Download - Isi Referat Tdr Tht - Revisi
BAB I
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.1 TAKSONOMI
TDR termasuk ke dalam filum Artropoda, kelas Arachnida, ordo Acari,
subordo Atigmata, dan famili Pyroglyphidae. Famili Pyroglyphidae terdiri atas
16 genus dan 46 spesies. Tiga belas spesies dapat ditemukan pada debu rumah, tiga
diantaranya adalah sumber utama alergen TDR yaitu D. Pteronyssinus, D. farinae
dan Glycyphagus destructor.
Beberapa tungau yang dikelompokkan sebagai domestic mite, yaitu jenis
tungau yang hidup didalam lingkungan hidup manusia adalah TDR
( famili Pyroglyphidae ), tungau gudang ( famili Acaredai, Glyciphagidae, dan
Chortoglyphidae ), dan tungau predator ( famili Cheyletidae ).
1.2 EPIDEMIOLOGI
TDR terdapat di seluruh dunia. Berbagai spesies TDR terdapat dalam debu
rumah, tetapi tungau yang mendominasi adalah famili Pyroglyphidae. Tungau lain
yang penting adalah Blomia tropicalis yang hidup di daerah beriklim tropik dan
subtropik. Spesies tungau lain yang terdapat pada produk makanan, rumput kering,
dan membutuhkan kelembaban tinggi untuk hidup adalah genus Glycyphagus,
Tyrophagus, Acarus, Lepidoglyphus, Cortoglyphus, dan Tarsonemus.
Di Jakarta Pusat, Aulung et al,2 telah memeriksa sebanyak 5237 gram debu
rumah yang berisi 343 tungau dan setelah diidentifikasi ditemukan 6 genus dengan
dominasi Glycyphagussebanyak 149 tungau ( 42,6% ). Pada penelitian lanjutannya
Aulung et al,3 melaporkan dari 5411 gram debu rumah diperoleh 876 tungau yang
terdiri atas 7 genus dan yang terbanyak adalah Glycyphagus ( 352 tungau ).
Pada penelitian Sundaru4 di Jakarta dari 32,6 gram debu rumah yang berasal dari
20 rumah penderita asma, didapatkan tungau sebanyak 1480 yang terdiri atas
10 genus. Genus yang paling banyak ditemukan adalah Glycyphagus sebanyak
582 tungau. Manan et al.5 melaporkan pada 10 rumah penderita asma, ditemukan
9 genus dan tungau yang terbanyak adalah Glycyphagus. Di Kolumbia genus
Glycyphagusjuga merupakan TDR yang dominan. Cuthbert, et al.6 yang
melakukan penelitian di gudang hasil pertanian juga mendapatkan bahwa tungau
yang terbanyak adalah genus Glycyphagus.
Di dalam rumah TDR paling banyak dijumpai pada perabot kamar tidur
(582 tungau) dan paling sedikit pada hiasan rumah ( 186 tungau ). Pada perabot
rumah yaitu meja, kursi, rak buku dan lemari didapatkan 349 tungau, sedangkan
1
pada lantai rumah didapatkan 363 tungau. Manan5 telah melakukan pemeriksaan
terhadap 156,03 gram debu kasur kapuk dari perumahan BTN Pamulang dan
mendapatkan jumlah TDR rata-rata 147 tungau per gram debu kasur dengan
jumlah total tungau 26.470 yang terdiri atas 5 genus yaitu D. pteronyssinus,
D. farinae, G.destructor, Suidasia medinensis, Cheiletus eredetus dan didominasi
oleh D. pteronyssinus serta G. destructor.
Keberadaan tungau pada perabot kamar tidur erat kaitannya dengan makanan
tungau. Skuama merupakan makanan pokok TDR dan di tempat tidur banyak
tersedia skuama karena manusia menghasilkan skuama 0,5 g – 1 g per hari
sehingga TDR dapat hidup subur. Selain itu perabot kamar tidur yang terdiri atas
kasur, selimut, gorden, seprei banyak mengandung serat-serat yang lebih mudah
menampung debu daripada perabot rumah lain. Oleh karena itu dapat dimengerti
jika TDR paling banyak ditemukan di kamar tidur.5
Faktor-faktor fisik seperti suhu dan kelembaban merupakan faktor utama yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme dalam debu rumah.
Tungau sangat peka terhadap kelembaban relatif. Pada kelembaban 60% atau lebih
rendah populasi TDR ditemukan sangat sedikit atau mati.
Secara umum suhu optimal bagi perkembangan populasi TDR adalah
250C-300C dan kelembaban relatif 70-80%. Untuk D. Pteronyssinus diperlukan
suhu optimal 250C dan kelembaban 80% dengan kelembaban kritis 60-65%.
Demikian juga tungau gudang ( stored product mite ) seperti G. Destructor
( suhu 230C-250C dan kelembaban 80-90% ), Tyrophagus putrescentae dan
Acaraus siro ( suhu 230Cdan kelembaban87% ). Suhu yang sesuai untuk
kehidupan D. farinae 250C-300C dengan kelembaban relatif 50-60% dan
kelembaban kritis 47-50%. Perkembangbiakan TDR akan terganggu pada suhu
diatas 320C dan jika tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 510C dengan
kelembaban udara 60% maka tungau akan mati.
1.3 MORFOLOGI
Menurut Voorhost et al.7 ukuran TDR adalah panjang 0,3 mm dan lebar
0,2 mm, tungau jantan lebih kecil ukurannya daripada tungau betina. Tungau
dewasa dan nimfa mempunyai 8 kaki, sedangkan larva mempunyai 6 kaki.
Bentuk umum tungau seperti kantung ( sakular ). Bagian kepala, torak, dan
abdomen bersatu membentuk suatu badan tanpa segmen ( Gambar 1 ). Tubuh
tungau dibagi menjadi empat bagian, yaitu daerah mulut dan bagian-bagiannya
( gnatosoma ), daerah pasangan kaki I dan II ( propodosoma ), daerah pasangan
kaki III dan IV ( metapodosoma ) dan daerah posterior ( opistosoma ).
2
D. pteronyssinus jantan mempunyai ciri-ciri kaki III sedikit lebih besar, kaki I
dan II sama besar, tirai dorsoposterior ( histerosomal ) lebih panjang daripada
lebarnya dan memanjang sampai ke anterior di bawah koksa IV. Epimer koksa I
tidak bergabung di medial, aedeagus ( penis ) dan sepasang genital skleretin
membentuk tonjolan yang tajam. Terdapat anal sucker. Pada betina terdapat strie
lentikular berjajar longitudinal di separuh posterodorsal, berjalan transversal pada
anterodorsal. Apodeme genital anterior melengkung lebih tajam daripada
D. farinae dan memanjang sampai bagian bawah genital opening. Dari lateral
reseptakel seminal menyerupai mangkok dengan pedikel di tegah, sedangkan
tampak dorsal menyerupai bunga. Vestibula bursa kopulatriks tidak banyak
mengandung kitin dan tidak jelas terlihat.
Gambar 1. Dermatophagoides pteromyssinus
Gambar 2. Dermatophagoides pteromyssinusBetina dan Jantan ( dari kiri ke kanan )
D. farinaejantan mempunyai ciri kaki I lebih besar, kaki II dan IV, kaki III
sedikit lebih besar. Tirai dorsoposterior (histerosomal) agak persegi, epimer koksa
I bergabung di medial sehingga membentuk huruf V atau Y. Aedeagus dan
sepasang genital skleretin membentuk bangunan segitiga. Terdapat anal sucker.
3
Tungau betina mempunyai strie lentikular transversal sepanjang dorsal tubuh.
Apodeme genital anterior melengkung dengan bagian posteriornya sebagian besar
tidak mencapai bagian anterior genital opening. Dinding vestibula (saluran
external opening) dan bursa kopulatriks dilapisi selaput tanduk dan berbentuk
pitcher (ginjal). Proses kitinisasi jelas pada tarsus I dan II.
Famili Glyciphagidae mempunyai ciri-ciri ujung-ujung kaki ( tarsus )
memanjang, dan banyak setae ( rambut ) pada tubuhnya. Tungau jantan
mempunyai aedeagus, sedangkan tungau betina mempunyai vulva opening.
Tidak terdapat anal sucker.
1.4 SIKLUS HIDUP
Tungau bersifat ovipar. Tungau betina mulai meletakkan telurnya 3-4 hari
setelah kopulasi kemudian mengalami 3 kali masa oviposisi. Pada suhu 250C masa
oviposisi I berlangsung selama 20 hari dan jumlah telur yang dihasilkan sebanyak
25-50 butir. Produksi telur per hari 2-3 telur. Oviposisi II menghasilkan
15-30 butir telur. Selanjutnya jumlah telur akan semakin berkurang pada oviposisi
berikutnya. Pada suhu 200C tungau memerlukan waktu dua kali lebih lama untuk
siklus reproduksinya dan periode reproduktifnya diperkirakan 26-34 hari pada
kelembaban 75%.
Telur menetas menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki, stadium larva
mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi stadium nimfa yang
mempunyai 4 pasang kaki. Sebelum stadium nimfa berubah menjadi tungau
dewasa, nimfa mengalami 2 tingkatan yang disebut protonimfa dan tritonimfa.
Perubahan dari telur menjadi larva 5-6 hari, larva menjadi protonimfa 7 hari,
protonimfa menjadi tritonimfa 7 hari. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan
tungau dari stadium telur menjadi dewasa kurang lebih 20 hari. Tungau jantan
mempunyai masa hidup selama 60-80 hari, sedangkan tungau betina 100-150 hari
tergantung pada suhu, kelembaban serta jumlah makanan yang tersedia.
Jumlah dan keberadaan tungau di suatu tempat bergantung pada suhu,
kelembaban serta jumlah makanan yang tersedia. Tungau, terutama
D. pteronyssinus, dapat hidup sebagai omnivora (pemakan segalanya). Makanan
TDR adalah skuama, daki dan sisa makanan. Dalam satu hari, manusia
menghasilkan skuama 0,5 g – 1 g dan jumlah ini sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan makan TDR. Satu mg skuama dapat mencukupi kebutuhan makan satu
tungau selama 20 bulan.
Tempat yang hangat, lembab dan gelap merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan TDR. Tungau memerlukan suhu ruangan 25-300C dan kelembaban
udara 70-80% untuk hidupnya. Di dalam rumah, TDR hidup bercampur dengan
4
debu yang terdapat di kasur, karpet, sofa maupun peralatan rumah tangga lainnya.
Kasur merupakan tempat yang paling disukai karena di tempat tersebut tersedia
sumber makanan utama berupa epitel kulit manusia dan jamur.
Bila tungau terpajan keadaan yang kurang menguntungkan misalnya panas,
cahaya, mesin penghisap debu, dan perubahan kelembaban, tungau dapat bergerak
lebih cepat, bersembunyi, berkumpul, dan mencengkeram serat kain.
1.5 ALERGEN TDR
Tungau merupakan komponen alergenik utama dari debu rumah. Bagian-
bagian TDR yang mengandung alergen adalah kutikula, organ seks dan saluran
cerna. Antigen yang terdapat dalam tubuh D. Pteronyssinus terutama di dalam
saluran cerna dan sebagian dalam kutikula. Selain tubuh TDR telah dibuktikan
bahwa feses TDR juga mempunyai sifat alergenik. Antigen yang berasal dari tubuh
TDR masuk ke dalam tubuh manusia melalui penetrasi kulit, sedangkan yang
berasal dai feses masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi.
Makanan yang masuk ke usus disekresikan sebagai antigen yang kuat.
Pada kultur tungau Spiecksma8 mendapatkan debris tungau terdiri atas kutikula,
telur dan partikel feses. Dari kultur tersebut ternyata yang mengandung alergen
(Der p I) hanya dari kutikula dan feses. Dalam masa 3 bulan hidup tungau
diperkirakan setiap tungau menghasilkan 50 telur, 4 kutikula, dan 2000 partikel
feses (± 20/hari). Kalkulasi itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa
95% alergen tungau berasal dari partikel feses.
Alergen TDR pertama yang dimurnikan adalah Der p Idan Der f I yang
terdapat dalam konsentrasi tinggi pada feses. Elergen tersebut merupakan
glikoprotein yang labil pada suhu panas dan merupakan enzim pencernaan yang
terdiri atas proteinase dan papain yang berasal dari kelenjar di sekitar saluran cerna
tungau. Alergen tersebut mempunyai berat molekul (BM) 24 kilo dalton (kd).9
Alergen kedua (Der p II, Der fII) berasal dari badan tungau mempunyai
BM 15 kd, diameternya 250 µm, dan alergen tersebut lebih stabil pada suhu panas.
Dua alergen lainnya yang kurang penting yaitu alergen III (Der f III) dengan
BM 30 kd dan mempunyai struktur kimia sama dengan tripsin, sedangkan alergen
IV mempunyai BM 60 kd dengan struktur kimia sama dengan amilase.
Tungau mengandung alergen dari feses lebih dari 200 kali berat tubuhnya.
Setiap gram debu mengandung 1000 tungau dan 250.000 alergen dari butiran feses.
Kurang lebih 80% penderita alergi TDR mempunyai antibodi IgE spesifik terhadap
alergen kelompok I (Der p Idan Der f I). Alergen kelompok I dan II secara klinis
berkaitan dengan penyakit asma, dermatitis atopik dan rinitis alergi.
5
Pajanan tungau sebanyak 100 sampai 500 tungau per gram atau 10 mikrogram
Der p I per gram debu merupakan faktor resiko terjadinya asma. Pajanan yang
lama dengan 500 tungau per gram debu atau lebih mengakibatkan terjadinya
respons antibodi IgE dan asma.
1.6 ISOLASI TDR
Metode paling mudah untuk mendeteksi kehadiran tungau adalah dengan cara
meletakkan sejumlah debu pada permukaan air dan memeriksanya dengan
perbesaran 20 kali. Tungau yang mati dan yang hidup akan terlihat mengambang
pada permukaan air tersebut. Untuk mengidentifikasi tungau digunakan jarum
tungau untuk mengangkat tungau, lalu tungau diletakkan di atas kaca benda untuk
dibuat preparat dengan menggunakan pewarnaan asam laktat 90% dan Medium
Hoyers.
Pemeriksaan tungau dengan cara flotasi dilakukan dengan menimbang debu,
lalu debu disaring. Sebanyak 0,1 gram debu dimasukkan ke dalam tabung reaksi
lalu ditambahkan etil alkohol 80%, dikocok dan dibiarkan selama 24 jam.
Keesokan harinya supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung reaksi
dimasukkan larutan NaCl jenuh sebanyak 3 ml dan dibiarkan selama 30 menit;
selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring di atas corong Buchner
dan disedot dengan vacuum pump sampai kertas saring kering. Kertas saring yang
telah kering diperiksa di bawah mikroskop stereoskopik. TDR yang tampak,
diambil dengan menggunakan jarum tungau lalu diletakkan di atas kaca benda
yang telah ditetesi larutan Hoyers kemudian ditutup dengan kaca tutup.
Pemeriksaaan tidak langsung dilakukan menurut metode Voorhorst, et al.7
Debu rumah disaring dengan saringan yang berdiameter 2,4 mm dan 0,075 mm
kemudian digoyang / disentrifuse selama 30 menit. Sisa debu yang tertinggal di
saringan 0,075 mm diambil dan dimasukkan ke dalam 150 ml asam laktat 90%,
lalu dipanaskan sampai mendidih selama 15 menit. Setelah dipanaskan tungau akan
berada di atas sedangkan partikel debu sisanya akan mengendap. Selanjutnya
supernatan dipusing lalau disaring dengan kertas saring. Kertas saring kemudian
dibiarkan kering lalu diamati di bawah mikroskop cahaya. Pemeriksaan tidak
langsung ini untuk menambah validitas penelitian sehingga tungau yang ada pada
waktu pemeriksaan langsung belum terangkat karena gerakannya yang cepat,
dengan teknik ini diharapkan dapat terangkat sehingga jumlah tungau yang
ditemukan dapat lebih banyak.
Cara lain adalah dengan meletakkan 0,05 gram sampel debu dalam 30 ml
larutan garam fisiologis yang ditambah 5 tetes detergen. Dengan cara tersebut debu
akan terpisah. Selanjutnya dilakukan teknik ultrasonik selama 20 menit. Suspensi
6
dibilas dan disaring dengan saringan berukuran 45 mikron kemudian diwarnai
dengan kristal violet dan diperiksa di bawah mikroskop stereoskopik.
Pemeriksaan TDR juga dapat dilakukan dengan meletakkan debu pada kertas
DIN-A4 karena debu dapat menempel pada kertas tersebut. Kertas diperiksa pda
pagi dan sore hari dibawah sinar lampu. Tungau akan membuat bayangan pada
kertas tersebut.
Tes diagnostik lainnya yaitu dipstick tes glukosa (Acarex). Tes itu mendeteksi
feses TDR dengan cara membandingkan perubahan warna dari sampel.
1.7 TEKNIK MENGUKUR ALERGEN
Nilai alami pajanan terhahap inhalasi alergen sangat rendah, yaitu kurang dari
1 µm dan kira-kira 10 ng/m3 dari udara yang terinhalasi. Nilai alergen pada debu
lantai berkisar antara 10 ng sampai 200 µg/g dari debu. Terdapat beberapa macam
teknik untuk membandingkan potensi ekstrak alergen, yaitu melalui isolasi alergen
dan karakterisasi dengan menggunakan ekstrak encer alergen. Secara in vitro
teknik ini dapat menggantikan tes kulit karena dapat mengukur alergenisitas total
ekstrak alergen.
Inhibisi radioimmunoassay mengukur IgE spesifik dalam serum penderita yang
dicurigai mengidap alergi terhadap suatu alergen. Immunoblotting adalah teknik
pengukuran dengan cara memisahkan ekstrak alergen yang kemudian ditransfer ke
kertas nitroselulose. Ekstrak alergen akan bereaksi dengan IgE menghasilkan auto-
radiograf atau gambar berwarna. Immunoelectrophoresis digunakan dengan cara
memisahkan ekstrak alergen melalui elektroforesis gel yang diputar 90 derajat dan
ditambah dengan gel antiserum kelinci. Cara pengukuran lainnya yaitu kloning
alergen melalui teknik DNA rekombinan.
Sebagai hasil dari kemajuan di bidang alergi saat ini telah dapat diukur kadar
alergen TDR di dalam debu rumah. Diketahui bahwa kadar alergen Der. p I
(D. pteronyssinus I) dan atau Der f I (D. farinae I) sebesar 2 µg/g debu rumah telah
menimbulkan sensitisasi pada manusia, sedangkan kadar di atas 10 µg/g debu
rumah merupakan faktor resiko untuk mencetuskan serangan asma akut.
Selanjutnya beberapa penelitian menunjukkan bahwa makin tinggi kadar alergen
TDR debu rumah makin tinggi resiko terjadinya sensitisasi. Demikian pula makin
tinggi kadar alergen debu rumah, makin tinggi prevalensi asma.
Tersedianya fasilitas pengukuran kadar alergen debu rumah ini memungkinkan
penatalaksanaan penyakit alergi umumnya dan asma khususnya menjadi lebih
rasional. Pengukuran alergen debu rumah tidak saja untuk mengetahui sumber
alergen dari debu rumah, tetapi juga dapat memantau manfaat intervensi terhadap
penurunan kadar alergen bila dilakukan secara serial. Cara tersebut memungkinkan
7
penilaian lingkungan hidup penderita dan menghindari alergen tersangka yang
secara potensial dapat menimbulkan gejala saluran napas.
1.8 PERAN ALERGEN TDR PADA ASMA
Asma menjadi masalah besar di seluruh dunia. Walaupun penyakit pernapasan
ini dapat mengenai seluruh kelompok umur, anak-anak merupakan kelompok yang
paling sering terkena. Data dari US National Health Interview Survey pada tahun
1981 memperlihatkan bahwa 3,2% anak-anak di bawah umur 18 tahun menderita
asma dan jumlahnya meningkat menjadi 4,3% pada tahun 1988. Jumlah
keseluruhan penderita asma di Amerika Serikat pada tahun 1998 diperkirakan
5,8%-7,2%. Di Indonesia prevalensi asma sekitar 6-7%, dan reaksi sensitivitas
kulit terhadap TDR cukup tinggi yaitu 58-80%.
Walaupun selama 2 tahun pertama dari kehidupan tidak terdapat hubungan
antara sensitisasi alergen dengan asma, terdapat peningkatan jumlah anak-anak
dengan gejala mengi yang berhubungan dengan sensitisasi alergen yang terus
berlanjut sampai umur 7 tahun.
Asma dapat diinisiasi dan siprovokasi oleh alergen yang terdapat setiap harinya
di sekeliling kita. Pajanan alergen seperti TDR, kecoa, bulu kucing dan asap rokok
dianggap sebagai penyebab timbulnya gejala asma. Alergen utama yang
berhubungan dengan asma atopi adalah TDR.
Penelitian yang dilakukan oleh German Multi Centre Atopy (MAS)
menyebutkan bahwa terdapat hubungan erat antara sensitisasi alergen kucing dan
tungau dengan mengi. Penelitian lain dari Wales, Inggris menyebutkan bahwa
pajanan alergen pada anak di bawah 5 tahun berhubungan dengan asma dan
meningkat secara signifikan pada umur 11 tahun. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Sporik et al.11 pada 67 orang anak yang mempunyai riwayat atopi dalam
keluarga menunjukkan bahwa terdapat respons bermakna antara nilai den resiko
sensitisasi terhadap TDR. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bayi yang
terpajan alergen TDR dengan konsentrasi tinggi selama satu tahun pertama
kehidupannya mempunyai resiko lebih besar untuk berkembang menjadi asma
pada umur 11 tahun. Hubungan antara pajanan alergen dengan asma atopi
didukung oleh bukti bahwa menghindari pajanan atau kontrol lingkungan
merupakan penatalaksanaan asma yang efektif.
Peranan tungau terhadap alergi pada manusia pertama kali didokumentasikan
oleh Cooke dan Kern tahun 1920 yang menemukan bahwa debu dari tas
menghasilkan reaksi kulit positif pada penderita asma. Pada tahun 1967, Ishizaka
mengidentifikasikan IgE sebagai pembawa aktivitas reagenik dalam serum
penderita hay fever. Identifikasi terhadap peranan IgE menyebabkan
8
berkembangnya cara pengukuran spesifik IgE dalam serum dan merangsang
penelitian tentang penyakit alergi.
Di Indonesia 90% penderita asma rentan terhadap debu rumah dan TDR.
Di Jepang penderita yang rentan tercatat 70%-80%. Di Australia, 90% anak-anak
penderita asma juga alergi terhadap TDR. Dari angka-angka tersebut dapat dilihat
bahwa penderita asma umumnya mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap
TDR.
Alergi pada saluran pernapasan adalah manifestasi alergi terbanyak
dibandingkan dengan alergi lainnya. Pada uji kulit dengan menggunakan ektrak
TDR D. Pteronyssinus di Poli Alergi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Dr. Sutomo, Surabaya, Mahdi12 melaporkan bahwa 96,57% penderita asma
bronkial memberi hasil positif. Dengan menggunakan ekstrak yang sama
Baratawidjaja13 mendapatkan 66,81% uji kulit positif terhadap 60 penderita asma
dan rinitis alergi yang berobat di klinik alergi swasta. Penelitian uji kulit terhadap
penderita asma anak didapatkan 96,4% uji kulit positif terhadap anak-anak yang
berumur kurang dari 14 tahun di Rumah Sakit Pugeran Yogyakarta.
Penelitian Konthen yang dilakukan di desa Banyuatis, Bali terhadap anak-anak
berumur 6-20 tahun menunjukkan 50% uji kulit positif. Matondang14 mendapatkan
hasil uji kulit positif sebanyak 92,8% di RSCM.
Uji kulit positif terhadap tungau gudang lebih besar dari pada terhadap
D. pteronyssinus, sehingga dapat disimpulkan bahwa tungau gudang juga
merupakan alergen yang penting dalam debu rumah.
Uji kulit dengan alergen TDR, menunjukkan reaksi positif pada penderita asma
berkisar antara 58% sampai 90%. Di laboratorium uji provokasi bronkus dengan
TDR sering kali dilakukan untuk membuktikan hubungan sebab akibat alergen dan
asma. Pada penderita asma yang diprovokasi oleh alergen D. pteronyssinus terjadi
reaksi alergi fase cepat dan fase lambat. Dari 69 penderita asma anak yang
diprovokasi dengan alergen yang sama, reaksi alergi fase cepat terjadi pada
62 penderita (87%) dan fase lambat 52 penderita (73%). Setelah terjadi reaksi
alergi fase lambat, penderita akan menunjukkan reaktivitas bronkus untuk beberapa
hari sampai minggu. Dalam klinik peristiwa ini diartikan bahwa setelah serangan
akut, gejala asma bisa berlangsung beberapa hari sampai minggu. Gejala tersebut
bisa menjadi kronis bila hubungan dengan alergen tersangka yang berlangsung
terus menerus.
Penelitian di ruang gawat darurat menunjukkan bahwa penderita yang
mendapat serangan asma akut menunjukkan kadar serum IgE terhadap alergen
TDR yang jauh lebih tinggi dibandingkan kontrolnya, khususnya pada penderita
9
asma kurang dari 50 tahun. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa alergen
inhalan merupakan faktor resiko terjadinya serangan asma akut.
Gangguan lain akibat sensitisasi terhadap TDR adalah rinitis alergi yang
merupakan alergi tipe I yang terlokalisasi di daerah hidung dan konjungtiva, yang
memberikan gejala sering bersin, hidung tersumbat, sekresi kelenjar hidung
berlebihan, mata panas dan berair. Penyebabnya adalah terjadi reaksi antibodi IgE
dengan antigen spesifik (alergen) pada permukaan sel mast di dalam mukosa
hidung. Reaksi tersebut menyebabkan dibebaskannya mediator kompleks inflamasi
yaitu histamin.
Diagnosis asma atopi ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, uji
kulit, pemeriksaan Ig total, RAST, jumlah eosinofil, uji provokasi dan spirometri.
Penatalaksanaan untuk asma atopi adalah mengurangi pajanan dan immunoterapi.
1.9 DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit pada bayi, anak dan
dewasa, yang berlangsung kronik dan berulang, ditandai rasa gatal pada tempat
predileksi tertentu. Gambaran klinis dermatitis atopik bervariasi sesuai dengan
usia.
Dermatitis atopik dibagi dalam 3 fase, yaitu fase infantil (<2 tahun), fase anak
(2-12 tahun), dan dewasa muda/dewasa (> 12 tahun). Dermatitis atopik fase anak
biasanya di daerah fleksor, terutama fosa kubiti dan fosa poplitea dengan distribusi
simetris. Pergelangan tangan, kaki dan leher dapat juga terkena. Pada kasus yang
berat, dermatitis atopik dapat mengenai sebagian besar tubuh.
Manifestasi dermatitis atopik adalah subakut dan cenderung kering. Lesi kulit
polimorfi berupa eritema, papul, erosi, ekskoriasi, dan krusta mirip dermatitis pada
umumnya. Beberapa faktor yang sering mencetuskan rasa gatal pada dermatitis
atopik adalah udara panas dan keringat, wol, emosi, makanan, alkohol, influenza,
dan alergen TDR (>35%).
Atopi adalah kelainan pada seseorang dengan keadaan hipersensitivitas yang
diturunkan secara genetik berupa kecenderungan untuk membentuk IgE dan
kerentanan untuk terjadinya beberapa penyakit, misalnya asma bronkial, rinitis
alergi, hay fever, konjungtivitis alergik dan dermatitis atopik. Atopi biasanya
diidentifikasi melalui uji Prick pada kulit dengan menggunakan ekstrak dari
alergen. Peningkatan konsentrasi total IgE spesifik terhadap alergen juga dapat
ditemukan dalam contoh serum penderita yang atopi.
Atopi dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan namun dasar genetik dari
atopi masih diperdebatkan. Penelitian terhadap orang kembar memperlihatkan
atopi lebih sering terjadi pada kembar identik daripada non-identik. Penelitian
10
molekular memperlihatkan hubungan antara atopi dengan polimorfisme dari
reseptor IgE afinitas tinggi pada kromosom 11 g (FC∑RI-β) dan ikatan dengan
IL-4 cluster gen pada kromosom 5.9
Etiologi dermatitis atopik tergolong multifaktor dan kompleks. Dermatitis
atopik didasari oleh kelainan genetik, tetapi terjadinya penyakit dipengaruhi oleh
faktor lingkungan. Beberapa faktor yang ikut berperan pada mekanisme terjadinya
dermatitis antara lain faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Salah satu faktor
ekstrinsik adalah faktor lingkungan, dan faktor lingkungan yang sangat berperan
adalah alergen hirup misalnya TDR.
Faktor intrinsik mampu mempengaruhi ekspresi penurunan genetik sampai
tahap tertentu, sedangkan faktor lingkungan mempengaruhi ekspresi fenotip
dermatitis atopik misalnya iritan nonspesifik, allergen, infeksi, stress psikologis,
iklim dan geografi.
Alergen yang berpengaruh adalah zat kimia, mikroba, alergen hirup, dan
alergen makanan, namon alergen hirup yang bersumber dari TDR, merupakan
faktor lingkungan yang sangat berperan.
Sampai sekarang cara alergen hirup menimbulkan lesi dermatitis masih
diperdebatkan. Terdapat dua mekanisme alergen hirup untuk menimbulkan lesi
eksematosa.
Pertama, melalui kontak langsung Wit dengan alergen hirup melalui
mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe IV yang diperantai IgE. Hal itu dapat
terjadi karena pada lesi eksematosa terdapat kerusakan fungsi sawar kulit sehingga
memudahkan sensitisasi terhadap alergen hirup yang menempel di kulit diikuti
respons IgE spesifik terhadap alergen.
Pada dermatitis atopik alergen tungau diabsorbsi melalui kulit karena adanya
aktivitas keratolitik oleh enzim yang dikeluarkan tungau. Antigen tersebut
diproses oleh sel Langerhans epidermal yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen
terhadap limfosit pada dermis dan selanjutnya terjadi reaksi yang mirip
hipersensitivitas tipe IV. Alergen dapat menempel pada IgE yang terdapat pada
permukaan sel Langerhans melalui fragmen crystallizable receptor 1 (Fc-ER 1).
Selain itu kompleks alergen IgE yang sudah terbentuk dapat berikatan dengan Fc-
ER II atau cluster differentiation 23 (CD 23) yang juga terdapat pada permukaan
sel Langerhans. Pengaktivan Fc-(R I menyebabkan pelepasan mediator
proinflamasi dari sel Langerhans seperti yang terjadi pada sel mast dan basofil.
Aktivitasi Fc-ER I dan Fc-ER II memudahkan penyajian antigen pada sel T
sehingga sel T teraktivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh limfosit T teraktivasi
adalah interleukin (IL)-4 dan IL-5, sedangkan interferon gama (IFN-δ) hanya
sedikit. Selanjutnya liinfosit B dirangsang aktivitasnya oleh IL-4 dan IL-5 akan
11
bekerja mirip dengan eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECFA)
sehingga di tempat lesi, eosinofil terkumpul dan mengeluarkan protein toksik yang
dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Kedua, sewaktu alergen hirup menempel dan penetrasi ke dalam kulit, akan
mencapai IgE yang berikatan pada sel mast atau basofil, sehingga terjadi
pelepasan mediator yang dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(reaksi tipe I), yang dapat terjadi dalam waktu 15-60 menit, diikuti reaksi tipe
lambat yang terjadi 3-4 jam kemudian melalui inhalasi dengan mekanisme reaksi
hipersensitivitas tipe I yang berlanjut ke reaksi tipe lambat.
Alergen utama TDR adalah protease sistein (alergen grup 1, misalnya Der p I
dan Der, fl), nonglycosylated proteins (alergen grup 2, misalnya Der p II danDer f
II), protease serin (alergen grup 3), dan amilase (grup 4). Rekomendasi Lokakarya
Internasional tentang TDR yang pertama (tahun 1989) dan kedua (tahun 1992)
menyatakan bahwa pada penderita dermatitis atopik, densitas sebesar 100 TDR per
gram debu kasur setara dengan kadar. 2 µg Der p I per gram debu kasur. Jumlah
tersebut dianggap sebagai faktor risiko untuk sensitisasi dan timbulnya dermatitis
atopik. Kadar 10 µg Der p I per gram debu kasur setara dengan densitas 500 TDR
per gram, debu kasur, memudahkan timbulnya dermatitis atopik sebesar 5 kali
lipat.
Terdapat 2 fenomena yang membuat populasi tungau meningkat pada
dermatitis atopik. Pertama, kulit kering penderita dermatitis atopik akibat
peningkatan transepidermal water loss (TEWL). Kedua, penurunan komposisi
lemak skuama.
Meningkatnya TEWL pada penderita dermatitis atopik dapat. mempengaruhi
peningkatan kelembaban kasur, jika dibandingkan dengan kasur penderita non-
atopik. Konsentrasi lemak skuama penderita dermatitis atopik lebih rendah
dibandingkan orang yang non-atopik. Kadar lemak total yang tinggi pada skuama
orang sehat non-atopik dapat menghambat pertumbuhan tungau. Jumlah tungau
pada kasur penderita dermatitis atopik yang sensitif terhadap tungau lebih tinggi
daripada kontrol sehat nonatopi. Bila konsentrasi alergen pada kasur penderita
> 2 µglg debu merupakan risiko terjadinya sensitisasi.
Pada atopi perubahan sawar epidermis berhubungan dengan perubahan
metabolisme asam lemak esensial/essential fatty acid ( EFA ). Defisiensi aktivitas
d6-desaturase menyebabkan penurunan jumlah metabolit linoleat dan asam
linolenat. Asam linoleat dan asam linolenat merupakan EFA yang terdapat pada
kulit normal dan berfungsi sebagai sawar epidermis dan juga sebagai antimikroba.
12
1.10 PENGHINDARAN DAN PEMBERANTASAN TDR
Untuk mencegah penyakit alergi cara terbaik adalah menghindari alergen
karena itu upaya untuk mengurangi pajanan debu rumah adalah metode yang
digunakan untuk mengurangi serangan asma. Murrayl7 melaporkan penghindaran
TDR dapat mengurangi gejala asma dan obat yang dipakai penderita asal saja
penghindaran TDR dilakukan secara agresif. Pada penderita rinitis, dermatitis
atopik dan asma atopi, menghindari pajanan alergen TDR dapat mengurangi
frekuensi serangan asma, hipereaktivitas bronkus dan kapasitas alergen untuk
memprovokasi asma.
Plat-Mills et al.18 mengisolasi penderita asma yang alergi terhadap TDR di
ruang rawat yang bebas TDR dan mendapatkan gejala asma penderita membaik
serta reaktivitas bronkusnya menurun. Upaya penghindaran juga berhasil baik
pada penderita dermatitis atopik yang alergi terhadap TDR. Menghindari pajanan
(avoidence) dan pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan cara:
1. Menjaga Kebersihan
Untuk menghindari TDR, rumah dibersihkan dari debu dengan cara disapu dan
dipel setiap hari dan perabot rumah dibersihkan dengan lap basah atau disedot
dengan penyedot debu. Jangan membersihkan rumah dengan kemoceng karena
debu tidak hilang tetapi justru beterbangan. Perabot kamar tidur harus
sesederhana mungkin. Hindarkan pemakaian karpet dan jangan menggunakan
beludru atau wol sebagai jok kursi dan sofa. Jangan meletakkan barang-barang
seperti pakaian, buku, tumpukan kertas, mainan, botol, dan lain-lain di atas
meja, kursi, dan sofa oleh karena debu mudah menempel pada barang tersebut.
Barang-barang itu sebaiknya disimpan di dalam lemari yang tertutup rapat.
Gorden dicuci sekurang-kurangnya setiap tiga bulan, AC diservis setiap enam
bulan dan kawat nyamuk dibersihkan setiap tiga bulan.
Manusia melewatkan waktunya paling banyak di dalam kamar tidur (biasanya
manusia tidur 6-8 jam sehari), maka kebersihan kamar tidur harus diperhatikan.
TDR mudah hidup dan berkembang biak di dalam kasur dan bantal yang berisi
kapuk, oleh karena itu sebaiknya kasur dan bantal diganti dengan yang terbuat
dari karet busa atau poliester. Jika hal ini tidak dapat dilaksanakan, maka kasur
dan bantal yang berisi kapuk dibungkus dengan plastik atau karet sebelum
dibungkus seprei dan sarung bantal. Seprei dan sarung bantal diganti sekurang-
kurangnya seminggu sekali, sedangkan kasur, bantal, dan guling dijemur
seminggu sekali.
2. Memindahkan Penderita ke Daerah yang Lebih Tinggi
Upaya mengurangi pajanan alergen dengan memindahkan penderita ke daerah
yang lebih tinggi dan kelembaban rendah telah dilakukan di Davos, Swiss.
13
Dengan upaya tersebut penderita asma mengalami perbaikan dan serangan
asma berkurang. Terdapat hubungan antara ketinggian suatu daerah dengan
populasi TDR. Makin tinggi suatu daerah, jumlah TDR makin sedikit, sehingga
kadar serum IgE penderita juga makin rendah.
Penelitian ini menyokong penelitian Kerrebijn yang melaporkan perbaikan
gejala maupun menurunnya reaktivitas bronkus penderita asma anak yang
menetap di Davos, Swiss selama 1 tahun.
3. Mengatur Kelembaban
Untuk mengurangi kelembaban rumah, ventilasi harus diperbaiki. Upayakan
agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah dengan membuka jendela,
memasang genteng kaca atau fiberglass.
Pengurangan populasi TDR juga dapat dilakukan dengan menggunakan air
condition untuk mengurangi kelembaban udara. Mempertahankan kelembaban
di bawah 35% selama sedikitnya 2 jam perhari sampai 8 jam dapat
memperlambat pertumbuhan populasi TDR.
4. Penggunaan Zat Kimia
Akarisida seperti benzil benzoat, pirimifos metil, permetin, fenil salisilat adalah
zat kimia yang dapat membunuh tungau.
Benzil benzoat terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk serbuk dan bentuk busa.
Benzil benzoat (5%) serbuk dengan ukuran 200 mikron digunakan pada karpet
dan bahan-bahan tekstil yang dipakai sebagai alas lantai, sedangkan bentuk
busa (2.6%) digunakan untuk kasur, bahan tekstil yang halus, perabot rumah
tangga, dan mainan anak. Mortalitas tungau setelah dua bulan penggunaan
benzil benzoat adalah 100% tetapi setelah tiga bulan menurun menjadi 60%.
Fenil salisilat yang strukturnya sama dengan benzil benzoat ternyata lebih
efektif. Zat kimia lain adalah asam tanat yang dapat mengubah alergen dari
feses tungau menjadi lebih hidrofobik dan berkurang sifat alergeniknya.
1.11 PENGARUH PENJEMURAN KASUR TERHADAP POPULASI TDR
Bila pada penghindaran penderita dijauhkan dari TDR maka pada upaya
pemberantasan, TDR dimusnahkan. Beberapa cara yang dilakukan antara lain
dengan menggunakan zat kimia, pengaturan suhu dan kelembaban ruangan.
Namun demikian, harus diingat bahwa upaya pemberantasan dengan zat kimia
tersebut efektif untuk karpet, tetapi kurang efektif untuk kasur. Selain itu, pada
pemakaian jangka panjang dan berulang zat kimia bisa memberikan efek samping.
Demikian pula pengaturan suhu dan kelembaban ruangan memang dapat
mengurangi populasi TDR tetapi cara ini memerlukan banyak biaya sehingga tidak
dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut perlu
14
dilakukan cara lain yang murah, efektif dan dapat dilakukan oleh seluruh
masyarakat antara lain dengan menjemur kasur.
Kasur kapuk adalah perabot rumahtangga yang perlu mendapat perhatian
khusus karena TDR paling banyak ditemukan pada kasur kapuk dan jenis kasur
yang paling banyak digunakan masyarakat di Indonesia, khususnya golongan
masyarakat menengah ke bawah adalah kasur kapuk.
Penelitian populasi TDR pada berbagai jenis kasur seperti kapuk, busa, dan
pegas menunjukkan kasur kapuk paling banyak mengandung TDR terutama
D. pteronyssinus dan D. farinae.
Dalam suatu survei pada awal tahun 1994 terhadap penderita yang berobat di
RS Dr. Cipto Mangunkusumo ternyata 85,7% memakai kasur kapuk sebagai alas
tidurnya. Sundaru et a1.20 meneliti 27 rumah penderita asma dan rinitis alergik
selama bulan Agustus - Oktober 1992 yang menggunakan 20 kasur kapuk,
17 kasur pegas, dan 23 kasur busa, ternyata populasi D. pteronyssinus dan
D. farinae paling tinggi (p < 0,01) pada kasur kapuk dibandingkan dengan kedua
jenis kasur lainnya. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa densitas
D. pteronyssinus dan D. farinae per gram debu kasur paling tinggi ada kasur
kapuk dan paling rendah pada kasur busa. Penelitian Sujudi 1 di daerah Jakarta
Timur mendapatkan dari seluruh subyek penelitian yang berjumlah 250 orang,
sebanyak 182 orang (72,4%) menggunakan kasur kapuk, 35 orang (14%)kasur
busa, dan 33 orang (13,2%) menggunakan kasur pegas. Berdasarkan wawancara
terhadap pengguna kasur kapuk, mereka menganggap kasur kapuk lebih nyaman
dan sejuk dibandingkan kasur busa tanpa memperhitungkan faktor harga antar
jenis kasur.
Pemberantasan TDR dapat dilakukan dengan pemanasan habitat TDR. Apabila
tungau dipanaskan selama 6 jam pada suhu 51°C dan kelembaban udara 60%
maka tungau akan mati. Karena-habitat utama TDR adalah kasur kapuk maka bila
kasur dipanaskan TDR akan mati.
Di Indonesia masyarakat mempunyai kebiasaan menjemur kasur sambil
dipukul-pukul karena dengan menjemur kasur sampai suhu di atas 32°C maka
kasur kapuk menjadi empuk kembali dan kering. Sinar matahari yang mengenai
permukaan kasur mengakibatkan kasur terpajan sinar matahari dengan suhu
permukaan rata-rata 60°C selama 4 jam pajanan. Selanjutnya suhu akan menurun
pada penjemuran jam ke-5 sampai jam ke-6 menjadi 56°C. Sifat konduksi
mengakibatkan suhu kasur bagian tengah mengalami kenaikan walaupun tidak
secepat bagian permukaan. Suhu rata-rata bagian tengah setelah 4 jam terpajan
oleh sinar matahari adalah 38°C dan suhu akan kembali turun menjadi 34°C
15
setelah penjemuran jam ke-5 dan jam ke-6. Suhu kasur bagian bawah juga akan
naik dari 27°C menjadi rata-rata 32°C.
Untuk meningkatkan suhu dan meratakan penyebaran suhu kasur Manan
mengajukan konsep penambahan logam seng yang lebih luas dari pada ukuran
kasur yang diletakkan di bawah kasur. Dengan demikian, dari atas kasur kapuk
dipanasi secara langsung oleh sinar matahari, sedangkan pada saat yang sama dari
bawah kasur ada penjalaran panas dari seng. Tanpa seng bagian bawah kasur sulit
terpanasi, karena kapuk penghantar panas yang buruk.
Bila kasur dipanaskan, tungau dewasa maupun larva akan berusaha untuk
mencari tempat perlindungan dengan jalan menyelinap di antara serat-serat kapuk.
Demikiasi juga dengan penjemuran kasur yang dibalik-balik memungkinkan TDR
berpindah-pindah mencari tempat yang lebih dingin. Namun demikian stadium
telur tidak dapat bergerak dan tetap menerima pajanan sinar matahari sehingga
protein telur mengalami proses aglutinasi. Akibatnya telur akan rusak dan tidak
dapat menetas lagi. Sehubungan dengan hal tersebut bila kasur dijemur secara
teratur (seminggu sekali) maka tidak ada lagi TDR baru.
Kadar alergen TDR untuk sementara tidak akan turun karena baik TDR yang
hidup, mati maupun fesesnya tetap bersifat sebagai alergen dan alergen TDR tahan
terhadap pemanasan. Umur kasur menentukan lama tidaknya penurunan kadar
alergen TDR. Makin lama umur kasur makin banyak investasi TDR beserta
fesesnya yang masuk ke celah-celah di antara serat kapuk maupun
pembungkusnya, sehingga sukar diharapkan alergen ini akan terlepas. Namun
demikian, bila tidak ada TDR yang baru, maka karena perjalanan waktu derajat
alergenitas debu kasur juga akan menurun (Tabel 1.).
Untuk mengetahui pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR
Manan melakukan penelitian terhadap kasur kapuk dengan masa penggunaan 1, 2,
3 dan 4 tahun. Kasur tersebut dijemur selama 6 jam setelah itu dilakukan
pengumpulan debu kasur lalu debu kasur tersebut dianalisis. Hasilnya
menunjukkan bahwa kasur-kasur yang masa penggunaannya kurang dari l tahun
jarang dihuni TDR, sedangkan kasur yang masa penggunaannya 2-4 tahun sering
dihuni oleh TDR. Pada penggunaan kasur selama 2 tahun terjadi peningkatan
populasi TDR sebesar 19,87% %, 3 tahun sebesar 33,85% dan 4 tahun sebesar
46,27. Hal tersebut karena keadaan kasur kapuk yang umurnya kurang dari satu
tahun umumnya masih baik karena reaksi antara daki, keringat dan kapuk masih
ringan, sedangkan kasur yang berumur 4 tahun telah kumuh karena terjadi reaksi
antara daki, keringat dan kasur kapuk yang telah berlangsung lama.
16
Tabel 1. Beberapa kemungkinan efek penjemuran kasur kapuk terhadap jumlah populasi dan kadar allergen dalam debu kasur5
KemungkinanSuhu Rata-rata KasurKapuk
TDR>= 51o C6 jam
>= 51o C< 6 jam
>25 - <51o C6 jam
>25 - <51o C< 6 jam
TDR dewasa
Hampir mati semua
Sebagian mati Sebagian kecil matiPertumbuhan terganggu
Sedikit sekali yang mati
Pertumbuhan (-)
Pertumbuhan terganggu
Rusak / mati Pertumbuhan terganggu
Telur Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian
Larva Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian besar
Rusak / mati sebagian
Nimfa Rusak / mati Rusak / mati Rusak / mati sebagian besar
Rusak / mati sebagian
*Jumlah TDR-Kadar Alergen2 minggu *sedikit
-tetap*berkurang-tetap
*berkurang-tetap
*tetap-tetap
3 bulan *sedikit-agak kurang
*berkurang-agak kurang
*berkurang-tetap
*agak kurang-tetap
6 bulan *sedikit-berkurang
*sangat kurang-berkurang
*berkurang-agak kurang
*berkurang-agak kurang
9 bulan *sedikit-rendah
*sangat kurang-sangat kurang
*sangat kurang-berkurang
*berkurang-berkurang
12 bulan *sedikit-rendah
*sangat kurang-sangat kurang
*sangat kurang-berkurang
*berkurang-berkurang
Keterangan: Agak berkurang: turun 10-25%Sanagt kurang : turun 50-75%
Berkurang : turun 25-50%Sedikit/rendah: turun> 75%
17
BAB II
PENUTUP
TDR merupakan alergen hirup sebagai faktor pencetus timbulnya penyakit alergi
seperti dermatitis atopik, asma bronkial dan rinitis. Dengan mengetahui habitat dan siklus
hidup TDR diharapkan dapat dilakukan pemberantasan TDR sehingga penyakit alergi dapat
dicegah. Caraterbaik adalah menghindari TDR dengan menjaga kebersihan lingkungan dan
kebersihan perorangan terutama kebersihan kamar tidur. Selain itu, masyarakat perlu
diberikan penyuluhan mengenai peran TDR dalam penyakit alergi dan cara
pemberantasannya.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Dowse GK, Turner K.1, Stewart GA, Alpears MP, Woolcock AJ. The association between
Dermmatophogoides mites and the increasing prevalence of asthma in villages
communities within the Papua New Guinea highland. J Allergy Clin Immunot 1985;75:75-
83
2. Aulung A. Penyebaran TDR di wilayah kota Jakarta. Disajikan pada Simposium advanced
in the treatment of house dust mite allergy. Jakarta, 16 November 1991.
3. Aulung A. Aspek biologi dan ekologi CDR. Disampaikan dalam Simposium
penatalaksanaan penderita asma dengan perbaikan kondisi lingkungan. Jakarta, 21 Juli
1992.
4. Sundaru H, Nanang S, Karnen B, Aulung A. TDR pada tiga jenis kasur. KONAS
PERALMUNI III, Bandung 1993.
5. Manan W. Pengaruh penjemuran kasur kapuk terhadap populasi TDR (TDR). Tesis
magister program studi ilmu biomedik. Program pasca sarjana bidang ilmu kesehatan-
program studi ilmu biomedik kekhususan parasitologi. Jakarta, 1996.
6. Cuthbert OD, Brostoff.l, Wraith DG, Brightons WD. Barn allergy asthma and rhinitis due
to storage mites. Clin Aller 1979;9:229.
7. Voorhorst R, Spieksma FTHM, Varekamp H. House-dust atop), and the house-dust mite.
Leiden: Stafleu's scientific publishing company; 1969.
8. Spieckma F, Boezeman S. The mitefauna of house dust mite D. pteronyssinu.c.
Acarologica 1967;9:226.
9. Sujudi Y. Prevalensi dermatitis atopik anak dan populasi tungau debu rumah di Kelurahan
Ceger, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur (tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 2003.
10. Febriana R. House dust atopi. Bagian Pulmonologi, FKUI/RS Persahatan. 2002
11. Sporik R, Holgate ST, Platts-Mills TAE, Cogswell J.J. Exposure to house dust mite
allergen (Der p 1) and the development of asthma in childhood. N Eng J Med
1990;323:502-7.
12. Mahdi DH. Pemakaian D. pteronyssinus sebagai pendekatan tunggal guna pembuktian
atopi pada asma bronkial [disertasiJ. Surabaya: Universitas Airlangga; 1984
13. Baratawijaya K. Alergi debu rumah. Pengalaman di Jakarta. Dalam: Symposium Advances
in the Treatment of House Dust Mite Allergy. Jakarta 1990 hal 15-23
14. Matondang CS. Asma pada anak (gambaran klinik serta hasil uji kulit). Symposium
Advances in the Treatment of House Dust Mite Allergy. Jakarta, 1991.
15. Boediarja SA. Diagnosis dermatitis atopik pada bayi dan anak. Disampaikan dalam
Simposium mini dan lokakarya dermatitis atopik pada bayi dan anak. Jakarta, 27-28 Juli
1999.
19
16. Carawell F. House dust allergy. ACI international 1999;11:43-8
17. Murray AB, Fergusson AC. Dust free bedrooms in the treatment asthmatic children with
house dust or house dust mite allergy. A controlled trial. Pediatrics, 1983;71:418-22.
18. Platts-Mills Tae, Thomas WR, Aaberse RC et al. Dust Mite allergens and asthma: Report
of a second international workshop. J Allergy Clin Immunol 1992;89: "1046-60.
19. Kerrebijn KF. Endogeneus factors in childhood CNSLD. Methodological aspects in
population studies.Dalam: Orie NGM, Van der Lende R (eds). Bronchitis III. Proceeding
of third international symposium on bronchitis. Assen, Royal Vangorcum Publisher
1970;38-48.
20. Sundaru H, Nanang S. Epidemiologi asma di Indonesia. Maj Kes Mas Indon 1990;19:177-
81.
20