Download - Isi Pembahasan ca mammae
BAB I
PENDAHULUAN
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran fetus dan plasenta dari uterus, ditandai
dengan peningkatan aktifitas miometrium (frekuensi dan intensitas kontraksi) yang
menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks serta keluarnya lendir darah (show) dari
vagina.1,8
Post partum adalah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk memulihkan alat
kandungannya ke keadaan semula dari melahirkan bayi sampai setelah 2 jam pertama
persalinan yang berlangsung antara 6 minggu ( 42 hari ).1,3
Masa post partum merupakan masa kritis dimana masa post partum akan
menimbulkan berbagai komplikasi diantaranya yaitu perdarahan, infeksi puerperalis,
endometritis, mastitis, tromboplebitis, thrombosis, emboli, postpartum blues.6,17 Dimana
perdarahan merupakan penyebab terbanyak kematian wanita selama periode post partum.11
Sehingga untuk menangani dan mencegah komplikasi yang timbul, maka diperlukan
pemantauan yang khusus.
Postpartum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah
menulis refrensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca
salin yang disebut sebagai milk fewer karena gejala disforia tersebut muncul bersamaan
dengan laktasi.17 Dewasa ini postpartum blues (PPB) atau serig juga disebut maternity
blues atau baby blues syndrome dimengerti sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan
yang sering tampak dalam minggu petama setelah persalinan dan ditandai dengan gejala-
gejala seperti reaksi depresi/sedih/disforia, menangis , mudah tersinggung (iritabilitas),
cemas, labilitas perasaan, cenderung menyalahkan diri sendiri , gangguan tidur dan
gangguan nafsu makan .6 Gejala-gejala ini muncul setelah persalinan dan pada umumnya
akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari . Namun pada
beberapa kasus gejala-gejala tersebut terus bertahan dan baru menghilang setelah beberapa
hari, minggu atau bulan kemudian bahkan dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih
berat. Banyak wanita sembuh dengan pengobatan yang terdiri dari terapi kelompok atau
dengan cara konseling.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG
Post partum adalah waktu yang diperlukan oleh ibu untuk memulihkan alat
kandungannya ke keadaan semula dari melahirkan bayi sampai setelah 2 jam pertama
persalinan yang berlangsung antara 6 minggu ( 42 hari ).1,3 Pengawasan dan asuhan post
partum masa nifas sangat diperlukan yang tujuannya adalah menjaga kesehatan ibu dan
bayinya, baik fisik maupun psikologis, melaksanakan sekrining yang komprehensif,
mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun
bayinya.
Baby blues syndrome, atau sering juga disebut postpartum blues adalah perasaan sedih
dan gundah yang dialami oleh sekitar 50-80% wanita setelah melahirkan bayinya. Umumnya
terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke
tiga atau empat setelah persalinan.2,5,8,10
Reaksi emosional yang biasanya muncul pada perempuan di masa nifas pasca
melahirkan yaitu :
1. Baby blues syndrome / Postpartum blues atau Maternity blues.
2. Depresi pasca persalinan.
3. Psikosis pasca persalinan.
Gejala baby blues syndrome yang biasanya dialami oleh ibu setelah 3-4 hari melahirkan
namun memudar setelah beberapa minggu.7 Baby Blues Syndrome (BBS) adalah depresi
ringan yang dialami ibu setelah melahirkan. BBS juga disebut maternity
blues, atau postpartum blues. Gejalanya berupa gangguan emosi sering menangis, murung,
panik, mudah marah, dan disertai dengan gejala depresi, mood swings, gangguan tidur dan
selera makan, serta gangguan konsentrasi yang kesemuanya merupakan akibat perubahan
hormonal.7,9,10
B. FASE-FASE PERUBAHAN PSIKOLOGI PADA IBU POSTPARTUM
2
Seorang ibu yang berada pada periode pascapartum mengalami banyak perubahan
baik perubahan fisik maupun psikologi. Menurut Reva Rubin (1997) perubahan psikologi
postpartum pada seorang ibu yang baru melahirkan terbagi dalam tiga fase :
a. Fase taking in, yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada hari pertama
sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu focus perhatian ibu hanya pada
dirinya sendiri, pengalaman selama proses persalinan sering berulang-ulang
diceritakannya. Hal ini membuat cenderung ibu menjadi pasif terhadap
lingkungannya.
b. Fase taking hold, yaitu periode yang berlangsung antara 3-10 hari setelah persalinan.
Pada fase ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuannya dan rasa tanggung
jawabnya dalam merawat bayi. Pada fase ini merupakan kesempatan yang baik untuk
menerima berbagai penyuluhan dalam merawat diri dan bayinya sehingga timbul
percaya diri.
c. Fase letting-go, merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang
berlangsung kurang lebih 10 hari setelah melahirkan. Pada fase ini ibu sudah dapat
menyesuaikan diri untuk merawat diri dan bayinya, mulai fokus kembali pada
pasangannya dan kembali bekerja mengurus hal-hal lain.
C. POST PARTUM BLUES
a. Definisi
Post Partum Blues (PBB) sering juga disebut sebagai Maternity blues atau Baby blues
syndrome diketahui sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam
14 hari pertama atau 2 minggu setelah persalinan.6,8
Postpartum blues dapat terjadi sejak hari pertama pascapersalinan atau pada saat fase
taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima. Postpartum blues
merupakan gangguan suasana hati pascapersalinan yang bisa berdampak pada perkembangan
anak karena stres dan sikap ibu yang tidak tulus terus-menerus bisa membuat bayi tumbuh
menjadi anak yang mudah menangis, cenderung rewel, pencemas, pemurungdan mudah sakit.
Keadaan ini sering disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan yang bila tidak
3
segera diatasi bisa berlanjut pada depresi postpartum yang biasanya terjadi pada bulan
pertama setelah persalinan.
b. Epidemilogi
Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian khusus
pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca persalinan, dan telah melaporkan
beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejala-
gejala tersebut. Berbagai studi mengenai post-partum blues di luar negeri melaporkan angka
kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan
disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan.
Penelitian di Negara barat menunjukkan kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan
yang pernah dilaporkan dari asia, pada penelitia yang dilakukan terhadap 154 wanita pasca
persalinan di Malaysia pada tahun 1995 dilaporkan angka kejadian 3,9% terbanyak dari ras
India (8,9%), Melayu (3,0%), dan tidak adanya kasus pada ras Cina. Penelitian di Singapura
dilaporkan angka kejadiannya sebesar 1%.15 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Jofesson dkk pada tahun 2002 didapatkan angka baby blues syndrome sekitar 10%-20%.5
Sebenarnya catatan medis tentang PPB telah ada sejak zaman Hippocrates, sekitar
abad ke 5 SM, namun dianggap kurang penting karena dipandang sekedar sebagai efek
kelelahan setelah melahirkan. Dr.dr. Irawati SpKj, M. Epid dari bagian psikiatri UI
melaporkan bahwa 25% dari 580 pasiennya (ibu melahirkan ) menagalami PPB.17 Dr. Irawati
menegemukakan gejala BBS dialami oleh sekitar 50-75% ibu melahirkan, atau 2/3 dari
jumlah ibu melahirkan di seluruh dunia.17 Sedangkan The National Mental Health
Association (2003) mengemukakan bahwa sekitar 80% ibu yang melahirkan bayi untuk
pertama kalinya mengalami gejala tersebut.
Pada penelitian yang pernah dilakukan dibagian/KSMF Obstetri dan Ginekologi
FKUP/RSHS Bandung, didapatkan angka kejadian sebesar 33,1% diantara wanita yang
melahirkan secara spontan, dan ternyata didapatkan pula bahwa baby blues syndrome tersebut
lebih banyak dijumpai pada wanita pekerja dan mereka yang berpendidikan tinggi2, beberapa
penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat di Indonesia anatar lain : di Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya pada tahun 1998-2001 ternyata angka kejadian mencolok tinggi
4
yakni sebesar 11%-30% dibandingkan dengan kejadian di negara lain yang ada di Asia. Dan
penelitian lain didapatkan angka baby blues syndrome yang lebih tinggi yaitu 23,4%-36,7%.2
c. Etiologi
Penyebab pasti Postpartum blues belum diketahui, namun beberapa faktor diduga
menjadi penyebab, diantaranya:
a. Faktor hormonal
Usai bersalin, hormon kortisol pada ibu naik mendekati kadar seperti pada orang
depresi. Pada saat yang bersamaan hormon laktogen dan prolaktin yang memicu
produksi ASI meningkat, dan hormon progesteron mengalami penurunan pada kadar
yang sangat rendah.Pertemuan kesemua hormon ini memicu timbulnya keletihan fisik
pada ibu dan memicu terjadinya depresi.
b. Faktor Usia
Biasanya sering terjadi pada usia < 20 tahun dan seringkali dikaitkan dengan kesiapan
mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.10,15
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan
untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah
periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu.
c. Faktor fisik 10
Kelelahan merawat bayi seharian bisa menjadi pemicu timbulnya Baby blues ini.
Kurang tidur saat hamil juga dapat mempengaruhi timbulnya Baby blues.
d. Faktor Pengalaman 11
Beberapa penelitian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Paykel dan
Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan
segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi
dirinya dan dapat menimbulkan stres.
5
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri
muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka
mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.
e. Faktor selama proses persalinan 11
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama
proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat
persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan
kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
f. Faktor pendidikan
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan konflik peran,
antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau
melakukan aktivitasnya diluar rumah, dibandingkan dengan peran mereka sebagai ibu
rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka.
g. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu,
selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.
h. Faktor so s ial 11
Ibu yang sulit menyesuaikan diri terhadap peran barunya akan merasa terus terikat
oleh keberadaan sang bayi. Selain itu, banyaknya kerabat yang membantu pada saat
kehamilan, persalinan dan pasca persalinan, beban seorang ibu karena kehamilannya
sedikit banyak berkurang.
i. Faktor psikologis 12
Ibu yang mengalami kelelahan membutuhkan perhatian dari keluarga terutama dari
suami. Kekecewaan atas minimnya dukungan dapat memicu terjadinya Baby blues.
c. Faktor Resiko
6
Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya postpartum blues15 :
1. Kejadian-kejadian sebagai stressor yang terjadi pada ibu hamil, seperti kehilangan
suaminya.
2. Pada kehamilan sebelumnya pernah mengalami postpartum blues.10
3. Kondisi bayi yang cacat, atau memerlukan perawatan khusus pasca melahirkan yang
tidak pernah dibayangkan oleh sang ibu sebelumnya.
4. Melahirkan di bawah usia 20 tahun.
5. Tidak adanya perencanaan kehamilan atau kehamilan yang tidak diharapkan.
6. Hubungan dengan pasangan sedang bermasalah.
7. Ketergantungan pada alkohol atau narkoba.
8. Kurangnya dukungan yang diberikan oleh anggota keluarga, suami, dan teman.
9. Kurangnya komunikasi, perhatian, dan kasih sayang dari suami, atau orang yang
bersangkutan dengan sang ibu.
10. Perubahan dinamika kehidupan.10
11. Mempunyai permasalahan keuangan menyangkut biaya, dan perawatan bayi.
12. Kurangnya kasih sayang dimasa kanak-kanak.
13. Adanya keinginan untuk bunuh diri pada masa sebelum kehamilan.
d. Patofisiologi
Para wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka
terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami peristiwa kehidupan yang
menekan. Antara 8% sampai 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran sebagai orang tua
dan menjadi sangat tertekan sehingga mencari bantuan dokter.
Beberapa dugaan kemunculan ini disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam dan luar
individu. Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan bahwa
depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian
hari. De Jonge Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat
obstetrical) dalam pertolongan melahirkan dapat memicu depresi ini. Misalnya saja pada
pembedahan caesar, penggunaan tang, tusuk punggung,episiotomi dan sebagainya.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
pemicu depresi ini.1,6,8 Diperikiran sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala
7
awal kemunculan depresi post partum blues, walau demikian gejala tersebut dapat hilang
secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat.
Faktor biologis yang paling banyak terlibat adalah faktor hormonal. Perubahan kadar
hormone pada wanita memegang peran penting ; perubahan suasana hati biasa terjadi sesaaat
sebelum menstruasi sesaat sebelum menstruasi (ketegangan pramenstruasi) dan setelah
persalinan (depresi postpartum). Perubahan hormone serupa biasa terjadi pada wanita
pemakai pil KB yang mengalami depresi.
Faktor yang berpengaruh pada baby blues syndrome berupa perubahan kadar
esterogen, progeteron, prolaktin dan estriol yang terlalu rendah. Kadar esterogen turun secara
bermakna setelah melahirkan, ternyata esterogen memiliki efek supresi aktifitas enzim
nonadrenalin maupun serotin yang berperan dalam suasana hati dan depresi. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah
sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post
sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama
serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam
mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya
pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi
serotogenik).Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah
neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan
dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa
neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh
karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :
a. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
b. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas
norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
c. Menurunnya aktivitas dopamin.
d. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
8
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi
akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang
menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter
atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik
yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi
depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil.
Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian antidepresan golongan
SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake
serotonin dan bukan menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi
lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki
gejala-gejala depresi.
Kelainan fungsi tiroid yang sering terjadi pada wanita, juga merupakan faktor yang
berperan dalam terjadinya depresi. Depresi juga bisa terjadi karena atau bersamaan dengan
sejumlah penyakit atau kelainan fisik. Kelainan fisik bias menyebabkan terjadinya depresi
secara ; langsung, misalnya ketika penyakit tiroid menyebabkan berubahnya kadar hormone.
Yang bias menyebabkan terjadinya depresi tidak langsung, misalnya ketika penyakit atritis
rematoid menyebabkan nyeri dan cacat, yang bias menyebabkan depresi.
Ada pula kelainan fisik menyebabkan depresi secara langsung dan tidak langsung.
Misalnya AIDS; secara langsung menyebabkan depresi jika virus penyebabnya merusak otak;
secara tidak langsung menyebabkan depresi jika menimbulkan dampak negative terhadap
kehidupan penderitanya.
e. Manifestasi Klinis
9
Berikut beberapa gejala Postpartum Blues / Baby blues syndrome atau depresi pasca
melahirkan:
Mudah menangis dan merasa sedih tanpa sebab.
Cenderung menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berharga & punya harapan atau
merasa bersalah berlebihan serta hidup tidak menyenangkan.
Merasa lelah, mudah tersinggung.
Perasaan cemas, labil, khawatir akan menyakiti diri sendiri atau bayinya, kadang ibu
seakan-akan ingin membunuh bayi.
Gangguan tidur baik itu sulit untuk tidur atau justru tidur menjadi lebih lama.
Hilangnya nafsu makan, turunnya berat badan atau bahkan terjadi peningkatan berat
badan yang disertai dengan pola makan berlebihan.
Kurangnya energi & motivasi sehingga sulit untuk melakukan kegiatan.
Merasa kurang menyangi bayinya.
Tidak memperhatikan penampilan dan kurang menjaga kebersihan diri.
Jika symptom muncul kurang dari 2 minggu, diagnosis baby blues lebih tepat
digunakan. Baby blues dialami oleh 80% ibu baru, biasanya bertahan dalam hitungan jam
atau hari dan dalam kebanyakan kasus resolve secara spontan pada hari ke sepuluh setelah
kelahiran.
f. Diagnosis
Depresi merupakan gangguan yang betul–betul dipertimbangkan sebagai
psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir
dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan.
Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum
seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran ingin
bunuh diri. Menurut Vandenberg , menyatakan bahwa keluhan dan gejala depresi postpartum
tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya.8 Hal yang terutama
mengkhawatirkan adalah pikiran – pikiran ingin bunuh diri, waham–waham paranoid dan
ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya.
10
Kriteria diagnosis spesifik pospartum blues / depresi postpartum tidak dimasukkan di
dalam DSM-IV4, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis
spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan
kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan.4
Menurut DSM IV, simptom–simptom yang biasanya muncul pada episode postpartum
antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi.4 Wanita
yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan
sering panik.9
Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik
penderita pospartum blues / depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood,
memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan
dengan orang lain.4,7 Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin
merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau
keduanya.
Gejala depresi postpartum ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis
postpartum. Meskipun demikian, kelainan–kelainan tersebut memiliki potensi untuk
menimbulkan kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejala–gejala depresi postpartum
antara lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan
mood, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain,
tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
g. Pemeriksaan Penunjang
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood / depresi sudah merupakan acuan
pelayanan pasca persalinan yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan
beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Edinburgh Posnatal Depression Scale
11
(EPDS)8 merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas
perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca melahirkan.7
Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan perasaan, kecemasan, perasaan
bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues . Kuesioner ini
terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan
yang dirasakan ibu pasca melahirkan saat itu.16 Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan
rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. EPDS juga telah teruji validitasnya di
beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat
dipergunakan dalam minggu pertama pasca persalinan dan bila hasilnya meragukan dapat
diulangi 2 (dua) minggu kemudian.
Gambar kuisioner EPDS
h. Diagnosis banding
1. Postpartum Depression / Depresi pasca persalinan
12
Definisi
Postpartum depression (PPD) adalah gejala depresi berat yang terjadi 7 hari
setelah melahirkan dan berlangsung selama 30 hari dan dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari.8,10 PPD adalah bentuk utama dari depresi dan kurang umum daripada
postpartum blues. PPD mencakup semua gejala depresi, tetapi hanya terjadi pada
pasca persalinan. Hal ini dapat terjadi kapan saja sesaat setelah melahirkan dan dapat
berlangsung lama hingga satu tahun.
Faktor Risiko
PPD terjadi pada 10 sampai 20% wanita setelah melahirkan.13 Meskipun setiap
wanita berisiko, dibawah ini merupakan faktor risiko terjadinya PPD :
Komplikasi dari Baby blues syndrome yang tidak teratasi.
Sebelumnya pernah episode depresi postpartum.
Riwayat depresi sebelumnya.
Riwayat depresi pada keluarga.
Kurangnya dukungan (misalnya, dari suami maupun anggota keluarga).
Kelahiran yang tidak diharapkan.
Etiologi
Etiologi pasti tidak diketahui, namun, sebelumnya pernah memiliki riwayat
depresi adalah faktor risiko utama, perubahan hormonal selama masa nifas, dan
kurang tidur atau istirahat.
Berbeda dengan baby blues, yang biasanya berlangsung 2 sampai 3 hari (sampai
dengan 2 minggu) dan relatif ringan, depresi postpartum berlangsung> 2 minggu dan
dapat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari.
Gejala dan Tanda10
Kesedihan yang berlebihan
13
Menangis terus menerus
Insomnia atau pola tidur meningkat
Kehilangan nafsu makan atau makan berlebihan
Mudah marah
Sakit kepala
Kelelahan berlebih
Kekhawatiran yang tidak realistik tentang sesuatu
Tidak tertarik pada bayi
Takut mencelakai bayi
Keinginan untuk bunuh diri
Kegelisahan yang berlebihan
Postpartum depression dapat mengganggu kemampuan ibu untuk merawat diri
mereka sendiri dan bayi mereka sendiri. Untuk terjadinya gejala psikosis jarang, tetapi
depresi postpartum meningkatkan risiko bunuh diri dan pembunuhan bayi sendiri,
yang merupakan komplikasi paling parah. Jika seorang ibu tidak bisa membina suatu
ikatan dengan bayinya, akan menimbulkan masalah dari segi emosi, sosial, dan
kognitif pada bayinya dimasa yang akan datang.8
Postpartum depression (atau gangguan mental serius) harus dicurigai jika
perempuan memiliki berikut:
Gejala > 2 minggu
Gejala yang mengganggu aktivitas sehari-hari
Adanya keinginan untuk bunuh diri
Halusinasi, delusi, atau perilaku psikotik
2. Postpartum Psikosis / Psikosis pasca persalinan
Definisi
14
Postpartum psikosis merupakan gangguan mental yang paling parah pada ibu
postpartum, kondisi ini biasanya bermanifestasi dalam waktu 2 minggu setelah
persalinan dan biasanya disertai gangguan bipolar.8
Etiologi
Kasus postpartum psikosis (PPP) jarang terjadi pada wanita setelah melahirkan,
suatu kondisi yang hanya terjadi sekitar sepersepuluh dari 1% pada ibu baru. Dalam
suatu studi yang dilakukan oleh Marks dkk (1991) yang diikuti sekitar 88 wanita
hasilnya berisiko tinggi untuk mengalami gangguan kejiwaan
Onset dari PPP cepat dan parah, dan biasanya terjadi dalam dua sampai tiga
minggu pertama setelah melahirkan.8 Disebabkan karena wanita menderita bipolar
disorder atau masalah psikiatrik lainnya yang disebut schizoaffektif disorder. Wanita
tersebut mempunyai resiko tinggi untuk terkena post partum psikosis.
Faktor Risiko8,12
Wanita dengan riwayat penyakit psikotik sebelumnya. (high risk)
Riwayat depresi postpartum sebelumnya.
Riwayat postpartum psikosis sebelumnya.
Gejala8,12
Gejalanya mirip dengan reaksi psikotik umum seperti delusi (suatu keyakinan
yang dipegang secara kuat namun tidak akurat, yang terus ada
walaupun bukti menunjukkan hal tersebut tidak memiliki dasar dalam realitas) dan
halusinasi (persepsi palsu atau terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa
adanya rangsang nyata terhadap indera), sering termasuk :
Gejala fisik : Penolakan untuk makan, ketidakmampuan untuk
menghentikan aktivitas, sangat gelisah.
Gejala mental : Kebingungan ekstrim, kehilangan memori, inkoherensi.
Gejala perilaku : Paranoia, pernyataan irasional, keasyikan dengan hal-hal
sepele.
Penatalaksanaan
15
Seorang wanita yang didiagnosis dengan PPP harus dirawat di rumah sakit
sampai ia dalam kondisi stabil. Dokter mungkin akan meresepkan obat mood
stabilizer, antipsikotik atau obat antidepresan untuk mengobati gejala psikosis
postpartum. Ibu yang mengalami PPP sangat mungkin untuk menderita lagi setelah
kehamilan berikutnya.
Pencegahan
Untuk mengurangi jumlah penderita ini sebagai anggota keluarga hendaknya
harus lebih memperhatikan kondisi dan keadaan ibu serta memberikan dukungan
psikis agar tidak merasa kehilangan perhatian.16
Saran kepada penderita untuk:
1. Beristirahat cukup
2. Mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang
3. Bergabung dengan orang-orang yang baru
4. Bersikap fleksible
5. Berbagi cerita dengan orang terdekat
6. Sarankan untuk berkonsultasi dengan tenaga medis
Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan Postpartum Depression
Perbedaan Baby Blues Syndrome dengan Postpartum Depression yaitu terletak pada
frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala di atas. Pada Postpartum
Depression, Anda akan merasakan berbagai gejala tersebut lebih sering, lebih hebat, serta
lebih lama.6,9
Karakeristik Baby blues syndrome Postpartum depression
Insiden 50% - 80% 10%
Onset 3 – 5 hari post partum 3 – 6 bulan post partum
16
Durasi Harian s/d Mingguan Bulanan s/d Tahunan
Riw. Gangguan mood Tidak ada Ada
Gangguan tidur ( Sleep ) Kadang – kadang Hampir selalu ada
Anhedonia ( Interest ) Ada tapi jarang Ada
Merasa berasalah ( Guilty ) Ada tapi ringan Ada
Kehilangan Energi ( Energy ) Ada tapi ringan Ada
Kurang konsentrasi Mungkin ada Ada
Pikiran bunuh diri ( Suicide ) Tidak ada / sedikit Hampir selalu ada
Pikiran untuk mencelakakan
bayinya
Jarang Hampir selalu ada
Cara membedakan keduanya yaitu. salah satunya dengan memperhatikan pola tidur si
ibu. Jika ketika ada orang lain menjaga bayi, si ibu bisa tertidur, maka besar kemungkinan si
ibu hanya menderita Baby Blues Syndrome (BBS). Namun jika si ibu sangat sulit tertidur
walaupun bayinya dijaga oleh orang lain, maka mungkin tingkat depresinya sudah termasuk
ke dalam Postpartum Depression (PPD).
Sedangkan gejala Postpartum Depression yaitu Cepat marah, bingung, mudah panik,
merasa putus asa, perubahan pola makan dan tidur, ada perasaan takut bisa menyakiti
bayinya, ada perasaan khawatir tidak bisa merawat bayinya dengan baik, timbul perasaan
bahwa ia tidak bisa menjadi ibu yang baik dan PPD bisa berlangsung hingga 1 tahun setelah
kelahiran bayi, pada kasus PPD akut, si ibu bisa saja bunuh diri atau menyakiti bayinya
sendiri.6,9
j. Penatalaksanaan
a) Pendekatan Psikologis
17
Penanganan gangguan mental pasca persalinan pada prinsipnya tidak berbeda
dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang
mengalami postpartum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya dan
membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga
dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan
ataupun istirahat.16
Dengan bantuan dari teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur
atau menata kembali kegiatan rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa
kegiatan, disesuaikan dengan konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi.11 Bila
memang diperlukan, dapat diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang
psikolog atau konselor yang berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita
untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan
penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli
psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas
obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara
memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan,
termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta
penanganannya.11
Postpartum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik
nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus
dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi,
membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung
dengan kelompok ibu-ibu baru.13 Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum
blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling
emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman secara intelektual tentang pengalaman
dan harapan-harapan mereka mungkin pada saat-saat tertentu.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat
perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan
melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.
18
Ada beberapa cara untuk mengatasi masalah ini yaitu6,13 :
i. Dengan cara pendekatan komunikasi teraupetik
Tujuan dari komunikasi teraupetik adalah menciptakan hubungan baik antara bidan
dengan pasien dalam rangka kesembuhannya dengan cara :
Mendorong pasien mampu meredakan segala ketegangan emosi.
Dapat memahami dirinya.
Dapat mendukung tindakan konstruksi.
ii. Peningkatan support mental/dukungan keluarga dalam mengatasi gangguan psikologis
yang berhubungan dengan masa nifas dalam menjalani periode pasca melahirkan.
b) Medikamentosa 6,9,14
Strategi farmakologis yang diindikasikan untuk gejala depresi sedang sampai
berat atau ketika seorang wanita tidak merespon pengobatan non-farmakologis. Obat
juga dapat digunakan dalam hubungannya dengan terapi non-farmakologis.
Wanita yang sedang hamil atau menyusui harus berkonsultasi dengan dokter
mengenai keuntungan dan resiko dari meminum obat antidepresi. Beberapa wanita
khawatir bahwa obat ini dapat membahayakan bayi mereka. Jika seorang ibu depresi,
akan dapat mempengaruhi perkembangan bayinya, sehingga penting sekali untuk
mendapatkan perawatan bagi ibu dan bayi.
Obat Antidepresan8,7,10,14
Banyak jenis obat antidepresan dengan perbedaan cara kerja dan efek samping
yang telah beredar dimasyarakat. Semuanya dapat mengobati gejala depresi dan dapat
sangat membantu bagi ibu dengan postpartum blues. Untuk ibu yang sedang menyusui,
bagaimanapun, mungkin khawatir tentang keamanan obat antidepresan untuk bayinya.
Untuk postpartum blues pada ibu menyusui, para ahli merekomendasikan obat yang
disebut serotonin reuptake inhibitor (SSRI), yang mempengaruhi serotonin pada otak.
Yang terkenal diantaranya adalah Zoloft (sertraline), obat antidepresi yang paling
banyak dipelajari pada ibu menyusui dan bayi mereka. Sebagian jumlah kecil masuk ke
dalam ASI, dan tidak ada efek samping pada bayi.
19
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) adalah agen lini pertama dan
efektif pada wanita dengan depresi pasca-melahirkan. Gunakan dosis antidepresan
standar, misalnya, sertraline (Zoloft) 50-200 mg / hari, fluoxetine (Prozac) 10-60 mg /
hari, paroxetine (Paxil) 20-60 mg / hari, citalopram (Celexa) 20-60 mg / hari , atau
escitalopram (Lexapro) 10-20 mg / hari. Akibat yang merugikan dari obat kategori ini
termasuk insomnia, mual, penurunan nafsu makan, sakit kepala, dan disfungsi seksual.
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs), seperti venlafaxine
(Effexor) 75-300 mg / hari atau duloxetine (Cymbalta) 40-60 mg / hari, juga sangat
efektif untuk depresi dan kecemasan.
Antidepresan trisiklik (misalnya, Nortriptilin 50-150 mg / hari) mungkin berguna
bagi wanita dengan gangguan tidur, walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa
perempuan lebih merespon obat kategori SSRI. Akibat yang merugikan dari
antidepresan trisiklik termasuk mengantuk, berat badan bertambah, mulut kering,
sembelit, dan disfungsi seksual.
Biasanya, gejala mulai berkurang dalam 2-4 minggu. Sebuah penyembuhan
penuh dapat berlangsung beberapa bulan. Pada sebagian responden, meningkatkan
dosis dapat membantu. Agen anxiolytic seperti lorazepam dan clonazepam mungkin
berguna sebagai pengobatan adjunctive pada pasien dengan kecemasan dan gangguan
tidur.
Data awal menunjukkan bahwa estrogen, sendiri atau dalam kombinasi dengan
antidepresan, mungkin bermanfaat, namun tetap antidepresan menjadi baris pertama
pengobatan.
Jika ini adalah episode pertama dari depresi, pengobatan selama 6-12 bulan
dianjurkan. Untuk wanita dengan depresi mayor berulang, diindikasikan perawatan
pengobatan jangka panjang dengan antidepresan. Kegagalan untuk mengobati atau
pengobatan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan memburuknya hubungan antara
ibu dan bayi atau pasangan. Hal ini juga dapat meningkatkan risiko morbiditas pada ibu
dan bayi, serta kompromi sosial dan pengembangan pendidikan sang bayi.Semakin
cepat pengobatan maka semakin baik prognosisnya. Rawat Inap mungkin diperlukan
untuk depresi pascamelahirkan yang parah.
20
Untuk tipe depresi yang sangat parah dimana ibu memiliki gejala psikotik
(halusinasi atau delusi), sangat penting untuk menggabungkan obat antidepresan
dengan obat jenis lain dari golongan antipsikotik. Jika ibu menyusui, para ahli
merekomendasikan jenis yang lebih tua disebut antipsikotik konvensional (seperti
Haldol), jenis baru (antipsikotik atipikal seperti Risperdal atau Zyprexa) lebih
diutamakan sebaliknya, tapi belum cukup teruji untuk ibu menyusui dan untuk bayi.
Jika seorang wanita memiliki gejala yang sangat parah, seperti ingin bunuh diri
atau pikiran psikotik, mungkin dokter perlu menempatkan dia di rumah sakit untuk
memastikan keselamatan dirinya dan bayinya. Terapi electroconvulsive (ECT)8 adalah
cepat, aman, dan efektif untuk perempuan dengan depresi pascamelahirkan yang parah,
khususnya mereka dengan pikiran bunuh diri yang aktif, tidak merespons obat atau
sedang menyusui dan ingin menghindari obat-obatan.. Masih ada terapi yang masih
belum terbukti seperti penggunaan cahaya terang dan terapi gizi (terutama
meningkatkan omega-3 bebas asam lemak ).
k. Dampak Postpartum blues pada bayi
Sekilas baby blues memang tidak berbahaya. Tapi kondisi ini, efeknya sangat nyata
pada perkembangan anak karena biasanya ibu yang mengalami baby blues tidak dapat
merawat anaknya dengan baik, jadi secara otomatis ia juga tidak bias memberikan kebutuhan
yang seharusnya diterima anaknya, baik itu dari segi perhatian maupun nutrisi yang masuk
ketubuhnya.13 Dampak lain juga bisa membuat si kecil lebih rentan mengalami kekerasan
dalam rumah tangga. Padahal, aksi kekerasan yang dialami si kecil tak hanya berdampak
pada dirinya saat itu, tapi bisa berbekas hingga dewasa.
Dalam jurnal Archives of Pediatric & Adolescent Medicine, anak yang mengalami
kekerasan berkepanjangan di masa kecil serta lahir premature berisiko lebih tinggi untuk
tumbuh menjadi remaja yang nakal dan bermasalah. Mereka juga cenderung mengalami
kesulitan belajar dan saat dewasa cenderung memiliki kualitas hidup yang rendah. Yang
paling menyedihkan, anak-anak ini juga terancam menjadi penderita depresi dan mengalami
disfungsi sosial.17
21
l. Pencegahan
Post partum blues dapat dicegah dengan cara :
1. Perhatian terhadap ibu
Anjurkan ibu untuk merawat dirinya, yakinkan pada suami atau keluarga untuk selalu
memperhatikan si ibu.
2. Tidur dan makan yang cukup
Diet nutrisi cukup penting untuk kesehatan, lakukan usaha yang terbaik dengan
makan dan tidur yang cukup. Keduanya penting selama periode postpartum dan
kehamilan.
3. Olahraga secara teratur
Olahraga adalah kunci untuk mengurangi resiko postpartum blues. Lakukan
peregangan selama 15 menit dengan berjalan setiap hari, sehingga membuat diri anda
merasa lebih baik dan dapat mengendalikan emosi berlebihan dalam diri ibu.
4. Hindari perubahan hidup sebelum atau sesudah melahirkan
Jika memungkinkan, hindari membuat keputusan besar seperti membeli rumah atau
pindah kerja, sebelum atau setelah melahirkan. Tetaplah hidup secara sederhana dan
menghindari stres, sehingga dapat segera dan lebih mudah menyembuhkan
postpartum yang diderita.
5. Dukungan dari keluarga dan orang yang dicintai
Dukungan dari keluarga atau orang yang dicintai sangat diperlukan. Beritahukan si
ibu jika ada masalah, segera ceritakan kepada pasangan atau orangtua, atau siapa
saja yang mau bersedia menjadi pendengar yang baik. Yakinkanlah si ibu, bahwa
mereka akan selalu berada disisinya setiap mengalami kesulitan.
6. Persiapkan diri dengan baik
Persiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum melahirkan sangat diperlukan.
22
7. Rekreasi
Rencanakan acara keluar bersama suami dan anak. Pergi ke tempat hiburan dapat
mengurangi stres dan dapat meningkatkan keharmonisan dalam rumah tangga.
8. Lakukan pekerjaan rumah tangga
Pekerjaan rumah tangga sedikitnya dapat membantu si ibu agar dapat melupakan
luapan perasaan yang terjadi selama periode postpartum. Jika kondisi si ibu belum
stabil, bias dicurahkan dengan memasak atau membersihkan rumah.
9. Dukungan emosional
Dukungan emosi dari lingkungan, keluarga dan juga orang yang ikut mengalami atau
merasakan hal yang sama dengan si ibu akan dapat membantu si ibu dalam mengatasi
rasa depresi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
23
Baby blues syndrome sering juga disebut sebagai Maternity blues atau Postpartum
blues diketahui sebagai suatu sindroma gangguan efek ringan yang sering tampak dalam 14
hari pertama atau 2 minggu setelah persalinan dan cenderung lebih buruk sekitar hari ke tiga
atau kelima setelah persalinan.
Banyak faktor diduga berperan pada sindroma ini, antara lain adalah faktor hormonal,
faktor demografik yaitu umur dan paritas, pengalaman dalam proses kehamilan dan
persalinan, takut kehilangan bayi, bayi sakit ( kuning, dll ), takut untuk memulai hubungan
suami istri, anak akan terganggu, dan latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan.
Baby blues syndrome memang termasuk dalam gangguan depresi dengan taraf ringan,
namun jika kita tidak menyikapinya dengan cermat tentunya akan mempengaruhi tahap
tumbuh kembang seorang anak. Bagaimana anak bisa mendapat perhatian yang maksimal
jika ibunya sendiri mengalami depresi. Hal tersebut tentunya akan turut mempengaruhi
kondisi psikologis anak, karena bagaimanapun juga ibu adalah significant other utama
seorang anak di bulan-bulan awal kehidupannya. Maka dari itu guna meminimalisir
terjadinya baby blues syndrome pada seorang ibu, penting adanya perencanaan yang matang
antar suami, istri dan lingkungan keluarga dari awal kehamilan hingga proses pembagian
peran penjagaan bayi ketika bayi telah lahir. Sehingga tingkat stress seorang ibu pasca
melahirkan bisa ditekan untuk mencapai depresi dan menerunkan peluang terjadinya baby
blues syndrome.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknojosastro H, 2009. Ilmu Kebidanan. Cetakan Ke-4. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; Jakarta.
24
2. Wratsangka R, Hasan B, Wijayanegara H. 1996. Tinjauan Kasus “Postpartum Blues”
di RSU Dr. Hasan Sadikin-Bandung; Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
(POGI).
3. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. EGC:Jakarta.
4. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder IV-TR. Washington DC : APA
5. Jofesson A dkk. 2002. Obstetric, Somatic, and Demographic Risk Factors for
Postpartum Depressive Symptoms; in the American College of Obstetricians and
Gynecologists.
6. Iskandar, Suhandi, Sugi, 2007. Post Partum Blues.
http://www.mitrakeluarga.net/kemayoran/kesehatan005.html (tanggal akses 20
Januari 2013)
7. National Mental Health Association, 2003. Recognizing Postpartum Depression.
Diunduh dari http://www.nmha.org. Diakses pada tanggal 18 Januari 2013)
8. Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international
edition. 22 nd edition.
9. Wisner KL, Parry BL, Piontek CM. 2002. Postpartum Depression. N Engl J Med ;
347 : 194 -99.
10. Moldenhauer JS. 2012. Postpartum Depression. Merck Manual. Diunduh dari
http://www.merckmanuals.com/professional/gynecology_and_obstetrics/
postpartum_care_and_associated_disorders/postpartum_depression.html. Diakses
tanggal 24 Januari 2013.
11. Kesehatan Ibu & Anak. 2012. Mengenal Penyebab Terjadinya Baby Blues. Diunduh
dari : http://kesehatanibu-anak.blogspot.com/2012/05/mengenal-penyebab-terjadinya-
baby-blues.html. Diakses tanggal 20 Januari 2013.
12. Medicastore. 2012. Depresi Setelah Melahirkan, Bukan Hanya Baby Blues. Diunduh
dar
ihttp://medicastore.com/artikel/354/Depresi_Setelah_Melahirkan_Bukan_Hanya_Bab
y_Blues_Syndrome.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013.
25
13. Puspawardani, I. 2011. Mengenal Baby Blues Syndrome dan Solusinya. Kompasiana
http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/07/29/mengenal-baby-blues-
syndrome-dan-solusinya-382502.html. Diakses tanggal 21 Januari 2013.
14. Mental Health America. 2012. Postpartum disorder. Diunduh dari
http://www.mentalhealthamerica.net/go/postpartum. Diakses tanggal 18 Januari 2013.
15. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. 2012. Postpartum depression. Diunduh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0004481/. Diakses tanggal 18
Januari 2013.
16. Elvira, Sylvia D. 2006. Depresi Pasca Persalinan. Balai Penerbit FKUI:Jakarta.
17. Bernadus. 2008. Jangan pandang enteng baby blues. Diunduh dari
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1825470-jangan-pandang-enteng-baby-
blues/. Diakses tanggal 22 Januari 2013.
26