Vorstenlanden.
Hak-hak yang mereka terima lebih luas memungkinkan operasi bisnis mereka
merebak sampai ke pedesaan. Ketergantungan terhadap orang Cina dari para
pengusaha pribumi menjadi semakin besar setelah berakhirnya Perang Jawa sebagai
sumber kredit bagi mereka. Jika pada awal abad XIX aktivitas ekonomi orang Cina
masih terbatas pada pemborongan prasarana tertentu, sejak pertengahan abad XIX
sektor kerajinan dan perdagangan pedesaan juga menjadi sasaran bisnis Cina. Di
samping memborong hasil bumi dan kerajinan tradisional, orang-orang Cina yang
berkeliling di daerah pedesaan juga menjual barang-barang impor kepada penduduk
secara kredit (Cina mindring atau klontong). Dengan berdasarkan kepercayaan,
interaksi ekonomi tumbuh dan berkembang antara para pedagang Cina ini dengan
penduduk pribumi. Meskipun kadang-kadang harus menanggung resiko yang besar
bila tidak dibayar atau bahkan nywanya terancam, namun para pedagang Cina ini tetap
dengan tekun meneruskan usahanya dan memperoleh keuntungan berlipat ganda.
Perkembangan aktivitas ekonomi Cina di pedesaan Jawa ini begitu pesat
sehingga pada perempatan terakhir abad XIX bisa dikatakan bahwa hampir semua
sektor perdagangan kecil dan perantara berada di tangan orang Cina. Dengan
menyisihkan saingannya orang-orang Arab, para pedagang Cina ini lebih mampu
menjalin hubungan baik dengan kalangan bangsawan pribumi. Ini terbukti dari
munculnya beberapa orang Cina dalam kehidupan politik di kraton dengan
penganugerahan gelar kebangsawanan dari Susuhunan Surakarta dan hidup seperti
halnya para bangsawan pribumi dengan hak-hak istimewanya
C.PASANG SURUT INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT ETNIS CINA DI
SURAKARTA
Integrasi sosial orang Cina di Surakarta, di satu sisi memiliki ruang sejarah yang
sangat kompleks dengan potret tipologi pemukimannya yang menunjukkan fenomena
kampung dagang pecinan. Di sisi lain keberadaan orang Cina di Solo memiliki rentang
panjang sejarah sosial ekonomi yang sangat tua dalam proses integrasi sosial mereka
dengan kaum pribumi, hampir boleh dikatakan ekologi sungai yang masih berfungsi
sebagai jaringan trasportasi perdagangan, mereka selalu ada mewarnai aktivitas
perdagangan yang lintas etnik. Dalam hal ini peradaban besar sungai bengawan solo
periode kuno dijaman Mataram Kartasura, orang Cina sudah bermukim dan meramaikan
komunitas dagang disana. Orang Jawa dipedalaman selatan Jawa Tengah karena sifatnya
yang inklusif menepuk dada sebagai golongan pribumi pada rentang Mataram Kartasura,
tapi momentum sejarah “geger pecinan kartasura” , menunjukkan bahwa potret integrasi
sosial Cina dengan pribumi Jawa sudah lekat dalam ikatan struktur sosial kelas menengah
di Jawa. Gambaran ini setidaknya sudah diantisipasi oleh sejarawan Belanda Wertheim
dan D.H, Burger, sebagai menempati kelas menengah Jawa. Kesempatan mereka
mengambil kelas menengah karena dalam struktur perfeodalan Jawa, agaknya hanya
mengenal strata wong gedhe vs wong cilik. Filsafah sosial resmi ekonomi feodal Jawa
hanya mengenal prinsip: “kekuasaan identik dengan kekayaan seseorang”.Oleh sebab itu
sistim ekonomi-feodal pendapatan diukur berdasarkan besar kecilnya prinsip apanage
yang diperoleh seorang penguasa di pusat sampai di daerah. Besarnya kekuasaan akan
diukur luas tanah pertanian apanage sebagai gaji imbalan jasa. Dengan demikian
kekayaannya senantiasa bisa diukur sekaligus paralel dengan kekuasaan yang
menyertainya.
Prinsip ekonomi perdagangan adalah untuk mencari laba yang sebesar-besarnya
dan prinsip ini menjadi simbol kekayaan sebagai simbol status sosial kelas menengah
pedagang di jawa. Ditengah struktur sosial resmi perfeodalan prinsip ekonomi apanage
berseberangan dengan prinsip perdagangan, oleh sebab itu maka eksistensi kekayaan
kaum pedagang senantiasa mengganggu idiologi kekuasaan kaum feodal yang tingkat
ekonominya lebih rendah. Ujung-ujungnya maka integrasi sosial masyarakat feodal
bertarung untuk melemahkan kedudukan kaum pedagang, sehingga ekologi pemukiman
pedagang di kota harus dipinggirkan dalam batas wilayah administratif projo kejawen.
Tanpa disadari maka pemukiman para pedagang mengelompok dalam potret ekslusif
dalam kampung Laweyan di era Kartasura dan kerajaan Pajang.
Sungguh menjadi polemik kesejarahan ketika kerajaan mataram itu dipindahkan
ke kawasan Solo. Polemik ini hampir pararel dengan image yang tercipta antara land
mark kota dagang vs kota budaya (kerajaan) dan vs kota kolonial. Artefak kota Solo
meninggalkan jejak-jejak sejarah yang kuat dari desain peninggalan lama sebagai
kenangan memory kolektif wong Solo. Oleh sebab itu polemik sejarah antara
pembenaran hardfact (fakta keras) dan coldfact (fakta lunak) harus ditegaskan kembali
untuk menemukan otentisitas.
Menarik kembali intepretasi atas ekologi peradaban bengawan solo, fungsi yang
paling benar untuk di intepretasikan adalah munculnya jaringan transportasi bengawan
solo untuk kepentingan perdagangan. Maka potret pemukiman kalangan pedagang
senantiasa berada dibibir sungai. Komunitas dagang Laweyan tumbuh dalam kebesaran
ekonomi lokal Jawa, karena pengaruh transportasi sungai Laweyan. Komunitas pedagang
Arab dipasar Kliwon memanfaatkan jaringan sungai kaliwingko dari arah Sukoharjo,
komunitas pedagang Belanda dilengkapi beteng perdagangan Groote Modigheijd
memanfaatkan ramainya pasar di tempuran kali pepe dan kaliwingko disekitar kreteg
gantung . kemudian kampung pecinan pasar Gedhe memanfaatkan bandar perdagangan
kali pepe (sekarang gedung BNI’46) Balaikota, sementara itu pedagang Madura yang
sekarang menempati kampung sampangan dahulunya bandar perdagangan bengawan
semanggi. Para pedagang dari Bali yang bermukim di kampung kebalen adalah cikal
bakal perkampungan dagang disepanjang tambak segaran menyusuri kali pepe yang
menembus wilayah Mangkunegaran. Interaksi sosial mereka menempatkan relasi sosial
dagang yang cukup harmonis seirama dengan lahirnya kerajaan dagang kuno Semanggi
dibawah penguasa Joko Sengoro. Berita-berita tertua yang dilansir oleh De Graaf,
hubungan antara kerajaan semanggi dengan komunitas pedagang disepanjang kali yang
melintas kota Solo (kali laweyan, kaliwingko, kali bathangan-sekarang jalan Slamet
riyadi, dan kali pepe, terjalin sangat harmonis, bahkan tidak terjadi berita konflik diantara
kepentingan mereka. Tapi sejak geger pecinan Kartasura, kraton dipindah ke Solo
menempati kawasan yang tersisa di kedung lumbu, (suatu kawasan rawa-rawa yang
dipaksa menjadi situs kraton), maka ekologi sosial komunitas dagang disekitarnya
menjadi rusak. Hal ini disebabkan karena perbedaan idiologi ekonomi antara budaya
ekonomi feodal berhadapan dengan ekologi ekonomi komunitas pedagang, seperti
dijelaskan diatas.
Lingkungan sosial kampung pecinan pasar gedhe terusik kepentingannya karena
eksistensi pasar gedhe harus menjadi bagian dari tata ruang ekologi projo kejawen yang
berorientasi pada prinsip kosmologi kraton. Apa sesungguhnya prinsip kosmologi kraton
itu? Kraton yang dalam kajian ekologi tata ruang, ditempatkan sebagai center dari suatu
kawasan, maka harus dilengkapi fungsi-fungsi tata ruang bangunan yang bersifat mistis
legendaris. Dimulai dari pintu gerbang kori brojonolo, bangunan jalan supit urang,
bangunan sitihinggil, pagelaran, alun-alun, masjid agung, gapura pamurakan, gapura
gladhag, garis poros lurus sampai tugu pamandengan dalem (depan balaikota) dan pasar
gedhe, adalah syarat utama tata ruang kraton untuk melengkapi konsep mistis projo
kejawen.
Relasi sosial kampung pecinan dalam interest perdagangan agak terganggu oleh
keberadaan pasar gedhe yang dalam ekologi projo kejawen dikemas dalam disfungsi
ekonomi. Ini adalah interpretasi sejarah atas munculnya idiologi konflik yang mewarnai
kota Solo di awal munculnya budaya perkotaan, berupa konflik idée yang memposisikan
eksistensi land mark kota dagang berhadapan dengan land mark kota budaya. Dalam
dunia kehidupan interaksi sosial para pedagang yang potretnya lintas etnik, sebenarnya
relasi sosial mereka yang mencerminkan kehidupan harmonis terjaga selama kepentingan
ekonomi mereka tidak terganggu. Namun potret pemukiman yang masing-masing
kelompok pedagang yang bersifat lintas ethnic, mencerminkan pencitraan kultur sebagai
kaum migran sehingga lahirlah varian ruko, rumah industri laweyan, dan pemukiman
etnik yang cukup ekslusif dimata pribumi Jawa. Agaknya potret ini juga menampakkan
putusnya relasi sosial karena potret segregasi pemukiman yang memisahkan diri dari
lingkup masyarakatnya. Idiologi konflik kota Solo selain dipicu masalah pemukiman
yang menampakkan segregasi sosial, agaknya juga dilengkapi oleh varian kecemburuan
posisi pribumi Jawa yang tidak memperoleh tempat yang layak dalam tata ruang kota.
Karena selama ini potret mereka dalam proses relasi sosial perkotaan senantiasa
dialinasikan sebagai wacana fisik dan psikis. Dalam artian relasi sosial pribumi hanya
memperoleh haknya sebagai warga buruh kota, sementara kaum bangsawan dan orang
kaya pedagang hampir dikategori sebagai tuan tanah dan tuan burger master.
Kecemburuan sosial ini melahirkan melemahnya nilai-nilai interaksi sosial warga kota
yang pada gilirannya akan membangun basis-basis pemukiman dipinggiran kota. Wacana
kearifan lokal, potret segregasi sosial yang melahirkan kecemburuan sosial ini antara
pribumi dan non pri, hampir diibaratkan sebagai “ngalah-ngalih-ngamuk-ngobong” , dari
kalangan ethnic keturunan muncul pameo mereka selalu dijadikan “kelinci percobaan,
kambing hitam dan sapi perahan.” Potret amuk massa pada siklus lima belas tahunan
sekali dalam wacana sejarah konflik perkotaan di Solo, sesungguhnya menunjukkan
bahwa interaksi sosial diantara masyarakat pedagang, bangsawan dan pribumi Jawa,
hampir tidak terjadi interaksi sosial yang wajar. Karena diwarnai oleh kepentingan
idiologi konflik dari masing-masing kelas sosial yang masih melekat dalam sejarah
kolektif masyarakat kota. Oleh sebab itu maka potret konflik selalu menunjukkan sasaran
amuk massa yang ditujukan pada simbol kekayaan dari warga keturunan. Padahal ruko
sebagai hunian dan alat perdagangan di kota Solo tidak selamanya dimiliki oleh warga
keturunan Cina.
Potret interaksi sosial dari kalangan kelas menengah di kota Solo dalam dimensi
kontemporer sekarang ini tidak lagi menunjukkan basis-basis pengelompokan etnik,
melainkan menguasai jaringan jalan-jalan protocol dan strategis di kota. Dengan
demikian konflik berdasarkan segregasi sosial kaya-miskin lebih dipicu kearah lekatnya
kecemburuan sosial perkotaan. Orang kaya hidup berdampingan dengan orang miskin
disepanjang jalan strategis, padahal dalam bahasa sosiologis perkotaan mereka bersama-
sama membutuhkan pengakuan hak sebagai warga kota. Ketidak percayaan dalam faktor
security lingkungan maka rumah orang kaya umumnya dibangun seperti potret beteng
kecil, sementara pemukiman kampung ditengah kota diwarnai bangunan portal disetiap
gang-gang jalan. Dengan demikian maka potret kehidupan orang kaya yang
direpresentasi dari kalangan etnik keturunan, nampaknya gagal membangun aksi integrasi
sosial dengan lingkungannya, sementara warga miskin kota tetap pada sikap prejudis anti
china karena penguasaan basis ekonomi kota. Lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
PMS agaknya hanya wujud dari kamuflase politik dalam aspek cultural saja. Karena
eksistensinya juga hanya berwujud eksklusivitas anggotanya yang tetap mencerminkan
sebagai lembaga segregasi budaya.
KESIMPULAN
Kehidupan di kota Solo hampir juga mencerminkan lahirnya kehidupan budaya
perkotaan. Di akhir abad 19 bersambungan dengan awal abad 20, hampir disebut era
tumbuhnya budaya perkotaan.. Potret ini juga menunjukkan kecemburuan sosial karena
munculnya dikotomis budaya kota dan desa. Dalam filsafah pandangan hidup masyarakat
feodal Jawa dikotomis desa-kota hampir pararel dengan struktur sosial wong gedhe vs
wong cilik. Diluar ekosistem itu juga lahir kelas menengah pedagang yang melahirkan
pertumbuhan ekonomi kota untuk menggantikan system ekonomi apanage. Perseteruan
diantara kelas-kelas sosial feodal dengan lahirnya kelas menengah pedagang yang pada
gilirannya melahirkan kecemburuan yang seimbang dengan potret segregasi sosial
berdasarkan etnik. Gagalnya warga etnik keturunan Cina untuk membangun proses
integrasi sosial, agaknya dijadikan alasan lahirnya kecemburuan kaya-miskin masyarakat
yang pararel dengan struktur masyarakat feodal yang melahirkan tipologi wong gedhe vs
wong cilik. Leburnya komunitas kampung Bali menjadi Kebalen, komunitas Madura
menjadi kampung Sampangan, komunitas Banjar menjadi kampung Banjar Serengan,
agaknya tidak diikuti secara diakronik sejarah sosial kalangan kampung Pecinan di Pasar
Gedhe sebagai usaha integrasi sosial. Memang muncul fenomena kampung mbalong
sebagai wujud asimilasi Cina-Jawa, atau dalam bahasa local disebut keturunan
“ampyang” yaitu kacang Cina gula Jawa, tapi fenomena sosial masyarakat mbalong
agaknya bukan hasil dari keinginan untuk warga keturunan Cina melakukan proses
integrasi sosial. Dengan demikian maka hampir boleh dikatakan eksistensi warga
keturunan etnik Cina di Solo bisa dikategorikan sebagai falsafah kehidupan diatas gabus
mengapung di negeri seberang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.e-dukasi.net/mapok/mp_files/swf/f116.swf
www.kompas.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial
http://jibis.pnri.go.id/artikel/ilmu-ilmu-sosial/thn/2007/bln/03/tgl/05/id/925
http://iccsg.wordpress.com/2006/01/23/perilaku-ekonimi-etnis-cina-di-indonesia-sejak-
tahun-1930-an-fr-wulandari/